Ceritasilat Novel Online

Tears Of Heaven 6


Dr Ang Swee Chai Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Bagian 6



Sekarang, aku hanya tinggal kembali ke Siprus dan mendatangi Kedutaan Suriah untuk mencari informasi.

   Tanggal 2 April, aku menelepon Kedutaan Suriah di Siprus untuk mencari tahu apakah ada perkembangan lebih lanjut.

   Sepertinya, tak seorang pun di sana yang mengetahui tentang tim paramedis Inggris yang tengah terperangkap di kamp Bourj elBrajneh.

   Namun, Sekretaris Pertama dengan ramah menyanggupi untuk mengecek ke Damaskus.

   Setelah meninggalkan nomor teleponku kepada sekretarisnya, aku pergi sambil menunggu perkembangan selanjutnya.

   Pagi berikutnya, pada pukul sembilan, Kedutaan Suriah menelepon dan memintaku agar segera menghubungi mereka dan mengirimkan surat asli yang kutulis kepada Presiden, bersama dengan dokumen perjalananku.

   Mereka ingin mengirim surat itu kepada Presiden pada pagi itu juga.

   Surat yang dibawa Mike di London bukan yang asli dan tidak ditandatangani olehku, dan kini jelas-jelas mereka ingin agar surat itu dibuat dengan benar.

   Setelah berputar-putar sekitar hampir sebulan hanya untuk mendapatkan visa dari perwakilan pemerintah Lebanon, harus kuakui bahwa aku terkesan dengan efisiensi kerja rekan mereka, yaitu pemerintah Suriah.

   Sekretaris Pertama Kedutaan Suriah menganjurkan aku menunggu beberapa hari lagi.

   Tiga hari kemudian, tanggal 6 April, siaran buletin berita pagi BBC, World Service, mengumumkan bahwa pasukan penjaga perdamaian Suriah tengah bergerak untuk mengambil alih posisi pasukan Amal di kamp Shatila, dalam rangka mengupayakan gencatan senjata.

   Ini berarti makanan akan bisa dipasok ke dalam kamp Shatila.

   Dua hari berikutnya, pasukan penjaga perdamaian Suriah memberlakukan gencatan senjata di kamp Bourj elBrajneh.

   Hari berikutnya lagi, Sekretaris Pertama Kedutaan Suriah di Siprus mendorongku untuk pergi ke Beirut dan ke kamp Bourj elBrajneh, untuk menemui orang-orang kami.

   Ia pasti sudah bosan melihatku berkeliaran di Kedutaan Suriah setiap hari, menanyakan apakah aku dapat menemui Presiden Assad, dan menanyakan pula jika ada balasan untuk suratku.

   Ia meyakinkanku bahwa tidak akan ada masalah ketika aku mencapai wilayah yang diawasi oleh pasukan Suriah di Beirut.

   Aku pun pergi dan membeli tiket feri yang berangkat malam hari dari Larnaca menuju Jounieh.

   Tepat pada pukul tujuh pagi tanggal 10 April, kapal feri dari Siprus berlabuh di dermaga Jounieh.

   Matahari telah terbit dan aku melemparkan pandangan ke laut.

   Para tentara Lebanon memasuki feri dan berbaris di sepanjang tepi jalan menuju dermaga.

   Mereka melakukan penjagaan sangat ketat, tetapi tidak kasar.

   Para penumpang wanita bersegera mengulaskan lipstik dan menyemprotkan parfum ke tubuh mereka seraya menatap ke luar ke arah kerumunan yang menunggu dengan tidak sabar di luar kapal.

   Orang-orang melompat dengan gembira seraya menyapa orang-orang terkasih yang berjajar di kedua tepian.

   Seorang tentara yang masih muda berteriak kencang dalam bahasa Inggris.

   "I love you!"

   Seorang wanita muda wajahnya merona merah karena malu dan berusaha menyembunyikan senyumnya.

   Minggu-minggu penuh kekhawatiran dan ketidakpastian, dan ditutup dengan malam panjang yang kulalui tanpa tidur di atas dek kapal feri yang ramai, mungkin turut menyebab-kanku merasa bahwa kedatanganku kembali ke Beirut ini seolah-olah adalah mimpi.

   Betulkah aku telah berhasil? Apakah ini pelabuhan Beirut Timur yang pernah kusinggahi pada 1982? Aku melewati pos bea cukai dan pos pemeriksaan, dan seiring berjalan ke luar, aku menangkap sesosok berambut pirang dan berjaket biru pudar, Oyvind, koordinator NORWAC.

   Ia melambai dengan penuh semangat dan aku membalasnya.

   "Selamat datang, Swee!"

   Oyvind berteriak kencang dari arah kerumunan.

   Tinggi dan berusia pertengahan tiga puluhan, Oyvind adalah seorang yang sangat sabar dan bertutur kata lembut sisa-sisa dari masa pendidikannya sebagai seorang pendeta.

   Ia kerap tertawa dan matanya yang ramah menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria yang mencintai kehidupan dan orang-orang.

   Oyvind membawaku ke sebuah taksi yang menunggu di tepi jalan dan kami meletakkan koper besarku, koper yang sama yang kugunakan pada 1982 ke dalam bagasi.

   Taksi pun melaju.

   Beirut Timur terlihat lebih makmur dan lebih rapi daripada tahun 1982, jalan-jalan raya terasa halus dan terdapat lampu-lampu lalu lintas yang dipatuhi oleh para pengguna jalan.

   Terdapat toko-toko dan perkantoran.

   Gambar-gambar besar Presiden Lebanon, Amin Gemayel, terpampang di mana-mana.

   Kami menuju Garis Hijau, Oyvind memutuskan untuk menggunakan penyeberangan sipil yang telah terbebas dari ancaman para penembak jitu.

   Kemacetan di penyeberangan benar-benar parah.

   Kami memutuskan untuk turun, berjalan melintasi Garis Hijau tersebut dengan menenteng koperku, dan menumpang taksi lainnya di Beirut Barat.

   Di mataku, Beirut Timur tampak tidak ada bedanya dengan kota-kota lain di Timur Tengah.

   Namun, ketika melintasi Garis Hijau menuju Beirut Barat dan melihat dinding-dinding yang bolong terkena peluru, bangunan-bangunan yang hancur terkena bom, dan jalanan yang kotor serta penuh debu, juga lalu lintas yang kacau, aku tahu ini bukan mimpi, aku telah kembali ke tempat yang sama.

   "Halo, Beirut,"

   Gumamku.

   "aku datang!"

   Taksi menderu di jalanan yang sempit. Aku bisa tinggal bersama rekan-rekan Norwegia di flat NORWAC di Hamra.

   "Bagaimana rasanya kembali ke sini?"

   Oyvind tahu bahwa permohonan visaku ditolak di kedutaan-kedutaan Lebanon di London, Roma, Athena, dan Siprus. Ia tahu bahwa aku nyaris tidak mendapatkannya.

   "Fantastis!"

   Kataku. Hanya itu kata terbaik yang dapat kutemukan untuk menggambarkan perasaanku. Bahkan setelah bertahun-tahun terjadi perang, Beirut masih tetap sebuah kota yang sangat indah. Sang sopir bertanya.

   "Apakah Anda mencintai Beirut?"

   Aku menjawab bahwa aku memang mencintainya, dan ia meneruskan perkataannya.

   "Pertama kali saya membawa putra saya yang masih kecil ke atas gunung dan menunjukkan padanya pemandangan Kota Beirut dari puncak itu, ia menangis. Ia bertanya mengapa orang-orang berusaha menghancurkan kota seindah ini."[] Dua Puluh Enam Masyarakat Lebanon masih hangat, bersahabat, dan ramah. Meskipun mereka tampak marah, kemarahan mereka tidak lagi ditujukan kepada sesamanya. Sungguh menyedihkan bahwa sekian lama Lebanon menjadi ajang pertempuran. Banyak prasarana ekonomi yang hancur akibat perang. Mata uang lira Lebanon nyaris sepenuhnya kolaps. Selama bertahun-tahun, berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat Lebanon menjadi labil dan terpecah belah, dan mengubah putra-putranya menjadi sasaran tembak. Upah sangat rendah dan pekerjaan sulit didapat. Banyak pemuda yang terpaksa bertempur demi bertahan hidup. Mereka bergabung dengan berbagai pasukan milisi, dan tatkala bertugas, mereka menembak sesamanya. Namun, tatkala tidak bertugas, mereka tidak harus membunuh. Barulah saat itu kita betul-betul bisa menghargai kebaikan mereka sisa-sisa keramahan khas bangsa Arab dan kehangatan yang tetap bertahan meskipun menghadapi kekejaman. Dalam mimpi, aku dapat mendengar suaraku yang berteriak kencang.

   "Biarkan Lebanon hidup tenang, berikan anak-anak kesempatan untuk tumbuh dewasa. Tak perlu ada lagi senjata, tak perlu lagi tank-tank. Biarkan mereka!"

   Setelah tiga belas tahun peperangan, aku merasakan orang-orang ini menginginkan perdamaian.

   Tingkat toleransi mereka menakjubkan.

   Tidak ada aturan lalu lintas mereka berlalu lalang di jalan dengan saling pengertian.

   Jika terjadi kecelakaan yang tak menyebabkan timbulnya korban, maka "malisy"

   Tidak mengapa.

   Jika timbul korban, maka "alhamdulillah" (puji Tuhan) bahwa tak ada yang meninggal.

   Di sini, tidak seorang pun harus berkhotbah tentang perlunya saling memaafkan, semua berjalan dengan sendirinya.

   Aku ingin sekali menemui banyak orang, orang-orang yang tidak pernah kudengar kabarnya selama bertahun-tahun, baik warga Palestina maupun Lebanon.

   Oyvind meyakinkanku bahwa tim MAP di Bourj elBrajneh masih hidup dan dalam keadaan mental yang baik.

   Kami dipanggil ke klinik PRCS di kamp Mar Elias.

   Kamp ini merupakan kamp pengungsi Palestina yang berukuran kecil, yang pada awalnya merupakan sebuah kamp bagi para warga Kristen Palestina, kelompok ini cukup besar jumlahnya.

   Pada tahun-tahun terakhir ini, kebanyakan keluarga Kristiani telah meninggalkan Beirut dan Mar Elias menjadi pusat administratif hampir semua partai politik Palestina, seperti Fatah Intifada partai Abu Musa yang merupakan pecahan Fatah, Sa'iqah, Front Demokratik Pembebasan Palestina, dua partai pecahan dari Front Pembebasan Palestina, Partai Nidal Dewan Revolusioner Fatah (Abu Nidal), dan lain-lain semua kecuali kelompok yang setia terhadap Arafat.

   Mereka yang setia pada Arafat ini harus beraktivitas secara diam-diam karena pemerintah Suriah dengan agresif memburu mereka.

   Selain kantor-kantor partai politik ini, terdapat berbagai perwakilan bala bantuan dari Eropa dan United Nations Relief and Work Agency (UNRWA), dan tentunya PRCS.

   Meskipun Ummu Walid masih memegang PRCS di Lebanon, kini ada direktur-direktur wilayah seperti dr.

   Muhammad Utsman di Beirut, dr.

   Ali Abdullah di Saida, dan banyak lagi.

   Sangat menyenangkan bertemu kembali dengan Ummu Walid, dan aku diperkenalkan dengan dr.

   Utsman.

   Klinik PRCS di Mar Elias merawat sebanyak seratus lima puluh hingga dua ratus orang pasien rawat jalan setiap harinya, sekarang sebuah rumah sakit baru tengah dibangun.

   Ke mana pun aku pergi Lebanon, Mesir, Sudan, pastilah kutemukan PRCS mendirikan sebuah bangunan, klinik atau rumah sakit, pada saat damai maupun perang.

   Pemerintah Suriah telah mencanangkan gencatan senjata dan kamp-kamp tidak lagi diserang, tetapi masih tetap dikepung.

   Jalan masuk ke kamp ditutup dan dijaga oleh Pasukan Khusus Presiden Assad dan Pasukan Intelijen Suriah.

   Para wanita Palestina kini diperbolehkan keluar untuk membeli makanan bagi keluarga mereka.

   Sebelum pasukan Suriah bergerak, para wanita dibunuh jika mencoba memasuki ataupun meninggalkan kamp untuk membeli makanan dan mendapatkan air.

   Banyak dari mereka terluka maupun terbunuh.

   Tak seorang pun kini berani menembaki para wanita Palestina di hadapan pasukan penjaga perdamaian Suriah.

   Sungguh menakjubkan betapa takutnya mereka terhadap pasukan Suriah baik orang-orang Lebanon maupun Palestina! Hari sudah siang sebelum aku meninggalkan Mar Elias, tetapi aku ingin mengunjungi kamp Shatila dan Bourj elBrajneh.

   Menurut perjanjian gencatan senjata, para wanita tidak perlu izin khusus dari Pasukan Intelijen Suriah untuk memasuki atau pun meninggalkan kamp jadi kuputuskan untuk mencobanya.

   Aku membeli sehelai kerudung, mengikatkannya di kepalaku, dan tiba di perbatasan Sabra-Shatila.

   Pasar Sabra diliputi hiruk pikuk kehidupan dan banyak orang yang berbelanja maupun berjualan.

   Selain kios-kios yang menjual sepatu, baju, dan alat-alat mandi, ada kios-kios yang menjual ikan, daging, buah-buahan, dan sayur-mayur.

   Kelihatannya suasana di sini baik-baik saja, dan para pengunjung yang tidak berjalan hingga kamp Shatila mungkin tidak menyadari keadaan yang sebenarnya.

   Akan tetapi, pasar tersebut tidak terletak di kamp Sabra bagian Palestina pasar ini terletak di bagian Lebanon.

   Pada 1982, kamp Sabra dan Shatila merupakan rumah bagi warga Palestina maupun Lebanon, mereka hidup bersama selama bertahun-tahun.

   Ketika Israel menyerang dan mengirim para pembunuhnya untuk menghabisi penduduk kamp, kedua warga ini sama-sama menderita.

   Namun, setelah 1985, ketika perang kamp pertama dimulai, para penyerang menjalankan siasat mengisolasi warga Palestina.

   Kamp Sabra jatuh ke tangan lawan pada 1985, dan banyak keluarga Palestina yang tewas terbunuh dan pergi untuk menyelamatkan diri.

   Sehingga, yang tersisa hanyalah para keluarga Lebanon yang menjadi saksi atas apa yang terjadi pada para tetangga mereka orang-orang Palestina di Shatila.

