Malaikat Dan Iblis 13
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 13
"Menolak untuk berkomentar?" tanya Rocher. "Yang benar saja!"
Wartawati itu masih berbicara, alis matanya mengerut untuk menunjukkan keseriusannya. "Walau MSNBC masih harus mengonfirmasikan motif dari pembunuhan ini, tapi sumber kami melaporkan bahwa sudah ada yang mengaku bertanggung jawab atas kejadian itu, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Illuminati."
Olivetti meledak kemarahannya. "Apa?!"
" ... dapatkan informasi lebih lanjut tentang Illuminati dengan cara membuka situs kami di alamat-"
"Non uposibile!" seru Olivetti. Dia memindahkan saluran. Stasiun televisi yang ini menayangkan reporter berdarah Hispanik. "- sebuah kelompok setan yang dikenal dengan nama Illuminati, yang diyakini oleh beberapa orang sejarawan-Olivetti mulai menekan-nekan alat pengendali jarak jauh di tangannya dengan cepat. Semua saluran sedang menyiarkan siaran langsung. Pada umumnya dalam bahasa Inggris.
"-Garda Swiss memindahkan jasad dari gereja sesaat yang lalu. Jasad itu dipercaya sebagai Kardinal-"
"-lampu-lampu di Basilika Santo Petrus dan museum-museum dipadamkan sehingga menimbulkan spekulasi-"
"-akan berbicara dengan ahli teori konspirasi Tyler Tingley, tentang berita menghebohkan ini-"
"-kabar angin tentang akan adanya dua pembunuhan berikutnya yang direncanakan akan terjadi malam ini-"
"-kini dipertanyakan apakah Kardinal Baggia yang merupakan calon paus unggulan berada di antara para paus yang hilang itu-"
Vittoria berpaling. Segalanya terjadi begitu cepat. Di luar jendela, dalam kegelapan, daya magnet tragedi manusia seolah menghisap perhatian semua orang ke arah Vatican City. Kerumunan di lapangan mulai membesar, nyaris dalam sesaat saja. Para pejalan kaki mengalir ke arah mereka sementara sekelompok kru media yang baru datang mulai mengeluarkan barang-barang dari van mereka dan mengharapkan keberuntungan di Lapangan Santo Petrus.
Olivetti meletakkan remote control dan berpaling pada sang camerlegno. "Signore, saya tidak dapat membayangkan bagaimana ini dapat terjadi. Kami telah mengambil kaset rekaman yang ada di dalam kameranya."
Sang camerlegno menatapnya sesaat, terlalu terkejut untuk berbicara.
Tidak seorang pun yang berbicara. Para pasukan Garda Swiss berdiri kaku penuh perhatian.
"Tampaknya," kata sang camerlegno akhirnya, suaranya terdengar terlalu sedih daripada marah, "kita belum mampu mengatasi krisis ini sebaik yang kalian katakan padaku." Dia melihat keluar jendela ke arah massa yang berkerumun. "Aku harus membuat pernyataan."
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Jangan, signore. Itulah yang sebenarnya dikehendaki Illuminati-mengkonfirmasikan keberadaan mereka, memberikan mereka kekuatan. Kita harus tetap diam."
"Dan orang-orang itu?" sang camerlegno menunjuk ke luar jendela. "Dalam sekejap saja jumlah mereka akan bertambah banyak. Melanjutkan permainan ini hanya akan membahayakan mereka. Aku harus memperingatkan mereka. Lalu kita harus mengevakuasi Dewan Kardinal."
"Masih ada waktu. Biarkan Kapten Rocher menemukan antimateri itu ."
Sang camerlegno berpaling. "Apakah kamu berniat memberiku perintah?"
"Tidak. Saya hanya memberi Anda nasihat. Kalau Anda mengkhawatirkan orang-orang di luar itu, kita dapat mengumumkan adanya kebocoran gas dan mengosongkan kawasan itu, tetapi mengakui kalau kita sedang disandera oleh sebuah kelompok tertentu adalah hal yang berbahaya."
"Komandan. Aku hanya akan mengatakan ini satu kali saja. Aku tidak akan menggunakan lembaga ini untuk membohongi semua orang. Kalau aku mengumumkan apa pun, pengumuman itu pasti merupakan sebuah kebenaran."
"Kebenaran? Bahwa Vatican terancam akan dihancurkan oleh teroris setan? Itu hanya akan memperlemah kedudukan kita."
Sang camerlegno melotot. "Seberapa lemah posisi kita semestinya?"
Tiba-tiba Rocher berteriak sambil meraih remote control dan mengeraskan suara televisi. Semua orang berpaling.
Di layar TV, tampak seorang wartawati dari MSNBC yang sekarang tampak benar-benar merasa ngeri. Foto mendiang Paus terpampang dengan sangat besar di sampingnya. "... berita terkini. Ini baru tiba dari BBC .... " Lalu wartawati itu mengalihkan tatapannya dari kamera seolah ingin meyakinkan dirinya apakah dia memang harus menyampaikan berita itu. Tampaknya dia mendapatkan konfirmasi, lalu menatap pemirsa kembali dengan wajah muram. "Illuminati baru saja mengaku bertanggung jawab atas .... " Dia ragu-ragu. "Mereka mengaku bertanggung jawab atas kematian mendiang Paus lima belas hari yang lalu," lanjutnya.
Sang camerlegno melongo.
Rocher menjatuhkan remote control.
Vittoria hampir tidak dapat mencerna informasi itu.
"Menurut hukum Vatican," wartawati itu melanjutkan, "tidak ada otopsi resmi yang dilakukan pada paus, sehingga pengakuan Illuminati ini tidak dapat dibuktikan. Walau begitu, Illuminati mengatakan bahwa kematian Paus bukan karena stroke seperti yang dilaporkan Vatican, tapi karena keracunan"
Ruangan itu menjadi sunyi lagi. Olivetti meledak kemarahannya. "Gila! Kebohongan besar!!"
Rocher mulai mengganti-ganti saluran lagi. Berita itu tampaknya tersebar seperti wabah dari stasiun televisi yang satu ke stasiun yang lainnya. Semua orang memiliki laporan yang sama. Pokok berita yang ditayangkan semua stasiun TV seperti bersaing untuk menyajikan sensasi.
PEMBUNUHAN DI VATICAN PAUS DIRACUN SETAN MENJAMAH RUMAH TUHAN Sang camerlegno memalingkan wajahnya. "Tuhan, tolong kami."
Ketika Rocher mengganti-ganti saluran, dia melewati stasiun TV BBC "-ceritakan tentang pembunuhan di Santa Maria del Popolo-"
"Tunggu!" sang camerlegno berkata. "Kembali ke saluran itu."
Rocher kembali ke BBC. Di layar, seorang lelaki dengan setelan rapi duduk di belakang meja berita BBC. Di atas bahunya, terlihat foto seorang lelaki aneh dengan janggut berwarna merah. Di bawah foto tersebut tertulis. GUNTHER GLICK-LANGSUNG DARI VATICAN CITY. Glick sepertinya melaporkan melalui telepon dan sambungannya tidak cukup baik. "... juru kamera saya mendapatkan gambar seorang kardinal yang sedang dievakuasi dari Kapel Chigi."
"Biarkan saya mengulangi pernyataan Anda untuk pemirsa," pembaca berita di London itu berkata. "Wartawan BBC, Gunther Glick adalah orang pertama yang mengungkap berita ini. Dia sudah dihubungi dua kali melalui telepon oleh seseorang yang diduga sebagai pembunuh dari kelompok Illuminati. Gunther, Anda tadi mengatakan si pembunuh itu baru saja menelepon Anda untuk memberi tahu sebuah pesan dari Illuminati?" "Betul."
"Dan pesan mereka adalah kelompok Illuminati bertanggung jawab atas kematian Paus?" Suara pembaca berita itu terdengar meragukannya.
"Betul. Si pembunuh itu mengatakan padaku penyebab kematian Paus bukan karena stroke seperti yang diduga Vatican. Tetapi dia mengatakan bahwa Paus telah diracuni oleh kelompok Illuminati."
Semua orang yang ada di ruang kerja paus seperti membeku.
"Diracuni?" Pembaca berita itu bertanya. "Tetapi ... tetapi ... bagaimana?"
"Mereka tidak memberikan rinciannya kepadaku," sahut Glick, "selain mengatakan bahwa mereka membunuhnya dengan obat yang dikenal sebagai ...," ada bunyi gemersik kertas di saluran telepon itu, "sesuatu yang dikenal sebagai Heparin."
Sang camerlegno, Olivetti dan Rocher saling bertatapan.
"Heparin?" tanya Rocher tampak ngeri. "Tetapi bukankah itu ....?"
Wajah sang camerlegno menjadi pucat pasi. "Obat Paus."
Vittoria terpaku. "Paus meminum obat Heparin?"
"Beliau mengidap thrombophlebitis," sahut sang camerlegno. "Beliau harus disuntik sekali sehari."
Rocher tampak tidak mengerti. "Tetapi Heparin bukan racun. Kenapa Illuminati mengakui-"
"Heparin bisa menjadi pembunuh kalau diberikan dengan dosis yang salah," sahut Vittoria. "Obat itu adalah zat anti pembe kuan darah yang kuat. Kalau diberikan dengan dosis yang berlebihan akan menimbulkan pendarahan hebat di bagian dalam dan juga pendarahan otak."
Olivetti menatap Vittoria dengan curiga. "Bagaimana kamu tahu itu?"
"Para ahli biologi laut menggunakannya pada mamalia laut untuk mencegah adanya penggumpalan darah karena pengurangan aktivitas. Beberapa hewan ada yang mati karena pemberian obat dalam jumah yang tidak semestinya." Dia berhenti sejenak. Lalu, "Kelebihan dosis Heparin pada manusia akan mengakibatkan gejala yang dengan mudah disalahartikan sebagai stroke ... terutama kalau tidak dilakukan otopsi yang sepantasnya."
Sang camerlegno sekarang tampak benar-benar bingung.
"Signore," kata Olivetti. "Ini jelas sebuah usaha Illuminati untuk publikasi. Seseorang memberikan obat dengan dosis berlebihan itu sama sekali tidak mungkin. Tidak seorang pun punya kesempatan untuk melakukan itu. Dan bahkan kalau kita terpancing dan menyangkal pengakuan mereka, bagaimana caranya? Hukum Kepausan melarang dilakukannya otopsi. Walau dilakukan otopsi, kita tetap saja tidak akan mengetahui apa-apa. Kita memang akan menemukan sisa-sisa Heparin dalam tubuhnya, tetapi itu berasal dari suntikan harian beliau."
"Betul." Suara sang camerlegno menjadi tajam. "Walau begitu ada yang masih membuatku bingung. Tidak seorang pun di luar sana yang tahu kalau mendiang Paus menggunakan obat itu."
Sunyi.
"Kalau beliau disuntik Heparin dengan dosis berlebih," kata Vittoria, "tubuhnya akan menunjukkan tanda-tanda."
Olivetti berpaling ke arahnya. "Nona Vetra, mungkin Anda tidak mendengar aku tadi. Otopsi seorang paus dilarang oleh hukum Vatican. Kami tidak akan memeriksa tubuh mendiang Paus hanya karena musuh membuat pengakuan yang tercela!"
Vittoria merasa malu. "Aku tidak berniat untuk mengatakan .... " Dia tidak bermaksud untuk tidak menghormati. "Aku sama sekali tidak mengusulkan Anda menggali makam Paus .... "
Vittoria ragu-ragu untuk melanjutkan. Sesuatu yang Robert pernah katakan padanya di Kapel Chigi melintas seperti hantu dalam benaknya. Robert mengatakan peti mati kepausan diletakkan di atas tanah dan tidak pernah ditutup dengan semen, seperti kepercayaan para firaun yang tidak menutup dan mengubur peti mati karena diyakini akan memenjarakan jiwa yang sudah meninggal di dalam tanah. Gravitasi merupakan pilihan pengganti semen dengan tutup peti mati seberat ratusan pon. Vittoria sadar, secara teknis, ada kemungkinan untuk-"Tanda-tanda seperti apa?" tiba-tiba sang camerlegno bertanya. Vittoria merasa jantungnya berdebar karena takut. "Kelebihan dosis dapat menyebabkan pendarahan pada mukosa mulut."
"Apa?"
"Gusi korban akan berdarah. Setelah kematian, pembekuan darah membuat mulut bagian dalam menjadi hitam." Vittoria pernah melihat foto yang diambil dari sebuah akuarium di London di mana sepasang paus pembunuh menerima obat dengan dosis berlebihan dari pelatihnya. Ikan paus itu mengambang di atas akuarium dengan mulut terbuka dan lidah mereka hitam kelam. Sang camerlegno tidak menyahut. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke jendela. Suara Rocher seperti kehilangan semangat ketika dia bertanya. "Signore, kalau pengakuan tentang keracunan Paus itu benar .... "
"Itu tidak benar," jelas Olivetti. "Orang luar tidak akan mempunyai akses untuk mendekati paus."
"Kalau pengakuan itu benar," Rocher mengulangi, "dan Bapa Suci memang diracuni, maka hal itu mempunyai dampak besar pada pencarian antimateri yang sedang kita lakukan. Orang yang diduga pembunuh itu mungkin telah menyusup lebih dalam dari yang kita duga semula. Mencari di zona putih mungkin tidak cukup. Kalau kita tidak mencarinya hingga ke dalam, kita tidak akan menemukan tabung itu pada waktunya."
Olivetti menatap kaptennya dengan tatapan dingin. "Kapten, aku akan mengatakan padamu apa yang akan terjadi."
"Tidak," tiba-tiba sang camerlegno itu berpaling dan berkata. "Aku akan mengatakan padamu apa yang akan terjadi." Dia menatap langsung pada Olivetti. "Ini sudah cukup jauh. Dalam dua puluh menit aku akan membuat keputusan apakah aku harus menunda rapat pemilihan paus dan m engosongkan Vatican City atau tidak. Keputusanku itu akan merupakan keputusan akhir. Jelas?"
Olivetti tidak berkedip. Tidak juga menyahut.
Sekarang sang camerlegno berbicara dengan tegas, seolah dia mengalirkan persediaan kekuatannya yang tersembunyi. "Kapten Rocher, kamu akan menyelesaikan pencarianmu di zona putih dan melapor kepadaku dengan segera kalau kamu sudah selesai."
Rocher mengangguk sambil menatap sekilas ke arah Olivetti dengan pandangan tidak tenang.
Kemudian sang camerlegno memilih dua orang penjaga. "Aku ingin wartawan BBC itu, Pak Glick, datang ke kantor ini segera. Kalau Illuminati itu pernah berbicara dengannya, mungkin saja wartawan itu dapat membantu kita. Laksanakan!"
Kedua serdadu itu menghilang.
Sekarang sang camerlegno berpaling dan berkata kepada penjaga yang masih ada. "Bapak-bapak, aku tidak ingin ada pembunuhan lagi malam ini. Pada pukul sepuluh, kalian akan menemukan dua orang kardinal kita dan menangkap monster yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Jelas?"
"Tetapi, signore" Olivetti mendebat, "kita tidak tahu di mana-"
"Pak Langdon sedang berusaha mencari tahu. Dia tampak mampu mengerjakannya. Aku percaya kepadanya."
Setelah itu, sang camerlegno berjalan ke arah pintu dengan langkah tegas. Saat dia berjalan keluar, dia menunjuk pada tiga orang penjaga. "Kalian bertiga, ikut bersamaku. Sekarang."
Ketiga penjaga itu mengikutinya.
Di ambang pintu, sang camerlegno berhenti. Dia berpaling ke arah Vittoria. "Nona Vetra. Anda juga. Mari ikut denganku." Vittoria ragu. "Ke mana?"
Sang camerlegno menuju pintu. "Berjumpa kawan lama." DI CERN, sekretaris Sylvie Baudeloque merasa lapar dan berharap dapat pulang sekarang. Hal yang membuatnya terkejut adalah atasannya itu sepertinya sudah sembuh dengan cepat karena sudah meneleponnya dan memerintahkan Sylvie-bukan memintanya tapi memerintahkannya-untuk tetap tinggal di kantornya hingga larut malam. Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang hal itu.
Setelah bertahun-tahun bekerja dengan Kohler, Sylvie sudah memprogram dirinya untuk mengabaikan perubahan suasana hati dan sifat eksentrik atasannya itu seperti perawatan kesehatan yang dilakukan secara rahasia dan kesukaannya merekam secara diam-diam rapat yang diadakannya dengan menggunakan video yang menempel di kursi rodanya. Dalam hati Sylvie berharap pada suatu hari Kohler tanpa sengaja menembak dirinya sendiri ketika berlatih di fasilitas pelatihan menembak di CERN. Tetapi sepertinya dia adalah penembak yang baik, sehingga kecelakaan seperti itu sulit untuk terjadi.
Sekarang, Sylvie duduk sendirian di mejanya dan mendengar suara perutnya yang sudah keroncongan. Kohler belum juga kembali dan tidak juga memberinya tambahan pekerjaan. Aku tidak mau duduk di sini sambil merasa bosan dan lapar, katanya dalam hati. Sekretaris itu kemudian meninggalkan catatan untuk Kohler dan pergi menuju ruang makan pegawai untuk mengisi perutnya.
Tapi rupanya dia tidak pernah sampai ke sana.
Ketika Sylvie melewati ruang rekreasi CERN yang terdiri atas sebuah serambi panjang yang dilengkapi dengan beberapa pesawat televisi, dia melihat ruangan itu dipenuhi oleh para pegawai yang tampaknya tanpa sadar sudah melupakan makan malam mereka untuk menonton berita di TV. Ada peristiwa besar yang tengah berlangsung. Sylvie memasuki ruangan pertama. Ruangan itu dipenuhi oleh para programer komputer berusia muda. Ketika dia melihat ke berita utama yang terpampang di layar TV, Sylvie terkesiap.
TEROR DI VATICAN Sylvie mendengarkan berita itu, dan tidak dapat memercayai telinganya. Sekelompok persaudaraan kuno berhasil membunuh dua kardinal? Untuk membuktikan apa? Kebencian mereka? Kekuasaan mereka? Kebodohan mereka? Emosi yang tampak dalam ruangan itu bermacam-macam, tapi yang pasti bukan perasaan sedih.
Dua pegawai CERN yang jelas tergila-gila dengan teknologi berlarian sambil melambai-lambaikan kaus mereka yang bergambar Bill Gates dan bertuliskan DAN PARA KUTU BUKU AKAN MEWARISI BUMI! "Illuminati!" salah seorang berteriak. "Aku 'kan sudah bilang kalau mereka itu ada!"
"Hebat! Kupikir mereka hanya ada dalam permainan!"
"Mereka membunuh Paus, Kawan! Paus itu!"
"Wah, aku bertanya-tanya berapa poin yang kamu dapat kalau kamu berhasil melakukannya."
Mereka tertawa terbahak-bahak.
Sylvie berdiri terpaku karena heran. Sebagai seorang Katolik yang bekerja di antara para ilmuwan, dia biasa mendengar bisik-bisik antiagama yang kerap dilontarkan oleh mereka, tetapi kegembiraan anak-anak muda ini tampaknya seperti menyoraki kekalahan gereja. Bagaimana mereka bisa begitu gembira? Kenapa mereka begitu membenci gereja? Bagi Sylvie, gereja selalu menjadi tempat yang dipenuhi dengan kedamaian ... tempat untuk bersosialisasi dan introspeksi ... kadang-kadang sebagai tempat untuk menyanyi dengan keras tanpa ada orang yang menatapnya dengan aneh. Gereja menjadi tempat di mana berbagai peristiwa penting terjadi, seperti pemakaman, pernikahan, pembaptisan, hari raya, dan gereja tidak meminta imbalan apa pun. Bahkan pengumpulan dana pun diadakan secara suka rela. Anak-anaknya selalu gembira ketika pulang dari Sekolah Minggu dan merasa bersemangat untuk menolong orang lain dan menjadi lebih baik. Apa yang salah dengan itu semua? Sylvie selalu merasa heran kenapa begitu banyak ilmuwan CERN yang memiliki otak cemerlang tapi gagal untuk memahami betapa pentingnya keberadaan gereja. Apakah mereka benar-benar percaya kalau quark dan meson bisa mengilhami orang-orang kebanyakan? Atau apakah persamaan matematika bisa menggantikan kebutuhan seseorang akan spiritualitas? Dengan kepala pusing Sylvie meninggalkan tempat itu, dan melewati ruangan lainnya. Tapi dia menemukan kalau semua ruangan untuk nonton TV dipenuhi oleh para pegawai CERN. Dia sekarang mulai bertanya-tanya tentang telepon untuk Kohler dari Vatican tadi siang. Kebetulan saja? Mungkin. Vatican memang sering menelepon CERN sebagai bagian dari "keramah-tamahan" sebelum melontarkan pernyataan yang mengutuk riset yang dilakukan oleh badan itu dan yang baru-baru ini adalah terobosan CERN di bidang teknologi nano, sebuah bidang penelitian yang dicela oleh gereja karena memiliki dampak terhadap rekayasa genetika. Tapi CERN tidak pernah peduli. Tak lama setelah pernyataan dari Vatican, telepon Kohler akan berdering-dering dengan panggilan dari berbagai perusahaan investasi teknologi yang dengan antusias ingin melisensikan penemuan baru itu. "Tidak ada yang bisa disebut sebagai publikasi buruk," begitu kata Kohler selalu.
Sylvie bertanya-tanya apakah dia harus menyeranta Kohler di mana pun dia berada, dan memintanya untuk melihat berita di TV. Tapi apakah Kohler akan peduli? Apakah dia sudah mendengarnya sendiri? Tentu saja ilmuwan tua itu sudah mendengarnya. Dia mungkin sekarang sedang merekam semua laporan dengan kamera kecilnya yang menakutkan itu, sambil tersenyum untuk pertama kalinya dalam setahun ini.
Ketika Sylvie terus berjalan di aula luas itu, akhirnya dia menemukan ruang duduk yang lebih tenang ... bahkan nyaris melankolis. Orang-orang yang duduk di sini adalah para ilmuan terhomat di CERN dan rata-rata berusia tua. Mereka bahkan tidak mendongak ketika Sylvie menyelinap dan mengambil tempat duduk.
Di bagian lain dari CERN, di dalam apartemen Leonardo Vetra yang dingin, Maximilian Kohler sudah selesai membaca catatan harian bersampul kulit yang diambilnya dari meja di sisi tempat tidur Vetra. Sekarang dia sedang menonton siaran berita di TV. Setelah beberapa menit, dia kemudian menyimpan kembali buku harian Vetra, mematikan TV dan meninggalkan apartemen itu.
Jauh di Vatican City, Cardinal Mortati membawa nampan lain yang berisi surat suara ke cerobong asap di Kapel Sistina.
Dia kemudian membakar untaian surat suara itu sehingga menimbulkan asap hitam yang pekat.
Dua kali pengambilan suara. Belum ada paus yang terpilih.
SINAR LAMPU SENTER bukanlah lawan yang setara dengan kegelapan yang menyelimuti Basilika Santo Petrus. Kehampaan yang melayang-layang di udara seperti menekan ruangan di bawahnya seperti malam tanpa bintang, dan Vittoria merasakan kekosongan menyebar di sekelilingnya seperti lautan yang sunyi. Dia berusaha bergegas ketika Garda Swiss dan sang camerlegno terus melangkah dengan cepat. Jauh di atas sana, seekor burung dara mendekur dan terbang menjauh.
Seolah merasakan ketidaknyamanan Vittoria, sang camerlegno memperlambat langkahnya dan meletakkan tangannya di bahu Vittoria. Kemudian, kekuatan yang nyata seperti mengalir dari sentuhan itu. Seolah lelaki itu secara ajaib menyuntikkan rasa tenang yang dibutuhkannya untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan saat itu.
Memangnya apa yang akan kita lakukan? pikir Vittoria. Ini gila! Tapi Vittoria tahu, walau dia merasa takut, tugas yang ada di tangannya ini tidak dapat dia hindari. Kenyataan yang menyedihkan ini memaksa sang camerlegno untuk memastikan sesuatu ... kepastian yang terkubur di sebuah peti mati batu di ruang bawah tanah Vatican. Dia bertanya-tanya apa yang akan mereka temukan. Apakah Illuminati benar-benar membunuh Paus? Apakah kekuatan mereka benar-benar sejauh itu? Apakah aku benar-benar akan melakukan otopsi terhadap seorang paus untuk pertama kalinya? Vittoria merasa ironis karena dia merasa lebih takut berada di gereja yang gelap daripada berenang dengan ikan barakuda di laut lepas. Alam adalah tempat untuk melarikan diri. Dia memahami alam. Tetapi persoalan manusia dan jiwa adalah hal yang membingungkan. Ikan-ikan pembunuh yang berkumpul dalam kegelapan mengingatkannya pada kerumunan pers di luar sana. Tayangan TV yang memperlihatkan jasad-jasad yang dicap mengingatkannya pada jasad ayahnya ... dan tawa kasar si pembunuh. Pembunuh itu berada di suatu tempat, di luar sana. Vittoria merasa kemarahannya kini mampu menelan ketakutannya.
Ketika mereka membelok melewati sebuah pilar berukuran besar-lebih besar dari pilar yang dapat dibayangkannya- Vittoria melihat sinar jingga yang memancar ke atas. Sinar itu tampak muncul dari lantai di tengah-tengah gereja. Ketika mereka semakin dekat, dia tahu apa yang dilihatnya. Itu adalah tempat suci yang terpendam di bawah altar utama-ruang bawah tanah mewah yang menyimpan berbagai peninggalan paling berharga milik Vatican. Ketika mereka mendekat pada pagar yang mengelilingi lubang itu, Vittoria memandang ke bawah ke arah peti penyimpanan yang dikelilingi oleh lampu-lampu minyak yang berkilauan.
"Tulang belulang Santo Petrus?" tanya Vittoria ketika mengetahui di mana mereka sebenarnya. Semua orang yang datang ke Basilika Santo Petrus pasti tahu apa isi kotak keemasan itu.
"Sebenarnya bukan," sahut sang camerlegno. "Orang memang sering salah sangka. Ini bukan tempat penyimpanan peninggalan berharga. Kotak itu menyimpan palliums-setagen rajutan yang diberikan paus kepada kardinal yang baru terpilih."
"Tetapi aku kira-"
"Seperti anggapan semua orang. Buku panduan pariwisata mungkin menyebut tempat ini sebagai makam Santo Petrus, tapi makam sesungguhnya terletak dua lantai di bawah tanah. Vatican membuatnya pada tahun empat puluhan. Tidak ada orang yang boleh masuk ke bawah sana."
Vittoria terkejut. Ketika mereka meninggalkan ruangan yang bercahaya itu dan masuk ke dalam kegelapan lagi, dia ingat dengan kisah-kisah yang didengarnya tentang para peziarah yang melakukan perjalanan ribuan mil hanya untuk melihat makam Santo Petrus. "Bukankah sebaiknya Vatican mengatakan yang sebenarnya kepada semua orang?"
"Kita semua merasakan manfaat ketika berdekatan dengan hal-hal yang berbau ketuhanan ... walaupun itu hanyalah sebuah khayalan."
Sebagai seorang ilmuwan, Vittoria tidak dapat membantah logika semacam itu. Dia sudah membaca berbagai macam kajian tentang efek placebo atau kesembuhan yang terjadi secara ajaib yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah seperti aspirin yang mampu menyembuhkan penderita kanker karena orang yang meminumnya percaya kalau mereka sedang meminum ramuan ajaib. Apakah keyakinan itu sebenarnya? "Perubahan," kata sang camerlegno, "bukanlah hal yang kami lakukan dengan baik di dalam Vatican City. Mengakui kesalahan-kesalahan yang kami lakukan di masa lalu dan modernisasi adalah hal-hal yang kami hindari sejak zaman dulu. Mendiang Paus pernah berusaha untuk mengubahnya." Sang camerlegno terdiam sejenak. "Beliau berusaha untuk merangkul dunia modern dan mencari jalan baru menuju Tuhan."
Vittoria mengangguk dalam gelap. "Dengan melalui ilmu pengetahuan?"
"Sejujurnya, ilmu pengetahuan tidak relevan."
"Tidak relevan?" Vittoria dapat mengingat banyak kata untuk menggambarkan ilmu pengetahuan. Tetapi dalam dunia modern, kata "tidak relevan" sepertinya bukan salah satu di antaranya.
"Ilmu pengetahuan dapat menyembuhkan, atau dapat membunuh. Itu tergantung pada jiwa orang yang menggunakan ilmu pengetahuan itu. Jiwa itulah yang menarik bagiku."
"Kapan Anda mendengar panggilan Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya?"
"Sebelum aku dilahirkan."
Vittoria menatapnya dengan heran.
"Maafkan aku. Pertanyaan itu selalu tampak seperti pertanyaan aneh bagiku. Yang aku maksud adalah aku selalu tahu kalau aku akan melayani Tuhan sejak aku dapat berpikir dengan baik. Baru ketika aku mencapai usia remaja, ketika bergabung dalam militer, aku dapat benar-benar memahami tujuan hidupku."
Vittoria terkejut. "Anda pernah menjadi tentara?"
"Hanya selama dua tahun. Aku menolak untuk menembakkan senjata, jadi mereka menyuruhku terbang saja. Aku kemudian menerbangkan helikopter medis. Sekarang pun kadang-kadang aku masih terbang."
Vittoria mencoba membayangkan pastor muda itu menerbangkan sebuah helikopter. Lucunya, Vittoria dapat membayangkan sang camerlegno berada di dalam kokpit pesawat. Camerlegno Ventresca memang memiliki ketabahan yang semakin memperkuat keyakinan Vittoria kepadanya. "Anda pernah menerbangkan Paus?"
"Tentu saja tidak. Kami memberikan penumpang yang berharga itu kepada pilot profesional. Tapi kadang-kadang mendiang Paus membolehkan aku menerbangkan helikopter ke tempat peristirahatan kami di Gondolfo." Dia terdiam lalu menatap Vittoria. "Nona Vetra, terima kasih atas bantuanmu hari ini di sini. Aku ikut berduka cita atas kematian ayahmu. Sungguh."
"Terima kasih."
"Aku tidak pernah mengenal ayahku. Dia meninggal saat aku belum dilahirkan. Aku kehilangan ibuku ketika aku berumur sepuluh tahun."
Vittoria mendongak. "Jadi Anda yatim piatu?" tiba-tiba Vittoria merasakan kalau mereka berdua memiliki nasib yang sama.
"Aku selamat dari sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang merenggut nyawa ibuku."
"Siapa yang mengurus Anda?"
"Tuhan," sahut sang camerlegno. "Tuhan mengirimkan pengganti ayah untukku. Seorang uskup dari Palermo muncul di sisi tempat tidurku ketika aku dirawat di rumah sakit dan kemudian dia membawaku. Pada saat itu aku tidak terkejut. Aku merasakan tangan Tuhan memeliharaku walau saat itu aku masih anak-anak. Kehadiran uskup itu tampaknya memperkuat keyakinanku bahwa Tuhan telah memilihku untuk melayaninya."
"Anda percaya Tuhan memilih Anda?"
"Ya, saat itu, dan sekarang pun aku masih memercayainya " Tidak terdengar kecongkakan dalam suara sang camerlegno, yang ada hanya rasa syukur. "Ketika itu aku bekerja di bawah pengawasan uskup tersebut selama beberapa tahun. Akhirnya dia menjadi seorang kardinal. Namun dia tidak pernah melupakan aku. Dialah ayah yang kuingat." Ketika sinar senter menerpa wajah sang camerlegno, Vittoria melihat kesan kesepian di dalam mata pastor muda itu. Rombongan itu akhirnya tiba di bawah pilar yang menjulang dan sinar senter mereka bertemu dengan sebuah ruang terbuka. Vittoria menatap ke arah tangga yang terletak di bawahnya dan tiba-tiba merasa ingin pulang saja. Para penjaga sudah mulai membantu sang camerlegno untuk menuruni tangga. Selanjutnya mereka menolong Vittoria.
"Lalu apa yang terjadi kemudian?" tanya Vittoria sambil menuruni tangga, dan mencoba menahan suaranya supaya tidak gemetar. "Apa yang terjadi dengan kardinal yang mengurus Anda itu."
"Dia meninggalkan Dewan Kardinal untuk posisi yang lain."
Vittoria terkejut.
"Dan kemudian, aku sangat sedih untuk mengatakannya, dia meninggal."
"Le mie condoglianze. Aku turut berduka," kata Vittoria. "Baru saja?"
Sang camerlegno berpaling, wajahnya tampak sedih. "Sebenarnya lima belas hari yang lalu. Kita akan mengunjunginya sekarang." SINAR LAMPU TERASA panas di dalam ruang arsip. Ruang ini jauh lebih kecil daripada ruang yang sebelumnya dim asuki Langdon. Udara semakin sedikit. Waktu juga semakin sedikit. Dia menyesal karena lupa meminta Olivetti untuk menyalakan kipas angin untuk mengalirkan udara.
Langdon dengan cepat mencari bagian aset yang menyimpan buku yang mencatat Belle Arti. Bagian itu tidak mungkin terlewatkan. Bagian tersebut berisi delapan rak yang terisi penuh. Gereja Katolik memiliki jutaan karya seni yang tersebar di seluruh dunia.
Langdon mengamati rak-rak di hadapannya dan mencari nama Gianlorenzo Bernini. Dia mulai mencari dari bagian tengah tumpukan pertama, di bagian di mana huruf B kira-kira berada. Setelah sesaat merasa panik karena khawatir sudah melewatkan buku katalog itu, Langdon baru menyadari ternyata rak itu tidak diatur sesuai urutan abjad. Tidak mengherankan! Setelah Langdon kembali ke tempat semula dan memanjat tangga yang dapat digeser yang membawanya ke puncak rak, baru dia mengerti cara pengaturan buku di ruangan ini. Ketika dia bertengger di rak paling atas, dia menemukan buku katalog berukuran besar yang berisi karya-karya para maestro dari masa Renaisans seperti Michaelangelo, Raphael, da Vinci dan Botticeli. Sekarang Langdon tahu cara pengaturan ruangan yang disebut "Aset Vatican" ini. Buku-buku katalog tersebut diatur menurut nilai ekonomis dari setiap koleksi karya seniman-seniman itu. Terjepit di antara buku katalog karya-karya Raphael dan Michaelangelo, Langdon menemukan buku katalog bertuliskan Bernini. Buku itu tebalnya lebih dari lima inci.
Sambil kehabisan napas dan berjuang dengan ketebalan buku itu, Langdon berusaha menuruni tangga. Kemudian, seperti seorang anak kecil yang sedang menikmati buku komik, Langdon meletakkan buku itu di lantai dan membalik sampul depannya.
Buku itu dijilid dengan kain dan masih sangat kuat. Buku besar itu ditulis dengan tulisan tangan dalam bahasa Italia. Setiap halaman mencatat satu karya saja, termasuk uraian singkat, tanggal, tempat, harga bahan, dan kadang-kadang ada sketsa kasar karya tersebut. Langdon membalik-balik halaman itu ... semuanya sekitar delapan ratus halaman. Bernini memang seorang seniman yang sibuk.
Ketika masih menjadi mahasiswa seni, Langdon bertanya-tanya bagaimana seorang seniman dapat membuat begitu banyak karya dalam hidupnya. Kemudian dia mengetahui, dan itu membuatnya kecewa, bahwa seniman-seniman ternama sangat sedikit membuat karya seninya sendirian. Mereka ternyata memiliki sebuah studio tempat mereka melatih seniman-seniman muda untuk melanjutkan rancangan mereka. Pematung seperti Bernini membuat miniatur dari tanah liat dan menyewa seniman lain untuk memperbesar karya miniaturnya itu dari bahan pualam. Langdon tahu kalau Bernini dipaksa untuk menyelesaikan sendiri semua pesanan patungnya, mungkin dia masih harus berusaha untuk menyelesaikannya sampai kini.
"Indeks," serunya sambil mencoba menaikkan semangatnya. Dia membuka halaman belakang buku tersebut dengan maksud untuk mencari huruf F untuk judul dengan kata fumco atau api. Tetapi tidak ada huruf F. Langdon menyumpah perlahan. Mengapa orang-orang ini begitu membenci pengaturan menurut susunan abjad? Pembukuannya ternyata dicatat secara kronologis, satu per satu, setiap kali Bernini menciptakan karya baru. Semuanya terdaftar menurut tanggal penciptaannya. Sama sekali tidak membantu. Ketika Langdon menatap daftar itu, pikiran yang mengecilkan hatinya muncul. Judul patung yang dicarinya mungkin saja tidak menggunakan kata api sama sekali. Dua karya sebelumnya Habakkuk dan Malaikat, lalu West Ponente juga tidak memiliki judul yang berbau Tanah dan Udara. Dia menghabiskan waktu beberapa saat untuk membolak-balik halaman di hadapannya sambil berharap akan ada ilustrasi yang teringat olehnya. Tetapi dia tidak menemukan apa-apa. Langdon melihat belasan karya tak dikenal yang belum pernah didengarnya, tetapi dia juga melihat banyak karya yang dikenalnya... Daniel and the Lion, Apollo and Daphne, lalu juga belasan air mancur. Ketika dia melihat beberapa air mancur itu, pikirannya nieloncat ke depan. Air. Dia bertanya-tanya apakah altar ilmu pengetahuan yang keempat adalah sebuah air mancur. Sebuah air mancur tampak sempurna untuk menghormati Air. Langdon berharap mereka dapat menangkap pembunuh itu sebelum pembunuh itu memikirkan Air karena Bernini membuat belasan air mancur di Roma, dan umumnya terletak di depan gereja. Langdon kembali pada persoalan yang dihadapinya. Api. Ketika dia melihat buku itu lagi, dia teringat dengan perkataan Vittoria yang kembali membangkitkan semangatnya. Kamu mengenal kedua patung terdahulu ... kamu mungkin saja tahu yang ini. Ketika dia membuka halaman indeks lagi, dia mengamati empat judul yang dikenalnya. Langdon mengenali beberapa di antaranya, tetapi tidak satu pun yang mengingatkan dia pada api. Sekarang Langdon tahu dia tidak akan bisa menyelesaikannya pencariannya dan dia akan pingsan kehabisan napas. Jadi dia memutuskan untuk melawan kata hatinya sendiri dan membawa buku itu keluar dari ruangan kedap udara itu. Ini hanya sebuah buku katalog biasa, katanya pada diri sendiri. Ini tidak seperti membawa keluar tulisan asli Galileo. Langdon ingat lembaran folio itu masih berada di dalam sakunya dan dia mengingatkan dirinya sendiri untuk mengembalikannya sebelum pergi. Sekarang dia bergegas, lalu membungkuk untuk mengangkat buku itu. Ketika membungkuk, Langdon melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Walau ada banyak catatan dalam indeks itu, sesuatu yang menarik perhatiannya terlihat cukup aneh. Catatan itu mengatakan patung terkenal karya Bernini, The Ectasy of St. Teresa, tidak lama setelah diresmikan, dipindahkan dari tempat asalnya di Vatican. Keterangan itu tidak terlalu menarik perhatian Langdon. Dia sudah terbiasa dengan pemindahan letak patung-patung di Roma. Walau beberapa orang berpendapat kalau itu adalah sebuah adikarya, Paus Urban VIII menganggap The Ectasy of St. Teresa terlalu menonjolkan seksualitas sehingga tidak pantas dipajang di Vatican. Dia menyingkirkannya ke sebuah kapel yang tidak terkenal di seberang kota. Tapi yang paling menarik perhatian Langdon adalah karya itu sepertinya dipindahkan ke salah satu dari lima gereja dalam daftar gereja yang ada padanya. Kemudian, menurut catatan itu patung tersebut dipindahkan per suggerimento del artista. Atas permintaan dari sang seniman? Langdon bingung. Bernini tidak mungkin mengusulkan untuk menyembunyikan adikaryanya ke tempat yang tidak terkenal. Semua seniman ingin karyanya dipamerkan secara mencolok, bukan di tempat terpencil- Langdon ragu. Kecuali.... Dia terlalu takut untuk merasa senang. Apakah itu mungkin? Benarkah Bernini telah menciptakan sebuah karya yang begitu indah sehingga memaksa Vatican untuk menyembunyikannya ke tempat yang jauh dari perhatian umum? Sebuah tempat yang mungkin diusulkan oleh Bernini? Mungkin di sebuah gereja terpencil yang sesuai dengan arah angin West Ponente? Ketika kegembiraan Langdon meningkat, pengetahuannya yang samar-samar tentang seni patung mulai ikut campur dan menolak kemungkinan karya tersebut ada sangkut pautnya dengan api. Patung tersebut, menurut siapa pun yang pernah melihatnya, dianggap terlalu vulgar atau bisa dikategorikan sebagai pornografi dan sama sekali tidak berbau ilmu pengetahuan. Seorang kritikus asal Inggris pernah berkata The Ectasy of St. Teresa sebagai "dekorasi yang paling tidak tepat untuk ditempatkan di dalam gereja Kristen." Langdon memahami kontroversi ini dengan jelas. Walau dibuat dengan sangat indah, patung itu menggambarkan Santa Teresa yang sedang terlentang dan larut dalam orgasme. Sama sekali bukan selera Vatican. Langdon bergegas membuka halaman yang membahas tentang uraian karya tersebut. Ketika dia melihat sketsanya, seketika itu juga Langdon merasakan adanya harapan. Dalam sketsa itu, Santa Teresa memang terlihat sedang bersenang-senang, tapi ada sosok lain dalam patung itu yang dilupakan oleh Langdon. Sesosok malaikat. Sebuah legenda kotor tiba-tiba teringat kembali .... Santa Teresa adalah seorang biarawati yang disucikan setelah dia mengaku ada sesosok malaikat yang mengunjunginya dan memberikan kenikmatan ketika dia sedang tidur. Para kritikus kemudian memutuskan pertemuan tersebut lebih bersifat seksual dar ipada spiritual. Langdon mencari-cari di bagian bawah buku itu, lalu melihat sebuah petikan yang dikenalnya. Kata-kata Santa Teresa sendiri tidak mungkin bisa disalahartikan. ... tombak emas agungnya ... penuh dengan api ... ditusukkan ke dalam tubuhku beberapa kali ... memasuki perut dalamku ... rasa nikmat itu begitu luar biasa sehingga tak seorang pun akan memintanya untuk berhenti Langdon tersenyum. Kalau ini bukan metafora yang menggambarkan tentangpersetubuhan, aku tidak tahu lagi. Dia juga tersenyum karena uraian karya di dalam buku besar itu. Walau paragraf itu ditulis dalam Bahasa Italia, kata fubco muncul sebanyak enam kali. ... ujung tombak malaikat dengan titik api ... ... kepala malaikat memancarkan sinar api ... ... perempuan terbakar oleh gairah api ... Langdon belum betul-betul yakin sampai akhirnya dia melihat sketsa itu sekali lagi. Tombak sang malaikat yang berapi-api itu teracung seperti suar dan menunjukkan jalan. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu. Bahkan jenis malaikat yang dipilih oleh Bernini terlihat sangat berhubungan. Itu malaikat seraphim, kata Langdon ketika akhirnya sadar. Seraphim secara harfiah berarti "dia yang berapi-api."
Robert Langdon bukanlah sejenis orang yang mencari penegasan dari Tuhan, tapi ketika dia membaca nama gereja di mana patung itu kini berada, dia memutuskan untuk menjadi seorang penganut.
Santa Maria della Vittoria Vittoria, pikirnya, sambil tersenyum. Sempurna.
Sambil terhuyung-huyung, Langdon berdiri dengan kepala yang terasa pusing. Dia memandang tangga di hadapannya, dan bertanya-tanya haruskah dia mengembalikan buku besar itu ke tempatnya semula. Peduli setan, pikirnya. Bapa Jaqui dapat melakukannya sendiri. Dia menutup buku itu dan meninggalkannya dengan rapi di bawah rak.
Ketika dia berjalan ke arah tombol menyala yang terdapat di pintu elektronik ruangan itu, napasnya mulai terasa sangat berat. Walaupun begitu, Langdon merasa senang karena keberuntungan yang didapatnya kali ini.
Tapi nasib baiknya ternyata tidak bertahan lama, dan menghilang sebelum sampai ke pintu keluar.
Tiba-tiba, ruangan kedap udara itu mengeluarkan suara seperti mendesah kesakitan. Lampunya meredup, dan tombol pintu keluar padam. Lalu, seperti hewan besar yang letih, kompleks ruang arsip itu menjadi gelap gulita. Seseorang baru saja memadamkan listrik.
GUA SUCI VATICAN terletak di bawah lantai utama Basilika Santo Petrus. Tempat itu adalah tempat pemakaman para paus.
Vittoria tiba di lantai setelah menuruni tangga melingkar dan memasuki gua itu. Terowongan gelap itu mengingatkan dirinya pada Large Hadron Collider di CERN-hitam dan dingin. Sekarang dengan hanya diterangi oleh senter yang dibawa oleh ketiga Garda Swiss, terowongan tersebut memberikan perasaan yang tidak menentu. Pada dua sisinya, ceruk-ceruk yang dalam berbaris di dinding. Bayangan peti mati dari batu yang terletak di dalam ceruk itu hanya dapat dilihat sejauh lampu-lampu itu meneranginya.
Rasa dingin merambati kulit Vittoria. Ini hanya karena udara dingin, katanya pada diri sendiri walau dia tahu itu tidak sepenuhnya benar. Dia merasa seolah mereka sedang diawasi, bukan oleh sosok yang memiliki darah dan daging, tetapi oleh hantu di dalam kegelapan. Di tutup peti mati dari setiap makam, terukir patung seukuran asli dari masing-masing paus yang sedang melipat tangannya di dada sambil mengenakan jubah kepausan. Tubuh tua itu tampak muncul dari makam seperti ingin mendobrak tutup peti mati dan berusaha untuk membebaskan diri dari kekangan kematian. Iring-iringan berlampu senter itu terus bergerak, dan bayang-bayang para paus tampak naik dan turun di dinding. Membesar dan menghilang dalam tarian bayangan peti mati yang mengerikan.
Keheningan menyelimuti barisan itu, dan Vittoria tidak dapat mengatakan apakah itu karena rasa hormat ataukah karena rasa takut. Tapi yang pasti dia merasakan keduanya. Sang camerlegno berjalan dengan mata terpejam, seolah dia hapal setiap langkahnya. Vittoria menduga pastor muda itu sering berkunjung ke sini sejak kematian Paus ... mungkin untuk berd oa di makam pelindungnya itu.
Aku bekerja di bawah bimbingan kardinal itu selama beberapa tahun, kata sang camerlegno tadi. Dia seperti ayah bagiku. Vittoria ingat sang camerlegno mengucapkan kalimat itu ketika mereka membicarakan kardinal yang telah "menyelamatkannya" dari ketentaraan. Sekarang Vittoria mengerti kelanjutan cerita itu. Kardinal yang telah melindunginya itu kemudian terpilih menjadi paus dan membawanya ke sini sebagai anak didik dan untuk melayaninya sebagai Kepala Rumah Tangga Kepausan.
Pantas saja, pikir Vittoria. Dia selalu bisa memahami perasaan orang lain dan sesuatu tentang sang camerlegno telah membuatnya merasa muram sepanjang hari ini. Sejak bertemu dengannya, Vittoria merasa bahwa sang camerlegno menyimpan kecemasan yang lebih mendalam dan lebih pribadi ketika menghadapi krisis yang sekarang sedang dihadapinya itu. Di balik ketenangan sang camerlegno yang saleh, Vittoria melihat seorang lelaki yang tersiksa oleh setan-setan di dalam dirinya sendiri. Bukan hanya karena sang camerlegno sedang menghadapi ancaman yang paling menakutkan dalam sejarah Vatican, tetapi karena dia melakukan semuanya ini tanpa didampingi mentor dan temannya ... sang camerlegno harus menghadapi semuanya sendirian.
Para penjaga itu sekarang memperlambat langkahnya, seolah merasa tidak yakin di mana sebenarnya paus yang baru wafat itu dimakamkan. Sang camerlegno melanjutkan langkahnya dengan pasti dan akhirnya berhenti di depan sebuah makam pualam yang tampak berkilau, dan lebih terang daripada yang lainnya. Terlihat ukiran patung Paus yang berbaring di atas makam itu. Ketika Vittoria mengenali wajahnya dari berita-berita di televisi, ketakutan menyergapnya. Apa yang akan kita lakukan? "Aku tahu kita tidak punya banyak waktu," kata sang camerlegno. "Namun aku masih ingin meminta waktu untuk berdoa."
Para Garda Swiss semua menundukkan kepala mereka di tempat mereka berdiri. Vittoria mengikutinya, jantungnya berdebar keras dalam keheningan itu. Sang camerlegno berlutut di depan makam itu dan berdoa dalam bahasa Italia. Ketika Vittoria mendengarkan doa sang camerlegno, tiba-tiba kesedihannya hadir dalam bentuk tetesan air mata ... air mata bagi mentornya sendiri ... ayahnya sendiri. Kata-kata sang camerlegno juga terdengar pantas bagi ayahnya seperti juga bagi mendiang Paus.
"Bapa yang agung, penasihat, dan juga teman." Suara sang camerlegno menggema lembut di sekitar ruangan itu. "Bapa mengatakan padaku ketika aku masih kecil kalau suara yang terdengar dari hatiku itu adalah suara Tuhan. Bapa mengatakan padaku aku harus mengikutinya tidak peduli betapa menyakitkan akibatnya. Aku mendengar suara itu lagi sekarang, memintaku untuk melakukan tugas yang sulit sekali. Beri aku kekuatan. Limpahi aku dengan maafmu. Apa pun yang kulakukan ... Aku melakukannya demi segala yang Bapa percaya. Amin."
"Amin," bisik para penjaga itu. Amin, Ayah. Vittoria mengusap matanya. Sang camerlegno berdiri perlahan-lahan dan melangkah menjauh dari makam itu. "Dorong penutupnya ke samping."
Para Garda Swiss itu ragu-ragu. "Signore," salah satu dari mereka berkata, "menurut hukum, kami memang harus mematuhi perintah Anda." Dia berhenti sejenak. "Kami akan melakukan apa yang Anda perintahkan .... "
Sang camerlegno tampaknya membaca apa yang dipikirkan lelaki muda itu. "Suatu hari kelak, aku akan memohon ampunan dari kalian karena aku telah menempatkan kalian pada posisi ini. Namun hari ini aku meminta kepatuhan kalian. Hukum Vatican dibuat untuk melindungi gereja ini. Karena semangat itu jugalah aku sekarang memerintahkan kalian untuk melanggarnya."
Sesaat hening. Kemudian pimpinan mereka memberikan perintah. Ketiga lelaki itu meletakkan senter mereka di atas lantai, sehingga bayangan mereka tampak membesar dari bawah. Kemudian, dengan diterangi sinar dari bawah, ketiga orang itu maju mendekati makam. Mereka meletakkan tangan mereka di atas tutup pualam di sekitar bagian kepala, lalu mereka memastikan pijakan kaki mereka dan bersiap untuk mendorong. Setelah diberi tanda, mereka semua mulai mendorong, memadukan kekuatan pada lempengan bes ar itu. Ketika Vittoria melihat bahwa tutup pualam itu sama sekali tidak bergerak, dia berharap tutup itu terlalu berat sehingga tidak mungkin dibuka. Tiba-tiba dia merasa takut pada apa yang akan mereka lihat di dalam peti itu.
Penjaga-penjaga itu mendorong dengan lebih kuat, namun batu itu tetap tidak bergerak.
"Ancora," kata sang camerlegno sambil menggulung lengan jubahnya dan bersiap untuk ikut mendorong bersama mereka. "Oral" Semua orang mendorong. Vittoria baru saja ingin ikut mendorong, namun tutup itu mulai bergeser. Orang-orang itu berusaha lagi. Lalu dengan menimbulkan suara seperti menggeram karena batu di atas menggesek batu di bawahnya, tutup peti itu pun berputar, membuka bagian atas makam, dan berhenti pada sebuah sudut sehingga ukiran kepala Paus terdorong masuk ke dalam ceruk dan bagian kaki dari tutup peti mati itu menonjol ke arah gang. Semua orang melangkah mundur. Seorang penjaga segera membungkuk untuk memungut senternya. Lalu dia mengarahkannya ke makam itu. Sinarnya tampak bergetar sejenak, kemudian penjaga itu memegangnya lagi dengan lebih kuat. Penjaga yang lainnya bergabung satu per satu. Walau di dalam gelap Vittoria merasakan mereka merunduk. Setelah itu mereka membuat salib di depan dada mereka sendiri. Sang camerlegno bergetar ketika melihat ke dalam makam itu. Bahunya melorot seolah ada beban di atasnya. Dia berdiri di sana lama, setelah itu barulah dia berpaling. Vittoria khawatir kalau mulut jasad itu terkatup rapat karena rigor mortis sehingga dia harus mengusulkan untuk membuka rahangnya agar bisa melihat lidahnya. Namun sekarang dia tahu kalau tindakan itu tidak diperlukan. Kedua pipi jasad itu turun, dan mulut mendiang Paus terbuka lebar. Lidahnya hitam seperti kematian. TIDAK ADA CAHAYA. Tidak ada suara. Ruang Arsip Rahasia itu gelap gulita. Kini Langdon baru menyadari kalau ketakutan adalah motivator paling hebat. Dengan tersengal-sengal, dia berjalan terantuk-antuk ke arah pintu putar. Dia menemukan tombol itu di dinding dan menekannya dengan kasar. Tidak ada yang terjadi. Dia mencoba lagi. Pintu itu seperti mati. Dia berputar seperti orang buta dan berteriak, tetapi suaranya tercekat. Situasi sulit yang berbahaya ini tiba-tiba mengurungnya. Paru-parunya membutuhkan tambahan oksigen ketika adrenalinnya mempercepat denyut jantungnya. Dia merasa seperti ada seseorang yang baru saja meninju perutnya. Ketika dia menghantamkan tubuhnya pada pintu, sesaat dia merasa pintu itu bergerak. Dia mendorong lagi, sehingga matanya berkunang-kunang. Dia kemudian sadar kalau ruangan inilah yang terasa berputar, bukan pintunya yang bergerak. Sambil berjalan menjauh dengan langkah terhuyung-huyung, Langdon tersandung pada kaki tangga sehingga terjatuh dengan keras. Lututnya terluka karena membentur tepian rak buku. Dia menyumpah, lalu berusaha berdiri dan meraba-raba untuk mencari tangga. Setelah menemukannya, Langdon berharap tangga itu terbuat dari kayu yang berat atau besi. Tetapi ternyata tangga itu hanya terbuat dari aluminium. Dia mencengkeram tangga tersebut dan memegangnya seperti alat pemukul. Kemudian dia berlari dalam kegelapan ke arah dinding kaca. Ternyata dinding itu berdiri lebih dekat dari dugaannya semula. Tangga itu membentur dinding dengan cepat, sehingga berbalik mengenai kepala Langdon. Dari bunyi benturan itu Langdon tahu kalau dia membutuhkan tangga yang jauh lebih kuat daripada sekadar tangga aluminium untuk memecahkan kaca tebal di depannya itu. Ketika dia ingat pada pistol semi otomatisnya, harapannya meningkat. Tapi sesegera itu pula harapannya menghilang, karena senjata itu sudah tidak ada padanya lagi. Olivetti telah mengambilnya saat mereka berada di ruang kerja paus, ketika dia berkata tidak mau ada senjata yang berisi peluru di sekitar sang camerlegno. Saat itu alasan sang komandan masuk akal juga. Langdon berteriak lagi, namun suaranya semakin tidak terdengar. Kemudian dia ingat pada walkie-talkie yang ditinggalkan penjaga di atas meja di luar ruang tembus pandang ini. Mengapa aku tidak membawanya ke dalami Ketika bintang-bintang ungu mulai menari di depan matanya, Langdon memaksa dirinya untuk berpikir. Kamu sudah pernah terkurung sebelum ini, katanya pada dirinya sendiri. Kamu berhasil selamat dari situasi yang lebih buruk dari ini. Saat itu kamu hanyalah seorang anak kecil dan kamu dapat berpikir dengan baik. Kegelapan itu seperti membanjirinya. Berpikirlah! Langdon merebahkan diri di atas lantai. Dia terlentang, lalu meletakkan kedua tangannya di samping tubuhnya. Langkah pertama adalah mengendalikan diri dengan baik. Santai. Hemat tenaga. Tanpa harus melawan gaya tarik bumi untuk memompa darah, jantung Langdon mulai melambat. Itu adalah cara yang digunakan oleh para perenang untuk mengisi kembali oksigen ke dalam darah mereka di antara jadwal pertandingan yang ketat. Ada banyak udara di sini, katanya pada dirinya sendiri. Banyak. Sekarang berpikirlah. Dia menunggu, sambil separuh berharap lampu akan menyala lagi sebentar lagi. Ternyata tidak. Ketika dia berbaring di sana, dan dapat bernapas dengan lebih baik, perasaan ingin menyerah tiba-tiba melintas. Dia merasa sangat damai. Langdon berusaha untuk melawannya. Kamu harus bergerak, keparat! Tetapi ke mana .... Di pergelangan tangan Langdon, Mickey Mouse berkilau dengan riang seolah dia menikmati kegelapan. Pukul 9.33 malam. Setengah jam lagi, sebelum cap Api muncul. Langdon berpikir itu masih sangat lama. Pikirannya, alih-alih memikirkan usaha untuk melarikan diri, tiba-tiba malah meminta penjelasan. Siapa yang mematikan listrik? Apakah Rocher memperluas area pencariannya? Apa Olivetti tidak memberi tahu Rocher kalau aku ada di sini? Langdon kemudian sadar, saat ini semua jawaban untuk pertanyaan itu tidak akan membawa perubahan. Sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan mendongakkan kepalanya, Langdon berusaha menarik napas panjang semampunya. Setiap tarikan napas membuatnya menyadari betapa tipisnya udara di sekelilingnya ini. Walau demikian, pikirannya terasa jernih. Dia berusaha memusatkan pikirannya dan memaksa dirinya untuk bertindak. Dinding kaca, katanya lagi. Tetapi sangat tebal. Dia bertanya-tanya apakah buku-buku ini tersimpan dalam kabinet berat dari besi dan tahan api. Langdon sering melihat lemari seperti itu di ruang arsip lainnya tetapi di sini tidak ada. Lagi pula untuk mencarinya dalam gelap, itu akan membuang waktu. Belum tentu dia dapat mengangkatnya, terutama dalam keadaan kekurangan oksigen seperti ini. Bagaimana dengan meja pemeriksaan? Langdon tahu ruangan ini, seperti juga ruangan lainnya, memiliki sebuah meja pemeriksaan di tengah-tengah tumpukan buku. Lalu apa? Dia tahu, dia juga tidak dapat mengangkatnya. Apalagi menyeretnya. Meja itu tidak akan bergerak terlalu jauh. Rak-rak itu terlalu berdekatan, gang di antaranya terlalu sempit. Gang-gangnya terlalu sempit .... Tiba-tiba Langdon tahu. Dengan rasa percaya diri yang meluap, dia meloncat bangun terlalu cepat. Sambil terhuyung-huyung, dia lalu meraba-raba mencari pegangan dalam gelap. Tangannya menemukan sebuah rak. Lalu dia menunggu sesaat karena harus menghemat tenaga. Dia akan membutuhkan semua tenaganya untuk melakukan rencananya. Langdon menempatkan dirinya di sisi rak buku seperti seorang pemain futbal menahan kereta luncur ketika dalam latihan. Dia menjejakkan kakinya dan mendorong. Jika aku dapat merubuhkan rak ini. Tetapi rak itu hampir tidak bergerak. Dia bersiap lagi untuk kembali mendorong. Kakinya terpeleset ke belakang. Rak buku itu hanya berderik tetapi tidak bergerak. Dia membutuhkan pengungkit. Langdon lalu kembali ke dinding kaca dan meletakkan tangannya di dinding itu. Kemudian dia berlari menyusurinya sampai bertemu dengan bagian belakang ruangan kedap udara tersebut. Dinding belakang itu muncul dengan tiba-tiba dan Langdon menabraknya, bahunya terhantam. Sambil menyumpah-nyumpah Langdon mengelilingi rak buku itu dan meraih rak setinggi matanya. Dengan menyangga satu kakinya di dinding kaca di belakangnya dan menempatkan kaki lainnya di rak yang agak di bawah, Langdon mulai memanjat. Buku-buku berjatuhan di sekitarnya, berisik dalam kegelapan. Langdon tidak peduli. Insting untuk ber tahan hidup sejak lama selalu mengalahkan tata cara penyimpanan arsip yang paling teratur sekalipun. Dia merasakan keseimbangannya terganggu karena keadaan yang gelap gulita itu. Langdon menutup matanya, dan memaksa otaknya untuk mengabaikan apa yang dilihatnya. Dia bergerak lebih cepat sekarang. Udara terasa lebih tipis ketika dia memanjat lebih tinggi. Langdon terus memanjat ke rak yang lebih tinggi, menginjak buku-buku, mencoba untuk lebih tinggi lagi, hingga merasakan dirinya berada semakin tinggi. Kemudian seperti seorang pemanjat tebing mengalahkan sebuah karang, Langdon akhirnya meraih rak tertinggi. Sambil menelungkupkan tubuhnya, Langdon menjejak dinding kaca sampai posisi tubuhnya hampir horizontal. Sekarang atau tidak sama sekali, Robert, sebuah suara mendesaknya. Hanya seperti latihan menekan kaki di ruang olah raga Harvard. Dengan pengerahan tenaga yang membuatnya pusing, dia menjejakkan kakinya pada dinding kaca di belakangnya, bersamaan dengan itu dia menempelkan dada dan tangannya pada rak buku, dan mendorongnya. Tidak ada yang berubah. Sambil terengah-engah, dia bersiap dan mencoba lagi dengan menekankan kakinya lebih kuat lagi. Rak buku itu bergerak sedikit. Dia mendorong lagi, dan rak buku itu bergoyang ke depan kira-kira satu inci dan ke kembali lagi ke posisinya semula. Langdon memanfaatkan ayunan itu, lalu menarik napas walau dia tidak merasakan adanya oksigen yang terhirup. Kemudian dia mendorong lagi tanpa lelah. Rak buku itu berayun lebih lebar. Seperti ayunan, katanya pada dirinya sendiri. Terus mengayun. Sedikit lagi. Langdon mengayun rak buku itu, menekankan kakinya lebih kuat lagi setiap kali dia mengayunkan rak itu. Otot kakinya terasa sakit, namun dia menahannya. Pendulum itu terus bergoyang. Tiga dorongan lagi, desaknya sendiri. Ternyata dia hanya membutuhkan dua dorongan lagi. Tiba-tiba Langdon merasa tak ada beban lagi. Kemudian dengan suara berdebam karena buku-buku berjatuhan dari raknya, Langdon tumbang ke depan bersama rak buku di hadapannya. Dengan posisi miring, rak buku itu menimpa rak buku lain di sampingnya. Langdon terus berpegangan sambil mengarahkan berat tubuhnya ke depan dan mendesak rak buku ke dua agar ikut rubuh. Rak buku di hadapannya terpaku sejenak sebelum akhirnya memaksa rak kedua berderik dan mulai miring. Langdon pun ikut jatuh bersamanya. Seperti kartu domino yang besar, rak-rak buku itu mulai berjatuhan dan saling menindih. Rak menimpa rak, dan buku-buku berserakan di mana-mana. Langdon masih berpegangan pada rak buku di depannya dan jatuh ke depan seperti roda gerigi yang bergerak pada pasaknya. Dia bertanya-tanya berapa banyak rak buku yang ada di dalam ruangan itu. Berapa berat mereka semua? Dinding kaca di depannya itu terlalu tebal .... Rak bukunya hampir jatuh dengan posisi horizontal ketika dia mendengar suara yang ditunggunya sejak tadi, suara hantaman yang berbeda. Jauh di ujung sana. Di sisi lain ruangan itu. Suara pukulan besi yang menimpa kaca. Ruangan itu bergoyang, dan Langdon tahu rak buku terdepan, yang ditekan oleh rak-rak buku di belakangnya, telah menimpa dinding kaca itu dengan keras. Suara yang ditimbulkan adalah suara yang paling tidak menyenangkan yang pernah didengar olehnya. Hening. Tidak ada suara kaca pecah, hanya suara tumbukan ketika dinding itu menerima berat dari rak-rak buku yang sekarang bersandar pada dinding kaca tersebut. Langdon berbaring dengan mata terbuka lebar di atas tumpukan buku. Tiba-tiba terdengar bunyi retakan dari kejauhan. Langdon ingin menahan napas untuk mendengarkannya, tapi dia memang sudah tidak merasakan adanya oksigen lagi. Satu detik. Dua .... Kemudian, ketika hampir pingsan karena kehabisan oksigen, Langdon mendengar hasil usahanya dari kejauhan ... kaca itu mulai retak seperti sarang laba-laba. Tiba-tiba, seperti sebuah meriam, dinding kaca itu meledak. Rak buku di bawah tubuh Langdon akhirnya jatuh menyentuh lantai. Seperti hujan yang ditunggu-tunggu di padang pasir, serpihan kaca berjatuhan di lantai dalam kegelapan. Dengan desisan besar, udara mengalir ke dalam. Tiga puluh detik ke mudian, di dalam Gua Vatican, Vittoria sedang berdiri di depan jasad Paus ketika walkie-talkie seorang penjaga mengeluarkan suara dan memecah keheningan. Suara yang berseru itu terdengar terengah-engah. "Ini Robert Langdon! Ada yang dapat mendengarku?"
Satria Gendeng Geger Pesisir Jawa Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung