Ceritasilat Novel Online

Tears Of Heaven 4


Dr Ang Swee Chai Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Bagian 4



Bagi orang dari Asia Tenggara sepertiku, nilai penting Tembok Ratapan tak begitu terasa.

   Tempat kelahiran Yesus Kristus di Bethlehem telah berubah menjadi sebuah gereja yang merupakan sebuah objek wisata yang ramai.

   Tidak seperti bayanganku tentang kandang domba tempat Yesus dilahirkan.

   Rumah Sakit Hadassah, sebuah rumah sakit besar milik Israel, dikelola dengan baik dan memiliki peralatan yang modern, sebagaimana halnya rumah sakit-rumah sakit besar yang ditujukan untuk pembelajaran mahasiswa di Inggris.

   Tidak ada lubang bekas bom, tembok yang retak, kaca jendela yang hancur, dan puing-puing seperti di Rumah Sakit Gaza.

   Terkecuali segelintir tentara Israel yang terluka, selebihnya tidak ada yang mengingatkanku akan perang yang sedang terjadi.

   Para pasien di sana sama seperti pada umumnya ditemukan di rumah sakit kanker, diabetes, serangan jantung, kasus-kasus pembedahan, dan sebagainya.

   Tidak ada anak-anak yang terkena sindrom "Awal Reagan", tidak ada luka-luka terkena pecahan cluster bomb, tidak ada luka bakar akibat bom fosfor.

   Selain itu, ada air, listrik, tumbuh-tumbuhan dalam pot, gorden, dan lantai yang mengilap.

   Aku teringat akan kamar dr.

   Habib di Rumah Sakit Gaza, yang akan menjadi milikku setelah ia pergi.

   Suatu hari, sebuah granat besar menerobos tembok kamar itu, membuat kamar beserta isinya hancur menjadi puing-puing, untungnya tidak melukai siapa pun.

   Kemudian, kami dibawa menuju Yad Vashem.

   Dalam keadaan normal, aku tidak ingin mengunjungi tempat itu, karena pada masa lalu aku telah menghabiskan waktu berjam-jam menangis dan bermimpi buruk tentang penganiayaan bangsa Eropa terhadap kaum Yahudi, pertama-tama oleh para kaisar Rusia, kemudian oleh tentara Nazi.

   Namun, aku tidak ingin menyinggung tuan rumah Israelku, jadi aku ikut saja bersama mereka.

   Untunglah aku memutuskan ikut.

   Seorang profesor wanita Israel ahli sejarah, ia sendiri selamat dari kamp Auschwitz di Perang Dunia Kedua yang mengerikan itu telah mengambil cuti untuk mengajak kami berkeliling.

   Ia adalah seorang wanita yang ramah dan sangat prihatin dengan pembantaian Sabra dan Shatila.

   Ia berbalik dan meraih lenganku seraya berkata.

   "Dokter, sekarang Anda telah melihat penderitaan yang dialami bangsa Yahudi. Tolong percayalah pada saya, kami sangat tertekan dengan apa yang terjadi di Lebanon, dengan pembantaian orang-orang di kamp-kamp pengungsi itu. Berita itu tersiar tak lama sebelum Rosh Hoshanah dan seluruh penduduk di desa kami membatalkan semua perayaan. Kami merasa terlalu sedih untuk merayakannya, banyak dari kami yang malah ikut berduka-cita."

   Ketulusannya yang nyata dan kesedihan di wajahnya yang mengiringi kata-katanya itu menunjukkan kepadaku bahwa tidak semua orang Israel ingin melihat orang-orang Palestina dianiaya dan dibantai.

   Pasti terasa sangat pedih bagi orang-orang Yahudi yang pernah menderita di bawah kekuasaan Nazi, melihat bangsa mereka sendiri menyengsarakan orang lain.

   Di sini terdapat dua bangsa Yahudi dan Palestina yang punya banyak kesamaan.

   Di Yad Vashem, aku menonton sebuah film tentang bagaimana Nazi mengindoktrinasi anggotanya dengan semangat anti Yahudi.

   Nazi menganggap bangsa Yahudi sebagai ras yang lebih rendah dari manusia.

   Sebagian tentara Israel kini menganggap orang-orang Arab sebagai makhluk yang lebih rendah dari manusia.

   Mengapa mereka tidak belajar dari masa lalu? Apakah upaya menciptakan sebuah rumah bagi para korban penganiayaan Nazi dan rasialisme Eropa harus menimbulkan penderitaan orang-orang lain, yaitu rakyat Palestina? Mungkin di sini ada sesosok iblis yang sedang menggelar permainan berebut-kursi atau putar-kado, membuat bangsa Yahudi dan Palestina menderita secara bergantian.

   Bagaimana jika bangsa Yahudi dan Palestina sama-sama memutuskan tidak mengikuti permainan ini dan mencampakkan kado itu? Tentulah demi membangun sebuah rumah bagi sekelompok manusia, kita tidak perlu mengusir kelompok manusia lain.

   Pasti sangat mungkin bagi keduanya untuk hidup bersama.

   Banyak yang mengatakan bahwa Israel terlalu kecil untuk menjadi rumah bagi kedua bangsa tersebut.

   Kurasa, ide tentang ruang sangatlah relatif.

   Dibesarkan di Singapura, salah satu negara paling padat di dunia, untukku Israel atau Palestina terasa sangat luas.

   Pasti sangat mungkin bagi beberapa juta orang Yahudi dan Arab untuk tinggal di sana sebagai warga negara yang rukun.

   Jumlah penduduk Singapura hampir sama banyaknya dengan Israel, dan kami bisa menciptakan sebuah rumah bagi semua orang di sebuah area yang luasnya hanya 226 mil persegi.

   Israel jauh lebih luas daripada Singapura, jadi tak seorang pun dapat melontarkan argumen "terlalu padat"

   Kepada seorang warga Singapura.

   Lalu, ada kamp Shatila dengan luas sekitar 2DD meter persegi, yang menjadi rumah bagi puluhan ribu penduduk Palestina.

   Ada sebuah pepatah mengatakan, jika menginginkan sebuah rumah, kamu akan membuatnya.

   Jadi ini bukan masalah ruang, melainkan masalah ideologi intoleransi.

   Seiring mengucapkan salam perpisahan kepada profesor Israel itu, aku menatap ke arah boulevard pepohonan yang ditanam untuk mengenang para sahabat bangsa Yahudi, mereka yang telah melindungi orang-orang Yahudi dari tentara Nazi, mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan manusia lainnya, dan aku menangis.

   Mungkin, jika aku dilahirkan satu generasi sebelumnya di Eropa dan bukan di Asia Tenggara, aku juga akan menjadi salah satu dari banyak orang yang merasa sangat gusar terhadap ketidakadilan yang menimpa para korban holocaust yang dilakukan tentara Nazi, sampai-sampai aku akan menutup mata terhadap penderitaan dan perampasan hak milik yang menimpa warga Palestina.

   Tidak ada "jika"

   Dan "tetapi"! Aku datang dari neraka dunia bernama Kamp Pengungsi Palestina. Sementara orang-orang di sini berbicara tentang "moral"

   Dan "kesadaran".

   "keadilan"

   Dan "ketuhanan", di sana mayat-mayat yang tak utuh terkubur di bawah puing-puing dan kuburan-kuburan massal, mayat-mayat yang telah membayar dengan nyawa mereka demi "moral"

   Ini. Mereka yang masih hidup, yang kehilangan tempat tinggal dan hidup sengsara, telah kehilangan hak asasi mereka demi membayar pendirian negara "berketuhanan"

   Ini. Rakyat Palestina yang dikurung dan disiksa di penjara dan kamp-kamp tahanan telah kehilangan kebebasan atas nama "demokrasi"

   Yang digaungkan oleh negara Israel.

   Masa kanak-kanak dan kewanitaan bangsa Palestina terenggut demi membayar "feminisme progresif negara Israel yang sangat memikat dunia Barat.

   Kembali ke Hotel Moriah, kami bersiap untuk pergi.

   Ellen dan aku akan meninggalkan Timur Tengah, tetapi Paul Morris akan kembali ke Lebanon.

   Paul betul-betul tidak peduli akan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan dihadapinya karena perjalanan kami ke Jerusalem itu.

   Ia berkeliling di kawasan Arab di Kota Jerusalem dan membeli banyak sekali mainan untuk anak-anak di kamp, termasuk sebuah tambur untuk Essau, anak laki-laki yang terkena cluster bomb.

   Ia berencana mengatakan kepada Essau bahwa tambur itu adalah hadiah istimewa dari Swee karena Essau begitu menyayangiku.

   Hal ini membuat kesedihanku sedikit berkurang karena mungkin aku tidak akan dapat bertemu lagi dengan si kecil Essau.

   Kemudian, kami menerima sebuah pesan bahwa seorang pengacara Palestina bernama Felicia Langer akan datang menemui kami.

   Avi, personel IDF yang masih muda yang kami duga juga anggota Mossad jelas tidak menyukainya.

   Ia mengatakan kepadaku betapa buruknya kelakuan Felicia, seorang wanita tua yang jelek dan tidak ramah.

   Jadi aku duduk di lobi hotel dan menghampiri setiap wanita tua buruk rupa yang ada di sana untuk menanyakan apakah ia adalah Felicia Langer.

   Banyak dari mereka yang sangat gusar dengan pertanyaanku.

   Ketika salah seorang wanita itu bertanya mengapa aku mengiranya sebagai Felicia Langer, aku hampir saja keceplosan menjawab karena ia tua dan berwajah buruk.

   Akhirnya, datanglah seorang wanita dengan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan penggambaran Avi.

   Felicia adalah seorang wanita muda yang menarik dan feminin.

   Aku menoleh kepada Avi dan melemparkan tatapan yang lama dan tajam kepadanya.

   Ia merasa sangat malu telinganya sampai memerah dan cepat-cepat meminta maaf.

   Aku sangat menyukai Felicia dan menyimak dengan saksama percakapannya dengan Ellen.

   Barulah belakangan aku mengetahui bahwa Felicia Langer adalah seorang pahlawan sejati, sangat gigih memperjuangkan keadilan bagi rakyat Palestina.

   Aku sangat bersyukur berkesempatan bertemu dengannya dan mendengarkannya, dan aku memberikan salinan pernyataanku tentang peristiwa pembantaian tersebut.

   Walaupun kunjungannya sangat singkat, dampaknya sangat kuat pada diriku dan memberiku kebahagiaan yang aneh dan tak dapat dijelaskan.

   Avi mengantarku dan Ellen ke bandara.

   Saat itu, pemuda yang malang itu terserang sakit kepala yang parah, mungkin karena harus menjaga kami bertiga.

   Ia meninggalkan kami berdua di bandara dan melanjutkan perjalanannya dengan mobil ke Lebanon bersama Paul Morris.

   Aku tahu bahwa apa yang dikatakan orang-orang kepadaku di Beirut adalah benar, hari-hariku di Lebanon telah usai.

   Namun, aku senang karena telah melakukan perjalanan ke Jerusalem.

   Aneh.

   Jerusalem adalah Kota Suci, titik pertemuan tiga agama monoteisme.

   Sebagai seorang Kristiani, aku telah lama ingin melakukan ziarah rohani ke Jerusalem, dan kini orang-orang Palestinalah yang membawaku ke sana.

   Selain berbicara atas nama penduduk di kamp-kamp Sabra dan Shatila, aku juga punya kesempatan untuk bertemu dengan para warga Yahudi di Israel yang gigih memperjuangkan perdamaian dan keadilan, dan berani bersikap.

   Banyak dari mereka yang juga harus membayarnya dengan amat mahal.

   Para anggota IDF yang menolak bertugas di Lebanon dijebloskan ke penjara.

   Felicia sendiri tahu bahwa ada kemungkinan suatu hari nanti ia akan dibunuh.

   Walaupun demikian, banyak orang seperti Felicia yang terus melawan ketidakadilan di Israel.

   Aku melihat keberanian baik dari orang-orang Yahudi maupun Palestina.

   Kami memasuki pesawat, dan seiring pintu pesawat ditutup, aku merasa seakan-akan mengalami deja vu.

   Bandara Tel Aviv mengingatkanku pada bandara di Singapura.

   Ketika pesawat lepas landas, aku kembali merasa terbuang bukan dari Singapura, melainkan dari Timur Tengah.

   Melalui jendela pesawat dapat kulihat matahari terbenam.

   Indah dan kemerahan, matahari yang terbenam itu memancarkan kehangatan dan sinarnya ke penjuru Lebanon, ke penjuru Palestina yang diduduki Israel, ke penjuru Beirut dan Jerusalem, ke penjuru kemenangan dan kekalahan, tulus tanpa prasangka, sebagaimana yang senantiasa dilakukannya sejak awal waktu.

   Kini, setelah terusir dari Jerusalem, aku dapat membayangkan bagaimana perasaan orang-orang Palestina.

   Ellen tampaknya bisa membaca pikiranku, karena ia mulai membicarakan pengusiran bangsa Palestina dan izin dari Israel bagi bangsa Yahudi dari seluruh dunia untuk kembali ke Palestina.

   Sepuluh tahun yang lalu, ia dan seorang wanita Palestina, dr.

   Ghada Karmi, berdiri di luar Kedubes Israel, masing-masing membawa sebuah plakat.

   Di atas plakat milik si wanita Palestina, tertulis kalimat berikut.

   "Aku seorang Arab Palestina. Aku dilahirkan di Jerusalem. Jerusalem adalah rumahku. Tapi aku tak bisa kembali ke sana."

   Kata-kata di plakat Ellen bertuliskan kalimat berikut.

   "Aku seorang Yahudi Amerika. Aku lahir di Amerika. Israel bukan rumahku. Tapi aku bisa kembali ke sana."

   "Pikirkan ketidakadilan itu, Swee,"

   Kata Ellen.

   "Mengapa aku bisa memiliki dua rumah, satu di Amerika dan satu lagi di Israel, sedangkan orang-orang Palestina tidak memiliki satu rumah pun? Bagaimana bisa aku menggunakan hak kembaliku ke Israel sebelum orang-orang Palestina juga diberi hak yang sama?"

   Aku menatap ke luar jendela, matahari telah terbenam.

   Beirut dan Jerusalem sudah bermil-mil jauhnya.

   Kegelapan membentang di luar, dan aku merasa kesepian dan tersesat.[] Empat Belas Aku tiba di Bandara Heathrow London dan disambut oleh suami tercintaku yang telah kehilangan berat badan sebanyak lima belas kilogram selama aku pergi.

