Malaikat Dan Iblis 15
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 15
Kesunyian sekarang tersebar hingga ke sudut terdalam dari kapel itu. Mortati bahkan dapat mendengar debaran putus asa dari jantungnya sendiri.
"Roda itu telah berputar sejak lama," kata sang camerlegno. "Kemenangan kalian sudah tidak bisa dihindari lagi. Sebelumnya tidak pernah begitu jelas seperti sekarang ini. Ilmu pengetahuan kini menjadi Tuhan baru."
Apa yang sedang diucapkannya? kata Mortati dalam hati. Apa dia sudah gila? Seluruh dunia mendengarkan ini semua! "Pengobatan, komunikasi elektronik, perjalanan ke angkasa luar, manipulasi genetika ... ini semua adalah keajaiban yang sekarang kita ceritakan kepada anak-anak kita. Ini semua adalah keajaiban yang kita gembar-gemborkan sebagai bukti bahwa ilmu pengetahuan akan memberikan kita semua jawaban dari semua pertanyaan yang kita ajukan. Kisah-kisah kuno tentang konsep yang suci, seperti semak terbakar dan laut terbelah tidak lagi terlihat relevan. Tuhan sudah usang. Ilmu pengetahuan telah memenangkan pertempuran ini. Kami mengaku kalah."
Gemerisik kebingungan dan ketakutan menyapu seluruh kapel.
"Tetapi kemenangan ilmu pengetahuan," sang camerlegno melanjutkan, suaranya bertambah kuat sekarang, "telah mengorbankan umat manusia. Dan itu merupakan pengorbanan yang berat."
Sunyi.
"Ilmu pengetahuan mungkin telah mengurangi misteri dari penyakit dan pekerjaan yang sukar serta menghasilkan berbagai peralatan canggih untuk hiburan dan kenyamanan hidup kita. Tetapi itu membuat kita hidup di dunia tanpa kekaguman. Makna matahari tenggelam telah direduksi menjadi panjang gelombang dan frekuensi. Kerumitan alam semesta telah dijabarkan menjadi persamaan matematika. Bahkan nilai pribadi kita sebagai manusia telah dirusak. Ilmu pengetahuan menganggap planet bumi beserta penghuninya adalah titik yang tidak ada artinya dalam sebuah skema yang luar biasa besar. Sebuah peristiwa kosmis yang terjadi di alam raya." Dia berhenti sejenak. "Bahkan teknologi yang berjanji ingin mempersatukan kita, ternyata justru memisahkan kita. Semua orang sekarang saling terhubung secara elektronik, tapi kita tetap merasa sangat sendirian. Kita dibombardir dengan kekerasan, perpecahan, keretakan, dan pengkhianatan. Sikap skeptis dianggap sebagai nilai yang lebih luhur. Kesinisan dan tuntutan akan bukti dianggap sebagai pikiran yang tercerahkan. Apa kita tidak bertanya-tanya kenapa kita kini merasa lebih tertekan dan terkalahkan dibanding masa lalu dalam sejarah umat manusia? Apakah ilmu pengetahuan mengakui sesuatu yang suci? Ilmu pengetahuan mencari jawaban dengan menyelidiki janin yang belum lahir. Ilmu pengetahuan bahkan berusaha untuk mengatur kembali susunan DNA kita. Ilmu pengetahuan menghancurkan dunia yang diciptakan Tuhan ke dalam potongan yang lebih kecil dalam usaha mereka mencari makna ... dan itu hanya menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru."
Mortati menatap dengan kagum. Sang camerlegno nyaris menghipnotis mereka sekarang. Dia memiliki kekuatan fisik dalam setiap gerakannya dan suaranya yang belum pernah Mortati lihat di depan altar Vatican. Suara lelaki itu ditempa oleh kesedihan dan keyakinannya.
"Peperangan kuno antara ilmu pengetahuan dan agama telah usai," kata sang camerlegno. "Kalian sudah memenangkannya. Tetapi kalian tidak menang secara jujur. Kalian tidak menang dengan memberikan jawaban. Kalian menang dengan mengubah orientasi masyarakat kita secara radikal sehin gga kebenaran yang dulu kita lihat sebagai petunjuk kini dianggap tidak berguna lagi. Agama tidak bisa mengejar perubahan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah hal yang sudah pasti. Dia berkembang biak seperti virus. Tiap terobosan baru membuka terobosan yang lainnya. Umat manusia membutuhkan waktu ratusan tahun untuk maju dari penemuan ban sampai bisa membuat mobil. Tapi kita hanya membutuhkan satu dasawarsa untuk bisa pergi ke ruang angkasa setelah kita mengenal mobil. Kini, kita bisa mengukur kemajuan ilmu pengetahuan dalam hitungan minggu. Kita semakin kehilangan kontrol. Jurang antara kita semakin melebar, dan ketika agama tertinggal, manusia menemukan dirinya di dalam kehampaan spiritual. Kita berusaha keras untuk menemukan arti. Dan percayalah, kita memang benar-benar berusaha dengan keras. Kita melihat UFO, berusaha terhubung dengan arwah, berhubungan dengan hal-hal gaib, pengalaman berada di luar tubuh, pencarian dalam pemikiran-semua ide eksentrik ini diselubungi oleh ilmu pengetahuan, tapi pada kenyataannya mereka itu tidak rasional. Itu adalah usaha keras jiwa-jiwa modern yang kesepian dan kebingungan yang sedang mencari pencerahan dan berusaha melepaskan diri dari ketidakmampuan mereka untuk menerima arti dari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan teknologi."
Mortati mencondongkan tubuhnya di atas kursinya. Dia, para kardinal lainnya serta masyarakat di seluruh dunia terpaku ketika mendengar kata-kata pastor itu. Sang camerlegno tidak berbicara dengan gaya berpidato atau menggunakan kata-kata tajam. Tidak ada acuan dari Alkitab atau Yesus Kristus. Dia berbicara menggunakan istilah-istilah modern, lugas dan murni. Kata-kata itu seakan mengalir sendiri dari Tuhan. Sang camerlegno berbicara dengan bahasa modern ... padahal dia sedang menyampaikan pesan yang sudah klasik. Pada saat itu Mortati dapat memahami dengan jelas kenapa mendiang Paus sangat mencintai lelaki ini. Di dalam dunia yang apatis, sinis dan dipenuhi dengan pemujaan terhadap teknologi, lelaki seperti sang camerlegno; orang realis yang bisa mengungkapkan jiwa manusia seperti yang baru saja dilakukannya, menjadi satu-satunya harapan yang dimiliki gereja.
Sang camerlegno berbicara dengan lebih kuat sekarang. "Anda bilang ilmu pengetahuan akan menyelamatkan kita. Menurut saya, ilmu pengetahuan sudah menghancurkan kita. Sejak masa Galileo, gereja sudah berusaha untuk mengerem kecepatan laju ilmu pengetahuan, kadang kala dengan menggunakan cara-cara yang tidak pantas, tapi selalu didasari oleh niat baik. Tapi godaannya terlalu kuat untuk ditolak oleh manusia. Saya mengingatkan Anda semua, lihatlah sekeliling Anda. Janji-janji yang diberikan oleh ilmu pengetahuan belum ditepati olehnya. Janji-janji seperti efisiensi dan kesederhanaan hanya menghasilkan polusi dan kekacauan. Kita terpecah belah dan menjadi makhluk yang kebingungan ... dan sedang tergelincir ke arah kehancuran."
Sang camerlegno berhenti agak lama dan kemudian menajamkan tatapannya ke arah kamera.
"Siapakah Tuhan ilmu pengetahuan itu? Siapa Tuhan yang menawarkan kekuatan kepada umatnya tetapi tidak memberikan batasan moral untuk mengatakan kepada kalian bagaimana menggunakan kekuatan itu? Tuhan seperti apa yang memberikan api kepada seorang anak tetapi tidak memperingatkan akan bahaya yang ditimbulkannya? Bahasa ilmu pengetahuan datang tanpa petunjuk tentang baik dan buruk. Buku-buku ilmu pengetahuan mengatakan kepada kita bagaimana menciptakan reaksi nuklir, namun buku itu tidak berisi bab yang menanyakan kepada kita apakah itu gagasan yang baik atau buruk.
"Kepada ilmu pengetahuan, dengarkanlah kata-kata saya. Gereja sudah letih. Kami lelah menjadi petunjuk kalian. Kekuatan kami mengering karena usaha kami untuk menjadi suara penyeimbang ketika kalian berusaha dengan membabi buta untuk mencari keping yang lebih kecil dan keuntungan yang lebih besar. Kami tidak bertanya kenapa kalian tidak mau mengendalikan diri, tetapi bagaimana kalian bisa mengendalikan diri? Dunia kalian bergerak begitu cepat sehingga kalau kalian berhenti sekejap saja untuk mempertimbangkan tindak an kalian, seseorang yang lebih efisien akan mendahului kalian. Jadi kalian berjalan terus. Kalian mengembangkan senjata pemusnah masal, tetapi Pauslah yang berkeliling dunia untuk memohon para pemimpin agar menahan diri. Kalian membuat kloning makhluk hidup, tetapi gereja jugalah yang mengingatkan kita agar mempertimbangkan implikasi moral dari tindakan itu. Kalian mendorong orang-orang untuk saling berhubungan melalui telepon, layar video dan komputer, tetapi gerejalah yang membuka pintunya dan mengingatkan kita untuk berhubungan secara pribadi kalau kita memang betul-betul berniat. Kalian bahkan membunuh bayi yang belum lahir atas nama penelitian yang akan menyelamatkan kehidupan. Lagi-lagi, gerejalah yang menunjukkan kesalahan dari cara berpikir seperti itu."
"Dan sementara itu, kalian berkata gereja tidak peduli. Tetapi siapa sesungguhnya yang tidak peduli? Orang yang tidak dapat menemukan arti dari petir atau orang yang tidak menghormati kekuatannya yang dahsyat? Gereja ini mengulurkan tangannya kepada kalian. Mengulurkan tangan pada semua orang. Namun, semakin kami mengulurkan tangan, semakin kalian menolak kami. Tunjukkan bukti kepada kami bahwa Tuhan ada, kata kalian. Aku katakan, gunakan teleskop kalian untuk melihat surga, dan katakan padaku bagaimana mungkin tidak ada Tuhan!" Air mata sang camerlegno nyaris menetes. "Kalian bertanya, seperti apa Tuhan itu? Aku berkata, dari mana pertanyaan itu datang? Jawabannya hanya ada satu dan akan selalu sama. Apakah kalian tidak melihat Tuhan di dalam ilmu pengetahuanmu? Bagaimana mungkin kalian tidak melihat-Nya! Kalian berkata bahkan perubahan paling kecil yang terjadi pada gaya tarik bumi atau berat sebuah atom bisa sangat memengaruhi alam raya tapi kamu gagal untuk melihat campur tangan Tuhan dalam hal ini. Apakah lebih mudah untuk memercayai bahwa kita hanya tinggal memilih kartu yang tepat dari setumpuk ribuan kartu? Apakah jiwa spiritual kita sudah benar-benar rusak sehingga kita lebih memercayai ketidakmungkinan matematis ketimbang sebuah kekuatan yang lebih agung dari kita semua? "Entah kalian memercayai Tuhan atau tidak," kata sang camerlegno, suaranya kini terdengar lebih dalam, "kalian harus memercayai ini. Ketika kita sebagai makhluk hidup meninggalkan kepercayaan kita kepada kekuatan yang lebih besar dari kita, maka kita juga akan meninggalkan perasaan tanggung jawab kita. Keyakinan ... apa pun keyakinan itu ... adalah sebuah peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, sesuatu di mana kita harus bertanggung jawab kepadanya .... Dengan keyakinan, kita bertanggung jawab pada sesama, kepada diri kita sendiri, dan kepada kebenaran yang lebih tinggi. Agama mungkin tidak sempurna, tetapi itu karena manusia tidak sempurna. Kalau dunia di luar sana dapat melihat gereja seperti apa yang kulihat ... lebih memahami ritual yang dijalankan di balik dinding ini ... mereka akan melihat keajaiban modern ... sebuah persaudaraan dari ketidaksempurnaan, jiwa-jiwa sederhana yang hanya ingin menjadi suara kasih sayang di dalam dunia yang berputar tak terkendali."
Sang camerlegno menunjuk pada Dewan Kardinal. Kamerawati BBC itu secara naluriah mengikuti arah tangannya, dan menggerakkan kameranya ke arah orang-orang itu.
"Apakah kami kuno?" tanya sang camerlegno. "Apakah orangorang ini dinosaurus? Apakah aku dinosaurus? Apakah dunia benar-benar membutuhkan suara untuk membela mereka yang miskin, lemah, tertekan, bayi yang belum lahir? Apakah kita benar-benar membutuhkan jiwa seperti ini yang tidak sempurna tapi ulet, dan menghabiskan masa hidup mereka untuk memohon agar dapat membaca petunjuk moralitas supaya tidak tersesat?"
Mortati sekarang tahu bahwa sang camerlegno, entah disadarinya atau tidak, telah bertindak sangat cemerlang. Dengan memperlihatkan para kardinal, dia sedang memanusiakan gereja. Vatican City bukan lagi sebuah bangunan, tapi manusia-manusia seperti sang camerlegno yang telah menghabiskan masa hidupnya dalam pelayanan bagi kebaikan.
"Malam ini kami berada di atas jurang yang curam," kata sang camerlegno. "Tidak seorang pun dari k ita yang boleh menjadi apatis. Entah kalian melihatnya sebagai setan, korupsi atau imoralitas ... kekuatan gelap itu hidup dan bertumbuh setiap hari. Jangan abaikan itu." Sang camerlegno merendahkan suaranya sehingga menjadi bisikan, dan kamera bergerak lagi. "Kekuatan itu, walau perkasa tapi tidak mungkin tidak terkalahkan. Kebaikan pada akhirnya pasti akan menang. Dengarkan hati kalian. Dengarkan Tuhan. Bersama-sama kita dapat melangkah menjauhi jurang ini."
Sekarang Mortati mengerti. Inilah alasannya. Aturan yang diterapkan selama rapat pemilihan paus berlangsung memang telah dilanggar, tetapi inilah satu-satunya cara. Ini adalah permintaan tolong yang dramatis dan disampaikan dengan keputusasaan. Sang camerlegno sekarang berbicara kepada musuhnya dan kepada temannya. Dia memohon kepada siapa saja, teman atau musuh, untuk mendengarkan akal sehat dan menghentikan kegilaan ini.
Tentu saja orang yang mendengarkan perkataannya dengan baik akan menyadari kegilaan dari peristiwa ini dan kemudian bertindak. Sang camerlegno lalu berlutut di altar. "Berdoalah bersamaku." Dewan Kardinal ikut berlutut untuk berdoa bersamanya. Di luar, di Lapangan Santo Petrus dan di seluruh dunia ... dunia yang terpaku ikut berdoa bersama mereka.
SI HASSASSIN MELETAKKAN hadiah yang sedang tidak sadarkan diri itu di belakang mobil vannya, dan tercenung sejenak untuk mengagumi tubuh yang tergeletak itu. Perempuan itu tidak secantik perempuan-perempuan yang pernah dibelinya, walau demikian perempuan ini memiliki kekuatan hewani yang membuatnya senang. Tubuh perempuan ini dipenuhi dengan vitalitas dan basah oleh keringat. Harum tubuhnya sangat menggoda.
Ketika si Hassassin berdiri sambil mengagumi hadiahnya itu, dia mengabaikan rasa sakit yang berdenyut di lengannya. Luka memar karena tertimpa peti mati dari batu tadi, walau terasa sakit, tapi tidak terlalu parah ... sepadan dengan imbalan yang sekarang tergolek di depannya. Dia merasa lega karena tahu lelaki Amerika yang telah menyakiti lengannya itu mungkin sudah tewas sekarang.
Sambil menatap ke bawah, ke arah tawanannya yang tidak berdaya itu, si Hassassin membayangkan apa yang akan didapatkannya nanti. Dia meraba kemeja perempuan itu. Payudaranya terasa sempurna di balik branya. Ya, dia tersenyum. Kamu lebih daripada sepadan. Sambil berjuang melawan dorongan untuk menidurinya saat itu juga, si Hassassin menutup pintu vannya lalu melaju menembus malam.
Tidak perlu memberi tahu pers tentang pembunuhan ini ... kebakaran itu akan membuat mereka tahu.
Di CERN, Sylvie duduk terpaku karena ucapan sang camerlegno. Dia tidak pernah merasa begitu bangga menjadi seorang Katolik sekaligus begitu malu karena bekerja di CERN. Ketika dia meninggalkan ruang rekreasi, suasana di setiap ruang menonton TV terlihat muram dan bingung. Ketika dia kembali berada di kantor Kohler, tujuh saluran telepon di atas mejanya berdering semua. Telepon dari media tidak pernah singgah di kantor Kohler sebelumnya, jadi telepon yang berdering itu hanya dapat berarti satu hal saja.
Geld. Uang.
Teknologi antimateri telah mengundang beberapa peminat.
Di dalam Vatican, Gunther Glick seperti melayang di atas udara ketika dia mengikuti sang camerlegno keluar dari Kapel Sistina. Glick dan Macri baru saja menyiarkan laporan langsung yang sangat penting selama satu dasawarsa ini. Sang camerlegno telah membuat dunia terpesona.
Sekarang mereka berada di sebuah koridor dan sang camerlegno berpaling ke arah Glick dan Macri. "Aku sudah meminta Garda Swiss untuk mengumpulkan foto-foto untuk kalian, foto-foto para kardinal yang dicap berikut foto mendiang Paus. Aku harus memperingatkan kalian, foto-foto itu bukanlah foto-foto yang menyenangkan. Luka bakar yang mengerikan. Lidah menghitam. Tetapi aku ingin kalian menyiarkannya kepada dunia."
Glick menduga Vatican City pasti terus-menerus merayakan natal tiap hari. Dia ingin agar aku menyiarkan foto mendiang Paus secara eksklusif? "Anda yakin?" tanya Glick sambil mencoba menahan nada kegirangan dalam suaranya.
Sang camerlegno mengangguk. "Garda Swiss juga akan memberi kalian tayangan langsung dari video keamanan yang menyiarkan tabung antimateri yang sedang menghitung mundur." Glick menatapnya tak percaya. Natal. Natal. Natal! "Kelompok Illuminati itu akan segera tahu," jelas sang camerlegno, "bahwa mereka telah mengotori tangan mereka secara berlebihan." SEPERTI TEMA BERULANG dalam sebuah simponi yang kejam, kegelapan yang menyesakkan napas itu telah kembali.
Tidak ada cahaya. Tidak ada udara. Tidak ada jalan keluar.
Langdon berbaring dan terperangkap di bawah peti mati batu yang terjungkir, dan merasa otaknya mulai kehabisan akal. Dia kemudian berusaha mengendalikan pikirannya ke hal lain sehingga tidak terpengaruh dengan keadaan sesak di sekitarnya. Langdon berusaha memikirkan cara berpikir yang logis ... seperti matematika, musik, apa saja. Tetapi tidak ada satu hal pun yang bisa menenteramkan pikirannya. Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bernapas.
Lengan jasnya yang tergencet, untung sudah terbebas ketika peti mati itu jatuh. Sekarang Langdon mempunyai dua lengan yang bebas bergerak. Walau begitu, ketika dia menekan langit-langit sel kecilnya itu, ternyata kotak pualam itu tidak dapat bergerak. Lucunya, dia kemudian berpikir lebih baik lengan bajunya masih terjepit saja. Setidaknya kain tebal itu bisa membuat celah untuk jalan udara.
Ketika Langdon mendorong langit-langit di atasnya, lengan jasnya tertarik sehingga ada cahaya samar yang berasal dari kawan lamanya, Mickey. Wajah tokoh kartun yang sekarang berwarna kehijauan itu kini tampak mengejeknya.
Langdon mengamati kegelapan dan mencari tanda-tanda adanya sinar, tetapi pinggiran peti mati dari batu itu menutup lantai dengan rapat. Terkutuklah kesempurnaan orang Italia itu, serapahnya. Sekarang dia terjebak di dalam peti mati yang memiliki keunggulan artistik seperti yang selama ini dia katakan kepada muridnya agar mereka hormati ... tepian yang rata tanpa cela, pararel yang sempurna, dan tentu saja pualam Carrara berkualitas tinggi yang tidak memiliki sambungan dan sangat keras.
Kesempurnaan yang dapat membuat orang mati lemas.
"Angkat benda keparat ini," katanya dengan keras kepada dirinya sendiri sambil mendorong lebih kuat di antara tulang belulang yang berserakan. Kotak batu itu bergeser sedikit. Sambil mengeraskan rahangnya, dia mulai mengangkat lagi. Walau peti mati itu terasa seperti bongkahan batu besar, tetapi kali ini kotak batu itu terangkat seperempat inci. Secercah cahaya bersinar di sekitarnya, lalu peti mati itu terhempas lagi. Langdon terbaring terengah-engah di dalam gelap. Dia lalu mencoba menggunakan kakinya untuk mengangkat lagi seperti tadi, tetapi karena sekarang peti batu itu telah jatuh, benda itu menjadi sangat rapat dengan lantai. Tiada ruang lagi untuk meluruskan kakinya. Ketika kepanikan yang disebabkan oleh claustropbobia-nya muncul, perasaan Langdon dikuasai oleh bayangan peti batu itu mengerut di sekitar tubuhnya. Ditekan oleh perasaan paniknya, Langdon berusaha membunuh bayangan itu dengan tiap keping logika yang masih dimilikinya.
"Sarkofagus," dia berkata dengan keras dengan kemampuan akademis yang dimilikinya. Tapi sepertinya ilmu pengetahuan pun telah memusuhinya hari ini. Kata sarkofagus berasal dari kata bahasa Yunani, "sarx" artinya "daging", dan "phagein" artinya "memakan". Aku terperangkap di dalam sebuah kotak yang secara harfiah dirancang untuk "memakan daging."
Bayangan akan daging dimakan sehingga hanya meninggalkan tulang-belulang, kini menjadi peringatan muram bagi Langdon kalau dirinya sekarang sedang terbaring tertutup bersama jasad manusia. Pemikiran itu membuatnya mual dan merinding. Tetapi juga menimbulkan sebuah gagasan lainnya.
Sambil meraba-raba dalam kegelapan di sekitar peti mati itu, Langdon menemukan sepotong tulang. Tulang iga, mungkin? Dia tidak peduli. Yang dibutuhkannya hanyalah sebilah pengungkit. Kalau dia dapat mengangkat kotak batu itu, walau hanya sebesar sebuah celah, dan menyelipkan sepotong tulang di bawah pinggiran peti itu, mungkin akan ada cukup udara yang dapat ....
Sambil mengulurkan tangannya dan mengungkitkan ujung tula ng itu ke dalam celah di antara lantai dan peti mati, Langdon menekan langit-langit peti mati dengan tangannya yang lain dan berusaha untuk mendorongnya ke atas. Peti itu tidak bergerak sama sekali. Tidak sedikitpun. Dia berusaha lagi. Untuk sementara, sepertinya peti itu bergetar sedikit, tapi hanya itu saja.
Dengan bau busuk dan kekurangan oksigen yang mencekik kekuatan tubuhnya, Langdon sadar dia hanya dapat mengerahkan tenaganya satu kali lagi saja. Dia juga tahu kalau dia harus menggunakan kedua lengannya.
Sambil mengumpulkan tenanga, Langdon meletakkan ujung tulang itu di balik celah dan menggeser tubuhnya untuk menekan tulang tersebut dengan bahunya, dan menjaganya agar tidak bergeser. Dengan berhati-hati supaya tulang itu tetap berada ditempatnya, dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Ketika peti mati yang seakan mencekiknya itu mulai menekannya, dia merasakan kepanikan semakin menguasainya. Ini adalah kedua kalinya dalam hari ini dia terkurung tanpa udara. Dengan berteriak keras, Langdon menekan ke atas dengan gerakan yang sangat kuat. Peti mati itu terangkat dari lantai dalam sekejap. Tetapi cukup lama. Potongan tulang yang telah ditahan dengan bahunya itu menyelinap keluar, dan mengganjal peti mati itu sehingga membuat celah yang lebih lebar. Ketika peti mati itu jatuh lagi, tulang itu pecah. Tetapi kali ini Langdon dapat melihat peti mati itu terungkit. Sebuah celah tipis terlihat di bawah tepian sarkofagus itu.
Karena sangat letih, Langdon terkulai. Dia berharap rasa sakit di tenggorokannya akan berlalu. Dia menunggu. Tetapi keadaan itu semakin memburuk seiring berjalannya detik demi detik. Apa pun yang muncul dari celah itu tampaknya tidak cukup besar.
Langdon bertanya-tanya apakah celah itu cukup untuk membuatnya bertahan hidup. Tapi, untuk berapa lama? Kalau dia pingsan, siapa yang akan tahu kalau dia masih berada di situ? Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Langdon kemudian mengangkat jam tangannya lagi. 10.12 malam. Dengan jemarinya yang gemetar, dia berusaha dengan susah payah untuk mengatur jarum jam tangannya. Dia memutar salah satu pemutar kecilnya lalu menekan tombolnya.
Ketika kesadarannya berangsur menghilang, dia merasa dinding di sekitarnya merapat semakin ketat, dan Langdon merasa ketakutan lamanya menghampirinya kembali. Dia berkali-kali berusaha membayangkan kalau dirinya sedang berada di sebuah lapangan terbuka.
Gambaran yang dibuatnya itu ternyata sama sekali tidak membantunya. Bahkan mimpi buruk yang telah menghantuinya sejak dia kecil datang menyerbunya kembali....
Bunga-bunga di sini seperti dalam lukisan, pikir bocah lelaki itu sambil tertawa ketika dia berlarian melintasi lapangan rumput. Dia berharap orang tuanya datang bersamanya. Tetapi orang tuanya sedang sibuk memasang tenda.
"Jangan berkeliaran terlalu jauh," kata ibunya kepadanya. Dia berpura-pura tidak mendengar ketika dia melompat memasuki hutan. Sekarang, ketika melintasi lapangan indah itu, anak lelaki kecil itu tiba di tumpukan bebatuan ladang. Dia membayangkan batu itu dulunya pasti menjadi pondasi dari sebuah rumah tua. Dia tidak akan mendekatinya. Dia tahu yang lebih baik. Lagipula matanya lebih tertarik pada hal lainnya-sekuntum bunga lady's slipper yang cantik. Bunga itu adalah bunga terlangka dan tercantik di New Hampshire. Dia hanya pernah melihatnya di dalam buku-buku. Dengan gembira, anak lelaki itu mendekati bunga tersebut. Dia berlutut. Tanah di bawahnya terasa gembur dan berongga. Dia tahu, bunganya itu telah menemukan tempat yang sangat subur untuk tumbuh. Bunganya tumbuh di atas kayu yang membusuk. Karena terlalu gembira dengan bayangan akan membawa pulang hadiahnya itu, anak lelaki tersebut meraihnya ... jemarinya terulur ke arah tangkai bunga itu. Tapi dia tidak pernah berhasil meraihnya. Dengan suara berderak keras, tanah yang dipijaknya amblas. Dalam tiga detik yang membuatnya pusing, anak laki-laki itu tahu dia akan mati. Sambil berguling-guling ke bawah, dia berusaha berpegangan pada sesuatu supaya tidak mengalami patah tulang ketika terhempas. Ketika dia tiba di bawah, dia sama sekal i tidak merasa sakit. Hanya ada kelembutan. Dan dingin. Dia jatuh dengan wajah menimpa cairan, lalu terbenam dalam kegelapan yang sempit. Sambil berputar, jungkir balik karena kehilangan arah, anak lelaki itu meraih dinding curam yang mengurungnya. Entah bagaimana, seperti didorong oleh insting untuk bertahan hidup, dia berusaha keluar ke permukaan. Cahaya. Samar-samar. Di atasnya. Seperti bermil-mil jauhnya. Lengannya menggapai-gapai di dalam air untuk mencari lubang di dinding atau apa pun yang bisa digunakan untuk berpegangan. Namun dia hanya dapat meraih batu halus. Dia sadar dirinya telah terjatuh ke dalam sebuah sumur yang sudah ditinggalkan. Bocah itu berteriak minta tolong, tetapi teriakannya menggaung di dalam terowongan sempit itu. Dia berteriak lagi dan lagi. Di atasnya, lubang kecil itu menjadi tampak samar-samar. Malam tiba. Waktu seperti berubah bentuk di dalam kegelapan. Rasa kaku mulai terasa ketika dia terus menggerak-gerakkan kakinya di dalam air yang dalam agar bisa tetap mengambang. Memanggil. Menjerit. Anak kecil itu tersiksa oleh bayangan dinding yang dirasakan akan runtuh, dan akan menguburnya hidup-hidup. Kedua lengannya sudah sakit karena letih. Beberapa kali dia merasa seperti mendengar suara. Dia berteriak, tetapi suaranya tidak lagi terdengar ... semuanya terasa seperti dalam mimpi. Ketika malam tiba, sumur itu terasa semakin dalam. Dindingnya seperti mengerut menelan dirinya. Anak lelaki itu memaksakan diri untuk keluar, mendorong tubuhnya ke atas. Karena letih, dia ingin menyerah. Tapi dia merasa air mengangkatnya ke atas, menenteramkan rasa takutnya hingga dia tidak merasakan apa pun lagi. Ketika regu penyelamat datang, mereka menemukan bocah lelaki itu dalam keadaan setengah sadar. Dia telah menggerak-gerakkan kakinya di air supaya tidak tenggelam selama lima jam. Dua hari setelah itu, harian Boston Globe mencetak kisah itu di halaman depan dengan judul. "Perenang Cilik yang Hebat." SI HASSASSIN TERSENYUM ketika memasukkan mobilnya ke dalam bangunan dari batu berukuran raksasa yang menghadap ke sungai Tiber. Dia membawa hadiahnya ke atas dan lebih ke atas lagi ... berputar lebih tinggi dalam terowongan batu. Dia merasa senang karena bebannya lebih ramping. Dia tiba di pintu. Gereja Pencerahan, dia merenung dengan senang. Ruang pertemuan Illuminati kuno. Siapa yang dapat membayangkan kalau ruangan itu ada di sini? Di dalam, dia meletakkan perempuan itu di atas sebuah sofa besar yang empuk. Lalu dengan tangkas dia mengikat lengan perempuan itu di balik punggungnya kemudian mengikat kakinya. Dia tahu apa yang sangat diinginkannya itu harus menunggu hingga tugas terakhirnya selesai. Air. Tapi, dia masih punya waktu untuk bersenang-senang, pikirnya. Dia berlutut di samping perempuan itu lalu meluncurkan tangannya di paha tawanannya itu. Kulitnya terasa halus. Lalu lebih tinggi lagi. Jemari gelapnya meliuk-liuk di balik hak celana pendeknya. Lebih tinggi lagi. Dia kemudian berhenti. Sabar, katanya pada dirinya sendiri ketika merasa tergugah gairahnya. Ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Sesaat kemudian, dia berjalan keluar menuju ke balkon dari batu di depan ruangan itu. Angin malam perlahan-lahan mendinginkan hasratnya. Jauh di bawahnya, sungai Tiber menggelegak. Dia menaikkan pandangannya ke arah kubah Santo Petrus yang hanya berjarak tiga perempat mil. Kubah itu telanjang di bawah terpaan lampu-lampu pers.
"Jam terakhirmu," katanya keras sambil membayangkan orang-orang Muslim yang dibantai selama perang Salib. "Pada tengah malam nanti, kalian akan bertemu dengan Tuhan kalian."
Di belakangnya, perempuan itu bergerak. Si Hassassin berpaling. Dia mempertimbangkan untuk membiarkannya terbangun. Melihat sinar ketakutan di mata perempuan itu merupakan rangsangan yang sangat istimewa baginya.
Tetapi dia memilih untuk menggunakan nalarnya. Lebih baik kalau perempuan itu dibiarkan tidak sadar selama dia pergi. Walaupun perempuan itu terikat dan tidak akan dapat melarikan diri, si Hassassin tidak mau kembali dan menemukan perempuan itu dalam keadaan letih karena berjuang untuk melepaskan diri. Aku ingin kekuatanmu tersimpan ... untukku.
Dia lalu mengangkat kepala perempuan itu sedikit. Lelaki itu meletakkan tangannya di lehernya dan menemukan cekungan di bawah tengkoraknya. Titik tekanan meridian sering digunakannya berkali-kali. Dengan kekuatan penuh, dia mendorong ibu jarinya masuk ke dalam tulang rawan yang lembut dan kemudian menekannya. Perempuan itu langsung terkulai. Dua puluh menit, pikirnya. Tawanannya itu nanti akan menjadi seorang perempuan yang menggoda untuk mengakhiri sebuah hari yang dipenuhi kesempurnaan seperti ini. Nanti, setelah perempuan itu melayaninya dan mati kelelahan, si Hassassin akan berdiri di atas balkon dan melihat kembang api Vatican di tengah malam.
Setelah meninggalkan hadiahnya itu pingsan di atas sofa besar itu, si Hassassin turun ke lantai bawah dan memasuki ruang bawah tanah yang diterangi dengan obor. Tugas terakhir.
Dia berjalan mendekati meja dan menatap takzim ke arah sebentuk logam suci yang ditinggalkan di sana untuknya. Air. Itu adalah tugas terakhirnya.
Sambil memindahkan obor dari dinding seperti yang sudah dikerjakannya sebanyak tiga kali, dia mulai memanaskan ujung logam itu. Ketika ujung benda itu menjadi putih dan menyala karena panas, dia membawanya ke sebuah sel tak jauh dari situ.
Di dalam sel itu, seorang lelaki berdiri dalam diam. Tua dan sendirian.
"Kardinal Baggia," si pembunuh itu mendesis. "Kamu sudah berdoa?"
Mata lelaki Italia itu tidak memperlihatkan ketakutannya. "Hanya untuk jiwamu." KEENAM POMPIERI, petugas pemadam kebakaran, yang beraksi setelah melihat kebakaran di Gereja Santa Maria della Vittoria, memadamkan api unggun itu dengan semprotan gas halon. Semprotan air memang lebih murah, namun uap yang berasal dari sisa-sisa pembakaran akan merusak lukisan dinding di kapel itu, dan Vatican sudah membayar pompieri Roma dengan murah hati untuk mendapatkan layanan yang hati-hati di semua gedung yang dimilikinya.
Para pompieri, karena sifat pekerjaan mereka, hampir tiap hari menyaksikan tragedi. Tetapi apa yang terjadi pada gereja ini adalah hal yang tidak akan mereka lupakan. Korban itu setengah disalib, setengah digantung, setengah terbakar, sebuah pemandangan yang hanya cocok untuk mimpi buruk zaman Gothic.
Sayangnya pers, seperti biasanya, sudah tiba duluan sebelum petugas pemadam kebakaran sampai di sana. Mereka telah merekam banyak gambar dalam video mereka sebelum para pompieri membersihkan gereja. Ketika para petugas pemadam kebakaran akhirnya menurunkan korban dan meletakkannya di atas lantai, tidak ada keraguan tentang siapa lelaki itu.
"Cardinale Guidera," seseorang berbisik. "DiBarcelona." Korban itu tanpa busana. Setengah bagian dari tubuhnya hangus, darah menetes dari celah di antara kedua pahanya. Tulang keringnya terbuka. Seorang petugas pemadam kebakaran muntah. Yang satu lagi keluar untuk menghirup udara segar. Yang paling menakutkan adalah simbol yang tertera di dada sang kardinal. Kepala regu pemadam kebakaran mengelilingi jasad korban itu dengan ketakutan yang luar biasa. Lavaro del diavolo, katanya pada dirinya sendiri. Pasti setan yang melakukan ini. Lalu dia membuat tanda salib di dadanya sendiri untuk pertama kalinya sejak masa kanak-kanaknya.
"Un' altro corpo!" seseorang berteriak. Salah satu dari petugas pemadam kebakaran itu menemukan mayat yang lain. Korban kedua adalah seorang lelaki yang segera dikenali oleh kepala regu itu. Komandan Garda Swiss yang keras itu adalah sejenis orang yang disukai oleh sedikit petugas penegak hukum. Kepala regu itu kemudian menelepon Vatican, tetapi semua saluran sedang sibuk. Dia tahu itu tidak masalah. Garda Swiss akan segera tahu tentang hal ini dari televisi dalam beberapa menit lagi. Ketika kepala regu itu memeriksa kerusakan sambil berusaha membayangkan apa yang telah terjadi di sini, dia melihat sebuah ceruk yang berlubang-lubang karena peluru. Sebuah peti mati telah terguling dari penopangnya dan jatuh tertelungkup dalam keadaan yang berantakan. Kacau balau. Ini adalah bagian polisi dan Tahta Suci Vatican, pikir kepala regu itu sam bil berpaling dan pergi. Ketika hendak berpaling, tiba-tiba dia berhenti. Dari bawah peti mati itu dia mendengar suara. Itu adalah suara yang tidak pernah disukai oleh petugas pemadam kebakaran mana pun.
"Bombai" dia berteriak. "Tuttifuori!"
Ketika regu penjinak bom membalik peti mati itu, mereka melihat sumber suara elektronis itu. Mereka memandang dengan tatapan bingung.
"Medicol" salah satu dari mereka akhirnya berteriak memanggil petugas paramedis. "Medicol" "ADA KABAR DARI Olivetti?" tanya sang camerlegno yang terlihat sangat letih ketika Rocher mengawalnya kembali dari Kapel Sistina ke Kantor Paus.
"Tidak, signore. Saya mengkhawatirkan yang terburuk."
Ketika mereka tiba di Kantor Paus, suara sang camerlegno terdengar berat. "Kapten, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan malam ini di sini. Aku khawatir aku telah melakukan terlalu banyak. Aku akan masuk ke ruangan ini untuk berdoa. Aku tidak ingin diganggu. Sisanya ada di tangan Tuhan."
"Baik, signore."
"Sudah malam, Kapten. Temukan tabung itu."
"Pencarian kami masih terus berlanjut." Rocher ragu-ragu. "Senjata itu terbukti telah disembunyikan dengan sangat baik."
Sang camerlegno berkedip, seolah dia sudah tidak dapat berpikir lagi. "Ya. Pada pukul 11.15, kalau gereja ini masih berada dalam bahaya, aku ingin kamu mengevakuasi para kardinal. Aku menyerahkan keselamatan mereka di tanganmu. Aku hanya meminta satu saja. Biarkan mereka keluar dari tempat ini dengan kehormatan. Biarkan mereka keluar menuju Lapangan Santo Petrus untuk berdiri berdampingan dengan semua orang. Aku tidak mau citra terakhir gereja ini adalah sekumpulan orang tua yang ketakutan dan menyelinap keluar dari pintu belakang."
"Baiklah, signore. Dan Anda? Apakah saya akan menjemput Anda pada pukul 11.15 juga?"
"Itu tidak perlu."
"Signore?"
"Aku akan pergi ketika jiwaku menggerakkan tubuhku."
Rocher bertanya-tanya apakah sang camerlegno akan pergi dengan menggunakan kapal.
Sang camerlegno membuka pintu Kantor Paus dan masuk. "Sebenarnya ...," katanya sambil berpaling. "Masih ada satu hal lagi."
"Ya, signore?"
"Ruang kantor ini sepertinya agak dingin malam ini. Aku gemetar."
"Pemanas listriknya mati. Biar saya menyalakan perapian untuk Anda."
Sang camerlegno tersenyum letih. "Terima kasih. Terima kasih banyak."
Rocher keluar dari Kantor Paus tempat dia meninggalkan sang camerlegno yang sedang berdoa di depan perapian di hadapan patung kecil Bunda Maria yang Diberkati. Itu adalah pemandangan yang menakutkan. Sebuah bayangan hitam berlutut dalam nyala api. Ketika Rocher berjalan di gang, seorang penjaga muncul dan berlari ke arahnya. Walau hanya diterangi nyala lilin, Rocher mengenali Letnan Chartrand, seorang serdadu muda yang belum berpengalaman namun penuh semangat.
"Kapten," seru Chartrand sambil mengulurkan sebuah ponsel. "Kupikir kata-kata sang camerlegno mungkin ada hasilnya. Kita mendapat telepon yang mengatakan kalau dia memiliki informasi yang dapat membantu kita. Dia menelepon ke salah satu sambungan pribadi Vatican. Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan nomor itu."
Rocher berhenti. "Apa?"
"Dia hanya mau berbicara dengan petugas berpangkat tinggi."
"Ada kabar dari Olivetti?" "Tidak, Pak."
Rocher mengambil ponsel itu. "Ini Kapten Rocher. Aku petugas berpangkat tinggi di sini."
"Rocher," kata suara itu. "Aku akan menjelaskan padamu siapa aku sesungguhnya. Kemudian aku akan katakan padamu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya."
Ketika penelepon itu berhenti berbicara dan mematikan teleponnya, Rocher sekarang tahu dari siapa dia menerima perintah itu.
Kembali ke CERN, Sylvie Baudeloque dengan kalut berusaha untuk mencatat semua permintaan lisensi yang terekam ke dalam pesan suara di pesawat telepon Kohler. Ketika sambungan pribadi di atas meja direktur itu mulai berdering, Sylvie terlonjak. Tidak seorang pun mengetahui nomor itu. Dia menjawabnya.
"Ya?"
"Nona Beaudeloque? Ini Direktur Kohler. Hubungi pilotku. Jetku harus siap dalam lima menit." ROBERT LANGDON TIDAK tahu di mana dia berada atau berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia mem buka matanya, dia menemukan dirinya sedang menatap sebuah kubah bergaya zaman barok dengan lukisan di atasnya. Asap masih mengambang di udara. Tapi ada sesuatu yang menutupi mulutnya. Ternyata itu topeng oksigen. Dia menariknya. Ada aroma yang tidak menyenangkan di ruangan itu, seperti bau daging hangus. Langdon mengernyit ketika merasakan kepalanya berdenyut. Dia berusaha untuk bangun. Seorang berpakaian putih berlutut di sampingnya.
"Riposati!" kata lelaki itu dan merebahkan Langdon lagi. "Sono ilparamedico."
Langdon menyerah, kepalanya berputar-putar seperti asap di atasnya. Apa yang telah terjadi? Kepanikan mulai menembus benaknya.
"Syrcio salvatore," kata paramedis itu. "Tikus ... penyelamat."
Langdon merasa semakin bingung. Tikus penyelamat? Lelaki itu kemudian menunjuk jam tangan Mickey Mouse yang melilit pergelangan tangan Langdon. Pikiran Langdon mulai jernih sekarang. Dia ingat telah menyalakan alarmnya tadi. Ketika dia menatap dengan kosong pada permukaan jam tangannya, Langdon juga dapat melihat pukul berapa saat itu. 10.28 malam.
Dia duduk tegak.
Kemudian semuanya teringat kembali.
Langdon berdiri di dekat altar utama bersama dengan kepala regu petugas pemadam kebakaran itu dan beberapa orang anak buahnya. Mereka menghujani Langdon dengan berbagai pertanyaan. Tapi Langdon tidak mendengarkan mereka. Dia sendiri mempunyai pertanyaan. Seluruh tubuhnya sakit, tetapi dia tahu dia harus segera bertindak.
Seorang pompiero mendekati Langdon dari seberang gereja. "Saya telah memeriksa kembali, Pak. Mayat yang kami temukan hanyalah Kardinal Guidera dan Komandan Garda Swiss. Tidak ada tanda-tanda adanya seorang perempuan di sini."
"Grazie," kata Langdon. Langdon tidak yakin harus merasa senang atau ketakutan. Dia yakin tadi dia melihat Vittoria yang terbaring pingsan di atas lantai. Sekarang perempuan itu telah hilang. Satu-satunya penjelasan yang didapatnya sama sekali tidak menyenangkan. Pembunuh itu berbicara dengan gamblang ketika berbicara di telepon tadi sore. Seorang perempuan yang penuh semangat. Aku suka itu. Mungkin sebelum malam ini berakhir, aku akan menemukanmu. Dan ketika aku menemukanmu ... "
Langdon mengamati sekitarnya. "Di mana Garda Swiss?"
"Masih tidak ada kabar. Saluran Vatican sibuk semua."
Langdon merasa sangat kebingungan dan sendirian. Olivetti sudah tewas. Kardinal itu juga tewas. Vittoria menghilang. Setengah jam dalam hidupnya telah menghilang dalam sekejap.
Di luar, Langdon dapat mendengar suara pers berkerumun. Dia menduga rekaman gambar dari kematian kardinal yang sangat mengerikan itu akan segera mengudara, kalau belum mengudara saat ini. Langdon berharap sang camerlegno telah menduganya dan segera bertindak. Evakuasi Vatican! Sudahi permainan ini! Kita kalah! Tiba-tiba Langdon menyadari alasan yang membuatnya berada di sini. membantu menyelamatkan Vatican City, menyelamatkan keempat kardinal yang hilang dan berhadapan dengan persaudaraan yang sudah dia pelajari selama bertahun-tahun. Tapi semuanya langsung menguap dari otaknya. Mereka sudah kalah dalam perang ini. Sebuah dorongan baru muncul dari dalam hatinya. Sesuatu yang sederhana, tidak dapat ditawar-tawar dan penting.
Temukan Vittoria.
Tiba-tiba, secara tidak terduga dia merasakan kehampaan dalam hatinya. Langdon sering mendengar situasi sulit seperti ini bisa mempersatukan dua orang dengan cara yang belum tentu terjadi dalam waktu puluhan tahun. Dia sekarang memercayainya. Tanpa Vittoria di sisinya, Langdon merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. Kesepian. Tapi rasa sakit itu memberikan kekuatan.
Sambil berusaha membuang semua pikirannya, Langdon mengerahkan semua konsentrasinya. Dia berdoa supaya si Hassassin memilih untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum bersenang-senang. Kalau tidak, Langdon tahu dia sudah terlambat. Tidak, katanya pada dirinya sendiri, kau masih punya waktu. Penculik Vittoria masih harus melakukan sesuatu. Dia masih harus muncul ke permukaan satu kali lagi untuk terakhir kalinya sebelum menghilang untuk selamanya.
Altar ilmu pengetahuan terakhir, pikir Langdon. Pembunuh itu mempunyai tugas terakhir. Tanah, Udara, Api, Air.
Dia melihat jam tangannya. Tiga puluh menit lagi. Langdon bergerak melewati petugas-petugas pemadam kebakaran yang berlalu lalang dan berjalan ke arah patung karya Bernini, Ectasy of St. Teresa. Kali ini, ketika dia menatap petunjuk yang ditinggalkan Bernini itu, Langdon tidak ragu akan apa yang dicarinya.
Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu Malaikat karya Bernini itu berdiri di atas orang suci yang berbaring terlentang itu dan bersandar pada api yang menyala. Tangan malaikat itu menggenggam sebuah tombak berujung api. Mata Langdon mengikuti arah tangkai tombak yang mengarah ke sebelah kanan gereja itu. Matanya bertemu dengan dinding. Dia terus mengamati titik yang ditunjuk oleh tombak itu. Tidak ada apa-apa di sana. Langdon tahu, tentu saja tombak itu menunjuk ke tempat yang lebih jauh daripada tembok itu, menembus malam, di suatu tempat di Roma.
"Arah ke mana itu?" tanya Langdon sambil berpaling dan bertanya pada kepala regu petugas pemadam kebakaran mengenai arah yang baru saja ditemukannya itu.
"Arah?" Kepala regu itu menatap ke arah yang ditunjuk Langdon. Dia tampak bingung. "Saya tidak tahu ... barat, saya pikir."
"Gereja apa yang berada di arah itu?"
Kebingungan sang kepala regu tampak lebih dalam. "Ada belasan. Mengapa?"
Langdon mengerutkan keningnya. Tentu saja ada belasan. "Aku memerlukan peta kota ini. Segera."
Kepala regu itu memerintahkan seseorang untuk berlari ke truk pemadam kebakaran untuk mengambil peta. Langdon kembali memandang patung itu. Tanah ... Udara ... Api ...VITTORIA.
Petunjuk terakhir adalah Air, katanya pada dirinya sendiri. Patung Air karya Bernini. Patung itu pasti berada di dalam sebuah gereja di suatu tempat entah di mana. Seperti mencari sebatang jarum di dalam tumpukan jerami. Dia memutar pikirannya untuk mengingat seluruh karya Bernini yang dapat diingatnya. Aku memerlukan tanda penghormatan pada Air! Langdon teringat pada patung karya Bernini, Triton atau dewa Yunani yang menguasai laut. Kemudian dia sadar patung itu terletak di lapangan yang berada di luar gereja ini dengan arah yang sama sekali tidak tepat. Bentuk apa yang dipahat Bernini sebagai pemujaan kepada air? Neptune dan Appolo? Sayangnya, patung itu kini berada di Museum Victoria & Albert di London.
"Signore?" kata seorang petugas sambil berlari memberikan peta itu kepadanya. Langdon berterima kasih kepadanya dan membuka peta itu di atas altar. Dia segera tahu dia telah bertanya kepada orang yang tepat; peta Roma milik lembaga pemadam kebakaran itu sangat rinci. Dia belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. "Di mana kita sekarang?"
Lelaki itu menunjuk. "Di dekat Piazza Barberini."
Langdon melihat tombak malaikat itu lagi untuk menginga-tingat. Perhitungan kepala regu itu ternyata sangat tepat. Menurut peta, tombak itu menunjuk ke arah barat. Langdon menyusuri garis dari tempatnya sekarang ke barat dan melintasi peta itu. Dengan segera harapannya mulai tenggelam. Tampaknya setiap kali jarinya bergerak, dia melewati begitu banyak gedung dengan tanda silang kecil berwarna hitam. Gereja-gereja. Kota ini dipenuhi oleh gereja. Akhirnya, jari Langdon tidak menemukan gereja lagi dan dia terus menyusuri peta hingga ke pinggiran kota Roma. Dia menghela nafas dan mundur dari peta itu. Sialan.
Sambil mengamati seluruh Roma di peta itu, mata Langdon menumbuk tiga gereja tempat di mana ketiga kardinal sebelumnya dibunuh. Kapel Chigi ... Basilika Santo Petrus ... lalu di sini ....
Setelah melihat semua yang terbentang di depannya saat itu, Langdon mencatat keanehan tentang letak gereja-gereja itu. Dia tadi membayangkan gereja-gereja itu tersebar secara acak di seluruh Roma. Tetapi ternyata tidak. Sepertinya ketiga gereja itu tersebar secara sistematis, dalam bentuk segitiga besar seluas kota. Langdon memeriksanya kembali. Dia tidak dapat membayangkannya. "Penna," katanya tiba-tiba tanpa mendongak.
Seseorang memberikan sebuah pena.
Langdon melingkari ketiga gereja itu. Denyut nadinya bertambah cepat. Dia memeriksa tanda-tanda itu untuk ketiga kalinya. Sebuah segitiga simetris! Pikiran, Langdon yang pertama adalah the Great Seal yang tertera di lembaran satu dolar Amerika Serikat-segitiga berisi mata yang melihat semuanya. Tetapi itu tidak masuk akal. Dia baru menandai tiga titik. Seharusnya semuanya ada empat titik.
Jadi, di mana penghormatan terhadap Air? Langdon tahu di mana pun dia meletakkan titik keempat, hal itu akan membuat segi tiga tersebut tidak simetris lagi. Satu-satunya pilihan untuk menjaga kesimetrisan segitiga itu adalah menempatkan titik keempat itu di dalam segi tiga itu, tepat di tengah-tengahnya. Dia memeriksa kemungkinan itu pada peta. Tapi tidak ada gereja di sana. Walau demikian, gagasan itu tetap mengganggunya. Empat elemen ilmu pengetahuan dianggap setara. Air tidak istimewa; Air tidak akan berada di tengah-tengah yang lainnya.
Walau begitu, nalurinya mengatakan pengaturan yang simetris itu bisa saja hanya kebetulan. Aku masih belum dapat memahaminya. Hanya ada satu pilihan lain. Keempat titik itu tidak membentuk segitiga, tapi membentuk bentuk lain.
Langdon kembali memeriksa peta di hadapannya itu. Sebuah persegi empat, mungkin? Walau segiempat tidak membuat simbol apa pun, paling tidak segiempat itu simetris. Langdon meletakkan jarinya di atas peta di satu titik yang bisa membuat segi tiga itu menjadi segi empat. Dia langsung menyadari segi empat yang sempurna tidak mungkin terbentuk. Sudut pada segitiga tadi miring dan hanya akan membentuk segi empat yang tidak beraturan.
Ketika dia mempelajari kemungkinan lain di sekitar segitiga itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dia memerhatikan garis yang sebelumnya dia tarik untuk menunjukkan arah tombak malaikat, membentuk satu kemungkinan lain. Dengan terheran-heran, Langdon melingkari titik itu. Dia kini melihat empat titik di atas peta dan membentuk sesuatu yang aneh; berlian atau layang-layang yang janggal.
Dia mengerutkan keningnya. Berlian bukan juga merupakan simbol Illuminati. Dia berhenti sejenak. Tapi....
Langdon segera ingat pada Berlian Illuminati. Gagasan itu tentu saja menggelikan. Dia segera menyingkirkannya. Lagipula, berlian ini berbentuk bujur dan lebih terlihat seperti layang-layang dan bukan contoh bentuk simetris yang sempurna seperti berlian Illuminati itu.
Ketika dia mencondongkan tubuhnya untuk memeriksa tempat dia meletakkan petunjuk terakhir, Langdon heran karena melihat titik keempat itu terletak tepat di tengah Piazza Navona yang terkenal itu. Dia tahu piazza itu berisi sebuah gereja besar, tetapi jarinya sudah menyusuri piazza itu dan mempertimbangkan gereja yang ada di sana. Setahunya, di sana tidak ada karya Bernini. Gereja itu bernama Saint Agnes in Agony untuk mengenang Santa Agnes, seorang perawan cantik yang diasingkan seumur hidupnya untuk menjadi budak seks karena menolak untuk meninggalkan keyakinannya.
Pasti ada sesuatu di dalam gereja itu! Langdon memeras otaknya dan membayangkan bagian dalam gereja itu. Dia tahu di gereja itu sama sekali tidak ada karya Bernini, apalagi yang berhubungan dengan air. Tapi pengaturan letak titik-titik pada peta itu juga mengganggu pikirannya. Sebutir berlian. Terlalu akurat untuk disebut kebetulan, tetapi tidak cukup akurat untuk masuk akal. Sebuah layang-layang! Langdon bertanya-tanya apakah dia telah salah memilih letak titik. Apa yang tidak aku pahami? Langdon memerlukan tiga puluh detik untuk mengetahui jawabannya. Tetapi ketika dia tahu, dia merasa begitu gembira sekaligus sadar kalau dirinya belum pernah merasa segembira ini sepanjang karir akademisnya.
Kelompok Illuminati itu jenius. Tampaknya akan selalu begitu.
Bentuk yang sedang dilihatnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk berbentuk berlian. Keempat titik itu hanya membentuk sebutir berlian karena Langdon menghubungkan titik-titik yang berdekatan. Kelompok Illuminati percaya pada hal yang berlawanan! Ketika dia menghubungkan titik-titik yang berlawanan dengan penanya, jemari Langdon gemetar. Di depan matanya, di atas peta itu, tergambar sebuah salib besar. Ini sebuah salib. Empat elemen ilmu pengetahuan terh ampar di depan matanya ... sebuah salib besar terbentang di kota Roma.
Ketika dia sedang berusaha memahami semua ini, sebaris puisi bergema di dalam otaknya ... seperti sahabat lama yang memiliki wajah baru ....
'Cross Rome the mystic elements unfold ... (Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis) 'Cross Rome ....
Kabut yang menutupi pikirannya kini mulai menghilang. Langdon menemukan jawaban yang sejak tadi sudah berada di depan matanya itu dengan pemahaman yang berbeda. Puisi Illuminati sudah memberitahunya bagaimana letak keempat altar ilmu pengetahuan itu. Mereka membentuk sebuah salib! 'Cross Rome the mystic elements unfold.
Itu adalah permainan kata yang cerdik. Langdon sebelumnya menganggap kata 'Cross sebagai singkatan dari kata Across sehingga berarti menyeberangi. Dia menduga hal itu disebabkan oleh kebebasan puitis untuk menjaga irama puisi tersebut. Tetapi ternyata lebih dari sekadar itu! Ternyata itu adalah petunjuk tersembunyi lainnya.
Langdon menyadari tanda salib di peta itu adalah dualisme Illuminati yang paling pokok. Ini adalah simbol agama yang dibentuk oleh elemen ilmu pengetahuan. Jalan Pencerahan karya Galileo adalah penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan Tuhan! Dengan segera sisa dari teka-teki ini muncul. Piazza Navona.
Tepat di tengah-tengah Piazza Navona, di luar gereja St. Agnes in Agony, Bernini membuat salah satu dari patung-patung karyanya yang paling terkenal. Setiap orang yang datang ke Roma pasti mengunjunginya.
Air Mancur dari Empat Sungai! Sebagai bentuk penghormatan yang sempurna terhadap air, Fountain of the Four Rivers karya Bernini itu memuji empat sungai besar dari Dunia Lama. Sungai Nil, Gangga, Danube dan Rio Plata.
Air, pikir Langdon.
Petunjuk terakhir. Sempurna.
Langdon baru ingat, bahkan lebih sempurna lagi, di atas air mancur Bernini itu berdiri sebuah obelisk yang menjulang tinggi.
Tanpa bermaksud membuat para petugas pemadam kebakaran bingung, Langdon berlari melintasi gereja menuju tubuh Olivetti yang sudah tidak bernyawa.
10.31 malam, pikirnya. Masih banyak waktu. Ini adalah kali pertama dalam satu hari ini Langdon merasa memenangkan permainan itu.
Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Dr Ang Swee Chai Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan