Ceritasilat Novel Online

Alice In Wonderland 1


Lewis Carroll Alice In Wonderland Bagian 1


Lewis Carroll Alice in Wonderland Download Ebook Jar Lainnya Di http.//mobiku.tk http.//inzomnia.wapka.mobi Daftar Isi Terejerembab ke dalam Lubang Kelinci #11 Sungai Airmata #20 Balapan Antar Anggota Pertemuan dan Kisah yang Panjang #30 Si Kelinci Memerintah Si Kadal Kecil #39 Nasehat Seekor Ulat #52 Babi Dan Lada #64 Jamuan Minum Teh Gila #78 Pertandingan Kriket Sang Ratu #90 Kisah Kura-Kura Palsu #103 Tarian Udang Laut #116 Pencurian Kue Tart #127 Bukti Kesaksian Alice #137 Salam Paskah bagi anak anak pecinta Alice #149 Salam Natal Dari Si Musang Pada Anak-Anak #152 Biografi Singkat Lewis Carroll (1832 -1898) #153 Puisi Alice 'ini suara udang laut; begitu ku dengar ia berkata, 'kau telah memanggangku terlalu matang, aku harus menaburi rambutku dengan gula.' Seperti si bebek duck dengan alisnya, begitu juga ia dengan hidungnya memotong ikat pinggang dan kancingnya, dan melepaskan sepatunya Saat pasir telah mengering, dia bersuka ria layaknya burung berkicau, Dan akan berbicara dengan nada angkuh layaknya seekor hiu.

   Tapi, ketika gelombang pasang dan hiu hiu mengelilinginya berputar, Suaranya pun berubah pelan dan gemetar.

   Aku melintasi taman miliknya, dan memperhatikan, dengan sebelah mata, Bagaimana si burung hantu dan harimau kumbang itu berbagi pastel di sana Si harimau kumbang kebagian kulit pastel, saus, dan daging, Sementara si burung hantu kebagian makanan sisa.

   Saat kue tar itu sudah habis, si burung hantu, sebagai anugerah, Diijinkan boleh mengantongi sendok hadiah; Dan si harimau kumbang menerima pisau dan garpu dengan sebuah geraman Dan menutup perjamuan -Semuanya terjadi di suatu senja keemasan Penuh kegembiraan kami meluncur; mendayung sepasang dayung kami, dengan sedikit kemampuan, Dengan lengan berpilin lentur Sementara tangan tangan kecil membuat sia sia pura pura Perjalanan kami menemu arah pada akhirnya Ah tiga gadis kecil yang kejam ! di waktu waktu seperti itu Dibawah cuaca penuh impian memohon sebuah kisah dengan nafas lemah agar bisa tetap menggerakkan sayapnya yang rapuh Apa yang bisa diucapkan oleh suara seseorang yang lemah Menghadapi tiga mulut gadis kecil itu sekaligus ? Angka satu, si Prima, berkilat maju ke depan penuh kuasa Mengumumkan 'semua bermula-Dengan suara lebih lembut berharaplah angka dua si secunda "tak bisa!' sementara angka tiga, si tertia, menyela tak lebih dari semenit sekali Tanpa nama, bagi kemenangan tiba tiba dan rahasia, Riang gembira mereka mengejar Melaju layaknya mimpi kanak kanak melintasi dataran asing liar dan baru Sambil ngobrol penuh persahabatan dengan burung dan binatang setengah percaya segalanya nyata Dan bila seandainya, kisah itu berhenti mengalir mengeringlah sumur kegembiraan itu Dan susah payah berjuanglah seseorang yang telah bosan itu menyimpan kembali bahan kisah itu Dan 'Lanjutan sisanya -' 'lain kali saja !' Begitu teriak suara suara penuh kebahagiaan itu Hingga berkembanglah kisah negeri mimpi itu lalu perlahan, satu demi satu, peristiwa peristiwa yang pelik dan aneh pun tersusun dan kini selesai sudah kisah itu, dan pulang ke rumah kita mendayung dibawah matahari yang bercahaya saat itu alice! cerita anak anak pun tercipta dan dengan lembut tangan disana impian anak anak terjalin menjadi anyaman kenangan seperti rangkaian bunga bunga layu peziarah yang dipetik di tanah yang jauh penuh angan Terjerembab ke dalam lubang Kelinci ALICE mulai bosan hanya duduk-duduk saja menemani kakaknya yang sedang membaca sebuah buku di bawah pohon. Karena ia tidak bisa melakukan hal lain kecuali diam menunggu. Sesekali ia mengintip buku itu. Nampak buku itu tanpa gambar dan percakapan. "Apakah gunanya buku seperti itu?", tanya Alice dalam hati.

   Lalu ia pun membayangkan (sebisanya, karena cuaca panas membuatnya mengantuk dan merasa bodoh), betapa akan lebih menyenangkan bila merangkai bunga-bunga Aster saja. Di saat itulah, tiba-tiba muncul seekor Kelinci Putih bermata pink mendekatinya.

   Sungguh, awalnya tak ada yang istimewa dari kelinci itu. Bahkan ketika terdengar suara kelinci itu berseru. "Ya ampun, ya ampun! Aku terlambat !" (Alice seharusnya heran saat ia memikirkannya ulang. Tapi saat itu ia masih menganggap kelinci itu biasa-biasa saja); baru ketika kelinci itu mengambil jam tangan dari saku mantel dan sekilas melihat jam itu kemudian bergegas Berlari, Alice mulai tertarik dan bangkit berdiri. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menemui seekor kelinci yang memakai mantel dan membawa jam. Dengan penasaran, Alice lalu mengikuti kelinci yang sedang berlari ke halaman itu. Untungnya kelinci itu masih terlihat saat hendak memasuki sebuah lubang di bawah tanaman pagar.

   Selanjutnya, Alice langsung mengejar dan ikut masuk ke dalam lubang itu tanpa berpikir bagaimana ia bisa keluar nantinya..

   Lubang itu, awalnya datar sebelum akhirnya lurus ke bawah, menerobos ke dalam tanah mirip terowongan. Alice pun langsung meluncur terjerembab ke bawah dan tak punya kesempatan untuk bisa berhenti, terus meluncur ke dalam sebuah sumur.

