Ceritasilat Novel Online

Alice In Wonderland 2


Lewis Carroll Alice In Wonderland Bagian 2



Keinginan Alice itu, tak lama kemudian, benar-benar terwujud. Malah lebih cepat dari dugaan Alice. belum setengah botol, tubuhnya sudah memanjang hingga kepalanya menyundul langit-langit Bergegas Alice meletakkan botol itu. ia takut, bila ia terus meminumnya, lehernya akan patah karena tubuhnya yang terus memanjang. Alice menjerit. "Cukup! Aku tak ingin memanjang lagi! Oh, semoga aku belum meminumnya terlalu banyak!"

   Tapi astaga! Semuanya sudah terlambat. Tubuh Alice kian meninggi dan membesar hingga ia terpaksa berdiri agak jongkok. Pada menit-menit berikutnya, ruang itupun tak cukup lagi menampung tubuhnya Alice kemudian berusaha berbaring, menekuk sikunya hingga menempel di pintu. Sedang lengan yang satunya lagi, ia tekuk ke belakang kepala. Namun, tubuh Alice terus bertambah panjang. Dan sebagai usaha terakhir, Alice menjulurkan lengannya ke jendela. Salah satu kaki, ia masukkan ke dalam cerobong asap seraya terus mengeluh. "Kini tak ada lagi yang bisa kulakukan. Oh, akan bagaimanakah nasibku?"

   Alice beruntung. Isi botol itu sudah habis khasiatnya Tubuh Alice kini tak memanjang lagi. Tapi, Alice tetap saja tidak suka dengan tubuhnya yang tinggi besar itu. Karena berarti tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk bisa keluar dari rumah itu. Alice sedih. "Bagaimanapun, ternyata lebih enak di rumah sendiri. Tubuh tidak akan membesar, meninggi atau mengecil. Lagi pula tidak akan jadi sasaran perintah si kelinci dan tikus itu. Oh, seandainya aku dulu tidak ikut-ikutan masuk ke dalam lubang kelinci itu - Tapi meski begitu, aku ingin tahu. kehidupan macam apakah yang ada disini. Apa lagi yang akan terjadi padaku? Biasanya dalam cerita yang pernah kubaca, keanehan seperti ini tidak pernah ada. Tapi kini semuanya kualami sendiri! Mestinya ada buku cerita yang menuliskan keanehan yang sedang kualami ini. Ya, harus, harus ada yang menuliskannya! Saat aku dewasa nanti aku akan menulisnya-tapi bukankah sekarangpun aku sudah besar?", renung Alice sedih, "setidaknya, ruangan ini saja sudah tidak cukup menampung tubuhku."

   "Namun sebenarnya," lanjut Alice kemudian, "apakah berarti aku juga sudah bertambah tua?Tentu ini tidak menyenangkan bagiku. Di satu sisi, aku tak pernah ingin jadi tua - agar aku punya kesempatan mempelajari hal-hal baru! Oh, aku tak suka dengan pikiran-pikiran semacam ini!"

   "Oh betapa bodohnya dirimu, Alice!" makinya dalam hati, "bagaimana mungkin kamu akan belajar hal baru di ruang ini ? Kenapa bisa begitu? Bukankah ruangan ini tak cukup memuat tubuhmu yang tinggi besar? Tak ada lagi sisa ruang untuk menaruh buku-buku disini!"

   Alice terus menelusuri jalan pikirannya sendiri sembari memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Namun beberapa saat kemudian, ia diam untuk mendengarkan suara dari luar rumah. Alice berusaha menyimak suara suara itu.

   "Marry Ann! Marry Ann!" begitulah suara itu menyeru, "ambilkan sarung tanganku. Cepat bawa kemari sekarang juga!" Lalu terdengar suara langkah kaki mendak i tangga rumah. Alice tahu, suara itu pasti suara langkah kaki si kelinci yang sedang mencarinya. Alice ketakutan dan tubuhnya gemetar. Akibatnya, rumah itu bergoncang. Alice tidak sadar bila tubuhnya kini sudah seratus kali lebih besar dibanding tubuh si kelinci dan mestinya ia tak perlu takut lagi padanya. Si kelinci pun akhirnya sampai di depan pintu dan berusaha membukanya. Namun pintu itu terganjal siku Alice. Usaha kelinci itupun gagal. Alice lalu mendengar si kelinci menggerutu sendirian. "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengelilingi rumah ini terlebih dahulu. Aku akan masuk lewat jendela."

   "Kamu tak akan bisa melakukannya!", seru Alice dalam hati. Untuk beberapa saat, Alice hanya menunggu hingga ia puas mempermainkan si kelinci. Namun suara kelinci itu sudah terdengar di bawah jendela. Seketika itu juga, Alice menjulurkan tangannya ke luar jendela, berusaha menangkap tubuh si kelinci. Namun meleset. Alice hanya mendengar suara jeritan kecil serta kaca pecah berjatuhan. Alice menduga kaca itu pastilah kaca penutup tempat menanam mentimun atau sejenisnya. Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara marah-marah, suara si kelinci. "Pat! Pat, kamu dimana?", disusul suara lain yang masih asing di telinga Alice.

   "Aku disini. Aku sedang mencari apel, Tuanku Yang Mulia !"

   "Benar, kamu sedang mencari apel?!" langsung disahut si kelinci dengan kesal.

   "Cepat kemari dan tolonglah aku!" - lalu terdengar lagi suara gelas pecah.

   "Sekarang, katakan padaku, Pat. Kira-kira apa yang keluar dari jendela itu tadi?"

   "Tangan, tuanku!"

   "Tangan ? Dasar angsa bodoh! Mana ada tangan sebesar itu?!"

   "Memang tidak ada, Tuanku Yang Mulia. Tapi itu memang tangan."

   "Baiklah, aku tak perduli. Cepat pergi dan tarik tangan itu keluar!"

   Sunyi beberapa saat. Alice hanya mendengar bisikan di sana-sini. Diantaranya adalah. "Aku tak bisa melakukannya, Yang Mulia. Aku tak bisa!" "Lakukan saja perintahku, pengecut!" Kemudian Alice kembali mengayunkan tangannya dan terdengarlah dua jeritan kecil dan suara gelas pecah - "sudah berapa gelas yang sudah kupecahkan, ya? Pasti sudah banyak sekali," kata Alice dalam hati. "Apa lagi yang akan mereka lakukan? Pasti mereka akan mengeluarkanku dari sini lewat jendela. Kuharap mereka bisa melakukannya. Aku sudah tak tahan lagi di ruangan ini!"