   Baru saat itulah aku tahu bahwa ia sebenarnya menyangka aku telah tewas terbunuh pada peristiwa pembantaian itu.

   Kekeliruan timbul karena setelah pembantaian itu, sebuah daftar berisi nama-nama orang yang selamat diberitakan dalam koran-koran besar di Inggris, dan namaku tidak ada dalam daftar itu.

   Kurasa, aku dapat dengan mudah menjelaskannya, aku adalah seorang wanita kulit berwarna dan seorang pengungsi.

   Para wartawan koresponden Inggris mungkin tidak memasukkan namaku ke dalam daftar orang-orang Inggris yang selamat, sedangkan organisasi amal yang mengirimku mungkin merasa bukan tanggung jawab mereka untuk mengecek apakah aku masih hidup.

   Francis menelepon Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Washington, yang lalu menghubungi Kedubes Amerika Serikat di Beirut.

   Kedubes kemudian berusaha mencariku dan bahkan bertanya kepada lembaga di Beirut yang mensponsoriku, meskipun pesan itu jelas-jelas tidak disampaikan.

   Aku tak dapat menyalahkan siapa-siapa karena tidak ada satu pihak pun yang merasa wajib bertanggung jawab atas pengungsi seperti diriku.

   Kekeliruan seperti itu bisa terjadi.

   Tapi Francis tidak bisa menerimanya.

   Setelah 15 September, ia tidak mendengar kabar apa pun tentangku, kecuali bahwa aku berada di Sabra dan Shatila, dan di sana ribuan orang mati terbantai.

   Pertama kali ia mendengarku masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja adalah pada 22 September 1982 ketika menerima pesan teleks dariku yang memintanya untuk mengedarkan pernyataanku seluas-luasnya.

   Teman-teman lamaku senang sekali melihatku kembali ke London meskipun berat badanku merosot menjadi hanya tiga puluh kilogram lebih sedikit dan aku merasa sangat lemas.

   Tidak boleh ada waktu yang terbuang percuma.

   Seperti diriku, banyak orang yang baru mengetahui kondisi rakyat Palestina setelah aksi penyerangan Israel ke Lebanon itu.

   Kesengsaraan rakyat Palestina di Lebanon benar-benar memprihatinkan, dan mungkin mereka hanya tinggal punya sedikit waktu.

   Pembantaian atau serangan terhadap kamp-kamp tersebut dapat terjadi lagi kapan saja, begitu pasukan penjaga perdamaian multinasional pergi meninggalkan tempat itu.

   Setiap usaha harus dilakukan untuk memublikasikan kesengsaraan para yatim piatu dan janda yang masih tinggal di tengah-tengah puing-puing.

   Suara mereka mesti didengar.

   Pembantaian itu telah memberikan sebuah pelajaran yang menyakitkan buatku bahwa keterampilan bedahku ternyata tidak berguna.

   Aku bisa saja merasa puas telah menyelamatkan nyawa segelintir orang, tetapi ribuan nyawa lainnya dapat diselamatkan apabila dunia mengetahui apa yang tengah terjadi, jika saja pada waktu itu aku menyadari apa yang tengah terjadi, berhenti mengoperasi, dan mempublikasikan fakta bahwa ada pembantaian sedang berlangsung di sana.

   Kini aku tahu sudah, dan aku tidak punya alasan untuk berpaling.

   Aku berutang kepada mereka yang gagal ku-selamatkan.

   Dalam saat-saat keputusasaan, aku tergoda untuk menduga bahwa orang-orang akan tetap berpaling, meskipun mereka tahu tentang pembantaian itu dan dapat membantu menghentikannya.

   Andaikan mereka tidak tahu, itu salahku karena tidak memberitahukan fakta itu.

   Tapi, jika aku telah berbicara sejujur-jujurnya, dan mereka mengetahuinya, dan masih membiarkan peristiwa itu berlanjut, merekalah yang harus hidup dengan rasa bersalah.

   Aku tidak akan menyerah pada sikap sinis.

   Jika akan terjadi pembantaian lagi, aku akan meyakinkan bahwa tak seorang pun akan dapat berkata bahwa mereka tidak tahu mereka harus mengakui bahwa mereka tidak peduli.

   Aku sangat lelah dan kehabisan tenaga, tapi kuputuskan untuk berbicara kepada siapa pun yang mau mendengarkan, selama dan sesering yang diperlukan.

   Aku harus melampaui batasan-batasan profesiku sebagai dokter, ahli bedah, dengan menjadi seorang manusia terlebih dahulu.

   Itulah satu-satunya saat dalam hidupku aku berharap punya mata biru dan rambut pirang, dan namaku adalah Mary, bukannya Swee Chai.

   Sayangnya, perawakanku yang khas Asia Tenggara, nama dan logatku yang terdengar asing, yang menghalangiku mendapatkan pekerjaan sebagai dokter bedah Inggris di hari-hari pertamaku sebagai pengungsi, sekarang menghalangiku memublikasikan tulisanku demi orang-orang Palestina.

   Kecuali segelintir koran, tak seorang pun mau mewawancaraiku.

   Bahkan, banyak wartawan yang bertanya kepadaku apakah ada anggota tim dokter berkebangsaan Inggris yang mau berbicara tentang kondisi kamp, karena kapan pun mereka siap mencetak hasil wawancara dengan anggota tim dokter Inggris.

   Aku mengerti posisi pers.

   Siapa sih di Inggris yang mau mendengarkan penuturan seorang dokter wanita beretnis Cina tentang nasib para pengungsi yang berada tiga ribu mil jauhnya? Hanya satu dokter Inggris yang mau berbicara kepada pers, ia adalah Paul Morris, tapi sayangnya ia kembali ke Lebanon sehingga tak dapat dihubungi.

   Kadang-kadang aku merasa sangat benci kepada para dokter dan perawat Inggris yang menjadi sukarelawan di Lebanon, karena mereka sebenarnya dengan mudah dapat membantu orang-orang Palestina itu, yaitu dengan berbicara atas nama Palestina.

   Namun, mereka menolak melakukannya.

   Jadi, aku sendiri yang harus melakukan kampanye dari mulut ke mulut, bersusah payah menyebarluaskannya ke kelompok-kelompok kecil di Inggris sekolah, kampus, gereja, dan masjid dan pertemuan-pertemuan informal seperti pesta minum teh, atau kelompok teman-temanku sendiri.

   Hal itu tidak hanya melelahkan, tetapi juga membutuhkan banyak biaya.

   Francis harus membiayai sebagian besar kegiatanku ini karena aku telah keluar dari pekerjaanku.

   Dalam beberapa bulan, aku telah melakukan lebih dari dua ratus pertemuan.

   Terkadang dalam satu hari, pada paginya aku berbicara dengan anak-anak sekolah di London, pada jam makan siang dengan mahasiswa-mahasiswa universitas di daerah Midlands, dan pada petangnya melakukan pertemuan di beberapa gereja di Skotlandia.

   Kutunjukkan kepada orang-orang slide potret kamp yang kuambil dengan kamera sakuku dan kuceritakan kepada mereka kondisi para penduduk kamp.

   Cara berkampanye yang tidak efisien ini membantuku bertemu dengan banyak sekali orang yang gigih, yang sangat ingin membantu orang-orang Palestina, dan segala usahaku terbayar pada akhirnya.

   Francis telah membelikanku sebuah proyektor mini, dan aku menyusun gambar-gambar slide itu untuk ditunjukkan melalui alat itu.

   Kami berdua menertawakan apa yang kami kerjakan itu, dan ia menyebut usahaku ini sebagai "tur keliling".

   Terungkaplah sebuah hal yang penting.

   Masyarakat di Inggris ternyata peduli.

   Meskipun negara itu sedang mengalami resesi ekonomi, orang-orang merespons penderitaan rakyat Palestina.

   Di mana pun aku mengadakan tur kelilingku, para hadirin akan bertanya kepadaku bagaimana mereka bisa membantu.

   Banyak dari mereka yang tak pernah bertemu seorang Palestina pun sepanjang hidupnya, tetapi mereka bereaksi terhadap ketidakadilan yang menimpa orang-orang Palestina dan ingin membantu.

   Orang-orang yang menawarkan bantuan datang dari berbagai strata sosial dan latar belakang politik.

   Banyak dari mereka merupakan pekerja biasa sepertiku dan ingin membantu menanggulangi peristiwa yang mereka anggap sebagai tragedi kemanusiaan.

   Rakyat Inggris memiliki tradisi panjang kedermawanan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan tanggapan mereka terhadap penderitaan orang-orang Palestina bukanlah yang pertama.

   Mereka telah memberikan bantuan ke Kamboja, Bangladesh, berbagai tempat di Afrika, dan kini mereka pun ingin membantu rakyat Palestina.

   Banyak dari mereka tidak tahu politik di balik peristiwa itu dan tidak peduli siapa yang benar maupun salah, mereka hanya ingin membantu seperti orang Samaria yang baik.

   Para pengangguran, pensiunan, mahasiswa, pekerja berupah rendah, dan kaum etnis minoritas semuanya ingin melakukan sesuatu untuk membantu.

   Akhirnya, kelompok kami Francis dan aku, dan para sukarelawan yang kembali dari Lebanon dan orang-orang Palestina di Inggris bersama-sama mendiskusikan cara agar kami dapat membantu orang-orang di kamp.

   Tak seorang pun dari kami yang merupakan politisi, tapi banyak dari kami yang merupakan pekerja medis dan sosial.

   Kami setuju untuk membentuk organisasi amal medis demi membantu orang-orang di Libanon.

   Kami memutuskan bahwa organisasi amal ini tidak boleh memihak aliran mana pun dan membantu siapa saja yang membutuhkan, dan harus tidak bersifat politis dan sepenuhnya bersifat kemanusiaan.

   Organisasi ini akan menyalurkan kedermawanan orang-orang di Inggris kepada mereka yang mengalami penderitaan.

   Nama "Bantuan Medis untuk Rakyat Palestina" (Medical Aid for Palestinians, MAP) dipilih, sehingga kami dapat menghindari isu-isu politis yang berkaitan dengan Palestina dan dapat berguna bagi orang-orang Palestina di mana pun mereka berada, baik yang hidup di tengah-tengah pendudukan maupun dalam pembuangan.[] Lima Belas Ellen Siegel kembali ke Washington DC.

   Setahun telah berlalu, tetapi ia juga tak dapat melupakan para penduduk di kamp pengungsi Lebanon.

   Dengan dukungan organisasi-organisasi di Amerika Serikat, ia menyelenggarakan acara peringatan setahun tragedi pembantaian Sabra dan Shatila, dan mengundang Ben Alofs, Louise Norman, dan aku untuk pergi ke Washington pada September 1983.

   Acara ini memberi kami kesempatan untuk memperingati para korban tragedi Sabra dan Shatila.

   Ini adalah kunjungan pertamaku ke Amerika Serikat, negara adikuasa di seberang Lautan Atlantik jika dilihat dari Inggris, atau Lautan Pasifik jika dilihat dari Singapura.

   Kami bertiga diundang ke sinagoge Ellen untuk menghadiri upacara Yom Kippur.

   Upacara itu berlangsung lama dan dilakukan dalam bahasa Ibrani.

   Upacara itu benar-benar tak dapat kupahami.

   Tuan rumahku para Yahudi Amerika memberitahuku bahwa upacara itu merupakan penebusan dosa.

   Menurutku, ada baiknya juga aku tidak memahami isi upacara itu karena aku mendeteksi suasana sedih dan muram di sepanjang acava, dan mungkin upacara itu akan membuatku muram seandainya aku mengerti apa yang dikatakan sang rabi.

   Ketika aku menghadiri sebuah upacara beberapa hari kemudian di Shiloh, sebuah gereja Baptis khusus kulit hitam, aku begitu tersentuh.

   Setelah berterima kasih kepada sang pendeta dan jemaatnya karena telah mengenang arwah para korban di kamp, aku tidak tahan lagi dan menangis di tengah-tengah lagu "Amazing Grace".

   Ini adalah pertama kalinya sejak di Lebanon aku menangis di depan umum.

   Seorang wanita kulit hitam yang baik hati di sebelahku menyodorkan beberapa helai tisu selama upacara berlangsung.

   Aku telah melakukan banyak upaya untuk membantu orang-orang di kamp, tetapi ini adalah pertama kalinya aku mengingat mereka di hadapan Tuhan dan berdoa untuk mereka.

   Kami melakukan beberapa wawancara di radio dan televisi.

   Salah satu peristiwa yang berkesan adalah konferensi pers dengan perwakilan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk PBB di New York.Jill Drew dan aku menjadi pembicara dalam konferensi pers tersebut.

   Ruangan pers dipenuhi para wartawan yang semuanya datang karena mereka telah salah mengartikan press release yang disampaikan oleh perwakilan PLO.

   Mereka mengira akan mendengar komentar PLO tentang berbagai peristiwa di Lebanon.

   Pada waktu itu, pertempuran di Tripoli, Lebanon Utara, menjadi berita utama di koran-koran Amerika.

   Menurut pers, PLO di Lebanon telah terpecah menjadi beberapa kelompok yang mendukung dan yang menentang pemimpin PLO, Yasser Arafat, dan kelompok-kelompok itu saling berseteru satu sama lain.

   Peristiwa ini telah menyebabkan banyak orang menjadi bingung, dan pers ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

   Sebaliknya, perwakilan PLO mengutus Jill Drew dan aku seorang perawat dan seorang dokter berbicara tentang penderitaan yang dihadapi rakyat Palestina.

   Segelintir wartawan yang tidak simpatik merasa sangat jengkel dan menyerang Jill serta aku karena telah membuang-buang waktu mereka dengan cerita-cerita yang "tidak punya nilai jual"! Akan tetapi, secara keseluruhan, konferensi pers itu berlangsung dengan baik, dan kebanyakan koran Afrika dan Asia menulis cerita mengenai peringatan peristiwa pembantaian, mengingatkan para pembaca mengenai kesulitan yang tengah dihadapi rakyat Palestina.

   Kami makan siang bersama Deputi Perwakilan PLO untuk PBB di ruang jamuan PBB.

   Ruangan itu menghadap ke laut dan sungguh menyenangkan.

   Aku sama sekali tidak ingat apa hidangan yang kami santap, tetapi aku akan selalu mengingat lembar kuitansi yang diterima tuan rumah kami.