   Bagian kamp Sabra yang pernah ditinggali oleh warga Palestina letaknya berdekatan dengan Rumah Sakit Gaza.

   Rumah-rumah milik warga Palestina dihancurkan sehingga walaupun dilakukan gencatan senjata, mereka yang melarikan diri tak punya tempat untuk kembali.

   Rumah-rumah tersebut belum dibangun kembali.

   Di seberang jalan raya, kamp Shatila membuat gerakan perlawanan yang hebat dan tidak jatuh ke tangan lawan.

   Akan tetapi, kamp tersebut dikepung musuh sejak 1985.

   Kamp itu dikepung total selama hampir dua tahun sejak Mei 1985 hingga April 1987, pengepungan hanya sempat dihentikan selama beberapa bulan.

   Semua jalan masuk dan keluar kamp dikelilingi tank dan pasukan milisi sehingga tak seorang pun dapat masuk ataupun keluar dari kamp.

   Kamp menerima serangan dalam skala besar-besaran, bom-bom berjatuhan serta roket-roket diluncurkan ke rumah-rumah penduduk.

   Pernah terjadi gencatan senjata, dan hanya diberlakukan jam malam yang ketat.

   Selama enam bulan terakhir pengepungan kamp Shatila, pasar terus melanjutkan penjualan segala jenis buah-buahan yang lezat, daging, dan sayur-mayur, sementara warga Palestina di kamp Shatila kelaparan.

   Ketika mereka meminta makanan, yang mereka terima hanyalah peluru serta mortir.

   Ketika para pemimpin spiritual Muslim mengizinkan warga Palestina yang kelaparan di kamp Shatila untuk memakan jasad manusia, penduduk kamp menyeru kepada dunia, Sepanjang sejarah, berbagai negara dan masyarakat telah terhapus karena peperangan, bencana alam, dan wabah penyakit, tetapi bukan karena kelaparan yang dipaksakan seperti yang kami alami ini.

   Apakah kalian menggunakan wabah kelaparan sebagai senjata, untuk membuat kami lapar sehingga menyerah? Di manakah kesadaran orang-orang abad ke-20 ini? Jika kami memang mati dengan cara seperti ini, biarkanlah tercatat dalam sejarah manusia bahwa dunia yang mengizinkan pembantaian di Sabra dan Shatila kurang dari lima tahun yang lalu, kini membiarkan kami mati dengan cara seperti ini.

   Kalian bilang kami boleh memakan daging dari jasad manusia.

   Tapi, bagaimana kami bisa memakan jasad orang-orang yang kami cintai, saudara kami, saudari kami, ayah, ibu dan anak-anak kami? Para pemuda kamp Shatila rela kelaparan agar orang-orang tua, para korban yang terluka, wanita, dan anak-anak tetap bisa mendapatkan makanan.

   Shatila mati perlahan-lahan.

   Akan tetapi, mereka menyongsong kematian dengan penuh kebanggaan dan martabat.

   Jelas bahwa tak suatu apa pun baik pembantaian, dua tahun pengepungan, maupun embargo makanan yang dapat meruntuhkan semangat penduduk kamp Shatila.

   Pengepungan diperketat dan bom-bom terus menghujani reruntuhan dan puing-puing bangunan kamp sepanjang pagi dan malam.

   Pada awal 1987, musim dingin yang menusuk tulang di Lebanon menyebabkan berjangkitnya wabah kelaparan, penyakit, dan banjir di kamp.

   Aku berandai-andai jika Shatila dapat bertahan dari semua itu.

   Kamp kecil ini, dua ratus yard luasnya, telah menjadi simbol gerakan perlawanan penduduk Palestina yang gigih.

   Kamp ini telah menjadi seperti Alamo atau Stalingrad bagi warga Palestina.

   Di Barat, hanya tersiar segelintir kabar mengenai Shatila.

   Aku tidak tahu apa yang akan kusaksikan di sana dan jantungku berdetak semakin cepat seiring aku meninggalkan pasar Sabra menuju kamp Shatila.

   Jalanan tidak rata dan berlumpur, setengah tergenang banjir dengan sampah-sampah mengapung.

   Aku dapat melihat bagian belakang Rumah Sakit Gaza.

   Bangunan itu tampak kosong serta terpencil.

   Seiring aku terus berjalan, bagian depan Rumah Sakit Gaza yang berselimutkan jelaga mulai tampak.

   Bangunan-bangunan di sebelahnya tampak kosong, keluarga-keluarga di dalamnya pasti telah pergi, pikirku.

   Tiba-tiba terdengar bentakan.

   "Stop!"

   Dan tiba-tiba muncul seorang pria bersenjata yang berbaju luntur.

   Ia adalah seorang intelijen Amal berusia sekitar dua puluhan, bertubuh langsing.

   Menurutku, ia tampan, tetapi aku kemudian melihat matanya memerah dan tangannya gemetaran, dan otomatis aku mulai menerka-nerka apakah ada yang salah dengannya.

   Tubuh gemetar, mata merah sangat mungkin ia mengisap ganja dan mungkin juga meng-konsumsi obat perangsang.

   Perilakunya kasar.

   Aku berada dalam situasi yang tidak menyenangkan, pria Amal ini bersenjata dan sejauh mata memandang, hanya aku satu-satunya makhluk hidup selain dia.

   Saat melirik ke arah pistolnya, kusadari ia tidak memakai peredam suara.

   Yah, setidaknya jika ia menembakku, seseorang akan mendengarnya.

   Aku hanya bisa berdoa karena aku benar-benar tak dapat menebak apa yang akan ia lakukan.

   Syukurlah aku membawa beberapa pucuk surat untuk para penghuni kamp Shatila.

   Surat-surat itu ditulis oleh keluarga-keluarga Palestina yang berada di Eropa untuk saudara-saudara mereka di kamp semua kalimat yang setipe seperti "Bagaimana kabarmu? Aku berdoa untuk keselamatanmu".

   Pria itu berbicara bahasa Inggris cukup baik.

   Setelah ia membuatku tegang dengan menggeledah tas tanganku, surat-suratku, sepatuku, ia tampaknya mendadak memutuskan bahwa aku tidak sedang berupaya menyelundupkan senjata ke dalam kamp, dan bahwa aku berkata jujur saat menyatakan aku melakukan kunjungan biasa.

   Ia membiarkanku lewat.

   Kejadian itu benar-benar menegangkan sampai-sampai aku tak ingin lagi berkeliaran di sekitar kamp Sabra tanpa alasan yang benar-benar jelas.Sepanjang perjalananku menuju kamp Shatila, aku sering distop oleh anggota pasukan Amal, beberapa di antaranya berseragam militer dan beberapa lagi berpakaian sipil, tetapi mereka semua bersenjata.

   Perjalanan itu membuatku stres.

   Aku memikirkan para wanita di kamp Shatila yang harus melalui situasi ini setiap hari, saat pergi ke pasar untuk membeli makanan bagi keluarga mereka, dan saat pulang sambil menenteng belanjaan.

   Jika orang-orang Amal bisa melecehkan dan mengancam seorang dokter sepertiku yang baru saja tiba dan jelas-jelas orang asing, aku dapat membayangkan seperti apa perlakuan mereka terhadap wanita-wanita Palestina.

   Gencatan senjata memang diberlakukan, tetapi aku yakin, jika bukan karena tentara Suriah, aku pasti akan masuk ke dalam daftar orang-orang "hilang"

   Atau bahkan tertembak. Setelah distop secara "tidak sah"

   Oleh orang-orang itu, akhirnya aku tiba di markas resmi pasukan milisi Amal.

   Markas itu berupa sebuah blok berisi gedung-gedung flat setinggi empat lantai yang telah rusak akibat tembakan meriam.

   Melalui lubang-lubang bekas tembakan meriam, aku dapat melihat tumpukan kantong-kantong pasir dan para tentara bersenjatakan senapan mesin.

   Pada dinding bagian luar terpampang sebuah foto besar pemimpin Amal, Nabih Berri.

   Selusin lebih tentara Amal berjaga di pos-pos pemeriksaan.

   Dokumen perjalanan serta barang-barang bawaanku diambil untuk diperiksa.

   Di dalam bangunan yang tinggi tersebut, terlihat lebih banyak lagi tentara.

   Mereka tampak berbadan besar dan seram, aku merasa betul-betul takut.

   Aku tak pernah mengalami ketakutan seperti ini sebelumnya, bahkan saat intimidasi yang kuterima pada September 1982.

   Sebagai orang asing, aku bisa saja diculik.

   Dan karena aku adalah kawan orang-orang Palestina, aku bisa saja ditembak mati.

   Mereka sepertinya bisa membaca pikiranku dan salah seorang di antara mereka mengokang senapan mesinnya dan menodongkannya ke arahku.

   Aku harus melakukan sesuatu sebelum aku jatuh lemas.

   Aku menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahuku, dan mengatakan kepada mereka selantang mungkin bahwa aku punya janji dengan seorang perwira Suriah di pos pemeriksaan Shatila.

   Mendengar kata "Suriah", mendadak mereka bersikap lebih lunak.

   Mereka mengembalikan dokumen perjalanan serta barang-barang bawaanku dan memberi isyarat kepadaku untuk pergi ke pos pemeriksaan Suriah.

   Kejadian ini memberiku sebuah kalimat bermanfaat yang untuk seterusnya pasti kuucapkan setiap kali distop oleh pasukan Amal.

   "Aku punya janji dengan seorang perwira Suriah di pos pemeriksaan."

   Kalimat ini membuatku terhindar dari bahaya.

   Sebagai seorang dokter, aku merasa geli menyadari bahwa kedua kakiku, yang sedetik sebelumnya hampir-hampir tak dapat menahan berat tubuhku, kini memutuskan sendiri untuk berlari menuju pos pemeriksaan Suriah yang terletak di jalan masuk kamp Shatila.

   Aku ingin berlambat-lambat sehingga tak seorang pun tahu bahwa aku sebenarnya takut, tetapi kakiku tak mau berkompromi sedikit pun.

   Pos pemeriksaan Suriah hanyalah berjarak selemparan batu, aku mengatakan kepada tentara Suriah bahwa aku hendak menyerahkan beberapa pucuk surat kepada para penduduk di kamp.

   Mereka membuka semua surat itu dan membaca isinya dan akhirnya memutuskan untuk mengizinkanku mengunjungi kamp selama tak lebih dari satu jam.

   Mereka menyimpan dokumen perjalananku, seraya mengatakan bahwa mereka akan merobeknya jika aku tinggal lebih lama dari enam puluh menit.

   Hal itu, menurutku, adalah kesepakatan yang pantas, apalagi setelah perlakuan yang kuterima dari pasukan Amal.

   Aku berterima kasih kepada para tentara Suriah itu dan memasuki kamp Shatila.

   Tempat itu secara fisik tak dapat dikenali lagi, sepenuhnya luluh lantak.

   Di mana-mana terdapat puing-puing, bangunan-bangunan yang sudah rubuh, terabaikan, dan rusak parah.

   Para warga Palestina berdiri di kedua sisi jalan raya kamp.

   Kali ini tak ada orang yang melambaikan tangan atau berteriak memanggilku.

   Tak ada tawa, tak ada sambutan.

   Tak seorang pun bergerak.

   Aku tak pernah melihat suasana kamp Shatila yang sebegitu dinginnya.

   Aku tak dapat memercayainya, alangkah muramnya.

   Apa yang telah terjadi di sini? Kemudian, aku melewati pria Palestina pertama yang kujumpai di jalan tersebut.

   Ia masih saja tidak bergerak, tetapi menggumamkan ucapan selamat datang.

   "Antan, Doctora, ahlan."

   Kata-kata itu terus terulang senyampang aku melangkah memasuki kamp.

   Sambil berdiri atau duduk, orang-orang Palestina menyambutku dengan sangat, sangat muram, sama sekali tanpa bergerak.

   Samar-samar kuingat jalan yang kutempuh dari kunjunganku pada 1985.

   Aku berbelok ke kiri ke salah satu lorong sempit kamp yang menuju Masjid Shatila.

   Begitu aku masuk ke dalam lorong itu, dan bangunan-bangunan yang hancur terkena tembakan meriam menghalangi pandangan orang-orang di pos militer Amal dan Suriah, beberapa bocah dan seorang wanita menghampiriku dan mengantarkanku ke Rumah Sakit Shatila.

   "Siapa nama Anda?"

   Tanya anak-anak. Aku menatap mereka dan bertanya.

   "Siapa nama kalian?"

   Yang paling kecil, seorang gadis kecil yang manis, melemparkan senyum lebarnya kepadaku, memasukkan tangannya ke dalam mulutnya dan wajahnya memerah.

   Rombongan itu kemudian mendampingiku menuju Rumah Sakit Shatila, memberitahuku agar menemui Chris Giannou, seorang dokter keturunan Kanada-Yunani.

   Chris dan aku pernah bertemu sekali sebelumnya, yaitu pada 1983 di Paris.

   Ia telah sangat lama memberikan komitmennya kepada rakyat Palestina dan pernah ditahan pasukan Israel pada masa awal serangan 1982.

   Chris pergi ke kamp Shatila tahun 1985 untuk mendirikan sebuah rumah sakit dan tetap tinggal di dalam kamp yang dikepung tersebut selama hampir dua tahun.

   Jika ada seorang dokter asing yang menyerahkan segalanya demi rakyat Palestina, Chris Giannoulah orangnya.

   Keahlian bedahnya, kemampuannya mengelola administrasi rumah sakit, kesabaran dan keberaniannya, bahkan kehidupan pribadinya, semua diberikannya kepada rakyat Palestina.

   "Halo, Chris!"

   Sapaku Ketika hendak memeluknya, aku menangis. Sudah lebih dari empat tahun sejak terakhir kalinya kami bertemu. Sekarang Chris hanyalah sesosok tulang berbalut kulit.

   "Tidak apa-apa,"

   Ujarnya.

   "Jangan mengkhawatirkan kami. Bagaimana kabar Francis? Kemarilah, akan kutunjukkan padamu seisi rumah sakit ini. Kami memiliki segalanya. Rumah sakit ini akan berfungsi lebih baik untuk melayani setiap orang. Lihat, para wanita bahkan membawakan sekotak cokelat. Ambillah,"

   Ia menawariku sepotong cokelat.

   "Tidak, buat kamu saja, Chris,"

   Kataku.

   "Kamu butuh lebih banyak makan daripada aku. Sudahkah belakangan ini kamu becermin?"

   Aku mengatakan hal yang bodoh dan kami berdua terbahak.

   Di sini tidak ada kaca untuk becermin.

   Setelah aku berjalan-jalan sebentar melihat-lihat isi Rumah Sakit Shatila, tampaklah betapa bangunan ini telah jauh berkembang daripada sekadar sebuah bunker perlindungan yang sempit pada 1985.

   Kini, rumah sakit tersebut terdiri dari sejumlah blok yang terpisah satu sama lain.

   Bangunan utama didirikan di atas bunker perlindungan bawah tanah.

   Bunker perlindungan itu sekarang diubah menjadi sebuah bangsal operasi yang efisien dan aman, di atasnya terdapat dua buah bangsal untuk pasien rawat inap.

   Lantai teratas rusak parah dan tak dapat digunakan.

   Bangsal operasinya bersih dan semua peralatan bedah tersusun dengan rapi.

   Di sini, tim operasi bedah telah melakukan lebih dari tiga ratus operasi penyelamatan selama enam bulan terakhir.

   Bangsal itu tidak terlalu luas, maksimal sekitar tiga puluh dengan ketinggian dua puluh kaki.

   Namun, bangsal operasi itu terbagi dua sehingga mereka dapat melakukan dua operasi sekaligus.

   Departemen UGD dan pasien rawat jalan berada di klinik lama milik PRCS yang dibangun pada 1985, dipisahkan dari bangsal operasi dan blok bangsal perawatan oleh sebuah lorong sempit.

   Klinik itu juga memiliki departemen sinar-X.

   Mesin sinar-X portable telah difungsikan semaksimal mungkin dan telah disesuaikan untuk menghasilkan pemetaan urogram intravenous dan pemetaan khusus lainnya.

   Terdapat pula sebuah laboratorium, bank darah, dan sebuah ruangan untuk praktik dokter gigi.

   Apotek dan klinik obat berada di bangunan lain.

   Di seberang klinik ini terdapat "kantor"

   Chris Giannou yaitu sebuah ruang dapur.

   Di sana, Giannou, sang kepala dokter bedah kamp Shatila dan Direktur Rumah Sakit Shatila, biasa duduk di kursi kayu, menghadap meja kayu bujur sangkar dan melaksanakan tugas-tugas administrasinya.

   Para pengunjung biasanya dipersilakan duduk di atas tumpukan kantung beras di atas lantai, atau di atas sebuah tabung besar berisi minyak goreng, minyak parafin, atau sabun detergen.

   "Perlengkapan kantorku ini beranggaran rendah,"

   Kata Chris terkikik.

   Ruang di sebelahnya adalah sebuah dapur besar dengan luas dua puluh kaki, dan di ruangan inilah mereka tiga kali sehari memasak makanan rumah sakit.

   Ruang makan para staf, di sebelah dapur, berukuran setengah kali ruang dapur.

   Ruangan itu mempunyai sebuah meja panjang dari kayu dan dua deret bangku dari kayu pula, tempat para staf rumah sakit duduk untuk makan dan melakukan rapat.

   Rumah sakit ini adalah rumah sakit yang paling praktis dan efisien yang pernah kudatangi.

   Banyak dari staf PRCS yang mengenaliku, dan di dalam rumah sakit ini, jauh dari intaian pasukan Amal, kami bebas untuk saling memberikan peluk sayang.

   Saat bergegas meninggalkan tempat itu, kudengar dari seluruh penjuru ruangan orang-orang berkata.

   "Kami baik-baik saja, Doctora Swee, kami baik-baik saja. Jangan khawatir. Kembalilah dan temuilah kami lagi."

   Dengan kata-kata yang meneguhkan hati ini terngiang-ngiang di telingaku, aku tergesa-gesa pergi menuju pos pemeriksaan Suriah untuk mengambil dokumen perjalananku dan meninggalkan Shatila.

   [] Dua Puluh Tujuh Malam itu, sepulang ke flat NORWAC di Hamra, aku merasa sangat lelah, tapi tak bisa tidur.

   Ketika akhirnya tertidur, aku menangis dalam mimpiku.

   Kamp Shatila kini telah mempunyai makanan, tapi akankah warga Palestina di dalamnya cukup kuat untuk membangun kembali komunitas mereka yang telah hancur? Mereka telah terpenjara di dalam puing-puing bangunan selama hampir dua tahun.

   Shatila kini benar-benar menjadi tempat yang melarat dan berbahaya sebuah kamp konsentrasi.

   Melarat, karena tempat itu tak lebih dari sebuah kumpulan puing, tanpa air, listrik, maupun harapan hidup.

   Berbahaya, karena Amal bisa menembakkan peluru dan meriam ke arah kamp kapan saja tanpa memberi peringatan.

   Aku terbaring di tempat tidur sambil memikirkan temanku Nahla, aku berharap dapat bertemu dengannya.

   Pada 1982, ia bekerja bersamaku di Rumah Sakit Gaza, ia sedang melakukan kerja praktik untuk menjadi perawat.

   Pada 1985, ketika Sabra dan Shatila diserang, Nahla menghentikan studi keperawatannya dan ikut berjuang mempertahankan kamp.

   Ketika kamp Shatila kehabisan amunisi, dengan gagah berani Nahla melewati tank-tank Amal untuk membeli peluru.

   Empat orang wanita membawa kembali tiga puluh lima ribu butir peluru ke dalam kamp.

   Pada 1985, Nahla terluka dan harus bersembunyi.

   Aku tak dapat mengunjunginya karena ia sedang dalam daftar "incaran"

   Pasukan Amal.

   Pada saat berada dalam perjalanan ke Beirut pada April 1987, aku baru mengetahui bahwa Nahla telah meninggal.

   Kini, reuni yang pernah kami rencanakan takkan pernah terlaksana.

   Aku terus-menerus bertanyatanya, apakah nasib Nahla adalah cerminan nasib kamp Shatila.

   Namun, Nahla adalah sosok yang tegar, dan meskipun karier militernya hanya sebentar dan ia gugur dalam usia muda, ia telah menjadi seorang mayor ketika kehilangan nyawanya.

   Aku tak bisa tidur malam itu sehingga aku menggubah sebuah puisi untuk Nahla.

   Dalam puisi itu, aku meratapi kematiannya, dan terutama betapa ingin aku berada di sisinya saat ia gugur.

   Pada saat kematiannya, Nahla baru saja bertunangan, dan aku memikirkan gaun pengantin yang takkan pernah dipakainya.

   Waktu terasa berjalan sangat lambat.

   Sesaat sebelum fajar, aku memutuskan tidak jadi tidur.

   Aku bangun, mandi, lalu menunggu Oyvind bangun.

   Kami akan pergi menemui pasukan Suriah hari ini untuk merundingkan cara supaya Pauline Cutting dan timnya dapat keluar dari kamp dengan aman.

   Amal telah memberikan ancaman resmi akan membunuh Pauline dan Susan apabila mereka berani keluar dari kamp tersebut.

   Kami tahu bahwa mereka bersungguh-sungguh dengan perkataan mereka.

   Hanya pasukan Suriah yang dapat menghentikannya, sehingga Oyvind dan aku pun memutuskan untuk bernegosiasi langsung dengan Jenderal Ghazi Kanaan, Kepala Pasukan Intelijen Suriah di Lebanon.

   Kami tiba di Beau Rivage yang dulunya adalah sebuah hotel terkenal di Lebanon.

   Kini, hotel itu diambil alih oleh pasukan Suriah sebagai markas besar intelijen militer mereka.

   Jenderal Kanaan sedang pergi ke Damaskus, tetapi deputinya bersedia menemui kami.

   Setelah pengalaman burukku dengan pasukan Amal di kamp Shatila kemarin, pasukan Suriah jadi terlihat jauh lebih beradab.

   Aku memberikan kepada deputi Jenderal Kanaan selembar salinan surat yang kutulis untuk Presiden Assad, dan bertanya apakah mereka bersedia mengawal tim medis kami keluar dari kamp.

   Sulit berkomunikasi dengan mereka karena para perwira Suriah di kantor ini hanya berbicara bahasa Arab dan Prancis, dan Oyvind dan aku hanya bisa bahasa Inggris, Norwegia, dan Cina.

   Tetapi tampaknya mereka bisa menerka-nerka apa yang kami katakan dan mengutus Mayor Walid Hassanato, perwira intelijen Suriah yang bertugas menangani kamp Beirut, supaya mengantarku ke Bourj elBrajneh untuk menemui tim MAP.

   Mayor Walid berusia tiga puluhan awal, mempunyai wajah bulat dengan kumis yang tergunting rapi.

   Kesan pertamaku terhadapnya adalah tindak-tanduknya menyenangkan dan beradab.

   Sulit membayangkan ia berlaku kasar terhadap orang-orang Palestina yang tercatat dalam daftar sasarannya, tetapi banyak orang di kamp yang berkata ia bisa berubah mengerikan ketika menggunakan kekuasaannya sebagai perwira intel.

   Mayor Walid memutuskan untuk mengantarkan Oyvind dan aku ke kamp Bourj elBrajneh untuk menanyai Pauline Cutting dan timnya yang terperangkap di sana apakah mereka ingin meninggalkan tempat itu.

   Kami diantar ke mobilnya, lalu kami berangkat.

   Seluruh situasi ini terasa sangat aneh bagiku.

   Bagaimanapun, untunglah aku mampu menjaga hubungan baik dengan Mayor Walid, meskipun aku telah lupa hampir semua kata bahasa Arab yang pernah kupelajari, sedangkan Mayor Walid tidak bisa berbicara selain dalam bahasa Arab.

   Satu-satunya kalimat yang bisa kukatakan dalam bahasa Arab adalah.

   "Terima kasih."

   Jadi, aku mengucapkannya kapan pun kelihatannya pantas untuk diucapkan. Mayor Walid sangat baik dan sopan, dan setiap kali aku mengucapkan terima kasih, ia menjawab.

   "Terima kasih kembali, Dokter,"

   Dalam bahasa Arab.

   Ia menurunkan kami di sebuah kantor milik seorang anggota faksi pendukung Suriah-Palestina di Bourj elBrajneh dan memberitahukan bahwa ia akan kembali pada pukul satu siang untuk menjemput kami.

   Dengan demikian, kami berkesempatan untuk berbicara kepada orang-orang kami.

   Setelah Mayor Walid pergi, aku menuju Rumah Sakit Haifa untuk mencari Pauline dan rekan-rekannya.

   Rumah sakit itu masih berdiri, tapi keadaannya sungguh menyedihkan.

   Pauline Cutting tampak sangat, sangat kurus.

   Begitu juga dengan Ben Alofs.

   Dan aku bertemu Susan Wighton serta Hannes untuk pertama kalinya.

   Mereka semua dalam keadaan baik.

   Sulit untuk memberi tahu mereka bahwa inilah waktunya pulang ke rumah, kembali berkumpul dengan keluarga mereka.

   Sebab, kenyataannya, tidak seorang pun dari mereka yang ingin pergi.

   Penduduk Bourj elBrajneh juga akan merasa sedih.

   Untuk sesaat, aku memikirkan apakah aku berhak membujuk tim tersebut pulang.

   Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengutarakannya.

   Enam bulan dalam pengepungan yang mengerikan ini sudah cukup bagi mereka dan mereka butuh istirahat.

   Jika mereka ingin kembali setelah menemui keluarga mereka, MAP selalu dapat mengirim mereka kembali ke sini.

   Setelah berpelukan hangat dan memberi salam, aku memberanikan diri bertanya.

   "Kapan kalian ingin pulang? Keluarga kalian sangat mengkhawatirkan keadaan kalian. Aku harus menyusun rencana dengan para tentara Suriah itu untuk mengawal kalian."

   Hening total.

   Aku merasa telah mengucapkan sesuatu yang tak pantas diucapkan.

   Namun, akhirnya Pauline mengatakan bahwa mereka dapat pergi meninggalkan tempat itu pada Senin 13 April.

   Mereka mengatakan ingin menghabiskan beberapa hari lagi di kamp Mar Elias bersama teman-teman mereka.

   Mereka yakin bahwa kamp Mar Elias sangat aman.

   Mereka tampaknya lupa bahwa beberapa anggota tim telah menerima ancaman pembunuhan terang-terangan, belum lagi banyak wartawan menunggu mereka di luar kamp.

   "Aku harus membicarakannya dengan Ummu Walid dan penduduk di Mar Elias,"

   Kataku.

   "Tapi, jika kami berhasil membawa kalian semua keluar dari sini pada Senin pagi dan mungkin setelah itu pergi ke kamp Mar Elias, setelah itu kami bisa menanganinya sendiri. Aku juga harus menghubungi Duta Besar Inggris untuk mengupayakan agar kalian dapat menyeberangi Garis Hijau dan naik kapal bandara Beirut masih ditutup. Kurasa, visa kalian semua kini telah habis masa berlakunya."

   Kami semua menyetujui rencana ini, kemudian aku berkeliling di dalam rumah sakit.

   Kedua lantai atas telah meledak terkena bom dan sisa bangunan Rumah Sakit Haifa tidak memiliki aliran air maupun listrik.

   Dinding-dindingnya tampak suram, lembap, dan berjamur.

   Namun, aku gembira bertemu dengan kawan-kawan lamaku Nuha, dr.

   Ridha, Ahmad Diep sang teknisi anestesi, dan yang lainnya.

   Mereka semua adalah petugas medis PRCS dan telah melewati empat masa peperangan di kamp selama dua tahun ini.

   Aku pertama kali bertemu dr.

   Ridha, Direktur Rumah Sakit Haifa, dan Nuha, sang perawat bangsal perawatan, pada 1985.

   Aku telah mengenal Ahmad Diep sejak masa kerjaku di Rumah Sakit Gaza pada 1982, ia termasuk salah seorang yang bekerja selama berjam-jam di bangsal operasi di basement selama terjadi pembantaian di Beirut, sampai Azzizah memerintahkannya untuk meninggalkan rumah sakit itu pada hari Jumat, tepat sebelum rumah sakit diserang oleh para pembunuh.

   Ia seorang ahli anestesi yang hebat, dan aku dapat memercayainya untuk melakukan pembiusan pasien-pasien berisiko tinggi dalam pembedahan besar.

   Teman-temanku terlihat lelah, namun sangat bersemangat untuk bercerita kepadaku tentang peperangan di kamp baru-baru ini.

   Saat kami mengobrol, seseorang tiba-tiba datang dengan membawa sebuah pesan untukku.

   "Doctora, Mayor Walid telah sampai dan ingin agar Anda berangkat sekarang."

   Ben Alofs menatapku dengan tatapan tercengang dan berkata.

   "Ini si Walid Hassanato, orang Suriah itu?"

   Aku tahu bahwa ia terkejut, tapi tidak mungkin menjelaskan semuanya dalam waktu singkat begini.

   "Ya,"

   Kataku.

   "Mayor Walid Hassanato. Ia telah menyanggupi untuk mengawal kepulangan kalian nanti."

   Ben terlihat semakin heran.

   Alasannya, Suriah lah yang memasok senjata kepada pasukan Amal serta memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.

   Banyak penduduk kamp menganggap tentara Suriah sebagai sekutu pasukan Amal.

   Suriah men-justifikasikan dukungannya terhadap Amal dengan menegaskan reputasi Amal sebagai bagian penting dari "Perlawanan Lebanon Selatan"

   Anti-Israel.

   Ini sesuai dengan sikap anti-Zionis Suriah, Israel telah menduduki Lebanon Selatan, Palestina, Dataran Tinggi Golan, serta wilayah-wilayah Arab tetangganya, wilayah-wilayah yang menurut Suriah secara historis termasuk bagian dari "Suriah Raya".

   Oleh karena itu, Suriah mendukung Amal dalam pertempurannya melawan Israel.

   Tak seorang pun pernah memberikan penjelasan yang meyakinkan mengapa tank-tank dan senjata-senjata yang dipasok Suriah kepada Amal untuk mmerangi Israel malah digunakan untuk menyerang kamp-kamp pengungsi Palestina.

   Setelah bertanya kepada kelompok-kelompok yang berbeda, menurut dugaanku, pasukan Amal mendapat tekanan dari Israel untuk menyerang warga Palestina.

   Di wilayah selatan, warga Palestina menuduh pasukan Amal telah membuat persetujuan dengan Israel untuk menghapuskan populasi Palestina sehingga dengan demikian, keamanan perbatasan Israel di utara terjamin.

   Tentunya pasukan Amal membantah hal ini.

   Akan tetapi, para warga Palestina mengatakan mereka telah menangkap tiga orang penasihat pasukan Israel yang bekerja sama dengan pasukan Amal ketika para pejuang Palestina mengepung desa Magdoushe, dekat Saida, pada 1986.

   Jika hal ini benar, Amal pasti telah bekerja sama dengan Israel, dan hal ini akan menjelaskan mengapa mereka bersikap sangat keji terhadap orang-orang Palestina.

   Namun, Amal mempunyai penjelasan sendiri tentang peperangan di kamp itu.

   Berkali-kali aku distop oleh para perwira Amal dan diberi tahu bahwa warga Palestina membawa terlalu banyak bencana di Lebanon.

   Jika bukan karena warga Palestina, kata mereka padaku, Lebanon tidak akan pernah dibom dan dihancurkan oleh pasukan Israel.

   Lebanon telah cukup banyak menderita karena menampung warga Palestina.

   Amal takut serangan besar-besaran yang dilakukan Israel pada 1982 akan terulang kembali.

   Mereka terutama merasa kesal karena para warga Palestina di kamp-kamp pengungsian berani mempersenjatai diri mereka sendiri.

   Salah seorang dari pasukan Amal bertanya padaku.

   "Katakan kepadaku, Dokter, ibu kota Arab mana yang pernah mengizinkan sekelompok pengungsi membawa-bawa senjata?"

   Tentu saja ia tidak sadar sedang berbicara kepadaku yang selamat dari pembantaian Sabra-Shatila 1982.

   Pembantaian itu bisa berjadi karena orang-orang Palestina tidak bersenjata.

   Aku telah melihat keadaan kamp Shatila dan Bourj elBrajneh pada 1987.

   Bagaimana bisa orang-orang itu meminta warga Palestina untuk menyerahkan hak mereka mempertahankan diri? Supaya peristiwa pembantaian 1982 terulang kembali? Para pejuang remaja Palestina di kamp Shatila takkan pernah dapat dibujuk untuk menyerahkan senapan Kalashnikov mereka, tidak setelah penderitaan yang mereka alami pada 1982 dan pengepungan pada dua tahun terakhir.

   Mereka telah kehilangan hak atas tanah air mereka, rasa aman di pengungsian, dan kini eksistensi mereka tengah terancam.

   Siapa yang berani meminta mereka untuk menyerahkan hak hidup mereka? Seorang pejuang wanita di kamp Shatila berkata kepadaku.

   "Mereka terpaksa mengakui keberadaan kami karena kami telah melawan. Mereka ingin membuat kami tidak dikenal, meniadakan kami, dan mengubur kami di kuburan massal, tapi kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan."

   Beberapa dekade terakhir ini, di Timur Tengah terjadi setidaknya empat konflik besar.

   Konflik-konflik itu adalah konflik antara Iran dan Irak, antara Israel dan negara-negara Arab, antara Israel dan Palestina, serta antara negara-negara Arab dan Palestina.

   Kecuali perang Iran-Irak, konflik-konflik lainnya berkisar pada masalah Israel dan Palestina.

   Konflik antara Israel dan negara-negara Arab telah menyebabkan berbagai perang antara Israel dan negara-negara Arab.

   Israel telah menyerang dan menduduki tidak hanya Jalur Gaza dan Tepi Barat, melainkan juga Dataran Tinggi Golan, yang merupakan bagian dari Suriah.

   Pasukan udara Israel telah menyerang berbagai negara Arab-Irak, Tunisia, Suriah, Lebanon, dan Mesir adalah beberapa contoh di antaranya.

   Aku mendengar bahwa para politisi Israel membual bahwa mereka telah bertempur dan memenangi lima perang besar melawan tetangga-tetangga Arab mereka, tahun 1948, 1956, 1967, 1973, dan 1982.

   Perang yang terakhir itu bukan merupakan perang "murni"

   Antara Israel dan salah satu tetangganya.

   Walaupun hingga sekarang Lebanon masih menderita akibat kehancuran ekonomi dan sosial yang dideritanya, perang 1982 sebenarnya merupakan perseteruan antara Israel dan PLO.

   Konflik Palestina-Israel terjadi karena Israel hanya dapat berdiri di atas kehancuran negeri Palestina dan terusirnya rakyatnya.

   Pada 1988, negara Israel merayakan empat puluh tahun eksistensinya, sementara orang-orang Palestina yang terusir memperingati hilangnya tanah air mereka.

   Agar Israel dapat berkembang, semua jejak eksistensi Palestina harus dihapuskan.

   Luka-luka yang diakibatkan oleh Israel terus memburuk, bom-bom Israel menyebabkan kematian dan kehancuran, penyiksaan dan mutilasi di kamp-kamp tawanan Israel, seperti kamp Ansar, tak akan pupus dari ingatan.

   Setelah ini semua berlangsung, orang-orang Israel memprotes bahwa orang-orang Palestina menolak untuk "mengakui"

   Negara Israel.

   Setelah dipaksa untuk menyerahkan negara mereka, rumah mereka bahkan hidup mereka rakyat Palestina kini diminta untuk menyerahkan jiwa mereka kepada sang pemenang.

   Konflik Palestina-Arab lebih rumit lagi.

   Beberapa orang beralasan bahwa konflik tersebut merupakan konflik antara negara-negara tuan rumah dan para pengungsi.

   Namun, orang-orang Palestina ini adalah orang-orang terusir, bukan pengungsi, dan mereka ingin pulang.

   Prinsipnya, negara-negara tuan rumah itu mendukung mereka, paling tidak pada prinsipnya.

   Akan tetapi, ketika orang-orang Palestina ini menggunakan negara-negara tuan rumah sebagai basis serangan terhadap Israel, negara-negara ini mengalami penderitaan akibat pembalasan Israel, sebuah roket yang ditembakkan ke Galilea akan meratakan lusinan desa di Lebanon.

   Inilah yang menyebabkan konflik antara Palestina dan Arab.

   Namun, keberanian rakyat Arab patut dihargai, meskipun harus menerima akibat itu, mereka masih mendukung perjuangan rakyat Palestina.

   Masalah yang lebih fundamental dalam konflik Su-riah-Palestina diakibatkan sebuah persoalan yang tak terpecahkan.

   Apakah Palestina bagian dari Suriah Raya? Apakah Arafat pemimpin PLO atau Assad pemimpin Suriah yang berhak berbicara atas nama rakyat Palestina? Aku bukan orang Arab, dan bukan pula Muslim.

   Aku bukan orang Eropa sehingga tidak punya beban untuk merasa bersalah akan kekejaman Nazi maupun merasa bertanggung jawab atas Mandat Pemerintah Inggris di Palestina.

   Mendukung rakyat Palestina bagiku bukanlah suatu urusan politik, ini adalah tanggung jawab kemanusiaanku.

   Orang-orang Palestina berusaha agar dapat pulang ke tanah air mereka.

   Oleh karena gagal melakukannya, mereka menuntut hak mendapatkan kehidupan yang layak di tanah pembuangan hak untuk eksis di muka bumi.

   Tuntutan mereka bisa dimaklumi.

   Aku mendukung mereka.

   Karena tak punya kecenderungan terhadap aliran politik tertentu, aku dapat meminta tentara Suriah untuk melindungi para sukarelawan medis kami, sehingga tugas kami di dalam kamp dapat berlanjut.

   Beberapa orang mendiskusikan fakta bahwa beberapa hari sebelumnya, Suriah telah mendukung penyerangan Amal ke kamp-kamp.

   Kini tentara Suriah mengambil alih penjagaan di jalan-jalan masuk kamp untuk mencegah penembakan para wanita Palestina dan mengawal konvoi-konvoi makanan masuk ke dalam kamp.

   Aku tak punya perkiraan mengapa mereka melakukannya dan atas alasan apa.

   Jika orang-orang Suriah kini menjadi teman warga Palestina, maka mereka kini temanku juga untuk sementara waktu.

   Aku tidak mau berspekulasi tentang apa yang akan terjadi besok, atau pada minggu berikutnya.

   Kondisi aman ini sama rentannya dengan cairan di padang pasir.

   Namun, saat ada kesempatan bernapas, makan, maupun hidup, orang-orang harus memanfaatkannya.

   Para wanita keluar-masuk kamp untuk membawa makanan dan air minum bagi keluarga mereka.

   Selama gencatan senjata yang dijalankan oleh pasukan Suriah berlangsung, para penduduk kamp memanfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin.

   Ketika kami kembali ke kantor tempat sang Mayor Suriah menjemput kami, aku dapat melihat sebuah kerumunan besar telah berkumpul untuk menyambut konvoi bala bantuan PBB yang membawa karung-karung berisi tepung.

   Anak-anak dan wanita bertepuk tangan serta bersorak-sorai seiring pasukan tentara Suriah mengawal konvoi tersebut melaju ke dalam kamp.

   Sementara itu, di belakang kantor sang Mayor, jenazah seorang wanita digali dari sebuah kuburan sementara untuk dibawa ke pemakaman.

   Ia adalah salah seorang wanita yang tewas saat mencoba mendapatkan makanan bagi penduduk kamp selama berlangsung pengepungan.

   Saat jenazah tersebut diangkat, dibungkus dalam sebuah kantong plastik besar, dan diangkut melewati gedung kantor itu, baunya yang busuk sangat menyesakkan pernapasan.

   Bau itu mengingatkanku pada mayat-mayat yang dimutilasi dan dirusak pada pembantaian 1982.

   Apakah kamp sedang merayakan gencatan senjata, atau tengah meratapi hilangnya orang-orang yang mereka cintai? Oyvind dan aku memberi tahu Mayor Walid bahwa orang-orang kami akan bersiap untuk meninggalkan kamp pada Senin 13 April.

   Ia meminta kami menghubungi Duta Besar Inggris dan memintanya untuk menyiapkan penjagaan di sepanjang Garis Hijau, karena pasukan Suriah tidak mengawasi kawasan Beirut Timur yang dihuni oleh penduduk Kristen.

   Jadi, Pauline dan anggota tim MAP lainnya akan menjadi tanggung jawab pasukan Suriah dari kamp Bourj elBrajneh sampai mereka tiba di kantor Konsulat Inggris di Beirut Barat.

   Dari sana, dalam perjalanan menuju Jounieh untuk naik feri, mereka akan menjadi tanggung jawab Duta Besar Inggris, John Gray.

   Setelah menyepakati rencana ini, kami mengucapkan selamat tinggal kepada Mayor Walid.

   Sang Duta Besar Inggris dengan ramah menerima kami dan menyetujui untuk menyediakan pengamanan bagi Pauline, Susan, Hannes, Bendan Chris Giannou, jika ia juga memutuskan meninggalkan kamp.

   Ibu Chris telah menghubungi Ummu Walid dan menyampaikan kekhawatirannya tentang putranya, dan Ummu Walid merasa ini waktunya bagi Chris meninggalkan kamp Shatila untuk beristirahat.

   Demikianlah, Senin tanggal 13 April menjadi hari pergantian besar-besaran anggota tim kami.

   Para perawat dan dokter asing yang baru akan memasuki kamp Bourj elBrajneh dan Shatila, dan mereka yang telah bekerja tanpa kenal lelah selama masa pengepungan kamp dapat meninggalkan tempat itu.

   Aku diminta menelepon kantor Mayor Walid pada pukul sembilan pagi.

   Para prajuritnya menunjukkan kantornya kepadaku, dan kulihat ternyata ia baru saja bangun.

   Ia tampak malu karena aku tiba-tiba muncul di kantornya dan melihatnya sedang berusaha mengenakan sepatu dan kaus kaki.

   Aku mencoba meyakinkannya bahwa bagiku tidak masalah melihatnya dalam keadaan seperti itu.

   Bukan hanya karena aku seorang dokter, tapi aku juga telah menikah dan berbahagia dengan pernikahanku.

   Aku mengeluarkan dari dompetku selembar foto suamiku, Francis, yang berpose bersama kucing betina kesayangannya yang berbulu hitam-putih, Me-owie.

   Para serdadu sang Mayor melihat foto itu dari dekat, lantas menyatakan kekagumannya akan kecantikan si kucing Meowie dan keramahan yang terpancar dari wajah suamiku.

   Mereka lantas mengungkapkan keprihatinan karena aku belum mempunyai anak, sehingga suamiku yang malang hanya ditemani si kucing, sementara aku pergi jauh.

   Mereka bahkan menyarankan Francis untuk mencari seorang istri Suriah yang dapat memberinya banyak anak.

   Aku merasa saran mereka itu sama sekali tak dapat kuterima.

   Tapi kuduga, mereka hanya ingin mengakhiri kunjunganku.

   Para perwira intelijen Suriah pertama-tama menuju kamp Bourj elBrajneh untuk mengawal para sukarelawan asing ke kamp Mar Elias.

   Kemudian, kami menuju kamp Shatila untuk menanyakan Chris Giannou, apakah ia mau ikut pergi atau tidak.

   Pada malam sebelumnya, aku telah mengirim pesan kepada Chris untuk memintanya mengepak barang dan bersiap-siap seandainya ia mau pulang ke Kanada.

   Mayor Walid menghentikan mobilnya di pos pemeriksaan kamp dan memberitahuku lewat penerjemahnya untuk pergi dan menjemput Chris.

   Aku menemukannya sedang berada di dapur rumah sakit.

   Kukatakan kepadanya bahwa Mayor Walid sedang menunggu di pos pemeriksaan untuk mengawalnya ke Kedutaan Inggris.

   Chris menolak mentah-mentah.

   "Dengar,"

   Katanya.

   "aku tidak bisa pergi begitu saja. Banyak sekali hal yang harus kulakukan. Selain itu, jika aku pergi sekarang, akan berdampak buruk terhadap mental penduduk kamp. Aku akan coba berbicara dengan ibuku dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."

   "Baiklah, Chris,"

   Jawabku.

   "aku harus bilang bahwa aku bangga sekali dengan rasa tanggung jawabmu, tapi setidaknya maukah kamu keluar sebentar dan berterima kasih kepada Mayor Walid yang telah datang jauh-jauh untuk menjemputmu? Kalau tidak, aku akan terlihat bodoh di hadapannya."

   Lantas, ia keluar bersamaku dan kami menuju pos pemeriksaan.

   Ia berbicara kepada Mayor Walid dalam bahasa Arab, sebelum akhirnya kembali ke kamp.

   Mayor Walid tampak tidak terlalu senang dengan penolakan Chris terhadap tawaran bantuannya.

   Namun, pandanganku sekilas kepada Chris Giannou seiring kami pergi meninggalkan tempat itu, dengan tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit dan berlapiskan sehelai selimut tua yang compang-camping, berjalan kembali dengan bangganya ke kamp Shatila pada pagi hari tanggal 13 April, akan selalu terekam dalam ingatanku.

   Pada hari Minggu Paskah, aku membujuk Oyvind untuk mengambil cuti sehari dan pergi ke pegunungan.

   Aku ingin sendirian di flat NORWAC untuk membaca Injil, untuk berdoa dan berterima kasih kepada Tuhan karena telah memulangkan Pauline serta timnya, sesudah mendengar berita dari BBC World Service bahwa mereka telah tiba dengan selamat di Inggris.

   Aku membuka bagian Surat Paulus kepada Jemaat di Roma.

   Aku membaca.

   "Tetapi dalam semuanya itu, kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita" (Roma 8. 37-39). Selama bertahun-tahun, aku telah banyak melihat kehancuran dan kematian, tapi aku telah melihat begitu banyak cinta dan kesetiaan yang membuatku yakin bahwa Tuhan ada. Setelah perenunganku usai, Tuhan mengirimkan kepadaku seorang pengunjung yang luar biasa, dr. Said Dajani. Aku pertama kali bertemu dengannya pada 1982 dan selalu menghormatinya. Ia mendirikan sekolah keperawatan PRCS di Lebanon dan merupakan Direktur medis para dokter PRCS di Lebanon selama bertahun-tahun. Ia telah mengajar di berbagai sekolah kedokteran di Lebanon, dan banyak dari mereka yang pernah diajarnya kini menjadi spesialis yang terkenal. Ia hampir berusia delapan puluh tahun dan seluruh rambutnya telah memutih, tetapi wajahnya masih menyiratkan ketangguhan seorang anak muda. Kami mengobrol selama berjam-jam dan pria tua yang malang itu menangis. Empat setengah tahun terakhir yang penuh penderitaan ini sudah cukup baginya. Sekolah keperawatan PRCS miliknya telah ditutup, dibuka, dan ditutup lagi beberapa kali. Saat ini, sekolah itu ditutup kembali. Istrinya terserang kanker payudara dan lututnya terserang arthritis. Akan tetapi, ia mengatakan suatu hal yang luar biasa.

   "Tebersit di pikiranku bahwa entah bagaimana caranya, aku akan meninggal di Palestina jadi aku tidak mungkin mati di sini."

   Kemudian, ia berbicara tentang Palestina dengan antusias.

   Akan menyenangkan sekali jika dr.

   Dajani dapat kembali ke Palestina dan kami semua mengunjunginya di sana! Aku menatap wajah sang dokter Palestina yang lembut dan baik hati ini, dan memikirkan penderitaan dan kesedihan yang dialaminya selama bertahun-tahun.

   Meskipun begitu, tidak ada kebencian ataupun permusuhan hanya keyakinan dan seulas senyum cerah yang tersungging di wajahnya ketika ia berbicara tentang Palestina.

   Ia menceritakan kepadaku tiga pertempuran yang pernah ia menangkan dalam hidupnya.

   Pertempurannya yang pertama bukan berkenaan dengan masalah Palestina, tetapi untuk berhenti merokok.

   Ia dulu terbiasa merokok sembilan puluh batang sehari.

   Ia harus berjuang keras untuk melawan keinginannya itu, tetapi ia menang dan akhirnya berhenti merokok.

   Lalu, ia menuturkan sebuah kisah yang menggugah.

   Pada 1947, dr.

   Dajani sedang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk menghadiri konferensi para dokter sebagai Direktur medis Palestine Medical Services.

   Saat singgah di Paris, ia mendengar kabar tentang diputuskannya pemisahan negara Palestina dan ia tahu akan terjadi masalah besar di negerinya.

   Ia tahu, ia bisa saja melanjutkan perjalanannya ke Amerika Serikat dan melupakan Palestina atau kembali.

   Saat itu, terjadi pertempuran hebat dalam dirinya sebuah suara berkata.

   "Dajani, kamu pengecut, kabur sajalah."

   Suara lain menyahut.

   "Tidak, kamu bukan pengecut, kamu harus kembali."

   Akhirnya, ia kembali ke Jaffa untuk memimpin layanan medis selama masa-masa sulit tersebut.

   Kemudian, pada 1983, Kedutaan Amerika di Beirut Barat dibom.

   Amerika membalasnya dengan menyerang dan mengebom Beirut Barat.

   Pada saat itu, keadaan sangat buruk, dan teman-teman dari Australia, Denmark, serta Spanyol menawarinya untuk keluar dari negara itu.

   Namun, akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal.

   "Lari?"

   Tanyanya pada diri sendiri.

   "Tidak, aku bukan pengecut."

   Jadi, ia tetap tinggal.

   Kemudian, meletuslah perang dan masa-masa penuh teror pasukan Amal terhadap warga Palestina.

   Ia tetap tinggal.

   Kini, dengan antusias ia berbicara tentang pembukaan kembali Sekolah Keperawatan yang telah ditutup selama peperangan di kamp.

   Aku merasa bangga bertemu dengan seorang rekan senior yang memiliki keberanian serta kekuatan moral yang hebat.

   Dr.

   Dajani menceritakan kepadaku ketika ia sedang mendirikan pusat layanan medis di Kota Sour di Lebanon Selatan, sebuah kawasan dengan tingkat kemiskinan tertinggi.

   Pada suatu hari, ia melewati sebuah rumah dan mendengar anak-anak menangis.

   Ia mendorong pintu rumah itu hingga terbuka.

   Kedua orangtuanya terlalu malu untuk mengatakan kepadanya mengapa anak-anak itu menangis, namun terlihat jelas bahwa mereka kelaparan.

   Sehingga, Said Dajani pergi ke luar, mengambil roti, keju, dan buah zaitun dan memberikannya kepada anak-anak itu.

   Anak-anak itu kemudian mulai tertawa dan bermain-main, tetapi sang dokter dan orangtua mereka menangis.

   Sebelum Rumah Sakit Sour selesai dibangun, ia biasa melewatkan malam dengan tidur di atas pasir.

   Pada suatu pagi, ia terbangun dan menemukan bahwa seseorang telah menyelimutinya dengan sehelai selimut usang.

   Ia merasa sangat berterima kasih, tapi tak pernah menemukan orang yang melakukannya.

   Kisah semacam ini biasa terjadi di Lebanon sebuah tempat yang dilimpahi kebajikan dan kedermawanan para penduduknya, di tengah-tengah kemiskinan dan peperangan.

   Lalu, aku memberitahunya tentang semua masalah yang kuhadapi tatkala hendak mengajukan permohonan visa.

   Ia sangat kesal dan berkata.

   "Mereka menolakmu memberikan visa karena tidak ingin kamu membantu warga Palestina. Apakah membantu orang-orang Palestina itu suatu kejahatan? Bagaimana orang-orang bisa menjadi sekejam itu?"

   Namun, aku mengatakan kepadanya untuk tidak usah khawatir, mereka harus berusaha lebih keras sebelum dapat mencegahku menjadi kawan orang-orang Palestina.

   Ia tertawa, mengucapkan salam perpisahan, dan mendoakan kami semua agar selalu dalam kebaikan.[] Dua Puluh Delapan Hari-hari berikutnya menjadi sangat sibuk dan semrawut.

   Untunglah dr.

   Alberto Gregori yang berkebangsaan Italia itu mau bekerja untuk MAP sebagai dokter bedah sukarelawan di Rumah Sakit Haifa sementara aku berkeliling melakukan tugas-tugas lainnya.

   Alberto adalah orang yang hebat dan dicintai penduduk kamp.

   Mereka menjulukinya "Abu Garfil"

   Seperti nama boneka kucingnya, Garfield.

   Tak lama kemudian, penampilannya terlihat seperti orang Palestina dan ia memang distop di pos pemeriksaan untuk ditanya-tanyai karena pasukan intelijen Suriah mengiranya sebagai warga Palestina yang menyamar menjadi dokter Italia.

   Seorang rekannya di MAP, seorang ahli anestesi Australia bernama dr.

   Murray Luddington, pergi ke kamp Shatila.

   Akhirnya, Murray terkena "virus"

   Palestina.

   Beberapa hari setelah memasuki kamp, ia menulis surat pengunduran diri permanen kepada rumah sakit pemerintah Inggris sebelumnya, pihak rumah sakit masih membuka kesempatan baginya untuk kembali bekerja di sana.

   Ia meminta pihak rumah sakit untuk mencari ahli anestesi lain karena ia telah memilih tinggal bersama para warga Palestina di kamp Shatila.

   Tak lama kemudian, penampilannya jadi lebih kumuh daripada para penduduk kamp, sampai-sampai mereka harus memberinya pakaian yang pantas.

   Bahasa Arabnya meningkat pesat, dan tak lama kemudian, ia dapat berdebat dengan koki rumah sakit dan menjawab pertanyaan pasukan Amal di pos perbatasan dengan kata-kata yang tidak terlalu sopan.

   Ia tidak pernah dikira sebagai orang Palestina, tetapi jenggotnya yang lebat membuatnya hampir saja ditawan oleh para tentara itu.

   Pada saat itu, hanya kelompok Hizbullah Syi'ah Lebanon yang memelihara jenggot dan pasukan Suriah maupun Amal tidak bisa akur dengan pasukan Hizbullah.

   Tak lama kemudian, Alberto harus pergi, dan aku harus mengambil alih posisinya sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Haifa.

   Alangkah senangnya jika aku dapat tinggal di Rumah Sakit Haifa untuk bekerja sepantasnya sebagai seorang dokter bedah.

   Namun, pada saat itu, orang-orang Palestina membutuhkan lebih dari sekadar seorang dokter bedah.

   Mereka memerlukan seseorang untuk mengurusi segala sesuatu dan mengelola pasokan peralatan rumah sakit, merundingkan pengiriman bahan bakar dan makanan ke dalam kamp, dan mengungsikan para korban keluar dari kamp ke beberapa negara Eropa untuk mendapatkan perawatan khusus.

   Sebagai pemimpin tim, aku harus melakukan semua itu pada siang hari, sekaligus merangkap menjadi dokter bedah tetap pada malam hari.

   Hal ini penting karena pada malam hari masih banyak orang yang terluka dan memerlukan operasi bedah.

   Karena penyerangan masih berlanjut, mereka tak dapat dipindahkan ke luar kamp untuk mendapatkan perawatan.

   Tidak selalu mudah bagiku melewatkan malam di kamp, setelah pada siang hari pontang-panting disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah sakit.

   Baik saat akan tidur di Rumah Sakit Haifa atau di klinik yang terletak di pojok seberang kamp, biasanya aku mengobrol hingga tengah malam atau sibuk meladeni orang-orang yang ingin menyampaikan berbagai keluhan yang tidak selalu bersifat medis.

   Suasana di dalam kamp masih terasa tegang.

   Aku sering terlonjak ketika mendengar pintu dibanting, menyangka ada sebuah ledakan.

   Suatu peristiwa sederhana, seperti seruan dari pengeras suara masjid Bourj elBrajneh yang meminta sumbangan donor darah, membuatku bergegas keluar dari klinik, menaiki tanjakan, menuju Rumah Sakit Haifa karena mengira telah terjadi pertempuran, dan para korban membutuhkan pertolongan.

   Biasanya, seruan semacam itu adalah pengumuman untuk permintaan donor darah, dan bukan seruan darurat.

   Sikapku yang tegang dan gelisah itu benar-benar tak beralasan karena para dokter PRCS luar biasa cekatan.

   Mereka telah berhasil bekerja selama pengepungan kamp dan telah menyelamatkan banyak sekali nyawa, dan apa pun yang bisa kukerjakan, mereka bisa mengerjakannya lebih baik.

   Suatu hari, pada pukul empat pagi, Ahmed Diep, ahli anestesi, dengan panik menggedor pintu klinik.

   "Doctora Swee!"

   Teriaknya.

   "Ada operasi bedah perut mendesak di Rumah Sakit Haifa!"

   Kami berlari menuju rumah sakit melewati tanjakan yang bergelombang, melalui lorong-lorong kamp yang berliku-liku, meloncati puing-puing, pipa-pipa air, dan beberapa kubangan air.

   Di dalam ruang UGD Rumah Sakit Haifa, terbaring seorang pemuda yang telah menembak perutnya sendiri.

   Para dokter PRCS sudah berusaha menyadarkannya, memberikan infus darah untuknya.

   Nuha, perawat bangsal operasi, telah siap untuk melakukan operasi bedah mayor abdomen.

   Dr.

   Nassir, dokter bedah tetap yang bertugas pada malam itu, sudah berganti baju dan bersiap-siap di bangsal.

   Mereka memanggilku karena beberapa luka tembakan tersebut bisa jadi sangat parah dan akan lebih baik apabila ada seorang dokter bedah senior yang siap membantu.

   Dr.

   Nassirlah yang lebih berperan dalam operasi tersebut, aku hanya membantunya.

   Peluru itu, seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, menembus bagian depan abdomen, mengenai dua usus kecil pada dua tempat yang berbeda, bagian tepi liver, usus besar di tiga tempat berbeda, dan menembus ke luar tulang pelvis bagian belakang.

   Ahmed Diep memberikan pembiusan yang sempurna, dan baik Nuha maupun dr.

   Nassir melakukan operasi yang sangat sukses.

   Satu-satunya kesalahan ada padaku.

   Aku memutuskan mencoba untuk tidak melakukan de-functioning colostomy suatu prosedur yang dianggap perlu oleh kebanyakan dokter bedah dalam keadaan semacam ini.

   Prosedur itu dilakukan dengan mengeluarkan dari tubuh sebagian usus besar pada suatu titik yang tidak terkena luka dan membuat sebuah lubang, sehingga seluruh isi usus dapat dibuang melalui lubang tersebut.

   Dengan cara ini, tidak ada kotoran yang keluar melalui bagian perut yang terluka sehingga mengurangi risiko terjadinya kontaminasi selama proses pemulihan.

   Aku mengambil risiko yang tidak perlu, dan bahkan memberitahukan dr.

   Nassir bahwa kemungkinan paling buruk, pasien tersebut hanya akan mengalami fecal fistula (atau pembuangan abnormal) melalui luka tembak keluar (exit wound), dan kami akan menanggulangi persoalan itu jika memang terjadi.

   Ternyata, si pasien memang mengalami hal tersebut, dan harus menjalani operasi kedua untuk defunc-tioning colostomy dan re seksi fecal fistula.

   Syukurlah pasien itu selamat.

   Menjelang berakhirnya operasi pertama, Nuha menyodorkan pisau bedah kepadaku karena mengira aku akan melakukan colostomy.

   Ia hampir saja menjatuhkan pisau bedah itu ke lantai ketika aku berkata.

   "Mungkin operasi ini akan berhasil, Nuha. Kita coba saja."

   Sekarang, aku merasa malu mengingat kata-kata dokter bedah yang pertama kali mengajariku cara membedah.

   "Hal yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi masalah dan menghindarinya. Jangan sengaja membuat masalah, lalu mencoba memecahkannya."

   Selama beberapa bulan kemudian, Nuha masih tertawa setiap kali kami membicarakan hal itu.

   Oleh karena semua kamp masih dikepung, setiap barang keperluan rumah sakit yang dibawa masuk ke dalam kamp harus melalui negosiasi khusus dan mendapatkan izin tertulis dari Pasukan Intelijen Suriah, yang selanjutnya harus memberitahukan pasukan Amal bahwa mereka telah mengizinkan barang-barang tersebut.

   Keadaan menjadi sangat, sangat susah.

   Misalnya saja, hanya demi mendapatkan izin meninggalkan kamp Shatila untuk seorang dokter Palestina yang ingin mengunjungi ayahnya di sebuah rumah sakit di Beirut Barat, aku harus bolak-balik lima kali ke kantor pasukan intelijen Suriah itu.

   Dalam setiap kunjungan, aku harus menunggu selama tiga atau empat jam, sering kali di bawah terik matahari, terkadang sampai hari berganti malam.

   Birokrasinya benar-benar bertele-tele.

   Para warga Palestina tidak membutuhkan keterampilan medisku karena PRCS memiliki banyak dokter dan perawat yang terlatih.

   Pada masa puncak perang kamp, sebanyak enam puluh dokter dan perawat PRCS terperangkap di dalam kamp.

   Ini tidak mengejutkan, mengingat bahwa sebelum 1982, PRCS memberikan layanan medis berdasarkan permintaan di Beirut Barat dan di seluruh kawasan Lebanon bagian selatan.

   Kini, pada masa gencatan senjata, yang dibutuhkan berbagai rumah sakit di kamp adalah persediaan obat-obatan, oksigen, ni-tro-oksida, dan peralatan bedah, serta persiapan persediaan berbagai kebutuhan, kalau-kalau terjadi lagi serangan ke kamp.

   Seseorang harus melewati pos pemeriksaan dengan membawa berbagai barang kebutuhan tersebut.

   Hanya orang Palestina yang dapat membujukku seorang dokter bedah Inggris yang terlatih untuk bersedia bertugas sebagai sopir truk dan menunggu berjam-jam di kantor intelijen Suriah untuk mendapatkan izin membawa barang-barang tersebut ke dalam kamp.

   Pertama kali aku berusaha mendapatkan izin untuk membawa sebuah mobil ambulans berisi obat-obatan ke dalam kamp, aku membutuhkan waktu yang sangat lama.

   Izin tersebut harus didapatkan dari Intelijen Suriah sehingga birokrasinya berputar-putar.

   Setelah permohonan tersebut dicatat, hari-hari berlalu tanpa jawaban.

   Aku mengancam akan pulang ke Inggris dengan membawa semua obat-obatan tersebut sekaligus mengumumkan kepada masyarakat Inggris bahwa pemerintah Suriah mencegah upaya pengiriman bantuan obat-obatan ke dalam kamp.

   Mereka menjadi sangat marah padaku, tetapi akhirnya sikap mereka melunak.

   Sebanyak empat ton obat-obatan yang disumbangkan oleh warga Inggris, sedikit demi sedikit mengalir ke dalam kamp.

   Para warga Palestina di kamp Bourj elBrajneh membetulkan sebuah mobil ambulans tua yang bobrok untuk kubawa mengambil pasokan makanan, obat-obatan, kabel listrik, selimut, parafin, perabotan rumah tangga dan bahkan pernah sebuah peti mati untuk dibawa masuk atau keluar kamp.

   Tatkala kupikir-pikir lagi, aku merasa ngeri membayangkan komentar rekan-rekanku sesama dokter di Inggris tentang diriku, seorang Fellow of the Royal College of Surgeons of England, turun pangkat menjadi sopir ambulans tidak, lebih parah lagi, sopir truk.Aku senang sekali menjadi sopir truk, tapi dalam masyarakat Inggris yang memerhatikan kelas-kelas sosial, profesi dokter disegani, sedangkan sopir truk tidak.

   Bahkan, aku pun bukan seorang sopir truk yang andal, karena aku dilahirkan dengan kepekaan-arah yang rendah.

   Sering kali aku menyetir ke arah timur, padahal sebenarnya aku hendak pergi ke arah barat, dan di Lebanon hal itu bisa jadi sangat berbahaya.

   Suatu hari, aku mengambil jalan yang salah, menyusuri jalan pesisir pantai.

   Barulah belakangan kusadari bahwa aku berada di perlintasan nonsipil Garis Hijau.

   Kawasan ini dikenal sebagai "Perlintasan Museum"

   Dan hanya kendaraan-kendaraan yang mendapatkan izin khusus dari pasukan militer yang dapat melaluinya.

   Tentu saja aku ditahan di pos pemeriksaan dan diinterogasi.

   Beberapa saat kemudian, para tentara itu merasa yakin bahwa aku memang benar-benar tersesat.

   Salah seorang dari mereka melompat masuk ke dalam ambulans dan mengarahkanku kembali ke tempat yang ingin kutuju.

   Sejak saat itu, aku berusaha selalu membawa kompas ke mana pun aku bepergian.

   Mengendarai sebuah mobil baru di Beirut Barat bukanlah hal yang mudah.

   Mengemudikan mobil ambulans yang tua dan bobrok tanpa lampu sein, atau spion, serta persneling yang hampir copot, benar-benar sebuah tantangan.

   Kaca mobil sudah lenyap entah ke mana, tetapi ajaibnya, alat pembersih kaca (wiper) masih berfungsi dan akan bekerja setiap kali ada guncangan sekecil apa pun.

   Pertama kali aku membawa ambulans itu keluar dari kamp Bourj elBrajneh, para tentara Suriah di pos pemeriksaan tercengang melihat "barang"

   Ini melaju keluar dari kamp dan mereka berlari menghampirinya.

   Mereka tidak melihat ada seorang sopir di dalamnya.

   Aku begitu kecil sehingga mereka tak dapat melihatku, dan mengira bahwa barang rongsokan itu berjalan sendiri! Ada hal lain lagi yang membuatku kesulitan mengmudikan ambulans itu.

   Orang-orang Inggris terbiasa berkendaraan di sebelah kiri jalan.

   Di Beirut, Anda harus berkendaraan di sebelah kanan tapi pada kenyataannya, Anda dapat melaju di mana pun semau Anda.

   Ketika Anda mendekati sebuah persimpangan, jangan berhenti.

   Bisa-bisa Anda menunggu seharian untuk dapat melintasinya.

   Terus saja mengemudi sambil berharap semoga kendaraan-kendaraan lainlah yang berhenti.

   Ini semacam tes ketahanan saraf.

   Tidak ada prinsip-prinsip mengemudi yang baik yang diajarkan di Sekolah Mengemudi Inggris dapat diterapkan di sini.

   Jika lampu menyala merah, Anda harus tancap gas dan melintasinya dengan cepat.

   Jika tidak, sopir di belakang Anda akan berang.

   Para pejalan kaki biasa menyeberangi jalan semaunya dan sering kali menyeberang begitu saja di depan mobil-mobil.

   Aku biasanya berhenti di pos pemeriksaan Suriah dan menunjukkan kepada seorang perwira intelijen surat izin mengemudi ambulans yang ditandatangani Mayor Walid Hassanato, yang isinya seperti ini.

   "Doctora Swee diizinkan mengemudikan ambulans keluar dari kamp dan masuk kembali dengan membawa lima tabung oksigen dan lima tabung nitro-oksida serta tiga puluh kotak obat-obatan untuk Rumah Sakit Haifa. Ia dan mobil ambulans tersebut harus diperiksa secara saksama ketika keluar dan masuk kamp. Tanggal ..."

   Surat izin tersebut hanya berlaku untuk satu kali perjalanan, dan aku harus mengajukan permohonan surat izin baru setiap kali melakukan perjalanan mengambil berbagai kebutuhan rumah sakit.

   Setelah perwira intelijen itu yakin bahwa surat izinku tersebut asli, ia akan mengizinkan aku keluar kamp.

   Para tentara Suriah biasanya berjalan ke arah jalan utama yang menuju bandara dan menghentikan lalu lintas di sekitarnya, sehingga aku dapat langsung melintasi jalan utama tersebut tanpa menabrak kendaraan lainnya.

   Kurasa, mereka tidak mempercayai kemampuan menyetirku maupun kelayakan mobil rongsokan ini.

   Jika aku melaju ke arah utara melalui jalan utama bandara, setelah beberapa belokan, aku akan segera tiba di Kola, jalan layang dekat Arab University.

   Itu kalau mobil ambulans itu tidak terperosok ke lubang jalan bekas terkena bom dan bannya terjebak di dalamnya.

   Biasanya, seseorang yang baik hati akan membantuku mengeluarkan ambulans dari lubang itu.

   Dalam perjalanan, aku biasa melewati Rumah Sakit Akka, Stadion Olahraga, jalan masuk kamp Shatila yang bernama Fakhani, dan beberapa pos pemeriksaan.

   Selain berhenti di tiap pos pemeriksaan untuk menunjukkan kartu identitasku, aku juga berhenti untuk merawat para pasien, memeriksa mereka dan memberi resep obat, atau menulis surat pengantar untuk ditunjukkan pada klinik PRCS di kamp Mar Elias.

   Para tentara Amal, tentara Suriah, dan semua orang yang melintas di jalan raya di daerah pinggiran Beirut bagian selatan dengan segera mengetahui bahwa sopir yang mengemudikan mobil ambulans tua ini juga adalah seorang dokter.

   Mereka tahu bahwa aku akan berhenti di berbagai pos pemeriksaan untuk memeriksa orang-orang yang terserang penyakit kulit, batuk dan pilek, diare dan muntah, nyeri dan ngilu.

   Mobil ambulans itu selalu membawa banyak persediaan "obat-obatan untuk pos pemeriksaan", dan terkadang aku akan melakukan perjalanan tambahan dan saat kembali, biasanya aku mendapat lebih banyak lagi permintaan untuk pemeriksaan.

   (Untuk menuju kamp Shatila, misalnya, aku harus melalui semua pos pemeriksaan Amal.

   Ini berarti aku bisa saja harus menemui keluarga para tentara Amal di sepanjang perjalananku.

   Awalnya, para tentara Amal menghentikan mobilku dan mengancamku dengan mesin peluncur roket mereka, tapi sesaat kemudian mereka membawa anak-anak atau istri-istri mereka untuk kuperiksa.

   Lalu, pasukan Suriah juga melakukan hal yang sama.) Jika cuacanya tidak terlalu panas, aku mengenakan sehelai kerudung ala Hizbullah yang lebar di sekujur kepalaku.

   Ini menjadi tanda bagi setiap orang bahwa aku seorang yang beriman kepada Tuhan, dan bukan orang asing yang menyukai per -gaulan bebas.

   Ini membuat para pria berhenti menanyakan namaku, dan apakah aku sudah menikah atau sedang mencari pacar.

   Tak seorang pun berani menatapku.

   Jalan raya yang membentang dari Kola ke kamp Mar Elias selalu mengalami kemacetan.

   Jadi, untuk menghemat waktu, aku mengambil jalan-jalan tikus di sisi jalan yang salah.

   Jika seorang tentara menghentikan mobilku karena menyetir di jalur yang salah, aku cukup berkata.

   "Maa arif, ana ajnabiya." (Saya tidak tahu, saya orang asing di sini.) Kamp Mar Elias menjadi semacam markas besar bagiku karena empat ton obat-obatan dan peralatan bedah disimpan di gudang PRCS di sana. Mobil ambulansku berukuran kecil dan Mayor Walid tak pernah mengizinkanku untuk memuati banyak barang di dalamnya. Pengepungan masih berlangsung dan pasukan Amal setiap kalinya hanya membolehkan sedikit obat-obatan dibawa masuk ke dalam kamp. Mereka sebenarnya sangat jengkel kepada pasukan Suriah yang telah mengizinkanku membawa barang-barang keluar masuk kamp. Sehingga, mereka pernah mengancam akan menembakku saat melintasi wilayah yang dikuasai pasukan Amal. Namun, aku percaya bahwa hidupku ada di tangan Tuhan, dan aku berusaha untuk tidak takut. Aku juga yakin bahwa pasukan Suriah akan bertindak tegas jika aku terbunuh dalam perjalanan atas seizin mereka. Bahkan, saat keamanan di sekitar kamp sangat buruk dan terjadi pertempuran, para bawahan Mayor Walid sering kali mencegahku untuk pergi mendekati kamp. Setelah keadaan membaik, mereka akan memerintahkanku melanjutkan perjalanan. Setelah ambulans terisi dengan persediaan obat-obatan dari kamp Mar Elias, aku akan pergi menuju kamp-kamp lain, baik kamp Shatila maupun Bourj elBrajneh. Terkadang, ketika ambulans membawa tabung oksigen, aku menjadi sangat khawatir, karena sebutir peluru yang menembus tabung tersebut akan membuat seisi mobil meledak. Untungnya, belum pernah seorang pun mencobanya. Di pos pemeriksaan kamp, aku biasanya berhenti, turun, dan menunjukkan surat izinku kepada seorang perwira Suriah. Lalu, setiap kotak obat harus diturunkan dari ambulans, dibuka, dan diperiksa. Pintu-pintu ambulans digedor, roda-roda dan jok kursi juga diperiksa. Para wanita penghuni kamp lantas keluar dan menggotong kotak-kotak obat, kantong-kantong infus, dan peralatan bedah ke rumah sakit. Para wanita Palestina harus menggotong barang-barang ini dengan tangan mereka sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian gencatan senjata dan jumlah barang yang diizinkan. Cara ini sangat tidak efisien untuk melakukan berbagai hal, dan terkadang para wanita itu harus menghabiskan waktu dua sampai tiga jam di pos pemeriksaan. Namun, ini sudah jauh lebih baik daripada kondisi saat pengepungan kamp, dan kami merasa berterima kasih atas segala upaya yang mereka lakukan demi ini semua. Kehidupan di dalam kamp yang tengah dikepung masih memilukan. Sementara Kota Beirut terang benderang pada malam hari dengan lampu-lampu listrik, kamp-kamp pengungsi Palestina masih gelap total. Anak-anak sering kali tersandung ketika melewati puing-puing dan kabel-kabel yang malang melintang di tengah kegelapan sehingga tumit mereka patah. Tidak ada listrik. Bahkan batu baterai dan aki tidak diizinkan dimasukkan ke dalam kamp. Generator-generator listrik di dalam kamp sudah usang dan terlalu sering dipakai sehingga perlahan-lahan harus dipensiunkan, membuat hidup menjadi semakin sulit. Warga Palestina berhasil mendapatkan atau "menyedot"

   Listrik dari rumah-rumah keluarga Amal yang tinggal di dekat kamp.

   Mereka tak pernah memberitahuku bagaimana atau kapan ini dilakukan.

   Namun, aku sering diminta untuk membawakan sekian meter kabel ke kamp sehingga mereka dapat mengalirkan listrik dari bangunan-bangunan milik Amal ke klinik-klinik serta rumah sakit-rumah sakit.

   Aku pernah mendapat kesulitan karena masalah listrik ini.

   Ada pertukaran pasukan Suriah, dan Alberto membawa letnan yang baru datang untuk melihat-lihat keadaan Rumah Sakit Haifa.

   Sebagai orang baru, ia terperangah melihat keadaan di kamp yang sangat parah dan menanyakan jika ia dapat melakukan sesuatu untuk membantu kami.

   Pengelola rumah sakit menanyakan apakah generator mereka dapat diangkut ke luar kamp untuk diperbaiki.

   Dengan adanya listrik, rumah sakit setidaknya memiliki penerangan dan orang-orang di sana dapat membersihkan dinding-dindingnya.

   Sang letnan Suriah menjawab bahwa ia tak dapat mengizinkannya.

   Namun, tiba-tiba ia memiliki ide cemerlang untuk membolehkan Rumah Sakit Haifa "menyedot"

   Listrik dari markas Suriah yang jaraknya sekitar setengah kilometer.

   Aku diminta untuk mendapatkan satu kilometer kabel campuran yang terdiri dari empat kabel individual, berdiameter dua puluh lima sentimeter, untuk dipergunakan pihak rumah sakit menyedot listrik dari markas Suriah.

   Namun, saat kami tengah menjalankan rencana ini, Mayor Walid kembali dari Damaskus dan menghentikan upaya kami ini.

   Kami semua dikumpulkan dan harus menghadapi amarahnya.

   Rumah Sakit Haifa masih berada dalam kegelapan untuk beberapa waktu lamanya.

   Amarah sang Mayor membuatku khawatir, karena ia bisa dengan mudahnya membatalkan izin mengemudikan mobil ambulans dan pengangkutan obat-obatan ke dalam kamp.

   Sejauh ini, ia telah membolehkanku melakukan banyak hal demi warga Palestina, yang dianggapnya merupakan "tugas kemanusiaan".

   Mayor Walid menanyaiku beberapa kali, apakah aku tengah berusaha membantu para warga Palestina "pro-Arafat".

   Pemerintah Suriah saat itu memusuhi pemimpin PLO, Yasser Arafat.

   Namun, aku mengatakan bahwa aku berada di sini untuk membantu semua warga Palestina.

   Bahkan, aku juga mengatakan kepadanya, jika aku bersedia menolong tentara Amal yang telah menyerang kamp maka jelaslah bahwa tidak mungkin aku bersikap diskriminatif dan berpihak kepada warga Palestina pendukung Arafat.

   Hal itu adalah masalah internal antara Suriah dan Palestina, dan aku tak punya kekuasaan bahkan hak untuk mencampurinya.

   Jawaban itu sangat memuaskan Intelijen Suriah.

   Akhirnya, para perwira Suriah memberikan izin kepada kami untuk membawa keluar generator dari Rumah Sakit Haifa untuk diperbaiki.

   Namun, sebenarnya generator tersebut sudah tak dapat diperbaiki lagi.

   Para perwira Suriah itu tahu bahwa sebenarnya aku mengeluarkan mesin itu untuk membuangnya, dan bahwa aku akan membawa masuk generator yang baru ke dalam kamp.

   Namun, mereka merasa sangat muak terhadapku yang membuntuti mereka sepanjang siang dan malam untuk mendapatkan izin mengeluarkan mesin itu dari kamp.

   Kazim Hassan Badawi, temanku yang menjabat sebagai pengelola PRCS di luar kamp, diminta dr.

   Utsman membantuku mengurusi generator yang rusak tersebut.

   Kazim bertubuh tinggi, berkulit cerah, serta bermata cokelat.

   Ia adalah seorang ahli statistik, tetapi pelayanannya terhadap PRCS sungguh-sungguh hebat.

   Kazim dan aku pertama kali bertemu pada 1985 di Rumah Sakit Haifa ketika jam makan siang.

   Pada saat kami sedang bersantap, tiba-tiba ia mencopot kausnya dan menunjukkan padaku parut di perutnya.

   Alison, yang baru saja tiba di Rumah Sakit Haifa dan tengah menyesuaikan diri, tercengang melihatku yang mencoba memeriksanya sementara mulutku masih penuh makanan.

   Pada 1987, Kazim telah dipindahkan dari Rumah Sakit Haifa untuk bekerja di kamp Mar Elias yang tidak dikepung oleh pasukan musuh.

   Kami pergi pagi-pagi sekali untuk menyewa sebuah forklift yang akan kami gunakan mengeluarkan generator usang tersebut dari Rumah Sakit Haifa.

   Kami lalu kembali dengan membawa generator baru.

   Kami telah menurunkan generator itu dari forklift tersebut dan baru saja akan meninggalkan rumah sakit tatkala seseorang datang dengan membawa pesan bahwa Mayor Walid ingin bertemu dengan kami.

   Kami menuju kantornya yang terletak di pinggiran kamp.

   Tak jauh dari rumah sakit, dua perwira intelijen Suriah menahan kami dan menangkap Kazim.

   Mereka membawanya pergi.

   Kami terlalu senang karena telah berhasil mengganti generator yang lama, sampai-sampai kami lupa bahwa Kazim adalah seorang pria Palestina.

   Amat berbahaya bagi seorang pria Palestina berkeliaran di sekitar kantor pasukan intelijen Suriah.

   Kami tidak menyadari bahwa ini adalah sebuah jebakan.

   Sejak hari itu, aku tak pernah lagi berjumpa dengan Kazim.

   Aku mengetahui dari seorang kawannya bahwa ia dipukuli, dituduh sebagai pendukung Arafat, dan digiring ke penjara di ibu kota Suriah, Damaskus.

   Pada waktu itu, istrinya yang orang Lebanon tengah hamil enam bulan, dan kemudian ia melahirkan anak pertama mereka.

   Peristiwa itu membuatku terguncang, sampai aku benar-benar tak sanggup bekerja selama beberapa hari.

   Tetapi, seorang wanita pengacara Palestina kenalanku mengajakku bicara.

   Ia mengatakan kepadaku bahwa aku harus berhenti memikirkan Kazim dan melanjutkan tugasku memasok berbagai persediaan ke kamp.

   Agak lebih muda daripada Ummu Walid dan berkepribadian sangat kuat, kawanku itu menatapku yang tengah duduk muram dan berkata.

   "Swee, aku tahu bagaimana perasaanmu. Tapi kamu harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Para tentara Suriah itu melakukan hal ini, pertama karena mereka memang menginginkan Kazim, dan kedua karena mereka ingin menekanmu supaya kamu berhenti bekerja untuk rakyat kami. Bekerja dengan kami, orang Palestina, kamu harus bisa menyusut hingga sebesar ini."

   Ia menyatukan jempol dan jari telunjuknya.

   "Dan pada saat-saat tertentu, kamu harus menjadi sebesar ini,"

   Dan ia membentangkan kedua tangannya selebar-lebarnya. Ia memelukku erat-erat, lalu meneruskan.

   "Banyak sekali pekerjaan yang bisa kamu lakukan, dan kamu harus melanjutkan tugas itu."

   Tentu saja ia benar.

   Aku berusaha bangkit kembali dan melanjutkan tugas mengisi ambulans rongsokan dengan makanan dan obat-obatan untuk kamp, membuang jauh-jauh peristiwa mengerikan itu di belakangku.

   Namun, terkadang ketika aku berjalan melewati kantor Kazim di kamp Mar Elias, kata-katanya terngiang-ngiang di telingaku.

   "Bisakah kamu menungguku sampai aku kembali dari kantor Walid Hassanato?"

   Aku pergi ke kantor intelijen militer Suriah beberapa kali untuk meminta penjelasan.

   Tidak ada jawaban.

   Tugas lain yang sebenarnya tidak kusukai adalah mengurus kepergian para korban warga Palestina ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan khusus.

   Pertama, hanya segelintir warga Palestina penghuni kamp yang mempunyai dokumen perjalanan, mereka hanya membawa kartu identitas pengungsi bertuliskan nama, tempat, dan tanggal lahir.

   Kartu identitas tersebut harus diserahkan kepada pemerintah Lebanon supaya dibuatkan dokumen perjalanan yang layak.

   Akan tetapi, prosedurnya sangat lama dan rumit, kecuali jika dipercepat dengan cara menyogok para pejabat Lebanon.

   Setelah dokumen perjalanan diperoleh, masalah selanjutnya adalah mendapatkan visa.

   Kebanyakan negara Barat enggan memberi visa kepada para warga Lebanon-Palestina, dan mereka baru akan membuatnya jika ada permintaan dari rumah sakit atau pusat spesialis, bersama-sama dengan jaminan uang.

   Oleh karena sistem pelayanan pos di Lebanon telah hancur, bahkan sebuah surat rekomendasi sederhana pun harus dikirim melalui kurir.

   Ketika visa telah jadi, seseorang aku, misalnya harus mendatangi kantor Intelijen Suriah dengan membawa salinan catatan medis dan fotokopi dokumen perjalanan serta visa.

   Para pejabat di sana akan memastikan bahwa pasien yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan perawatan di luar negeri tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang terlibat kegiatan pro-Arafat.

   Ini akan memakan waktu beberapa hari, dan jika si pasien dinyatakan "bersih", izin tersebut akan diberikan.

   Jika si pasien berasal dari kelompok politik yang berseberangan, aku akan dipanggil menghadap ke kantor Intelijen Suriah dan diberi tahu untuk tidak menolong para pendukung Arafat melarikan diri.

   Sering kali aku akan dilepas begitu saja karena aku orang asing dan hanya tahu sedikit tentang kelompok-kelompok politik di Palestina.

   Terkadang, sang pejabat intelijen Suriah akan terheran-heran terhadap ketidak tahuanku sehingga ia akan berkata.

   "Dengar, Doctora Swee, kami semua ingin memudahkan upaya Anda menolong para korban. Tapi kami melihat bahwa Anda sedang dimanfaatkan oleh para pendukung Arafat, dan itu sangat buruk."

   Aku biasanya mendengarkan ceramah panjang itu dengan penuh perhatian, melalui penerjemahku yang merangkap sopir, lalu akhirnya meminta maaf sedalam-dalamnya karena telah bersikap naif.

   Kadang-kadang, setelah ceramah yang berkepanjangan itu, para perwira Suriah bersedia memberikan izin bahkan bagi para pendukung Arafat untuk meninggalkan kamp.

   Misalnya, Mayor Walid pernah mengizinkan empat orang yang telah diamputasi kakinya untuk keluar dari kamp Bourj elBrajneh dan mendapatkan perawatan di Eropa.

   Ia menjelaskan bahwa walaupun mereka itu pendukung Arafat, mereka bukanlah ancaman terhadap keamanan di sini, karena mereka tak punya kaki.

   Atas alasan kemanusiaan, ia memperbolehkan mereka pergi.

   Setelah menerima izin tertulis dari pihak intelijen, kami harus mengurus tiket pesawat.

   Para keluarga pasien diberi tahu, lalu kami melapor kepada Palang Merah Internasional supaya mengirim salah satu utusan ke kamp dan mengangkut si pasien untuk dibawa ke bandara.

   Barulah ketika pesawat lepas landas, aku dapat meyakinkan diriku bahwa para pasienku telah berangkat dengan selamat, karena selalu terdapat kemungkinan mereka diculik atau ditawan di salah satu pos pemeriksaan di sepanjang jalan menuju bandara.

   Barulah setelah pesawat MEA pergi, aku bisa mengembuskan napas lega dan kembali ke kamp, ditemani para kerabat yang meratapi kepergian para pasien tersebut.

   Sisa anggota keluarga yang masih berada di sini biasanya tidak punya dokumen perjalanan maupun visa, apalagi uang untuk membiayai mereka mendampingi si pasien ke luar negeri.

   Sering kali terpikir olehku bahwa mereka tak akan bertemu satu sama lain dalam waktu yang lama.

   Bilal Chebib dan Samir Ibrahim al-Madany adalah dua anak laki-laki yang cacat akibat terkena tembakan penembak jitu pada Desember 1986.

   Bilal berasal dari Bourj elBrajneh dan merupakan pasien dr.

   Pauline Cutting.

   Samir berkebangsaan Lebanon.

   MAP menerapkan kebijakan untuk tidak memihak kelompok mana pun dan berusaha menolong baik orang-orang Palestina maupun Lebanon secara adil, jika memungkinkan.

   Pusat Penelitian Tulang Belakang di Rumah Sakit Stoke Mandeville di Inggris menawarkan diri untuk merawat kedua anak ini.

   Pauline menghubungiku dari London pada akhir April 1987 dan memintaku untuk mengirim bocah-bocah itu karena segala persiapan di Inggris telah rampung dikerjakan untuk menerima kedatangan mereka.

   Namun, meskipun aku telah berusaha mempercepat proses di Beirut, aku dan anak-anak itu tak dapat berangkat sebelum 4 Juni 1987.

   Walaupun kedua anak itu berumur di bawah sepuluh tahun, aku masih harus melalui semua prosedur birokratis yang sama.

   Oleh karena mereka berdua lumpuh dari pinggul ke bawah, aku harus terbang ke Inggris bersama mereka.

   Kami semua dijadwalkan pergi pada 2 Juni.

   Akan tetapi, Bandara Internasional Beirut ditutup pada hari itu gara-gara terjadi pembunuhan Perdana Menteri Lebanon, Rashid Karami.

   Kantor MAP kami di London mengirimiku sebuah pesan teleks yang panjang yang mengeluhkan kerepotan yang kutimbulkan akibat tertundanya keberangkatan kami.

   Ketika menerima pesan tersebut, aku merobek-robeknya karena frustrasi.

   Setelah terjadinya pembunuhan terhadap Rashid Karami, kemungkinan akan pecah lagi perang sipil.

   Setiap orang di sini bersikap waspada, termasuk para tentara Suriah.

   Tentunya aku tak dapat berbuat apa-apa karena bandara ditutup.

   Untunglah situasi membaik setelah empat puluh delapan jam, dan aku pergi bersama anak-anak itu pada 4 Juni.

   Aku harus mengendarai mobil ambulans rongsokan itu sambil membawa bocah-bocah tersebut serta kursi roda mereka ke Bandara Internasional Beirut.

   Kami tiba di Bandara Heathrow pada malam hari, dan aku merasa lega karena dapat menyerahkan kedua anak itu ke tangan Pauline.

   Aku kembali ke Beirut sekali lagi.

   Musim panas telah berlalu dan kamp masih tetap setengah diduduki.

   Para pria Palestina di dalam kamp masih tidak diperbolehkan meninggalkan kamp tanpa izin khusus.

   Jika berada di luar, mereka tak dapat kembali tanpa mendapatkan izin khusus.

   Para pejabat PCRS diancam dan diusik.

   Suatu hari, enam orang pria bersenjata berpakaian sipil memasuki kantor Ummu Walid di Rumah Sakit Akka.

   Mereka mengunci pintu dan mengancamnya dengan senjata mereka.

   Salah seorang dari mereka berkata.

   "Ummu Walid, kami mengenal Anda, Anda adalah pendukung Arafat."

   Di dalam kantornya tergantung sebuah foto besar bergambar besar Yasser Arafat mungkin satu-satunya foto yang terpampang terang-terangan di Beirut. Ia menjawab.

   "Aku orang Palestina. Jika aku tidak mendukung Arafat, lantas siapa yang memimpin PLO, siapa lagi yang dapat kudukung? Kalian semua orang Suriah kalian mendukung Presiden kalian, Hafiz al-Assad. Jika kalian bersedia mendukung Arafat, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mendukung Presiden kalian."

   Para pria bersenjata itu kemudian meninggalkannya.

   Beberapa minggu kemudian, ia ditawan dan alat-alat kantornya disita.

   Oleh karena ia adalah Ketua PRCS Lebanon, mereka tak dapat menyiksanya secara fisik.

   Akan tetapi, mereka menciduk dr.

   Amir Hamawi dokter Lebanon yang kami cintai, yang pernah mengampu Rumah Sakit Gaza.

   Mereka membawanya dan meninju kedua matanya.

   Namun, Ummu Walid bergeming dan mengatakan kepada mereka bahwa seharusnya mereka malu karena menyiksa seorang dokter.

   Ia dibebaskan dan dikembalikan ke kantornya di Rumah Sakit Akka pada keesokan harinya untuk melanjutkan pekerjaannya demi PRCS di Lebanon.

   Penawanannya tidak membuatnya goyah sedikit pun.

   Seiring bulan September semakin dekat, mental penduduk kamp merosot lebih rendah daripada sebelumnya.

   Para warga Palestina di kamp Shatila mulai melakukan demonstrasi menentang pengepungan kamp.

   Pengepungan ini telah berlangsung lebih dari dua tahun, dan orang-orang tak sanggup lagi bertahan.

   Ketika pemerintah Suriah memberlakukan gencatan senjata beberapa bulan sebelumnya, harapan-harapan yang muncul dari benak mereka sangat tinggi.

   Para penduduk kamp mengira dapat menata kembali hidup mereka.

   Tapi tidak.

   Sekolah-sekolah tetap ditutup.

   Pasukan Amal melarang mereka membangun kembali rumah-rumah mereka dan melarang pengangkutan bahan-bahan material ke dalam kamp.

   Dua tahun penyerangan dan pengepungan telah menghancurkan institusi-institusi sosial seperti sekolah bagi anak-anak, pekerjaan bagi para pria dewasa, dan kehidupan rumah tangga bagi para wanita, serta telah mengubah kamp menjadi penjara dengan kehidupan yang statis karena tak ada mobilitas.

   Di dalam kamp tak ada masa depan, harapan, keamanan, dan tawa.

   Keadaan ini pastilah sangat berat, sampai-sampai para warga Palestina pernah berkata kepadaku.

   "Kami merasa seolah-olah kami tak punya apa-apa lagi untuk diberikan."

   Setiap hari, kami melihat lebih banyak kasus depresi dan ketegangan mental. Suatu hari, seorang dokter Palestina memasuki rumah sakit dan berulang-ulang memukul dinding dengan kepalan tangannya, lalu berteriak.

   "Kenapa mereka membiarkan kami hidup begini? Kami ingin tahu, berapa lama seseorang akan mati dalam situasi seperti ini!"

   Seperti orang-orang lainnya, ia tak dapat meninggalkan kamp sejak dua setengah tahun yang lalu.

   Ia bertugas selama empat peperangan di kamp, dan merupakan salah seorang yang selamat dari serbuan pasukan Israel pada 1982 dan pembantaian Sabra-Shatila.

   Ia kehilangan keluarganya pada peristiwa pembantaian Tel al-Zaatar.

   Syahadah, seorang wanita perawat Palestina yang lincah dan menarik, adalah salah seorang teman baruku yang kukenal pada 1987.

   Ia menggendong keponakan laki-lakinya untuk menemuiku pada suatu hari.

   Bocah malang itu telah kehilangan kedua orangtuanya pada pembantaian 1982.

   Ia sering terbangun dengan rasa takut pada tengah malam karena memimpikan ibunya.

   Sambil menangis, ia mengatakan bahwa ia tak dapat mengingat rupa kedua orang tuanya, kecuali bahwa ibunya sangat cantik.

   Syahadah berusaha keras melipur rasa kehilangan keponakannya itu dengan cara menjadi ibu walinya.

   Beberapa hari kemudian, aku mendengar bahwa para tentara itu juga telah menciduk Syahadah sehingga bocah laki-laki itu kehilangan satu-satunya keluarganya yang masih ada.

   Meskipun begitu, ketika mengantar para perawat Rumah Sakit Shatila membeli makanan untuk persediaan rumah sakit, aku harus mengagumi keteguhan dan kemampuan mereka untuk berpikir jauh ke depan.

   Misalnya, pernah mereka mendapati bahwa kacang kalengan yang dipesan pihak rumah sakit dilabeli.

   "TANGGAL KEDALUWARSA 1989". Gadis-gadis itu berkeberatan dan menolak menerima kaleng-kaleng tersebut, seraya berkata mereka hanya bersedia menerima makanan yang bertahan dalam jangka waktu lima tahun. Dua tahun tidak cukup, secara mental mereka telah bersiap menghadapi serangan berikutnya. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda menyerah, dan mereka berusaha bertahan untuk waktu yang lebih lama. [] Dua Puluh Sembilan September 1987 adalah peringatan lima tahun pembantaian Sabra dan Shatila. Keadaan di kamp masih tetap suram, dan seiring musim dingin di Lebanon akan datang, kami semua mengalami kembali penderitaan yang pernah kami alami sebelumnya. Tim MAP telah bertambah dengan kedatangan para sukarelawan dari Malaysia. Dr. Alijah Gordon, seorang warga Malaysia asli Amerika, telah menggalang kampanye nasional untuk pencarian para sukarelawan di Malaysia. Melalui usahanya yang tak kenal lelah, para penduduk Malaysia dapat memberikan dukungan mereka bagi para warga Palestina di Lebanon dengan cara mengirimkan bantuan obat-obatan serta sukarelawan. Dalam beberapa minggu pelaksanaan kampanyenya, Alijah telah merekrut dan mengirim empat orang sukarelawan medis untuk bekerja dengan kami di kamp. Kini, tidak ada lagi kekurangan tenaga sukarelawan medis asing bagi kamp pengungsi Palestina di Lebanon. Sampai tahap ini, sebanyak tujuh puluh orang dari sepuluh negara telah direkrut MAP. Media massa di Barat juga telah menyiarkan banyak sekali liputan tentang penderitaan warga Palestina. Baik Pauline Cutting maupun Susan Wighton telah menerima penghargaan dari Ratu Elizabeth atas pelayanan mereka terhadap orang-orang Palestina dan atas keberhasilan mereka bertahan selama masa pengepungan. Namun, bagi para warga Palestina di kamp-kamp di Beirut, keadaan masih tak menentu. Mereka masih tak punya air, listrik, ataupun bahan-bahan material untuk menutupi lubang-lubang besar di dinding. Mereka tak punya masa depan dan keamanan, anak-anak tak bisa bersekolah, para pria dewasa tak punya kebebasan untuk bepergian. Jika rumah-rumah di kamp tidak diperbaiki dan dibangun kembali, musim dingin yang akan datang merupakan bencana bagi mereka. Bagi mereka yang menghindari kesengsaraan di kamp dengan berteduh di gudang-gudang kosong, garasi-garasi, tangga-tangga rumah, atau tepian jalan raya di Lebanon, musim dingin merupakan masa yang sangat suram. Para wanita yang mencoba menyelundupkan semen dan bahan material dalam kantong makanan akan ditahan. Situasi ini adalah jalan buntu pasukan Suriah tak mampu menekan pasukan Amal untuk memperbolehkan bahan-bahan material memasuki kamp. Aku berpikir untuk membawa kantong-kantong semen dengan berlabelkan "tepung"

   Supaya dapat dimasukkan ke dalam kamp Shatila.

   Namun, ketika melihat dua orang gadis Palestina yang punya gagasan serupa diperintahkan memakan semen di pos pemeriksaan, aku membatalkan ide tersebut.

   Susan Wighton kembali ke kamp Bourj elBrajneh.

   Meskipun menerima berbagai ancaman yang membahayakan nyawanya dan disarankan untuk tidak kembali, ia tetap datang untuk melanjutkan program pengobatan preventif di dalam kamp.

   Kembalinya Susan membangkitkan moral penduduk kamp yang sedang merosot.

   Ia membawa medali yang diterimanya dari Ratu dan meletakkannya di dalam masjid kamp Bourj elBrajneh.

   Ia berkata.

   "Di situlah seharusnya medali itu berada."

   Pada awal September, aku berencana kembali ke Eropa, untuk membuat publikasi tentang kamp dalam rangka peringatan lima tahun pembantaian Sabra dan Shatila.

   Sebelum pergi, aku menulis sebuah seruan.

   Para korban yang selamat dari pembantaian di kamp Sabra dan Shatila, kini lima tahun setelah invasi Israel meminta kepada Anda semua untuk memberikan bantuan.

   Kedua kamp pengungsi ini pernah menampung sebanyak 80.000 orang warga Palestina.

   Sejak 1982, kamp-kamp itu berturut-turut menghadapi invasi Israel, Pembantaian Sabra-Shatila, dan serangan selama dua tahun terakhir.

   Kini, kamp Sabra telah hancur dan kamp Shatila tinggal puing-puing.

   Sebagai tambahan, banyak yang mati terbunuh, terluka, atau hilang, dan ribuan orang telah mengungsi.

   Kini, pada 1987, sebanyak 30.000 orang warga Palestina hidup di sisa-sisa reruntuhan kamp Shatila dan wilayah sekitarnya.

   Mereka kehilangan tempat tinggal, hidup entah di tepian jalan atau mendekam di antara reruntuhan dan puing-puing kamp Shatila.

   Ketiadaan air, listrik, obat-obatan, bahkan makanan, sekaligus rasa takut akan terjadinya lagi serangan atas kamp, telah membuat kehidupan menjadi benar-benar tak terperikan.

   Kini orang-orang ini harus menghadapi cuaca dingin, lembap, dan musim dingin yang ganas tanpa rumah, kehangatan, dan masa depan.

   Ini adalah Tahun Internasional Perlindungan bagi para penduduk yang kehilangan rumah mereka.

   Tulisanku terhenti oleh sebuah suara.

   "Doctora Swee ...."

   Suara itu membawaku kembali ke dunia nyata aku berada di dalam sebuah rumah sakit yang telah dihantam 248 tembakan meriam selama serangan terakhir.


Putri Bong Mini Darah Para Tumbal Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring

Cari Blog Ini