Pertarungan Mata Mata 1
Detektif Stop Pertarungan Mata Mata Bagian 1
PERTARUNGAN MATA-MATA Ebook by Syauqy_arr Edited by Raynold (Re edited by Farid ZE) 1.
Wanita Misterius Kejadiannya pada saat pemanasan.
Krak! Tiba-tiba saja bahu kiri Sporty terasa nyeri sekali, seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum.
Ia masih menyelesaikan gerakan terakhir, kemudian meringis sambil menahan sakit.
"Ada apa, Sporty?"
Pelatihnya langsung bertanya dengan cemas.
"Kau cedera?"
Anak itu mengumpat perlahan, lalu berkata,"Tangan saya rasanya seperti mau copot."
"Ya ampun!"
Seru Pak Martin, pelatih Sporty.
"Sebentar lagi pertandingan dimulai. Coba saya lihat dulu!"
"
Pemeriksaan bahu Sporty berlangsung di tepi arena.
Sporty menjalaninya dengan waswas.
Anak itu sadar bahwa ia takkan bisa bertarung dalam keadaan seperti ini.
Berarti, ia sudah gugur -belum sempat turun ke gelanggang.
Menyedihkan sekali, sebab Sporty sebenarnya mempunyai peluang besar untuk menjuarai pertandingan ini.
"Hmm,"
Pak Martin bergumam.
"cederanya tidak terlalu parah. Kelihatannya cuma keseleo saja. Lenganmu takkan copot gara-gara ini. Tapi kau tidak bisa bertarung. Apa boleh buat!"
Sporty kembali mengumpat. Ia kecewa sekali.
"Sudahlah,"
Pelatihnya berusaha menghibur.
"Calon-calon lawanmu pasti akan lega sekali karena kejadian ini. Sekali-sekali mereka pun ingin merasakan nikmatnya jadi juara."
Sporty mencoba menggerakkan lengannya.
Namun rasa nyeri segera mengalir seperti gelombang.Beberapa di antara ke-50 pejudo yang hadir memandang ke arah Sporty dan Pak Martin.
Mereka nampak terheran-heran.
Jarang-jarang seorang favorit juara harus mundur karena kecelakaan konyol seperti yang dialami Sporty.
Dengan demikian peluang menjuarai pertandingan junior ini kembali terbuka lebar.
"Lenganmu harus segera mendapat perawatan,"
Ujar Pak Martin.
"Ayo, kita ke ruang PK."
"Jangan di sini, deh!"
Sporty menolak.
"Saya mau pulang saja. Begitu turun dari kereta, saya akan segera ke tempat praktek Dr. Jakob. Dia ahli cedera olahraga. Saya sudah mengenalnya. Dr. Jakob pernah mengobati saya waktu saya jatuh dari sepeda."
"Hmm, Dr. Jakob memang hebat. Tapi kau jangan lupa, Sporty, sayalah yang bertanggung jawab atas dirimu. Saya tidak bisa membiarkanmu pulang duluan -apalagi dalam keadaan cedera! Kita datang bersama-sama, dan kita akan pulang bersama-sama."
Sporty menanggapi keberatan pelatihnya sambil nyengir lebar.
"Bapak kan tidak bisa disalahkan kalau saya menghilang secara diam-diam,"
Katanya."Kenapa sih, kau tidak tunggu di sini saja? Kau tidak berminat menyaksikan pertandingan?"
"Nongkrong di sini sambil mendongkol? Wah, terima kasih, deh! Lebih baik saya pulang saja."
"Baiklah! Kau boleh pulang duluan! Biar saya yang mengurus segala sesuatu di sini. Tapi hati-hati di jalan, ya?! Dan jaga lenganmu! Jangan sampai cederanya bertambah parah."
Sporty mengangguk, lalu bergegas menuju ruang ganti.
Ia segera melepaskan pakaian judonya, kemudian mengenakan celana jeans, T-shirt, baju hangat berwarna merah, dan sepatu kets.
Sambil menenteng kantong pakaian, ia keluar lewat pintu samping.Beberapa bis nampak berjajar di lapangan parkir di depan gedung olahraga.
Kendaraan-kendaraan itu digunakan untuk membawa para pejudo ke sini.
Sporty dan rekan-rekannya pun datang naik bis.
Mereka menempuh perjalanan ke lama hampir tiga jam untuk sampai di tempat pertandingan.
Untuk apa aku tinggal di sini kalau tidak bisa ikut bertanding?! ujar Sporty dalam hati.
Daripada bengong-bengong, lebih baik aku balik ke asrama.
Gedung olahraga itu terletak agak di luar kota.
Di sebelah kanannya, ladang-ladang gandum menghampar sampai ke cakrawala.
Di sebelah kirinya ada jalan bebas hambatan.
Jalan menuju N ke kota melintas di atasnya.Sporty mulai berjalan, sambil mencoba untuk tidak menggerakkan lengannya yang cedera.
Tujuannya adalah stasiun kereta api.
Sebelum mencapai jembatan atau jalan yang menuju ke kota tadi, Sporty harus melewati belokan yang menuju ke autobahn (jalan bebas hambatan).
Di pinggirnya ia melihat sebuah papan petunjuk.
RESTORAN-1 KM.Untuk sejenak anak itu ragu-ragu.
Namun kemudian ia mengubah arah dan melangkah dengan mantap.Kenapa harus mengeluarkan uang kalau ada cara yang lebih hemat! Karcis kereta api memang cukup mahal, tapi nyaris tak berarti dibanding dengan kerugian yang diderita perusahaan kereta api selama ini.
Sedangkan untuk membeli karcis, Sporty harus merogoh kocek sendiri.
Padahal uang sakunya pas-pasan saja! Sebenarnya, tabungan anak itu sudah cukup banyak.
Uangnya berasal dari hadiah-hadiah dan imbalan-imbalan yang ia peroleh bersama anak-anak STOP yang lain, karena mereka berhasil memecahkan beberapa kasus kejahatan.
Sporty selalu menabung bagiannya.
Menghambur-hamburkan uang tak ada dalam kamus anak itu! Cari tumpangan saja, deh! Sporty berkata dalam hati.
Jalur autobahn ini lewat di dekat sekolah asrama.
Mudah-mudahan tampangku cukup mengibakan hati, sehingga ada yang merasa kasihan dan mau mengajakku.
Ia menyusuri tepi jalan.
Rumput di jalur hijau tampak kecokelatan seperti tembakau.
Tiga sedan lewat begitu saja.
Setiap kali Sporty mengacungkan jempol, tanda ingin menumpang.
Tapi para pengemudi nampak terburu-buru.Lalu lintas di jalan bebas hambatan ternyata cukup padat.
Mobil-mobil sport melesat dengan kencang.
Truk-truk gandengan menggelinding dengan kecepatan yang lebih rendah.
Di kejauhan sebuah helikopter polisi berputar-putar di langit yang biru sambil memantau keadaan.
Sebuah kendaraan mendekat.
Sporty menoleh dan melihat sebuah Mercedes tua yang penuh karat.
Mesin mobil itu terbatuk-batuk ketika pengemudinya berhenti di tepi jalan.
Astaga! pikir Sporty sambil geleng-geleng kepala.Memang sudah sepantasnya kalau ia merasa kaget, sebab Mercedes itu berisi tujuh...
bukan, delapan orang.
Dan semuanya gendut-gendut.Pengemudi serta para penumpang mobil itu berkulit cokelat dan berambut hitam -sekelompok pekerja asing.
"Mau ikut?"
Si pengemudi bertanya."Tidak! Terima kasih! Saya hanya mau ke restoran di depan sana."
"Oh, begitu! Sebenarnya sih masih muat satu orang lagi. Kalau kami bergeser-geser sedikit, masih ada tempat untukmu.
"Hah, masih ada tempat? pikir Sporty. Di mana? Di atap? Bersama ketiga koper itu? "Terima kasih,"
Katanya.
"Saya jalan kaki saja. Sudah dekat, kok."
Kedelapan orang di dalam mobil itu tersenyum ramah.
Kemudian si pengemudi kembali menginjak pedal gas.
Perlahan-lahan Mercedes itu mulai meluncur lagi.
Mereka benar-benar baik hati, ujar Sporty dalam hati.
Malahan terlalu baik, sehingga melupakan faktor keamanan.
Mobilnya sudah penuh sesak, dan keadaannya pun mencurigakan.
Mungkin saja remnya tiba-tiba blong.
Biarpun menumpang, aku tetap berhak untuk mencari kendaraan yang aman.
Beberapa menit kemudian ia sampai di restoran.
Pemerintah Jerman Barat memang mengizinkan para pengusaha untuk membuka restoran, pompa bensin, serta lapangan parkir, di tepi jalan bebas hambatan antar kota.
Dengan demikian para pengemudi tidak perlu keluar dari jalan itu, jika mereka mau makan, mengisi bensin, atau sekadar ingin melepas lelah.
Lapangan parkir di depan restoran ternyata kosong.
Dan di pintunya ada pengumuman.
TUTUP SAMPAI...Wah, payah! pikir Sporty kesal.
Mereka enak-enak libur, sementara para pengemudi terpaksa menahan lapar dan haus.
Kalau begitu, aku ke pompa bensin saja.
Mudah-mudahan saja tidak ikut-ikutan tutup.
Kekhawatiran Sporty ternyata tidak beralasan.
Keadaan di pompa bensin lagi ramai-ramainya.
Puluhan mobil nampak menunggu giliran untuk dilayani.
Para petugas berseragam biru benar-benar sibuk.
mengisi bensin, membersihkan kaca, memeriksa oli, menerima uang...
Sporty sudah mau beranjak ketika ia melihat sebuah mobil menuju ke arahnya.
Mobil itu adalah sebuah Audi berwarna hijau daun.
Pengemudinya seorang wanita.
Ia memperlambat kendaraannya, lalu berhenti di lapangan parkir.
Rupanya ia belum tahu bahwa restoran itu tutup.
Baru setelah mematikan mesin mobil, wanita itu melihat pengumuman yang tertempel di pintu restoran.Wajahnya langsung mencerminkan kekecewaan.
Apakah aku boleh numpang di mobilnya? Sporty bertanya dalam hati.
Hmm, kemungkinan besar sih tidak! Kaum wanita biasanya tidak mau memberi tumpangan pada orang yang tidak dikenal.
Mungkin saja orang yang diajak seorang pembunuh berdarah dingin! Ayo, Sporty! Senyum, dong! Siapa tahu wanita ini seorang pemberani.
Cepat-cepat ia mengacungkan jempol kiri.
Tapi senyum di bibir Sporty segera terhapus, karena rasa nyeri kembali menyerang bahunya.
Untuk ketiga kalinya anak itu mengumpat tertahan.
Perlahan-lahan ia menurunkan tangan.Wanita itu menoleh ke arahnya.
"Kau mau numpang?"
Ia bertanya melalui jendela yang terbuka.
"Ya! Saya..."
"Ke mana?"
Sporty menyebutkan tujuannya, dan wanita itu tersenyum ramah.
"Kebetulan sekali,"
Katanya.
"Saya juga mau ke sana. Ayo, silakan naik!" . Sporty membuka pintu dan duduk di depan. Kantong pakaian diletakkannya di bangku belakang. Sementara Sporty memasang sabuk pengaman, wanita itu sudah melewati pompa bensin. Rupanya tangki bensinnya masih penuh.
"Terpaksa deh, saya tunggu sampai restoran berikut,"
Wanita itu mendesah.
"Padahal saya benar-benar perlu secangkir kopi. Mata saya sudah susah diajak berkompromi."
"Anda pasti sudah menempuh perjalanan jauh,"
Sporty menduga-duga.
"Lumayan juga, 400 kilometer sih ada. Saya datang dari -Brussel, ibukota Belgia."
"Oh, ya, nama saya Peter Carsten."
"Saya Hilda Putz."
"Terima kasih atas kebaikan Anda, Nyonya Putz. Saya..."