   Ia menandatangani kuitansi itu dengan namanya, diikuti dengan tulisan "PLO"

   Dalam huruf besar.

   Aku berpikir, setidaknya di ruang jamuan ini, di tengah-tengah Kota New York, seorang anggota PLO diterima dan diperlakukan sebagaimana layaknya utusan-utusan lainnya dan tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang serta menerima berbagai julukan buruk seperti di tempat-tempat lainnya yang pernah kusinggahi.

   Membahagiakan sekali melihat seorang anggota PLO diperlakukan dengan hormat seperti itu.

   Di seluruh penjuru Amerika Serikat, orang-orang membicarakan Martin Luther King dan impiannya.

   Rakyat Palestina, sebagaimana orang-orang kulit hitam Amerika, punya impian juga.

   Impian itu adalah perdamaian dalam keadilan, kebebasan dalam keamanan impian setiap insan di muka bumi.

   "Bersama kita akan bekerja dan berjuang untuk mewujudkan impian itu,"

   Kataku kepada teman-teman Amerika.

   [] Enam Belas Organisasi amal kami, Bantuan Medis untuk Rakyat Palestina (Medical Aid for Palestinians, M-AP), terbentuk pada 1984 membutuhkan waktu hampir dua tahun bagi kami untuk mewujudkan misi kami.

   Namun, begitu diluncurkan, MAP menghasilkan kemajuan yang mantap, berkat dukungan rakyat Inggris yang menyumbangkan waktu, uang, dan bahan-bahan kebutuhan pokok.

   Kami terus berhubungan erat dengan orang-orang Palestina di kamp-kamp pengungsi.

   Sebagai sebuah organisasi kecil yang tidak memiliki dana berlimpah sebagaimana layaknya organisasi-organisasi besar lainnya, kami selalu merasa diri kami sebagai kawan rakyat Palestina, bukan sekadar sebuah "badan amal".

   Beberapa orang dari kami yang dekat dengan teman-teman di kamp tahu bahwa sikap "mengasihani"

   Seperti itu akan menyinggung perasaan mereka, tapi kami hanya penghubung bagi orang-orang di Inggris yang ingin menyumbang sehingga dapat tersampaikan langsung kepada mereka.

   Para pendukung kami tidak melakukannya berdasarkan belas kasihan, sebagaimana halnya para pendukung tujuan mulia lainnya.

   Mereka melakukannya karena rasa solidaritas, berlandaskan rasa saling menghormati.

   Kami tidak ingin sikap paternalistik timbul dalam diri kami.

   Satu hal yang membuatku terutama sangat bersyukur, pengalamanku bersama rakyat Palestina telah memberiku kesempatan untuk mengenal orang-orang Inggris.

   Berkat kegiatanku itu, aku tidak lagi merasa waswas sebagai seorang wanita kulit berwarna dan bertubuh pendek.

   Memberikan ceramah dan mengumpulkan dana bagi rakyat Palestina telah membuatku bersinggungan dengan orang-orang Inggris yang sejati, dan aku akan selalu mengingat kemurahan hati mereka, kehangatan dan kebaikan mereka terhadap orang-orang yang menderita, sebuah sisi lain dari Inggris yang untunglah kujumpai.

   Beramal bukanlah karena rasa belas kasihan.

   Kata bahasa Inggris charity asalnya bermakna 'cinta1, dan aku menemukan bahwa banyak orang di Inggris sanggup mencintai, bahkan mencintai orang-orang yang belum pernah mereka temui.

   MAP terus mengumpulkan sejumlah kecil dana dan sumber daya kami yang terbatas itu digunakan untuk mendukung proyek peningkatan kesehatan rakyat Palestina.

   Kami sering mengirimkan sejumlah kecil obat-obatan dan peralatan atau memanfaatkan sumbangan uang itu untuk membantu pendidikan para pekerja kesehatan yang tinggal di wilayah pendudukan Israel.

   Bahkan, kami pernah membawa beberapa orang yang terluka untuk dirawat di Inggris.

   Milad Farukh adalah seorang bocah laki-laki Lebanon yang terluka akibat bom Israel pada 1982.

   Ia adalah bocah yang diselamatkan Paul Morris dengan menyuapkan makanan ke mulutnya karena si kecil itu menolak makan dan minum setelah melihat di depan matanya adik laki-lakinya terbakar hangus terkena bom.

   Setelah Ellen Siegel dan aku meninggalkan Lebanon pada 1982, Paul melanjutkan tugasnya di Lebanon.

   Ia mengelola sebuah klinik bagi kaum Muslim yang miskin di Beirut, berusaha melanjutkan pelayanan medisnya.

   Sayangnya, ia mendapat ancaman dan kliniknya diledakkan oleh sekelompok milisi bersenjata.

   Paul meninggalkan tempat itu, namun kembali mengunjungi Beirut pada 1984.

   Ia menemukan Milad di kamp pengungsi.

   Milad saat itu telah berusia sebelas tahun dan beratnya hanya dua puluh lima kilogram sepuluh hingga dua puluh kilogram lebih rendah dari berat rata-rata anak-anak seusianya.

   Luka di tumitnya mengalami infeksi yang parah dan ia tetap saja belum bisa berjalan.

   Paul telah meminta MAP untuk mensponsori perawatan Milad di Inggris, dan kami setuju.

   Kami tak punya uang untuk membiayai perawatannya dan harus mengumpulkan dana.

   Profesor Jack Stevens, Ketua Departemen Ortopedis di Newcastle-upon Tyne, tempatku bekerja saat itu, setuju untuk merawat Milad secara gratis sehingga kami hanya perlu mengumpulkan dana untuk biaya pesawat dan akomodasinya.

   Sementara itu, Milad menunggu di Siprus untuk mendapatkan visa ke Inggris dan persetujuan dari London.

   Sambil menunggu, stabilitas di Siprus telah membantunya menambah berat badannya sebanyak lima belas kilogram dalam waktu tiga bulan.

   Ia tidak hanya tumbuh dengan cepat, tetapi kakinya juga berangsur-angsur membaik! Tatkala ia tiba di Inggris, perawatan intensif ti-dak diperlukan.

   Berada jauh dari Lebanon yang tercabik-cabik dan mendapatkan cukup makanan selama bulan-bulan penantian telah membuat keadaan Milad jauh lebih baik.

   Pemeriksaan dengan mesin pemindai radioisotop menunjukkan bahwa tulang dan pembuluh darah di kaki Milad membaik dalam waktu cepat.

   Saat itu ia tampak bugar dan sehat.

   Saat itu adalah saat menggembirakan bagi kami yang sempat melihat kondisi Milad pada 1982, dan itu adalah salah satu dari sedikit cerita yang berakhir dengan bahagia.

   Andai saja Lebanon memiliki makanan alih-alih peluru, kami takkan perlu mengirim anak-anak seperti Milad yang jumlahnya ribuan untuk dirawat di Inggris.

   [] BAGIAN KEEMPAT Kembali Ke Beirut Musim Panas 1985 Tujuh Belas Musim semi tiba terlambat di Inggris pada 1985.

   Aku bekerja sebagai Petugas Pencatat Senior Bidang Ortopedis di sebuah rumah sakit bernama Dryburn, di Kota Durham yang antik dan indah, di timur laut Inggris.

   Aku sudah mulai bisa melupakan kengerian Sabra dan Shatila, membuang semua kekejian yang tersimpan dalam museum pikiranku, mengingatnya hanya pada saat-saat tertentu, seperti pada saat peringatan pembantaian di kamp, saat kami mengenang dan menangisinya.

   Dan, sebagaimana setiap orang yang selamat pada 1982, aku harus memintal kembali benang-benang kehidupanku sendiri dan melanjutkannya.

   Milad, yang baru saja meninggalkan Inggris, telah bersekolah di Siprus.

   Ia harus banyak mengejar ketertinggalannya selama ia di Lebanon, dan ia harus meraih kembali masa kecilnya yang masih tersisa sebelum masa itu berlalu.

   Muna, Nabil, Huda, dan Ali telah dapat melakukan perjalanan dari Beirut untuk mengunjunginya di Siprus.

   Aku dapat merasakan luka-luka mentalku akibat perang itu sama seperti kaki Milad, lambat laun sembuh.

   Untuk pertama kalinya sejak 1982, aku bisa meluangkan pikiranku untuk memulai sebuah proyek penelitian perawatan luka-luka fraktura aku mungkin tak bisa melakukannya jika belum benar-benar sembuh secara mental.

   Aku belum kembali mengunjungi orang-orang di Sabra dan Shatila, tapi aku tahu anak-anak pasti telah tumbuh besar dalam tiga tahun terakhir ini, muda-mudi pasti telah menikah dan punya anak.

   Rumah-rumah yang hancur berantakan telah dibangun kembali dan rumah-rumah baru dibangun di atas reruntuhan yang diratakan dengan buldoser.

   Terpisah dari putra, ayah, dan suami mereka akibat evakuasi dan penahanan, para wanita memungut kembali serpihan-serpihan hidup mereka.

   PRCS telah memperbaiki sepenuhnya Rumah Sakit Gaza dan Akka.

   MAP baru saja menawarkan sejumlah uang untuk membantu membangun kembali sistem pembuangan kotoran di kamp Sabra.

   Senantiasa ada ancaman terjadinya kembali pembantaian, tetapi para penduduk kamp melanjutkan pembangunan kembali rumah-rumah mereka, sebongkah demi sebongkah batu bata, dari satu sudut ke sudut lainnya, jalan demi jalan, sekali lagi, dengan semangat juang yang selalu mereka tunjukkan.

   Pada Mei tahun itu, pepohonan mulai berbunga dengan semarak.

   Oleh karena musim dingin berlangsung sangat lama dan sangat dingin, kejayaan musim semi terasa seolah-olah mustahil terjadi.

   Aku sedang berjalan ke Rumah Sakit Dryburn di Durham, di sepanjang jalan setapak favoritku.

   Awan gema-wan berwarna merah muda dan putih nan indah mengiringi langkahku, sedangkan rerumputan hijau yang lembut terasa bagai beludru.

   Kegembiraanku ini diusik oleh suara "bip-bip"

   Panjang, lalu mati di-susul dengan suara "pip-pip"

   Yang susul-menyusul. Ini berarti keadaan darurat. Aku berlari menuju rumah sakit, dan menggunakan telepon terdekat untuk menghubunginya.

   "Ibu Ang,"

   Sahut seorang operator.

   "ada panggilan telepon dari Beirut."

   Betapa leganya aku mengetahui bahwa itu bukan panggilan darurat untuk melakukan operasi pembedahan. Sebuah suara lain terdengar dari kejauhan.

   "Swee, mereka menyerang kamp-kamp kami lagi. Mereka telah menduduki Rumah Sakit Gaza, menembaki para perawat dan pasien kami, serta membakar peralatan medis kami. Kami sangat putus asa."

   Aku terhenyak.

   Aku sudah merasa hal ini akan terjadi.

   Empat bulan lagi genaplah tiga tahun sejak pembantaian Sabra dan Shatila pada 1982, tetapi kini terjadi lagi pembantaian.

   Aku belum tahu siapa yang menyerang, tetapi hak orang-orang Palestina untuk berada di pengasingan dan hak mereka untuk hidup sekali lagi diganggu.

   Hampir selama empat dekade lamanya para penduduk kamp ini, yang dirampas haknya untuk tinggal di tanah air mereka, hidup di pengasingan.

   Berulang kali mereka diancam dengan pembantaian, pengeboman, lemparan granat, deportasi.

   Banyak dari mereka diciduk dan lenyap dari muka bumi.

   Namun, mereka masih terus berjuang untuk mempertahankan identitas mereka dan untuk meraih kembali hak hidup mereka yang hilang, hak untuk memiliki tanah air mereka.

   Setiap kali luka-luka lama tampak akan sembuh, luka-luka baru tertorehkan.

   Berapa banyak siksaan dan penderitaan yang sanggup mereka tanggung? Berapa lama mereka sanggup untuk terus bertahan? Keesokan harinya, temanku menelepon lagi dari Beirut.

   "Swee,"

   Ujarnya.

   "para wanita telah kembali ke rumah sakit dan bertempur melawan para penyerang itu, dan kini kami telah merebut kembali Rumah Sakit Gaza."

   Akan tetapi, kemenangan ini hanya bertahan sebentar.

   Temanku itu tidak pernah menelepon kembali, tetapi aku membaca di surat kabar bahwa kamp-kamp di sekitar Rumah Sakit Gaza kembali diserang.

   Banyak dari para wanita yang berjuang merebut kembali Rumah Sakit Gaza dibunuh.

   Kamp-kamp Sabra dan Shatila serta rumah Milad, kamp Bourj el Brajneh, dikepung oleh tank-tank musuh dan dibom tanpa henti sepanjang Mei itu, bulan Ramadhan bagi umat Islam.

   Seperti pembantaian 1982, kamp dikepung dari segala penjuru dan tak seorang pun, bahkan Palang Merah Internasional, dibolehkan memasuki kamp-kamp tersebut untuk mengevakuasi para korban.

   Jadi, setelah hampir tiga tahun tidak ada kabar beritanya, kamp-kamp tersebut kembali menjadi berita utama di koran-koran internasional! Banyak komentator media dan pakar Timur Tengah memperdebatkan peristiwa tersebut.

   Apakah ini pengulangan peristiwa Tripoli, ketika orang-orang Palestina terpecah belah dan saling berperang sendiri? Atau apakah ada penjelasan lain? Kolom-kolom tajuk rencana terus-menerus membahasnya.

   Akan tetapi, muncul dua fakta dari kesimpangsiuran kabar ini.

   Kamp-kamp tersebut melawan, dan perlawanan itu dilakukan secara bersatu padu.

   Tidak seperti pembantaian pada 1982, kali ini ada tembakan perlawanan.

   Tidak seperti pada "Pertempuran Tripoli"

   Pada 1983, rakyat Palestina tidak saling memerangi.

   Bersamaan dengan berita-berita mengerikan tentang orang-orang yang mati dan terluka, anak-anak yang sekarat akibat penyakit infeksi yang mematikan dan kurang makan, kami mendengar bahwa orang-orang Palestina yang tengah mempertaruhkan hidup mereka berkata.

   "Ketika mati, aku tidak ingin dikenang sebagai anggota faksi Palestina ini atau faksi itu, tetapi hanya sebagai seorang Palestina yang berasal dari Sabra dan Shatila."

   Terdapat berbagai laporan mengenai gadis-gadis remaja yang mempersenjatai diri mereka dengan bahan peledak dan menghambur ke tank-tank musuh.

