Ceritasilat Novel Online

Da Vinci Code 3


Dan Brown The Da Vinci Code Bagian 3



"Bukan PHI!"

   Salah satu olahragawan itu berseru tak percaya.

   "Ya, PHI!"

   Jawab Langdon.

   "Satu-koma-satu-enam-delapan. Mau contoh lain? Ukur jarak dari bahu Anda ke ujung jari Anda, kemudian bagi dengan jarak dari siku Anda ke ujung jari Anda. PHI lagi. Yang lain? Paha ke lantai dibagi dengan lutut ke lantai. PHI lagi. Ruas jari. Jemari kaki. Divisi tulang belakang. PHI. PHI. PHI. Kawan-kawan, masing-masing Anda merupakan penghormatan berjalan terhadap Proporsi Agung."

   Bahkan dalam kegelapan, Langdon dapat melihat semuanya tercengang. Dia merasakan kehangatan yang sudah biasa di dalamnya. Karena itulah dia suka mengajar.

   "Kawan-kawan, seperti yang dapat Anda lihat, kekacauan di dunia ini punya keteraturan yang mendasar. Ketika orang-orang dahulu menemukan PHI, mereka yakin telah tersandung pada balok bangunan Tuhan untuk dunia, karena itu kemudian mereka memuja Alam. Dan orang dapat mengerti mengapa Tangan Tuhan jelas dalam Alam. Dan bahkan sampai sekarang jejak-jejak pagan, agama-agama yang mengacu pada Ibu Bumi, masih ada. Banyak di antara kita mengenal alam seperti kaum pagan, namun tidak menyadarinya. Perayaan di bulan Mei adalah contoh sempurna, perayaan musim semi ... bumi hidup kembali untuk mengeluarkan karunianya. Keajaiban misterius yang melekat dengan Proporsi Agung ditulis pada awal waktu. Manusia hanya bermain dalam hukum Alam, dan karena seni adalah cara manusia untuk meniru keindahan tangan Pencipta, Anda dapat membayangkan kita mungkin dapat melihat banyak contoh Proporsi Agung dalam seni pada semester ini."

   Melewati setengah jam berikutnya, Langdon memperlihatkan kepada mereka slide-slide dari karya seni Michelangelo, Albrecht Durer, Da Vinci, dan banyak yang lainnya lagi, mempertunjukkan maksud setiap seniman dan keterkaitannya dengan Proporsi Agung dalam layout karangannya.

   Langdon mengupas PHI dalam dimensi arsitektur Parthenon Yunani, piramid-piramid Mesir, dan bahkan Gedung PBB di New York.

   PHI muncul dalam struktur organisasional sonata-sonata Mozart, Fifth Symphony karya Beethoven, juga pada karya-karya Bartok, Debussy, dan Schubert.

   Angka PHI, kata Langdon pada mereka, bahkan juga digunakan oleh Stardivarius untuk menghitung penempatan yang tepat untuk lubang f dalam konstruksi biola-biolanya yang tersohor itu.

   "Sebagai penutup,"

   Kata Langdon, sambil berjalan ke papan tulis.

   "kita kembali ke simbol-simbol."

   Dia menarik lima garis saling berpotongan yang membentuk bintang lima titik.

   "Simbol ini merupakan salah satu gambaran terkuat yang akan kalian lihat pada masa perkuliahan ini. Dikenal secara resmi sebagai pentagram -atau pentakel, seperti yang disebut orang dulu -simbol ini dipandang agung dan juga ajaib oleh banyak budaya. Ada yang bisa mengatakan mengapa begitu?"

   Stettner, jurusan matematika, mengangkat tangannya.

   "Karena jika Anda menggambar pentagram, garis-garis itu secara otomatis membagi dirinya sendiri menjadi segmen sesuai dengan Proporsi Agung."

   Langdon memberi anggukan bangga pada anak itu.

   "Bagus sekali. Ya, rasio dari segmen garis dalam pentakel semua sama dengan PHI, sehingga membuat simbol ini jadi ekspresi yang pokok. Untuk alasan ini, bintang lima titik ini telah selalu menjadi simbol kecantikan dan diasosiasikan dengan sempurna dengan dewi dan perempuan suci."

   Gadis-gadis di kelas senang.

   "Satu catatan, kawan-kawan. Kita baru menyentuh sedikit Da Vinci hari ini tetapi kita akan bertemu dengannya lebih banyak lagi semester ini. Leonardo adalah seorang yang terdokumentasi dengan baik sebagai penganut setia jalan kuno dari sang dewi. Besok, saya akan memperlihatkan kepada Anda lukisan dindingnya,TheLastSupper, yang merupakan salah satu penghormatan paling menakjubkan bagi perempuan suci yang pernah Anda lihat."

   "Anda bercanda, bukan?"

   Seseorang berkata.

   "Saya kira, The Last Supper adalah tentang Yesus!"

   Langdon mengedipkan matanya.

   "Ada simbol-simbol tersembunyi pada tempat-tempat yang tak pernah terbayangkan."

   "Ayo,"

   Sophie berbisik.

   "Ada apa? Kita hampir sampai. Cepat!"

   Langdon melihat ke atas, merasa kembali dari lamunan jauh.

   Dia sadar sedang berdiri pada akhir anak tangga.

   Dia merasa lumpuh karena mengetahui arti kode itu dengan tiba-tiba.

   0,Draconiandevil!Oh,lamesaint! Sophie menatapnya.

   Takmungkinsesederhanaitu, pikir Langdon.

   Namun dia tahu tentu saja, itu memang sederhana.

   Di sana, dalam perut Louvre ...

   dengan gambaran PHI dan Da Vinci berkelebatan dalam benaknya, Robert Langdon tiba-tiba dan tak terduga memecahkan kode SauniEre.

   "0, setan Draconian!"

   Katanya.

   "Oh, orang suci yang lemah! Itu jenis kode yang paling sederhana!"

   Sophie berhenti di anak tangga di bawah Langdon, menatap keatas dengan bingung. Sebuah kode? Dia telah merenungkan kata-kata itu sepanjang malam dan tak melihat adanya kode. Terutama yang sederhana.

   "Kau mengatakannya sendiri."

   Suara Langdon tergetar karena sangat gembira.

   "Angka-angka Fibonacci hanya punya arti dalam urutan yang benar. Jika tidak, angka-angka itu hanyalah lelucon matematika."

   Sophie tidak tahu apa yang dibicarakan.

   Angka-angka Fibonacci? Dia yakin tujuan angka-angka itu tidak lebih dari mengikutsertakan Departemen Kriptografi dalam penyelidikan malam ini.

   Angka-angka itu punya tujuan lain? Dia merogoh sakunya dan menarik hasil cetak komputer tadi, kemudian mempelajari lagi pesan kakeknya itu.

   13-3-2-21-1-185 0, Draconian devil! Oh, lame saint! Kenapadenganangka-angkaitu? "Deret Fibonacci yang tak beraturan itu merupakan sebuah petunjuk,"

   Kata Langdon, sambil mengambil kertas itu.

   "Angka-angka ini adalah petunjuk bagaimana memecahkan sisa pesan itu. Dia menulis deret itu dengan tak teratur untuk mengatakan kEpada kita supaya menggunakan konsep yang sama pada teks itu. 0, Draconian devil? Oh, lame saint? Baris-baris itu tak berarti apa pun. Mereka hanya aksara yang tersusun tak beraturan."

   Sophie hanya memerlukan sebentar saja untuk mengerti maksud Langdon, dan itu tampaknya begitu sederhana hingga dapat ditertawakan.

   "Kaupikir pesan ini adalah ... une anagramme?"

   Sophie menatap Langdon.

   "Seperti sebuah teka-teki kata di koran?"

   Langdon dapat melihat keraguan dalam wajab Sophie, dan itu dapat dimengerti.

   Hanya sedikit orang yang tahu bahwa anagram, walaupun menjadi hiburan usang orang modern, memiliki sejarah yang kaya akan simbolisme.

   Pengajaran mistis Kabbalah banyak menggambar anagram -mengatur kembali huruf-huruf dari kata berbahasa Hebrew untuk membuat arti baru.

   Raja-raja Prancis di zaman Renaissance percaya bahwa anagram mengandung kekuatan magis sehingga mereka menunjuk ahli anagram uNtuk membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik dengan menganalisa kata-kata dalam dokumen penting.

   Orang-orang Roma sebenarnya menganggap Pelajararan anagram sebagaiars magna -seni besar.

   Langdon menatap lama mata Sophie.

   "Maksud kakekmu berada tepat didepan kita. Dia meninggalkan petunjuk lebih dari cukup untuk dilihat."

   Tanpa kata-kata lagi, Langdon menarik pena dari saku jasnya dan mengatur kembali huruf-huruf pada setiap baris pesan.

   O, Draconian devil! O, lame Saint! Adalah anagram yang sempurna dari...

   Leonardo da Vinci! The Mona Lisa! MONALISA Begitu dia berdiri di pintu keluar ruang tangga, Sophie lupa semua usahanya untuk keluar dari Museum Louvre.

   Dia heran juga pada anagram itu.

   Selain itu, dia juga malu karena tak mampu memecahkan pesan itu sendiri.

   Keahlian Sophie dalam menganalisa kriptografi yang rumit menyebabkannya menganggap remeh permainan kata yang sederhana itu.

   Dia merasa seharusnya dia telah melihatnya, apalagi dia tidak asing dengan anagram -terutama yang bErbahasa Inggris.

   Ketika dia masih kanak-kanak, kakeknya sering menggunakan anagram untuk mengasah ejaan bahasa Inggrisnya.

   Pernah kakeknya menulis kata bahasa Inggris "planets"

   Dan mengatakan bahwa ada 92 kata bahasa Inggris lainnya yang dapat disusun dengan menggunakan huruf-huruf sama. Sophie menghabiskan waktu tiga hari bersama kamusnya untuk menemukan semua kata tersebut.

   "Aku tak dapat membayangkan,"

   Kata Langdon, menatap kertas itu.

   "bagaimana kakekmu menciptakan anagram yang begini rumit dalam menit-menit terakhir hidupnya."

   Sophie tahu penjelasannya, dan kenyataan itu membuat perasaannya semakin tidak nyaman.

   Aku seharusnya sudah tahu ini! Sekarang dia ingat bahwa kakeknya -seorang pemain kata yang fanatik dan pencinta seni -telah menghibur dirinya sendiri ketika masih muda dengan menciptakan anagram dari karya seni yang terkenal.

   Salah satu anagramnya menyebabkannya mendapat kesulitan ketika Sophie masih kanak-kanak.

   Saat diwawancarai oleh majalah seni Amerika, SauniEre menyatakan kebenciannya kepada kaum pergerakan Kubisme modern dengan mengatakan bahwa adikarya Picasso,Les Demoiselles d'avignon, adalah anagram sempuma untuk vile meaningless doodles, 'gambar buruk tak berarti'.

   Pencinta Picasso tidak senang karenanya.

   "Kakekku mungkin menciptakan anagram Mona Lisa sudah lama sekali,"

   Kata Sophie, sambil mengerling pada Langdon.

   Dan malam ini dia terpaksa menggunakannya sebagai kode darurat.

   Suara kakeknya kejauhan dengan sangat menakutkan.

   LeonardodaVinci! TheMonaLisa! Mengapa pesan terakhir untuknya membawanya ke memanggil dari lukisan terkenal? Sophie tidak tahu, namun dia dapat mengira satu kemungkinan.

   Satu yang membuatnya penasaran.

   Itusemuabukanpesanterakhirnya Haruskah dia mendatangi lukisan Mona Lisa? Apakah kakeknya meninggalkan pesan lagi di sana? Gagasan itu tampak sangat masuk akal.

   Lagi pula, lukisan tersohor itu tergantung di ruang Salle des Etats -sebuah ruang menikmati lukisan secara pribadi yang hanya dapat dimasuki dari Galeri Agung.

   Sekarang Sophie menyadari, pintu-pintu yang terbuka menuju ruangan itu terletak hanya dua puluh meter dari tempat kakeknya ditemukan tewas.

   DiabisasajatelahpergikeMonaLisasebelumtewas.

   Sophie meithat lagi pada ruang tangga darurat dan merasa bimbang.

   Dia tahu, dia seharusnya mengantar Langdon secepatnya namun kata hatinya mengatakan sebaliknya.

   Ketika Sophie mengingat masa kecilnya saat mengunjungi Sayap Denon, dia ingat, seandainya kakeknya punya rahasia yang akan dikatakan padanya, kakeknya akan memilih tempat di depanMona Lisa karya Da Vinci daripada tempat lainnya di bumi ini.

   '"Dia digantung agak jauh,"

   Bisik kakeknya sambil menggandeng tangan kecil Sophie ketika dia membawa Sophie menjelajahi museum yang sepi setelah jam tutup.

   Sophie berusia enam tahun saat itu.

   Dia merasa kecil dan tak penting ketika melihat langit-langit tinggi dan lantai yang memeningkan kepala.

   Museum yang kosong menakutkannya, walau dia tidak akan membiarkan kakeknya tahu itu.

   Dia merapatkan gerahamnya dan melepaskan gandengan kakeknya.

   "Di sana itu adalah Salle des Etats,"

   Kata kakeknya ketika mereka mendekati ruangan yang paling tersohor di Louvre.

   Walau kakeknya merasa begitu gembira, Sophie ingin pulang saja.

   Dia sudah pernah melihat lukisan Mona Lisa dalam buku, dan tidak menyukainya sama sekali.

   Dia tidak mengerti mengapa orang-orang begitu sibuk membicarakannya.

   "C'estennuyeux,"

   Gerutu Sophie.

   "Membosankan,"

   Kakeknya mengoreksi.

   "Bahasa Prancis di sekolah saja. Bahasa Inggris di rumah."

   "LeLouvre,c'estpaschezmoi!"

   Sophie menantang. Kakeknya tertawa letih.

   "Kau benar sekali, Louvre memang bukan rumahmu. Kalau begitu, ayo, berbahasa Inggris hanya untuk bersenangsenang."

   Sophie cemberut dan terus berjalan.

   Ketika mereka memasuki Salle des Etats, mata Sophie mengamati ruangan sempit itu dan berhenti pada titik kehormatan yang pasti -tepat di tengah dinding sebelah kanan, tergantung sendirian di belakang dinding kaca Plexi yang aman.

   Kakeknya berhenti di ambang pintu dan menunjuk pada lukisan itu.

   "Silakan, Sophie. Tidak semua mengunjunginya sendirian."

   Sophie menelan ketakutannya.

   Dia orang punya kesempatan untuk bergerak perlahan menyeberangi ruangan itu.

   Setelah segala apa yang pernah didengarnya tentang Mona Lisa, dia merasa seperti sedang mendekati seorang bangsawan.

   Tiba di depan kaca pelindung Plexi, Sophie menahan napasnya dan menatap ke atas, langsung melihatnya.

   Sophie tidak yakin apa yang seharusnya dia rasakan, namun yang pasti tidak seperti ini.

   Tidak ada perasaan kagum.

   Tidak ada keheranan.

   Wajah tersohor itu tampak seperti apa yang dilihatnya dalam buku.

   Sophie berdiri, diam, lama sekali, menunggu ada yang terjadi.

   "Nah, bagaimana pendapatmu?"

   Bisik kakeknya, mendekati dari belakangnya.

   "Cantik, bukan?"

   "Dia terlalu kecil."

   SauniEre tersenyum.

   "Kau kecil dan kau cantik."

   Aku tidak cantik, pikirnya. Sophie membenci rambut merah dan bintikbintik pada pipinya, dan dia lebih tinggi daripada semua anak lelaki di kelasnya. Dia memperhatikan Mona Lisa lagi dan menggelengkan kepalanya.

   "Dia bahkan lebih jelek daripada yang ada di buku. Wajahnya ...brumeux."

   "Berkabut,"

   Kakeknya memberi petunjuk.

   "Berkabut,"

   Sophie mengulangi, karena dia tahu, percakapan mereka tidak akan berlanjut sebelum dia mengulangi kata tadi.

   "Itu disebut gaya lukisansfumato,"

   Katanya.

   "dan itu sulit sekali. Leonardo da Vinci adalah yang terbaik dalam gaya ini dibanding siapa pun."

   Sophie masih tidak suka pada lukisan itu.

   "Dia tampaknya mengetahui sesuatu ... seperti anak-anak di sekolah ketika punya sesuatu."

   Kakeknya tertawa.

   "Itu bagian dari mengapa dia begitu kenal. Orang-orang senang menerka mengapa dia tersenyum.

   "Kakek tahu mengapa dia tersenyum?"

   "Mungkin."

   Kakeknya mengedip.

   "Suatu hari nanti akan kuceritakan semuanya."

   Sophie menghentakkan kakinya.

   "Aku sudah bilang, aku tidak suka rahasia!"

   "Putri,"

   Kakeknya tersenyum.

   "Hidup ini berisi banyak rahasia. Kau tidak bisa mempelajarinya semua sekaligus."

   "Aku masuk lagi,"

   Kata Sophie, suaranya terdengar dalam di ruang tangga.

   "KeMonaLisa?"

   Tanya Langdon kecut."Sekarang?"

   Sophie menghitung-hitung risikonya.

   "Aku bukan tersangka pembunuhan. Aku akan mengunakan kesempatanku. Aku harus tahu apa yang ingin kakekku sampaikan padaku."

   "Bagaimana dengan kedutaan besar?"

   Sophie merasa bersalah karena telah membuat Langdon menjadi pelarian dan kemudian meninggalkannya, namun dia tak punya pilihan. Dia menunjuk ke bawah pada pintu besi.

   "Pergilah melalui pintu itu, dan ikuti tanda keluar yang menyala. Kakekku pernah membawaku melalui jalan itu. Tanda-tanda itu akan membawamu ke pintu putar. Pintu itu satu arah dan terbuka."

   Dia memberikan kunci mobilnya kepada Langdon.

   "Mobilku SmartCar merah di tempat parkir pegawai. Tepat di luar dinding ini. Kau tahu jalan ke kedutaan besar?"

   Langdon mengangguk, menatap kunci di tangannya.

   "Dengar,"

   Kata Sophie, suaranya melembut.

   "Kupikir kakekku mungkin meninggalkan pesan padaku di Mona Lisa -semacam petunjuk seperti siapa pembunuhnya. Atau mengapa aku dalam bahaya."Atauapayangterjadipada keluargaku.

   "Aku harus pergi dan melihatnya."

   "Tetapi jika dia ingin mengatakan mengapa kau dalam bahaya, mengapa dia tidak menuliskannya di atas lantai tempat dia tewas. Mengapa dengan permainan kata yang rumit?"

   "Apa pun yang ingin disampaikan kakekku, kupikir dia tidak mau seorang pun mengetahuinya, tidak juga polisi."

   Jelas, kakeknya telah melakukan segalanya dengan sisa kekuatannya untuk menyampaikan pesan rahasia langsung pada Sophie.

   Dia telah menulisnya dalam kode, termasuk inisial rahasia Sophie, dan menyuruhnya untuk mencari Robert Langdon -perintah yang bijak, mengingat simbolog Amerika ini telah berhasil memecahkan kodenya.

   "Betapa pun aneh kedengarannya,"

   Kata Sophie, dia ingin aku pergi keMonaLisa sebelum orang lain ke sana."

   "Aku akan ikut."

   "Jangan! Kita tidak tahu sampai berapa lama Galeri Agung akan tetap kosong. Kau harus pergi."

   Langdon tampak ragu, seolah rasa keingintahuan akademisnya tertantang untuk mengabaikan pertimbangan yang logis dan membiarkan dirinya kembali ke dalam cengkeraman Fache.

   "Pergi, sekarang!"

   Sophie tersenyum lebar.

   "Kita bertemu di kedutaan besar, Pak Langdon."

   Langdon tampak tidak senang.

   "Aku akan bertemu denganmu di sana dengan satu syarat."

   Sophie terhenti, terkejut.

   "Apa itu?"

   "Jangan panggil akuPak Langdon."

   Sophie melihat ada senyum tersembunyi pada wajah Langdon, dan dia membalasnya.

   "Semoga berhasil, Robert."

   Ketika Langdon tiba di lantai bawah, hidungnya mencium aroma yang pasti dari minyak jerami dan debu dinding.

   Didepannya, tanda SORTIE / EXIT menyala dengan gambar anak panah menunjuk ke bawah sepanjang koridor itu.

   Langdon melangkah dalam gang.

   Di sebelah kanan terbuka sebuah studio perbaikan.

   Di dalamnya tampak sederet patung yang sedang diperbaiki.

   Di sebelah kiri, dia melihat sebuah deretan studio-studio yang sama dengan kelas-kelas seni di Harvard -deretan para-para, lukisan-lukisan, palet-palet, peralatan kumpulan benda-benda seni.

   Ketika dia berjalan di sepanjang gang, mungkinkah dia saat ini tiba-tiba terbangun di pembingkaian -sederetan Langdon bertanya-tanya, atas tempat tidurnya di Cambridge.

   Sepanjang malam ini seolah mimpi aneh.

   AkuakankeluardariLouvre ...sebagaiburon.

   Pesan anagram SauniEre yang cerdas masih tetap dalam benaknya, dan Langdon bertanya-tanya apa yang akan ditemukan Sophie padaMona Lisa ...

   bisa apa saja.

   Sophie begitu yakin bahwa kakeknya menginginkannya untuk pergi ke lukisan tersohor itu sekali lagi.

   Walau tafsir ini masuk akal, tampaknya Langdon sekarang merasa dihantui oleh sebuah paradoks yang membingungkan.

   P.S.CariRobertLangdon.

   SauniEne telah menuliskan namanya di atas lantai, memerintahkan Sophie untuk mencarinya.

   Tetapi mengapa? Hanya supaya Langdon membantunya memecahkan anagram? Tampaknya tak masuk akal.

   Lagi pula, SauniEre tidak punya alasan untuk tahu bahwa Langdon ahli dalam anagram.

   Kami tidak pernah bertemu.

   Lebih penting lagi, Sophie begitu yakin dia bisa rnemecahkan anagram itu sendiri.

   Sophielah yang melihat deret angka Fibonacci, dan, tak diragukan, jika diberi sedikit waktu lebih; dia akan sanggup memecahkan kode itu tanpa bantuan Langdon.

   Sophie memang seharusnya memecahkan anagram itu sendiri.

   Langdon tiba-tiba merasa lebih yakin tentang itu, namun kesimpulannya meninggalkan pertanyaan tentang tindakan SauniEre.

   Mengapa aku? Langdon bertanya-tanya, sambil terus berjalan di gang.

   Mengapa pesan terakhir Sauniere menyuruh cucunya yang tak mengenalku ituuntukmencariku? MenurutSauniEre,apayangakutahu? Tiba-tiba Langdon berhenti.

   Dengan mata terbelalak dia merogoh sakunya dan menarik keluar kertas tadi.

   Dia menatap baris terakhir pesan SauniEre.

   PS.CariRobertLangdon Dia punya firasat pada dua huruf itu.

   PS.

   Saat itu juga, Langdon merasa bahwa simbolisme SauniEre yang memusingkan mulai tampak jelas.

   Seperti kilatan petir, sebuah simbologi dan sejarah yang senilal karier bertahun-tahun menyambar di sekitarnya.

   Segala yang Jacques SauniEre lakukan malam ini tiba-tiba jelas sekali.

   Pikiran Langdon seperti berpacu ketika dia mencoba mengumpulkan implikasi-implikasi dari semuanya ini.

   Sambil terus berlari, Langdon menatap ke arah dia datang tadi.

   Masihadakahwaktu? Dia tahu, itu tidak penting.

   Tanpa ragu, Langdon berlari cepat kembali ke tangga tadi.

   BERLUTUT DI baris terdepan bangku gereja, Silas pura-pura berdoa sambil mengamati keadaan ruangan gereja itu.

   Saint-Sulpice, seperti umumnya gereja yang lain, telah dibangun dengan bentuk salib Roma raksasa.

   Bagian pusatnya memanjang, lurus langsung ke altar utama, dan di sana berpotongan dengan bagian yang lebih pendek, bernama transept.

   Potongan bagian pusat dan transept berada tepat di bawah kubah utama dan dianggap jantungnya gereja ...

   titik tersuci dan mistis dari gereja itu.

   Tidakmalamini, pikir Silas.Saint-Sulpicemenyembunyikanrahasianyadi tempatlain.

   Silas memalingkan kepalanya ke kanan, menatap ke transept sebelah selatan, ke area lantai terbuka sesudah deretan bangku gereja, ke objek yang telah digambarkan oleh korbannya.

   Disanalahdia.

   Tertanam dalam lantai batu granit kelabu, sebuah garis tipis kuningan mengilap di batu itu ...

   sebuah garis keemasan melintang di atas lantai gereja.

   Garis itu memiliki tanda-tanda, seperti penggaris.

   Itu sebuah gnomon, Silas telah diberi.

   tahu, sebuah alat astronomi pagan seperti petunjuk waktu dengan bantuan sinar matahari.

   Para turis, ilmuwan, ahli sejarah, dan pagan dari seluruh dunia datang ke Saint-Sulpice untuk melihat garis terkenal itu.

   GarisMawar.

   Perlahan, Silas membiarkan matanya mengamati garis kuningan itu, yang melintang pada lantai dari sebelah kanan dirinya ke sebelah kiri, berbelok di depannya membentuk sudut yang aneh, sama sekali bertentangan dengan simetri gereja itu.

   Mengiris altar utama, garis itu tampak bagi Silas seperti menyayat wajah yang cantik.

   Potongan itu membelah pagar komuni menjadi dua, kemudian menyeberangi lebar gereja, dan akhirnya mencapai sudut transept utara, di mana garis itu menyentuh struktur yang paling tak terduga.

   Sebuah obelisk Mesir yang besar sekali.

   Di sini, Garis Mawar membelok sembilan puluh derajat vertikal dan terus langsung menuju ke obelisk ini, naik 33 kaki hingga ke titik puncak piramid, tempat garis itu berakhir.

   Garis Mawar, pikir Silas.

   Persaudaraan itu menyimpan batu kunci pada GarisMawar.

   Beberapa saat sebelumnya, malam ini, ketika Silas mengatakan kepada Guru bahwa batu kunci yang terdahulu disembunyikan di dalam Saint-Sulpice, Guru seperti meragukannya.

   Namun ketika Silas menambahkan bahwa semua anggota persaudaraan itu mengatakan tempat yang sama, berhubungan dengan garis kuningan yang melewati Saint-Sulpice, maka Guru terkesiap karena senang.

   "Kau maksud adalah Garis Mawar!"

   Guru cepat mengatakan kepada Silas tentang keanehan arsitektur gereja itu -garis dan kuningan itu yang membelah sanktuari gereja tepat pada sumbu selatan ke utara.

   Itu semacam alat pengukur waktu dengan bantuan cahaya matahari, sebuah peninggalan kuil pagan yang dulu pernah berdiri tepat di situ.

   Sinar matahari, bersinar melalui oculus pada dinding selatan, bergerak lebih jauh ke arah garis itu setiap hari, menunjukkan berlalunya waktu, dari titik balik matahari yang satu ke titik balik matahari berikutnya.

   Garis yang melintang dari utara ke selatan itu terkenal dengan nama Garis Mawar.

   Selama berabad-abad, simbo1 Mawar telah dihubungkan dengan peta dan petunjuk dalam arah yang semestinya.

   Mawar Kompas -tengambar hampir pada semua peta, menunjukkan utara, timur, selatan, dan barat.

   Mulanya dikenal sebagai Mawar Angin, Mawar Kompas menunjukkan 32 arah mata angina--bertiup dari 8 mata angin utama, 8 mata angin setengah, dan 16 mata angin seperempat.

   Ketika menggambarkan bagian dalam sebuah Iingkaran, ke-32 titik kompas ini menyempurnakan 32 kuntum mawar tradisional.

   Kini, alat navigasi yang mendasari itu masih terus dikenal sebagai Mawar Kompas, arah paling utamanya masih ditandai oleh ujung anak panah ...

   atau, lebih lazim, disebut sebagai simbolfleur-de-lis.

   Pada bola dunia, Garis Mawar -juga disebut garis meridian atau garis bujur -merupakan garis imaginasi yang ditarik dari Kutub Utara ke Kutub Selatan.

   Tentu saja, jumlah Garis Mawar tak terhingga karena setiap titik pada bola dunia dapat memiliki tarikan garis bujur yang menghubungkan titik di utara dan di selatan.

   Pertanyaan bagi para navigator dahulu adalah mana dari garis-garis itu yang disebut Garis Mawar -bujur nol -garis bujur awal mula yang menjadi tolak ukur semua garis bujur di bumi.

   Sekarang ini garis itu adalah garis Greenwich, Inggris.

   Namun dulu tidak seperti itu.

   Lama sebelum ditentukannya Greenwich sebagai meridian utama, bujur nol dari seluruh dunia melewati Paris, melintasi Gereja Saint..Suipice.

   Tanda dari kuningan di gereja ini mengingatkan pada meridian utama dunia yang pertama, dan walau Greenwich pernah, karena kehormatan, melintasi Paris pada tahun 1888, Garis Mawar yang asli masih dapat dilihat sekarang ini.

   "Dan legenda itu benar adanya,"

   Kata Guru pada Silas.

   "Batu kunci Biarawan, konon, diletakkan 'di bawah Tanda Mawar'."

   Sekarang, masih berlutut dibangku gereja, Silas mengamati sekitar ruang gereja itu.

   Dia memasang telinga untuk memastikan bahwa tak ada orang di sana.

   Untuk sesaat, dia merasa seperti mendengar gesekan di balkon paduan suara.

   Dia menoleh dan menatap ke atas untuk beberapa detik.

   Tak ada apa pun.

   Akusendirian.

   Dia berdiri, menghadap altar dan memberi hormat tiga kali.

   Kemudian dia berpaling ke kiri dan mengikuti garis dari kuningan itu ke utara menuju obelisk itu.

   Pada saat itu, di bandara Leonardo da Vinci di Roma, roda pesawat menyentuh landasan, mengejutkan Uskup Aningarosa dari tidurnya.

   Aku tertidur, pikirnya, heran karena ternyata dia cukup tenang untuk bisa tertidur.

   "BenevenutoaRoma,"

   Terdengar sambutan dari interkom.

   Aningarosa menegakkan punggungnya, kemudian meluruskan jubah hitamnya dan tersenyum kecil.

   Ini adalah perjalanan yang menyenangkan.

   Aku sudah terlalu lama bersembunyi.

   Malam ini, kekuasaan sudah berpindah.

   Baru lima bulan yang lalu Aringarosa takut akan masa depan Iman Sejati.

   Sekarang, seolah seperti dikehendaki Tuhan, masalah itu telah terpecahkan dengan sendirinya.

   CampurtanganTuhan.

   Jika semua berjalan sesuai rencana malam ini di Paris, Aningarosa akan memiliki sesuatu yang memungkinkannya menjadi orang yang paling berkuasa di kerajaan Kristen.

   SOPHIE DENGAN terengah-engah tiba di depan pintu kayu besar Salle des Etats -ruangan yang menyimpanMonaLisa.

   Sebelum masuk, dengan enggan dia menatap jauh ke gang, kurang lebih dua puluh yard, tempat tubuh kakeknya masih terbaring di bawah sorotan lampu.

   Rasa sesal yang mendalam menyergapnya.

   Dia merasa sedih sekaligus berdosa.

   Lelaki iru sudah berkali-kali mencoba merengkuh Sophie dalam sepuluh tahun ini, dan Sophie tak tergerak sama sekali -membiarkan suratsurat dan paket-paketnya tak dibuka tersimpan di dasar lacinya dan mengabaikan usaha kakeknya untuk bertemu dengannya.

   Dia berbohong padaku! Menyimpan rahasia-rahasia yang menakutkan! Apa yang seharusnya kulakukan? Dan dia tak membiarkan kakeknya mendekat.

   Sama sekali! Sekarang kakeknya sudah meninggal; ia sekarang berbicara padanya dari alam kubur.

   MonaLisa.

   Sophie mengulurkan tangannya menyentuh pintu-pintu kayu itu, dan mendorongnya.

   Jalan masuk terbuka lebar.

   Sophie berdiri di ambang pintu sesaat, mengamati ruangan persegi yang besar di depannya.

   Ruangan itu bermandikan cahaya merah.

   Salle des Etats merupakan salah satu culs~-desac--ja1an buntu dan satu-satunya ruangan yang tak berada di tengah-tengah Galeri Agung.

   Pintu ini, satu-satunya jalan masuk, menghadap ke sebuah karya Botticelli setinggi lima belas kaki yang menempel pada dinding di kejauhan.

   Di bawahnya, di tengah-tangah lantai parket, sebuah dipan berbentuk oktogonal diperuntukkan sebagai peristirahatan yang menyambut ribuan pengunjung.

   Dipan itu dapat digunakan sebagai pengistirahat kaki sambil menikmati aset Louvre yang paling berharga.

   Sebelum melangkah masuk, Sophie sadar harus membawa sesuatu, senter sinarhitam.

   Dia mengamati gang tempat kakeknya tergeletak di bawah lampu sorot di kejauhan, dikelilingi peralatan elektronik.

   Jika dia telah menulis sesuatu di sini, hampir pasti dia menulisnya dengan spidolstylus.

   Dengan menarik napas dalam, Sophie bergegas ke tempat kejadian perkara itu.

   Dia tak sanggup melihat tubuh kakeknya; dia hanya memusatkan perhatiannya pada peralatan PTS.

   Kemudian dia menemukan senter pena ultra violet, dan menyelipkan ke dalam saku sweternya, lalu bergegas kembali ke gang dan menuju ke pintu terbuka Salle des Etats.

   Sophie membelok dan melangkahi ambang pintu.

   begitu masuk, suara langkah kaki terdengar mendekatinya dari dalam ruangan.

   Ada orang di sini! Sesosok menyerupai hantu muncul dari remang kemerahan.

   Sophie terloncat mundur.

   "Nah, kau di sini!"

   Suara Langdon serak berbisik, ketika bayangannya berhenti di depan Sophie. Perasaan lega Sophie hanya sebentar.

   "Robert, aku bilang kau harus pergi dari sini! Jika Fache -"

   "Tadi kau kemana?"

   "Aku harus mengambil senter sinar hitam,"

   Bisiknya sambil memperlihatkan senter itu.

   "Jika kakekku menuliskan pesan -"

   "Sophie, dengar,"

   Langdon menahan napasnya ketika mata birunya menatap Sophie tajam.

   "Huruf P.S. ... Apa itu berarti lain lagi bagimu? Apa saja!?"

   Karena takut suara mereka akan menggema di gang, Sophie menarik Langdon masuk ke ruangan Salle des Etats dan perlahan menutup pintu kembarnya, kemudian menguncinya.

   "Aku sudah jelaskan, inisial itu berarti Putri Sophie."

   "Aku tahu, tetapi pernahkah kau melihatnya di tempat lain lagi? Kakekmu menggunakan P.S. untuk yang lainnya? Sebagai monogram, atau mungkin pada alat-alat tulisnya, atau perlengkapan pribadinya?"

   Pertanyaan itu mengejutkan Sophie.

   Bagaimana Robert tahu itu? Sophie memang pernah melihat inisial P.S.

   sebelum itu, dalam bentuk monogram.

   Pada satu hari sebelum hari ulang tahunnya yang kesembilan, Sophie diamdiam menyelusuri rumahnya mencari hadiah tersembunyi.

   Sophie tak pernah suka ada rahasia tensembunyi darinya.

   Apa yang diberikan kakek untukku tahun ini? Dia menggerayangi laci dan lemari.

   Apakah kakek memberiku boneka yang kuinginkan? Di mana disembunyikannya? Karena tak menemukan apa pun diseluruh rumah, Sophie memberanikan diri menyelinap ke kamar tidur kakeknya.

   Kamar itu sesungguhnya terlarang baginya, namun kakeknya sedang tertidur di sofa di lantai bawah.

   Akuhanyaakanmengintipsebentar! Sophie kemudian berjingkat di atas lantai kayu yang berderit.

   Dia mengintai kedalam rak-rak di balik pakaian kakeknya.

   Tak ada apa pun.

   Kemudian dia mencari di bawah tempat tidur.

   Masih belum ada apa pun.

   Dia bergerak ke ruang kerjanya, dan membuka laci-lacinya satu per satu dan menggerayanginya.

   Pasti ada sesuatu di sini! Ketika dia mencapai ke dasar laci, dia masih tak menemukan tanda-tanda adanya sebuah boneka.

   Dengan kecewa dia membuka laci terakhir dan menarik selembar pakaian hitam yang belum pernah dia melihat dikenakan kakeknya.

   Baru saja akan menutup laci itu, dia melihat kilau emas di bagian belakang.

   Tampaknya seperti kantong jam saku, namun dia tahu kakeknya tak berdebar ketika dia mulai menerka apa isinya.

   Seuntaikalung! menggunakan itu.

   Jantungnya Dengan berhati-hati Sophie menarik rantai itu dari laci.

   Dia terkejut sekali ketika akhirnya dia melihat sebuah kunci emas yang berkilauan.

   Berat dan berkilauan.

   Dia memegangnya dengan penuh pesona.

   Dia belum pernah melihat kunci seperti itu.

   Umumnya kunci pipih bergerigi, namun yang ini mempunyai batang segi tiga dipenuhi bercak-bercak.

   Kepala besar emasnya berbentuk salib, namun tidak seperti biasanya.

   Yang ini bahkan seperti tanda tambah.

   Di tengahnya, tercetak menonjol, sebuah simbol aneh, dua huruf saling membelit dengan gambar semacam bunga.

   "PS.,"

   Dia berbisik membaca huruf-huruf itu sambil cemberut.

   "Apakah artinyaini?"

   "Sophie?"

   Panggil kakeknya dari ambang pintu. Dengan terkejut, Sophie menoleh, dan menjatuhkan kunci itu ke atas lantai dengan suara keras. Dia menatap kunci itu, takut menatap wajah kakeknya.

   "Aku ... sedang mencari hadiah ulang tahunku,"

   Katanya, sambil menunduk, tahu bahwa dia telah rnengkhianati amanat kakeknya. Seolah sudah lama sekali kakeknya berdiri diam di ambang pintu. Akhirnya, kakeknya menghembuskan napas berat.

   "Pungut kunci itu, Sophie."

   Sophie memungut kunci itu. Kakeknya masuk "Sophie, kau harus menghormati rahasia pribadi orang lain."

   Dengan lembut, kakeknya berjongkok dan mengambil kunci dari tangan Sophie.

   "Kunci ini sangat istimewa. Jika kau menghilangkannya ..."

   Suara tenang kakeknya justru membuat perasaan Sophie menjadi lebih bersalah.

   "Maafkan aku, Grand-pEre. Aku sangat menyesal."

   Dia berhenti.

   "Kukira itu kalung hadiah ulang tahunku."

   Kakeknya menatapnya beberapa detik.

   "Aku katakan ini sekali lagi, Sophie, karena ini sangat penting. Kau harus menghormati rahasia pribadi orang lain."

   "Ya, Grand-pere'."

   "Kita akan membicarakan ini lain kali. Sekarang, taman kita perlu dipotong rumputnya."

   Sophie bergegas keluar kamar untuk mengerjakan tugasnya.

   Keesokan harinya, Sophie tak menerima hadiah ulang tahun dari kakeknya.

   Dia memang tak mengharapkannya setelah apa yang dilakukannya kemarin.

   Namun kakeknya bahkan tak mengucapkan selamat ulang tahun padanya sepanjang hari itu.

   Dengan sedih, dia naik ke tempat tidurnya malam itu.

   Ketika itu dia menemukan sehelai kartu dengan catatan tergeletak di atas bantalnya.

   Pada kartu itu tertulis teka-teki sederhana.

   Sebelum memecahkan teka-teki itu, dia tersenyum.

   Aku tahu apa ini! Kakeknya pernah melakukan ini di pagi hari Natal.

   Perburuanhartakarun! Dengan bersemangat dia membaca dengan teliti teka-teki itu hingga dapat memecahkannya.

   Jawaban itu membawanya ke bagian lain di rumah itu, yang ternyata ada teka-teki lainnya.

   Dia berhasil menerkanya juga, dan segera mengejar kartu berikutnya.

   Dia berlari dengan riang, dan cepat keluar masuk ruangan dalam rumah itu, dari satu petunjuk ke petunjuk lainnya.

   Dan akhirnya dia menemukan sebuah petunjuk yang membawanya kembali ke kamar tidurnya, dan berhenti mendadak.

   Di tengah kamarnya berdiri sebuah sepeda merah berkilap dengan pita terikat pada setangnya.

   Sophie berteriak kegirangan.

   "Aku tahu kau menginginkan sebuah boneka,"

   Kakeknya berkata, tersenyum dari sudut kamar.

   "Kupikir, mungkin kau akan lebih menyukai ini."

   Keesokan harinya, kakeknya mengajari Sophie mengendarai sepeda dengan berlarian di sampingnya di kaki lima. Ketika Sophie melindas rumput tebal, dia kehilangan keseimbangannya. Mereka berdua terguling jatuh ke rumput, bergulingan, dan tertawa.

   "Aku tahu, Sayang. Kau sudah kumaafkan. Aku tak bisa marah terus menerus kepadamu. Kakek dan cucu selalu saling memaafkan."

   Sophie tahu dia seharusnya tak bertanya, namun dia tak dapat menahannya.

   "Kunci itu untuk membuka apa? Aku belum pernah melihat kunci seperti itu. Sangat cantik."

   Kakeknya terdiam lama, dan Sophie melihat kakeknya ragu-ragu menjawabnya.Grand-peretakpernahberbohong.

   "Kunci itu untuk membuka sebuah kotak,"

   Katanya akhirnya.

   "Tempat menyimpan banyak rahasia."

   Sophie cemberut.

   "Aku benci rahasia!"

   "Aku tahu, tetapi ini rahasia penting. Dan suatu hari kau akan belajar menghargainya, seperti aku."

   "Aku melihat huruf-huruf dan bunga."

   "Ya, itu bunga kesukaanku. Namanya fluer-de-lis. Kita punya di taman. Yang putih itu. Di Inggris kita menyebutnya bunga lili."

   "Aku tahu itu! Kesukaanku juga!"

   "Kalau begitu, aku akan buat kesepakatan denganmu. Alis kakek Sophie terangkat, seperti biasanya jika dia sedang menantang Sophie.

   "Jika kau dapat menyimpan rahasia kunciku dan tak pernah membicarakannya lagi, denganku atau dengan siapa, saja suatu hari ketak aku akan memberikannya kepadamu."

   Sophie tak dapat mempercayai telinganya.

   "Benarkah?"

   "Aku berjanji. Jika waktunya tiba, kunci itu menjadi milikmu. Ada namamu di atasnya."

   Sophie cemberut.

   "Tidak. Hurufnya P.S. Namaku P.S.!"

   Kakeknya merendahkan suaranya dan melihat kesekelilingnya seolah untuk meyakinkan tak seorang pun mendengarnya.

   "Baik, Sophie, kau harus tahu, P.S. adalah sebuah kode. Itu inisial rahasiamu."

   Mata Sophie membesar.

   "Aku punya inisial rahasia?"

   "Tentu saja. Cucu selalu punya inisial rahasia yang diketahui kakeknya."

   "P.S.?"

   Kakeknya menggelitiknya."PrincesseSophie."

   Sophie terkekeh.

   "Aku bukan putri!"

   Kakeknya mengedipkan matanya.

   "Bagiku kau seorang putri."

   Mulai hari itu, mereka tidak pernah membicarakan kunci itu lagi. Dan Sophie menjadi Putri Sophie bagi kakeknya. Di dalam Salle des Etats, Sophie berdiri terdiam dan merasa sakit karena sangat kehilangan.

   "Inisial itu,"

   Langdon berbisik, sambil menatapnya aneh.

   "Kau pernah melihatnya?"

   Sophie merasa mendengar suara kakeknya berbisik di gang museum ini.

   "Jangan pernah membicarakan kunci itu, Sophie. Tidak denganku, atau siapa pun."

   Dia tahu, dia sudah pernah mengkhianatinya dan dimaafkan, dan sekarang Sophie bertanya-tanya apakah dia boleh melanggar kepercayaannya lagi.

   PS.

   Cari Robert Langdon.

   Kakeknya ingin Langdon menolongnya.

   Sophie mengagguk "Ya, aku pernah melihat inisial P.S.

   Ketika aku masih kecil."

   "Di mana?"

   Sophie ragu.

   "Di atas sebuah benda yang sangat pentmg baginya."

   Langdon menatap tajam pada mata Sophie.

   "Sophie, ini sangat penting. Apakah inisial itu ada bersama sebuah simbol? Sebuah fleur-de-lis?"

   Sophie merasa limbung karena sangat heran.

   "Tetapi ... bagaimana kautahu itu?"

   Langdon menarik napas dan merendahkan suaranya.

   "Aku sangat yakin, kakekmu anggota dari perkumpulan rahasia. Sebuah kelompok persaudaraan yang sudah sangat lama dan tertutup."

   Sophie merasa tegang pada perutnya. Dia juga yakin itu. Selama sepuluh tahun dia mencoba melupakan kejadian yang telah membuatnya yakin akan hal itu. Dia telah menyaksikan sesuatu Yang tak masuk akal.Yangtakterlupakan.

   "Fleur-de-lis itu,"

   Kata Langdon.

   "jika dikombinasikan dengan inisial P.S., merupakan tanda keanggotaan bagi mereka. Lambang mereka. Logo mereka."

   "Bagaimana kautahu itu?"

   Sophie berdoa, semoga Langdon bukan mau bilang bahwa ia sendiri anggota dari perkumpulan itu.

   "Aku pernah menulis tentang kelompok itu,"

   Kata Langdon, suaranya bergetar karena gembira sekali.

   "Meneliti simbol-simbol rahasia adalah keahlianku. Anggota perkumpulan itu menamakan diri mereka PrieurE de Sion, 'Biarawan Sion'. Mereka berbasis di Prancis sini, dan menarik orangorang kuat dari seluruh Eropa sebagai anggota. Mereka salah satu perkumpulan rahasia tertua yang bertahan di bumi ini."

   Sophie tak pernah mendengarnya. Sekarang Langdon berbicara dengan sangat cepat.

   "Keanggotaan biarawan itu terdiri atas orang-orang penting dalam sejarah, seperti Botticelli, Sir Isaac Newton, Victor Hugo."

   Dia berhenti, sekarang suaranya bernada akademisi.

   "Dan Leonardo da Vinci."

   Sophie terkejut.

   "Da Vinci anggota kelompok rahasia itu?"

   "Da Vinci mengetuai Biarawan sebagai mahaguru dari persaudaraan tersebut dari tahun 1510 hingga 1519. Karena itulah, mungkin, kakekmu begitu menyukai karya Leonardo da Vinci. Keduanya memiliki ikatan persaudaraan historis. Dan sangat sesuai dengan kekaguman mereka pada ikonologi kedewian, paganisme, ketuhanan perempuan, dan kebencian pada gereja. Biarawan memiliki acuan sejarah perempuan suci yang terdokumentasi dengan baik."

   "Maksudmu, perkumpulan ini merupakan kelompok sebuah dewi pagan?"

   "Lebih tepatnya, kelompok pemuja dewi pagan itu. Lebih penting lagi, mereka terkenal sebagai para penjaga sebuah rahasia kuno. Sebuah rahasia yang membuat mereka begitu berkuasa. Walau mata Langdon bersinar begitu meyakinkan, Sophie tidak mempercayainya. Sebuah kelompok pagan rahasia? Dan dikepalai oleh Leonardo daVinci? Itu semua terdengar aneh sekali. Dan walau Sophie tak mau menerimanya, kenangannya kembali pada peristiwa sepuluh tahun silam -pada suatu malam saat dia secara tak sengaja memergoki kakeknya dan menyaksikan sesuatu yang hingga kini tak dapat diterimanya.Dapatkahitumenjelaskan -? "Identitas para anggota Biarawan yang masih hidup terjaga kerahasiaannya,"

   Kata Langdon.

   "tetapi inisial P.S. dan fluer-de-lis yang kau lihat ketika masih kecil itu adalah bukti. Itu hanya dapat dihubungkan dengan Biarawan."

   Sekarang Sophie sadar bahwa Langdon tahu jauh lebih banyak daripada yang dia bayangkan sebelumnya. Orang Amerika ini pastilah punya banyak hal yang dapat dibagikan kepadanya, namun di sini bukanlah tempat yang tepat.

   "Aku tak akan membiarkan mereka menangkapmu, Robert. Banyak yang harus kita diskusikan. Kau harus pergi!"

   Langdon mendengar hanya gumam tak jelas dari suara Sophie.

   Dia tak pergi ke mana pun.

   Dia kini seperti tersesat ke tempat lain.

   Tempat rahasia-rahasja kuno muncul ke permukaan.

   Tempat sejarah~sejarah yang terlupakan muncul dari bayang-bayang.

   Perlahan, seperti bergerak di dalam air, Langdon memalingkan kepalanya dan menatap remangan merah, ke arahMonaLisa.

   Thefleur-de.-lis ....bungaLisa ...MonaLisa.

   Itu semua saling berkaitan, sebuah simfoni diam namun menggemakan rahasia-rahasia dari Biarawan Sion dan Leonardo da Vinci.

   Beberapa mil dari Louvre, di tepi sungai melewati Les Invalides, pengemudi truk gandengan Trailor kebingungan ketika dia berdiri di bawah ancaman pistol dan diawasi oleh seorang kapten Polisi Judisial, yang menyemburkan kemarahan dan kemudian melemparkan sepotong sabun ke dalam Sungai Seine yang lebar.

   MENATAP ke depan ke obelisk Saint-Sulpice, yang setinggi pilar pualam besar.

   Ototnya menegang karena letih.

   Dia mengerling ke sekelilingnya sekali lagi untuk meyakinkan dia memang sendirian.

   Kemudian dia berlutut di depannya, bukan karena sedang menghormat namun dia memerlukannya begitu.

   BatukunciitutersembunyidibawahgarisMawar.

   PadadasarobeliskSulpice.

   Sekarang dia berlutut, tangannya menggerayangi lantai batu itu.

   Dia tak melihat adanya retakan atau tanda-tanda keramik yang dapat digerakkan.

   Kemudian dia mulai ngetuk-ngetuk dengan tulang tinjunya pada lantai.

   Dia mengikuti garis kuningan yang makin mendekati obelisk.

   Dia mengetuk setiap lantai yang berdekatan dengan garis kuningan ke obelisk.

   Akhimya, salah satu dari lantai itu bergema aneh.

   Adaruangandibawahlantaiini! Silas tersenyum.

   Para korbannya telah mengatakan yang sebenarnya.

   Dia kemudian berdiri, dan mencari sesuatu di sekitar ruangan itu yang dapat digunakan untuk memecahkan lantai itu.

   Tinggi di atas Silas, di atas balkon, Suster Sandrine menahan sengal napasnya.

   Sesuatu yang paling ditakutkannya telah terbukti.

   Tamunya ini bukanlah tamu sesungguhnya.

   Seorang biarawan misterius Opus Dei telah datang ke SaintSulpice untuk tujuan yang berbeda.

   Sebuah tujuan rahasia.

   Kaubukanlahsatu-satunyayangpunyarahasia, pikirnya.

   Suster Sandrine Bicil lebih dari sekadar pemelihara gereja.

   Dia juga pengaman gereja ini.

   Dan malam ini, roda kuno itu telah dipasang untuk digerakkan.

   Kedatangan orang asing di bawah obelisk itu merupakan tanda dari kelompok persaudaraan itu.

   Ituadalahseruanmintatolongyanghening.

   KEDUTAAN BESAR Amerika Serikat di Paris merupakan kompleks yang terpadu terletak di Avenue Gabriel, tepat di sebelah utara Champs E1ysees.

   Kompleks berluas sekitar satu setengah hektare itu merupakan tanah otoritas Amerika Serikat.

   Artinya, semua yang berdiri di atasnya berada di bawah hukum dan perlindungan selayaknya mereka berada di Amerika Serikat.

   Operator jaga malam kedutaan sedang membaca Time edisi internasional ketika suara teleponnya mengusiknya.

   "Kedutaan besar Amerika Serikat,"

   Jawabnya.

   "Selamat malam."

   Penelepon itu berbahasa Inggris dengan aksen Prancis.

   "Saya membutuhkan bantuan."

   Walau kata-kata lelaki itu terdengar sopan, suaranya terdengar kasar dan resmi.

   "Saya diberi tahu bahwa saya mendapat pesan telepon pada sistem atomatis Anda. Nama saya Langdon. Sialnya saya lupa kode tiga angka untuk mengaksesnya. Jika Anda dapat menolong saya, saya akan sangat berterima kasih."

   Operator itu terdiam, bingung.

   "Maaf, Pak. Pesan Anda mungkin sudah sangat lama. Sistem itu sudah dihapus dua tahun lalu demi keamanan. Lagi pula, semua kode akses berupa lima angka. Siapa yang memberi tahu Anda tentang pesan tersebut?"

   "Anda tak punya sistem telepon otomatis?"

   "Tidak, Pak. Segala pesan untuk Anda akan dicatat dengan tulisan tangan oleh bagian pelayanan kami. Siapa nama Anda tadi?"

   Namun lelaki itu memutuskan hubungan.

   Bezu Fache merasa bingung ketika dia berjalan hilir-mudik di tepi Sungai Seine.

   Dia yakin telah melihat Langdon memutar nomor local, memasukkan kode tiga angka, kemudian mendengarkan rekaman pesan.

   Tetapi jika Langdontidakmeneleponkedutaan,laludiamenelponsiapa? Ketika melihat ke handphone-nya, dia sadar bahwa jawabannya ada dalam telapak tangannya.Langdonmenelepondengan hand-phone-kutadi.

   Sambil menekan-nekan tombol menu handphone-nya, kemudian mencari nomor telepon terakhir, Fache menemukan nomor yang dituju Langdon tadi.

   Nomor telepon Paris dan diikuti oleh kode tiga angka454.

   Dia kemudian memutar lagi nomor itu, lalu menunggu ketika saluran itu mulai berdering.

   Akhirnya suara seorang perempuan menjawab.

   "BonjOur, vow etes bien chez Sophie Neveu,"

   Rekaman itu memberi tahu. 'je suis absente pour k moment,mais ..."

   Darah Fache mendidih ketika dia menekan nomor 4...5...! WALAU LUKISAN begitu terkenal, ternyata ukuran MonaLisa hanya31 inci kali 21 inci--lebih kecil daripada ukuran posternya yang dijual di toko cendera mata di Louvre.

   Lukisan itu tergantung pada dinding sebelah barat laut ruang Salle des Etats di balik kaca pelindung Plexi, setebal dua inci.

   Dilukis di atas panel kayu poplar, lukisan itu beratmosfir halus, dan tampak berkabut -ini dinisbahkan pada keahlian Da Vinci melukis dengan gayasfumato.

   membuat bentuk-bentuk lukisan tampak membaur satu sama lain.

   Sejak ditempatkan di Louvre, Mona Lisa atau La Joconde, begitu orang Prancis menyebutnya -pernah dicuri dua kali, yang terakhir pada tahun 1911, ketika lukisan itu menhilang dari ruang"salleimpenetrableLouvre-Le Salon CarrE.

   Orang~orang Prancis menangisinya dan menulis artikel-artikel dalam koran memohon pencurinya untuk mengembalikannya.

   Dua tahun kemudian, MonaLisa ditemukan di dasar sebuah koper, di ruang hotel di Florence.

   Langdon, setelah menyatakan dengan jelas kepada Sophie bahwa dia tak mau pergi, lalu berjalan bersama Sophie melintasi Salle des Etats.MonaLisa masih dua puluh yard di depan mereka ketika Sophie menyalakan senter sinar hitamnya.

   Seketika itu juga gulungan sinar kebiruan dari senter berukuran pena itu membesar dan menerangi lantai di depan mereka.

   Sophie mengayun-ayunkan senter itu ke dEpan dan ke belakang di lantai seperti penyapu ranjau, mencari setiap petunjuk dalam bentuk tinta menyala.

   Langdon berjalan di sampingnya.

   Dia sudah mierasa tergetar karena akan melihat langsung karya seni besar.

   Langdon merasa tegang ketika melihat bungkusan cahaya keunguan yang berasal dari senter sinar hitam di tangan Sophie.

   Di sebelah kiri, oktagonal ruangan itu, terdapat sebuah tempat duduk besar, seperti pulau gelap pada lautan parket yang kosong.

   Sekarang Langdon dapat melihat panel dari kaca gelap pada dinding.

   Di belakangnya, dia tahu, di dalam ruang kurungan sendiri, tergantung lukisan yang paling tersohor di dunia.

   Langdon tahu, status MonaLisa sebagai karya seni paling terkenal di dunia tak ada hubugannya dengan senyumannya yang penuh teka-teki itu.

   Juga bukan karena berbagai intepretasi mistenius yang diberikan oleh banyak ahli sejarah seni dan orangorang yang senang konspirasi.

   Sesungguhnya sederhana saja, Mona Lisa terkenal karena Leonardo da Vinci mengakui bahwa lukisan itu merupakan karya terhalusnya.

   Da Vinci selalu membawa-bawa lukisan itu ke mana pun dia pergi, dan jika ditanya mengapa begitu, dia akan menjawab bahwa dia sulit berpisah dengan ekspresi yang begitu agung dari kecantikan seorang perempuan.

   Walau begitu, banyak ahIi sejarah seni mengira bahwa penghormatan Da Vinci pada Mona Lisa tidak ada hubungannya dengan kehebatan artistik lukisan itu.

   Sebenarnya, dan juga mengherankan, lukisan itu hanya sebuah lukisan bergaya sfumato biasa.

   Pemuliaan Da Vinci pada lukisan itu, banyak yang mengakui, terbentuk dari sesuatu yang jauh lebih mendalam, seperti ada pesan tersernbunyi pada sapuan-sapuan catnya.

   Mona Lisa, sesungguhnya, merupakan kelakar tersembunyi yang paling terdokumentasi di dunia.

   Arti ganda lukisan yang merupakan karya besar itu, dan juga sindiran jenakanya, telah terungkap pada buku-buku sejarah seni yang utama.

   Namun demikian, hebatnya, masyarakat umumnya masih menganggap senyum Mona Lisa merupakan misteri besar.

   Tak ada misteri sama sekali, pikir Langdon, sambil melangkah maju dan memperhatikan garis besar lukisan itu yang mu1ai tampak semakin jelas.Tak adamisterisamasekali.

   Belum lama ini Langdon telah berbagi rahasia Mona Lisa dengan sekelompok penghuni penjara -dua belas orang di Penjara Essex County~ Seminar Langdon di penjara merupakan bagian dari perluasan program Harvard untuk berusaha membawa pendidikan ke dalam sistem di penjara -Kebudayaan bagi Narapidana, begitu teman-teman Langdon di kampus menyebutnya.

   Ketika Langdon berdiri di depan sebuah proyektor overhead di dalam perpustakaan penjara, dia berbagi rahasia Mona Lisa dengan para narapidana yang menghadiri kelas itu.

   Mereka ternyata sangat mengejutkan -kasar, namun cerdas.

   "Anda me1ihatnya,"

   Kata Langdon kepada mereka, sambil berjalan kearah gambar dari proyektor pada dinding perpustakaan itu.

   "bahwa latar di belakang wajahnya tak seimbang."

   Langdon menunjuk ke ketidaksesuaian yang mencolok.

   "Da Vinci melukis garis horison pada sebelah kiri jelas lebih rendah daripada yang di kanan."

   "Dia mengacaukannya?"

   Tanya salah seorang penghuni. Langdon tertawa.

   "Tidak. Da Vinci tidak mengacau terlalu sering. Sebenarnya, ini tipuan kecil Da Vinci. Dengan merendahkan daerah dalam di sebelah kiri, Da Vinci membuat MonaLisa tampak lebih besar jika dilihat dari sebelah kiri daripada sebelah kanan. Itu adalah kelakar pribadi Da Vinci. Dari mata sejarah, konsep lelaki dan perempuan telah sisi-sisi---sisi kiri adalah perempuan, sisi kanan adalah lelaki. Karena Da Vinci sangat menyukai prinsip keperempuanan, dia membuat Mona Lisa tampak lebih anggun dari sisikiri daripada sisi kanan."

   "Kudengar dia seorang berjenggot kambing. lelaki hombreng,"

   Kata seorang lelaki kecil Langdon mengernyit.

   "Para ahli sejarah umumnya tidak persis berkata demikian, tetapi memang, Da Vinci seorang homoseksual."

   "Apakah karena itu dia senang dengan seluruh hal yang feminin? ."Sebenarnya, Da Vinci setuju dengan keseimbangan antara jantan dan betina. Dia percaya bahwa jiwa manusia tak dapat diterangi kecuali jika memiliki kedua elemen jantan dan betina itu."

   "Maksud Anda, perempuan tetapi punya penis?"

   Semua yang hadir tertawa. Langdon ingin memberikan sentuhan etimologi tentang katahermaphrodite dan kaitanya dengan kata Hermes dan Aphrodite, namun dia tahu itu hanya akan hilang dalam keramaian ini. 'Hei, Pak Langford,"

   Seorang berotot bertanya.

   "Benarkah bahwa Mona Lisa adalah gambar dari Da Vinci yang mengenakan pakaian ketat perempuan? Kudengar benar begitu."

   "Itu sangat mungkin,"

   Kata Langdon.

   "Da Vinci suka berolok-olok, dan analisa atas Mona Lisa serta potret diri Da Vinci dengan komputer menegaskan beberapa titik kesamaan pada wajah mereka. Apa pun yang dikerjakan Da Vinci,"

   Kata Langdon.

   "Mona Lisa nya bukan lelaki ataupun perempuan. Ia memberi pesan halus tentang androgini. Ia campuran antara keduanya." 'Anda yakin ini bukan hanya omong kosong Harvard untuk mengatakan bahwaMonaLisa adalah perempuan yang buruk rupa?"

   Sekarang Langdon yang tertawa.

   "Mungkin Anda benar. Tetapi sebenarnya Da Vinci meninggalkan memang androgini. Ada Amon?"

   Petunjuk penting bahwa lukisan itu seharusnya yang pennah mendengar dewa Mesir bernama "Tentu saja!"

   Lelaki besar itu berkata.

   "Dewa kesuburan lelaki."

   Langdon terpesona.

   "Itu tertulis pada setiap kotak kondom Amon."

   Lelaki itu menyeringai lebar.

   "Gambarnya adalah seorang lelaki berkepala kambing di bagian depan kotak dan berkata bahwa dia adalah dewa kesuburan Mesir."

   LAngdon tidak mengenal merek itu, namun dia senang mendengar pabrik pabrik alat kontrasepsi yang menggunakan hieroglyph dengan benar.

   "Bagus sekali. Amon memang ditampilkan sebagai seorang lelaki berkepala kambing, dan percampuran serta tanduk melengkungnya berhubungan dengan dialek modern'horny' "Omong kosong!"

   "Bukan omong kosong,"

   Kata Langdon.

   "Dan tahukah anda siapa pasangan Amon? Dewi kesuburan Mesir?"

   Pertanyaan itu membuat kelas sunyi beberapa saat.

   "Isis,"

   Langdon memberi tahu mereka, sambil meraih pena hijau.

   "Jadi, kita punya dewa, Amon."

   Dia menuliskannya.

   "Dan seorang dewi, Isis, yang pictogram kunonya pernah disebut L'ISA."

   Langdon selesai menulis dan mundur dari proyektor itu AMON L'ISA "Ingat sesuatu?"

   Tanyanya.

   "MonaLisa ... kurang ajar!"

   Seru seseorang. Langdon mengangguk.

   "Bapak-bapak, bukan hanya wajah Mona Lisa yang tampak androginis, tetapi namanya juga merupakan anagram dari kesatuan dewa-dewi. Danitulah teman-temanku, rahasia kecil Da Vinci, dan alasan dari senyum Mona Lisa yang terkenal itu."

   "Kakekku tadi ke sini,"

   Kata Sophie, sambil tiba-tiba berlutut, sekarang hanya berjarak sepuluh kaki dariMonaLisa.

   Dia arahkan sinar hitam itu pada sebuah titik di atas lantai parket.

   Awalnya Langdon tidak melihat apa pun.

   Kemudian sesudah berlutut di samping Sophie, dia melihat tetesan kecil dari cairan kuning yang bercahaya.

   Tinta? Tiba-tiba Langdon ingat apa kegunaan sinar hitam itu.

   Darah.

   Dia merasa merinding.

   Sophie benar.

   Jacques SauniEre memang mengunjungi MonaLisa sebelum tewas.

   "Dia tidak akan ke sini tanpa alasan,"

   Bisik Sophie, sambil berdiri.

   "Aku tahu, dia meninggalkan pesan untukku di sini."

   Dengan cepat, Sophie melangkah lagi mendekati Mona Lisa. Dia menyinari lantai di depan lukisan itu. Dia mengayunkan senter itu ke depan dan belakang di atas parket kosong.

   "Tidak ada apa-apa di sini!"

   Pada saat itu, Langdon melihat sebuah kilauan samar ungu pada kaca pelindung di depanMonaLisa.

   Dia memegang pergelangan tangan Sophie dan perlahan menggerakkan senter itu ke atas, ke lukisan itu.

   Mereka berdua seperti membeku.

   Di atas kaca, enam kata bersinar keunguan, coreng moreng rnelintasi wajah MonaLisa.

   DUDUK DI meja SauniEre, Letnan Collet menekankan telepon ke telinganya dengan tak percaya.ApabenaryangkudengardariFache? "Sepotong sabun? Tetapi bagaimana Langdon tahu tentang titik GPS itu?"

   "Sophie Neveu,"

   Jawab Fache.

   "Dia bilang pada Langdon."

   "Apa? Mengapa?"

   "Pertanyaan bagus sekali, tetapi aku saja mendengar sebuah rekaman yang memastikan Sophie memberi tahu Langdon."

   Collet tak menyahut. Apa yang dipikirkan Neveu? Fache telah membuktikan bahwa Sophie telah mengacaukan pekerjaan DCPJ? Sophie Neveu tidak hanya akan dipecat, tapi juga akan masuk penjara.

   "Lalu, Kapten... di mana Langdon sekarang?"

   "Apakah alarm kebakaran berbunyi?"

   "Tidak, Pak."

   "Dan tak seorang pun yang keluar darigerbang Galeri Agung?"

   "Tjdak. Kita telah menempatkan seorang petugas keamanan Louvre di gerbang itu. Seperti yang Anda perintahkan."

   "Baik. Langdon pasti masih berada di dalam Galeri Agung."

   "Di dalam? Tetapi apa yang dilakukannya?"

   "Apakah petugas keamanan itu bersenjata?"

   "'Ia, Pak. Dia penjaga senior."

   "Suruh dia masuk,"

   Perintah Fache.

   "Aku tak mau Langdon keluar."

   Fache terdiam.

   "Dan sebaiknya kau katakan kepada penjaga itu bahwa mungkin Agen Neveu juga ada di dalam bersama Langdon."

   "Saya pikir Agen Neveu sudah pergi."

   "Kau benar-benar melihatnya pergi?"

   "Tidak, Pak, tetapi -"

   "Nah, tak seorang pun di lingkar luar melihamya pergi. Mereka hanya melihatnya masuk ke dalam."

   Collet tercengang karena keberanian Sophie Neveu. Dia masih berada di dalarngedung? "Tangani ini,"

   Perintah Fache.

   "Aku mau Langdon dan Neveu sudah tertangkap saat aku kembali."

   Ketika truk Trailor bergerak, Kapten Fache mengumpulkan anggotaanggotanya.

   Robert Langdon telab terbukti menjadi buronan malam ini.

   Dan dengan bantuan Agen Neveu sekarang, dia .mungkin menjadi lebih sulit ditangkap daripada yang diperkirakan.

   Fache memutuskan tidak mengambil risiko lagi.

   Dengan menahan kemarahannya, dia memerintahkan separuh pasukannya kembali ke lingkar luar Louvre.

   Separuhnya lagi dia kirim untuk menjaga satusatunya tempat di Paris yang memungkinan Langdon bisa lolos.

   Di DALAM Salle des Etats, Langdon menatap kagum pada enam kata bercahaya pada kaca Plexi.

   Teks itu tampak melayang-layang di udara, melemparkan sebuah bayangan bergerigi melintasi senyuman misterius Mona Lisa.

   "Kelompok Biarawan,"

   Bisik Langdon.

   "Ini membuktikan bahwa kakekmu salah seorang anggotanya!"

   Sophie menatap Langdon bingung.

   "Kaumengerti ini?"

   "Inii sempurna,"

   Kata Langdon, mengangguk sambil pikirannya teraduk.

   "Ini sebuah proklamasi dari salah satu filsafat biarawan yang paling fundamental!"

   Sophie tampak tercengang dalam kilauan pesan yang coreng moreng melewati wajahMonaLisa. SO DARK THE CON OF MAN -begitu gelap tipuan lelaki -"Sophie,"

   Kata Langdon.

   "kebiasaan Biarawan pada pengabdian pemujaan dewi didasarkan pada sebuah kepercayaan bahwa seorang yang berkuasa pada masa awal gereja Kristen memengaruhi dunia dengan menyebarkan kebohongan yang merendahkan perempuan dan meninggikan nilai lelaki."

   Sophie tetap diam, menatap kata-kata itu.

   "Biarawan percaya bahwa Constantine dan penerus lelakinya memutar balik dunia dari paganisme matriarkal menjadi Kristen patriarkal dengan cara menyebarkan propaganda yang mensetankan perempuan suci, dengan menghapus dewi dari agama modern untuk selamanya."

   Tarikan wajah Sophie masih tetap tak yakin.

   "Kakekku menyuruhku ke sini untuk menemukan ini. Dia pasti ingin mengatakan lebih banyak daripada sekadarini."

   Langdon mengerti maksud Sophie.

   Sophie mengira ini merupakan kode lagi.

   Namun, apakah arti tersembunyi itu ada atau tidak, Langdon tak dapat langsung menjawabnya.

   Benaknya masih terus bergulat dengan kejelasan pesan SauniEre yang muncul itu.

   Sodarktheconof man, pikirnya.Memangbegitugelap.

   Tak ada yang dapat menyangkal betapa banyak kebaikan yang dilakukan Gereja modern pada dunia yang kacau ini.

   Walau demikian, Gereja memiliki sejarah yang penuh kebohongan dan kekejaman.

   Perang suci yang brutal untuk "mengajar kembali"

   Kaum pagan dan penganut agama pemuja dewi memakan waktu tiga abad, dengan menggunakan cara-cara yang inspiratif sekaligus mengerikan.

   Inkuisisi Katolik menerbitkan buku yang boleh jadi bisa disebut sebagai penerbitan yang paling meminta darah dalam sejarah manusia.

   Malleus Ma/eficarum, 'Godam Para Penyihir', mengindoktrinasi dunia akan "bahaya kebebasan berpikir perempuan"

   Dan mengajari para biarawan bagaimana menemukan, menyiksa, dan menghancurkan mereka. Anggapan "penyihir"

   Oleh Gereja meliputi semua sarjana perempuan, pendeta, gipsi, ahli mistik, Pencinta alam, pengumpul dedaunan, dan segala perempuan yang secara mencurigakan akrab dengan alam."

   Para bidan juga dibunuh karena tindakan mereka yang menggunakan pengetahuan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan...sebuah penderitaan yang, menurut Gereja, merupakan hukuman Tuhan bagi Hawa karena mengambil buah Apel Pengetahuan, sehingga melahirkan terkait dengan gagasan Dosa Asal.

   Selama tiga ratus tahun perburuan tukang sihir, Gereja telah membakar sekitar lima juta perempuan.

   Propaganda dan pertumpahan darah itu berhasil.

   Kehidupan hari ini merupakan bukti hidup dari itu sernua.

   Kaum perempuan, yang pernah dikenal sebagai separuh yang penting dari pencerahan spiritual, telah dimusnahkan dari semua kuil di dunia ini.

   Tidak ada rabi Ortodoks, pendeta Katolik, maupun ulama Islam yang perempuan.

   Satu tindakan penyucian dan Hieros Gamos -penyatuan seksual alamiah antara lelaki dan perempuan sehingga masing-masing menjadi utuh secara spiritual -telah dianggap sebagai tindakan yang memalukan.

   Para lelaki suci yang pernah diminta melakukan penyatuan seksual dengan rekan-rekan perempuan mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan, sekarang khawatir desakan seksual alamiah mereka itu dianggap sebagai tindakan setan, setan yang bekerja sama dengan kaki tangan kesayangannya ...perempuan.

   Bahkan asosiasi feminin dengan tangan kiri tak luput dari penistaan oleh Gereja.

   Di Prancis dan Italia, kata "kiri"--gauche dan sinsitra---menjadi memiliki arti negatif yang dalam, sedangkan tangan kanan terdengar sebagai kebaikan, terampil, dan kebenaran.

   Kini, pikiran radikal dianggapsayapkiri, pikiran irasional dihasilkanotakkiri, dan segala yang jahat disebutsinister.

   Zaman dewi telah berlalu.

   Bandul pendulum telah berayun.

   Ibu Bumi telah menjadi dunia lelaki, dan dewa perusak dan dewa perang sekarang berperan.

   Ego kaum lelaki melaju dua milenium tanpa tercegah oleh rekan perempuannya.

   Biarawan Sion percaya bahwa kemusnahan perempuan suci dalam kehidupan modernlah yang mengakibatkan apa yang disebut oleh suku Indian Hopi sebagai koyanisquatsi, 'hidup tanpa keseimbangan', suatu keadaan tak stabil yang ditandai oleh perang berbahAn bakar testoteron~, sebuah keberlebihan dari masyarakat misoginis, dan sebuah rasa tak hormat yang terus tumbuh pada Ibu Bumi.

   "Robert!"

   Kata Sophie, bisikannya membangunkan Langdon.

   "Ada orang datang!"

   Langdon mendengar suara kaki mendekat di gang.

   "Sini!"

   Sophie mematikan senter sinar hitam dan seperti menguap dari pandangan mata Langdon.

   Untuk beberapa saat, Langdon merasa buta total.

   Ke mana? Ketika pandangannya menjadi jelas lagi, dia melihat bayangan Sophie berlari ke arah tengah ruangan dan menunduk menghindari sinar di belakang bangku oktagonal yang menerangi lukisan.

   Laugdon baru saja akan berlari di belakang Sophie ketika sebuah suara meledak menghentikannya dengan dingin.

   "ArrEtez'"

   Seorang lelaki memerintahkan dari ambang pintu. Petugas keamanan Louvre bergerak maju melalui pintu masuk Salle des Etats. Pistolnya teracung, terbidik mematikan pada dada Langdon. Langdon merasa tangannya terangkat ke atas secara naluriah.

   "Couchez-vous!"

   Perintah petugas itu.

   "Tiarap!"

   Dalam beberapa detik saja, Langdon segera berbaring dengan wajah menghadap lantai. Penjaga itu bengegas mendekati dan menendang tungkai Langdon hingga terentang.

   "Mauvajse idle, Monsieur Langdon,"

   Karanya, sambil menekankan pistolnya keras pada punggung Langdon.

   "Ide buruk, Pak Langdon."

   Dengan wajah menghadap ke lantai parket dan kedua lengan serta tungkai terentang leban, Langdon menemukan sedikit humor ironis dalam posisinya sekarang.

   TheVitruvianMan, pikirnya.

   Tiarap.

   Di DALAM Saint-Sulpice, Silas membawa ke obelisk itu sebuah tempat lilin dari besi yang diambilnya dari altar.

   Batang tempat lilin itu akan menjadi alat pemukul yang baik.

   Silas menatap panel pualan kelabu yang menutupi lubang yang terlihat jelas pada lantai.

   Dia tahu, dia tidak akan dapat menghancurkan penutup itu tanpa menimbulkan suara yang keras.

   Besi dan pualam.

   Suara itu akan menggema pada kubah di langit-langit.

   Apakah suster tadi akan mendengarnya? Seharusnya dia sudah tidur sekarang.

   Walapun demikian, Silas tak mau mengambil risiko itu.

   Dia kemudian mengamati ke sekelilingnya mencari kain untuk membungkus ujung batang besi itu.

   Dia tak melihat apa pun kecuali taplak altar dari kain linen.

   Dia menggunakannya.

   Jubahku, pikirnya.

   Karena tahu bahwa dia sendirian di dalam gereja besar ini, Silas membuka ikatan jubahnya dan menanggalkannya.

   Ketika melepasnya, dia merasakan tusukan kain wolnya pada luka segar di punggungnya.

   Sekarang dia membugil, hanya berbedung pada bagian bawah perutnya.

   Silas membungkuskan jubahnya itu pada ujung tongkat besi tadi.

   Kemudian, ia memukulkan ujung besi itu ke bagian lantai keramik.

   Suara dentam yang terbendung.

   Batu itu tak pecah.

   Dia mengulanginya.

   Dentaman itu berulang, kali ini diikuti oleh suara retak.

   Pada ayunan ketiga, penutup itu akhirnya pecah dan serpihan batu jatuh ke lubang di bawah lantai.

   Sebuahtempatpenyimpanan! Dengan cepat dia memunguti sisa-sisa serpihan dari lubang itu, kemudian dia melongok ke dalam lubang itu.

   Darahnya menggelegak ketika dia berlutut di depan lubang itu.

   Dia mengulurkan tangan pucatnya ke dalam.

   Awalnya dia tak merasakan apa pun.

   Dasar tempat penyimpanan itu kosong, hanya batu halus.

   Kemudian, ketika meraba lebih dalam lagi, dengan menjulurkan tangannya hingga ke bawah Garis Mawar, dia menyentuh sesuatu! Sebuah lempengan batu yang tebal.

   Dia mencengkeramnya dan menariknya keluar dengan hati-hati.

   Ketika berdiri dan memeriksa temuannya, Silas tahu dia sedang memegang sebuah lempengan batu yang dipotong kasar dengan kata-kata terukir di atasnya.

   Sekejap dia merasa seperti Musa di zaman modern.

   Ketika Silas membaca kata-kata yang terukir di atas batu itu, dia merasa heran.

   Semula dia memperkirakan batu kunci itu adalah sebuah peta, atau serangkaian petunjuk yang kompleks, bahkan mungkin sebuah kode.

   Ternyata, lempengan batu itu bertuliskan sebuah inskripsi.

   Ayub 38.11 SebuahayatdalamAlkitab? Silas tercengang karena kesederhanaan yang meragukan ini.

   Tempat rahasia dari apa yang selama ini mereka cari diungkap dalam sebuah ayat Alkitab? Kelompok Persaudaraan itu memperolokkan kelompok kebenaran! Ayub.Babtigapuluhdelapan.Ayatsebelas.

   Walau Silas tak hafal isi ayat sebelas, dia tahu Kitab Ayub menceritakan seorang lelaki yang berhasil mengatasi ujian-ujian dari Tuhan.Tepat, pikirnya, hampir tak sanggup menahan gembiraannya.

   Dia melihat ke belakang, menatap ke bawah ke Garis Mawar yang berkilau, dan tak dapat menahan senyum.

   Di sana, diatas altar utama, di atas penyangga buku, ada sebuah Alkitab bersampul kulit.

   Di balkon, Suster Sandrine gemetar.

   Beberapa saat yang lalu ketika lelaki itu tiba-tiba menanggalkan jubahnya, dia hampir saja berlari dan melaksanakan tugasnya.

   Ketika dia melihat daging Silas yang seputih pualam, Suster Sandrine bingung.

   Punggung lebar terbukanya penuh dengan luka-luka parut berdarah merah.

   Bahkan dari kejauhan pun dia dapat melihat bahwa 1uka itu masih baru.

   Lelakiinibarusajadicambukidengankejam! Suster Sandrine juga melihat cilice berdarah melekat pada paha lelaki itu, dan luka di bawahnya menetes.

   Tuhan macam apa yang menghendaki tubuh luka-luka seperti ini? Ritual Dei, Suster Sandrine tahu, adalah sesuatu yang tak akan pernah dia pahami.

   Namun itu bukan urusannya saat ini.

   Opus Dei mencari batu kunci itu.

   Bagaimana mereka tahu, Suster Sandrine tak dapat membayangkannya.

   Yang dia memikirkannya.

   Sekarang biarawan berdarah tahu, dia tak punya waktu untuk itu mengenakan lagi jubahnya, perlahan.

   Sambil mengempit temuannya, dia bergerak kearah altar, menuju Alkitab itu.

   Sambil menahan napas dan tak bersuara, Suster Sandrine meninggalkan balkon dan berlani ke gang menuju kamarnya.

   Dengan berlutut dan tangannya menahan tubuhnya, dia merogoh ke bawah tempat tidurnya dan menarik sebuah amplop yang telah disembunyikannya selama bertahun-tahun.

   Dia membukanya, dan menemukan empat nomor telepon Paris.

   Dengan gemetar, dia mulai menelepon.

   Dibawah, Silas meletakkan lempengan batu itu di atas altar dan meraih Alkitab bersampul kulit itu dengan tangan penuh semangat.

   Jemari putih panjangnya berkeringat ketika dia membalik lembar-lembar halaman Perjanjian Lama itu.

   Akhirnya, dia menemukan Kitab Ayub.

   Dia mencari bab 38.

   Sambil jarinya menyelusuri teks itu, dia mengira-ngira kata-kata yang akan dibacanya.

   Kata-kataituakanmenunjukkanjalannya! Dia menemukan ayat sebelas, kemudian membacanya.

   Hanya ada tujuh kata.

   Merasa bingung, dia membacanya lagi.

   Dia merasa ada yang sangat salah.

   Ayat itu berbunyi seperti ini.

   SAMPAI DI SINI KAU BOLEH DATANG, TAPI JANGAN LEWAT.

   CLAUDE GOUARD, penjaga keamanan itu, mendidih marah ketika berdiri di dekat tawanannya yang tak berdaya di depan Mona Lisa.

   Bajingan ini telah membunuh Jacques SauniEre! SauniEre sudah seperti ayah bagi GROUARD dan tim keamanannya.

   Gouard tak ingin apa pun kecuali menarik pelatuk pistolnya dan mengubur sebutir peluru dalam punggung Robert Langdon.

   Sebagai penjaga senior, Gouard adalah salah satu dari beberapa penjaga yang membawa pistol berisi peluru.

   Namun, dia mengingatkan dirinya bahwa membunuh Langdon akan membawanya berhadapan dengan kesengsaraan berhubungan dengan Bezu Fache dan sistem penjara Prancis.

   Gouard menarik walkie-talkie-nya dari ikat pinggangnya dan berniat meminta bantuan.

   Apa yang didengarnya hanyalah gangguan penerimaan.

   Pengamanan elektronik tambahan di ruangan ini selalu bermasalah dengan komunikasi para penjaga.Akuharusbergeser ke ambangpintu.

   Dengan masih tetap mengarahkan senjatanya pada Langdon, Gouard mulai bergerak perlahan ke arah pintu masuk.

   Pada langkah ketiganya, dia melihat sesuatu yang langsung menghentikannya.

   Apaitu! Sebuah fatamorgana yang tak jelas muncul di dekat tengah ruangan.

   Sebuah siluet.

   Ada orang lain lagi di ruangan ini? Seorang perempuan tengah bergerak dalam kegeIapan, berjalan cepat jauh ke arah dinding kiri.

   Di depannya, sinar keunguan terayun ke depan dan ke belakang di atas lantai, seolah sedang mencani sesuatu dengan menggunakan senter berwarna.

   "Siapa itu?"

   Tanya Grouard dalam bahasa Prancis, dengan merasakan adrenalinnya memuncak untuk kedua kalinya dalam tiga puluh detik terakhir ini. Tiba-tiba dia tidak tahu harus membidikkan senjatanya ke mana, atau ke arah mana dia harus bergerak.

   "PTS,"

   Jawab seorang perempuan tenang, masih tetap menyinari lantai dengan sentemya.

   Police Technique et Scientifique, Grouard sekarang berkeringat.

   Kupikir semuaagentelahpergi! Sekarang dia mengenali sinar ungu itu sebagai sinar ultra violet, yang biasa dibawa oleh tim PTS.

   Namun dia tetap tak mengerti mengapa DCPJ mencari bukti diruangan ini.

   "Nama Anda!"

   Bentak Grouard, masih dalam bahasa Prancis. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang salah.

   "Jawab!"

   "Ini aku,"

   Ada suara menjawab tenang dalam bahasa Prancis juga.

   "Sophie Neveu."

   Nama itu ternyata tersimpan dalam benak Grouard.

   Sophie Neveu? Itu nama cucu perempuan SauniEre, bukan? Anak perempuan itu pernah datang ke sini, tetapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

   Ini tak mungkin dia! Dan kalaupun itu memang Sophie Neveu, dia sulit memercayai perempuan itu; Grouard telah mendengar kabar angin tentang perselisihan SauniEre dan cucu perempuannya.

   "Anda mengenal saya,"

   Seru perempuan itu.

   "Dan Robert Langdon tidak membunuh kakekku. Percayalah."

   Penjaga Grourad tidak mau langsung memercayai hal itu.

   Akumemerlukan dukungan! Kemudian dia mencoba menyalakan walkie-talkie-nya, namun kembali gangguan udara itu lagi yang terdengar.

   Pintu masuk masih dua puluh yard jauh di be1akangnya.

   Grouard mulai melangkah ke belakang perlahan-lahan, sambil terus mengarahkan pistolnya pada lelaki itu saja.

   Ketika Grouard mundur inci per inci, dia dapat melihat perempuan itu melintasi ruangan sambil mengangkat senter UV-nya dan mengarahkannya ke lukisan besar yang tergantung pada dinding di kejauhan ruang Salle des Etats, tepat di seberang lukisanMonaLisa.

   Grouard terkesiap.

   Dia tahu, itu lukisan apa.

   DemiTuhan,apayangsedangdilakukannya? Di seberang, Sophie Neveu merasa ada keringat dingin meleleh pada dahinya.

   Langdon masih tiarap dengan kaki-tangan terentang di atas lantai.

   Tunggulah, Robert.

   Sebentar lagi sampai.

   Karena tahu penjaga itu tak akan menembak mereka, Sophie sekarang memusatkan perhatiannya pada hal yang sedang dikerjakannya.

   Dia menyoroti area di sekitar sebuah adikarya -salah satu karya Da Vinci lainnya.

   Tapi cahaya UV tidak mengungkap hal yang luar biasa.

   Tidak di lantai, tidak di tembok, bahkan tidak di kanvas itu sendiri.

   Pastiadasesuatudisini! Sophie merasa sangat yakin bahwa dia telah mengerti apa yang dirnaksudkan kakeknya dengan benar.

   Apalagikira-kirayangdiainginkan? Adikarya yang diamati Spohie itu adalah sebuah lukisan setinggi lima kaki.

   Da Vinci melukiskan situasi aneh dari Perawan Suci Maria yang sedang duduk dengan Bayi Yesus, Yohanes Pembaptis, dan Malaikat Uriel di atas bebatuan menonjol yang tampak berbahaya.

   Ketika Sophie masih kanakkanak, setiap kali mereka pergi melihat lukisan Mona Lisa, kakeknya pasti memperlihatkan lukisan yang ini juga.

   Grand-pEre,akudisini! Tetapiakutidakmelihatpesanmu! Di belakangnya, Sophie mendengar si penjaga sedang berusaha lagi menghubungi rekahnya untuk meminta bantuan.

   Berpikirlah! Sophie membayangkan lagi pesan yang tertulis pada kaca pelindung lukisan Mona Lisa.

   So dark the con of man.

   Lukisan di depannya tidak dilindungi kaca yang dapat ditulisi pesan, dan dia tahu kakeknya tidak akan pernah merusak adikarya ini dengan menulis pesan di atasnya.

   Dia tercenung.

   Setidaknya, tidak di depannya.

   Matanya menatap tajam ke atas, merayapi kabel panjang yang menjulur dari langit-langit yang menggantung lukisan itu.

   Mungkinkah itu? Sophie memegang sisi kiri bingkai kayu berukir itu, kemudian menariknya ke arahnya.

   Lukisan itu sangat belakangnya melentur ketika dia menariknya dari besar dan bagian dinding.

   Sophie menyelinapkan kepala dan bahunya ke belakang lukisan itu dan menaikkan senternya untuk memeriksa bagian belakangnya.

   Hanya dalam beberapa detik, Sophie sudah tahu bahwa dia salah.

   Punggung lukisan itu pucat dan kosong.

   Tidak ada teks berwarna ungu di sini, hanya ada warna kecoklatan karena tuanya lukisan itu dan -Tunggu.

   Mata Sophie terpaku pada sebuah kilatan yang terang dari sebuah benda metal yang tersangkut di dekat sisi dasar pelindung bingkai kayu itu.

   Benda itu kecil, sebagian terjepit pada celah tempat kanvas bertemu dengan bingkainya.

   Seuntai rantai emas terjuntai keluar.

   Yang menghentakkan Sophie, rantai itu menempel pada kunci emas yang pernah dilihatnya.

   Kepalanya besar dan dipahat membentuk salib, dengan sebuah segel berukir yang tak diihatnya lagi sejak dia berusia sembilan tahun.

   Sebuah fleur-de-lis dengan inisial P.S.

   Da!am sekejap, Sophie merasa roh kakeknya berbisik ke telinganya.

   Ketika tiba waktunya, kunci itu akan menjadi milikmu.

   Tenggorokannya tercekat ketika ia sadar bahwa kakeknya, bahkan sesudah mati, tetap memenuhi janjinya.

   Kunci ini untuk membuka sebuahkotak, kata kakeknya,tempatakumenyimpanbanyakrahasia.

   Sophie sekarang tahu, semua permainan kata malam ini ditujukan untuk menemukan kunci ini.

   Kakeknya membawa kunci itu ketika dia dibunuh.

   Karena tak mau jatuh ke tangan polisj, dia menyembunyikannya di balik lukisan ini.

   Kemudian kakeknya membuat permainan perburuan harta untuk memastikan Sophie yang akan menemukan kunci itu.

   "Tolong!"

   Teriak penjaga itu, padawalkie-talkie-nya.

   Sophie mencabut kunci itu dan menyelipkannya ke dalam sakunya bersama senter pena UV-nya.

   Setelah keluar dari balik lukisan itu, dia dapat melihat si penjaga terus berusaha keras untuk menghubungi temannya lewat walkietalkie, namun Penjaga itu berdiri di ambang pintu, masih mengarahkan pistolnya pada Langdon.

   "Tolong!"

   Teriaknya lagi pada radionya.

   Gangguan pemancar lagi.

   Dia tak dapat terhubung, Sophie tahu.

   Dia ingat betapa turis sering menjadi putus asa di ruangan ini ketika mereka usaha menelepon ke rumah lewat handphone untuk menyombongkan diri bahwa mereka sedang melihat MonaLisa.

   Pemasangan kabel pengawasan tambahan pada dinding betul-betul menghalangi hubungan telepon, kecuali jika berada di gang.

   Sekarang penjaga itu mundur hingga ke jalan keluar, dan Sophie tahu dia harus segera bertindak.

   Sambil menatap lukisan besar tempat dia menyelinap di belakangnya tadi, Sophie sadar bahwa Leonardo da Vinci telah menolongnya, untuk kedua kalinya.

   Beberapa meter lagi, Grouard berkata pada dirinya sendiri, tetap mengacungkan pistolnya.

   "Berhenti, atau aku akan merusak lukisan ini!"

   Sophie berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. Grouard menatapnya dan menghentikan langkahnya.

   "Ya Tuhan, jangan!"

   Menembus remang kemerahan, Grouard dapat melihat Sophie benar-benar mengangkat lukisan itu .lepas dari kabelnya dan menjatuhkannya di atas lantai di depannya.

   Lukisan setinggi lima kaki itu hampir menyembunyikan keseluruhan tubuhnya.

   Pikiran pertama Grouard adalah bertanya-tanya mengapa kabel-kabel yang terhubung dengan lukisan itu tak mengeluarkan alarm, tetapi tentu saja sensor-sensor kabel pelindung karya seni itu belum dinyalakan kembali malam ini.Apayangperempuanitulakukan! Ketika Grouard melihatnya, darahnya mendingin.

   Kanvas itu mulai menggelembung bagian tengahnya.

   Kerangka rapuh dari Perawan Suci Maria, Bayi Yesus, dan Yohanes Pembaptis itu mulai berubah bentuk.

   "Jangan!"

   Grouard menjerit, membeku karena ketakutan ketika dia melihat karya Da Vinci yang tak ternilai harganya itu meregang. Sophie menekankan lututnya pada bagian tengah lukisan itu dari belakang! "JANGAN!"

   Grouard berlari maju dan mengarahkan pistolnya pada perempuan itu, dan saat itu juga dia tahu bahwa ini hanya gertak sambal.

   Kanvas itu hanyalah kain, namun tentu saja dapat tertembus---sebuah pelindung tubuh seharga enam juta dolar Amerika.

   AkutakdapatmenembakkaryaDaVinci! "Turunkan pistol dan radio Anda,"

   Kata Sophie tenang dalam bahasa Prancis.

   "atau aku akan melubangi lukisan ini dengan lututku. Saya rasa, Anda tahu bagaimana perasaan kakekku tentang ini. Grouard merasa puyeng.

   "Kumohon...jangan. Itu MadonnaoftheRocks."

   Dia menjatuhkan pistol dan radionya, lalu mengangkat tangannya ke atas kepala.

   "Terima kasih,"

   Kata perempuan itu.

   "Sekarang lakukan apa yang aku minta, dan segalanya akan beres."

   Beberapa saat kemudian, urat nadi Langdon masih berdenyut kuat ketika dia berlari di samping Sophie, menuruni tangga darurat menuju lantai dasar.

   Tak seorang pun dari mereka yang mengatakan sesuatu sejak mereka meninggalkan penjaga Louvre yang gemetar di Salle des Etats.

   Pistol penjaga itu sekarang tergenggarn erat dalam tangan Langdon, dan dia tak sabar untuk melepaskannya.

   Senjata itu terasa berat, asing, dan berbahaya.

   Ketika menuruni dua anak tangga sekaligus, Langdon bertanya-tanya apakah Sophie tahu betapa berharganya lukisan yang hampir dirusaknya tadi.

   Hampir sepertiMonaLisa, karya Da Vinci yang dicengkeramnya itu terkenal keburukannya di kalangan ahli sejarah karena terlalu banyak mengandung simbol-simbol paganisme yang tersembunyi.

   "Kau memilih sandera yang berharga,"

   Kata Langdon sambil terus berlari.

   "Madonna of the Rocks,"

   Jawab Sophie.

   "Tetapi aku tidak memilihnya. Kakekku yang memiih. Dia meninggalkan benda kecil untukku di belakang lukisan itu"

   Langdon menatap tajam.

   "Apa? Tetapi bagaimana kau tahu lukisan yang dipilihnya? MengapaMadonnaoftheRocks?"

   "So dark the con of man."

   Sophie tersenyum penuh kemenangan pada Langdon.

   "Aku gagal memecahkan dua anagram terdahulu, Robert. Untuk yang ketiga, aku tidak boleh gagal.

   "SEMUA TEWAS!"

   Suster Sandrine tergagap-gagap berbicara melalui telepon di kediamannya di Saint-Sulpice. Dia meninggalkan pesan dalam mesin penjawab.

   "Kumohon, angkatlah! Mereka semua tewas!"

   Tiga nomor telepon pertama dalam daftarnya memberikan basil yang mengerikan...

   seorang janda histeris, seorang detektif yang kerja lembur di tempat kejadian pembunuhan, dan menghibur keluarga yang sedang seorang pendeta muram yang sedang berduka cita.

   Ketiga orang yang dihubunginya itu telah meninggal dunia.

   Dan kini, selagi menghubungi nomor yang keempat, nomor terakhir -nomor yang baru boleh dia putar bila ketiga nomor pertama tak dapat dihubungi---Suster Sandrine terhubung dengan mesin penjawab.

   Suara di mesin penjawab itu tak memberikan nama, hanya meminta penelepon untuk meninggalkan pesan.

   "Panel lantai telah dipecahkan!"

   Dia memohon saat meningga1kan pesannya pada mesin penjawab.

   "Tiga lainnya telah tewas!"

   Suster Sandrine tidak tahu identitas keempat orang yang dilindunginya itu, namun nomor-nomor telepon pribadi itu, yang disembunyikan di bawah tempat tidurnya, hanya boleh dihubungi dengan satu syarat.

   Jika panel lantai dipecahkan, kata pembawa pesan yang tak tampak wajahnya kepada Suster Sandrine, itu artinya eselon atas sudah tertembus.

   Salahsatudarikamitelahdisiksahinggamatidandipaksauntukberbohong.

   Teleponnomor-nomoritu.

   Peringatkan yanglain.Janganterlantarkankami dalamhalini.

   Itu merupakan alarm tak bersuara.

   Mudah dan sederhana Rencana itu mengherankannya ketika dia pertama kali mendengarnya.

   Jika satu saudara diketahui identitasnya, yang bersangkutan boleh berbohong dengan tujuan memperingatkan yang lainnya.

   Namun, malam ini, tampaknya lebih dari satu saudara telah terbongkar identitasnya.

   "Kumohon, jawablah,"

   Suster Sandrine berbisik dalam ketakutan.

   "Di mana kau?"

   "Letakkan telepon itu,"

   Sebuah suara berat berkata dari ambang pintu. Suster Sandrine menoleh ketakutan. Dia melihat pendeta bertubuh besar itu. Lelaki itu membawa tempat lilin besi yang berat. Dengan gemetar, Suster Sandrine meletakkan kembali telepon itu pada tempatnya.

   "Mereka semua mati,"

   Kata rahib itu.

   "Keempatnya. Dan mereka telah mempermainkan aku. Katakan di mana batu kunci itu."

   "Aku tidak tahu!"

   Suster Sandrine berkata jujur.

   "Rahasia itu dijaga oleh yang lainnya."Yangsudahtewasjuga! Lelaki itu maju, kepalan tangan putihnya mencengkeram tempat lilin besi.

   "Kau suster gereja, tetapi kau mengabdi kepadamereka?"

   "Yesus punya satu pesan yang sejati,"

   Kata Suster Sandrine menantang.

   "Aku tak dapat melihat pesan itu dalam Opus Dei."

   Ledakan kemarahan tiba-tiba tampak di balik mata rahib itu.

   Ia menerjang, menyerang dengan tiba-tiba dengan menggunakan ternpat lilin sebagai alat pemukul.

   Ketika Suster Sandrine roboh, perasaan terakhirnya adalah semacam putus asa yang melimpah.

   Keempatnyatewas.

   Kebenaranyangberhargaitutelahhilangselamanya.

   ALARM PENGAMAN pada ujung barat Sayap Denon membuat burung burung dara di dekat Taman Tuileries beterbangan.

   Saat itu juga Langdon dan Sophie menghambur keluar dari gedung memasuki udara malam Paris.

   Ketika mereka berlari melintasi plaza menuju mobil Sophie, Langdon dapat mendengar sirene mobil polisi meraung-raung di kejauhan.

   "Itu, di situ,"

   Seru Sophie, sambil menunjuk pada sebuah mobil dua tempat duduk berwarna merah dan berhidung mancung Diabercanda,bukan? Itu mobil terkecil yang pernah dilihat Langdon.

   "SmartCar,"

   Kata Sophie.

   "Seratus kilometer dengan satu liter bensin saja."

   Langdon baru saja berhasil menyelipkan tubuhnya ke dalam mobil itu begitu Sophie melesatkan SmartCar melalui tepi jalan, masuk ke pemisah jalan yang berkerikil.

   Langdon mencengkeram dasbor ketika mobil itu melaju cepat melintasi sebuah kaki lima dan kembali berputar turun melalui sebuah putaran kecil di Carrousel du Louvre.

   Da1am sekejap, Sophie tampak mempertimbangkan untuk rnengambil jalan pintas melintasi putaran itu dengan menerobos lurus ke depan, melanggar pagar keliling, dan membagi lingkaran berumput di tengah.

   "Jangan!"

   Teriak Langdon, karena dia tahu pagar sekeliling Carrousel du Louvre dibuat untuk menyembunyikan jurang di tengah yang berbahaya -La Pyramide InversEe -kaca atap piramid yang terjungkir balik yang pernah dilihat Langdon sebelumnya ketika dia berada di dalam museum.

   Jurang itu cukup besar untuk menelan SmartCar.

   Untunglah, Sophie memutuskan untuk mengambil jalur yang konvensional saja, dengan membanting keras-keras ban mobil ke kanan, memutari lingkaran dengan semestinya hingga mereka keluar, dan meluncur ke jalur lingkar batas utara, kemudian mempercepat laju ke arah Rue de Rivoli.

   Sirene dua nada mobil polisi meraung lebih keras di belakang mereka, dan Langdon dapat melihat lampu mobil mereka dari kaca spion di sampingnya.

   Mesin SmartCar menggerung protes ketika Sophie memaksa kecepatannya menjauh dari Louvre.

   Lima puluh yard ke depan, lampu lalu lintas di Rivoli menyala merah.

   Sophie mengumpat perlahan dan terus membalap mobilnya ke arah lampu itu.

   Langdon merasa otot-ototnya menegang.

   "Sophie?"

   Sophie memperlambat mobilnya sedikit saja ketika mereka tiba di perempatan.

   Sophie mengedipkan lampu besar mobilnya dan melirik cepat ke kiri dan kanan sebelum kemudian mengganti kopling lagi dan membelok ke kiri dengan mengiris tajam melalui Perempatan Rivoli yang sepi.

   Sophie melesat ke barat sekitar seperempat mil, kemudian membelok ke kanan memutari sebuah putaran lebar.

   Segera mereka melesat keluar ke sisi yang lain dan masuk ke jalan besar Champs-Elysees.

   Ketika mereka melaju lurus, Langdon memalingkan tubuhnya ke belakang, menjulurkan lehernya untuk melihat ke jendela belakang ke arah Louvre.

   Polisi tampaknya tidak dapat mengejar mereka.

   Lautan sinar biru berbaur dengan museum itu.

   Walau kunci itu hampir tidak terpikirkan oleh Sophie selama bertahuntahun ini, pekerjaannya di bagian komunitas inteligen mengajarkan padanya banyak hal tentang keamanan, dan sekarang kunci dengan hiasan khas itu tak lagi tampak begitu menakjubkan.

   Sebuah matriks bervariasi yang dibuat dengan menggunakan peralatan laser.

   Tak mungkin dipalsukan.

   Rangkaian bercak-bercak bekas pembakaran sinar laser dari kunci ini dilihat dengan mata elektrik.

   Jika mata itu memutuskan bercak-bercak heksagonal itu telah ditempatkan, diatur, dan diputar secara benar, maka induk kuncinya bisa terbuka.

   Sophie tak dapat membayangkan kunci seperti ini untuk membuka apa, namun dia merasa Robert punya jawaban dan akan mengatakan padanya.

   Lagi pula, Langdon sudah dapat menjelaskan tentang segel berembos kunci tersebut sebelum melihatnya sama bahwa pemiliknya adalah sekali.

   Tanda salib di atasnya mengisyaratkan anggota organisasi Kristen, namun Sophie tak mengenal satu gereja pun yang memakai kunci matriks bervariasi yang dibuat dengan menggunakan laser.

   Lagipula,kakekkubukanpenganutKristen...

   Sophie telah melihat cetakan percobaannya sepuluh tahun yang lalu.

   Ironisnya, ada kunci lain -sebuah kunci yang lebih biasa -yang telah menyingkapkan kepadanya siapa sesungguhnya kakeknya.

   Siang itu cukup hangat ketika Sophie mendarat di bandara Charles de Gaulle dan memanggil taksi untuk pulang ke rumah.

   Grand-pEre pasti akan terkejut melihatku, pikirnya.

   Sophie pulang untuk liburan musim semi dari kuliah kesarjanaannya di Inggris, beberapa hari lebih awal.

   Dia tak sabar untuk menceritakan pada kakeknya tentang metode enkripsi yang dipelajarinya Namun, ketika dia tiba di rumahnya di Paris, kakeknya tidak ada di rumah.

   Meski kecewa, dia tahu kakeknya tidak mengira cucunya akan pulang hari itu dan tentulah dia sedang bekerja di Louvre.

   Tetapi ini hari Sabtu siang, Sophie heran juga.

   Kakeknya jarang bekerja pada akhir pekan.

   Pada akhir pekan, dia biasanya -Sambil tersenyum Sophie berlari ke luar menuju garasi.

   Cukup jelas, mobil kakeknya tidak di tempat.

   Ini akhir pekan.

   Jacques SauniEre benci mengemudikan mobil di dalam kota, dan dia hanya punya satu alasan untuk memiliki sebuah mobil, yaitu puri liburannya di Normandia, di sebelah barat Paris.

   Setelah beberapa bulan tinggal di London dengan kemacetan lalu lintasnya, Sophie sangat ingin menikmati harumnya alam dan memulai liburannya sesegera mungkin.

   Saat itu masih sore, dan dia memutuskan untuk berangkat secepatnya untuk mengejutkan kakeknya.

   Dengan meminjam mobil temannya, Sophie mengemudi ke utara, menyusuri bukit sunyi berkelok-kelok dekat Creully yang dipenuhi tumbuhan merayap berbunga putih.

   Dia tiba di puri kakeknya pada hampir pukul sepuluh malam.

   Sophie segera memasuki jalan pribadi menuju tempat peristirahatan kakeknya.

   Jalan masuk itu lebih dari satu mil panjangnya, dan dia baru berada di separuh perjalanan sehingga belum dapat melihat rumah itu melalui celah pepohonan -sebuah puri batu tua raksasa, terletak di tengah hutan kecil di sisi sebuah bukit.

   Sophie tahu kakeknya pasti belum tidur pada jam seperti sekarang ini, dan dia senang melihat rumah itu terang oleh cahaya.

   Namun, kegembiraannya berubah menjadi keterkejutan ketika dia melihat jalan masuk rumah itu dijejali oleh sejumlah mobil---Mercedes, BMW Audi, dan sebuah Rolls-Royce.

   Sophie menatap sesaat dan tertawa.

   Grand-pEre-ku,seorangpertapayang terkenal! Ternyata Jacques SauniEre bukanlah seorang Pertapa yang sesungguhnya.

   Jelas, dia sedang berpesta dengan tamu-tamunya saat Sophie kuliah di luar negeri, dan dari jenis mobil yang terlihat, tamu kakek Sophie adalah orang-orang terpandang di Paris.

   Karena sangat ingin mengejutkan kakeknya, Sophie bergegas menuju pintu depan.

   Namun, ketika tiba di sana, dia mendapati pintu tersebut terkunci.

   Dia mengetuknya.

   Tak seorang pun membukakan pintu itu.

   Dengan bingung, dia berjalan memutar dan mencoba pintu belakang.

   Terkunci juga.

   Tak ada jawaban.

   Dengan terheran-heran, dia berdiri sebentar dan mencoba mendengarkan.

   Saat itu, satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah desau angin Normandia yang sejuk, terdengar seperti rintihan rendah ketika berhembus melintasi lembah itu.

   Tak ada suara musik.

   Tak ada suara orang berbicara.

   Tak ada apa pun.

   Dalam kesunyian hutan, Sophie bergegas ke samping dan memanjat tumpukan kayu api, mengintai dari jendela ruang duduk.

   Apa yang dilihatnya di dalam sama sekali tak masuk akal.

   "Tak ada seorang pun di sini!"

   Keseluruhan lantai bawah tampak kosong dan sunyi.

   Kemanaorang-orangitu? Dengan jantung berdebar kuat, Sophie berlari ke gudang dan mengambil kunci cadangan yang disembunyikan kakeknya di bawah kotak kayu.

   Dia berlari ke pintu depan dan masuk.

   Ketika dia melangkah ke ruangan depan yang sangat sunyi, panel aman mulai berkedip merah -peringatan bagi siapa pun yang masuk untuk segera memasukkan kode yang tepat sebelum alarm menyala.

   Kakekmengaktifkanalarmsaatpesta? Sophie segera memasukkan kode dan mematikan sistem alarm.

   Sophie melangkah semakin dalam, dan melihat ternyata tak ada orang di seluruh rumah ini.

   Juga di atas.

   Ketika dia turun lagi ke ruangan kosong, dia berdiri sebentar dalam keheningan dan bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi di sini.

   Pada saat itulah ia kemudian mendengarnya.

   Suara sayup-sayup.

   Dan, tampaknya berasal dari bawah.

   Sophie tak bisa mengerti.

   Sambil merundukkan badannya, ia menempelkan kupingnya ke lantai dan mendengarkan.

   Ya itu benar-benar berasal dari bawah.

   Suara itu seperti bernyanyi atau ...

   mengalunkan lagu-lagu pujian? Sophie ketakutan.

   Yang lebih rnenakutkan lagi, Ia tahu bahwa rumah ini tak punya ruang bawah tanah.

   Setidaknyaakubelumpernahmelihatnya.

   Sophie berpaling dan mengamati ruang duduk.

   Matanya menangkap satusatunya benda yang tidak berada pada tempat biasanya...permadani antik dari Aubuson kesayangan kakeknya, sekarang terhampar di lantai.

   Biasanya permadani itu tergantung menutupi dinding timur di samping perapian, namun malam ini permadani itu ditarik turun dari gantungan kuningannya, sehingga dinding di belakangnya terlihat.

   Sophie berjalan ke arah dinding kayu telanjang itu, dan dia mendengar nyanyian itu semakin keras.

   Dengan ragu, dia menempelkan telinganya pada dinding kayu itu.

   Suara itu lebih jelas sekarang.

   Orang-orang itu betul-betul sedang menyanyi...melantunkan kata-kata yang tak dapat dimengerti Sophie.

   Adaruangandibalikdindingini? Dia meraba-raba tepian panel-panel itu dan menemukan lubang sebesar jemari.

   Lubang itu dikerat tak kentara.

   Sebuab pintu geser.

   Dengan jantung berdebar keras, dia memasukkan jarinya ke lubang itu dan menggeser pintunya.

   Tanpa bunyi sama sekali, dinding berat itu bergeser membuka.

   Dari kegelapan, suara itu bergema.

   Sophie menyelinap melalui pintu itu dan menapaki anak tangga batu kasar yang melingkar ke bawah.

   Dia sudah datang ke rumah ini sejak masih kanakkanak dan tak pernah tahu akan keberadaan tangga batu ini! Ketika dia turun, udara menjadi lebih dingin.

   Suara-suara itu menjadi lebih jelas.

   Sekarang dia dapat mendengar suara lelaki dan perempuan.

   Jarak pandangannya terbatas karena terhalang oleh lingkar tangga itu, namun pada anak tangga terakhir dia dapat melihat lebih jelas.

   Dia dapat melihat sebidang lantai -dari batu, diterangi oleh sinar jingga yang berkilauan dari api unggun.

   Sambil menahan napas, Sophie turun beberapa langkah lagi, dan berjongkok untuk melihat.

   Dia membutuhkan beberapa detik untuk mengerti apa yang sedang dilihatnya.

   Ruangan itu merupakan sebuah gua -sebuah ruangan dinding kasar yang tampaknya diambil dari granit sisi bukit.

   Satu-satunya cahaya berasal dari obor-obor yang menempel di dinding.

   Di bawah cahaya obor itu, sekitar tiga puluh orang berdiri membuat lingkaran di tengah ruangan.

   Aku sedang bermimpi, kata Sophie pada dirinya sendiri.

   Sebuah mimpi.

   Apalagikalaubukanmimpi? Semua orang dalarn ruangan itu menggunakan topeng.

   Yang perempuan mengenakan gaun panjang putih halus dan bersepatu keemasan.

   Mereka mengenakan topeng berwarna putih sambil membawa bola emas.

   Sedangkan yang lelaki mengenakan tunik panjang hitam dan topeng berwarna hitam.

   Mereka tampak seperti buah-buah catur di atas papan catur raksasa.

   Semua orang dalam lingkaran itu bergoyang ke depan dan ke belakang dan bernyanyi sebagai penghormatan kepada sesuatu yang ada di di lantai hadapan mereka ...

   sesuatu yang tak dapat dilihat Sophie.

   Nyanyian itu kembali mengeras.

   Menjadi lebih cepat.

   Menggelegar.

   Lebih cepat.

   Dan lebih cepat lagi.

   Orang-orang bertopeng itu maju selangkah, kemudian berlutut.

   Saat itu juga Sophie akhirnya dapat melihat apa yang dihadapi oleh orang-orang bertopeng itu.

   Dia terhuyung ke belakang karena ketakutan.

   Dia merasa gambaran itu akan menggenang dalam kenangannya selamanya.

   Dia merasa mual dan kemudian berpaling.

   Dengan berpegangan padA dinding batu, dia bergerak naik.

   Setelah mendorong kembali pintu itu hingga tertutup, Sophie segera berlari meninggalkan rumah sunyi itu, dan mengemudikan mobilnya dengan air mata berderai, kembali ke Paris.

   Malam itu juga, Sophie merasa hidupnya kekecewaan dan pengkhianatan.

   Dia kemudian hancur berkeping karena mengepak segala benda miliknya dan meninggalkan rumahnya.

   Di meja makan, dia meninggalkan pesan untuk kakeknya.

   AKU TADI KE SANA.

   JANGAN COBA CARI AKU.

   Di samping pesan itu, dia meletakkan kunci cadangan yang tadi diambilnya dari gudang puri kakeknya.

   "Sophie!"

   Suara Langdon terdengar.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Terjaga dari kenangannya, Sophie menginjak pedal rem, menurunkan kecepatan, kemudian berhenti.

   "Apa? Ada apa?!"

   Langdon menunjuk ke depan.

   Ketika Sophie melihatnya, darahnya menjadi dingin.

   Seratus yard ke depan, perempatan telah diblokir oleh dua mobil polisi DCPJ, diparkir menyerong.

   Tujuan mereka sudah jelas.MerekateiahmenutupAvenueGabriel! Langdon mendesah muram.

   "Kukira kedutaan besar sudah terhalang bagi kita malam ini."

   Di jalan, dua petugas DCPJ yang berdiri di samping mobil mereka menatap ke arah Sophie dan Langdon.

   Tampaknya mereka curiga karena mobil dengan lampu besar menyala itu berhenti tiba-tiba, di jalan yang mereka jaga.

   Baik,Sophie,berputarlahdengansangatlambat..

   Sophie memundurkanSmartCarnya, lalu melesat.

   Ketika itu juga terdengar ban mobil lain berdecit di belakang mereka.

   Kemudian suara sirene meraung.

   Sambil mengumpat, Sophie mengganti gigi persenelingnya.

   SMARTCAR SOPHIE membelah area diplomatik, berkelok-kelok melalui beberapa kedutaan besar dan konsulat, sampai akhirnya melesat ke luar tepi jalan dan berbelok ke kanan, ke jalan utama Champs-ElysEes.

   Langdon duduk di kursi penumpang dengan pucat pasi.

   Ia menoleh ke belakang mengamati tanda-tanda keberadaan polisi di belakang mereka.

   Tibatiba Langdon menyesal telah melarikan diri.

   Kau tidak melarikan diri, dia mengingatkan dirinya.

   Sophie telah membuatkan keputusan itu baginya ketika perempuan itu membuang keping GPS melatui jendela kamar kecil pria.

   Sekarang, ketika mereka melesat menjauh dari kedutaan besar, berkelok-kelok melintasi lalu lintas yang masih sepi di Champs-E1ysees, Langdon merasa pilihannya semakin memburuk.


Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Pendekar Rajawali Sakti Siluman Muka Kodok Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan

Cari Blog Ini