   Alice menunggu beberapa saat tanpa mendengar apa-apa lagi.

   Lalu terdengar suara putaran roda gerobak dan beberapa kerumunan sedang bicara satu sama lain. Ada beberapa kalimat yang bisa Alice tangkap dan pahami. Diantaranya. "Mana tangga yang lain? -Memangnya untuk apa? Toh, aku tidak harus bawa banyak. Cukup satu saja. Dan kamu Bill, bawa tangga satu lagi. Sudah cukup! - Cepat bawa kesini. Sandarkan di pojok sini - Jangan dulu, lebih baik disambung dulu jadi satu. Tingginya nggak akan cukup kalau cuma satu - Oh ini saja. Ini sudah cukup tinggi. Jangan banyak omong saja - Kemari Bill, tangkap tali ini - Sebentar, tapi apakah atapnya nanti kuat? - Hati hati, atapnya bisa jebol sewaktu waktu! - Oh, apa itu yang terlempar. Awas kepala kalian! - Siapa yang melakukannya tadi? - Bill kukira - Sekarang, siapa yang akan masuk dan menuruni cerobong itu? - Tidak, aku tidak bisa! Kamu saja! - Aku juga nggak mau. Enak saja! - bagaimana kalau si Bill saja yang melakukannya -Kemari Bill. Yang Mulia menyuruhmu menuruni cerobong asap itu!"

   "Oh, haruskah Bill lagi yang mesti menuruni cerobong asap?", cemas Alice, "kenapa mereka selalu membebankan semuanya pada Bill? Tapi meski begitu, aku tak akan bisa meraih tubuh Bill saat dia di cerobong asap nanti. Tempat perapiannya terlalu sempit untukku. Namun kurasa aku akan bisa menendangnya sedikit!"

   Alice lalu menjulurkan kakinya ke cerobong asap menunggu sampai ia dengar suara binatang kecil merangkak dan berjuang memasuki cerobong asap, tepat diatas kepala Alice dia tidak bisa membayangkan seperti apakah rupa mahluk itu). Dan Berkatalah Alice pada dirinya sendiri. "Ini pastilah si Bill!" Ditendangkannya kakinya sekali kemudian ia menunggu apa yang akan terjadi.

   Awalnya, terdengarlah suara koor panjang . "Itu dia si Bill!" Kemudian diikuti su ara suara kelinci saling bersahutan." Ayo kita tangkap dia! Kalian, bersiap-siaplah di dekat pagar!" Sejenak sepi dan terdengarlah lagi suara-suara sedang kebingungan. "Apa yang telah terjadi, kawan. Apa yang telah menimpamu? Ceritakanlah pada kami!"

   Setelah beberapa saat, terdengarlah suara cericit kecil dan lemah (Ini pasti suara Bill, tebak Alice).

   "Aku tak tahu - kini aku jadi bingung sendiri - Sesuatu sepertinya menghantamku dan tiba-tiba tubuhku serasa terlempar ke dalam kotak. Lalu kurasakan, menit-menit berikutnya aku telah meluncur, terbang dan terlempar seperti roket!"

   "Ya betul. Begitulah yang kami lihat dari sini, Bill!", sahut suara yang lain.

   "Kita harus bakar rumah ini!", seru si kelinci yang kemudian disahut Alice dengan teriakan sekeras-kerasnya. "Kalau kalian berani melakukannya, akan kupanggil si Dinah kemari....!" Kemudian sunyi lagi. Alice sejenak ragu. "Tapi, bisakah aku memanggil Dinah kemari?"

   Serta merta sunyi senyap dan Alice berpikir, "aku ingin tahu apa lagi yang hendak mereka lakukan! bila mereka cerdas, mereka pasti akan membongkar atap rumah ini." Setelah beberapa saat, mereka mulai bergerak kesana kemari lagi dan Alice mendengar si kelinci berkata, "Pertama, segerobak akan.."

   "Segerobak apa ?" pikir Alice; tapi sebentar saja ia ragu, karena selanjutnya lemparan kerikil itu bergemeretak mengenai jendela, dan beberapa diantaranya mengenai wajahnya. "Aku akan hentikan ini," katanya pada dirinya sendiri, dan iapun berteriak, "jangan lakukan lagi!" Teriakannnya ini membuat mereka diam dan suasana jadi sunyi senyap. Alice melihat dengan terkejut, kerikil itu semuanya berubah menjadi kue-kue kecil ketika menyentuh lantai dan terbersit gagasan cerdas di dalam benaknya. "Bila aku makan satu dari kue-kue ini," pikirnya, "pasti akan bisa mengubah ukuran tubuhku. Kalau tidak memperbesar pasti akan bisa memperkecil tubuhku."

   Lalu ia menggigit salah satu dari kue-kue itu, dan begitu gembira ketika merasakan tubuhnya langsung mengecil. Segera setelah tubuhnya cukup kecil untuk bisa menerobos masuk melalui pintu rumah, ia langsung lari dari dalam rumah itu dan melihat sekerumunan binatang-binatang kecil dan sejumlah burung sudah menunggunya di luar. Bill, si kadal kecil yang malang berada di tengah-tengah mereka, dipapah oleh dua binatang bertelinga kecil dan tak berekor sembari memberinya sesuatu dengan botol. Mereka langsung berduyun-duyun mendatangi Alice, lalu ia berlari sekuat tenaga dan sampailah ia di sebuah hutan lebat yang aman.

   "Pertama - tama yang harus kulakukan adalah," Alice kembali berpikir, ia heran, tiba-tiba saja ia sudah ada di tengah hutan, "menormalkan kembali ukuran tubuhku dan kedua, mencari jalan menuju taman indah itu. Ya, inilah rencana terbaik kukira." Rencana itu nampak sebagai sebuah rencana yang matang, penuh pertimbangan, rapi dan sederhana. Namun sayang, Alice belum punya gagasan sedikitpun untuk mewujudkannya. Dan saat ia memandang ke arah pepohonan di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara kulit kayu berderak-derak di atas kepalanya. Alice buru-buru mendongak ke atas. Nampaklah seekor anak anjing sedang mengawasi dengan matanya yang bulat dan besar, mencoba meraih-raih tubuh Alice dengan cakarnya. "Celakai" Alice lalu berusaha membujuk dan membisikkan sesuatu, tubuhnya gemetar. Alice khawatir bila anak anjing itu sedang lapar dan akan memangsanya. Serta merta Alice meraih sebuah tongkat kecil dan mengayun-ayunkan ke arah si anak anjing. Anak anjing itupun melompat-lompat dengan bertumpu pada kedua kaki. Sambil mendengking kegirangan, si anak anjing menghampiri tongkat di tangan Alice. Alice bertambah takut, ia lalu bersembunyi di balik tumbuhan berduri. Namun ketika ia muncul dari sisi lain pohon itu, si anak anjing kembali mengejar dan berusaha menangkap tongkat seraya menggulung-gulungkan kepala. Alice merasa anak anjing itu seolah-olah sedang bermain-main dengan sebuah kereta kuda, berharap setiap saat bisa menginjak tongkat itu dengan kakinya, berlari berkeliling berulang-ulang. Si anak anjing mulai lagi berusaha menguasai dan menyerang tongkat Alice, berla ri beberapa langkah ke depan dan mengambil ancang-ancang ke belakang. Kadang sambil ia goyang-goyangkan ekornya dengan kesal. Hingga akhirnya si anak anjing itu kembali duduk manis, terengah-engah, lidahnya menjulur keluar dan matanya menyipit.

   "Sekaranglah saat yang tepat," batin Alice, "untuk melarikan diri." Alice lalu mengambil ancang-ancang dan kemudian lari, hingga gonggongan anak anjing itu hanya terdengar lirih tertinggal jauh di belakang. Alice pun kelelahan dan kehabisan nafas.

   "Sebenarnya anak anjing tadi baik dan manis," sesal Alice dalam hati. ia kini menyandarkan tubuhnya pada sebatang bunga hutan, beristirahat sambil mengipas-ngipaskan topi. "Bisa saja aku mengajarinya cara bermain tongkat, bila saja... bila saja tubuhku tidak sekecil ini! Oh, hampir saja aku lupa untuk menormalkan tubuhku. Bagaimana ya, kira-kira caranya? Mestinya aku harus minum atau makan sesuatu atau yang lain seperti yang pernah kualami tadi. Tapi persoalannya, sesuatu itu apa? Inilah persoalan besar yang harus kujawab." Alice lalu memandang sekeliling, diantara bunga-bunga dan rerumputan. Namun tidak juga ia temukan sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Hanya ada sebuah jamur berukuran besar tumbuh di dekatnya. Kira-kira tingginya sama dengan tinggi badannya. Dan saat Alice melihat ke bawah jamur itu, di kedua sisinya, tiba-tiba saja ia penasaran dengan sesuatu yang nampak berada di atas jamur itu. Alice melongok ke atas dengan berjinjit, melihat seluruh bagian pinggir jamur itu. Matanya melihat seekor Ulat biru berukuran besar sedang duduk melipat kaki. Ulat itu sedang menghisap pipa cangklong panjang. Ulat itu tak henti mengawasinya. Nasehat Seekor Ulat UNTUK beberapa saat, mereka berdua hanya saling pandang. Lalu si Ulat melepaskan pipa cangklong dan bertanya pada Alice dengan suara mengantuk dan tak bersemangat.

   "Kamu siapa?"

   Alice menganggap pertanyaan itu tidak cukup menggugah, ia segan menjawabnya.

   "Saya..,saya sulit menjawabnya, Tuan. Saat ini, memang saya tahu siapa saya, Setidaknya sejak bangun pagi tadi. Namun rasanya, sejak saat itu saya sudah berubah beberapa kali."

   "Maksudmu?" lanjut si Ulat, "jelaskan padaku siapa sesungguhnya dirimu!"

   "Saya tidak bisa menjelaskannya. Saya ragu, Tuan. Sebab, rasanya saya ini bukanlah diri saya yang sebenarnya. Anda mengerti, Tuan?"

   "Aku tidak mengerti," jawab si Ulat.

   "Saya khawatir tidak bisa menjelaskannya lagi", lanjut Alice sopan, "sebab saya sendiripun tak mengerti dengan diri saya. Sangat membingungkan sekali mengalami perubahan tubuh beberapa kali dalam sehari seperti yang baru saja saya alami ini".

   "Itu tidak mungkin", bantah si Ulat.

   "Tentu saja. Anda 'kan belum mengalaminya," sergah Alice, "tapi bila nanti anda berubah jadi kepompong, kemudian berubah lagi menjadi kupu-kupu, anda pasti akan merasa aneh dan bingung sendiri. Bukan begitu, Tuan ?"

   "Bisa jadi begitu. Tapi pasti itu tidak mungkin."

   "Pokoknya, perubahan-perubahan itu telah membuatku merasa aneh."

   "Jadi kamu!?", Tanya si Ulat sungguh-sungguh,-"siapa sih sebenarnya kamu itu?"

   Nampaknya mereka harus mengulangi percakapan dari awal lagi. Alice jengkel dan marah. "Seharusnya, anda yang harus menjawab siapa diri anda sebenarnya !"

   "Kenapa?" tanya si Ulat. Pertanyaan penuh teka-teki. Kemudian, karena Alice tak punya jawaban yang tepat dan si Ulat mulai jengkel, Alice berbalik dan pergi meninggalkan si Ulat. "Kembali!", panggil si Ulat, "aku punya sesuatu yang penting untuk kita bicarakan."

   Tentu saja panggilan itu bagi Alice menjanjikan sesuatu. Alice menengok dan balik kembali.

   "Sabar dulu," kata si Ulat.

   "Hanya begitu? Sabar?" protes Alice sedapat mungkin menahan amarah.

   "Tidak," lanjut si Ulat. Alice berusaha menunggu. Siapa tahu si Ulat punya sesuatu yang layak didengarkan. Untuk beberapa saat, si Ulat hanya menghisap pipa cangklong tanpa bicara sepatah katapun. Namun akhirnya si Ulat merentangkan lengan, melepaskan pipa cangklong itu dari mulutnya seraya berkata. "Jadi, kamu merasa dirimu sudah berubah, begitu?"

   "Ya, Tuan", jawab Alice, "saat ini aku sudah lupa pada hal-hal yang biasa kuketahui. Aku tela h berusaha mengucapkan kata-kata. "Betapa lebah kecil itu gaduh dan berharap bisa mengucapkannya dengan susunan kata yang lebih baik..."

   "Kalau begitu, coba timkan ucapan saya dan ulangi. "Kamu sebenarnya sudah tua, Pak William", pinta si Ulat. Alice kemudian menirukan dan mengulangi kata-kata si Ulat sembari menyedekapkan tangannya. "Kamu sudah tua, Pak William," kata seorang pemuda " dan rambutmu sudah beruban, Tapi masih saja kuat berdiri terbalik dan kepalamu di bawah dalam jangka waktu lama. Kamu pikir, dalam usiamu yang tua itu, hal itu baik dan menyehatkan ?" "Pada masa mudaku, "jawab Pak William pada anaknya itu, " aku khawatir hal itu akan merusak otak di kepala, tapi sekarang aku sangat yakin, dan ternyata itu tidak terbukti. Kenapa, karena aku telah melakukannya berkali-kali. Sudah terbiasa." "Kamu sudah tua, "kata si pemuda lagi, "sudah sering kukatakan padamu dan tubuhmu pun sudah berubah makin tambun, bukan ukuran biasa Tapi masih saja kamu jungkir balik dengan punggungmu kau sandarkan di pintu. Sadarkah, apa alasan kamu melakukan itu semua?" "Pada masa mudaku, "jawab Pak William rambutnya yang putih ia sibak "Aku selalu menjaga kelenturan seluruh anggota tubuhku, dan memakai salep ini, hanya seharga satu sen per kotak, aku juga ingin menjualnya padamu sekotak agar tubuhmu juga bisa lentur sepertiku." "Kamu sudah tua, "sambung si pemuda, "dan rahangmu sudah begitu rapuh untuk mengunyah makanan yang lebih alot dari lemak punuk sapi itu. Tapi kamu malah menghabiskan daging bebek itu hingga Tak tersisa sedikitpun ia punya tulang dan paruh. Katakan, bagaimana kamu bisa begitu?" "Di masa mudaku, "jawab Pak William tua," kuikuti semua aturan dan membicarakan semuanya dengan istriku tapi kini kekuatan otot-otot rahangku sudah hilang di akhir sisa umurku." "Kamu sudah tua, "lanjut si pemuda lagi, "tapi orang lain akan sulit percaya begitu saja, matamu masih saja awas seperti dulu dan kamu masih mampu menyeimbangkan seekor belut yang kau letakkan pada ujung hidungmu -apa yang telah membuatmu bisa cerdik, begitu?" "Aku sudah jawab tiga pertanyaan. Dan itu sudah cukup," seru Pak William, "jangan biarkan dirimu terlena dengan pertanyaan-pertanyaanmu sendiri. Kau kira aku tahan mendengarkannya seharian?!" "Berhentilah bertanya atau akan kutendang kamu hingga jatuh dari lantai ini!"

   "Kukira, tidak sepenuhnya benar begitu," kata si Ulat.

   "Memang tidak sepenuhnya benar," Alice menimpali, "beberapa dari kata-katanya sudah ada yang berubah."

   "Memang sudah salah mulai dari awal sampai akhir," kata si Ulat menyimpulkan. Lalu mereka sama-sama terdiam. Hingga akhirnya si Ulat kembali bertanya.

   "Kamu sebenarnya ingin membesarkan tubuhmu sebesar apa, sih?"

   "Aku sebenarnya tidak pilih-pilih ukuran," jawab Alice, "hanya tentu saja orang tidak akan senang bila tubuhnya terus berubah berulang kali, 'kan?" "Aku tidak tahu."

   Alice terdiam. dia merasa tidak pernah sebingung saat itu, dan ia mulai tidak sabar.

   "Sekarang Kamu sudah puas?" Tanya si Ulat.

   "Tapi aku ingin tubuhku lebih besar sedikit. Tentu saja bila anda tidak keberatan membantuku," pinta Alice, "tubuhku yang hanya tujuh puluh sentimeter ini rasanya sangat mengganggu."

   "Kamu tahu, ukuran segitu itu sudah bagus," sentak si Ulat dengan agak kesal, sambil berdiri. Tinggi Ulat itu persis tiga inci.

   "Tapi aku tidak terbiasa dengan ukuran tubuhku yang kecil ini!" Alice merajuk dengan suara memelas seraya berharap dalam hati. "semoga saja mahluk ini tidak gampang tersinggung."

   "Nanti kamu juga akan terbiasai" Si Ulat memasukkan pipa cangklong ke mulut dan mulai menghisapnya lagi. Kali ini Alice terpaksa harus sabar menunggu hingga si Ulat itu mau bicara lagi. Untunglah, beberapa saat kemudian, si Ulat melepaskan pipa cangklongnya dan turun dari atas jamur. Si Ulat merangkak di rerumputan sambil terus mengingatkan.

   "Bagian sisi kanan jamur itu bisa membuat tubuhmu membesar serta meninggi dan bagian sisi kirinya bisa untuk mengecilkan tubuhmu."

   "Sisi kanan apa? Sisi kiri apa?" tanya Alice. "Sisi kanan dan kiri jamur itu!" seru si Ulat sebelum menghilang. Beberapa saat A lice berpikir soal jamur itu lalu memetiknya. Alice membagi jamur itu menjadi dua bagian. bagian sisi kanan dan kiri. Alice merasa kesulitan membedakannya karena bentuk jamur itu bundar. Tapi akhirnya ia merentangkan tangannya melingkari jamur itu dan membelahnya menjadi dua bagian serta memegangnya dengan dua belah tangannya.

   "Tadi mana ya, bagian kiri dan kanannya?" Alice lupa dan kesulitan membedakan kedua sisi jamur itu. Lalu ia menggigit salah satu yang ia pegang di tangan kanannya untuk sekedar merasakan pengaruhnya. Tak lama kemudian, ia mulai merasakan sakit di bagian dagunya. Lalu iapun sadar dan ingat kembali saat dagunya sudah membentur pangkal atas kakinya! Serta merta Alice ketakutan. Tubuhnya sudah menyusut dengan tiba-tiba. Tapi untunglah, tak lama tubuhnya berhenti mengecil dan payung jamur itu tidak terlepas dari genggaman tangannya. Alice tidak putus asa. Meskipun ia merasa kesulitan membuka mulut karena tubuhnya telah menyusut, tapi ia terus mencoba membuka mulut itu dan menggigit bagian yang ia pegang di tangan kiri.

   "Nah, cepat...cepat..! Yak, akhirnya kepalaku terbebas juga," seru Alice gembira. Namun sejenak ia kembali khawatir. Lengan bahunya terasa menghilang, ia berusaha mencarinya tapi tidak ketemu. Alice melongok ke bawah, menelusuri lehernya yang kini panjang seperti batang menjulang tinggi di antara rumput-rumput hijau. Di matanya, rumput-rumput itu nampak jauh sekali berada di bawah.

   "Apakah rumputan itu memang benar-benar rumput?" tanya Alice dalam hati, "dimana kira-kira kedua bahu tanganku? Oh tanganku yang malang! Bagaimana ini?! Kamu sekarang ada di mana, wahai tanganku?!" Alice menggerak-gerakkan tubuhnya, namun tak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali hanya gesekan-gesekan kecil bagi rerumputan itu. Alice berusaha meliukkan kepala ke arah tangannya yang ada di bawah, ia gembira, lehernya ternyata dapat digerakkan ke segala arah dengan sangat mudah seperti kepala Jerapah atau Ular Naga. Alice pun berhasil menekuk leher ke bawah hingga membentuk zig-zag yang indah, meliuk-liuk di antara daun-daun hijau. Alice akhirnya sadar, rumput itu ternyata adalah pucuk-pucuk pohon di sebuah hutan. Tempat biasanya burung-burung bersarang. Tentu saja, gerakan tubuhnya telah menggoyang-goyangkan pepohonan. Seekor burung Merpati Hutan besar terbang menyambar mukanya, menyerangnya dengan kasar sambil mengepak-ngepakkan sayap. Alice menarik kembali lehernya ke atas.

   "Ular naga!" teriak si Merpati.

   "Aku bukan ular naga!" Alice berusaha menjelaskan.

   "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendiri!"

   "Aku sudah coba berbagai cara!" kata si Merpati sedih, diselingi isakkan tangis, "tapi tampaknya semuanya sia-sia."

   "Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu."

   "Aku pernah mencoba menggunakan akar-akar pohonan, menumpuk onggokan akar itu dan ditambah jerami," lanjut si Merpati, tanpa menghiraukan Alice, "tapi mereka, Ular-Ular Naga itu! Mereka tetap saja tidak senang padaku."

   Alice makin tidak mengerti, tapi ia pikir tak ada gunanya menyela. Lebih baik ia biarkan saja si Merpati melanjutkan ceritanya.

   "Pikirnya mudah apa menetaskan telur?!" lanjut si Merpati, "Mereka selalu mengawasiku siang dan malam. Aku belum tidur sama sekali selama tiga minggu ini, mengerami telur ini!"

   "Eh.., baru saja aku hinggap di dahan pohon tertinggi di hutan ini," suara Merpati mulai terdengar serak, "dan baru saja terbebas dari para Ular Naga itu, tiba-tiba saja mereka sudah muncul lagi begitu saja meluncur dari langit! Sebel! Sebel!"

   "Tapi, aku bukan si Ular Naga," kata Alice, "aku... aku.."

   "Kalau bukan, jadi kamu ini sebenarnya siapa?" tanya si Merpati, "nampaknya kamu juga sedang mencari sesuatu."

   "Aku...sebenarnya, aku hanyalah seorang gadis kecil," jawab Alice ragu-ragu, karena ia merasa telah berubah berulangkali.

   "Seperti dalam cerita saja. Ya, aku memang pernah dengar cerita seperti itu. Tapi nampaknya tak ada satupun tokoh ceritanya yang punya leher panjang seperti kamu. Bukan, bukan! Pasti kamu seekor ular naga! Ya, benar. Dan kamu hendak menipuku dengan mengatakan bahwa kamu tak pernah suka makan telur!"

   "Aku suka makan telur. Percayalah," jawab Alice seraya memohon seperti anak kecil, "tapi aku tak akan memakan telur milikmu. Aku tak suka makan telur yang masih mentah."

   "Sudah, cukup kalau begitu!" putus si Merpati sambil meletakkan telur di sarangnya kembali. Alice menunduk dengan meneroboskan kepalanya melalui sela-sela pepohonan, sebisa mungkin. Kadang lehernya nyangkut di ranting dan beberapa kali ia harus berhenti sejenak mengurai sangkutan lehernya. Tiba -tiba Alice teringat pada jamur yang masih tergenggam di tangannya. Hati-hati, ia berusaha mencicipi secara bergantian antara yang dipegang di tangan kiri dan tangan kanan. Tentu saja tubuhnya kadang memanjang kadang memendek. Hingga akhirnya tubuhnya kembali normal. Alice perlu beberapa waktu untuk membiasakan diri dengan ukuran tubuhnya yang normal. Awalnya ia merasa asing. Tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa. "Sebagian rencanaku sudah terlaksana sekarang! Betapa perubahan-perubahan yang kualami ini sangat membingungkan! Aku jadi selalu ragu pada diriku sendiri dari menit ke menit, dari waktu ke waktu! Tapi sudahlah, saat ini tubuhku sudah kembali normal. Dan selanjutnya aku akan masuk ke taman indah itu - tapi bagaimana ya, caranya ?" Pada saat itu, Alice melihat sebuah dataran terbuka, dengan sebuah rumah kecil setinggi sekitar empat kaki berdiri disana. "Siapapun yang hidup di situ, pasti tubuh mereka tidak sepertiku. Ah, aku pasti akan menakutkan mereka!" Lalu ia mulai menggigit jamur di tangan kananya dan tidak berjalan mendekati rumah itu sampai ia bisa mengecilkan tubuhnya hingga setinggi sembilan inci. Babi dan Lada SEJENAK Alice diam berdiri menatap rumah itu sambil merencanakan sesuatu, ketika tiba-tiba seseorang dengan baju pelayan muncul dari hutan itu - ia menganggapnya pelayan karena dia memakai baju pelayan - tapi bila Alice menilik pada wajah seseorang itu saja, ia lebih suka memanggilnya dengan si Ikan. ia mengetok keras-keras pintu dengan jari-jemarinya. Pintu itu dibuka oleh seorang pelayan lain, berwajah bundar dan bermata besar seperti kodok; kedua pelayan itu, setelah Alice perhatikan, berambut menggelombang dengan kening penuh bedak, Alice penasaran sedang apakah mereka, dan ia merangkak agak menjauh dari hutan itu untuk mencuri dengar. Si pelayan berwajah ikan awalnya mengeluarkan sebuah amplop besar dari kempitan lengannya, hampir sebesar tubuhnya, dan menyerahkannya pada pelayan satunya seraya berkata dengan sungguh-sungguh, "untuk permaisuri. Undangan bermain kriket dari sang ratu." Si pelayan berwajah kodok mengulangi kata-kata itu, dengan nada yang sama, hanya dengan mengubah susunannya sedikit," dari sang ratu. Undangan bagi permaisuri untuk bermain kriket."

   Lalu mereka saling menunduk, dan rambut keduanya berbelitan satu dengan yang lain.

   Alice tertawa terpingkal-pingkal, lalu ia berlari kembali dan sembunyi di hutan itu, takut mereka akan mendengar tawanya; dan ketika ia kemudian mengintip lagi, si pelayan berwajah ikan itu sudah pergi dan tinggal si pelayan satunya yang duduk di tanah dekat pintu, linglung menatap langit.

   Alice hati-hati melangkah ke arah pintu itu dan mengetoknya.

   "Tak ada gunanya mengetok pintu seperti itu," kata si pelayan, "karena dua alasan. Pertama, karena saya di sisi yang sama dari pintu itu sepertimu; kedua, karena mereka sangat gaduh di dalam, tak seorangpun akan mendengar." Dan memang benar, terdengar kegaduhan yang luar biasa di dalam rumah itu - suara bersin dan ketawa, sesekali terdengar bunyi pecahan, sepertinya piring atau panci pecah berkeping-keping.

   "Lalu kalau begitu," kata Alice, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam?"

   "Harus ada semacam bayangan ketika kau mengetuknya," lanjut si pelayan tanpa memperhatikan Alice, "seolah-olah pintu itu ada diantara kita. Misal, kalau kamu di dalam, kau boleh mengetoknya dan saya bisa membukakan agar kau bisa keluar, kamu mengerti." Dia berbicara dengan kepala terus menatap langit, Alice tentu menganggapnya tak sopan. "Namun mungkin ia memang begitu," kata Alice pada diri sendiri; "karena matanya sangat dekat dengan ujung kepalanya. Tapi biar begitu, dia mungkin b isa memberi jawaban. - bagaimana aku bisa masuk ke dalam rumah ini?" ia mengulangi pertanyaanya dengan suara keras.

   "Saya akan duduk disini," si pelayan menegaskan, "sampai besok-"

   Pada saat bersamaan, pintu rumah itu terbuka dan sebuah piring besar melayang keluar, lurus mengarah ke kepala si pelayan. Piring itu hanya menyerempet hidungnya dan pecah berkeping mengenai salah satu pohon yang tumbuh di belakang pelayan itu.

   "Lain kali, mungkin," lanjut si pelayan dengan nada yang sama, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa. "Bagaimana aku bisa masuk?" Tanya Alice sekali lagi, dengan suara lebih keras.

   "Apa kamu mau masuk ke dalam rumah ?" kata si pelayan "itu masalah pertama, paham."

   Tentu saja Alice tidak suka dijawab begitu. "Sangat mengerikan," Alice memberengut, "cara mahluk ini menjawab. Cukup membuat orang jadi gila!"

   Si pelayan seolah berpikir bahwa saat itulah saat yang tepat baginya untuk mengulangi penegasannya, dengan sejumlah variasi. "Saya akan duduk di sini," katanya, "terus-menerus, selama berhari-hari,"

   "Tapi aku mesti melakukan apa?" Tanya Alice.

   "Apa saja yang kau suka," jawab si pelayan, dan mulai bersiul.

   "Oh, tak ada gunanya bicara dengannya," kata Alice putus asa; "dia benar benar idiot!" ia lalu membuka pintu itu dan masuk ke dalam rumah. Pintu itu membuka ke kanan dan menuju ke sebuah dapur yang besar, penuh dengan kepulan asap. Permaisuri sedang duduk di kursi sandaran berkaki tiga di tengah ruangan, menggendong seorang bayi; si juru masak berdiri dekat perapian, mengaduk sebuah ceret besar penuh sayur sup "Pasti ladanya terlalu banyak!" gumam Alice pada dirinya sendiri, sebisa mungkin karena kepingin bersin. Pasti terlalu banyak lada yang menguap dari sup itu. Bahkan permaisuri kadang juga bersin-bersin, begitu juga si bayi, bersin dan menangis bergantian tanpa henti. Yang tidak bersin di dapur itu hanya si juru masak, dan seekor kucing besar yang duduk di dekat perapian dan menyeringai lebar.

   "Kumohon, maukah kau memberitahuku," kata Alice, dengan agak sopan, karena ia tidak yakin apakah sopan baginya untuk memulai pembicaraan, "kenapa kucing anda menyeringai seperti itu?"

   "Dia itu kucing Chesire," sentak permaisuri, "itulah sebabnya. Dasar babi !"

   Dia mengucapkan kata makian itu dengan ungkapan kemarahan yang tiba-tiba, membuat Alice terlonjak; namun ia kemudian menyadari kemarahan itu terarah pada si bayi, bukan padanya, jadi ia memberanikan diri dan melanjutkan ucapannya. "Aku tidak tahu kalau kucing Chesire selalu menyeringai begitu; Sebenarnya, aku tidak pernah tahu ada kucing bisa menyeringai lebar seperti itu." "Semua kucing bisa begitu," tegas permaisuri; "dan kebanyakan mereka bisa melakukannya."

   "Saya tahu tidak ada seekorpun kucing bisa melakukan hal itu," kata Alice dengan amat sopan, merasa senang telah bisa bercakap-cakap dengan dengan permaisuri.

   "Kau tidak tahu apa-apa," kata permaisuri, "dan itu kenyataan."

   Alice sama sekali tidak suka dengan nada penegasan itu, dan berpikir untuk mengganti bahan pembicaraan. Saat ia sedang memilih bahan yang tepat, si juru masak mengentas ceret sup itu dari tungku, dan tiba-tiba melemparkan apa saja yang bisa dijangkau tangannya ke arah permaisuri dan si bayi - pertama pengungkit perapian, lalu disusul wadah saus, piring dan makanan. Permaisuri tidak memperdulikannya, meskipun barang-barang itu kadang mengenainya; dan si bayi sudah menangis sejak awal, jadi sulit untuk mengatakan apakah lemparan itu menyakitinya atau tidak.

   "Oh, hati-hatilah dengan apa yang kau lakukan!" jerit Alice, melompat kesana kemari tersiksa cemas. "Oh, nanti bisa kena hidungnya." Saat itu wadah saus melayang dan hampir mengenai bayinya.

   "Bila saja setiap orang tahu urusan mereka sendiri," kata permaisuri geram dan parau, "dunia pasti akan berputar lebih cepat."

   "Dan tidak ada gunanya," sahut Alice. ia merasa senang punya kesempatan untuk menunjukkan sedikit pengetahuannya. "Bayangkan kerja apa yang bisa dilakukan pada siang dan malam hari! bukankah bumi memerlukan waktu dua puluh empat jam untuk berputar di porosnya -" "Bicara soal poros," kata permaisuri, "p enggal kepalanya!" Alice menatap si juru masak dengan agak cemas, kalau saja ia menangkap maksud ucapan permaisuri itu; namun si juru masak itu, sibuk mengaduk sup dan terlihat tidak mendengarkan, lalu Alice melanjutkan. "Dua puluh jam, kukira; atau duabelas ? Aku -" "Oh, jangan ganggu aku dengan soal itu," kata permaisuri; "aku tidak pernah bisa berhitung!" lalu ia kembali mulai menenangkan si bayi, menyanyikan lagu seperti nina bobok dan dengan geram dan mengayun si bayi itu pada tiap baris akhir kata katanya. bicaralah dengan kasar pada anak lelaki kedimu dan pukullah kalau ia bersin dia begitu hanya untuk mengganggu karena dia tahu itu akan bisa menyiksa (si juru masak dan si bayi ikut menyanyikannya)-wow wow wow Saat permaisuri menyanyikan bagian kedua lagu itu, ia dengan kasar terus mengayun si bayi ke atas dan ke bawah, dan si kecil yang malang itu makin keras menangis, hingga Alice hanya lamat-lamat mendengar. aku berkata kasar pada anak lelakiku aku pukul bila ia bersin karena ia bisa menikmati lada itu saat ia senang woo woo woo "Kemari! kau jaga bayi ini sebentar!" panggil permaisuri pada Alice, sembari menyerahkan gendongan bayi itu padanya. "Aku harus pergi dan bersiap untuk main kriket dengan sang ratu," dan ia pun bergegas keluar dari ruangan itu. Si juru masak melemparkan wajan ke arah sang ratu ketika ia keluar tapi meleset. Alice menggendong bayi itu dengan agak susah, karena sosoknya yang kecil dan aneh, dan bayi itu merentangkan lengan tangan dan kakinya ke segala arah, "kayak bintang laut," pikir Alice. Bayi kecil itu mendengus-dengus seperti mesin uap ketika ia memegangnya, dan terus meringkuk dan mengejang bergantian, dan untuk beberapa saat awalnya sangat merepotkan. Tak lama setelah Alice bisa menggendongnya dengan benar, (dengan mengikatkannya pada simpul bentan lengannya dan menahan telinga kanan dan kaki kirinya agar bayi itu tidak melepaskan diri) ia membawanya ke tempat terbuka, "bila bayi ini tidak kubawa keluar," timbang Alice, "mereka pasti akan bisa membunuhnya. Ah, Kalau bayi ini kutinggal saja, apakah ia berarti aku juga telah ikut membunuhnya?" Alice mengucapkan kata ini dengan suara keras, dan si bayi kecil itu mendengkur (pada saat itu ia sudah tidak bersin-bersin lagi). "Jangan ngorok," kata Alice, "tidak sopan kalau kau ngorok."

   Si bayi ngorok lagi, dan Alice menatap wajah bayi itu dengan cemas untuk memastikan penyebab ia ngorok. Tidak salah lagi. Bayi itu ngorok karena hidung si bayi itu menonjol ke atas, lebih mirip tonjolan moncong daging daripada hidung, beneran! Matanya juga sangat kecil untuk ukuran bayi; Alice jadi tidak suka dengan bayi itu. "Tapi mungkin ia hanya sedang terisak," pikirnya, dan ia menatap bayi itu lagi, memastikan ada air mata mengalir dari mata itu atau tidak.

   Tidak ada, tidak ada air matanya. "Bila kamu nanti memang berubah menjelma menjadi seekor babi, sayangku", kata Alice sungguh-sungguh, "tentu aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Ingat itu." Bayi kecil itu terisak lagi (atau ngorok, susah yang mana yang benar) dan mereka berjalan sambil diam beberapa lama.

   Alice mulai berpikir, "sekarang apa yang mesti kulakukan bila bayi ini kubawa sampai ke rumah?' Ketika si bayi itu mulai ngorok dengan suara keras, ia menatap wajah bayi itu dengan kaget dan teringat sesuatu. Kali ini taksalah lagi; bayi itu sudah berubah menjelma menjadi seekor babi, dan ia merasa akan sangat tidak masuk akal baginya untuk terus membopongnya.

   Lalu, ia turunkan mahluk kecil itu, dan merasa terbebas ketika melihat babi itu dengan tenang merangkak berlari ke dalam hutan. Bila ia sudah besar," katanya pada diri sendiri, "babi itu pasti akan menjadi babi jelek dan menakutkan, tapi kupikir ia nanti akan menjadi babi yang lebih baik." Dan ia mulai memikirkan soal anak-anak lain, anak-anak yang juga berubah seperti babi, dan bicara pada dirinya sendiri, "bila saja ada yang tahu cara yang tepat untuk mengubah mereka -" ketika tiba-tiba ia agak terkejut melihat kucing Chesire sudah duduk di cabang sebuah pohon beberapa meter di dekatnya.

   Kucing itu hanya menyeringai ketika menat ap Alice. Nampak baik, pikir Alice. tapi kucing itu tetap berkuku panjang dan punya gigi besar besar, dan Alice ingin memperlakukannya dengan baik.

   "Puss, kucing Chesire," ia mengawali menyapanya dengan sopan, karena ia sama sekali tidak tahu kucing itu suka atau tidak dipanggil begitu. meski demikian, kucing itu hanya menyeringai lebih lebar lagi. "Ya, sejauh ini menyenangkan," pikir Alice, dan ia melanjutkan, "maukah kau memberitahuku, bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?"

   "Tergantung pada tempat mana yang hendak kau tuju," jawab si kucing.

   "Aku tak perduli harus kemana -" kata Alice.

   "Kalau begitu, arah mana pun juga tak masalah bagimu," ucap si kucing.

   "Asalkan aku bisa sampai di suatu tempat tertentu," Alice menambahkan untuk menjelaskan.

   "Oh, kau yakin akan tetap pergi ke sana," kata si kucing, "meski kau harus menempuh perjalanan cukup jauh."

   Alice merasa tak ada pilihan jawaban lain, lalu ia pun mencoba mengajukan pertanyaan lain. "Siapa sajakah yang hidup disini ?"

   "Pada arah itu," kata si kucing sambil melambaikan cakar kanannya memutar, "hidup si Hatter, dan arah sana," kata si kucing sambil melambaikan cakar kirinya, "hidup si March Hare. Kunjungilah mereka mana yang kau suka; tapi keduanya sama-sama gila."

   "Tapi aku tak ingin menemui orang gila," tegas Alice "Oh, kau tak punya pilihan lain," kata si kucing; "kita semua gila disini. Aku gila. Kamu juga gila."

   "Kok bisa?" Tanya Alice "Ya, kamu pasti sudah gila," kata si kucing, "sebab kalau tidak kau tak akan pernah sampai di tempat ini."

   Alice tidak menganggap jawaban itu tidak cukup dijadikan bukti; meski demikian, ia melanjutkan, "dan bagaimana kau tahu kalau dirimu juga gila?"

   "Awalnya," kata si kucing, "kamu tahu 'kan kalau anjing tidak gila?"

   "Ya, saya kira begitu," kata Alice.

   "Baiklah, lalu," lanjut si kucing, "kau tahu, anjing menggeram ketika marah, dan mengibaskan ekornya saat mereka-girang. Tapi kini aku menggeram di saat senang dan mengibaskan ekorku saat marah. Itulah kenapa aku gila."

   "Aku menyebutnya mendengking, bukan menggeram," kata Alice "Terserah kau menyebutnya apa,"kata si kucing, "apa kau juga akan main kriket dengan sang ratu hari ini?"

   "Oh, tentu aku akan senang sekali," kata Alice, "tapi aku "Jadi babi," jawab Alice pelan, seolah perubahan bayi itu wajar baginya.

   "Kupikir juga begitu," kata si kucing dan kucing itupun lenyap lagi. Alice menunggu sejenak, setengah berharap kucing itu akan muncul lagi, tapi ternyata tidak, dan setelah beberapa lama iapun berjalan ke tempat si March Hare. "Aku sudah pernah bertemu dengan si Hatter sebelumnya," katanya pada dirinya sendiri, "si March Hare pasti akan lebih menarik dikunjungi dan karena saat ini bulan Mei pasti dia tidak sedang suka marah marah - setidaknya, tidaklah segila seperti pada bulan Maret" Ketika ia mengucapkan kata-katanya, ia mendongak, dan terlihatlah si kucing itu lagi, duduk di salah satu ranting cabang sebuah pohon.

   "Kau tadi berkata babi atau api?" tanya si kucing.

   "Babi," jawab Alice, "dan kuharap kau tidak akan muncul lagi dan cepatlah pergi; kau membuatku sangat pusing."

   "Baiklah," kata si kucing; dan kali ini kucing itupun menghilang secara perlahan, bermula dari ujung ekornya hingga nampak tinggal seringainya beberapa saat setelah semua bagian tubuhnya tidak kelihatan lagi. "Ya! aku sudah sering melihat kucing tanpa seringai," pikir Alice; tapi seringaian kucing saja! oh, itu hal teraneh yang pernah kualami sepanjang hidup!"

   Alice belum melangkah terlalu jauh ketika ia melihat rumah si gila March; ia pikir itu pasti rumahnya, karena bentuk cerobong asapnya seperti daun telinga dan atapnya terbuat dari jaluran bulu binatang. Rumah itu sangat besar, dia tidak ingin langsung mendekati rumah itu. ia lalu menggigit beberapa bagian dari jamur di tangan kirinya hingga tubuhnya setinggi dua kaki; lalu ia berjalan ke rumah itu dengan agak takut, berkata pada dirinya sendiri; "Sandarnya saja ia lagi suka marah dan mengomel! Lebih baik aku menemui si Hatter saja!" Jamuan Minum Teh Gila SEBUAH meja besar sudah tertata di bawah sebuah pohon di depan rumah itu, dan si March Hare dan si Hatter sedang minum teh di situ. Seekor binatang mirip tikus dengan ekor penuh bulu duduk di antara mereka, tertidur, dan dua orang itu menggunakan tubuh si binatang itu layaknya sebuah bantal, menyandarkan bahu mereka, dan saling bercakap melintasi kepala binatang itu. "Pasti sangat tidak mengenakkan bagi si binatang itu," pikir Alice;" tapi, karena binatang itu sedang tertidur, kukira hal itu tak masalah."

   Meja itu sangat besar, namun hanya satu sisinya saja yang dipakai secara bergerombol. "Tak ada tempat! tak cukup tempatnya, sudah penuh!" teriak mereka ketika melihat kedatangan Alice. "Masih banyak tempat kosong!" Tegas Alice, dan dia duduk di sebuah kursi besar di salah satu tepi meja.

   "Silahkan minum anggurnya," kata si March Hare menawari. Alice melihat ke sekeliling meja, tapi tak ada sesuatupun di situ kecuali teh. "Saya tidak melihat ada anggur," ia menegaskan.

   "Memang tidak ada," kata si March Hare.

   "Sungguh sopan kamu menawarkannya," kata Alice dengan marah.

   "Sungguh kamu yang tidak sopan duduk disini sementara kau tidak di undang," kata si March Hare.

   "Aku tidak tahu kalau sisi meja ini juga meja perjamuanmu," kata Alice, "meja ini cukup menampung lebih dari tiga orang."

   "Rambutmu perlu dipotong," kata si Hatter. ia memandangi Alice beberapa saat dengan heran, dan ini adalah sapaan pertamanya.

   "Kau harus belajar untuk tidak mengurusi urusan pribadi orang lain," Alice berkata dengan agak keras; "itu sangat kasar."

   Si Hatter membelalakkan matanya, tapi kemudian ia hanya mengatakan, "kenapa seekor burung gagak sama dengan meja tulis?"

   "Ya, kita mesti bersenang-senang sekarang!" pikir Alice. "Aku senang kalian mulai bertanya soal teka-teki. Aku yakin bisa menebak jawabannya," ia menambahkan dengan suara lantang.

   "Maksudmu kau pikir kau tahu jawabannya?" Tanya si March Hare. "Tepat sekali," kata Alice.

   "Kalau begitu katakan apa jawabanmu," lanjut si March Hare.

   "Ya," sahut Alice cepat; "setidaknya -setidaknya aku tahu apa yang kukatakan - bukankah itu adalah hal yang sama..."

   "Sama sekali tidak sama!" kata" si Hatter., "Kamu boleh mengatakan aku tahu apa yang kumakan, adalah sama dengan ketika kau mengatakan aku makan apa yang aku tahui"


Kathleen Mcgowan The Expected One Shugyosa Samurai Pengembara II Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu

Cari Blog Ini