   Koran-koran menjuluki mereka sebagai "pelaku bom bunuh diri", penduduk kamp menjuluki mereka para syuhada.

   Kamp-kamp tersebut telah menggali parit untuk melindungi para pria, wanita, dan anak-anak hingga orang terakhir yang tersisa.

   Para pejuang Palestina kalah jumlah 1.20 dan hanya punya senjata seadanya.

   Mereka hanya memiliki senapan ringan dan granat tangan untuk mempertahankan kamp mereka dari serangan tank, bom, dan mortir.

   Babak baru sejarah Palestina tengah ditulis oleh kamp-kamp itu babak kebangkitan kembali perlawanan rakyat Palestina.

   Untuk mencatat babak baru itu dengan semestinya, aku juga menulis sebuah "tajuk rencana", memberikan penjelasan versiku sendiri mengenai peristiwa tersebut.

   SABRA-SHATILA, SIMBOL PERJUANGAN RAKYAT PALESTINA Pergerakan rakyat Palestina, yang lahir akibat penderitaan selama bertahun-tahun, memiliki dua pilar penting.

   1) Semangat perlawanan, 2) Kemampuan untuk bersatu padu.

   Di Beirut tahun 1982, rakyat Palestina bersatu, tetapi banyak prasarana mereka yang hancur.

   Pertama, keluarga mereka tercerai-berai karena evakuasi para pria, lalu para wanita dan anak-anak dibantai, rumah-rumah di kamp dihancurkan dan diratakan oleh buldoser.

   Operasi itu bertujuan menghilangkan semua jejak keberadaan rakyat Palestina di Sabra Shatila, Beirut.

   Oleh karena itu, pada saat itu semangat perlawanan pun surut.

   Salah satu dari kedua pilar ini goyah dan ini merapuhkan kekuatan perjuangan rakyat Palestina.

   Oleh karena itu, semangat untuk bersatu pun melemah, sebagai mana yang terlihat pada peristiwa di Tripoli, Lebanon, 1983.

   Sejak 1982 dan seterusnya, perjuangan rakyat Palestina menyadari apa yang akan terjadi jika mereka tidak memiliki.

   1) semangat perlawanan, maupun 2) kemampuan untuk bersatu padu.

   Peristiwa di Sabra Shatila pada 1985 telah memperlihatkan kepada dunia semangat juang rakyat Palestina.

   Mereka telah mendapatkan kembali semangat berjuang.

   Oleh karena itu, ketika musuh-musuh rakyat Palestina hendak mengulangi lagi peristiwa pembantaian Sabra Shatila 1982, mereka harus berhadapan dengan perlawanan tangguh rakyat Palestina.

   Apalagi, perlawanan yang berani dari para penduduk kamp ini menginspirasi segenap rakyat Palestina dan menghidupkan kembali persatuan pergerakan rakyat Palestina.

   Pada 1982, pembantaian Sabra Shatila berlangsung tanpa mendapat perlawanan.

   Pada 1985, Sabra Shatila menghadirkan rakyat Palestina yang bersatu, bersatu padu dan setia dalam perjuangan mereka.

   Sabra Shatila mungkin saja secara fisik telah hancur dalam pertempuran ini.

   Akan tetapi, orang-orang di sana akan membangunnya kembali.

   Mereka telah memberikan kepada seluruh dunia sebuah standar heroik mengenai persatuan, perjuangan, kegigihan, dan keberanian.

   Dan semangat Sabra Shatila itu akan hidup di dalam dada setiap rakyat Palestina dan rakyat di seluruh dunia yang berjuang demi tegaknya keadilan dan kemenangan! 2 Juni 1985, Inggris Raya Namun, setelah menulis kata-kata optimistis ini, aku menjadi sangat, sangat putus asa.

   Aku khawatir bahwa meskipun mereka telah berjuang, Sabra dan Shatila bisa saja jatuh dan para penduduk kamp dibantai dan diusir.

   Sejarah Palestina penuh dengan babak-babak perjuangan, pertempuran Karamah pada 1968 di Yordania, pengepungan Tel al-Zaatar pada 1976, perjuangan heroik yang kini menjadi warisan bagi bukan hanya rakyat Palestina, melainkan juga bagi semua orang yang tertindas di seluruh dunia.

   Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang dokter sepertiku dalam keadaan seperti ini? Aku sadar betapa berharganya Sabra dan Shatila bagiku.

   Orang-orang Palestina terbuang dan berjuang sejak tahun kelahiranku, 1948.

   Meskipun demikian, mereka tetap manusia, walaupun berada dalam keadaan yang sangat tidak manusiawi.

   Mungkin saja esok Sabra dan Shatila sudah tidak ada, tetapi kami orang-orang non-Palestina yang mendapat kehormatan menjadi teman mereka masih memiliki tugas untuk membantu dengan rasa solidaritas, sebelum semuanya terlambat.

   Pada puncak masa pengepungan Beirut 1982, terdapat hampir seratus orang sukarelawan medis dari seluruh dunia yang bekerja sama dengan PRCS (Bulan Sabit Merah Palestina), untuk merawat mereka yang terluka di Lebanon.

   Selama masa pembantaian Sabra dan Shatila, terdapat dua puluh dua orang dokter dan perawat asing sukarela di Rumah Sakit Gaza.

   Kami merawat para korban dan beberapa dari kami berbicara atas nama mereka kepada seluruh dunia, mengimbau agar dunia tidak melupakan orang-orang di kamp.

   Kini, sekali lagi Palestina diserang.

   Dari jarak tiga ribu mil jauhnya, kami dapat merasakan penderitaan dan kepedihan mereka.

   Kami ingin kembali ke kamp tersebut.

   Namun, keadaan kini berbeda.

   Semua mata sedang tertuju pada wabah kelaparan di Etiopia.

   Tidak ada lagi Rumah Sakit Gaza yang bisa kami tuju, rumah sakit kamp Sabra itu telah dibakar, dijarah, dan diduduki para penyerang baru itu.

   Rumah Sakit Akka juga dikepung oleh para milisi, dan meskipun tidak dibakar, tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah rumah sakit.

   Dengan ketiadaan dua rumah sakit ini, perawatan para korban yang terluka menjadi sangat sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil.

   Beirut Barat dan Lebanon pada umumnya menjadi tempat yang berbahaya bagi orang asing.

   Orang-orang Barat terutama menjadi sasaran empuk penculikan.

   Bandara Internasional Beirut terlibat dalam insiden pembajakan pesawat yang melibatkan pesawat TWA dan secara umum tidak menerima kedatangan dari luar negeri.

   Banyak penerbangan dari Kota Beirut dipenuhi orang-orang asing yang pergi meninggalkan Lebanon.

   Kamp-kamp dikelilingi tank-tank dan para tentara bersenjata sehingga sulit bahkan bagi Palang Merah Internasional sekalipun untuk mengevakuasi anak-anak yang terluka.

   Mungkinkah seorang dokter atau perawat dapat memasuki kamp-kamp tersebut? Organisasi amal kami mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menolong mereka.

   Seseorang menyarankan untuk membuat pengumuman agar para dokter dan perawat sukarelawan kembali ke kamp-kamp itu.

   Para anggota MAP lainnya terkejut dengan saran ini, karena kami semua benar-benar menyadari bahaya yang menunggu di sana.

   Seseorang lainnya menanyai wanita yang mengusulkan ide itu, apakah ia sendiri mau pergi ke sana.

   Pertanyaan itu tentu membuatnya agak malu, tapi bagaimanapun, akhirnya kami memutuskan bahwa memang sebaiknya kami mencari para sukarelawan di antara kami terlebih dahulu.

   Aku mengajukan diri untuk kembali ke kamp tersebut karena pernah berada di sana sebelumnya, dan merasa punya tanggung jawab untuk merespons situasi itu.

   Aku juga sepenuhnya sadar akan keadaan kamp yang porak-poranda, dan aku merasa sanggup mengatasinya.

   Sebagai seorang dokter bedah, aku telah melakukan banyak operasi di dalam bangunan-bangunan yang setengah hancur tanpa air dan listrik, dan aku merasa akan sanggup melakukannya lagi.

   Bahkan, jikalau Sabra dan Shatila sudah luluh lantak saat aku tiba di sana, aku masih merasa harus mengunjungi orang-orang di kamp, untuk meyakinkan mereka bahwa kami masih mengingat mereka dan datang kembali untuk menjumpai mereka.

   Setidaknya inilah yang dapat kulakukan sebagai seorang teman.

   Kami tahu bahwa keputusan mengutus sebuah tim ke kamp-kamp tersebut berisiko tinggi, dan hanya sedikit organisasi amal di Inggris yang siap melakukannya.

   Organisasi amal kami berusia kurang dari setahun dan kebanyakan dari kami sangat khawatir kami akan dianggap sembrono dan tidak bertanggung jawab.

   Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdebat, dan akhirnya kami memutuskan untuk melakukan pemungutan suara.

   Sembilan orang anggota menentang kepergianku kembali ke kamp, dan dua orang menyetujuinya.

   Kedua orang itu adalah aku dan Francis, yang kupaksa untuk memberikan suara yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri.

   Rekan-rekanku sangat mengkhawatirkan keselamatanku, dan itulah sebabnya, mereka memutuskan untuk menentang kepergianku.

   Akan tetapi, akhirnya mereka berubah pikiran dan berusaha semampu mereka untuk mendukungku kembali ke kamp.

   Kami membuat pengumuman bagi para calon sukarelawan, dan sangat tersentuh ketika melihat lusinan dokter, perawat, serta teknisi berkumpul untuk menawarkan bantuan mereka.

   Mereka siap datang ke Lebanon meskipun telah diperingatkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mengancam.

   Dalam empat minggu, MAP telah memobilisasi sebuah tim yang terdiri dari enam orang sukarelawan medis dan setengah ton peralatan kedokteran, dan kami bersiap untuk pergi ke Beirut pada awal Juli.

   Peralatan kedokteran tersebut untuk Rumah Sakit Haifa, yang terletak di dalam sebuah kamp tepat di sebelah selatan Shatila, Bourj el Brajneh.

   Sebelum penyerangan ke kamp, Rumah Sakit Haifa berfungsi sebagai pusat rehabilitasi untuk penderita kelumpuhan tubuh bagian bawah.

   Selama terjadi penyerangan, banyak penduduk kamp Bourj el Brajneh yang meninggal karena tidak adanya fasilitas kedokteran di kamp itu sendiri dan mereka yang sakit maupun terluka tak dapat meninggalkan kamp.

   Oleh karenanya, PRCS berencana mengubah Rumah Sakit Haifa menjadi sebuah rumah sakit umum dengan bangsal-bangsal operasi dan sebuah unit gawat darurat.

   Selain peralatan kedokteran, masyarakat Inggris juga menyumbangkan dana kepada kami untuk membeli sebuah mobil ambulans yang akan digunakan sebagai klinik berjalan.

   Aku memberi tahu para pegawai di Rumah Sakit Dryburn bahwa aku akan pergi untuk menikmati liburan musim panas dan mengambil jatah enam minggu cuti tahunan.

   Sementara menyiapkan berbagai hal, kami menerima sebuah pesan bahwa gencatan senjata dibatalkan.

   Setelah empat puluh hari penyerangan dan penyerbuan, kamp-kamp itu tetap menolak untuk menyerah ke tangan musuh.

   Para penduduk kamp yang jumlahnya lebih sedikit dan bersenjatakan seadanya itu menyerang balik dengan gagah berani sehingga seribu orang milisi yang mengepung kamp tersebut terluka.

   Korban dari pihak Palestina jum-lah-nya lebih banyak, yaitu enam ratus delapan pu-luh orang gugur, dua ribu orang terluka, dan seribu lima ratus orang hilang.

   Kamp-kamp itu telah di-bom dan dihajar roket selama empat puluh hari sehingga kini tinggal tersisa puing-puing.

   Sebanyak tiga puluh ribu orang Palestina kehilangan tempat tinggal.

   Namun, semangat juang mereka tetap tinggi.

   Dalam tim medis kami terdapat seorang staf perawat berkebangsaan Inggris yang juga seorang bidan, Alison Haworth, seorang perawat terlatih dengan banyak pengalaman penanganan pertolongan pertama, John Thorndike, seorang ahli anestesi, John Croft, seorang temanku berkebangsaan Lebanon sejak 1982, Immad, dan kawan lama yang baik hati.

   "Big Ben"

   Si perawat asal Belanda, Ben Alofs.

   Ben mahir berbahasa Arab dan kami semua sangat menyukainya.

   Ia terbang dari Amsterdam untuk bergabung dengan kami ketika mendengar kabak buruk penyerangan ke kamp itu.[J Delapan Belas Pada 1982, pesawat dipenuhi para turis yang hendak berlibur.

   Kali ini, pesawat yang kutumpangi benar-benar lengang, tetapi terbang langsung menuju Beirut.

   Sehingga, kami pun dapat mendarat di sana.

   Perusahaan penerbangan yang kami gunakan telah menyetujui untuk menerbangkan peralatan medis dan bedah kami secara gratis.

   Seiring pesawat tersebut mendarat, kami dapat melihat pesawat TWA yang baru-baru ini dibajak terparkir di tepi landasan.

   Petugas keamanan bandara bersikap longgar, barang-barang bawaanku bahkan tidak diperiksa.

   Kami dipertemukan dengan para perwakilan Komite Bantuan Norwegia (Norwegian Aid Committee NORWAC), sebuah organisasi yang akan bekerja sama dengan kami.

   NORWAC sangat disegani di Lebanon.

   Mereka telah bekerja di sini sejak perang sipil yang pertama dan sejak awal bersikap netral, memberikan bantuan kepada semua pihak yang sedang terlibat konflik.

   Hal ini sulit dilakukan di Lebanon karena negara ini terpecah belah, tetapi orang-orang Norwegia itu berhasil mempertahankan sikap tidak memihak kepentingan politik mana pun.

   Sang koordinator, Synne, menjadi sopir ambulans yang menjadi sarana transportasi kami.

   Ia seorang wanita yang cekatan dan efisien, serta punya wajah yang lumayan dalam usia sekitar awal tiga puluhan.

   Kami dibawa dari bandara menuju kamp-kamp yang terletak di pinggiran selatan Kota Beirut.

   Bourj el Brajneh adalah kamp pertama dalam rute tersebut.

   Meskipun belum pernah bertugas di sana, aku mengingatnya sebagai sebuah kamp yang selain dihuni warga Palestina, juga banyak dihuni warga Lebanon.

   Bahkan, kamp tersebut sekarang adalah kamp terbesar di Beirut, setelah kehancuran Sabra dan Shatila.

   Namun, seiring kami melewati gerbang kamp Bourj el Brajneh, dalam pandangan sekilas, tampak suasana yang nyaris tak terbayangkan, apartemen-apartemen di sana tampak seperti sekumpulan sarang lebah yang terbongkar dan tak beraturan.

   Kami dapat melihat bahwa kamp tersebut rusak parah, bangunan-bangunannya tanpa tembok dan terlihat akan roboh.

   Pintu gerbang kamp dijaga oleh sejumlah tentara yang bersenjatakan senapan mesin dan peluncur roket.

   Synne memberi tahu kami bahwa jika kami ingin memasuki kamp sekarang, akan membutuhkan waktu lama hanya untuk memeriksa barang-barang kami, dan karena hari sudah menjelang gelap, kami harus memprioritaskan menemui Ummu Walid, Direktur PRCS di Lebanon.

   Ummu Walid dikenal akan ketangguhan dan kemampuannya untuk tetap tegar dalam keadaan sesulit apa pun.

   Bahkan, aku tak pernah melihatnya kehilangan kendali atau bersikap emosional kecuali sekali yaitu ketika ia menangis dalam perjalanan keluar dari rumah sakit setelah pembantaian pada 1982.

   Namun, kali ini Ummu Walid yang menyambut kami sangat berbeda dengan Ummu Walid yang kuingat.

   Peperangan di kamp itu pastilah telah meruntuhkan dinding pertahanan wanita Palestina ini.

   Walaupun ucapan pertamanya setelah kami saling berpelukan adalah.

   "Swee, kamu masih kuat?"

   Aku dapat melihat bahwa ia telah mengalami banyak sekali penderitaan.

   Ia berada di Lebanon selama tahun-tahun terakhir ini.

   Ia telah kehilangan berat badan cukup banyak dan terdapat lingkaran gelap di sekitar kedua matanya, dan raut wajahnya menampakkan duka.

   Meskipun begitu, ia memiliki aura yang menunjukkan bahwa ia menolak untuk kalah.

   Ia tampak bagaikan mercusuar yang telah dihantam ombak, tetapi masih tegak berdiri, dan aku merasa bertambah tegar setelah bertemu dengannya.

   "Ya, Ummu Walid, masih kuat,"

   Jawabku tanpa berpikir, walaupun aku dapat merasa diriku tengah berjuang untuk menahan tangis.

   "Kami telah kehilangan Rumah Sakit Gaza,"

   Ujar Ummu Walid.

   "Mereka telah membakarnya, dan tidak seorang pun dari kami yang diizinkan pergi ke sana lagi. Tapi kamu tidak boleh terlalu sedih karenanya. Kini, kita harus memusatkan seluruh daya kita pada pembangunan Rumah Sakit Haifa. Ingat, bukankah kita membangun kembali Rumah Sakit Gaza dari puing-puing? Seperti itu juga kita akan membuka Rumah Sakit Haifa."

   Seiring kata-katanya terngiang-ngiang di telinga, kami mengucapkan selamat malam kepadanya dan melanjutkan perjalanan ke Hotel Mayflower, tempat kami akan bermalam.

   Dulu, pada 1982, Hotel Mayflower adalah sebuah tempat yang ramai.

   Saat itu, hotel tersebut dibanjiri para wartawan setelah Hotel Commodore penuh.

   Terdapat pula banyak sukarelawan dan pejabat dari lembaga swadaya masyarakat dan bantuan kemanusiaan.

   Dulu, aku biasa pergi ke Hotel May flower untuk menemui berbagai orang, termasuk orang-orang dari komisi-komisi Eropa untuk penyelidikan invasi Israel.

   Para utusan dari Komite Internasional Palang Merah dan para koordinator dari berbagai lembaga kesehatan dan bantuan kemanusiaan biasa menghabiskan waktu di bar hotel tersebut.

   Dulu, tempat itu selalu ramai sekali sehingga hampir tidak mungkin kami mendapat tempat duduk di sana.

   Namun, kini Hotel Mayflower tampak benar-benar lengang.

   Enam orang anggota tim kami, dua orang Norwegia, dan empat orang asing lainnya menggenapi keseluruhan penghuni hotel tersebut.

   Meskipun begitu, para staf hotel masih sama seperti dulu Abu George di bagian bar, tetapi kali ini hanya ia sendiri yang melayani para pengunjung, Musthafa di bagian resepsionis.

   Kami seperti teman lama yang bertemu kembali, tetapi keadaan saat itu terasa ganjil.

   Anggota tim kami lainnya telah pergi untuk makan malam, tetapi aku ingin sendiri dan tinggal di dalam hotel.

   Ruang makan itu luas dan kosong.

   Aku duduk sendiri di pojok.

   Aku memesan telur dadar dan diberi tahu bahwa hotel tidak memiliki persediaan telur.

   Ini bukan seperti Hotel Mayflower yang kuingat.

   Abu George dan Musthafa tidak siap untuk berdiskusi tentang politik denganku walaupun aku sangat ingin mengetahui alasan mengapa kamp-kamp diserang, terutama mengapa yang melakukannya adalah Amal sebuah kelompok Muslim Lebanon yang pernah menjadi sekutu orang-orang Palestina.

   Baru-baru ini, salah seorang pegawai hotel diculik, dan karenanya suasana di tempat ini terasa tidak nyaman.

   Di luar, terdengar suara tembakan senapan mesin yang sepertinya hanya berjarak beberapa jalan.

   "Jangan khawatir, Dokter Swee,"

   Kata mereka kepadaku.

   "kelompok Druze dan Amal saling bertempur sendiri. Mereka akan segera berhenti."

   Memang benar, setelah kira-kira lewat tiga per empat jam, suara tembak-menembak berhenti.

   Amal adalah sebuah partai Lebanon, begitu pula Partai Sosialis Progresif (partai Druze milik Walid Jumblatt).

   Partai-partai politik di Lebanon memiliki senapan dan tank serta mesin peluncur roket, dan bukannya berdebat, mereka malah memilih jalan baku tembak.

   Pada waktu itu, di Beirut, jika seseorang memutuskan bergabung dengan sebuah partai politik, ia juga diberikan kesempatan untuk menjadi anggota kelompok milisi dari partai tersebut.

   Itu artinya, ia akan diberi sebuah senapan mesin dan sepucuk revolver, dan mungkin juga beberapa buah granat tangan sebagai tambahan! Kata amal bermakna 'harapan' dan Amal pada awalnya didirikan oleh Imam Musa Sadr, yang kemudian menghilang secara misterius.

   Musa Sadr mendirikan pergerakan Amal untuk memberikan kesempatan kepada kaum Syi'ah Lebanon yang merupakan mayoritas warga Muslim di Lebanon untuk lebih mengembangkan potensi mereka.

   Tujuan si pendiri betul-betul mulia.

   Selama tahun-tahun pembentukan partai Amal, warga Palestina telah banyak membantu dan melatih mereka.

   Sulit bagi kami untuk memahami, bagaimana bisa kini sebagian pihak dari Amal malah menyerang warga Palestina.

   Kaum Syi'ah sendiri adalah orang-orang yang sangat sengsara, sebagian besar telah mengalami berbagai penderitaan.

   Untungnya, tidak semua kaum Syi'ah memusuhi warga Palestina.

   Terdapat satu juta orang Syi'ah di Lebanon, dan jika mereka semua menyerang kamp-kamp, keadaan akan menjadi sangat sulit.

   Orang-orang Palestina sangat membenci milisi Amal yang menyerang mereka dan memilih bulan Ramadhan, yang merupakan bulan suci umat Islam, sebagai waktu untuk melakukan penyerangan.

   Akan tetapi, warga Palestina tidak memiliki rasa permusuhan terhadap mayoritas kaum Syi'ah yang tak punya kaitan dengan penyerangan di kamp-kamp.

   Esok hari adalah tanggal S Juli.

   Kami mulai bertugas pagi-pagi sekali karena kami semua sangat ingin mengunjungi kamp-kamp tersebut.

   Kamp Sabra sepenuhnya hancur dan telah diubah menjadi benteng pertahanan Amal.

   Oleh karena itu, pintu masuk Sabra bukan merupakan jalan yang aman untuk memasuki kamp Shatila.

   Pintu masuk lainnya menuju Shatila, yang letaknya di seberang Rumah Sakit Akka di jalan sepanjang bandara, lebih aman, karena selain milisi Amal, di sana terdapat pula pasukan resmi Angkatan Bersenjata Lebanon.

   Kehadiran pasukan ini adalah bagian dari perjanjian gencatan senjata.

   Namun, tetap saja ada beberapa pos pemeriksaan Amal yang harus kami lalui.

   Karena adanya perlawanan dari warga Palestina, pasukan Amal telah gagal menaklukkan kamp tersebut, sehingga mereka sebatas mengontrol pintu masuk saja.

   Akan tetapi, pengepungan berlanjut meskipun ada gencatan senjata.

   Kehancuran di kamp Shatila sangat mengerikan.

   Setiap bangunan rusak akibat serangan.

   Pada sejumlah bangunan, terdapat satu atau lebih lubang bekas terkena bom.

   Beberapa lubang lainnya berukuran lebih kecil.

   Ada pula beberapa bangunan yang temboknya berlubang akibat peluru.

   Di beberapa bangunan lainnya terdapat lubang bekas bom maupun peluru.

   Terdapat pula tumpukan puing-puing.

   Masjid Shatila, yang tak tersentuh selama penyerangan 1982, luluh lantak sehingga tak dapat dikenali lagi bahkan kubahnya hancur lebur.

   Di udara tercium bau busuk campuran bau mayat serta sampah.

   Mereka yang terluka maupun meninggal tidak diperbolehkan dibawa ke luar kamp, dan beberapa mayat terpaksa dikuburkan di dalam Masjid Shatila.

   Lalat-lalat berkerumun di sekitar tumpukan sampah.

   Di mana-mana terlihat orang-orang yang terluka.

   Mobil ambulans NORWAC berhenti di sebelah sebuah bangunan yang hancur yang akan digunakan sebagai Klinik Norwegia.

   Sementara Synne dan seorang perawat Norwegia lainnya membicarakan beberapa hal berkenaan dengan perencanaan pembangunan klinik tersebut termasuk letak pintunya, karena terdapat tiga lubang besar bekas terkena bom kula-yangkan pandanganku ke tepi lain jalan raya di dekat kamp.

   Sesosok kecil muncul di antara tumpukan puing-puing dan sampah tersebut.

   Ia bertubuh kurus dan pendek, mungkin usianya tidak lebih dari sepuluh tahun, mengenakan kaus warna putih dan celana panjang hitam.

   Ia melambai kepada kami sambil tersenyum lebar.

   Aku tidak ingat apakah pada 1982 pernah bertemu dengannya tetapi ia pasti baru berumur tujuh tahun saat ini.

   Pada hari itu, anak itu memanggul senjata.

   Ia tampak sangat bangga dengan dirinya dan berjalan dengan mantap.

   Kemudian, seorang anak laki-laki yang lebih besar muncul di belakangnya, juga memanggul senjata, dan keduanya lantas menghilang ke arah Masjid Shatila.

   Jadi, mereka itulah para pejuang yang mengalahkan pasukan Amal.

   Anak-anak ini adalah para pejuang perlawanan Palestina yang hendak dihancurkan oleh pasukan Amal dan tank-tank raksasa mereka.

   Tak lama setelah itu, kami tiba di Bourj el Brajneh, kamp terbesar di Beirut.

   Jalan raya yang menuju kamp itu setengah beraspal.

   Pintu gerbangnya diawasi oleh Brigade Keenam Lebanon, sebuah brigade Syi'ah yang lagi-lagi adalah bagian dari perjanjian gencatan senjata tersebut.

   Baru saja kami melintasi pintu gerbang tersebut, terdapat sebuah pos pemeriksaan pasukan milisi Amal.

   Jalan itu kemudian terbagi menjadi dua, satu cabang menuju bagian kamp Lebanon, satu cabang lagi menuju kamp Palestina Bourj el Brajneh.

   Saat kami menyusuri jalan yang menuju kamp Palestina, tampak sebuah pos pemeriksaan yang dijaga oleh beberapa orang Palestina.

   Mulai saat ini, aku mulai terbiasa dengan orang-orang Palestina yang memanggul senjata.

   Lagi pula, mengapa tidak? Setiap orang di Lebanon memiliki senjata, mengapa orang-orang Palestina tidak bisa memilikinya? Tanpa adanya senjata di dalam kamp itu, pembantaian yang mengerikan seperti yang terjadi pada 1982 pastilah akan terulang kembali.

   Seiring kami berjalan lebih jauh lagi ke dalam kamp, tampak jalanan di sana berlumpur dan penuh genangan air dari saluran pembuangan.

   Bourj el Brajneh merupakan kamp yang padat penduduk.

   Bagian dari kamp yang dihuni warga Palestina berukuran sekitar empat kilometer persegi dan berisi sekitar dua puluh lima ribu orang penduduk.

   Bangunan-bangunan di sana saling berdempetan dan banyak dari bangunan itu yang terdiri dari dua atau tiga lantai.

   Blok-blok rumah dipisahkan oleh gang-gang sempit yang kebanyakan hanya dapat dilalui satu orang, dapat juga dilewati dua orang, asalkan mereka berjalan menyamping memunggungi tembok.

   Saluran pembuangan yang terbuka, puing-puing, dan jaringan pipa air yang ruwet tampak di sepanjang gang-gang sempit tersebut.

   Bangunan-bangunan yang terletak di pinggir kamp mengalami kerusakan yang sama parahnya dengan bangunan di kamp Shatila.

   Namun, ketika kami masuk ke bagian yang lebih dalam dari kamp tersebut, terlihat banyak bangunan yang relatif masih utuh.

   Ketika berjalan menuju bagian dalam kamp, kami melihat di samping sebuah bangunan yang hancur terkena bom di seberang Rumah Sakit Haifa sekelompok orang yang berkerumun di sekitar sebuah meja besar.

   Melihat kedatangan wajah-wajah baru, yaitu kami, mereka berkata dalam bahasa Inggris.

   "Selamat datang, siapa nama Anda? Kemarilah, lihat bingkisan kecil dari saudara-saudara kami orang-orang Amal."

   Di atas meja itu terlihat potongan mortir, longsongan granat, dan pecahan bom, semuanya dalam tumpukan besar.

   Itu semua adalah contoh dari amunisi yang dimuntahkan pasukan Amal ke kamp selama empat puluh hari terakhir ini.

   Penduduk kamp telah bertahan selama empat puluh hari pengeboman dan blokade pasukan musuh sehingga semangat juang mereka kini sangat tinggi.

   Merasa bangga dan menang, mereka tampak sangat bersemangat dan tak henti-hentinya mengobrol dengan kami.

   Rumah Sakit Haifa dalam kondisi setengah hancur.

   Namun, kini reaksiku adalah memperkirakan perbaikan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengubah pusat rehabilitasi tersebut menjadi sebuah rumah sakit yang berfungsi baik.

   Aku dapat mengira-ngira bahwa, meskipun banyak pekerjaan harus dilakukan untuk membetulkan bangunan tersebut, Rumah Sakit Haifa masih sangat mungkin untuk diperbaiki.

   Rumah sakit itu memiliki tiga lantai di atas permukaan tanah dan dua lantai di bawah tanah.

   Dua lantai teratas penuh dengan lubang-lubang bekas bom dan membutuhkan banyak perbaikan.

   Lantai bawah tanah pertama akan diubah menjadi sebuah bangsal operasi, dengan sebuah ruangan bagi para korban di sepanjang koridor.

   Lantai di bawahnya akan digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan bom.

   Para staf rumah sakit tengah membersihkan bangunan tersebut.

   Pembangunan serta perbaikan telah dimulai.

   Peralatan bedah dan mesin anestesi yang kami kirimkan telah tiba, dan sepanjang sisa hari itu, Alison, kedua John, dan aku sibuk melakukan inventarisasi.

   Masih belum ada tempat bagi kami untuk tidur sehingga kami kembali ke Hotel Mayflower dengan perasaan lelah namun puas karena telah melewatkan hari itu dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat.[] Sembilan Belas Keesokan harinya, kami kembali mengunjungi Rumah Sakit Haifa.

   Tempat itu kini tampak berbeda.

   Rumah sakit itu sekarang dipenuhi dengan para pengunjung dari kamp.

   Kasur-kasur telah diletakkan di kamar-kamar di lantai pertama, dan kamar-kamar tersebut mulai terlihat seperti layaknya ruangan-ruangan di rumah sakit.

   Salah satu kamar bahkan telah dibersihkan dan kasur-kasur dimasukkan ke dalamnya sehingga tim dokter Inggris dapat tinggal di situ.

   Para wanita Palestina telah membawakan beberapa seprai putih yang bersih untuk kami dan telah mengepel bersih lantai rumah sakit, dan mereka juga membawakan kami teh dan air minum.

   Rumah sakit ini jadi terasa terlalu mewah jika dibandingkan dengan kamp yang berantakan di luar.

   Di lantai bawah tanah pertama, ruangan UGD dipenuhi pasien dan dua orang dokter Palestina tampak sudah sibuk melakukan pekerjaan.

   Di tengah-tengah kesibukan ini, Ummu Walid tiba.

   Ia datang untuk memantau pembangunan bangsal operasi yang baru dan untuk membayar para staf dan kuli bangunan.

   Ia berkeliling lantai demi lantai, memberi sejumlah perintah dalam bahasa Arab, yang sayangnya masih belum dapat kupahami.

   Kemudian, ia pergi ke Rumah Sakit Akka.

   Pekerjaan membangun bangsal operasi langsung dimulai.

   Di lantai bawah tanah, para kuli bangunan semuanya berasal dari kamp mulai merobohkan dinding untuk membuat sebuah ruang yang lapang untuk bangsal operasi.

   Keriuhan yang terjadi sungguh luar biasa dan hal itu diperparah dengan kunjungan mendadak para wartawan Associated Press yang tampaknya ingin sekali meliput berita pembukaan Rumah Sakit Haifa.

   Salah seorang wartawan pada mulanya tampak agak terkejut melihat seorang wanita berparas Cina memimpin tim dokter Inggris, tetapi kemudian kami menjadi cukup akrab dan tak lama setelah itu ia berbicara dengan semua anggota tim, juga dengan warga Palestina.

   Para staf di Rumah Sakit Haifa sama mengesankannya dengan para staf di Rumah Sakit Gaza pada 1982, meskipun jumlahnya lebih sedikit.

   Nidal, perempuan administrator rumah sakit, banyak mengingatkanku pada Azzizah, hanya saja ia berusia sepuluh tahun lebih tua sekitar awal tiga puluh atau empat puluh tahun.

   Ia bekerja tanpa henti dan tanpa pamrih sehingga setiap orang menghormatinya.

   (Ia gugur terkena lemparan bom besar yang menghantam rumahnya di Bourj el Brajneh pada Mei 1986.

   Pemakamannya dihadiri lebih dari lima ribu orang di Beirut.

   Namun, bagi kebanyakan dari kami, Nidal takkan pernah mati.

   Dedikasinya yang tanpa pamrih dan keberaniannya akan selalu hidup dalam ingatan kami.) Ia sangat dicintai oleh semua orang.

   Pekerjaannya tidaklah mudah karena harus berhadapan tidak hanya dengan pengelolaan harian rumah sakit, tetapi juga dengan masalah-masalah baru yang muncul dari pembukaan bagian UGD.

   Ia juga harus mengurusi para stafnya dan menyemangati mereka untuk bekerja dengan kompak.

   Penyerangan dan pembantaian tahun 1982 telah diikuti dengan pertikaian di Tripoli tahun 1983.

   Para staf medis itu punya loyalitas masing-masing kepada berbagai kelompok di PLO.

   Sangat menyenangkan melihat para dokter yang berasal dari berbagai kelompok bekerja sama dengan harmonis di dalam rumah sakit milik PRCS.

   Para staf rumah sakit sering membicarakan pentingnya persatuan dan tiga orang dokter Palestina dari kelompok yang berbeda memintaku untuk memotret mereka dalam pose berdiri bersama-sama dan saling berangkulan.

   Mereka hanya sedikit mengerti bahasa Inggris dan pengetahuanku tentang bahasa Arab bahkan lebih sedikit lagi, tapi mereka ingin dipotret untuk menunjukkan kepadaku bahwa mereka bersatu padu sebagai rakyat Palestina.

   Dr.

   Ridha adalah direktur medis rumah sakit itu muda, antusias, gesit, tekun, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya demi para stafnya.

   Ia seolah-olah bisa berada di lima tempat sekaligus.

   Ia seaktif dan sedinamis dr.

   Rio Spirugi, tetapi tidak bertemperamen panas seperti dr.

   Rio.

   Mencakup Ridha, Rumah Sakit Haifa mempunyai lima orang dokter Palestina muda dan mereka bergantian menangani departemen perawatan korban perang, klinik pasien rawat jalan, dan bangsal-bangsal rumah sakit.

   Aku dapat memperkirakan bahwa mereka akan kebanjiran sangat banyak pekerjaan begitu Rumah Sakit Haifa berfungsi kembali.

   Populasi penduduk kamp membengkak menjadi hampir tiga puluh ribu orang dengan kedatangan para pengungsi yang kembali ke rumah mereka.

   Pada tengah hari, ketika kebanyakan pasien telah dirawat dan pulang ke rumah, para staf rumah sakit duduk bersama untuk menikmati makan siang.

   Hampir tiga tahun sejak terakhir kalinya aku menyantap makanan di kamp dan aku benar-benar menikmatinya.

   Ketika berada di London, aku menghabiskan banyak waktu untuk mencoba dengan sia-sia membuat masakan seperti yang dibuat para koki di Rumah Sakit Gaza.

   Masakan dari kamp terasa sangat istimewa bagiku.

   Orang-orang kamp mampu membuat makanan apa pun terasa nikmat, bahkan hanya dengan memanfaatkan sayur-sayuran dan kacang-kacangan biasa.

   Hal yang lebih berharga lagi buatku daripada makanan kamp itu adalah suasana saat makan.

   Orang-orang di rumah sakit PRCS berkumpul bersama dan berbagi makanan, direktur dan petugas kebersihan mendapat jatah yang sama.

   Berbeda sekali dengan di rumah sakit umum di Inggris, di sana orang-orang mendapat jatah tempat makan berdasarkan status sosial dan pekerjaan mereka.

   Disalah satu rumah sakit di London tempatku pernah bekerja, terdapat sedikitnya enam ruang makan yang berbeda satu untuk para konsultan dan para pengelola senior rumah sakit, satu untuk para dokter junior, satu untuk para teknisi, satu untuk para perawat, satu untuk para kuli bangunan, dan satu lagi untuk warga masyarakat! Di Rumah Sakit Haifa, selama waktu makan siang, kami tukar-menukar informasi dan ucapan selamat dari teman-teman.

   Aku baru mengetahui bahwa sang profesor bedah dari Rumah Sakit Gaza, para perawat favoritku, dan rekan-rekanku yang lain yang bekerja di sana masih hidup.

   Beberapa di antara mereka berada dalam kondisi yang buruk, tetapi masih hidup.

   Di Timur Tengah, orang-orang saling memberikan ucapan selamat "Alhamdulillah!"

   Yang berarti 'Puji Tuhan!' Terkadang, seseorang yang benar-benar sekarat di atas tempat tidurnya juga masih mengucapkan "Alhamdulillah!"

   Kehidupan itu sendiri adalah anugerah dan berkah dari Tuhan.

   Kami memang sedang duduk di atas tumpukan rongsokan, tapi kenyataan bahwa kami masih hidup dan berkumpul bersama adalah sebuah alasan untuk memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan.

   Abu Ali, pengawas bangsal di Rumah Sakit Gaza, masih tetap bekerja dan akan mengunjungi Rumah Sakit Haifa keesokan harinya untuk membantu pembangunan bangsal operasi di sini.

   Aku senang mendengarnya masih hidup dan tak sabar ingin segera melihatnya besok.

   Sore harinya, kami melakukan lebih banyak inventarisasi dan pengaturan barang-barang.

   Ada sedikit kekacauan karena beberapa peralatan yang diselamatkan dari Rumah Sakit Gaza sebelum dibakar, tercampur baur.

   Beberapa set peralatan ortopedis dipasangi sekrup-sekrup dari stainless steel sekaligus dari vitalium.

   Beberapa bagian mesin anestesi dari Rumah Sakit Gaza hilang dan sulit menemukan onderdil pengganti dalam keadaan pasca penyerbuan seperti ini.

   Pagi berikutnya, aku pergi ke Hotel Mayflower untuk wawancara dengan sebuah stasiun televisi bernama Visnews.

   Pengalaman ini sangat mengesankan karena si pewawancara tidak mengerti bahasa Inggris, sedangkan aku tidak mengerti bahasa Prancis dan tidak ada penerjemah.

   Si pewawancara mengucapkan beberapa kalimat yang kuduga merupakan suatu pertanyaan dan kujawab dengan mengira-ngira apa yang ditanyakannya itu, sepanjang yang kumau.

   Wawancara itu berlangsung dengan baik karena aku mengatakan apa yang ingin kuutarakan, yang secara garis besar terangkum dalam dua pokok pikiran berikut ini.

   Pertama, masyarakat Inggris telah menyumbangkan tabungan dan tenaga mereka untuk membantu pembangunan kembali Rumah Sakit Haifa, karena mereka ingin mendukung sebuah lembaga kesehatan yang akan merawat semua orang yang membutuhkan perawatan.

   Setelah bertahun-tahun bekerja sama dengan PRCS, aku tahu mereka bekerja berdasarkan filosofi itu, merawat kawan maupun musuh dengan perlakuan yang sama, tanpa meminta bayaran, sehingga aku tidak memiliki keraguan untuk mendukung mereka.

   Kedua, aku berada di Beirut sepanjang masa-masa yang sulit pada 1982, tetapi aku telah melihat perlakuan manusiawi yang ditunjukkan orang-orang Lebanon maupun Palestina yang bekerja sama untuk melawan serangan tentara Israel dan memberikan bantuan kepada para korban perang.

   Saat itu, terlihat rasa persatuan yang hebat di antara orang-orang Lebanon dan Palestina, baik di Beirut maupun di Lebanon Selatan.

   Namun, mengapa kini pada 1985 mereka tercerai-berai? Semalam, di Beirut terjadi secara bersamaan setidaknya empat pertempuran pasukan Amal menyerang warga Palestina di Bourj elBrajneh gara-gara beberapa masalah yang terjadi di pos pemeriksaan, suku Druze dan suku Amal berbaku hantam di jalanan di Hamra, sementara pasukan Kristiani dan Muslim tembak-menembak di sepanjang Garis Hijau, bekas-bekas lintasan misil tampak memanjang di udara dari berbagai tempat di pegunungan.

   Sementara warga Lebanon bertempur dengan sesama warga Lebanon, juga dengan warga Palestina, daerah perbatasan di selatan Lebanon yang masih diduduki Israel tampak sangat tenang.

   Aku berkata bahwa mungkin karena orang-orang di sini tidak sanggup menyerang Israel, mereka terpaksa menyerang sesamasituasi yang disebut para penduduk lokal sebagai "perang saudara".

   Aku yakin si wartawan Prancis itu tidak mengerti apa yang kukatakan, tetapi ia tampak puas dengan wawancaraku dan menawarkan untuk mengantarku kembali ke kamp Bourj elBrajneh.

   Ia menyetir seperti layaknya orang Lebanon.

   Pasti ia telah lama tinggal di Lebanon karena cara menyetirnya ngebut, sembrono, dan tidak sabaran, padahal tindak-tanduknya sangat sopan dan menawan.

   Ketika kembali ke Rumah Sakit Gaza, aku melihat dr.

   Ridha sedang mengatur sekonvoi pasien ortopedis yang hendak menemuiku.

   Kebanyakan dari mereka masih muda, tidak seperti pada 1982.

   Mereka mendapatkan luka-luka itu karena mempertahankan kamp.

   Kebanyakan dari mereka adalah pemuda dan anak lelaki, beberapa lagi adalah wanita.

   Luka-luka ortopedis yang paling sering kutangani disebabkan peluru berkecepatan tinggi, dengan kata lain, luka-luka karena terkena peluru senapan M16.

   Luka fraktura gabungan yang diiringi kerusakan di bagian saraf dan pembuluh darah merupakan hal yang lazim terjadi jika anggota tungkai tubuh seperti tangan atau kaki terkena peluru M16.

   Kebanyakan yang terluka di bagian tungkai terpaksa diamputasi pada waktu mereka menemuiku.

   Oleh karena pusat pembuatan tungkai palsu di Rumah Sakit Akka telah diledakkan, sebanyak 167 pasien yang telah diamputasi dari seluruh kamp di Beirut harus menunggu tanpa kepastian, sampai segala sesuatu tertangani.

   Hal yang paling sulit adalah mengeluarkan para korban semacam mereka ini dari kamp.

   Kebanyakan dari mereka telah berjuang untuk mempertahankan kamp dan karena itu mereka diincar oleh para milisi Amal yang masih mengontrol pos-pos pemeriksaan dan sebagian besar wilayah di Beirut Barat.

   Pada masa awal peperangan, Palang Merah Internasional telah berhasil melakukan negosiasi supaya sekelompok orang dapat meninggalkan kamp untuk mendapatkan perawatan medis lebih lanjut.

   Mereka ditangkap begitu meninggalkan kamp.

   Beberapa dari mereka ditembak ketika sedang dirawat di beberapa rumah sakit Lebanon di Beirut.

   Kebanyakan korban lebih punya peluang selamat jika dibangun rumah sakit di dalam kamp, sehingga mereka dapat dirawat tanpa berisiko diculik begitu keluar dari kamp.

   Bagi para korban di Bourj elBrajneh, pembangunan Rumah Sakit Haifa adalah harapan mereka untuk mendapatkan perawatan operasi bedah.

   Pembangunan rumah sakit tersebut dilakukan dengan penuh semangat.

   Aku tertawa sambil berkata kepada dr.

   Ridha.

   "Dengan semangat seperti ini, pembangunan bangsal operasi mungkin akan selesai dalam waktu seminggu atau kurang dari itu. Di London, dalam kurun waktu yang sama, kami mungkin baru bisa menyusun rencana."

   "Ah, tapi ini kan pembangunan yang dilakukan PRCS,"

   Kata dr. Ridha dengan mimik serius.

   "Kami telah punya banyak pengalaman membangun dan membangun-kembali bangunan selama bertahun-tahun."

   "

   Aku tidak lupa akan kehancuran dan pembangunan kembali Rumah Sakit Gaza dan Akka yang berkali-kali berlangsung dalam kurun waktu beberapa bulan saja pada 1982.

   Orang-orang Palestina telah belajar membangun rumah dan gedung secepat bom-bom dan granat dapat meluluhlantakkannya.

   Ini adalah buah dari pengalaman selama bertahun-tahun.

   Sekitar waktu makan siang, Abu Ali muncul.

   Aku tak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku karena bertemu dengan kawan lama ini, ia tidak berubah sedikit pun selama tiga tahun terakhir.

   Ia baru saja tiba dari Rumah Sakit Akka dan membawakan kami beberapa "oleh-oleh".

   Dari kedua tas jinjing polythene nya, ia menuangkan satu set alat bedah untuk operasi abdominal mayor, kemudian satu set peralatan bedah mikro.

   "Dari mana kamu dapatkan semua itu?"

   Tanyaku, benar-benar takjub.

   "Dari Gaza,"

   Jawabnya.

   "Awalnya mereka mencuri barang-barang itu, tapi kini tidak dicuri lagi."

   Hanya Tuhan yang tahu bagaimana ia mendapatkan semua barang "bukan curian"

   Itu! Ia meletakkan semua itu di atas meja dan mulai mengecek, menghitung dan mengamati setiap gunting bedah, wadah jarum jahit, dan retraktor sebelumnya, kebanyakan retraktor tidak lengkap seolah-olah barang-barang itu adalah sahabatnya yang sudah lama menghilang.

   Ketika ia telah selesai menyimpan semua peralatan tersebut, aku berkata.

   "Ikutlah denganku pada sesuatu yang perlu kamu lihat, sesuatu yang sangat istimewa."

   Aku membawanya ke ruang penyimpanan alat bedah yang kini penuh dengan peralatan dan perlengkapan yang kubawa dari London.

   Ekspresi kegembiraan yang tampak di wajah si pengawas bangsal rumah sakit ini membuat semua jerih payah kami untuk mendapatkan alat-alat itu terasa tidak sia-sia.

   Sore itu, Abu Ali tampak sibuk memasang kabel ke gagang gergaji gips, melabeli alat-alat, dan menyusun perlengkapan bedah.

   Tak lama setelah itu, ia membawa masuk Nuha, seorang perawat bangsal bedah yang sangat cakap.

   Wanita yang bertutur kata halus ini adalah lulusan Sekolah Perawat PRCS di Lebanon.

   Dengan segera Nuha mulai mengkoordinasikan para staf rumah sakit untuk mempersiapkan perban, pembalut pembedahan, dan perlengkapan operasi laparotomi (pembedahan dinding abdomen).

   Oleh karena aku sedang tidak ada pekerjaan, Nuha memberiku sebatang jarum dan beberapa helai benang putih, lalu memperlihatkan cara menjahit kain perlengkapan operasi laparotomi.

   Selama bertahun-tahun menjadi dokter bedah, baru pertama kalinya aku melihat kain perlengkapan operasi laparotomi dijahit dengan tangan.

   Mesin-mesin jahit di rumah sakit telah dijarah oleh orang-orang yang menyerbu kamp.

   (Ketika kembali ke Inggris, aku memberi tahu para perawat Rumah Sakit Dryburn tentang "kain perlengkapan laparotomi yang dijahit dengan tangan", lalu mereka membelikan sebuah mesin jahit untuk disumbangkan kepada Rumah Sakit Haifa.)[] Dua Puluh Keesokan paginya, sebuah mobil dari kantor Konsulat Inggris di Beirut Barat tiba untuk menjemput kami.

   Rencananya, kami akan menunggu di konsulat kedatangan Sir David Miers, Duta Besar Inggris untuk Beirut, yang sedang menyeberang dari Beirut Barat ke Timur untuk menemui kami.

   Kantor konsulat tersebut terletak di dekat pantai, jauh dari lokasi kamp-kamp.

   Pagi itu terasa hangat dan cerah, bersuasana khas Laut Tengah.

   Kami melewati lalu lintas yang padat di sepanjang jalan raya yang dipenuhi berbagai toko dan kios di tepi jalan.

   Pada 1982, setengah bagian dari kota ini berisi bangunan-bangunan yang hancur terkena bom dan pantai serta jalan pesisirnya dipasangi ranjau.

   Aku merasa senang melihat keadaannya kini kembali "normal".

   Meskipun demikian, keadaan normal tersebut hanya terlihat di luarnya.

   Memang tidak ada lagi serangan bom udara, tetapi situasi kota ini masih jauh dari aman.

   Pertempuran antar kelompok masih terus terjadi, begitu pula penculikan dan pembalasan dendam.

   Kantor konsulat tersebut adalah sebuah gedung yang dijaga ketat oleh para tentara Angkatan Bersenjata Lebanon.

   Setelah surat-surat kami diperiksa, kami disambut dengan ramah.

   Kemudian, Sir David menelepon, ia telah berusaha melintasi Garis Hijau pagi itu, tetapi jalur penyeberangan ditutup.

   Menurut para staf di konsulat, itu adalah usaha Sir David yang keenam kalinya untuk menyeberang dari Beirut Timur ke Beirut Barat sejak beberapa hari terakhir ini.

   Merasa kecewa, kami meninggalkan kantor Konsulat Inggris tersebut untuk kembali ke Bourj elBrajneh.

   Kami tiba di Rumah Sakit Haifa sekitar pukul 11 siang.

   Alison langsung bekerja di klinik pembalutan.

   John, sang teknisi anestesi, melakukan tugas berat memindahkan mesin anestesi yang diselamatkan dari Rumah Sakit Gaza, sementara John yang lain dan aku singgah ke bagian UGD.

   Di sana kami dikerumuni segerombolan anak-anak yang meminta kepingan-kepingan bom dikeluarkan dari tubuh mereka.

   Jika kepingan itu berukuran kecil, biasanya lebih baik didiamkan saja, kecuali mengganggu sistem saraf atau menyebabkan infeksi.

   Kepingan bom yang lebih besar yang diakibatkan ledakan bom atau granat sering kali menyebabkan anggota tubuh yang kemasukan kepingan tersebut harus diamputasi atau menyebabkan luka dalam yang parah.

   Dengan situasi yang kembali relatif tenang, anak-anak suka sekali mendapatkan kepingan bom itu agar dapat membanding-bandingkan "kenang-kenangan"

   Logam yang dikeluarkan dari tubuh mereka. Kulihat, John Thorndike senang melakukan pembedahan semacam ini.

   "Sudah waktunya membangun sebuah klinik khusus untuk pembedahan jenis ini,"

   Ia terus-terusan mengingatkanku.

   Aku tahu kami tak dapat melakukannya karena bagaimanapun, bangsal operasi yang tengah dibangun sebentar lagi akan siap digunakan.

   Begitu bangsal tersebut dapat digunakan, kami akan melakukan pekerjaan lainnya.

   Sementara itu, Ben Alofs telah pergi untuk mengawasi pembangunan klinik lainnya yang tengah berlangsung di ujung lain kamp.

   Dulunya, bangunan itu adalah sekolah bagi anak-anak Palestina, tetapi serangan di bulan Ramadhan telah menyebabkan bangunan itu dipenuhi lubang-lubang besar di dinding dan atap, dan lantainya pun remuk.

   Staf PRCS berharap dapat mengubahnya menjadi sebuah klinik untuk melayani kebutuhan orang-orang yang tinggal di tepi lain kamp, sehingga para pasien rawat jalan yang membanjiri Rumah Sakit Haifa dapat ditampung di sana.

   Selain tugas-tugas klinis biasa yang dilakukannya di Rumah Sakit Haifa, Ben juga telah diberikan tugas mengerjakan dekorasi sekaligus mengecat bangunan, bahu-membahu dengan tim konstruksi kamp.

   Sore itu, Alison dan aku akan memanfaatkan giliran tidur kami di rumah sakit.

   Sedangkan kedua John (John Croft dan John Thorndike) itu kembali ke hotel untuk mengganti baju sekaligus mandi.

   Sebelum hari berganti malam, kami berjalan-jalan ke sekitar kamp.

   Beberapa saat kemudian barulah aku menyadari betapa parahnya keadaan kamp Bourj elBrajneh pasca-pertempuran.

   Meskipun lantai-lantai teratas Rumah Sakit Haifa telah diledakkan, kondisinya masih jauh lebih baik daripada rumah-rumah penduduk.

   Potongan-potongan genting, dinding, dan jendela yang diledakkan kini tergeletak di lantai rumah-rumah yang sudah runtuh.

   Pagar dan perabot rumah tangga dari kayu terbakar hingga menghitam.

   Terdapat sebuah kuburan massal berisi delapan puluh mayat dengan kondisi yang sudah tidak utuh dan tidak teridentifikasikan.

   Bangunan-bangunan perlahan-lahan runtuh akibat kawah-kawah bekas bom di tanah.

   Dilihat dari besarnya skala kehancuran, pertempuran yang terjadi pasti sangat dahsyat.

   Tiba-tiba, kami dikelilingi oleh sekelompok pemuda dan anak laki-laki.

   "Halo, siapa nama Anda?"

   Tanya mereka.

   "Apa yang Anda lakukan di sini?"

   Kami menjelaskan bahwa kami tenaga sukarelawan medis dari Inggris yang bertugas di Rumah Sakit Haifa.

   Mereka tampak begitu gembira mengetahui bahwa orang-orang dari belahan dunia lain mendengar apa yang tengah menimpa rakyat Palestina, dan dengan senang hati mengajak kami berkeliling kamp untuk memperlihatkan keadaan di sana.

   Salah seorang pemuda yang lebih tua, yang mengenakan belat di pergelangan tangannya yang terluka, menjelaskan bahwa ia adalah seorang mahasiswa kedokteran di American University of Beirut, tetapi sudah lama tidak kembali ke bangku kuliah sejak penyerangan pasukan Israel.

   Ia sangat ingin melanjutkan pendidikan kedokterannya, tetapi karena merasa masih muda dan mampu secara fisik, ia percaya bahwa lebih utama baginya tetap tinggal di dalam kamp untuk melindungi warganya dari serangan dan pembantaian.

   Itu adalah pengorbanan yang telah dipilihnya.

   Ia tidak akan meninggalkan kamp Bourj elBrajneh bahkan meskipun seandainya ditawari kembali berkuliah sampai ia merasa yakin bahwa para penduduk di kamp hidup dengan damai.

   Ia memperlihatkan kepada kami semua kehancuran yang terjadi, kemudian berbalik seraya bertanya.

   "Kenapa orang-orang membenci kami, rakyat Palestina? Kenapa mereka ingin menghancurkan kami seperti ini?"

   Aku tak dapat menjawabnya. Aku mencoba menghiburnya dengan membandingkan gerakan perlawanan penduduk kamp itu dengan pertempuran di Karamah yang melegenda. Kata "karamah"

   Berarti 'martabat' dalam bahasa Arab.

   Karamah adalah sebuah kamp pengungsi Palestina yang terletak dekat Jericho.

   Pada 1968, sebanyak 450 warga Palestina berjuang melawan pasukan Israel yang berjumlah sepuluh ribu personel dan berhasil mengusir tank-tank mereka.

   Pasukan Israel membalas di kemudian hari dengan mengirim pasukan udara dan mengebom Karamah hingga kamp itu lenyap ditelan bumi.

   Akan tetapi, gerakan perlawanan rakyat Palestina lahir dan tumbuh dari sana.

   Kerumunan anak-anak muda ini tampak sangat gembira mendengar seorang asing sepertiku berbicara tentang Karamah.

   Mereka gembira melihat masih ada orang-orang seperti kami dari belahan lain dunia yang mengetahui dan terinspirasi oleh perjuangan rakyat Palestina.

   Kami berpisah dengan menyisakan sebuah ungkapan kemenangan, para pemuda ini memberitahuku bahwa mereka akan menjadikan kamp Bourj elBrajneh sebagai sebuah benteng dan akan mempertahankannya hingga titik darah penghabisan terhadap serangan musuh mana pun.

   Malamnya, ketika kami kembali ke ruang para sukarelawan di rumah sakit, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan ini mungkin beberapa tahun aku merasa yakin dan bahagia.

   Aku merapikan diri, lalu mulai menulis sepucuk surat yang panjang untuk suamiku di London.

   Tak lama setelah mulai menulis, aku mendengar seseorang mendorong pintu dengan sangat perlahan dan memasuki kamar kami.

   Ia adalah seorang pemuda berpakaian seragam militer.

   Pada awalnya, ia tampak sangat malu menemukan Alison dan aku di dalam kamar itu, alih-alih John dan Ben.

   Kelihatannya, ia adalah anggota "klub penggemar Ben Alofs", yang berkembang pesat setiap hari.

   Semua penduduk kamp mengagumi Ben, tetapi budaya lokal yang masih kuat menyebabkan hanya para pemuda yang dapat menemuinya, dan mereka sering kali mencari-carinya.

   Kusangka pemuda ini ingin mendengarkan radio milik Ben.

   Setelah sebelumnya tampak agak gelisah, teman kami itu lantas mulai merasa nyaman dan menerima tawaran kami untuk duduk bersama kami.

   Ia masih sangat muda dan bertubuh pendek, mungkin sekitar 160 cm atau kurang dari itu.

   Wajahnya kekanak-kanakan, rambutnya keriting kecil-kecil berwarna cokelat terang.

   Kemudian, Ben masuk kamar dan terlihat terkejut sekaligus senang.

   "Hei!"

   Serunya.

   "kamu tidak bilang kamu seorang Fedayeen! Wow!"

   Wajah Ben berseri-seri dan dihiasi senyuman lebar.

   Kawan Ben ini berseragam militer lengkap berwarna hijau berbelang-belang cokelat dan sepatu bot yang berlumur lumpur dari kamp.

   Di bahunya tersandang sepucuk senapan Kalashnikov tua dan berkarat.

   Begitu melihat Ben, ia tampak lega.

   Ia kemudian meludahkan kuaci biji bunga matahari yang dikulumnya, agar dapat berbicara.

   Ia menunjuk dirinya sendiri seraya berkata.

   "Aku Mahmud."

   Lalu katanya lagi.

   "Amal sangat, sangat jahat. Palestina sangat, sangat baik."

   Setelah itu, perbendaharaan kata bahasa Inggrisnya pasti telah habis, karena ia kemudian berbalik ke arah Ben dan mulai berbicara dalam bahasa Arab.

   Kami lantas mengetahui bahwa Mahmud baru berusia enam belas tahun, bahwa ia berdarah Lebanon dan berasal dari golongan Syi'ah, namun telah menjadi pejuang Palestina sejak usia belia.

   Keluarganya berasal dari Lebanon Selatan dan rumahnya telah dihancurkan oleh pasukan Israel.

   Mereka melarikan diri ke kamp Bourj elBrajneh.

   Ia menganggap dirinya seorang Palestina dan selalu ingin bersama dengan rakyat Palestina.

   Ibunya juga merasakan hal yang sama, dan ketika kedua kakak laki-lakinya bergabung dengan pasukan Amal, si kecil Mahmud dan ibunya memilih tetap tinggal bersama warga Palestina di Bourj elBrajneh.

   Ia memberi tahu Ben bahwa lima hari yang lalu, ibunya ditembak oleh seorang penembak jitu dan terluka ketika ia tengah pergi ke luar untuk mendapatkan makanan bagi penduduk kamp.

   Mahmud melihat Palang Merah Internasional membawa ibunya pergi dalam sebuah mobil ambulans, tetapi tak dapat mengikutinya karena ia pasti akan dibunuh begitu terlihat oleh pasukan Amal.

   Sudah lama ia tak mendapatkan berita mengenai ibunya dan ia merasa sangat khawatir.

   Dapatkah Alison dan aku membantunya menemukan ibunya yang mungkin telah dibawa ke Rumah Sakit Makassad milik Lebanon? Ada satu masalah kecil.

   Demi alasan keamanan, ia tidak mau memberikan nama keluarganya kepada kami.

   Satu-satunya informasi yang kami dapatkan adalah kakak laki-laki tertuanya bernama Ahmad, jadi mungkin ibunya bernama Ummu Ahmad (Ummu berarti 'ibu').

   Ia akan membawakan fotonya untuk kami besok pagi dan akan sangat berterima kasih apabila kami dapat menemukannya dalam keadaan masih hidup.

   Kami setuju melakukan hal ini untuknya.

   Ia pun tampak lega dan mulai mengobrol dan bercanda dengan Ben.

   Tiba-tiba, ia memutuskan untuk membuat kami terkesan dengan kegaga-hannya sebagai tentara.

   Ia melepas kausnya dan memperlihatkan kepada kami semua bekas luka di dada dan lengannya, menunjuknya satu per satu sambil berkata.

   "Lihat, ini bekas peluru M16. Di sini, di sini, dan di sini juga. Semuanya peluru M16 yang ditembakkan oleh pasukan Amal. Tapi tak masalah, aku tidak takut."

   Aku menatap wajah pemuda Lebanon yang masih belia ini, dan tiba-tiba wajah itu berubah menjadi sesosok pejuang kemerdekaan yang gagah perkasa.

   Hari berikutnya, Alison dan aku melakukan pengecekan lantai demi lantai di Rumah Sakit Makassad, melambai-lambaikan selembar foto Ummu Ahmad sambil menanyakan jika seseorang pernah melihat wanita ini.

   Ahmad adalah nama yang sangat lazim dipakai di Lebanon, seperti halnya nama John di Inggris.

   Tidak seorang pun di London yang sudi menjelajahi bangsal demi bangsal, departemen demi departemen di Rumah Sakit St.

   Thomas atau rumah sakit yang lebih besar lainnya untuk melakukan hal semacam itu, menanyakan siapa yang pernah melihat ibu dari John.

   Fakta bahwa ia ditembak lima hari yang lalu tidak membantu, karena setiap hari banyak sekali orang yang tertembak di Beirut.

   Menyebutkan bahwa ia berasal dari kamp Bourj elBrajneh menyebabkan orang-orang di rumah sakit itu kehilangan minat.

   Memangnya siapa di Rumah Sakit Makassad yang mau mengingat-ingat seorang wanita Palestina yang terluka? Akhirnya, karena mereka sedemikian tampak tidak peduli, kuputuskan untuk menggertak mereka.

   "Tolong perhatikan, ya,"

   Kataku.

   "wanita ini mungkin memang berasal dari kamp pengungsi Palestina, tapi ia orang Lebanon dan punya dua anak laki-laki yang merupakan pejuang Amal, dan keluarganya sedang mencari-carinya."

   Menyebut-nyebut kata Amal, seorang perawat yang sedang bertugas di departemen korban perang menengadah ke arah kami, memandang wajah di foto itu dengan saksama, lalu memeriksa buku catatan pasien-pasiennya.

   Rumah Sakit Makassad telah menampung dan merawat wanita ini sejak enam hari yang lalu, jelasnya padaku, tetapi luka-lukanya tidak membutuhkan perawatan inap sehingga Palang Merah Internasional mentransfernya ke sebuah rumah sakit milik suku Druze untuk menjalani pemulihan.

   Partai Sosialis Progresif Druze bersikap simpatik kepada warga Palestina, membolehkan mereka menggunakan fasilitas rumah sakitnya dan mengizinkan para pengungsi kamp berlindung di wilayah mereka.

   Beirut dan semua daerah di Lebanon memang terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah yang diawasi oleh berbagai partai politik dan milisi.

   Jadi, jika suku Druze menerima para pengungsi Palestina di wilayah mereka, itu berarti selama berada dalam wilayah itu, orang Palestina aman dari kelompok-kelompok milisi tertentu.

   Namun, jika para pengungsi tersebut tak sengaja berkeliaran di luar wilayah kekuasaan Druze, mereka berisiko ditangkap oleh kelompok milisi lain.

   Ummu Ahmad untuk sementara masih selamat.

   Kami kembali ke Rumah Sakit Haifa untuk memberitahukan kabar gembira ini kepada Mahmud, sekaligus mengembalikan foto ibunya.

   Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan sekali lagi pernyataan orang-orang Palestina bahwa kelompok Amal adalah saudara mereka, dan memikirkan betapa peperangan di kamp itu sangat menyakitkan bagi orang-orang Palestina.

   Ketika kelompok Amal menyerang mereka, rasanya bagaikan diserang oleh keluarga sendiri.

   Ketika memandang keluarga Mahmud, aku melihat fakta itu.

   Anak-anak dari keluarga Syi'ah ini tercerai-berai menjadi kawan serta lawan warga Palestina, dan sang ibu terluka ketika berusaha membantu kawan-kawan Palestinanya.

   Adakah kawan yang lebih baik daripada wanita itu? Beberapa hari berikutnya dipenuhi kesibukan berkeliling ke sekitar kamp Shatila, Rumah Sakit Ak-ka, dan Rumah Sakit Haifa.

   Para staf PRCS juga berusaha meningkatkan pelayanan medis di dalam kamp Shatila sehingga jika terjadi penyerangan lagi, kamp tersebut mempunyai peralatan medis yang memadai.

   Dulu, rumah sakit milik PRCS biasanya ditempatkan di ujung kamp sehingga PRCS dapat membuka pelayanan medis bagi kedua belah pihak, yaitu warga Lebanon maupun Palestina.

   Namun, peperangan yang terjadi selama bulan Ramadhan itu memaksa PRCS menelaah kembali kebijakannya, karena rumah sakit yang terletak di luar kamp tidak dapat merawat para korban yang terkepung di dalam kamp.

   Terlebih lagi, rumah sakit di luar kamp sangat rentan terhadap serangan dari berbagai kelompok milisi, para pekerja Palestina juga sangat mudah ditangkap.

   Penyerangan baru-baru ini terhadap kamp membuktikan kepada penduduk Palestina bahwa mereka dapat mempertahankan diri mereka sendiri.

   Jika selama masa penyerangan di sana juga terdapat fasilitas medis yang layak, maka tidak akan banyak orang yang meninggal.

   Dalam waktu singkat, klinik NORWAC di kamp Shatila mulai berfungsi.

   Para rekan Norwegia memintaku untuk menjalankan dua klinik ortopedis dalam seminggu di kamp Shatila.

   Klinik NORWAC melengkapi klinik milik PRCS di kamp Shatila.

   Para dokter dan perawat PRCS di klinik ini berjuang keras untuk menyelamatkan banyak nyawa selama masa penyerangan, walaupun tidak ada fasilitas untuk merawat para korban pertempuran.

   Diharapkan klinik NORWAC ini dapat mengambil alih sebagian pekerjaan klinik PRCS, sementara PRCS mengadakan beberapa perubahan struktural agar bisa berfungsi sebagai sebuah rumah sakit.

   Sebagian besar waktuku kini didominasi oleh pekerjaan administrasi, termasuk berkeliling ke bangsal-bangsal bersama rekanku anggota NORWAC Synne, yang berusaha mengorganisasikan peralatan dan perlengkapan operasi bedah, serta menyusun jadwal rapat.

   Tim dokter Inggris bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh pengabdian, dan berusaha mengatasi masalah yang awalnya timbul dalam hal penyesuaian diri.

   Bagi Alison dan kedua John, ini adalah kunjungan pertama mereka ke Lebanon dan aku kagum melihat cara mereka menyesuaikan diri.

   Tanggung jawab administrasi, melebihi tugas-tugas klinik yang biasa kulakukan, membuatku lebih sulit mencuri-curi waktu senggang untuk berjalan-jalan di sekitar kamp, sebagaimana yang kulakukan pada 1982.

   Namun, aku dapat merasakan dan melihat kehadiran para warga kamp Shatila, meskipun melalui tembok-tembok ruang klinikku, melalui lembaran-lembaran nota pengeluaranku yang bercampur aduk.

   Aku tidak perlu berbicara dengan mereka untuk mendengar suara-suara mereka, tidak perlu memandang mereka untuk memahami semangat mereka yang tak pernah pupus.

   Aku terus bergumul dengan rutinitasku, melayani para korban perang dan menuliskan rencana-rencana terperinci untuk pengelolaan rumah sakit yang mereka usulkan.

   Memang belum ada fasilitas untuk merawat luka komplikasi, jadi sebagai gantinya, seseorang akan menuliskan laporan dan berbagai rekomendasi, dan secara psikologis ini sangat membantu kebanyakan pasien, mereka tidak lagi berputus asa, tetapi malah menjadi tidak sabaran untuk menunggu.

   Mungkin para staf medis pun sama-sama merasa berat menghadapi hal ini.

   Di suatu siang yang terik, aku tiba di Shatila untuk menemui para pasien ortopedis di klinik NORWAC, setelah aku selesai melakukan tugas jaga di Rumah Sakit Haifa.

   Aneh klinik tersebut dikunci dan tak seorang pun berada di lorong utama kamp, semua rumah juga kosong tak bepenghuni.

   Kemudian, seorang gadis kecil muncul dan memberitahuku bahwa setiap orang di kamp telah pergi ke Masjid Shatila.

   Hari itu adalah peringatan empat puluh hari gugurnya para syuhada Palestina selama masa peperangan di kamp.

   Setelah berjalan melewati puing-puing bangunan dan sesekali terantuk sisa-sisa puing, aku tiba di reruntuhan Masjid Shatila.

   Aku berdiri dalam keadaan tercengang, di hadapanku ada sebuah kerumunan besar orang-orang Palestina pria, wanita, anak-anak, tua dan muda.

   Bendera-bendera Palestina yang tak terhitung jumlahnya berkibar-kibar.

   Foto-foto para syuhada berukuran besar diarak di atas galah dan dilambai-lambaikan.

   Genderang ditabuh.

   Musik berirama khas Palestina dikumandangkan.

   Orang-orang menari dan menyanyikan slogan-slogan militan.

   Aku merasakan air mata mengalir deras ke pipiku.

   Aku menangis karena hanya ada reruntuhan dan puing-puing di sekitar sini, dan banyak yang telah gugur.

   Namun, peringatan pada hari ini tidaklah bernuansa duka, melainkan harapan dan kemenangan.

   Bagaimana bisa orang-orang Palestina ini merayakannya dengan gegap gempita, aku bertanya pada diriku sendiri.

   Lalu, aku menyadari bahwa hanya dengan memiliki cita-cita kemenanganlah kita dapat menghapus penderitaan akibat kematian, kehancuran, dan perpisahan.

   Hari ini, bangkitlah semangat kemenangan di tengah-tengah dinding yang roboh dan di antara puing-puing kamp Shatila, di dalam masjid tua yang sebagian telah hancur.


Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Cincin Mustika Wiro Sableng Dendam Orang Orang Sakti Wiro Sableng Tiga Makam Setan

Cari Blog Ini