Ceritasilat Novel Online

Da Vinci Code 2


Dan Brown The Da Vinci Code Bagian 2



"Kekecewaan?"

   Tanya Fache, terdengar bermusuhan sekarang.

   "Pesan ini terdengar lebih sebagaimarah daripada kecewa, bukan begitu?"

   Langdon kehilangan kesabarannya.

   "Kapten, Anda meminta pendapat saya berdasarkan insting saya, tentang apa yang SauniEre coba katakan di situ, dan itulah kata insting saya."

   "Bahwa ini adalah sebuah tuduhan kepada Gereja?"

   Geraham Fache merapat ketika dia berbicara dengan gigi-gigi saling merapat.

   "Pak Langdon, saya telah melihat banyak kematian dalam pekerjaan saya, dan izinkan saya mengatakan sesuatu. Ketika seseorang dibunuh oleh orang lain, saya tidak percaya bahwa pikiran terakhirnya adalah untuk menulis pernyataan kabur yang takkan dimengerti oleh siapa pun. Saya percaya, dia hanya memikirkan satu soal saja."

   Desis suara Fache mengiris udara.

   "La vengeance. Saya percaya SauniEre menulis ini semua untuk mengatakan siapa pembunuhnya."

   Langdon menatap.

   "Tetapi, itu sama sekali tidak masuk akal."

   "Tidak?"

   "Tidak,"

   Dia balas berseru, letih dan putus asa.

   "Anda mengatakan bahwa SauniEre diserang oleh seseorang yang diundangnya dalam kantornya."

   "Jadi, tampaknya masuk akal jika disimpulkan bahwa kurator itumengenal penyerangnya."

   Fache mengangguk.

   "Teruskan."

   "Jadi, jika SauniEre mengenal penyerangnya, tuduhan apa ini? Dia menunjuk ke lantai.

   "Kode-kode angka? Orang-orang yang lemah? Setan-setan Draconian? Pentakel pada perutnya? ini semua terlalu samar."

   Fache mengerutkan dahinya seolah gagasan itu tak pernah muncul dalam benaknya.

   "Anda benar."

   "Mengingat keadaan-keadaannyA,"

   Langdon berkata.

   "saya akan mengatakan, jika SauniEre ingin mengatakan siapa pembunuhnya, dia akan menuliskan nama orang itu."

   Ketika Langdon mengucapkan kata-kata itu, senyum simpul tersungging pada wajah Fache untuk pertama kalinya semalaman ini.

   "PrEcisement,"

   Katanya.

   "Tepat sekali."

   Aku menjadi saksi pekerjaan seorang pakar, Letnan Collet merenung sambil menyentuh perlengkapan audionya dan mendengarkan suara Fache masuk melalui headphone.

   Agent supEriur itu tahu bahwa saat-saat seperti inilah yang telah mengangkat kaptennya ke tingkat puncak kedudukan penyelenggara hukum di Prancis.

   Facheakanmelakukanapayangtakseorangpunberanilakukan.

   Kehalusan seni cajoler merupakan keahlian yang hilang dari penyelenggaraan hukum modern, yaitu kemampuan seseorang untuk tetap bersikap tenang dalam keadaan yang menekan.

   Hanya sedikit orang yang memiliki ketenangan yang penting ini untuk menjalankan operasi seperti ini, namun Fache seolah dilahirkan untuk itu.

   Kepandaiannya menguasai diri dan kesabarannya hampir seperti robot.

   Hanya perasaan Fache malam ini tampak menjadi ketetapan hati yang kuat, seolah penangkapan ini sangat pribadi sifatnya.

   Pengarahan Fache kepada anggota-anggotanya satu jam yang lalu, tak seperti biasanya, sangat ringkas dan meyakinkan.

   Aku tahu Siapa yang membunuh SauniEre, kata Fache tadi.

   Kalian tahu apa yang harus kalian kerjakan.

   Jangan buat kesalahan malam ini.

   Dan sejauh ini, tak ada kesalahan yang mereka perbuat.

   Collet belum dilibatkan dalam bukti-bukti yang telah memperkuat keyakinan Fache tentang orang yang diduga bersalah, namun Collet tahu, dia tak perlu mempertanyakan insting Sang Banteng.

   Intuisi Fache kadang-kadang tampaknya hampir mendekati supranatural.

   Tuhan berbisik pada telinganya, ujar seorang agen dengan yakin setelah dia menyaksikan pameran indra keenam Fache yang sangat mengesankan itu.

   Collet harus mengakui, jika ada Tuhan, Bezu Fache pastilah terdaftar pada daftar A-Nya.

   Sang kapten menghadiri misa dan pengakuan dengan sangat teratur -kehadirannya jauh lebih banyak daripada yang diharuskan pada hari-hari suci seperti yang dilakukan oleh para petugas lainnya, yang melakukan itu supaya mendapat pujian saja.

   Ketika Paus mengunjungi Paris beberapa tahun yang lalu, Fache berusaha sekerasnya untuk mendapat kunjungan kehormatan dari Paus.

   Selembar foto Fache bersama Paus sekarang tergantung di kantornya.

   SangBantengpenerusPaus, begitu diam-diam para anggotanya menyebutnya.

   Narnun ironis bagi Collet, bahwa salah satu pendapat Fache yang jarang terdengar di publik adalah justru reaksi lantangnya terhadap skandal pedophilia dalam gereja Katolik.

   Para pastor itu seharusnya digantung dua kali! Fache menyatakan dengan keras.

   Satu untuk kejahatan mereka terhadap anak-anak, dan satu lagi atas nama Gereja Katolik.

   Collet mempunyai perasaan aneh, bahwa yang kedualah yang membuat Fache marah sekali.

   Sekarang Collet kembali pada layar laptopnya.

   Dia mulai mengerjakan separuh kewajibannya malam ini -sistem pelacakan GPS.

   Gambar pada Iayar menampakkan gambar rinci ruangan Sayap Denon, sebuah skema struktural yang diambil dari kantor keamanan Museum Louvre.

   Collet membiarkan matanya melacak jaringan jalan yang ruwet dari galeri-galeri dan gang-gang, sampai akhirnya dia mendapatkan apa yang dicarinya.

   Jauh di tengah Galeri Agung, sebuah titik merah kecil berkedip.

   Lamarque.

   Fache telah mengendalikan mangsanya dengan tali kekang yang ketat rnalam ini.

   Begitu bijaksananya sehingga Robert Langdon telah membuktikan dirinya sendiri sebagai "pelanggan"

   Yang tenang.

   UNTUK meyakinkan bahwa percakapannya dengan Langdon takkan terganggu, Bezu Fache telah mematikan telepon selularnya.

   Sialnya, telepon selularnya merupakan model yang mahal dengan fitur radio dua jalur sehingga hasilnya justru berlawanan dengan apa yang diharapkannya.

   Salah satu agennya masih bisa menghubunginya, yaitu Collet.

   "Captaine?"

   Telepon itu berbunyi serak seperti sebuahwalkie-talkie.

   Fache merasa gigi-geliginya membayangkan ini seharusnya merapat kuat karena marah.

   Dia dapat tidak terlalu penting, namun Collet menelponnya juga dan mengganggu surveillance cache ini -terutama pada saat genting seperti ini.

   Dia menatap Langdon untuk minta maaf.

   "Sebentar, ya."

   Dia menarik teleponnya dari ikat pinggang dan menekan tombol penerima.

   "Oui?"

   "Capitaine, unagentduDeparrementtieCryptograhieesrarrivE."

   Kemarahan Fache mereda sejenak.

   Seorang kryptografer datang? Walaupun ini bukan waktu yang tepat, namun mungkin saja ini merupakan berita bagus.

   Fache, setelah menemukan teks tak jelas yang merupakan pesan terakhir SauniEre di atas lantai, mengirim semua gambar di tempat kejadian kriminal tersebut ke Departemen Kriptografi dengan harapan ada seseorang yang dapat mengatakan kepadanya apa sebenarnya yang SauniEre maksudkan.

   Jika seorang pemecah kode kini telah tiba, berarti sudah ada orang yang memecahkan kode pesan SauniEre.

   "Aku sedang sibuk sekarang,"

   Jawabnya dengan nada kesal karena larangannya dilanggar.

   "Katakan kepada kriptografer itu untuk menungguku di pos komando. Aku akan berbicara kepada lelaki itu jika aku sudah selesai."

   "Perempuan,"

   Suara itu mengoreksi.

   "Ini Agen Neveu."

   Kemarahan Fache karena telepon itu semakin menjadi.

   Sophie Neveu adalah salah satu kesalahan terbesar DCPJ.

   Sophie adalah seorang perempuan muda Paris dechiffreuse yang belajar kriptografi di Inggris pada Royal Holloway.

   Sophie Neveu telah disisipkan di departemen Fache dua tahun yang lalu sebagai bagian dari program menteri untuk lebih banyak menggunakan tenaga kerja perempuan di kepolisian.

   Pemaksaan kementerian dengan tujuan politik itu, menurut Fache, telah memperlemah departemennya.

   Perempuan tidak hanya lemah tubuhnya untuk pekerjaan seorang polisi, tetapi penampilan mereka merupakan pengganggu konsentrasi kerja yang berbahaya bagi lelaki di lapangan.

   Seperti yang dikhawatirkan Fache, Sophie Neveu tengah membuktikan bahwa dia merupakan pengganggu yang luar biasa.

   Sebagai perempuan 32 tahun, Sophie sangat keras kepala.

   Semangatnya untuk mengadopsi metodologi kriptologi baru Inggris terus-menerus merepotkan para kriptografer veteran Prancis yang berada di atasnya.

   Dan yang paling mengganggu Fache adalah sebuah kebenaran universal yang tak dapat dihindari, bahwa di sebuah kantor yang penuh lelaki separuh baya, seorang perempuan cantik selalu mengalihkan perhatian mereka dari pekerjaan yang tengah dihadapi.

   Orang di telepon itu berkata lagi.

   "Agen Neveu berkeras untuk berbicara dengan Anda segera, Kapten. Saya mencoba menghalanginya, tetapi dia sekarang sedang menuju ke sana."

   Fache tersentak, tak percaya.

   "Tidak bisa! Aku sudah menegaskan..."

   Untuk sesaat Langdon mengira bahwa Bezu Fache terkena stroke.

   Kalimatnya terputus ketika gerahamnya berhenti bergerak dan matanya terbelalak.

   Tatapan berapi-apinya tampak terpaku pada sesuatu di belakang Langdon.

   Sebelum Langdon dapat memutar tubuhnya untuk melihatnya, dia mendengar suara seorang perempuan bergema di belakangnya.

   "Excusez-moi,messieurs."

   Langdon melihat seorang perempuan muda berjalan mendekat.

   Dia melangkah di galeri itu dengan ayunan panjang, mengalir gayanya sungguh tak terlupakan.

   Berbusana menarik dan tampak santai, dalam sweter Irlandia sepanjang lutut, dia berusia sekitar tiga puluhan.

   Rambut merah kecoklatannya yang lebat jatuh begitu saja di atas bahunya, membingkai wajahnya yang hangat.

   Tak seperti perempuan berambut pirang yang suka berpura-pura yang menghiasi dinding asrama Harvard, perempuan ini sehat dengan kecantikan yang tak perlu riasan dan kemurniannya memancarkan rasa percaya diri yang memesona.

   Langdon terkejut karena perempuan itu langsung berjalan kearahnya dan mengulurkan tangannya dengan sopan."Monsieur Langdon, saya Agen Neveu dari Departemen Kriptologi DCPJ."

   Kata-katanya meliuk indah di dalam aksen campuran Anglo -Franconya.

   "Senang berkenalan dengan Anda."

   Langdon menjabat tangan lembut itu dan sadar bahwa dia terpaku sejenak pada tatapan kuat perempuan itu. Matanya berwarna hijau buah zaitun -tajam dan bening. Fache menarik napas kemurkaan, jelas bersiap untuk marah.

   "Kapten,"

   Ujar Sophie, sambil berpaling cepat dan membuat Fache terkesiap.

   "maafkan gangguan ini, tetapi -"

   "Cen'estpaslemoment!"

   Sembur Fache.

   "Saya mencoba menelepon Anda,"

   Lanjut Sophie dalam bahasa Inggris, untuk menghormati Langdon.

   "Tetapi handphone Anda dimatikan."

   "Aku mematikannya karena ada alasan,"

   Fache mendesis.

   "Aku sedang berbicara dengan Pak Langdon."

   "Saya sudah memecahkan kode angka itu,"

   Ujar Sophie datar. Jantung Langdon berdebar semakin cepat karena kegirangan. Dia memecahkankodeitu? Fache tampak tak yakin bagaimana menanggapinya.

   "Sebelum saya menjelaskan,"

   Kata Sophie.

   "saya punya pesan penting untuk Pak Langdon."

   Tarikan wajah Fache berubah menjadi perhatian.

   "Untuk Pak Langdon?"

   Sophie mengangguk, kembali berpaling ke arah Langdon.

   "Anda harus menghubungi Kedutaan Besar Amerika Serikat, Pak. Mereka mempunyai pesan untuk Anda dari Amerika Serikat."

   Langdon terkejut.

   Kegirangannya tentang kode itu tergantikan dengan riak perhatian tiba-tiba.

   Sebuah pesan dari Amerika Serikat? Dia mencoba membayangkan siapa yang berusaha menghubunginya.

   Hanya sedikit dari temannya yang tahu dia ada di Paris.

   Geraham Fache yang lebar mengetat karena berita itu.

   "Kedutaan Besar AS?"

   Tanyanya, terdengar curiga.

   "Bagaimana mereka tahu Pak Langdon ada disini?"

   Sophie menggerakkan bahunya.

   "Tampaknya mereka menelepon hotel Pak Langdon, dan penerima tamu mengatakan bahwa Pak Langdon dijemput oleh petugas DCPJ."

   Fache tampak bingung.

   "Dan Kedutaan Besar menghubungi Kriptografi DCPJ?" 'Tidak, Pak,"

   Kata Sophie, suaranya tegas.

   "Ketika saya menelepon operator telepon DCPJ untuk menghubungi Anda, mereka mengatakan bahwa mereka punya pesan untuk Pak Langdon dan meminta saya untuk menyampaikannya jika saya berjumpa dengan kalian."

   Alis Fache berkerut, tampak bingung. Dia membuka mulutnya untuk berbicara, namun Sophie telah beralih ke Langdon lagi.

   "Pak Langdon,"

   Dia melaporkan sambil menarik secarik kertas kecil dari sakunya.

   "ini nomor telepon pelayanan pesan dari Kedutaan Besar Anda. Mereka ingin Anda sesegera mungkin menelepon."

