Kekayaan Yang Menyesatkan 7
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 7
Si bangsawan terjengkang ke belakang tubuhnya menumbuk tubuh Pangeran Wales.Semua pasangan tertegun, terkesima.
Sang pangeran agak limbung, untung sempat disangga oleh Duke of Tenbigh.
Dalam suasana mencekam itu meledaklah umpatan Nora dengan aksennya yang kental.
"Jangan sekali-kali berani mendekati aku lagi, tua bangka tak tahu malu."
Untuk sesaat semua orang membisu.
wanita yang marah itu, dan si bangsawan yang merasa terhina, dan sang pangeran yang terperanjat.
Augusta serasa ingin berteriak penuh kemenangan.
Rencananya telah berjalan sempurna, bahkan lebih sempurna dari yang ia bayangkan! Lalu Hugh datang ke sisi Nora dan menggamit lengannya; si bangsawan berdiri tegap kembali dan berjalan keluar ruangan; sekelompok orang melingkari Pangeran Wales, seakan-akan ingin melindunginya.
Kesenyapan berganti dengan dengung suara manusia.
Dengan penuh kemenangan Augusta memandang Micky.
"Brilian,"
Bisik Micky penuh kekaguman.
"Kau benar-benar brilian, Augusta,"
Puji Micky sambil meremas tangannya, mengajaknya keluar dari lantai dansa. Joseph sudah menunggu istrinya.
"Perempuan sialan!"
Umpatnya.
"Membuat skandal memalukan seperti itu di depan sang pangeran... benar-benar membuat malu seluruh keluarga, dan pasti akan membuat bank kita kehilangan kontrak bernilai tinggi!"' Memang reaksi seperti itulah yang diharapkan Augusta.
"Nah, benar kan, sekarang kau baru percaya kata-ktfaku... perlu mempertimbangkan kembali apakah Hugh pantas dijadikan mitra bank,"
Katanya dengan nada penuh kemenangan.
Joseph memandang istrinya dengan tatapan menilai.
Sesaat Augusta khawatir suaminya marah karena ia terlalu mencampuri urusan bank, atau ia curiga istrinyalah yang menjadi dalang insiden tadi.
Tapi rupanya tidak, karena ia malah berkata.
"Kau memang benar, Sayang. Kau selama ini selalu benar mengenai Hugh."
Hugh menggiring Nora ke arah pintu keluar.
"Kami akan pulang,"
Katanya ketika melewati pasangan Joseph dan Augusta.
"Sudah sepantasnya, kita semua memang harus pulang sekarang,"
Jawab Augusta.
Tapi ia tidak ingin mereka pulang secepat ini.
Jika suasana malam ini tidak dimanfaatkan sekarang juga, besok keadaan bisa berbalik karena orang-orang akan cepat lupa.
Bisa saja mereka menganggap insiden malam ini adalah insiden biasa.
Untuk mencegah terjadinya hal ini, ia menginginkan sesuatu yang lebih panas lagi, sesuatu yang emosional, penuh kata-kata makian serta tuduhan yang sangat menyakitkan hati dan tidak mudah dilupakan.
Ia menahan tangan Nora.
"Aku tadi sudah memperingatkanmu tentang Count de Tokoly,"
Katanya setengah menuduh. Hugh yang menjawab.
"Kalau laki-laki seperti itu menghina seorang wanita di lantai dansa, memang tidak ada tindakan lain yang bisa dilakukan selain menamparnya di muka umum."
"Jangan macam-macam,"
Sambar Augusta cepat.
"Setiap wanita muda yang terdidik pasti tahu apa yang seharusnya dilakukannya. Sebenarnya bisa saja dia bilang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang tidak enak badan, lalu mundur dari lantai dansa dan pulang."
Hugh tahu ucapan itu benar, maka ia tidak mencoba membantahnya. Augusta masih khawatir insiden malam ini akan cepat terlupakan. Tapi rupanya suaminya masih marah. Ia berkata pada Hugh.
"Tuhan tahu betapa besar kerugian yang telah kaulakukan pada bank dan keluarga malam ini."
Hugh menjadi emosioanal.
"Apa maksud Paman?"
Dengan menantang tuduhan Joseph, Hugh membuat suasana makin panas, pikir Augusta.
Hugh masih terlalu hijau untuk tahu kapan ia harus diam dan kapan harus menyangkal.
Seharusnya ia diam seribu bahasa dan pulang ke rumah.
Benar saja, Joseph makin panas.
"Kita sudah pasti akan kehilangan calon nasabah kelas kakap dari orang Hungaria itu, dan lebih hebat lagi kita tidak akan diundang dalam pesta bangsawan kerajaan lagi."
"Ya, saya tahu akibatnya,"
Jawab Hugh tak mau kalah..
"Tapi saya ingin tahu, kenapa saya yang disalahkan?"
"Karena kau menikahi wanita yang tidak tahu tata krama."
Nah, ini lebih baik lagi, pikir Augusta puas. Hugh menjadi merah padam, tapi tetap bisa mengendalikan diri.
"Izinkan saya meluruskan hal ini. Seorang istri dari keluarga Pilaster diharuskan menelan hinaan pria di pesta dansa dengan diam seribu bahasa daripada berontak demi mempertahankan kehormatan dirinya, kendati hal itu akan berakibat kerugian bisnis... itukah prinsip hidup Paman?"
Joseph sangat tersinggung.
"Kau... kau anak tak tahu diuntung,"
Bentaknya.
"Apa yang kumaksud adalah dengan menikahi wanita di bawah kelasmu, kau telah membuang kesempatanmu untuk menjadi kandidat mitra-bank keluarga!"
Dia mengatakannya! teriak Augusta dalam hati, penuh kemenangan.
Dia sendiri yang mengatakan ini! Hugh ternyak kaget.
Lidahnya kelu.
Tidak seperti Augusta, ia tak pernah membayangkan akibat dari insiden malam ini.
Sekarang sudah terlambat.
Augusta memperhatikan wajah Hugh berubah dari emosional menjadi putus asa, setelah memahami akibat yang lebih dalam ini.
Augusta mencoba dengan susah payah untuk tidak menyunggingkan senyum kemenangan.
Ia telah berhasil memperoleh apa yang diinginkannya.
kemenangan prima.
Mungkin nanti Joseph akan menyesali hardikannya tadi, tapi sebagai orang yang sombong, ia tidak akan mau menjilat ludahnya kembali.
"Jadi, beginilah akhirnya,"
Kata Hugh, matanya tertuju ke arah Augusta, bukan Joseph. Augusta agak heran melihat pemuda itu.
"Baiklah, Augusta, kau menang. Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi aku yakin kau ikut berperan atas insiden malam ini."
Lalu pandangannya kembali pada Joseph.
"Tapi Paman Joseph perlu merenungkan hal ini. Paman harus memikirkan, siapa yang benar-benar peduli pada kemajuan Bank dan... siapa yang menjadi musuhnya."
Untuk kalimat terakhir ini, pandangannya tertuju langsung ke arah Augusta.
[Ill] BERITA tentang gagalnya Hugh diangkat menjadi mitra segera menyebar bagai virus ke seluruh London.
Keesokan siangnya, kalangan bisnis yang biasanya mengerumuni dan membuat janji temu bisnis dengan Hugh, mengenai keuangan proyek rel kereta api.
kilang cor besi baja, proyek real estate semuanya dengan cepat menunda janji temu mereka.
Di dalam bank sendiri, Hugh diperlakukan sebagai manajer biasa.
Saat makan siang, ia tidak lagi dikerumuni para investor yang ingin menanyakan tentang proyek jalan kereta api Grand Trunk, harga obligasi Louisiana, dan utang piutang yang dilakukan pemerintah Amerika.
Di kalangan para mitra sendiri terjadi perdebatan soal posisi Hugh.
Paman Samuel, seperti biasa, tetap mendukung Hugh.
Hanya saja ia kalah suara karena Young William memihak kakaknya, Joseph, begitu pula Mayor Hartshorn.
Jonas Mulberry-lah yang menceritakan pada Hugh tentang perdebatan di ruang para mitra.
"Saya ikut menyesal atas keputusan mereka, Mr. Hugh."
Nada suaranya jujur dan polos.
"Ketika dulu menjadi bawahan saya, tidak pernah sekali pun Anda mengkambinghitamkan kesalahan Anda pada diri saya... tidak seperti yang dilakukan anggota lain dari keluarga Pilaster."
"Aku tidak akan berani melakukan itu, Mr. Mulberry,"
Jawab Hugh, tersenyum.
Nora menangis selama seminggu.
Hugh tidak mau menyalahkan istrinya tentang insiden malam itu.
Bukankah tidak ada seorang pun yang memaksanya untuk mengawini Nora? Jadi, ia harus bertanggung jawab sepenuhnya, apa pun konsekuensinya.
Jika keluarga besar Pilaster punya sedikit saja kesetiaan, mereka pasti akan membelanya dalam krisis demikian.
Tapi mereka memang tak bisa diharapkan.
Setelah puas menangis, sikap Nora malah berubah menjadi tidak simpatik.
Ia tak bisa memahami artinya menjadi mitra bagi suaminya.
Hugh merasa heran bagaimana seorang istri bisa bersikap begitu.
Ia kecewa istrinya tak bisa memahami perasaannya.
Mungkin karena ia dulu berasal dari keluarga miskin dan telah kehilangan ibu sejak kecil, jadi ia terbiasa untuk egois.
Kendati kecewa dengan perangai istrinya, Hugh bisa melupakannya, apalagi pada malam-malam mereka bercinta.
Kekecewaan terhadap bank makin dalam di benak dan sanubari Hugh, tapi ia terpaksa mempertahankan pekerjaannya, karena sekarang ia punya tanggungan seorang istri, enam pelayan, dan rumah besar yang baru.
Ia tetap memperoleh ruang kerja sendiri di atas ruang para mitra, dan di dindingnya ia letakkan peta besar Amerika Utara.
Setiap Senin pagi ia membuat ringkasan aktivitas bisnis minggu lalu di Amerika Utara dan melalui telegram ia mengirimkannya ke Sidney Madler di New York.
Pada Senin kedua setelah insiden di pesta malam itu, di ruang telegram lantai bawah Hugh bertemu dengan seorang pria berkulit gelap dan berambut hitam.
Usianya sekitar dua puluh satu, dan dari penampilannya, ia jelas berasal dari suatu negara di Amerika Selatan.
Hugh tersenyum dan menyapa.
"Halo, siapa Anda?"
"Simon Oliver.
"jawab si pria dengan aksen Spanyol.
"Anda pasti baru di sini,"
Kata Hugh sambil mengulurkan tangan.
"Saya Hugh Pilaster."
"Apa kabar?"
Sapa Oliver dengan sopan.
"Saya menangani pinjaman Amerika Utara,"
Kata Hugh.
"Kalau Anda?"
"Saya klerk Mr. Edward."
Hugh segera paham.
"Anda dari Amerika Selatan?"
"Ya, Kordoba."
Masuk akal. Spesialisasi Edward adalah Amerika Selatan, terutama Kordoba,-jadi bermanfaat jika bisa punya asisten yang berasal dari negara itu, apalagi Edward tidak bisa berbahasa Spanyol.
"Saya dulu satu sekolah dengan Duta besar Kordoba, Micky Miranda,"
Kata Hugh.
"Anda pasti kenal dia."
"Dia sepupu saya."
"Ah."
Sebagai keluarga, sebenarnya kurang mirip, tapi Oliver tampak berasal dari keluarga mampu.
Dari sisiran rambutnya yang berminyak licin, pakaiannya s yang rapi dan berkelas, sampai semiran sepatunya yang mengilap.
Tidak diragukan lagi, ia mencoba mencontoh saudara sepupunya yang sukses.
"Oke, saya harap Anda senang bekerja dengan kami."
"Terima kasih."
Hugh mencoba merenungkan hal itu sambil naik ke ruang kerjanya sendiri.
Edward memang membutuhkan banyak bantuan, hanya saja Hugh kurang senang jika saudara sepupu Micky bekerja pada posisi yang begitu penting di bank.
Beberapa hari kemudian, kekhawatirannya terbukti.
Sekali lagi Jonas Mulberry-Iah yang menceritakan padanya apa yang terjadi di ruang para mitra.
Mulberry datang ke ruang kerja Hugh dengan jadwal pembayaran bank di London untuk kepentingan pemerintah Amerika Serikat.
Tapi itu hanya alasan, karena tujuan utamanya adalah bicara.
Wajahnya yang tirus tampak makin memanjang saat ia bicara.
"Saya benar-benar cemas, Mr. Hugh. Obligasi Amerika Selatan tidak pernah sehat selama ini."
"Tapi kita tidak membeli obligasi pemerintah Amerika Selatan, bukan?"
Mulberry mengangguk.
"Mr. Edward yang mengusulkan, dan mitra yang lain setuju."
"Apa persisnya?"
"Proyek jalan kereta api dari ibukota Kordoba, Palma, ke Provinsi Santamaria."
"Yang gubernurnya adalah ayah Micky, Papa Miranda."
"Ya, ayah teman Mr. Edward."
"Dan paman Simon Oliver yang sekarang menjadi klerk Edward."
Mulberry menggelengkan kepala dengan gundah.
"Saya menjadi klerk pada waktu obligasi pemerintah Venezuela hancur lima belas tahun yang lalu. Almarhum ayah saya bisa ingat bagaimana obligasi pemerintah SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Argentina bangkrut pada tahun 1828. Dan lihat saja nasib obligasi pemerintah Mexico mereka terpaksa mencicil sedikit demi sedikit kewajibannya. Siapa bisa menanggung obligasi yang cuma dibayar sesekali?"
Hugh mengangguk.
"Selain itu, bukankah para investor bisa memilih proyek jalan kereta api di Amerika Serikat yang bisa menjamin perolehan sekitar lima sampai enam persen? Kenapa mesti beli dari Kordoba?" 'Tepat sekali."
Hugh menggaruk kepalanya.
"Aku akan mencari informasi, apa sebenarnya motif para mitra?"
Mulberry segera mengeluarkan seberkas dokumen.
"Mr. Samuel minta dibuatkan ringkasan utang dari proyek-proyek Timur Jauh. Anda bisa sekalian membawakannya ke ruang mitra."
Hugh menyeringai.
"Anda memang sudah memikirkan semuanya."
Ia mengambil berkasnya dan pergi ke ruang mitra di lantai bawah.
Hanya ada Samuel dan Joseph di dalam.
Joseph sedang mendiktekan surat-surat pada juru tulisnya dan Samuel sedang mempelajari peta negara Cina.
Hugh meletakkan laporan Timur Jauh di meja Samuel.
"Mulberry minta saya memberikan berkas ini pada Paman."
"Terima kasih."
Samuel memandang Hugh sambil tersenyum.
"Ada yang ingin kaukatakan?"
"Ya, saya memikirkan kenapa kita mendukung proyek jalan kereta api Santamaria."
Hugh mendengar Joseph berhenti mendiktekan. Samuel menjawab.
"Proyek ini memang tidak terlalu bagus, tapi dengan dukungan nama besar keluarga Pilaster, semuanya akan berjalan oke."
"Anda memang bisa mengatakan begitu untuk semua proyek yang ditawarkan pada kita,"
Bantah Hugh.
"Alasan utama kenapa kita memiliki reputasi tinggi saat ini, karena kita tidak pernah menawarkan kepada para investor obligasi yang hanya akan 'oke' saja."
"Menurut pamanmu Joseph, Amerika Selatan mungkin sudah siap melakukan perubahan positif."
Mendengar namanya disebut, Joseph bergabung.
"Ya, ini semacam... mencelupkan ujung kaki ke dalam air untuk merasakan hangatnya temperatur."
"Kalau begitu, masih coba-coba, penuh risiko."
"Kalau kakek buyutku dulu tidak berani mengambil risiko, tidak akan pernah ada nama Pilasters Bank sekarang."
"Ya, itu benar,"
Jawab Hugh lagi.
"Tapi sejak itu Pilasters Bank selalu membiarkan bank-bank lain yang lebih kecil dan senang berspekulasi untuk mengambil transaksi berisiko tinggi."
Rupanya Joseph tidak senang dibantah; dengan nada tersinggung ia menukas.
"Satu perkecualian tidak akan menyebabkan kita celaka."
"Tapi kemauan untuk membuat perkecualian seperti inilah yang bisa mencelakakan."
"Kau tidak berhak membuat penilaian."
Dahi Hugh berkerut.
Nalurinya tepat.
investasi proyek ini sama sekali tidak akan menguntungkan, dan Joseph berupaya keras untuk tidak memperlihatkan aspek ini.
Jadi, kenapa para mitra yang lain setuju? Benaknya berputar keras, dan tiba-tiba ia sadar motif pamannya.
"Paman melakukan ini demi Edward. Benar, bukan? Paman ingin mendukung dia yang belum pernah punya proyek sejak menjadi mitra di bank ini. Jadi. kendati proyek ini akan merugi, Paman tetap mendukungnya."
"Sekali lagi bukan hakmu mempertanyakan motifku!"
"Juga bukan hak Paman untuk membahayakan uang orang lain demi kepentingan anak Paman. Para investor kecil di Brighton dan Harrogate akan bersedia menanamkan uang ke dalam proyek ini, dan mereka akan bangkrut jika proyek ini ternyata gagal total."
"Kau bukan mitra, jadi pendapatmu tentang proyek ini tidak diminta."
Hugh sangat tidak senang jika orang lain mengalihkan dasar pembicaraan di tengah-tengah debat penting. Karena itu, ia menukas ketus.
"Saya juga seorang Pilaster, dan bila Paman menghancurkan reputasi bank ini, berarti Paman juga menghancurkan reputasi saya."
Samuel memotong.
"Menurutku kau sudah cukup mengeluarkan pendapatmu, Hugh."
Hugh sadar bahwa ia harus berhenti, tapi emosinya sudah naik tinggi.
"Saya khawatir belum cukup."
Suaranya melengking tinggi dan ia mencoba merendahkan nadanya.
"Paman membahayakan reputasi bank dengan mendukung proyek ini. Nama baik kita adalah harta terbesar yang kita miliki. Mengabaikannya berarti sama saja dengan membuang modal kita."
Paman Joseph sudah tidak peduli akan sopan santun lagi.
"Jangan sekali-kali kamu berani berdiri di bankku dan menguliahi aku tentang prinsip investasi, kau... kau anak muda tak tahu diuntung... keluar dari sini!"
Hugh memandang pamannya agak lama.
la sangat marah dan kecewa.
Si tolol Edward dijadikan mitra dan sekarang membawa proyek yang akan merugikan, atas dukungan ayahnya yang tidak punya pendirian mantap dalam bisnis uang.
Dan tak ada yang mampu melakukan apa-apa untuk menolong menyadarkannya.
Dengan frustrasi Hugh berbalik dan meninggalkan ruang mitra, membanting pintu sekuat tenaga.
Sepuluh menit kemudian, ia minta pekerjaan pada Solly Greenbourne.
la tidak tahu pasti apakah keluarga Greenbourne mau menerimanya.
Ia memang merupakan aset yang andal dengan jaringan kontaknya di Amerika Utara serta Kanada.
Tapi para bankir merasa kurang pantas untuk saling membajak manajer senior dari saingan mereka.
Lagi pula ia bukan orang Yahudi, dan bisa saja ia dikhawatirkan membocorkan rahasia bank keluarga Greenbourne pada keluarga Pilaster.
Tapi ia tak punya alternatif lain.
Ia harus keluar, karena keluarga Pilaster sudah tak bisa diharapkan lagi.
Sejak pagi hujan turun, tapi menjelang tengah hari cuaca mulai cerah.
Jalanan kota London dipenuhi aroma kotoran kuda.
Di depan gedung bank keluarga Greenbourne, Hugh mencoba membandingkan arsitektur bangunannya dengan gedung Pilasters Bank.
Gedung di depannya tidak seanggun dan sebesar gedung Pilasters Bank, kendati dari segi aset dan aktivitas, Pilasters Bank masih di bawah Greenbourne Bank yang dimulai sejak tiga generasi yang lalu, berawal hanya dari dua ruangan di sebuah rumah tua di Thames Street.
Dalam perkembangannya, jika butuh ruang kantor lagi, mereka mulai membeli rumah-rumah di kiri-kanannya.
Sekarang mereka menempati empat rumah berjejer dengan tiga rumah lagi di dekatnya.
Aktivitas bisnis di dalamnya jauh lebih banyak daripada di dalam gedung Pilasters Bank yang megah dan wewah.
Di dalam gedung tidak ada suasana sunyi senyap seperti di dalam gedung Pilasters Bank.
Hugh harus bersusah payah menerobos kerumunan orang dan nasabah di lobi utama.
Mereka percaya bahwa jika bisa bertemu sebentar saja dengan Ben Greenbourne, mereka akan mampu mewujudkan proyeknya dan akhirnya meraih keuntungan besar.
Karena itu, mereka tidak segan menunggu dan menunggu seperti layaknya orang yang menunggu raja di abad pertengahan.
Di kiri-kanan gang berjejer kotak-kotak arsip lama, dan di setiap sudut tak peduli sekecil apa pun pasti ada para klerk yang duduk dan bekerja.
Hugh akhirnya tiba di ruang kerja Solly yang besar serta menghadap ke Sungai Thames.
Mejanya dipenuhi kertas dan berkas yang tersusun tinggi, hampir menutupi tabuhnya yang tambun.
"Kau tahu, Pilaster,"
Sapa Solly ramah dan setengah bergurau,"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY rumahku seperti istana, tapi ruang kerjaku seperti sarang tawon.
Berulang kali aku membujuk ayahku untuk membangun gedung yang lebih besar dan anggun seperti gedung Pilaster, tapi dia menolak, dengan alasan bangunan kantor tidak akan menghasilkan laba dalam bisnis properti."
Hugh duduk di sebuah sofa kecil dan menerima segelas sherry mahal.
Ia merasa tak nyaman, karena benaknya dipenuhi oleh Maisie.
Ia pernah bercinta dengan Maisie sebelum menjadi nyonya Solly, dan bisa saja ia menggodanya lagi seandainya diberi peluang.
Malam itu, di pesta Kingsbridge Manor, ia pernah mencoba mengetuk pintu kamar Maisie.
Tak ada reaksi sama sekali.
Karena itu, ia lalu menikahi Nora dan ia tidak mau menjadi suami yang tidak setia.
Namun ia tetap merasa canggung.
"Aku datang ke sini untuk membicarakan bisnis."
Solly membuka tangannya lebar-lebar.
"Kau datang pada orang yang tepat."
"Seperti kau ketahui, spesialisasiku adalah kawasan Amerika Utara."
"Tidak diragukan lagi. Kau begitu menguasai semuanya di sana, sehingga tidak menyisakan sedikit pun untuk kami."
"Benar. Sampai kalian kehilangan banyak peluang yang menguntungkan."
"Ya, sampai-sampai ayahku mengatakan kenapa aku tidak punya kemampuan seperti kau."
"Yang kalian butuhkan sebetulnya orang yang ahli dan menguasai kawasan Amerika Utara, lalu membuka kantor perwakilan di New York, dan semuanya akan berjalan mulus."
"Benar, plus satu keajaiban untuk bisa meraih laba."
"Aku serius, Greenbourne. Karena akulah orang itu."
"Kau!"
"Ya. Aku. Tepatnya, aku mau bekerja di bank ini."
Solly terenyak kaget. Ia memandang melalui gelas sherry-nya, seakan sedang memeriksa benarkah yang bicara ini Hugh. Kemudian ia berkata.
"Karena insiden di pesta malam itu, kukira."
"Mereka memutuskan tidak akan menjadikanku mitra, hanya karena perilaku istriku."
Solly pasti akan bersimpati, pikir Hugh, karena ia sendiri menikah dengan gadis dari kelas bawah.
"Aku ikut prihatin,"
Kata Solly tulus.
"Tapi aku tidak datang minta belas kasihan. Aku tahu harga kemampuanku, karena itu kalian harus membayar sesuai dengan keahlianku jika kalian memang menghendaki diriku. Aku memperoleh seribu per tahun sekarang dan kuharap setiap tahun akan terus meningkat, seiring dengan kontribusiku pada bank."
"Tidak masalah."
Solly berpikir sejenak.
"Jika ini terlaksana, akan jadi prestasi tersendiri bagiku pribadi. Aku senang kau datang padaku. Kau teman yang baik, sekaligus pelaku bisnis yang andal."
Mendengar ungkapan Solly "teman yang baik". Hugh merasa bersalah lagi.
"Tak ada hal lain yang lebih kuinginkan, selain punya teman kerja sepertimu di sisiku."
"Aku masih merasakan ada 'tapi' dalam kalimatmu tadi,"
Kata Hugh sedikit cemas.
Solly menggelengkan kepala dengan pasti.
'Tidak ada tapi, sepanjang itu menyangkut pendapatku pribadi.
Sudah tentu aku tidak bisa mempekerjakanmu seperti kalau aku mempekerjakan seorang klerk.
Untuk kasusmu, aku harus bicara dengan ayahku dulu.
Tapi jangan ragu, kau kan tahu dalam bisnis perbankan tidak ada pameo lainnya selyn laba.
laba, dan laba.
Ayahku pasti tidak akan melepaskan peluang masuk dan merebut pasar Amerika Utara pada saat ini."
Hugh tidak mau kedengaran terlalu bersemangat, tapi ia tak tahan untuk tidak bertanya.
"Kapan kau akan bicara dengan ayahmu?"
"Kenapa tidak sekarang juga?"
Jawab Solly mantap. Ia berdiri.
"Cobalah lagi sherry-nya."
Ia keluar kamar.
Hugh meminum sherry-nya, tapi lehernya serasa tersumbat.
Sukar untuk menelan.
Ia begitu tegang.
Ia belum pernah melamar pekerjaan.
Betul-betul menegangkan memikirkan nasibnya sangat tergantung pada keputusan Ben Greenbourne.
Untuk pertama kalinya ia tahu bagaimana perasaan para anak muda yang pernah diwawancarainya untuk menjadi klerk di Pilasters Bank.
Ia terlalu gelisah untuk duduk terus.
Ia berdiri dekat jendela, memandang tepi sungai yang dipenuhi kesibukan bongkar-muat tembakau.
jika semua itu tembakau Virginia, kemungkinan besar dialah yang menangani pembiayaan transaksinya.
Kegalauannya serasa seperti sewaktu pertama kali ia pergi ke Boston enam tahun yang lalu; ada perasaan bahwa semuanya akan berubah total.
Solly datang, kali ini bersama ayahnya.
Ben Greenbourne bertubuh tegap dan wajahnya seperti seorang jendral Prussia.
Hugh menyambutnya dengan mengulurkan tangan sambil mengamati wajahnya.
Tetap dingin dan acuh.
Apakah itu berarti "tidak"? Ben berkata.
"Solly mengatakan keluargamu memutuskan untuk tidak menawarkan kemitraan padamu."
Nada suaranya hambar dengan aksen tajam. Ia begitu berbeda dibanding anaknya pikir Hugh.
"Sebenarnya mereka menawarkan, lalu membatalkan,"
Jawab Hugh. Ben mengangguk. Ia orang yang sangat menghargai ketepatan.
"Aku tidak berhak mengritik penilaian mereka. Tapi, jika keahlian Amerika Ufara-mu ditawarkan, aku bersedia membelinya."
Hati Hugh berdebar keras. Itu sudah merupakan tawaran kerja baginya.
"Terima kasih,"
Katanya.
"Tapi sebelumnya perlu kutegaskan, untuk tidak mem -berimu gambaran semu. Kau tidak akan pernah bisa menjadi mitra di bank ini."
Hugh sudah memperkirakan soal ini sebelumnya.
"Aku tahu,"
Jawabnya mantap.
"Ini perlu kutekankan sejak dini, agar kau tidak menaruh harapan untuk menjadi mitra. Mitra bank ini hanya orang Yahudi, dan prinsip ini akan berlaku seterusnya.
"Kuhargai keterusterangan Anda,"
Jawab Hugh. Tapi pikirnya. Ya Tuhan, kau benar-benar sekeras batu karang.
"Kau masih menginginkan pekerjaan itu?"
"Ya, pasti."
Ben Greenbourne menyalaminya lagi.
"Kalau begitu, aku menantikan bekerja bersamamu,"
Tukasnya pendek, lalu meninggalkan ruangan. Solly tersenyum lebar.
"Selamat datang."
Hugh duduk kembali.
"Terima kasih."
Hatinya sekarang tenang dan lega tapi bercampur sedih karena tahu ia tidak akan pernah menjadi mitra. Hidupnya memang akan terjamin, tapi ia tidak akan pernah menjadi mil-yader, karena untuk mendapatkan uang sebanyak itu, ia harus menjadi mitra.
"Kapan kau bisa mulai?"
Tanya Solly tak sabar. Hugh belum memikirkan hal ini.
"Mungkin sekitar tiga bulan lagi. Persyaratan bank."
"Cobalah lebih cepat dari itu, kalau bisa."
"Tentu. Solly, terima kasih atas semuanya. Tak bisa kukatakan betapa senangnya aku bisa bergabung di bank keluargamu."
"Ya, begitu juga aku."
Rasanya tak ada lagi yang perlu dikatakan, maka Hugh bangkit dari kursi untuk pamit, tapi Solly berkata cepat.
"Boleh aku memberimu sedikit saran?"
"Sudah tentu."
Ia duduk kembali.
"Ini soal Nora. Kuharap kau tidak tersinggung."
Hugh ragu.
Mereka memang teman lama, tapi untuk membicarakan soal istrinya dengan Solly, ia kurang senang.
Ia masih merasa malu dengan insiden malam itu, tapi ia membenarkan reaksi istrinya terhadap si tua bangka.
la memang kadang kurang bahagia dengan asal-usul isterinya yang dari kelas bawah, aksennya yang kampungan, dan tingkah lakunya, tapi ia bangga dengan kecantikan dan pesona istrinya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tapi ia tidak mau membuat kecewa sahabatnya yang baru saja membukakan karier masa depannya.
"Ya, katakan saja."
"Seperti kau ketahui, aku juga menikah dengan gadis yang... tidak biasa hidup di kalangan atas."
Hugh mengangguk, la tahu pasti soal ini, hanya ia tidak tahu bagaimana Solly dan Maisie bisa mengatasi kesenjangan kelas dan latar belakang keluarga mereka.
Mereka pasti telah menangani hal ini dengan baik, karena sekarang Maisie bisa menjadi salah satu nyonya rumah kalangan atas yang populer di London, dan seandainya ada yang tahu atau ingat latar belakang kelas bawahnya, mereka tidak pernah menyinggung atau mengungkapkannya.
Memang agak luar biasa, namun tidak unik.
Hugh pernah mendengar kasus serupa yang terjadi pada beberapa wanita macam Maisie.
Solly meneruskan.
"Maisie tahu apa yang dialami Nora. Dia bisa membantu. memberitahukan apa yang harus dilakukan dan katakan, kesalahan apa yang harus dihindari, di mana bisa membeli busana dan topi yang sesuai, bagaimana mengelola para kepala rumah tangga dan pelayan, segala tetek bengek semacam itulah. Kau tahu Maisie menyukaimu, Hugh. Jadi, kupikir dia tidak akan keberatan jika kuminta membantu Nora. Aku yakin Nora bisa berhasil seperti Maise dan kelak menjadi sosok panutan dalam masyarakat."
Hugh serasa ingin menangis. Tawaran tulus dari sahabatnya membuat hatinya tersentuh.
"Akan kusarankan pada Nora,"
Jawabnya, sambil mencoba menyembunyikan perasaannya, la berdiri untuk pamit.
"Kuharap aku tidak terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggamu,"
Kata Solly penuh harap sambil menyalam tangan sahabatnya. Hugh melangkah ke pintu keluar.
"Sebaliknya, Solly. Kau benar-benar sahabat yang baik."
Ketika Hugh tiba kembali di kantornya, ia melihat selembar pesan bagi dirinya.
Isinya.
10.30 siang.
Pilaster yang baik, Aku harus menemuimu secepatnya.
Kau bisa menemui aku di Kedai Kopi Plage di sudut jalan.
Akan kutunggu kedatanganmu.
Dari teman lamamuAntonio Silva.
Jadi, Tonio kembali ke London! Kariernya telah hancur sejak peristiwa ia kalah judi dengan Edward serta Micky dan tak mampu membayarnya.
Sejak itu ia meninggalkan Inggris, sekitar enam tahun yang lalu, bersamaan dengan saat Hugh pergi ke Boston.
Apa yang terjadi sejak itu? Dipenuhi.rasa ingin tahu, Hugh segera pergi ke kedai kopi.
Di sana ia menemui Tonio yang lebih tua, lebih kurus, dan berwajah letih sedang membaca koran The Times.
Rambutnya masih kemerahan seperti wortel, hanya itu yang tidak berubah.
Wajah dan penampilannya enam tahun yang lalu telah tak bersisa, malah terlihat ada lingkaran kelelahan di sekitar matanya, kendati usianya baru sekitar dua puluh enam tahun, sebaya dengan Hugh.
"Ya, aku beruntung karena berhasil di Boston,"
Jawab Hugh ketika ditanya oleh Tonio mengenai dirinya.
"Aku kembali ke sini Januari lalu, tapi sekarang aku sedang menghadapi masalah dengan keluarga besarku. Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Banyak sekali perubahan yang terjadi di negaraku. Keluargaku sudah banyak kehilangan pengaruh di sana. Kami memang masih mengendalikan provinsi asal keluargaku, Milpita, tapi di ibukota ada keluarga lain yang menghalangi hubungan kami dengan Presiden Gracia."
"Siapa?"
"Keluarga Miranda."
"Oh, keluarga Micky?"
"Tepat sekali. Mereka mengambil alih tambang nitrat di utara negeri dan ini membuat mereka kaya sekali. Mereka juga memonopoli perdagangan dengan Eropa berkat koneksi mereka dengan bank keluarga kalian."
Hugh terkejut.
"Aku tahu Edward memang banyak melakukan perdagangan dengan Kordoba, tapi aku tidak tahu Micky yang menjadi perantaranya. Tapi tentunya ini tidak menjadi masalah."
"Oh, keliru. Ada masalah,"
Sambar Tonio cepat. Ia mengambil setumpuk kertas dari dalam mantelnya.
"Coba baca ini. Artikel yang kutulis untuk koran The Times."
Hugh mengambil naskah itu dan mulai membacanya.
Isinya sebuah gambaran di tambang nitrat yang dimiliki oleh keluarga Miranda.
Gambaran yang sangat negatif, terutama dalam segi perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerja tambang, dan karena tambang ini dibiayai oleh Pilasters Bank, Tonio menyebutkan bahwa semua yang terjadi di sini adalah tanggung jawab Pilasters Bank.
Mulanya Hugh tidak terpengaruh.
Jam kerja panjang, upah sangat rendah, dan pekerja di bawah umur itu gambaran biasa untuk pertambangan di seluruh dunia.
Tapi jantungnya serasa berhenti ketika ia membaca bahwa para mandor tambang memakai cambuk dan senjata untuk menegakkan disiplin pekerja.
Wanita, anak-anak, dan pria dewasa dicambuk dan ditembak jika mereka mencoba lari sebelum masa kontrak selesai.
Tonio mewawancarai banyak saksi hidup untuk mendukung artikel ini.
"Tapi ini sama saja dengan pembunuhan,"
Komentar Hugh.
"Ya, tepat sekali."
"Apakah presiden kalian tidak tahu hal ini?"
"Dia tahu. Tapi keluarga Miranda adalah favoritnya sekarang."
"Dan keluargamu sendiri..."
"Dulu kami bisa saja menghentikan ini. Tapi sekarang, untuk tetap bertahan di provinsi kami sendiri saja sudah habis-habisan."
Hugh sangat sedih menyadari bank keluarganya ikut andil dalam perlakuan brutal kepada para pekerja tambang.
Tapi akal sehatnya segera kembali.
Ia memikirkan akibat dari artikel ini bagi citra Pilasters Bank.
Koran The Times pasti senang sekali memuat artikel Tonio.
Lalu akan disusul dengan debat di Parlemen dan surat-surat pembaca yang bernada negatif.
Para pelaku bisnis yang sebagian besar anggota gereja Methodist akan ragu berhubungan dengan Pilasters Bank.
Bank akan menderita kesulitan.
Apa peduliku? pikir Hugh.
Bukankah mereka sudah memperlakukan dia dengan seenaknya? Tapi ia masih bekerja di situ saat ini dan sudah kewajibannya mencoba membahas masalah ini dengan para mitra.
Ia masih harus menunjukkan kesetiaan, setidaknya sampai gaji terakhir ia terima.
Jelas ia harus melakukan sesuatu.
Apa yang dikehendaki Tonio? Pasti ia menginginkan sesuatu, kalau tidak mengapa ia repot-repot menunjukkan artikel karangannya sebelum dikirimkan ke The Times? "Apa sasaranmu?"
Tanya Hugh.
"Kau mau kami menghentikan pembiayaan tambang nitrat itu?"
Tonio menggeleng.
"Jika keluarga Pilaster menghenti-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan bank, pihak lain akan segera menggantikannya. Kita perlu lebih halus lagi dari itu."
"Kau punya rencana lain?"
"Keluarga Miranda merencanakan membangun jalan kereta api."
"Ah, ya. Jalan kereta api Santamaria."
"Jalan kereta api itu akan membuat keluarga Miranda menjadi keluarga terkaya di Kordoba. Juga yang paling berkuasa, kecuali tentunya keluarga Presiden. Dan dengan kekuatan seperti itu, Papa Miranda akan makin ganas. Aku mau rencana pembiayaan kereta api dihentikan."
"Itulah sebabnya kau mau mengirim artikel ini."
"Beberapa artikel... tidak hanya ini. Juga akan kuadakan acara tanya-jawab dengan wartawan, berbicara di pelbagai kesempatan, acara dengar-pendapat di Parlemen, dan menemui Menteri Luar Negeri Inggris segala tindakan, asalkan bisa menghentikan proyek jalan kereta api ini."
Ya, kemungkinan bisa berhasil, pikir Hugh.
Para investor akan mundur karena tidak mau terlibat dengan proyek yang menghebohkan.
Heran, Tonio yang dulu, yang senang hura-hura sampai habis-habisan dalam judi satu malam, bisa berubah menjadi pembela para pekerja tambang.
"Lalu, kenapa kau datang padaku?"
"Kita harus potong kompas di awal proses. Jika bank tidak bersedia menanggung obligasi jalan kereta api itu, aku tidak akan menerbitkan artikelnya. Dengan begitu, kalian terhindar dari skandal nasional dan aku mencapai tujuanku ke sini."
Di wajahnya tersungging senyum malu-malu.
"Kuharap kau tidak menganggap aku pemeras. Rencanaku memang terdengar agak kasar, tapi tidak sekasar perlakuan mereka atas para pekerja tambang nitrat."
Hugh menggeleng.
"Tidak, tidak kasar sama sekali. Kuhargai semangat pembelaanmu. Lagi pula, apa pun akibatnya, rencanamu terhadap bank Pilaster tidak akan menyentuh kepentingan pribadiku, karena aku akan mengundurkan diri dari sana."
"O ya!"
Tanya Tonio kaget.
"Kenapa?"
"Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain waktu. Nah, mengenai kasusmu, aku hanya bisa menceritakannya pada para mitra. Merekalah yang akan memutuskan, dan aku yakin mereka tidak akan menanyakan pendapatku sama sekali."
Sambil tetap memegang naskah artikel, ia bertanya.
"Boleh kubawa ini?"
"Ya, tentu. Aku sudah membuat salinannya."
Di kertas artikel tersebut tertera nama Hotel Russe, Berwick Street, Soho. Hugh belum pernah mendengar nama hotel ini; bukan salah satu hotel elite London.
"Akan segera kuberitahukan pendapat para mitra."
"Terima kasih."
Tonio mengganti topik pembicaraan.
"Maaf, sejak tadi kita hanya bicara bisnis. Mari kita cerita-cerita tentang masa sekolah kita dulu."
"Kau mesti bertemu istriku."
"Ya, tentu."
"Akan kukabari segera."
Hugh meninggalkan kedai kopi dan berjalan kembali ke bank.
Ketika melihat jam besar di lobi bank, ia agak heran.
Belum pukul satu siang.
begitu banyak yang dialaminya dalam setengah hari ini.
Ia langsung pergi ke ruang para mitra di lantai atas.
Di sana ia melihat Samuel, Joseph, dan Edward.
Ia memberikan artikel Tonio pada Samuel, yang segera membacanya, lalu memberikannya pada Edward.
Belum selesai membaca seluruh isinya, Edward sudah meledak emosional.
Sambil menunjuk ke arah Hugh, ia berteriak.
"Kau... pasti bekerja sama dengan teman lamamu itu! Kau berusaha merendahkan pentingnya bisnisku di Amerika Selatan! Kau sebenarnya hanya iri karena tidak menjadi mitra!"
Hugh bisa memahami kenapa Edward begitu histeris. Bisnis Amerika Selatan memang satu-satunya sumbangan Edward pada bank. Jika sampai gagal, berarti Edward tidak berguna sebagai mitra. Hugh mendesis pelan.
"Sejak dulu kau selalu keras kepala. Sampai sekarang pun demikian. Masalahnya sekarang, apakah bank mau dianggap bertanggung jawab dengan meningkatkan kekuatan Papa Miranda yang begitu kejam telah membunuh anak-anak dan wanita di tambang nitratnya."
"Aku tetap tidak mempercayai ini!"
Jawab Edward.
"Keluarga Silva dari dulu musuh keluarga Miranda. Artikel ini hanya propaganda licik belaka."
"Ya, pasti itulah yang akan dikatakan sahabatmu Micky. Masalahnya, apakah ini memang benar propaganda belaka?"
Paman Joseph memandang curiga ke arah Hugh.
"Kau baru saja ke sini beberapa jam yang lalu, dan mencoba menggagalkan proyek ini. Tiba-tiba ada artikel ini. Aku curiga, jangan-jangan kau memang merencanakan sesuatu untuk menggagalkan proyek besar pertama dari Edward."
Hugh berdiri.
"Jika Paman mencurigai niat saya, baiklah... saya akan pergi sekarang juga."
Paman Samuel mencegah.
"Duduk, Hugh,"
Katanya.
"Kita tidak perlu mencari kebenaran berita ini. Kita ini bankir, bukan hakim. Yang penting, proyek jalan kereta api Santamaria akan menjadi isu kontroversial, dan penerbitan obligasinya akan penuh risiko. Ini berarti kita harus mempertimbangkan ulang proyek ini."
Paman Joseph menjadi agresif.
"Aku tidak sudi diteror. Biarkan saja artikel yang ditulis orang Amerika Selatan sialan ini diterbitkan... peduli setan."
"Ya, itu salah satu cara,"
Sela Samuel dengan tenang.
"Kita bisa menunggu dan melihat akibat dari artikel ini, khususnya terhadap harga saham yang sudah ada dari beberapa proyek Amerika Selatan. tidak banyak, tapi bisa dijadikan barometer. Jika sampai terus-menerus turun, kita akan tunda proyek jalan kereta api, jika tidak, proyek kita teruskan."
Joseph, agak tidak enak hati, berkata.
"Ya, sebaiknya begitu. Aku setuju dengan mekanisme pasar."
"Ada pilihan lain yang perlu kita pertimbangkan,"
Lanjut Samuel.
"Kita bisa mengajak bank lain untuk bergabung dengan kita dalam pembiayaan proyek jalan kereta api ini. Obligasinya kita terbitkan bersama, sehingga jika ada serangan publik, sasaran mereka akan terbagi dua."
Ya, kedengarannya masuk akal, pikir Hugh, sekalipun bukan itu yang ia inginkan.
Secara pribadi, ia ingin proyek ini dibatalkan saja.
Tapi strategi yang diusulkan Samuel tadi memang akan mengurangi risiko, dan bukankah ini memang prinsip utama bisnis perbankan? Samuel memang bankir yang lebih andal daripada Joseph.
"Baiklah,"
Sambut Joseph agak emosional, seperti biasa.
"Edward, cari segera siapa yang bisa kita ajak menjadi mitra proyek ini."
"Siapa yang harus kudekati?"
Tanya Edward bersemangat. Hugh tahu sepupunya sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal ini. Samuel yang menjawab.
"Ini akan melibatkan uang dalam jumlah besar. Tidak akan banyak bank yang mau ikut di dalamnya, apalagi menyangkut negara Amerika Selatan. Sebaiknya kau pergi ke bank keluarga Greenbourne; mereka mungkin mau mempertimbangkannya. Kau kenal Solly Greenbourne, kan?"
"Ya, aku kenal dia."
Hugh berpikir apakah sebaiknya ia memberitahu Solly agar menolak ajakan Edward, tapi ia segera memandangnya dari sisi lain.
ia dipekerjakan sebagai profesional dalam bisnis di Amerika Utara, dan efeknya akan merugikan dirinya jika ia ikut campur dalam bisnis di kawasan Amerika Selatan.
Jangan-jangan ia akan dianggap sok tahu.
Ia memutuskan akan mencoba sekali lagi membujuk Paman Joseph agar membatalkan proyek ini.
"Kenapa kita tidak mundur saja dari proyek jalan kereta api Santamaria ini? Kadar bisnisnya rendah sekali dan risikonya sangat tinggi, dan kita terancam akan dipublikasikan secara negatif. Apakah sebaiknya tidak kita tinjau ulang secara lebih serius?"
Edward menyambar cepat.
"Para mitra sudah memutuskan, dan bukan hakmu mempertanyakannya kembali."
Hugh menyerah.
"Ya, kau benar. Aku bukan mitra, dan sebentar lagi juga bukan karyawan di bank ini."
Paman Joseph mengernyit.
"Apa maksudmu?"
"Saya mengundurkan diri dari bank ini."
Joseph tersentak kaget.
"Kau tidak boleh melakukannya!"
"Kenapa tidak? Saya hanya dianggap pegawai biasa, jadi sudah sewajarnya jika saya mencari pekerjaan yang lebih baik."
"Di mana?"
"Sejujurnya, saya akan bekerja di bank keluarga Greenbourne."
Kedua bola mata Paman Joseph serasa akan meloncat keluar.
"Tapi hanya kau yang tahu bisnis di Amerika Utara!"
"Justru karena itulah Ben Greebourne begitu bersemangat untuk mempekerjakan saya sesegera mungkin,"
Jawab Hugh tenang. Ia senang melihat pamannya begitu panik.
"Tapi itu berarti kau akan membawa jaringan bisnis di sana bersamamu?"
"Seharusnya Paman sudah memikirkannya ketika Paman membatalkan dukungan atas kemitraan saya di sini."
"Berapa mereka akan membayarmu?"
Hugh berdiri, siap-siap pergi.
"Itu bukan urusan Paman,"
Jawabnya tegas. Edward berseru marah.
"Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahku!"
Joseph menahan emosinya dengan susah payah, tapi SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY herannya ia bisa menjawab dengan tenang.
"Diam, Edward. Untuk menjadi bankir andal, perlu kelicikan tertentu. Kadang-kadang aku ingin kau bisa seperti Hugh. Dia memang kambing hitam dalam keluarga, tapi paling tidak dia punya indra bisnis yang tajam."
Lalu ia berpaling ke arah Hugh.
"Baiklah. Silakan keluar. Mudah-mudahan kau berhasil, tapi aku tidak yakin."
"Sudah kuduga, hanya ucapan itu yang akan kudapatkan dari keluarga ini,"
Jawab Hugh.
"Selamat siang." [IV] "
I "\AN bagaimana kabar Rachel?"
Tanya Augusta _l_-/pada Micky sambil menuang tehnya.
"Dia baik-baik saja,"
Jawab Micky.
"Nanti dia menyusul kemari."
Kenyataannya ia tetap tak bisa memahami istrinya.
Pada waktu menikah.
Rachel masih suci, tapi setelah menikah sikapnya seperti pelacur.
Ia bersedia bercinta di mana saja, kapan saja, dan selalu dengan antusias.
Micky pernah membuat percobaan dengan mengikat kedua tangan istrinya ke tiang ranjang, tapi ternyata istrinya bisa menikmatinya.
Sampai sekarang belum ada tindakannya yang bisa membuat istrinya menolak hasratnya.
Pernah mereka melakukannya di ruang duduk, dengan risiko dilihat pelayan, tapi Rachel malah kelihatan senang.
Tapi dalam aspek-aspek lainnya, Rachel tak pernah mau mengalah.
Ia selalu mendebat Micky tentang rumah, pembantu, uang, politik, bahkan agama.
Kalau sudah bosan meladeninya, Micky mencoba mengabaikan dan bahkan menghinanya, tapi tidak ada perubahan.
Rachel tetap menganggap persamaan hak antara wanita dan pria di atas segalanya.
"Kuharap dia bisa membantu pekerjaanmu,"
Kata Augusta. Micky mengangguk.
"Ya, dia sangat membantu sebagai istri Duta Besar... anggun dan ramah, penuh perhatian."
"Ya, kulihat dia sangat berfungsi ketika kalian menyelenggarakan pesta bagi Duta Besar Portillo,"
Kata Augusta. Duta Besar Portillo adalah duta negara Portugis di London. Augusta dan Joseph diundang ketika Micky menyelenggarakan makan malam baginya.
"Dia punya rencana konyol... membuka rumah sakit khusus bagi wanita tanpa suami,"
Kata Micky dengan kesal. Augusta menggeleng tak setuju.
"Tidak pantas bagi wanita dengan posisi seperti dia. Selain itu, di sini sudah ada satu-dua rumah sakit semacam itu."
"Katanya rumah penampungannya tidak akan melakukan khotbah seperti penampungan-penampungan yang sudah ada."
"Lebih celaka lagi. Coba pikirkan, bagaimana tanggapan para wartawan."
"Tepat sekali. Aku menentang niatnya itu dengan keras dan tegas."
"Dia beruntung punya suami seperti kau,"
Goda Augusta dengan senyum genit. Micky sadar Augusta sedang menggodanya, tapi kali ini ia tidak membalasnya. Selama ini ia terlalu terlibat dengan istrinya, padahal ia tidak mencintai Rachel. Tapi Rachel menyerap habis seluruh energinya.
"Ah, kau menggodaku,"
Jawabnya lembut sambil memegang erat tangan Agusta ketika ia menyerahkan cangkir teh padanya.
"Tentu saja, tapi aku merasakan ada yang kaurisaukan."
"Yang terhormat Mrs. Pilaster, selalu penuh perhatian, seperti biasa. Bagaimana aku bisa menyembunyikan sesuatu darimu? Memang benar, aku sedang tegang menantikan proyek jalan kereta api Santamaria."
"Kukira para mitra sudah setuju."
"Memang, tapi masih butuh waktu lama untuk mewujudkannya."
"Dunia keuangan memang selalu lambat jalannya."
"Aku bisa mengerti, tapi ayahku tidak bisa. Setiap minggu dia mengirim telegram dua kali. Kukutuk hari tersambungnya kabel telegram di Santamaria."
Edward tiba-tiba masuk dan berkata geram.
"Antonio Silva datang lagi di London."
Augusta jadi pucat.
"Bagaimana kau tahu?"
"Hugh menemuinya."
"Benar-benar sial,"
Tukas Augusta gemas. Micky heran melihat tangan Augusta gemetar ketika meletakkan cangkir tehnya.
"Dan David Middleton masih penasaran, ke sana kemari menanyakan kasus almarhum adiknya,"
Komentar Micky, karena teringat kejadian di pesta malam itu, ketika David berbicara serius dengan Hugh Pilaster. Ia pura-pura khawatir, padahal dalam hati ia senang karena ia tetap punya senjata untuk menguasai Edward dan ibunya.
"Bukan hanya itu,"
Tukas Edward.
"Dia mencoba melakukan sabotase atas proyek jalan kereta api kita."
Micky mengernyitkan dahi. Keluarga Tonio memang menentang proyek itu, tapi mereka sudah dibungkam oleh Presiden Gracia. Apa lagi yang bisa dilakukan Tonio di London ini? Pertanyaan yang sama juga ada di benak Augusta.
"Apa yang bisa dia lakukan di sini?"
Edward menyorongkan berkas artikel ke tangan ibunya.
"Bacalah ini."
"Apa itu?"
Tanya Micky.
"Artikel yang akan dikirim Tonio ke koran The Times. Isinya tentang tambang nitrat keluargamu."
Augusta membaca inti artikel dengan cepat.
"Dia menulis bahwa kehidupan para pekerja tambang nitrat sangat tidak menusiawi dan membahayakan nyawa."
Lalu dengan sinis ia bertanya.
"Memangnya apa yang mereka harapkan?"
Edward menimpali.
"Dia juga menulis bahwa para wanita dan anak-anak ditembak dan disiksa jika tidak menuruti perintah para mandor."
"Tapi apa hubungannya dengan obligasi?"
Tanya Augusta.
"Jalan kereta api itu akan digunakan untuk mengangkut nitrat ke ibukota, dan para investor tidak akan menanamkan uangnya di proyek yang menjadi bahan perdebatan nasional. Banyak dari mereka yang sebenarnya sudah ragu melakukan investasi di obligasi pemerintah Amerika Selatan. Dengan adanya ribut-ribut di koran, mereka akan ketakutan dan membatalkan semua investasinya."
Micky sangat khawatir. Ini sungguh mencemaskan. Ia bertanya pada Edward.
"Apa pendapat ayahmu soal ini?"
"Kita akan mencoba mencari bank lain untuk ikut mendukung proyek ini, tapi soal artikel... kita akan membiarkan Tonio mengirimkannya ke koran dan melihat reaksi publik nanti. Jika berdampak jelek pada saham Amerika Selatan, terpaksa kita akan membatalkan dukungan atas proyek jelan kereta api ini."
Tonio sialan.
Ternyata dia punya otak juga dan Papa begitu bodoh, memperlakukanpara pekerjanya seperti tawanan kerja paksa, sekaligus mengharapkan meminjam uang dari dunia beradab seperti Inggris.
Ia harus melakukan sesuatu secepatnya.
Benaknya berputar.
Jelas Tonio harus dibungkam, sebab ia tidak akan mau dibujuk atau disogok dengan uang.
Bulu kuduknya meremang ketika ia menemukan jalan tercepat untuk membungkan Tonio.
Tapi ia pura-pura tenang.
"Boleh kulihat artikelnya?"
Katanya. Augusta memberikannya. Yang pertama ia perhatikan adalah nama dan alamat hotel di kertas artikel. Lalu dengan pura-pura keheranan ia berkata.
"Kuras ini tidak akan menimbulkan masalah besar."
Edward memprotes.
"Tapi kau kan belum membaca seluruh isinya?"
"Tidak perlu, yang penting aku sudah melihat tempat dan alamat Tonio."
"Lalu apa?"
"Aku akan mencoba bicara dan menyelesaikannya,"
Jawab Micky tenang."
Serahkan saja padaku.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY BAB TIGA Mei m SOLLY gemar memperhatikan Maisie berpakaian.
Setiap sore Maisie akan mengenakan mantel kamarnya, lalu memanggil pelayan wanita untuk membantu menata rambutnya dengan sisipan bunga atau hiasan kecil lainnya; lalu ia akan menunggu suaminya.
Malam ini mereka merencanakan untuk keluar, seperti biasanya acara rutin mereka berdua.
Mereka tinggal di rumah hanya jika sedang menyelenggarakan pesta.
Antara waktu Paskah dan akhir Juli, mereka hampir selalu keluar menghadiri acara pesta atau makan malam.
Solly datang pada jam 18.30, mengenakan setelan, dan membawa segelas besar sampanye.
Malam ini rambut Maisie dihiasi bunga kuning dari sutra.
Di depan suaminya ia melepaskan mantel kamarnya, lalu berdiri telanjang di depan kaca besar.
Ia berputar satu kali di hadapan Solly, lalu mulai berdandan.
Pertama, ia mengenakan pakaian dalam bersulam bunga-bunga di sekeliling leher.
Di bagian bahu ada tali sutranya guna pengikat ke gaun luar, agar tidak terlihat.
Lalu ia mengenakan stocking putih halus dan garter untuk penahan.
Kemudian ia memakai celana katun longgar sebatas lutut, dan akhirnya memakai sandal sutra berwarna kuning.
Solly mengambilkan korset dari kerangkanya dan membantu istrinya mengenakannya sambil merapikan tali-temalinya.
Kebanyakan wanita akan dibantu satu atau dua pembantu jika berdandan, karena mustahil mereka mengenakan korset dan gaun malamnya sendirian.
Tapi Solly telah mempelajari cara mengikat korset wanita, agar bisa menikmati sewaktu istrinya berdandan.
Model gaun kaku dan mekar sudah lama menghilang, tapi Maisie mengenakan gaun dalam dari katun dengan bagian bawah mengembang dan tepinya berwiru-wiru.
Solly membantu mengikatkan pita di bagian belakang gaun dalam istrinya.
Sekarang Maise siap memakai gaun malamnya yang terbuat dari sutra kuning bergaris-garis putih.
Bagian dadanya berbelah rendah, sehingga menonjolkan payudaranya, dan bagian bawahnya melembung lebar.
Lipatan bawahnya berteras-teras dan tersetrika rapi.
Pelayan wanitanya butuh waktu seharian untuk menghaluskan bagian ini.
Maisie duduk di lantai dan Solly memasukkan gaun dari atas dengan hati-hati.
Lalu Maisie berdiri dengan hati-hati pula, sambil memasukkan kedua lengan dan kepalanya.
Setelah selesai, ia dan Solly mematut diri di depan kaca sambil merapikan lipatan-lipatan gaunnya.
Maisie membuka kotak perhiasan, mengambil kalung berlian dan zamrud serta anting-anting yang diberikan suaminya sebagai hadiah ulang tahun pertama pernikahan mereka.
Sambil lalu suaminya berkata.
"Mulai sekarang, kita akan sering bertemu dengan teman kita, Hugh Pilaster."
Maisie terperanjat. Kepolosan suaminya kadang membuatnya kaget dan galau. Suami yang normal pasti akan curiga melihat hubungan istrinya dengan Hugh. Tapi lain dengan Solly. Ia terlalu polos, sehingga tidak sadar akan godaan yang dirasakan istrinya.
"Memang kenapa?"
Tanya Maisie dengan nada senetral mungkin.
"Oh, dia akan bekerja di bank kita."
Kedengarannya tidak terlalu buruk. Semula ia khawatir Solly telah mengundang Hugh tinggal di rumah mereka.
"Kenapa dia keluar dari Pilasters Bank? Kukira dia punya prestasi bagus di sana."
"Mereka menolaknya menjadi mitra bank."
"Oh, tidak!"
Ia kenal Hugh melebihi siapa pun; ia tahu betapa menderitanya Hugh sewaktu ayahnya bangkrut, lalu bunuh diri. Ia bisa merasakan betapa hancurnya hati Hugh dengan penolakan itu.
"Keluarga Pilaster memang tak punya nurani kekeluargaan,"
Komentarnya nada getir.
"Semuanya disebabkan oleh istri Hugh sendiri."
Maisie mengangguk.
"Aku tidak heran."
Ia menyaksikan insiden malam itu. Ia tahu bahwa entah bagaimana, pasti Augusta punya andil dalam skandal di pesta malam itu, sebagai bagian dari rencananya menjatuhkan Hugh.
"Kau seharusnya simpati pada Nora."
"Mmmm."
Maisie pernah bertemu Nora, beberapa minggu sebelum pernikahan mereka, dan secara naluriah, langsung tidak menyukainya.
Bahkan ia dengan terus terang memberitahu Hugh bahwa Nora adalah pemburu harta dan sebaiknya Hugh mengurungkan niatnya menikahi wanita itu.
"Dan kusarankan pada Hugh agar kau membantu Nora."
"Apa?"
Kata Maisie tajam. Ia memalingkan wajahnya dari kaca.
"Membantu dia?"
"Meningkatkan citra dirinya. Kau tahu sendiri bagaimana rasanya dipandang rendah dalam pergaulan hanya karena beda latar belakang sosial. Kau berhasil menanggulangi semua ini."
"Dan sekarang kau mengharapkan aku menolong setiap wanita kelas bawah yang kebetulan menikah dengan pria kelas atas?"
Tukas Maisie ketus.
"Oh. maaf. Kalau begitu aku salah,"
Jawab Solly dengan nada menyesal.
"Kukira kau akan senang membantu Nora, karena"
Kulihat kau simpati pada Hugh selama ini."
Maisie mengambil sarung tangan dari lemari sambil berkomentar.
"Kuharap kau berkonsultasi dulu denganku sebelum melakukan hal itu."
Di depannya, di balik pintu lemari, masih tergantung poster peninggalan zaman ia masih bermain di sirkus.
"Maisie yang Mengagumkan". Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menghambur ke tubuh Solly sambil mengisak.
"Oh, Solly, betapa tidak tahu berterima kasihnya aku padamu...."
"Sudah... sudah,"
Hibur suaminya, mengusap bahunya yang masih terbuka.
"Selama ini kau begitu baik dan murah hati padaku dan keluargaku. Sudah tentu aku akan melakukan permintaanmu."
"Aku tidak mau kau melakukan ini karena terpaksa."
"Tidak... tidak sama sekali, kau tidak memaksaku. Kenapa aku tidak mau menolong dia memperoleh apa yang t^lah kuperoleh?"
Ia memperhatikan wajah suaminya yang bulat lucu dan dihiasi gurat-gurat kecemasan. Diusapnya pipi Solly.
"Jangan cemas, Sayang... tadi aku memang agak egois, tapi sekarang tidak lagi. Ayolah, kenakan jasmu. Aku sudah siap."
Dengan berjingkat ia mencium bibir suaminya, lalu berbalik seraya mengenakan sarung tangannya.
Ia tahu apa yang membuatnya sangat jengkel.
Situasi ironi ini.
Ia diminta suaminya melatih Nora untuk berfungsi sebagai istri terhormat Hugh Pilaster, sebuah posisi yang sebenarnya sangat ia dambakan sejak dahulu.
Jauh di lubuk hatinya dia masih ingin menjadi istri Hugh dan ia membenci wanita yang sekarang menempati posisi itu.
Sekarang ia diminta suaminya yang baik untuk melatih saingan utamanya.
Apa yang mesti ia lakukan? Seharusnya ia bahagia Hugh telah menikah.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia tahu pria itu selama ini tidak bahagia, dan ini sebagian karena kesalahan Maise.
Sekarang ia tak perlu mencemaskan Hugh lagi.
Memang terasa ada yang hilang dari lubuk hatinya, bukan kesedihan, lebih menyerupai kepedihan yang harus ia tekan sedalam mungkin.
Sebagai kompensasi, ia akan melakukan tugasnya melatih Nora dengan penuh semangat, agar wanita itu bisa diterima kembali di kalangan atas kota London.
Solly kembali dengan mengenakan jas, lalu bersama-sama mereka ke kamar anak-anak.
Bertie sedang asyik bermain dengan kereta api dari kayu.
Ia sangat senang melihat ibunya berbusana pesta, dan akan kecewa jika ibunya bepergian tanpa memperlihatkan busana yang ia kenakan.
Dengan antusias ia menceritakan bagaimana ia berteman dengan seekor anjing besar di taman pagi tadi.
Ayahnya ikut mencoba kereta api kayunya.
Lalu tiba saatnya tidur.
Maisie dan Solly mencium dahinya, lalu keduanya pergi ke kereta kuda yang sudah siap menunggu di depan rumah.
Mereka akan pergi ke jamuan makan malam, lalu ke pesta dansa.
Keduanya diselenggarakan di kawasan Piccadilly, sekitar setengah mil dari rumah.
Sebenarnya mereka bisa berjalan kaki, tapi Maisie merasa kesulitan karena gaun malamnya begitu besar dan panjang; belum lagi debu jalan akan membuat gaun dan sepatu sutranya kotor.
Tanpa terasa ia tersenyum sendiri karena ia, yang dulu sanggup berjalan selama empat hari empat malam ke Newcastle, sekarang tak sanggup berjalan setengah mil saja.
Di pesta malam itu ia mulai melakukan tugasnya demi Nora.
Ketika masuk ke ruang tamu Marquis of Hatchford, orang pertama yang dilihatnya adalah Count de Tokoly.
Ia sudah lama kenal laki-laki ini karena de Tokoly selalu mencoba merayunya.
Karena itu, tanpa sungkan ia langsung ke inti persoalan.
"Kuminta Anda memaafkan Nora Pilaster karena telah menampar Anda malam itu."
"Memaafkan?"
Tanya de Tokoly.
"Oh, aku justru tersanjung! Pria setua diriku masih bisa membuat seorang wanita muda menamparku benar-benar kejutan."
Ya, tapi bukan begitu yang kaurasakan malam itu, pikir Maisie dalam hati. Tapi ia senang de Tokoly tidak mempermasalahkan lebih jauh skandal malam itu. Lalu de Tokoly melanjutkan.
"Kalau dia tidak menganggap serius sikapku malam itu, baru aku akan sangat tersinggung."
Mestinya Nora memang tidak menanggapinya, pikir Maisie.
"Coba ceritakan,"
Pintanya halus.
"Apakah Augusta Pilaster yang menyarankan Anda untuk merayu menantu perempuannya?"
"Pertanyaan yang menggelikan. Sudah tentu wanita terhormat itu tidak pernah melakukan apa yang Anda curigakan! Sama sekali tidak."
"Lalu siapa yang menyarankan?"
Dengan mata disipitkan de Tokoly menatap Maisie.
"Anda memang cerdik, Mrs. Greenbourne. Aku selalu menghormati wanita yang cerdik macam Anda. Anda jauh lebih cerdik daripada Nora Pilaster. Dia tidak akan bisa menyamai Anda."
"Tapi Anda belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Baiklah, aku akan menceritakannya karena aku begitu kagum pada Anda. Duta besar Kordoba, Senor Miranda, yang membisikkan... Nora adalah wanita yang... apa istilahnya ya... gampangan."
Jadi, itu akar penyebabnya.
"Dan Micky Miranda sudah pasti hanya suruhan Augusta. Aku yakin. Kedua orang itu sangat dekat, bagai dua pencuri."
De Tokoly agak bingung.
"Kuharap aku tidak dijadikan umpan rencana busuk mereka."
"Memang itulah yang mereka inginkan. Risiko menjadi orang yang mudah ditebak macam Anda,"
Tukas Maisie gemas. Keesokan harinya ia mengajak Nora ke tukang jahit langganannya. Saat Nora sedang mengepas, Maisie mencoba mengorek lebih lanjut tentang insiden malam itu.
"Apakah Augusta mengatakan sesuatu tentang de Tokoly sebelum kau menamparnya?"
"Dia mengingatkan agar aku tidak memberi peluang sedikit pun padanya,"
Jawab Nora.
"Jadi, kau sudah berjaga-jaga sebelum bertemu dengannya?"
"Ya."
"Dan jika Augusta tidak mengatakan apa pun, apakah kau akan berani menampar si tua itu?"
Nora merenung sejenak.
"Mungkin aku tidak berani melakukannya. Augusta begitu meyakinkan saat mengatakan aku harus berani mengambil sikap."
Maisie mengangguk.
"Itulah. Dia memang merencanakan insiden malam itu. Dia juga menyuruh orang lain membisikkan pada si tua bahwa kau wanita gampangan."
Nora kaget.
"Kau yakin itu?"
"Si tua sendiri yang menceritakan padaku. Kau harus hati-hati. Augusta benar-benar busuk dan tidak segan-segan menjatuhkan orang lain."
Tiba-tiba Maisie sadar ia bicara dengan aksen asalnya. Newcastle. Aksen yang sudah jarang dipakainya di kalangan pergaulan di kota London. Ia kembali ke aksen normalnya.
"Jangan sekali-kali meremehkan kemampuan Augusta dalam persekongkolan dan fitnah-memfitnah."
"Aku sama sekali tidak takut padanya,"
Timpal Nora agak menyombongkan diri.
"Aku sendiri tidak segan-segan mengerjai orang lain jika sudah terdesak."
Maisie percaya Nora bisa melakukan hal itu dan ia merasa simpati pada Hugh.Busana yang paling cocok bagi Nora adalah busana gaya polonais, sebab bisa menyamarkan tubuhnya yang ter/alu subur.
Detail-detail gaun yang ramai dan berwiru -wiru makin menonjolkan wajahnya yang manis, dan dengan memakai korset panjang, tubuhnya bisa tampak lebih ramping.
"Pertama-tama, kau harus tampil cantik,"
Kata Maisie pada Nora yang sedang mematut-matut diri di depan cermin.
"Kalau menyangkut hubungan dengan pria, hanya itu yang penting. Yang lebih pelik adalah bagaimana kita bisa diterima oleh kaum wanita."
"Aku sendiri merasa lebih mudah bergaul dengan pria daripada dengan wanita,"
Kata Nora. Memang begitulah citramu, pikir Maisie. Lanjut Nora.
"Kurasa kau juga begitu. Jadi, tidak heran kalau kita sekarang di sini bersama-sama."
O ya? pikir Maisie heran.
"Bukannya aku mau menyamai tingkatanmu,"
Kata Nora. Tapi setiap wanita ambisius di London menjadikan dirimu model dan merasa iri padamu."
Maisie kurang senang dijadikan model bagi para wanita pemburu kekayaan, tapi mungkin ia layak dianggap demikian. Nora menyamakan dirinya dengan Maisie. menikah karena uang. Maisie harus menerimanya dengan hati lapang. Nora berkata lagi.
"Aku mengawini pria yang jadi kambing hitam dalam keluarga, pria yang tidak punya modal, tapi aku tidak mengeluh, sedangkan kau berhasil mengawini salah satu pria paling kaya di dunia."
Kau pasti terkejut kalau kukatakan aku bersedia tukar tempat dengamu, pikir Maisie.
Tapi ia membuang pikiran itu jauh-jauh.
Oke, posisi kita sekarang memang serupa.
Karena itu, akan kubantu kau agar bisa diterima di kalangan atas di London...
kelas paling munafik di antara semua strata masyarakat.
"Pertama-tama, ingat. Jangan sekali-kali membicarakan nilai materi sesuatu,"
Ia mengawali nasihatnya, karena teringat apa yang pernah dialaminya.
"Tetaplah tenang menghadapi segala situasi, tak peduli apa pun yang terjadi. Seandainya kusir keretamu kena serangan jantung, atau kereta kudamu rusak di tengah jalan, topimu diterbangkan angin nakal, atau pakaianmu berantakan, cukup beri komentar dengan tenang.
"Hmm, tidak apa-apa."
Lalu masuklah ke kereta sewaan.
Ingat selalu, daerah pedalaman selalu lebih dihargai daripada daerah pekotaan, tidak bekerja lebih dihormati daripada jadi pekerja, nilai-nilai lama lebih baik daripada nilai baru, dan status lebih dihormati daripada kekayaan materi.
Cukup tahu semuanya sedikit-sedikit, jangan coba-coba ingin jadi pakar.
Berlatihlah bicara tanpa menggerakkan bibir aksenmu jadi lebih intelek.
Ceritakan pada orang-orang bahwa asal-usulmu dari daerah pertanian Yorkshire kawasan itu terlalu luas untuk diselidiki kebenarannya, dan bertani merupakan cara hidup terhormat kalau kau miskin."
Nora memasang tampang bodoh, lalu berkata dengan nada lamban.
"Astaga, begitu banyak yang harus diingat. Apakah aku mampu?* "Bagus,"
Kata Maisie.
"Kau bisa melakukannya dengan sangat baik."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MICKY MIRANDA berdiri di ujung Berwick Street, memakai mantel tipis untuk menepis hawa dingin malam musim semi.
Ia mengisap cerutu sambil memandang jalanan.
Tidak jauh darinya ada lampu jalan, tapi ia sendiri dalam bayang-bayang, sehingga wajahnya terhindar dari penglihatan orang-orang yang lalu-lalang.
Ia sedang gundah, tidak puas pada diri sendiri.
Ia tidak menyukai kekerasan.
Itu cara Papa dan kakaknya, Paulo.
Bagi Micky, kekerasan adalah awal dari kekacauan dan kegagalan.
Berwick Street adalah jalan sempit yang dipenuhi kedai minum dan rumah inap murahan.
Anak-anak bertubuh kotor bermain dalam cahaya lampu, sementara anjing-anjing mengorek-ngorek selokan.
Micky sudah berada di jalan sejak senja turun, dan belum ada seorang polisi pun yang lewat untuk meronda.
Sekarang sudah tengah malam.
Hotel Russe tampak di seberang jalan.
Kumuh, walau dulu pernah jaya.
Lampu di atas pintu menyala suram.
Micky dapat melihat lobi dalamnya.
Sepi, tak ada seorang pun di bagian resepsionisnya.
Dua orang pria juga menunggu di kedua sisi pintu masuk hotel.
Jadi, bersama Micky, ada tiga orang yang menunggu Antonio Silva.
Micky berusaha tampak tenang di depan Edward dan Augusta ketika mereka menyinggung soal artikel Tonio di koran The Times.
Tapi hatinya bergolak galau.
Bagaimana ia bisa membiarkan-Tonio merusak rencana besarnya? Ia telah bersusah payah membujuk keluarga Pilaster agar membiayai proyek jalan kereta api Santamaria.
Ia bahkan sampai mengawini Rachel demi proyek itu.
Seluruh kariernya sangat tergantung pada suksesnya proyek ini.
Jika ia gagal, Papa akan memecatnya sebagai konsul negerinya di London.
Lebih dari itu, ia harus pulang ke rumah disertai rasa malu dan hina.
Hidupnya yang sudah mapan dan terhormat di London akan lenyap seketika.
Tadi Rachel ingin tahu rencananya malam ini.
Micky hanya tertawa-tawa menanggapinya.
"Jangan coba-coba menanyai ke mana aku akan melewatkan malamku."
Tak mau kalah, istrinya berkata.
"Kalau begitu, aku Ĺšjuga akan pergi malam ini."
"Ke mana?"
"Jangan coba menanyai ke mana aku akan melewatkan malamku sendiri."
Micky menyeret istrinya ke dalam kamar dan menguncinya dari luar.
Nanti jika ia pulang pasti akan disambut sumpah serapah istrinya.
Hal biasa.
Pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, ia akan menelanjangi istrinya, lalu bercinta dengan penuh gairah.
Biasanya istrinya segera menyerah dan menyambutnya dengan antusias.
Malam ini pasti akan terulang lagi seperti biasa.
Kalau saja ia juga bisa seyakin itu dalam menghadapi Tonio.
Ia bahkan tidak yakin Tonio masih berdiam di hotel kumuh di depannya ini.
Sudah tentu ia tidak bisa masuk ke lobi dan menanyakan Tonio.
Akan membangkitkan kecurigaan.
Pulang dari rumah Augusta, ia bertindak cepat.
Dibutuhkan waktu empat puluh delapan jam untuk menemukan tempat Tonio dan menyewa dua pria bajingan untuk membantunya.
Sekarang mungkin saja Tonio sudah pindah hotel.
Kalau benar, Micky akan mengalami kesulitan besar.
Orang yang berhati-hati akan pindah hotel setiap beberapa hari sekali.
Juga tidak akan memakai kertas hotel untuk membuat pesan pada orang luar.
Tapi Tonio memang bukan tipe orang yang hati-hati.
Sejak dulu ia selalu ceroboh.
Jadi, besar kemungkinan ia masih tinggal di hotel ini.
Ternyata benar.
Beberapa menit setelah tengah malam, Tonio datang.
Dari seberang, Micky bisa melihat sosoknya, berjalan dari arah Leicester Square.
Hatinya berdebar keras, tapi ia masih bisa menahan diri untuk tidak bergerak, sampai ia memastikan figur di depannya memang Tonio.
Apalagi setelah wajahnya kelihatan di bawah lampu jalanan.
Dengan lega bercampur cemas Micky mendesah.
Lega karena ia bisa menemukan musuhnya, cemas karena sebentar lagi akan ada kekerasan yang berbahaya.
Tiba-tiba ia melihat dua polisi ronda.
Benar-benar sial.
Kedua hamba hukum itu datang dari arah berlawanan dengan Tonio.
Mereka membawa pentungan kayu dan lentera tangan.
Micky diam terpana.
Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini.
Kedua polisi itu berpapasan dengan Micky.
Hanya sedikit mengangkat topi, dan berlalu begitu saja.
Mereka tidak curiga pada pria berpakaian apik itu, yang sedang sendirian di tepi jalan di tengah malam begini.
Tugas mereka adalah mencari dan menangkap penjahat.
Mereka juga berpapasan dengan Tonio, beberapa meter dari pintu depan hotel.
Begitu Tonio masuk ke dalam hotel, selamatlah dia.
Micky mengutuk dalam hati.
Lalu kedua polisi itu berbelok di samping hotel.
Hilang dari pandangan.
Micky memberi tanda pada dua bajingan di depan.
Mereka bergerak cepat.
Sebelum Tonio mencapai pintu hotel, kedua pria kasar itu berhasil menangkap dan menyeretnya ke gang di samping hotel.
Ia berteriak sekali, lalu diam.
Sepi.
Senyap.
Setelah membuang sisa cerutunya, Micky ikut melangkah ke gang sebelah hotel.
Mulut Tonio sudah disumpal kain.
Kedua bajingan itu sedang memukulinya dengan potongan besi.
Kepala dan wajahnya sudah berlumuran darah.
Tubuhnya memang terlindung oleh mantel luarnya yang tebal, tapi tangan dan lututnya tidak.
Pemandangan itu membuat Micky mual.
"Berhenti, berhenti, bodoh. Apa kalian tidak lihat dia sudah hampir mati?"
Memang Micky tidak bermaksud membunuh Tonio.
Ia ingin peristiwa ini tampak seperti perampokan biasa yang disertai penganiayaan.
Apalagi kedua polisi tadi sudah sempat melihat wajah Micky.
Dengan enggan mereka berhenti mendera Tonio yang tergeletak diam.
"Kosongkan sakunya!"
Bisik Micky cepat. Tonio tetap diam ketika kedua orang itu mengosongkan isi sakunya. jam rantai, buku saku, beberapa keping koin, sapu tangan sutra, dan sebuah kunci.
"Berikan kunci itu. Sisanya kalian ambil."
Kata Micky. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Salah satu bajingan yang usianya lebih tua Barer, atau lebih dikenal dengan sebutan Dog berkata.
"Berikan dulu upah kami." Micky memberi mereka masing-masing sepuluh pound mata uang emas. Dog memberikan kuncinya. Di pangkal kunci terikat kertas kecil dengan nomor 11. Cukup bagi Micky. Ia berbalik keluar dari gang. dan melihat seorang pria sedang memperhatikan mereka. Jantungnya serasa berhenti. Dog juga melihat orang itu. la menyumpah, tangan kanannya mengangkat potongan besi ke arah laki-laki itu. Tiba-tiba Micky menyadari sesuatu dan dengan cepat berkata.
"Tidak perlu. Lihatlah dia."
Laki-laki itu memiliki mulut melorot dan pandangan kosong. Rupanya ia idiot. Dog membatalkan niatnya.
"Dia tidak akan menyulitkan kita."
Micky segera melangkah pergi, meninggalkan dua bajing itu yang sedang sibuk mencopot sepatu bot Tonio.
Ia berharap takkan pernah melihat mereka lagi.
Micky masuk ke dalam Hotel Russe.
Belum ada satu petugas pun di meja resepsionis.
Micky merasa lega.
Dengan langkah pasti ia naik ke tingkat dua.
Hotel Russe terdiri atas tiga rumah yang disambung jadi satu, dan Micky membutuhkan beberapa menit sebelum menemukan kamar nomor 11.
Kamar itu sesak, agak kotor, dan dilengkapi perabot tua model klasik.
Micky meletakkan topi dan tongkatnya di kursi.
Secara sistematis ia mulai mencari-cari.
Di meja tulis ia menemukan sebuah salinan artikel dari koran The Times, yang lalu diambilnya.
Kurang berharga sebenarnya.
Tonio bisa saja menulis dari ingatan, bukan dari bahan tulisan.
Yang dicarinya adalah BUKTI TERTULIS.
Tanpa bukti ini, artikel Tonio akan dianggap isapan jempol belaka oleh pers.
Apalagi pembaca.
Di dalam laci lemari ia menemukan sebuah novel The Duchess of Sodom.
Hampir saja ia masukkan ke dalam saku mantelnya, tapi batal karena risikonya tidak sebanding dengan nilai buku.
Lalu ia melanjutkan ke lemari pakaian.
Baju dan celana diperiksa.
Juga tumpukan pakaian dalam.
Tidak ada apa-apa.
Ia memang tidak mengharapkan bisa menemukan apa yang dicarinya di tempat yang mudah ditemukan.
Ia naik ke atas meja tulis, mencoba melihat bagian atas lemari pakaian.
Tidak ada apa-apa, hanya endapan debu.
Ditariknya seprai ranjang, memeriksa bantal, meraba-raba bagian atas kasur.
Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.
Di bawah kasur.
Sebuah amplop besar berisi lembaran kertas yang diikat dengan pita yang biasa dipakai para pengacara.
Sebelum sempat memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah kaki di depan kamar.
Dengan gesit ia menjatuhkan bundel dokumen dan bersembunyi di belakang pintu kamar.
Tidak ada yang masuk.
Langkah kaki itu makin menjauh dan hilang.
Ia membuka dokumen itu dan memeriksa isinya.
Ditulis dalam bahasa Spanyol dengan cap stempel dari seorang pengacara di Palma, ibukota Kordoba.
Ungkapan saksi mata tentang apa yang terjadi di tambang milik Papa.
Penyiksaan dan pembunuhan atas para pekerja tambang, dewasa, wanita, anak-anak.
Segala usia.
Micky mencium bundel berkas itu.
Jawaban atas doanya^ selama dua hari ini.
Ia memasukkan semuanya ke dalam saku mantelnya.
Sebelum membakar semuanya, ia akan mencatat nama-nama dan alamat para saksi dan mengirimkannya ke Papa.
Dalam beberapa hari mereka akan hilang dari peredaran.
Itu sudah pasti.
Ada lagi yang masih tertinggal? Diperiksanya sekali lagi seluruh ruangan kamar yang berantakan.
Tak ada lagi yang ia butuhkan.
Tidak akan ada lagi bukti untuk artikel Tonio, dan tanpa bukti, cerita Tonio tidak akan ada nilainya.
Ia meninggalkan kamar dan menuruni tangga hotel.
Sial, ada petugas di balik meja resepsionis.
Si petugas mengangkat kepala dan bertanya dengan nada menantang.
"Bisa saya bantu?"
Micky cepat membuat keputusan.
Menjawab pertanyaan si petugas, berarti akan membiarkan dia melihat wajahnya, kalau tidak menjawab, paling-paling ia akan dianggap kasar dan tidak sopan.
Maka ia tidak mengatakan apa-apa dan langsung keluar.
Si petugas tidak mengejarnya.
Ketika melangkah keluar hotel, ia mendengar suara sayup rintihan minta tolong.
Rupanya berasal dari Tonio, karena tak lama kemudian ia melihat bekas teman sekelasnya itu merangkak pelan di jalanan depan hotel, darahnya menetes di atas jalan.
Pemandangan itu membuat Micky mual.
Dengan jijik ia menahan diri, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
[III] SORE hari, para wanita dan pria kaya yang tidak mempunyai kegiatan akan saling bertandang.
Kebiasaan yang melelahkan dan membosankan.
Dalam seminggu, Maisie akan menghindar selama empat hari, menyuruh pelayannya mengatakan ia tidak ada di rumah.
Baru pada hari Jumat ia mau menerima tamu.
Bisa mencapai dua puluh sampai tiga puluh orang.
Kalangan kaya dari Marlborough, golongan Yahudi, radikal seperti Rachel Bodwin, dan beberapa istri relasi kaya Solly.
Emily Pilaster termasuk kategori terakhir itu.
Suami-408 nya, Edward Pilaster, punya bisnis dengan Solly.
Proyek jalan kereta api di Kordoba.
Maisie menduga kedatangan Emily sehubungan dengan soal bisnis ini.
Tapi ia belum juga beranjak pada pukul setengah enam sore, ketika semua tamu sudah pulang.
Emily berwajah cantik, dengan mata biru besar.
Usianya baru dua puluh tahun, tapi setiap orang bisa melihat ada kesedihan dalam dirinya.
Maisie tidak heran ketika ia bertanya pelan.
"Bisakah aku membicarakan sesuatu yang pribadi sekali sifatnya?" .
"Tentu... apa itu?"
"Kuharap... kuharap Anda tidak tersinggung, sebab tidak ada lagi yang bisa kuajak bicara tentang hal ini?"
Kedengarannya seperti masalah seks.
Ini bukan pertama kalinya wanita muda datang ke Maisie, menceritakan masalah seks mereka yang tabu dibicarakan dengan ibu sendiri.
Mungkin dengan Maisie mereka merasa lebih percaya, atau mungkin mereka sudah mendengar tentang masa lalunya.
"Jangan ragu, tidak gampang membuatku tersinggung. Apa masalahmu?"
"Suamiku membenci diriku,"
Isaknya.
Maisie merasa simpati.
Ia tahu dan kenal Edward sejak ia masih kerja di Argyll.
Pria yang menjijikkan.
Tidak heran jika sekarang ia makin memuakkan.
Maisie bisa bersimpati pada siapa pun yang kawin dan tinggal serumah dengan pria seperti Edward.
"Perlu Anda ketahui,"
Lanjut Emily dengan terisak tangisnya.
"Kedua orangtuanya ingin dia menikah, tapi dia selalu menolak, jadi mereka menawarkan uang dan kemitraan dalam bank keluarga. Akhirnya dia mau menikah. Aku sendiri juga mau karena kelihatannya dia pria yang sopan dan aku sudah ingin punya anak. Tapi dia tidak pernah menyukaiku, dan sejak memperoleh uang serta kemitraan, dia makin benci padaku."
Maisie menghela napas.
"Memang kejam, tapi kau tidak sendirian. Banyak wanita yang senasib denganmu.v SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Emily menghapus air matanya dengan sapu tangan sambil berusaha menghentikan tangisnya.
"Aku tahu, dan aku tidak mau Anda berpikir bahwa aku sekarang menyesal telah menikah dengannya. Aku hanya ingin memperbaiki keadaan. Aku bisa melupakan semuanya jika saja aku punya anak. Hanya itu yang kudambakan saat ini."
Anak-anak memang bisa dijadikan penghiburan bagi para istri yang tidak bahagia dalam perkawainan, pikir Maisie. Ia menanyakan.
"Apakah ada alasan kenapa kalian tidak punya anak sampai sekarang?"
Emily tampak gelisah, sebentar-sebentar memindahkan posisi duduknya. Wajahnya yang kekanak-kanakan memerah karena malu, tapi tampaknya ia sudah membulatkan tekad.
"Aku sudah hampir dua tahun menikah dan sampai sekarang belum ada hasilnya."
"Masih terlalu dini untuk..." -"Tidak, aku tidak berharap akan langsung mengandung saat ini."
Maisie tahu wanita muda kadang sulit berterus terang, maka ia mencoba menuntun Emily dengan pertanyaan.
"Apakah dia pernah menyentuhmu?"
"Dulu ya, setelah itu tidak pernah lagi."
"Ketika itu, ada yang salah dengan kalian?"
"Masalahnya... aku sendiri tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan sebagai suami-istri."
Maisie mendesah lagi.
Bagaimana seorang ibu bisa membiarkan putrinya masuk ke pelaminan tanpa mengajarkan lebih dahulu apa arti malam pertama dalam perkawinan? Maka ia pun menjelaskan pada Emily, apa yang seharusnya terjadi antara suami-istri.
Wajah Emily bersemu merah mendengarnya.
"Akukah yang salah kalau dia tidak bisa melakukannya denganku, Mrs. Greenbourne?"
"Bukan, ini bukan salahmu, tapi pria memang cenderung menyalahkan wanita. Yang dialami suamimu adalah masalah umum kaum pria. Disebut impotensi."
"Apa penyebabnya?"
"Banyak sekali."
"Apakah ini berarti aku tidak akan bisa punya anak?"
"Ya, sampai suamimu bisa berfungsi dengan semestinya."
Emily hampir menangis lagi.
"Aku begitu menginginkan anak. Aku kesepian dan tidak bahagia. Seandainya aku punya anak, aku bisa melupakan semua ini."
Maisie jadi berpikir, apakah masalah utama yang membuat Edward impoten.
Edward yang dulu dikenalnya sama sekali tidak impoten.
Apa yang bisa ia lakukan untuk menolong Emily? Ia bisa menyelidiki apakah Edward memang sekarang jadi impoten atau hanya jika dengan istrinya.
Ya, ada satu orang yang bisa membantunya AprilTilsley, sobat lamanya.
Terakhir ia dengar dari Tilsley, Edward masih sering datang ke rumah bordil Nellie.
Tapi itu sudah beberapa tahun yang silam.
Sulit bagi seorang nyonya-terhormat untuk bergaul erat dengan pemilik rumah bordil terkenal.
"Kita bisa minta tolong pada seseorang yang kenal baik dengan Edward,"
Katanya hati-hati. Mungkin dia bisa menolongmu."
Emily jagi gugup.
"Maksud Anda, Edward punya pacar gelap? Tolong katakan padaku. Aku harus menghadapi kenyataan ini."
Dia gadis yang keras hati, pikir Maisie. Dia mungkin saja masih polos dalam hal laki-laki, tapi ia punya kemauan keras jika menghendaki sesuatu.
"Wanita ini bukan pacar Edward. Tapi, jika dia memang punya, temanku ini pasti tahu."
Emlly mengangguk.
"Ya, aku ingin sekali bertemu teman Anda itu."
"Tapi aku ragu apakah orang seperti kau perlu pergi ke..."
"Aku prlu pergi. Edward adalah suamiku, dan kalau ada yang jelek tentang dirinya, aku perlu tahu."
Wajah -nya kembali mengeras. Sambungnya.
"Aku bersedia melakukan apa saja. Percayalah. Apa saja, sebab jika tidak, hidupku akan kering."
Maisie mencoba sekali lagi.
"Nama sobatku April. Dia punya rumah bordil di dekat Leicester Square. Jaraknya sekitar dua menit dari sini. Kau mau ke sana sekarang juga?"
"Apa itu rumah bordil?"
Tanya Emily.
Kereta kuda mereka diparkir agak jauh dari depan Nellie's.
Tengok kanan-tengok kiri dan setelah merasa tidak ada yang kenal, mereka berdua turun.
Maisie tidak mau mengambil risiko ada yang tahu ia masuk ke rumah bordil paling terkenal di London.
Untunglah, saat-saat begini orang-orang kelas atas sedang mempersiapkan diri untuk keluar makan dan pesta malam hari.
Di jalan hanya ada beberapa orang kelas bawah.
Setelah membayar sewa kereta, mereka segera masuk.
Pintu depan tidak dikunci.
Sekarang mereka sudah berada di dalam.
Sore hari jelas bukan harinya rumah bordil macam Nellie.
Di bawah sinar lampu malam, interior ruang dalamnya bisa tampak gemerlapan, tapi di bawah mentari sore, ruangan itu kelihatan kusam dan lusuh.
Gorden dan karpetnya tampak lusuh, di permukaan meja tampak bekas-bekas api rokok dan gelas.
Lukisan erotiknya juga tampak vulgar.
Seorang wanita tua dengan pipa rokok di mulut sedang menyapu lantai.
Ia sama sekali tidak terkesan melihat kedatangan dua nyonya terhormat yang berbusana kelas atas.
Ketika ditanya di mana bisa bertemu April, ia hanya menunjuk sekejap ke lantai dua.
Mereka menemukan April di dapur lantai dua, sedang menikmati teh bersama beberapa anak buahnya.
Semuanya bergaun tidur atau pakaian dalam saja; jalas mereka belum berdandan untuk menyambut para langganan.
April tidak mengenal Maisie lagi.
Mereka berdua saling bertatap mata.
Cukup lama.
Di mata Maisie, sobat lamanya tidak banyak berubah.
masih kurus, wajahnya makin keras dengan pandangan tajam; parasnya tampak capek, mungkin karena terlalu sering bergadang tiap malam dan terlalu banyak minum sampanye murahan; tapi pembawaannya penuh percaya diri sebagai seorang pelaku bisnis hiburan yang berhasil.
"Apa yang bisa saya bantu?"
Tanyanya tegas.
"Kau tidak kenal aku lagi, April?"
Tanya Maisie; dengan seketika April melompat dan memeluk wanita di depannya. Ketika mereka selesai berpelukan dan bercium pipi, April berkata pada para anak asuhnya.
"Lihat, inilah wanita yang memperoleh apa yang kita impikan sejak lama. Dulu namanya Miriam Rabinowicz, lalu menjadi Maisie Robinson, dan sekarang dikenal sebagai Mrs. Solomon Greenbourne!"
Para wanita langsung bersorak-sorai, seakan sedang menghadapi seorang pahlawan. Maisie menjadi jengah; ia tak pernah mengira April akan terang-terangan menceritakan masa lalunya, apalagi di depan Emily Pilaster! Tapi semuanya sudah terlambat.
"Mari kita rayakan peristiwa ini dengan minum gin dulu,"
Ajak April.
Mereka duduk bersama dan salah satu anak asuh April membawa sebotol minuman serta beberapa gelas.
Sebenarnya Maisie tidak pernah suka minum gin, apalagi sekarang ia terbiasa minum sampanye terbaik.
Tapi demi persahabatan lama, ia memaksakan diri menelannya.
Dilihatnya Emily juga menelan dengan terpaksa.
Belum juga habis, gelas mereka segera diisi kembali.
"Nah, apa yang membuatmu datang ke sini? tanya April.
"Masalah perkawinan,"
Jawab Maisie.
"Temanku ini punya masalah. Suaminya impoten."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Bawa saja dia ke sini, Sayang,"
Gurau April.
"Kami akan melatihnya jadi normal kembali."
"Kurasa dia sudah biasa ke sini,"
Kata Maisie.
"Siapa namanya?"
"Edward Pilaster."
April kaget.
"Oh, Tuhan."
Dengan serius ia memandangi Emily.
"Jadi, kamu Emily. Gadis malang/' "Kau tahu namaku,"
Kata Emily. Ia tampak canggung.
"Berarti dia pernah membicarakan diriku denganmu."
Direguknya lagi isi gelas gin di tangannya. Salah satu anak buah April berkomentar.
"Edward tidak impoten."
Pipi Emily memerah.
"Maafkan aku,"
Kata wanita itu.
"Soalnya Edward selalu memesanku."
Ia bertubuh tinggi dengan rambut gelap dan dada besar.
Dalam pandangan Maisie, penampilannya tidak begitu meyakinkan, apalagi dengan rokoknya yang terus-menerus menempel di bibir serta gaun tidurnya yang lusuh; tapi mungkin kalau sudah berdandan ia jadi tampak menarik.
Emily bicara lagi setelah bisa mengatasi rasa terpananya.
"Aneh,"
Komentarnya.
"Edward adalah suamiku, tapi kau lebih mengenalnya daripada aku. Bahkan aku tidak tahu siapa namamu."
"Lily."
Ruangan itu tiba-tiba diselimuti kesenyapan.
Hanya suara Maisie yang mencerucup gin di gelas; aneh, sekarang terasa lebih enak.
Ia merasa situasi saat ini sangat aneh.
dapur, para wanita penghibur, gin, dan Emily yang sejam lalu masih belum tahu soal hubungan seks, tapi sekarang sedang membahas impotensi suaminya dengan pelacur favoritnya.
"Baiklah."
Kata April tiba-tiba.
"Sekarang kau sudah mendapatkan jawabannya. Kenapa Edward jadi impoten denganmu, istrinya sendiri? Kurasa karena sobat karibnya si Micky tidak ada di dekatnya. Edward tidak pernah bisa main dengan wanita jika dia sendirian di kamar."
"Micky?"
Tanya Emily polos.
"Micky Miranda? Duta Besar Kordoba?"
April mengangguk.
"Mereka selalu bersama-sama, terutama di sini. Pernah juga Edward datang sendiri ke sini, tapi percuma saja. Dia tak bisa berfungsi sama sekali."
Emily tampak bingung. Maisie menolong dengan bertanya secara langsung.
"Kalau mereka berdua, apa yang mereka lakukan?"
Lily yang menjawab.
"Permintaan mereka tidak begitu rumit. Mereka mencoba beberapa variasi. Saat ini yang mereka suka adalah tidur berdua dengan satu wanita. Biasanya aku atau Muriel."
Maisie berkata lagi.
"Tapi apakah Edward bisa berfungsi?"
Lily mengangguk.
"Tidak diragukan."
"Menurutmu dia hanya bisa beraksi kalau bertiga seperti itu?"
Lily mengernyitkan dahinya.
"Kurasa tidak peduli siapa gadisnya, atau dalam situasi apa pun, selama ada Micky, dia tidak impoten. Jika sendirian, dia tak bisa apa-apa."
"Seakan kepada Mickylah sebenarnya Edward bernafsu?"
Kejar Maisie. Dengan pelan Emily menyela.
"Aku serasa sedang bermimpi... mimpi buruk."
Direguknya gelas gin-nya.
"Apakah semua ini benar-benar terjadi? Apakah akan terus-menerus begini?"
April menjawab.
"Perlu kau ketahui, mereka berdua cukup sopan dibanding para pelanggan lain yang buas."
Bahkan Maisie sendiri ikut terpana.
Di benaknya melayang kejadian beberapa tahun silam, ketika pada suatu malam ia sedang bercinta untuk pertama kalinya dengan Hugh.
Edward tiba-tiba masuk, meradang penuh nafsu.
Sekarang ia tahu apa yang bisa membuat Edward bernafsu.
jika melihat pria lain bercinta dengan seorang wanita, lalu ia ikut ambil bagian.
Singkatnya, ia hanya bernafsu pada wanita bekas pakai.
"Ya, dia hanya bernafsu pada wanita bekas pakai!"
Beberapa wanita tertawa geli.
"Ya, bekas pakai. Tepat sekali!"
Sambut April dengan geli. Emily tampak masih bingung.
"Aku tidak mengerti."
April menjelaskan.
"Ada pria yang hanya bergairah pada wanita yang baru saja bersama pria lain."
Suara gelegar tawa para anak buah April memenuhi ruangan. Emily ikut geli, dan segera suara tawa para wanita menggelegar memenuhi ruangan itu. Akhirnya mereka semua kelelahan tertawa. Setelah suasana kembali tenang, Maisie berkata.
"Tapi sekarang bagaimana kita menolong Emily? Dia ingin sekali punya anak dari Edward. Sudah tentu dia tidak akan mengundang Micky ikut tidur bersama dia dan suaminya."
Wajah Emily kembali suram. April menatap Emily, lalu bertaya.
"Sampai sejauh mana kau menghendaki anak dari suamimu, Emily?"
"Akan kulakukan apa saja,"
Jawab Emily dengan suara tegar.
"Benar, apa saja... apa saja!"
"Jika memang begitu, bisa kubantu. Ada sesuatu yang bisa kita kerjakan." [IV] JOSEPH PILASTER baru saja menghabiskan sepiring besar jeroan domba campur telur, lalu mulai memoles sepotong roti dengan mentega. Augusta sering berpikir, apakah sifat pemarah pria setengah baya ada hubungannya dengan banyaknya daging yang mereka makan. Memikirkan jeroan saja sudah membuat isi perutnya hampir tumpah.
"Sidney Madler datang ke London,"
Kata Joseph tiba-tiba.
"Aku ada janji bertemu dia pagi ini."
Untuk sesaat Augusta tidak menangkap makna ucapan suaminya.
"Madler?"
Tanyanya.
"Madler. Dari New York. Dia marah karena Hugh tidak menjadi mitra di Pilasters Bank."
"Apa urusannya?"
Tanya Augusta jengkel.
"Tidak sopan!"
Komentarnya tak acuh, kendati dalam hatinya mulai bergejolak rasa khawatir.
"Aku tahu apa yang akan dia katakan,"
Kata Joseph.
"Ketika kita melakukan kerja sama dengan Madler and Bell, sudah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa operasi di London akan dikelola oleh Hugh. Dan sekarang, kau tahu kan, Hugh sudah minta berhenti."
"Ya, tapi bukan kau yang meminta dia berhenti."
"Benar, tapi aku bisa saja menahannya jika kutawarkan kemitraan dalam bank."
Bahaya! Joseph kedengarannya mulai melemah, pikir Augusta cemas. Menakutkan. Ia harus mulai memompa semangat suaminya kembali.
"Aku percaya kau tidak akan mengizinkan pihak luar ikut menentukan siapa yang bisa dan tidak bisa menjadi mitra di Pilasters Bank."
"Sudah tentu aku tidak akan membiarkan seorang pun mendikteku."
Sebuah pertanyaan melintas di benak Augusta.
"Apakah Mr. Madler bisa menghentikan kerja sama bank?"
"Btsa saja. Tapi sejauh ini dia belum mengatakan apa-apa."
"Apakah akan merugikan bank?"
"Ya. Nilainya besar. Tapi jika Hugh pergi ke bank Greenbournes, dia pasti akan membawa serta nasabah dan jaringan bisnisnya... itu yang akan sangat merugikan Pilasters Bank."
"Jadi, apa yang dipikirkan Madler tidak banyak membuat perbedaan."
"Mungkin tidak. Tapi aku harus menemui dia dulu. Dia sudah jauh-jauh datang dari New York untuk meributkan soal kepergian Hugh."
"Katakan padanya Hugh membandel dengan menikahi wanita murahan yang bisa merugikan citra bank kita."
"Ya, akan kukatakan begitu,"
Sambut Joseph sambil berdiri.
"Sampai nanti malam, Sayang."
Augusta ikut berdiri dan mencium bibir suaminya.
"Jangan sampai kena pengaruh orang luar, Joseph,"
Katanya. Joseph menegakkan kedua bahunya dan dengan mantap menyahut.
"Tentu."
Ketika suaminya sudah pergi, Augusta duduk kembali sambil menikmati kopinya.
Ia mencoba mereka-reka, seberapa serius kerugian yang akan diakibatkan oleh kepergian Hugh.
Ia telah mencoba mempengaruhi Joseph agar tidak cemas atau mengalah pada orang luar, tapi tentu ia tak bisa selalu ikut campur.
Ia harus terus memantau situasi ini.
Ia tak menyangka bahwa kepergian Hugh dari bank akan membawa banyak kerugian.
Tidak terpikir olehnya bahwa dengan menempatkan Edward sebagai mitra dan menjatuhkan Hugh, mereka akan kehilangan uang banyak.
Apakah ia telah membahayakan bank yang merupakan pilar dari seluruh impian dan cita-citanya? Tapi tak mungkin.
Pilasters Bank begitu besar dan kaya.
Apa pun yang ia perbuat tidak akan membuat bank itu bangkrut.
Ketika ia masih menyelesaikan sarapannya, Hastead datang memberitahukan bahwa Mr.
Fortescue ingih bertemu.
Dengan cepat Augusta membuang bayangan Sidney Madler dari benaknya.
Bertemu dengan tamu yang ini jauh lebih penting bagi rencananya.
Jantungnya berdebar keras.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Michael Fortescue adalah politisi yang ia biayai dan sekarang sudah menjadi salah satu pionnya.
Dengan bantuan keuangan dari Joseph, Fortescue memenangkan kursi Deaconridge, lalu menjadi anggota Parlemen.
Augusta sejak awal telah mengatakan padanya, bahwa ia membayar bantuan keuangan dari keluarga Pilaster dengan mengatur agar Joseph mendapat gelar bangsawan.
Bantuan yang ia keluarkan mencapai lima ribu pound cukup untuk membeli rumah mewah di London tapi itu tidak seberapa dibandingkan hasil yang akan ia peroleh.
Saat untuk bertamu biasanya sore hari, jadi tamu-tamu yang datang pagi hari biasanya punya urusan penting.
Kedatangan Michael Fortescue sepagi ini pasti untuk memberi kabar tentang gelar itu.
Jantungnya berdebar makin keras memikirkan kemungkinan ini.
"Suruh dia tunggu di ruang tamu dalam,"
Perintahnya pada kepala pelayannya.
"Aku akan segera menemuinya."
Ia mencoba menenangkan dirinya dulu.
Sejauh ini kampanyenya sudah berjalan sesuai rencana.
Arnold Hobbes telah menulis beberapa artikel di The Forum dengan topik.
Sudah saatnya memberi gelar bangsawan sebagai penghargaan pada wakil dari dunia bisnis.
Lady Morte juga telah membicarakan soal ini dengan Ratu, dan secara tak langsung telah menceritakan kehebatan Joseph.
Menurut pengamatannya, Ratu cukup terkesan.
Selain itu, Fortescue sendiri telah bicara dengan Perdana Menteri Disraeli soal ini.
Sekarang ia tinggal menunggu memetik buahnya.
Menunggu hasil rencananya membuat Augusta tegang, dan rasanya hampir tak tertahankan lagi.
Dengan berdebar-debar ia bergegas naik tangga, kepalanya berdengung dengan ucapan-ucapan yang telah lama ia dan Lady Whitehaven...
Earl dan Countess of Whitehaven...
tentu, my Lady...
seperti yang diinginkan oleh my Lady"
Ruang tamu dalam terletak di dekat lobi luar rumah, dan bisa dicapai dengan naik tangga sebentar.
Ada sebuah jendela yang menghadap ke jalan.
Selain itu, ada satu keistimewaan ruang tamu itu.
Satu jendelanya menghadap ke aula utama.
Orang-orang di aula tidak akan tahu jika sedang diawasi, dan selama bertahun-tahun Augusta telah melihat banyak pemandangan unik dari jendela ini.
Ruang tamu dalam ini kecil dan nyaman, dengan langit-langit rendah dan perapian.
Pada pagi hari, Augusta biasa menerima tamu di ruang ini.
Michael Fortescue berwajah tampan, tinggi, dan tangannya besar.
Ia tampak gelisah, duduk menunggu.
Augusta masuk dan langsung duduk di sebelahnya, memberinya salam hangat serta senyum menawan.
n Ia langsung melaporkan.
"Aku baru saja bertemu Perdana Menteri."
Augusta hampir tak bisa berbicara.
"Lalu, kau membicarakan soal gelar kebangsawanan itu?"
"Ya, kami membicarakan soal ini. Aku berhasil meyakinkan betapa pentingnya mengangkat wakil dari dunia bisnis di House of Lords, dan dia setuju, bahkan sudah merencanakan akan menunjuk siapa yang pantas mendapatkan gelar kebangsawanan ini."
"Bagus sekali!"
Kata Augusta lega. Tapi mengapa Fortescue masih kelihatan tegang serta gelisah tak menentu? "Lalu kenapa kau lesu begini?"
"Masalahnya, ada berita buruk yang menyangkut keputusan ini,"
Jawab Fortesque takut-takut.
"Apa?"
"Beliau ingin memberikan gelar itu kepada Ben Greenbourne."
"Apa? Tidak!"
Jerit Augusta panik. Perutnya serasa tertusuk.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
Fortescue menjadi defensif.
"Kukira beliau bisa memberikan gelar itu pada siapa saja yang dia inginkan. Dia perdana menteri."
"Ya, tapi aku tidak melakukan semua ini untuk keuntungan Ben Greenbourne!"
"Ya, aku setuju, memang ironis sekali,"
Jawab Michael Fortescue.
"Aku telah berusaha."
"Jangan cepat menyerah begitu, apalagi kalau kau mengharapkan sokonganku untuk pemilihan kelak."
Mata Fortescue memancarkan kejengkelan dan pemberontakan, dan sesaat Augusta mengira ia telah kehilangan simpati pria itu. Ia menduga Fortescue akan mencampakkannya sekarang. Tapi ternyata pria itu berkata.
"Maaf, aku juga menyesal dengan kehendak Perdana Menteri ini."
"Tenang, biar kupikirkan jalan keluarnya,"
Sela Augusta cemas. Ia berdiri dan mondar-mandir di ruang kecil itu.
"Kita harus menemukan cara untuk mengubah pikiran Perdana Menteri... misalnya dengan menciptakan suatu skandal pada diri Ben Greenbourne. Kira-kira apa kelemahannya? Putranya menikah dengan perempuan murahan, tapi itu tidak cukup."
Tiba-tiba ia teringat, gelar kebangsawanan Ben kelak akan diwariskan kepada putranya, dan otomatis istrinya juga berhak menyandangnya.
Bulu romanya bergidik memikirkan Maisie akan menyandang gelar bangsawan, dan semua itu berkat upaya dan uangnya.
Memikirkannya saja sudah menyakitkan.
"Apa kira-kira aliran politik keluarga Greenbourne?"
"Tidak ada yang tahu pasti."
Ia menatap politisi muda di depannya. Pria itu tampak kesal. Ia s^dar bahwa ia harus segera mengubah sikapnya. Ia segera duduk di dekat Fortescue, meraih tangannya yang besar, dan mendekapnya dengan kedua tangannya sambil berkata.
"Aku tahu naluri politikmu tajam sekali. Sejak awal, itulah yang membuatku kagum. Cobalah mengira-ngira, apa paham politik keluarga itu."
Fortescue segera luluh, persis seperti pria-pria lain jika sudah dirayu oleh Augusta.
"Jika didesak, mungkin mereka mengaku beraliran Liberal. Kebanyakan orang bisnis berpaham Liberal, begitu juga kebanyakan orang Yahudi. Tapi karena Ben tidak pernah mengeluarkan pendapat politiknya, sukar menjadikan dia musuh kaum Konservatif yang berkuasa sekarang."
"Dia orang Yahudi,"
Kata Augusta.
"Ya, inilah kunci kita."
Fortescue agak bingung.
"Perdana Menteri sendiri orang Yahudi, tapi dia bisa memperoleh gelar bangsawan Lord Beaconsfield.""Ya, aku tahu, tapi dia sekarang sudah menjadi orang Kristen. Selain itu..."
Fortescue mengangkat alis matanya.
"Naluriku yang membisikkan hal ini. Keyahudian Ben yang akan menjadi kunci."
I "Kalau ada yang bisa kulakukan..."
"Kau telah banyak membantuku. Untuk kali ini belum, tapi nanti kalau Perdana Menteri mulai meragukan Ben Greenbourne, ingatkan padanya bahwa ada Joseph Pilaster yang bisa menjadi alternatif yang aman."
"Akan kulakukan, Mrs. Pilaster."
Lady Morte tinggal di sebuah rumah besar di Curzon Street yang harganya sebenarnya di luar jangkauan suaminya.
Pintu depan dibukakan oleh seorang penjaga pintu berseragam ketika Augusta datang.
Ia diantar ke sebuah ruang tamu yang dipenuhi pernak-pernik mahal dari toko di Bond Street.
tempat lilin dari emas, pigura dari perak, ornamen porselen, vas bunga dari kristal, dan sebuah tempat pena antik bertatahkan berlian yang mungkin seharga kuda pacu yang masih muda.
Augusta merasa Harriet Morte tidak pantas membelanjakan uangnya yang senantiasa kurang untuk membeli benda-benda mahal seperti ini.
Tapi justru sifat pemboros itulah yang dengan mudah bisa ia manfaatkan.
Sambil menunggu nyonya rumah, ia mondar-mandir di sekeliling ruangan.
Rasa panik makin merambati dirinya bila ia memikirkan prospek Ben Greenbourne yang akan memperoleh gelar bangsawan.
Ia takkan sang-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY gup melakukan kampanye semacam ini untuk kedua kalinya.
Dan yang lebih mengerikan adalah memikirkan ia harus menghadapi kemungkinan Maisie si jahanam itu menyandang gelar bangsawan.
Lady Morte masuk, lalu berkata basa-basi.
"Oh, senang sekali Anda datang sepagi ini!"
Nadanya terdengar menyindir, karena Augusta bertamu sebelum tengah hari.
Dari busananya tampak ia belum sempat berdandan rapi.
Rambutnya yang berwarna perak juga kelihatan belum rapi disisir.
Tapi kau terpaksa menerima kedatanganku, bukan? pikir Augusta.
Kau tidak punya pilihan, karena aku bisa setiap saat menagih utangmu di bank.
"Aku datang ingin berkonsultasi pada Anda,"
Sapanya dengan nada selembut mungkin.
"Sesuatu yang sangat mendesak."
"Ya, apa yang bisa kubantu?"
"Perdana Menteri telah setuju menganugerahkan gelar bangsawan pada seorang bankir."
"Hebat sekali. Aku sudah mengatakan hal ini pada Yang Mulia^Ratu. Rupanya ada pengaruhnya juga."
"Sayangnya gelar itu akan diberikan pada Greenbourne."
"Oh, sayangku. Betapa tidak beruntungnya kalian."
Augusta bisa merasakan Harriet Morte sebenarnya senang mendengar kemalangan yang akan menimpa dirinya. Ia benci pada Augusta.
"Bukan hanya tidak beruntung,"
Sanggah Augusta.
"Aku telah mengeluarkan tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit untuk gelar ini, dan sekarang yang akan memetik hasilnya adalah saingan terbesar suamiku, Ben Greenbourne."
"Ya, aku mengerti."
"Kuharap kita bisa mencegah hal ini terjadi."
"Aku tidak yakin apakah kita bisa melakukannya."
Augusta pura-pura berpikir keras.
"Gelar kebangsawanan harus disetujui Sri Ratu, benar kan?"
"Ya, pasti. Secara teknis, beliaulah yang menganugerahkan gelar ini."
"Jadi, dia bisa saja melakukan sesuatu, jika Anda memintanya."
Lady Morte tergelak.
"Mrs. Pilaster, Anda terlalu membesar-besarkan kemampuanku.
"Augusta pura-pura tidak mendengar sindiran si nyonya rumah. Lanjut Lady Morte.
"Sri Ratu tidak akan memperhatikan masukan dariku jika itu menyangkut usulan Perdana Menteri. Selain itu, apa yang akan menjadi dasar keberatanku?"
"Greenbourne adalah orang Yahudi."
Lady Morte mengangguk.
"Kasus seperti itu memang pernah menjadi pertimbangan beliau. Aku ingat ketika Gladstone mengusulkan Lionel Rothschild diberi gelar bangsawan. Ratu menolaknya mentah-mentah. Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu kita punya Disraeli."
"Ya, tapi Disraeli beragama Kristen, sedangkan Greenbourne tetap menganut agama Yahudi-nya."
"Apa itu ada bedanya?"
Gumam Lady Morte.
"Tapi bisa juga. Sri Ratu masih sering mengritik putra mahkota Pangeran Wales karena terlalu banyak bergaul dengan orang Yahudi."
"Jadi, kalau Anda bersedia menyampaikan fakta pada beliau bahwa Perdana Menteri akan mengusulkan seorang Yahudi menjadi bangsawan..."
Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti Dendam Anak Pengemis Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak