Ceritasilat Novel Online

Death Du Jour 3


Kathy Reichs Death Du Jour Bagian 3



"Aku memang sering meminta mereka melakukannya. Membuat fotokopi dan merapikannya di rak. Pekerjaan yang pasti sangat melelahkan. Tapi, penelitian yang sebenarnya juga sangat melelahkan. Mahasiswaku dan para pembantuku sangat sabar menghadapiku."

   Dia kemudian tersenyum kepada Sandy, yang membalas senyumannya dan kembali merapikan jurnal. Aku benarbenar heran melihat betapa berbedanya Jeannotte saat menghadapi mahasiswi ini dibandingkan dengan saat menghadapi Anna.

   "Sekarang, mari kutunjukkan apa yang kutemukan. Kurasa kamu pasti akan menyukainya."

   Dia menunjuk sofa.

   Saat kami sudah duduk, dia mengeluarkan setumpukan bahan dari dalam meja kuningan kecil di sebelah kanannya, dan menunduk mempelajari cetakan yang terdiri atas dua lembar kertas.

   Belahan rambutnya membentuk garis putih yang membelah rambutnya.

   "Semua ini beberapa judul buku tentang Quebec pada abad kesembilan belas. Aku yakin banyak di antara buku ini yang menyebut-nyebut keluarga Nicolet."

   Dia menyerahkannya kepadaku dan aku menatap daftar itu sekilas, tetapi aku sedang tidak memikirkan Elisabeth Nicolet.

   "Dan buku yang ini tentang epidemi campak pada tahun 1885. Mungkin menceritakan Elisabeth dan usahanya memerangi epidemi itu. Paling tidak, bisa memberikan gambaran mengenai zaman itu dan kepedihan yang melanda Montreal saat itu."

   Buku ini masih baru dan dalam kondisi yang baik sekali, seakanakan belum pernah ada orang yang membacanya.

   Kubalik-balik beberapa lembar halamannya, walaupun tidak membaca apa yang tertulis di situ.

   Apa yang hendak dikatakan Sandy beberapa saat yang lalu? "Tapi, kurasa kamu pasti akan menyukai ini."

   Dia menyerahkan barang yang sepertinya tiga buku besar yang sudah tua, kemudian menyandarkan tubuhnya, senyuman masih tersungging di bibirnya, tetapi mengamati diriku dengan cermat. Sampul ketiga buku itu berwarna abu-abu dengan

   Jilid berwarna ungu yang rapi.

   Perlahan-lahan, kubuka sampulnya dan membalik beberapa halaman.

   Baunya apek, seperti barang yang disimpan bertahuntahun di ruang bawah tanah atau loteng.

   Ternyata bukan buku besar, melainkan buku harian, yang ditulis tangan dengan tulisan yang jelas dan tebal.

   Kulirik catatan pertama.

   1 Januari 1844.

   Kulihat halaman paling belakang.

   23 Desember 1846.

   "Semuanya ditulis oleh Louis-Phillipe Belanger, paman Elisabeth. Dia terkenal sebagai penulis jurnal yang sangat produktif, jadi dengan mengikuti naluriku, aku memeriksa bagian penyimpanan dokumen milik kami. Dan memang, McGill memiliki sebagian dari jurnalnya. Aku tidak tahu di mana buku catatannya yang lain, atau apakah masih ada, tapi aku bisa menolongmu mencarikannya. Aku harus menjual jiwaku untuk mendapatkan buku ini."

   Dia tertawa.

   "Aku meminjam buku-buku yang tanggalnya sekitar tanggal kelahiran Elisabeth dan masa kecilnya."

   "Ini benarbenar luar biasa,"

   Ujarku, untuk sejenak melupakan Anna Goyette.

   "Aku tidak tahu harus mengatakan apa."

   "Katakan saja bahwa kamu akan menjaganya baikbaik."

   "Aku benarbenar boleh meminjam buku-buku ini?"

   "Ya. Aku percaya padamu. Aku yakin kamu pasti tahu nilai buku ini dan akan menjaganya."

   "Daisy, aku benarbenar berterima kasih. Ini lebih dari yang kuharapkan."

   Dia mengangkat tangan, tanda tidak usah membesar-besarkannya, kemudian pelan-pelan meletakkan kembali tangan itu di pangkuannya.

   Untuk sejenak, kami berdua tidak berkata apa-apa.

   Aku sudah tidak sabar untuk keluar dari situ dan membaca buku harian tersebut.

   Lalu, aku teringat pada keponakan Suster Julienne.

   Dan katakata Sandy.

   "Daisy, boleh aku bertanya tentang Anna Goyette?"

   "Boleh."

   Dia masih tersenyum, tetapi matanya tampak menyimpan rasa curiga.

   "Seperti yang sudah kamu ketahui, aku bekerja sama dengan Suster Julienne, yang adalah bibi Anna."

   "Aku tidak tahu mereka ada hubungan keluarga."

   "Ya. Suster Julienne meneleponku dan menyampaikan kabar bahwa Anna sudah sejak kemarin pagi tidak pulang ke rumahnya dan ibunya sangat cemas."

   Selama percakapan ini, aku mengamati gerakan tubuh Sandy saat dia memilah-milah jurnal dan meletakkannya di dalam rak. Bagian ujung kantor itu sekarang benarbenar hening. Jeannotte juga menyadari hal itu.

   "Sandy, kamu pasti sudah lelah. Kamu boleh pergi sekarang dan beristirahat dulu."

   "Aku baik-"

   "Sekarang."

   Mata Sandy bertemu dengan mataku saat dia berjalan melewati kami dan keluar ruangan. Ekspresi wajahnya tidak bisa kutebak.

   "Anna adalah wanita muda yang sangat cerdas."

   Lanjut Jeannotte.

   "Sedikit gugup, namun sangat cerdas. Aku yakin dia baikbaik saja."

   Sangat tegas.

   "Kata bibinya tidak biasanya Anna tidak pulang seperti ini."

   "Anna mungkin memerlukan waktu untuk menyendiri. Aku tahu dia beberapa kali bertengkar dengan ibunya. Dia mungkin hanya pergi selama beberapa hari."

   Sandy tadi mengatakan bahwa Jeannotte sangat melindungi mahasiswanya.

   Itukah yang kulihat sekarang ini? Apakah profesor itu mengetahui sesuatu, tapi tidak mau mengatakannya? "Kurasa aku cenderung suka lebih khawatir daripada orang pada umumnya.

   Dalam pekerjaanku, aku sering menyaksikan banyak wanita muda yang tidak dalam kondisi baikbaik saja."

   Jeannotte memandang tangannya. Untuk sejenak dia tidak berkata apa-apa. Lalu, dengan senyuman yang sama, dia berkata.

   "Anna Goyette sedang berusaha menjauhkan diri dari situasi rumahnya yang tidak nyaman. Itu saja yang bisa kukatakan, tapi aku bisa memastikan bahwa dia baikbaik saja dan bahagia."

   Mengapa bisa begitu yakin? Haruskah aku memercayainya? Tapi, peduli amat. Kuungkapkan saja apa yang ada dalam pikiranku untuk melihat reaksinya.

   "Daisy, aku tahu ini pasti kedengarannya aneh, tapi aku mendengar kabar bahwa Anna terlibat dalam semacam sekte pemujaan setan."

   Senyuman itu hilang.

   "Aku bahkan tidak akan menanyakan dari mana kamu mendapatkan informasi itu. Hal itu tidak mengejutkanku."

   Dia menggelengkan kepalanya.

   "Para penganiaya anakanak. Pembunuh psikopat. Juru selamat palsu. Peramal hari kiamat. Pemuja setan. Tetangga iri yang memberikan racun arsenik kepada anakanak di hari Halloween."

   "Tapi, semua ancaman itu nyata."

   Aku mengangkat alis mata.

   "Apa iya? Atau mereka hanya dongeng saja? Peringatan untuk zaman modern."

   "Peringatan?"

   Aku bertanya dalam hati, apa hubungan semua itu dengan Anna.

   "Sebuah istilah yang digunakan penggemar dongeng untuk menggambarkan bagaimana orang mengaitkan rasa takut mereka dengan berbagai dongeng tersebut. Itu cara untuk menjelaskan pengalaman yang membingunkan."

   Wajahku menunjukkan bahwa aku masih tidak mengerti.

   "Setiap kebudayaan memiliki cerita, dongeng rakyat yang mengungkapkan kegelisahan yang sama. Rasa takut pada hantu, orang asing, makhluk luar angkasa. Anakanak yang menghilang. Saat sesuatu yang tidak bisa kita pahami terjadi, kita menghubungkannya dengan hikayat lama. Penyihir yang menculik Hans dan Gretel. Orang di mal yang menculik anakanak yang berjalan sendirian. Itu adalah cara untuk membuat pengalaman yang membingungkan itu sepertinya masuk akal. Jadi, orang menceritakan kisah penculikan UFO, penampakan Elvis, permen beracun saat Halloween. Selalu terjadi pada temannya teman, sepupu, anak atasan."

   "Bukankah peracunan permen di hari Halloween itu nyata?"

   "Seorang sosiolog menelaah artikel surat kabar dari tahun 1970-an sampai 1980-an dan hanya menemukan dua kematian yang terjadi pada saat kehebohan peracunan permen di hari Halloween, keduanya oleh anggota keluarga. Sangat sedikit kecelakaan lainnya yang ter-dokumentasikan di media masa. Tapi, dongeng itu terus bergulir karena mengungkapkan rasa takut yang kita pendam. anakanak hilang, rasa takut akan malam hari, rasa takut pada orang asing."

   Kubiarkan dia terus bercerita, menunggu penjelasan tentang hubungan semua itu dengan Anna.

   "Kamu sudah dengar mitos subversi? Ahli antropologi senang mendiskusikan hal itu."

   Aku mencoba mengingat kembali seminar S2 tentang mitologi.

   "Menyalahkan orang lain. Berbagai cerita yang memunculkan kambing hitam untuk berbagai permasalahan yang rumit."

   "Tepat sekali. Biasanya orang luar yang menjadi kambing hitam kelompok ras, —etnik, atau agama yang membuat orang lain tidak nyaman. Orang Romawi menyalahkan orang Kristen atas hubungan seks antarkerabat dan proses persembahan dengan anak kecil sebagai kurbannya. Kemudian, sekte Kristen saling tuduh, lalu orang Kristen menuduh orang Yahudi. Ribuan orang tewas karena keyakinan tersebut. Coba bayangkan pengadilan penyihir. Atau Holocaust. Dan bukan hanya kisah lama. Setelah demonstrasi mahasiswa di Prancis di akhir tahun enam puluhan, pemilik toko Yahudi dituduh menculik gadisgadis remaja dari kamar ganti di sejumlah butik."

   Aku tidak terlalu ingat akan hal itu.

   "Dan belum lama ini imigran Turki dan Afrika Utara. Beberapa tahun yang lalu, ratusan orangtua Prancis menyatakan anakanak mereka diculik, dibunuh, dan dikuliti oleh mereka, walaupun sebenarnya tidak ada anak yang dilaporkan hilang di Prancis.

   "Dan mitos itu terus berlanjut, bahkan di sini di Montreal, hanya saja sekarang ada hantu baru yang mempraktikkan ritual pembunuhan anak kecil."

   Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya melebar, dan hampir mendesiskan katakatanya yang terakhir.

   "Pemuja setan."

   Itu adalah saat di mana dirinya terlihat sangat ekspresif. Katakatanya menyebabkan sebuah bayangan terbentuk di benakku. Malachy berbaring di atas meja baja.

   "Sebenarnya, tidak mengejutkan,"

   Ujarnya melanjutkan.

   "Pemikiran tentang pemujaan setan selalu mengental selama periode perubahan sosial. Dan menjelang akhir milenium. Tapi, sekarang ancamannya datang dari Setan."

   "Bukankah Hollywood menciptakan banyak kisah seperti itu?"

   "Tentu saja tidak secara sengaja, tapi memang mereka ikut berperan. Hollywood hanya ingin membuat fi Im yang sukses secara komersial. Tapi, itu pertanyaan yang sudah ada sejak zaman dulu. Apakah seni menyebabkan terjadinya periode itu atau hanya merefl eksikannya saja? Rosemary's Baby, The Omen, The Exorcist Apa yang dilakukan semua fi Im ini? Semuanya bercerita tentang kegelisahan sosial melalui penampilan pemujaan setan. Dan, masyarakat menonton dan menyimak."

   "Tapi, bukankah itu bagian dari semakin besarnya ketertarikan pada hal-hal berbau mistis di masyarakat Amerika selama tiga dasawarsa terakhir ini?"

   "Memang. Tapi, bagaimana dengan kecenderungan lainnya yang terjadi selama generasi terakhir ini?"

   Aku merasa seakan sedang diuji. Apa hubungan semua ini dengan Anna? Aku menggelengkan kepala.

   "Meningkatnya popularitas penganut Kristen fundamentalis. Tentu saja, ekonomi ada pengaruhnya pada hal tersebut. Penutupan pabrik. Pengurangan pegawai. Kemiskinan dan melemahnya ekonomi sangat membuat stres. Tapi, itu bukanlah satu-satunya sumber kekhawatiran. Orang di berbagai tingkat ekonomi merasa cemas melihat perubahan norma-norma sosial. Hubungan telah berubah antara pria dan wanita, dalam keluarga, antar generasi."

   Dia menjentikkan jarinya.

   "Berbagai penjelasan lama telah ditinggalkan dan penjelasan baru belum ada. Gereja fundamentalis menyediakan rasa nyaman hanya dengan menyuguhkan jawaban sederhana terhadap berbagai pertanyaan rumit."

   "Setan."

   "Setan. Semua kejahatan di dunia ini disebabkan oleh Setan. Para remaja diajak ke acara pemujaan setan. Anakanak diculik dan dibunuh dalam ritual setan. Pembunuhan hewan ternak oleh pemuja Setan menyebar ke seluruh pelosok negeri. Logo Procter and Gamble mengandung simbol rahasia pemuja setan. Frustrasi di tingkat akar rumput mengarah ke berbagai gosip ini dan terus mengobarkannya sehingga semakin berkembang."

   "Jadi, menurutmu sekte pemuja setan itu tidak ada?"

   "Aku tidak mengatakan itu. Memang ada beberapa, yang kita sebut sebagai kelompok pemuja Setan terkenal yang terorganisasi, seperti yang dipimpin Anton LaVey."

   "The Church of Satan, di San Fransisco."

   "Ya. Tapi mereka kelompok yang sangat kecil. Kebanyakan 'Pemuja Setan'"

   Dia —mengangkat kedua jari telunjuknya, kemudian menekuknya, mengisyaratkan tanda kutip-"mungkin anakanak kulit putih dari kelas menengah yang sedang bercanda memuja setan.

   Tentu saja, sesekali anakanak ini melewati batas, mencorat-coret gereja atau kuburan, atau menyiksa binatang, tapi seringnya mereka melakukan banyak ritual, kemudian melakukan napak tilas dongeng."

   "Napak tilas dongeng?"

   "Aku yakin istilah itu muncul dari para ahli sosiologi. Kunjungan ke berbagai tempat hantu, seperti kuburan atau rumah hantu. Mereka membuat api unggun, menceritakan kisah-kisah hantu, membacakan mantra, mungkin mencorat-coret. Itu saja. Kemudian, saat polisi menemukan grafi ti, batu nisan yang dibongkar, bekas api unggun, mungkin kucing yang sudah mati, mereka mengasumsikan anakanak remaja setempat terlibat ke dalam sekte pemujaan setan. Media massa menyebarkan berita itu, kemudian para pendeta mengumandangkan tanda bahaya dan dongeng berikutnya pun terciptalah."

   Dia, seperti biasanya, menguasai dirinya, tetapi lubang hidungnya melebar dan berkontraksi saat dia berbicara, menunjukkan ketegangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak berkomentar apa-apa.

   "Menurutku ancaman para pemuja Setan sebenarnya dilebih-lebihkan. Sebuah mitos subversi lainnya, seperti yang mungkin dikatakan rekan-rekanmu."

   Tanpa peringatan sebelumnya nadanya meninggi dan menajam, menyebabkan aku meloncat kaget.

   "David! Apa kamu di situ?"

   Aku tidak mendengar apa-apa.

   "Ya, Bu."

   Terdengar gumaman. Seorang lelaki tinggi muncul di pintu, wajahnya ditutupi tudung jaketnya dan sebuah syal tebal di lehernya. Tubuh yang membungkuk itu sepertinya pernah kulihat sebelumnya.

   "Maafkan aku sebentar."

   Jeannotte bangkit dan menghilang di pintu.

   Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka secara samar-samar, tetapi lelaki itu terdengar gelisah, suaranya naik turun seperti anak yang sedang merengek.

   Jeannotte sering kali harus memotongnya.

   Wanita itu berbicara pendek-pendek, nadanya yang tenang sungguh berlawanan dengan nada lawan bicaranya yang melompat-lompat.

   Aku hanya bisa mendengar satu kata saja.

   "Tidak."

   Jeannotte mengulanginya beberapa kali. Kemudian hening. Beberapa saat kemudian, Jeannotte kembali, tetapi tidak duduk.

   "Dasar mahasiswa,"

   Ujarnya, tertawa sambil menggelengkan kepala.

   "Coba kutebak. Dia minta perpanjangan waktu lagi untuk menyelesaikan tugasnya."

   "Tidak ada yang pernah berubah."

   Dia melihat jam tangannya.

   "Jadi, Tempe, kuharap kunjunganmu ini berguna. Kamu akan menjaga buku harian itu? Semuanya sangat berharga."

   Aku dipersilakan pergi dengan halus.

   "Tentu saja. Akan kukembalikan paling lambat hari Senin."

   Aku bangkit, menyelipkan bahan yang diberikan Jeannotte ke dalam tasku, lalu mengambil jaket dan tasku.

   Dia tersenyum saat mengantarku keluar ruangannya.

   Di musim dingin, langit Montreal memamerkan gradasi warna abu-abu, mulai dari warna abuabu burung dara, besi, timah, dan seng.

   Saat aku melangkah keluar dari Birks Hall, awan sepertinya telah berubah menjadi warna pewter yang muram.

   Kuselempangkan tas dan tas kerjaku di bahu, memasukkan tangan ke dalam saku, dan berjalan menuruni bukit menentang angin lembap.

   Belum sampai berjalan dua puluh langkah pun mataku sudah dipenuhi air mata, membuatku sulit melihat.

   Saat berjalan, bayangan Pulau Fripp melintas di benakku.

   Pohon palem Palmetto.

   Rerumputan pantai.

   Cahaya matahari bergulir di atas tanah berpasir.

   Hentikan, Brennan.

   Bulan Maret umumnya berangin dan dingin di kebanyakan tempat di planet ini.

   Berhentilah menggunakan Carolina sebagai dasar perbandingan cuaca di dunia ini.

   Bisa saja lebih buruk lagi.

   Bisa saja turun salju.

   Dan saat itu juga serpihan salju yang pertama menerpa pipiku.

   Saat membuka pintu mobil, aku mendongak dan tampak seorang lelaki muda tinggi sedang mengawasiku dari seberang jalanan.

   Aku mengenali jaket dan syalnya.

   Orang yang sedang membungkuk itu adalah David, yang tadi mengunjungi Jeannotte dan mengalami hal yang tak menyenangkan.

   Tatapan kami beradu untuk beberapa saat dan amarah di matanya mengejutkanku.

   Lalu, tanpa berkata sepatah pun, mahasiswa itu berbalik dan bergegas menyusuri jalanan.

   Dengan ketakutan, aku masuk ke dalam mobil dan mengunci pintunya, bersyukur bahwa dia berurusan dengan Jeannotte dan bukan denganku, Saat mengemudikan mobil kembali ke lab, pikiranku melayang-layang ke tempat biasa, memikirkan hal yang baru terjadi dan mencemaskan berbagai tugas yang belum selesai.

   Ke mana Anna? Apakah kekhawatiran Sandy tentang sekte itu harus dianggap serius? Apakah Jeannotte benar? Apakah sekte pemuja setan hanya sekadar kelompok anakanak muda? Mengapa aku tidak meminta Jeannotte untuk menjelaskan lebih jauh tentang pernyataannya bahwa Anna aman-aman saja? Percakapan kami demikian menariknya sampai-sampai membuatku lupa menanyakan Anna lebih jauh lagi.

   Apakah itu disengaja? Apakah Jeannotte dengan sengaja menyembunyikan sesuatu? Bila demikian, apa dan mengapa? Apakah profesor itu hanya melindungi mahasiswinya dari orang luar yang mencoba ikut campur? Apakah yang dimaksudkannya sebagai "situasi rumah yang tidak nyaman"? Mengapa sikap David sepertinya menyeramkan sekali? Bagaimana aku bisa selesai meneliti ketiga buku besar ini pada hari Senin? Penerbanganku dijadwalkan pukul lima sore.

   Apakah aku bisa menyelesaikan laporan Nicolet hari ini, melakukan tugasku sehubungan dengan bayibayi itu besok, dan membaca buku besar ini di hari Minggu? Pantas saja aku tidak punya kehidupan sosial.

   Pada saat tiba di Jalan Parthenais, salju yang terus turun telah menempel di jalanan.

   Aku menemukan tempat parkir tepat di luar pintu, dan berdoa semoga mobil itu tidak terbenam dalam salju saat aku kembali nanti.

   Udara di lobi terasa panas dan bau wol basah.

   Kuhentakkan sepatuku, menambah cairan ke kubangan lelehan salju yang sudah menghiasi lantai, lalu menekan tombol lift.

   Pada perjalanan ke atas, aku berusaha membersihkan maskara yang meleleh dari kelopak mata bawah.

   Ada dua carik kertas pesan berwarna merah muda di mejaku.

   Suster Julienne menelepon.

   Tidak diragukan lagi bahwa dia pasti menanyakan Anna dan Elisabeth.

   Aku belum siap untuk menjawab kedua pertanyaan itu.

   Berikutnya.

   Ryan.

   Kutekan nomor teleponnya dan dia langsung menjawab.

   "Makan siangnya lama amat?"

   Kulirik jam tanganku. Jam satu lewat empat puluh lima.

   "Aku dibayar per jam. Ada apa?"

   "Kami akhirnya bisa melacak pemilik rumah di St-Jovite. Namanya Jacques Guillion. Dia berasal dari Quebec City, tapi pindah ke Belgia bertahuntahun yang lalu. Keberadaannya masih belum diketahui, tapi tetangganya yang orang Belgia mengatakan bahwa Guillion menyewakan rumahnya di St-Jovite kepada seorang wanita tua bernama Patrice Simonnet. Dia menduga penyewanya itu orang Belgia, tetapi tidak begitu yakin. Dia mengatakan bahwa Guillion juga menyediakan mobil bagi penyewanya tersebut. Kami sedang mengecek kebenaran informasi itu."

   "Tetangga yang tahu banyak."

   "Rupanya mereka cukup akrab."

   "Tubuh yang terbakar di ruang bawah tanah itu mungkin Simonnet."

   "Mungkin."

   "Kami berhasil membuat foto sinar-X giginya selama pemeriksaan. Sekarang ada di Bergeron."

   "Kami memberikan nama itu kepada RCMP, Mereka sedang menghubungi Interpol. Bila wanita tua itu orang Belgia, mereka bisa menyelidikinya."

   "Bagaimana dengan dua jenazah di kamar utama dan dua orang dewasa serta bayi itu?"

   "Kami masih menanganinya."

   Kami berdua berpikir sejenak.

   "Tempat yang cukup besar untuk seorang wanita tua,"

   "Sepertinya dia tidak tinggal sendirian."

   Aku menghabiskan dua jam berikutnya di lab histologi, mencoba mengangkat jaringan terakhir dari tulang rusuk kedua bayi itu dan memeriksanya di bawah mikroskop.

   Seperti yang kukhawatirkan, tidak ada codetan yang unik atau pola tertentu di tulang.

   Tidak ada yang bisa kukatakan kecuali pembunuhnya telah menggunakan pisau yang sangat tajam dengan besi yang tidak bergerigi.

   Kabar buruk untuk polisi.

   Kabar bagus untukku.

   Laporanku akan singkat saja.

   Aku kembali ke kantorku saat Ryan meneleponku kembali.

   "Bagaimana kalau kita minum bir?"

   Tanyanya.

   "Aku tidak menyimpan bir di kantorku, Ryan. Kalau aku menyimpannya, aku pasti sudah meminumnya."

   "Kamu 'kan tidak minum."

   "Lalu kenapa kamu mengajakku minum bir?"

   "Aku bertanya apakah kamu mau. Bisa saja hijau."

   "Apa?"

   "Kamu 'kan keturunan Irlandia, Brennan?"

   Kulirik kalender di dindingku. 17 Maret. Ulang tahun dari beberapa kinerjaku yang terbaik. Aku tidak mau mengingatnya.

   "Aku tidak bisa lagi, Ryan."

   "Ini adalah cara umum untuk mengatakan 'Istirahat dulu.'"

   "Memangnya kamu mengajakku kencan?"

   "Ya."

   "Denganmu?"

   "Bukan, dengan pendeta di gerejaku,"

   "Wah. Apakah dia melanggar sumpahnya sendiri?"

   "Brennan, kamu bersedia makan denganku malam ini? Tanpa alkohol?"

   "Ryan, aku-"

   "Ini 'kan hari St. Paddy. Ini Jumat malam dan salju turun dengan amat lebat. Atau kamu punya tawaran yang lebih baik?"

   Tidak.

   Bahkan aku tidak punya tawaran apaapaTeta-pi, Ryan dan aku sering kali menyelidiki kasus yang sama dan aku selalu memiliki kebijakan untuk memisahkan dunia kerja dan di luar kerja.

   Selalu.

   Benar.

   Aku telah berpisah dari pasanganku dan tinggal sendiri selama kurang dari dua tahun belakangan ini.

   Dan selama dua tahun itu, aku hidup tanpa teman pria.

   "Kurasa itu bukan ide yang bagus."

   Hening sejenak. Kemudian.

   "Kami mendapatkan berita tentang Simonnet. Informasi mengenai dirinya berhasil ditemukan Interpol. Dilahirkan di Brussel, tinggal di sana sampai dua tahun yang lalu. Masih suka membayar pajak atas rumahnya di pedesaan. Wanita tua yang setia, menemui dokter gigi yang sama sepanjang hidupnya. Dokter gigi itu telah ber-praktik sejak Zaman Batu, menyimpan semua data pasiennya. Dia sekarang sedang mengirimkan arsip lewat faks. Kalau cocok, kita akan mendapatkan data aslinya."

   "Kapan nenek itu dilahirkan?"

   Aku mendengar kertas dibalik.

   "Sembilan belas delapan belas."

   "Kalau begitu cocok. Keluarga?"

   "Masih sedang diperiksa."

   "Kenapa dia meninggalkan Belgia?"

   "Mungkin karena dia menginginkan perubahan suasana. Begini, champ, kalau kamu memutuskan untuk ikut, aku akan berada di Hurley setelah jam sembilan. Kalau antreannya panjang, sebut saja namaku."

   Aku duduk sejenak, memikirkan mengapa aku menolaknya, Pete dan aku telah membuat kesepakatan.

   Kami saling mencintai, tetapi tidak bisa hidup bersama-sama lagi.

   Setelah berpisah, kami justru bias berteman kembali.

   Hubungan kami tidak pernah sebaik ini selama beberapa tahun terakhir.

   Pete sudah punya teman kencan, dan aku bebas untuk melakukan hal yang sama.

   Ya ampun! Berkencan.

   Kata itu mengingatkan aku pada jerawat dan kawat gigi.

   Sejujurnya, aku menilai Andrew Ryan sangat menarik.

   Tidak punya jerawat ataupun masalah dengan gigi.

   Sebuah kelebihan.

   Dan boleh dikatakan kami tidak bekerja bersama-sama.

   Tetapi, aku juga menilai dirinya sangat mengesalkan.

   Dan tidak dapat ditebak.

   Tidak.

   Ryan bisa mendatangkan masalah, Kuselesaikan laporanku tentang Malachy dan Mathias saat telepon berdering kembali.

   Aku tersenyum.

   Oke, Ryan.

   Kamu menang.

   Satpam memberitahukan bahwa aku kedatangan tamu di lobi bawah, Kulirik jam tangan.

   Pukul empat lewat dua puluh menit.

   Siapa yang datang sedemikian sorenya? Rasanya aku tidak membuat janji dengan siapa pun.

   Kutanyakan nama tamu itu.

   Saat satpam mengatakannya, jantungku seakan berhenti berdetak.

   "Ya ampun!"

   Ujarku tanpa tertahankan lagi.

   "Est-ce qu'il y a un prob/eme?"

   "Non. Pas de probleme."

   Kukatakan bahwa aku akan segera turun. Tidak masalah? Apa aku bercanda? Aku mengulangi katakata itu lagi di lift. Ya ampun![] t! o edang apa kamu di sini?" 1^) "Lho, mestinya kamu pura-pura senang bertemu denganku dong, kakakku sayang."

   "Aku tentu saja, aku senang bertemu denganmu, Harry. Aku hanya terkejut."

   Aku —sama kagetnya bila satpam itu menyebutkan Teddy Roosevelt yang datang berkunjung. Dia menyindir.

   "Kedengarannya tulus sekali."

   Adik perempuanku itu duduk di lobi gedung SQ dikelilingi tas belanjaan dari Neiman Marcus dan ransel kanvas berbagai bentuk dan ukuran.

   Dia memakai sepatu koboi berwarna merah berukirkan cincin dan jumbai hias berwarna hitam dan putih, serta memakai jaket kulit berjumbai dengan warna senada.

   Saat dia berdiri, kulihat celana jinsnya sedemikian ketatnya sehingga bisa menghentikan peredaran darah.

   Kami semua melihatnya.

   Harry memelukku, menyadari sepenuhnya celana ketatnya yang seronok itu, tetapi memilih untuk tidak mengacuhkan efeknya pada orang lain.

   Khususnya orang lain yang berkromosom Y, atau dengan kata lain, kaum lelaki.

   "Wow, dingin sekali di luar sana! Aku benarbenar kedinginan sehingga tequila pasti beku kalau kupegang,"

   Dia membungkukkan bahu dan memeluk tulang rusuknya sendiri.

   "Ya."

   Aku tidak menangkap analoginya.

   "Penerbanganku seharusnya tiba tengah hari, tapi salju sialan itu menghambat kami. Yah, setidaknya aku sudah di sini, Kak."

   Dia menurunkan bahunya dan merentangkan tangannya yang menyebabkan jaket berjumbainya itu melambailambai.

   Pakaian Harry terlihat sangat tidak cocok untuk cuaca di sini sehingga terlihat aneh sekali.

   Seperti seekor trenggiling yang tinggal di gurun es.

   "OK. Bagus. Sungguh mengejutkan. Yah. Aku apa yang membuatmu datang ke —Montreal?"

   "Aku baru saja hendak menceritakannya. Sungguh luar biasa. Ketika mendengar berita itu, aku tidak bisa memercayai telingaku. Maksudku, di sini, di Montreal."

   "Berita apa, Harry?"

   "Seminar yang kuikuti. Aku sudah menceritakannya kepadamu, Tempe, ketika aku meneleponmu minggu kemarin. Aku berhasil mengikutinya. Aku mendaftar untuk ikut kursus itu di Houston dan sekarang aku sedang mendalaminya. Aku belum pernah bersemangat seperti ini. Aku melewati tingkat pertama dengan mudah. Maksudku, benarbenar gampang. Ada orang yang perlu waktu bertahuntahun untuk menyadari keadaannya sendiri dan aku melewati masa itu dalam waktu beberapa minggu saja. Maksudku, aku mempelajari beberapa strategi terapi yang hebat, dan sekarang aku mengendalikan hidupku sendiri. Jadi, saat mereka mengundangku untuk mengikuti seminar tingkat dua ini, dan tepat di sini di tempat tinggal kakakku, yah, aku langsung berkemas dan mengarahkan hidungku ke utara."

   Harry menatapku dengan bangga dengan mata birunya yang cerah yang sekarang dikelilingi mascara yang cukup tebal.

   "Kamu di sini untuk menghadiri lokakarya?"

   "Tepat sekali. Semuanya gratis. Ya, hamper semuanya."

   "Aku ingin mendengar semua penjelasannya,"

   Ujarku, berharap bahwa kursus ini hanya berlangsung sebentar. Aku ragu apakah Provinsi Quebec dan Harry bisa hidup berdampingan.

   "Seminar ini keren sekali,"

   Ujarnya, mengulangi penilaian awalnya, tetapi tidak menambahkan informasi baru.

   "Ayo kita ke atas dan aku akan beresberes. Atau kamu mau menunggu di sini saja?"

   "Enak saja. Aku ingin melihat kamar kerja dokter jenazah yang hebat ini. Ayo, ke mana jalannya?."

   "Kamu harus menyerahkan Kartu Pengenal yang ada fotonya untuk mendapatkan kartu tamu,"

   Ujarku, mengangguk kepada satpam di meja keamanan. Dia sedang mengamati kami, dengan senyuman tersungging di wajahnya dan berbicara sebelum kami berdua sempat berkata apa-apa.

   "Votre soeur?"

   Dia berseru dari seberang lobi, bertukar pandang dengan satpam lainnya. Aku mengangguk. Sekarang sudah jelas semua orang tahu bahwa Harry adalah adikku dan menganggap hal itu sangat menggelikan. Satpam itu melambaikan tangan ke arah lift.

   "Merci,"

   Gumamku, dan meliriknya dengan pandangan tak berdaya.

   "Mercy,"

   Ujar Harry memperpanjang setiap suku kata, melayangkan senyuman yang memesona kepada kedua satpam itu.

   Kami membawa semua barangnya dan naik ke lantai lima, dan kuletakkan semuanya di lorong di luar kantorku.

   Tidak mungkin semua barang itu masuk ke dalam kantorku.

   Jumlah barangnya meningkatkan kekhawatiranku tentang berapa lama dia akan tinggal di sini.

   "Gile bener, kantor ini kacau sekali, seperti baru diterjang badai."

   Walaupun tubuhnya berukuran seratus tujuh puluh tiga cm dan kurus seperti seorang model, sosok Harry sepertinya memenuhi ruangan yang sempit itu.

   "Memang agak berantakan sekarang. Biar kumatikan dulu komputernya dan mengumpulkan beberapa barang. Lalu kita akan segera keluar lagi."

   "Tenang saja, aku tidak terburu-buru kok. Aku akan mengobrol dengan teman-temanmu, ya."

   Dia menatap beberapa tengkorak yang dipajang, wajahnya dimiringkan sehingga ujung rambutnya menyentuh jumbai terbawah jaketnya. Rambutnya terlihat lebih pirang dari yang kuingat sebelumnya.

   "Apa kabar,"

   Ujarnya kepada tengkorak pertama.

   "kamu memutuskan untuk berhenti saat kamu tinggal kepala, ya?"

   Aku tidak bisa menahan senyumanku, Lawan bicaranya tidak menyambut ucapannya.

   Saat Harry terus bercakap-cakap, kumatikan komputer dan kukumpulkan buku besar serta buku lainnya yang kuperoleh dari Daisy Jeannotte.

   Aku berencana untuk kembali pagi-pagi sekali sehingga tidak mengemas laporanku yang belum selesai kukerjakan.

   "Nah, apa yang baru denganmu?"

   Tanya Harry kepada tengkorak keempat.

   "Tidak mau bicara? Oh, kamu seksi sekali kalau cemberut seperti ini."

   "Dia selalu cemberut."

   Andrew Ryan berdiri di ambang pintu. Harry berbalik dan menatap detektif itu dari atas sampai bawah. Lambat-lambat. Kemudian, dua pasang mata yang biru itu saling menatap.

   "Siapa ini?"

   Senyuman adikku untuk para satpam di lantai bawah tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan senyuman yang dipamerkannya kepada Ryan saat ini. Pada saat itu juga aku tahu bahwa malapetaka sudah pasti akan terjadi.

   "Kami baru saja akan pergi,"

   Ujarku sambil mengencangkan risleting tas komputerku.

   "Nah?"

   "Nah apa, Ryan?"

   "Teman dari luar kota?"

   "Seorang detektif yang pintar pasti menyadari hal yang sudah jelas di depan matanya."

   "Harriet Lamour,"

   Ujar adikku, sambil mengulurkan tangannya.

   "Aku adik Tempe."

   Seperti biasa, dia menekankan urutan kelahirannya.

   "Sudah kuduga kamu bukan orang sini,"

   Ujar Ryan. Kebekuan langsung mencair saat mereka berjabatan tangan.

   "Lamour?"

   Tanyaku sedikit tercengang.

   "Houston. Itu di Texas. Pernah ke sana?"

   "Lamour?"

   Ulangku.

   "Apa yang terjadi dengan Crone?"

   "Sekali atau dua kali. Wilayah yang sangat cantik."

   Ryan masih mencoba meniru gaya Brett Maverick (bintang fi Im A.S. tahun 1950-an).

   "Atau Dawood?"

   Kata itu menarik perhatian adikku.

   "Kenapa juga aku akan kembali menggunakan nama idiot itu? Apa kamu masih ingat pada Esteban? Satu-satunya orang yang dipecat karena begitu bodohnya sampai-sampai tidak becus merapikan rak barang di toko 7-Eleven?"

   Estban Dawood adalah suaminya yang ketiga. Aku sudah tidak ingat wajah lelaki itu.

   "Kau dan Striker sudah bercerai?"

   "Belum. Tapi, aku sudah mencampakkan lelaki malang itu dan membuang namanya. Crone? Apa yang kupikirkan dulu itu? Siapa yang mau memilih nama seperti Crone? Nama macam apa yang akan kita turunkan kepada anak-cucu kita? Nyonya Crone? Sepupu Crone? Kakek buyut Crone?"

   Ryan melontarkan celetukan.

   "Tidak jelek juga kalau kamu seorang Crone penyendiri (Jone Crone)."

   Harry tertawa geli.

   "Ya, tapi aku tidak pernah mau jadi Crone tua (old Crone)."

   "Sudah cukup. Kita pergi sekarang juga,"

   Ujarku sambil meraih jaket.

   "Kata Bergeron hasilnya positif,"

   Ujar Ryan. Aku berhenti dan menatapnya, Wajahnya sekarang berubah serius.

   "Simonnet?"

   Dia mengangguk.

   "Ada kabar tentang para korban di lantai atas?"

   "Bergeron menduga mereka mungkin orang Eropa juga. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan dibesarkan di sana. Ada sesuatu yang khas tentang perawatan gigi mereka. Kami meminta bantuan Interpol melakukan pencarian di Belgia berdasarkan konfi rmasi mengenai Simonnet itu, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Wanita tua itu tidak punya kerabat, sehingga kita menemui jalan buntu. RCMP juga tidak mendapatkan hasil di Kanada. Begitu juga dengan NCIC. Juga tidak ada yang cocok di Amerika."

   "Cukup sulit mendapatkan Rohypnol di sini dan kedua orang itu penuh dengan obat itu. Kontak kita di Eropa mungkin bisa menjelaskan hal itu."

   "Mungkin."

   "LaManche mengatakan korban di bangunan luar tidak mengandung narkoba atau alkohol. Kondisi Simonnet terlalu hangus sehingga tidak mungkin dilakukan pengujian."

   Ryan tahu ini. Aku hanya mengucapkan apa yang kupikirkan.

   "Ya ampun, Ryan, sudah seminggu lamanya dan kita masih belum berhasil mengetahui identitas orangorang itu."

   "Yip."

   Dia tersenyum pada Harry, yang mendengarkan dengan cermat. Tingkah laku mereka yang saling menggoda mulai membuatku kesal.

   "Kamu belum menemukan jejak lainnya di dalam rumah?"

   "Kamu mungkin pernah mendengar tentang keributan kecil di West Island pada hari Selasa yang lalu? Rock Machine menghajar habis dua anggota Hells Angels. Kelompok Angels membalas dendam dan menyebabkan kematian satu orang anggota Machine dan tiga lainnya terluka parah. Jadi, aku juga sedang disibukkan oleh kasus itu."

   "Patrice Simonnet ditembak di kepalanya."

   "Anakanak geng motor itu juga menculik anak berusia dua belas tahun yang kebetulan sedang menuju ke tempat latihan hoki."

   "Ya ampun. Begini Ryan, aku tidak menuduhmu bermalas-malasan, tapi pasti ada orang yang kehilangan para korban tersebut. Kita membicarakan satu keluarga lengkap lho. Ditambah dua orang lainnya. Pasti ada sesuatu di dalam rumah itu yang bisa dijadikan petunjuk."

   "Bagian penyelidikan membawa empat puluh tujuh karton sisasisa kebakaran dari rumah itu. Kami sedang memilah-milahnya, tapi sejauh ini tidak menemukan apa pun. Tidak ada surat. Tidak ada cek. Tidak ada foto. Tidak ada daftar belanjaan. Tidak ada buku alamat. Semua tagihan listrik dan telepon dibayar oleh Simonnet. Oli mesin pemanas dikirimkan sekali setahun, dan dia membayar di muka. Kita tidak bisa menemukan siapa pun yang pernah menginjakkan kakinya di tempat itu sejak disewa oleh Simonnet."

   "Bagaimana dengan pajak bumi dan bangunan?"

   "Guillion. Dibayar melalui cek yang diuangkan dari Citicorp di New York."

   "Ada senjata yang bisa ditemukan?"

   Tanyaku.

   "Tidak ada."

   "Jadi, kemungkinan bunuh diri bisa disingkirkan."

   "Ya. Dan sepertinya tidak mungkin kalau sang Nenek yang menghabisi seluruh anggota keluarga."

   "Kamu sudah menyelidiki sejarah alamat rumah itu?"

   "Negatif. Polisi tidak pernah dipanggil ke rumah itu."

   "Ada catatan teleponnya?"

   "Sedang dikirimkan."

   "Bagaimana dengan mobil? Apakah ada yang terdaftar?"

   "Keduanya terdaftar atas nama Guillion. Dengan alamat di St-Jovite. Dia juga membayar asuransinya dengan cek."

   "Apakah Simonette punya SIM?"

   "Ya, SIM Belgia. Semuanya bersih."

   "Kartu asuransi kesehatan?"

   "Tidak ada."

   "Ada lagi yang lainnya?"

   "Tidak ada informasi baru."

   "Siapa yang mengurus mobil ke bengkel?"

   "Sepertinya Simonnet yang membawanya ke bengkel di kota. Deskripsinya cocok. Dia membayar tunai."

   "Dan rumah itu? Wanita setua dia pasti tidak mampu memperbaiki kalau ada kerusakan."

   "Jelas ada orang lain yang tinggal di situ. Kata tetangga, pasangan suamiistri dengan kedua bayi itu sudah beberapa bulan tinggal di rumah itu. Mereka pernah melihat mobil lainnya diparkir, kadang-kadang dalam jumlah besar."

   "Mungkin wanita itu menampung orang yang menyewa kamar di situ?"

   Kami berdua menoleh kepada Harry.

   "Kalian mengerti maksudku 'kan. Mungkin dia menyewakan kamar di rumah itu."

   Aku dan Ryan membiarkan dia terus berbicara.

   "Kalian bisa memeriksa iklan di surat kabar. Atau buletin gereja."

   "Dia sepertinya bukan orang yang suka menghadiri kegiatan gereja."

   "Mungkin dia mengedarkan narkoba. Dengan orang bernama Guillion ini. Itulah sebabnya dia dibunuh. Itulah sebabnya tidak ada catatan tentang dirinya."

   Matanya membesar dengan penuh semangat. Dia benarbenar menghayati khayalannya itu.

   "Mungkin dia sedang bersembunyi di rumah itu."

   "Siapa Guillion ini?"

   Tanyaku.

   "Tidak ada catatan polisi tentang dirinya di sini. Polisi Belgia sedang memeriksanya. Orang itu benarbenar penyendiri, sehingga orang lain tidak tahu banyak tentang dirinya."

   "Seperti wanita tua itu."

   Aku dan Ryan menatapnya kembali. Kesimpulan yang bagus, Harry. Terdengar telepon berdering, menandakan sambungan telepon telah dialihkan ke layanan malam hari. Ryan melirik jam tangannya.

   "Yah, kuharap aku akan bertemu lagi dengan kalian malam ini."

   Si Maverick muncul kembali.

   "Mungkin tidak. Aku harus menyelesaikan laporan Nicolet ini."

   Harry membuka mulutnya, tetapi saat melihat tatapan mataku, ia menutup mulutnya kembali.

   "Tapi, terima kasih, Ryan."

   "Enchante,"

   Ujarnya kepada Harry, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke lorong.

   "Koboi yang ganteng sekali."

   "Jangan mengejar dia, Harry. Buku catatannya berisi nama cewek lebih banyak dari dari buku putih Omaha."

   "Hanya naksir saja, Sayang. Boleh 'kan."

   Walaupun waktu baru menunjukkan pukul lima sore, kami berjalan menembus gelapnya senja.

   Lampu mobil dan lampu jalanan tampak terang di tengah hujan salju.

   Kubuka kunci dan kuhidupkan mesin mobil, kemudian menghabiskan waktu beberapa menit untuk membersihkan jendela dan kipas kaca depan saat Harry memilih saluran radio.

   Ketika aku masuk ke mobil, saluran Vermont Public Radio yang biasa kupasang sudah diganti dengan saluran radio musik rock setempat.

   "Keren sekali."

   Harry memuji lagu Mitsou.

   "Dia orang Quebec,"

   Ujarku sambil menggerakkan gigi mundur agar Mazda itu bisa melepaskan diri dari cengkeraman salju yang mulai membeku.

   "Sudah terkenal selama beberapa tahun di sini."

   "Maksudku, rock and roli dalam bahasa Prancis. Keren banget."

   "Yah."

   Ban depan sudah menyentuh trotoar dan kuikuti arus lalu lintas di hadapanku. Harry mendengarkan liriknya saat kami melaju ke arah barat menuju Centre-Ville.

   "Apa dia sedang menyanyikan lagu tentang koboi? Mon koboi?"

   "Ya,"

   Jawabku, membelok ke arah Viger.

   "Kurasa penyanyi cewek ini menyukai lakilaki itu."

   Alunan Mitsou menghilang saat kami menembus masuk terowongan Ville-Marie.

   Sepuluh menit kemudian, kubuka pintu ke apartemenku.

   Kutunjukkan kamar tidur tamu kepada Harry dan pergi ke dapur untuk memeriksa persediaan makanan.

   Karena aku sudah berencana untuk ke Atwater Market di akhir pekan besok, persediaan makanan sudah menipis.

   Harry menghampiriku saat aku sedang mencaricari di dalam lemari kecil yang kusebut sebagai lemari makanan.

   "Aku mau mentraktirmu makan malam, Tempe."

   "Oh ya?"

   "Sebenarnya, Inner Life Empowerment yang mentraktirmu makan malam. Aku 'kan sudah bilang tadi. Mereka membayar semua biayaku. Ya, paling tidak sampai dua puluh dolar untuk makan malam. Kartu Diners Club Howie yang akan membayar sisanya."

   Howie adalah suami keduanya, dan mungkin yang membayar semua barang yang ada di dalam kantong Nei-man Marcus miliknya.

   "Kenapa Inner Life apaan tuh mau membayar biaya perjalanan ini?"

   "Karena aku cukup sukses. Sebenarnya, ada sebuah perjanjian khusus."

   Dia mengedipkan matanya secara berlebihan, membuka mulutnya dan mengernyitkan sisi kanan wajahnya.

   "Mereka tidak biasanya membayar biaya perjalanan peserta, tapi mereka benarbenar ingin aku mengikuti kursus ini."

   "Ya, kalau kamu yakin. Kamu mau makan apa?"

   "Jalan yukl"

   "Maksudku, makanan."

   "Apa saja, asal bukan barbaque,"

   Aku berpikir sejenak.

   "Makanan India?"

   "Shawnee atau Paiute?"

   Harry bersiul. Dia selalu menyukai leluconnya sendiri.

   "The Etoile des Indes hanya beberapa blok jaraknya dari sini. Khorma mereka enak sekali."

   "Asyiiikl Rasanya aku belum pernah makan makanan India. Dan jelas aku belum pernah makan makanan India Prancis. Lagi pula, kurasa kita tidak bias makan karma."

   Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

   "Penampilanku payah sekali,"

   Ujar Harry, sambil memeriksa beberapa kepang rambut panjangnya.

   "Akan kuperbaiki dulu di sana-sini."

   Aku masuk ke dalam kamar tidurku, mengganti pakaian dengan mengenakan celana jins, kemudian mengeluarkan pulpen dan kertas, dan menyandarkan diriku di atas bantal di tempat tidur.

   Kubuka buku besar pertama dan melihat tanggal pertama.

   1 Januari 1844.

   Kuraih salah satu buku perpustakaan, membuka bagian tentang Elisabeth Nicolet dan memeriksa tanggal kelahirannya.

   18 Januari 1846.

   Pamannya menuliskan catatan ini dua tahun sebelum dia dilahirkan.

   Walaupun Louis-Philippe Belanger menulis dengan tulisan tangan yang mantap, waktu telah membuat lapuk tulisannya.

   Tintanya sudah berubah menjadi warna cokelat muda, dan di beberapa tempat katakatanya sudah terlalu kabur sehingga sulit dibaca.

   Selain itu, bahasa Prancisnya antik dan sarat dengan berbagai istilah yang tidak bisa kupahami.

   Setelah tiga puluh menit berlalu, kepalaku mulai berdenyutdenyut, namun aku telah mencatat beberapa informasi.

   Aku berbaring dan memejamkan mata.

   Masih bisa kudengar air mengucur di kamar mandi.

   Aku lelah, kecil hati, dan pesimistis.

   Aku tidak akan mungkin bisa membaca semua ini dalam waktu dua hari.

   Lebih baik menghabiskan waktu beberapa jam di mesin fotokopi, kemudian membaca buku besar ini saat sedang santai.

   Jeannotte tidak secara jelas mengatakan jangan memfotokopi bahan ini.

   Dan mungkin bahkan lebih aman untuk buku aslinya, pikirku.

   Dan aku tidak harus segera menemukan jawabannya.

   Lagi pula, laporanku tidak membutuhkan penjelasan.

   Aku hanya tinggal melaporkan apa yang kulihat pada tulangbelulang itu.

   Aku akan melaporkan berbagai temuanku dan membiarkan para biarawati itu mendatangiku dengan menyampaikan berbagai teori.

   Atau pertanyaan.

   Mungkin mereka tidak akan memahaminya.

   Mungkin mereka tidak akan memercayaiku.

   Mungkin mereka tidak akan menyukai berita itu.

   Atau akan menyukainya? Apakah hal itu akan memengaruhi permohonan mereka ke Vatikan? Aku tidak bisa membantu dalam hal itu.

   Aku yakin bahwa aku memang benar tentang Elisabeth.

   Hanya saja aku tidak bias membayangkan apa artinya.[] n 'p Dua jam kemudian, Harry mengguncang tubuhku sampai aku terbangun.

   Dia sudah selesai mandi, mengeringkan rambutnya, dan hal lainnya yang perlu dilakukannya untuk memperbaiki tata rambutnya.

   Kami memakai baju hangat dan berjalan keluar, berusaha menembus tiupan angin dingin saat berjalan menuju Ste-Catherine.

   Hujan salju sudah berhenti, namun lapisan salju menutupi semuanya, agak meredam hiruk-pikuk kota.

   Sejumlah rambu, pepohonan, kotak pos, dan mobil yang diparkir ditutupi selimut berwarna putih.

   Restoran itu tidak penuh dan kami segera mendapatkan tempat duduk.

   Saat kami sudah memesan, aku menanyainya tentang lokakarya itu.

   "Luar biasa. Aku belajar berbagai cara baru tentang berpikir dan menjalani hidup ini. Bukan sejenis omong-kosong mistis dari Timur. Dan aku tidak berbicara tentang ramuan obat sakti atau bola Kristal atau ramalan bintang yang konyol dan semacamnya. Maksudku aku belajar cara mengendalikan ke hidupanku."

   "Bagaimana?"

   "Bagaimana?"

   "Bagaimana."

   "Aku belajar tentang jati diri, aku sedang menjalani penguatan diri melalui kebangkitan spiritual. Aku memperoleh ketenangan batin melalui kesehatan dan cara penyembuhan holistik."

   "Kebangkitan spiritual?"

   "Jangan salah paham, Tempe. Ini bukanlah kelahiran kembali seperti yang dikhotbahkan para pastor evangelist bodoh itu. Tidak ada ajaran mengenai penyesalan atau melantunkan nyanyian pujaan yang berisik itu kepada Tuhan, atau orang suci yang bias berjalan menembus api dan sebagainya."

   "Bedanya di mana?"

   "Bahwa semua itu berhubungan dengan penistaan, dan rasa bersalah, dan mengakui diri kita sebagai seorang pendosa, dan mengubah diri kita untuk menerima kehadiran Tuhan. Dia akan mengurus kita. Aku tidak pernah memercayai omong-kosong para biarawati dan hidup selama tiga puluh delapan tahun lamanya tidak pernah mengubah pola pikirku."

   Aku dan Harry menghabiskan masa kanak-kanak kami di sekolah Katolik.

   "Ini tentang bagaimana aku mengurus diriku sendiri."

   Dia menunjuk dadanya dengan jarinya yang sudah dimanikur itu.

   "Bagaimana?"

   "Tempe, apa kamu sedang mengejekku?"

   "Tidak. Aku ingin tahu bagaimana kamu melakukannya."

   "Ini adalah masalah menafsirkan pikiran dan tubuh kita sendiri, kemudian menyucikan diri sendiri."

   "Harry, kamu hanya menyebut-nyebut jargon saja dari tadi. Bagaimana caramu melakukan hal itu?"

   "Yah, makan dengan benar dan bernapas dengan benar dan apa kamu sadar bahwa aku—tidak minum bir? Itu bagian dari pembersihan diri juga."

   "Kamu membayar mahal untuk menghadiri seminar itu?"

   "Lho, 'kan sudah kukatakan. Semuanya gratis dan mereka memberiku tiket pesawat untuk terbang ke sini."

   "Bagaimana dengan yang di Houston?"

   "Yah, tentu saja aku membayar biaya kursus di situ. Mereka harus membebankan biaya 'kan. Mereka orangorang terpandang."

   Saat itu makanan kami tiba. Aku memesan khorma-domba, Harry memesan nasi dan kari sayuran.

   "Kamu lihat 'kan?"

   Dia menunjuk makanannya.

   "Tidak ada lagi bangkai untuk makananku. Aku mulai semakin bersih."

   "Di mana kamu menemukan kursus ini?"

   "Di North Harris County Community College."

   Kedengarannya oke.

   "Kapan kamu mulai acara yang di sini?"

   "Besok. Seminar itu berlangsung selama lima hari. Aku akan menceritakan semuanya kepadamu, bene-ran deh. Aku akan pulang setiap malam dan menceritakan kepadamu apa yang kami lakukan. Boleh 'kan aku tinggal di apartemenmu?"

   "Tentu saja boleh. Aku benarbenar senang bertemu denganmu, Harry. Dan, aku penasaran sekali dengan apa yang kamu jalani. Tapi, aku akan pulang ke Charlotte hari Senin."

   Kurogoh bagian belakang tasku untuk mencari kunci cadangan yang kusimpan di situ dan menyerahkannya kepada adikku.

   "Kamu tinggal saja selama yang kamu perlukan."

   "Jangan ada pesta gila-gilaan ya,"

   Ujarnya, sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengacungkan telunjuknya di hadapanku.

   "Aku akan menyuruh seorang wanita untuk menjaga rumah."

   "Ya, Bu,"

   Jawabku. Pengawas rumah fi ktif itu mungkin lelucon yang paling tua dalam keluarga kami. Dia memberiku senyuman khas Harry yang paling cemerlang dan memasukkan kunci ke dalam kantong celana jinsnya.

   "Terima kasih. Sekarang, cukup sudah cerita tentang diriku. Aku mau cerita tentang apa yang dilakukan Kit sekarang."

   Selama setengah jam berikutnya kami membicarakan tingkah laku keponakanku yang terbaru. Christopher "Kit"

   Howard adalah hasil pernikahannya yang kedua.

   Anak lelaki itu baru berusia delapan belas tahun dan mewarisi sejumlah uang yang cukup besar dari ayahnya.

   Kit membeli dan merenovasi kapal layar berukuran enam belas meter.

   Harry tidak tahu mengapa dia melakukan hal itu.

   "Coba ceritakan sekali lagi, bagaimana Howie mendapatkan namanya?"

   Aku sudah tahu cerita itu, tetapi senang mendengarnya menceritakannya kembali.

   "Ibu Howie pergi begitu saja setelah dia dilahirkan, dan ayahnya sudah pergi jauh hari sebelumnya. Wanita itu meninggalkan Howie di undakan kaki di panti asuhan di Basic, Texas, dengan meninggalkan catatan yang disematkan di selimutnya. Katanya, dia akan segera kembali dan nama bayi itu Howard. Orangorang di panti asuhan itu tidak tahu apakah Ibu itu bermaksud memberitahukan bahwa Howard itu nama depannya atau nama belakangnya, jadi mereka tidak mau mengambil risiko. Mereka membaptisnya dengan nama Howard Howard."

   "Apa kegiatan Howie sekarang?"

   "Masih terus bersenang-senang dan mengejar setiap cewek di West Texas. Tapi, dia sangat dermawan kepadaku dan Kit."

   Saat kami sudah selesai makan, pelayan mengangkat piring dan aku memesan kopi.

   Harry tidak minum kopi karena stimulannya bertentangan dengan proses pembersihan yang tengah dijalaninya.

   Kami duduk dalam keheningan untuk beberapa saat lamanya, kemudian.

   "Jadi, si koboi tadi ingin bertemu denganmu di mana?"

   Aku berhenti mengaduk kopi dan pikiranku mencaricari hubungan antara pertanyaan itu dengan percakapan kami sebelumnya. Koboi? "Polisi yang bokongnya seksi itu lho."

   "Ryan. Dia ke tempat bernama Hurley's. Hari ini hari St. Pat-"

   "Wah, iya, ya."

   Wajahnya langsung serius.

   "Menurut ku, kita bertanggung jawab kepada leluhur kita untuk bergabung dengan orangorang yang menghormati seorang santo yang benarbenar hebat, dengan cara sekecil apa pun."

   "Harry, aku-"

   "Tempe, kalau bukan karena St. Pat, ular-ular itu sudah memakan leluhur kita dan kita tidak akan pernah ada di sini."

   "Aku bukan mengatakan-"

   "Dan sekarang, pada saat orangorang Irlandia dalam keadaan yang kacau-"

   "Bukan itu masalahnya dan kamu juga tahu itu."

   "Seberapa jauh Hurley's dari sini?"

   "Beberapa blok."

   "Gampang."

   Dia menengadahkan tangannya.

   "Kita ke sana, mendengarkan beberapa lagu, lalu pulang, Kita bukan mau menghadiri opera semalam suntuk."

   "Aku sudah pernah mendengar alasan itu."

   "Tidak. Aku berjanji. Begitu kamu mau pulang, kita cabut dari sana. Hai, aku juga harus bangun pagi-pagi sekali lho."

   Argumen itu tidak membuatku terkesan. Harry termasuk orang yang bisa tidak tidur selama berharihari.

   "Tempe. Kamu harus berusaha untuk bersosialisasi dong."

   Nah, argumentasi itu berhasil.

   "Oke. Tapi-"

   "Asyik! Asyik! Semoga para santo melindungi kita semua, wahai pendosa."

   Saat dia melambaikan tangan meminta bon, aku sudah merasa perutku melilit.

   Ada saatnya aku mencintai pub Irlandia.

   Pub jenis apa pun.

   Aku tidak mau membuka kembali lembaran lama itu dan tidak berniat untuk membuka lembaran baru.

   Santai saja, Brennan.

   Apa sih yang kamu takutkan? Kamu sudah pernah ke Hurley's 'kan dan kamu bukan mau menenggelamkan dirimu dalam lautan bir.

   Memang benar.

   Jadi, mengapa harus begitu khawatir? Harry bercakap-cakap dengan riangnya saat kami berjalan menyusuri Ste-Catherine menuju Crescent.

   Pada pukul setengah sepuluh malam, trotoar sudah disesaki banyak orang, orang yang berpasangan dan pejalan kaki bercampur dengan orang yang berbelanja dan orang yang hanya ingin jalan-jalan saja.

   Semua memakai jaket tebal dengan topi dan syal tebal.

   Semua terlihat gemuk dan tambun, seperti semak-semak yang dibungkus dan dipak untuk musim dingin.

   Bagian Crescent di atas Ste-Catherine dinamai Anglo "Street of Dreams", yang di kedua sisinya tampak berbagai macam bar dan restoran bergaya masa kini.

   The Hard Rock Cafe.

   Thursdays.

   Sir Winston Churchill's.

   Di musim panas, balkon dipenuhi penonton yang menghirup minuman dan menonton tahan romantis di bawahnya.

   Di musim dingin, semua keasyikan pindah ke dalam.

   Crescent di bawah Ste-Catherine jarang dipenuhi orang, kecuali para pelanggan tetap Hurley's.

   Tapi, hal itu tidak berlaku pada hari St.

   Patrick's.

   Saat kami tiba di situ, antrean dari pintu masuk sudah memanjang sampai trotoar dan ke sudut bangunan.

   "Ya ampun, Harry. Aku tidak mau mengantre dengan bokong membeku."

   Aku tidak mau mengungkit-ungkit tawaran Ryan.

   "Kamu tidak punya kenalan orang dalam?"

   "Aku bukan pelanggan tetap,"

   Kami ikut mengantre dan berdiri tanpa berkata apa-apa, menggerak-gerakkan kaki agar tetap hangat.

   Pergerakan antrean itu mengingatkanku pada para biarawati di Lac Memphremagog, yang membuatku teringat pada laporan Nicolet yang belum selesai.

   Dan buku besar di meja samping tempat tidur.

   Dan, laporan jenazah kedua bayi itu.

   Dan, beberapa mata kuliah yang harus kuajarkan di Charlotte minggu depan.

   Dan, makalah yang kurencanakan untuk diajukan dalam pertemuan Antropologi Fisik.

   Aku merasakan wajahku mulai kebas karena dinginnya cuaca.

   Bagaimana aku bisa membiarkan Harry membujukku terlibat dalam hal-hal seperti ini? Ada sekelompok orang yang keluar dari pub pada pukul 10 malam.

   Sekitar lima belas menit kemudian, kami maju sekitar setengah meter dari tempat kami sebelumnya.

   "Aku merasa seperti makanan penutup beku di dalam lemari es,"

   Ujar Harry.

   "Apa betul kamu tidak punya kenalan orang dalam?"

   "Ryan memang bilang bahwa aku bisa menggunakan namanya kalau antreannya panjang."

   Prinsip egalitarianku benarbenar diuji oleh hipotermia yang nyaris tak tertahankan ini.

   "Kakak tersayang, kenapa gak bilang dari tadi?"

   Harry sama sekali tidak ragu untuk mengeksploitasi keuntungan apa pun yang tersedia.

   Dia melangkah menyusuri trotoar dan menghilang di kepala antrean.

   Sejenak kemudian, aku melihatnya di sisi pintu masuk, ditemani seseorang bertubuh besar yang anggota Irish National Football Club.

   Mereka berdua melambaikan tangan kepadaku.

   Sambil menghindari kontak mata dengan orangorang yang sedang mengantre, aku bergegas menaiki undakan dan menyelinap ke dalam.

   Kuikuti Harry dan penjaga melalui labirin ruangan demi ruangan di dalam Hurley's Irish Pub.

   Setiap kursi, langkan, meja, kursi bar, dan setiap petak lantai dipenuhi orang berkostum hijau.

   Berbagai tanda dan cermin mengiklankan Bass, Guinness, dan Kilkenny Cream Ale.

   Bau bir menyeruak di dalam ruangan itu dan asapnya sangat pekat.

   Kami berjalan merambat di sepanjang dinding batu, di antara meja, kursi berlengan dari kulit, dan drum bir, dan akhirnya mengelilingi meja bar dari pohon ek dan kuningan.

   Tingkat kebisingannya sudah melampaui ambang batas suara yang diizinkan di bandara.

   Saat kami mengelilingi meja bar utama, bisa kulihat Ryan sedang duduk di atas bangku tinggi dari kayu di luar sebuah ruangan tempat rapat.

   Dia memunggungi dinding batu, salah satu tumitnya diletakkan di kayu yang melintang di kaki kursi tinggi.

   Kaki lainnya ada di atas dua buah kursi tinggi kosong di sebelah kanannya.

   Di sekeliling kepalanya tampak lampu neon dengan bingkai kayu hijau.

   Di atas panggung kulihat sebuah trio memainkan fid-die , suling, dan mandolin.

   Beberapa meja mengelilingi ruangan itu dan lima orang penari memenuhi bagian tengah ruangan yang cukup sempit.

   Tiga penari wanita menggoyangkan tubuhnya, tetapi kedua remaja pria yang lainnya hanya melompat-lompat di tempat, sehingga bir berceceran dalam radius satu meter lebih di sekelilingnya.

   Sepertinya tidak ada yang peduli.

   Harry memeluk pemain bola itu dan orang itu pun kembali tenggelam ke dalam kerumunan orang.

   Aku bertanya dalam hati, bagaimana Ryan bisa mendapatkan dua buah kursi tinggi kosong itu.

   Dan mengapa.

   Aku tidak bisa memutuskan apakah rasa percaya dirinya terasa mengesalkan atau menyenangkan hatiku.

   "Wah, syukurlah,"

   Ujar Ryan saat melihat kedatangan kami.

   "Senang kalian bisa datang. Silakan duduk dan nikmati."

   Dia harus berteriak agar suaranya bisa terdengar oleh kami.

   Ryan melepaskan kaitan kakinya dari salah satu kursi itu, menariknya, dan menepuk bantalannya.

   Tanpa ragu-ragu Harry melepaskan jaketnya, meletakkan di sandaran kursi dan segera duduk di atasnya.

   "Dengan satu syarat,"

   Teriakku kembali. Ryan menaikkan alis matanya dan matanya yang biru menatap wajahku.

   "Jangan bergaya koboi seperti tadi."

   "Kamu baik sekali,"

   Sindir Ryan sedemikian kerasnya sehingga urat nadi menyembul di lehernya.

   "Aku serius, Ryan."

   Aku tidak mampu berteriak terusmenerus seperti ini.

   "OK, OK. Duduklah."

   Aku bergerak menuju kursi paling ujung.

   "Dan aku akan membelikan soda untukmu, Bu."

   Harry bersiul mengejek.

   Aku merasa mulutku terbuka, kemudian Ryan bangkit dan membantuku membuka risleting jaketku.

   Dia meletakkannya di atas kursi, kemudian aku duduk.

   Ryan memanggil seorang pelayan, memesan bir Guinness untuknya dan Diet Coke untukku.

   Kembali, aku merasa kesal.

   Apakah memang semudah itu menebak perasaanku? Ryan menatap Harry.

   "Sama deh."

   "Diet Coke?"

   "Bukan, yang satunya lagi."

   Pelayan itu menghilang.

   "Bagaimana dengan penyuciannya?"

   Seruku di telinga Harry.

   "Apa?"

   "Penyucian?"

   "Satu bir tidak akan meracuniku, Tempe. Aku 'kan tidak fanatik."

   Karena untuk mengobrol kami harus berteriak, aku lebih memerhatikan band.

   Aku dibesarkan dengan sering mendengarkan musik Irlandia, dan lagulagu lama ini membangkitkan kenangan masa kecil.

   Rumah nenekku.

   Para wanita tua, aksen Irlandia, permainan kartu canasta.

   Tempat tidur lipat.

   Danny Kaye di TV hitam putih.

   Tertidur sambil mendengarkan piringan hitam John Gary.

   Aku merasa para musisi ini terlalu keras dan tidak cocok dengan selera Nenek.

   Suaranya terlalu nyaring.

   Penyanyi utama mulai menyanyikan balada tentang seorang bajak laut yang liar.

   Aku kenal lagu itu dan menyiapkan diri.

   Saat mencapai korus, tangantangan pengunjung bertepuk dalam irama lima tepukan staccato.

   Bam! Bam! Bam! Bam! Bam! Pelayan tiba pada tepukan terakhir.

   Harry dan Ryan mengobrol, katakata mereka tenggelam dalam hiruk-pikuknya suasana.

   Kuhirup minumanku dan melihat ke sekeliling.

   Di bagian atas dinding bisa kulihat deretan perisai ukiran dari kayu, totem keluarga zaman dahulu kala.

   Atau mereka disebut klan? Kucari nama Brennan, tetapi ruangan itu terlalu gelap dan berasap sehingga tidak mungkin kita bisa membaca tulisan di totem itu.

   Crone? Bukan.

   Grup musik itu memulai lagu yang pasti akan disukai Nenek.

   Lagu tentang seorang wanita muda yang mengikat rambutnya dengan sehelai kain beludru hitam.

   Kutatap deretan foto dalam bingkai oval, foto ciose-up lelaki dan wanita dalam pakaian hari Minggu mereka yang terbagus.

   Kapan foto itu diambil 189D? 1910? —Semua wajah mereka sama muramnya dengan foto yang terpampang di Birks Hall.

   Mungkin kerah putih yang tinggi itu terasa tidak nyaman.

   Dua jam dinding besar menunjukkan waktu di Dublin dan Montreal.

   Setengah sebelas.

   Kulirik jam tanganku.

   Persis sama.

   Beberapa lagu kemudian, Harry menarik perhatianku dengan melambaikan kedua tangannya.

   Dia terlihat seperti seorang wasit yang menunjukkan lemparan yang gagal.

   Ryan mengangkat gelasnya yang sudah kosong.

   Aku menggelengkan kepala.

   Dia berbicara kepada Harry, kemudian mengangkat dua jari di atas kepalanya.

   Mulai lagi deh, pikirku.

   Saat band melanjutkan lagu berikutnya, kulihat Ryan menunjuk ke arah tempat kami masuk.

   Harry turun dari tempat duduknya dan menghilang di kerumunan orang banyak.

   Gara-gara jins yang ketat.

   Aku tidak mau memikirkan seberapa lama dia akan mengantre gilirannya.

   Itulah susahnya menjadi perempuan.

   Ryan mengangkat jaket Harry, kemudian duduk di atas kursinya dan meletakkan jaket itu di tempat dia duduk tadi.

   Dia mendekatkan tubuhnya dan berteriak di telingaku.

   "Apa kamu yakin kalian berdua dilahirkan oleh ibu yang sama?"

   "Dan ayah yang sama."

   Tubuh Ryan tercium seperti rum dan bedak talk.

   "Sudah berapa lama dia tinggal di Texas?"

   "Sejak Nabi Musa memimpin eksodus dari Mesir. Sembilan belas tahun."

   Aku berputar dan menatap es di gelas Coke. Ryan berhak mengobrol dengan Harry. Lagi pula mustahil untuk tidak mengobrol, jadi mengapa aku geram? "Siapa Anna Goyette?"

   "Apa?"

   "Siapa Anna Goyette?"

   Band berhenti di tengah-tengah ucapannya dan nama itu terdengar jelas di keheningan yang sejenak melanda ruangan itu.

   "Ya ampun, Ryan, kenapa tidak pasang iklan saja sekalian?"

   "Sepertinya ada yang agak pemarah hari ini. Terlalu banyak kafein mungkin?"

   Dia tertawa geli. Aku melotot.

   "Tidak bagus untuk orang seumuranmu."

   "Tidak bagus untuk usia berapa pun. Bagaimana kamu tahu tentang Anna Goyette?"

   Pelayan itu membawa minuman dan menunjukkan senyuman lebar kepada Ryan seperti yang ditunjukkan adikku tadi. Ryan membayar dan mengedipkan mata kepada pelayan itu. Ya ampun.

   "Kamu to/; kaku sekali sih?"

   Ujarnya setelah meletakkan salah satu bir di langkan di atas jaket Harry.

   "Aku sedang berusaha agar lebih rileks. Bagaimana kamu tahu tentang Anna Goyette?"

   "Aku bertemu dengan Claudel saat menangani geng motor itu dan kami membicarakan hal itu."

   "Kenapa kalian membicarakan hal itu?"

   "Dia bertanya kepadaku."

   Aku tidak pernah bisa menebak Claudel. Dia tidak mengacuhkan aku di telepon, tetapi kemudian mendiskusikan pertanyaanku dengan Ryan.

   "Jadi siapa dia?"

   "Anna adalah mahasiswi di McGill. Bibinya memintaku untuk mencarinya. Ini bukan kasus Hoffa."

   "Kata Claudel, Anna adalah wanita muda yang sangat menarik."

   "Apa maksudnya?"

   Bisa-bisanya Harry memilih saat itu untuk kembali bergabung dengan kami.

   "Whoa, kalau kalian mau pipis, sebaiknya pikirpikir lagi deh."

   Dia duduk di bangku yang kosong di sebelah kiri Ryan.

   Seperti diperintahkan saja, band mulai menyanyi kan lagu tentang wiski di dalam gelas besar.

   Harry mengayunkan tubuh dan bertepuk tangan sampai seorang pemabuk tua yang memakai topi dan suspender hijau mendekat dan mengajaknya berdansa.

   Harry langsung meloncat dan mengikutinya ke lantai dansa, di mana dua orang lelaki muda kembali menari menirukan gerakan burung bangau.

   Teman dansa Harry berperut buncit dan berwajah bundar yang lembut.

   Kuharap Harry tidak membunuh lelaki itu.

   Kulirik jam tanganku.

   Jam sebelas lewat empat puluh.

   Mataku mulai perih karena asap dan kerongkonganku mulai gatal karena terus berteriak-teriak.

   Dan aku sedang menikmati suasana.

   Dan aku ingin minum.

   Sungguh.

   "Aku sedikit pusing. Begitu Ginger Rogers (bintang fi Im lama AS yang juga pedansa) selesai berdansa, aku mau pulang saja."

   "Terserah deh, Manis. Kamu oke juga untuk kali pertamamu ini."

   "Ya ampun, Ryan. Aku 'kan sudah pernah ke sini."

   "Untuk mendengarkan dongeng?"

   "Tidak!"

   Tadi aku memang memikirkan hal itu.

   Aku sangat menyukai dongeng rakyat Irlandia.

   Kuamati Harry melompat dan berputarputar, rambut pirangnya yang panjang beterbangan ke manamana.

   Semua orang menonton dirinya.

   Beberapa saat kemudian, aku berteriak di telinga Ryan.

   "Apa Claudel tahu di mana Anna?"

   Dia menggelengkan kepalanya.

   Aku menyerah.

   Sepertinya tidak ada gunanya mencoba untuk membuka percakapan.

   Harry dan lelaki tua itu terus berdansa, Wajah lelaki itu sudah memerah dan dipenuhi keringat dan dasinya menggantung dengan anehnya.

   Saat pasangan dansa Harry memutarkan tubuh adikku itu sehingga wajahnya menghadapku, aku langsung membuat gerakan memotong leher dengan jari telunjuk.

   Sudah.

   Selesai.

   Harry melambaikan tangan dengan riangnya.

   Aku menunjuk pintu keluar dengan jempol, tetapi dia sudah mengalihkan pandangannya.

   Ya ampun.

   Ryan mengamatiku, sambil tersenyum geli.

   Aku memandangnya dengan tatapan yang bias membekukan El Nino, dan dia menarik diri dan menengadahkan kedua lengannya ke atas.

   Kali berikutnya Harry menghadap ke arahku, aku memanggilnya lagi, tetapi dia sedang menatap sesuatu di belakangku dan wajahnya tampak aneh.

   Pada pukul dua belas lewat lima belas, doaku dijawab saat band itu berhenti untuk beristirahat.

   Harry kembali, wajahnya memerah, tetapi tampak gembira.

   Rekannya terlihat seakanakan perlu masker oksigen.

   "Wow! Benarbenar asyik sekali!"

   Dia menarik kerah bajunya dan meloncat ke tempat duduknya, lalu menenggak bir yang sudah dipesan Ryan. Saat lelaki tua itu hendak duduk di sampingnya, Harry menepuk topinya.

   "Makasih, ya. Sampai nanti, oke?"

   Lelaki itu menabik dan menatapnya dengan pandangan memelas.

   "Bye bye."

   Harry menggerakkan jari-jemarinya dan lelaki tua itu mengangkat bahu dan bergabung kembali dengan kerumunan orang di belakangnya. Harry mendekatkan tubuhnya ke Ryan.

   "Tempe, siapa yang duduk di sana?"

   Dia menganggukkan kepalanya ke bar di belakang kami. Aku hendak menoleh.

   "Jangan lihat dulu!"

   "Kenapa?"

   "Lelaki kurus tinggi berkacamata."

   Aku memutar mataku, yang tidak menolong menghilangkan rasa pusing di kepalaku. Harry menggunakan kebiasaan ini di 5MA dulu saat aku mau pergi dan dia masih ingin tinggal.

   "Aku tahu. Orangnya imut-imut dan dia benarbenar tertarik padaku. Hanya saja dia malu-malu kucing. Basi sekali sih, Harry."

   Band memulai sesi kedua. Aku berdiri dan mengenakan jaketku.

   "Waktunya tidur."

   "Bukan begitu, sungguh. Lelaki itu mengamatimu sejak aku mulai turun berdansa. Aku bisa melihatnya dari jendela itu."

   Aku menatap ke arah yang dia tunjukkan. Tidak ada yang cocok dengan deskripsinya tadi.

   "Mana?"

   Harry menatap wajah-wajah di sekeliling bar, kemudian menatap ke belakang, ke arah lain.

   "Sungguh, Tempe."

   Dia mengangkat bahunya.

   "Tapi, aku tidak bisa menemukan orang itu lagi sekarang."

   "Dia mungkin salah seorang mahasiswaku. Mereka selalu kaget melihatku berjalan tanpa tongkat."

   "Ya, mungkin juga. Lelaki itu memang terlalu muda untukmu."

   "Makasih,"

   Ryan mengamati seperti Kakek yang menonton anakanak remaja.

   "Kamu sudah siap?"

   Aku mengancingkan jaket dan mengenakan sarung tanganku. Harry melirik jam Rolexnya, kemudian mengatakan persis seperti yang kuduga sebelumnya.

   "Baru lewat tengah malam. Bisa nggak kita-"

   "Aku mau pulang, Harry. Apartemenku hanya empat blok dari sini dan kamu punya kuncinya. Kamu bisa tinggal kalau mau."

   Untuk sejenak dia terlihat ragu-ragu, kemudian dia berbalik menghadap Ryan.

   "Apa kamu masih mau di sini dulu?"

   "No probiemo, Nak."

   Harry menatapku dengan pandangan memelas seperti yang dilakukan lelaki tua tadi.

   "Betul nih, kamu nggak keberatan?"

   "Tentu saja tidak."

   Peduli amat? Kujelaskan penggunaan kunci, kemudian dia memelukku.

   "Aku antar kamu pulang, ya,"

   Ujar Ryan, meraih jaketnya. Pelindungku.

   "Tidak usah, terima kasih. Aku sudah besar."

   "Kalau begitu, biar kupanggilkan taksi untukmu."

   "Ryan, aku diizinkan untuk berjalan-jalan tanpa pengasuh lho."

   "Terserah deh."

   Dia duduk kembali sambil menggelengkan kepalanya.

   Udara yang dingin terasa nyaman setelah tubuhku didekap panas dan kepulan asap di dalam pub.

   Nyaman untuk selama sepersekian detik.

   Suhu udara langsung turun dan angin bertiup kencang, menghujamkan rasa dingin jutaan derajat di bawah nol.

   Dalam beberapa langkah saja mataku sudah mencucurkan air mata dan aku bisa merasakan es mulai terbentuk di ujung lubang hidungku.

   Kutarik syalku menutupi mulut dan hidungku, dan mengikatnya di belakang kepala.

   Aku terlihat seperti orang idiot, tetapi paling tidak saluran napasku tidak akan membeku.

   Kubenamkan tanganku dalamdalam ke dalam saku, menurunkan kepalaku, dan terus berjalan.

   Terasa lebih hangat, tetapi tidak bisa melihat, kuseberangi Crescent dan mengarah ke Ste-Catherine.

   Tidak ada siapa pun di sekitarku.

   Aku sedang menyeberangi MacKay saat merasakan syalku mengencang, dan kakiku tergelincir dari pijakannya.

   Mulamula, aku mengira kakiku tergelincir di atas es, tetapi kemudian menyadari bahwa tubuhku sedang ditarik ke belakang.

   Aku sudah melewati Theater York tua dan sedang diseret menuju ke sisi gedung.

   Sepasang tangan memutar tubuhku dan mendorong wajahku mencium dinding.

   Tanganku sendiri masih terperangkap di dalam saku.

   Saat wajahku menghantam batu bata, tubuhku merosot ke bawah.

   Saat lututku menghantam tanah, wajahku dibenamkan ke salju.

   Sebuah pukulan telak menghantam punggungku, seakanakan seseorang bertubuh besar menghunjamkan lututnya di tulang punggungku.

   Rasa sakit menjalar di punggungku dan napasku meledak keluar melalui syal.

   Aku dipiting ke tanah dalam posisi tidak berdaya.

   Aku tidak bisa melihat, tidak bisa bergerak, dan tidak bisa bernapas! Aku panik dan mencaricari udara.

   Darah berdentum-dentum di telingaku.

   Kupejamkan mata dan berkonsentrasi mengarahkan mulutku ke samping.

   Aku terengah-engah menarik napas.

   Kemudian napas berikutnya.

   Rasa sesak mulai menghilang dan aku mulai bisa bernapas normal.

   Aku merasakan sakit di rahang dan wajahku.

   Kepalaku terkunci di posisi yang aneh, mata kananku ditekan ke salju yang membeku.

   Aku merasakan sesuatu di bawah tubuhku dan menyadari bahwa itu adalah tasku, Hal itu sedikit memberi semangat kepadaku.

   Berikan tas itu kepadanya! Aku berusaha melepaskan diri, tetapi jaket dan syalku masih mengikatku seperti jaket pengaman untuk orang gila.

   Aku merasakan tubuhnya bergerak.

   Tubuhnya seperti menyelimuti diriku.

   Kemudian, napasnya berembus di telingaku, Melalui syal, suaranya terdengar berat dan cepat, putus asa, seperti binatang liar.

   Jangan hilang kesadaran.

   Hilang kesadaran berarti mati dalam cuaca seperti ini.

   Bergerak! Lakukan sesuatu! Di bawah lapisan bajuku yang tebal, keringat membasahi tubuhku.

   Aku berusaha mengeluarkan tangan dari dalam saku, mencaricari.

   Jariku terasa licin di dalam sarung tangan.

   Nah! Kuraih kunci.

   Begitu dia bangkit, aku sudah siap.

   Dengan tidak berdaya, kutunggu kesempatan itu datang.

   "Jangan teruskan,"

   Sebuah suara berdesis di telingaku, Dia menangkap gerakanku! Aku tertegun.

   "Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan. Mundur!"

   Mundur dari apa ? Dia pikir aku ini siapa ? "Jangan teruskan,"

   Dia mengulangi katakatanya, suaranya bergetar penuh emosi.

   Aku tidak bisa berbicara dan dia sepertinya tidak mengharapkan jawaban.

   Apakah dia orang gila dan bukan seorang perampok? Kami berbaring di situ seakanakan berbaring dalam waktu yang sangat lama, Beberapa mobil melaju melewati kami.

   Aku sudah kehilangan rasa di wajahku, dan tulang di leherku seakan hendak remuk.

   Aku bernapas melalui mulut, air ludah membeku di syalku.

   Tetap tenang.

   Berpikir! Pikiranku menjelajahi berbagai kemungkinan.

   Apa dia mabuk? Teler oleh narkoba? Ragu-ragu? Apakah dia memiliki lamunan menjijikkan yang membuatnya melakukan hal ini? Jantungku berdetak sedemikian kencangnya sehingga aku khawatir hal itu akan mempercepat reaksinya.

   Lalu, kudengar suara langkah kaki.

   Dia juga pasti mendengarnya karena dia mempererat cengkeramannya di syalku dan meletakkan tangannya yang dibalut sarung tangan di wajahku.

   Teriak! Lakukan sesuatu! Aku tidak bisa melihatnya dan hal itu membuatku gila.

   "Lepaskan aku, jahanam busuk!"

   Aku menjerit melalui syalku.

   Tetapi, suaraku seakan berasal dari jarak jutaan kilometer, terhalang oleh lapisan wol tebal.

   Kupegang kunci erat-erat, tanganku terasa licin dalam sarung tangan dan berniat untuk menghujamkannya ke matanya begitu mendapat kesempatan.

   Tiba-tiba, aku merasa syalku mengencang dan tubuhnya bergerak.

   Dia kembali berlutut, mengonsentrasikan seluruh berat tu-bunya di tengah-tengah punggungku.

   Berat tubuhnya dan tasku mengimpit paru-paru, membuatku terengah-engah mencari udara.

   Dengan menggunakan syal, dia mengangkat kepalaku, kemudian mengempaskannya dengan tangannya.

   Telingaku menghantam es dan kerikil, dan mataku berkunang-kunang.

   Dia mengangkat dan membanting tubuhku sekali lagi dan kunang-kunang itu mulai menyatu.

   Aku bisa merasakan darah di wajahku dan merasakannya di mulutku.

   Kupikir aku merasakan sesuatu berbunyi di leherku.

   Jantungku berdentum keras di dalam tulang rusukku.

   Lepaskan diriku makhluk jelek! Aku pusing.

   Otakku yang tersiksa ini membayangkan laporan autopsi.

   Laporan autopsiku sendiri.

   Tidak ada apa-apa di bawah kukunya.

   Tidak ada luka pembelaan diri.

   Jangan pingsan! Aku menggeliat dan mencoba berteriak, tetapi kembali mulutku tidak mengeluarkan suara apa-apa.

   Tiba-tiba, bantingan itu terhenti dan penyerangku mendekatkan diri lagi.

   Dia berbicara, tetapi aku hanya menangkap suara gumaman yang tidak jelas di telingaku yang terus berdering tak berhenti.

   Lalu, aku merasakan tangannya di punggungku dan berat tubuhnya terangkat.

   Suara sepatu menjejak di atas kerikil dan dia pergi.

   Sambil masih pusing, kukeluarkan kedua tanganku, kudorong tubuhku dari atas tanah, dan kubalikkan tubuh ke posisi duduk.

   Serangan rasa pusing menghantamku dan aku mengangkat lutut dan menurunkan kepalaku di antaranya.

   Hidungku mengeluarkan cairan dan entah darah atau air ludah mengalir dari mulutku.

   Tanganku gemetaran saat aku menyeka wajah dengan syalku, dan aku tahu bahwa aku berada di ambang tangis.

   Angin menderu-deru, membuat jendela yang rusak berderak-derak di teater yang ditelantarkan itu.

   Apa tadi namanya? Yale? York? Sepertinya sangat penting.

   Aku pasti tahu namanya, jadi mengapa sekarang aku tidak bisa mengingatnya? Aku kebingungan dan mulai menggigil dengan hebatnya, karena dingin, karena takut, dan mungkin karena lega.

   Saat pusing itu sudah berlalu, aku bangkit, berjalan tersaruk-saruk menyusuri gedung itu, dan mengintip di ujungnya.

   Tidak ada siapa pun di sekelilingku.

   Kakiku terasa lemas sekali saat berjalan pulang, selalu melihat ke belakang pada setiap langkahku.

   Beberapa pejalan kaki yang kulewati membuang muka dan mengecam.

   Mereka pasti mengira aku seorang pemabuk.

   Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk di tepi tempat tidurku, memeriksa apakah ada luka yang cukup parah di tubuhku.

   Kedua pupil mata terasa normal.

   Tidak ada yang terasa kebas.

   Tidak ada rasa mual.

   Syal itu bagai pisau bermata dua.

   Syal itu membuat penyerangku mudah mencengkeramku, namun juga membuat setiap hantaman tidak terlalu terasa.

   Tampak beberapa goresan dan memar di sebelah kanan kepalaku, tetapi aku yakin tidak menderita gegar otak.

   Boleh tahan juga untuk korban perampokan yang selamat, pikirku saat menyusupkan tubuhku di bawah selimut.

   Tetapi, apakah barusan itu sebuah perampokan? Orang itu tidak merampok apa-apa.

   Mengapa dia lari? Apakah dia panik dan menyerah? Apakah dia mabuk? Apakah dia sadar telah keliru menyerang orang? Cuaca dingin di bawah nol derajat jarang mendorong seseorang untuk melakukan penyerangan seksual.

   Apakah motifnya yang sebenarnya? Aku mencoba tidur, tetapi pikiranku masih terus aktif.

   Atau apakah ini sindrom stres pasca-trauma? Tanganku masih gemetaran dan aku kaget setiap kali mendengar suara sekecil apa pun.

   Apakah aku harus menelepon polisi? Untuk apa? Lukaku tidak begitu parah dan tidak ada barang yang dicuri.

   Dan, aku tidak melihat wajah orang itu.

   Apakah aku harus memberi tahu Ryan? Tidak mungkin, karena aku tadi pergi dengan sikap sangat angkuh.

   Harry? Tidak mungkin.

   Ya, Tuhan.

   Bagaimana kalau Harry pulang ke rumah sendirian? Apakah orang itu masih di luar sana? Kubalikkan tubuh dan menatap jam.

   Pukul dua lewat tiga puluh tujuh menit.

   Di mana sih Harry? Kusentuh bibirku yang pecah.

   Apakah Harry akan menyadari bahwa bibirku luka? Mungkin.

   Harry memiliki naluri seperti kucing liar.

   Tidak ada yang terlewatkan olehnya.

   Aku memikirkan cerita untuk membohonginya.

   Pintu selalu bisa dijadikan alasan bagus, atau jatuh dengan muka menghantam es saat tangan berada di dalam saku.

   Mataku mulai menutup, kemudian terbuka kembali saat aku merasakan lututnya di punggungku dan mendengar embusan napas beratnya.

   Aku melihat jam kembali.

   Jam tiga lewat lima belas menit.

   Apakah Hurley's masih buka pada jam selarut ini? Apakah Harry pulang ke rumah Ryan? "Ke mana kamu Harry?"

   Ujarku kepada lampu hijau yang menyala dari bingkai jam.

   Aku berbaring di situ, berharap dia pulang ke rumah, karena tidak ingin melewatkan malam ini sendirian.[] i p Au terbangun oleh cerahnya cahaya matahari dan dalam kesunyian, setelah tertidur dengan nyenyaknya.

   Sel-sel otakku melangsungkan rapat internal untuk menata berbagai masukan yang kuterima selama beberapa hari terdahulu.

   Mahasiswi yang hilang.

   Perampok.

   Santa.

   Dua bayi dan nenek yang tewas dibunuh.

   Harry.

   Ryan.

   Harry dan Ryan.

   Semuanya menyeruak di sekitar subuh tanpa menghasilkan apa pun.

   Aku berbaring telentang dan rasa sakit yang menyengat di leherku mengingatkanku pada kejadian yang menimpaku di malam sebelumnya.

   Kugerakkan dan kupanjangkan leher, tangan, dan kakiku.

   Cukup bagus.

   Diterangi cahaya pagi ini, penyerangan itu sepertinya tidak logis dan kabur.

   Tetapi, kenangan akan rasa takut itu terasa nyata sekali.

   Aku berbaring sejenak, mengeksplorasi luka di wajahku dan mendengarkan tandatanda keberadaan adikku.

   Terasa kulit yang empuk di beberapa sudut wajahku.

   Tidak ada suara adikku.

   Pada pukul tujuh lewat empat puluh, kupaksa diriku turun dari tempat tidur untuk meraih jubah mandi dan sandalku.

   Pintu kamar tamu terbuka, tempat tidurnya masih rapi.

   Apakah Harry pulang tadi malam? Kutemukan secarik kertas tempel di lemari es yang menjelaskan hilangnya dua kotak yogurt dan bahwa dia akan kembali setelah jam tujuh.

   OK.

   Dia tadi ada di rumah, tetapi apakah dia tidur di sini? "Siapa yang peduli,"

   Ujarku, sambil meraih wadah kopi. Saat itu telepon berdering. Kubanting wadah itu dan kuseret kakiku ke telepon di ruangan duduk.

   "Ya!"

   "Hey, Ma. Tidak nyenyak tidurnya?"

   "Maaf, Sayang. Ada apa?"

   "Apa dua minggu lagi Mama akan ke Charlotte?"

   "Mama akan berangkat hari Senin dan akan di Charlotte sampai awal April, sampai pergi lagi ke pertemuan Antropologi Fisik di Oakland. Kenapa?"

   "Ya, mungkin aku akan pulang ke rumah selama beberapa hari. Liburan ke pantai ini tidak me nyenangkan."

   "Bagus. Eh, maksud Mama, bagus karena kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama. Mama ikut prihatin karena perjalananmu menyebalkan."

   Aku tidak menanyakan alasannya.

   "Kamu akan tinggal dengan Mama atau dengan Ayah?"

   "Ya."

   "Ok. Ok. Kuliahmu lancar-lancar saja 'kan?"

   "Ya, aku benarbenar suka psikologi abnormal. Dosennya juga oke. Dan Kriminologi juga lumayan. Kami tidak pernah diberi tenggat untuk tugas apa pun."

   "Hm. Bagaimana dengan Aubrey?"

   "Siapa?"

   "Ternyata jawabanmu sudah cukup jelas. Bagaimana dengan jerawatmu?"

   "Sudah hilang."

   "Kenapa kamu bangun pagi sekali di hari Sabtu begini?"

   "Aku harus menyelesaikan makalah untuk kelas Kriminologi. Menyusun profi I, mungkin akan menggunakan bahan yang diajarkan di psikologi abnormal."

   "Lho, bukannya tidak ada tenggat untuk tugas apa pun?"

   "Tugas ini seharusnya dikumpulkan dua minggu yang lalu."

   "Oh."

   "Apa Mama bisa membantuku memikirkan proyek untuk kelas antropologiku?"

   "Boleh."

   "Jangan yang terlalu rumit. Harus bisa kuselesaikan dalam satu hari."

   Aku mendengar suara bip-bip-bip.

   "Ada telepon masuk, Katy. Nanti Mama pikirkan lagi proyek itu. Beri tahu Mama kalau kamu sudah tiba di Charlotte."

   "Oke."

   Kutekan sambungan telepon dan kaget saat mendengar suara Claudel.

   "Claudel ici."

   Seperti biasa, tidak ada basa-basi dan dia tidak minta maaf karena meneleponku di hari Sabtu pagi seperti ini. Dia langsung ke pokok pembicaraan.

   "Apakah Anna Goyette sudah pulang ke rumahnya?"

   Aku terhenyak. Claudel tidak pernah meneleponku ke rumah. Anna pasti ditemukan sudah tewas. Aku menelan ludah dan menjawab.

   "Kurasabelum."

   "Usianya sembilan belas tahun?"

   "Ya."

   Terbayang wajah Suster Julienne. Aku tidak akan mampu menceritakan kabar ini kepadanya.

   "... caracteristiquesphysiques?"

   "Maaf. Apa tadi?"

   Claudel mengulangi pertanyaannya. Aku tidak tahu apakah Anna memiliki ciri fi sik yang khas.

   "Entahlah. Aku harus menanyakannya dulu kepada keluarganya."

   "Kapan terakhir kali orang melihatnya?"

   "Kamis, Monsieur Claudel, kenapa Anda menanyakan berbagai pertanyaan ini kepadaku?"

   Claudel diam sejenak. Aku bisa mendengar suara berisik di latar belakang dan menduga dia menelepon dari ruangan tim kasus pembunuhan di kantor polisi.

   "Seorang wanita berkulit putih ditemukan pagi hari ini, telanjang, tanpa kartu identitas."

   "Di mana?"

   Rasa terhenyak itu menyodok tulang dadaku dengan keras.

   "Yle des Soeurs, Di belakang pulau ada sebuah daerah yang rimbun dan sebuah kolam, Tubuhnya ditemukan"

   Dia terdengar ragu-ragu-"di pinggir kolam."—"Ditemukan bagaimana?"

   Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu. Claudel memikirkan pertanyaanku beberapa saat. Aku bisa membayangkan hidungnya yang bengkok, matanya yang saling berdekatan sedang berpikir.

   "Korban tewas dibunuh. Keadaannya ..."

   Kembali dia ragu-ragu.

   "...janggal."

   "Tolong ceritakan selengkapnya."

   Telepon kualihkan ke tanganku yang lainnya, lalu menyeka tangan satunya ke jubah mandiku.

   "Tubuh itu ditemukan di dalam bagasi mobil tua. Ada beberapa bekas luka. LaManche sedang melakukan autopsinya hari ini juga,"

   "Luka seperti apa?"

   Aku menatap pola noda di jubahku. Dia menarik napas panjang.

   "Ada beberapa luka tusukan dan tanda bekas ikatan di pergelangan tangannya. LaManche juga menduga ada bekas serangan hewan."

   Menurutku cara Claudel menyingkirkan emosi dalam menangani kasusnya amat mengesalkan. Seorang wanita berkulit putih. Korban. Tubuh. Pergelangan tangan. Tidak ada satu pun yang merupakan kata ganti.

   "Dan korban itu mungkin telah dibakar,"

   Lanjutnya.

   "Dibakar?"

   "LaManche akan mendapatkan lebih banyak lagi informasi nanti. Dia akan melakukan autopsi korban hari ini."

   "Ya ampun."

   Walaupun ahli patologi dari lab selalu siap sepanjang waktu, jarang sekali autopsi dilakukan pada akhir pekan. Aku menduga pembunuhan ini pasti sesuatu yang luar biasa.

   "Sudah berapa lama dia meninggal?"

   "Tubuhnya belum seluruhnya membeku, jadi mungkin kurang dari dua belas jam. LaManche akan mencoba menentukan jam kematiannya."

   Aku tidak mau mengajukan pertanyaan berikutnya.

   "Kenapa Anda mengira wanita itu Anna Goyette?"

   "Umur dan deskripsinya cocok."

   Tubuhku langsung terasa lemas.

   "Ciri khas tubuh seperti apa yang Anda maksudkan?"

   "Korban itu tidak punya geraham bawah."

   "Apakah sudah dicabut?"

   Aku merasa bodoh begitu pertanyaan itu kuucapkan.

   "Dr. Brennan, aku bukan dokter gigi, Ada tato kecil di paha sebelah kanan, Gambar dua orang sedang memegang sebuah hati di antara keduanya."

   "Aku akan menelepon bibinya Anna dan kembali menghubungi Anda."

   "Aku bisa-"

   "Tidak usah. Biar aku saja yang menghubunginya. Aku masih harus mendiskusikan sesuatu dengannya."

   Dia memberikan nomor pager-nya, lalu menutup telepon.

   Tanganku gemetaran saat menekan nomor telepon biara.

   Terbayang olehku mata yang ketakutan terpancar dari bawah poni yang pirang, Sebelum aku bisa memikirkan cara mengajukan pertanyaan yang tepat, Suster Julienne sudah menjawab panggilan teleponku.

   Kugunakan beberapa menit lamanya untuk berterima kasih kepadanya karena telah mengarahkan aku kepada Daisy Jeannotte, dan menceritakan buku harian itu kepadanya.

   Kuhindari apa yang seharusnya kubicarakan dan dia bisa segera menebak pikiranku.

   "Aku tahu, pasti telah terjadi sesuatu yang buruk."

   Suaranya terdengar lembut, tetapi aku bisa mendengar ketegangan yang berusaha ditutupinya. Aku bertanya apakah Anna telah pulang ke rumah. Ternyata belum.

   "Suster, seorang wanita muda telah ditemukan-"

   Kudengar suara gemerisik kain dan pasti dia sedang membuat tanda salib di dadanya.

   "Aku harus menanyakan beberapa pertanyaan pribadi tentang keponakan Anda."

   "Ya."

   Jawabnya dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar. Kutanyakan tentang geraham dan tato. Keheningan menyapu kami hanya satu detik lamanya, kemudian aku terkejut saat mendengarnya tertawa.

   "Oh, bukan, bukan, itu bukan Anna. Oh Tuhan, tidak, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya ditato. Dan aku yakin gigi Anna masih lengkap. Bahkan dia sering membicarakan giginya. Itulah sebabnya aku tahu. Giginya sering bermasalah, dia selalu mengeluhkan rasa sakit saat makan sesuatu yang dingin. Atau panas."

   Katakata itu berhamburan demikian cepatnya sehingga aku hampir bisa merasakan kelegaan yang terpan-carkan dari seberang sana.

   "Tapi Suster, apakah mungkin-"

   "Tidak. Aku kenal keponakanku. Giginya masih lengkap. Dia memang tidak senang dengan kondisi giginya, tapi semuanya masih ada."

   Kembali terdengar tawa yang gugup itu.

   "Dan tidak ada tato, terima kasih Tuhanku."

   "Aku senang mendengarnya. Wanita muda ini mungkin bukan Anna, tapi apakah bisa Anda mengirimkan catatan gigi Anna kepadaku, hanya untuk memastikan."

   "Aku memang yakin."

   "Ya. Mungkin, untuk membuat Detektif Claudel lebih yakin. Tidak ada salahnya 'kan?"

   "Kurasa begitu. Dan, aku akan berdoa untuk keluarga gadis malang itu."

   Dia memberikan nama dokter gigi Anna dan aku menghubungi Claudel kembali.

   "Dia yakin Anna tidak punya tato."

   "Hai, Bibi Suster! Coba tebak? Bokongku baru ditato minggu kemarin."

   "Aku sependapat. Memang tidak mungkin dia memberi tahu bibinya hal-hal seperti itu."

   Dia mendengus dengan keras.

   "Tapi, dia sangat yakin bahwa Anna masih memiliki semua giginya. Dia teringat keponakannya mengeluhkan giginya yang sakit."

   "Siapa orang yang dicabut giginya?"

   Persis seperti pikiranku.

   "Biasanya memang orang yang giginya bermasalah."

   "Ya."

   "Dan bibi ini juga yakin bahwa Anna tidak pernah pergi tanpa memberi tahu ibunya sebelumnya, ya 'kan?"

   "Itulah yang dikatakan olehnya."

   "Anna Goyette ternyata punya sejarah menghilang lebih hebat daripada pesulap kondang David Copperfi eld. Dia sudah hilang tujuh kali dalam delapan belas bulan terakhir. Paling tidak itulah laporan yang diajukan ibunya."

   "Oh."

   Rasa tak enak meluas dari tulang dadaku sampai ke dalam perutku.

   Kuminta Claudel untuk tetap mengabariku tentang perkembangan kasus ini, kemudian menutup gagang telepon.

   Aku tidak yakin apakah dia akan meneleponku kembali.

   Aku mandi, berganti pakaian, dan tiba di kantor pada pukul setengah sepuluh.

   Kuselesaikan laporanku tentang Elisabeth Nicolet, menjabarkan pengamatanku, seperti yang kulakukan pada kasus forensic lainnya.

   Rasanya aku ingin bisa menyertakan informasi dari buku harian Belanger, tetapi aku belum punya waktu untuk membacanya.

   Setelah mencetak laporan itu, kuhabiskan waktu tiga jam untuk memotret.

   Aku merasa tegang dan canggung, dan kesulitan menempatkan tulangbelulang itu.

   Pada pukul dua, aku membeli roti lapis dari kantin dan memakannya saat membaca ulang temuanku atas Mathias dan Malachy.

   Tetapi, pikiranku tertuju ke telepon dan tidak mau berkonsentrasi pada pekerjaan yang sedang kukerjakan.

   Aku sedang berada di mesin fotokopi, memfotokopi buku harian Belanger ketika melihat kedatangan Claudel.

   "Ternyata bukan gadis yang kaucari."

   Aku menatap matanya.

   "Benarkah?"

   Dia mengangguk.

   "Lalu siapa?"

   Tanyaku.

   "Namanya Carole Comptois. Ketika catatan gigi menyatakan bahwa gadis itu bukan Goyette, kami langsung memeriksanya ke pusat data dan mendapatkan data yang cocok. Korban pernah ditahan beberapa kali karena menjajakan diri."

   "Usia?"

   "Delapan belas."

   "Cara kematiannya?"

   "LaManche masih menyelesaikan autopsinya."

   "Ada tersangka?"

   "Banyak."

   Dia menatap wajahku untuk beberapa saat, tidak mengatakan apa pun, kemudian beranjak pergi.

   Kuteruskan pekerjaanku memfotokopi, seperti robot ta pa emosi yang bergejolak di dalam.

   Kelega an yang kurasakan karena gadis itu bukan Anna langsung berubah menjadi perasaan bersalah.

   Ke nya taannya adalah seorang gadis tengah terbaring di atas meja di lantai bawah.

   Kami masih harus member tahu keluarganya tentang berita buruk ini.

   Angkat tutup mesin fotokopi.

   Balik halaman.

   Turun kan tutup.

   Tekan tombol.

   Delapan belas.

   Aku tidak ingin melihat autopsinya.

   Pada pukul setengah lima, aku selesai memfotokopi buku harian itu, dan kembali ke kantorku.

   Kuletakkan laporan tentang kedua bayi itu di kantor sekretariat, kemudian meninggalkan sebuah pesan di meja LaManche yang menjelaskan tentang fotokopi itu.

   Saat melangkahkan kaki ke koridor, LaManche dan Bergeron tampak berdiri di luar kantor dokter gigi.

   Keduanya terlihat lelah dan muram.

   Saat aku berjalan mendekat, mereka menatap wajahku sejenak, tetapi tidak bertanya apa-apa.

   "Kasus yang buruk?"

   Tanyaku. LaManche mengangguk.

   "Apa yang terjadi padanya?"

   "Yang harus ditanyakan justru apa yang tidak terjadi,"

   Ujar Bergeron.

   Kualihkan pandanganku dari satu pria ke pria lainnya.

   Walau sedikit bungkuk, dokter gigi itu tingginya lebih dari dua meter, dan aku harus mendongak untuk menatap matanya.

   Uban putihnya menjadi lebih cemerlang karena disorot oleh lampu di langitlangit.

   Aku teringat komentar Claudel tentang serangan hewan dan menduga itulah alasannya mengapa hari Sabtu Bergeron juga terganggu.

   "Sepertinya dia digantung pada pergelangan tangannya, kemudian dipukuli dan diserang oleh beberapa ekor anjing,"

   Ujar LaManche.

   "Menurut Marc sedikitnya ada dua ekor anjing yang menyerangnya."

   Bergeron mengangguk.

   "Anjing bertubuh besar. Mungkin jenis anjing gembala atau Doberman. Ada sekitar enam puluh luka gigitan."

   "Ya Tuhan."

   "Cairan yang mendidih, mungkin air, ditumpahkan ke tubuhnya yang telanjang. Kulitnya mengelupas cukup parah, tapi aku tidak bisa menemukan jejak yang bisa diidentifi kasi,"

   Ujar LaManche.

   "Dia masih hidup waktu diperlakukan seperti itu?"

   Isi perutku melilit saat memikirkan rasa sakit yang dideritanya.

   "Ya. Dia akhirnya meninggal akibat tusukan berulang kali ke dada dan perutnya. Kamu mau melihat foto Pola-roidnya?"

   Aku menggelengkan kepala.

   "Apakah ada luka pembelaan diri?"

   Tanyaku sambil mengingat pergulatanku sendiri dengan penyerangku tadi malam.

   "Tidak."

   "Kapan dia meninggal?"

   "Mungkin kemarin sore."

   Aku tidak ingin mengetahui lebih teperinci lagi.

   "Satu hal lagi."

   Mata LaManche diliputi kesedihan yang mendalam.

   "Dia sedang hamil empat bulan."

   Aku berjalan melewati mereka dengan cepat dan masuk ke dalam kantorku.

   Aku tidak tahu berapa lama duduk di situ, mataku bergerak memandangi berbagai barang dalam bidang pandanganku, namun tatapanku menerawang.

   Walaupun aku bisa menyembunyikan emosiku karena sudah sangat sering berhadapan dengan kekejaman dan kekerasan selama bertahuntahun, ada saja kematian yang bisa menembus benteng itu.

   Pembunuhan yang baru-baru ini terjadi sepertinya lebih buruk dari berbagai kasus yang pernah kutangani.

   Atau apakah jaringan otakku sudah terlalu penuh sesak sehingga aku tidak bisa lagi menyerap berbagai peristiwa yang mengerikan? Carole Comptois bukan kasusku dan aku belum pernah melihat orangnya, tetapi aku tidak bisa meredam bayangan yang terus bermunculan dari kegelapan di pelosok pikiranku.

   Aku melihat dirinya pada sat-saat terakhirnya, wajahnya yang merasakan rasa sakit dan teror.

   Apakah dia memohon-mohon agar tidak dibunuh? Agar bayinya yang belum lahir bias selamat? Monster seperti apa yang sekarang tengah gentayangan di dunia ini? "Sialan!!!"

   Teriakku di kantor yang kosong itu.

   Kujejalkan catatanku ke dalam tas kerjaku, meraih peralatanku, dan membanting pintu di belakangku.

   Bergeron mengatakan sesuatu saat aku melewati kantornya, tetapi aku tidak menghentikan langkahku.

   Warta berita jam enam sore sudah dimulai saat aku melaju di bawah Jembatan Jacques Cartier, dan pembunuhan Comptois menjadi berita utama.

   Kutekan tombol radio, mengulangi lagi pikiranku yang terakhir.

   "Sialan!!!"

   Pada saat tiba di rumah, amarahku sudah reda.

   Beberapa jenis emosi terlalu kuat sehingga harus dipaksa agar reda.

   Kutelepon Suster Julienne dan meyakinkan dirinya tentang Anna.

   Claudel telah meneleponnya, tetapi aku ingin menginformasikannya secarapribadi.

   Dia pasti akan pulang ke rumah, ujarku.

   Ya, katanya, sependapat denganku.

   Namun, kami berdua tidak begitu meyakininya lagi.

   Kukatakan bahwa tulangbelulang Elisabeth sudah siap untuk dikirimkan, dan bahwa laporannya sedang diketik.

   Dia menimpali dengan mengatakan bahwa tulangbelulang itu akan diambil hari Senin pagi.

   "Terima kasih banyak, Dr. Brennan. Kami menunggu laporan Anda dengan tidak sabar."

   Aku tidak merasakan antusiasme yang sama dengannya.Aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka saat membaca laporanku.

   Aku berganti pakaian dengan mengenakan celana jins, mempersiapkan makan malam, tidak mau memikirkan Carole Comptois lebih lanjut, Harry tiba jam setengah tujuh malam dan kami pun makan, tidak berkomentar banyak tentang pasta dan zucchini.

   Dia sepertinya lelah dan ada yang mengganggu pikirannya, dan bersedia menerima penjelasanku bahwa aku tergelincir di atas es.

   Aku benarbenar lelah setelah berbagai kejadian yang kuhadapi hari itu.

   Aku tidak menanyakan ke mana dia malam sebelumnya, atau tentang seminar, dan dia tidak menawarkan cerita apa pun.

   Tampaknya, kami berdua samasama merasa tidak siap untuk mendengarkan atau member tanggapan.

   Setelah makan malam, Harry membaca bahan lokakaryanya dan aku mulai membaca lagi ketiga buku harian itu.

   Laporan untuk para biarawati sudah lengkap, tetapi aku ingin mendapatkan lebih banyak informasi lagi.

   Fotokopi ternyata tidak memperbaiki mutu buku itu dan aku sama tidak bersemangatnya seperti hari Jumat kemarin.

   Lagi pula, Louis-Philippe bukanlah penulis ulung.

   Sebagai seorang dokter muda, dia bercerita panjang lebar tentang hari-harinya di Hotel Dieu Hospital.

   Dalam empat puluh halaman pertama aku hanya menemukan beberapa cerita tentang adik perempuannya.

   Tampaknya, dia khawatir Eugenie ingin terus bernyanyi di depan umum setelah pernikahannya dengan Alain Nicolet.

   Dia juga tidak menyukai penata rambut adiknya.

   Louis-Philippe sepertinya orang yang berpandangan kolot.

   Pada hari Minggu, Harry sudah pergi lagi sebelum aku bangun.

   Aku mencuci baju, berolahraga di gym, dan memutakhirkan bahan kuliah yang akan kuberikan di kelas evolusi manusia pada hari Selasa.

   Pada sore hari, aku mulai merasa lelah.

   Kunyalakan perapian, lalu menyeduh secangkir teh Earl Grey, dan meringkuk di sofa, membaca buku dan makalahku.

   Aku mulai membaca dari halaman buku harian Belanger yang kutinggalkan kemarin, tetapi setelah sekitar dua puluh halaman, aku beralih ke buku tentang cacar.

   Buku itu menarik, begitu kontras dengan buku Louis-Phillipe yang membosankan.

   Aku membaca tentang jalanan yang kulewati setiap harinya.

   Montreal dan beberapa desa di sekelilingnya dihuni sekitar dua ratus ribu orang pada tahun delapan belas delapan puluhan.

   Kota itu memanjang dari Jalan Sherbrooke di utara ke pelabuhan di sepanjang sungai di selatan.

   Di sebelah timur dibatasi oleh kota industri Hochelaga, dan di sebelah barat tampak desa para pegawai Ste-Cunegonde dan St-Henri yang terletak tepat di atas Kanal Lachine.

   Musim panas sebelumnya aku mengendarai sepeda sepanjang jalur kanal untuk sepeda.

   Dahulu, seperti sekarang, ada ketegangan.

   Walaupun sebagian besar wilayah Montreal di sebelah barat St-Laurent dihuni penduduk berbahasa Inggris, pada tahun delapan belas delapan puluhan penduduk berbahasa Prancis menjadi mayoritas di kota tersebut.

   Mereka mendominasi dunia politik, tetapi penduduk berbahasa Inggris menguasai bidang perdagangan dan media.

   Penduduk keturunan Prancis dan Irlandia beragama Katolik, sementara keturunan Inggris beragama Protestan.

   Kedua kelompok ini tetap terpisah, baik dalam kehidupan maupun saat kematian.

   Masing-masing memiliki pemakaman yang terpisah di gunung.

   Kupejamkan mata dan memikirkan hal itu.

   Bahkan, sampai sekarang pun bahasa dan agama berperan penting di Montreal.

   Sekolah Katolik.

   Sekolah Protestan.

   Kaum Nasionalis.

   Kaum Federalis.

   Aku bertanya dalam hati, ke pihak manakah Elisabeth Nicolet menyatakan kesetiaannya.

   Cahaya ruangan meredup dan lampu menyala.

   Aku terus membaca.

   Di akhir abad kesembilan belas, Montreal menjadi pusat perdagangan, memiliki pelabuhan yang luar biasa, sejumlah gudang yang amat luas, pabrik penyamakan kulit, pabrik sabun, pabrik lainnya.

   McGill sudah menjadi universitas terkemuka.

   Tetapi, seperti kotakota Victoria lainnya, Montreal adalah tempat penuh kontras, dengan sejumlah bangunan megah milik saudagar kaya menutupi gubuk kaum pekerja.

   Di samping jalanan luas yang beraspal, di Shrebrooke dan Dorchester, tampak ratusan jalan tanah dan gang yang tidak diaspal.

   Di masa itu, kota tersebut memiliki saluran pembuangan air yang jelek, dengan sampah dan bangkai binatang membusuk di selokan kosong, dan kotoran manusia di manamana.

   Sungai digunakan sebagai saluran pembuangan terbuka.

   Walaupun membeku di musim dingin, sampah dan kotoran membusuk serta menyebarkan bau tidak sedap di musim panas.

   Semua orang mengeluhkan bau busuk itu.

   Tehku sudah dingin sehingga aku meluruskan kaki, meregangkannya, dan membuat secangkir the baru.

   Saat membuka buku itu kembali, aku langsung meloncat ke bagian sanitasi.

   Hal itu merupakan salah satu keluhan Louis-Philippe tentang Hotel Dieu Hospital, Dan, ternyata memang ada catatan tentang lelaki tua itu.

   Dia menjadi anggota Komite Kesehatan di Dewan Perwakilan Kota.

   Kubaca catatan yang mengasyikkan tentang dewan yang mendiskusikan tinja manusia.

   Sistem pembuangannya benarbenar kacau saat itu.

   Sejumlah penduduk Montreal sudah biasa buang air besar ke saluran pembuang air yang mengarah ke sungai.

   Ada juga yang menggunakan kloset dari tanah, menutupi tinjanya dengan tanah, kemudian mengeluarkannya untuk dikumpulkan oleh tukang sampah.

   Yang lainnya buang air besar di kakus umum.

   Pegawai kesehatan kota melaporkan bahwa penduduk kota menghasilkan sekitar 170 ton tinja setiap hari atau lebih dari 62.D5D ton setiap tahun.

   Dia memperingatkan bahwa 10.000 kakus umum dan tangki septik di kota adalah sumber utama penyakit menular, termasuk tifus, penyakit jengkering, dan difteri.

   Dewan memutuskan untuk membentuk system pengumpulan dan pembakaran.

   Louis-Philippe menyetujui usul itu.

   Saat itu 28 Januari 1885.

   Pada hari setelah pemungutan suara itu, gerbong Grand Trunk Railway dari daerah barat masuk ke Stasiun Bonaventure.

   Seorang kondektur sakit dan dokter kereta dipanggil untuk memeriksanya.

   Orang itu diperiksa dan didiagnosis menderita cacar.

   Sebagai orang Protestan, dia dibawa ke Montreal General Hospital, tetapi ditolak masuk.

   Pasien itu diizinkan untuk menunggu di sebuah ruangan isolasi di sayap bangunan khusus untuk penyakit menular.

   Akhirnya, atas permohonan dokter kereta, dia dimasukkan ke Catholic Hotel Dieu Hospital.

   Aku bangkit untuk mengisi perapian.

   Saat mengatur ulang kayu-kayunya, kubayangkan bangunan batu berwarna abu-abu yang berdiri di jalan des Pins dan rue St-Urbain.

   Hotel Dieu masih tetap berfungsi sebagai rumah sakit sampai saat ini.

   Aku sudah sering melewati rumah sakit itu.

   Aku kembali membaca buku itu.

   Perutku keroncongan, tetapi aku ingin terus membaca sampai Harry pulang, Para dokter di Montreal General mengira bahwa para petugas di Hotel Dieu telah melaporkan kasus cacar itu ke departemen kesehatan.

   Petugas di Hotel Dieu mengira sebaliknya, Tidak ada yang melaporkannya ke pihak yang berwenang dan tidak ada yang menyampaikan berita ini kepada para dokter dan karyawan di kedua rumah sakit itu.

   Pada saat epidemic berakhir, sekitar tiga ribu orang meninggal dunia, kebanyakan anakanak.

   Kututup buku itu.

   Mataku terasa panas dan dahiku berdenyutdenyut.

   Jam menunjukkan waktu jam tujuh seperempat.

   Di mana Harry? Aku beranjak ke dapur, mengambil dan membersihkan steak salmon.

   Saat membuat sausnya, aku mencoba membayangkan keadaan lingkungan rumahku satu abad yang lalu.

   Bagaimana orang menghadapi cacar pada zaman itu? Obat racikan rumah macam apakah yang mereka gunakan? Sekitar dua pertiga korban yang meninggal adalah anakanak.

   Bagaimana rasanya melihat anakanak tetangga meninggal? Bagaimana orang menghadapi rasa tidak berdaya saat mengurus anaknya yang sekarat? Kukupas dua buah kentang dan memasukkannya ke dalam oven, kemudian mencuci selada, tomat, dan timun.

   Harry masih belum pulang.

   Walaupun membaca buku itu telah mengalihkan pikiranku dari Mathias dan Malachy dan Carole Comptois, aku masih merasa tegang dan kepalaku masih terasa sakit.

   Kunyalakan air panas di bak mandi dan menambahkan garam mineral laut untuk aroma terapi.

   Kemudian, kupasang CD Leonard Cohen dan berendam di dalam bak mandi.

   Kugunakan Elisabeth untuk menjauhkan pikiranku dari kasus-kasus pembunuhan yang tengah kuhadapi.

   Perjalanan menembus sejarah memang mengasyikkan, tetapi aku belum mengetahui apa yang perlu kuketahui.

   Aku sudah mengetahui hasil kerja Elisabeth selama epidemi itu melalui informasi yang dikirimkan Suster Julienne sebelum penggalian.

   Elisabeth telah menjalani kehidupan pertapa selama bertahuntahun, tetapi saat epidemi sudah tidak bisa dikendalikan, dia menjadi penasihat untuk modernisasi kedokteran.

   Dia menulis surat ke Dewan Kesehatan Provinsi, dan kepada Honore Beaugrand, walikota Montreal, memohon peningkatan kualitas kebersihan di kota itu.

   Dia mengirimkan banyak sekali tulisan ke berbagai surat kabar berbahasa Inggris dan Prancis dan menuntut dibukanya rumah sakit khusus penderita cacar dan meminta diadakannya vaksinasi terhadap masyakarat luas.

   Dia menulis surat kepada uskupnya, menyatakan bahwa demam telah menyebar di tempat-tempat orang banyak berkumpul dan memohon kepadanya untuk sementara ini menutup gereja.

   Uskup Fabre menolak, menyatakan bahwa penutupan gereja sama saja dengan menghina Tuhan.

   Uskup menganjurkan jemaatnya untuk datang ke gereja, mengatakan bahwa berdoa secara bersama-sama lebih kuat daripada doa yang dilakukan sendirian.

   Huh, pemikiran yang bagus, Uskup.

   Itulah sebabnya orang Prancis yang beragama Katolik banyak yang meninggal, sementara orang Inggris yang beragama Protestan hanya sedikit yang menjadi korban.

   Orangorang kafi r itu mendapatkan suntikan cacar dan tinggal di rumah.

   Kutambahkan air panas, membayangkan kejengkelan yang dirasakan Elisabeth dan siasat apa yang mungkin akan kugunakan waktu itu.

   OK, aku sudah tahu tentang hasil kerjanya dan tahu tentang kematiannya.

   Para biarawati sudah mengetahui hal itu pula.

   Kubaca lembaran kertas yang menceritakan penyakitnya dan pemakaman public yang dilaksanakan kemudian.

   Tetapi, aku harus tahu tentang kelahirannya.

   Kuraih sabun dan membuat busa.

   Tidak ada gunanya menghindari buku harian.

   Kusapukan sabun itu di bahuku.

   Tetapi, aku punya fotokopinya, jadi bisa menundanya sampai sesudah aku berada di Charlotte.

   Kucuci kakiku.

   Surat kabar.

   Itulah saran yang diajukan Jeannotte.

   Ya.

   Aku akan menggunakan waktu yang kumiliki di hari Senin untuk menelaah surat kabar tua.


Putri Bong Mini Rahasia Pengkhianatan Baladewa Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak Raja Naga Tapak Dewa Naga

Cari Blog Ini