Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Mata Mata 2


Detektif Stop Pertarungan Mata Mata Bagian 2



Ketika sampai di gerbang, wanita itu berhenti sejenak.

   Dengan waswas ia memandang ke kiri dan kanan untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa.

   Sambil mengerahkan seluruh keberaniannya, Hilda masuk ke VW Kodok milik Bernard.

   Mobil itu berbau asap rokok.

   Cepat-cepat Hilda membuka jendela.Sebenarnya, ia berusaha menenangkan diri, aku cukup aman di sini.

   Aku tidak mengenal siapa-siapa di kota ini.

   Tak ada yang mengetahui hubungan antara aku dan Bernard.

   Kecuali Karsoff dan Bulanski, tentunya.

   Tapi mereka takkan memanfaatkan informasi itu.

   Mana mungkin mereka menghubungi polisi? Bisa-bisa malah mereka sendiri yang diciduk karena melakukan kegiatan mata-mata.

   Jalan Agnes yang dituju Hilda terletak di daerah yang bisa dikatakan kumuh, jalan-jalan sempit yang penuh lubang.

   Rumah-rumah tua yang tak terurus.

   Tak ada satu pohon pun sejauh mata memandang.

   Pemandangan yang paling menyenangkan adalah sejumlah pot bunga di depan beberapa jendela.

   Penghuni daerah ini sebagian buruh kasar berkebangsaan asing.

   Mereka sudah puas dengan keadaan seperti ini -begitu pendapat umum.

   Dan kalaupun mereka kurang berkenan, mereka sebaiknya diam saja! Hilda menemukan alamat yang dicarinya, sebuah rumah sempit berlantai dua, dengan dinding berwarna abu-abu kotor.

   Rumah sebelah digunakan sebagai warung oleh seseorang yang berasal dari Yunani.

   Buah-buahan segar terpajang di depan jendela.

   Kecuali itu, dia juga menjual sosis yang dijamin halal, serta berbagai jenis anggur Yunani.

   Hilda parkir di tepi jalan.

   Sebelum turun dan mobil, ia melirik ke kaca spion untuk memastikan bahwa rambut palsunya tidak meleset.

   Kemudian ia memasang kacamata hitam.

   Di samping pintu rumah terdapat dua tombol bel -kedua-duanya tanpa keterangan nama.Hilda ragu-ragu.

   Yang mana yang harus ia tekan? Ah, sama saja, sebab...Tiba-tiba pintu membuka, dan seorang wanita muda muncul di hadapan Hilda.

   Wanita itu rupanya akan pergi berbelanja, sebab ia membawa tas belanja yang masih kosong.

   Selain itu, ia memakai make-up tebal dan mengunyah permen karet.

   "Selamat siang!"

   Hilda menegurnya.

   "Saya ingin ketemu Tuan Kroll dan Tuan Prassel."

   "Oh, ya?"

   Jawab wanita di hadapannya sambil terus mengunyah.

   "Mereka lagi pergi!"

   "Kira-kira kapan mereka kembali?"

   "Ada urusan penting?"

   "Penting sekali."

   "Mereka tidak suka diganggu kalau lagi nongkrong di kedai minum."

   Hilda tersenyum penuh pengertian."Apakah Anda bisa memberi tahu di mana saya dapat menemui mereka?"

   "Hmm, lebih baik jangan, deh! Sebelum pergi tadi, Freddy bilang bahwa dia mau bersantai. Dia pasti marah kalau saya... Ada apa, sih?"

   "Anda kenal baik dengan Freddy Kroll?"

   "Tentu! Saya pacarnya!"

   "Saya punya tugas untuk mereka!"

   Hilda memaksakan diri untuk berkata dengan tegas.

   "Dan saya akan bayar tunai."

   "Kenapa tidak bilang dari tadi? Freddy dan Thomas ada di kedai minum dekat sini. Namanya Kedai Teratai. Dari sini lurus sampai ke pojok sana, terus belok kanan, lalu kanan lagi."

   Hilda mengucapkan terima kasih, kemudian mempertimbangkan untuk jalan kaki.

   Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk naik mobil saja.

   Wanita muda tadi masuk ke warung Yunani di sebelah.

   Dengan mudah Hilda berhasil menemukan Kedai Teratai.

   Di tepi jalan di depan kedai itu ada sejumlah mobil tua dan sepeda motor baru.

   Di antaranya ada beberapa yang masih mulus sekali.

   Sambil memarkir VW Kodok kepunyaan Bernard, Hilda tiba-tiba teringat bahwa ia tidak mengetahui ciri-ciri kedua tukang pukul yang sedang dicarinya.

   Dengan hati berdebar-debar ia lalu memasuki kedai minum.

   Pengunjung Kedai Teratai ternyata laki-laki melulu.

   Hilda adalah satu-satunya wanita di ruangan itu.

   Enam...

   tujuh pemuda tanggung berdiri di depan meja layan.

   Mereka asyik menenggak bir.

   Seorang pengunjung lain sedang bermain ding-dong di seberang ruangan.

   Pemilik kedai minum yang berbadan gendut berdiri di belakang meja layan.

   Ketika Hilda melangkah masuk, suasana mendadak hening.

   Semua mata memandang ke arah wanita itu.

   Hilda mulai merasa salah tingkah.Ia menghampiri meja layan.

   Para pemuda tanggung memelototinya tanpa malu-malu.

   Salah seorang dari mereka mulai bersiul-siul.Hilda menganggukkan kepala ke arah pemilik kedai minum.

   "Permisi, saya mencari Freddy Kroll dan Thomas Prassel."

   Terheran-heran pria gendut itu mengerutkan kening. Kemudian ia menunjuk ke seberang ruangan.

   "Itu Freddy!"

   "Terima kasih!"

   Mesin ketangkasan itu cukup jauh, sehingga Freddy tidak mendengar apa-apa.

   Ia sedang nyengir lebar, karena baru saja memperoleh bonus.Orangnya tidak tinggi, tapi badannya kekar sekali.

   Rambutnya dipotong pendek seperti sikat.

   Sebuah bekas luka nampak memanjang dari ujung mata kiri sampai ke telinga.Ketika Hilda menghampirinya, Freddy segera menoleh.

   "Selamat siang, Pak Kroll! Saya dikirim oleh Bernard Wacker. Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda."

   Freddy kembali nyengir. Giginya yang ompong kelihatan jelas.

   "Halo, Sayang! Kenapa bukan Bernard sendiri yang datang?"

   "Dia sakit."

   "Oh, ya? Kalau begitu Anda pasti juru rawatnya! Apakah Anda juga menangani pasien lain? Hehehe, saya tidak keberatan dirawat oleh Anda."

   Ya, Tuhan! pikir Hilda.

   Tempat macam apa ini? Kenapa Bernard menyuruh aku ke sini? Si Kroll benar-benar memuakkan! Tapi apa boleh buat mau tidak mau aku harus pasang tampang manis.

   Bernard dan aku membutuhkan jasa mereka.

   Ia memaksakan diri untuk tersenyum.

   "Nah?"

   Freddy bertanya.

   "Apa yang harus kita bicarakan?"

   "Bernard ingin minta tolong pada Anda dan Thomas Prassel. Ada seseorang yang perlu diberi pelajaran."

   Freddy Kroll berlagak kaget."Wah, wah, wah! Maksud Anda, kami disuruh menghajar orang itu?"

   Hilda mengangguk."Masa kami disuruh melakukan tugas seperti itu?! Anda pasti salah alamat. Kami tidak pernah menggunakan kekerasan, betul kan, Thomas?"

   Ucapan itu ditujukan pada seorang pria yang baru kembali dari kamar kecil, dan kini mendekati mereka.

   Orangnya tinggi, langsing, dan masih muda.

   Ia kelihatan lebih cerdik ketimbang temannya -tetapi juga lebih berbahaya .Dengan dingin ia menatap Hilda.

   "Ada apa?"

   Hilda mengulangi maksud kedatangannya, mengambil surat yang ditulis Bernard dari tas, lalu menyerahkannya pada Thomas Prassel.

   "Hmm, Karsoff dan Bulanski!"

   Ia membaca keras-keras. Tanpa menunjukkan reaksi ia menatap rekannya.

   "Kau kenal orang-orang ini, Freddy? Rasanya, aku pernah mendengar nama-nama mereka."

   "Entahlah!"

   Jawab Freddy sambil mengangkat bahu.

   "Setiap hari begitu banyak nama yang aku dengar. Mana mungkin aku ingat semuanya?!"

   Thomas Prassel melambaikan surat Bernard."Di sini ada alamat mereka. Mudah-mudahan alamatnya benar. Akibatnya bisa gawat kalau sampai ada kekeliruan. Tapi seperti dikatakan Freddy tadi, Nona..."

   "Nama saya Hilda."

   "...seperti dikatakan Freddy tadi, Nona Hilda, kami biasanya selalu lemah lembut dan cinta damai. Kami membenci kekerasan. Hanya karena sudah lama bersahabat dengan Bernard, kami bersedia merontokkan gigi orang-orang yang namanya tertulis di sini. Tapi jasa kami itu tidak gratis."

   Hilda langsung meraih ke dalam tasnya.

   "Bernard menitipkan 1000 Mark untuk Anda berdua."

   "Oooh!"

   Freddy Kroll langsung bergumam. Rupanya ia terkesan dengan jumlah uang itu.

   "Dengan bayaran sebesar itu, kami takkan setengah-setengah. Karpoff dan Bulhanski akan terbengong-bengong kalau..."

   "Karsoff dan Bulanski!"

   Thomas membenarkan ucapan rekannya.

   "Ingat baik-baik! Kasihan kan, kalau kita menghajar orang yang tak berdosa!"

   Freddy Kroll nyengir lebar. Prassel menerima uang yang diserahkan Hilda, lalu memberikan 500 Mark pada rekannya.

   "Titip salam untuk Bernard, Manis! Katakan saja bahwa urusan ini boleh dianggap beres."Kemudian ia menanyakan apakah Hilda mau ikut minum-minum. Namun wanita muda itu menolak dan langsung meninggalkan kedai minum.Baru setelah duduk di mobil dan menuju ke rumah Bernard, Hilda bisa menarik napas dengan lega. *** Sejak semalam mereka benar-benar sibuk. Semua kenalan lama di kalangan anggota organisasi mata-mata asing dihubungi lagi. Dokumen-dokumen rahasia NATO akan dijual pada pihak yang mengajukan tawaran paling tinggi. Ini sudah disepakati oleh Karsoff dan Bulanski.Tetapi keputusan ini bukan hanya tergantung pada mereka semata. Karsoff dan Bulanski sebenarnya hanya pelaksana saja. Sebelum mengambil tindakan, mereka harus menunggu persetujuan bos mereka, yang menggunakan nama samaran Helmut. Orangnya jarang muncul. Tapi ia seakan-akan berada di mana-mana, dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Helmut selalu menuntut 40% dari keuntungan anak buahnya. Karsoff dan Bulanski masing-masing memperoleh 30%. Namun itu pun masih lumayan -apalagi kalau surat-surat rahasia itu berhasil dijual dengan harga satu juta Mark.Kini, menjelang sore, kedua bajingan itu duduk-duduk di rumah yang mereka diami bersama. Karsoff telah bercerai sejak lima tahun lalu. Istrinya tidak tahan hidup bersamanya. Selama pernikahan mereka, ia bahkan tidak pernah tahu apa pekerjaan suaminya itu. Karsoff adalah pemilik sebuah restoran kecil yang ia sewakan pada orang lain. Berdasarkan catatan kantor pajak, itulah satu-satunya sumber penghasilan dia. Leo Bulanski adalah seorang pria gemuk, dengan kumis dan kacamata tebal Tak satu rambut pun tersisa di atas kepalanya. Ia sangat menderita karenanya. Kepalanya yang botak menyebabkan dia merasa minder. Sedangkan rambut palsu yang selalu dikenakannya juga tidak membantu.Sampai beberapa saat yang lalu, Bulanski masih tinggal bersama ibunya yang sok kuasa. Ketika ibunya kemudian meninggal, ia pindah ke rumah Karsoff. Di samping kegiatannya sebagai mata-mata, Bulanski juga menekuni pekerjaan yang terhormat. Ia seorang juru potret yang merangkap sebagai pemilik studio foto.

   "Aku tak menyangka bahwa urusannya akan serumit ini,"

   Ia sedang bergumam.

   "Habis, bagaimana lagi?"

   Jawab Karsoff sambil menggaruk-garuk dagu.

   "Satu juta Mark bukan jumlah yang kecil. Tentu saja para calon pembeli minta kepastian dulu. Kita harus bisa meyakinkan mereka bahwa harganya memang pantas. Rencana-rencana NATO yang paling rahasia takkan bisa diperoleh di tempat lain."

   Dengan kesal Bulanski menggelengkan kepala.

   "Kenapa sih, mereka harus selalu curiga? Koran-koran kan sudah memberitakan semuanya. Secara panjang lebar dijelaskan dokumen apa saja yang dicuri oleh Hilda Putz itu."

   "Rupanya itu belum cukup untuk teman-teman kita. Tapi tenang saja. Kita tidak perlu terburu-buru."

   Yang dimaksud Karsoff dengan sebutan "teman-teman kita"

   Adalah para agen rahasia yang masuk hitungan sebagai calon pembeli.

   "Sudah tiga orang yang kita hubungi,"

   Ujar Bulanski.

   "Max Wunderlich, Stanislav Kobold, dan Franziska Hensch. Semuanya mau melihat contoh dulu."

   "Siapa sih yang mau membeli kucing dalam karung? Aku pasti akan melakukan hal yang sama seandainya aku di tempat mereka."

   "Hmm!"

   Bulanski bergumam sambil memeriksa letak rambut palsunya.

   Kemudian ia menoleh ke luar jendela.

   Sebuah mobil lewat di depan rumah.

   Di dalamnya ada dua laki-laki.

   Rupanya mereka sedang memandang ke arah sini.

   Tapi berhubung lagi tidak pakai kacamata, Bulanski tidak mengenali kedua orang itu.

   Ia hanya melihat bahwa mobil mereka berwarna gelap.Karsoff malah tidak melihat apa-apa, karena duduk membelakangi jendela.

   "Mulai sekarang kita harus hati-hati kalau menelepon, Leo,"

   Katanya.

   "Jangan-jangan pesawat telepon teman-teman kita sudah disadap oleh pihak keamanan, maksudku. Lagi pula sulit untuk meyakinkan mereka lewat telepon."

   "Terus bagaimana?"

   "Kita fotokopi salah satu halaman dari rencana-rencana NATO itu."

   "Lalu?"

   "Masing-masing dari mereka kita beri satu lembar. Halaman itu tidak bermanfaat bagi mereka. Tapi sebagai bukti, aku rasa sudah cukup. Habis itu kita tunggu tawaran dari mereka."

   "Yah, begitu saja, deh! Lembaran-lembaran fotokopi itu akan kita sampaikan melalui kotak pos mati -seperti biasa. Cara ini masih yang paling aman."

   Mobil tadi kembali melintas di depan rumah, kini dari arah berlawanan. Bulanski tidak memperhatikannya.

   "Kelihatannya kita lagi beruntung, Leo,"

   Ujar Karsoff.

   "Penjualan rencana-rencana NATO akan membuat kita jadi kaya raya. Dan setelah itu kita masih bisa memperoleh tambahan dari Robert Graf."

   "Lho, aku kira proyek itu sudah batal?"

   "Dia memang harus dipaksa sedikit,"

   Kata Karsoff sambil nyengir.

   "Untung saja aku ingat. Sudah waktunya dia digertak lagi."

   Karsoff berdiri, hendak menuju ke pesawat telepon. Kebetulan la melirik ke arah jalan -tepat pada waktu mobil gelap tadi muncul untuk ketiga kalinya. Mobil itu berhenti, lalu mundur ke depan garasi.

   "Ada tamu, ya?"

   Tanya Bulanski.

   "Kelihatannya begitu,"

   Ujar Karsoff dengan tegang. Ia selalu ketakutan, jangan-jangan pihak keamanan telah berhasil melacak jejak mereka. Namun kemudian ia menarik napas lega.

   "Oooh, ternyata Freddy dan Thomas."

   Sebelum bel sempat berdering, Karsoff sudah membuka pintu.

   "Halo!"

   Ujar Kroll. Sambil nyengir ia mengacungkan kepalan tangan ke wajah Karsoff.

   "Kami datang untuk menghajar kalian."

   "Busyet! Pagi-pagi sudah mabuk? Ayo, masuk dulu!"Karsoff segera menyalami Freddy dan Thomas. Kemudian kedua tukang pukul itu menyalami Bulanski.

   "Mau minum bir?"

   Karsolf menawarkan.

   "Boleh!"

   Freddy mengangguk "Gila, sulit benar sih cari tempat parkir di sini! Terpaksa deh, aku parkir di depan garasi kalian "

   Karsoff mengambil dua botol bir dan lemari es.

   "Betul apa kata Freddy tadi,"

   Ujar Thomas sambil ketawa.

   "Kami berdua dibayar 1000 Mark untuk memberi pelajaran peda kalian. Hahaha, ini baru kejutan, bukan? Orang yang menyuruh kami rupanya belum tahu bahwa kita berteman baik."

   "Coba tebak siapa yang menyuruh kami?"

   Tanya Freddy. Karsoff berlagak memeras otak.

   "Pasti Bernard Wacker,"

   Ia kemudian berkata dengan tegas. Freddy Kroll dan Thomas Prassel saling bertatapan.

   "Busyet! Lengkap juga informasimu!"

   Freddy berkomentar dengan heran.

   "Tebakanmu tepat sekali. Yang menyuruh kami memang Bernard Wacker. Tapi bukan dia sendiri yang menghubungi Thomas dan aku. Dia menyuruh seorang wanita bernama Hilda -pacarnya, barangkali. Ada urusan apa sih kalian dengan si Wacker?"

   "Ya, kenapa dia dendam pada kalian? Seingat aku, kalian kan pernah bekerja sama dengan dia?"

   "Ehm... itu cerita lama,"

   Karsoff berusaha menghindar.

   "Kami mengambil sesuatu dari dia. Karena itu dia kesal. Sampai sekarang dia masih menginginkan barang itu. Tapi kami tidak bermaksud mengembalikannya. Barangkali dia sangka kami akan menyerah kalau dia menggunakan kekerasan."

   Tidak lama kemudian Kroll dan Prassel berpamitan.

   "Si Wacker sudah mulai berani macam-macam,"

   Ujar Karsoff, setelah kedua tukang pukul itu pergi.

   "Kelihatannya, dia mengajak perang."

   "Kalau memang itu yang dia inginkan, silakan saja. Tapi sebelumnya kita harus bikin fotokopi dulu."

   Bulanski langsung berdiri.

   Membuat fotokopi termasuk dalam lingkup tugasnya.

   Ia turun ke ruang bawah tanah.

   Mesin fotokopi-nya ada di sana.

   Untuk sesaat Karsoff berusaha mengingat-ingat apa yang hendak ia lakukan sebelum Kroll dan Prassel datang.

   Oh, ya! Ia mau menelepon Robert Graf.

   Ahli kimia itu harus digertak lagi.

   6.

   Kotak Pos Mati Q-23/14 Hanya sebentar saja mereka tahan mendengarkan musik sambil duduk.

   Lagu-lagu yang diputar Monika membuat kaki terjaga ingin bergoyang.

   Dengan sedikit usaha, Petra dan Monika akhirnya berhasil membujuk yang lain untuk ikut berdansa.

   Kini mereka sudah memasuki ronde keempat -begitu Sporty selalu menyebutnya.

   Ia berpasangan dengan Petra.

   Sambil berangkulan, mereka mengikuti irama lagu.

   Monika berpasangan dengan Thomas.

   Namun hanya sampai Oskar selesai beristirahat.

   Kemudian anak itu segera menggantikan sahabatnya.

   Rambut Petra yang pirang menggelitik telinga Sporty.

   Gadis itu menyebarkan bau harum.

   Dengan ringan ia mengikuti langkah Sporty.

   "Seharusnya kita lebih sering berdansa seperti ini,"

   Sporty bergumam.

   "Ternyata enak juga, ya."

   Petra diam saja Tapi sedetik kemudian ia berkata,"Aduh! Jangan main injak, dong!"

   "Eh, sori! Aku tidak sengaja."

   Tiba-tiba telepon berdering. Monika langsung memelankan musik, lalu bergegas menuju pesawat telepon.

   "Halo? Ya, sebentar!"

   Kemudian ia berseru,"Ayah, ada telepon!"

   Pak Graf keluar dari kamar kerjanya dan meraih gagang telepon.

   Perhatian Sporty terus tertuju padanya.

   Anak itu segera menyadari perubahan pada raut wajah Pak Graf.

   Perubahan kali ini bahkan lebih menyolok ketimbang di hadapan Pak Glockner tadi.

   Ayah Monika sampai harus berpegangan pada tepi meja telepon.

   "Ya,"

   Ia bergumam sambil menundukkan kepala.

   "Di Cafe Brand? Baik, saya akan segera ke sana."

   Ia meletakkan gagang.

   Raut wajahnya jelas-jelas mencerminkan rasa putus asa yang sangat mendalam.

   Tetapi kecuali Sporty tidak ada yang memperhatikannya.

   Ada apa sih sebenarnya? anak itu bertanya-tanya.

   Pak Graf mengenakan jaket, lalu muncul di ambang pintu kamar Monika."Anak-anak, saya harus pergi sebentar! Sampai nanti, ya."

   Melalui jendela Sporty lalu melihat mobil Pak Graf menjauh. Cafe Brand! Hmm, restoran itu tidak terlalu jauh dari sini. Kalau lewat Taman Kota malah bisa potong jalan.

   "Eh, Monika!"

   Ujar Petra tiba-tiba.

   "Kau kan pernah janji untuk mengajarkan cara merawat muka. Bagaimana kalau sekarang saja?"

   "Oh, ya! Hampir aku lupa."

   Wah, kebetulan sekali, pikir Sporty. Ia menunggu sampai kedua gadis itu kembali ke kamar Monika, lalu berbisik pada Thomas dan Oskar,"Ayo, ikut aku! Ada urusan penting! Nanti kujelaskan semuanya."

   Dan pada Petra dan Monika ia berseru,"Kami juga pergi sebentar, ya! Aku ada perlu. Kami takkan lama."

   "Oke!"

   Monika membalas dan kamarnya.

   "Tolong tutup pintu depan."

   Setelah keluar dan rumah, Sporty, Thomas, dan Oskar, segera mengambil sepeda masing-masing.

   "Aku tidak tahu apakah kalian menyadarinya,"

   Ia berkata.

   "tapi kesanku Pak Graf sedang menghadapi masalah berat. Kelihatannya dia tertekan sekali. Pasti ada hubungannya dengan telepon tadi. Orang yang menelepon itu menyuruhnya untuk datang ke Cafe Brand. Kalian lihat wajahnya waktu berangkat? Tampang Pak Graf seperti orang yang akan menghadiri pemakamannya sendiri. Aku rasa ada baiknya kalau kita cari tahu siapa yang ia temui di sana. Barangkali kita bisa membantunya. Orangnya kan baik sekali."

   "Ya, dia pantas jadi tuan rumah teladan,"

   Oskar membenarkan.

   "Aku juga menyadari bahwa ada yang tidak beres,"

   Ujar Thomas.

   "Tapi kukira itu hanya karena sakit maag-nya kambuh lagi "

   "Masa kau tidak memperhatikan bahwa dia langsung pucat ketika aku menggambarkan si pencuri berhidung patah? Aku juga belum mengerti hubungannya, tapi siapa tahu kita akan menemukan sesuatu."

   Mereka mengambil jalan pintas lewat Taman Kota.

   Karena ada tanda dilarang naik sepeda, ketiga sahabat itu terpaksa turun dan menuntun sepeda masing-masing.

   Tapi tanpa tanda itu pun, anak-anak STOP harus jalan kaki, sebab jalan-jalan setapak di Taman Kota penuh sesak dengan orang-orang yang ingin menikmati udara segar.

   Cafe Brand terletak di tepi suatu jalan besar yang sangat ramai.

   Kue-kue yang dibuat di restoran itu terkenal di seluruh kota.

   Di pojok jalan, sejumlah taksi sedang menunggu penumpang.

   Di seberang Cafe Brand, pembangunan sebuah gedung bertingkat sedang berjalan dengan giat.Sebuah pagar seng membatasi lokasi pembangunan dari jalan.

   Orang-orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk.

   Sebuah papan pengumuman menyatakan bahwa para orangtua harus bertanggung jawab penuh atas segala kerusakan yang ditimbulkan oleh anak-anak mereka.

   Sementara Sporty dan Thomas mengelilingi bangunan setengah jadi itu dari sisi belakang, Oskar menjaga sepeda-sepeda mereka.

   Ia lebih suka menunggu, ketimbang harus berlari-lari.Buruh-buruh bangunan sedang bekerja di lantai tiga dan empat.

   Tapi Sporty dan Thomas sama sekali tidak mereka perhatikan.

   Sambil berlindung di balik pagar, kedua anak itu mengintip ke arah Cafe Brand.

   "Pak Graf duduk di pinggir jendela sebelah kiri,"

   Ujar Thomas.

   "Ya, aku melihatnya."

   Ahli kimia itu baru saja memesan sesuatu pada seorang pelayan wanita.

   "Orang yang akan ia temui belum datang,"

   Kata Sporty.

   "Aku..."

   Tiba-tiba ia terdiam.

   Tanpa berkedip ia memperhatikan Mercedes hitam yang kini berhenti di depan Cafe Brand.Itu kan...

   Sayangnya kaca mobil itu memantulkan sinar matahari, sehingga Sporty belum bisa mengenali pengemudinya.

   Pelat nomornya! terlintas di kepala anak itu.

   Ternyata pelat nomornya tidak sama dengan pelat nomor kendaraan para pencuri.

   Sporty hampir menoleh ke arah lain, ketika pengemudi mobil itu membuka pintu.

   Sporty tersentak kaget.

   Pengemudi itu adalah si laki-laki berhidung patah.

   "Thomas! Itu tuh... pengemudi Mercy di seberang jalan! Itu orang yang mencoba mencuri tas Hilda Putz."

   Thomas langsung terbelalak.

   "Pelat nomor mobilnya lain,"

   Sporty berbisik.

   "Barangkali dia selalu menggantinya setiap kali ada rencana baru. Itu berarti, pengemudi Mercy itu memang seorang penjahat profesional."

   "Gila! Dia masuk ke Cafe Brand dan... Wah, brengsek!"

   Terbengong-bengong Thomas menatap kaki celananya.

   Di bawah lututnya terdapat sejumlah bercak.Ternyata di tempat ia berdiri di pagar seng tidak sampai menyentuh tanah.

   Seekor anjing Boxer berdiri di seberang sambil mencium-cium pagar.

   Anjing itu rupanya baru saja memberikan "tanda"

   Bahwa ia pernah lewat di sini.

   "Sial!"

   Thomas mengumpat tertahan.

   "Apa tidak ada tempat lain, sih?"

   "Jangan dimasukkan ke dalam hati,"

   Ujar Sporty sambil nyengir.

   "Anjing itu kan tidak tahu bahwa kau berdiri di balik pagar ini."

   Ia kembali mengintip ke seberang jalan.

   Apa yang ia lihat membuktikan dugaannya.

   Justru hal inilah yang ia cemaskanSi Hidung Patah sedang menghampiri meja Pak Graf.

   Sambil nyengir lebar, penjahat itu mengulurkan tangan.

   Pertama-tama ayah Monika diam saja.

   Tapi akhirnya ia berjabatan tangan sambil mengangguk singkat.Tanpa menunggu dipersilakan, si penjahat menarik kursi dan duduk di samping Pak Graf.

   Ia mulai berbicara -tanpa henti.

   Setiap beberapa detik ia menoleh ke belakang, seakan-akan takut ada yang menguping.

   Pak Graf mendengarkannya sambil terus membisu.

   Ia nampak semakin putus asa.

   Astaga! ujar Sporty dalam hati.

   Dari mana Pak Graf mengenal penjahat itu? Apa yang sedang mereka bicarakan? "Benar-benar aneh,"

   Kata Thomas.

   "apa hubungan Pak Graf dengan bajingan itu?"

   "Aku juga tidak tahu. Tapi kita akan mencari tahu. Perasaanku mengatakan bahwa ini sebuah kasus untuk STOP."

   Ketika ditanya mau pesan apa oleh pelayan wanita tadi, si Hidung Patah hanya menggeleng.

   Segera setelah itu ia berdiri.

   Sambil tersenyum licik, penjahat itu menepuk-nepuk bahu Pak Graf.

   Rupanya ia hendak memberi semangat pada ayah Monika itu.

   Tapi sikap Pak Graf menunjukkan bahwa ia semakin bingung dan putus asa.

   "Thomas, kita harus mengetahui siapa laki-laki itu!"

   "Mana mungkin?! Sebelum kita sempat mengambil sepeda, dia pasti sudah pergi naik mobil. Kita takkan sanggup mengikutinya naik sepeda."

   "Benar juga. Dasar sial! Bagaimana... eh, taksi-taksi itu! Kau bawa uang?"

   "Hanya sepuluh Mark."

   "Aku juga punya segitu. Mestinya sih cukup. Mau tidak mau kita berkorban sedikit."

   Mereka bergegas ke pintu pagar. Beberapa langkah ke sebelah kanan, keempat taksi tadi masih menunggu. Sopir taksi yang paling depan ternyata seorang wanita.Sporty langsung membuka pintu dan duduk di sebelahnya.

   "Selamat siang! Kami ingin membuntuti sebuah mobil Anda tidak keberatan, bukan?"

   Wanita itu menatapnya sambil mengerutkan kening.

   "Pacarmu, ya?"

   Ia bertanya dengan curiga."Tebakan Anda hampir tepat,"

   Sporty segera mencari akal.

   "Maksudnya, saya teriang berusaha agar dia mau menjadi pacar saya. Sampai sekarang saya belum sempat berkenalan dengan dia. Saya hanya tahu ayahnya Dan sekarang saya ingin mengikuti ayahnya, untuk mengetahui alamat mereka. Anda bersedia?"

   "Kenapa tidak?"

   Jawab wanita itu sambil menghidupkan mesin dan argometer. Kemudian ia menoleh ke belakang sebab Thomas baru saja membuka pintu."Dia juga ikut?"

   "Ya, dia teman saya,"

   Ujar Sporty.

   "Dan dia mengincar gadis yang sama dengan saya. Kami ingin bersaing secara sehat. Tuh, Mercy hitam itu yang harus kita ikuti."

   Si Hidung Patah baru saja menjalankan mobilnya. Untung taksinya menghadap ke arah yang sama.

   "Kalian berdua benar-benar cerdik,"

   Si pengemudi taksi berkata sambil melirik ke kaca spion.

   "Ini harus saya ceritakan pada suami saya nanti malam. Rupanya masih ada cinta pada pandangan pertama."

   "Anaknya bermata biru dan berambut pirang,"

   Sporty menjelaskan.

   "Kalau sudah tahu namanya, saya akan menulis puisi untuk dia. Thomas, kau bantu aku, ya?"

   "Beres!"

   Jawab Thomas. Ia sedang sibuk membersihkan celananya dengan sepotong tisu.

   "Asal aku boleh ikut tanda tangan di bawahnya. Mungkin saja kan, aku yang dipilihnya."

   "Eh, jangan!"

   Wanita di samping Sporty berkomentar.

   "Lebih baik puisinya ditulis sendiri-sendiri. Itu kan lebih romantis."

   "Oh, begitu?!"

   Sporty berlagak bodoh. Mercedes hitam di depan tak terlepas dari pandangannya.

   "Terima kasih, kami akan mengingat nasihat Anda."

   Si Hidung Patah rupanya tidak terburu-buru.

   Ia menuju ke arah barat.

   Makin lama, lalu lintas semakin sepi.

   Keramaian di pusat kota tertinggal jauh di belakang.

   Wanita pengemudi taksi pun merasa senang karena bisa membantu dalam urusan asmara ini.

   Dengan gesit ia mengikuti si Hidung Patah.

   Kemudian, setelah lalu lintas mulai sepi, ia memperbesar jarak dengan Mercedes hitam itu.Dengan cemas Sporty memperhatikan angka pada argometer yang terus bertambah.Untung saja perjalanan mereka segera berakhir.

   Argometer menunjukkan angka 12,60 Mark.Mercedes hitam itu memasuki pelataran parkir di depan Kuburan Lama, lalu berhenti.

   "Wah!"

   Si pengemudi taksi berkata "Usaha kalian kelihatannya tidak berhasil Pasti bukan ini alamat gadis idaman kalian. Kecuali kalau ayahnya pengelola kuburan ini."

   "Sebentar lagi kami akan mengetahuinya,"

   Ujar Sporty. Dengan perasaan tak menentu ia memperhatikan si Hidung Patah turun dari mobil dan mengunci pintu.

   "Terima kasih atas bantuan Anda."Ia mengeluarkan kembali sepuluh Mark dari dompet. Thomas menambahkan sisanya. Si Hidung Patah memasuki kuburan. Sporty dan Thomas segera turun dari taksi.

   "Mudah-mudahan kalian berhasil,"

   Si pengemudi taksi berharap.

   "Tapi -pulangnya nanti kalian naik apa?"

   "Naik bis saja!"

   Seru Sporty.

   Kemudian ia bergegas ke gerbang kuburan.

   Thomas mengikutinya.Kuburan Lama sebenarnya juga pantas diberi nama Kuburan Cemara, soalnya di mana-mana terdapat pohon-pohon cemara.

   Walaupun cukup luas, kuburan ini sudah hampir penuh, karena banyak orang yang memilih Kuburan Lama sebagai tempat peristirahatan terakhir.

   Di sini bahkan ada sejumlah makam yang berusia lebih dari 250 tahun.

   Karena permintaan yang tinggi, pihak pengelola akhirnya memutuskan bahwa orang-orang biasa hanya boleh berbaring selama 60 tahun.

   Kemudian mereka harus memberi tempat pada orang lain.

   Sporty dan Thomas mengendap-endap melewati gerbang yang terbuat dari besi cor.

   Seketika mereka dikelilingi kesunyian.

   Beberapa jalan setapak, yang diapit oleh deretan pohon cemara dan telah diaspal, bermula di sini.

   Sebuah gereja kecil menempel di tembok yang mengelilingi kuburan.

   "Barangkali dia ingin menemui seseorang di sini,"

   Thomas menduga-duga.

   "Masa sih, dia ke sini untuk berziarah?"

   Mereka mengikuti pria itu sambil berjalan dengan cepat, namun tidak berlari.

   Jalan setapak utama yang mereka susuri ternyata berbelok-belok jalan-jalan lain yang lebih sempit bercabang dari jalan itu.

   Jumlahnya tak terhitung.

   Untuk memudahkan para pengunjung, semuanya ditandai dengan kode Alfa-numerik (huruf dan angka).

   Sporty dan Thomas melewati makam demi makam.

   Ada yang mewah, dan ada yang sederhana.

   Bangku-bangku yang disediakan di tepi jalan setapak diduduki oleh orang-orang tua.

   Mereka diam membisu sambil mengingat-ingat masa lalu.

   Beberapa orang membawa peralatan untuk berkebun.

   Dengan tekun mereka memerangi rumput liar yang tumbuh subur.

   Si Hidung Patah rupanya sudah tahu tujuannya.

   Ia berjalan dengan pasti, tanpa perlu mencari jalan.

   Tak sekalipun ia menoleh ke belakang.Kedua sahabat STOP semakin mendekat.

   Tanpa kesulitan mereka mengikuti laki-laki itu.

   Kalau perlu, Sporty bisa segera melompat ke balik semak-semak.

   Sedangkan Thomas tidak perlu bersembunyi, sebab Si Hidung Patah belum pernah ketemu dengannya.

   Kini ia membelok ke jalan Q-23.

   Pepohonan di sini rindang sekali.

   Ia segera menuju ke makam nomor 14.

   Sporty dan Thomas memperhatikannya sambil berlindung di balik batu nisan.

   Si Hidung Patah berhenti Nama yang tertera pada salib kayu pada makam itu sudah tak terbaca.Penjahat itu menoleh ke segala arah, untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitarnya.

   Kemudian ia membungkuk, dan mengambil sebuah kaleng dari tengah-tengah rumput liar yang menutupi makam itu.

   Ia melepaskan tutupnya, lalu mengambil sehelai kertas terlipat dari kantong baju.

   Kertas itu dimasukkannya ke dalam kaleng, yang kemudian dikembalikan ke tempat semula.Sejenak ia kelihatan tersenyum puas.

   Setelah itu, ia berbalik dan kembali ke arah gerbang.

   Dalam keheningan suara langkahnya masih terdengar selama beberapa saat.

   "Kau mengerti apa yang dia lakukan di kubur itu?"

   Tanya Thomas sambil menegakkan badan."Ya! Aku punya dugaan kuat bahwa kubur ini berfungsi sebagai kotak pos mati -suatu tempat rahasia yang biasa dipakai oleh para mata-mata untuk mengirim berita."

   "Kotak pos mati?"

   Ujar Thomas sambil mengerutkan kening.

   "Dalam kasus ini istilahnya tepat sekali. Aku pernah membaca kenapa para agen rahasia menggunakan cara seperti ini, yaitu supaya hubungan antara pihak pengirim dan penerima berita tidak diketahui orang lain. Itulah sebabnya mereka tidak memanfaatkan jasa pos."

   Sporty segera mendekati makam itu.Kaleng tadi ternyata disembunyikan dengan baik, sehingga anak itu terpaksa mencarinya untuk beberapa saat.

   Kaleng itu dulunya berisi teh.

   Sporty segera mengeluarkan isinya.Thomas mengintip, ketika Sporty membuka kertas yang terlipat-lipat itu.

   "Apaan, sih?"

   "Sebuah fotokopi mengenai.. Astaga, Thomas! Coba lihat kepala surat ini! Markas Besar NATO! Wah! Dan isinya dalam bahasa Inggris!"

   Lembaran kertas itu merupakan halaman 41, dan diketik rapat.

   Di setiap baris ada istilah asing yang tidak dimengerti oleh kedua anak STOP.

   Namun secara garis besar, mereka menyimpulkan bahwa naskah yang penuh angka itu membeberkan keterangan-keterangan kemiliteran.

   "Masalahnya sudah mulai jelas,"

   Ujar Sporty dengan suara serak karena tegang.

   "Hilda Putz telah mengambil sejumlah dokumen rahasia dari Markas Besar NATO. Kedua pencuri itu bermaksud merampas tasnya. Tapi ternyata mereka gagal. Nah, lembaran ini rupanya salah satu -halaman dan sebuah dokumen NATO. Si Hidung Patah ingin menyampaikannya pada seseorang. Berarti dia dan rekannya juga berkecimpung dalam dunia mata-mata. Barangkali mereka memerlukan dokumen yang diambil Hilda Putz untuk melengkapi dokumen ini. Atau... Hmm, ini yang masih kurang jelas. Tapi aku rasa kita akan menghadapi suatu tragedi."

   "Pak Graf, maksudmu?"

   Sporty mengangguk.

   "Kelihatannya sudah bisa dipastikan bahwa dia terlibat dalam urusan ini Tapi di pihak lain, aku tidak bisa membayangkan bahwa dia mau melakukan kejahatan. Masa sih, dia yang memberikan lembaran ini pada si Hidung Patah?"

   Thomas hanya mengangkat bahu "Sebelum menghubungi ayah Petra,"

   Sporty kembali berkata.

   "lebih baik kita bicara dulu dengan Pak Graf. Supaya adil."

   "Aku setuju. Tapi bagaimana sekarang? Kita masih belum tahu siapa bajingan tadi itu."

   "Hmm, tanpa kendaraan kita tikkan sanggup membuntutinya. Tapi aku yakin Pak Graf bisa membantu. Sekarang kita tunggu di sini saja. Aku ingin tahu siapa yang akan mengambil lembaran fotokopi ini."

   Thomas pura-pura ketakutan.

   "Mudah-mudahan saja orang itu tidak membuang-buang waktu. Pokoknya aku ingin sampai di rumah sebelum tengah malam. Pada malam hari aku lebih senang berada di tempat tidur, ketimbang menunggu seseorang di samping makam..."Ia membungkuk, menggeser kacamatanya, lalu membaca nama yang tertera pada salib kayu."...Elfriede Handel -ya, itu namanya. Dia meninggal 18 tahun yang lalu. Aku jamin-dia tak pernah membayangkan bahwa kuburnya kelak akan dipakai sebagai kotak pos mati."

   "Sayang sekali makamnya sudah tak terurus. Menyedihkan sekali. Barangkali dia tidak punya sanak saudara di kota ini. Atau, mereka sudah melupakannya."Thomas menunjuk ke makam sebelah."Kau sudah baca pengumuman itu? 'Masa sewa telah habis.' Pengumuman itu dipasang oleh pihak pengelola kuburan. Setahuku, masa sewa yang normal adalah 20 tahun Setelah itu kontraknya harus diperbarui. Kalau tidak ada siapa-siapa lagi yang mengurus hal ini, maka istirahat yang seharusnya kekal terpaksa diganggu untuk sementara. Tulang-belulang dari makam itu harus dipindahkan ke tempat lain, supaya makamnya bisa ditempati orang lain. Keterlaluan, sebenarnya!"

   Sporty mengangguk."Ternyata pemakaman pun mengikuti hukum tak tertulis yang juga berlaku untuk pembangunan gedung baru, semuanya semakin mahal dan langka.

   Soalnya jumlah tanah yang tersedia tidak mungkin bertambah.

   Kenyataan ini langsung dimanfaatkan oleh para pengusaha.

   Ayo, kita tunggu di tempat yang agak jauh saja." 7.

   Tikus Tanah yang Aneh Mereka duduk di bangku taman dan menunggu.

   Burung-burung berkicau di puncak pepohonan.

   Jauh di atas kota, sebuah Jumbo jet mulai bersiap-siap mendarat.

   Seorang wanita tua berbadan bungkuk lewat di depan Sporty dan Thomas.

   Ia membawa setumpuk daun kering ke tempat sampah.

   Kedua sahabat STOP berbincang-bincang pelan.

   Untuk mengisi waktu, mereka memecahkan teka-teki yang rumit.

   Sporty berhasil menjawab beberapa, Thomas lebih banyak lagi.Sporty melirik arlojinya.

   Ternyata setengah jam telah berlalu tanpa terasa.

   Kini ia mulai gelisah.

   Dalam keadaan seperti ini, Sporty memang tidak sabar menunggu.

   "Petra dan Monika pasti heran karena kita belum juga kembali,"

   Kata Thomas.

   "Dan Oskar pasti sudah uring-uringan. Eh, bukankah kalian harus kembali ke asrama untuk mengikuti jam pelajaran tambahan?"

   "Kami sudah minta izin,"

   Pandangan Sporty menyusuri jalan setapak ke arah gerbang pemakaman.

   Dua pekerja sedang menuju ke arah mereka.

   Yang pertama mengenakan overall (pakaian kerja), dan membawa sekop serta cangkul Orang itu diikuti oleh sebuah alat penggali berukuran mini, yang dikendalikan oleh pekerja kedua.

   Kedua pekerja itu membelok ke jalan Q-23 dan berhenti di depan kubur Elfriede Handel.

   "Mau apa mereka di sini?"Sporty dan Thomas segera berdiri dan mendekat.Pekerja pertama sudah mulai membuat garis lurus mengelilingi kubur Q 23/14. Rekannya sedang menempatkan alat penggali mini ke posisi yang benar.Terheran-heran Sporty dan Thomas menyaksikan alat itu mulai bekerja.

   "Ya, ampun!"

   Sporty berseru terkejut.

   "Mereka membongkar kubur itu!"

   "Padahal masih dua tahun lagi sebelum masa sewanya habis!"

   "Coba kita tanya dulu."Sporty segera menghampiri pekerja pertama.

   "Permisi!"

   Ia berteriak untuk mengalahkan suara mesin penggali.

   "Kenapa kubur ini dibongkar?"

   Orang yang ditanya tersenyum ramah."Bu Handel akan dipindahkan,"

   Pekerja itu menjelaskan.

   "Dia akan dimakamkan kembali di kota tempat tinggal putrinya. Di sini makamnya sudah tak terurus. Memang lebih baik begitu."

   Mesin penggali itu bekerja dengan cepat.

   Dalam sekejap saja tanah sudah mulai membukit di samping kubur Elfriede Handel.

   Kaleng yang disembunyikan oleh si Hidung Patah ada di bawah tumpukan tanah itu.

   Sporty dan Thomas saling bertatapan.

   Brengsek! Ternyata rencana ini pun gagal lagi! "Cukup, Erwin!"

   Pekerja pertama berseru pada rekannya.

   "Sudah satu setengah meter."

   Ia melompat ke dalam lubang itu, kemudian menusuk-nusuk tanah dengan sekop "Sori, Win! Ternyata masih kurang."

   Alat penggali kembali beraksi.

   Sporty dan Thomas menyaksikannya tanpa berkedip.

   Proses penggalian itu memukau mereka walaupun pekerjaannya bukan sesuatu yang menggembirakan.

   Setelah mencapai kedalaman 1,70 meter, pekerja pertama kembali melompat ke dalam lubang kubur.

   Kali ini sekopnya mengenai sesuatu.

   Sporty menyangka bahwa penggalian selanjutnya akan dilakukan dengan sekop, namun ternyata ia keliru.

   Kedua pekerja itu tetap saja menggunakan mesin penggali tetapi sekarang mereka lebih berhati-hati.Kayu lapuk mulai muncul di permukaan.

   Sebuah pegangan besi yang penuh karat menyusul -pegangan peti mati Elfrieda Handel.Dengan cermat pekerja pertama memindahkan isi peti itu ke dalam sebuah kardus yang telah dipersiapkan sebelumnya.

   "Tulang-belulang ini akan dimasukkan ke dalam tempat yang lebih pantas,"

   Ia menjelaskan pada kedua sahabat STOP.

   "Kalau tidak ada yang mengambilnya, kami akan mengirim semuanya ke alamat yang bersangkutan dalam kasus ini putri Bu Handel."

   "Anda sering mengerjakan tugas seperti ini?"

   Tanya Thomas."Ya, kami sering terpaksa membongkar kubur-kubur tua yang sudah habis masa sewanya."

   Tiba-tiba saja Sporty menarik Thomas agar menjauh dari kubur itu. Ia nampak terburu-buru sekali.

   "Jangan menoleh ke belakang,"

   Anak itu berbisik pada sahabatnya.

   "Laki-laki di belakang kita kelihatannya mencurigakan."

   Mereka berjalan beberapa langkah, kemudian bersembunyi di balik semak-semak dan mengintip melalui dahan-dahan.

   Pembicaraan antara kedua pekerja tadi terdengar dengan jelas.

   Pria yang dicurigai Sporty nampak kebingungan.

   Terbengong bengong orang itu berdiri di samping alat penggali.

   Dengan mata terbelalak ia menatap tumpukan tanah di hadapannya.

   "Itu orang yang kita cari!"

   Sporty berbisik.

   "Untung saja kita tidak segera kembali ke Cafe Brand."

   "Apakah Anda saudara Bu Handel?"

   Pekerja pertama tadi bertanya pada pria yang baru datang.

   "Bagaimana? Oh, bukan! Ibu saya yang kenal baik dengannya. Kenapa kubur Bu Handel dibongkar?"

   Si pekerja menjelaskannya.

   Laki-laki yang dicurigai Sporty mengangguk-angguk.

   Tapi tampangnya menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak peduli.

   Ia hanya datang untuk mengambil kaleng teh itu.

   Orangnya tidak terlalu tinggi, tetapi berbadan bulat.

   Setelan jas kotak-kotak yang ia kenakan sama sekali tidak cocok dengan potongan badannya.

   Ia berwajah bulat, dengan mata yang kecil sekali.

   Alisnya nyaris tidak kelihatan.

   Rambutnya yang pirang sudah mulai menipis.

   Dari jauh, orang itu mirip anak babi yang siap disembelih.

   Para pekerja telah menyelesaikan tugas mereka.

   Pekerja pertama mengangkat kardus tadi ke atas mesin penggali, lalu meraih sekop dan cangkulnya.

   Setelah mengangguk ke arah laki-laki gendut, ia menyusul rekannya yang sudah duluan jalan.

   Sporty dan Thomas menundukkan kepala, sehingga kedua pekerja tidak melihat mereka ketika lewat di depan semak-semak tempat anak-anak itu bersembunyi.

   Sambil nyengir lebar, mereka lalu menyaksikan laki-laki gendut tadi mulai meniru tingkah tikus tanah.

   Orang itu telah membuka jas dan menggulung lengan baju.

   Dengan napas tersengal-sengal ia membongkar tumpukan tanah di hadapannya.

   "Ih, kukunya pasti jorok sekali,"

   Ujar Thomas.

   Pria itu bekerja sambil membungkuk.

   Sekali-sekali saja ia menegakkan badan untuk menarik napas panjang.

   Ia bermandikan keringat.

   Tetapi, usahanya membuahkan hasil.Wajahnya berseri-seri ketika ia mengeluarkan lembaran fotokopi dari kaleng teh.

   Ia membaca sambil menggerakkan bibir, lalu melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam kantong baju.

   Kemudian ia membersihkan tangan dan lengan.

   Pertama-tama dengan menggunakan daun-daun kering, setelah itu dengan saputangan.Sporty dan Thomas segera bergerak ketika orang itu mulai menuju ke arah gerbang.

   "Sampai di sini saja usaha kita,"

   Ujar Sporty sambil ketawa kesal.

   "Kita tidak punya kendaraan untuk mengikuti dia. Dan kalau mengingat pengalaman dengan Mercedes hitam tadi, aku berani jamin bahwa pelat nomor mobilnya juga palsu."

   "Hmm"Tapi kali ini kedua sahabat STOP lebih beruntung.Laki-laki itu ternyata datang dengan berjalan kaki. Kini ia menyusuri jalan raya ke arah luar kota. Jalan itu mulus dan lebar. Di sepanjang jalan tidak ada tempat untuk bersembunyi. Sporty dan Thomas tidak bisa menjaga jarak karena takut kehilangan jejak.Tak sekalipun orang itu menoleh ke belakang. Tapi beberapa kali ia berhenti di depan jendela etalase. Termasuk di depan jendela salon kecantikan.

   "Kelihatannya dia sudah tahu bahwa kita membuntutinya,"

   Kata Sporty.

   "Penampilannya ternyata menyesatkan. Dia tidak sebodoh yang kubayangkan. Bisa jadi dia malah seorang agen rahasia. Kalau begitu, dia pasti sudah terlatih untuk mengetahui apakah dia dibuntuti atau tidak. Dia memanfaatkan jendela etalase untuk memantau keadaan di balik punggungnya tanpa perlu menoleh ke belakang."

   "Berarti dia tahu bahwa kita telah mengetahui rahasia kotak surat mati itu. Dia sempat melihat kita di kuburan tadi."

   "Masa bodoh! Aku ingin tahu siapa namanya dan di mana dia tinggal."

   Pria itu berjalan ke sebuah penginapan bernama PEMANDANGAN INDAH.

   Penginapan itu berlantai tiga.

   Delapan anak tangga menuju ke pintunya.Orang itu masuk ke dalam.

   Tapi beberapa detik kemudian pintu membuka kembali, dan seorang wanita berbadan gembrot muncul.

   Ia membawa seekor anjing yang tidak kalah gendutnya.

   Binatang malang itu hampir tidak sanggup berjalan.

   "Eh, Thomas!"

   Sporty langsung berseru.

   "Persis seperti si Tompel!"

   Thomas tidak langsung menangkap maksud sahabatnya.

   "Anjing kami bernama Tompel,"

   Sporty berkata pada wanita gembrot di hadapannya.

   "Anjing ras asli -keturunan juara! Anjing Anda pasti sama juga, bukan? Siapa namanya?"

   "Namanya Pangeran. Tapi saya selalu memanggilnya 'Ndut. Ayo 'Ndut, kemari! Ya ampun, selalu saja dia kencing di kaki tangga."

   Sporty membelai anjing itu."Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan, Bu. Baru saja ada seorang pria yang masuk ke penginapan ini. Rambutnya pirang kami pikir dia kenalan orangtua kami. Apakah Anda kebetulan mengenalnya?"

   "Pak Wunderlich, maksudmu? Max Wunder-lich,"

   Wanita itu merendahkan suaranya.

   "Dia tinggal di sini. Dia bekerja sebagai salesman."

   "Wah, kalau begitu saya keliru,"

   Ujar Sporty sambil menggelengkan kepala.

   "Sudah lama dia tinggal di sini?"

   "Oh, ya. Beberapa orang sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Ayo, 'Ndut!"Anjing itu tidak mau menurut. Tapi wanita itu menyeretnya pergi, setelah mengangguk ramah ke arah Sporty dan Thomas. Sebuah bis kota berhenti di seberang jalan."Ayo, Thomas! Cepat! Itu nomor delapan yang menuju ke pusat kota."

   Mereka berlari menyeberangi jalan.

   Pengemudi bis itu sebenarnya sudah mau berangkat.

   Tapi karena melihat kedua anak yang sedang menuju ke arah halte, ia menunggu sebentar.

   Begitu mereka naik, bis itu langsung berangkat.

   *** Max Wunderlich ternyata berdiri di balik pintu.

   Dengan jelas ia mendengar Sporty menanyakan dirinya, kemudian mengangguk-angguk sambil berdecak.

   Kamarnya menghadap ke jalan.

   Melalui jendela, ia memperhatikan kedua anak itu mengejar bis nomor delapan.

   Kalau melihat penampilannya, orang pasti menyangka bahwa Max Wunderluh selalu bersikap lamban.

   Tapi seperti yang sudah dikatakan Sporty.

   penampilannya menyesatkan.

   Pria itu terlatih untuk memutuskan segala sesuatu dengan cepat.

   Di kuburan -pada waktu menggali -ia sudah menyadari kehadiran kedua anak itu.

   Kemudian ia memperhatikan bahwa mereka membuntutinya.

   Dan sekarang bocah-bocah ingusan itu malah menanyakan dirinya.

   Pasti ada yang tidak beres.

   Siapa pun kedua anak itu -mereka telah memergokinya.

   Kemungkinan besar itu salahnya Karsoff.

   Dia selalu bersikap sembrono, seakan-akan kegiatan mata-mata merupakan pekerjaan paling mudah di seluruh dunia.

   Tapi bagaimanapun juga, kedua anak itu merupakan ancaman meskipun bukan ancaman serius, sebab mereka masih terlalu muda.

   Namun Max Wunderlich berpendapat.

   lebih baik mencegah daripada menyesal kemudian.

   Karena itulah ia mengangkat gagang telepon.

   "Halo, Kroll di sini!"

   Si tukang pukul menyahut."Di sini Wunderlich. Halo, Freddy! Aku punya tugas untuk kau dan Thomas. Tapi urusannya sangat mendesak. Kalian harus segera berangkat. Bagaimana, sanggup?"

   "Sanggup, dong! Mana pernah kami mengecewakanmu, Max?" 8. Burung Gereja pun Doyan Wiski Setelah mengunjungi Kuburan Lama, Karsoff berputar-putar di kota selama beberapa saat. Kemudian ia mampir di sebuah restoran Vietnam, da n memesan sop bebek serta semacam lumpia dengan saus Nuoc-Mam. Setelah kenyang, ia meneruskan perjalanan. Agen rahasia bernama Stamslav Kobold belum lama tinggal di kodi ml, tapi Karsoff telah menghubunginya. Kali Ini ia menggunakan rumah-rumahan burung di tengah Taman Kota sebagai kotak pos mati. Di musim dingin, rumah-rumahan itu dipakai untuk memberi makanan pada burung-burung. Ketika Karsoff menghampiri rumah-rumahan itu, tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Yang ada hanya puluhan burung gereja yang duduk bergerombol. Beberapa ekor melebarkan sayap, sambil melompat-lompat dengan gontai. Yang lainnya cuma duduk sambil memiringkan kepala. Potongan-potongan roti tergeletak di tanah. Semuanya nampak basah.Sewaktu Karsoff mendekat, ia segera mencium bau minuman keras. Terheran-heran ia berhenti sambil mendengus-dengus. Bau yang tidak asing baginya ternyata berasal dari potongan-potongan roti itu. Dan benar saja roti itu ternyata dicelupkan ke dalam wiski. Ada-ada saja! Karsoff berkata dalam hati. Bahkan burung gereja pun suka mabuk sekarang.Ia mengeluarkan lembaran fotokopi kedua dari kantong, lalu hendak memasukkannya ke dalam rumah-rumahan. Tetapi rupanya burung-burung yang sedang bergerombol salah mengerti.Seketika semuanya beterbangan. Dengan geram kawanan burung itu menyerang Karsoff. Tenaga burung-burung gereja Ini berlipat ganda. Mereka menabrak wajah pria itu, dan menarik-narik jasnya. Karsoff terpaksa melompat mundur sambil menutupi wajah dengan kedua belah tangan. Kakinya tersangkut pada sebatang kayu, sehingga ia hampir saja kehilangan keseimbangan dan jatuh. Lembaran fotokopi terlepas dari genggamannya. Tapi Karsoff baru menyadarinya ketika seekor burung gereja terbang menjauh sambil membawa kertas itu, lalu menghilang di balik pepohonan.

   "Brengsek!"

   Karsoff mengumpat kesal.

   Kemudian ia langsung meninggalkan Taman Kota.

   Merebut kembali fotokopinya itu sudah tidak mungkin.

   Tapi tak apa-apalah.

   Meskipun jatuh ke tangan pihak berwajib, mereka takkan bisa melacak dari mana kertas itu berasal.

   Konyolnya, kini ia hanya punya satu lembar fotokopi lagi.

   Dan yang ini untuk si Hensch.

   Karsoff naik mobil dan menuju ke Tembok Besar.

   Tembok itu berasal dari zaman Abad Pertengahan.

   Sebagian besar sudah lama runtuh.

   Sisa-sisa yang masih berdiri kini dilindungi sebagai peninggalan sejarah.

   Tapi itu tidak mencegah para pencari suvenir untuk terus mengambil batu-batu dan tembok itu.Kotak surat mati nomor tiga berada di balik sebuah batu lepas di Tembok Besar.

   Namun sepintas lalu, batu itu nampak terpasang dengan kokoh.

   Karsoff melangkah mendekat Daerah di sekitar batu lepas itu dilindungi oleh semak-semak.

   Tapi tidak ke semua arah.

   Wanita tua, yang duduk di salah satu bangku di sekitarnya, seharusnya bisa melihat Karsoff.

   Tapi nenek itu buta.

   Tongkat putih di sebelahnya membuktikan hal ini.

   Karsoff menghampiri tembok.

   Sekali lagi ia melihat ke sekeliling.

   Kemudian pria itu mencopot batu lepas dari tembok dan menyelipkan lembaran fotokopinya.

   Segera setelah itu batunya dipasang lagi.Sambil bersiul-siul, ia kembali ke jalan dan menyalakan sebatang rokok.

   Ia hendak membelok ke kiri, tetapi tiba-tiba berhenti dan mengerutkan kening.

   Seorang wanita datang dari arah berlawanan.

   Ia melihat Karsoff, lalu ikut berhenti.

   Wanita itu adalah Franziska Hensch.

   Rupanya dia sudah tak sabar! pikir Karsoff.

   Tapi itu malah lebih bagus.

   Mudah-mudahan saja dia berminat.

   Kemudian ia segera berbalik dan menuju ke kanan.

   Setelah berjalan agak jauh, ia menyeberang dan menuju ke mobilnya.

   Tak ada yang memperhatikannya ketika ia bertingkat.

   Sementara itu Franziska telah mendekati Tembok Besar.

   Usianya menjelang 40 tahun Penampilannya menarik.

   Ia berambut coklat dan keriting.

   Matanya berwarna gelap.

   Ketika melihat wajah wanita itu, orang pasti menyangka bahwa ia berusia sekitar 27 tahun.

   Ia mengenakan pakaian sportif.

   Dengan langkah pasti Franziska lewat di depan nenek buta tadi.

   Wanita tua itu memakai kacamata hitam.

   Bibirnya terus-menerus menyungging senyum.

   Franziska berbalik, meyakinkan diri bahwa keadaannya aman, lalu menghampiri tembok.

   Cepat-cepat ia mengambil lembaran fotokopi yang tersembunyi di balik batu lepas, kemudian memasukkannya ke dalam tas.

   Dengan lega ia kembali ke jalan."Wah, wah, wah,"

   Ia tiba-tiba mendengar suara wanita tua tadi.

   "Waktu saya masih muda, surat cinta langsung dikirim ke alamat yang bersangkutan."

   "Apa?"

   Tanya Franziska sambil terheran-heran. Ia berhenti di depan nenek buta itu.

   "Bagaimana maksudnya?"

   "Saya sejak tadi sudah memperhatikan Tuan tadi, dan setelah itu Anda,"

   Si nenek berkata sambil tersenyum simpul."Anda... Anda bisa melihat?"

   "Tentu saja! Mata saya masih setajam mata elang. Hanya kaki saya yang sudah tidak kuat. Supaya bisa jalan-jalan dengan aman, saya terpaksa mencari akal. Saya sudah tua. Saya hanya bisa jalan pelan-pelan. Nah, kalau saya harus menyeberang jalan, para pengemudi mobil selalu marah-marah dan menekan klakson. Tapi perlakuan mereka terhadap orang buta sangat baik. Aneh memang. Sejak saya pura-pura buta, anak-anak dan remaja-remaja seakan-akan berlomba-lomba untuk menuntun saya ke seberang jalan. Kadang-kadang justru saya yang harus menjaga mereka agar jangan celaka."

   Franziska ketawa sambil menggelengkan kepala."Cerdik sekali! Ini perlu diingat. Kalau saya sudah setua Anda, ide ini pasti berguna sekali."

   Nenek itu mengangguk.

   "Di antara Anda berdua, pasti ada yang sudah berkeluarga, bukan?"

   Franziska terbengong-bengong.

   "Maksud saya, Tuan tadi atau Anda yang sudah menikah."

   "Oh... itu! Hmm! Suami saya pasti curiga kalau pacar saya mengirim surat lewat pos."

   "Ya, ya! Itulah api asmara,"

   Si nenek berkomentar.

   "Anda yakin bahwa Anda tidak salah langkah? Tuan tadi... ehm... Anda terlalu cantik untuk dia."

   "Dalam hal ini Anda mungkin benar! Selamat siang!"

   Jawab Franziska sambil ketawa, kemudian berlalu.

   * * * Semakin lama, bis kota yang ditumpangi Sporty dan Thomas semakin penuh sesak.

   Mula-mula, mereka masih kebagian tempat duduk.

   Namun ketika beberapa orang tua naik, kedua anak itu segera berdiri dan menawarkan tempat duduk mereka.

   Tapi masih ada seorang kakek yang terpaksa berdiri.Orangnya sudah gaek.

   Setiap kali bisnya membelok, orang tua itu seperti mau jatuh.Sporty terus memperhatikan kakek itu, supaya -kalau perlu -bisa segera menolongnya.

   Kakek itu terpaksa berdiri sementara kedua pemuda itu duduk dengan santai, pikir Sporty dengan geram.

   Mereka pasti tidak pernah diajar bersopan-santun.

   Dasar brengsek! Kedua orang yang dimaksudnya baru naik di halte terakhir.

   Yang pertama berbadan kekar dan berwajah mirip petinju.

   Rambutnya dipotong seperti sikat.

   Sebuah bekas luka memanjang dan sudut mata ke telinga.

   Yang kedua berbadan langsing.

   Sorot matanya tajam dan dingin.Ketika akan melewati perempatan Jalan Bukit Istana dan Jalan Profesor Pauling, si pengemudi bis tiba-tiba terpaksa mengerem habis karena sebuah sedan memotong jalan.

   Semua orang yang sedang duduk membungkuk secara paksa.

   Penumpang-penumpang yang sedang berdiri hampir terlempar ke depan.

   Kakek tua tadi kehilangan keseimbangan.

   Sebelum Sporty sempat bertindak, ia sudah jatuh ke pangkuan si Muka Petinju.

   Bis itu berhenti.

   Si Kakek segera berusaha bangkit.

   Ia ingin minta maaf pada pemuda itu.Tapi si Muka Petinju keburu beraksi.

   Ia bukannya membantu kakek itu, melainkan malah menariknya dengan kasar, lalu mendorongnya dengan keras.

   Orang tua itu terpental dan jatuh di gang.

   Ia mengerang kesakitan ketika sikut kanannya membentur lantai bis.

   "Aduh, tangan saya!"Sporty langsung berada di sampingnya. Dengan hati-hati ia membantu si kakek.

   "Tangan saya,"

   Orang tua itu merintih.

   "Saya cedera. Tangan saya tidak bisa digerakkan."

   "Bapak harus segera menemui dokter!"

   Sporty berkata.

   "Tapi sebelumnya Bapak harus minta nama dan alamat orang di belakang itu. Dia yang harus menanggung semua ongkos."

   Para penumpang lain nampak mengangguk-angguk tanda setuju. Si Muka Petinju mengerutkan kening.

   "Jangan mengada-ada!"

   Ia membentak Sporty."Saya tidak mengada-ada. Saudara mendorong Bapak ini sampai jatuh, tanpa sebab sama sekali. Saudara lihat sendiri bahwa ia mengalami cedera karena itu. Sudah sepantasnya kalau Saudara bertanggung -jawab."

   "Saya hanya melihat bahwa si Gaek ini sudah agak sinting. Dan kau rupanya harus pakai kacamata."

   Sporty tetap tenang."Tolong sebutkan nama dan alamat Saudara, supaya urusan ini bisa segera diselesaikan Saudara masih untung kalau kejadian ini tidak dilaporkan pada polisi."

   Si Muka Petinju berdiri.

   Pandangan matanya mengatakan apa yang akan terjadi selanjutnya.

   adu fisik.

   Sporty sudah sering terlibat dalam pertarungan, baik di arena judo, maupun di jalanan.

   Dengan mudah ia mengenali tanda-tandanya.

   keyakinan yang tercermin di wajah lawan, sorot matanya yang berbinar-binar, perubahan raut muka.

   Sporty mundur beberapa langkah, agar ruang geraknya lebih leluasa.

   Si Muka Petinju mengikuti anak itu sambil bergumam.

   Bekas luka di sudut matanya nampak berdenyut-denyut.

   Secepat kilat ia melayangkan tangan.

   Pukulannya keras dan terarah.

   Apa yang terjadi selanjutnya merupakan tontonan yang tidak mudah dilupakan.

   Tak ada yang melihat bagaimana Sporty menghindar.

   Gerakannya terlalu cepat.

   Si Muka Petinju pun hanya merasa bahwa pukulannya tidak mengenai sasaran.

   Kemudian ia terangkat dan terlempar ke depan.

   Lantai bis terasa bergetar ketika pemuda itu jatuh.Penumpang-penumpang lain ketawa.

   Rekan si Muka Petinju memalingkan wajah dan melihat ke luar jendela seakan-akan ia tidak terlibat sama sekali.

   "Lain kali hati-hati kalau menantang seorang juara judo!"

   Thomas berseru dan belakang.

   "Tapi jangan mengeluh. Saudara masih beruntung. Sudah banyak yang mengalami nasib lebih buruk ketimbang Saudara."

   Sporty membungkukkan badan."Sekarang kita terpaksa mulai dari awal lagi,"

   Katanya dengan tenang.

   "Tolong sebutkan nama dan alamat Saudara. Cepat! Jangan sampai saya yang harus mengambil dompet Saudara."

   Dengan lesu si Muka Petinju berdiri. Wajahnya merah padam. Ia merasa dipermalukan di depan orang banyak. Kalau bisa, ia ingin melompat turun saja.

   "Kroll,"

   Katanya setengah berbisik.

   "Freddy Kroll. Jalan Agnes nomor 11."

   "Keterangan seperti ini lebih mudah diingat, kalau dicatat,"

   Ujar Sporty.

   "Tolong, tunjukkan KTP Saudara."

   Kroll mengambil dompet, dan mengeluarkan kartu identitasnya.

   Sambil menunduk malu ia menatap lantai bis.

   Sporty cepat-cepat mencatat nama dan alamatnya pada sepotong kertas, yang kemudian ia serahkan pada orang tua tadi.

   Dengan mata berair, si kakek mengucapkan beribu-ribu terima kasih.

   Sementara itu Freddy Kroll telah kembali ke tempat duduknya.

   Sporty berdiri di samping Thomas dan nyengir lebar.

   Thomas Prassel sama sekali tidak menoleh ke arah rekannya.

   Seharusnya kita yang memberi pelajaran pada kedua bocah ingusan itu, tapi apa yang terjadi? Malah Freddy yang dihajar.

   Kita seharusnya mencari tahu siapa mereka itu.

   Tapi siapa yang terpaksa menyebutkan nama dan alamat? Freddy! Busyet, ini benar-benar memalukan! Kalau kejadian ini sampai ketahuan teman-teman yang lain, lebih baik aku pindah saja dari sini.

   Tukang pukul yang paling ditakuti di seluruh kota dihajar oleh bocah ingusan.

   Sementara itu bis kota telah sampai di Jalan Germania.

   Dari sini sudah dekat sekali ke Cafe Brand.Sporty dan Thomas, serta sejumlah penumpang lain, turun di halte ini.

   "Oskar pasti sudah mati kelaparan,"

   Ujar Thomas ketika mereka berjalan ke tempat Oskar menunggu.

   Namun ternyata sahabat mereka itu panjang akal.

   Ketika Sporty dan Thomas datang, ia sedang duduk di atas tong sampah kosong.

   Sebelah tangannya memegang sebuah kantong kertas berukuran besar.

   Kantong itu mula-mula berisi satu kilo biskuit coklat, yang sekarang sudah tak bersisa sama sekali.

   Sewaktu melihat kedua sahabatnya, Oskar langsung mulai mengomel.

   "Ke mana saja kalian? Aku pikir kalian sudah diculik oleh makhluk luar angkasa. Katanya hanya mau pergi sebentar! Brengsek! Lihat, tuh! Sepeda kalian sudah mulai karatan. Hari sudah menjelang malam. Monika dan Petra pasti sudah menghubungi polisi untuk mencari kita. Dan aku hampir mati kelaparan. Untung saja aku bawa uang, sehingga bisa beli biskuit di Cafe Brand. Kalau tidak, kalian hanya akan menemukan tulang-belulangku sekarang."

   "Tulang-belulang yang penuh lemak,"

   Kata Sporty sambil ketawa "Burung-burung bangkai bisa berpesta pora!"

   "Mana ada burung bangkai di sini?"

   Balas Oskar.

   "Ayo, cerita dong! Apa yang kalian temukan tadi?"

   "Kami naik taksi dan membuntuti ayah seorang gadis cantik bermata biru,"

   Thomas menjelaskan.

   "Sporty dan aku akan membuat puisi untuk dia."

   "Hah?"

   "Sori, Oskar! Aku cuma main-main. Kami tadi terpaksa menggunakan siasat."

   "Wah, rupanya kalian sudah mulai ketularan! Kalian mau ikut jejak Pak Graf, ya? Sepertinya, dia juga terlibat dalam kegiatan mata-mata. Apakah Monika tahu mengenai ini?"

   Sporty mendesah perlahan."Pokoknya, kita harus berbicara dengan Pak Graf.

   Secara kekeluargaan, tentu saja.

   Aku yakin, dia berbuat seperti ini karena terpaksa.

   Kelihatan jelas tadi, bahwa dia sebenarnya tidak suka berurusan dengan si Hidung Patah.

   Berjabatan tangan pun dia enggan."

   Ketika ketiga sahabat itu menaiki sepeda, Sporty tiba-tiba mendengar suara organ putar.

   Dan itu dia -si pengamen dengan monyetnya.

   Ia berdiri di pojok jalan dekat Cafe Brand.

   Dalam sekejap saja si pengamen sudah dikelilingi anak-anak kecil, yang lebih tertarik pada monyetnya ketimbang mendengarkan musik yang dimainkan.

   Kebetulan anak-anak STOP juga harus lewat sana.

   Coba lihat apakah aku dipelototi lagi, ujar Sporty dalam hati.

   Tadi aku mendapat kesan bahwa pengamen itu hendak mencincangku.

   "Sebentar, ya!"

   Ia berkata pada Thomas dan Oskar.

   Kemudian ia segera bergabung dengan anak-anak yang mengerubungi si pengamen.

   Sporty segera merogoh kantongnya.

   Sebenarnya, uang anak itu sudah habis untuk membayar taksi.

   Namun di kantong celananya ternyata masih ada sekeping uang logam.Ia segera meletakkannya ke atas kotak musik.

   Si pengamen masih mengenakan kacamata.

   Tapi kali ini Sporty bisa melihat matanya.

   Pengamen itu pun melihat ke arah Sporty.

   Tapi pandangannya biasa-biasa saja.Hmm, ternyata dugaanku keliru.

   Barangkali dia lagi sakit perut tadi, atau membayangkan utang-utang yang masih harus dilunasinya.Tiba-tiba saja monyet kecil di atas kotak musik mulai melompat-lompat sambil menyeringai.

   Dengan satu jari binatang itu menunjuk dahinya.

   Artinya.

   sudah gila, ya? Tak salah lagi -Sporty-lah yang dimaksud.

   Orang-orang mulai ketawa.

   "Terlalu sedikit?"

   Tanya Sporty.

   "Sori, deh! Tapi kalau kau sebokek aku, kau pasti takkan memberi apa-apa. Lain kali aku akan membawakan sepotong pisang untukmu. Biar kita bisa berteman."

   Para penonton tersenyum simpul.

   Sporty mengangguk ke arah si pengamen, kemudian menyusul letnan temannya.

   Hampir saja ia menabrak seorang pejalan kaki.

   Orang itu dan rekannya menyeberang jalan di tempat yang sebenarnya tidak diperbolehkan.

   Untung Sporty masih sempat menghindar.Ketika memperhatikan orang itu, Sporty nyaris terjatuh dari sepeda.

   Si pejalan kaki adalah Freddy Kroll! Sporty menggelengkan kepala, lalu berusaha mengejar Thomas dan Oskar yang sudah sampai di ujung jalan.

   Freddy Kroll dan Thomas Prassel terbengong-bengong di tengah jalan.

   Kali ini mereka benar-benar kehilangan jejak 9.

   Bayangan Masa Lalu Setelah Sporty, Thomas, dan Oskar pergi, Petra dan Monika mulai sibuk merubah-ubah gaya rambut mereka.

   Sambil ketawa-ketawa mereka mencoba menyisirnya ke kiri dan ke kanan, lalu memandang ke dalam cermin untuk menilai hasilnya.

   Tanpa terasa hari telah menjelang sore.Kemudian mereka mendengar Pak Graf pulang.

   Ia pergi cukup lama -mungkin sekaligus berbelanja.

   "Aku tanya dulu apakah Ayah mau minum teh,"

   Ujar Monika.

   Namun ayahnya sudah masuk ke kamar kerja.

   Monika segera menyusul.

   Tapi ketika membuka pintu, gadis itu kaget sekali.

   Ayahnya sedang duduk di belakang meja tulis, dengan kedua belah tangan menutupi wajah.

   Seluruh badannya gemetar.

   Mukanya pucat pasi.

   "Ayah!"

   Gadis itu berseru sambil mendekat. Pintu kamar kerja dibiarkan setengah terbuka.

   "Monika!"

   Pak Graf berkata tanpa mengubah posisi duduknya.

   "Ayah ingin sendirian sebentar."

   "Ayah kelihatannya lagi sedih. Ada apa, sih? Tolong katakan, dong! Aku juga selalu bercerita pada Ayah kalau aku sedang kesusahan. Kita kan sudah bikin perjanjian."

   Perlahan-lahan Pak Graf menurunkan tangan. Matanya nampak merah. Sepertinya ia sudah nyaris ambruk.

   "Aku telepon Dr. Clemens, ya?"

   Monika cepat-cepat menawarkan.

   "Ayah pasti... Apakah obatnya sudah tidak mempan?"

   "Kau tidak perlu menelepon dokter, Sayang. Ayah tidak sakit. Ayah hanya..."

   Ia terdiam.

   "Ada masalah lain, Monika. Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi?"Pak Graf kembali menunduk. Setelah beberapa saat, ia berkata,"Monika, Ayah harus menceritakan sesuatu. Lebih baik kau mendengarnya langsung dari Ayah daripada lewat orang lain. Ayah sudah terdesak. Cepat atau lambat urusan ini pasti akan diketahui orang lain."

   "Ayah! Ada apa, sih? Kedengarannya gawat sekali."

   "Kenyataannya bahkan lebih gawat dari yang kauduga. Ayah tidak pernah menyangka bahwa akibatnya bisa separah ini."

   Pak Graf menarik napas panjang, kemudian terdiam lagi.

   Rupanya ia tidak tahu dari mana ia harus mulai.

   Tapi kemudian ia mulai bercerita,"Monika, kau tahu bahwa Ayah sarjana kimia dan kini memimpin bagian riset salah satu perusahaan farmasi terpenting, bukan?"

   "Tentu saja aku tahu "

   "Tapi kau tidak tahu bahwa itu sebenarnya tidak benar."

   "Apa???"

   "Memang benar. Ayah kepala bagian riset di perusahaan itu. Dan prestasi Ayah selama ini baik sekali. Itu pun benar. Masalahnya, Ayah bukan sarjana kimia. Ayah hanya kuliah selama beberapa semester saja -tidak sampai lulus. Ayah tidak punya ijazah."

   Monika menatapnya dengan mata terbelalak."Tapi...""Masalahnya begini.

   pada waktu itu Ayah tidak bisa melanjutkan kuliah karena terbentur pada soal uang.

   Kakek dan Nenek tidak sanggup lagi membiayai kuliah Ayah.

   Sedangkan uang yang diperoleh dari hasil pekerjaan sambilan Ayah juga tidak mencukupi.

   Ditambah lagi, Nenek ketika itu sedang sakit.

   Karena itu Ayah keluar dari universitas dan kemudian belajar sendiri.

   Ayah yakin bahwa prestasi Ayah selama ini cukup baik.

   Kalau tidak, mana mungkin Ayah diangkat sebagai kepala bagian riset, bukan? Tapi ijazah Ayah, pertimbangan yang paling menentukan pada waktu melamar dulu -ijazah itu palsu.

   Ayah kira pekerjaan di perusahaan farmasi itu merupakan kesempatan emas.

   Dan nyatanya memang begitu.

   Ayah langsung diterima.

   Ayah berhasil membangun karier sampai mencapai kedudukan seperti sekarang."

   Monika mendekati ayahnya Dengan lembut ia merangkulnya."Ayah, itu kan tidak terlalu penting.

   Yang lebih penting kan prestasi Ayah.

   Dengan atau tanpa ijazah -apa bedanya? Sebuah ijazah hanyalah selembar kertas, tak lebih dari itu.

   Mahasiswa-mahasiswa yang paling bodoh pun bisa meraih ijazah -biarpun dengan segala macam cara.

   Setelah kerja, baru mereka kebingungan, karena tidak bisa apa-apa.

   Kejadian-kejadian seperti itu kan sudah sering masuk koran.

   Nah, bandingkan dengan keadaan Ayah, ayah kan diakui sebagai ilmuwan yang gemilang."

   Pak Graf tersenyum."Sayang masalahnya tidak semudah itu, Monika.

   Justru karena sering ada kejadian seperti itu, bagian riset di tempat kerja masih dituntut untuk orang-orang tertentu yang bisa masuk ke bagian ini.

   Persyaratannya berat sekali.

   Kalau dilihat dari segi pendidikan, Ayah bisa digolongkan sebagai orang awam.

   Prestasi Ayah selama ini pun tidak bisa mengubah kenyataan ini.

   Begitu ketahuan bahwa ijazah Ayah palsu, Ayah pasti langsung dipecat.

   Dan bukan itu saja -Ayah bahkan bisa dihukum karena melakukan penipuan."

   "Tapi, Ayah, selama ini kan tidak pernah ada yang mempersoalkan ijazah Ayah."

   "Sekarang ada yang mempersoalkannya,"

   Jawab Pak Graf. Ia mengepalkan tangan seakan-akan hendak meremukkan sesuatu.Dengan hati berdebar-debar Monika menunggu kelanjutannya.

   "Ayah lagi diperas..."

   "Diperas?"

   "Ya, bajingan itu licik sekali, sedangkan Ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Orangnya bernama Gregor Karsoff. Kami sudah saling mengenal dari dulu. Dia juga kuliah di tempat Ayah. Tapi karena terus berkelakuan buruk, dia akhirnya dikeluarkan. Masalahnya, dia tahu persis bahwa Ayah juga keluar beberapa bulan kemudian tanpa menyelesaikan kuliah. Beberapa minggu yang lalu kami kebetulan ketemu lagi. Karsoff ternyata sudah mencari keterangan mengenai Ayah. Dja tahu bahwa Ayah mengaku sebagai sarjana kimia, dan bahwa Ayah memimpin bagian riset. Dia bahkan tahu apa yang sedang Ayah kerjakan."

   "Dia minta uang, ya?"

   Tanya Monika.

   Pak Graf menggeleng."Ayah baru-baru ini berhasil menyelesaikan penelitian Proyek-V.

   Proyek itu bersifat sangat rahasia.

   Kami berhasil mengembangkan sejenis obat awet muda.

   Obat itu bermanfaat sekali bagi umat manusia.

   Terutama di zaman sekarang.

   Awet muda -impian manusia sejak zaman Romawi -kini menjadi kenyataan!"

   "Jadi... si Karsoff itu menginginkan hasil penelitian Ayah?"

   "Betul sekali, Monika. Itu yang dia inginkan. Dia tahu persis bahwa hasil penelitian itu bisa dijual mahal pada saingan kami. Ayah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merampungkan proyek ini. Dana yang telah dikeluarkan sudah tak terhitung lagi. Sekarang formulanya sudah siap. Perusahaan-perusahaan yang bersaing dengan kami bisa pingsan kalau mereka berhasil mendapatkan hasil penelitian Ayah."

   Monika tidak sanggup berkata apa-apa.

   "Ayah rasa,"

   Pak Graf melanjutkan.

   "si Karsoff bekerja sebagai mata-mata industri. Orang-orang seperti itu menghalalkan segala cara. Tapi jasa mereka dibutuhkan, dan -nyatanya -memang sering dimanfaatkan. Cara kerja mereka persis seperti Karsoff. berusaha mendapatkan rahasia perusahaan lain, kemudian menjualnya pada pihak yang menawar paling tinggi. Kau takkan percaya betapa sering ada kejadian seperti ini."

   "Lalu, bagaimana sekarang?"

   "Tuntutan Karsoff jelas sekali Kalau saya tidak menyerahkan hasil penelitian itu, dia akan menghancurkan Ayah. Dia akan menghubungi kantor Ayah untuk memberitahu bahwa Ayah seorang penipu. Sebenarnya, sejak dulu Ayah sudah tidak suka padanya. Karsoff menyadari ini. Dan sekarang nasib Ayah ada di tangan dia. Bajingan itu benar-benar menikmati keadaan ini."

   "Apa yang akan Ayah lakukan?"

   Dengan lesu Pak Graf mengangkat bahu."Ayah tidak punya pilihan lain Tanpa Karsoff, Ayah sebenarnya masih bisa mencari alternatif yang paling baik. Dan itu adalah..."

   Monika menatap ayahnya dengan sedih.

   "Alternatif yang paling baik adalah menemui pimpinan kantor, dan mengakui semua kesalahan. Dengan demikian Ayah tidak terlalu kehilangan muka. Tapi ini hanya mungkin jika Ayah bertindak tanpa paksaan. Padahal, Ayah kini sedang diperas. Dalam keadaan seperti ini sama saja apakah Ayah melapor sendiri, atau Karsoff yang melakukannya. Ya, Tuhan! Kalau saja dari dulu-dulu Ayah punya keberanian untuk mengaku. Sekarang semuanya sudah terlambat!"

   Monika mulai menangis.

   Ia membenamkan wajah ke bahu ayahnya.

   Dengan ragu-ragu, seakan-akan merasa tidak berhak lagi, Pak Graf membelai-belai rambut putrinya.

   Suara yang berasal dari arah pintu membuat keduanya tersentak kaget.

   Petra berdiri di ambang pintu.

   "Maaf... saya... saya tidak bermaksud menguping,"

   Katanya terbata-bata.

   "Tapi... suara kalian begitu keras... Saya mendengar semuanya."

   Aku memang keterlaluan! pikir Pak Graf. Aku sudah mencelakakan diriku sendiri. Monika juga kena getahnya. Dan sekarang Petra pun ikut terlibat. Aduh, aku memang pembawa sial.

   "Petra!"

   Seru Monika sambil menyerbu ke arah gadis itu, lalu memeluknya.

   "Keadaannya benar-benar gawat. Kasihan ayahku! Secara hukum ayahku memang bersalah. Tapi sebenarnya kan, dia tidak melakukan kejahatan."

   Petra mengangguk, kemudian ikut menangis.

   Pak Graf menelan ludah.

   Ia merasa bersalah sekali.Suasana di ruang kerja itu benar-benar mengharukan.

   Upacara pemberian medali penghargaan tadi pagi seperti tidak pernah berlangsung.

   Bencana seakan-akan tak terelakkan.

   Ketika bel pintu berdering, tangis Monika dan Petra masih belum mereda.Sambil berlinang air mata kedua gadis itu membuka pintu.

   Pak Graf tetap duduk di belakang meja tulisnya.

   "Hei, ada apa ini?"

   Sporty terheran-heran waktu melihat Petra "Masuk dulu, deh!"

   Gadis itu berkata sambil terisak-isak.Monika berusaha mengeringkan air matanya, namun tanpa hasil.

   "Kalian habis potong bawang?"

   Tanya Oskar.

   "Diam, ah! Dasar dungu!"

   Petra membentaknya. Oskar segera terdiam. Sementara Thomas menutup pintu, Sporty segera menyikut Oskar.

   "Sori, deh!"

   Anak itu kembali berkata.

   "Habis, jurumasak di rumahku juga selalu berlinang air mata kalau potong bawang. Sebenarnya ada alat yang..."

   "Satu kata lagi, dan kau akan menyesal!"

   Petra mengancam dengan ketus.

   "Ya, Tuhan! Masa sih, kau tidak lihat bahwa urusannya lebih penting ketimbang potong bawang?"

   Baru sekarang Oskar menyadari bahwa ada yang tidak beres. Langsung saja ia terdiam dan berlindung di balik punggung Sporty. Apa yang terjadi di sini? Sporty bertanya dalam hati. Ada kecelakaan? Pak Graf, barangkali? "Ayahku ada di kamar kerjanya,"

   Ujar Monika sambil membalik.

   "Aku rasa lebih baik kalau kalian langsung bicara dengan dia saja. Petra sudah tahu persoalannya."

   Persoalan apa? pikir Sporty. Persoalan Pak Graf dengan mata-mata itu? Mereka melangkah ke kamar kerja. Sporty, Thomas -bahkan Oskar, mulai merasa suasana yang mencekam. Pak Graf ternyata masih duduk di balik meja tulisnya.

   "Silakan duduk!"

   Ia berkata dengan datar ketika anak-anak masuk.

   Hanya Monika dan Petra yang kebagian kursi.

   Yang lainnya terpaksa duduk di lantai.

   Oskar berusaha duduk dengan kaki bersilang seperti Sporty, tetapi kehilangan keseimbangan dan terguling ke belakang.

   Kejadiannya lucu sekali.

   Dalam keadaan biasa, tingkah Oskar pasti diikuti dengan tawa berderai-derai.

   Namun kini tidak ada yang memperhatikannya.

   "Saya berada dalam posisi yang sulit sekali,"

   Pak Graf berkata.

   "Seharusnya saya tidak boleh melibatkan kalian. Monika memang harus saya beritahu, karena dia masih tergantung pada saya. Petra tadi kebetulan mendengar persoalan yang saya hadapi. Dan saya tidak bisa melarang dia untuk menceritakannya pada kalian, bukan? Karena itu, saya rasa lebih baik kalau kalian mendengarnya langsung dari orang yang bersangkutan. Saya yakin, kalian bisa dipercaya. Lagi pula, nasib saya toh sudah ditentukan."

   Kemudian ia mulai bercerita.

   Tak ada yang berani memotongnya.

   Bahkan Monika dan Petra pun berhenti menangis.

   Setelah Pak Graf selesai, suasana di ruang kerjanya menjadi hening.

   Jadi itu persoalannya! pikir Sporty.

   TernyataPak Graf memang seperti yang kubayangkan semula -meskipun dia sempat salah langkah.

   Tapi si Karsoff itu...

   Bah, pemerasan adalah salah satu kejahatan yang paling memuakkan!"

   Karsoff -orangnya berhidung patah, bukan?"Dengan heran Pak Graf menatap Sporty.

   "Betul,"

   Katanya.

   "Tapi dari mana kautahu itu?"

   "Kami sempat melihat dia menemui Anda Di Cafe Brand. Sebetulnya kami juga hendak menanyakan hal ini. Karsoff rupanya bukan hanya mata-mata industri, dia juga tertarik sekali pada rahasia-rahasia militer. Rahasia-rahasia NATO, misalnya. Karena itulah dia berusaha mencuri tas kantor kepunyaan Hilda Putz. Saya berani jamin bahwa dokumen-dokumen yang dia ambil ada di tas itu. Kami sekarang sedang menyelidiki si Karsoff. Dan sebetulnya kami juga akan menghubungi ayah Petra."

   Dengan singkat Sporty melaporkan hasil penyelidikan mereka ."Ini benar-benar hebat!"

   Seru Pak Graf.

   "Bukti-buktinya sudah cukup untuk menangkap Karsoff. Dan dengan demikian..."

   Ia terdiam.Sporty segera bisa menebak jalan pikiran ayah Monika.

   "...dengan demikian Anda belum terbebas dari persoalan Anda, Pak Graf,"

   Anak itu menyambung.

   "Seorang bajingan seperti Karsoff takkan segan-segan untuk tetap melaporkan Anda -biarpun sebenarnya tidak ada manfaatnya lagi baginya. Dia takkan mau terima kalau hanya dia sendiri yang masuk penjara. Karena itu saya ingin mengusulkan sesuatu."

   Semuanya menunggu dengan tegang.

   "Syaratnya, rencana ini tidak boleh diketahui siapa-siapa -termasuk ayahmu,"

   Sporty berkata sambil menatap Petra.

   "Aku takut, ayahmu akan terbentur pada dua kepentingan yang berbeda. Kalau kita bercerita pada ayahmu, Petra, maka dia mau tidak mau harus mengambil tindakan terhadap Pak Graf. Di pihak lain, dunia takkan kiamat kalau Karsoff masih bebas berkeliaran untuk beberapa hari."

   Petra mengangguk.

   "Rencana saya begini Pak Graf,"

   Sporty melanjutkan.

   "Anda harus berpura-pura mengikuti kemauan Karsoff. Supaya dia merasa puas. Bahwa dia akan segera kehilangan hasil penelitian yang baru diperolehnya -itu sih bukan salah Anda. Yang bertanggung jawab atas kejadian itu adalah anak-anak STOP. Kami akan mengaturnya supaya Karsoff mencurigai orang lain. Misalnya mata-mata lain. Pokoknya, bukan Anda! Ini bisa lebih dipermudah kalau Anda mengatakan bahwa ada seseorang yang terus-menerus memperhatikan gerak-gerik Anda."

   "Saya malah bisa mengatakan bahwa ada mata-mata lain yang juga mengetahui hasil penelitian saya, dan bahwa orang itu telah mengajukan tawaran yang cukup tinggi."

   "Ya, itu lebih baik lagi.""Tapi bagaimana caranya kalian merebut hasil penelitian saya dari tangan Karsoff."

   Sporty nyengir lebar."Kalau perlu, dengan kekerasan. Serahkan saja semuanya pada kami. Anda tahu di mana dia tinggal?"

   Pak Graf mengangguk."Begitu hasil penelitian itu berhasil direbut kembali,"

   Sporty terus menyusun rencana.

   "Anda punya waktu untuk bertindak Pak Graf. Anda bisa datang ke kantor, lalu mengakui kesalahan Anda. Saya yakin, atasan Anda pasti mau mengerti. Sebelum Karsoff sempal mengetahui bahwa hasil penelitian Anda sudah kembali ke tempat semula, dia sudah diciduk polisi. Setelah itu, biar saja dia bicara sesuka harinya. Anda tinggal menyangkal segala tuduhan. Karsoff tidak bisa membuktikan apa-apa. Dan saya rasa, baik atasan Anda maupun pengadilan, takkan mempercayai keterangan seorang mata-mata."

   "Mudah-mudahan saja,"

   Jawab Pak Graf dengan suara bergetar.

   "Kalau semuanya bisa berjalan sesuai rencanamu, maka saya masih punya harapan."

   "Tentu saja Anda masih punya harapan,"

   Thomas berkomentar.

   "Pengadilan selalu mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi seorang terdakwa. Dan Anda baru saja menerima medali penghargaan dari Walikota. Kalau saya jadi Anda, saya takkan merasa khawatir."

   "Kalian memang pandai menyemangati orang,"

   Pak Graf mendesah.

   "Bagaimana perjanjian Anda dengan Karsoff?"

   Tanya Sporty.

   "Dia minta agar saya meneleponnya setelah mengambil hasil penelitian itu dari laboratorium."

   "Kapan Anda bisa mengambilnya?"

   "Setiap saat."

   "Bagaimana kalau Anda menyerahkan laporan lain yang tidak berharga? Sesuatu yang kelihatannya ilmiah, padahal tak ada isinya sama sekali. Apakah Karsoff akan mengetahui perbedaannya?"

   "Dia memang brengsek, tapi tidak bodoh. Karsoff dulu juga kuliah di jurusan kimia."

   "Hmm, berarti dia tidak bisa ditipu dengan cara ini. Jangan sampai dia curiga. Besok hari Sabtu. Hari yang tepat untuk mulai beraksi. Pertama-tama kita harus..."

   Kemudian Sporty mulai menjelaskan rencananya secara terperinci.

   10.

   Stanislav Ingin Berhemat Mata-mata bernama Stanislav Kobold belum lama tinggal di kota ini.

   Pendahulunya meninggal dunia karena mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan bebas hambatan.Upacara pemakamannya sempat mengundang perhatian khalayak ramai.

   Semua koran mengirim wartawan dan juru foto untuk meliput upacara itu.

   Sejumlah pembesar berpidato secara bergantian.

   Wakil-wakil dari berbagai perkumpulan dan partai politik meletakkan karangan bunga di makamnya.

   Mata-mata itu memang aktif di berbagai kegiatan.

   Dia dikenal sebagai dermawan, dan disukai di mana-mana.

   Satu-satunya yang tak pernah diketahui adalah bahwa dia bekerja sebagai mata-mata untuk sebuah negara asing.

   Sampai sekarang pun rahasia itu belum terbongkar.Kedudukan mata-mata itu kini digantikan oleh Stanislav Kobold.

   Stanislav sadar seratus persen bahwa ia harus mulai dari nol.

   Ia tahu persis bahwa ia takkan sanggup menyaingi pendahulunya dalam hal jumlah koneksi.

   Tapi dia tidak putus asa karena itu.

   Mata-mata dari negara-negara lain belum mengenal Stanislav.

   Paling-paling mereka baru mengetahui namanya.

   Baru tiga orang yang pernah menghubunginya.

   Bernard Wacker, serta Karsoff dan Bulanski yang serakah.

   Dengan ketiga orang itu, Stanislav sudah sempat mengerjakan proyek kecil-kecilan.

   Biarpun baru sebentar tinggal di kota, Stanislav sudah tahu siapa saingan-saingannya.

   Berhari-hari ia mengikuti Max Wunderlich dan Franziska Hensch.

   Stanislav merasa bangga sekali bahwa kedua-duanya tidak sadar bahwa ia membuntuti mereka.Ketika Karsoff dan Bulanski menawarkan dokumen-dokumen NATO padanya, Stanislav langsung paham.

   ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu.

   Jika berhasil memperoleh surat-surat rahasia itu, maka gengsi Stanislav di mata atasannya pasti akan berlipat ganda.

   Namun ia tidak berminat melewati proses tawar-menawar yang melelahkan.

   Kalau begitu, semua orang juga bisa.

   Stanislav ingin menerapkan caranya sendiri.

   Ia bermaksud memperoleh dokumen-dokumen itu semurah mungkin -kalau bisa, dengan setengah harga.

   Dan ia sudah tahu bagaimana caranya.Max Wunderlich dan Franziska Hensch, kedua saingannya, harus dibuat tak berdaya.


Goosebumps Monster Telur Dari Mars Fear Street Kucing Shugyosa Samurai Pengembara II

Cari Blog Ini