   Dia memberikan kertas tersebut dengan tatapan tajam.

   "Sementara saya menjelaskan tentang kode itu kepada Kapten Fache, Anda harus menelepon."

   Langdon mempelajari kertas itu. Tertera nomor telepon Paris dan nomor ekstensi.

   "Terima kasih,"

   Katanya, sekarang dia merasa khawatir.

   "Di mana aku bisa menelepon?"

   Sophie mulai mengeluarkan handphone dari saku sweternya, tetapi Fache mengibaskan tangannyA kepada Sophie.

   Sekarang Fache tampak seperti gunung Vesuvius yang siap meletus.

   Tanpa mengalihkan tatapan dari Sophie, dia mengeluarkan handphone-nya dan memberikannya kepada Langdon.

   "ini aman, Pak Langdon. Pakailah."

   Langdon merasa bingung dengan kemarahan Fache pada perempuan muda itu.

   Dengan merasa tak enak, dia menenima hand-phone sang kapten.

   Fache langsung menarik Sophie beberapa langkah menjauh dan mulai memarahinya dengan berbisik-bisik.

   Langdon merasa semakin tak menyukai kapten itu, dan menyingkir dari pertengkaran aneh itu untuk kemudian segera menyalakan handphone.

   Sambil melihat kertas yang diberikAn Sophie, Langdon memutar nomor tersebut.

   Sambungan itu mulai berdering.

   Dering pertama ...

   dering kedua ...

   dering ketiga.

   Akhirnya tersambung.

   Langdon mengira akan mendengar suana operator Kedutaan Besar, namun tennyata hanya suara dari sebuah mesin penjawab.

   Anehnya, suara itu terdengar tak asing.

   Itu suara Sophie Neveu.

   "Bonjour, vous Etes bien chez Sophie Neveu,"

   Kata suara perempuan itu.

   "Jesuisabsentpour1e moment,mais..."

   Dengan bingung, Langdon beralih ke Sophie lagi.

   "Maaf, Nona Neveu? Saya kira Anda telah memberikan -"

   "Tidak, itu memang nomornya,"

   Sela Sophie cepat, seolah sudah mengira Langdon akan bingung.

   "Kedutaan Besar punya sistem pesan otomatis. Anda harus memutar kode akses untuk mendengarkan pesan Anda."

   Langdon menatap.

   "Tetapi -"

   "Tiga nomor kode pada kertas yang saya berikan pada Anda itu"

   Langdon membuka mulutnya untuk menjelaskan kesalahan yang aneh itu, namun Sophie mendelik padanya sekejap.

   Mata hijaunya mengirimkan pesan yang sangat jelas.

   Janganbertanya.Lakukansaja.

   Dengan bimbang, Langdon memutar nomor ekstensi yang tertera pada kertas itu.

   454.

   Pesan suara Sophie langsung terputus, dan Landon mendengar suara elektronik dalam bahasa Prancis.

   "Anda punya satu pesan baru."

   Tampaknya 454 adalah kode akses Sophie untuk mendengarkan pesan ketika dia tidak di rumah.

   Akumendengarkanpesanmilikperempuanitu? Langdon dapat mendengar suara pita yang sekarang diputar balik.

   Akhirnya berhenti dan mesin itu tersambung.

   Langdon mendengarkan pesan itu.

   Lagi, pesan itu dalam suara Sophie.

   "Pak Langdon,"

   Pesan itu mulai dalam suara bisikan yang menakutkan.

   "Jangan bereaksi karena pesan ini. Dengarkan saja. Anda sekarang dalam bahaya. Ikuti petunjukku dengan sangat hati-hati."

   SILAS DUDUK di belakang kemudi mobil Audi hitam yang telah disiapkan Guru dan menatap ke luar ke arah Gereja Saint-Sulpice.

   Gereja itu disinari dari lampu di bawah sehingga dua menara loncengnya menjulang seperti penjaga di atas gedung jangkung itu.

   Pada setiap sayap bangunannya, sederetan dinding penyangga yang bagus menonjol seperti tulang iga binatang liar yang indah.

   Para penyembah berhala itu menggunakan rumah Tuhan untuk menyembunyikan batu kunci mereka.

   Kembali kelompok persaudaraan itu menegaskan reputasi legendaris mereka dalam hal ilusi dan kebohongan.

   Silas menunggu-nunggu untuk mencari batu kunci itu dan memberikannya kepada Guru sehihgga mereka dapat menemukan kembali apa yang telah lama dicuri oleh kelompok persaudaraan itu dari orang-orang yang beriman.

   OpusDeiakanmenjadisangatkuat.

   Silas memarkir Audi-nya di tempat parkir Place Saint-Sulpice yang sunyi, kemudian dia menarik napas, mengatakan pada dirinya sendiri supaya membersihkan pikirannya untuk menjalankan tugas ini.

   Punggung lebarnya sakit karena ritual pembersihan diri yang telah dilakukannya tadi pagi, namun rasa sakit itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan penderitaan hidupnya sebelum Opus Dei menyelamatkannya.

   Kenangan itu masih menghantui jiwanya.

   Hilangkan kebencianmu, Silas memerintahkan diri sendiri.

   Maafkan merekayangmenghalangimu.

   Sambil menatap menara batu Saint-Sulpice, Silas melawan arus yang menarik pikirannya ke masa lampau, mengunci dirinya sekali lagi di dalam penjara yang telah pernah menjadi dunianya ketika dia masih muda.

   Kenangan akan penyucian dosa datang seperti dulu, seperti prahara bagi perasaannya ...

   bau kol busuk, aroma kematian, air seni manusia, tinja.

   Tangisan keputusasaan di dalam desau angin Pirenia dan isak orang-orang yang terlupakan.

   Andorra, pikirnya, merasa otot-ototnya menegang.

   Luar biasa.

   Kejadian itu terjadi di daerah kekuasaan yang tandus dan terlupakan di antara Spanyol dan Prancis.

   Dia menggigil dalam sel batunya, hanya menginginkan kematian, namun dia diselamatkan ketika itu.

   Dia tak menyadarinya pada waktu itu.

   Cahaya itu datang bersamaan dengan kilat.

   Ketika itu namanya bukan Silas, namun dia tak ingat lagi nama yang diberikan orang tuanya.

   Dia telah meninggalkan rumahnya ketika berusia tujuh tahun.

   Ayahnya yang pemabuk, Seorang pekerja pelabuhan yang berotot, sangat murka karena kelahiran anak lelakinya yang albino, kemudian sering memukuli ibunya dan menyalahkannya karena keadaan bayi mereka yang memalukan.

   Ketika si anak mencoba membela ibunya, dia juga dipukuli dengan kejam.

   Suatu malam, terjadi perkelahian sengit, dan ibunya tak pernah bangun lagi.

   Anak lelaki itu berdiri di samping ibunya yang sudah meninggal dan merasa sangat berdosa karena membiarkan hal itu terjadi.

   Inikesalahanku! Seolah ada sejenis setan yang memengaruhinya, anak lelaki itu berjalan menuju dapur dan meraih sebilah pisau daging.

   Seperti terhipnotis, dia bergerak ke kamar tidur tempat ayahnya tertidur mabuk.

   Tanpa sepatah kata pun, anak lelaki itu menikam punggung ayahnya.

   Ayahnya berteriak kesakitan dan mencoba membalik tubuhnya, namun anaknya menikamnya lagi, dan lagi, hingga akhirnya apartemen itu senyap.

   Anak lelaki itu melarikan diri, namun kemudian mendapati bahwa kehidupan di jalan Marseille juga tidak ramah.

   Penampilannya yang aneh membuatnya tak berteman di antara anak-anak muda yang minggat dari rumah juga.

   Dia akhirnya terpaksa tinggal di ruang bawah tanah sebuah pabrik rusak, memakan buah curian dan ikan mentah dari pelabuhan.

   Temannya hanyalah majalah bekas yang ditemukannya di sampahan, dan dia belajar sendiri untuk membacanya.

   Waktu berlalu, dia tumbuh menjadi kuat.

   Ketika dia berusia dua belas tahun, seorang gelandangan lain -seorang gadis dua kali umurnya -mengejeknya di jalan, dan berusaha mencuri makanannya.

   Gadis itu dihajar hingga hampir menemui ajalnya.

   Ketika pemilik gedung tersebut memisahkannya dari gadis itu, dia diberi ultimatum -meninggalkan Marseille atau dikirim ke penjara remaja.

   Anak lelaki itu pindah ke pantai Toulon.

   Dengan berlalunya waktu, penampilannya yang ketakutan di jalan berubah menjadi menakutkan.

   Anak itu telah tumbuh menjadi seorang lelaki yang sangat kuat.

   Ketika orang melaluinya, dia dapat mendengar mereka membicarainya.Hantu, kata mereka.

   Mata mereka melebar ketakutan ketika melihat kulit putihnya.Hantubermata setan! Dan dia merasa seperti hantu ...

   tembus pandang ...

   melayang dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lainnya.

   Kelihatannya orang-orang melihat menembus dirinya.

   Ketika berusia delapan belas tAhun, di kota pelabuhan, saat dia berniat mencuri sepeti lemak daging babi dari kargo kapal, dia tentangkap oleh sepasang anak buah kapal.

   Kedua pelaut yang mulai, memukulinya itu berbau bir, seperti ayahnya dulu.

   Kenangan akan kebencian dan ketakutan muncul seperti monster dari kedalaman.

   Anak muda itu mematahkan leher pelaut pertama dengan tangan kosongnya, dan kedatangan polisilah yang menyelamatkan pelaut kedua dari nasib yang sama.

   Dua bulan kemudian, dengan terbelenggu, dia tiba di penjara Andora.

   Kau seputih hantu, teman seselnya mengoloknya ketika para penjaga membawanya ke dalam sel, bugil dan kedinginan.Miraciespectro!Mungkin hantudapatmenembusdindingini! Setelah dua belas tahun, daging dan jiwanya melayu hingga dia tahu telah menjadi tembus pandang.

   Akuhantu Akutakberbobot Yosoyunespectro ...palidocomounfantasma ...caminandoestemundaa solas.

   Suatu malam, hantu itu terbangun karena jeritan teman satu selnya.

   Dia tak tahu kekuatan tak tampak apa yang dapat mengguncang lantai tempat dia tidur, ataupun tangan kuat yang dapat menggetarkan sel batunya yang besar itu, namun ketika dia terloncat berdiri, sebuah batu besar jatuh persis di tempat yang baru saja dia tiduri.

   Dia mendongak untuk melihat dari mana datangnya batu-batu itu, dan di atasnya, sebuah pemandangan yang tak pernah dilihat sebelumnya.

   Rembulan.

   Walau bumi masih bergoyang, si hantu turhuyung-huyung melalui sebuah terowongan sempit, lalu dengan bingung dia keluar dan mendapatkan pemandangan yang luas, kemudian dia terjun ke sisi gunung yang tandus dan masuk ke hutan.

   Dia berlari sepanjang malam, terus menurun, gemetar karena lapar dan lelah.

   Si hantu menyusuri tepian kesadarannya, dan saat fajar menyingsing dia telah tiba di sebuah jalan kereta api yang memotong sebuah lapangan.

   Dia mengikuti jalan kereta api itu, terus bergerak seolah dalam mimpi.

   Kemudia dia melihat sebuah gerbong kosong; dia memasukinya untuk berlindung dan beristirahat.

   Ketika dia terbangun, kereta api itu sedang bergerak.

   Sudah berapa lama? Sejauh apa? Ada rasa sakit pada perutnya.

   Apakahakumati? Dia tertidur lagi.

   Kali ini dia terbangun karena seseorang berteriak, memukulinya, melemparnya keluar dari gerbong itu.

   Dengan berdarah-darah dia menggelandang di pinggiran sebuah desa kecil untuk mencari makan, namun gagal.

   Akhirnya, tubuhnya terlalu lemah untuk melangkah lagi.

   Dia terbaring di pinggir jalan, pingsan.

   Cahaya itu perlahan-lahan datang, dan si hantu bertanya-tanya sudah berapa lama dia mati.

   Satu hari? Tiga hari? Tak penting.

   Tempat tidurnya lembut seperti awan, dan udara disekitarnya tercium bau lilin manis.

   Yesus ada di sana, menatapnya.

   Aku di sini, kata Yesus.

   Batu itu teiah digulingkan ke tepi,kaudilahirkankembali.

   Dia tidur dan terbangun.

   Kabut memenuhi pikirannya.

   Dia talk pernah percaya pada surga, namun demikian Yesus menjaganya.

   Makanan datang di samping tempat tidurnya, dan si hantu memakannya.

   Dia hampir dapat merasakan dagingnya bertambah di atas tulang belulangnya.

   Dia tertidur lagi.

   Ketika terbangun, Yesus masih tetap tersenyum padanya, dan berkata.

   Kau aman,anakku.Restubagiyangmengikutijalan-Ku.

   Dia tertidur lagi.

   Sebuah jeritan penuh derita telah mengejutkan si hantu dari tidurnya.

   Tubuhnya melangkah dari tempat tidurnyA, terhuyung-huyung dalam gang menuju suara teriakan itu.

   Dia memasuki sebuah dapur dan melihat seorang lelaki besar memukuli seorang lelaki lainnya yang lebih kecil.

   Tanpa dia tahu mengapa, si hantu mencengkeram lelaki besar itu dan mendorongnya ke dinding.

   Orang itu melarikan diri, meninggalkan si hantu berdiri di samping lelaki muda dalarn jubah pendeta.

   Hidung pendeta itu terluka parah.

   Si hantu mengangkat tubuh pendeta itu lalu meletakkanya di atas bangku panjang.

   "Terima kasih, temanku,"

   Kata pendeta itu dalam bahasa Prancis yang kaku.

   "Uang sumbangan itu telah menggoda para pencuri. Kau berbicara bahasa Prancis dalam tidurmu. Kau juga bisa berbahasa Spanyol?"

   Si hantu menggelengkan kepalanya.

   "Siapa namamu?"

   Pendeta itu melanjutkan dengan bahasa Prancis yang buruk. Si hantu tak dapat mengingat nama yang diberikan orang tuanya. Yang didengarnya hanyalah ejekan-ejekan para penjaga penjara. Pendeta itu tersenyum.

   "No hay problema. Namaku Manuela Aringarosa. Aku seorang misionaris dari Madrid. Aku dikirim ke sini untuk membangun sebuah gereja bagi Obra de Dios."

   "Aku di mana?"

   Suara si hantu terdengar bergaung.

   "Oviedo. Sebelah utara Spanyol."

   "Bagaimana aku bisa sampai ke sini?"

   "Seseorang meninggalkanmu di depan pintu rumahku. Kau sakit waktu itu. aku memberimu makan. Kau sudah berhari-hari disini."

   Si hantu mempelajari lelaki yang telah merawatnya. Sudah lama sekali si hantu tak melihat orang berbuat baik.

   "Terima kasih, Bapak."

   Pendeta itu menyentuh bibirnya yang berdarah.

   "Akulah yang berterima kasih, temanku."

   Ketika Si hantu terbangun keesokan harinya, dunianya terasa lebih terang.

   Dia menatap tanda salib yang tergantung di dinding di atas tempat tidurnya.

   Walau benda itu tak berkata apa-apa, dia merasakan suasana yang nyaman karena kehadirannya.

   Ketika duduk, dia melihat sebuah guntingan koran di atas meja samping tempat tidurnya.

   Artikel itu berbahasa Prancis, berusia seminggu.

   Ketika membaca ceritanya, dia ketakutan.

   Cerita itu gempa bumi di pengunungan yang telah menghancurkan penjara dan membebaskan banyak penjahat berbahaya.

   Jantungnya berdebar keras.

   Pendeta itu tahu siapa aku! Perasaan yang dirasakannya adalah perasaan yang.

   lama tak pernah dirasakannya lagi.

   Malu.

   Bersalah.

   Dan bersamaan dengan itu dia juga takut tertangkap.

   Dia terloncat dari tempat tidurnya.

   Akuharuslarikemana? "Kisah Para Rasul,"

   Suara itu datang dari pintu. Si hantu menoleh dan ketakutan. Pendeta muda itu tersenyum ketika memasuki kamarnya. Hidungnya dibalut dengan aneh, dan dia memegang Alkitab tua.

   "Aku menemukannya di Prancis untukmu. Babnya ditandai."

   Dengan ragu, Si hantu menerima Alkitab itu dan melihat bab yang ditandai oleh pendeta itu.

   KisahParaRasul16.

   Ayat-ayat menceritakan tentang seorang narapidana berama Silas yang terbaring bugil dan disiksa di sel penjara, sedang menyanyikan himne untuk Tuhan.

   Ketika si hantu tiba di Ayat 26, dia menahan napasnya, karena terkejut.

   "... Dan tiba-tiba, ada gempa bumi besar, sehingga dasar penjara itu bergoyang, dan semua pintu terbuka."

   Matanya menatap tajam pada pendeta itu. Pendeta itu tersenyum hangat.

   "Mulai sekarang, temanku, jika kau tak punya nama lain, aku akan memanggilmu Silas."

   Si hantu mengangguk kosong.Silas. Dia telah diberi daging, dan makanan. NamakuSilas.

   "Waktunya makan pagi,"

   Kata pendeta itu.

   "Kau memerlukan kekuatan jika kau akan membantuku membangun gereja."

   Dua puluh ribu kaki di atas Mediterrania, pesawat Alitalia penerbangan 1618, terguncang dalam turbulensi, mengakibatkan para Penumpang bergerak bingung.

   Uskup Aringarosa tak merasakannya.

   Pikirannya sedang berada di masa depan Opus Dei.

   Dia sangat ingin tahu bagaimana kemajuan rencana di Paris.

   Dia berharap dapat menelepon Silas.

   Namun tak bisa.

   Guru telah mencegahnya tadi.

   "Ini untuk keselamatanmu,"

   Jelas Guru, berbahasa Inggris dengan aksen Prancis.

   "Aku cukup mengenal peralatan komunikasi elektronik yang kutahu dapat disadap. Akibatnya dapat berbahaya untukmu."

   Aringarosa tahu Guru benar.

   Guru tampaknya orang yang betul-betul berhatihati.

   Dia tak mengatakan identitasnya kepada Aringarosa namun dia dapat membuktikan bahwa dirinya patut dipatuhi.

   Lagi pula, dia telah mendapatkan informasi yang sangat rahasia.

   Nama-nama empat anggota tertinggi persaudaraan! Ini adalah salah satu dari tindakan-tindakan yang meyakinkan uskup itu bahwa Guru memang bisa memberikan ganjaran yang hebat yang dia akui bisa ia berikan.

   "Uskup,"

   Kata Guru padanya.

   "Aku sudah mengatur semuanya. Untuk menjalankan rencanaku, kau harus membiarkan Silas hanya berbicara padaku untuk beberapa hari saja. Kalian berdua tidak akan saling berbicara. Aku akan berkomunikasi dengannya melalui saluran-saluran yang aman."

   "Anda akan memperlakukannya dengan hormat?"

   "Seorang yang percaya berhak mendapatkan yang terbaik."

   "Bagus sekali. Saya mengerti kalau begitu. Silas dan saya tidak akan berbicara hingga ini semua selesai."

   "Aku melakukan ini untuk melindungi identitasmu, demi Silas, dan investasiku."

   "Investasi Anda?"

   "Uskup, jika semangatmu sendiri untuk terus bergerak maju mengakibatkanmu masuk penjara, kau tidak akan bisa membayar upahku."

   Uskup tersenyum.

   "Benar sekali. Keinginan kita sejalan, semoga berhasil."

   Dua puluh juta euro, pikir Uskup.

   Sekarang dia menatap luar jendela pesawat.

   Jumlah itu kira-kira sama dengan dalam dolar Amerika.Jumlahyang sedikituntuksesuatuyangkuat.

   Dia merasakan adanya keyakinan yang dibarui yang tak digagalkan oleh Guru dan Silas.

   Uang dan keyakinan adalah motivasi yang kuat.

   "UVE PLAISANTERIE numerique?"

   Bezu Fache sangat marah, dan tak percaya, mendelik pada Sophie Neveu. Sebuah lelucon numeris? "Dugaan profesionalmu tentang kode SauniEre adalah sejenis kelakar matematika?"

   Fache sama sekali tidak mengerti pada kekurangajaran perempuan itu.

   Tidak saja dia menyerobot masuk tanpa izin Fache, namun sekarang Sophie berusaha meyakinkannya bahwa pada saat-saat terakhir hayatnya, SauniEre telah terinspirasi untuk meninggalkan lelucon matematis? "Kode ini,"

   Jelas Sophie dalam bahasa Prancis yang cepat.

   "merupakan bentuk sederhana dari tujuan yang tak masuk akal. Jacques SauniEre pastilah sudah tahu bahwa kita akan langsung melihatnya."

   Dia menarik secarik kartu dari saku sweternya dan memberikannya kepada Fache.

   "ini deskripsinya."

   Fache menatap kartu itu. 1--1-2-3-5-8-13-21

   "Ini?"

   Dia membentak.

   "Yang kau kerjakan hanyalah menyusun nomor nomor itu dengan urutan makin membesar!"

   Sophie benar-benar memiliki keberanian untuk tersenyum puas.

   "Memang."

   Suara Fache turun sekali hingga seperti suara perut.

   "Agen Neveu, aku tidak tahu apa maksudmu dengan ini, tetapi kusarankan untuk menjelaskannya segera."

   Dia menatap Langdon dengan cemas, yang berdiri dekat mereka dengan telepon tertekan pada telinganya, tampaknya masih mendengarkan pesan dari Kedutaan Besar A.S. Dari tarikan wajah Langdon yang kelabu, dia mengira pesan itu pastilah pesan buruk.

   "Kapten,"

   Ujar Sophie, nada suaranya menantang sekali.

   "rangkaian nomor yang ada di tangan Anda itu adalah salah satu dari deret ukur matematika yang paling terkenal dalam sejarah."

   Fache tidak tahu bahwa ada deret ukur matematika yang berkualitas dan terkenal, dan dia jelas tidak menghargai nada suara Sophie yang terdengar masa bodoh itu.

   "Ini adalah rangkaian Fibonacci,"

   Jelas Sophie, mengangguk pada secarik kertas di tangan Fache.

   "Sebuah deret ukur yang setiap angka sama dengan jumlah dari dua angka di depannya."

   Fache mempelajari nomor-nomor itu. Setiap nomor memang merupakan jumlah dari dua nomor di depannya, namun Fache masih tetap tak dapat membayangkan apa hubungannya kematian SauniEre.

   "Ahli matematika Leonardo Fibonacci menciptakan rangkaian nomor ini pada abad ketiga belas. Jelas, bukanlah sekadar kebetulan bahwa deret angka yang ditulis SauniEre di lantai merupakan bagian dari deret angka Fibonacci yang terkenal itu."

   Fache menatap perempuan muda itu beberapa saat.

   "Baik, jika itu bukan kebetulan, katakan padaku mengapa Jacques sauniEre memilih untuk melakukan itu. Maksudnya apa?Apaartinya ini? Sophie menggerakkan bahunya.

   "Sama sekali bukan apapun. Memang itu tujuannya. Hanya sebuah lelucon kesederhanaan kriptografi. Seperti menyalin kata-kata dari sebuah puisi terkenal dan mengacaknya untuk melihat apakah ada orang mengenal kata-kata tersebut."

   Fache melangkah penuh ancaman ke depan, mendekatkan wajahnya hanya beberapa inci saja dari wajah Sophie.

   "Aku betul-betul mengharapkanmu memberikan penjelasan yang lebih memuaskan dari sekadar itu saja. Wajah Sophie yang lembut berubah menjadi keras ketika dia mencondongkan wajahnya.

   "Kapten, mengingat apa yang telah Anda kerjakan malam ini di sini, saya pikir Anda mungkin akan senang karena tahu bahwa SauniEre sedang mempermainkan Anda. Saya akan menginformasikan kepada direktur Kriptografi bahwa Anda tak lagi memerlukan bantuan kami."

   Dengan itu Sophie berputar dan berjalan ke arah dia masuk tadi.

   Fache terpaku, menatapnya menghilang dalam kegelapan.

   Apa dia gila? Sophie Neveu baru saja menegaskan lagi sebuah lesuicideprofessionnel.

   Fache beralih ke Langdon, yang masih bertelepon, tampak lebih serius dari sebelumnya, mendengarkan dengan lebih saksama pesan teleponnya.

   Kedutaan Besar AS.

   Bezu Fache membenci banyak hal...namun hanya ada sedikit hal yang membuatnya lebih marah daripada amarahnya kepada Kedutaan Besar A.S.

   Fache dan Duta Besar sering berselisih tentang pembagian kewenangan--pertengkaran mereka yang paling biasa adalah penerapan hukum bagi warga Amerika yang berkunjung.

   Hampir setiap hari, DCPJ menangkap seorang pelajar Amerika dari program pertukaran pelajar karena memiliki obat bius, para pengusaha Amerika yang mengencani pelacur di bawah umur, turis Amerika yang mencuri belanjaan atau merusak properti.

   Secara hukum, kedutaan Besar A.S.

   dapat ikut membantu dengan mengusir mengusir mereka pulang ke A.S., dan di sana mereka hanya akan menerima pukulan pada pergelangan tangan.

   Dan Kedutaan Besar hanya melakukan itu saja, tanpa kecuali.

   L'emasculationdela PoliceJudiciaire, begitu Fache menyebutnya.

   Paris Match baru saja mengeluarkan sebuah kartun sindiran, melukiskan Fache sebagai anjing polisi, mencoba mengigigit seorang penjahat Amerika, tetapi tak sanggup karena terantai pada Kedutaan Besar AS.

   Tidakmalamini, kata Fache pada dirinya sendiri.Adayangdipertaruhkan.

   Saat itu juga Robert Langdon menutup teleponnya.

   Dia tampak pucat.

   "Semua beres?"

   Tanya Fache. Dengan lemah Langdon menggelengkan kepalanya. Kabar buruk dari rumah, Fache menerka. Dia melihat Langdon sedikit berkeringat ketika dia mengambil kembali teleponnya "Sebuah kecelakaan,"

   Langdon tergagap, menatap Fache dengan ekspresi aneh.

   "Seorang teman ...."

   Dia ragu-ragu.

   "Aku harus pulang, segera pagi ini."

   Fache yakin tarikan wajah Langdon itu bukan pura-pura, dan dia juga ikut merasakannya, seolah-olah ketakutan itu samar-samar terlihat pada mata orang Amerika itu.

   "Saya ikut prihatin"

   Kata Fache sambil menatap Langdon dengan saksama.

   "Anda mau duduk?"

   Dia menunjuk pada satu bangku yang ada di galeri. Langdon mengangguk begitu saja dan melangkah ke bangku itu. Dia berhenti, tampak semakin bingung saja.

   "Sebenarnya, kukira aku perlu ke kamar kecil."

   Fache mengerutkan keningnya karena penundaan itu.

   "Kamar kecil. Tentu saja. Mari kita istirahat beberapa menit."

   Dia menunjuk ke gang, arah mereka masuk tadi.

   "Kamar kecil ada dibelakang kantor kurator."

   Langdon ragu-ragu, sambil menunjuk ke arah yang lain ke arah ujung koridor Galeri Agung.

   "Saya rasa ada kamar yang lebih dekat di akhir koridor sana."

   Fache tahu, Langdon benar. Mereka berada pada duapertiga panjang koridor, dan gang buntu Galeri Agung berakhir pada sepasang kamar kecil.

   "Saya perlu temani Anda?"

   Langdon menggelengkan kepalanya, sudah bergerak makin ke dalam galeri.

   "Tidak perlu. Saya ingin sendirian beberapa menit saja."

   Fache tidak khawatir karena Langdon berjalan sendiri ke sisa panjang koridor ini.

   Dia merasa tenang karena tahu bahwa Galeri Agung merupakan jalan buntu dan jalan keluar satu-satunya adalah ujung yang lain -gerbang yang mereka terobos tadi.

   Walaupun peraturan keselamatan kebakaran Prancis mensyaratkan beberapa ruang tangga untuk sebuah gedung sebesar ini, namun ruang tangga tersebut telah secara otomatis terkunci ketika SauniEre menyentuh sistem keamanan.

   Dijamin, sistem itu sekarang telah dipasang kembali, membuka kunci ruang tangga, tetapi itu tidak masalah -pintu-pintu keluar, jika terbuka, akan mematikan alarm kebakaran dan dijaga oleh agenagen DCPJ.

   Langdon tidak mungkin dapat pergi tanpa sepengetahuan Fache.

   "Saya perlu ke kantor SauniEre lagi sebentar,"

   Kata Fache.

   "Harap Anda langsung menyusul ke sana. Ada yang masih harus kita diskusikan."

   Langdon melambai, tanpa kata ketika dia menghilang dalam kegelapan.

   Fache berputar dan berjalan dengan marah ke arah yang berlawanan.

   Tiba di pintu gerbang, dia menerobos ke bawah, keluar dari Galeri Agung, berjalan ke gang, dan bergegas masuk ke pusat komandoo di kantor SauniEre.

   "Siapa yang mengizinkan Sophie Neveu memasuki gedung!"

   Fache berteriak. Collet-lah yang pertama menjawabnya.

   "Dia mengatakan kepada penjaga di luar bahwa dia telah berhasil memecahkan kode."

   Fache menatap ke sekelilingnya.

   "Dia sudah pergi?"

   "Dia tak bersama Anda?"

   "Dia sudah pergi."

   Fache mengerling pada gang yang gelap.

   Tampaknya Sophie tidak berminat untuk singgah dan bercakapdengan para agen lainnya ketika dia keluar.

   Untuk sesaat, Fache mempertimbangkan untuk menghubungi para penjaga di luar dan mengatakan untuk menghentikan Sophie dan membawanya masuk lagi sebelum perempuan itu meninggalkan tempat ini.

   Kemudian dia berpikir lebih baik.

   Itu hanya karena harga dirinya saja ...

   menginginkan kata-kata pamitan.

   Dia cukup banyak mengalami gangguan malam ini.

   BicaradenganagenNeveunantisaja.

   katanya pada diri sendiri.

   Dia sudah ingin memecatnya.

   Sambil mengusir Sophie dari pikirannya, Fache menatap sejenak patung kesatria yang berdiri di atas meja SauniEre.

   Kemudian dia beralih ke Collet.

   "Kau melihatnya?"

   Collet mengangguk cepat dan memutar laptopnya ke arah Fache. Titik merah tampak dengan jelas pada gambar bagan ruangan, berkedip dalam ruangan yang bertuliskan TOILETTES PUBLIQUES.

   "Bagus,"

   Kata Fache, menyalakan rokok dan berjalan ke gang.

   "Aku harus menelepon. Pastikan Langdon hanya ke kamar keci1."

   ROBERT LANGDON merasa bingung ketika dia melangkah cepat menuju ujung Galeri Agung.

   Pesan telepon Sophie terus mengiang dalam benaknya.

   Pada ujung koridor itu, tanda-tanda menyala bertandakan simbol-simbol untuk kamar kecil membawanya ke kumpulan pemisah ruangan yang menampilkan lukisan-lukisan Italia dan menyembunyikan kamar-kamar kecil itu dari pandangan.

   Akhirnya dia menemukan pintu untuk kamar kecil pria.

   Langdon masuk dan menyalakan lampu.

   Ruangan itu kosong.

   Dia berjalan ke tempat cuci tangan, dan memercikkan air pada wajahnya dan mencoba untuk bangun.

   Lampu-lampu berpendar mencolok memantul pada keramik dingin, dan ruangan itu berbau amonia.

   Ketika dia mengeringkan wajahnya, pintu terbuka di belakangnya.

   Dia berputar.

   Sophie Neveu masuk, mata hijaunya bersinar ketakutan.

   "Terima kasih Tuhan, kau datang. Kita tak punya banyak waktu."

   Langdon berdiri di samping tempat cuci tangan, bingung pada kriptografer DCPJ, Sophie Neveu.

   Hanya beberapa menit yang lalu Langdon mendengarkan pesan teleponnya, dan berpikir bahwa ahli kriptografi yang baru datang itu gila.

   Namun demikian, semakin lama dia mendengarkan, semakin dia tahu bahwa Sophie berkata jujur.

   Jangan bereaksi pada pesan.

   Dengarkansajadengantenang.Andadalambahayasekarang.Ikutipetunjukpetunjuk saya dengan saksama.

   Penuh dengan memutuskan untuk betul-betul melakukan yang ketidakyakinan, Langdon disarankan Sophie.

   Dia mengatakan kepada Fache bahwa pesan telepon itu adalah tentang teman yang terluka di negerinya.

   Kemudian dia meminta untuk pergi ke kamar kecil di ujung Galeri Agung.

   Sophie berdiri di depannya sekarang, masih terengah setelah kembali melalui jalan yang sama ke kamar kecil dengan cepat.

   Dalam sinar lampu berpendar, Langdon terkejut melihat bahwa sinar keras pada wajah Sophie tadi sebenarnya terpancar dari wajah yang lembut.

   Hanya tatapan matanya yang tajam dan bisa dibandingkan dengan lukisan manusia karya Renoir...

   terselubung namun nyata, dengan kepolosan yang memantulkan misteri.

   "Saya ingin memperingatkan Anda, Pak Langdon ...,"

   Sophie mulai, masih terengah.

   "bahwa Anda dalam sous surveillance cache. Dalam pengamatan ketat."

   Ketika dia berbicara, aksen inggrisnya memantul pada dinding keramik, memberi kesan dalam pada suaranya.

   "Tetapi ... mengapa?"

   Tanya Langdon. Sophie telah memberinya penjelasan di telepon, namun dia ingin mendengar dari bibir Sophie.

   "Karena,"

   Katanya, melangkah mendekati Langdon.

   "Tersangka pertama Fache dalam pembunuhan ini adalahAnda."

   Langdon telah menduga akan mendengar kata-kata itu namun demikian masih saja terdengar sangat aneh.

   Menurut Langdon dipanggil ke Louvre malam ini tidak sebagai ahli simbologi tetapi lebih sebagai tersangka dan merupakan target metode interogasi yang paling populer dari DCPJ -surveillancecachEe, sebuah penipuan yang menjebak.

   Polisi mengundang tersangka dengan tenang ke tempat kejadian perkara dan mengjnterogasinya dengan harapan si tersangka akan sangat gugup dan secara tak sadar membuktikan kejahatannya sendiri.

   "Periksa saku kiri jas Anda,"

   Kata Sophie.

   "Anda akan mendapat bukti bahwa Anda sedang diawasi."

   Langdon merasa semakin ketakutan. Periksasakusaya? Terdengar seperti sulap murahan.

   "Periksa sajalah."

   Dengan bingung, Langdon memasukkan tangannya ke dalam saku kiri jas wolnya -yang tak pernah digunakannya.

   Dia meraba-raba di dalam dan tak menemukan apa pun..

   Apa yang kaucari? Dia mulai bertanya-ranya mungkin saja Sophie memang gila.

   Kemudian jemarinya menyentuh sesuatu yang tak terduga.

   Kecil dan keras.

   Menjepit benda kecil itu dengan jemarinya, Langdon kemudian mengeluarkannya dan menatapnya dengan heran.

   Sebuah cakram metal berbentuk kancing baju seukuran baterei jam tangan.

   Dia belum pernah melihatnya.

   "Apa sih ...?"

   "Titik pelacak GPS,"

   Kata Sophie.

   "Terus-menerus mengirim keberadaannya ke satelit Global Positioning System yang dapat dipantau oleh DCPJ. Kami menggunakan itu untuk memantau posisi orang lain. Pantauannya tepat dalam jarak dua kaki, dapat memantau ke seluruh dunia. Anda dalam kekang elektronik. Agen yang menjemput Anda di hotel menyisipkannya ke saku Anda sebelum Anda meninggalkan kamar."

   Langdon mengingat kembali kejadian di kamar hotelnya...mandi cepatnya, berpakaian, agen DCPJ dengan sopan memegangi jas wolnya ketika mereka meninggalkan kamar.Diluardingin,pakLangdon, kata agen itu.Musimsemi di Paris sama sekali bukan main-main.

   Langdon berterima kasih dan menerima jas.

   Mata zaitun Sophie menatap tajam.

   "Saya tak mengatakan tentang titik pelacakan itu kepada Anda tadi, karena saya tak mau Anda memeriksa saku Anda di depan Fache. Dia tak tau Anda telah menemukannya."

   Langdon tak tahu bagaimana harus menanggapinya.

   "Mereka memasangi alat pelacak itu karena mereka takut Anda akan lari."

   Dia berhenti sejenak.

   "Sebenarnya, mereka berharap Anda akan lari; akan membuat kasus mereka menjadi lebih kuat.' "Mengapa saya harus lari!"

   Tanya Langdon.

   "Saya tak bersalah!"

   "Fache berpendapat sebaliknya."

   Dengan marah, Langdon berjalan ke arah tempat untuk membuang alat pelacak itu.

   "Jangan!"

   Sophie mencekal tangan Langdon dan menghentikannya.

   "Biarkan itu di dalam saku Anda. Jika Anda membuangnya, mereka akan tahu Anda telah menemukan alat itu. Satu-satunya alasan mengapa Fache membiarkan Anda sendirian adalah karena dia dapat memantau keberadaan Anda. Jika dia mengira Anda telah tahu apa yang dilakukannya ...."

   Sophie tak menyelesaikan pikirannya. Dia hanya mengambil cakram metalik itu dari tangan Langdon dan memasukkannya lagi ke dalam jas wolnya.

   "Biarkan alat pelacak itu tetap bersama Anda. Paling tidak untuk sementara."

   Langdon merasa kalah.

   "Bagaimana Fache dapat yakin bahwa sayalah pembunuh Jacques SauniEre!"

   "Dia mempunyai alasan yang agak meyakinkan."

   Ekspresi Sophie muram.

   "Ada sebuah bukti di sini yang Anda belum lihat."

   Langdon hanya dapat menatap.

   "Anda ingat tiga baris teks yang ditulis SauniEre di atas lantai?"

   Langdon mengangguk. Angka-angka dan kata-kata tersebut tercetak dalam benaknya. Suara Sophie sekarang menjadi bisikan.

   "Sialnya, apa yang Anda lihat bukanlah pesan keseluruhannya. Ada baris keempat yang difoto oleh Fache dan dihapusnya sebelum Anda tiba."

   Walau Langdon tahu bahwa tinta takpermanen dari spidol dapat dengan mudah terhapus, dia tidak mengerti mengapa Fache menghapus bukti itu.

   "Baris terakhir pesan itu,"

   Kata Sophie.

   "merupakan sesuatu yang Fache tak mau Anda ketahui."

   Dia berhenti sejenak.

   "Setidaknya hingga dia selesai dengan Anda."

   Sophie mengeluarkan selembar hasil cetakan komputer dari saku sweternya dan mulai membuka lipatannya.

   "Fache telah mengirim gambar-gambar dari tempat kejadian kriminal ke Departemen Kriptologi lebih awal malam ini dengan harapan kami dapat membayangkan apa yang dimaksud dalam pesan SauniEre tersebut. Ini adalah foto dari pesan utuh tersebut."

   Dia memberikan foto itu kepada Langdon.

   Dengan bingung Langdon melihat gambar itu.

   Foto close up itu memperlihatkan pesan bersinar di atas lantai parket.

   Baris terakhir memukul Langdon seperti sebuah tendangan pada perutnya.

   13-3-2-21 -1-1-8-5 0, Draconian devil! Oh, lame saint! P.S.

   Cari Robert Langdon UNTUK BEBERAPA detik Langdon menatap dalam keheranan pada foto pesan tambahan SauniEre.

   PS.

   Cari Robert Langdon.

   Dia merasa lantai di bawahnya terangkat.

   SauniEre meninggalkan pesan tambahan dengan namaku? Dalam mimpi terburuknya pun Langdon tak dapat membayangkan mengapa.

   "Sekarang Anda mengerti,"

   Ujar Sophie, matanya mendesak.

   "mengapa Fache menyuruh Anda datang ke sini malam ini, dan mengapa Anda tersangka utamanya?"

   Satu-satunya yang dimengerti Langdon pada saat itu adalah mengapa Fache begitu puas ketika Langdon mengatakan bahwa SauniEre akan menyebutkan nama pembunuhnya. CariRobertLangdon.

   "Mengapa SauniEre menulis seperti itu?"

   Tanya Langdon, kebingungannya menjadi kemarahan.

   "Mengapa saya ingin membunuh SauniEre?"

   "Fache juga belum menemukan sebuah motif, tetapi dia telah merekam semua percakapannya dengan Anda malam ini, dengan harapan Anda akan mengungkapkannya."

   Langdon membuka mulutnya, namun tak satu kata pun terucap.

   "Ada mikrofon kecil menempel pada tubuhnya,"

   Sophie menjelaskan.

   "Itu terhubung dengan transmitter dalam sakunya yang mengirimkan sinyal itu ke pos komando."

   "Ini tidak masuk akal,"

   Langdon marah.

   "Saya punya alibi. Saya langsung kembali ke hotel begitu ceramah saya selesai. Anda bisa menanyakan itu kepada penerima tamu di hotel."

   "Fache telah melakukannya. Laporannya menunjukkan Anda meminta kunci kamar Anda pada penerima tamu itu pada pukul setengah sebelas malam. Sialnya, pembunuhan itu terjadi pada hampir pukul sebelas malam. Anda bisa saja dengan mudah meninggalkan kamar Anda tanpa terlihat orang lain."

   "Ini gila! Fache tak punya bukti."

   Mata Sophie melebar seolah berkata.Takpunyabukti? "Pak langdon, nama Anda tertulis di atas lantai di samping mayat itu, dan dalam agendanya SauniEre mengatakan bahwa Anda bersamanya pada waktu yang sama dengan waktu pembunuhan itu terjadi."

   Dia berhenti sejenak.

   "Fache memiliki bukti lebih dari cukup untuk membawa Anda ke penjara untuk diinterogasi."

   Langdon tiba-tiba merasa membutuhkan seorang pengacara.

   "Saya tidak melakukannya."

   Sophie mendesah.

   "Ini bukan televisi Amerika, Pak Langdon. Di Prancis, hukum melindungi polisi, bukan penjahatnya. Sialnya, dalam kasus ini ada juga pertimbangan media. Jacques SauniEre merupakan orang besar dan dicintai di Paris, dan pembunuhannya akan menjadi berita di pagi hari. Fache akan menjadi tertekan Untuk membuat pernyataan, dan dia akan tampak jauh lebih baik jika sudah memiliki seorang tersangka di dalam penjara. Apakah Anda bersalah atau tidak, Anda hampir pasti akan ditahan oleh DCPJ sampai mereka mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi."

   Langdon merasa seperti binatang yang terperangkap.

   "Mengapa Anda mengatakan ini semua kepada saya?"

   "Karena, Pak Langdon, saya percaya Anda tak bersalah."

   Sophie menatap ke tempat lain sejenak dan kembali menatap mata Langdon.

   "Dan juga karena ini sebagian merupakan kesalahan saya sehingga Anda bermasalah seperti ini."

   "Maaf? Kesalahan Anda bahwa SauniEre mencoba menjebak saya?"

   "SauniEre tidak mencoba menjebak Anda. Ini sebuah kesalahan. Pesan di atas lantai itu ditujukan kepada saya."

   Langdon memerlukan satu menit untuk mengerti.

   "Maaf ?"

   "Pesan itu bukan untuk polisi. Dia menulis itu untuksaya. Saya pikir, dia terpaksa melakukan semua itu dengan sangat terburu-buru sehingga dia tidak sadar bagaimana itu akan dilihat oleh polisi."

   Dia berhenti sejenak.

   "Kode angka itu tak berarti apa pun. SauniEre menulisnya hanya untuk memastikan bahwa penyeidikan itu akan melibatkan kriptografer, memastikan bahwa saya akan tahu sesegera mungkin apa yang terjadi pada dirinya."

   Langdon merasa semakin tak mengerti.

   Apakah Sophie Neveu telah gila atau tidak, itu tidak penting, namun setidaknya Langdon sekarang mengerti mengapa Sophie ingin menolongnya.

   PS Robert Langdon.

   Sophie tampaknya percaya bahwa kurator itu telah meninggalkan pesan tambahan baginya untuk mencari Langdon.

   "Tetapi mengapa Anda. berpikir pesan itu untuk Anda?"

   "VitruvianMan itu,"

   Kata Sophie datar.

   "Sketsa istimewa itu adalah karya Da Vinci yang paling saya suka. Malam ini dia menggunakannya untuk menarik perhatian saya."

   "Sebentar. Anda mengatakan bahwa kurator itu tahu seni kegemaran Anda?"

   Dia mengangguk.

   "Maafkan saya. Ini semua menjadi kacau. Jacques SauniEre dan saya ..."

   Suara Sophie tercekat, dan Langdon mendengar ada kesedihan yang mendadak di sana, masa lalu yang menyakitkan, yang tiba-tiba muncul ke permukaan.

   Sophie dan SauniEre tampaknya memiliki hubungan khusus.

   Langdon mengamati perempuan cantik yang berdiri di depannya.

   Dia sangat tahu bahwa lelaki berumur Prancis sering memilih kekasih yang jauh lebih muda.

   Walau begitu, Sophie Neveu tampaknya tak pantas menjadi "perempuan simpanan".

   "Kami punya hubungan sepuluh tahun yang lalu,"

   Kata Sophie suaranya berbisik sekarang.

   "Setelah itu kami hampir tak berbicara lagi. Malam ini, ketika Kripto mendapat telepon itu dan menyatakan dia telah dibunuh, dan saya melihat mayatnya, dan teks di atas lantai, saya sadar, dia berusaha mengirimi saya sebuah pesan."

   "KarenaVitruvianMan itu?"

   "Ya. Dan huruf-huruf P.S."

   "PostScript?"

   Dia menggelengkan kepalanya.

   "P.S. adalah inisial saya.".

   "Tetapi nama Anda Sophie Neveu."

   Dia mengalihkan tatapannya.

   "P.S. adalah nama panggilannya pada saya ketika saya tinggal bersamanya."

   Dia tersipu.

   "Artinya PrincesseSophie."

   Langdon tak punya jawaban.

   "Saya tahu, itu konyol,"

   Katanya lagi.

   "Tetapi itu tahunan yang lalu. Saat saya masih seorang gadis kecil."

   "Anda mengenalnya ketika Anda masihgadis kecil?"

   "Sangat kecil,"

   Katanya, matanya berkaca-kaca karena emosi.

   "Jacques SauniEre adalah kakek saya."

   "DI MANA Langdon?"

   Tanya Fache, menghisap rokok terakhirnya ketika dia melangkah ke dalam ruang pos komando.

   "Masih di kamar kecil, Pak."

   Letnan Collet telah menduga pertanyaan itu akan meluncur. Fache menggerutu.

   "Lama sekali."

   Kapten menatap titik GPS itu melalui bahu Collet, dan Collet hanya dapat mendengar roda-roda berputar.

   Fache sedang berusaha menahan keinginannya untuk memeriksa Langdon.

   Idealnya, seseorang dalam pengamatan diizinkan untuk merasa aman, dimanjakan setiap saat dan dibiarkan sebebas mungkin.

   Langdon harus kembali atas kemauannya sendiri.

   Namun ini hampir sepuluh menit.

   Terlalu lama.

   "Ada kemungkinan Langdon mempermainkan kita?"

   Tanya Fache. Collet menggelengkan kepalanya.

   "Kita masih melihat pergerakan kecil di dalam kamar kecil pria, jadi alat GPS masih berada padanya. Mungkin dia merasa mual? Jika dia menemukan alat itu, dia mungkin sudah memindahkannya dan mencoba untuk lari."

   Fache melihat jam tangannya.

   "Baik."

   Namun Fache masih saja tampak sibuk.

   Sepanjang malam, Collet merasakan ketegangan yang tak biasa pada diri sang kapten.

   Biasaya dia selalu bersikap objektif dan tenang di bawah tekanan sekalipun, namun malam ini Fache tampak emosional, seolah ini adalah masalah pribadinya.

   Tidak mengherankan, pikir Collet.

   Fache betul-betul memerlukan penangkapan ini.

   Akhir-akhir ini, Dewan Menteri dan media massa telah menjadi lebih kritis terhadap taktik Fache yang agresif, konfliknya dengan kedutaan-kedutaan besar yang berpengaruh, dan anggaran yang berlebihan untuk pembelian teknologi baru.

   Malam ini, sebuah penangkapan seorang Amerika yang menggunakan sistem teknologi tinggi dan bergengsi akan dapat menghentikan kritik-kritik terhadap Fache, dan membantunya menyelamatkan pekerjaannya untuk beberapa tahun ke depan hingga dia dapat pensiun dengan nyaman.

   Tuhan tahu, dia butuh pensiun itu, pikir Collet.

   Fanatisme Fache pada teknologi telah merusak dirinya sendiri, baik secara profesional maupun secara personal.

   Fache digosipkan tabungannya dalam kegilaan teknologi telah menginvestasikan seluruh beberapa tahun silam hingga dia bangkrut.

   DanFacheadalah,lelakiyangselalumengenakankemejabermutu tinggi.

   Malam ini masih ada banyak waktu.

   Gangguan Sophie Neveu yang aneh, walau menyebalkan, toh hanya merupakan kerut merut kecil saja.

   Perempuan itu sudah pergi, dan Fache masih memunyai kartu untuk dimainkan.

   Dia masih belum memberi tahu Langdon bahwa namanya tertulis oleh korban di atas lantai.PS.CariRobertLangdon.

   Reaksi orang Amerika itu pada bukti kecil itu akan mengungkap misteri ini.

   "Kapten?"

   Salah satu agen DCPJ memanggil dari seberang.

   "Saya rasa Anda lebih balk menenima telepon ini,"

   Dia memegang gagang telepon dan tampak prihatin. Siapa itu?"

   Tanya Fache. Agen itu mengerutkan alisnya.

   "Ini Direktur Kriptograf kita."

   "Dan?"

   "Ini tentang Sophie Neveu, Pak. Ada yang tak beres."

   INI WAKTUNYA.

   Silas merasa kuat ketika dia melangkah keluar dari Audi hitam itu.

   Angin malam meniup jubah longgarnya.

   Angin perubahan menghembus di udara.

   Dia tahu, kewajiban yang harus dilakukannya lebih memerlukan kelembutan daripada kekuatan, dan dia meninggalkan pistolnya di dalam mobil.

   Guru telah menyediakan baginya pistol Heckler Koch USP 40 berpeluru 13.

   SenjatakematiantaklayakdalamrumahTuhan.

   Plaza di depan gereja anggun itu sangat sunyi pada jam seperti sekarang ini.

   Satu-satunya jiwa yang tampak di kejauhan gereja adalah sepasang pelacur remaja yang memamerkan tubuh mereka pada lalu-lintas turis-turis malam.

   Tubuh mereka yang mulai dewasa mengirimkan kerinduan pada bagian bawah tubuh Silas.

   Pahanya menegang dan dengan sendirinya membuat cilice berdurinya semakin mengetat dan menghunjami dagingnya dengan duri sehingga terasa sangat sakit.

   Gairahnya itu menguap dengan cepat.

   Selama sepuluh tahun sekarang ini, Silas dengan setia telah meninggalkan segala bentuk kegemaran seksual, bahkan yang swadaya.

   Itu karenaTheWay.

   Dia tahu dia telah mengorbankan banyak hal untuk mengikuti Opus Dei, namun dia telah menerima lebih banyak lagi sebagai imbalannya.

   Sebuah sumpah untuk tetap membujang dan pelepasan semua harta pribadi hampir tak tampak seperti sebuah pengorbanan.

   Mengingat asal muasal dirinya yang miskin dan kengerian seksual yang telah dilaluinya dalam penjara, terus membujang merupakan tantangan yang menyenangkan.

   Sekarang, dia telah kembali ke Prancis untuk pertama kalinya setelah ditangkap dan dikirim ke penjara Andorra.

   Si1as dapat merasakan negerinya mengujinya, dengan menyeret-nyeret kenangan kekejaman dari jiwanya yang telah bersih.

   Kau telah dilahirkan kembali, dia mengingatkan dirinya sendiri.

   Pelayanannya pembunuhan kepada Tuhan hari ini telah membebaskannya dari dosa dan itu merupakan pengorbanan yang dia tahu harus disembunyikannya dalam hati seumur hidupnya.

   Ukurankeyakinanmuadalahukuransakityangbisakautahan.

   Guru telah mengatakan itu kepadanya.

   Silas tak asing lagi pada rasa sakit dan merasa bersemangat untuk membuktikan dirinya kepada Guru, orang yang telah meyakinkan dirinya bahwa tindakannya ini ditakdirkan oleh kekuatan yang lebih tinggi.

   "Hago la obra de Dios,"

   Bisik Silas, sekarang bergerak ke arah pintu masuk gereja.

   Dia berhenti di dalam bayangan pintu masuk yang besar, menarik napas dalam.

   Dia segera sadar tentang apa yang akan dilakukannya dan apa yang menantinya di dalam.

   Batu kunci itu.

   Itu akan memimpin kita menuju ke tujuan akhir.

   Dia menaikkan kepalan tangan putih hantunya dan menggedor pintu itu tiga kali.

   Beberapa saat kemudian, gerendel kayu besar itu telah bergerak.

   SOPHiE BERTANYA-TANYA berapa lama lagi Fache akan sadar bahwa dia belum keluar gedung ini.

   Melihat bahwa Langdon jelas kewalahan, Sophie ragu apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan memojokkan Langdon di sini, di kamar kecil pria.

   Apalagiyangbisakulakukan? Dia membayangkan tubuh kakeknya, bugil dan terentang seperti burung elang di atas lantai.

   Ada masa ketika kakeknya itu sangat berarti baginya, namun malam ini, Sophie terkejut juga karena dia tidak merasa bersedih sama sekali untuk kakeknya.

   Sekarang Jacques SauniEre merupakan orang asing baginya.

   Hubungan mereka telah menguap begitu cepat pada suatu malam bulan Maret ketika dia berumur 22 tahun.Sepuluhtahunyanglalu.

   Ketika itu Sophie pulang beberapa hari lebih awal dari sebuah universitas di Inggnis dan secara tidak sengaja melihat kakeknya sedang melakukan sesuatu yang betulbetul tak seharusnya dilihat Sophie.

   Sophie sama memercayainya hingga saat ini.

   Jikaakutakmelihatnyadenganmatakusendiri...

   Terlalu malu dan bingung untuk memikul upaya sekali tak dapat kakeknya memberi penjelasan, Sophie segera pindah dan mengambil seluruh uang tabungannya, menyewa sebuah flat kecil dengan beberapa orang teman.

   Dia bersumpah tidak akan membicarakan apa yang pernah dilihatnya itu dengan orang lain.

   Kakeknya mencoba menghubunginya, mengiriminya kartu-kartu dan suratsurat, memohon Sophie untuk bertemu dengannya agar dapat dia jelaskan.

   Menjelaskan bagaimana? Sophie tak pernah menjawab kecuali satu kali -untuk melarang kakeknya menelepon atau berusaha bertemu dengannya di tempat umum.

   Dia takut penjelasan kakeknya lebih mengerikan daripada kejadian itu sendiri.

   Hebatnya, SauniEre tak pernah menyerah, dan Sophie sekarang memiiki tumpukan sepuluh tahun surat-surat yang tak pernah dibukanya di dalam lacinya.

   Sophie menghormati kakeknya karena dia tak pernah melanggar larangan cucunya untuk menelpon.

   Sampaisiangtadi.

   "Sophie?"

   Suaranya, mengherankan, terdengar sangat tua pada mesin penjawab Sophie.

   "Aku telah mematuhi keinginanmu sejak lama ... dan menelponmu sekarang ini membuatku sakit, tapi aku harus berbicara denganmu. Ada sesuatu yang mengerikan terjadi."

   Sophie berdiri di dapur flatnya, merasa merinding mendengar lagi suara kakeknya setelah bertahun-tahun. Suara kenangan masa kanak-kanak Sophie.

   "Sophie, kumohon, dengarkan."

   Dia lembutnya membawa kembali berbahasa lnggris, seperti yang dilakukannya ketika Sophie masih kecil.BerbicarabahasaPrancisdisekolah, berbahasa Inggris di rumah.

   "Kau tidak bisa marah selamanya. Apakah kau tidak membaca surat-surat yang kukirim selama bertahun-tahun ini? Apakah kau belum juga mengerti?"

   Dia berhenti sejenak.

   "Kita harus segera bicara, kumohon kabulkan permintaan kakekmu yang satu ini. Telepon aku di Museum Louvre. Langsung. Aku tahu pasti, kau dan aku sedang dalam bahaya besar."

   Sophie menatap mesin penjawab itu.Bahaya? Apa maksudnya? "Putri ...."

   Suara kakeknya bergetar karena emosi yang tak dapat dimengerti Sophie.

   "Aku tahu, aku punya rahasia padamu, dan aku tahu, aku kehilangan cintamu karena itu. Tetapi itu untuk keselamatanmu sendiri. Sekarang kau harus tahu yang sebenarnya. Kumohon, aku harus mengatakan yang sesungguhnya tentang keluargamu."

   Sophie tiba-tiba dapat mendengar hatinya sendiri.

   Keluargaku? Orang tua Sophie telah meninggal ketika dia baru berusia empat tahun.

   Mobil mereka meluncur keluar jembatan, masuk ke dalam sungai berarus deras.

   Nenek dan adik lelakinya juga berada dalam mobil tersebut, dan seluruh keluarga Sophie habis dalam sekejap.

   Sophie punya satu kotak kliping koran yang memastikan hal itu.

   Kata-kata kakeknya itu telah membangkitkan perasaan rindu di seluruh tulang belulangnya.

   Keluargaku! Dalam kilasan singkat dia dapat melihat gambaran dalam mimpinya yang selalu membuatnya terbangun tak terhitung berapa kali, ketika dia masih kecil.Keluargakumasihhidup?Merekapulang? Namun, seperti dalam mimpinya, gambaran itu segera menguap, terlupakan.

   Keluargamusudahmati,Sophie.Merekatidakakanpulang.

   "Sophie ...,"

   Kata kakeknya dalam mesin penjawab.

   "Aku sudah menunggu bertahun-tahun untuk mengatakannya kepadamu. Menunggu saat yang tepat, tetapi sekarang waktu sudah habis. Telepon aku di Louvre. Segera setelah kau mendengar ini. Aku akan menunggu di sini sepanjang malam. Aku khawatir kita berdua dalam bahaya. Banyak yang harus kautahu."

   Pesan itu berakhir.

   Dalam kesunyian, Sophie berdiri gemetar selama beberapa menit.

   Ketika dia mengingat pesan kakeknya itu, hanya satu hal yang masuk akal, dan yang betul-betul merupakan tujuan awal kakeknya.

   Ini hanya pancingan.

   Jelas, kakeknya sangat ingin bertemu dengannya.

   Dia mencoba segala cara.

   Kebencian Sophie padanya semakin dalam.

   Sophie curiga mungkin saja kakeknya akhirnya jatuh sakit dan memutuskan untuk mencoba apa saja supaya Sophie mau mengunjunginya, terakhir kalinya.

   Jika demikian, kakeknya telah berhasil.

   Keluargaku.

   Sekarang dia berdiri di kegelapan kamar kecil pria Musenm Louvre.

   Sophie dapat mendengar gema dari pesan teleponnya kemarin siang.

   Sophie, kita berduamungkindalambahaya.Teleponaku.

   Dia tidak menelepon kakeknya.

   Sekarang, ternyata keragu-raguannya Bahkan dia tak merencanakannya.

   telah sangat tertantang.

   Kakeknya terbaring terbunuh di dalam museumnya sendiri.

   Dan kakeknya telah menulis kode di atas lantai.

   Kode untuknya.

   Dia yakin itu.

   Walau dia tidak mengerti arti pesan itu, Sophie yakin ketakjelasan itu adalah bukti tambahan bahwa pesan itu memang untuknya.

   Kecintaan dan bakat Sophie akan kriptografi muncul karena dia tumbuh dewasa bersama Jacques SauniEre -seorang fanatik akan kode-kode dan teka-teki.

   Berapa banyak hari Minggu yang mereka habiskan untuk mengerjakan kryptogram danteka-teki silangdikoran? Pada usianya yang kedua belas tahun, Sophie dapat menyelesaikan teka teki silang dalam Le Monde tanpa bantuan, dan kakeknya menantangnya lagi dengan teka-teki dalam bahasa Inggris, teka-teki matematika, dan kode-kode pengganti.

   Sophie melahapnya semua.

   Akhirnya Sophie mengalihkan kecintaannya itu menjadi profesi dengan menjadi seorang ahli pemecah kode kepolisian.

   Malam ini bakat kryptografer dalam diri Sophie telah dipaksa untuk menghormati efisiensi kakeknya yang telah menggunakan kode sederhana untuk menyatukan dua orang yang betul-betul tak saling kenal -Sophie Neveu dan Robert Langdon.

   Pertanyaannya adalahmengapa? Sialnya, dilihat dari kesan bingung dalam mata Langdon, Sophie merasa bahwa orang Amerika itu, seperti juga dirinya.

   tak tahu apa-apa mengapa kakeknya mempertemukan mereka berdua.

   Sophie bertanya lagi.

   "Anda dan kakekku berencana untuk berrtemu malam ini. Untuk apa?"

   Langdon tampak benar-benar bingung.

   "Sekretarisnya mengatur pertemuan itu dan tak mengatakan alasan khususnya, dan saya juga tak bertanya. Saya kira, dia hanya mendengar bahwa saya akan berceramah tentang ikonografi pagan dari katedral-katedral Prancis, dan dia tertarik pada topik tersebut, kemudian dia berpikir akan menyenangkan jika bertemu dan minum-minum sambil mengobrol."

   Sophie tak memercayainya.

   Kemungkinan alasan itu sangat lemah.

   Kakeknya tahu lebih banyak tentang ikonografi pagan daripada orang lain di bumi ini.

   Tambahan pula, dia senang menyendiri, bukan seseorang yang senang mengobrol dengan sembarang profesor Amerika kecuali jika ada alasan penting.

   Sophie menarik napas dalam-dalam dan bertanya lagi.

   "Kakekku menelponku kemarin siang dan mengatakan bahwa dia dan aku berada dalam bahaya besar. Kautahu maksudnya?"

   Mata biru Langdon sekarang tersaput keprihatinan.

   "Tidak, tetapi melihat apa yang telah terjadi ...."

   Sophie mengangguk.

   Melihat kejadian-kejadian malam ini, dia pasti bodoh sekali jika tidak merasa takut.

   Dia merasa sangat letih.

   Sophie berjalan ke jendela kaca teba kecil pada ujung kamar kecil itu dan menatap diam melalui lubang pita alarm yang tertanam dalam kaca itu.

   Paling tidak, mereka berada di ketinggian empat puluh kaki.

   Dia mendesah, dan melihat pemandangan Paris yang mengagumkan.

   Pada sebelah kirinya, di seberang Sungai Seine, ada menara Eiffel yang bercahaya.

   Lurus ke depan, Arc de Triomph.

   Dan ke sebelah kanan, tinggi di atas Gunung Montmartre yang curam, ada kubah arabesk Sacre Coeur yang anggun, batunya putih benkilauan seperti gereja yang gemerlap.

   Disini, dari tempat tertinggi di sebelah barat Sayap Denon, jalan utama dari sebelah utara ke selatan Place du Carrousel hampir sama tinggi dengan bangunan yang hanya terpisahkan oleh jalan sempit dengan dinding luar Louvre.

   Jauh di bawah, beberapa truk pengantar malam hari kota ini diam menunggu giliran.

   Lampu mereka menyala seperti berkedip mengejek Sophie.

   "Aku tidak tahu harus berkata apa,"

   Kata Langdon, sambil mendekat di belakangnya.

   "Kakekmu jelas mencoba mengatakan sesuatu kepada kita. Maaf, aku tidak terlalu membantu."

   Sophie berpaling dari jendela, merasakan kesungguhan penyesalan pada suara Langdon yang dalam.

   Walau Langdon sendiri dikelilingi masalah, dia masih mau menolong Sophie.

   Sifat guru dalam dirinya, pikir Sophie, karena dia telah membaca laporan DCPJ tentang tersangka itu.

   Adalah seorang ilmuwan yang benci jika tak tahu sesuatu.

   Kitasamadisitu, pikir Sophie.

   Sebagai pemecah kode, Sophie selalu berusaha menarik arti dari data yang tak jelas.

   Malam ini, dugaan terbaiknya ada1ah apakah Langdon menyadarinya atau tidak, Langdon mempunyai informasi yang sangat dibutuhkannya.

   Putri Sophie, Cari Langdon.

   Seberapa jelas pesan kakeknya itu? Sophie memerlukan waktu yang lebih banyak bersama Langdon.

   Waktu untuk berpikir.

   Waktu untuk memecahkan misteri ini bersama.

   Sialnya, waktu sudah habis.

   Sophie menatap Langdon.

   Dia hanya dapat mengatakan yang dia tahu.

   "Bezu Fache akan membawamu ke penjara sebentar lagi. Aku bisa mengeluarkanmu dari museum ini. Tetapi harus bertindak sekarang."

   Mata Langdon melebar.

   "Kaumau aku melarikan diri?"

   "Itu hal terpandai yang dapat kaulakukan. Jika kau biarkan Fache membawamu ke penjara sekarang, kau akan berminggu-minggu di dalam penjara Prancis sementara DCPJ dan Kedutaan Besar A.S. bertengkar mengenai pengadilan mana yang akan mengadili kasusmu. Tetapi jika kita keluar dari sini, dan berhasil sampai ke kedutaan besarmu, pemerintahmu akan melindungi hakmu sementara kau dan aku membuktikan bahwa kau tidak bersalah dalam kasus pembunuhan ini."

   Langdon tampak tak percaya sama sekali.

   "Lupakan! Fache punya penjaga bersenjata di setiap jalan keluar! Walau kita dapat lolos tanpa tertembak, melarikan diri hanya akan membuatku tampak bersalah. Kau harus mengatakan kepada Fache bahwa pesan di atas lantai itu adalahuntukmu, dan namaku di situ bukanlah sebuah tuduhan."

   "Aku akan melakukannya,"

   Kata Sophie, terburu-buru.

   "tetapi setelah kau aman berada di Kedutaan Besar A.S. Hanya berjarak satu mil dari sini, dan mobilku terparkir di luar museum ini. Berurusan dengan Fache di sini seperti main judi. Kau tak tahu? Fache telah menjadikan ini misinya untuk mernbuktikan kau bersalah. Satu-satunya alasan dia menunda penangkapanmu adalah untuk melaksanakan penyidikannya dengan harapan kau akan berbuat sesuatu sehingga menjadikan kasus ini lebih kuat."

   "Tepat. Seperti melarikan diri?"

   Handphone Sophie berdering di dalam saku sweternya. Mungkin Fache. Dia merogoh sakunya dan mematikan te!eponnya.

   "Pak Langdon,"

   Ujarnya cepat.

   "Aku perlu bertanya padamu untuk terakhir kalinya."Danseluruhmasadepanmumungkintergantungpadanya.

   "Pesan di atas lantai itu jelas bukAn bukti kesalahanmu, tetapi Fache mengatakan kepada tim kami, dia yakin kaulah pembunuh itu. Kau dapat menduga kira-kira alasan apa yang membuat Fache yakin kau bersalah?"

   Langdon terdiam beberapa detik.

   "Tidak."

   Sophie mendesah.

   Berarti Fache berbohong.

   Mengapa, Sophie tak dapat membayangkannya, namun itu bukan yang terpenting saat ini.

   Kenyataannya Bezu Fache berkeras untuk memenjarakan Robert Langdon, apa pun alasannya.

   Sophie membutuhkan Langdon untuk dirinya sendiri, dan dilema ini yang membuat Sophie hanya punya satu kesimpulan logis.

   AkuharusmembawaLangdonkeKedutaanBesarA.S.

   Berpaling ke jendela, Sophie menatap melalui gulungan alarm yang tertanam dalam kaca besar, empat puluh kaki ke bawah yang membuat pening.

   Meloncat dari sini akan membuat kaki Langdon patah.

   Itu paling mujur.

   Sophie membuat keputusan, akhirnya.

   Robert Langdon harus kabur dari Louvre, mau tidak mau.

   "APA MAKSUDMU dia tak menjawab?"

   Fache tampak ragu.

   "Kau menelepon ke ponselnya, bukan? Aku tahu dia membawanya."

   Collet telah mencoba menghubungi Sophie selama beberapa menit.

   "Mungkin baterenya mati, atau deringnya dimatikan."

   Fache tampak tegang setelah berbicara dengan Direktur Kriptograf. Setelah menutup telepon, Fache menuju Collet dan memintanya untuk menelepon Agen Neveu. Sekarang Collet tidak berhasil, dan Fache hilir-mudik seperti singa terperangkap.

   "Mengapa Kripto menelepon, Pak?"

   Tanya Collet. Fache berpaling.

   "Untuk mengatakan bahwa mereka tidak menemukan petunjuk tentang draconia dan orang suci yang lemah."

   "Itu saja?"

   "Tidak, juga untuk mengatakan bahwa mereka baru saja mengenali angkaangka seperti angka-angka Fibonacci, tetapi mereka menduga bahwa deretan itu tak berarti apa-apa."

   Collet bingung.

   "Tetapi mereka sudah mengirim Agen Neveu untuk mengatakan itu kepada kita."

   Fache menggelengkan kepalanya.

   "Mereka tidak mengirim Neveu."

   "Apa?"

   "Menurut direktur itu, karena permintaanku, dia menyeranta seluruh timnya untuk melihat gambar yang telah kukirimkan padanya. Ketika Agen Neveu tiba, dia melihat salah satu dari foto SauniEre dan kode itu, kemudian dia meninggalkan kantor tanpa kata-kata. Direktur itu mengatakan dia tidak heran dengan sikap Neveu. Mungkin saja dia marah karena foto itu."

   "Marah? Dia tak pernah melihat foto mayat?"

   Fache terdiam sesaat.

   "Aku tidak tahu, dan tampaknya direktur itu juga tidak tahu sampai seorang asistennya mengatakan bahwa tampaknya Sophie Neveu adalah cucu Jacques SauniEre."

   Collet tak dapat berkomentar.

   "Direktur itu mengatakan SauniEre padanya, dan dia bahwa Sophie menduga bahwa tak pernah menyebut-nyebut Sophie tidak menghendaki perlakuan istimewa karena mempunyai kakek yang ternama."

   Jelassajadiamarahmelihatfotoitu.. Collet hampir tidak bisa memahami kebetulan yang tak menguntungkan yang dialami perempuan muda itu. Dia harus memecahkan kode yang ditulis oleh anggota keluarganya yang mati. Namun, reaksi Sophie tak masuk akal.

   "Tetapi dia jelas mengenali angkaangka Fibonacci karena dia datang ke sini dan mengatakannya kepada kita. Saya tidak mengerti mengapa dia meninggalkan kantor tanpa mengatakan kepada siapa pun bahwa dia sudah tahu tentang angka-angka itu."

   Collet hanya punya satu skenario tentang perkembangan situasi ini.

   SuaniEre telah menulis kode nomor di atas lantai dengan harapan Fache akan melibatkan kriptografer dalam penyelidikan ini, dengan demikian akan melibatkan juga cucunya.

   Sedangkan sisa pesannya, apakah itu merupakan cara SauniEre berkomunikasi dengan Sophie? Jika demikian, apa sesungguhnya isi pesan itu untuk Sophie? Dan apa hubungannya dengan Langdon? Sebelum Collet merenung lebih jauh, kesunyian museum dipecahkan oleh suara alarm.

   Lonceng itu seolah terdengar dari dalam Galeri Agung.

   "Alarme!"

   Teriak salah satu agen, sambil melihat pemberi tanda itu, pusat keamanan Louvre."GrandeGalerie!ToilletsMessiuers!"

   Fache mendekati Collet.

   "Di mana Langdon?"

   "Masih di kamar kecil pria!"

   Collet menunjuk padi titik merah berkedip pada skema dalam laptopnya.

   "Dia pasti telah memecahkan jendela!"

   Collet tahu, Langdon tidak mungkin berlari jauh.

   Walaupun peraturan kebakaran Paris mensyaratkan bahwa jendela di atas lima belas meter pada gedung umum harus dapat dipecahkan dalam keadaan kebakaran, namun meloncat keluar dari jendela lantai dua Louvre tanpa bantuan tangga dan pengait merupakan bunuh diri.

   Lagi pula, tak ada pepohonan dan rerumputan di ujung sebelah barat dari Sayap Denon itu untuk membantali orang jatuh.

   Tepat di bawah jendela kamar kecil, dua jalan kecil Place du Carrousel berada beberapa kaki dari dinding luar.

   "Ya Tuhan,"

   Seru Collet, sambil menatap layar monitor.

   "Langdon bergerak ke birai jendela!"

   Namun Fache telah bergerak.

   Sambil menarik pistol Manurhin MR-93 dari tempat pistol di bahunya, sang kapten berlari ke luar kantor.

   Collet menatap layar dengan bingung ketika titik berkedip itu tiba di birai jendela dan bertindak yang betul-betul tak terduga.

   Titik itu bergerak ke luar gedung.

   Apayangterjadi? Dia bertanya-tanya.ApakahLangdonmasihdiatas birai atau -"Yesus!"

   Collet terloncat bangun dari duduknya ketika titik itu melesat ke luar dinding.

   Sinyal itu tampak bergetar sebentar, kemudian titik berkedip itu berhenti tiba-tiba pada kira-kira sepuluh yard di luar batas pinggir gedung ini.

   Sambil meraba-raba tombol-tombol kendali, Collet memunculkan peta jalan Paris dan menyesuaikan kembali GPS-nya.

   Kemudian dia melakukan zoom in.

   Sekarang dia dapat melihat beradaan sinyal itu dengan tepat.

   Sinyal itu tak lagi bergerak.

   Dia tergeletak dan betul-betul berhenti di tengah-tengah du Carrousel.

   Langdon telah meloncat.

   FACHE BERLARI ke Galeri Agung ketika radio Collet berbunyi menimpali suara alarm.

   "Dia meloncat!"

   Teriak Collet.

   "Saya melihat sinyal itu berada di luar Place du Carrousel! Di luar jendela kamar kecil! Dan Sekarang tak bergerak sama sekali! Yesus, saya kira Langdon telah bunuh diri!"

   Fache mendengar kata-kata itu, namun itu tidak mungkin. Dia terus berlari. Gang itu terasa tak berujung. Ketika melewati mayat SauniEre, dia melirik pada pembatas ruangan di ujung gang Sayap Denon itu. Alarm semakin mengeras.

   "Tunggu!"

   Suara Collet berteriak lagi dari radio.

   "Dia bergerak! Tuhanku, dia hidup. Langdon bergerak!"

   Fache terus berlari, sambil menyumpahi panjangnya gang itu di setiap Iangkahnya.

   "Langdon bergerak lebih cepat. Dia berlari ke Carrousel. Tunggu ... dia semakin cepat. Dia bergerak terlalu cepat!"

   Tiba di pembatas ruangan, Fache menyelinap melewatinya, melihat ke pintu kamar kecil, dan berlari ke arahnya. Suara dari walkie-talkie sudah tak terdengar karena tertimpa suara alarm.

   "Dia pastilah naik mobil! Saya kira dia di didalam mobil! Saya tak bisa -"

   Suara Collet tertelan oleh suara alarm ketika Fache menyerbu ke dalam kamar kecil dengan pistol teracung.

   Dengan menyipitkan matanya, dia meneliti kamar kecil itu.

   Ruangan-ruangan kecil itu kosong.

   Demikian juga tempat membersihkan diri.

   Mata Fache segera melihat kaca jendela yang pecah di ujung ruangan.

   Dia berlari ke tempat terbuka itu dan melihat ke luar.

   Langdon tak terlihat di mana pun.

   Fache tak dapat membayangkan ada orang yang berani melakukan ini.

   Jika jatuh dari ketinggian itu, dia pasti terluka parah.

   Akhirnya alarm itu dimatikan, dan suara Collet terdengar lagi dari walkietalkie.

   "...bergerak ke selatan ... semakin cepat ... menyeberangi Seine pada Pont du Carrousel!"

   Fache membelok ke kiri.

   Satu-satunya kendaraan di Pont du Carrousel adalah sebuah truk Trailor bergandengan dua, yang bergerak ke selatan menjauh dari Louvre.

   Bak besar terbuka truk itu hanya tertutup dengan atap vinyl, tampak seperti tempat tidur ayun raksasa.

   Fache merinding ketakutan.

   Truk itu, hanya berapa saat yang lalu, berhenti pada lampu merah tepat di bawah jendela kamar kecil itu.

   Risikogila, kata Fache pada dirinya sendiri.

   Langdon tak mungkin tahu apa yang dimuat truk itu di bawah tutup vinylnya.

   Bagaimana jika truk itu membawa baja? Atau semen? Atau sampah? Loncat dari ketinggian empat puluh kaki? Itu gila! "Titik itu kembali!"

   Collet beseru.

   "Dia kembali ke Pont Saints-PEres!"

   Tentu saja, truk Traitor yang telah menyeberangi jembatan memperlambat jalannya dan memutar ke Pont des PEres.

   Jadilah, pikir Fache.

   Merasa puas, dia melihat truk itu menghilang di tikungan.

   Collet telah memberi tahu penjaga di luar lewat radio, sehinga mereka segera meninggalkan Louvre dan masuk ke mobil mereka untuk mengejar, sementara dia sendiri terus mengabarkan perubahan arah truk tersebut, seperti sebuah permainan.

   Sudah selesai, Fache tahu.

   Para agennya akan mengepung truk tersebut dalam beberapa menit saja.

   Langdon tak kan pergi kemana-mana.

   Dia kemudian menyimpan senjatanya.

   Fache keluar dari kamar kecil itu dan berbicara pada Collet lewat radionya.

   "Bawa mobilku. Aku ingin berada di sana ketika penangkapan itu berlangsung."

   Ketika Fache berlari kecil di gang Galeri Agung, dia bertanya-tanya apakah Langdon selamat ketika meloncat.

   Langdonmelarikandiri.Bersalahsepertiyangdidakwakan.

   Hanya lima belas yard dari kamar kecil, Langdon dan Sophie berdiri dalam kegelapan Galeri Agung.

   Punggung mereka menempel ketat pada salah satu pemisah ruangan yang besar yang menyembunyikan kamar kecil dari galeri itu.

   Mereka hampir tak sempat bersembunyi ketika Fache berlari melewati mereka dengan pistol terhunus, dan kemudiaN menghilang ke kamar kecil.

   Enam puluh detik terakhir bagai bayang-bayang baur.

   Langdon berdiri di dalam kamar kecil, menolak untuk lari dari tuduhan kejahatan yang tak dilakukannya, ketika Sophie mulai menatap kaca jendela yang tebal dan memeriksa kabel alarm yang mengelilinginya.

   Kemudian Sophie mengintai ke jalan, seolah menghitung kemungkinan jatuh.

   "Dengan sedikit bidikan, kau bisa keluar dari sini,"

   Katanya.

   Bidikan! Dengan cemas Langdon juga mengintai ke luar jendela.

   Di jalan, sebuah truk gandengan dan beroda delapan belas sedang mengarah ke lampu lalu lintas tepat di bawah jendela.

   Diatas truk besar itu terbentang penutup vinyl biru, menutup bak dengan longgar.

   Langdon berharap Sophie tidak berpikir seperti yang dia takutkan.

   "Sophie, aku tidak mungkin loncat -"

   "Keluarkan cakram pelacak itu."

   Dengan bingung, Langdon meraba ke dalam sakunya sampai dia menemukan cakram metal kecil itu.

   Sophie mengambilnya dan segera berjalan ke tempat cuci tangan.

   Dia mengambil sebatang sabun tebal, menempatkan cakram kecil itu di atasnya dan menggunakan ibu jarinya untuk menekan cakram itu hingga melesak ke dalam sabun.

   Ketika cakram itu tenggelam ke da1am permukaan yang lunak, dia menutup kembali lubang itu, sehingga cakram itu tertutup rapi di dalam sabun.

   Dia kemudian menyerahkan sabun itu kepada Langdon, dan mengangkat tempat sampah besar yang berat dan berbentuk sulinder di bawah tempat cuci tangan itu.

   Sebelum Langdon dapat memprotesnya, Sophie berlari ke arah jendela, sambil membawa tempat sampah itu penghancur.

   Dengan tempat sampah besar memecahkan kaca jendela yang tebal itu.

   Alarm segera berbunyi memekakkan telinga.

   seperti seperti sebuah alat itulah Sophie kemudian "Berikan sabun itu."

   Sophie berteriak, hampir tak terdengar karena suara alarm itu.

   Langdon menekankan sabun itu ke tangan Sophie.

   Setelah menggenggam sabun itu, Sophie melongok dari jendela yang sudah hancur, ke arah truk besar di bawahnya.

   Target itu sangat besar -sebuah penutup vinyl besar tak bergerak -dan itu berjarak kurang dari sepuluh kaki di sebelah gedung ini.

   Ketika lampu lalu lintas akan berubah, Sophie menarik napas dalam dan melempar sabun itu ke dalam gelap malam.

   Sabun itu jatuh dan mendarat di atas penutup truk dan meluncur ke bawah masuk ke dalam muatan bersamaan dengan lampu lalu lintas menyala hijau.

   "Selamat,"

   Kata Sophie, menarik Langdon ke arah pintu.

   "Kau baru saja lolos dari Louvre."

   Kabur dari kamar kecil pria, mereka bergerak masuk ketempat gelap tepat ketika Fache berlari melewati mereka.

   Sekarang, dengan alarm yang telah dimatikan, Langdon dapat mendengar suara sirene mobil DCPJ yang menjauh dari Louvre.

   Eksodus polisi.

   Fache telah terburu-buru pergi juga, meninggalkan Galeri Agung kosong.

   "Ada sebuah tangga darurat kira-kira lima puluh meter dibe1akang Galeri Agung,"

   Ujar Sophie.

   "Sekarang para penjaga telah pergi dari posnya. Kita dapat keluar dari sini."

   Langdon memutuskan untuk tidak berkata apa pun sepanjang malam ini.

   Sophie Neveu jelas jauh lebih pandai daripada dirinya.

   GEREJA SAINT-SULPICE, konon, memiliki sejarah yang paling aneh dibandingkan dengan gedung-gedung lainnya di Paris.

   Dibangun dari reruntuhan pura kuno dewi Mesir Isis, gereja ini memiliki jejak arsitektural yang cocok dengan Notre Dame.

   Gereja ini telah menjadi tuan rumah saat pembaptisan Marquis de Sade dan Baudelaire, dan juga saat pernikahan Vic tor Hugo.

   Biara yang berada di sampingnya memiliki dokumen sejarah yang lengkap tentang ketidakortodoksan dan tempat berlangsungnya rapat terlarang dari sejumlah perkumpulan rahasia.

   Malam ini, bagian tengah yang besar Gereja Saint-Sulpice ini sesunyi kuburan.

   Satu-satunya tanda kehidupan adalah sisa-sisa aroma dari sisa misa tadi malam.

   Silas merasakan ketidaktenangan sikap Suster Sandrine ketika dia membawa Silas ke dalam.

   Silas tidak heran.

   Dia terbiasa dengan orang-orang yang tidak nyaman dengan penampilannnya.

   "Kau orang Amerika?"

   Tanya suster Sandrine.

   "Aku lahir di Prancis,"

   Jawab Silas.

   "Aku mendapatkan panggilanku di Spanyol, dan aku sekarang belajar di Amerika Serikat."

   Suster Sandrine mengangguk. Dia adalah perempuan mungil dengan mata tenang.

   "Dan kau belum pernah melihat SaintSulpice?"

   "Aku sadar, gereja ini sangat indah."

   "Gereja ini lebih indah pada pagi hari."

   "Aku yakin begitu. Tetapi, aku berterima kasih kau memberiku izin malam ini."

   "AbbE memintaku begitu. Kau pastilah mempunyai teman-teman yang punya kekuasaan."

   Kautaktahuitu, pikir Silas.

   Ketika Silas mengikuti Suster Sandrine berjalan di gang utama, Silas terkejut karena kesederhanaan gereja ini.

   Tidak seperti gereja Notre Dame dengan lukisan dinding warna-warni, altar bersepuh emas, dan kayu yang hangat, gereja Saint-Sulpice kaku dan dingin, hampir kosong, mengingatkan pada katedral-katedral di Spanyol.

   Kekurangan dekorasi membuat bagian dalam ini tampak lebih luas, dan Silas menatap ke atas langit-langit ke kubah yang bertulang.

   Silas membayangkan dirinya seperti di bawah kapal besar yang terbalik.

   Gambaran yang tepat, pikirnya.

   Kapal persaudaraan itu pun akan terbalik selamanya.

   Silas merasa sangat bersemangat untuk segera bekerja.

   Dia berharap Suster Sandrine segera meninggalkannya.

   Dia seorang perempuan yang sangat mungil yang dapat dilumpuhkan dengan mudah, namun Silas telah bersumpah tak akan menggunakan kekerasan kecuali betul-betul diperlukan.

   Dia seorang pendeta perempuan, dan bukan kesalahannya jika kelompok Persaudaraanmenggunakangerejanyasebagaitempatmenyembunyikanbatu kunci mereka.

   Perempuan itu tidak boleh dihukum karena kesalahan orang lain.

   "Aku malu, Suster, kau bangun karena aku."

   "Sama sekali tidak. Kau berada di Paris hanya sebentar. Kau tidak boleh tak melihat Saint-Sulpice. Kau tertarik pada gereja ini karena arsitekturnya atau sejarahnya?"

   "Sebenarnya, Suster, aku tertarik pada segi spiritualnya."

   Suster Sandrine tertawa senang.

   "Tentu saja. Aku hanya tak tahu akan mulai dari mana turmu."

   Silas merasa matanya terpusat pada altar itu.

   "Tur itu tidak penting. Kau baik sekali. Aku bisa melihat-lihat sendiri."

   "Bukan masalah,"

   Kata Suster Sandrine.

   "Lagi pula, aku sudah bangun."

   Silas berhenti berjalan.

   Sekarang mereka sudah tiba didepan bangku gereja, dan altar itu hanya lima belas yard kedepannya.

   Dia memutar tubuh besarnya, sepenuhnya di depan perempuan mungil itu, dan dia dapat merasakan suster itu mundur ketika matanya menatap mata merah Silas.

   "jika ini tidak terlalu kasar Suster, aku tidak terbiasa hanya berjalan-jalan di rumah Tuhan dan melihatlihat. Kau tidak keberatan jika aku ingin sendirian untuk berdoa sebelum melihat-lihat?"

   Suster Sandrine meragu.

   "Oh, tentu saja, aku akan menunggumu di belakang gereja."

   Silas meletakkan tangan beratnya dengan lembut pada bahu suster itu dan menatap ke bawah.

   "Suster, aku membangunkanmu. Memintamu untuk sudah merasa berdosa karena terus berjaga adalah keterlaluan. Silakan, kau harus kembali ke tempat tidur. Aku dapat menikmati gerejamu dan bisa keluar sendiri."

   Suster Sandrine tampak tak enak.

   "Kau yakin tak akan merasa diabaikan?"

   "Sama sekali tidak. Berdoa adalah kenikmatan dalam kesendirian."

   "Kalau itu keinginanmu."

   Silas mengangkat tangannya dari bahu Suster Sandrine.

   "Selamat tidur, Suster. Semoga kedamaian Tuhan bersamamu!"

   "Dan bersamamu juga."

   Suster Sandrine menuju ke tangga "Tolong pastikan pintu tertutup dengan rapat kembali jika kau keluar."

   "Tentu."

   Silas melihatnya menaiki tangga dan menghilang.

   Kemudian dia berputar dan berlutut di bangku gereja terdepan, merasakansilice itu menusuk kakinya.

   Tuhan,kuserahkantugasyangkukerjakanhariinipadamu.

   Membungkuk dalam bayangan balkon paduan suara yang berada tinggi di.

   atas altar itu, Suster Sandrine melongok diam-diam melalui birai ke pendeta yang berlutut sendirian itu.

   Rasa terancam yang tiba-tiba muncul dalam jiwanya membuat dia tak bisa tinggal diam.

   Seketika itu juga dia bertanyatanya, jangan-jangan tamunya ini adalah musuh yang dia telah diperingatkan untuk berhati-hati, dan jangan-jangan malam ini dia harus menjalankan tugas yang telah ditunggunya selama bertahun-tahun ini.

   Dia memutuskan untuk tetap mengamati setiap gerakan tamunya itu dari dalam kegelapan.

   DIAM-DIAM Langdon dan Sophie keluar dari bayangan, bergerak ke koridor Galeri Agung yang sudah kosong dan menuju ke ruang tangga, ke jalan keluar darurat.

   Sambil berjalan, Langdon merasa seperti sedang mengumpulkan potongan-potongan jiq-saw dalam gelap.

   Aspek terbaru dari misteri ini adalah yang paling memusingkan .

   Kapten kepolisiAn judisial itu! Polisi sedang mencoba menangkapkuuntuksebuahpembunuhan.

   "Kau pikir,"

   Dia berbisik.

   "mungkinkah Fache menulis pesan di atas lantai itu?"

   Sophie tak menoleh.

   "Tak mungkin."

   Langdon tidak terlalu yakin.

   "Dia tampaknya bersemangat sekali untuk membuatku terlihat bersalah. Mungkin dia pikir, menuliskan namaku di atas lantai akan menolong kasusnya? "Deret Fibonacci? P.S. itu? Semua Da Vinci dan simbolisme dewi? Itu pasti kakekku."

   Langdon tahu Sophie benar.

   Simbolisme dari petunjuk-petunjuk itu bertautan dengan sangat sempurna -Pentakel--TheVitruvianMan, Da Vinci, dewi, dan bahkan deret ukur Fibonacci.

   Sebuah rangkaian simbolis yang bertalian, seperti yang akan dikatakan oleh ikonografer.

   Semuanya terikat tak teruraikan.

   "Dan teleponnya untukku mengatakan akan menceritakan siang itu,"

   Sophie menambahkan.

   "Dia sesuatu padaku. Aku yakin pesannya di Louvre itu adalah usaha terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang dia pikir kau dapat membantuku untuk mengerti."

   Langdon berkerut dahi.

   O, setan Draconian! Oh, orang suci yang lemah! Dia berharap dapat mengerti arti pesan itu, baik untuk kepentingan Sophie maupun bagi dirinya.

   Berbagai hal telah betul-betul memburuk sejak dia, pertama kali melihat kata-kata kriptis itu.

   Loncat palsunya dari jendela kamar kecil tak akan membantu masalahnya dengan Fache sama sekali.

   Dia sudah menduga kapten polisi Prancis itu akan tidak senang mengejar dan menangkap sabun.

   "Pintu itu tidak terlalu jauh,"

   Kata Sophie.

   "Kaupikir ada kemungkinan bahwa nomor-nomor dalam pesan kakekmu itu mengandung kunci untuk mengerti baris-baris lainnya?"

   Langdon pernah memecahkan satu rangkaian naskah Baconi yang berisi kode rahasia epigrafikal, sementara baris-baris tertentu dari kode itu merupakan kunci untuk memecahkan kode baris yang lainnya.

   "Aku sudah memikirkan nomor-nomor itu semalaman. Penjumlahan, hasil bagi, hasil kali. Aku tidak melihat semua itu. Secara matematis, angka-angka itu tersusun secara acak. Lelucon kriptografis."

   "Namun begitu, angka-angka itu adalah bagian dari deret Fibonacci. Tak mungkin kebetulan saja."

   "Memang tidak. Menggunakan angka-angka Fibonacci adalah cara lain kekekku untuk menarik perhatianku -seperti juga menulis pesan itu dalam bahasa Inggris, atau mengatur tubuhnynya. Semua itu untuk menarik perhatianku."

   "Pentakel itu punya arti bagimu?"

   "Ya, aku tidak sempat mengatakannya padamu. Pentakel itu merupakan simbol istimewa antara kakekku dan aku ketika aku tumbuh besar. Kami pernah main kartu Tarot untuk bersenang-senang saja, dan kartu itu selalu menunjukkan pasangan dari pentakel itu. Aku yakin dia mengaturnya tetapi pentakel itu merupakan kelakar kecil kami."

   Langdon merasa merinding.

   Mereka memainkan Tarot? Permainan kartu Italia abad pertengahan itu penuh dengan simbolisme tersembunyi yang berlawanan dengan gereja.

   Tentang Tarot itu, Langdon menuliskannya pada satu bab tersendiri dalam naskahnya.

   Permainan22 kartu itu rnengandung nama-nama seperti Paus Perempuan, Ratu, dan Bintang.

   Aslinya, Tarot dibuat secara rahasia untuk meneruskan ideologi-ideologi yang dilarang Gereja.

   Sekarang, kemisteriusan Tarot dilanjutkan oleh peramal modern.

   PetunjukTarotyangsesuaidengankedewianperempuanadalahpentakel, pikir Langdon, sadar bahwa jika SauniEre telah menyusun tumpukan kartu cucunya sebagai kelakar maka pentakel merupakan kelakar pribadi yang tepat.

   Mereka tiba di ruang tangga darurat, dan Sophie berhati-hati menarik pintu.

   Tak ada alarm terdengar.

   Hanya pintu-pintu kedalam yang dipasangi kabel.

   Sophie mengajak Langdon menuruni anak tangga yang tinggi ke lantai bawa, dan mempercepat langkah ketika keluar.

   "Kakekmu,"

   Ujar Langdon, terburu-buru dibelakang Sophie "ketika dia mengatakan padamu tentang pentakel itu, apakah dia menyebutkan pemujaan dewi atau hal yang tak disukai Gereja Katolik?"

   Sophie menggelengkan kepalanya.

   "Aku lebih tertarik pada matematikanya-Proporsi Agung, PHI, deret angka Fibonacci, hal seperti itulah."

   Langdon terkejut.

   "Kakekmu mengajarimu angka PHI?"

   "Tentu saja. Proporsi Agung."

   Ekspresinya menjadi malu-malu "Sebenarnya dia pernah bercanda dan mengatakan bahwa aku setengah dewi ... kau tahu, karena huruf-huruf itu ada dalam namaku."

   Langdon memikirkannya sebentar, kemudian menggeram.

   s-o-PHI-e Masih menuruni tangga, Langdon memikirkan lagi tentang PHI.

   Dia mulai menyadari bahwa petunjuk-petunjuk SauniEre lebih konsisten daripada saat pertama kali dia bayangkan.

   Da Vinci ...

   angka-angka Fibonacci ...

   pentakel.

   Luar biasa, semua hal ini terhubungkan, oleh satu konsep yang begitu mendasar, dengan sejarah seni yang merupakan topik yang sering diajarkan Langdon di kelas dalam beberapa periode.

   PHI.

   Langdon tiba-tiba merasa kembali ke Harvard, berdiri di depan kelas.

   "Simbolisme dalam Seni,"

   Menulis angka kesukaannya pada papan tulis. 1,618 Langdon berpaling menghadap ke para mahasiswanya yang bersemangat.

   "Siapa yang dapat mengatakan padaku, ini nomor apa?"

   Seorang pemuda berkaki panjang dari jurusan matematika, mengangkat tangannya dari belakang.

   "Itu angka PHI."

   Dia melafalnya. fi "Bagus, Stettner,"

   Ujar Langdon.

   "Semuanya, kenalkan ini PHI."

   "Jangan dicampuradukkan dengan PI,"

   Tambah Stettner sambil menyeringai.

   "Kami, mahasiswa matematika, senang mengatakan PHI merupakan satuH yang jauh lebih keren daripada satu PI."

   Langdon tertawa, namun tak seorang pun mengerti kelakar itu. Stettner merosot dari duduknya.

   "Angka PHI ini,"

   Langdon melanjutkan.

   "satu-koma-enam-satu-delapan, adalah angka sangat penting dalam seni. Siapa yang dapat mengatakan mengapa?"

   Stettner mencoba untuk berkelakar.

   "Karena itu cantik."

   Semua orang tertawa.

   "Sebenarnya,"

   Kata Langdon.

   "Stettner benar lagi. PHI pada umumnya dianggap angka tercantik di dunia ini."

   Tawa itu langsung berhenti, dan Stettner pun pongah.

   Ketika Langdon mengisi proyektor slidenya, dia menjelaskan bahwa PHI diperoleh dari deret Fibonacci -sebuah deret yang terkenal bukan hanya karena jumlah dari angka yang berdekatan sama dengan angka setelahnya, tetapi juga karena hasil bagi dari angka-angka yang berdekatan memilikisifat yang mengagumkan mendekati angka 1,618 -PHI! Lepas dari muasal matematis PHI yang tampak mistis, Langdon menjelaskan, aspek menggelitik akal yang sesungguhnya adalah perannya sebagai dasar dari balok bangunan dalam alam.

   Tumbuhan, hewan, dan bahkan manusia, semua memiliki sifat dimensional yang melekat dengan kualitas keakuratan pada rasio PHI banding 1.

   "Keberadaan PHI yang tersebar di alam,"

   Kata Langdon, sambil mematikan lampu.

   "jelas lebih dari kejadian kebetulan saja, dan begitu pula para pendahulu kita, menganggap angka PHI pastilah telah ditakdirkan oleh sang Pencipta alam ini. Para ilmuwan terdahulu menyebarluaskan satu-komaenam-satu-delapan sebagaiProporsiAgung."

   "Tunggu dulu,"

   Kata seorang perempuan muda di deretan depan.

   "Saya jurusan biologi dan saya tidak pernah melihat proporsi agung dalam alam."

   "Tidak?"

   Langdon tersenyum.

   "Pernah belajar hubungan antara betina dan jantan dalam komunitas lebah madu?"

   "Tentu. Lebah betina selalu berjumlah lebih banyak daripada lebah jantan."

   "Benar. Dan tahukah Anda jika Anda membagi jumlah lebah betina dengan jumlah lebah jantan di setiap sarang lebah di dunia ini, Anda akan mendapatkan hasil yang sama?"

   "Benar?"

   "Ya. PHI."

   Gadis itu terkesiap.

   "TIDAK MUNGKIN!"

   "Mungkin saja!"

   Langdon balas berteriak, sambil tersenyum ketika mengeluarkan selembar slide bergambar kerang laut spiral.

   "Kenal ini?"

   "Itu sebuahnautilus,"

   Kata gadis jurusan biologi lagi.

   "Sebuahcephalopod mollusk yang memompa gas ke dalam kerang berongganya untuk menyeimbangkan kemampuan mengapungnya."

   "Benar. Dan dapatkah Anda menerka apa rasio setiap diameter spiral ke spiral berikutnya?"

   Gadis itu tampak tak yakin ketika dia melihat lengkung-lengkung konsentris dari kenang nautilus spiral itu. Langdon mengangguk.

   "PHI. Proporsi agung. Satu-koma-satu-enamdelapan banding satu."

   Gadis itu tampak tercengang. Langdon melanjutkan dengan slide berikumya -sebuah tampak dekat dari sebuah kepala biji bunga matahari.

   "Biji bunga matahari tumbuh dengan melawan spiral. Anda dapat menerka rasio dari setiap diameter rotasi ke rotasi berikumya?"

   "PHI?"

   Semua berkata.

   "Tepat sekali."

   Langdon mulai memperlihatkan beberapa slide sekarang -bunga cemara berspiral, susunan daun pada tumpukan tumbuhan, segmentasi serangga. Semuanya memperlihatkan kepatuhan yang mengagumkan pada Proporsi Agung.

   "Ini mengagumkan!"

   Seseorang berseru.

   "Ya,"

   Yang lainnya berkata.

   "tetapi apa hubungannya denganseni?"

   "Aha!"

   Kata Langdon.

   "Senang Anda bertanya begitu."

   Dia mengambil sebuah slide lagi -selembar kertas perkamen bergambar lelaki bugil karya Da Vinci yang terkenal itu -the Vitruvian Man -Yang didasarkan pada Marcus Vitruvius, seorang arsitek Roma yang sangat pandai yang memuja Proporsi Agung dalam teksDe Architectura.

   "Tak seorang pun mengerti lebih baik daripada Da Vinci tentang struktur agung dalam tubuh manusia. Da Vinci bahkanmenggali mayat manusia untuk mengukur proporsi struktur tulang manusia yang tepat. Dialah orang pertama yang memperlihatkan bahwa tubuh manusia betul-betul terbuat dari balokbalok bangunan yang rasio proporsionalnya selalu sama dengan PHI."

   Semua yang berada di kelas itu menatapnya ragu.

   "Tidak percaya padaku?"

   Langdon menantang.

   "Lain kali, jika Anda sedang mandi, bawa pita ukuran."

   Sepasang pemainfootball mengikik.

   "Bukan hanya kalian berdua,"

   Langdon menyarankan.

   "tetapi semuanya. Lelaki dan perempuan. Cobalah ukur jarak dari puncak kepala Anda ke lantai. Kemudian bagi dengan jarak dari pusar ke lantai. Terka, angka berapa yang Anda dapat?"


Putri Bong Mini Darah Para Tumbal Roro Centil Dendam Dan Cinta Gila Seorang Pendekar Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah

Cari Blog Ini