Kekayaan Yang Menyesatkan 8
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 8
"Bisa saja aku menyinggung hal ini secara tak langsung. Kupastikan beliau akan mendengarkan hal ini."
Augusta masih belum puas. Berpikir keras. Lalu ber^ tanya.
"Apa yang bisa kulakukan untuk membuat Sri Ratu makin memperhatikan bisikan Anda?"
"Jika bisa diatur, protes masyarakat, debat di parlemen, barangkali, rangkaian artikel di surat kabar."
"Ya, pers,"
Tanggap Augusta cepat. Di benaknya segera terbayang Arnold Hobbes.
"Ya, tepat. Kurasa aku bisa mengaturnya." *** Arthur Hobbes jadi serba salah ketika menerima kedatangan Augusta secara mendadak di kantornya yang sesak dan berantakan. Ia bingung harus melakukan apa dulu, merapikan kamar kerjanya, atau menyambutnya dengan segera, atau mengajak Augusta keluar dari kantornya. Akhirnya ia melakukan semuanya seketika, dengan amat gugup. Memindahkan berkas-berkas dan arsip-arsip yang berantakan dari lantai ke meja, mengambilkan segelas sherry dan sepiring biskuit, dan dengan seketika juga mengajak Augusta keluar dari kantornya. Augusta membiarkan ia gugup selama beberapa menit, lalu berkata dengan tegas.
"Tenang, Mr. Hobbes... duduk dulu dan dengarkan aku."
"Tentu... tentu,"
Jawab Hobbes jengah.
Ia mengambil kursi dan duduk menghadap tamunya dengan patuh.
Kacamata bacanya yang bundar dan tipis bertengger di pangkal hidungnya.
Augusta menceritakan inti masalahnya dengan penekanan pada nama Ben Greenbourne yang akan mendapat gelar kebangsawanan.
"Sangat^disayangkan, sangat disayangkan,"
Gumam Hobbes berulang kali. Suaranya masih gugup.
"Tapi kupikir The Forum tidak bisa disalahkan. Seperti permintaan Anda, kami telah melakukan kampanye menggebu-gebu tentang pemberian gelar bangsawan bagi kaum usahawan."
Dan sebagai balas jasa, kau memperoleh jabatan dalam dua perusahaan yang dikendalikan suamiku, pikir Augusta mengkal.
"Aku tahu ini bukan salahmu. Masalahnya sekarang, apa yang bisa kaulakukan."
"Jurnal saya dalam posisi sulit,"
Sambut Hobbes cemas.
"Kami telah mengkampanyekan dengan aktif soal gelar bangsawan bagi wakil dari bank. Kalau sekarang kami berbalik menentangnya, bagaimana nanti opini publik?"
"Ya, tapi kalian tidak menginginkan gelar itu diberikan pada orang Yahudi."
"Benar, benar, kendati .kebanyakan bankir adalah orang Yahudi."
"Apakah kalian tidak bisa menulis bahwa cukup banyak bankir Kristen yang layak diberi gelar itu?"
"Bisa saja."
Nada suaranya agak ragu.
"Kalau begitu, apa yang kalian tunggu?"
"Maafkan saya, Mrs. Pilaster, itu saja tidak cukup."
"Aku tidak mengerti,"'.kata Augusta tak sabar.
"Pertimbangan profesional. Saya membutuhkan berita sensasional yang bisa memikat sidang pembaca. Misalnya, kita bisa menuduh Perdana Menteri yang sekarang juga dikenal sebagai Lord Beaconsfield terlalu memihak pada rasnya sendiri. Itulah yang saya sebut berita sensasional. Sayangnya, beliau orang yang sangat tegas, sehingga berita seperti ini tidak akan dipercaya publik."
Augusta benci dengan masalah yang berputar-putar, tapi ia menyadari masalahnya memang sangat kompleks. Tiba-tiba ia ingat sesuatu.
"Waktu Disraeli disumpah di House of Lords, apakah seremoninya formal?"
"Ya, sama dengan yang lainnya."
"Juga mengambil sumpah di atas kitab suci agama Kristen?"
"Ya, pasti."
"Perjanjian Lama dan Baru?"
"Saya mulai bisa menangkap arah pikiran Anda, Mrs. Pilaster. Apakah Ben Greenbourne mau bersumpah di atas kitab suci agama Kristen? Dari wataknya, kemungkinan dia tidak mau."
Augusta menggelengkan kepala dengan ragu.
"Dia mungkin mau saja, jika tidak ada yang meributkan sejak awal. Dia bukan orang yang suka ribut-ribut, tapi dia keras hati, tidak senang jika ditantang atau didorong-dorong orang lain untuk melakukan sesuatu. Jika diperlakukan begitu, dia akan memberontak. Pada dasarnya, dia tidak senang diperintah orang lain tentang bagaimana bersikap "
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, didesak oleh publik,"
Gumam Hobbes cerah.
"Ya, didesak publik."
"Bisakah kau melakukannya melalui jurnalmu?"
Arthur Hobbes jadi bergairah.
"Bisa saya bayangkan sekarang, berita besar di halaman utama. PENGHINAAN DI HOUSE OF LORDS. Anda benar-benar berbakat menjadi wartawati Mrs. Pilaster!"
"Terima kasihatas pujianmu,"
Kata Augusta; nadanya sinis, tapi Hobbes tidak menyadarinya. Tiba-tiba Hobbes mundur lagi.
"Tapi Ben Greenbourne adalah orang yang sangat berpengaruh."
"Juga Joseph Pilaster!"
Sahut Augusta tak mau kalah.
"Ya, sudah tentu."
"Kalau begitu, aku bisa mengandalkan kalian?"
Hobbes menimbang-nimbang risikonya dan memutuskan untuk memihak keluarga Pilaster.
"Baiklah, serahkan pada saya."
Augusta mengangguk lega.
Ia mulai merasa segala sesuatunya akan kembali memihak dirinya.
Lady Morte akan membuat Sri Ratu tak senang pada Ben Greenbourne, Hobbes akan melemparkan isu rasialis di jurnalnya, dan Fortescue akan siap pada saatnya untuk membisikkan ke telinga Perdana Menteri bahwa ada seorang kandidat lain yang lebih cocok dan netral.
Joseph Pilaster.
Sekali lagi usahanya akan membuahkan hasil yang sangat menguntungkan.
Ia bangkit dari kursi dan bersiap pergi, tapi Hobbes berkata dengan agak ragu.
"Boleh saya mengemukakan topik lain?"
"Silakan."
"Seorang teman menawarkan satu set mesin cetak yang harganya sangat miring. Saat ini, Anda tahu, kami memakai percetakan dari luar. Jika kami memiliki mesin sendiri, biaya produksi akan lebih kecil, sehingga kami bisa mencetak sesuatu yang lain sebagai tambahan."
"Ya, aku mengerti,"
Jawab Augusta tak sabar.
"Bisakah Pilasters Bank memberi kredit komersial?"
Inilah rupanya harga dari bantuan Hobbes atas kampanyenya.
"Ya, berapa?"
"Seratus enam puluh pound."
Murah sekali. Jika saja ia sama giatnya meniup isu rasialis Yahudi, seperti waktu ia mengkampanyekan gelar bangsawan bagi seorang wakil dari dunia perbankan, berarti uang sejumlah itu benar-benar tidak terbuang percuma.
"Harga itu murah sekali,"
Kata Hobbes.
"Akan kubicarakan dengan suamiku."
Sudah tentu suaminya akan setuju, hanya saja ia tidak mau meninggalkan kesan pada Hobbes bahwa soal uang adalah soal yang mudah. Dengan demikian, Hobbes akan lebih menghargai nilai uang yang diberikan.
"Terima kasih. Selalu senang melakukan bisnis dengan Anda, Mrs. Pilaster."
"Ya, sudah tentu."
Jawab Augusta ketus sambil meninggalkan ruangan sumpek itu.
BAB EMPAT efltftf [i] KEDUTAAN Kordoba sepi.
Kantor-kantor di lantai bawah kosong, karena tiga pegawainya telah pulang beberapa jam yang lalu.
Di lantai satu, ruang makan utama, Michael dan Rachel baru saja selesai menjamu para tamu.
Sir Peter Mountjoy, pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri Inggris dan istrinya; juga Duta Besar Denmark; dan Chevalier Michele dari Kedutaan Itali.
Mereka semua sudah pulang, dan sekarang tinggal mereka berdua.
Micky bersiap hendak pergi mencari hiburan malam hari.
Kenyamanan berumah tangga secara tetap sudah mulai membosankan Micky.
Ia sudah berusaha mengejutkan atau membuat muak istrinya yang sangat tidak berpengalaman dalam masalah ranjang.
Apa saja yang diminta Micky, istrinya akan menyambutnya dengan antusias.
Rachel telah lama memutuskan untuk patuh pada suaminya jika sudah menyangkut soal ranjang.
Belum pernah Micky menemukan seorang wanita yang begitu logis dan penurut dalam soal seks.
Di ranjang memang ia patuh, tapi tidak dalam urusan lain.
Rachel percaya bahwa di luar urusan seks, wanita harus punya pendapat dan sikap mandiri; dan prinsipnya ini benar-benar ia praktekkan.
Akibatnya mereka selalu bertengkar, mulai dari masalah sepele sampai ke masalah persamaan hak wanita dengan pria.
Kadang-kadang di tengah pertengkaran misalnya soal uang atau pelayan rumah Micky akan membungkam istrinya dengan mengajaknya bercinta.
Di mana saja.
Istrinya akan menyambut dengan gairah dan segera melupakan pertengkaran mereka.
Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Kadang-kadang Rachel langsung kembali ke permasalahan yang mereka pertengkarkan setelah selesai bercinta.
Akhir-akhir ini Micky makin sering pergi ke rumah bordil Nellie bersama Edward.
Juga malam ini.
Mereka akan hadir di Pesta Topeng yang diadakan April.
April menjanjikan bahwa malam ini para wanita kalangan atas yang kesepian dan butuh rangsangan dalam kehidupan seksual mereka akan berbaur dengan para pelacur biasa.
Entah benar atau tidak, malam Pesta Topeng selalu menarik.
Selesai menyisir rambut dan mengisi kotak cerutunya, Micky turun ke lantai bawah.
Rachel sedang menunggu di depan pintu utama.
Micky heran.
Tidak biasanya istrinya bersikap seperti itu.
Wajah Rachel tampak tegang, ditambah dengan raut wajah mendung dan kedua tangannya dilipat.
Micky bersiap-siap masuk ke dalam pertengkaran.
"Sekarang sudah jam sebelas malam,"
Kata Rachel.
"Kau mau pergi ke mana selarut ini?"
"Bersekutu dengan setan,"
Jawab Micky jengkel.
"Menyingkirlah, jangan menghalangi jalan!"
Ia menyambar tongkat dan topinya.
"Kau mau ke tempat Nellie?"
Ia kaget dan heran, hingga terdiam sesaat.
"Benar kan, kau mau ke sana?"
"Siapa yang memberitahumu?"
Tanya Micky. Mulanya Rachel ragu, tapi kemudian menjawab.
"Emily Pilaster. Katanya kau dan Edward sering ke sana."
"Jangan suka mendengarkan gosip semacam itu!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Wajah Rachel jadi pucat. Micky tahu ia mulai ketakutan. Tidak seperti biasanya. Mungkin malam ini pertengkaran mereka akan berbeda.
"Kau harus berhenti pergi ke sana,"
Kata Rachel.
"Sudah kukatakan berulang kali padamu, jangan sekali-kali memberi perintah pada tuanmu!"
"Kali ini bukan perintah, tapi ultimatum!"
Sahut Rachel tegas.
"Jangan ngawur. Minggir!"
"Kau mesti berjanji tidak akan pergi ke rumah lacur itu lagi. Kalau tidak, aku akan meninggalkan rumah ini malam ini dan tidak akan kembali lagi."
Kali ini dia serius, pikir Micky. Mungkin karena itulah dia kelihatan takut. Bahkan dia sudah memakai sepatu untuk bepergian.
"Kau tidak akan pergi ke mana-mana,"
Kata Micky.
"Kau akan kukunci di kamar."
"Tidak bisa. Aku telah membuang semua kunci. Saat ini tidak ada satu kamar pun di rumah ini yang bisa dikunci."
Pintar sekali dia, pikir Micky kagum. Rupanya malam ini akan menjadi arena kontes yang menarik antara dia dan aku. Dengan menyeringai ia berkata.
"Lepaskan gaunmu."
"Kali ini tidak, Micky,"
Jawab istrinya mantap.
"Dulu kukira kau mencintaiku dengan caramu sendiri. Sekarang aku sadar bahwa semua itu cuma ilusi. Bagimu seks hanyalah alat untuk mengendalikan orang lain. Aku ragu kau bisa menikmatinya."
Micky mengulurkan tangan dan meremas dada istrinya. Hangat dan terasa agak berat, kendati tersembunyi di balik pakaiannya yang berlapis-lapis. Tapi wajah Rachel tampak beku dan tanpa emosi, la sadar malam ini istrinya tidak akan takluk.
"Ada apa denganmu sebenarnya?"
"Pria bisa ketularan penyakit kotor di tempat seperti itu."
"Para wanita di sana sangat bersih."
"Kumohon, Micky, jangan pura-pura bersikap tolol begitu."
Rachel benar. Memang tidak ada wanita lacur yang bersih. Selama ini Micky masih bernasib baik karena selama bertahun-tahun main dengan pelacur, ia hanya satu kali terkena campak ringan.
"Baik, kuakui aku bisa kena penyakit menular dari mereka."
"Dan aku akan ketularan juga."
Micky hanya angkat bahu.
"Itu sudah risiko menjadi istriku. Jika aku kena demam, kau juga bisa ketularan."
"Ya, tapi sipilis bisa menurun."
"Apa maksudmu?"
"Penyakit kelamin bisa menurun ke anak-anak kita. Dan itu yang akan kuhindari. Aku tidak mau punya anak yang membawa penyakit darimu."
Napas Rachel tersengal-sengal, tanda menahan emosi berat. Setelah tenang, ia berkata.
"Jadi, akan kutinggalkan rumah malam ini juga, kecuali kau berjanji tidak akan pergi ke tempat itu lagi."
Percuma saja diskusi dilanjutkan. Micky berkata sambil mengayunkan tongkat, siap-siap memukul istrinya.
"Akan kulihat apakah kau masih mau pergi dengan hidung patah."
Ia mengayunkan tongkat sekuat tenaga ke arah istrinya.
Tapi Rachel sudah siap sejak awal.
Ia menunduk dan lari ke arah pintu utama.
Micky kaget ternyata pintu itu tidak terkunci.
Rupanya ia sudah mempersiapkan sejak tadi, jika sampai terjadi kekerasan dari suaminya.
Dengan gesit Rachel sudah berada di luar.
Micky berusaha mengejarnya.
Terlambat, istrinya sudah dinantikan sebuah kereta.
Dengan cepat ia melompat ke dalamnya.
Micky terkejut melihat istrinya telah mempersiapkan segalanya dengan rapi.
Tapi ia masih belum menyerah.
Dengan berlari ia mengejar kereta istrinya, namun di depannya menghadang seorang pria besar dengan topi tinggi.
Ayah Rachel, Mr.
Bodwin, si pengacara.
."Rupanya kau tidak mau memperbaiki cara hidupmu,"
Kata ayah Rachel.
"Kau menghasut istriku?"
Gertak Micky. Ia sangat berang karena dikalahkan oleh istrinya.
"Dia meninggalkanmu atas kehendaknya sendiri."
Suara Bodwin sedikit bergetar, tapi ia tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun.
"Dia akan kembali padamu jika kau mau meninggalkan cara hidupmu yang kotor itu. Tapi sebelumnya kau harus diperiksa dokter dulu dan disembuhkan tuntas jika ternyata kau terkena penyakit menular."
Untuk sesaat Micky bernafsu ingin memukul ayah Rachel, tapi segera mengurungkan niatnya.
Kekerasan bukan cara ia memecahkan masalah.
Selain itu, pasti akan ada tuntutan dari Bodwin, dan skandal yang akan menyudutkan posisinya sebagai duta negaranya.
Rachel tidak berharga untuk diperjuangkan seperti itu.
Lebih baik didiamkan saja, putusnya mantap.
Untuk apa aku berkelahi hanya untuk memperoleh Rachel? "Ambil dia,"
Katanya tegas.
"aku sudah jenuh padanya."
Ia berbalik masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu utama.
Di dalam rumah, ia mendengar suara kereta kuda pergi menjauh.
Di lubuk hatinya ia menyesali kepergian istrinya.
Memang sejak awal ia menikahi Rachel demi formalitas saja; juga untuk mempengaruhi Edward agar segera menyusul dirinya.
Hari demi hari ia dan Rachel selalu .bertengkar.
Memang melelahkan, tapi sebenarnya ia senang bisa menemukan mitra bersilat lidah dan beradu argumentasi.
Tapi, di sisi lain, tanpa istri ia bisa hidup lebih bebas.
Setelah menenangkan diri, ia memakai kembali topi tingginya pergi keluar rumah.
Di luar cuaca sangat indah.
langit jernih dan bintang gemerlapan.
Orang -orang tidak perlu membakar batu bara untuk menghangatkan rumah.
Sambil menyusuri Regent Street, benaknya kembali ke masalah bisnis.
Sejak dipukuli sebulan yang lampau, Tonio tak pernah menyebut-nyebut tentang artikel mengenai tambang nitrat itu.
Tonio mungkin masih menyembuhkan luka-lukanya, sedangkan saksi-saksi hidup di Kordoba pasti sudah dibereskan oleh ayahnya.
Micky sudah mengirimkan identitas mereka.
Hugh jadi terpukul karena kekhawatirannya terbukti terlalu dibesar-besarkan.
Edward jadi pemenang.
Sementara itu, Edward berhasil membujuk Solly Greenbourne untuk ikut menjadi penjamin obligasi proyek jalan kereta api Santamaria.
Memang tidak mudah.
selama ini Solly selalu curiga dengan proyek-proyek di Amerika Selatan.
Edward berhasil meyakinkannya dengan memberi jaminan keuntungan besar yang akan dibayar oleh Pilasters Bank jika sampai gagal.
Juga Edward selalu menekankan persahabatan masa lalu mereka.
Tapi, menurut Micky, kebaikan hati Solly-lah yang membuat ia setuju ikut dalam proyek spekulatif ini.
Saat ini mereka sedang membahas kontrak.
Prosesnya lama sekali dan bertele-tele.
Yang membuat Micky gundah bukan lamanya proses, tapi Papa yang selalu marah-marah.
Ia ingin memperoleh dananya secepat mungkin.
Menurut ayahnya, perjanjian bisa dibuat hanya dalam beberapa jam.
Tapi, kalau mengingat berbagai kendala yang berhasil diatasinya, Micky bangga sekali.
Pertama-tama Edward yang menolak usulan proyeknya.
Ia berhasil mengatasinya dengan bantuan Augusta dengan imbalan ia harus menikah, lalu membujuk Edward juga ikut menikah.
Bahkan bisa dikatakan Edward bisa menjadi mitra dalam bank karena dirinya juga.
Lalu tentangan dari Hugh Pilaster, dan gangguan dari Tonio Silva.
Sekarang ia hampir memetik buah dari segala upaya kerasnya selama ini.
Jika jalan kereta api Santamaria selesai dibangun, semua orang di Kordoba akan mengingatnya sebagai jalan kereta api Micky Miranda.
Setengah juta pound bukan uang sedikit.
Melebihi jumlah anggaran militer setahun di Kordoba.
Keberhasilannya pasti akan membuat posisi kakaknya, Paulo, jadi tidak berarti di mata Papa.
Tak lama kemudian, ia tiba di rumah hiburan Nellie.
Pesta sudah dimulai sejak tadi.
meriah, dipenuhi minuman dan gelak tawa serta asap cerutu, sementara sekelompok kecil pemusik memainkan irama dansa dengan keras.
Semua wanita memakai topeng.
Ada yang sekadar menutupi mata dan pangkal hidung, ada juga yang menutupi hampir seluruh wajah, kecuali mata dan mulut.
Micky mendesak masuk ke tengah ruangan, mencium beberapa wanita yang dikenalinya.
Di ruang main kartu, ia melihat Edward yang segera berdiri begitu melihat sobatnya masuk.
Tanpa sungkan ia berbisik keras.
"April menyediakan barang baru."
"Berapa usianya?"
"Tujuh belas."
Artinya sekitar dua puluh tiga tahun, pikir Micky yang sudah hafal betul cara April memudakan usia anak buahnya. Tapi ia tertarik juga.
"Sudah kaulihat dia?"
"Ya. Dia memakai topeng tentunya."
"Ya, sudah tentu."
Micky jadi ingin tahu, apa kira-kira cerita gadis itu nanti.
Bisa saja ia seorang gadis pedalaman yang lari dari rumah dan tersesat di kota London; atau ia sengaja diculik dari daerah pertanian, lalu dijual di Nellie's; atau ia hanya seorang pelayan wanita yang membutuhkan tambahan uang atas upahnya yang hanya enam shilling seminggu dengan kerja keras enam belas jam sehari, tanpa libur.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Lengannya disentuh seorang wanita bergaun hitam legam.
Topeng di wajah wanita itu tidak bisa menyembunyikan siapa pemakainya.
April, yang segera berbisik.
"Benar-benar masih baru."
Tidak diragukan, pasti ia sudah tawar-menawar harga dengan Edward untuk malamistiwewa seperti ini.
"Apa kau sudah memeriksanya?"
Gurau Micky sinis. April menggelengkan kepala.
"Tidak perlu lagi. Aku tahu kapan seorang gadis berbohong dan kapan berterus terang. Pengalaman!"
"Jika ternyata dia bohong, kau tidak akan mendapat bayaran,"
Tegas Micky, padahal mereka berdua tahu bahwa Edward pasti akan membayar April.
"Oke, tidak masalah."
"Ceritakan tentang dia."
"Yatim piatu, dibesarkan oleh pamannya. Karena dia sudah besar, pamannya ingin cepat-cepat melepas tanggung jawab, lalu mengatur perkawinan dengan seorang laki-laki tua. Dia menolak dan akibatnya dia diusir dari rumah. Kuselamatkan dia dari hidup menggelandang."-"Kau memang malaikat,"
Ejek Micky sinis. Ia sama sekali tak percaya cerita April. Kendati Micky tak bisa membaca wajah April yang tersembunyi di balik topeng, Micky merasa April menyembunyikan sesuatu tentang gadis ini. Maka ia bertanya.
"April/ ceritakan pada kami yang sebenarnya."
"Sudah kuceritakan,"
Jawab April.
"Jika kalian tidak berminat, saat ini ada enam pria yang bersedia membayar sebanyak yang kalian sanggupi."
Edward jadi khawatir.
"Sudahlah, jangan berbantah lagi. Micky, mari kita lihat dia."
"Kamar tiga,"
Sambar April cepat.
"Dia sudah menunggu kalian."
Gadis itu sedang berdiri di sudut kamar, memakai gaun terusan sederhana, wajahnya tertutup topeng besar, hanya bagian mata dan mulut yang terbuka.
Micky masih curiga.
Wajahnya tidak tampak, jangan-jangan sangat jelek dan mungkin saja cacat.
Apakah ini semacam jebakan? Gadis itu tampak gemetar ketakutan.
Micky menatapnya tajam dan makin lama makin bergairah.
Dengan tak sabar ia memerintah.
"Berlutut di sisi ranjang, cepat!"
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan, dan Micky langsung menyambarnya.
Setelah selesai, ia menggeser ke samping untuk memberi kesempatan bagi Edward.
Jauh di lubuk hatinya ia menyesal karena malam ini ia tidak bersama Rachel.
Mendadak ia merasa kesepian karena ingat bahwa Rachel telah pergi meninggalkannya.
Edward membalikkan tubuh mangsanya.
Kasar dan begitu tiba-tiba, hingga topeng di wajah gadis itu setengah tersingkap.
"Ya Tuhan!"
Seru Edward tiba-tiba.
"Ada apa?"
Tanya Micky tak acuh.
Edward sedang berlutut menatap wajah gadis yang setengah tertutup topeng itu.
Micky menduga Edward mengenal mangsanya.
Ia ikut menatap wajah si gadis, terpana, sementara si gadis membetulkan letak topengnya.
Tapi Edward merenggut topeng itu.
Barulah Micky bisa mengenali siapa dia, wajah kekanak-kanakan dengan mata biru besar.
Emily, istri Edward sendiri! "Belum pernah kulihat sandiwara seperti ini!"
Ujar Micky geli, lalu tertawa. Edward menjadi berang.
"Kau perempuan kotor!"
Teriaknya.
"Kau melakukan ini untuk mempermalukan suamimu sendiri!"
"Tidak, Edward, tidak sama sekali!"
Seru Emily.
"Ini kulakukan untuk menolongmu menolong kita berdua!""Sekarang mereka malah jadi tahu!"
Teriaknya sambil melayangkan tinju ke wajah istrinya yang tak berdaya.
Emily berteriak kesakitan dan berupaya bangun.
Edward meninjunya lagi.
Micky masih tergelak-gelak.
Kejadian yang sangat menggelikan.
seorang pria pergi ke rumah bordil dan bercinta dengan istrinya sendiri! April masuk karena mendengar teriakan dan tawa di kamar.
Ia membentak sambil menarik tubuh Edward.
"Tinggalkan dia! Sekarang!"
Edward mendorong April.
"Minggir! Aku bebas memberi pelajaran pada istriku sendiri!"
"Dasar tolol! Dia hanya ingin punya anak darimu!"
"Biar kuberi tinjuku dulu!"
Mereka bergulat sejenak.
Edward menang, tinjunya melayang lagi ke wajah istrinya.
April tak mau kalah, tinjunya melayang ke telinga Edward.
Edward berteriak kesakitan.
Micky tertawa terpingkal-pingkal melihatnya.
Mendekati tawa histeris.
Akhirnya April berhasil memisahkan Emily dari suaminya.
Emily berhasil keluar dari ranjang, berdiri, dan herannya malah menghadapi suaminya sambil berkata.
"Kuharap kau jangan menyerah, Edward. Akan kulakukan apa pun untukmu... apa pun yang kauinginkan!"
Dengan berang Edward malah berusaha meninju istrinya sekuat tenaga. Luput, karena April merangkul kedua kakinya, la jatuh berlutut. April berkata.
"Emily, cepat keluar sebelum dia membunuhmu... cepat keluar kamar!"
Emily bergegas lari keluar kamar sambil menangis. Di dalam kamar, Edward masih kesetanan. Sambil menuding April ia berteriak.
"Jahanam, aku tidak akan datang ke rumah busukmu ini!"
Micky langsung merebahkan diri di sofa, tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
[II] PESTSA dansa malam musim panas di rumah Maisie Greenbourne merupakan acara yang tak bisa dilewatkan oleh kalangan atas kota London.
Maisie selalu menyediakan kelompok pemusik terbaik, makanan terenak, dekorasi paling sensasional tapi indah, dan sampanye tanpa henti.
Tapi alasan utama semua kalangan atas ingin diundang adalah.
Pangeran Wales sendiri pasti datang.
Tahun ini Maisie berniat memperkenalkan kembali Nora Pilaster dalam penampilan barunya.
Sebuah strategi yang penuh risiko, karena jika gagal, baik Nora maupun Maisie akan menjadi bahan tertawaan dan gosip.
Tapi jika sukses, takkan ada seorang pun yang berani mengusik Nora lagi.
Sebelum pesta dansa/Maisie menyelenggarakan acara makan malam yang akrab.
Hanya dua puluh empat orang.
Pangeran Wales sudah memberitahukan ia hanya akan datang di pesta dansa.
Hugh dan Nora datang.
Nora tampak sangat memikat dalam gaun biru langit berbahu terbuka dan berhiaskan pita-pita satin kecil.
Warna dan model gaun itu membuat posturnya lebih indah.
Para tamu lain agak kaget melihat Nora ikut hadir, tapi mereka menduga Maisie tahu betul akan apa yang dilakukannya.
Maisie berharap mereka benar dalam soal yang satu ini.
Ia tahu benar cara berpikir Pangeran, dan sudah bisa meramalkan apa kira-kira reaksinya nanti.
Yang penting, jangan sampai sang pangeran merasa dimanfaatkan oleh teman-temannya.
Kalau sudah begini, ia tidak segan-segan langsung pergi meninggalkan pesta.
Kalau itu terjadi, Maisie dan Nora akan dikucilkan di kalangan atas London.
Kalau memikirkan risikonya, Maisie jadi bergidik ngeri.
Untuk apa ia mau melakukan ini? Tapi ini bukan untuk Nora, melainkan untuk Hugh! SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Hugh masih bekerja di Pilasters Bank.
Sudah bulan kedua sejak ia menyatakan mengundurkan diri dari bank keluarganya.
Solly berulang kali mendesaknya untuk segera bergabung dengan Greenbournes Bank.
Tapi tetap saja Pilasters Bank menahan Hugh.
ia baru boleh keluar setelah bulan ketiga.
Itu memang siasat mereka, makin lama Hugh ditahan, makin baik.
Setelah makan malam, Maisie bicara dengan Nora ketika mereka berada di kamar rias.
"Pada waktunya nanti, kau akan kuperkenalkan dengan Pangeran, jadi usahakan kau selalu berada di dekat-dekatku."
"Ya, aku akan lekat terus denganmu,"
Aksen pinggiran Nora keluar, tapi segera kembali ke aksen kelas atas lagi.
"Jangan khawatir! Aku tidak akan jauh-jauh darimu."
Pada jam setengah sebelas malam, para tamu mulai berdatangan.
Biasanya Maisie tidak mengundang Augusta Pilaster, tapi malam ini ia mengundangnya untuk menyaksikan kemenangan Nora.
Ia menduga Augusta akan menolak undangannya, tapi ternyata wanita itu justru datang lebih awal.
Maisie juga mengundang mentor senior Hugh dari New York.
Sidney Madler.
Pria itu datang dengan busana khas Amerika, jas pendek dan dasi hitam.
Maisie dan Solly berdiri hampir satu jam menyalami para tamu, lalu Pangeran Wales tiba.
Mereka menemaninya ke ruang utama dan memperkenalkan ayah Solly.
Ben Greenbourne menunduk hormat dengan sikap seorang perajurit Prusia.
Lalu Maisie melantai bersama Pangeran.
"Yang mulia,"
Maisie mengawali rencananya.
"aku punya gosip paling mutakhir yang akan membuat Anda geli"
Pangeran berbisik di telinganya.
"Ceritakan padaku, Mrs. Greenbourne. Aku ingin tahu, apa itu."
"Tentang insiden malam itu di pesta dansa keluarga Tenbigh."
Sang Pangeran tampak tegang.
"Oh, ya. Cukup memalukan. Ketika gadis itu memaki de Tokoly sebagai seekor bandot tua yang cabul, kukira dia mengumpat diriku."
Maisie tertawa geli, seakan-akan gurauan sang Pangeran tak masuk akal, walau ia tahu banyak orang di pesta malam itu juga berpendapat sama.
"Tapi, teruskan,"
Kata Pangeran.
"Apa masih ada yang tidak kuketahui malam itu?"
"Ya, kukira ada, Yang Mulia. Rupanya De Tokoly berani bersikap demikian pada gadis itu karena sebelumnya dia sudah diberitahu oleh seseorang bahwa gadis itu wanita gampangan."
"Gadis gampangan?"
Sang Pangeran mendecak.
"Perlu kuingat istilah itu."
"Dan gadis itu juga sudah disarankan sebelumnya untuk langsung bersikap tegas, kalau perlu menampar, jika de Tokoly bersikap tidak sopan padanya."
"Dan terjadilah insiden itu. Betapa liciknya orang yang merancang semua itu."
Maisie agak ragu sesaat. Ia belum pernah memanfaatkan persahabatannya dengan Pangeran Wales untuk menjatuhkan seseorang. Tapi jika mengingat kelicikan Augusta, ia jadi bertekad bulat.
"Apakah Anda kenal wanita dengan nama Augusta Pilaster?"
"Ya, pernah kudengar. Wanita dari kelompok bankir terkemuka di London."
"Dialah yang merancang semuanya. Si gadis menikah dengan keponakan Augusta, Hugh Pilaster, keponakan yang sangat dia benci. Jadi, dia merencanakan semua itu untuk menjatuhkan posisi keponakannya sendiri." .
"Licik sekali wanita itu. Seperti ular! Tapi seharusnya dia tidak melakukannya di pesta yang kuhadiri. Dia patut kuhukum."
Inilah saat yang ditunggu-tunggu Maisie.
"Yang Mulia bisa memberi perhatian pada Nora, untuk menunjukkan bahwa Yang Mulia sudah memaafkan dia,"
Katanya, berdebar menunggu jawaban Pangeran.
"Dan tidak mengacuhkan Augusta... begitu? Ya. aku setuju."
Segera setelah dansa selesai, Maisie berkata.
"Yang Mulia, bolehkah aku memperkenalkan Nora Pilaster? Dia kebetulan hadir malam ini."
Pangeran memandang Maisie dengan penuh arti.
"Apa kau telah merencanakan semua ini, musang cilik?"
Inilah yang ditakutkan Maisie selama ini. Kemungkinan besar Pangeran merasa diperalat olehnya. Beliau bukan orang bodoh, jadi lebih baik aku terang-terangan saja.
"Oh, betapa bodohnya aku, Yang Mulia, berani-beraninya mencoba menutupi mata Anda yang tajam."
Dengan pandangan sepolos mungkin ia menatap kedua mata Pangeran.
"Yang Mulia, hukumlah hambamu ini."
Sang Pangeran tersenyum senang.
"Ah, jangan menggoda. Kau sudah kumaafkan."
Maisie menarik napas panjang dan dalam; ia berhasil. Sekarang terserah Nora bagaimana bersikap dan menyenangkan Pangeran Wales.
"Di mana Nora?"
Tanya Pangeran. Nora memang ada di dekat-dekat Maisie, persis seperti yang diinstruksikan. Maisie berkata.
"Yang Mulia, bolehkah kuperkenalkan Nora Pilaster?"
Nora menghormat di depan Pangeran. Pangeran menatap sosoknya yang memikat.
"Menarik,"
Komentarnya antusias.
"Benar-benar menarik."
Hugh merasa heran bercampur senang ketika menyaksikan betapa ramahnya Pangeran Wales berbincang-bincang dengan istrinya.
Dulu Nora dikucilkan dari kalangan atas London, sekarang menjadi pusat iri hati setiap wanita yang hadir.
Pakaiannya sempurna, tata kramanya memesona, dan semua ini bisa terjadi berkat bantuan Maisie.
Hugh melirik Augusta dan Joseph yang kebetulan berdiri di dekatnya.
Augusta pura-pura tak peduli dengan Nora dan Pangeran, kendati Hugh tahu ini hanya pura-pura.
Bibinya pasti sedang terbakar hatinya karena pemandangan di depannya, apalagi melihat betapa Maisie, gadis pekerja yang pernah dicercanya beberapa tahun silam, sekarang ternyata lebih populer dan berpengaruh daripada dirinya.
Bertepatan pada saat itu, Sidney Madler datang mendekat.
Katanya pada Joseph.
"Itukah gadis yang katamu tidak pantas menjadi istri seorang bankir?"
Sebelum Joseph menjawab, Augusta sudah menyambar cepat. Suaranya ditekan serendah dan sesopan mungkin.
"Dialah penyebab batalnya kontrak utama dari bank."
Hugh menyela.
"Sebenarnya tidak ada kontrak bank yang batal."
Augusta bertanya ke suaminya.
"Count de Tokoly tidak membatalkan kontrak pinjamannya?"
"Tidak, rupanya dia sudah melupakan rasa tersinggungnya,"
Jawab Joseph. Augusta pura-pura senang mendengar bisnis suaminya berhasil.
"Ah, betapa menguntungkan."
Tapi nada suaranya terdengar tidak tulus. Madler menyela.
"Kebutuhan finansial akhirnya mengalahkan prasangka-prasangka sosial."
"Ya, Anda benar,"
Kata Joseph.
"Malam itu aku terlalu tergesa-gesa menentang masuknya Hugh sebagai mitra Pilasters Bank."
Augusta menyela dengan suara semanis madu.
"Joseph, apa katamu tadi?"
"Aku bicara bisnis, Sayang. Urusan laki-laki."
Ia berbalik ke arah Hugh dan berkata.
"Dengan tulus kukatakan bahwa kami tak ingin kau pindah ke Greenbournes Bank."
Hugh terkesima.
Kaget dan tak tahu harus menjawab apa.
Ia tahu bahwa keputusannya telah membuat berang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Sidney Madler.
Tapi tidak pernah Joseph mengakui kesalahannya di depan orang lain.
Tapi apa motif Joseph mengatakan semuanya ini? Maka ia menjawab .pelan.
"Paman tahu alasan saya pindah ke bank keluarga ÅšGreenbourne."
"Mereka tidak akan mengangkatmu sebagai mitra. Kau bukan orang Yahudi. Ingat itu,"
Kata Joseph.
"Ya, saya menyadari sejak awal."
"Kalau begitu, bukankah lebih baik bekerja pada bank keluarga saja?"
Hugh merasa diremehkan. Rupanya Joseph hanya mencoba membujuknya untuk tetap tinggal, sebagai pegawai, bukan mitra. Ia menjawab dingin.
"Terus terang, Ťku lebih senang bekerja di bank keluarga Greenbourne yang jauh dari intrik keluarga sendiri"
Pandangan matanya sengaja diarahkan ke Augusta "Di sana sistem penghargaan dan tanggung jawabku sudah jelas, dan semuanya didasarkan atas kecakapanku sebagai bankir."
Augusta masih tak mau tinggal diam.
"Kau lebih memilih bekerja pada orang Yahudi?"
"Jangan ikut campur,"
Tegur Joseph tegas.
"Kau tahu kenapa aku mengangkat masalah ini, Hugh. Mr. Madler merasa kita telah membuatnya kecewa dengan rencanamu keluar. Selain itu, para mitra lainnya juga khawatir kalau kau keluar, semua nasabah Amerika Utara akan kau bawa serta."
Hugh berupaya tampil setenang mungkin. Inilah saatnya melakukan negosiasi.
"Aku tidak akan kembali ke Pilasters Bank walau gajiku dinaikkan dua kali lipat. Hanya satu hal yang akan mengubah keputusanku, kemitraan dalam Pilasters Bank."
Joseph mendesah.
"Hmmm... kau benar-benar keras kepala dalam tawar-menawar."
Madler menyela.
"Seorang bankir memang harus bersikap begitu dalam negosiasi""
"Baiklah,"
Joseph menyerah.
"Kutawarkan kemitraan dalam Pilasters Bank pada Anda."
Hugh merasa lemas. Mulanya mereka menghinaku, sekarang, menyerah. Aku telah menang. Serasa dalam mimpi ia mendengar tawaran pamannya. Diliriknya Augusta. Wajahnya pucat pasi, tapi ia diam saja. Augusta tahu ia telah kalah malam ini.
"Kalau begitu...,"
Kata Hugh, diam sesaat.
"Kuterima tawaran Paman."
Augusta akhirnya tidak tahan lagi. Wajahnya jadi merah membara, penuh emosi. Dengan ketus ia berkata.
"Kau akan menyesali malam ini sepanjang sisa hidupmu."
Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan suami dan tamunya.
Augusta melangkah cepat menyeruak para tamu pesta yang sedang melantai atau mengobrol.
Langsung menuju pintu utama.
Orang-orang memandanginya.
Ia tidak tahu ia tampak jelas sedang berang dan emosional, tapi ia tak bisa menyembunyikan lagi.
Semua orang yang dibencinya sekarang sedang naik daun.
Mulai dari Maisie si gadis rendah yang jadi orang kaya baru, Hugh yang tak tahu diuntung, belum lagi Nora yang bisa begitu anggun, padahal dulu begitu norak dan kampungan.
Perutnya jadi terasa kaku melintir dan ia merasa mual.
Akhirnya ia tiba di pelataran luar, memanggil si penjaga, dan membentak.
"Cepat panggilkan kereta Mrs. Pilaster!"
Si penjaga berlari patuh dan ketakutan.
Augusta merasa puas.
Ternyata masih ada juga orang yang bisa diintimidasinya.
Ia meninggalkan pesta tanpa berpamitan pada siapa pun, meninggalkan suaminya sendirian di pesta.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya kosong dan.hatinya panas.
Ketika ia tiba di rumah, Hastead menyambutnya dengan setengah mengantuk dan memberitahu.
"Mr. Hobbes ada di ruang duduk, Ma'am. Sudah kukatakan padanya Anda baru pulang subuh, tapi tetap saja dia ingin menunggu."
"Dia mau apa sepagi ini?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa."
Augusta sebenarnya sedang tidak berminat menerima editor The Forum itu.
Ada urusan apa ia datang sepagi ini? Ia tergoda untuk mengabaikan tamu tak diundang itu, tapi segera ingat urusan gelar kebangsawanan, jadi ia mengurungkan niatnya.
Ia masuk ke ruang tamu.
Tamunya sedang tidur di samping perapian.
"Selamat pagi!"
Sapa Augusta keras. Hobbes tergeragap, bangun berdiri, dan menyapa gugup.
"Mrs. Pilaster! Selamat... ah, ya... selamat pagi."
"Apa yang begitu penting sepagi buta ini?"
"Kupikir Anda harus menjadi orang pertama yang membaca artikelku,"
Katanya sambil mengangsurkan jurnalnya.
Edisi terbaru The Forum yang masih hangat dan berbau tinta.
Augusta membuka halaman depan dan membaca artikel utamanya.
APAKAH ORANG YAHUDI BISA MENJADI -BANGSAWAN? Semangatnya segera bangkit.
Kekalahannya tadi di pesta hanya sesaat saja, masih ada peperangan lain yang harus ia menangkan.
Ia mulai membaca beberapa alinea.
Kami percaya bahwa mungkin tidak benar kabar angin yang berembus saat ini di lingkungan Westminster dan di beberapa klub di kota London, bahwa Perdana Menteri sedang memikirkan kemungkinan memberi gelar bangsawan kepada salah satu bankir yang berbangsa dan beragama Yahudi.
Kami tidak pernah mendukung adanya penindasan berdasarkan agama dan ras.
Kendati demikian, toleransi kami ada batasnya.
Memberikan gelar bangsawan kepada orang yang secara terbuka tidak mengakui agama Kristen hanya akan membuahkan malapetaka sosial.
Memang Perdana Menteri sendiri juga keturunan Yahudi, tetapi sudah lama beliau memeluk agama Kristen, sehingga ketika dilantik oleh Yang Mulia Ratu, beliau bersumpah di atas Kitab Suci.
Maka tidak ada permasalahan sosial dan legal atas pengangkatannya sebagai salah satu bangsawan Kerajaan.
Tetapi kini kami berhak menanyakan apakah bankir calon bangsawan ini akan bersedia mengorbankan keyakinannya dengan bersumpah di atas Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru.
Jika ia bersikeras hanya mau bersumpah di atas Kitab Suci Perjanjian Lama, apakah para uskup di House of Lords tidak akan memprotes? Kami yakin bankir tersebut adalah warga negara yang setia pada Kerajaan dan orang yang jujur dalam melakukan bisnis...
Masih banyak lagi alinea yang bertema sama.
Augusta merasa senang dan lega.
Ia mengangkat kepala dan berkata pada Hobbes.
"Bagus, bisa menimbulkan perdebatan seru."
"Kuharap demikian,"
Jawab Hobbes. Dengan gerakan gugup ia mengambil secarik kertas dari kantong jaketnya.
"Aku telah mengambil kontrak pembelian mesin cetak yang pernah kuceritakan pada Anda. Tagihan pembayarannya..."
"Datang saja langsung ke bank nanti siang,"
Sela Augusta ketus, mengabaikan dokumen yang diulurkan Hobbes. Entah kenapa, ia tak sabar dengan tingkah laku Hobbes, walau ia tahu sebagai editor Hobbes sangat bermanfaat bagi rencananya. Setelah emosinya reda, dengan nada manis ia berkata.
"Suamiku akan memberimu cek nanti siang."
Hobbes mengangguk.
"Kalau begitu, izinkan aku pamit."
Ia keluar.
Augusta menarik napas lega.
Sebentar lagi mereka akan tahu siapa dia.
Biar Maisie Greenbourne berpikir bahwa ia adalah panutan di kalangan atas kota London.
Biar dia pamer bisa berdansa dengan Pangeran Wales.
Satu hal yang tak bisa disangkalnya dan tidak dimilikinya.
kekuatan pers.
Bagi keluarga Greenbourne, dampak negatif artikel ini akan terasa lama sekali.
Dan Joseph-lah yang akan menerima buahnya.
gelar bangsawan.
Dengan perasaan lega ia duduk dan membaca ulang seluruh artikel.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY AGAK siang sedikit, Hugh bangun dengan perasaan bersemangat.
Istrinya telah diterima kalangan atas kota London dan ia sendiri akan diangkat menjadi mitra di Pilasters Bank.
Kemitraan itu akan memberinya peluang tidak hanya berpenghasilan ribuan pound per tahun, tapi dalam beberapa tahun ke depan, ratusan ribu pound.
Suatu hari ia akan menjadi kaya sekali.
Solly akan kecewa dengan keputusan Hugh, tapi seperti biasa ia akan memahami alasan Hugh.
Solly orang yang baik.
Hugh memakai mantel tidurnya.
Dari laci samping tempat tidur ia mengambil sebuah kotak permata dan mengantonginya.
Lalu ia pergi ke kamar tidur istrinya.
Kamar Nora besar, tapi berkesan sesak.
Jendela, kaca rias, dan tempat tidur-semuanya dilapis dengan kain sutra berpola.
Lantainya ditutup karpet tebal.
Kursi dipenuhi bantalan berbordir, dan di meja kecil serta di setiap rak terbuka dipajang boneka porselen, foto-foto berbingkai, kotak-kotak porselen, dan suvenir-suvenir lain.
Warna yang dominan adalah biru dan merah jambu, warna favorit istrinya, tapi hampir semua warna lain ada di mana-mana di ruangan itu.
Nora sedang duduk di ranjang, dikelilingi bantal-bantal egipuk, sedang menikmati teh hangat.
Hugh ikut duduk dan berkata.
"Kau sungguh hebat tadi malam."
"Ya, kubuat mereka semua kagum dan iri."
Nora tampak sangat bangga pada dirinya sendiri.
"Aku melantai dengan Pangeran."
"Dia terus-menerus menatap dadamu,"
Gurau Hugh. Ia meraba dada istrinya yang tertutup baju tidur sutra berleher tinggi. Nora menepis tangan suaminya.
"Hugh! Jangan sekarang,"
Katanya jengkel. Hugh tersinggung.
"Kenapa tidak bisa sekarang?"
"Kan sudah sekali dalam minggu ini."
"Dulu ketika baru kawin, kita melakukannya setiap hari."
"Tepat sekali ketika kita baru kawin. Seorang wanita tidak ingin melakukan itu setiap hari untuk seterusnya."
Hugh mengernyitkan dahi. Ia akan bahagia sekali jika bisa bercinta dengan istrinya setiap hari. Bukankah itu hal yang normal antara suami-istri? Atau memang ia terlalu aktif? "Menurutmu, berapa kali seharusnya kita melakukannya?"
Tanyanya ragu. Nora terlihat senang ditanya begitu, seakan memang inilah yang ia tunggu.
"Tidak lebih dari sekali seminggu,"
Jawabnya tegas.
"O, ya?"
Nafsu Hugh segera meleleh, malah sekarang ia merasa lemas. Seminggu sekali? Perlahan tangannya membelai paha istrinya melalui selimut.
"Ah, mungkin bisa ditambah lagi."
"Tidak,"
Jawab Nora tegas sambil menggeser kakinya.
Hugh benar-benar kecewa.
Dulu istrinya begitu ber -gairah setiap kali diajak bercinta.
Bahkan mereka berdua selalu menikmatinya.
Lalu kenapa sekarang berubah begini? Apakah sejak dulu Nora hanya bersandiwara untuk membuatnya senang? Kalau benar, sungguh menyakitkan.
Hugh menimbang-nimbang apakah ia perlu memberikan hadiahnya.
Biar bagaimanapun, ia sudah membelinya dan tidak mau membawanya kembali ke Jpko perhiasan.
"Baiklah, kalau begitu maumu. Ini ada sedikit hadiah bagimu, untuk memperingati keberhasilanmu di pesta."
Fa mengulurkan kotak perhiasan itu. Seketika sikap Nora berubah.
"Oh, Hugh, kau tahu aku senang diberi hadiah!"
Ia menarik tali pita pengikat dan-membuka tutup kotak. Di dalam kotak terlihat seuntai kalung emas dengan bandul berbentuk bunga yang dikelilingi batu-batu rubi dan sapir.
"Oh, indahnya."
"Pakailah."
Nora mencoba kalung itu. Kurang cemerlang di lehernya yang tertutup baju tidur.
"Akan terlihat indah dengan gaun malam berleher rendah,"
Kata Hugh. Nora melirik genit ke arah suaminya dan mulai membuka baju tidurnya. Hugh menanti dengan berdebar. Bandul itu tergantung di belahan dada Nora, seperti setetes air hujan di kuntum mawar. Nora tersenyum pada suaminya.
"Mau menciumku?"
Tanyanya. Hugh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah Nora memang sedang menggodanya, atau benar-benar ingin bercinta? "Mari ke ranjang,"
Ajak istrinya mesra.
"Tadi katamu..."
"Ah, seorang wanita perlu menyatakan terima kasihnya, bukan?"
Nora menyingkapkan selimut.
Tiba-tiba Hugh merasa sakit.
Jadi, hadiah kalung emas itulah yang mengubah sikap istrinya.
Tapi ia tak sanggup melawan hasratnya.
Dengan perasaan benci pada dirinya sendiri, ia menyerah.
Selesai bercinta, ia merasa ingin menangis.
Hugh menerima sepucuk surat dari Tonio Silva.
Semenjak pertemuan mereka di kedai kopi Plage, Tonio bagaikan lenyap ditelan bumi.
Artikel yang dijanjikan juga tidak muncul di The Times.
Hugh jadi tampak tolol di depan para mitra, karena ribut dan mempersoalkan dampak yang mungkin timbul.
Di setiap kesempatan, Edward selalu mengungkit soal ini, tapi isu Hugh ingin pindah ke Greenbournes Bank mengalahkan masalah artikel tersebut.
Hugh pernah menulis surat ke Hotel Russo, tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Ia agak khawatir tentang temannya ini, tapi apa yang bisa ia lakukan? Dengan penuh rasa ingin tahu ia membuka surat Tonio.
Datangnya dari sebuah rumah sakit umum, isinya meminta kesediaan Hugh datang.
Akhir surat mengatakan.
"Apa pun yang kau lakukan, kumohon jangan mengatakan di mana aku tinggal."
Apa yang telah menimpa Tonio? Dua bulan yang lalu ia tampak segar dan sehat.
Kenapa sekarang ia ada di rumah sakit? Hugh jadi khawatir.
Hanya orang miskin yang pergi ke rumah sakit umum milik pemerintah.
Orang kaya akan mengundang dokter, perawat, bahkan dokter bedah sekalipun.
Dicekam rasa ingin tahu, Hugh segera pergi ke rumah sakit umum.
Di sana ia menemui Tonio tergeletak tak berdaya di sebuah ranjang kecil dan kotor.
Rambutnya yang kemerahan sudah tercukur habis, sedangkan wajah dan kepalanya penuh luka dan jahitan.
"Oh, Tuhan!" . kata Hugh.
"Kau baru tertabrak kereta?"
"Dipukuli."
"Apa yang terjadi?"
"Aku diserang di depan Hotel Russe beberapa minggu yang lalu."
"Dirampok?"
"Ya."
"Keadaanmu parah sekali."
"Sebenarnya tidak begitu parah. Hanya jari patah dan engsel kaki tergeser, dan luka-luka ini tidak begitu dalam, tapi banyak sekali. Sekarang sudah membaik.""Seharusnya kau menghubungi aku. Kita harus me-ngeluarkanmu dari sini secepatnya. Akan kupanggil dokter dan perawat."
"Jangan, sobat lama. Kuhargai kemurahan hatimu. Tapi uang bukan satu-satunya alasanku memilih tinggal di tempat ini. Di sini lebih aman. Selain kau, hanya satu orang yang tahu aku ada di sini. seorang teman lama yang suka membawakan kabar dari Kordoba serta brendi dan roti daging. Jadi, kuharap kau tidak memberitahu siapa pun." ť "Tak seorang pun, bahkan istriku sendiri."
"Bagus."
Tonio sekarang sudah berubah. Ia tampak cermat dan tidak sembrono lagi, pikir Hugh.
"Tapi kau tak bisa terus-menerus bersembunyi di sini dari kejaran para penjahat di jalanan."
"Orang-orang yang menyerangku bukan penjahat jalanan, Pilaster. Aku tahu itu."
Hugh melepas topinya dan duduk di tepi ranjang. Ia pura-pura tidak mendengar erangan sakit pria yang terbaring di sisi ranjang Tonio.
"Pilaster, apa yang kualami malam itu bukan sekadar perampokan jalanan. Kunci kamar hotelku diambil dan mereka mencuri seluruh berkas artikelku serta bukti-. bukti autentik yang disahkan notaris di Kordoba, pengakuan para saksi mata atas pembunuhan dan penyiksaan di tambang nitrat milik keluarga Miranda"
Hugh terkesima.
Tak pernah menyangka bahwa transaksi bisnis obligasi proyek jalan kereta api di sebuah negara Amerika Selatan bisa berkaitan dengan sebuah kejahatan di jalanan sempit di kota London, dengan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY korban yang saat ini masih tergeletak di ranjang di depannya.
"Kemungkinan Pilasters Bank bisa dicurigai mengatur rencana jahat ini."
"Tidak! Bank keluargamu memang kuat, tapi tak mungkin bisa mengatur pembunuhan di Kordoba."
"Pembunuhan?"
Tanya Hugh kaget.
"Siapa yang dibunuh?"
"Semua saksi mata yang tertera di dalam berkasku yang hilang dari kamar hotel malam itu."
"Benar-benar sulit dipercaya... bisa sejauh itu."
"Aku masih bernasib baik. Masih hidup. Kurasa mereka khawatir karena pembunuhan di London pasti akan diselidiki lebih serius daripada pembunuhan di Kordoba sana."
"Jadi, menurutmu siapa yang berada di belakang semua ini?"
Tanya Hugh bingung.
"Micky Miranda."
Hugh menggeleng.
"Lepas dari rasa tidak senangku pada Micky, kurasa tak mungkin dia melakukan ini semua."
"Proyek jalan kereta api Santamaria merupakan sangat vital baginya. Ini akan membuat keluarganya menjadi kelompok terkuat kedua di Kordoba setelah kelompok Presiden Gracia."
"Ya, aku tahu itu, dan aku juga yakin Micky tidak akan ragu-ragu melakukan sesuatu yang sedikit melanggar hukum. Tapi pembunuhan? Dia bukan tipe pembunuh."
"Dia pembunuh."
"Ah, yang benar."
"Ya, aku tahu pasti. Semula memang aku tak percaya. Selama ini'aku memang bisa dikelabui dengan sikapnya yang simpatik. Dulu kukira dia sahabatku. Padahal sebenarnya dia sangat jahat. Aku tahu itu sejak semasa kita sekolah."
"Bagaimana bisa?"
Tonio menggeser sedikit posisi tubuhnya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi tiga belas tahun yang lalu, sore hari ketika Peter Middleton tenggelam di kolam di sisi Bishop's Wood."
Hugh tersengat rasa kaget.
Sudah bertahun-tahun ia bertanya-tanya tentang peristiwa itu.
Bagaimana Peter bisa tenggelam, padahal ia perenang hebat? Sukar dikatakan kalau itu sebuah kecelakaan.
Ia sudah lama curiga ada permainan kotor dalam kecelakaan itu.
Mungkin sekarang ia bisa tahu kejadian sebenarnya.
"Teruskan, sobat, aku ingin mendengarnya. Tonio tampak ragu.
"Bisa tolong mengambilkan sedikit anggur madeira? Ada di lantai bawah ranjang ini."
Hugh menuangkan sedikit di dalam gelas dan menyorongkannya pada Tonio.
Ketika Tonio mencerucup-nya sedikit demi sedikit, Hugh mencoba mengingat kejadian tiga belas tahun yang lalu.
Kolam yang dingin, sangat dingin, dinding kolam yang menyeramkan, dan matahari yang terik.
Tak terasa keringat dingin mengalir dan membuat bulu tengkuknya meremang.
"Petugas mayat diberitahu bahwa Peter meninggal karena mengalami kesukaran bernapas. Itu benar, tapi dia tidak tahu bahwa penyebabnya karena Edward berulang kali membenamkan kepala Peter ke dalam air kolam."
"Kalau itu aku tahu,"
Sela Hugh.
"Aku mendapat surat dari 'Hump' Cammel yang sekarang tinggal di Cape Colony. Waktu itu dia sempat menyaksikan kejadian ini dari tepi kolam, tapi dia tidak menyaksikan akhir tragedi itu."
"Ya, kau benar. Kau dan Hump lari. Tinggal aku, Peter, Edward, dan Micky."
"Lalu apa yang terjadi setelah aku lari?"
Tanya Hugh tak sabar.
"Aku mengambil batu dan melempar kepala Edward. Kena di dahinya dan berdarah. Dia jadi berang dan lari mengejarku. Peter, ditinggalnya bersama Micky. Aku berhasil keluar dulu dari tepi kolam."
"Sejak dulu Edward tidak pernah bisa lari cepat, kan?"
"Ya, benar. Aku meninggalkan dia jauh di belakang. Di tengah jalan, aku menengok ke belakang. Kulihat Micky sedang mengejar Peter di kolam. Di tepi kolam, dia berhasil menangkap mangsanya. Kulihat kepala Peter ditenggelamkan berkali-kali oleh Micky. Jelas sekali terlihat. Aku terus melanjutkan lariku."
Tonio mencerucup lagi anggurnya.
"Ketika sampai-di atas bukit, kulihat Edward tertinggal jauh di bawah. Aku duduk sebentar mengatur napas dan kulihat... ya... aku ingat dengan jelas sekali, kepala Peter masih ditenggelamkan oleh Micky. Peter menggapai dan memberontak putus asa, tapi tak bisa melepaskan diri. Micky sengaja menenggelamkannya. Itu jelas-jelas pembunuhan."
"Oh, Tuhan,"
Desah Hugh ngeri. Tonio mengangguk setuju.
"Kalau kuingat sore hari itu, aku jadi muak. Entah berapa lama aku memandangi mereka. Edward nyaris berhasil menangkapku. Kulihat Peter sudah tidak memberontak lagi. Ketika Edward sampai di puncak bukit, aku melanjutkan lariku kembali ke asrama sekolah."
"Jadi, itulah kejadian sebenarnya sore hari itu. Peter ternyata dibunuh, tidak kecelakaan tenggelam,"
Kata Hugh dengan terkejut dan ngeri.
"Lalu di hutan kita bertemu..."
Hugh ingat bertemu Tonio yang ketakutan, telanjang bulat, lari terengah-engah sambil menangis, membawa pakaiannya yang basah kuyup. Ingatan itu membawanya kembali ke kesedihan berikutnya waktu ia mendengar kematian ayahnya di hari yang sama.
"Kenapa kau tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi?"
Tanyanya .
"Aku masih ketakutan pada Micky, takut mengalami nasib yang sama dengan Peter. Terus terang, sampai sekarang pun aku masih takut pada Micky, apalagi setelah kejadian malam itu. Kau juga mesti waspada."
"Ya, jangan khawatir."
Hugh berpikir.
"Dan aku yakin sampai sekarang Edward dan ibunya tidak pernah tahu kejadian sebenarnya soal kematian Peter." _'"Kenapa kau bisa mengatakan begitu?"
"Untuk apa mereka melindungi Micky kalau mereka tahu yang sebenarnya?"
"Kalau Edward bisa saja. Dia sahabat karib Micky."
"Bisa juga, tapi aku tahu karakter Edward. Dia tidak akan tahan menyimpan rahasia sebesar itu lama-lama. Tapi sekarang aku sadar, Augusta tahu bahwa cerita Micky di depan polisi bahwa Edward mencoba menyelamatkan Peter adalah bohong besar!"
"Bagaimana dia bisa tahu?"
"Dari ibuku. Ini berarti Augusta mencoba menutupi kejadian sebenarnya. Aku percaya dia rela berbohong apa pun demi Edward, tapi tidak untuk Micky. Waktu itu Augusta malah belum mengenalnya."
"Jadi, menurutmu apa yang terjadi?"
Hugh mencoba menganalisis.
"Coba bayangkan sore itu. Edward berhenti mengejarmu, lalu kembali ke kolam. Di sana dia melihat Micky sedang menarik tubuh Peter dari air. Melihat Edward, Micky berkata, 'Bodoh kau, Edward. Lihat apa yang kaulakukan pada Peter. Dia mati tenggelam karena ulahmu tadi!' Ingat, Edward tidak melihat kejahatan Micky. Micky membohonginya dengan mengatakan Peter mati karena kelelahan setelah dibenamkan Edward tadi. Ketika Edward bertanya dia mesti bagaimana, Micky dengan liciknya berkata, 'Jangan takut. Kita katakan saja bahwa Peter mati tenggelam karena kecelakaan, bahkan kau berusaha menyelamatkan dia. Nah, dengan mengarang cerita begini, dia menutupi kejahatannya sendiri, sekaligus membuat SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward dan Augusta merasa berutang budi padanya. Bagaimana, masuk akal atau tidak?"
Tonio mengangguk setuju.
"Ya Tuhan... aku yakin kau benar."
"Sekarang juga kita harus pergi ke polisi!"
Kata Hugh dengan amarah membara.
"Untuk apa?"
Tanya Tonio ragu.
"Kau adalah saksi hidup atas sebuah pembunuhan. Kau bisa mengatakannya pada polisi, walaupun peristiwanya sudah bertahun-tahun lewat. Micky tetap harus ditahan."
"Ya, bisa saja, tapi kau melupakan sesuatu. Micky memiliki kekebalan diplomatik."
Hugh tidak memikirkan ini. Sebagai duta negaranya, polisi Inggris tidak bisa mengadili Micky.
"Ya, kau benar, tapi paling tidak dia bisa dipermalukan karena diusir pulang ke negaranya."
Tonio menggeleng..
"Aku saksi satu-satunya. Micky dan Edward pasti akan menggunakan segala upaya untuk balik menuduh diriku. Semua tahu keluargaku dan keluarga Micky bermusuhan di Kordoba. Akan sulit meyakinkan orang-orang."
Tonio diam sejenak.
"Tapi kau-mengatakan pada Edward bahwa bukan dia pembunuh Peter, tapi Micky Miranda."
"Kukira dia tidak akan mempercayaiku, karena selama ini dia terus curiga aku berusaha menjauhkan dia dari Micky. Tapi ada satu orang yang mesti kita hubungi?"
"Siapa?"
"David Middleton."
"Kenapa?"
"Kukira dia berhak tahu soal kematian adiknya. Dia memang kasar waktu menanyakan soal ini di pesta keluarga Tenbigh malam itu. Tapi aku* sudah berjanji padanya kalau aku mendapatkan informasi tentang Peter, aku akan memberitahu dia. Jadi, aku terikat pada janjiku sendiri. Dia akan kukontak sore ini."
"Menurutmu dia berani pergi ke polisi?"
"Kukira dia akan berpikir dua kali, karena tahu semuanya percuma saja, seperti sudah kita pikirkan bersama."
Tiba-tiba ia merasa sedih. Dengan lesu ia berdiri dan berpamitan.
"Aku harus kembali kerja. Aku akan diangkat menjadi mitra dalam waktu dekat ini."
"Selamat!"
Kata Tonio tulus."Aku yakin kau memang pantas menerima kemitraan itu. Apakah kau bisa menghentikan proyek jalan kereta api Santamaria?"
Hugh menggelengkan kepala.
"Maaf, Tonio. Pilasters Bank sudah berhasil bekerja sama dengan Greenbourne Bank. Para mitra kedua bank sudah sama-sama setuju untuk menerbitkan obligasi ini bersama-sama. Mereka sedang dalam tahap penyusunan kontrak kerja sama. Maaf, sudah terlalu jauh untuk dihentikan. Kukira kita sudah kalah perang."
"Sialan."
Umpat Tonio kecewa.
"Kukira keluargamu harus mencoba cara lain untuk menentang keluarga Miranda."
"Aku khawatir mereka sudah tak bisa dihentikan lagi."
"Aku prihatin mendengar ini,"
Kata Hugh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan mengerutkan dahi.
"Tonio, kau baru saja menceritakan suatu misteri padaku. Peter yang jago renang, bisa mati tenggelam. Tapi ceritamu justru menimbulkan misteri yang lebih besar lagi."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Coba pikirkan. Peter sedang berenang; Edwrad bertengkar dengannya dan mencoba menenggelamkannya. Kita semua lari ketakutan. Edward lari mengejarmu. Lalu Micky membunuh Peter. Padahal itu tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi sebelumnya. Apa yang dilakukan Peter padanya?"
"Ya, motif apa. Aku juga sudah bertanya-tanya selama bertahun-tahun ini."
"Micky Miranda membunuh Peter Middleton... tapi mengapa?"
BAB LIMA [U AUGUSTA merasa dunia adalah miliknya pada saat penganugerahan gelar bangsawan kepada suaminya diumumkan.
Pagi itu suasana di rumahnya bagai pesta besar.
Ia mondar-mandir menyambut para tamu yang datang memberi selamat.
Micky ikut datang.
Di pintu, ia sudah disambut oleh Hastead yang pada pelbagai kesempatan berulang kali menyebut nyonya rumahnya dengan "my lady".
Di mata Micky, Augusta benar-benar mengagumkan.
Bagai ratu lebah yang sedang dikerumuni para pengikut setianya.
Ia telah berhasil memenangkan peperangan secara brilian.
Diawali dengan isu keluarga Greenbourne yang akan menerima gelar, lalu disusul dengan berita anti Yahudi di surat kabar.
Augusta sama sekali tidak memberitahu siapa pun tentang ulah dan andilnya ini, bahkan pada Micky sekalipun.
Tapi Micky tahu, karena ia sudah mengenal Augusta.
Dalam beberapa hal, ia sama dengan Papa Miranda yang juga punya tekad baja untuk mencapai keinginannya.
Bedanya, Augusta lebih pandai dan lebih lihai dalam memanipulasi orang lain.
Kekaguman Micky makin besar.
/ Satu-satunya orang dekat yang bisa menghalangi rencana Augusta adalah Hugh Pilaster.
Sulit sekali bagi Augusta menghancurkan Hugh.
Seperti alang-alang, ia selalu tumbuh lagi setiap kali dicabut.
Dimusnahkan di satu tempat, akan tumbuh di tempat lain.
Bahkan makin lama makin banyak dan makin kuat.
Tapi untunglah Hugh tidak berhasil menghalangi perwujudan proyek jalan kereta api di Kordoba.
Dengan bantuan ibunya, Edward dan Micky ternyata terlalu kuat untuk dicegah Hugh dan Tonio.
"Bagaimana soal kontraknya?"
Tanya Micky pada Edward.
"Kapan kalian menandatanganinya dengan Greenbournes Bank?"
"Besok."
"Bagus!"
Komentar Micky lega.
Sudah setengah tahun ini ia diteror oleh telegram ayahnya yang selalu menanyakan kelanjutan proyek ini.
Malamnya Micky dan Edward makan di Klub Cowes.
Selama makan, Edward harus menyambut ucapan selamat dari sesama anggota klub.
Bukankah ia akan mewarisi gelar ayahnya kelak? Micky juga ikut bangga.
Selama ini ia selalu menggantungkan keberuntungan nasibnya pada keluarga Pilaster, khususnya Edward dan Augusta..
Jika mereka berdua makin berpengaruh, ia sendiri akan ikut terangkat.
Berarti kekuasaan Micky ikut naik.
Selesai makan, mereka pindah ke ruang santai.
Belum ada anggota klub lainnya di sana.
Hari belum terlalu malam.
"Kupikir-pikir dan akhirnya kusimpulkan, orang Inggris terlalu takut pada istri mereka,"
Komentar Micky sambil menyalakan cerutunya.
"Itu sebabnya banyak didirikan klub semacam ini."
"Apa maksudmu?"
Tanya Edward.
"Coba perhatikan,"
Jawab Micky.
"Tempat ini benar-benar replika dari rumah orang Inggris. Meja kursi mahal dan indah, pelayan yang selalu siap melayani kita, makanan dan minuman berlimpah ruah. Kita bisa makan di sini, berbisnis di sini, membaca berita dan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY apa saja di sini, bahkan tidur, jika kita sudah terlalu mabuk. Satu-satunya yang membedakan klub dengan rumah adalah tidak ada wanita di sini."
"Apa kalian tidak punya klub di Kordoba?"
"Sudah tentu tidak. Di negaraku, jika pria ingin minum sampai mabuk, bicara politik, merokok, membicarakan para perempuan piaraan, mereka akan melakukannya di rumah. Kaum istri tidak akan berani ikut-ikutan. Bisa-bisa mereka kena pukul. Lain dengan di Inggris; para pria begitu takut pada istri, sampai menciptakan klub semacam ini."
"Kau kelihatannya tidak takut pada Rachel? Kudengar kamu sudah membuangnya. Benar?"
"Kukirim dia kembali ke rumah ibunya,"
Jawab Micky enteng, seolah tak peduli, karena ia tidak mau Edward tahu kejadian sebenarnya.
"Para tamumu pasti ingin tahu kenapa dia tak pernah mendampingimu. Pernah mereka bertanya?"
"Ya, kukatakan dia sedang sakit atau tidak enak badan."
"Tapi bukankah mereka tahu dia sedang mempersiapkan rumah sakit khusus bagi wanita yang mengandung tanpa suami? Benar-benar upaya memalukan."
"Tidak ada pengaruhnya. Malah mereka ikut simpati padaku karena punya istri yang aneh dan keras kepala."
"Jadi, kau akan menceraikan dia?"
"Tidak. Akan menimbulkan skandal. Seorang diplomat tidak boleh bercerai. Aku terikat padanya selama aku menjadi diplomat Kordoba. Untunglah dia tidak mengandung saat kuusir pulang."
Benar-benar ajaib, pikirnya lega. Selama bertahun-tahun kawin, Rachel tidak juga mengandung. Apa istrinya steril? Atau dia sendiri yang mandul? Ia memanggil pelayan dan minta diberi brendi.
"Bicara soal istri,"
Lanjut Micky agak ragu.
"bagaimana kabar Emily?"
Edward tampak jengah.
"Aku jarang ketemu dia, sama seperti kau dengan Rachel. Dia melewatkan hari-harinya di rumah pedesaan di Leicestershire yang kubelikan beberapa waktu yang lalu."
"Jadi, kita berdua sekarang bujangan lagi."
Edward menyeringai senang.
"Bukankah kita selama ini bahkan sejak dulu sudah bujangan?"
Micky tergelak geli. Pandangan matanya tertuju ke arah pintu ruang santai. Tampak tubuh tambun Solly Greenbourne. Entah kenapa, ia takut melihat Solly. Aneh. Padahal Solly pria paling tidak berbahaya di London.
"Itu ada teman yang ingin /nengucapkan selamat padamu,"
Katanya pada Edward.
Ketika Solly mendekat, Micky melihat ia tidak tersenyum ramah seperti biasa, malah tampak sangat marah.
Ini aneh.
Micky merasa ada yang tidak beres dengan kontrak jalan kereta api Santamaria.
Ia menghibur diri dengan menganggap kekhawatirannya tidak beralasan.
Tapi Solly tidak pernah marah selama ini....
Ia mencoba ramah pada Solly.
"Halo, Solly, sobat lamaku, bagaimana kabarnya si jenius dari dunia keuangan?"
Solly tampak tidak berminat pada Micky. Ia langsung menatap Edward.
"Pilaster, kau bajingan terkutuk,"
Katanya.
Micky terpana dan ketakutan.
Solly dan Edward sudah hampir menandatangani kontrak kerja sama proyek raksasa itu.
Baru kali ini ia melihat Solly berang dan marah besar.
Ini serius sekali.
Bahkan gawat.
Apa yang membuat Solly marah begini? Edward juga ikut kaget.
"Greenbourne, kenapa kau kesetanan begfni?"
Wajah Solly makin merah padam. Ia nyaris tak sanggup bicara karena menahan emosi. Setelah beberapa saat, ia berkata.
"Aku sudah tahu bahwa kau dan ibumu, si nenek sihir itu, yang mendalangi rangkaian artikel kotor di The ForumV "Oh, tidak!"
Micky tiba-tiba berteriak sendiri.
Ini benar-benar bencana.
Sejak semula ia sudah curiga dengan keterlibatan Augusta dalam serangan itu, kendati tidak ada bukti-bukti nyata tapi bagaimana Solly bisa tahu?Pertanyaan yang sama juga hinggap di benak Edward.
"Siapa yang telah menjejali benakmu dengan fitnah kotor itu?"
"Salah satu komplotan ibumu yang kebetulan menjadi dayang Sri Ratu,"
Jawab Solly cepat. Micky tahu yang dimaksudnya adalah Harriet Morte. Augusta tampaknya punya pengaruh atas diri wanita itu. Solly meneruskan.
"Dia membocorkan rahasia, menceritakan semuanya pada Pangeran Wales. Aku baru saja makan malam dengan beliau."
Solly pasti sudah gila karena berani membocorkan isi obrolannya dengan pewaris tahta kerajaan, pikir Micky.
Tapi mungkin kemarahan yang amat sangat sudah menutupi akal sehatnya.
Micky bingung, bagaimana cara mendamaikan mereka agar penandatanganan kontrak besok tidak sampai gagal.
Ia mencoba mendinginkan suasana.
"Solly, teman lama, kau jangan cepat percaya dengan kabar itu."
Solly menatapnya. Kedua bola matanya melotot merah. Dahinya berkeringat.
"O ya? Ketika kubaca berita hari ini tentang penganugerahan gelar bangsawan pada Joseph Pilaster yang seharusnya untuk ayahku.... aku tidak percay^"
"Tapi..."
"Bisa kaubayangkan akibatnya untuk ayahku?"
Micky mulai bisa memahami kemarahan Solly.
Bukan untuk dirinya sendiri dia berang, tapi demi ayahnya.
Kakek Ben Greenbourne tiba di London dari Rusia hanya berbekal uang lima pound dan pakaian lusuh serta sepatu berlubang.
Penganugerahan gelar bangsawan pada Ben berarti sebuah pengakuan atas harkat dan bobot keluarganya keluarga besar Greenbourne.
Selain itu juga semacam pengakuan bagi semua orang Yahudi , di Inggris.
Sebuah kemenangan besar bagi bangsanya.
Edward berkomentar.
"Aku tidak bisa disalahkan kalau kalian berasal dari bangsa Yahudi."
Micky cepat-cepat masuk untuk menetralisir suasana.
"Kalian tidak perlu bertengkar begitu di tempat umum. Bukankah kalian mitra dalam sebuah proyek besar?"
"Kau memang tolol, Miranda,"
Tukas Solly jengkel, sehingga Micky ngeri.
"Lupakan saja soal proyek jalan kereta api sialan itu, atau semua proyek bersama dengan Greenbournes Bank. Setelah kuceritakan soal ini kepada para mitra bank, mereka tidak akan mau melakukan bisnis lagi dengan keluarga Pilaster."
Micky serasa menelan tulang ketika melihat Solly meninggalkan mereka berdua.
Orang memang mudah lupa betapa berkuasanya seorang bankir, tapi dalam beberapa menit mereka bisa menghancurkan harapanmu.
Begitu juga dengan Micky, cukup satu kalimat saja dari Solly, sudah memusnahkan segala harapannya.
"Sialan,"
Gerutu Edward.
"Yahudi sialan."
Micky hampir saja membentaknya untuk tutup mulut.
Edward bisa saja hanya kena damprat karena kehilangan proyek besar ini, tapi tidak bagi Micky.
Ia akan kehilangan segalanya.
Papa akan marah dan akan melampiaskan padanya.
Apakah masih ada harapan baginya? Ia.#iencoba berpikir dengan tenang.
Adakah yang bisa mencegah Solly membatalkan proyek ini? Jika ada, harus secepatnya ia lakukan karena begitu Solly bertemu ayahnya atau anggota keluarga Greenbourne lainnya, musnahlah harapan Micky.
Apakah Solly bisa diajak bicara? Harus dicoba.
Sekarang juga.
Dengan cepat ia bangkit berdiri.
"Mau ke mana kau?"
Tanya Edward. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Micky memutuskan tidak memberitahu Edward.
"Main kartu, kau tidak mau main?"
"Ya, tentu saja."
Dengan cepat ia ikut bangkit dari duduknya dan bergabung dengan Micky. Di dasar tangga, Micky mencari alasan.
"Kau main dulu... nanti kususul."
Edward naik ke ruang atas.
Micky masuk ke dalam kamar gantung mantel, mengambil topi dan tongkatnya, lalu bergegas keluar dari klub.
Ia menengok ke kanan dan ke kiri sepanjang Pali Mali, takut kalau-kalau Solly sudah menghilang.
Sudah mulai gelap, lampu-lampu gas jalanan mulai dinyalakan.
Micky tidak bisa menemukan Solly.
Lalu, dari jarak sekitar seratus meter, ia melihat tubuh Solly yang besar sedang bergegas ke arah St.
James.
Micky mengejarnya.
Ia akan menjelaskan pada Solly betapa pentingnya proyek ini bagi dirinya dan nasib ribuan orang di Kordoba.
Ia akan membohongi Solly betapa di tangannya tergantung nyawa jutaan orang miskin di Kordoba.
Menghentikan proyek itu berarti menghukum mereka semua, hanya karena kemarahan Solly atas kelicikan Augusta.
Solly berhati emas, jika diminta demi alasan kemanusiaan, pasti ia bersedia menarik kembali niatnya.
Ia berkata baru saja bersama Pangeran Wales.
Artinya kemungkinan besar ia belum sempat menceritakan kasus ini pada orang lain.
Di klub tadi tak seorang pun mendengar pertengkaran mereka.
Jadi, besar kemungkinan Ben Greenbourne belum tahu soal ini.
Sudah tentu kebenaran akan muncul juga nanti.
Pangeran bisa saja memberitahu orang lain.
Tapi peduli amat, kontrak proyek sudah akan ditandatangani besok, tentunya jika kasus Augusta bisa ditahan tidak sampai ke telinga keluarga Greenbourne.
Setelah itu, silakan saja kedua keluarga besar itu bertengkar.
Yang penting, proyeknya sudah jalan.
Pall Mall dipenuhi dengan pelacur jalanan yang sedang mencari mangsa, juga para pejalan kaki yang baru keluar dari klub, serta kereta kuda dan kereta sewaan.
Micky mengalami kesukaran mengejar Solly.
Ia makin panik dan cemas.
Lalu Solly terlihat belok ke jalan lain yang menuju ke arah rumahnya di Piccadilly Street.
Micky terus mengejar.
Jalanan sudah lebih sepi.
Akhirnya^Micky berhasil.
"Greenbourne,"
Panggilnya.
"tunggu sebentar."
Solly menengok ke belakang, melihat siapa yang memanggil, lalu terus berjalan. Dengan terengah-engah Micky mengejar dan akhirnya berhasil menangkap lengannya.
"Tunggu sebentar, aku perlu bicara denganmu!" . * Solly juga kehabisan napas, sehingga tak bisa bicara. Setelah berhenti sejenak, ia membentak.
"Lepaskan tanganku."
Ia merenggutkan tangannya dan melanjutkan langkah. Micky terus mengejar dan sekali lagi berhasil merenggut lengan Solly. Solly berusaha melepaskan diri, tapi gagal.
"Dengarkan aku dulu!"
Pinta Micky.
"Sudah kukatakan jangan ganggu aku lagi!"
Bentak Solly.
"Sebentar saja!"
Micky juga menjadi marah.
Tapi percuma saja.
Solly tetap tidak mau mendengar.
Ia menarik tangannya dari pegangan Micky, berhasil, dan terus melangkah pergi.
Dua langkah lagi ia tiba di persimpangan jalan.
JMau tak mau harus berhenti karena ada kereta yang sedang berjalan kencang.
Micky mengambil kesempatan ini untuk berkata dengan nada memohon.
"Solly, tenang dulu... aku hanya mau bicara baik-baik denganmu."
"Persetan denganmu!"
Bentak Solly Jalanan sudah sepi. Untuk mencegah Solly lepas darinya, Micky mencengkeram tepi jasnya. Solly berontak. Micky membentak keras.
"Dengarkan dulu!"
"Lepaskan aku!"
Solly berhasil merenggut satu tangannya dan melayangkan tinjunya ke hidung Micky. Terasa pedih. Darah mengalir. Merasa sakit dan terhina, Micky meledak.
"Persetan denganmu!"
Tinjunya melayang ke pipi Solly.
Solly berbalik dan melangkah ke jalan.
Pada saat bersamaan, mereka melihat ada kereta besar berlari kencang ke arah Solly.
Solly melompat kembali ke trotoar.
Micky melihat adanya peluang.
Jika Solly mati, kesulitan Micky akan hilang.
Tidak ada waktu untuk memikirkan akibatnya, tidak ada ruang untuk ragu, dan tidak ada tempat untuk simpati.
Ia mendorong Solly sekuat tenaga ke tengah jalan, tepat di depan kuda penarik kereta besar.
Kusir kereta berteriak kaget dan berusaha menarik tali sais.
Solly terjungkal dan menjerit ngeri melihat kaki-kaki kuda terangkat ke arahnya.
Micky melihat tubuh Solly menggelinjang ketika kaki-kaki bersepatu besi itu menginjaknya.
Kemudian roda-roda kereta menggilasnya, meremukkan tengkorak kepalanya.
Micky membalikkan badan.
Mulanya ia merasa ingin muntah, tapi masih bisa menahannya.
Seluruh tubuhnya gemetar.
Lemas, nyaris pingsan.
Ia bersandar ke dinding.
Lalu ia memaksakan diri memandang tubuh yang diam tak bergerak.
Kepala Solly remuk, wajahnya tak bisa dikenali lagi.
Solly mati.
Dan Micky selamat.
Sekarang Ben Greenbourne tidak akan tahu tentang Augusta.
Besok siang kontrak selesai; jalan kereta api akan dibangun, dan Micky akan menjadi pahlawan di Kordoba.
Bibirnya terasa basah dan asin.
Rupanya darah masih menetes dari hidungnya.
Dengan sapu tangan ia mengusap dan membersihkan ujung hidungnya.
Masih melihat tubuh Solly yang terkapar kaku di tengah jalan ia berpikir.
Solly, kau tidak pernah marah, tapi kali ini sekali marah nyawamu yang jadi imbalannya.
la melihat ke sekeliling, memastikan ada saksi mata atau tidak.
Tidak ada satu orang pun.
Hanya si kusir kereta yang menyaksikan kejadian ini.
Kereta kuda sudah berhasil menghentikan larinya, sekitar dua puluh meter di depan.
Si kusir melompat keluar dan dari dalam kereta seorang wanita melongok ke luar jendela.
Micky bergegas membalikkan badan, berjalan cepat ke arah Ball Mall.
% Kemudian ia mendengar teriakan seorang pria.
"Hei, kau... berhenti!"
Ia tetap melangkah, malah makin dipercepat.
Akhirnya ia berbaur dengan pejalan kaki lainnya di kawasan Pall Mali.
Oh, Tuhan.
Akhirnya ia berhasil juga.
Rasa menang merayapi hatinya.
Rasa bangga.
Pikiran dan tindakan cepat dan disusul dengan ternyata bisa menyelesaikan masalahnya.
Ia bergegas masuk kembali ke dalam klub.
Ia berharap tak seorang pun memperhatikan kepergiannya tadi.
Tapi, begitu melewati pintu depan, ia melihat Hugh Pilaster keluar dari dalam klub.
Hugh mengangguk.
"Malam, Miranda."
"Malam, Pilaster,"
Jawab Micky; begitu tiba di ruang dalam ia mengumpati Hugh pelan.
Di ruang gantung mantel, ia menyeka ujung hidungnya, merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, dan menyisir rambut.
Pikirannya masih melayang ke Hugh.
Dialah satu-satunya saksi mata yang melihat Micky masuk ke klub pada jam ini.
Tadi Micky hanya keluar selama beberapa menit.
Kalau dihubungkan "dengan kematian Solly, tidak akan membuktikan apa-apa.
Tapi ia tetap tidak mempunyai alibi, dan inilah yang membuatnya khawatir.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia mencuci tangannya, lalu bergegas ke ruang main kartu.
Edward sedang main baccarat dengan yang lain; masih ada kursi kosong.
Tidak ada yang menanyakan kenapa ia absen sebentar.
Ia menerima kartu.
"Wajahmu agak pucat,"
Komentar Edward.
"Ya,"
Jawabnya tenang.
"Sakit perut... mungkin ikannya tadi kurang segar."
"Ambilkan brendi untuk tuan ini,"
Perintah Edward pada seorang pelayan.
Micky mengintip kartu di tangan.
Angka sembilan dan sepuluh, sempurna.
Ia bertaruh satu mata uang mas.
Tidak mau kalah dalam bentuk apa pun malam ini.
[nj HUGH pergi ke rumah Maisie dua hari setelah Solly meninggal.
Maisie sedang sendirian, duduk diam di sofa, memakai gaun hitam, tampak kecil dan nyaris hilang tertelan di ruang tamu yang mahabesar.
Wajahnya masih tergurat duka yang amat dalam dan sepertinya ia tidak tidur selama beberapa hari.
Melihat kondisinya, Hugh merasa trenyuh dan siap melakukan apa pun demi dia.
Melihat Hugh datang, Maisie langsung membiarkan dirinya dipeluk sambil berkata.
"Oh, Hugh, dia memang segalanya bagi kita."
Mendengar ini, Hugh tak bisa menahan air matanya. Selama ini ia terlalu kaget untuk menerima berita kematian Solly, sehingga tidak bisa menangis. Solly tidak pantas mati seperti itu.
"Dia orang yang sangat baik,"
Kata Hugh.
"Aku kenal dia selama lima belas tahun, belum pernah kulihat dia menyakiti orang lain."
"Kenapa sampai terjadi kecelakaan mengerikan itu?"
Tanya Maisie sedih.
Hugh ragu menjawab.
Beberapa hari yang lalu ia baru tahu dari Tonio Silva bahwa Micky Miranda melakukan pembunuhan atas diri Peter Middleton.
Sekarang ia ingat bahwa di luar Klub Cowes malam itu ia bertemu Micky.
Polisi juga sedang menyelidiki beberapa saki mata yang melihat Solly bertengkar dengtan seorang pria berpakaian apik.
Apakah fakta-fakta ini ada kaitannya? Kalau ada, apa motif Micky? Hampir tidak ada.
Bahkan Micky sedang menantikan Solly menandatangani kontrak proyek besarnya, jadi hampir tak mungkin ia membunuh orang yang menjadi pelindung.
Hugh memutuskan untuk menyingkirkan kecurigaan tak berdasar ini.
"Ya, benar-benar kecelakaan yang tragis."
"Kusir kereta mengatakan kemungkinan Solly didorong ke tengah jalan oleh pria yang bertengkar dengannya. Kalau laki-laki itu tidak bersalah, kenapa dia melarikan diri ketika dipanggil?"
Kata Maisie penasaran.
"Bisa sajadia ingin merampok Solly, begitulah yang ditulis di surat-surat kabat."
Berita kematian Solly sebagai bankir dan salah satu pria terkaya di dunia sangat simpang siur. Terlalu banyak spekulasi.
"Apakah perampok memakai busana malam yang apik?"
"Memang tidak. Tapi malam itu sudah gelap, sehingga si kusir kereta bisa saja salah lihat."
Maisie duduk kembali.
"Kalau saja kau mau menunggu agak lama, kau bisa mengawini aku bukan Nora ."
Hugh terpana dengan keterusterangan Maisie.
Waktu mendengar kematian sobatnya, ia memang pernah memikirkan hal ini tapi ia malu sendiri.
Memang sudah470 sifat Maisie untuk langsung berterus terang pada orang-orang yang dekat padanya.
Karena itu, ia tidak mau menanggapinya secara langsung, jadi ia mencoba melucu.
"Kalau Pilaster kawin dengan Greenbourne, namanya bukan pernikahan, tapi penggabungan usaha."
Maisie menggelengkan kepala dengan tegas.
"Aku bukan anggota keluarga Greenbourne. Mereka tidak pernah menerimaku."
"Tapi kau pasti mewarisi harta yang amat besar."
"Tidak satu sen pun, Hugh."
"Tak mungkin!"
"Benar. Solly sendiri tidak punya uang. Selama ini ayahnya memberinya uang bukan dalam jumlah besar, tapi tak pernah menanamkan uang atas namanya. Bahkan rumah pun bukan milik kami. Hanya dengan perhiasan, pakaian milikku, serta semua perabot ini, aku masih bisa hidup. Baik diriku maupun Bertie bukan pewaris bank."
Hugh terpana mendengarnya, sekaligus marah karena Maisie diperlakukan tidak adil.
"Jadi, Ben tidak akan menjamin kalian berdua. Termasuk cucunya?"
"Tidak satu sen pun. Aku sudah bertemu mertuaku pagi ini."
Benar-benar menyedihkan dan kejam. Sebagai teman, Hugh ikut merasa terpukul. Katanya.
"Memalukan sikapnya itu."
"Tidak juga,"
Sanggah Maisie cepat.
"Aku telah memberikan lima tahun kebahagiaan pada Solly. Sebagai imbalannya, aku bisa hidup dan bergaul di kalangan tinggi. Aku tidak keberatan hidup normal kembali seperti yang lain. Bisa kujual perhiasanku sedikit demi sedikit, uangnya kuinvestasikan untuk hidup sehari-hari."
Sungguh berat menerima ini.
"Kau tidak mau pindah ke rumah orangtuamu?"
"Di Manchester? Tidak, terlalu jauh dari sini. Aku akan tinggal di London dan membantu Rachel Bodwin mengurus rumah sakit bagi para wanita yang mengandung tanpa suami."
"Kudengar "ada isu-isu negatif soal rumah sakit itu. Menurut orang-orang, usaha itu memalukan."
"Oh, itu malah membuatku makin bersemangat."
Hugh memutuskan untuk bicara dengan Ben Greenbourne mengenai nasib Maisie dan Bertie. Tapi ia tidak akan memberitahu Maisie dulu karena tidak mau memberinya harapan kosong.
"Maisie, kuminta kau tidak membuat keputusan gegabah... janji?"
"Misalnya?"
Jangan cepat-cepat keluar dari rumah ini, nanti keluarga Greenbourne akan menyita semua isinya."
"Ya, aku akan bertahan dulu."
"Dan kau juga butuh seorang pengacara untuk mewakili kepentinganmu."
Maisie menggelengkan kepala.
"Aku sudah tak mampu membiayai pengacara hanya untuk itu, kecuali aku merasa ditipu, dan dalam hal ini tak mungkin. Ben orang yang jujur, walau hatinya sekeras baja. Mengherankan dia bisa punya anak-selembut Solly."
"Ah, kau sangat filosofis pagi ini,"
Puji Hugh. Maisie angkat bahu.
"Selama ini aku sadar bahwa hidupku penuh dengan kejadian menakjubkan. Pada usia sebelas, aku hampir tidak bisa makan. Pada usia sembilan belas, aku hidup penuh kemewahan."
Disentuhnya cincin berlian di jarinya.
"Berlian ini nilainya sejumlah uang yang tak pernah dilihat ibuku. Aku selalu menyelenggarakan pesta-pesta paling megah di kota ini, aku bergaul dengan orang-orang terkemuka, bahkan sering melantai dengan Pangeran Wales. Apa lagi yang kuharapkan? Aku hidup tanpa sesal. Kecuali satu... kau menikah dengan Nora."
"Aku senang pada Nora,"
Jawab Hugh agak ragu.
"Kau marah karena aku tidak mau tidur denganmu,"
Komentar Maisie terang-terangan.
"Kau sangat membu-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tuhkan penyaluran nafsu seksmu, sehingga kau langsung menyerah pada godaan Nora. Dia mengingatkanmu akan diriku. Tapi dia bukan aku dan sekarang kau tidak bahagia."
Hugh terkesima, seperti ditampar. Semua yang dikatakan Maisie benar adanya.
"Kau tidak pernah menyukai Nora?"
Tanyanya.
"Dan kau bisa saja menuduhku cemburu pada Nora. Mungkin saja benar, tapi satu hal yang tidak kusukai... dia menikahimu bukan karena cinta, tapi karena uangmu. Aku yakin kau sudah tahu ini sejak hari pertama pernikahan kalian."
Hugh ingat bagaimana sikap istrinya kalau diajak bercinta. Hanya sekali seminggu, atau kalau dibawakan hadiah. Ia merasa tertekan.
"Dia hidup sengsara waktu belum menikah. Jadi, wajar saja kalau dia agak materialistik."
"Sengsara? Tidak seberat diriku,"
Komentar Maisie ketus.
"Bahkan kau sendiri sengsara, ingat saat kau harus keluar dari sekolahmu karena masalah uang. Kuingatkan, Hugh, tidak semua wanita yang sengsara secara materi buta akan nilai cinta dan persahabatan. Banyak dari mereka lebih menghargai ketulusan daripada harta."
Hugh menjadi defensif.
"Ya, tapi Nora tidak seburuk yang kaukira."
"Tetap saja kau tidak bahagia bersamanya."
Agak bingung dengan serangan Maisie yang mengandung kebenaran, Hugh mencoba bertahan sebisanya.
"Aku tidak akan menceraikan dia, sudah sumpah suci perkawinan kami."
Maisie tersenyum getir.
"Ya, sudah kuduga kau akan berkata demikian."
Hugh tiba-tiba membayangkan tubuh Maisie yang telanjang, menantangnya untuk bercinta. Hampir saja dia menarik kembali ucapannya tadi, tapi sadar hal ini tidak benar. Dengan sigap ia berdiri untuk minta diri. Maisie ikut berdiri.
"Terima kasih atas kedatanganmu, Hugh."
Hugh berniat menyalami Maisie, tapi entah dorongan apa yang membuat ia mencium pipi wanita itu, lalu mengecup bibirnya.
Lembut.
Sebelum hanyut, Hugh menarik kembali bibirnya, lalu pergi tanpa pamit lagi.
Rumah Ben Greenbourne merupakan istana megah di kawasan Piccadilly.
Setelah menemui Maisie, Hugh langsung menuju rumah Greenbourne.
Ia senang karena bisa menolong^ Maisie, karena itu ia mendesak kepala pelayan untuk segera bisa bertemu Ben.
"Katakan padanya... urusan ini sangat mendesak."
Ketika menunggu, ia melihat seluruh kaca rias di ruang tamu ditutup, dan ia menduga ini semacam adat-istiadat berduka orang Yahudi.
Maisie tadi benar-benar telah membuatnya terkesima dan hilang keseimbangan.
Melihat Maisie, hatinya dipenuhi oleh cinta dan kerinduan.
Ia takkan pernah bisa bahagia tanpa Maisie.
Tapi Nora adalah istrinya, wanita yang telah memberinya kehangatan dan kasih sayang dalam hidupnya setelah ia ditolak oleh Maisie.
Apa gunanya bersumpah sehidup semati jika akhirnya harus bercerai? Akhirnya kepala pelayan mempersilakan ia masuk ke ruang perpustakaan.
Ia berpapasan dengan enam atau tujuh tamu yang sudah akan pulang.
Ben sedang duduk di kursi kayu sederhana tanpa alas kaki.
Di dekatnya ada meja yang dipenuhi dengan buah dan makanan kecil para tamu.
Ia berusia lewat enam puluh tahun Solly lahir terlambat tampak kuyu dan tua, namun tak ada tanda air mata.
Ia berdiri menyambut kedatangan Hugh, tegak dan formal seperti biasa, lalu mempersilakan Hugh duduk di depannya.
Greenbourne memegang sepucuk surat.
"Coba dengarkan ini,"
Katanya, lalu mulai membaca.
"Papa sayang, kami baru saja memperoleh guru baru yang mengajar bahasa Latin, Reverend Green, dan saya bisa memperoleh angka sepuluh. Waterford berhasil menangkap seekor tikus dengan sebilah sapu. Tikus itu sekarang dia latih untuk makan dari telapak tangannya. Makanan di sini terlalu sedikit, bisakah Papa mengirimi kue-kue? Putramu tercinta, Solomon."
Ia melipat kembali surat itu dan berkata.
"Usianya waktu itu baru empat belas tahun."
Hugh tahu. Ben sangat menderita, kendati ia bersikap tegar.
"Ya, aku ingat tikus itu,"
Ujarnya.
"Jari Waterford pernah digigitnya."
"Kalau saja aku bisa memutar balik jarum waktu,"
Kata Ben tiba-tiba. Hugh melihat kendali diri laki-laki tua di depannya ini mulai melemah.
"Aku salah satu teman lama Solly,"
Ujarnya perlahan.
"Ya. Dia sangat menyayangimu, kendati kau lebih muda darinya."
"Aku tidak tahu mengapa dia kagum padaku. Tapi dia selalu memandang orang lain dari segi positifnya."
"Ya, dia terlalu lembut."
Hugh tidak mau berlarut membicarakan kebaikan almarhum.
"Aku datang ke sini bukan hanya berduka cita, tapi juga ingin mengemukakan masalah Maisie."
Greenbourne tiba-tiba tegang. Wajahnya yang semula sedih berubah kaku, persis wajah seorang jendral Prussia. Hugh jadi heran, kenapa orang bisa membenci Maisie yang begitu cantik serta lucu. Hugh melanjutkan.
"Aku bertemu dia setelah Solly. Aku jatuh cinta padanya, tapi akhirnya Solly yang menang."
"Karena dia lebih kaya darimu."
"Mr. Greenbourne, kuharap Anda memperbolehkan aku bercerita yang sebenarnya. Maisie adalah gadis miskin yang mencari suami kaya. Itu benar. Tapi setelah menikah dengan Solly, dia menjalankan bagiannya dengan baik. Dia istri yang hebat."
"Untuk itu dia sudah memperoleh ganjarannya,"
Tukas Greenbourne cepat.
"Dia sudah menikmati lima tahun paling bahagia dari hidupnya, sebagai istri terhormat kalangan atas."
"Lucu juga, dia mengucapkan hal yang sama. Tapi itu saja tidak cukup. Bagaimana dengan si kecil Bertie? Pasti Anda tidak akan tega menelantarkan cucu Anda sendiri?"
"Cucu?"
Tukas Greenbourne.
"Hubert bukan apa-apa-ku."
Hati Hugh tiba-tiba berdebar keras, merasa sesuatu akan terjadi. Semacam mimpi buruk mengerikan yang akan datang.
"Aku tidak paham... apa maksud Anda."
"Wanita itu telah mengandung ketika menikah dengan anakku."
Hugh terkesima.
"Solly tahu haf ini, dan dia sendiri mengakuinya. Tapi Solly adalah Solly. Dia tetap bertanggungjawab penuh dan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri. Segera setelah pernikahan, mereka berkeliling Eropa selama dua tahun, lalu kembali dengan membawa anak itu. Mereka mengaku usianya baru empat bulan dan menunjukkan sertifikat kelahiran palsu karena tanggal dan bulannya diundurkan. Setelah dua tahun pergi, sulit diketahui bahwa bayi itu sebenarnya empat bulan lebih tua."
Jantung Hugh serasa berhenti. Ada pertanyaan yang harus ia cari jawabannya, tapi ia takut.
"Kalau begitu... siapa ayahnya?"
"Wanita itu tidak pernah mengaku. Juga Solly tidak pernah tahu, karena dia tidak peduli."
Tapi Hugh peduli.
Bertie adalah anaknya.
Ia menatap Ben Greenbourne, tak sanggup bicara.
Ia akan menanyakan pada Maisie dan membuatnya berterus terang.
Ia yakin Maisie bersedia mengakuinya.
Maisie bukan wanita.
murahan.
Ia masih perawan asli ketika pertama bercinta dengan Hugh.
Jadi, Hugh-lah yang membuat Maisie mengandung.
Lalu datang Augusta yang sengaja memisahkan mereka.
Akhirnya Maisie menikah dengan Solly.
Dia menamai anaknya Hubert, mirip nama Hugh.
"Memang menarik kasus ini,"
Kata Greenbourne tiba-tiba, karena melihat tamunya kelihatan bingung dan kaget. Aku punya seorang anak laki-laki, pikir Hugh. Hubert. Dipanggil Bertie. Batinnya bergolak, pedih.
"Jadi, setelah anakku meninggal, kau bisa memahami mengapa aku tidak mau berurusan lagi dengan wanita itu dan anaknya."
"Oh, jangan khawatir. Aku akan mengurus mereka berdua."
"Kau?"
Tanya Greenbourne heran.
"Mengapa kau yang jadi terbeban?"
"Oh, karena sekarang hanya aku yang mereka kenal... itu saja."
"Jangan hanyut terlalu jauh, Pilaster. Kau sendiri punya istri."
Hugh tidak mau melanjutkan percakapan dengan Greenbourne. Ia harus pergi. Dengan sikap hormat ia berdiri dan menyalam.
"Duka citaku yang paling dalam, Mr. Greenbourne. Solly adalah teman terbaik yang ku.-miliki."
Greenbourne balas mengangguk.
Hugh langsung minta diri.
Di ruang ganti, ia mengambil mantel dan tongkatnya.
Pikirannya melayang jauh ke masa silam.
Sambil berjalan kaki ke rumahnya, ia terus memikirkan masalah yang dihadapinya saat ini.
Segalanya telah berubah.
Nora adalah istri sahnya, tapi Maisie ibu dari putranya.
Nora bisa menjaga diri sendiri, juga Maisie.
Tapi Bertie? Dia butuh seorang ayah.
Tiba-tiba ia kembali dihadapkan pada pertanyaan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY lama itu.
apa yang mesti ia lakukan selama sisa hidupnya? Jika ia berkonsultasi dengan pendeta gerejanya, jelas akan dijawab bahwa yang sudah disatukan oleh Tuhan, tidak bisa diceraikan oleh manusia.
Tapi pendeta tak tahu dilema yang ia hadapi sekarang.
Nora menikahinya demi harta.
Ikatan di antara mereka hanya berupa secarik kertas belaka.
Dibanding dengan tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya, mana yang lebih berbobot? Bukankah Berti juga merupakan buah cinta kasihnya dengan Maisie? Apakah aku sedang mencari alasan untuk bercerai, pikirnya.
Jika ya, alangkah egois hatinya.
Ia serasa terbelah dua.
Terombang-ambing.
Ia mencoba mempertimbangkan cerai.
Ia bisa saja minta cerai dengan Nora, lalu memberinya sejumlah uang yang sangat besar untuk penyelesaian.
Lalu ia menikah dengan Maisie.
Pasti terjadi skandal besar.
Ia tidak akan diterima menjadi mitra Pilasters Bank.
Reputasinya akan jatuh di London.
Takkan ada satu pun keluarga baik-baik yang mau bergaul dengan mereka berdua.
Pekerjaan? Ia bisa saja pindah ke Boston atau New York.
Maisie pasti tertarik pindah ke Amerika.
Kendati tidak akan menjadi jutawan, paling tidak ia akan bahagia karena bisa menikah dengan jvanita yang dicintainya.
Akhirnya ia tiba di depan rumahnya di kawasan Kensington, hanya setengah mil dari rumah Aiigusta.
Rumahnya anggun berbata merah.
Sudah tentu tak bisa dibandingkan dengan rumah Augusta di kawasan Kensington Grove yang besar, mirip istana.
Pasti Nora sedang berada di kamarnya, berdandan untuk makan siang.
Kira-kira apa reaksinya jika suaminya minta cerai? la yakin akan apa yang ingin dilakukannya.
Tapi tepatkah tindakannya? Bertielah yang menjadi alasannya.
Salah meninggal -kan Nora demi Maisie.
Tetapi benar, meninggalkan Nora demi Bertie.
Ia membayangkan reaksi Nora ketika ia minta bercerai.
Wajahnya akan masam dan ditekuk kejam.
Pasti ucapan pertamanya adalah.
"Kau harus membayarku dengan setiap sen uang yang kaumiliki."
Aneh, membayangkan reaksi Nora malah membuat nuraninya lega.
Jika saja Nora menangis, ia tidak akan sampai hati melakukan ini.
Ia masuk ke dalam rumah.
Nora sedang di depan kaca, mematut-matut kalung baru hadiah dari Hugh.
Pedih rasanya memikirkan kalung yang ia berikan agar bisa bercinta dengan istrinya sendiri.
Nora yang lebih dahulu bicara.
"Aku ada berita untukmu."
"Nanti saja... ini lebih penting."
Tapi Nora tidak mau disela. Wajahnya menampilkan rasa menang bercampur kesal.
"Untuk sementara kau harus puasa total, tidak bercinta denganku,"
Katanya. Hugh merasa percuma menyela. Ia tahu sifat istrinya yang akan terus bicara.
"Apa yang mau kaukatakan?"
Tanyanya tak sabar.
"Sesuatu yang tak bisa dihindari telah terjadi."
Tiba-tiba Hugh menduga.
Rasanya bagai ditabrak kereta.
Terlambat, kalau memang itu yang dimaksud istrinya.
Ia takkan menceraikan Nora.
Perasaan kehilangan datang merayapi kalbunya.
Kehilangan wanita yang ia cintai dan anaknya.
Ia menatap mata Nora.
Ada sorot menantang di dalamnya.
Mungkin ia sudah tahu rencana Hugh.
Hugh memaksa dirinya tersenyum.
"Apa itu?"
"Aku mengandung!"
Kata Nora.
di scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya BAB SATU September JOSEPH PILASTER meninggal pada bulan September 1890, setelah tujuh belas tahun menikmati posisi sebagai Mitra Senior Pilasters Bank.
Selama periode itu, Inggris makin makmur, begitu pula keluarga Pilaster.
Mereka sekarang hampir sama kayanya dengan keluarga Greenbourne.
Kekayaan Joseph sendiri berjumlah hampir dua juta pound, mencakup koleksinya berupa enam puluh lima kotak tembakau antik bertatahkan berlian yang nilainya mencapai seratus ribu pound dan ia wariskan kepada Edward.
Semua anggota keluarga Pilaster menginvestasikan uang mereka di bank keluarga yang bisa memberikan bunga sebesar lima persen setahun, sementara nasabah biasa bunganya hanya sekitar satu setengah persen.
Para mitra Pilasters Bank lebih banyak lagi untungnya.
Selain lima persen bagian saham, mereka juga memperoleh bagian laba usaha.
Setelah sepuluh tahun menikmati sistem bagi hasil keuntungan, Hugh mulai bisa dikategorikan sebagai seorang jutawan baru.
Pada pagi hari sebelum upacara penguburan pamannya, Hugh meneliti wajahnya di depan kaca.
Mencari apakah sudah ada kerut-kerut tanda ketuaan.
Usianya sudah tiga puluh tujuh tahun.
Rambutnya mulai beruban, tapi sebagian besar masih hitam.
Di atas bibirnya tidak tumbuh kumis.
Kumis keriting sedang jadi model saat ini.
Hugh memikirkan apakah ia perlu ikut-ikutan agar bisa tampil lebih muda.
Paman Joseph benar-benar beruntung, pikir Hugh.
Selama ia menjadi Mitra Senior, dunia bisnis di Eropa hanya mengalami dua krisis besar.
bangkrutnya City of Glasgow Bank pada tahun 1878 dan bank Prancis Union Generate pada~tahun 1882.
Di antara kedua peristiwa itu, Bank of England hanya menaikkan suku bunganya sampai enam persen setahun, jauh di bawah ambang kepanikan nasabah.
Tapi menurut pandangan Hugh, kesalahan Paman Joseph terletak pada komitmennya yang terlalu jauh pada investasi di belahan benua Amerika Selatan.
Untungnya kekhawatiran Hugh tentang kemungkinan jatuhnya Pilasters Bank tidak pernah terjadi.
Hugh berpendapat bahwa terlalu banyak menanamkan investasi pada proyek berisiko tinggi bisa diibaratkan menyewakan rumah yang nyaris ambruk.
Uang sewa terus masuk, tapi begitu rumahnya roboh, tidak ada lagi uang sewa dan rumah.
Sekarang, dengan tiadanya Joseph, Hugh ingin meluruskan kembali pola investasi Pilasters Bank dengan cara menjual sebagian besar investasi di Amerika Selatan atau memperbaiki beberapa yang mudah melemah.
Selesai bercukur dan berpakaian, ia masuk ke kamar Nora.
Hari ini hari Jumat pagi.
hari bercinta.
Hugh telah menyetujui persyaratan istrinya, bercinta seminggu sekali saja.
Nora telah menanti di ranjang.
wajah dan tubuhnya makin gemuk, dan ada beberapa kerut di bawah matanya sebagai tanda usia, tapi ia masih tetap cantik.
Ia bercinta dengan Nora sambil menutup mata, membayangkan sedang bercinta dengan Maisie.
Kadang ia berniat menyerah saja, cerai dan kawin dengan Maisie.
Tapi tetap saja sukar, sampai lahir ketiga SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY putranya yang sangat ia cintai.
Tobias, dinamai sesuai ayah Hugh; Samuel, sesuai pamannya; dan Solomon, untuk mengenang Solly Greenbourne.
Toby, yang sulung, tahun depan sudah masuk ke Windfield School.
Nora kurang memberi perhatian kepada anak-anak itu, jadi Hugh-lah yang lebih banyak mengurus mereka.
Putra Hugh yang dirahasiakan, Bertie, sekarang sudah enam belas tahun, dan sudah bersekolah di Windfield.
Ia menjadi bintang pelajar dan kapten tim cricket.
Hugh yang membiayai sekolahnya, mengunjunginya sebagai wali ketika ada perayaan sekolah.
Secara umum, ia bertindak sebagai ayah pengganti.
Ada kecurigaan beberapa orang iseng, jangan-jangan ayah Bertie adalah Hugh sendiri.
Tapi isu seperti ini segera tertepis karena setiap orang tahu ketegaran kakek Bertie yang tidak mau tahu soal cucunya.
Sebagai sahabat Solly, sudah sewajarnya jika Hugh membantu.
Selesai bercinta, Nora bertanya.
"Jam berapa upacara penguburannya?"
"Jam sebelas, di Kensington Methodist Hall. Dan makan siang sesudahnya di rumah almarhum Paman."
Hugh dan Nora masih tinggal di Kensington, tapi di rumah yang lebih besar.
Mereka pindah rumah sejak mempunyai anak.
Nora memilih rumah dengan gaya dan corak Flemish seperti milik Augusta gaya yang sedang populer di kalangan kelas atas kota London.
Hampir semua meniru rumah Augusta.
Padahal Augusta sendiri tidak puas dengan rumahnya.
Ia ingin rumah yang jauh lebih besar, paling tidak seperti milik keluarga Greenbourne di kawasan Piccadilly.
Sayangnya suaminya menolak.
Menurut Joseph, rumah mereka sudah cukup mewah.
Rumah ini sekarang, menjadi milik Edward.
Mungkin Augusta akan membujuk anaknya untuk menjual rumah itu dan pindah ke rumah yang lebih megah.
Ketika Hugh turun untuk makan pagi, di ruang makan sudah menunggu ibunya yang semalam datang bersama adiknya, Dotty, dari Folkstone.
Hugh mencium ibunya dan duduk di sampingnya.
Tanpa basa-basi ibunya bertanya.
"Menurutmu, apakah dia benar-benar mencintai Dotty, Hugh?"
Hugh tahu arah pertanyaan ibunya.
Adiknya, yang sekarang berusia dua puluh empat, bertunangan dengan Lord Ipswich, putra tertua Duke of Norwich.
Nick Ipswich dikenal sebagai putra bangsawan yang sudah bangkrut secara finansial, karena itu wajar jika ibunya mempertanyakan hal ini.
benarkah ia mau menikah dengan Dotty karena cinta atau karena maskawin besar yang akan diberikan oleh Hugh.
Hugh memandang ibunya dengan sayang.
Ia masih saja berbusana serba hitam sebagai tanda berkabung kepada almarhum suaminya.
Rambutnya sudah mulai memutih, tapi bagi Hugh ibunya tetap cantik seperti dulu.
Dengan mantap Hugh berkata.
"Ya, dia mencintai Dotty, Mama."
Hugh ingat waktu Nick datang kepadanya untuk melamar Dotty.
Sebagai wali adiknya, ia mencoba melihat niat Nick.
Dalam kasus pernikahan kelas atas, biasanya yang bicara lebih dulu adalah pengacara kedua belah pihak.
Mereka akan merundingkan dengan tuntas persyaratan nikah dan syarat-syarat lainnya.
Tapi kali ini berbeda.
Nick terang-terangan mengatakan pada Dotty bahwa ia miskin.
Reaksi Dotty.
"Aku sudah mengalami bagaimana kemiskinan dan bagaimana kekayaan itu, jadi harta bukanlah tujuan hidupku. Bagiku yang paling penting adalah pribadi seseorang, karena dari situlah berasal kebahagiaan sejati."
Menurut Hugh memang idealistik, tapi dari pertemuan dengan Nick, ia merasa yakin pemuda ini memang mencintai adiknya.
Augusta jadi berang sewaktu mendengar pertunangan Dotty.
Jika ayah Nick meninggal, Dotty akan mewarisi gelar duchess, lebih tinggi dari gelarnya yang countess.
Dotty datang bergabung di ruang makan.
Dulu ia seorang gadis pemalu, sekarang sudah menjadi wanita dewasa yang tinggi semampai, sensual, berkemauan keras, dan bersemangat.
Mungkin itulah sebabnya banyak pemuda merasa terintimidasi olehnya, hingga sampai usia dua puluh empat ia belum menikah.
Tapi Nick memiliki kepribadian kuat.
Pernikahan mereka pasti akan penuh warna, pikir Hugh; tidak monoton seperti pernikahannya dengan Nora.
Nick datang pada jam sepuluh pagi.
Hugh yang mengundangnya datang.
Nick duduk di sisi Dotty, menikmati kopi.
Tidak seperti anak bangsawan lainnya, Nick lulusan Oxford dan sekarang mulai merintis karier sendiri.
Wajahnya tampan, khas Inggris.
Dotty tidak putus-putusnya memandang tunangannya, seolah ingin melahapnya.
Hugh iri pada cinta mereka berdua yang polos dan terbuka.
Pada usia tiga pulub tujuh, Hugh sebenarnya merasa canggung berperan sebagai ayah Dotty, tapi pagi ini sangatlah penting bagi masa depan Dotty dan ia ingin menyelesaikannya.
"Dotty, tunanganmu Nick dan aku telah membahas panjang lebar soal keuangan,"
Katanya. Ibunya berdiri, ingin meninggalkan ruangan. Hugh memegang tangannya sambil berkata.
"Mama, sekarang sudah zamannya wanita ikut membahas soal keuangan zaman modern."
Ibunya tersenyum dan duduk kembali. Hugh melanjutkan.
"Seperti kalian ketahui, Nick ingin ikut ujian pengacara, untuk merintis karier profesionalnya. Menurut pendapatnya, gelar bangsawan saja sekarang tidak akan menjamin masa depan."
Sebagai bankir, Hugh bisa memahami rencana Nick.
Ia tahu ayah Nick bangkrut karena salah berspekulasi.
Sebagai bangsawan, ia mewarisi tanah pertanian yang luas.
Dalam masa keemasan usaha pertanian, ia meminjam uang dari bank.
Membangun irigasi, membeli peralatan modern pertanian, dan memulai usahanya.
Tapi pada tahun 1870-an terjadi masa depresi yang sampai sekarang tahun 1890-an masih terasa dampaknya.
Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Pendekar Rajawali Sakti Siluman Pemburu Perawan