"...Nona Putz,"
Wanita itu memotong.
"Saya masih single -belum menikah. Kau sering menumpang seperti ini?"
"Hampir tidak pernah. Untung Pak Martin tidak tahu-menahu soal ini. Dia pelatih judo saya. Kalau dia tahu bahwa saya tidak naik kereta, dia pasti marah-marah. Tapi saya bisa menjaga diri -biarpun lagi cedera. Lengan kiri saya keseleo. Gara-gara..."Sporty lalu menceritakan nasib sial yang menimpanya. Dan Nona Putz -walaupun lelah -mendengarkannya dengan penuh perhatian. Usia wanita itu sekitar 30 tahun. Wajahnya cantik. Kedua matanya biru. Ia mengenakan make-up dengan warna-warna segar. Rambutnya dipotong sesuai mode terakhir, dan dicat merah. Menurut Sporty, warna itu tidak cocok untuk Nona Putz. Tapi itu sih soal selera pribadi.Mereka kini melaju di jalan bebas hambatan. Jarum speedometer -alat pengukur kecepatan -menunjuk ke angka 110. Setiap beberapa detik Hilda melirik ke kaca spion. Bagaimana caranya supaya dia jangan sampai ketiduran? pikir Sporty sambil menatap Hilda, yang memang sudah mulai mengantuk. Setelah berpikir sejenak, anak itu lalu bercerita mengenai keadaan di asrama, dan mengenai petualangan-petualangan yang ia alami bersama ketiga sahabatnya.Hilda telah menurunkan kecepatan sampai 95 km/jam. Dengan susah payah ia berusaha menahan serangan kantuk. Mungkin lebih baik kalau aku ikut Mercedes tadi, pikir Sporty. Keadaan mobil ini memang lebih baik, tetapi keadaan pengemudinya justru lebih mengkhawatirkan.Hari telah menjelang sore. Matahari berada tepat di depan mereka Hilda menurunkan sunscreen (penghalang sinar matahari) dan mengenakan kacamata gelap. Sporty mengedip-ngedipkan mata. Kemudian ia pun menurunkan sunscreen. Dengan bantuan cermin kecil yang terpasang pada penghalang sinar matahari itu, Sporty bisa memperhatikan keadaan jalan bebas hambatan di belakang mereka.Lalu lintas masih padat. Hilda menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mobil-mobil lain terus menyusul. Tetapi tidak semuanya, sebuah Mercedes berwarna hitam di belakang mereka kelihatannya juga tidak terburu-buru. Pengemudi serta penumpang di sebelahnya nampak duduk dengan santai.
"...lenganmu masih sakit, Peter?"
Tanya Hilda.
"Sudah mendingan -asal jangan digerakkan aja. Tapi... ehm... panggil saya Sporty saja, deh! Kalau saya dipanggil dengan nama Peter, saya selalu mengira orang lainlah yang dimaksud."
Hilda tersenyum.
"Lima kilometer lagi sampai ke restoran berikut,"
Ujar Sporty setelah membaca papan petunjuk di tepi jalan.
"Wah, bau kopinya sudah kecium!"
"Awas kalau restoran itu tutup juga,"
Hilda mengancam.
"Jangan sampai saya lupa diri dan terpaksa berteriak-teriak di pinggir jalan!"
Untung saja restoran itu buka.
Lapangan parkir di depannya penuh sesak.
Tidak ada tempat kosong sama sekali.Hilda terpaksa menjalankan mobilnya sampai ke belakang bangunan itu.
Di sana -agak tersembunyi -ada lapangan parkir kecil yang dikelilingi semak-semak.
Di ujungnya terdapat sebuah jalan satu jalur yang langsung menuju ke jalan bebas hambatan.
Sebelum turun dari mobil, Sporty menoleh ke bangku belakang.
Di samping kantong pakaiannya ada sebuah tas kantor berwarna hitam.Baru sekarang Sporty menyadari bahwa Hilda termasuk tinggi dan berbadan langsing.
Wanita muda itu mendengus-dengus,"Kau benar, Sporty.
Bau kopinya sudah tercium."
"Bagaimana tidak? Kita kan berada tepat di depan jendela dapur."
Jendela itu berkaca buram, sehingga mereka tidak bisa melihat ke dalam.
Namun suara piring dan panci terdengar dengan jelas.
Sosok-sosok berpakaian serba putih nampak samar-samar.
Sporty dan Hilda menuju ke depan.
Sebelum masuk ke restoran, Sporty melihat Mercedes hitam yang tadi berada di belakang mereka.
Pengemudinya sedang menoleh ke kiri dan kanan.
Rupanya ia juga mencari tempat parkir.
Suasana di restoran itu ramai sekali.
Para pengunjung seakan-akan berlomba-lomba untuk mengalahkan suara dari meja sebelah Sebagian besar sedang makan dengan lahap.
Beberapa orang nampak berbincang-bincang sambil minum bir.
Mudah-mudahan saja mereka masih tahu batas, Sporty berharap.
Semua meja sudah terisi, sehingga Sporty dan Hilda terpaksa berbagi tempat dengan sepasang remaja yang sedang asyik berpacaran.
Kedua anak muda itu saling menyuapkan makanan, sambil bertatapan dengan mesra.
Hilda lalu memesan secangkir kopi tanpa susu Sporty minta segelas CocaCola.
Sambil menunggu pesanan, Sporty mencoba mengangkat lengan kirinya.
Ternyata gerakan itu sempat menimbulkan salah pengertian.
seorang pelayan merasa dipanggil dan langsung menghampiri anak itu.
Sporty terpaksa minta maaf dan menjelaskan duduk perkaranya.
Untuk selanjutnya anak itu memutuskan untuk diam saja.
Ia toh sudah tahu bahwa lengannya kini tidak begitu sakit lagi.
"Anda memang tinggal di Brussel?"
Sporty lalu membuka percakapan.Hilda mengangguk.
"Kau pasti memperhatikan pelat nomor mobil saya, ya? Betul, saya bekerja di sana."
"Tapi Anda orang Jerman, bukan?"Sekali lagi Hilda mengangguk. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, pelayan tadi telah membawa pesanan mereka. Dengan mata berbinar-binar. Hilda meraih cangkir kopinya, lalu memasukkan lima sendok gula. Sporty memperhatikannya sambil geleng-geleng. Kemudian mereka berbincang-bincang dengan santai, sambil menikmati minuman masing-masing. Setelah selesai, Sporty cepat-cepat mengeluarkan dompetnya. Ia ngotot hendak membayar -sebagai balas jasa atas kebaikan Hilda. Pertama-tama wanita muda itu menolak. Tapi akhirnya ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sporty dan Hilda berdiri lalu keluar dari restoran. Hilda nampak lebih segar sekarang. Tapi Sporty merasa bahwa wanita muda itu jadi agak gelisah. Dengan bingung ia menoleh ke segala arah, seakan-akan lupa di mana ia memarkir mobilnya.
"Kurang lebih satu jam lagi kita sudah sampai,"
Ujar Sporty sambil berjalan ke lapangan parkir di belakang restoran.
Matahari bersinar terik.
Langit tampak biru, tanpa awan sama sekali.Di samping mobil Hilda kini ada satu mobil lagi, Mercedes hitam yang telah dua kali menarik perhatian Sporty.Mobil itu menghadap ke arah jalan keluar.
Mesinnya dihidupkan.
Pengemudinya duduk di dalam.
Pintu sebelah kanan terbuka lebar.
Sporty nyaris tak percaya pada penglihatannya.
Rekan si pengemudi Mercedes telah membongkar pintu mobil Hilda, dan mengambil tas kantor wanita itu dari bangku belakang.
Baru saja ia membalik dan hendak kembali ke mobil yang menunggunya.
Sporty segera bertindak.
Ia seperti lupa bahwa lengannya sedang cedera.
Seperti panah terlepas dari busur anak itu melesat maju.
Pencuri tas Hilda langsung menyadari ancaman yang datang.
Sambil memelototi Sporty, pria itu melompat ke arah Mercedes yang siap berangkat.
Dengan sigap ia masuk ke dalam.
Rekannya segera tancap gas.
Tapi pada saat yang sama Sporty telah sampai di samping mobil itu.
Si pencuri nampak kebingungan.
Gerakan-gerakannya tidak terkoordinasi dengan baik -mungkin karena terlalu terburu-buru.
Badannya sudah berada di dalam mobil.
Tetapi tangan kanannya, yang menggenggam tas Hilda, masih ketinggalan di luar.
(Di Jerman, kemudi mobil di sebelah kiri).
Dengan tergesa-gesa ia berusaha menariknya.
Namun Sporty lebih cepat.
Anak itu segera menabrak pintu mobil dengan bahu kanannya, sehingga tangan si pencuri kejepit.
Pria itu berteriak kesakitan.
Tas kantor milik Hilda terpaksa dilepaskannya.
Sporty langsung melompat mundur.
Untung saja, sebab Mercedes itu sudah mulai melaju dan nyaris menyerempet Sporty.
Beberapa detik kemudian anak itu baru sadar bahwa ia terduduk di aspal.
Tas kepunyaan Hilda ada di antara kedua kakinya.
Ternyata tanpa tangan kiri pun bisa! Sporty berkata dalam hati.
Kemudian ia menoleh ke arah Hilda.
Wanita muda itu berdiri seperti patung -dengan mata terbelalak dan satu kaki terangkat.
Ia nampak seakan-akan membatu pada saat melangkah.
Wajahnya kelihatan pucat pasi.
Mulutnya menganga lebar, namun tidak sempat mengeluarkan suara.
"Keadaan sudah aman!"
Kata Sporty sambil ketawa dan melambaikan tas milik Hilda. Untuk itu ia harus menggunakan tangan kanan, sebab tasnya cukup berat.
"Kali ini kita masih beruntung."
Hilda menutup mulut, menapakkan kaki, lalu menghampiri Sporty.
Anak itu segera berdiri."Kurang ajar! Para pencuri semakin nekat saja.
Coba perhatikan bagaimana bajingan itu membongkar pintu mobil Anda.
Pekerjaannya rapi sekali, nyaris tanpa bekas.
Tak ada bagian yang dirusak.
Kelihatannya mereka bukan pencuri amatiran."
Hilda berhenti di hadapan Sporty, meraih. tasnya, lalu menatap anak itu sambil menggelengkan kepala.
"Saya benar-benar berutang budi padamu, Sporty,"
Katanya dengan suara serak.
"Entah bagaimana saya harus berterima kasih."
"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting Anda tidak kehilangan tas. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Jangan sampai kedua bajingan itu sempat kabur. Mereka masih di jalan bebas hambatan sekarang. Saya masih ingat pelat nomor Mercedes itu. Kita harus segera menelepon polisi dan..."
"Sporty!"
Hilda mencegahnya.
"Saya... saya tidak tahu bagaimana saya harus menjelaskannya, tapi... ehm... saya minta dengan amat sangat... Jangan hubungi Polisi!"
Sporty segera mengerutkan kening terheran-heran ia menatap wanita di hadapannya."Tapi... Nona Putz! Kedua bajingan itu hampir saja mencuri tas Anda."
Hilda mengangguk perlahan."Saya tahu. Tapi saya minta kau jangan telepon polisi."
"Permintaan Anda benar-benar tidak masuk akal! Memangnya Anda kenal mereka?"
Hilda menggeleng. Sporty lalu menunjuk tas di tangan wanita itu.
"Ada sesuatu yang penting di dalamnya?"
Hilda kembali menggeleng."Hmm, Anda bilang bahwa Anda tidak bisa memberi penjelasan. Artinya, Anda tidak mau memberi penjelasan, bukan?"
Kedua mata Hilda mulai berkaca-kaca. Sporty langsung merasa kikuk. Air mata seorang wanita selalu membuatnya tak berdaya -begitu juga kali ini. Kecurigaannya langsung pupus.
"Baiklah! Terserah Anda saja. Tapi tolong jangan menangis. Anda sudah berbaik hati dan menolong saya. Karena itu saya akan beranggapan bahwa Anda sebenarnya sudah menikah, dan bahwa Anda diam-diam meninggalkan suami Anda. Mungkin itu sebabnya Anda tidak mau berurusan dengan polisi. Tapi ada satu hal yang harus saya tanyakan. Saya harap Anda mau menjawabnya dengan jujur. apakah Anda membawa narkotik dalam tas Anda?"
"Tidak!"
Sporty menatap Hilda dengan tajam.
Kedua mata wanita itu nampak memerah.
Tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak bohong.
Setidak-tidaknya Sporty merasa begitu.
Kenyataan ini membuatnya agak tenang.
Hilda tidak tersangkut dalam urusan narkotik.
Tapi bagaimana kalau tas itu berisi perhiasan curian, atau uang yang digelapkan, atau...
Ah, masa bodoh! Itu tanggung jawab Hilda sendiri.
Sporty tidak perlu ikut campur.
Begitulah pendapatnya yang kemudian ternyata keliru sekali.
2.
Si Pencuri Beraksi Kembali Selama sisa perjalanan, Sporty dan Hilda hanya bicara seperlunya.
Kejadian tadi sama sekali tidak disinggung-singgung lagi.
Sambil membisu, Sporty berulang kali berusaha mengingat-ingat wajah si pencuri.
Ia memang hanya sempat melihatnya selama beberapa detik saja -tetapi dari dekat sekali.
Wajah bajingan itu takkan terhapus dari ingatan Sporty.
Ciri-cirinya terlalu menyolok, wajahnya berbentuk kotak dan berkesan garang.
Matanya yang hitam menyorot dingin.
Ciri-ciri lain adalah dahi sempit, alis tebal, serta hidung bengkok yang kelihatannya pernah patah.
Potongannya kekar, tetapi gerakannya cukup gesit.
Ia berpakaian perlente, seperti seorang manajer tingkat atas.
Hilda nampak terpukul sekali.
Tasnya tidak berisi narkotika.
Hmm.
Tapi...
Sporty mulai bimbang.
Apakah kejadian mencurigakan tadi bisa dianggap sebagai angin lalu saja? Apakah sikap seperti itu bisa dipertanggungjawabkan? Barangkali lebih baik kalau hal ini dilaporkan pada Komisaris Glockner.
Namun di pihak lain -Sporty sudah berjanji untuk tidak melibatkan polisi.
Kalau ia sekarang menghubungi Pak Glockner, ia akan merasa seperti seorang pengkhianat.
Mudah-mudahan aku tidak menyesal nanti, Sporty berkata dalam hati.
Habis, aku tak sanggup menghadapi air mata wanita.
Apalagi kalau wanita itu memiliki sepasang mata yang indah.
Hmm, kalau dipikir-pikir, mata Hilda mirip mata Petra.
Mungkin karena itu...
Oke, deh! Aku sudah janji! Tapi mata Petra masih lebih biru.
Dan dia takkan mengecat rambutnya dengan warna merah menyala.
"Sebentar lagi kita sudah sampai,"
Ujar Hilda.
"Kau mau turun di mana?"
"Anda menuju ke mana?"
"Ke arah pusat kota."
"Kebetulan sekali! Berarti kita akan lewat Gereja Santo Michael. Saya turun di sana saja. Tempat praktek Dr. Jakob tidak jauh dari situ."
"Semoga saja kau lekas sembuh! Supaya kau bisa latihan lagi dan meraih gelar juara di pertandingan berikutnya."
Sporty menanggapinya dengan ketawa."Terima kasih! Saya akan berusaha sebisa-bisanya."
Mereka masuk ke kota, lalu ditelan oleh lalu lintas yang padat.
Suasana di sepanjang jalan protokol yang mereka lewati nampak meriah sekali.
Para penduduk kota rupanya tidak ingin menyia-nyiakan cuaca sebagus ini.
Sporty merasa seakan-akan telah pergi beberapa hari -bukan baru beberapa jam saja.Tidak lama kemudian Nona Putz berhenti di depan Gereja Santo Michael.
Wanita itu tersenyum kaku, lalu berjabatan tangan dengan Sporty.Sepertinya ada yang dia sembunyikan, anak itu berkata dalam hati.
"Terima kasih atas bantuanmu, Sporty."
"Sama-sama, Nona Putz!"Sambil menenteng kantong pakaiannya, Sporty berdiri di pinggir jalan. Ia memperhatikan mobil Nona Putz sampai menghilang dari pandangan. Dalam sekejap pelat nomor kendaraan itu sudah terukir di otaknya. Tiga kali ia mengulangi deretan huruf dan angka itu. Siapa tahu nanti ada gunanya. Sporty menggerak-gerakkan lengannya. Ternyata lancar-lancar saja. Kemudian ia mulai memutar-mutarnya. Langsung saja rasa nyeri mulai menusuk-nusuk lagi. Tapi sudah tidak separah tadi pagi. Nah, lumayan kan? Apa memang perlu pergi ke tempat praktek Dr. Jakob? Sporty bertanya dalam hati. Rasanya sih, tidak perlu. Tapi apa jadinya kalau semua orang berpikiran seperti ini? Bisa-bisa semua dokter terpaksa gulung tikar! Mau makan apa mereka nanti? Ayo Sporty, Dr. Jakob sudah menunggu. Ketika membalik, Sporty tiba-tiba melihat sebuah Mercedes hitam. Namun sebelum ia sempat memastikan apakah mobilnya sama dengan mobil pencuri tadi, kendaraan itu sudah lenyap dari pandangan. Benarkah itu mobilnya? Jangan-jangan Sporty hanya salah lihat.Ia tidak sempat membaca pelat nomor Mercy itu. Ia hanya melihat bahwa mobil itu berisi dua orang pria.Sporty berpikir sejenak, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan bahwa kemungkinan besar ia salah lihat. Memang pelat nomor mobil kedua bajingan menunjukkan bahwa mereka berasal dari sini. Tapi kota ini besar dan luas. Penduduknya berjuta-juta. Mungkin saja ada dua buah kendaraan yang mirip sekali satu sama lain. Sporty menenteng kantong pakaiannya, lalu menuju tempat praktek Dr. Jakob.Pada waktu ia mendaftarkan diri, gadis muda yang bekerja sebagai pembantu dokter bertanya apakah Sporty sudah punya janji.
"Belum! Tapi ini kasus darurat. Saya baru saja mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan lalu lintas?"
Gadis itu bertanya dengan terkejut.
"Bukan, kecelakaan olahraga!"
"Oooh, cuma itu!"
"Cuma itu bagaimana? Memangnya kecelakaan olahraga tidak perlu ditangani?"
"Bukan begitu maksudnya. Saya kira kau cuma main-main. Habis, kau kelihatannya sehat-sehat saja,"
Jawab gadis itu sambil tersenyum.
Sporty lalu dipersilakan masuk ke ruang tunggu.
Ternyata sudah ada lima orang yang menunggu giliran diperiksa oleh Dr.
Jakob.
Di antara kelima orang itu ada dua pria berusia lanjut yang sedang asyik berbincang-bincang mengenai kesehatan mereka.
Keduanya mengaku sudah pernah menderita segala macam penyakit, dan selalu lebih parah dibandingkan dengan lawan bicara masing-masing.
Sungguh mengherankan bahwa mereka masih hidup sampai sekarang.
Untuk mengisi waktu, Sporty mengambil sebuah majalah ilmiah dari tumpukan di atas meja, lalu mulai membaca artikel mengenai ekologi (ilmu lingkungan hidup).
Jendela di ruang tunggu itu menghadap ke pekarangan belakang.
Di bawah sinar matahari yang cerah, tembok-tembok abu-abu yang mengelilingi pekarangan itu hampir bisa dibilang menyenangkan.
Burung-burung gereja nampak melompat-lompat.
Di kejauhan terdengar suara sirene.
Rasa nyeri di bahu Sporty hampir tak terasa lagi.
Kekecewaan karena tidak bisa mengikuti pertandingan pun sudah berkurang.Sporty terus membaca.
Ia sama sekali lupa akan Hilda Putz.
*** Wanita muda itu dicekam ketakutan.
Di tengah kepadatan lalu lintas, rasa takutnya masih agak terkendali.
Namun demikian, hatinya berdebar-debar.
Jari-jemarinya terasa dingin seperti es.
Kenapa kedua bajingan tadi mencoba mencuri tasnya? Dari mana mereka tahu? Dan siapa mereka itu? Siapa yang menyuruh mereka? Ada apa dengan Bernard? Apakah rencananya gagal? Atau kejadian tadi hanya suatu kebetulan saja? Barangkali kedua bajingan tadi hanya pencuri biasa? Hilda tahu persis.
tanpa Bernard Wacker, pacarnya, ia takkan berani menjalankan rencana ini.
Semua ini ia lakukan untuk Bernard.Sekarang nasi telah menjadi bubur.
Hilda tidak bisa mundur lagi.
Tapi dalam hati wanita muda itu merasa seperti berdiri di tepi jurang -dengan sebelah kaki menggantung di udara.
Ia menekan pedal gas, menyelinap di antara kendaraan-kendaraan lain, dan meninggalkan pusat kota.
Tidak lama kemudian ia sudah berada di sebuah jalan yang tenang.Jalan itu berada di pinggir kota, di suatu daerah perumahan kelas menengah-bawah.
Rumah-rumah sederhana di daerah ini dikelilingi oleh pekarangan-pekarangan sempit.
Bernard Wacker tinggal di salah satu rumah paling tua.
Rumah itu nyaris tak kelihatan dari jalan, sebab pekarangannya dikelilingi oleh pagar tanaman setinggi orang.Mobil Bernard, sebuah VW Kodok warna putih, nampak di tepi jalan, nyaris menempel pada pagar -sesuai rencana.
Pintu pagar terbuka lebar.
Garasinya kosong.Sambil menarik napas panjang, Hilda membelokkan mobilnya.Setelah masuk ke garasi, ia mematikan mesin.
Suasana menjadi hening.
Pohon-pohon di pekarangan menghalangi cahaya matahari.
Aman, deh! Hilda berkata dalam hati.
Tak ada yang tahu bahwa aku bersembunyi di sini.
Memang untuk sementara waktu ia harus menghilang dari peredaran.
Mobilnya juga tidak boleh keluar dari garasi.
Namun Hilda tidak keberatan.
Ini adalah harga yang pantas untuk masa depan yang cerah bersama Bernard.
Hilda tersenyum, lalu mengarahkan kaca spion sehingga wajahnya kelihatan.
Dengan hati berbunga-bunga wanita muda itu mulai membenahi make-up-nya.
Ia ingin tampil secantik mungkin di hadapan pacarnya.
Bernard pasti sudah mendengar suara mobilnya.
Tapi karena sedang demam -panasnya mencapai 40 derajat -memang sudah sewajarnya kalau Bernard tetap tinggal di tempat tidur.
Ketika sedang memoleskan lipstik, Hilda tiba-tiba melihat bayangan itu.Bernard? Ia menoleh ke kanan.
Pada detik yang sama pintu mobil dibuka dari luar.Hilda tak sempat berteriak.
Moncong pistol berkaliber besar terarah ke keningnya.Sambil nyengir pria itu membungkukkan badan.
"Sst! Jangan ribut, Sayang! Jangan sampai aku harus menggunakan pistol ini. Kau takkan lolos untuk kedua kalinya."
Walaupun tersenyum, wajah pria itu tetap seram. Alisnya tebal sekali. Hidung bengkoknya menambah kesan angker. Pakaian perlente yang dikenakannya sama sekali tidak cocok dengan wajahnya. Pakaian yang sesuai baginya hanyalah seragam penjara.
"Anda... Anda mau apa?"
Tanya Hilda. Suaranya gemetar.
"Jangan berlagak bodoh! Mana tas kantormu? Kejadian di lapangan parkir tadi membuat aku semakin yakin bahwa kau membawa berkas-berkas itu. Hehehe, kau cukup lihai tadi -itu harus diakui. Tapi sekarang semuanya sia-sia saja."
Pandangan Hilda menjadi gelap.
Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak jatuh pingsan.
Kini ia sadar bahwa kejadian tadi bukan sekadar kebetulan saja.
Kedua pria di Mercedes itu juga bukan pencuri biasa.
Mereka tahu rencana Bernard.
Mereka mengenal Hilda.
Mereka tahu apa yang dilakukan wanita itu.
Dan sekarang...
Hilda mulai menggigil.
Melalui kaca spion ia melihat seseorang berdiri di pintu gerbang.
Orang itu berambut pirang, malahan nyaris putih.
Ya, dialah pengemudi Mercedes hitam tadi.
"Ayo, cepat!!!"
Dengan kasar si pemegang pistol merebut tas dari tangan Hilda, sekaligus mendorong wanita itu sampai membentur kemudi. Kemudian ia membuka tas, memeriksa isinya, lalu tersenyum puas.
"Nah, ini yang kucari! Sekarang dengar baik-baik. setelah kami pergi, kau tunggu lima menit di dalam mobil. Habis itu kau boleh mengadu pada pacarmu. Sekalian beri tahu dia bahwa kami akan menelepon nanti. Aku... Hmm, sebenarnya masih ada lagi. siapa bocah yang nyaris memutuskan lenganku tadi, heh?"
"Saya... saya... dia hanya menumpang ke sini."
"Dia tidak bekerja sama dengan kalian?"Hilda menggeleng."Hmm, memang aneh kalau bocah ingusan seperti itu sudah ikut-ikutan dalam bidang ini. Siapa namanya?"
"... saya lupa.""Jangan bohong! Masa selama perjalanan dia tak menyebutkan namanya?!"
"Namanya... ehm... oh, ya! Dia minta dipanggil Sporty. Tapi itu hanya julukan saja."
"Sudah kuduga,"
Si pencuri bergumam pelan, sehingga hampir tidak kedengaran.
"... masih ada urusan dengan dia. Tapi itu soal nanti."
Hilda berpegangan pada kemudi.
Langkah-langkah terdengar menjauh.
Pintu garasi ditutup.
Hilda duduk dalam kegelapan.Wanita muda itu mendekap mulutnya dengan sebelah tangan agar tidak berteriak.
Dalam posisi seperti itu ia duduk selama dua, tiga, empat menit.
Perasaannya benar-benar kacau-balau.
Baru beberapa saat kemudian Hilda akhirnya berani turun dari mobil.
Ia membuka pintu garasi, melangkah keluar, lalu menutupnya kembali.
Mobilnya tetap tidak boleh kelihatan.
Ia sendiri juga harus bersembunyi.
Dalam hal ini tidak ada perubahan sama sekali.
Paling lambat besok pagi seluruh Eropa akan mulai mencarinya.
Ia menyeberang pekarangan, melewati pohon-pohon tua, dan menuju ke rumah.
Bangunan tua itu benar-benar terlindung oleh pepohonan dan tanaman-tanaman di sekelilingnya.
Sebagai pengaman tambahan, Bernard telah menutup semua jendela dengan gorden yang tidak tembus pandang.Kunci pintu terselip di bawah pot bunga.
Hilda membuka pintu dan melangkah masuk.
"Hilda?"Suara pria itu berasal dari kamar tidur.
"Bernard! Aku sudah sampai!"
"Syukurlah! Aku sudah dengar suara mobilmu. Tapi aku tidak sanggup keluar untuk menyambutmu. Begitu aku mau bangun, kepalaku langsung pusing lagi."
Hilda masuk ke kamar tidur.
Bernard berbaring di tempat tidur.
Seluruh badannya tertutup selimut tebal sampai ke dagu.
Wajahnya basah karena keringat.
Matanya berbinar-binar.
Entah karena demam atau karena gembira melihat pacarnya.
Hilda segera mendekat.
Pipi Bernard dikecupnya dengan mesra.
"Awas, nanti kau ketularan,"
Ujar pria itu sambil tersenyum.
"Dasar brengsek! Kenapa justru sekarang aku kena demam? Ya, apa boleh buat. Aku masih harus istirahat selama beberapa hari lagi. Tapi setelah itu kita langsung kabur dari sini."
Sambil mendesah Hilda duduk di tepi tempat tidur.
"Badanmu masih panas?"
Ia bertanya.
"Terakhir masih 39,2 derajat."
Hilda mengangguk.
"Bagaimana perjalananmu?"
Bernard lalu bertanya.
"Biasa saja."
"Kau lelah?"
"Ya.""
Tapi semuanya berjalan dengan lancar, bukan?"
Hilda kembali mendesah."Sebenarnya aku tidak sampai hati untuk menyampaikan berita buruk ini, Bernard. Kau lagi sakit dan..."
"Ada apa?"
Pria itu langsung bertanya sambil mengerutkan kening.
"Berkas-berkas itu... hilang..."
"Haaah???""Mobilku dibongkar orang waktu aku minum kopi di sebuah restoran di jalan bebas hambatan. Mereka berdua. Hampir saja mereka berhasil mencuri tas kantor berisi berkas-berkas itu. Untung saja rencana mereka digagalkan oleh seorang pemuda berani yang menumpang mobilku. Aku pikir bahaya telah lewat, dan kejadian itu hanya kebetulan saja. Tapi barusan, beberapa menit yang lalu, aku disergap lagi oleh kedua bajingan itu -di garasimu! Mereka merampas berkas-berkas itu. Kelihatannya mereka sudah tahu rencana kita. Apakah kau pernah membicarakannya dengan orang lain?"
"Tidak!"
Bernard berteriak dengan nada tinggi. Suaranya melengking.
"Tidak, tidak, tidak! Memangnya aku sudah gila?! Ya, Tuhan! Ini pasti hanya mimpi buruk! Aku..."
Ia terdiam. Napasnya tersengal-sengal. Keringatnya membanjir.
"Jangan marah-marah begitu, Sayang. Kau harus beristirahat dan..."
"Bagaimana aku tidak marah-marah?"
Bernard kembali berteriak dengan sengit.
"Kalau berkas-berkas itu jatuh ke tangan orang lain, maka tamatlah riwayat kita! Kau mengerti itu?"
"Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia akan meneleponmu nanti."
Bernard menggertakkan gigi.
"Aku tidak mengerti,"
Ia bergumam.
"Dari mana mereka tahu... Hilda! Bagaimana tampang kedua bajingan itu?"
Hilda langsung menyebutkan ciri-ciri mereka. Bernard membelalakkan mata. Sambil mendesah panjang ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.
"Gawat, Hilda! Ini benar-benar gawat! Aku kenal mereka! Yang berhidung patah -itu Gregor Karsoff. Yang satu lagi bernama Leo Bulanski. Keduanya mata-mata kelas kakap! Uanglah yang mereka incar! Hanya uang! Mereka mengkhususkan diri pada rahasia-rahasia militer, yang kemudian dijual pada penawar tertinggi. Dulu aku pernah kerja sama dengan mereka. Tapi kemudian kami bentrok. Sejak itu kami saling menghindari. Artinya..."
Sambil termenung Bernard menatap dinding di seberang tempat tidurnya.
"Sekarang aku mengerti,"
Ia berbisik dengan suara serak.
"Mereka berhasil mengetahui hubungan antara kau dan aku. Hmm, pantas saja mereka memata-matai gerak-gerikmu. Begitu tahu tempat kerja serta kedudukanmu di Brussel, mereka pasti langsung mengerti bahwa kita punya rencana besar. Tapi..."
"
Ia kembali terdiam.
Hilda membantunya."Aku tetap tidak mengerti dari mana mereka mengetahui rencana kita.
Coba kita ulangi setiap langkah, semalam aku meneleponmu dari Brussel.
Aku mengatakan bahwa kini ada kesempatan emas yang harus kita manfaatkan.
Kita memutuskan untuk mencuri berkas-berkas, itu.
Aku melakukannya, lalu langsung berangkat ke sini.
Tahu-tahu aku sudah dikuntit oleh mereka.
Seandainya pemuda itu tidak membantu, berkas-berkasnya sudah hilang dalam perjalanan."
Dengan mata terbelalak Bernard menatap lurus ke depan.
Ia tiba-tiba menyadari sesuatu.Langsung saja pria itu memberi isyarat pada pacarnya agar membungkuk.Ketika telinga Hilda menyentuh bibirnya, ia berbisik,"Pembicaraan kita disadap.
Tolong ambilkan kertas dan pensil."
Hilda nampak terkejut.
Cepat-cepat ia menoleh ke belakang.
Tapi Bernard menggeleng.
Kemudian wanita itu pergi ke ruang kerja di sebelah, dan kembali sambil membawa kertas dan pensil.
Bernard menulis sambil berbaring.
Tulisannya mirip cakar ayam, tetapi Hilda bisa membacanya.
Hanya ada satu kemungkinan.
Karsoff dan Bulanski diam-diam masuk ke sini dan memasang alat penyadap.
Dalam hal ini mereka memang ahli.
Kalau benar begitu, mereka mendengar setiap kata yang kita ucapkan.
Aku rasa pesawat teleponnya juga disadap.
Karena itulah mereka tahu rencana kita!! Untuk beberapa saat keduanya terdiam.
Hilda rasanya ingin menangis saja.
Semuanya sia-sia! Dan yang lebih gawat lagi.
setelah ini mereka akan menjadi buronan polisi, sementara Karsoff dan Bulanski bisa menikmati hasil penjualan dokumen-dokumen rahasia itu dengan tenang.
Bernard memejamkan mata.
Hilda menatap wajahnya.
Demi pria inilah ia melakukan semuanya.
Karena ia begitu mencintainya.
Seandainya rencana ini berhasil, mereka akan kabur ke Amerika Selatan untuk mulai kehidupan baru dengan segala kenyamanan.
Bernard menarik napas dalam-dalam.
Ia berusia 35 tahun.
Waktu masih mahasiswa, ia mengambil jurusan teknik industri.
Tapi kini ia bekerja sebagai salesman alat-alat rumah tangga.
Sebenarnya, pekerjaan ini hanyalah suatu usaha penyamaran.
Bernard adalah seorang mata-mata.Ia mempunyai hubungan dengan semua organisasi spionase yang bergerak di Jerman Barat.
Gaya hidupnya selalu menyerempet bahaya.
Tapi justru itu yang dicari Bernard.
Ia berbadan tinggi dan langsing.
Penampilannya tenang, seakan-akan tak berdosa.
Tapi kesan itu menyesatkan.
Di balik wajah yang ramah terdapat watak yang tak mengenal kasihan.
Bagi Bernard, segala cara bisa dihalalkan -asalkan membawa keuntungan baginya.
Suara telepon berdering memecahkan keheningan.Baik Bernard maupun Hilda tersentak dari lamunan masing-masing.
Bernard segera mengangkat gagang.
"Halo?"
Hilda membungkukkan badan, supaya bisa ikut menguping.
"Halo, Bernard!"
Ujar Gregor Karsoff di ujung saluran telepon.
"Aku dengar-dengar, kau lagi bernasib sial, ya? Pacarmu yang mempertaruhkan segala sesuatu, tapi yang meraih keuntungan justru sainganmu. Ya, begitulah kenyataan, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Betul, tidak?"
"Bajingan!"
Ujar Bernard dengan tenang.
"Hus! Jangan emosi, dong! Ini urusan bisnis, bukan urusan pribadi."
"Bangsat! Mudah-mudahan kalian cepat mampus!"Karsoff hanya ketawa saja.
"Kalian mau apa lagi?"
Tanya Bernard.
"Kalian kan sudah mendapatkan semuanya!"
"Memang! Dan harus kuakui, rencanamu benar-benar gila! Nilai berkas-berkas itu paling tidak satu juta Mark. Atau barangkali kau malah mau minta lebih dari itu?"
Bernard tidak menjawab.
"Oke, deh! Kita langsung pada inti pembicaraan saja,"
Ujar Karsoff dengan nada serius.
"Kau sudah tahu, kan? Aku dan Leo selalu bekerja untuk penawar yang paling tinggi. Berkas-berkas ini bisa kalian peroleh kembali. Tapi untuk itu kalian harus ikut menawar. Harga awalnya satu juta! Hanya itu yang ingin kusampaikan padamu. Sekian."
Klik! Dengan kesal Bernard membanting gagang teleponnya.
Kemudian ia menulis.
Mereka akan menyesal.
Aku takkan menyerah begitu saja.
Kita akan merebut berkas-berkas itu dari tangan mereka.
Kalau perlu, aku akan menggunakan kekerasan.
Dua jam berikutnya mereka habiskan dengan mencari alat penyadap itu.
Artinya, Bernard memberi petunjuk dan Hilda yang mencari.
Mereka menemukan empat buah, masing-masing satu di setiap ruangan.
Semuanya di tempat yang tersembunyi.
Alat penyadap kelima ditemukan Bernard di gagang telepon.
"Awas!"
Ia bergumam penuh dendam.
"Aku tidak bisa diperlakukan seperti ini!" 3. Pengamen dan Monyet Arloji Sporty sudah menunjukkan pukul enam lewat seperempat ketika ia meninggalkan tempat praktek Dr. Jakob. Namun berhubung musim panas, hari masih terang. Dokter itu telah memeriksa bahu Sporty. Ternyata tidak ada tulang yang patah maupun retak. Hanya ada satu otot yang keseleo. Kini, setelah disuntik dan diurut, bahu Sporty terasa kaku. Tetapi yang lebih penting, rasa nyerinya sudah hilang. Kini Sporty bisa menggerakkan lengan kirinya dengan leluasa. Namun untuk sementara ia belum boleh berlatih judo. Sporty berjalan ke arah selatan. Hmm, bagaimana kalau ke rumah Petra dulu? ia bertanya dalam hati. Atau ke rumah Thomas? Mumpung masih ada waktu, nih! Tetapi akhirnya Sporty memutuskan untuk langsung pulang ke asrama. Ia menuju ke halte bis terdekat, lalu menumpang bis nomor 13 sampai ke halte terakhir di pinggir kota. Dari sini ia harus jalan kaki. Dengan langkah ringan anak itu menuju ke asrama. Jalan ke sana sepi sekali. Hanya ada suara burung yang berkicau riang. Sporty sampai di asrama, melewati pintu gerbang, dan bergegas ke bangunan utama. Jam pelajaran tambahan telah selesai. Suasana di kamar-kamar ramai sekali. Sebentar lagi anak-anak asrama akan menyerbu ruang makan untuk santap malam bersama. Sporty segera naik ke SARANG RAJAWALI, kamar kecil yang ia tempati berdua dengan Oskar. Di selasar ia berpapasan dengan Fabian Wirsing. Anak itu baru keluar dari WC. Pakaiannya bau rokok.
"Lho, Sporty? Kok sudah pulang? Bagaimana hasilnya? Kau juara?"
"Tentu! Aku berhasil jadi juara dunia. Tapi bukan sebagai pejudo, melainkan sebagai penonton."
"Wah, kenapa bisa begitu?"
Fabian bertanya sambil nyengir kuda. Ia selalu nyengir seperti itu kalau kepergok habis merokok di WC.
"Aku tidak bisa ikut bertanding,"
Sporty menjelaskan.
"Gara-gara cedera. Sial! Tapi lain kali masih ada kesempatan."
"Mana cederamu?"
"Memangnya tidak kelihatan bahwa aku kehilangan sebelah kaki?!"
Balas Sporty dengan ketus. Ia tidak menyukai Fabian. Anak itu dikenal sebagai tukang mengadu. Kecuali itu dia juga dicurigai suka mengambil barang orang lain tanpa bilang.
"Matamu kebanyakan kena asap rokok, ya? Maka dari itu, lebih baik kau hirup udara segar saja. Nanti penglihatanmu akan membaik lagi."
Tanpa menunggu tanggapan, Sporty lalu menuju SARANG RAJAWALI. Pelan, pelan sekali ia menutup pintu.
"Tenang saja!"
Ujar Oskar, ketika menyadari kedatangan sahabatnya.
"Aku akan segera membereskan semuanya. Tapi, kenapa sih kau sudah pulang? Aku pikir kau sedang menghabisi lawan-lawanmu satu per satu sampai berhasil meraih gelar juara."
"Sedang apa kau?"
Sporty balik bertanya. Ia menunjuk kedua tempat tidur, meja belajar, serta lantai kamar mereka. Keping-keping coklat tersebar di mana-mana. Jumlahnya pasti lebih dari seratus.
"Hmm,"
Oskar bergumam dengan wajah berseri-seri. Penuh rasa bangga ia lalu berkata.
"Inilah persediaan coklatku!"
"Wah, terima kasih atas penjelasanmu. Hampir saja aku mengira bahwa ini makanan diet terbaru yang kaukumpulkan untuk menguruskan badan."
"Hus! Memangnya aku sudah bosan hidup? Tapi -kenapa sih, kau sudah pulang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Tadi pagi persediaan coklatmu tinggal... paling-paling tinggal sepuluh keping. Kenapa sekarang melimpah seperti ini?"
"Itulah untungnya jadi anak pemilik pabrik coklat!"
Jawab Oskar sambil membusungkan dada.
"Kau benar, tadi pagi persediaanku tinggal sepuluh keping saja -hanya cukup untuk dua atau tiga hari. Tentu saja aku langsung panik."
"Lalu apa yang kaulakukan?"
"Aku menelepon Georg."
Georg adalah sopir keluarga Sauerlich, sekaligus teman dekat Oskar.
"Hmm, sekarang aku mengerti,"
Sporty mendesah.
"Georg segera datang dan membawa dua karung penuh coklat. Ya ampun, Oskar! Apa kau tidak malu?"
"Malu? Kenapa aku harus malu? Aku takkan menghabiskan semuanya sekaligus, kok."
"Kenapa tidak? Kau sakit?"
"Ah, percuma saja aku mengharapkan pengertianmu. Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi!"
"Aku pulang duluan karena cedera,"
Ujar Sporty.
"Hah, kau cedera pada babak penyisihan?"
"Masih mending kalau sampai babak penyisihan,"
Jawab Sporty.
"Lenganku keseleo waktu aku melakukan pemanasan."
Ia menceritakan nasib sial yang menimpanya dan perjalanan menumpang mobil Hilda Putz. Kelakuan aneh wanita itu juga ia singgung.
"Astaga! Aku jadi ikut uring-uringan,"
Oskar berkomentar sambil membuka sekeping coklat.
"Untuk menenangkan pikiran,"
Anak itu cepat-cepat menambahkan ketika menyadari tatapan sahabatnya.
"Aku akan gembira sekali kalau kau bersedia menyingkirkan coklatmu dari tempat tidurku, supaya aku bisa berbaring,"
Ujar Sporty.
"Oh, sori! Sebentar, ya! Habis, aku tidak tahan, sih. Seratus keping coklat merupakan pemandangan paling indah yang bisa kubayangkan."
Sporty mendesah, menunggu sampai Oskar selesai membereskan tempat tidur, lalu merebahkan diri dan melemaskan otot bahu. Nanti malam, ia berkata dalam hati, aku pasti susah tidur.
"Bagaimana pendapatmu tentang wanita itu?"
Tanya Oskar. Yang dimaksudnya adalah Hilda.
"Aku dapat kesan bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Karena itu dia tidak mau melibatkan polisi. Aku sendiri tidak tahu apa yang dia rahasiakan. Yang pasti sih, bukan narkotik -ataupun coklat."
"Ya, aku tahu, kau tidak suka coklat,"
Kata Oskar sambil mengunyah.
"Apa tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan?"
"Oskar, sudah dong! Sebentar lagi kita makan malam!"
Sporty memperingatkan sahabatnya.
"Aku tahu. Mana mungkin aku lupa. Aku juga tidak lupa bahwa kita diundang makan."
"Diundang makan? Oleh siapa? Kapan? Dan, di mana?"
"Oleh Monika Graf. Besok siang. Di rumahnya."
"Aha! Dalam rangka apa?"
Oskar nyengir, lalu mulai memasukkan keping-keping coklatnya ke dalam kardus besar.
"Besok pagi ayah Monika akan menerima medali penghargaan dari Pak Walikota. Aku tidak tahu siapa lagi yang diundang selain kita berempat. Mestinya sih, tidak terlalu banyak. Monika kan pemalu sekali. Eh Sporty, makanannya enak-enak. Aku sudah menanyakannya tadi."
"Oke! Kalau begitu simpan coklatmu. Terus tidur tanpa makan malam Supaya kau cukup lapar besok siang."
"Soal itu sih, kau tidak perlu khawatir! Aku takkan mengecewakan harapan Monika."
Hmm, ujar Sporty dalam hati.
Dalam hal ini memang tak ada yang perlu dikhawatirkan Oskar pasti akan menghabiskan jatah lima orang -seperti biasanya.
Untung saja semua orang sudah tahu sifatnya itu.
Kalau belum, Petra, Thomas, dan aku, bisa malu berat.
"Jadi, ayah Monika akan menerima medali penghargaan atas keberaniannya?"
Ia bertanya.
Oskar mengangguk.Monika Graf berusia 15 tahun.
Dia teman Petra.
Mereka berkenalan pada saat latihan renang.
Keduanya anggota perkumpulan yang sama.
Ayah Monika, seorang ahli kimia, bekerja di sebuah perusahaan farmasi.
Dia dikenal sebagai ilmuwan yang cemerlang.
Tapi ia sudah membuktikan bahwa ia juga mempunyai rasa kemanusiaan yang sangat besar.
dengan mempertaruhkan nyawa ia menyelamatkan seorang wanita tua dari kematian yang mengerikan.
Kejadiannya tiga minggu yang lalu.
Beritanya dimuat di semua koran.Tempat kejadian.
stasiun kereta bawah tanah.
Waktu.
pagi hari.
Hanya dua orang berdiri di peron.
Robert Graf dan seorang wanita -seorang janda berusia 74 tahun.
Sebentar lagi kereta nomor U-8 akan memasuki stasiun.
Lantai sudah terasa bergetar.
Suara menderu-deru terdengar semakin jelas.Tiba-tiba saja wanita tadi kehilangan keseimbangan.
Belakangan baru diketahui bahwa ia menderita penyakit jantung.
Sebelum Pak Graf -yang berdiri beberapa meter di sebelahnya -sempat memberikan bantuan, wanita itu telah terjatuh ke rel.
Sementara itu, lampu sorot kereta sudah kelihatan.
Wanita malang itu pasti akan terlindas.
Hanya tersisa beberapa detik untuk bertindak.Tanpa berpikir panjang Pak Graf melompat ke rel.
Kereta telah muncul dari mulut terowongan.
Pak Graf mengangkat tubuh wanita itu ke atas peron, kemudian menyusul naik -tepat pada detik-detik terakhir.
Mantelnya sempat sobek karena terserempet kereta.
"Luar biasa!"
Sporty berkomentar.
"Ayah Monika itu benar-benar berani.""Padahal risikonya besar sekali."
"Dalam keadaan seperti itu kita takkan sempat memperhitungkan risiko."Sambil merenung, Oskar menggigit-gigit sekeping coklat.
"Untuk melakukan hal seperti itu dibutuhkan ketenangan dan kesigapan,"
Ia berkomentar.
"Padahal penampilan Pak Graf justru sebaliknya. Dia kelihatan seperti seseorang yang gampang bingung."
Sporty ketawa.
"Aku tidak begitu kenal dia."
Waktu makan malam pun tiba.
Oskar langsung menuju ke ruang makan.
Sporty menghubungi petugas piket dulu, untuk melaporkan bahwa ia sudah pulang.
Ketika ia masuk ke ruang makan, Oskar sudah duduk di meja.
Anak-anak asrama sedang makan dengan lahap.
Tapi semuanya kalah bersemangat dibandingkan dengan Oskar.
Pada malam hari, Sporty hanya sekali terbangun.
Dan itu pun bukan karena bahunya terasa nyeri lagi, melainkan karena Oskar mendengkur dengan keras.
Sebelah kakinya nongol dari bawah selimut.
Langsung saja Sporty menarik jempol kaki sahabatnya.
Oskar hanya menggerutu.
Tanpa membuka mata, ia membalikkan badan dan berhenti mendengkur.
*** Siang hari berikutnya -seusai jam pelajaran.
Begitu bel berbunyi, Thomas dan Petra langsung mengambil sepeda dan pulang ke kota.Sedangkan Sporty segera naik ke SARANG RAJAWALI untuk berganti baju.
Ia mengenakan kemeja jeans bersih, lalu memeriksa kukunya.Oskar sibuk menghitung persediaan coklatnya -untuk ketiga kali.
"Brengsek!"
Ia mengumpat.
"Hasilnya kok beda terus. Mana yang benar, nih. 102, 103, atau 104 keping?"
"Ambil tengahnya saja!"
Spporty mengusulkan sambil ketawa.
"Oke, deh! Begitu memang paling gampang!"Oskar membuka buku catatannya. Di bawah tanggal hari ini, ia menulis angka 103.
"Eh,"
Ujar Sporty.
"kerah bajumu kotor, tuh. Masa kau mau bertamu ke rumah orang dengan penampilan seperti itu?"
"Aku kan belum ganti baju.""Kenapa belum?! Kita sudah hampir telat!"
Tidak lama kemudian kedua sahabat itu keluar dari gerbang pekarangan asrama.
Mereka mengendarai sepeda.
Jalan menuju ke kota sepi-sepi saja Hanya sekali-sekali Sporty dan Oskar disusul oleh murid kelas terakhir yang naik mobil atau naik motor.
Anak-anak STOP telah berjanji untuk ketemu di depan sebuah toko bunga di pusat kota.Dari jauh Sporty sudah melihat Petra dan Thomas.
Mereka menunggu sambil bersandar pada sepeda masing-masing Petra telah membeli karangan bunga.
"Harganya 14 Mark,"
Gadis itu berkata sambil membuka kertas pembungkus. Oskar kurang tertarik. Ia percaya sepenuhnya pada selera Petra.
"Karangan bunga ini sudah jadi, atau kalian sendiri yang menyusunnya?"
Tanya Sporty.
"Ini hasil karya Petra,"
Jawab Thomas.
"Karangan bunga ini pantas disebut karya seni,"
Sporty berkomentar sambil nyengir.
"Jangan mengejek, ya!"
Seru Petra dengan ketus.
"Aku tidak bermaksud mengejek,"
Sporty membela diri.
"Aku sungguh-sungguh. Sekali-sekalinya aku memujimu, kau malah tersinggung. Warna birunya benar-benar bagus. Mirip sekali dengan matamu, Petra."
Penuh curiga gadis itu mengangkat alis. Kemudian ia berkata.
"Sebelum lupa, kalian masing-masing berutang tiga setengah Mark padaku."
"Sst,"
Thomas berbisik pada Sporty dan Oskar."Harga karangan bunga itu paling-paling hanya sepuluh Mark. Petra mau mengambil untung. Caranya cukup lihai, tapi..."
Thomas segera terdiam ketika Petra mulai menggulung lengan baju hangatnya. Cepat-cepat ia menambahkan,"Aku hanya main-main! Masa kau tidak bisa diajak bercanda, sih?"
"Huh, memang susah berteman dengan kalian,"
Petra mendesah.
"Tak ada yang tahu sopan santun. Lingkungan seperti ini sebenarnya tidak cocok bagi seorang gadis yang sedang beranjak dewasa."
Karangan bunga di tangannya kembali dibungkus.
Dengan hati-hati Petra meletakkannya ke dalam keranjang barang pada sepedanya.Sporty, Thomas, dan Oskar, mengeluarkan dompet dan melunasi bagian mereka.
Petra memasukkan uang itu ke dalam kantong kulit yang ia gantungkan mengelilingi leher.
Untuk kesempatan ini, gadis itu mengenakan celana jeans putih, dan sepatu sandal berwarna biru.
Penampilannya cantik sekali.
"Kali ini, Bello terpaksa kutinggal di rumah,"
Ujar Petra. Yang dimaksud gadis itu adalah anjing spanilnya.
"Monika sebenarnya sayang sekali pada dia. Tapi aku tidak tahu apakah ayahnya senang melihat Bello tidur di bawah meja pada waktu kita makan."
Mereka berangkat. Dalam perjalanan menuju ke rumah keluarga Graf, anak-anak STOP melewati Lapangan Bismarck. Di sanalah awal daerah pusat perbelanjaan, yang sekaligus daerah bebas kendaraan bermotor.Suara organ-putar terdengar sayup-sayup.
"Hei, ada pengamen keliling!"
Petra langsung berseru.
Benar saja! Pengamen itu berdiri di pojok Jalan Blumenau -di tengah-tengah kerumunan orang.
Pengamen keliling dengan organ-putar memang sudah jarang tampil.
Tapi sekalinya muncul, orang-orang akan berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan itu.Organ-putar itu dipasang pada sebuah gerobak dorong yang dihiasi dengan gambar-gambar berwarna-warni.
Seekor monyet kecil bertopi hijau, dengan T-shirt merah, duduk di atasnya.
Kadang-kadang binatang itu mengangkat topinya -sebagai ungkapan terima kasih kalau seseorang menyumbangkan beberapa keping uang.
"Kita nonton dulu, yuk!"
Petra segera mengajak ketiga sahabatnya.
Mereka menuntun sepeda masing-masing.
Organ-putar itu terus berbunyi.
Lagu yang dimainkannya adalah Vater Yakob.
Sporty tahu bahwa pengamen seperti itu sudah jarang muncul.
Zaman keemasan mereka telah lama berlalu.
Kini tinggal segelintir saja yang masih menekuni bidang itu.
Pengamen yang ini masih muda.
Ia tinggi dan kekar.
Kulitnya nampak coklat dibakar matahari.R ambutnya yang hitam dan panjang diikat dengan karet gelang.
Sebuah topi tinggi bertengger di atas kepala.
Kacamata hitam yang dikenakan pengamen itu cukup mahal Supaya penampilannya benar-benar menonjol, orang itu mengenakan jas berwarna merah, yang dipadukan dengan celana jeans belel.Petra segera menyumbang satu Mark.
Monyet tadi kembali mengangkat topi.
Rupanya binatang itu sudah bisa membedakan keping-keping uang berdasarkan nilainya -sebab ketika seseorang memberikan sepuluh sen, ia diam saja.
Sporty memperhatikan si pengamen Kacamata hitam yang dikenakan orang itu memantulkan cahaya, sehingga matanya tidak kelihatan.
Tapi pandangannya terarah pada Sporty.
Sekitar 15 orang mengelilingi pengamen itu Di antaranya ada sejumlah gadis cantik.
Tapi perhatian orang itu hanya tertuju pada Sporty.
Wajahnya mencerminkan kesan dendam.
Sporty tidak kaget.
Ia hanya sedikit heran.
Ketika si pengamen akhirnya menoleh ke arah lain, Sporty tidak tahu apakah ia salah lihat -atau orang itu memang menaruh dendam padanya.
Barangkali aku keliru, ia berkata dalam hati Aku sama sekali tidak kenal orang itu.
Aku belum pernah melihatnya sebelum ini.
Dan dia juga belum pernah melihat aku.
Hei, Sporty! Jangan mengada-ada! Yang cedera bahumu, bukan otakmu! Petra bertanya apakah ia boleh membelai monyet itu.Si pengamen menggeleng.
"Pekerjaan ini enak juga, ya,"
Oskar berbisik pada Thomas.
"Kalau aku ternyata tidak cocok sebagai direktur pabrik coklat, aku akan bekerja sebagai pengamen saja."
"Pekerjaan ini terlalu berat untukmu,"
Sporty menilai.
"Jangan lupa, kotak musik ini harus diputar terus agar berbunyi."
Karena monyetnya tidak boleh dipegang, Petra akhirnya tidak tertarik lagi. Ketika anak-anak itu meneruskan perjalanan, Thomas segera memanfaatkan kesempatan untuk mengomentari ucapan Oskar.
"Kalau kau mau mengikuti jejak pengamen tadi,"
Ia mulai berkata.
"pertama-tama kau harus punya organ-putar dulu. Sedangkan orang yang membuat alat musik seperti itu sudah hampir tidak ada. Kalaupun ada, kau harus mengeluarkan sekitar 7500 Mark. Kemudian kau harus minta izin usaha dari instansi pemerintah. Harganya 50 Mark. Dengan izin itu, kau berhak menekuni bidang hiburan keliling selama tiga tahun. Undang-undang ini sudah berlaku sejak tahun 1811. Jenis-jenis pekerjaan yang termasuk bidang hiburan keliling disebutkan dalam pasal 139. pemain boneka, tukang sulap, pengamen, dan semua orang yang berkeliling untuk menampilkan keterampilan mereka dengan imbalan uang."
"Jadi, pengusaha coklat tidak termasuk kelompok ini?"
Sporty bertanya.
"Pertanyaan konyol!"
Oskar langsung marah-marah.
"Pembuatan coklat bukan hiburan, melainkan kebutuhan nyata. Tanpa pengamen pun dunia takkan kiamat. Tapi bayangkan apa yang terjadi kalau tidak ada coklat?"
Teman-temannya ketawa.
Sebelum meneruskan perjalanan, Sporty sempat menoleh ke belakang, ia merasa seperti diperhatikan oleh seseorang.
Benar saja! Si pengamen tadi sedang memandang ke arah mereka.
Untuk sesaat mereka saling bertatapan.
Sporty kembali mendapat kesan seakan-akan orang itu ingin menyelesaikan suatu urusan dengannya -dan pasti bukan urusan yang menyenangkan 4.
Skandal Mata-mata di Markas Besar NATO Ibu monika sudah meninggal.
Dan sejak itu, Monika-lah yang menangani urusan rumah tangga.
Dengan wajah berseri-seri ia menyambut anak-anak STOP di pintu rumah.
"Selamat datang!. Oh, kalian bawa bunga!"
"Sebenarnya, bunga ini untuk ayahmu,"
Ujar Petra.
"Ini kan hari besar baginya."
"Ayahku pasti senang sekali. Sebentar lagi dia akan kembali dari Balaikota."
Monika masih mengenakan celemek.
Ia langsing, dan agak lebih tinggi dibandingkan Petra.
Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi menarik.
Karena pembawaannya yang ramah, gadis itu disukai di mana-mana.
Oskar langsung mengendus-endus ketika mencium bau masakan."Wah, baunya enak sekali.
Kalau masakanmu sama sedapnya dengan baunya, maka kau boleh sering-sering mengundang aku."
"Oskar Sauerlich beraksi kembali,"
Ujar Petra sambil ketawa.
"Ini sih masih mendingan, Monika. Biasanya dia langsung menuju dapur untuk mengintip ke dalam panci-panci."
"Sembarangan!"
Oskar memprotes.
"Aku bukan tukang intip! Aku justru senang mendapat kejutan pada saat mulai makan. Apa sih yang kaumasak?"
"Hus! Itu rahasia perusahaan!"
Monika membalas dengan riang.
Ruang makan terletak di samping ruang duduk.
Monika telah menyiapkan meja untuk enam orang.
Rupanya ia tidak mengundang siapa-siapa lagi kecuali anak-anak STOP.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya untuk duduk, gadis itu menghilang ke dapur.
Tapi ia segera kembali ketika mobil ayahnya berhenti di depan rumah.
Robert Graf melangkah masuk, dan langsung disalami oleh Sporty dan teman-temannya.
Senyum lembut seakan-akan terus menempel di wajahnya.
Dengan gembira ia menerima karangan bunga dari Petra.
Namun kemudian ayah Monika kembali serius.
Sepertinya, ia sedang menghadapi masalah yang pelik.
Pak Graf lebih tinggi dari Sporty.
Tetapi potongan badannya halus.
Kepalanya nyaris botak.
Penampilannya cocok sekali dengan bayangan kebanyakan orang tentang seorang ilmuwan.
Bereksperimen di laboratorium -itulah dunianya.
"Upacara di Balaikota ternyata lebih resmi dari yang saya duga,"
Pak Graf bercerita.
"Sebenarnya, saya sendiri tidak terlalu berminat Membantu orang dalam kesulitan -itu kan suatu keharusan. Mana mungkin saya membiarkan wanita malang itu tergeletak di atas rel. Rupanya dia kemudian kirim surat ke Pak Walikota, agar saya diberi penghargaan,"
Ia menambahkan sambil mengangkat bahu.
"Maksudnya sih baik."
Ia menunjukkan medalinya, yang berada dalam kotak berlapis kulit. Kelihatannya seperti emas mumi.
"Nah, sekarang kita makan dulu!"
Ujar Pak Graf sambil tersenyum.
"Coba kita lihat apa yang telah disiapkan oleh Monika."
Oskar langsung menuju meja makan.
Makanan pembuka adalah sop asparagus.
Setelah itu Monika menghidangkan bistik, dengan kentang rebus dan jamur hutan.
Sebagai pencuci mulut disajikan puding coklat.
Semuanya benar-benar lezat.
Oskar tak henti-hentinya memuji masakan Monika.
Sambil tersenyum simpul, Sporty memperhatikan bahwa sahabatnya itu terus-menerus menatap putri Pak Graf.Setiap gadis yang pandai memasak dapat dengan mudah merebut hati Oskar.
Memang -kecuali Monika sebenarnya masih ada gadis lain yang menarik perhatiannya.
Sekarang ini Oskar sedang jatuh hati pada seorang gadis dari Berlin bernama Sonya.
Mereka berkenalan melalui kolom kawan pena di suatu majalah.
Sonya mencantumkan bahwa ia suka makan coklat, dan Oskar langsung saja menyurati gadis itu.
Seusai makan, anak-anak STOP masih berbincang-bincang dengan Monika dan ayahnya.
Sporty didesak-desak agar bercerita mengenai pertandingan judo kemarin.
Dengan berat hati anak itu mengulangi ceritanya sekali lagi.
Hanya soal Hilda Putz tidak disinggungnya sama sekali.
Petra dan Thomas sudah mengetahuinya.
Tadi pagi, sebelum jam pelajaran, Sporty langsung melaporkan pengalamannya pada mereka.
"Bagaimana keadaan bahumu sekarang?"
Pak Graf bertanya.
"Seandainya hari ini ada pertandingan lagi, saya pasti akan ikut,"
Jawab Sporty sambil ketawa."...dan menduduki tempat paling bawah,"
Petra segera menambahkan.
"Pokoknya, sebelum bahumu benar-benar sembuh, aku melarangmu untuk latihan judo -apalagi bertanding!"
"Bagus, Petra!"
Ujar Pak Graf.
"Kau harus mengawasi teman-temanmu ini. Petualang-petualang nekat seperti mereka hanya bisa dikendalikan dengan tangan besi."
Thomas dan Oskar segera duduk tegak. Mereka bangga karena dianggap sebagai petualang nekat.
"Wah,"
Kata Petra sambil ketawa.
"Mana mungkin saya mengawasi mereka. Justru saya yang harus berhati-hati agar tidak menjadi korban keisengan mereka."
Ucapan ini segera mengundang protes.
"Ya ampun, Petra!"
Sporty berseru.
"Kami kan selalu menuruti kemauanmu. Kami selalu berusaha untuk memenuhi setiap keinginanmu, bukan?"
"Betul!"
Thomas menimpali.
"Kami selalu memperlakukanmu seperti anggota kehormatan. Penuh respek dan dengan sikap ksatria."
"Ya! Kami selalu bersikap lembut terhadapmu,"
Ujar Oskar. Petra menatap Monika sambil berlagak putus asa.
"Coba dengar itu!"
Katanya.
"Begitu kenyang, mereka langsung lemah lembut. Tapi jangan tanya bagaimana sikap mereka kalau lagi lapar!"
Pak Graf ikut ketawa.
Sekali lagi Sporty memperoleh kesan bahwa ayah Monika harus memaksakan diri untuk nampak riang.
Apakah dia selalu seperti ini? Rasanya sih, tidak! Berarti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Dan ini pasti tidak ada hubungannya dengan pemberian medali penghargaan tadi.
Hmm, barangkali ia mengalami kesulitan dengan pekerjaannya.
Mungkin juga ia mempunyai keinginan tersembunyi yang belum sempat terpenuhi.Tentu saja keempat sahabat STOP menawarkan diri untuk membantu Monika membereskan meja.
Namun dalam pelaksanaan, ini berarti.
Monika, Petra, Sporty, dan Thomas, membawa piring, gelas, serta sendok-garpu ke dapur.
Oskar mengawasi agar semuanya dimasukkan dengan rapi ke dalam mesin cuci piring.
Kemudian ia menekan tombol untuk menjalankan mesin itu.
Pembagian tugas yang adil, ia berkomentar sambil nyengir.
Sementara itu Pak Graf duduk di kursi malas, dan membaca koran.
Sporty kebetulan melihat ke arahnya -lalu tiba-tiba terpaku di tempat.
Ia mengedip-ngedipkan mata karena takut salah lihat -namun ternyata tak ada yang berubah.
Pada halaman pertama koran yang sedang dibaca Pak Graf terpampang foto seorang wanita.Wanita itu adalah -Hilda Putz!Judul cerita di bawahnya berbunyi.
Skandal Mata-mata di Markas Besar NATO!Sporty harus menahan diri untuk tidak merebut koran itu dari tangan ayah Monika.
"Maaf, Pak! Boleh saya lihat halaman pertamanya sebentar? Wanita pada foto itu -saya mengenalnya."
"Mata-mata itu, maksudmu?"
Tanya Pak Graf sambil mengerutkan alis.
"Dia seorang mata-mata? Astaga! Kemarin saya masih ketemu dengan dia. Wanita itu datang dari Brussel. Saya numpang di mobilnya. Di tengah jalan, dia hampir kehilangan... Ya Tuhan! Sekarang saya baru mengerti."
"Kau tidak salah lihat?"
Pak Graf bertanya ragu-ragu.Sebenarnya tak ada yang perlu diragukan. Wanita itu memang Hilda Putz. Di bawah foto itu bahkan ada namanya. Sambil tersenyum ia menghadap ke kamera.
"Inilah orangnya!"
Sporty berseru.
"Ya ampun! Sekarang saya bisa membayangkan apa isi tas hitam itu. Bukan narkotika! Juga bukan... ehm... coklat! Isinya dokumen-dokumen rahasia! Dan saya... Dasar tolol!... Saya malah membantunya! Secara tidak langsung saya jadi ikut bersalah!"
"Apa? Itu wanita yang kauceritakan?"
Petra bertanya mewakili-teman-temannya. Sporty mengangguk. Pak Graf segera meletakkan koran di atas meja, supaya semuanya bisa ikut membaca.
"Ngomong-ngomong, apa sih artinya NATO?"
Tanya Oskar.
"Rasanya aku sudah pernah dengar istilah itu, tapi aku lupa lagi, nih."
"Astaga! Maka dari itu, jangan tidur melulu di kelas!"
Thomas menegur sahabatnya.
"NATO adalah singkatan dari North Atlantic Treafy Organization, artinya. Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Organisasi itu dinamakan demikian karena dibentuk oleh negara-negara yang terletak di tepi Laut Atlantik, yaitu Belgia, Belanda, Luxemburg, Republik Federal Jerman, Denmark, Perancis, Britania Raya, Islandia, Itali, Kanada, Norwegia, Portugal, dan Amerika Serikat. Hanya Yunani dan Turki yang merupakan perkecualian. Organisasi itu merupakan perwujudan kerja sama di bidang militer. Tujuannya. menjamin kebebasan dunia Barat -seandainya negara-negara di balik, tirai besi berniat untuk perang. Markas Besar NATO ada di Brussel."
"Oh, ya!"
Ujar Oskar sambil mengangguk.
"Sekarang aku ingat lagi."
Sementara itu Sporty telah selesai membaca, kemudian mulai dari awal lagi.Benar-benar gila! Hilda Putz, usia 31 tahun, adalah sekretaris salah seorang pejabat tinggi NATO di Brussel.
Sudah enam tahun ia bekerja di sana.
Selama itu, Hilda Putz dikenal tekun, penuh tanggung jawab, dan dapat dipercaya.
Karena itu, ia diberi kepercayaan untuk menangani dokumen-dokumen, surat-surat, serta rencana-rencana yang paling rahasia sekali.
Seorang sekretaris seperti dia, begitu ditulis di koran, biasanya lebih tahu seluk-beluk di kantor daripada bosnya.
Semua rahasia NATO harus melewati mejanya dulu sebelum diedarkan ke instansi-instansi lain.
Kemarin pagi Hilda Putz tiba-tiba memberitahu bahwa ia tidak bisa masuk kerja karena sakit.
Pada sore harinya baru ketahuan bahwa sejumlah dokumen yang sangat penting hilang dari lemari besi.
Antara lain kunci sandi intelijen, serta rencana-rencana sistem alarm dan radar yang masih dalam tahap pengembangan.
Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan bahwa Hilda Putz telah menghilang.
Semua milik pribadi telah dipindahkan dari apartemennya.
Kunci tempat tinggalnya dimasukkan ke dalam kotak surat pengelola gedung apartemen.
Dalam sebuah surat yang ditemukan di apartemen Hilda Putz, wanita itu minta maaf atas perbuatannya, tetapi menambahkah bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan demikian semuanya sudah jelas.
Ini merupakan bencana besar, yang segera membuat seluruh jajaran NATO kalang kabut.
Para pejabat NATO segera melancarkan aksi pencarian besar-besaran.
Tetapi mereka hanya berhasil mengetahui bahwa Hilda Putz terakhir kelihatan ketika mengendarai mobilnya ke arah perbatasan.
Diduga ia telah melarikan diri ke salah satu negara anggota Pakta Warsawa.
"Mereka keliru!"
Sporty berseru.
"Baru kemarin dia tiba di kota ini. Dan aku tidak memperoleh kesan bahwa dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat berikut. Kalau dia memang mau kabur, dia pasti mencari lapangan terbang yang lebih dekat ke Brussel!"
"Betul!"
Ujar Thomas sambil melepaskan kacamata. Terkagum-kagum Oskar menatap Sporty.
"Aku benar-benar heran,"
Ia berkomentar.
"Selalu saja kau terlibat dalam urusan-urusan yang menegangkan."
"Bagaimana sekarang?"
Tanya Monika penuh semangat.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
"Kasus ini sebaiknya ditangani oleh pihak Badan Koordinasi Keamanan Negara,"
Kata Sporty.
"Tapi pertama-tama aku akan menelepon ayah Petra dulu. Biar dia saja yang menghubungi instansi bersangkutan."
Sporty langsung menelepon ke rumah Petra. Pada jam segini, Komisaris Glockner biasanya masih di rumah setelah makan siang bersama istrinya.
"Halo, Pak Glockner? Ini saya, Sporty. Kami lagi di rumah Monika Graf. Saya baru saja membaca berita mengenai skandal mata-mata di Markas Besar NATO. Begini Pak, saya mengenal wanita bernama Hilda Putz itu. Kemarin saya masih berurusan dengannya. Barangkali dia belum meninggalkan kota ini."
Komisaris Glockner terdiam sejenak. Kemudian ia berkata,"Saya baru mau berangkat kerja lagi. Kalian tunggu saja di sana. Saya akan mampir dulu sebelum kembali ke kantor."
Sepuluh menit kemudian sebuah BMW putih berhenti di depan rumah Monika.Emil Glockner berbadan tinggi besar.
Sorot matanya tajam dan selalu berkesan menyelidik.
Anak-anak STOP akrab sekali dengannya.
Komisaris polisi itu sudah sering membantu dan dibantu oleh Sporty dan teman-temannya.
Pak Glockner dan Pak Graf pun sudah saling mengenal.
Perkenalan mereka terjadi di suatu pertandingan renang, di mana Petra dan Monika ikut ambil bagian.
Komisaris Glockner membawa sebuah alat perekam kecil, seperti yang biasa dipakai oleh para wartawan pada saat melakukan wawancara.
"Supaya kau tidak perlu ikut ke kantor,"
Pak Glockner menjelaskan pada Sporty "Ceritakanlah segala sesuatu yang kauketahui. Oke?"
Semuanya duduk mengelilingi meja ^vlat perekam dan mikrofon diletakkan di hadapan Sporty.
Wajah Monika nampak berbinar-binar.Pak Glockner menyalakan alat perekam, memeriksa apakah semuanya berfungsi dengan baik, lalu mulai berbicara ke dalam mikrofon.
Ia menyebutkan tanggal, jam, tempat, serta tujuan rekaman ini.
Kemudian giliran Sporty.Anak itu bercerita secara singkat tetapi lengkap.
Ia hanya mengungkapkan hal-hal yang ia rasa langsung berhubungan dengan kasus mata-mata ini.
Setiap keterangan penting -misalnya pelat nomor serta jenis mobil yang dipakai Hilda Putz serta kedua bajingan kemarin -diucapkannya dengan sejelas-jelasnya.
Mengenai pengemudi Mercedes hitam itu, Sporty hanya tahu bahwa ia berambut pirang.
Tapi pria berhidung patah bisa ia gambarkan dengan teliti sekali.
Sambil memberi keterangan, pandangan Sporty kebetulan mengarah ke Pak Graf.
Hampir saja ia terdiam.
Ada apa dengan ayah Monika itu? Pak Graf nampak pucat pasi -persis seperti tembok yang baru selesai dikapur.
Dengan mata terbelalak ia menatap Sporty, yang baru saja mengakhiri keterangannya.Pak Graf berdiri.
Untuk sedetik ia terpaksa menyandarkan diri pada tepi meja.
"Maaf,"
Ia bergumam.
"Saya tidak enak badan."
Dengan langkah gontai ia menuju kamar tidurnya.Monika sebenarnya ingin menyusul, tapi ayahnya menggelengkan kepala.
"Saya tidak apa-apa,"
Kata ahli kimia itu.
"Tolong temani tamu-tamu kita, ya!"
"Ayah saya menderita sakit lambung,"
Ujar Monika setelah Pak Graf menutup pintu.
"Dia tidak tahan terhadap ketegangan. Dalam keadaan tegang, penyakitnya selalu kumat lagi. Serangan kali ini lebih gawat dari biasanya."
Mendengar keterangan Monika, yang lain segera maklum.
Beberapa saat kemudian, Pak Graf keluar dari kamarnya, dan minta maaf karena kesehatannya kurang baik.
Kini Komisaris Glockner harus kembali ke kantor.
Ia mohon diri, lalu berangkat lagi.
Setelah ayah Petra pergi, Pak Graf masuk ke ruang kerjanya.
Anak-anak masih terus berdiskusi mengenai dunia mata-mata.
Mereka membahas masalah itu dari berbagai sudut pandang, sampai akhirnya kehabisan bahan omongan.
Monika lalu mengatakan bahwa ia punya beberapa kaset baru yang hendak ia putar.
Yang lainnya setuju saja.
Sementara Monika, Petra, Thomas, dan Oskar, bersantai sambil mendengarkan lagu-lagu terbaru, Sporty malah sibuk memikirkan sesuatu.
Aku yakin, bukan sakit lambung yang membuat Pak Graf kelihatan pucat tadi, anak itu berkata dalam hati.
Pasti ada penyebab lain.
Seperti sebuah kejutan besar, misalnya.
Ya, pasti itu sebabnya! Pak Graf mulai gemetar ketika aku bercerita mengenai pria berhidung patah itu.
Jangan-jangan dia mengenalnya...
Untuk beberapa saat Sporty terus merenung.
Namun akhirnya ia berkesimpulan bahwa Pak Graf tidak mungkin mengenal bajingan itu.
Seorang ahli kimia dengan kedudukan seperti Pak Graf tidak mungkin bergaul dengan seorang pencuri.
Pencuri?Otak Sporty mulai bekerja terlalu cepat.
Sekarang ia sudah tahu mengapa Hilda Putz tidak mau menghubungi polisi.
Tapi apakah kedua bajingan kemarin 'hanya pencuri biasa? Kemungkinan besar tas kantor di mobil Hilda Putz berisi dokumen-dokumen rahasia yang diambilnya dari lemari besi di Markas Besar NATO.
Apakah mungkin, dua pencuri biasa langsung tahu bahwa isi tas itu sangat berharga? Bukankah pencuri pertama-tama mengincar uang, perhiasan, atau barang-barang lain yang mudah dijual? Hmm, aku takkan heran kalau kedua bajingan itu juga terlibat dalam urusan mata-mata, ujar Sporty dalam hati.
**** Demamnya sudah mulai turun.
Tapi menjelang malam suhu badannya pasti naik lagi.
Bernard Wacker merasa lelah sekali.
Tampangnya kusut.
Rambutnya berantakan.
Semalam ia nyaris tidak tidur sama sekali.
Tanpa perawatan pacarnya, ia mungkin sudah menderita radang paru-paru sekarang.
Dengan bantuan Hilda ia duduk di tempat tidur, lalu mereguk teh panas yang dibuatkan oleh pacarnya itu.
"Penyakit sial!"
Ia bergumam.
"Gara-gara penyakit ini rencana kita gagal total. Kalau saja aku dalam keadaan sehat, aku pasti langsung berangkat setelah kau menelepon. Kita bisa ketemu di tengah jalan... Karsoff dan Bulanski takkan bisa berbuat apa-apa."
"Bernard, kau jangan terlalu emosi! Percuma saja kau'marah-marah sekarang."
Pria itu mengangguk.
"Aku sudah memikirkan rencana selanjutnya,"
Ia berkata kemudian.
"Hanya ada satu jalan untuk merebut kembali surat-surat itu. Kita harus membereskan mereka -Karsoff dan Bulanski, maksudku."
Hilda langsung mendekap mulutnya dengan sebelah tangan. Ia nampak terkejut sekali."Kau... kau akan membunuh mereka?"
"Tentu saja tidak! Tidak ada istilah pembunuhan dalam kamusku -biarpun dunia sebenarnya beruntung kalau kedua bajingan itu disingkirkan untuk selama-lamanya."
"Pokoknya Bernard, aku tidak mau sampai ada pertumpahan darah."
"Ya, aku tahu!"
Ujar Bernard sambil berusaha nyengir.
"Sejak hari ini kau memang mata-mata yang paling dicari-cari di seluruh Eropa, tetapi dalam hati kau tetap anak manis, begitu bukan? Yang aku maksud dengan membereskan mereka. Karsoff dan Bulanski harus diberi pelajaran. Mereka perlu dihajar -kalau perlu, sampai dirawat di rumah sakit. Biar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dipermainkan begitu saja. Setelah itu, mereka dengan senang hati akan bercerita di mana mereka menyembunyikan dokumen-dokumen NATO itu."
"Kau yakin bahwa dokumen-dokumen itu disembunyikan?"
"Tentu saja! Barang berharga seperti itu kan tidak dibawa jalan-jalan.""Tapi -siapa yang akan menghadapi mereka? Kau tidak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini."
"Sayang sekali! Tapi kalau kita menunggu sampai aku sembuh, semuanya sudah terlambat. Karena itu akan menyuruh si Kroll dan si Prassel."
Hilda menatap pacarnya dengan pandangan bertanya-tanya.
"Mereka tukang pukul bayaran,"
Bernard menjelaskan.
"Mereka mau melakukan apa saja asal dibayar -tanpa banyak bertanya. Orang seperti merekalah yang kita butuhkan sekarang."
Hilda mengangguk, menuangkan teh, lalu menunggu.
"Tolong hubungi mereka,"
Bernard kembali berkata.
"Uangnya sekalian kutitipkan padamu. Soalnya mereka takkan bergerak sebelum diberi uang. Oh ya, aku harus membuat surat pengantar dulu, supaya mereka percaya bahwa aku yang mengirim kau ke sana."
"Bernard! Aku tidak bisa keluar rumah. Setiap orang akan mengenali wajahku."
"Itu sudah kupikirkan. Kau harus menyamar. Rambut palsu yang kaupakai waktu karnaval masih kusimpan di gudang. Dengan bantuan make-up dan kacamata hitam, penampilanmu pasti berubah total. Kalau kau naik mobilku, kau bebas pergi ke mana saja."
"Hmm, mudah-mudahan kau benar."
Hilda Putz mulai dilanda ketakutan.
Tapi ia sadar bahwa tidak ada pilihan lain.
Bernard sedang demam sehingga harus berbaring terus.
Untuk sementara waktu dia tidak bisa membantu apa-apa.
Sedangkan keadaan sudah mendesak sekali.
Begitu Karsoff dan Bulanski menemukan pihak yang berminat pada dokumen-dokumen rahasia itu, maka tak ada lagi yang bisa diharapkan.
Itulah sebabnya Hilda harus bertindak.
Paling tidak ia harus menghubungi kedua tukang pukul itu.Tanpa terasa air matanya mulai mengalir ketika ia mengingat-ingat rencana yang disusunnya bersama Bernard.
Pacarnya itu juga memiliki koneksi di kalangan mata-mata asing.
Tanpa kesulitan ia akan menjual rahasia-rahasia NATO itu.
Dalam beberapa hari saja urusannya pasti sudah beres.
Dan setelah itu mereka akan kaya-raya, lalu pergi ke Amerika Selatan -untuk selama-lamanya.
Bernard bahkan sudah memesan paspor palsu untuk Hilda.
Bernard mulai tidak sabar."Apa lagi yang kau tunggu?"
Sambil mengangkat bahu, Hilda masuk ke kamar mandi.
Sikap Bernard yang kasar membuatnya bertambah sedih.
Setengah jam kemudian Hilda selesai berdandan.
Penampilannya berubah sama sekali.Ketika ia muncul di hadapan Bernard, pacarnya itu langsung bertepuk tangan.
"Hebat! Sempurna! Bahkan aku pun tidak mengenalimu!"
Ia langsung mengambil dompetnya, lalu mengambil dua lembar 500 Mark.
"Dengan bayaran seperti ini, Kroll dan Prassel akan menghajar siapa pun -tanpa peduli siapa orangnya."
Bernard sempat menulis surat singkat sementara Hilda berdandan di kamar mandi. Hilda memasukkan surat bersama uang itu ke dalam tas, lalu mengambil kunci mobil pacarnya.
"Freddy Kroll dan Thomas Prassel tinggal satu rumah,"
Bernard menjelaskan.
"Kroll di lantai dasar, Prassel persis di atasnya. Kau tidak perlu menerangkan apa-apa. Aku sudah mencatat semua yang perlu mereka ketahui."
Ia lalu menyebutkan alamat kedua tukang pukul itu.Ketika Hilda keluar dari pintu, ia masih sempat mendengar suara Bernard,"Tenang saja! Semua pasti beres!" 5.
Tukang Pukul Bayaran Kumbang beterbangan di bawah pepohonan.
Daun-daun menyaring cahaya matahari.
Sebuah pagar tanaman memisahkan pekarangan sempit itu dari jalan.
Meskipun demikian Hilda merasa seakan-akan menjadi tontonan orang-orang.Ia menuju ke jalan.
Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol Wiro Sableng Sepasang Manusia Bonsai Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk