Ceritasilat Novel Online

Expected One 9


Kathleen Mcgowan The Expected One Bagian 9



Maria mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha menghubungkan falsafah Easa dengan situasi yang mereka hadapi.

   "Kau percaya bahwa Tuhan menempatkan Pontius Pilatus pada posisi ini?"

   Easa mengangguk.

   "Ya. Pilatus, istrinya yang baik, anak mereka."

   "Dan apakah Pilatus akan memilih untuk menolongmu atau tidak...itu bukan ketentuan Tuhan?"

   Easa menggeleng.

   "Tuhan tidak mendikte kita, Maria. Ia membimbing kita. Terserah pada individu masingmasing, untuk memilih pemimpinnya. Termasuk pilihan antara rencana Tuhan dengan hasrat duniawi. Kau tidak bisa mengabdi pada Tuhan sekaligus mengabdi pada kebutuhan duniawi. Kerajaan Surga akan datang kepada mereka yang memilih Tuhan. Aku tidak bisa mengatakan, kepada siapa Pontius Pilatus memilih untuk mengabdikan diri jika waktunya tiba."

   Maria mendengarkan dengan seksama.

   Meskipun ia mengenal baik kalimat dalam ajaran Nasrani itu, tapi penjelasan Easa yang mengambil contoh Pontius Pilatus menjadikan dogma ini jernih dan bertenaga.

   Dalam suatu kilatan firasat, Maria merasa perlu menyimpan katakata suaminya tadi, mengingatnya secara persis seperti saat Easa mengucapkannya.

   Akan tiba waktu saat Maria harus mengajar orang lain secara persis seperti Easa mengajarkannya.

   "Imam besar dan para pendukungnya berkeras agar aku ditahan. Sekarang kita tahu, kita tidak bisa menghindar,"

   Lanjut Easa.

   "Tapi kita akan meminta mereka untuk mengirimku ke Pilatus. Aku akan mengajukan kasusku kepadanya. Maka keputusan akan bergantung pada keimanan dan nuraninya. Kita harus siap dengan keputusan apa pun yang akan ia ambil. Apa pun keputusannya, kita harus menunjukkan lewat tindakan kita bahwa kita mengetahui kebenaran bahwa jika kita membuka hati bagi kerajaan Tuhan, tak ada apa pun yang bisa mengubahnya, tidak seorang kaisar, penindas, maupun rasa sakit. Bahkan tidak pula kematian."

   Mereka berbicara hingga larut malam, membahas rencana Easa untuk keesokan hari. Maria mengajukan pertanyaan terberat yang memenuhi dadanya, hanya sekali ini.

   "Bisakah jika kita pergi saja dari Yerusalem malam ini? Kita kembali ke bukit Galilee untuk berkhotbah di sana hingga Annas dan Caiaphas menemukan mangsa lain?"

   "Kau lebih tahu di antara yang lain, Mariaku,"

   Tegur Easa lembut.

   "Masyarakat memerhatikan kita sekarang. Aku harus memberi teladan."

   Maria mengangguk paham, lalu Easa menceritakan percakapannya dengan Maria Agung.

   Mereka memutuskan akan terlalu berbahaya jika mereka hadir di Rumah Tuhan besok.

   Terlalu banyak orang tidak berdosa di sana yang mungkin akan terluka jika terjadi kericuhan.

   Easa terutama memikirkan keselamatan murid-muridnya.

   Imam besar menginginkan dirinya, bukan yang lain.

   Mereka sudah banyak mendengar dari Jairus.

   Tidak perlu membahayakan orang lain.

   Ia bisa melakukan pertemuan tertutup dengan pengikut-pengikut terdekatnya pada sore hari, di rumah Yusuf yang jauh dari lokasi peringatan Paskah.

   Di sana, Easa akan memberikan instruksi tentang tugas mereka masingmasing dalam pelayanan keirnaman seandainya ia harus menghabiskan waktu lama dalam penjara seperti Yohanes atau jika terjadi yang lebih buruk.

   Mereka akan bermalam di tanah Yusuf di Getsemane, di bawah bintangbintang Yerusalem yang suci.

   Dan di sana Easa akan membiarkan dirinya ditahan.

   "Kau akan menyerahkan diri pada penguasa Rumah Tuhan?"

   Tanya Maria tidak percaya.

   "Tidak, tidak. Aku tidak boleh bersikap begitu. Para jemaat tidak lagi mengimani JalanNya jika itu kulakukan. Tapi aku harus memastikan penahananku terjadi jauh dari kota sehingga tidak terjadi pertumpahan darah dan kekacauan. Aku akan meminta salah seorang dari kalangan kita untuk 'berkhianat' lalu pergi ke penguasa agar mereka mencopot kedudukanku. Pengawal akan datang ke Gethsemane. Di sana tidak ada banyak orang karena itu tidak akan terjadi kekacauan."

   Pikiran Maria berpacu. Semua ini terjadi begitu cepat. Sebuah pikiran buruk menyentaknya.

   "Oh, Easa. Tapi siapa? Siapa orang dari kalangan kita yang berani melakukannya Kau tidak bisa mengharapkan Petrus atau Andreas. Dan jelas bukan pula Filipus dan Bartolomeus. Adikmu Yakobus pun akan mengorbankan jiwanya dulu, dan Simon akan membunuh orang lain."

   Lalu jawaban itu muncul, Maria dan Easa mengucapkannya serentak.

   "Yudas."

   Wajah Easa tampak muram.

   "Aku harus pergi dulu, Merpatiku. Aku harus memberitahu Yudas bahwa ia terpilih untuk melaksanakan tugas ini karena kekuatannya."

   Easa mengecup pipi istrinya lalu pergi.

   Maria memandang kepergiannya dengan perasaan takut akan peristiwa esok.

   f Sesuai rencana, keesokan siang mereka berkumpul untuk makan bersama.

   Easa, dua belas pengikut terpilih, dan semua Maria.

   Anakanak tetap di Bethany bersama Martha dan Lazarus.

   Easa mengawali senja dengan ritual pengurapan.

   Ritual ini dilakukan sesuai versinya sendiri, yakni dengan mencuci kaki tiap orang dalam ruangan.

   Easa menjelaskan ritual itu suatu bentuk pengakuan bahwa tiap orang adalah putra Tuhan yang memiliki tugas khusus menyampaikan kerajaan Tuhan.

   "Aku telah memberi kalian contoh, segala yang telah dilakukan di sini terhadap kalian, lakukanlah juga terhadap orang lain. Dan akuilah bahwa di mata Tuhan, kalian setara dengan orang lain. Aku akan memberikan perintah baru malam ini bahwa kalian akan saling mencintai sebagaimana aku mencintai kalian. Karena ketika kalian memasuki dunia, aku akan membuat orang mengenali kalian sebagai orang Nasrani lewat sikap saling mencintai."

   Setelah mencuci kaki semua pengikutnya dalam ruangan itu, Easa memimpin mereka menuju meja untuk makan malam Paskah. Ia mengerat roti yang tidak beragi, memberkatinya, lalu berkata.

   "Ambillah ini dan makanlah, karena roti ini akan menjadi seperti tubuhku."

   Lalu ia mengambil secawan anggur dan mengucapkan syukur sebelum mengedarkannya ke sekeliling meja.

   "Inilah darah perjanjian baruku, yang akan tertumpah untuk banyak orang."

   Maria mengamati tanpa bersuara bersama yang lainnya.

   Hanya dia dan Maria-Maria lain yang tahu rincian peristiwa yang akan terjadi.

   Saat Yudas mendapat isyarat dari Easa, ia akan meninggalkan makan malam dan menemui Jairus.

   Jairus akan membawanya menemui Annas dan Caiaphas, dan menunjuknya sebagai seorang pengkhianat.

   Yudas akan meminta tiga puluh keping perak agar pengkhianatannya tampak otentik.

   Sebagai imbalannya, ia akan menunjukkan tempat Easa menyendiri pada para imam itu.

   Di tempat yang jauh dari kota dan tidak akan ada kerumunan orang, akan mudah menangkap Easa.

   Ketegangan tampak jelas di wajah Yudas.

   Murid-murid lain tidak mengetahui rencana ini karena Easa tidak ingin mengambil risiko.

   Ia tidak ingin terjadi perselisihan, apalagi jika mereka menolak rencana ini.

   Belakangan, Maria meratapi Yudas dan ketidakadilan kejadian itu.

   Ia akan membela Yudas di hadapan murid lain, yang memandangnya sebagai pengkhianat belaka.

   Tapi ketika waktu itu tiba, sudah sangat terlambat bagi Yudas Iskariot.

   Tuhan telah menciptakan tempat untuknya, dan ia memilih menerimanya.

   Easa menoleh pada Yudas.

   Ia menyerahkan sekerat roti yang telah dibasahi anggur, isyarat yang telah di tentukan.

   "Apa yang harus kaulakukan, lakukanlah segera."

   Saat Maria menatap kepergian Yudas, hatinya seperti teriris.

   Tak akan ada jalan untuk kembali.

   Matanya bertemu dengan mata Maria Agung, yang juga menatap kepergian Yudas membawa nasib Easa di tangannya.

   Kedua wanita itu saling berpegangan sambil terus menatap Yudas, dan berdoa dalam hati agar Tuhan melindungi Easa terkasih.

   f Balatentara datang dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kekuatan yang tidak Maria sangka-sangka.

   Hari sudah malam ketika Yudas muncul bersama para prajurit imam besar.

   Terjadi kekacauan saat kelompok bersenjata lengkap itu tiba, membuat para rasul pria terkejut.

   Cukup jauh dari tempat itu, kaum perempuan berjaga dan berdoa di samping perapian.

   Semua perempuan, kecuali Maria Magdalena, yang menunggu bersama Easa.

   Petrus melompat dari tempat berdirinya, meraih pedang dari salah seorang prajurit muda yang terkejut.

   "Tuanku, kami akan berperang untukmu!"

   Pekiknya lalu mengejar seseorang yang ia kenal, Malchus, pelayan sang imam besar. Ia memotong telinga lelaki itu hingga darahnya mengucur deras. Easa berdiri dan berjalan tenang menghampiri mereka.

   "Cukup, Saudaraku,"

   Katanya kepada Petrus dan yang lainnya. Kepada pasukan imam besar, ia berkata.

   "Turunkan senjata kalian. Tidak ada yang akan melukai kalian. Percayalah padaku."

   Easa menghampiri Malchus yang jatuh tersungkur dan merekatkan jubahnya ke telinga lelaki itu untuk menyumbat darah. Easa meletakkan telapak tangannya di telinga lelaki itu dan berkata.

   "Kau sudah cukup menderita karena ini."

   Saat ia melepas tangannya, telinga lelaki itu sembuh dan darah berhenti mengalir. Easa membantu Malchus berdiri dan berkata padanya.

   "Caiaphas mengirim pasukannya untuk melawanku seperti yang akan ia lakukan terhadap seorang pencuri atau pembunuh. Mengapa? Saat aku datang ke Rumah Tuhan setiap hari, ia tidak berusaha menangkapku atau mengisyaratkan bahwa aku orang yang berbahaya. Ini adalah saat kelam bagi umat kami."

   Salah seorang prajurit yang mengenakan lencana pemimpin, maju dan melontarkan tuntutan dalam bahasa Aram.

   "Apakah kau Easa, Orang Nasrani?"

   "Benar,"

   Jawabnya dalam bahasa Yunani.

   Beberapa orang pengikut memaki-maki dan menyalahkan Yudas.

   Easa telah menasihati Yudas agar tidak menjawab jika ini terjadi, dan Yudas mematuhinya.

   Ia justru mencium lembut pipi Easa, berharap pengikut yang lain paham bahwa itu adalah isyarat bahwa ia ditugaskan melakukan pengkhianatan itu.

   Prajurit dengan lencana pemimpin membacakan dakwaan penahanan, dan Easa dibawa untuk menempuh nasibnya di tangan para imam besar.

   f Maria Magdalena tetap berjaga dan berdoa bersama Maria-Maria lain hingga larut malam.

   Mereka tidak bisa mendekati kaum lelaki, karena risikonya terlalu tinggi.

   Emosi mereka memuncak, meski tak seorang pun yang memberitahu mereka kejadian yang tengah berlangsung.

   Para Maria bergantian memimpin doa dan saling menenangkan.

   Malam sudah larut saat mereka melihat obor melintasi Lembah Kidron, menuju tempat mereka.

   Ternyata mereka hanya kelompok kecil terdiri dari dua lelaki dan seseorang yang tampaknya perempuan mungil.

   Maria berdiri setelah menyadari bahwa perempuan itu adalah putri Herodian.

   Ia berlari menyambut Salome dan memeluknya.

   Ketika itu, barulah ia tahu bahwa lelaki yang memegang obor adalah senturion Romawi yang berpakaian sehari-hari.

   Ia adalah lelaki bermata biru yang disembuhkan Easa.

   "Saudaraku, tidak ada banyak waktu,"

   Kata Salome terengahengah. Jelaslah ia berlarian hingga sampai ke tempat itu.

   "Aku datang dari Benteng Antonia. Claudia Procula mengutusku dan menitipkan rasa hormat dan simpati terdalam atas ketidakadilan yang menimpa suamimu."

   Maria mengangguk, memberi isyarat kepada Salome untuk meneruskan, dan menelan rasa takutnya. Jika istri penguasa Romawi mengirim utusan di tengah malam, pasti ada masalah besar.

   "Easa akan disidangkan besok pagi di hadapan Pilatus,"

   Salome melanjutkan.

   "Tapi Pilatus mendapat tekanan besar untuk memberi hukuman mati padanya. Oh, Maria, ia tidak ingin melakukannya. Claudia mengatakan bahwa Pilatus tahu, Easalah yang menyembuhkan putranya. Atau setidaknya, ia mau berusaha menerima fakta itu dengan cara Romawinya. Tapi ayah tiriku yang kejam memerintahkan agar Easa dihukum mati secepatnya. Herod akan ke Roma pada hari Sabat. Ia telah mengatakan pada Pilatus bahwa persoalan dengan orang Nasrani ini harus sudah beres sebelum keberangkatannya. Maria, mengertikah kau betapa seriusnya persoalan ini? Mereka mungkin menghukum mati Easa. Besok."

   Semuanya terjadi begitu cepat.

   Tidak seorang pun menduga akan terjadi seperti ini.

   Mereka menyangka akan ada masa penahanan sehingga Easa mempunyai waktu untuk membela kasusnya di hadapan Roma dan di hadapan Herod.

   Memang selalu ada kemungkinan bahwa yang terburuklah yang terjadi, tapi tidak secepat ini.

   Salome melanjutkan dengan napas tersengal-sengal.

   "Claudia Procula mengirim kami untuk membawamu. Dua lelaki ini adalah pelayan kepercayaannya."

   Maria menoleh dan menyaksikan cahaya memendar dari wajah lelaki yang diam membisu di belakang obor. Maria mengenalinya sekarang. Ia adalah orang Yunani yang menggendong seorang anak sakit di luar rumah Jairus.

   "Mereka akan mengantarmu ke tempat Easa ditahan. Claudia telah mengawasi lingkungan itu bersama para penjaga hingga pagi menjelang. Barangkali, inilah kesempatan terakhirmu untuk melihat Easa. Tapi kita harus segera pergi."

   Maria meminta mereka menunggu, lalu ia menemui Maria Agung.

   Ia tahu, perempuan tua itu tak mampu pergi menemui Easa dalam waktu cepat.

   Tapi ia harus menawarkan kepadanya sebagai penghormatan atas posisinya selaku ibunda Easa.

   Maria Agung mencium pipi menantunya.

   "Sampaikan itu pada putraku. Katakan padanya bahwa aku akan berada di sana besok. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Pergilah bersama Tuhan, Putriku."

   F Maria dan Salome berjalan cepatcepat untuk mengimbangi langkah dua lelaki yang diam membisu.

   Mereka menuju perbatasan timur.

   Sebelumnya, Maria meluangkan waktu untuk menukar selubung hitamnya, seperti yang sekarang dikenakan Salome, dengan selubung merah yang menandakan bahwa ia adalah imam Nasrani.

   Saat mereka berjalan, sang putri Herodian menyampaikan sesuatu.

   "Aku telah mengirim seorang utusan ke Martha. Easa ingin bertemu anakanaknya. Ia juga memberitahu pelayan Claudia."

   Salome menunjuk ke budak Yunani itu.

   "Easa tahu, kau tak akan sempat ke Bethany dan menjemput mereka jika kau ingin menemuinya."

   Pikiran Maria Magdalena berpacu.

   Ia tidak ingin Tamar dan Yohanes menyaksikan peristiwa traumatis.

   Tapi, jika kemungkinan terburuklah yang akan terjadi, Easa tentu ingin bertemu anakanaknya untuk kali terakhir.

   Cinta Easa terhadap Yohanes kecil, sama seperti terhadap Tamar.

   Easa mencintai keduanya tanpa syarat.

   Keamanan dan perlindungan mereka semua merupakan persoalan saat matahari terbit nanti.

   Maria berdoa dalam hati, tapi ia tidak punya waktu untuk memikirkan persoalan itu sekarang.

   Mereka telah sampai di luar lokasi penahanan Easa.

   Sejauh ini, kegelapan melindungi mereka sehingga tidak memancing perhatian.

   Tapi mereka terpaksa menuruni tangga yang panjang dengan diterangi nyala obor.

   Senturion membisikkan instruksi dan mereka menunggu lelaki Yunani itu memeriksa wilayah sekitar dengan cepat.

   Budak itu turun hingga ke dasar tangga baru kemudian memberi isyarat untuk maju.

   Salome tetap berada di tangga teratas untuk mengawasi sekeliling, perannya sama seperti budak Yunani tadi, hanya saja ia mengawasi di tangga terbawah.

   Maria dan senturion bergegas turun dan masuk ke lorong penjara.

   Senturion mengangkat obor untuk menerangi daerah yang berbelok belok.

   Maria mengikuti di belakangnya, berusaha menulikan telinga dari rintihan kesakitan para tahanan yang bergema di dinding sekelilingnya.

   Ia tahu, suara itu bukan berasal dari Easa, karena seberapa pun sakitnya, ia tidak akan merintih, itu bukan wataknya.

   Tapi Maria sangat iba kepada jiwa-jiwa malang yang tengah menanti nasib di dalam penjara Romawi.

   Senturion mengeluarkan kunci dari balik bajunya, memasukkannya ke lubang pintu, melepas kunci, lalu membiarkan Maria masuk ke sel tahanan suaminya.

   Bertahuntahun kemudian, Maria tahu bahwa Claudia dan Salomelah yang telah berjasa mengambilkan kunci dan menyingkirkan penjaga.

   Mereka melakukannya dengan menyuap, ditambah ongkos pribadi yang tidak sedikit bagi Salome.

   Maria berterima kasih sepanjang sisa hidupnya kepada Claudia Procula dan temannya, Salome, yang kerap disalah pahami.

   Ia bersyukur bukan hanya karena kejadiankejadian malam ini, juga karena masa-masa gelap sesudah itu.

   f Maria menahan desakan untuk menangis pilu melihat kondisi Easa.

   Ia dipukuli dengan sangat kejam.

   Terlihat memar-memar di wajah tampannya, dan Maria bisa melihatnya meringis karena menahan rasa sakit saat berdiri untuk menyambutnya.

   Maria membisikkan pertanyaan ini ketika ia menatap wajah suaminya yang terluka parah.

   "Siapa yang melakukan ini padamu? Suruhan Caiaphas dan Annas?"

   "Sssh. Dengarkan aku, Mariaku, karena waktu sangat sempit dan banyak yang harus kusampaikan. Tak ada tempat untuk menyalahkan, karena sikap itu hanya akan memancing balas dendam. Jika kita memaafkan, kita berada di posisi terdekat dengan Tuhan. Karena itulah kita hadir di sini, untuk mengajarkan anakanak Israel dan seluruh penghuni bumi. Camkanlah ini dan ajarkan kepada siapa pun yang mau mendengar, sebagai kenangan terhadap diriku."

   Sekarang giliran Maria yang meringis. Ia tidak sanggup mendengar Easa berbicara seperti ini, seolah waktu kematiannya sudah pasti. Menangkap kesedihan Maria, Easa berkata dengan lembut.

   "Semalam di Gethsemane, aku berdoa kepada Tuhan bapa kita. Aku memintanya untuk mengambil cawan ini dariku, jika itu adalah kehendakNya. Tapi Ia tidak mengambilnya. Ia tidak mengambilnya karena inilah kehendakNya. Tak ada jalan lain, mengertikah kau? Umat tidak bisa memahami kerajaan Tuhan tanpa contoh yang sangat besar. Dan aku akan memberi contoh itu. Aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa mati demi mereka, dan tanpa sakit ataupun takut. Tuhan kita telah menunjukkan cawan itu padaku dan aku meminumnya dengan rasa gembira. Tugas itu telah terlaksana."

   Maria tidak kuasa membendung aliran air mata, tapi ia berusaha keras untuk tidak terisak. Bunyi sekecil apa pun akan membongkar keberadaannya di penjara itu. Easa berusaha menenangkan Maria.

   "Kau harus kuat sekarang, Merpatiku, karena kau a-kan membawa Jalan Nasrani yang sejati bersamamu, dan kau akan mengajarkannya ke seluruh dunia. Yang lainnya juga akan berjuang. Aku telah memberi mereka instruksi setelah makan malam. Tapi hanya kau yang mengetahui isi hati dan kepalaku. Jadi kaulah yang harus menjadi pemimpin umat berikutnya, dan setelah engkau, anakanak kita."

   Maria berusaha berpikir dengan kepala jernih. Ia harus fokus pada permintaan terakhir Easa, bukan pada kesedihannya sendiri. Ia bisa berdukacita nanti. Sekarang, ia harus menunjukkan kualitas seorang pemimpin Nasrani yang terpercaya.

   "Easa, seperti yang kauketahui, tidak semua orang mencintaiku. Sebagian di antara mereka tidak akan mengikutiku. Meskipun kau telah mengajarkan untuk memperlakukan wanita secara setara. Aku khawatir, pemahaman itu akan pudar setelah kepergianmu. Bagaimana kau memintaku untuk menyampaikan pada mereka bahwa kau telah memilihku sebagai pemimpin umat Nasrani?"

   "Aku telah memikirkannya malam ini,"

   Jawab Easa.

   "Pertama, hanya kau yang memiliki Kitab Cinta."

   Maria mengangguk. Easa menghabiskan sebagian besar masa pengabdiannya untuk menuliskan keyakinan-keyakinan umat Nasrani dan pemahamannya sendiri dalam suatu

   Jilid buku yang mereka sebut Kitab Cinta. Murid-murid yang lainya tahu tentang kitab ini, tapi Easa tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun kecuali Maria. Kitab itu disimpan rapat-rapat di rumah Maria di Galilee.

   "Aku selalu mengatakan bahwa Kitab Cinta tak akan pernah melihat cahaya sepanjang aku hidup. Karena selama aku berada di bumi ini, kitab itu belum lengkap,"

   Lanjut Easa.

   "Setiap menit dalam setiap hari kehidupanku, Tuhan menunjukkan pemahaman baru. Setiap orang yang aku jumpai membuatku lebih mengenal Tuhan. Aku telah menuliskan hal-hal semacam ini dalam Kitab Cinta. Jika aku wafat, kau harus membawanya dan menjadikannya landasan seluruh ajaran sesudah kematianku."

   Maria mengangguk paham. Kitab cinta memang suatu kenangan indah dan kuat tentang segala yang pernah diajarkan Easa. Murid-muridnya akan sangat bersyukur dan terpesona jika belajar dari kitab itu.

   "Ada hal lain, Maria. Aku akan memberikan suatu pertanda. Suatu isyarat jelas kepada mereka bahwa engkaulah penerusku. Jangan takut, Merpatiku, karena aku akan membuat seluruh dunia tahu bahwa kaulah murid yang paling aku kasihi."

   Easa menyentuh perut Maria yang membuncit. Sejenak ia tidak mengatakan apa-apa.

   "Anak yang kau kandung, putra kita berdua ini, memiliki darah para rasul dan raja, sebagaimana putri kita. Keturunan mereka akan memiliki peran dalam dunia, mengajarkan kerajaan Tuhan dan katakata yang tersimpan dalam Kitab Cinta agar manusia di seluruh dunia mengenal kedamaian dan keadilan."

   Bayi dalam kandungan itu menendang sebagai jawaban nubuat yang diutarakan ayahnya.

   "Anak ini menyandang suatu takdir yang istimewa di kepulauan barat. Dari sanalah, kalimat JalanNya akan menyebar. Aku telah memberi pesan kepada pamanku, Yusuf, mengenai pengasuhannya. Kau harus memercayai Yusuf dan membiarkan anak ini pergi ke manapun Tuhan membawanya."

   Maria mengabulkan permintaan Easa.

   Yusuf seorang lelaki yang luhur, bijaksana, kuat, dan berpengetahuan luas.

   Ia banyak melakukan perjalanan karena pekerjaannya sebagai pedagang.

   Semasa mudanya, Easa menemani Yusuf ke pulau-pulau yang kehijauan dan berkabut di sebelah barat Gaul.

   Ia pernah mengatakan pada Maria bahwa saat ia berada di sana, ia mendapat firasat bahwa ajaran Nasrani akan berkembang di antara penduduk bermata biru tajam yang menghuni pulau ini.

   "Dan kau harus menamainya Yeshua-Daud, untuk mengenang diriku dan pendiri dinasti kita. Dari keturunannya akan lahir seorang raja besar yang memimpin dunia ini."

   Maria menerima permintaan Easa lalu bertanya.

   "Bagaimana dengan putri kita, Sarah-Tamar?"

   Easa tersenyum saat Maria menyebut nama putri yang sangat dicintainya.

   "Ia harus tetap bersamamu hingga dewasa. Setelah itu, ia akan menempuh jalan yang ia pilih. Tamar kita itu mewarisi kekuatanmu. Tapi Israel tidak aman bagimu dan anakanak, aku menyaksikannya sendiri. Yusuf akan membawamu ke Mesir, bersama yang lainnya yang memilih untuk pergi. Alexandria adalah pusat pembelajaran yang aman. Tempat ini aman bagi jemaat kita. Kau bisa tinggal di sana atau ke tempat yang lebih jauh lagi, ke negara-negara barat, terserah padamu, Maria. Kau harus memutuskan yang terbaik demi penyebaran ajaran Nasrani. Ikutilah kata hatimu dan percayalah pada Tuhan sebagai pembimbingmu."

   "Dan bagaimana dengan Yohanes kecil?"

   Tanya Maria. Easa selalu memperlakukan anak itu seperti putranya sendiri. Tapi darah dan takdir Yohanes akan berbeda, mereka berdua tahu. Mata Easa muram saat merenungkan.

   "Bahkan di usia sekarang, Yohanes berkemauan keras dan tidak tenang. Tapi kau ibunya dan kau akan membimbingnya, namun Yohanes membutuhkan pengaruh seorang lelaki untuk mengatasi kegelisahannya. Petrus dan Andreas sangat menyayanginya. Jika ia sudah lebih besar, ia bisa diasuh oleh Petrus atau saudaranya."

   Easa tidak perlu menguraikan lebih jauh, Maria tahu maksudnya.

   Dulu, Petrus dan Andreas adalah pengikut sang Pembaptis.

   Mereka sudah saling mengenal sejak usia kanakkanak di Galilee, dan kerap datang ke rumah Tuhan di Capernaeum bersamasama.

   Petrus dan Andreas memberi julukan kepada Yohanes kecil sebagai putra rasul besar, sebagaimana anak asuh Easa.

   "Aku harus menitipkan pesan terima kasih kepada satu orang lagi,"

   Kata Easa.

   "Yaitu wanita Romawi, Claudia Procula. Sampaikanlah padanya bahwa aku berutang budi. Ia banyak berkorban agar kau bisa datang menemuiku, dan aku berterima kasih kepadanya. Katakan padanya agar jangan terlalu keras menghakimi suaminya. Pontius Pilatus harus memilih pemimpinnya, dan aku melihat ia mengambil pilihan yang buruk. Tapi pada akhirnya, pilihannya itu menuntaskan rencana Tuhan bagi kita semua."

   Easa memberi pentunjuk lebih jauh kepada istrinya, sebagian bersifat spiritual dan sebagian praktis, sebelum mengucapkan katakata terakhir untuk menenangkannya.

   "Kuatkan dirimu, apa pun yang akan terjadi besok. Jangan cemaskan diriku, sebagaimana aku tidak merasa cemas akan nasibku. Aku telah tenang menerima cawan Bapa kita dan bergabung denganNya di surga, Maria. Jadilah pemimpin umat dan janganlah takut. Ingatlah selalu, siapa dirimu. Engkau adalah ratu, kau seorang Nasrani, dan kau adalah istriku."

   F Tubuh Maria yang gemetar melangkah lunglai di belakang Salome, melewati jalanjalan Yerusalem sementara langit mulai terang karena pagi akan datang.

   Salome memiliki sebuah rumah yang aman bagi mereka dan ia telah menyuruh seorang utusan untuk membawa Martha dan anakanak ke sana.

   Begitu Maria telah sampai dengan aman di rumah itu, menanti kedatangan iparnya bersama Yohanes dan Tamar, Salome segera mengirim utusan lain untuk menjemput Maria Agung dan yang lainnya di Getsemane.

   f Di lokasi lainnya di Yerusalem, seorang perempuan mulia lainnya, Claudia Procula, merasa diimpit beban berat saat menunggu keluarganya hari itu.

   Saat malam telah larut, akhirnya ia merebahkan diri karena kelelahan.

   Begitu pelayan Yunaninya datang memberitahu bahwa misi mereka membawa istri sang Nasrani telah berjalan sukses, barulah ia mengizinkan dirinya memejamkan mata.

   Claudia bangun dengan tubuh bersimbah keringat.

   Mimpi buruk mencekam dirinya.

   Ia bisa merasakan bayangan itu berputar-putar mengelilinginya di kamar itu.

   Claudia memejamkan mata, tapi bayangan itu tak mau pergi, begitu juga suatu suara yang memenuhi kepalanya.

   Suara itu dilontarkan beramai-ramai.

   Ratusan, barangkali ribuan orang, berulangulang mengucapkan "Salib dia di depan Pontius Pilatus, salib dia di depan Pontius Pilatus."

   Ada suara lain di samping teriakan yang dilakukan berulangulang dengan patuh oleh suarasuara dalam kepalanya, tapi Claudia tidak bisa menangkapnya kecuali enam kata itu.

   Sama seperti suara dalam mimpi buruknya, bayangan yang ia lihat pun sangat menyeramkan.

   Dimulai dengan sebuah mimpi indah, dengan anakanak menari di bukit berumput di bawah matahari musim semi.

   Easa berdiri di tengah lingkaran, di kelilingi anakanak yang semuanya berpakaian putih.

   Pilo tertawa dan menari-nari bersama anakanak itu, juga Smedia.

   Sekarang, bukit itu penuh dengan orangorang dari berbagai usia, berpakaian putih, tersenyum dan bernyanyi.

   Claudia mengenali salah seorang lelaki yang hadir dalam mimpinya.

   Ia adalah Praetorus, senturion yang tangannya patah dan telah disembuhkan oleh Easa.

   Setelah mendengar kabar tentang kesembuhan Pilo yang ajaib, lelaki itu datang untuk meyakinkan Claudia dengan kesembuhan yang ia alami sendiri.

   Tapi begitu Claudia sadar bahwa jiwa-jiwa yang tersenyum dalam mimpinya, orang dewasa maupun anakanak, adalah mereka yang telah disembuhkan Easa, pemandangan pun berubah.

   Tahan berhenti dan langit menjadi gelap sementara paduan suara itu semakin keras.

   "salib dia di depan Pontius Pilatus, salib dia di depan Pontius Pilatus."

   Lalu Claudia melihat Pilo yang ia cintai terjatuh.

   Bayangan terakhir sebelum ia terbangun dari mimpinya adalah Easa yang membungkuk lalu mengangkat Pilo.

   Ia membawa Pilo menjauh tanpa menoleh ke belakang sementara orangorang berjatuhan di sekitar mereka.

   Kemudian ia melihat suaminya menjerit putus asa melihat Easa dari Nazaret pergi menjauh, seolah ia pergi membawa tubuh Pilo yang sudah tidak bernyawa.

   Petir menyambar langit sementara teriakan terus mengikuti mereka menuruni bukit.

   "Salib dia di hadapan Pontius Pilatus."

   "Salib dia!"

   Suara ini berbeda. Bukan teriakan menakutkan dalam mimpi buruknya, tetapi suara kebencian yang nyata dari balik dinding Benteng Antonia.

   "Salib dia!"

   Claudia berdiri dan berpakaian, tak lama kemudian pelayan Yunaninya tergesagesa masuk ke kamar.

   "Nyonya, Anda harus datang sebelum terlalu terlambat. Tuan duduk di kursi hakim dan para imam menuntut hukuman mati."

   "Siapa yang berteriak-teriak di luar?"

   "Ada keributan besar. Hari masih pagi tapi sudah banyak orang berdatangan ke sini. Para imam itu pasti telah bekerja semalaman untuk mengumpulkan orang banyak. Hukuman akan diputuskan sebelum penduduk Yerusalem lainnya memiliki kesempatan membela Yeshua."

   Claudia merapikan diri dengan cepat, tanpa riasan seperti biasa.

   Ia tidak peduli dengan penampilannya hari ini.

   Ia hanya harus mengenakan pakaian yang pantas untuk muncul di hadapan orangorang yang menghadiri persidangan.

   Ia melihat sekilas ke cermin, sebuah pikiran menyentaknya.

   "Di mana Pilo? Ia belum bangun, bukan?"

   "Belum, Nyonya. Ia masih di tempat tidur."

   "Bagus. Temani dia dan pastikan ia tetap di sana. Jika ia bangun, jaga ia agar sejauh mungkin dari pagar. Aku tidak ingin ia melihat atau mendengar kejadian di kota ini."

   "Tentu, Nyonya,"

   Jawab budak Yunani itu dan Claudia berlari keluar kamar, menjalankan misi terpenting dalam hidupnya.

   f Claudia Procula berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan dan rasa muaknya saat memasuki selasar yang telah diubah menjadi ruang sidang.

   Pilatus telah menyepakati konsensus dengan para imam besar untuk tidak menggunakan kamar Romawi yang resmi dan berisiko dicemarkan pada acara Paskah.

   Selasar itu sebuah lokasi yang tertutup dan terpisah.

   Kericuhan yang semakin hebat di luar pagar tak terlihat dari sana.

   Kursi Pontius Pilatus telah dimasukkan dan ia duduk di kursi hakim Roma yang tinggi.

   Di belakangnya, berdiri dua pengawal kepercayaannya.

   Salah satunya adalah si mata biru, Praetorus, dan lainnya adalah lelaki kasar bernama Longinus yang tidak disukai Claudia.

   Pilatus telah termakan hasutan Caiaphas dan Annas, di pihak lain ia juga mendengarkan seorang utusan Herod.

   Sementara itu perwakilan Rumah Tuhan, Jairus, menarik perhatian orang dengan ketidakhadirannya.

   Bersimpuh di lantai di hadapan mereka, diikat dan bersimbah darah, Easa dari Nazaret.

   Claudia menatap Easa dari balik tirai.

   Easa mengangkat pandangannya seolah merasakan kehadiran Claudia sebelum ia melihatnya.

   Mereka bertatapan cukup lama, seolah menembus keabadian.

   Dan Claudia merasakan perasaan cinta murni dan ketenangan seperti yang ia rasakan pada malam Pilo disembuhkan.

   Ia tidak memiliki keinginan untuk melepas tatapan itu atau memalingkan wajah dari kehangatan lelaki di hadapan mereka.

   Bagaimana mereka tidak merasakannya? Bagaimana mungkin mereka berdiri dalam ruang tertutup ini tapi tak tersentuh cahaya matahari yang bersinar dari sosok yang sedemikian kudus ini? Claudia berdehem agar suaminya mengetahui kehadirannya.

   Pilatus mengangkat pandangan dari kursinya dan memandang Claudia.

   "Saudarasaudara sekalian, saya permisi dulu,"

   Kata sang penguasa lalu menghampiri istrinya.

   Claudia membawa suaminya ke tempat yang agak jauh agar percakapan mereka tidak terdengar.

   Kepanikan merasuk dirinya saat ia melihat wajah suaminya yang pucat.

   Keringat membasahi dahi Pilatus dan mengalir ke pelipisnya, padahal hari masih pagi.

   "Aku tidak melihat jalan keluarnya, Claudia,"

   Katanya pelan.

   "Pontius, kau tidak boleh membiarkan mereka membunuh lelaki ini. Kautahu siapa dia."

   Pilatus menggelengkan kepala.

   "Tidak, aku tidak tahu siapa dia, dan itulah yang membuatku sulit mengambil keputusan."

   "Tapi kautahu dia lelaki jujur yang telah mengabdi di daerah ini. Kautahu ia tidak pernah melakukan kejahatan hingga harus dihukum."

   "Mereka menuduhnya seorang pemberontak. Jika mereka menganggapnya ancaman terhadap Roma, aku tidak bisa membiarkannya hidup."

   "Tapi kautahu itu tidak benar!"

   Pilatus mengalihkan pandangannya dari sang istri untuk waktu yang cukup lama. Ia menarik napas dalam dalam sebelum menatap istrinya kembali.

   "Claudia, aku merasa tersiksa. Lelaki ini menantang seluruh logika dan akal sehat Romawi. Setiap falsafah yang aku pelajari bertabrakan dengan situasi yang sedang kita hadapi. Hatiku mengatakan bahwa ia tidak berdosa dan aku tidak boleh menghukum seseorang yang tidak berdosa."

   "Jadi jangan lakukan! Apa sulitnya? Kau memiliki kekuatan untuk menyelamatkannya, Pontius. Selamatkanlah lelaki yang telah mengembalikan putra kita."

   Pilatus mengusap keringat dari wajahnya.

   "Tidak semudah itu karena Herod telah mengeluarkan perintah hukuman mati baginya. Dan Herod telah menyampaikannya tadi pagi."

   "Herod itu serigala."

   "Benar, tapi ia serigala yang akan berangkat ke Roma malam ini. Dan ia memiliki kekuasaan untuk menghancurkanku lewat Caesar, jika aku tidak membuatnya senang. Ia bisa menjatuhkan kita, Claudia. Apakah semua ini layak kita dapatkan? Apakah satu lagi nyawa pemberontak Yahudi layak membuat masa depan kita hancur?"

   "Dia bukan pemberontak!"

   Teriak Claudia. Namun mereka diganggu dengan kehadiran seorang perwakilan Herod yang meminta Pilatus kembali ke ruang sidang. Saat Pilatus akan pergi, Claudia mencengkeram tangannya.

   "Pontius, aku bermimpi buruk semalam. Tolonglah, aku mencemaskan dirimu dan Pilo jika kau tidak menyelamatkan lelaki ini. Kutukan Tuhan akan menimpa kita semua."

   "Mungkin. Tapi Tuhan yang mana? Apakah aku harus percaya bahwa Tuhannya orang Yahudi berkuasa menggulingkan Roma?"

   Tanya Pilatus. Ketika seorang lagi datang memintanya kembali ke ruang sidang, Pilatus menatap tajam wajah istrinya.

   "Ini dilema, Claudia. Dilema paling berat yang pernah aku hadapi. Jangan berpikir bebanku tidak seberat beban yang kaurasakan."

   Ia kembali ke kursinya untuk mengajukan pertanyaan kepada tahanan sementara Claudia mengawasi dari balik tirai.

   "Kepala imam kaummu telah mengirimmu kepadaku, menuntut agar kau dihukum mati,"

   Kata Pilatus kepada tahanannya.

   "Apa yang telah kau lakukan? Apakah kau raja umat Yahudi?"

   Easa menjawab dengan tenang seperti biasa. Jika ada orang asing menyaksikan peristiwa ini, pasti ia tidak mengira bahwa nyawa sang tahanan dipertaruhkan dengan jawabannya.

   "Apakah itu pertanyaanmu sendiri, karena segala yang kau ketahui tentang aku? Ataukah orang lain memintamu mengajukan pertanyaan ini?"

   "Jawab saja pertanyaanku. Apakah kau seorang raja? Jika kau mengatakan tidak, aku akan mengembalikanmu ke para imam, biar mereka yang menentukan hukuman bagimu berdasarkan hukum kalian sendiri."

   Jonathan Annas melompat kaget mendengar ini.

   "Kami tidak memiliki hukum untuk mengkum mati, Yang Mulia. Karena itulah kami datang kepadamu. Jika dia bukan pengacau dan orang yang berbahaya, kami tak akan mengganggu Yang Mulia dengan persoalan ini."

   "Biar tahanan sendiri yang menjawab,"

   Kata Pilatus mengabaikan ucapan Annas.

   Easa menatap lurus ke wajah Pilatus.

   Saat Claudia mengawasi tanyajawab itu, ia mendapat firasat kuat bahwa keduanya tidak melihat atau mendengar orang lain yang ada di ruangan itu.

   Peristiwa itu hanya berlangsung antara Easa dan Pilatus, suatu tahan takdir dan keimanan yang akan mengubah dunia.

   Claudia merasakan dalam tubuhnya yang gemetar.

   "Aku datang ke dunia agar bisa menunjukkan jalan Tuhan kepada umat dan bersaksi atas kebenaran."

   Filsuf Romawi dalam diri Pilatus bangkit mendengarkan ucapan ini.

   "Kebenaran,"

   Katanya sambil berpikir.

   "Katakan padaku, wahai Nasrani, apakah kebenaran itu?"

   Dua lelaki itu saling berpandangan, terkunci dalam nasib yang saling menjalin. Pilatus yang lebih dulu mengalihkan pandangannya, sekarang ia menatap para imam.

   "Akan aku katakan apa itu kebenaran. Kebenaran adalah bahwa aku sama sekali tidak menemukan kesalahan pada lelaki ini."

   Ucapan Pilatus terpotong dengan pemberitahuan kedatangan seseorang.

   Sidang terhenti sementara saat Jairus memasuki ruangan dan memberi salam pada imam-imam lain.

   Ia memohon maaf pada Pilatus atas keterlambatannya dengan alasan urusan mendesak untuk keperluan Paskah.

   "Bagus, Jairus,"

   Kata Pilatus lega melihat kehadiran perwakilan yang telah menjadi temannya itu. Mereka saling berbagi rahasia yang hanya diketahui mereka berdua.

   "Aku telah memberitahu saudara-saudaramu di sini bahwa aku tidak menemukan kesalahan lelaki ini. Dengan demikian, aku tidak bisa memberikan hukuman kepadanya."

   Jairus mengangguk dengan bijak.

   "Aku mengerti."

   Caiaphas menatap tajam pada Jairus dan berkata.

   "Kautahu betapa berbahayanya lelaki ini."

   Jairus menatap imam itu lalu menatap Pilatus kembali, berusaha sekuat mungkin tidak melihat sang tahanan.

   "Tapi sekarang adalah hari Paskah, Saudarasaudaraku. Inilah hari keadilan dan kedamaian bagi seluruh umat."

   Kepada Pilatus, ia berkata.

   "Kau mengetahui tradisi yang kami lakukan setiap tahun pada saat seperti ini?"

   Pilatus menyadari umpan dari Jairus dan memanfaatkannya.

   "Ya, tentu saja. Pada waktu seperti ini aku membiarkan bangsamu memilih seorang tahanan yang akan mendapat pengampunan dan pembebasan. Bagaimana kalau kita hadapkan tahanan ini pada masyarakat untuk memberikan pendapat?"

   "Bagus sekali!"

   Kata Jairus.

   Ia tahu, Caiaphas dan Annas terpojok dan tidak bisa membebaskan diri dari tawaran yang begitu mulia ini.

   Ia juga tahu, kerumunan orang yang telah datang sebagian besarnya adalah pendukung para imam besar.

   Ada juga sejumlah orang yang dibayar untuk menjatuhkan Easa sekiranya keputusan seperti inilah yang diambil.

   Jairus hanya bisa berharap kelompok Nasrani dan pendukung mereka telah datang sekarang dan membawa banyak pengikut.

   Pilatus memberi isyarat pada senturion untuk mengeluarkan tahanan ke dinding benteng.

   Caiaphas dan Annas memohon diri, ini menunjukkan bahwa mereka tidak boleh terlihat bersamasama orang Romawi pagi ini.

   Tapi mereka akan kembali begitu keputusan untuk melepaskan tahanan telah diambil.

   Pilatus curiga, para imam besar itu tergesagesa pergi karena ingin mengamankan kedudukan mereka bersama para pengikut dalam kericuhan.

   Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

   Jairus berpandangan dengan Pilatus, lalu meninggalkan tempat.

   Kedua lelaki itu saling bertatapan penuh arti tepat sebelum masingmasing bergerak untuk menunaikan tugas mereka.

   Pilatus mengeluarkan pengumuman Paskah di hadapan kerumunan orang.

   "Kalian memiliki tradisi,"

   Suaranya bergema di suasana pagi Yerusalem.

   "bahwa aku akan menyerahkan keputusan kepada kalian tentang salah seorang tahanan yang mendapat kehormatan pada peringatan Paskah ini."

   Easa diseret dengan kasar ke samping Pilatus. Sang penguasa melirik Longinus karena telah bersikap tidak semestinya.

   "Cukup,"

   Desisnya sebelum berbicara kembali kepada khalayak.

   "Akankah aku membebaskan lelaki ini, raja umat Yahudi?"

   Terdengar keributan karena masingmasing orang ingin suaranya didengar. Sebuah suara yang berbeda dari yang lain berteriak.

   "Kami tidak memiliki raja kecuali Caesar!"

   Yang lain memekik.

   "Bebaskan Barrabas orang Zelot."

   Usulan ini disambut pekikan tanda persetujuan. Sebuah suara meneriakkan.

   "Lepaskan orang Nasrani,"

   Tapi tak ada sambutan. Para pengikut Rumah Tuhan telah berkoakkoak dengan lantangnya, teriakan yang menginginkan pembebasan Barrabas menjadi dominan.

   "Barrabas! Barrabas! Barrabas!"

   Pilatus tidak punya pilihan kecuali melepaskan tahanan yang namanya diteriakkan kerumunan orang.

   Barnabas pun dilepaskan untuk memperingati Paskah, dan Easa dihadapkan pada hukuman cambuk.

   Claudia Procula menjegal suaminya dengan pertanyaan saat ia turun dari podium.

   "Kau akan mencambuknya?"

   "Diamlah, hai perempuan!"

   Hardiknya sambil mendorong istrinya dengan kasar.

   "Aku akan memukulnya di hadapan publik dan akan kusuruh Longinus dan Praerotus menjadikan hukuman ini sebagai pertunjukan. Inilah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan nyawanya. Barangkali hukuman itu akan memuaskan nafsu haus darah mereka hingga mereka berhenti berteriak meminta penyaliban."

   Pilatus menghela napas, dan melepaskan cengkeramannya pada sang istri.

   "Tinggal itu yang bisa kulakukan, Claudia."

   "Dan jika itu tidak cukup?"

   "Jangan bertanya jika kau tidak ingin mendengar jawabannya."

   Claudia mengangguk. Ia sangat mengerti.

   "Pontius, ada satu hal lagi yang kuminta darimu. Keluarga lelaki ini istri dan anakanaknya ada di belakang benteng. Aku memintamu menunda hukuman cambuk untuk memberinya waktu bertemu dengan mereka. Barangkali, inilah kesempatan terakhir baginya untuk berbicara dengan orangorang yang ia cintai. Aku mohon."

   Pilatus mengangguk singkat.

   "Akan aku tunda, tapi tidak bisa lama. Aku akan menyuruh Praetorus membawa tahanan. Ia orang yang dipercaya kalangan Nasranimu. Aku akan mengirim Longinus untuk mempersiapkan panggung tontonan."

   F Pontius Pilatus menepati kata-katanya.

   Ia mengizinkan Easa dibawa ke ruangan di bagian belakang benteng untuk bertemu dengan Maria dan anakanaknya.

   Easa memeluk Yohanes kecil dan Tamar, dan berpesan agar mereka berani dan menjaga ibu mereka.

   Ia mengecup keduanya dan berkata.

   "Ingatlah, Anakanakku, apa pun yang terjadi, aku selalu bersamamu."

   Saat waktu hampir habis, Easa memeluk Maria Magdalena untuk terakhir kalinya.

   "Dengarlah, Merpatiku. Ini sangat penting. Jika aku tinggal daging dan tulang, kau tidak boleh menempel padaku. Kau harus merelakan kepergianku dan mengingat bahwa jiwaku akan selalu menyertaimu. Tutuplah matamu, dan aku akan ada di dekatmu."

   Maria berusaha terenyum di tengah-tengah air matanya.

   Ia berusaha keras untuk berani.

   Hatinya tercabik-cabik, dan ia merasa kelu dengan rasa sakit dan ketakutan, tapi ia tidak mau menunjukkannya.

   Kekuatannya adalah hadiah terakhir yang bisa ia persembahkan pada suaminya.

   Praetorus tiba di ruangan itu lalu membawa Easa.

   Mata biru senturion ini dikelilingi warna merah.

   Easa melihatnya dan menenangkan lelaki itu.

   "Lakukanlah apa yang harus kau lakukan."

   "Kau akan menyesal karena kaulah yang menyembuhkan tangan ini,"

   Kata senturion itu terbata-bata. Easa menggelengkan kepala.

   "Tidak , aku lebih suka jika aku tahu orang di hadapanku adalah teman. Tahu bahwa aku memaafkanmu. Tapi kumohon, beri aku kesempatan sekali lagi."

   Praetorus mengangguk lalu pergi untuk menunggu di luar. Easa memandang anakanaknya dan meletakkan tangan di dadanya.

   "Ingatlah, aku ada di sini. Selalu."

   Mereka berdua mengangguk sungguh-sungguh. Mata hitam Yohanes besar dan berani, mata Tamar penuh air mata seolah paham dengan situasi yang menakutkan. Kemudian Easa menoleh ke Maria dan berbisik.

   "Berjanjilah, kau tak akan membiarkan mereka menyaksikan kejadian hari ini. Dan aku tidak ingin kau menyaksikan kejadian selanjutnya. Tapi jika sudah berakhir..."

   Maria tidak mengizinkannya menyelesaikan ucapannya.

   Ia meraih tubuh Easa dan memeluknya erat-erat untuk kali terakhir, menyerap segala yang Easa rasakan ke dalam otak dan tubuhnya seolah mereka satu tubuh.

   Ia akan menyimpan kenangan terakhir ini hingga maut menjemput.

   "Aku akan berada di sampingmu,"

   Bisik Maria.

   "Apa pun yang terjadi."

   "Terima kasih, Mariaku,"

   Ucap Easa sambil mendorong lembut tubuh istrinya. Sambil tersenyum, ia mengucapkan katakata terakhir padanya. Seolah ia akan kembali nanti untuk makan malam bersama.

   "Kau tidak akan merindukanku karena aku tidak akan pergi. Nanti akan lebih baik dibandingkan sekarang, karena setelah ini kita tidak akan terpisah."

   F Maria dan anakanak diantar ke bagian belakang Benteng Antonia oleh budak Yunani Claudia Procula. Maria meminta bertemu dengan Claudia untuk menyampaikan terima kasih secara langsung. Namun budak itu menggeleng dan menjawab dalam bahasa aslinya.

   "Nyonya sangat tertekan dengan kejadian hari ini. Ia mengatakan pada saya bahwa ia tidak bisa menemui Anda. Ia telah melakukan segalanya untuk menyelamatkan suami Anda."

   "Katakan padanya, aku tahu. Dan Easa pun tahu. Dan katakan padanya bahwa aku berharap bisa bertemu dengannya suatu hari untuk menatap wajahnya dan menyampaikan terima kasihku, juga terima kasih Easa."

   Lelaki Yunani itu mengangguk dengan hormat, lalu pergi menemui majikannya.

   Maria dan anakanak masuk ke dalam situasi kacau pada Jumat agung di Yerusalem.

   Maria harus menjauhkan anakanaknya dari wilayah itu sejauh mungkin sebelum suara pecutan sampai ke telinga mereka.

   Rumah yang ditawarkan Salome untuk mereka tidak jauh letaknya.

   Maria memutuskan pergi ke sana, menemui Martha dan memintanya membawa anakanak ke Bethany.

   Maria Agung dan dua Maria yang juga berusia lanjut ada di rumah itu.

   Namun Martha tidak ada.

   Ia keluar untuk mencari Magdalena dan anakanak, tidak tahu bahwa mereka sudah sampai di rumah itu.

   Maria Magdalena mengemban tugas berat untuk menyampaikan kejadian pagi itu kepada ibunda Easa.

   Maria Agung mengangguk, air mata menggenang di matanya yang sudah tua tapi menyimpan begitu banyak kearifan dan kasih sayang.

   "Ia sudah melihat peristiwa ini dulu sekali. Kami berdua melihatnya,"

   Tutur Maria Agung pada akhirnya.

   Kedua wanita itu memutuskan untuk datang ke Yerusalem yang sedang kacau.

   Tapi sebelumnya mereka harus menemukan Martha yang akan membawa Yohanes dan Tamar ke tempat yang aman baru kemudian pergi untuk melihat Easa.

   Jika dia akan dihukum dan disalib hari ini, mereka tak akan meninggalkannya.

   Maria telah berjanji.

   Dan Easa telah meminta hanya kepadanya dan kepada ibundanya, untuk menemani di saat-saat terakhirnya.

   Saat mereka bersiap meninggalkan rumah, Maria A-gung menghampiri menantunya.

   Di tangannya ada selubung merah yang menunjukkan status mereka.

   Ia menyerahkan selubung itu kepada Maria Magdalena.

   "Pakailah, Putriku. Kau seorang Nasrani dan seorang ratu, lebih dari sebelumnya."

   Mengangguk pelan, Maria menerima selubung merah panjang itu dan menyelimutkan ke tubuhnya. Ia sangat sadar bahwa kehidupannya di bumi tak akan sama lagi. f "Salib dia! Salib dia!"

   Kerumunan orang meneriakkan hukuman itu bersamasama.

   Pilatus menyaksikan dengan perasaan bercampur aduk antara tidak berdaya dan muak.

   Easa dari Nazaret yang telah berdarah-darah itu tidak membuat mereka puas.

   Bahkan kondisi itu malah membuat mereka meneriakkan tuntutan yang lebih dahsyat lagi, nyawa sang tahanan.

   Seorang lelaki maju membawa mahkota yang dibuat dari cabang pohon berduri.

   Ia melemparkan mahkota itu ke Easa yang masih terkulai lantaran pecutan yang bertubi-tubi, punggungnya yang terbuka terpanggang matahari.

   "Inilah mahkotamu, jika kau seorang raja,"

   Teriak lelaki itu diiringi tawa ejekan orangorang.

   Praetorus sedang membuka belenggu Easa dan dalam proses memindahkannya dari lokasi pencambukan saat Longinus memungut mahkota duri itu lalu menancapkannya dengan kejam ke kepala Easa.

   Kulit kepala dan dahi Easa terkoyak, darah bercampur keringat mengucur ke matanya sementara kerumunan orang bersorak-sorai.

   "Cukup, Longinus!"

   Hardik Praetorus melihat perbuatan rekannya. Longinus tertawa, suaranya keras dan kejam.

   "Kau lembek sekarang."

   Ia meludah ke kaki Praetorus.

   "Kau tampaknya tidak menikmati tugas mencambuk raja Yahudi ini."

   Ketika Praetorus menjawab, suaranya begitu tajam hingga punggung Longinus menegak.

   "Jika kau menyentuh dia lagi,"

   Kata Praetorus.

   "aku akan menambah cabikan di pipimu."

   Pilatus menengahi mereka berdua.

   Ia mencium bahaya di antara dua pengawalnya.

   Pilatus tidak akan mengizinkan hal itu terjadi, sudah cukup banyak persoalan untuk hari ini.

   Jika mereka ingin berkelahi nanti, di luar suasana ricuh ini, itu urusan mereka.

   Tapi sekarang ia harus mengendalikan situasi sebelum segalanya semakin buruk.

   Penguasa itu mengangkat tangan untuk meminta perhatian kerumunan orang.

   "Lihatlah lelaki ini,"

   Kata Pilatus.

   "Aku mengatakan lelaki, bukan raja. Aku tidak melihat kesalahan pada dirinya dan ia telah dicambuk sesuai dengan hukum Romawi. Tak ada lagi yang perlu kita lakukan di sini."

   "Salib dia! Salib dia!"

   Teriakan itu terdengar lagi, berulangulang, seolah mereka telah dilatih dan dimobilisasi. Pilatus kesal melihat manipulasi khalayak ramai, karena membuat posisinya menjadi sulit. Ia menyentuh Easa sambil membungkuk untuk menyampaikan sesuatu.

   "Dengarkan aku, hai orang Nasrani,"

   Katanya pelan.

   "Inilah kesempatan terakhir untuk menyelamatkan diri. Aku bertanya padamu, apakah kau raja umat Yahudi? Karena jika kau mengatakan tidak, aku tidak mempunyai alasan untuk menyalibmu berdasarkan hukum Romawi. Aku memiliki kekuasaan untuk membebaskanmu."

   Kalimat terakhir itu diucapkan dengan desakan yang sangat. Easa menatap Pilatus cukup lama. Katakan! Ayo, katakan! Seolah membaca pikiran Pontius Pilatus, Easa menjawab dengan bisikan.

   "Aku tidak bisa membuat persoalan ini lebih mudah bagimu. Takdir telah dipilihkan untuk kita, tapi sekarang kau harus memilih pemimpinmu sendiri."

   Ketegangan di tengah-tengah kerumunan memuncak.

   Teriakan-teriakan mereka membuat otak Pilatus serasa mau pecah.

   Ada teriakan yang membela Easa, cukup banyak jumlahnya.

   Tapi teriakan mereka tertutup dengan kutukan haus darah orangorang suruhan yang mendapat bayaran untuk menunaikan tugasnya tanpa kenal iba.

   Saraf-saraf Pilatus menegang seperti busur saat ia berusaha menyeimbangkan tugasnya, ambisinya, falsafahnya, dan keluarganya di bahu orang Nasrani yang mengenaskan ini.

   Sebuah teriakan dari sebelah kiri membuatnya kaget.

   Ia menoleh, ternyata suara itu berasal dari perwakilan Herod, sang penguasa Galilee.

   "Ada apa?"

   Bentaknya. Orang itu menyerahkan gulungan kertas dengan stempel Herod. Pilatus merobek perekatnya lalu membaca tulisan.

   "Selesaikan urusan dengan orang Nasrani ini secepatnya karena aku akan berangkat ke Roma lebih awal. Dan aku akan pergi setelah tahu bahwa aku bisa memberikan laporan baik kepada Caesar tentang caramu mengatasi ancaman terhadap Kekaisarannya."

   Itulah pukulan terakhir bagi Pontius Pilatus.

   Ia membaca kertas itu lagi dan sadar bahwa darah telah menutupinya darah Easa, yang melumuri tangan Pilatus.

   Ia memanggil seorang pelayan untuk membawakan mangkuk perak berisi air.

   Pilatus mencuci tangannya, menggosok noda-noda itu, berusaha tidak melihat air yang berubah menjadi merah karena darah tahanan di hadapannya.

   "Aku mencuci tanganku dari darah lelaki ini!"

   Teriaknya pada kerumunan orang.

   "Saliblah raja kalian, jika itu yang kalian inginkan."

   Ia membalikkan badan tanpa menoleh ke Easa dan bergegas menuju Benteng Antonia. Tapi urusan Pontius Pilatus belum selesai. Caiaphas datang tak lama kemudian bersama sejumlah orang dari Rumah Tuhan.

   "Apa kau belum cukup menyusahkanku hari ini?"

   Pilatus membentak imam itu.

   "Hampir, Yang Mulia."

   Caiaphas tersenyum puas.

   "Apa lagi yang kau inginkan dariku?"

   "Adalah tradisi kami untuk memberi tanda pada tiang salib. Tanda itu berupa tulisan yang menjelaskan kejahatan orang yang dihukum. Kami memintamu menuliskan bahwa dia adalah penista agama."

   Pilatus menarik bahan untuk menulis.

   "Aku akan menuliskan hukuman yang kuberikan padanya, bukan yang kau minta. Itulah tradisi."

   Dan ia menuliskan singkatan INRI2, di bawahnya tertera makna singkatan itu Easa dari Nazaret, Raja umat Yahudi. Pilatus menatap pelayannya.

   "Pastikan tulisan ini yang dipakukan di atas salib tahanan. Dan salin tulisan itu ke dalam bahasa Ibrani dan Aram."

   Caiaphas terperanjat.

   "Tidak boleh begitu! Jika pun terpaksa, kau harus menulis, 'Ia mengklaim dirinya sebagai raja umat Yahudi', agar orangorang tahu bahwa kami tidak menghormatinya karena perbuatannya itu."

   Pilatus tidak mau berurusan lagi dengan lelaki itu dan manipulasinya, sekarang dan selamanya. Ia menancapkan bisa dalam jawabannya.

   "Katakata yang telah kutulis, tidak bisa diubah lagi."

   Ia membalikkan tubuhnya dari Caiaphas dan yang lainnya untuk masuk ke ruangannya yang tenang.

   Di sana ia menyendiri sepanjang sisa hari itu.

   f Kerumunan membengkak dan bergerak seperti makhluk hidup, membawa Maria dan anakanaknya.

   Ia meng= gandeng Yohanes dan Tamar, di sebelah kanan dan kirinya, sambil berjuang bergerak di tengah-tengah kerumunan untuk mencari Martha.

   Dari omongan orangorang, Maria tahu bahwa hukuman terhadap Easa telah dijatuhkan dan ia dalam perjalanan menuju bukit Golgotha untuk dieksekusi.

   Melihat pergerakan kerumunan, Maria mendapat bayangan bahwa Easa sedang diarak melewati jalan itu.

   Putus asa menghantui dirinya.

   Ia harus menemukan Martha dan harus tahu anakanaknya dibawa 2 Iesus Nazarenus Rex ludaeorum.

   ke tempat aman agar ia bisa menemani Easa di saat terakhirnya.

   Lalu ia mendengar suara itu.

   Suara Easa bergema di kepalanya, begitu jelas seolah ia ada di sampingnya.

   "Mintalah dan Ia akan memberi. Begitu sederhana. Kita harus meminta apa yang kita inginkan kepada Tuhan Bapa kita, dan Ia akan memberikannya kepada anakanak yang Ia cintai."

   Maria Magdalena meremas tangan kedua anaknya dan memejamkan mata.

   "Aku memohon padaMu, ya Tuhan terkasih, bantulah aku menemukan Martha agar aku bisa menyerahkan anak-anakku dan mendampingi Easa yang aku cintai di masa penderitaannya."

   "Maria! Maria! Aku di sini!"

   Suara Martha memecah di antara kerumunan. Ia berlari menghampiri saudaranya hanya dalam beberapa detik setelah Maria berdoa. Maria membuka mata dan melihat Martha tengah mendesak di antara kerumunan. Mereka saling berpelukan dengan penuh haru.

   "Kau mengenakan selubung merah. Itulah sebabnya aku menemukanmu,"

   Kata Martha. Maria menahan tangis. Tak ada waktu lagi, tapi kehadiran Martha membuatnya sangat lega.

   "Ayo, Putri kecilku,"

   Kata Martha pada kemenakannya, sambil mengangkat Tamar.

   "Dan kau juga, Pangeranku,"

   Katanya menggandeng tangan Yohanes. Maria memeluk erat kedua anaknya sejenak, berusaha meyakinkan bahwa mereka akan bertemu lagi di Bethany secepat mungkin.

   "Pergilah bersama Tuhan, Saudaraku,"

   Bisik Martha.

   "Kami akan menjaga anakanak sampai kau bisa pulang. Jagalah dirimu."

   Martha mencium iparnya, yang kini seorang wanita dewasa dan seorang ratu, lalu berjalan melawan arus kerumunan sekali lagi, sambil membawa anakanak.

   f Menerobos kerumunan padat menjadi perjuangan tersendiri bagi Maria Magdalena.

   Ia mampu menyejajarkan langkahnya dengan pergerakan orangorang di sekitarnya, tapi tak mampu mendekati Easa.

   Ia melihat selubung merah Maria Agung dan Maria-Maria lainnya di antara kerumunan lalu mengikuti mereka melewati jalan berkelok-kelok menuju Golgotha.

   Maria berusaha mendekati mereka, namun ia terdorong dan terdorong lagi ke belakang karena desakan sekian banyak orang.

   Saat senturion mencapai puncak bukit yang dikenal sebagai Tempat Tengkorak, Maria melihat posisi mereka setidaknya seratus meter di depannya.

   Terlihat sosok Easa yang terhuyunghuyung dan selubung-selubung merah ibundanya dan Maria-Maria lain.

   Kerumunan masih menyesaki jalan itu, membuat langkah Maria terhalang.

   Ia tidak peduli lagi, tak ada waktu untuk memikirkan apa pun selain mendekati Easa.

   Maria berbelok, meninggalkan barisan orang, dan mendaki lereng bukit yang berbatu.

   Lereng itu penuh dengan batubatu tajam dan semak belukar, tapi Maria Magdalena tidak merisaukan semua itu.

   Tubuhnya tidak merasakan apa pun saat ia bergerak mendekati Easa dengan langkah pasti.

   Maria begitu teguh dengan tekadnya hingga semula ia tidak sadar bahwa langit telah gelap.

   Ia tergelincir dan bagian bawah selubungnya terkoyak, tangannya pun tergores semak berduri.

   Saat terjatuh, Maria mendengar suatu bunyi.

   Bunyi itu menyayat hingga ke lubuk hati, bunyi yang akan menghantuinya setiap malam seumur hidupnya.

   Itulah bunyi logam bertemu logam, palu yang menghantam paku.

   Ada jeritan kepedihan dan Maria tergelincir lagi.

   Tapi tak lama kemudian, ia sadar bahwa jeritan itu berasal dari mulutnya sendiri.

   Maria sudah sangat dekat sekarang.

   Ia tak akan membiarkan apa pun menghalanginya.

   Saat Maria berhasil berdiri, ia melihat dengan perasaan kelu karena bebatuan di sekelilingnya licin dengan air.

   Langit telah menghitam, hujan menetes seperti air mata ilahi menerpa tanah yang terbakar dan berduka, tanah tempat Putra Tuhan dipaku pada salib kayu.

   f Beberapa saat kemudian, Maria Magdalena sampai di kaki tiang salib.

   Ia bergabung dengan mertuanya dan Maria-Maria lain yang tengah berjaga dan berdoa.

   Ada dua lelaki lain yang menderita di Bukit Golgotha hari ini.

   Mereka disalib di sebelah Easa.

   Maria tidak melihat mereka, tak bisa menatap kecuali kepada Easa.

   Maria bertekad tidak melihat luka-luka suaminya.

   Ia memfokuskan perhatian pada wajah Easa yang terlihat tulus dan tenang, matanya terpejam.

   Wanitawanita lain berdiri bersamasama, saling menggenggam tangan, berdoa kepada Tuhan untuk membebaskan Easa dari penderitaan.

   Maria melihat ke sekelilingnya dan sadar bahwa ia tidak mengenal siapa pun di antara kerumunan orang yang berdiri di belakang mereka.

   Dan ia tidak melihat seorang pun murid lelaki menyaksikan peristiwa hari itu.

   Prajurit Romawi menjaga agar kerumunan tidak mendekati tiang salib.

   Saat menatap barisan senturion, Maria melihat Praetorus di bagian depan.

   Ia mengucapkan doa dalam hati untuk berterima kasih kepadanya dialah tentunya yang menjadikan tempat itu hanya diisi oleh kerabat Easa.

   Mereka membeku saat mendengar Easa berusaha mengatakan sesuatu.

   Sulit menangkap ucapannya karena bobot tubuh yang tergantung pada diafragma itu tidak memungkinkannya untuk bernapas dan berbicara sekaligus.

   "Ibunda...,"

   Bisiknya.

   "lihatlah putramu."

   Wanitawanita itu bergerak semakin dekat ke tiang salib untuk mendengar kata-katanya. Darah mengucur dari tubuhnya yang terkoyak-koyak, bercampur dengan tetesan hujan yang menimpa wajah wanitawanita itu.

   "Kekasihku,"

   Katanya kepada Magdalena.

   "lihatlah ibumu."

   Easa menutup mata dan berkata lembut tapi jelas.

   "Selesai sudah."

   Kepalanya terkulai, dan tubuhnya diam tak bergerak.

   Suasana hening, tak ada yang bergerak sama sekali.

   Langit menjadi hitam sepenuhnya, bukan warna mendung karena hujan, tapi hitam kelam tanpa setitik pun cahaya.

   Kerumunan orang di bukit itu mulai panik.

   Teriakan kebingungan memecah suasana.

   Tapi kegelapan itu tak bertahan lama, berkurang menjadi keabuan saat dua tentara menghampiri Praetorus.

   "Kami mendapat perintah untuk mempercepat kematian tahanan-tahanan ini agar jasad mereka bisa disingkirkan sebelum hari Sabat."

   Praetorus menatap tubuh Easa.

   "Tak perlu memotong kakinya. Ia sudah mati."

   "Apakah kau yakin?"

   Tanya salah seorang tentara.

   "Biasanya kematian akibat penyaliban memakan waktu berjamjam, bahkan kadang berhari-hari."

   "Ia sudah mati,"

   Geram Praetorus.

   "Kau tidak boleh menyentuhnya."

   Dua tentara itu terdiam untuk memahami ancaman dalam nada suara pemimpin mereka.

   Kelompok itu kemudian pergi untuk menunaikan tugas yang tidak menyenangkan, memotong kaki dua tahanan lain yang disalib, untuk mempercepat proses kematian mereka.

   Praetorus tengah sibuk memberi perintah sehingga tidak melihat Longinus menghampiri satu sisi tiang salib.

   Saat mata birunya kembali ke tiang penyaliban Easa, keadaan sudah sangat terlambat.

   Longinus menancapkan tombak ke pinggir tubuh sang tahanan dari Nazaret.

   Maria Magdalena menjerit karena tindakan itu.

   Longinus membalas dengan tawa yang keras dan kejam.

   "Hanya memeriksa. Tapi kau benar. Ia sudah mati."

   Ia berpaling ke Praetorus, wajah lelaki itu putih karena amarah.

   "Kau mau apa?"

   Praetorus hendak menjawab, tapi ia mengurungkan niatnya. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya sangat tenang.

   "Tak ada. Aku tak butuh apa-apa lagi. Kau telah menciptakan kutukan untuk dirimu sendiri dengan perbuatanmu."

   F "Turunkan lelaki ini!"

   Perintah Praetorus.

   Seorang utusan dari benteng Pilatus telah menyampaikan pesan untuk memindahkan jasad lelaki dari Nazaret ini dan menyerahkannya kepada umatnya untuk dikuburkan sebelum matahari tenggelam.

   Perintah ini tidak lazim, karena biasanya korban penyaliban dibiarkan membusuk di tiang salib sebagai peringatan bagi masyarakat.

   Tapi kebiasaan itu tak berlaku bagi Easa.

   Paman Easa yang kaya raya, Yusuf, telah datang bersama Jairus di Benteng Antonia dan bertemu dengan Claudia Procula.

   Perempuan inilah yang mengizinkan mereka memindahkan jasad Easa agar bisa segera dikuburkan.

   Saat Yusuf sudah berada di dekat tiang salib, ia menenangkan Maria Agung dengan kabar bahwa putranya akan dipindahkan dari tiang kematiannya.

   Ibunda Easa merentangkan tangannya setelah sejumlah tentara mengangkat jasad Easa.

   "Aku ingin memeluk putraku untuk terakhir kalinya,"

   Tutur Maria Agung.

   Praetorus mengambil jasad Easa dan dengan lembut membaringkannya di atas pangkuan sang ibunda.

   Maria agung memeluknya, ia membiarkan dirinya menangis di depan banyak orang.

   Tangisan atas hilangnya sang putra yang tampan.

   Maria Magdalena bersimpuh di sampingnya lalu Maria Agung memeluk keduanya.

   Satu tangannya pada menantunya, dan yang lainnya mengusap kepala Easa.

   Mereka terus bersamasama dalam posisi dukacita itu untuk waktu yang cukup lama.

   f Yusuf telah memesan makam untuk keluarganya di taman pekuburan, tak jauh dari Golgotha.

   Ke sanalah umat Nasrani membawa jasad Easa.

   Dupa dan beberapa batang lidah buaya dibawa ke makam oleh Nicodemus, seorang Nasrani muda yang bekerja untuk Yusuf.

   Para Maria memulai persiapan penguburan jenazah dengan menghamparkan kain penguburan.

   Tapi ketika tiba waktu pengurapan dengan dupa, Maria Agung menyerahkan toples itu kepada Maria Magdalena.

   "Kehormatan ini hanya untukmu,"

   Katanya.

   Magdalena menjalankan tugasnya sebagai seorang janda dalam ritual penguburan itu.

   Ia mencium dahi Easa dan mengucapkan selamat tinggal sementara air matanya bercampur dengan minyak dupa.

   Saat melakukannya, ia yakin mendengar suara Easa, lemah tapi pasti, di kuburan itu.

   "Aku selalu bersamamu."

   Bersamasama, para perempuan Nasrani itu mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan makam bagian dalam.

   Sebuah batu besar telah dipilih untuk menutup kubur dan melindungi jasad Easa.

   Dibutuhkan beberapa orang lelaki, ditambah sebuah kerekan dari tambang dan papan, untuk menjaga bongkahan batu itu mantap pada posisinya.

   Begitu tugas terakhir selesai, kelompok yang berduka ini kembali ke rumah Yusuf.

   Maria Magdalena jatuh pingsan setibanya di sana.

   Ia tidak sadarkan diri hingga keesokan harinya.

   Pada Sabtu siang, sejumlah murid pria berkumpul di rumah Yusuf untuk bertemu dengan Magdalena dan Maria-Maria lainnya.

   Mereka saling bercerita tentang kejadian kemarin dalam suasana duka, dan saling menghibur.

   Itulah masa kesedihan, tetapi juga masa yang mempererat hubungan mereka.

   Sepertinya masih terlalu dini untuk memikirkan masa depan pergerakan mereka, namun penyatuan jiwa ini menjadi suatu obat bagi hati mereka yang terluka.

   Tapi Maria Magdalena merasa khawatir.

   Tidak ada yang melihat atau mendengar kabar tentang Yudas Iskari ot sejak penahanan Easa.

   Lalu datanglah Jairus, membawa kabar tentang saudaranya itu.

   Ia mengatakan bahwa kondisi Yudas sangat buruk setelah penahanan Easa.

   Ia berteriak pada Jairus malam itu seraya bertanya.

   "Mengapa ia memilihku untuk melakukan hal ini? Mengapa aku yang dipilih untuk melakukan kejahatan terhadap kalanganku sendiri?"

   Meski Maria telah menjelaskan pada murid kalangan dalam bahwa Easa telah memerintahkan Yudas untuk menyerahkannya ke pihak berwenang, namun kalangan luar tidak atau tidak bisa mengetahui yang sebenarnya.

   Karena itulah nama Yudas disejajarkan dengan kata "pengkhianat"

   Di seantero Yerusalem.

   Dan julukan itu menyebar dengan cepat.

   Reputasi Yudas menjadi bagian dari sejarah panjang ketidakadilan yang menerpa jalur takdir dan nubuat ini.

   Maria berdoa agar kelak ia dapat memulihkan nama Yudas.

   Tapi ia belum tahu bagaimana caranya.

   Yudas tak tahu apakah Maria bisa mengembalikan nama baiknya atau tidak.

   Belakangan para murid mengetahui hal ini, namun sudah terlambat.

   Persoalan ini merupakan satu tragedi lagi yang terjadi di siang yang kelam itu.

   Merasa tak sanggup menerima namanya dikaitkan dengan kematian pimpinan dan gurunya untuk selamanya, Yudas Iskariot mencabut nyawanya sendiri di Hari Kegelapan.

   Ia ditemukan tergantung di sebuah pohon di luar tembok Yerusalem.

   f Maria Magdalena tidak bisa tidur nyenyak malam itu.

   Terlalu banyak bayangan yang bermunculan di kepalanya, terlalu banyak bunyi dan kenangan pula.

   Lalu ada satu hal lain.

   Mulanya adalah perasaan tak tenang, suatu pemahaman samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

   Maria bangun dari ranjangnya lalu berjalan perlahan meninggalkan kamarnya.

   Langit masih gelap.

   Masih ada setidaknya satu jam lagi sebelum subuh.

   Tak seorang pun terbangun, dan tak ada yang aneh di rumah itu.

   Lalu ia tahu.

   Maria merasakan kilatan nubuat disertai kemampuan melihat kegaiban.

   Easa.

   Ia harus ke kuburan.

   Sesuatu terjadi di makam Easa.

   Maria ragu-ragu sejenak.

   Apakah sebaiknya ia membangunkan Yusuf atau salah seorang di antara mereka untuk menemaninya? Petrus, barangkali? Tidak! Hanya kau sendiri.

   Ia mendengar jawaban itu di kepalanya, yang bergema ke sekelilingnya.

   Dibalut keimanan dan selubung perkabungan, dengan langkah pelan Maria Magdalena membuka pintu.

   Begitu berada di luar rumah, ia berlari secepatnya ke makam.

   Hari masih gelap saat Maria tiba di pekuburan.

   Langit berwarna ungu, alih-alih hitam.

   Subuh akan datang.

   Maria mendapat cukup cahaya untuk melihat batu besar itu bongkahan yang untuk memindahkannya dibutuhkan tenaga selusin lelaki telah bergeser dari tempatnya.

   Maria bergegas ke celah yang terbuka, jantungnya berdegup keras karena takut.

   Ia membungkuk agar kepalanya masuk ke lobang pusara.

   Dan ia melihat Easa sudah tidak ada.

   Anehnya, terlihat cahaya di kuburan itu.

   Suatu pancaran aneh yang menyinari seluruh liang itu.

   Dengan jelas, Maria melihat kain linen penguburan tergeletak di bongkahan batu.

   Sosok tubuh Easa berbekas di kain itu, tapi hanya itulah bukti bahwa ia pernah berada di sini.

   Bagaimana ini terjadi? Apakah para imam itu begitu membenci Easa hingga mereka mencuri jenazahnya? Tapi tentu bukan begitu persoalannya.

   Siapa yang telah melakukan hal semacam ini? Kehabisan napas, Maria tersungkur dari kuburan itu dan jatuh ke tanah.

   Ia terbaring di sana, meratapi peristiwa yang ia yakini sebagai satu lagi tindakan nista terhadap Easa.

   Saat Maria menangis, pancaran matahari memulai perjalanannya melintasi langit.

   Sinar pertama matahari pagi menari-nari di atas wajahnya saat ia mendengar suara lelaki di belakangnya.

   "Wahai perempuan, mengapa kau menangis. Siapa yang kau cari?"

   Maria tidak langsung memandang sumber suara itu.

   Ia mengira itu adalah tukang kebun yang datang pagi-pagi untuk menyiangi rumput dan bebungaan di sekitar makam.

   Kemudian ia merasa bahwa Tuhan menyaksikan segalanya dan mungkin akan menolongnya.

   Di antara derai air mata, ia berbicara sembari menengadahkan kepala.

   "Seseorang telah mengambil kekasihku, dan aku tidak tahu ke mana ia dibawa. Jika Kautahu di mana ia sekarang, kumohon katakanlah padaku."

   "Maria,"

   Terdengar jawaban singkat dari belakang, suara itu sangat dikenalnya. Maria berdiri kaku, sejenak takut untuk menoleh, tak yakin apa yang akan ia lihat.

   "Maria, aku di sini,"

   Katanya lagi.

   Maria Magdalena menoleh sementara sinar matahari pagi menyinari sosok indah di hadapannya.

   Easa berdiri di sana, mengenakan jubah sederhana.

   Luka-lukanya telah sembuh sempurna.

   Ia tersenyum pada Maria, senyumah hangat dan penuh kasih.

   Saat Maria berjalan menghampirinya, ia mengangkat tangan.

   "Jangan menempel padaku, Maria,"

   Katanya lembut.

   "Waktuku di bumi ini telah habis, meski aku belum naik ke Bapaku. Aku ingin memberimu isyarat awal. Pergilah ke saudarasaudara kita, sampaikan pada mereka bahwa aku akan segera naik ke Bapaku, yang juga Bapamu dan Bapa mereka, di surga."

   Maria mengangguk sambil berdiri terpesona di hadapannya. Ia merasa kemurnian dan cahaya hangat kebaikan Easa memancar di sekelilingnya.

   "Waktuku di sini telah habis. Sekarang adalah waktumu."

   Dua Puluh Chateau des Pommes Bleues 2 Juli 2005 Maureen duduk di taman bersama Peter.

   Air mancur Maria Magdalena bergelegak lembut di belakang mereka.

   Ia harus membawa Peter menghirup udara segar dan jauh dari orang lain.

   Wajah sepupunya itu pucat dan kuyu akibat tidak tidur dan stres lantaran kejadiankejadian dalam minggu ini.

   Beberapa hari terakhir membuat wajahnya tampak lebih tua sepuluh tahun.

   Maureen bahkan melihat garis-garis kelabu di pelipis Peter padahal sebelumnya tidak ada.

   "Kautahu bagian mana yang paling berat?"

   Suara Peter nyaris seperti bisikan.

   Maureen menggeleng.

   Baginya, ini adalah bagian paling mendebarkan dari segala kondisi yang mungkin.

   Tapi ia tahu, banyak keyakinan Peter, bahkan alasan hidupnya, mendapat tantangan dari berbagai kalimat dalam injil Maria.

   Betapapun, katakata Maria meneguhkan premis yang paling sakral dalam ajaran Kristiani, yaitu kebangkitan.

   "Tidak, apa? Katakanlah,"

   Jawab Maureen. Peter menatap sepupunya, matanya merah dan berkacakaca saat ia berusaha membuat Maureen memahami pikiran yang tengah berkecamuk dalam kepalanya.

   "Bagaimana seandainya...bagaimana seandainya selama dua ribu tahun ini kita menentang wasiat terakhir Yesus Kristus? Bagaimana jika pernyataan yang hendak disampaikan Injil Yohanes, ketika Yesus muncul untuk kali pertama di hadapan Maria Magdalena adalah bahwa ia penerus yang dipilihnya? Betapa ironisnya jika kita, dengan menggunakan namaNya, telah menolak posisi Maria, bukan hanya sebagai seorang rasul, tetapi juga sebagai pemimpin para rasul?"

   Peter termenung sesaat, berusaha memilah tantangan-tantangan yang muncul dalam benaknya, juga dalam jiwanya. '"Jangan menempel padaku.' Itulah yang ia katakan pada Maria. Kausadar, betapa pentingnya ucapan itu?"

   Maria menggeleng, menunggu penjelasan.

   "Injil-injil tidak menerjemahkan seperti itu melainkan dengan kalimat 'Jangan menyentuhku.' Kemungkinan kata Yunani aslinya adalah 'menempel', bukan 'menyentuh'. Tapi tak ada yang memandangnya seperti itu. Kau lihat perbedaannya?"

   Keseluruhan gagasan ini adalah suatu pengungkapan baru bagi Peter sebagai seorang cendekiawan dan ahli bahasa.

   "Bisakah kaulihat, penerjemahan satu kata saja bisa mengubah segalanya? Tapi dalam injil ini, kata yang dipakai jelas 'menempel', bahkan kata ini digunakan dua kali saat ia mengutip ucapan Yesus."

   Maureen berusaha mengikuti reaksi keras Peter terhadap satu kata.

   "Pasti ada perbedaan antara 'Jangan menyentuhku' dengan 'Jangan menempel padaku'."

   "Ya,"

   Kata Peter mantap.

   "Terjemahan 'Jangan menyentuhku' digunakan untuk menentang Maria Magdalena, untuk menunjukkan bahwa Kristus mendorongnya. Sedangkan dalam naskah ini, Dia mengatakan pada Maria agar tidak menempel padaNya setelah ia pergi karena Ia ingin Maria berdiri sendiri."

   Desahan napas Peter sarat dengan kelelahan.

   "Ini sangat berat, Maureen. Sangat berat."

   Seluk beluk kisah Maria Magdalena mulai menjelas di kepala Maureen.

   "Kupikir, penggambaran perempuan sebagai pemimpin dalam pergerakan itu adalah salah satu unsur penting dalam kisah Maria,"

   Katanya.

   "Pete, aku tidak suka membuatmu semakin pusing, tapi bagaimana hubungan pandangan ini dengan Bunda Maria? Ia menyebutnya Maria Agung dan dengan jelas menempatkannya sebagai pemimpin umat. Tampaknya Maria adalah gelar yang diberikan pada seorang perempuan pemimpin. Kemudian tentang selubung merah..."

   Peter menggelenggelengkan kepala, seolah dengan begitu pikirannya akan jernih.

   "Kautahu,"

   Jawabnya.

   "aku pernah mendengar argumentasi bahwa pernyataan Vatikan untuk menggambarkan Bunda Maria hanya dalam warna putih dan biru adalah cara untuk menghilangkan kekuatannya. Dengan kata lain, cara untuk menyembunyikan peran pentingnya sebagai salah satu pemimpin Nasrani yang, sebagaimana telah kita saksikan, mengenakan selubung merah. Terus terang, aku selalu berpikir argumen itu hanya omong kosong. Aku merasa yakin bahwa Bunda Maria ditampilkan dalam warna biru dan putih untuk menunjukkan kesuciannya.

   "Tapi sekarang,"

   Kata Peter, bertambah resah.

   "tak ada lagi yang jelas bagiku."

   Cape Codf Massachussets 2 Juli 2005 Di tepi samudera Atlantik, tepatnya di Cape Cod, konglomerat real estate, Eli Wainwright, duduk di samping jendela sambil memandang hamparan rumput yang terbentang di tanahnya yang luas.

   Hampir seminggu ini ia tidak mendapat kabar dari Derek.

   Hatinya cemas.

   Kontingen Amerika telah sampai di Prancis untuk memperingati hari Yohanes Pembaptis, dan pemimpin kelompok itu telah menelepon Eli untuk mengabarkan bahwa Derek belum bergabung dengan mereka di Paris.

   Eli memeras otak, berusaha berpikir seperti Derek.

   Putranya itu memang selalu membuat ulah, tapi Derek sadar pertemuan itu sangat penting.

   Yang harus ia lakukan adalah mengikuti rencana, berusaha sedekat mungkin dengan Guru Keadilan, dan mencari informasi sebanyak mungkin tentang pergerakan dan motivasinya.

   Setelah laporan lengkap didapat, kontingen Amerika ini bisa memulai rencana kup untuk membebaskan struktur kekuasaan Persaudaraan dari kontingen Eropa.

   Dalam pertemuan terakhir di Amerika, Derek merasa jengkel dengan proposal pencapaian target yang dikemukakan Eli karena memakan waktu lama.

   Eli seorang ahli strategi, tapi putranya tidak mewarisi kesabaran dan kemampuan membuat rencana yang menjadikan Wainwright seorang miliuner.

   Mungkinkah Derek melakukan sesuatu yang gegabah dan bodoh? Jawabannya, atau semacam itu, muncul siang itu saat jeritan istri Eli memecah ketenangan suasana laut di Cape Cod.

   Eli bangkit dari kursinya dan berlari ke ruang depan.

   Di sana, istrinya telah tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar.

   "Demi Tuhan, Susan. Apa yang terjadi?"

   Susan tidak bisa menjawab.

   Tangisnya begitu histeris sehingga ia hanya menunjuk ke kotak Federal Express yang tergeletak di lantai, di samping tubuhnya.

   Dengan menguatkan hati, Eli mengangkat sebuah peti kayu kecil dari kotak itu.

   Setelah ia membuka tutup peti, terlihatlah cincin angkatan Derek dari Yale.

   Cincin itu disertai potongan jari telunjuk dari tangan kanan Derek Wainwright .

   Chateau de Pom me s Bleu 3 Juli 2005 Dalam situasi normal sekalipun, Maureen mudah terbangun dari tidur.

   Apalagi dengan berbagai masalah menyangkut naskah itu yang membuatnya pusing.

   Maureen sulit tidur padahal tubuhnya sangat lelah.

   Ia mendengar langkah kaki di koridor depan kamarnya lalu duduk tegak di atas ranjang.

   Langkah itu sangat ringan, seolah orang yang berjalan berusaha keras agar tidak terdengar.

   Maureen mendengarkan dengan seksama, tapi tidak bergerak.

   Rumah itu sangat besar, dilengkapi banyak kamar dan pelayan yang barangkali belum ia kenal, pikir Maureen berusaha menenangkan diri.

   Ia berbaring lagi dan berusaha tidur, tapi usahanya terganggu dengan bunyi mesin mobil di luar chateau.

   Jarum jam hampir berada di angka 3.00 dini hari.

   Siapakah orang itu? Maureen berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke jendela yang menghadap bagian depan rumah.

   Ia menggosok-gosokkan mata agar dapat melihat dengan jelas.

   Mobil yang berjalan melewati jendela dan gerbang depan chateau adalah mobil sewaannya dikendarai seseorang yang terlihat seperti sepupunya, Peter.

   Maureen berlari keluar pintu dan turun ke kamar Peter.

   Setelah lampu dihidupkan, terlihatlah barangbarang milik Peter sudah tidak ada.

   Tas hitamnya pun tidak ada, begitu juga kacamata, Alkitab, dan rosari yang ia simpan di samping tempat tidurnya.

   Dengan cemas Maureen mencaricari sekiranya Peter meninggalkan pesan untuknya.

   Catatankah, atau apa pun? Tapi pencariannya sia-sia.

   Bapa Peter Healy telah pergi.

   f Maureen berusaha memilah-milah peristiwa selama dua puluh empat jam terakhir.

   Percakapan terakhirnya dengan Peter berlangsung di tepi air mancur.

   Kala itu, Peter menjelaskan pentingnya katakata "Jangan menempel padaku."

   Ia tampak tertekan, tapi Maureen merasa itu berhubungan dengan kondisi emosionalnya dan karena ia tidak tidur sepanjang minggu ini.

   Apakah yang membuatnya pergi di tengah malam, dan ke mana? Ini bukan karakter Peter.

   Ia tak pernah meninggalkannya atau bahkan mengecewakannya, tidak pernah.

   Maureen merasa panik.

   Jika ia kehilangan Peter, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

   Peterlah satusatunya keluarga Maureen, satusatunya orang di bumi ini yang Maureen percayai, meski ia tak pernah mengatakannya.

   "Reenie?"

   Maureen melompat karena suara di belakangnya. Ternyata Tammy yang berdiri di ambang pintu, menggosok-gosokkan mata untuk mengusir kantuk.

   "Maaf, aku mendengar suara mobil lalu aku mendengar gerakan di sini. Sepertinya kita semua menjadi mudah kaget. Ke mana sang pendeta?"

   "Aku tidak tahu,"

   Maureen berusaha tidak terkesan cemas.

   "Itu suara mobil yang dibawa Peter. Aku tidak tahu mengapa atau ke mana. Sialan! Apa maksudnya?"

   "Mengapa tidak kau hubungi saja telepon genggamnya?"

   "Peter tidak punya telepon genggam."

   Tammy memandang Maureen, bingung.

   "Dia punya. Aku melihat dia menggunakannya."

   Sekarang giliran Maureen yang terlihat bingung.

   "Peter benci telepon genggam. Ia tak punya waktu untuk teknologi, terutama untuk mencari telepon genggam, baginya memuakkan. Ia tidak mau membawa alat itu meskipun aku memohonnya untuk keperluan darurat."

   "Maureen, aku sudah dua kali melihatnya menggunakan telepon genggam. Setelah kupikir-pikir, di kedua kesempatan itu ia menggunakannya saat duduk dalam mobil. Aku tak suka mengatakan ini, tapi kupikir ada sesuatu yang tidak beres di Arques."

   Maureen merasa ingin muntah. Ia bisa menangkap dari raut wajah Tammy bahwa mereka berdua memiliki pikiran yang sama berbarengan.

   "Ayo,"

   Kata Maureen sambil berlari melewati koridor chateau lalu turun ke ruang kerja Sinclair.

   Tammy mengikuti separuh langkah di belakangnya.

   Mereka berhenti di pintu, sudah separuh terbuka.

   Sejak naskah itu berada di ruang kerja ini, pintu selalu tertutup dan terkunci.

   Bahkan jika seorang di antara mereka berada di dalamnya.

   Maureen menelan ludah dan menguatkan hati saat memasuki kamar yang gelap itu.

   Di belakangnya, Tammy menemukan tombol lampu lalu menghidupkannya dan tampaklah meja baca sudah kosong.

   Permukaan kayu mahogani yang licin itu memantulkan cahaya lampu.

   Kosong sama sekali.

   "Semuanya hilang,"

   Bisik Maureen.

   Berdua dengan Tammy, mereka menggeledah kamar itu, tapi tak ada naskah Maria Magdalena yang tersisa.

   Kertas catatan warna kuning pun hilang.

   Tak ada secarik kertas pun, bahkan satu batang pulpen pun tak terlihat.

   Satusatunya bukti naskah itu pernah ada di sana adalah toples tanah liat yang masih berdiri di sudut.

   Lokasinya memang tidak dilewati orang.

   Tapi kedua toples itu sudah kosong.

   Pusaka yang sesungguhnya telah hilang.

   Dan kelihatannya Bapa Peter Healy, orang yang paling dipercaya Maureen, yang telah membawanya.

   Maureen melangkahkan kakinya yang lemas untuk duduk di sofa beludru.

   Ia tak sanggup bicara, tak tahu apa yang harus diucapkan atau dipikirkan.

   Ia duduk saja di sofa, tatapannya nanar.

   "Maureen, aku harus mencari Roland. Kau tetap di sini, ya? Kami akan segera kembali."

   Maureen mengangguk, lidahnya terlalu kelu untuk menjawab. Ia masih duduk dalam posisi yang sama saat Tammy dan Roland kembali, diikuti Berenger Sinclair.

   "Mademoiselle Paschal,"

   Sapa Roland lembut sambil berjongkok di samping sofa.

   "Aku mohon maaf atas kesedihan akibat kejadian malam ini."

   Maureen menatap lelaki Occitan bertubuh besar itu, yang menunduk dengan perasaan prihatin.

   Belakangan, ketika Maureen memiliki waktu untuk mengingat momen ini secara mendetail, ia merasa betapa luar biasanya lelaki itu.

   Pusaka paling berharga bagi kalangannya telah dicuri, namun yang paling ia cemaskan adalah kesedihan Maureen.

   Lebih dari siapapun, Roland telah banyak memberi pelajaran tentang spiritualitas sejati kepada Maureen.

   Akhirnya ia paham, mengapa mereka disebut les bonnes hommes.

   Orangorang yang baik.

   "Ah, begitu, ya. Ternyata Bapa Healy telah memilih pemimpinnya,"

   Kata Sinclair tenang.

   "Sudah kuduga. Maafkan aku, Maureen."

   Maureen bingung.

   "Kau sudah menduga ini akan terjadi?"

   Sinclair mengangguk.

   "Ya, Sayang. Rasanya aku harus menceritakan semuanya sekarang. Kami sudah tahu sepupumu bekerja untuk seseorang. Kami hanya belum yakin siapa orang itu."

   Maureen terlihat sangsi.

   "Apa maksudmu? Peter mengkhianati aku? Ia memang berencana mengkhianatiku sejak dulu?"

   "Aku tidak bisa mengatakan motif Bapa Healy. Aku hanya tahu ia memiliki motif. Kurasa, besok sore kita sudah mengetahui yang sebenarnya."

   "Tolong katakan padaku, apa yang terjadi?"

   Suara ini milik Tammy. Maureen baru tahu bahwa temannya itu pun ketinggalan informasi. Roland duduk dengan tenang di sampingnya sementara Tammy memandangnya dengan tatapan menuduh.

   "Ternyata banyak yang kau rahasiakan dariku,"

   Bentaknya pada lelaki besar itu. Roland mengangkat bahunya yang besar.

   "Untuk melindungimu, Tamara. Kita semua memliki rahasia. Itu memang perlu. Tapi sekarang, kupikir sudah waktunya untuk membuka diri satu sama lain. Aku percaya, Mademoiselle Paschal berhak mengetahui segalanya. Ia telah membuktikan dirinya lebih dari cukup."

   Maureen ingin menjerit lantaran stres dan bingung. Rasa frustrasi itu pasti terlihat di wajahnya karena Roland segera meraih tangannya.

   "Ayo, Mademoiselle. Ada yang ingin aku tunjukkan."

   Kemudian ia berpaling ke Sinclair dan Tammy, lalu melakukan sesuatu yang belum pernah Maureen lihat sebelumnya memberi perintah.

   "Berenger, tolong minta pelayan membawakan kopi lalu bergabunglah bersama kami di ruangan Pimpinan Agung. Tamara, ikutlah bersama kami."

   F Mereka melewati koridor yang berbelok-belok lalu masuk ke suatu sayap chateau, tempat yang belum pernah Maureen masuki.

   "Aku terpaksa memintamu sedikit bersabar, Mademoiselle Paschal,"

   Kata Roland dari bahunya.

   "Aku harus menjelaskan beberapa hal dulu sebelum bisa menjawab pertanyaanmu yang paling penting."

   "Oke,"

   Kata Maureen, merasa sedikit rendah diri saat mengikuti Roland dan Tammy, tak tahu harus mengatakan apa lagi.

   Pikirannya melayang ke California selatan, saat ia bertemu Tammy di marina.

   Ia merasa sangat naif, seolah peristiwa itu terjadi dua abad lalu.

   Tammy membandingkannya dengan Alice di Wonderland.

   Betapa pasnya perbandingan itu sekarang, karena Maureen merasa sedang berjalan dengan kaca pembesar.

   Segalanya yang ia pikir telah ia pahami ternyata sebaliknya.

   Roland membuka pintu ganda berukuran sangat besar di depan mereka dengan kunci yang tergantung di lehernya.

   Bunyi nyaring terdengar saat mereka masuk.

   Roland segera menekan kode untuk membungkam alarm itu.

   Cahaya lampu yang telah dihidupkan menampakkan ruangan yang megah dan penuh dekorasi.

   Sungguh sebuah ruang pertemuan yang pantas bagi para raja dan ratu Prancis.

   Melihat keindahannya, ruangan itu pantas disejajarkan dengan ruang singgasana di Versailles dan Fountainbleu.

   Dua kursi berukir dan bersepuh emas yang serasi berdiri di atas podium di bagian tengah, masingmasing bergambarkan apel biru yang sangat indah.

   "Inilah jantung organisasi kami,"

   Kata Roland menjelaskan.

   "Perkumpulan Apel Biru. Setiap anggota perkumpulan ini memiliki garis darah agung, khususnya terhubung ke Sarah-Tamar. Kami adalah keturunan bangsa Cathar, dan kami berusaha sekuat tenaga menjaga tradisi kami semurnimurninya."

   Roland membawa mereka ke tempat potret Maria Magdalena digantungkan, di balik kuris-kursi yang bak singgasana. Lukisan itu mirip lukisan Magdalena yang dibuat Georges de la Tour yang dilihat Maureen di Los Angeles. Tapi ada satu perbedaan penting.

   "Apakah kau masih ingat suatu malam ketika Berenger mengatakan bahwa salah satu lukisan de la Tour yang paling penting ternyata raib dan tidak diperlihatkan ke publik? Itu karena lukisan tersebut berada di sini,"

   Katanya.

   "De la Tour adalah anggota perkumpulan kami, ia meninggalkan lukisan ini untuk kami. Namanya Pertobatan Magdalena dan Salib Berpatung Yesus."

   Maureen memandang potret itu dengan perasaan terpesona dan takjub.

   Seperti karya seniman Prancis lainnya, lukisan itu menonjolkan cahaya dan bayangan.

   Tapi dalam lukisan yang satu itu, pose Maria Magdalena berbeda dengan posenya pada lukisan lain yang pernah Maureen lihat.

   Versi yang satu ini menggambarkan Maria yang menyandarkan tangan kirinya di atas tengkorak kepala, yang kini diketahui Maureen adalah tengkorak Yohanes.

   Tangan kanannya memegang salib berpatung Yesus dan matanya menatap wajah Kristus.

   "Terlalu berbahaya jika lukisan ini diperlihatkan ke publik. Pesan yang disampaikan sangat jelas Maria sedang melakukan pertobatan untuk Yohanes, suami pertamanya, dan ia menatap dengan penuh cinta kepada Yesus, suami keduanya."

   Roland memandu kedua wanita itu menuju lukisan besar di dinding lain. Yang ini menggambarkan dua santo tua sedang duduk di tanah berbatu sambil melakukan sesuatu yang sepertinya adalah diskusi atau debat yang hangat.

   "Tamara bisa menceritakan sejarah lukisan ini,"

   Kata Roland, tersenyum pada Tammy yang berdiri di sebelahnya. Maureen menatap temannya untuk menagih penjelasan.

   "Ini karya seniman Flemishi, David Teniers Muda,"

   Kata Tammy.

   "Lukisan ini diberi nama Santo Antonius sang Pertapa dan Santo Paulus di Gurun. Santo Paulus di sini bukan Santo Paulus yang menulis dalam Perjanjian Baru, tapi santo regional lain yang juga seorang pertapa. 1 Masyarakat Jerman yang menetap di Belgia utara. Berenger Sauniere, pendeta legendaris di Rennesle-Chateau, menyerahkan lukisan ini untuk Perkumpulan. Ya, ia juga salah seorang di antara kami."

   Maureen menatap lukisan itu dengan seksama. Ia mulai melihat unsur-unsur yang kini sangat akrab baginya. Ia menunjukkan kepada mereka.

   "Aku melihat salib berpatung Yesus dan tengkorak kepala."

   "Benar,"

   Jawab Tammy.

   "Antonius di sebelah sini. Ia memakai simbol yang mirip dengan huruf 'T1 di lengan bajunya. Tapi sebenarnya itu adalah salib versi Yunani, disebut Tau. Orang yang memopulerkan simbol ini di kalangan kami adalah Santo Fransiskus Assisi. Antonius sedang mengangkat pandangan dari bukunya, yang melambangkan Kitab Cinta, dan menatap salib berpatung Yesus. Dan lihatlah Paulus di sebelah sini. Ia membuat isyarat 'Ingatlah Yohanes' dengan tangannya dan berdebat dengan temantemannya tentang siapa mesias pertama, Yohanes atau Yesus. Sejumlah buku dan naskah bertebaran di sekitar kaki mereka, menunjukkan banyaknya materi yang perlu dipertimbangkan dalam diskusi tersebut. Lukisan ini sangat penting dalam tradisi kami. Bahkan, kemungkinan keduanya tergolong yang paling penting. Desa itu mewakili Rennesle-Chateau, tegak di atas bukit, dengan hamparan tanah membentang kau tahu, siapa ini?"

   Maureen tersenyum.

   "Sang perempuan gembala dan dombanya."

   "Benar. Antonius dan Paulus sedang berdebat. Tapi sang gembala yang tampak di bagian belakang mengingatkan bahwa Dia Yang Dinantikan suatu hari akan menemukan injil Maria Magdalena yang hilang. Karena itu segala kontroversi menyangkut kebenaran akan berakhir."

   Berenger Sinclair masuk dengan langkah perlahan saat Roland mengatakan.

   "Aku ingin menunjukkan benda-benda ini, Mademoiselle Paschal, agar kautahu bahwa kalanganku tidak menyimpan dendam terhadap pengikut Yohanes, dan tidak pernah merasa begitu. Kita semua bersaudara, anakanak Maria Magdalena, dan kami berharap dapat hidup bersamasama dengan damai."

   Sinclair bergabung dalam diskusi itu.

   "Sayangnya, sebagian pengikut Yohanes adalah orangorang fanatik sedari dulu hingga sekarang. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi mereka berbahaya. Seperti halnya di bagian lain di bumi ini, kelompok fanatik selalu membayangi kelompok cinta damai yang memiliki keyakinan sama. Tapi ancaman orangorang ini tetap sangat nyata. Roland bisa menjelaskannya padamu."

   Ekspresi wajah Roland menjadi suram.

   "Benar. Aku selalu berusaha mengamalkan keyakinan kami. Mencintai, memaafkan, dan mengasihi seluruh makhluk hidup. Ayahku pun menganut keyakinan yang sama, tapi mereka membunuhnya."

   Maureen merasakan duka mendalam lelaki Occitan itu karena wafatnya sang ayah, tapi juga karena kerasnya tantangan sang pembunuh terhadap sistem keyakinan ini.

   "Mengapa?"

   Tanya Maureen.

   "Mengapa mereka membunuh ayahmu?"

   "Keluargaku mendiami wilayah ini secara turun-temurun, Mademoiselle Paschal,"

   Kata Roland.

   "Di sini, kau hanya mengetahui namaku adalah Roland. Tapi nama keluargaku adalah Gelis."

   "Gelis?"

   Nama itu tidak asing bagi Maureen. Ia memandang Sinclair.

   "Ayahku menulis surat kepada Monsieur Gelis,"

   Katanya sambil merenung. Roland mengangguk.

   "Ya, surat itu untuk kakekku saat ia menjadi Pimpinan Agung Perkumpulan."

   Semuanya mulai menyatu di kepala Maureen. Ia memandang Roland lalu kembali ke Sinclair. Lelaki Skotlandia itu menjawab tanpa ditanya.

   "Ya, Sayang, Ro dan Gelis adalah Pimpinan Agung kami, meskipun ia terlalu rendah hati untuk mengatakannya sendiri. Dialah pemimpin resmi kalangan kami, seperti juga ayah dan kakeknya. Ia tidak melayani aku, begitu pun sebaliknya. Kami melayani bersamasama sebagai saudara karena inilah prinsip JalanNya.

   "Keluarga Sinclair dan keluarga Gelis telah berjanji untuk mengabdi kepada Magdalena sepanjang siapa pun di antara kami bisa melacak garis keturunan ini."

   Tammy menyela.

   "Maureen, ingatkah kau ketika kita melakukan Tur Magdala di Rennesle-Chateau lalu aku bercerita tentang pendeta tua yang dibunuh pada akhir abad 18? Namanya Antoine Gelisdia kakek buyut Roland."

   Maureen menatap Roland untuk meminta jawaban.

   "Mengapa banyak kekerasan ditujukan kepada keluargamu?"

   "Karena kami terlalu banyak tahu. Kakek buyutku bertugas menjaga sebuah dokumen berjudul 'Kitab tentang Dia Yang Dinantikan'. Isinya tentang para perempuan gembala yang berhasil dicatat Perkumpulan selama lebih dari seribu tahun. Kitab itu menjadi sarana kami yang paling berharga untuk menemukan pusaka Magdalena. Persekutuan Keadilan membunuh kakek buyutku demi mendapatkan dokumen itu. Dan dengan alasan yang sama, mereka membunuh ayahku. Saat itu aku belum tahu, tapi Jean-Claude adalah informan mereka. Mereka mengirim kepala dan jari kanan ayahku dalam keranjang."

   Maureen menggigil mendengar rahasia yang menyeramkan itu.

   "Apakah sekarang semuanya akan berakhir? pertumpahan darah ini? Naskah telah ditemukan. Menurutmu, apa yang akan mereka lakukan?"

   "Sulit dipastikan,"

   Jawab Roland.

   "Mereka mengangkat pemimpin baru yang sangat ekstrem. Dialah yang membunuh ayahku."

   Sinclair menambahkan.

   "Aku telah berbicara dengan para pejabat setempat hari ini, orangorang yang, bisa dibilang, bersimpati pada keyakinan kami. Maureen, kami belum menceritakannya secara panjang lebar, tapi masihkah kau ingat pertemuan dengan Derek Wainwright, orang Amerika itu?"

   "Lelaki yang berpakaian seperti Thomas Jefferson,"

   Imbuh Tammy.

   "Teman lamaku,"

   Katanya menggelenggelengkan kepala, mengingat muslihat Derekdan nasibnya. Maureen mengangguk dan menunggu Sinclair melanjutkan penjelasannya.

   "Derek menghilang secara mengerikan. Kamar hotelnya..."

   Ia menatap paras Maureen yang kian pucat dan memutuskan untuk menyimpan dulu cerita itu.

   "Katakan saja ada indikasi kuat permainan kotor."

   Sinclair melanjutkan.

   "Hilangnya orang Amerika itu secara tragis membuat pihak berwenang dan hampir pasti pembunuhnya merasa bahwa Persekutuan Keadilan harus ditutup untuk sementara. Jean-Claude sekarang bersembunyi di suatu tempat di Paris, dan pemimpin mereka, seorang Inggris yang kami curigai, telah kembali ke Inggris, setidaknya untuk sementara. Kurasa mereka tidak akan mengganggu kita dalam waktu dekat ini. Setidaknya, semoga saja tidak."

   Maureen mendadak mengalihkan tatapannya ke Tammy.

   "Sekarang giliranmu,"

   Katanya.

   "Kau belum menceritakan semuanya padaku. Cukup lama aku mereka-reka, tapi sekarang aku ingin tahu secara lengkap. Dan aku juga ingin tahu apa yang terjadi antara kalian berdua,"

   Katanya, menunjuk Tammy dan Roland, yang berdiri bersebelahan dengan jarak satu inci. Tammy tertawa dengan gayanya yang khas.

   "Yah, kautahu, bukan? Kami senang menyembunyikan sesuatu di tempat yang mudah terlihat,"

   Katanya.

   "Namaku siapa?"

   Maureen mengerutkan dahi. Apakah ada sesuatu yang ia lupakan? "Tammy."

   Lalu sesuatu menyentak pikirannya.

   "Tamara. Tamar-a. Ya, Tuhan, aku memang goblok."

   "Tidak,"

   Kata Tammy, masih tertawa.

   "Namaku mengikuti nama anak perempuan Magdalena. Dan aku memiliki adik bernama Sarah."

   "Tapi katamu, kau lahir di Hollywood! Apa itu bohong juga? "Bukan, bukan bohong. 'Bohong' itu terlalu kasar. Kita sebut saja dusta putih. Dan benar, aku lahir dan dibesarkan di California. Nenek ibuku orang Occitan dan aktif dalam Perkumpulan. Tapi ibuku, yang lahir di Languedoc ini, merantau ke Los Angeles untuk bekerja di bagian desain kostum setelah masuk ke dunia film karena pertemanannya dengan seniman dan sutradara Prancis, Jean Cocteau. Ia juga anggota Perkumpulan kami. Ia bertemu dengan ayahku yang orang Amerika dan menetap di sana. Ibunya tinggal bersama kami ketika aku masih kecil. Tak bisa kupungkiri, aku sangat dipengaruhi nenekku itu."

   Roland berbalik dan menunjuk ke dua kursi yang berdiri berdampingan tadi.

   "Dalam tradisi kami, lelaki dan perempuan sejajar, seperti yang diajarkan Yesus lewat teladannya bersama Maria Magdalena. Selain Pimpinan Agung, Perkumpulan ini juga dijalankan oleh seorang Maria Agung. Aku telah memilih Tamara untuk menjadi Mariaku dan duduk di sampingku di sini. Sekarang aku harus membujuknya untuk pindah ke Prancis agar aku bisa memintanya untuk mengisi peran yang lebih besar dalam hidupku."

   Roland merangkulkan tangannya ke bahu Tammy, yang menyisipkan tubuhnya agar lebih dekat dengan sang kekasih.

   "Akan kupikirkan,"

   Katanya malu-malu.

   Kemesraan mereka terganggu dengan kedatangan dua orang pelayan yang membawa baki perak berisi cangkircangkir kopi.


Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa

Cari Blog Ini