   Karena sumur itu sangat dalam dan ia meluncur pelan, Alice pun punya banyak kesempatan untuk mengamati sekeliling dan menduga-duga apa yang akan terjadi. Awalnya, ia melihat ke dasar sumur dan berusaha menduga ia akan jatuh sampai mana. Tapi dasar sumur itu sangat gelap dan ia tak bisa melihat apa-apa. Lalu ia mencoba menengok ke sisi-sisi sumur itu. Nampak sisi sumur itu penuh almari dan buku-buku. Di sejumlah tempat terlihat lukisan dan peta tergantung di pasak-pasak kayu. Alice lalu meraih sebuah botol di salah satu rak sambil terus meluncur. Botol itu bertuliskan Selai Jeruk. Namun ia kecewa, botol itu telah kosong isinya. Awalnya, ia ingin menjatuhkan saja botol itu ke dasar sumur. Namun ia urungkan, ia khawatir akan menimpa sesuatu di dasar sumur itu. ia letakkan lagi botol itu di salah satu lemari yang lewati.

   "Hmm...," ucap Alice dalam hati,"dengan pengalaman ini, aku aku tidak akan takut lagi jatuh dari tangga! Keluargaku di rumah pastj akan bangga dengan keberanianku ini! Ah, nanti aku tidak akan bilang, meski aku terjatuh dari atap. rumah sekalipun!(seperti kenyataannya benar begitu). Meluncur ke bawah, terus dan terus ke bawah. Mungkinkah akan berhenti? "Saat ini aku sudah meluncur seberapa dalam ya, kira-kira?", teriak Alice. "Pasti aku sudah melewati dasar bumi. Ah, coba kutebak. Mungkin sudah enam ribu kilometer". (Alice sudah belajar sejumlah hal berkaitan dengan perhitungan jarak di sekolah. Meskipun, saat itu bukan saat yang tepat untuk unjuk kemampuan. Karena toh tidak akan ada yang mendengar. Tapi biarlah itu menjadi latihan mengeja hitungan jarak bagi Alice). "Ya, mungkin segitulah dalamnya. Tapi, Garis Bujur dan Garis Lintangnya berapa, ya?" (Alice tak paham dengan istilah Garis Bujur dan Garis Lintang tapi ia berpikir istilah itu bagus untuk diucapkan) Alice mulai lagi bicara sendiri. "Jika benar aku sedang meluncur melewati dasar bumi, Oh betapa lucu nanti bila aku ketemu dengan orang orang yang berjalan terbalik, kepalanya di bawah! Mereka pasti para pembenci, kukira -" (ia merasa agak senang karena tak ada yang mendengar ucapannya. Sebab kali ini, rasanya kata katanya tidaklah tepat) - 'Tapi nanti bila ketemu mereka, lebih baik kutanya dulu negara mana ini. Permisi Bu, ini Negara Selandia Baru atau Australia?", kata Alice sambil membungkukkan badan menghormat (bayangkan kalau kamu mencoba membungkuk ketika sedang meluncur ke bawah, mungkinkah itu bisa dilakukan?) "Ah, betapa memalukan gadis kecil seperti aku ini bertanya begitu! Tidak, aku tidak akan menanyakannya. Biar nanti kutemukan sendiri jawabannya. Pasti tertulis di suatu tempat."

   Meluncur dan terus meluncur ke bawah. Alice terus meluncur ke bawah tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan ia hanya bisa bicara sendiri. "Pasti Dinah akan kangen padaku malam ini. Bukankah aku harus merawatnya!" (Dinah adalah nama kucing Alice). Semoga saja keluargaku tidak lupa memberi susu padanya pada saat jamuan minum teh! Oh, Dinah yang manis. Seandainya kamu bersamaku disini saat ini. Memang disini tidak ada tikus. Tapi kamu bisa menangkap kelelawar. Kamu tahu sayang, kelelawar itu mirip tikus. Tapi apakah kucing mau makan kelelawar, ya?" Tak lam a berselang, Alice mulai mengantuk. Meski begitu, ia terus saja bicara sendiri seperti orang mengigau, "maukah kucing makan kelelawar? Maukah kucing makan kelelawar?" ia ulangi lagi hingga kadang ucapannya terbalik balik, "maukah kelelawar makan tikus?" Karena Alice tidak bisa menjawab kedua pertanyaan itu, pengucapannya yang terbalik-balik juga tidak ada bedanya baginya, lalu ia pun tertidur dan bermimpi sedang jalan jalan bersama Dinah. "Dinah manisku, jawablah dengan jujur. Pernahkah kamu makan kelelawar?" Tiba tiba, terdengarlah suara gedebuk-gedebuk! Ternyata Alice sudah tersangkut di cabang dan ranting sebuah pohon dengan daun-daunnya yang kering. Kini, tubuh Alice tidak meluncur lagi ke bawah.

   Alice tidak mengalami luka sedikitpun. ia bergegas meloncat turun, ia tengadahkan mukanya. Namun yang ada hanya gelap dan sepi; di hadapannya terbentang sebuah lorong yang panjang, dan kelinci yang dikejarnya masih terlihat terus berlari ke bawah menyusuri lorong itu. Alice tidak mau kehilangan jejak, ia langsung bergegas mengejarnya ketika suara kelinci itu terdengar lagi di sebuah kelokan. "Oh demi telinga dan Janggutku. Aku sudah sangat terlambat!" Tak lama kemudian, Alice pun melewati kelokan itu dan sampailah di sebuah ruangan yang rendah dan panjang disinari jajaran lampu yang tergantung di langit-langitnya.

   Disekeliling sisi ruangan itu terdapat banyak sekali pintu. Namun semuanya terkunci. Setelah itu Alice berjalan ke semua sisi dan berusaha membuka pintu itu satu persatu.

   ia kemudian berjalan ke tengah ruangan dan mencoba memikirkan cara keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah meja kaca kecil berkaki tiga. Tak ada sesuatupun diatasnya kecuali sebuah kunci emas kecil. Langsung terbersit dugaan di benak Alice. Kunci itu mungkin adalah salah satu kunci dari pintu-pintu itu. Tapi astaga! Setelah ia coba, kadang kunci itu terlalu kecil atau lubang kuncinya yang terlalu sempit. Kunci itu tak bisa digunakan untuk membuka pintu-pintu itu. Tapi Alice tidak putus asa. ia mencoba berkeliling lagi. Kali ini ia menjumpai sebuah kelambu kecil. Dan dibalik kelambu itu terdapat sebuah pintu. Tingginya kira-kira lima belas inci. ia masukan kunci itu ke lubangnya dan ternyata cocok! Segera ia buka pintu itu dan nampaklah sebuah lorong kecil ke bawah. Sebuah lorong yang tidak lebih besar dari lubang tikus, menuju sebuah taman yang indah. Betapa ingin ia keluar dari ruangan yang gelap itu dan berjalan-jalan di antara taman bunga yang indah dan mata air yang sejuk. Namun sayang, Alice bahkan tidak bisa memasukkan kepalanya ke pintu lorong menuju taman itu. "Kalaupun kepalaku bisa masuk," pikir si malang Alice, "toh tidak ada gunanya. Bahuku tetap tidak bisa masuk. Oh seandainya aku bisa mengecilkan tubuhku serupa teleskop! Tapi, mestinya aku bisa melakukannya. Mengapa tidak? Asal aku tahu caranya saja". Dari serangkaian pengalaman yang baru ia alami, Alice mulai suka berpikir hal-hal yang tidak mungkin.

   Nampaknya tidak ada gunanya untuk terus menunggu di dekat pintu kecil itu, lalu Alice pun lalu memutuskan kembali saja ke meja kaca dan berharap akan menemukan kunci lain atau sebuah buku petunjuk mengenai cara mengecilkan tubuh. Tapi kali ini ia hanya mendapati sebuah botol kecil di atas meja kaca itu (- "tadi tidak ada botol disini", bisiknya heran). Sebuah botol yang lehernya terlapis kertas bertuliskan kata MINUMLAH dengan huruf besar dan bagus.

   "Tulisan ini memang menarik tapi lebih baik kuteliti dulu", gumam si kecil Alice dengan bijaksana. "Ada tulisannya beracun atau tidak?". Alice pernah membaca sejumlah cerita soal anak-anak yang terbakar atau dimakan serigala buas atau mahluk menyeramkan lainnya gara-gara mereka tidak percaya nasehat teman-teman mereka. Nasehat-nasehat itu diantaranya. "Jangan main api nanti tanganmu terbakar. Jangan memotong kuku dengan pisau nanti tanganmu luka dan berdarah!" Alice selalu teringat nasehat nasehat itu. "Bila kamu minum cairan di dalam sebuah botol yang ada tulisannya "beracun",' pasti kamu, cepat atau lambat, akan merasakan akibatnya."

   Tapi, ternyata botol itu tidak ada tulisannya beracun. Alice lalu mencicipi isinya dan merasakan enak (ya, rasanya seperti campuran sari buah Cery, podeng, nanas, ayam bakar, gula-gula dan roti bakar). Alice cepat menghabiskan minuman itu.

   "Betapa aneh rasanya tubuhku!" seru Alice gemas, "Pasti tubuhku akan mengecil seperti teleskop". Keinginan itupun terkabul. Kini tinggi badannya mengecil hanya tinggal sepuluh inci. Wajah Alice berseri-seri karena dengan tubuhnya yang kecil ia akan bisa masuk ke lorong kecil, lalu ke taman bunga yang indah itu. Namun untuk beberapa saat, ia putuskan untuk menunggu, ia ingin tahu apakah tubuhnya akan terus mengecil atau tidak, ia sempat agak panik, "kalau tubuhku terus mengecil, bisa jadi aku tidak akan punya tubuh lagi serupa lilin yang habis meleleh. Dan akan jadi seperti apakah diriku?" gumamnya cemas dalam hati. Lalu ia mulai membayangkan padamnya nyala lilin sehabis ditiup, karena ia tak pernah melihatnya. Tapi untunglah hal itu tidak terjadi. Kemudian Alice bergegas menuju ke taman itu. Tapi astaga, betapa kasihan si Alice! Ketika ia sampai di pintu menuju taman itu, ia baru sadar kalau ia lupa menyimpan kuncinya. Dan ketika ia balik ke meja kaca untuk mengambilnya, kunci itu sudah tidak dapat diraih dengan tangannya lagi. Kini kunci itu hanya terlihat diatas sebuah meja kaca yang terlalu tinggi bagi tubuhnya yang kecil. Alice berusaha memanjat meja itu melalui salah satu kakinya. Namun ia gagal karena sangat licin. Akhirnya ia kelelahan, duduk dan menangis.

   "Sudahlah, tak ada gunanya lagi menangis!", hibur Alice dalam hati pada dirinya sendiri dengan agak keras. "Sekarang, berhentilah menangis!" (biasanya, Alice memang suka menasehati diri sendiri. Kadang ia juga suka memaki diri sendiri bila ingin menangis, ia masih ingat saat ia menampar telinganya sendiri karena merasa bersalah saat sendirian bermain kriket (Alice memang suka membayangkan dirinya menjadi dua orang). "Tapi sudah tak ada gunanya lagi sekarang untuk berpura-pura menjadi dua orang! Ah..., kenapa susah sekali bagiku, setidaknya satu sosok diriku, untuk bisa jadi orang yang berguna dan terhormat!" . Airmata Alice pun menetesi sebuah kotak hitam di bawah meja. Ketika ia buka kotak itu, nampak sebuah kue kecil serta secarik kertas bertuliskan kata MAKANLAH AKU dengan huruf besar dan indah. "Ya, aku akan memakannya," kata Alice. "Bila nanti tubuhku membesar, aku akan bisa meraih kunci emas itu. Dan bila tubuhku bertambah kecil, aku akan bisa merangkak ke pintu kecil itu. Toh keduanya akan membuatku bisa sampai ke taman itu. Apapun yang terjadi, terjadilah. Aku tak perduli lagi". Alice lalu memakan kue itu sedikit seraya tak sabar bergumam, "tubuhku akan makin mengecil atau membesar, ya?" Alice lalu meletakkan telapak tangan di atas kepala untuk bisa merasakan perubahan tubuhnya. Alice terkejut ketika menyadari tubuhnya masih tetap seperti semula. Tidak berubah. Walaupun sebenarnya hal itu lumrah bagi siapa saja yang makan kue. Tapi Alice memang sedang mengharapkan sesuatu yang tidak lumrah. Tentu saja harapan seperti itu akan dianggap bodoh bagi kebanyakan orang. Tanpa ragu lagi, Alice langsung menghabiskan kue itu. Sungai Airmata "AKU penasaran dan makin penasaran!", gerutu Alice tak sabar (ia terkejut karena telah lupa bagaimana mengungkapkan ketidaksabaran itu dengan kalimat yang tepat). "Nah, kini tubuhku sudah membesar dan meninggi seperti teleskop terbesar yang pernah ada! Hei...tapi dimanakah telapak kakiku?" (Saat Alice mencoba melihat ke bawah, telapak kakinya menghilang, terlihat sangat jauh.) "Oh kakiku yang malang, siapakah nanti yang akan memasangkan sepatu dan kaos kaki untukmu? Tentu saja saat ini aku sudah tidak bisa melakukannya untukmu. Tentu akan sulit bagiku karena tubuhku yang tinggi ini. Oleh karenanya kakiku, kamu harus berusaha sendiri semampumu - meski begitu, aku harus tetap baik pada kakiku itu", batin Alice, "atau bisa jadi kakiku itu akan melangkah menurut kemauan mereka sendiri. Beda dengan kemauanku. Kita lihat saja nanti! Ya, aku akan memberi mereka hadiah sepasang sepatu boot tiap hari raya natal". Kemudian Al ice, dalam benaknya, menyusun rencana. "Nanti sepatu itu akan kukirim lewat seorang kurir", janjinya dalam hati, "pasti akan lucu sekali. mengirim hadiah buat kaki sendiri! Tulisan pesannya juga pasti akan aneh! BUAT YANG TERHORMAT KAKI ALICE. TERIMALAH MAAFKU DENGAN PENUH KASIH, ALICE "Oh kakiku sayang, kenapa bicaraku nglantur?!"

   Pada saat bersamaan, kepala Alice membentur langit-langit lorong. Kini tinggi badannya lebih dari sembilan meter. Cepat-cepat ia ambil kunci emas di meja kaca itu dan bergegas berlari menuju pintu taman di bawah lubang tikus.

   Oh Alice, sungguh malang. Sekarang ia hanya bisa berbaring dan memiringkan tubuhnya di lantai agar bisa mengintip taman itu dengan hanya sebelah matanya melalui celah lubang kecil. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa masuk ke dalamnya. Kini ia hanya bisa duduk, bersedih dan menangis.

   "Seharusnya kamu malu dengan dirimu sendiri, Alice", ejeknya dalam hati, "anak hebat dan sebesar kamu (ia berharap bisa merasa baikan dengan mengatakan begitu) masih saja menangis. Cengeng!" Namun Alice masih terus saja menangis, meneteskan air mata hingga berliter-liter, tumpah ruah menjadi sebuah genangan besar. Kedalamannya kira-kira empat inci dan hampir menenggelamkan tubuhnya sendiri serta menutup separuh lorong. Setelah beberapa saat, Alice mendengar lagi sayup-sayup suara langkah kaki di kejauhan. Alice mengucek-ucek dan menghapus air matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa yang datang. Ternyata seekor kelinci putih yang pernah ia kejar dulu datang lagi. Kini kelinci itu sudah berpakaian rapi. Sarung tangan warna putih membungkus sebelah tangannya. Sementara tangan satunya lagi memegang kipas. Kelinci itu tergesa-gesa melangkah, dengan terus menggumam, "oh Permaisuri, Permaisuri! Oh pasti ia akan marah karena menungguku terlalu lama!" Alice ingin minta tolong pada siapapun. ia sudah merasa putus asa. Saat kelinci itu melintas di depannya, ia memohon dengan suara lirih dan sopan. "Tolonglah aku, Tuan". Namun kelinci itu malah gugup. Sesekali kelinci itu mendongak ke atap lorong, asal terdengarnya suara minta tolong itu. Lalu kelinci itu menjatuhkan sarung tangan dan kipas dan berusaha berlari lagi secepatnya dalam kegelapan. Alice bergegas mengambil sapu tangan dan kipas itu. Karena lorong itu sangat panas dan pengap ia terus menerus mengipasi dirinya, sembari berbicara dengan dirinya sendiri. "Oh, sayang. Sayang. Betapa semuanya nampak aneh hari ini! Padahal kemarin rasanya semuanya berjalan biasa saja. Jangan-jangan aku telah berubah malam tadi? Ah, biar kupikir lagi semuanya ini sejenak. Apakah aku sekarang masih sama dengan kemarin saat aku bangun pagi ? Rasanya aku sudah berubah. Tapi bila aku bukanlah aku lagi, siapakah sebenarnya aku saat ini? Ah, sungguh suatu teka-teki yang besar!" Alice mulai membayangkan teman-teman sebaya yang pernah ia kenal, untuk memastikan kemungkinan dirinya sudah berubah menjadi salah satu dari mereka.

   "Aku pastilah bukan si Ada," seru Alice," rambut Ada ikal dan panjang. Beda dengan rambutku - dan akupun tak mau disamakan dengan Mabel. Sebab aku lebih pandai dan tahu lebih banyak hal darinya. Selain itu, dia adalah dia dan aku adalah aku. Dan - Oh betapa semuanya jadi membingungkan. Tapi, lebih baik kucoba pikirkan lagi hal-hal yang sebelumnya sudah aku ketahui dengan pasti. empat kali empat sama dengan dua belas, empat kali enam sama dengan tiga belas dan empat kali tujuh sama dengan empat belas. Aduh..., tentu saja aku tidak pernah dapat nilai bagus kalau begini! Tapi soal perkalian tidak penting! Coba sekarang mata pelajaran Geografi. London adalah ibukota Perancis, Roma adalah ibukota Yorkshire, dan Paris.. ..Oh, sayang sayang! Semuanya salah! Pasti kini aku sudah berubah jadi seperti si Mabel yang bodoh itu". Aku akan coba dan mengucapkan kata-kata 'bagaimana si kecil', dan ia menyilangkan tangan di pangkuan, dan mulai mengucapkan kata-kata itu. Namun suaranya jadi parau dan aneh serta kata-katanya banyak yang berubah tidak seperti yang biasa ia ucapkan sebelumya. Betapa si kecil buaya Makin mengkilatkan kilauan ekornya Dan meny epuh sungai Nil dengan cahayanya Dengan sisiknya yang keemasan! Betapa riangnya mereka tertawa Dan taringnya berkilatan Menyambut ikan-ikan kecil Tersenyum ramah dengan rahang-rahang mereka.

   "Ah, pasti yang benar tidak seperti itu," keluh Alice yang malang. Matanya penuh air mata selagi berpikir, "pasti aku telah berubah jadi si Mabel. Ini berarti aku harus pergi dan hidup di rumah kecil dan sempit seperti dia. Tanpa boneka mainan dan sedikit hal saja yang bisa kupelajari! Tidak! Aku - ya, aku sudah putuskan. Kalaupun aku sudah jadi si Mabel, aku akan tetap tinggal di bawah sini saja. Tak ada gunanya mereka melongok kemari dan berseru "Ayo naik!", aku hanya akan mendongak dan bertanya pada mereka, "kau tahu siapa aku? Ayo, jawab dulu. Dan bila aku senang menjadi orang seperti yang ada di dalam jawabanmu aku akan naik. Jika tidak, aku akan tetap tinggal disini sampai aku berubah jadi orang yang lain lagi-Tapi, sayangku!" jerit alice serta merta menangis, "Semoga saja akan ada orang yang melihat ke bawah sini! Aku sudah lelah sendirian di tempat ini!"

   Alice kemudian mengamati tangannya, ia sangat terkejut karena tiba-tiba saja ia telah memakai salah satu sarung tangan si kelinci. "Bagaimana ini bisa terjadi?", batinnya, "pasti tubuhku telah mengecil lagi". Alice berdiri dan beranjak mendekat ke meja kaca. ia ingin mengukur tinggi tubuhnya. Dengan menebak, ia tahu tinggi badannya kini hanya tinggal dua kaki saja. Dan tubuhnya masih terus saja mengecil. Lalu ia menyadari bahwa penyebabnya adalah kipas di tangannya. Cepat-cepat ia jatuhkan kipas itu agar tubuhnya tidak terus mengecil.

   "Jalan kecil itu!" seru alice,sangat ketakutan dengan perubahan mendadak tubuhnya. "Sekarang, lebih baik aku bergegas pergi ke taman saja!", kata Alice seraya berlari ke sebuah pintu kecil. Namun sayang, pintu itu sudah terkunci lagi. Kuncinya masih tertinggal di atas meja kaca seperti semula. "Ah, semuanya makin kacau sekarang!", gerutu gadis kecil malang itu, "karena aku tidak pernah sekecil ini sebelumnya. Tidak pernah! Ini buruk sekali!"

   Tiba-tiba kaki Alice terpeleset dan ia kecebur ke dalam air asin sebatas dagu. Semula ia mengira telah terjebur ke laut. "Aku masih bisa kembali dengan naik kereta api," gumamnya pada diri sendiri. (Alice pernah sekali pergi ke laut sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa jika kamu pergi ke laut manapun di Inggris, kau akan bisa lihat pelampung, sejumlah anak kcil bermain menggali pasir dengan sekop kayu, jajaran rumah-rumah dengan stasiun kereta api di belakangnya). Tapi, tak lama kemudian, baru ia sadar bila dirinya ada di bawah tanah. Tak mungkin ada laut di dalam tanah, ia lalu menduga air asin itu tak lain adalah genangan air matanya sendiri saat ia menangis tadi. "Semoga aku tidak terus menerus menangis", harap Alice sambil berenang dan berusaha mengentaskan diri. "Pasti inilah hukuman yang harus kutanggung. tenggelam dalam air mataku sendiri! Tapi bukankah ini aneh! Namun bukankah semuanya telah berubah jadi aneh hari ini".

   Tak lama kemudian, Alice melihat ada sesuatu meluncur ke dalam kolam, meluncur tak jauh darinya. Awalnya ia menduga itu pasti Walrus atau Kudanil. Tapi ketika ia menyadari betapa kecil tubuhnya, sesuatu itu pasti hanyalah seekor tikus yang sedang mencebur di tempat itu. Sama seperti dirinya.

   "Masihkah ada gunanya lagi sekarang," Alice menimbang-nimbang, "untuk mengajak bicara si tikus itu? Segalanya sudah menjadi aneh di sini, dan kupikir tikus itu pasti bisa berbicara. ah, tak ada salahnya untuk mencobanya. Alice pun memberanikan diri mulai bertanya. "Wahai Tikus, kamu tahu bagaimana caranya keluar dari kolam ini? Aku sudah lelah berenang terus!" (Alice menganggap begitulah cara yang tepat untuk mengajak bicara seekor tikus. dia belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, tapi ia teringat pernah melihat hal seperti itu dalam buku pelajaran tata bahasa milik saudaranya, 'seekor tikus - mengenai tikus - pada tikus - tikus - o tikus!). Tapi si Tikus hanya menatap dan mengedipkan sebelah matanya tanpa mengucap sepatah katapun.

   "Mungkin tikus ini tidak mengerti", pikir Alice kemudi an, "atau dia itu tikus Perancis yang dulu datang kemari bersama William si Penakluk?" (Alice, dengan berbekal pengetahuan sejarah yang ia miliki, tak bisa memastikan sudah berapa lama penaklukan itu terjadi.) Kemudian Alice bertanya lagi pada si tikus dengan menggunakan kalimat bahasa perancis yang pernah ia pelajari lewat buku-buku. "Apakah kamu mirip dengan kucing? (Ou'est ma chatte?)". Tikus itu seketika melompat, gemetar ketakutan. "Oh maafkan aku, wahai tikus", pinta Alice buru-buru. ia khawatir telah menyakiti perasaan binatang malang itu. "Sungguh aku lupa kalau kamu paling tidak suka dengan kucing!"

   "Aku tidak suka dengan kucing !", sergah si Tikus dengan suara bergetar, menahan marah. "Kalau kau jadi aku, kau mau disamakan dengan kucing?!"

   "Kalau begitu baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu. Tentu saja aku tidak mau," tegas Alice, "jangan marah dulu. Andai saja aku bisa mempertemukanmu dengan kucingku. Si Dinah manis kucing kesayanganku", lanjut Alice seolah sedang bicara pada diri sendiri sambil dengan malas terus berenang. "Dinah suka sekali duduk menghangatkan diri di dekat tungku perapian sambil terus mengasah cakarnya dan menggaruk-garuk membersihkan wajahnya. Dia itu adalah binatang yang sangat lembut dan mudah dirawat. Dan satu lagi. ia sangat jago berburu tikus - Oh maaf, maaf!" pinta Alice buru-buru. Dilihatnya si tikus terus-menerus meremangkan bulu-bulunya. Tanda ia benar-benar tersinggung. "Apakah aku telah menyakitimu, wahai tikus?"

   "Tentu saja!", teriak si Tikus marah. Tubuhnya menggeletar, "kamu tahu, keluarga kami sangat benci kucing. Mahluk rendahan dan jelek itu! Jangan sebut soal kucing lagi dihadapanku!"

   "Tidak, aku janji", ucap Alice menurut dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Wahai tikus, kamu.. .eh..kamu suka anjing atau tidak?". Karena si tikus diam saja dan tidak menjawab, Alice meneruskan dengan penuh semangat. "Di dekat rumah keluarga kami, ada seekor anjing kecil dan manis. Aku sebenarnya ingin sekali menunjukkannya padamu. Matanya kecil dan selalu berbinar. Bulu-bulunya coklat, ikal dan panjang! Anjing itu senang sekali menangkap apa saja yang kau lemparkan padanya. Biasanya, dia kemudian akan duduk manis dan minta jatah makan malam. Begitulah kira-kira gambaran soal anjing itu. Selebihnya aku sudah banyak yang lupa -Anjing itu milik seorang petani - dan kata pemiliknya, anjing itu sudah banyak memangsa tikus dan ia beli seharga ratusan poundsterling-. Oh maaf, maafkan aku, wahai tikus!", ralat Alice buru-buru, "aku tak sengaja!" Namun si tikus sudah terlanjur berenang sekuat tenaga menjauhinya, menggemparkan siapa saja yang ada di kolam itu. Alice berusaha dengan lembut memanggilnya kembali. "Tikus yang baik, jangan pergi dulu. Aku janji kita tidak akan bicara lagi soal anjing dan kucing. Kalau itu memang yang kau inginkan!" Mendengar janji itu, si tikus perlahan berenang kembali mendekati Alice. Wajah tikus itu sangat pucat (karena marah, tebak Alice). Lalu Tikus itu dengan suara gemetar berkata. "Lebih baik kita ke tepian saja. Akan kuceritakan sejarah awal mula kenapa aku sangat benci dengan anjing dan kucing". Saat itu kolam sudah meluap karena kolam itu sudah dipenuhi dengan aneka burung serta binatang lain. Di kolam itu nampak sudah ada si Bebek Duck, Si Merpati Dodo dan Si angsa Lory dan Elang serta sejumlah binatang aneh lainnya. Alice lalu memimpin mereka dengan berenang paling depan. Bersama-sama, mereka berenang ke tepian. Balapan Antar Anggota Pertemuan dan Kisah yang Panjang ALICE dan sekelompok binatang itu pun terlihat aneh menggerombol di tepian. Dengan basah kuyup, acak-acakan dan jauh dari kesan nyaman, kelompok burung-burung itu mengepakkan sayap-sayapnya. Sementara yang lainnya berusaha merapatkan bulu-bulu halus mereka. Lalu mereka berjalan beriringan di tepian sungai. Awal pertanyaan yang muncul di benak mereka tentu saja adalah. "Bagaimana caranya mereka akan mengeringkan badan?" mereka pun mengobrolkan soal itu, dan Alice heran saat menyadari betapa akrab sesungguhnya ia berbicara dengan burung-burung itu. Seolah-olah mereka sudah ia kenal lama sebelumnya. Alice saat itu sedang berdebat panjang lebar dengan si Lory Bulu-bulu si Lory berubah jadi selembut sutra dan hanya berkata. "Aku lebih tua dan lebih tahu segalanya dibandingkan kamu". Tentu saja Alice menolak pendapatnya tanpa terlebih dulu tahu berapa usia Si Lory sebenarnya. Sementara si Lory pun menolak menjawab ketika Alice menanyakkannya. Lalu keduanya sama-sama diam. Tanpa ada yang bisa dibicarakan lagi. Akhirnya seekor tikus, yang nampaknya paling berkuasa diantar a mereka, berseru lantang. "Kalian semua duduklah dan dengar baik-baik! Aku akan segera membuat tubuh kalian kering." Seketika mereka mengambil tempat dan duduk dalam sebuah lingkaran yang besar. Mereka semua menggigil kedinginan. Alice duduk di tengah lingkaran, menatap tikus itu dengan gelisah. Karena ia khawatir dirinya akan demam bila tubuhnya tidak segera kering.

   "Ehm..." katanya merasa sok penting, "apakah kalian semua sudah siap? Nah, sekarang aku akan mulai bercerita. Inilah kisah paling kering yang kutahu. Tolong semuanya tenang!".

   "Dulu, William Sang Penakluk, seseorang yang disukai oleh Paus karena tindakannya, berhasil dengan cepat ditundukkan oleh Inggris. Saat itu Inggris sangat membutuhkan pemimpin dan telah lama terbiasa dengan masalah perebutan kekuasaan dan penaklukan. Edwin dan Morcar, penguasa Mercia dan Northumbria..."

   "Ahhh!", gumam Lory sebal.

   "Maaf, kamu barusan ngomong apa?', sergah sang tikus dengan tetap berusaha sopan. Tidak, aku tidak ngomong apa-apa!", sanggah Lorry ketus.

   "Aku merasa kamu tadi ngomong sesuatu," lanjut si tikus, "kuteruskan saja lagi, ya. Edwin dan Morcar, pangeran penguasa Mercia dan Northumbria, keduanya mengakui William sebagai raja mereka. Bahkan Uskup Agung Canterbury, Stigand yang patriotik, merasa itu -"

   "Merasa itu apa?", Tanya si bebek Duck.

   "Merasa.." jawab si tikus dengan agak terbebani. "tentu saja kau tahu apa artinya merasa itu"

   "Aku tahu merasa apa itu, bila kata itu memang merujuk pada sesuatu benda," kata si bebek Duck "Biasanya itu berarti seekor katak atau cacing. Masalahnya adalah Uskup Agung itu merasa apa?"

   Tikus itu tidak perduli, ia malah dengan terburu-buru melanjutkan kisahnya. "Merasa mereka itu lebih baik bersama dengan dua penguasa lain serta Edgar Atheling bila mereka menghadap William untuk menawarkan tahta kerajaan. Mula-mula William memerintah dengan sangat adil. Tapi sebelumnya, e.. .bagaimana keadaanmu sekarang, sayang?", tanya si tikus pada Alice.

   "Masih basah", jawab Alice. "Rasanya ceritamu itu tidak membuat tubuhku kering."

   "Untuk itu," usul Dodo si Merpati dengan sungguh sungguh seraya berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, "lebih baik kita menunda cerita si tikus di pertemuan yang lain. Sekarang kita pilih saja dulu cara yang lebih energik dan cepat untuk....."

   "Hei pakailah bahasa yang biasa saja!", protes Duck si bebek, "aku nggak ngerti sebagian dari kalimatmu yang panjang-panjang itu. Lagi pula, aku juga ragu, apakah kamu sendiri juga mengerti apa yang kau ucapkan." Si bebek Duck lantas berceloteh dan tertawa-tawa. Beberapa burung lain ikut tertawa dan menaat ramai.

   "Saya hanya hendak mengatakan," kata si Dodo dengan nada tersinggung, "bahwa cara terbaik untuk mengeringkan tubuh kita adalah dengan balapan antar peserta pertemuan."

   "Apa itu balapan antar peserta pertemuan?" Tanya Alice; bukan karena ingin tahu, tapi si Dodo membuat jeda panjang seolah sengaja menunggu ada yang menyahutinya. Tapi ternyata tak seorangpun berkeinginan mengatakan sesuatu.

   "Ah," kata si Dodo, "cara terbaik untuk menjelaskannya adalah dengan melakukannya" (dan karena kamu mungkin tertarik untuk mencobanya sendiri saat musim dingin, saya akan ceritakan bagaimana si Dodo melakukannya). Pertama si Dodo menandai arena balapan, dengan membuat lingkaran, (bentuk persisnya tidak persoalan, kata si Dodo), dan semua anggota kelompok berdiri di sejumlah titik di seluruh wilayah jalur lintasan itu. Tidak ada aba-aba satu dua tiga kemudian memulainya, tapi mereka berlari sesuai keinginan mereka masing-masing dan berhenti sesuka hati. Oleh karenanya tidaklah mudah untuk meng etahui kapan balapan itu selesai. Namun ketika mereka telah berlarian selama setengah jam dan tubuh mereka cukup kering, si Dodo tiba-tiba berteriak, "balapan sudah selesai!" Dan mereka semua berkerumun mengelilinginya, dengan penuh harap bertanya, "tapi siapa yang menang?"

   Si Dodo perlu berpikir keras untuk bisa menjawab pertanyaan itu, lalu ia duduk lama sambil tangannya menekan dahinya (seperti pose yang kau biasanya lihat di gambar tokoh Shakespeare). Sementara yang lain, beristirahat sambil menunggu dengan diam. Akhirnya si Dodo berucap, "semuanya menang, dan semuanya dapat hadiah."

   "Tapi siapa yang akan memberikan hadiah ?", tanya mereka serentak.

   "Ya, dia, tentu saja," jawab si Dodo, menunjuk Alice dengan jarinya, dan seluruh anggota kelompok seketika mengelilingi Alice, berseru dengan suara gaduh dan memusingkan, "hadiahnya! hadiahnya!"

   Alice tak tahu mesti berbuat apa, dan dengan putus asa, ia memasukkan tangannya ke dalam saku serta mengeluarkan sekotak permen, (untungnya, air asin itu belum membasahinya), dan memberikannya berkeliling sebagai hadiah. Satu peserta dapat satu bagian.

   "Tapi dia sendiri juga harus dapat hadiah!", seru si tikus.

   "Tentu saja," jawab Dodo si merpati dengan sangat payah. "Apa lagi yang masih kau miliki dalam sakumu?", sambungnya, menoleh ke Alice.

   "Hanya sebuah tudung," jawab Alice sedih. "Bawa kesini," kata si Dodo. Lalu semua berkerumun mengelilinginya sekali lagi, sementara si Dodo dengan sungguh-sungguh dan khidmat memberikan tudung itu seraya berucap, "kami mohon kamu berkenan menerima hadiah tudung yang elok ini"; dan, ketika si Dodo telah menyelesaikan pidatonya ini, mereka semua bersorak. Alice menganggap semua itu tak masuk akal, tapi mereka semua nampak begitu bersungguh-sungguh, ia tak berani untuk menertawakannya; dan karena ia tak punya kata untuk diucapkan, ia hanya menunduk dan menerima tudung itu, berusaha semampunya untuk terlihat khidmat. Selanjutnya adalah memakan permen itu. Lalu semuanya gaduh dan ribut, karena burung-burung besar mengeluh bahwa mereka tidak bisa merasakannya dan burung-burung yang kecil menjadi tersedak dan harus di ditepuk-tepuk punggungnya. Tapi akhirnya semua berakhir, dan mereka kembali duduk melingkar lalu meminta si tikus untuk menceritakan lanjutan kisahnya lagi pada mereka.

   "Kamu telah berjanji untuk menceritakan padaku kisah hidupmu," kata Alice," dan juga alasan kenapa kamu benci - Kuc... dan Anj..." ia menambahkan dengan berbisik, takut akan menyinggung si tikus lagi.

   "Sejarah hidupku merupakan kisah yang panjang dan sedih !" kata si tikus menatap Alice sambil mendesah. "Ekormu itu sungguh panjang," kata Alice menatap heran pada ekor si tikus itu; "tapi kenapa mesti menyedihkan?" dia masih saja diliputi kebingungan ketika tikus itu memulai ceritanya; dalam benak Alice kisah itu akan berbentuk seperti ini. si musang berkata pada si tikus yang dia temui di rumah itu "mari kita berdua pergi ke pengadilan. aku akan menuntut mu. -sudahlah, aku tak akan menyangkalnya; kita memang harus maju ke pengadilan; karena sungguh pagi ini aku tak ada Kerjaan, kata si tikus pada si anjing kampung, pengadilan seperti itu, Tuanku terhormat, dengan tanpa dihadiri para juri atau jaksa, hanya, akan menghabiskan waktu dalam hidup kita." "Aku akan jadi jaksanya, aku akan jadi jurinya,"

   Sergah si musang yang licik. "AKU akan lakukan pemeriksaan pada semua kasus itu dan menghukum mu dengan hukuman mati." "Alice, kamu tidak menyimakku, ya ?", tegur si tikus gusar, "apa yang sedang kau lamunkan?"

   "Oh, maaf," kata Alice dengan rendah hati, "tapi kupikir kamu sudah lima kali nglantur".

   "Aku tidak nglantur, tanpa simpul", bantah si tikus dengan marah dan tajam.

   "Simpulnya!" kata Alice, merasa dirinya berguna dan menatap tikus itu dengan cemas "Oh, jangan suruh aku membuka simpul itu sendiri."

   "Aku tidak nglantur!" jawab si tikus, "kau benar-benar telah menghinaku dengan omong kosongmu itu!" Dan dengan gontai si tikus beranjak meninggalkan kerumunan.

   "A.. .a.. .aku tidak bermaksud begitu. Kamu saja yang mudah tersinggung", bujuk Alice. Si tikus hanya men yahut dengan gumaman.

   "Ayo, kembalilah dan lanjutkan ceritanya sampai selesai!", pinta Alice dan disusul beramai ramai oleh anggota yang lain. "Ya, ayo ceritakan lagi ceritanya!" Si tikus hanya menggoyangkan telinga tanda ia tak mau dan meneruskan langkahnya hingga lenyap dari pandangan.

   "Sayang sekali dia tidak mau kembali kemari", keluh si Lory Dengan kesempatan yang ada, Kepiting tua segera menasehati putra-putrinya. "Sayang, jadikan ini semua pelajaran. Jangan pernah mudah emosi!"

   "Sudahlah, Ma! Mama juga pernah mencoba-coba kesabaran seekor tiram," sanggah si kepiting kecil sebal.

   "Sungguh, andaikan Dinah kecilku ada disini!", kata Alice dengan suara keras tanpa ditujukan pada siapapun, "ia pasti akan menangkap tikus itu kembali!"

   Lalu Lory bertanya. "kalau boleh tahu, siapa sih, Dinah itu?" Dengan gembira Alice menyahut karena ia selalu senang membicarakan binatang peliharaan kesayangannya. "Dinah itu kucing kami. Untuk urusan menangkap tikus, dia memang jagonya. Kalian pasti tidak pernah membayangkannya, bukan? Dan oh, seandainya kalian melihatnya menangkap burung. Kalian tahu nggak, kapan saja dia melihat seekor burung, langsung saja diterkam dan dimakannya!"

   Tentu saja cerita Alice itu membuat kerumunan jadi ketakutan. Sejumlah burung langsung bergegas terbang dan pergi menjauh. Dengan hati-hati seekor burung Bangau yang sudah tua langsung membungkus tubuhnya dengan kedua sayapnya seraya berucap. "Rasanya aku harus pulang sekarang. Udara malam tidak baik untuk kesehatan tenggorokanku." Burung Kenari bergegas memanggil anak-anaknya. Dengan suara gemetar ia berseru. "Ayo kita pergi, anak-anakku! Sudah waktunya kalian tidur!" Dengan berbagai alasan, dalam sekejap, kerumunan binatang itu pergi meninggalkan Alice sendirian.

   "Seandainya saja aku tidak cerita soal Dinah tadi!" kata Alice pada dirinya sendiri dengan sedih. "Di sini, semua sepertinya tidak menyukai Dinah. Padahal dia adalah kucing terbaik di dunia! Oh Dinahku yang malang! Bisakah aku bertemu denganmu lagi!" Alice pun mulai lagi menangis karena merasa kesepian dan tak punya semangat. Tapi setelah beberapa saat, dia mendengar lagi suara langkah kaki di kejauhan, dan ia melihatnya dengan penasaran, setengah berharap tikus itu akan berubah pikiran dan kembali untuk menyelesaikan kisahnya. Si Kelinci Memerintah Si Kadal Kecil NAMPAK seekor kelinci putih tengah berjalan dengan pelan.. Pandangan matanya mengisyaratkan ia sedang kehilangan sesuatu. Alice mendengar kelinci itu bergumam sendiri. "Aduh permaisuri, permaisuri! Oh, gara-gara telinga dan janggutku?!! Pasti aku akan dihukum seperti si Musang! Telah jatuh dimana ya, sarung tanganku?" Dalam beberapa saat Alice menebak kelinci itu pasti sedang mencari-cari sarung tangan dan kipasnya, dan ia pun mulai ikut mencarinya, tapi tak juga menemukannya. Semua nampak sudah berubah dan ia sudah lupa. Demikian juga meja kaca kecil dan lubang pintu kecil itu, kini juga sudah lenyap. Si Kelinci itu lalu menatap Alice dan berteriak dengan marah. "Aduh, Marry Ann! Apa yang sedang kau lakukan disini? Ayo, pulang sana! Segera ambilkan sarung tangan dan kipasku dan cepat bawa kemari! Ayo cepat! Kamu mengerti!?" Alice ketakutan dan berlari menuruti arah telunjuk si Kelinci tanpa sempat menjelaskan bahwa perintah kelinci itu telah salah alamat.

   "Dia telah menganggapku sebagai pembantunya,"

   Gumamnya sambil berlari. "Pasti dia akan terkejut bila tahu siapa sebenarnya aku ini. Tapi lebih baik kuambilkan saja sarung tangan dan kipasnya, itupun kalau kutemukan." Alice pun akhirnya sampai di depan sebuah rumah kecil. Pintunya berlapis kuningan berkilatan dan papan namanya bertuliskan. W. KELINCI. Alice langsung masuk ke dalam dan bergegas menuju kamar atas dengan perasaan khawatir akan bertemu dengan Si Marry Ann yang asli. Bila hal itu terjadi, Alice tentu akan diusir keluar sebelum ia sempat menemukan sarung tangan dan kipas itu.

   "Betapa akan aneh bila aku kirim pesan soal ini pada si kelinci. Ah, tapi aku yakin nanti si Dinah juga pasti akan mengirim pesan padaku !" Alice mulai gembira dengan lamunannya ini. "Nona Alice , cepat datanglah kemari dan bersiaplah untuk jalan-jalan denganku." Alice berharap Dinah cepat datang. "Tapi sebelum kucingku tiba disini, aku harus memeriksa lubang tikus itu dulu dan memastikan tikus-tikus itu tidak akan bisa keluar lagi- Tapi kupikir, pasti mereka itu tidak akan membiarkan begitu saja si Dinah datang kemari. Karena watak mereka yang suka memerintah seperti itu!"

   Alice lalu menelusuri ruangan. Sampailah ia di sebuah ruang kecil dan rapi dengan sebuah meja kaca hias di dekat jendela. (Seperti yang Alice harapkan), ia pun menemukan sebuah kipas dan dua atau tiga pasang sarung tangan di atas meja itu. Dan ketika ia akan beranjak pergi dari ruangan itu, matanya menemukan sebuah botol kecil di dekat meja. Botol itu tidak ada label namanya dan hanya bertuliskan. MINUMLAH. Alice membuka tutup botol dan hendak meminum isinya seraya berharap. semoga terjadi sesuatu padaku. Seperti dulu, saat aku makan atau minum sesuatu yang ada disini. Ya, biar kutunggu apa yang akan terjadi. Kuharap minuman ini akan membuat tubuhku memanjang dan makin membesar. Aku sudah bosan dan lelah dengan tubuhku yang kecil ini!"


Pendekar Rajawali Sakti Intan Saga Merah Goosebumps Napas Vampir Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap

Cari Blog Ini