Malaikat Dan Iblis 19
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 19
Semua orang terpana.
Sang camerlegno berpaling pada sekelompok orang di sekitarnya. "Di atas batu karang ini aku akan membangun jemaatku. Itulah pesan yang aku terima. Artinya sangat jelas."
Langdon masih belum dapat memahami keyakinan sang camerlegno bahwa dirinya telah berbicara dengan Tuhan. Terlebih lagi sang camerlegno dapat mengartikan pesan itu. Di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaatku? Itu adalah kata-kata yang diucapkan Yesus ketika beliau memilih Petrus sebagai murid pertamanya. Apa hubungannya dengan semua ini? Macri bergerak masuk untuk mendapatkan gambar yang lebih dekat. Glick tidak bisa berkata apa-apa seolah dia terguncang.
Sekarang sang camerlegno berbicara dengan cepat. "Illuminati telah menempatkan senjata mereka di sudut paling rahasia dari gereja ini. Di dasar gereja." Dia menunjuk ke lantai bawah. "Di batu tertentu yang menjadi pondasi gereja ini. Dan aku tahu di mana batu itu berada."
Langdon yakin sudah waktunya dia melumpuhkan sang camerlegno untuk menghentikannya. Sejelas apa pun itu, pastor ini jelas mengumbar omong kosong. Sebuah batu? Sudut paling rahasia yang terdapat di pondasi gereja ini? Tangga di depan mereka itu tidak menuju ke pondasi bangunan ini, tetapi ke Necropolis! "Kutipan ayat dari Alkitab adalah sebuah metafora, Bapa! Tidak ada batu yang sesungguhnya!"
Wajah Sang camerlegno menampakkan kesedihan yang tidak biasa. "Ada batu yang sesungguhnya, Anakku." Dia menunjuk ke dalam lubang itu. "Pietro e la pietra."
Langdon seperti membeku. Dalam sekejap semua menjadi jelas.
Kes ederhanaan yang sangat sempurna itu membuat Langdon menggigil. Ketika Langdon berdiri di sana bersama dengan yang lainnya sambil menatap ke bawah, ke arah tangga sempit yang panjang itu, dia sadar kalau di sana memang ada batu yang ditanam di balik kegelapan bagian bawah gereja ini.
Pietro e la pietra. Petrus adalah batu.
Keyakinan Petrus pada Tuhan begitu kuatnya sehingga Yesus memanggilnya Petrus "si batu." Karena keyakinannya yang tak tergoyahkan sehingga Yesus mendirikan gerejanya di atas bahunya. Langdon menyadari di tempat inilah, di Bukit Vatican, Petrus disalib dan dimakamkan. Umat Kristen pertama membangun gereja kecil di atas makamnya. Ketika agama Kristen menyebar, gereja ini dibangun lebih besar lagi, sedikit demi sedikit dan berpuncak menjadi gedung Basilika Santo Petrus yang besar ini. Keyakinan umat Katolik telah dibangun, secara harfiah di atas bahu Santo Petrus.
"Antimateri itu disembunyikan di makam Santo Petrus," kata sang camerlegno, suaranya sangat jelas. Walau informasi tersebut tampak berasal dari sumber supranatural, Langdon merasakan logika yang jelas di dalam pesan itu. Dengan menempatkan antimateri pada makam Santo Petrus, pesan Illuminati menjadi sangat jelas. Illuminati, dalam usahanya menentang gereja, menempatkan antimateri itu di pusat kerajaan Kristen ini, baik secara harfiah maupun simbolis. Penyusupan yang paling hebat.
"Dan kalau kalian membutuhkan bukti yang nyata," kata sang camerlegno, suaranya terdengar tidak sabar lagi. "Aku baru saja mengetahui kalau sarangan ini tidak lagi terkunci." Dia lalu menunjuk tutup di atas lantai itu. "Pintu ini tidak pernah terbuka seperti ini. Seseorang telah turun ke bawah sana ... baru-baru ini."
Semua orang menatap ke dalam lubang itu.
Sesaat kemudian, dengan kelenturan yang tak terduga, sang camerlegno berputar dan meraih sebuah lampu minyak dan bergerak masuk ke lubang itu.
ANAK TANGGA BATU itu menurun dengan curam ke dalam tanah. Aku akan mati di bawah sini, pikir Vittoria sambil berpegangan pada tali tambang berukuran besar yang berada di sisi tangga ketika dia menuruni jalan masuk yang sempit di belakang yang lainnya. Walau Langdon sudah berusaha untuk menghentikan sang camerlegno supaya tidak memasuki ruangan di bawah tanah itu, Chartrand ikut campur dan menarik tangan Langdon dan menahannya. Tampaknya penjaga berusia muda ini yakin sang camerlegno tahu apa yang dikerjakannya. Setelah berselisih sebentar, akhirnya Langdon dapat melepaskan diri dan mengejar sang camerlegno bersama Chartrand yang berjalan dekat sekali di belakangnya. Secara naluriah, Vittoria juga berlari di belakang mereka.
Sekarang Vittoria tanpa pikir panjang lagi ikut berlomba menuruni anak tangga terjal yang berbahaya karena begitu salah menempatkan kaki, hanya kematian yang akan menyapanya. Jauh di bawah sana, dia dapat melihat cahaya keemasan dari lampu minyak yang dipegang sang camerlegno. Di belakang Vittoria, kedua wartawan BBC juga bergegas menyusul mereka. Lampu kamera yang dibawa oleh si juru kamera membuat bayangan mereka bergerak-gerak di depan mereka ketika mereka menuruni jalan itu. Vittoria hampir tidak percaya kalau dunia dapat menjadi saksi dari kegilaan ini. Matikan kamera sialan itu! Walau begitu, Vittoria tahu lampu kamera itulah satu-satunya alat yang memungkinkan mereka menuruni jalan ini.
Ketika kejar-kejaran yang tidak lazim itu terus berlanjut, pikiran Vittoria terus berpacu. Apa yang dapat dilakukan sang camerlegno di bawah sini? Walaupun dia dapat menemukan antimateri itu, tapi sudah tidak ada waktu lagi! Vittoria merasa heran ketika akhirnya dia sekarang berpikir kalau sang camerlegno mungkin saja benar. Dengan menempatkan antimateri tiga tingkat di bawah tanah, hal itu terlihat sebagai pilihan yang terhormat dan penuh belas kasih. Jauh di bawah tanah-mirip dengan lab-Z-ledakan antimateri akan tertahan sebagian. Tidak akan ada ledakan panas, tidak ada benda-benda tajam yang melayang dan melukai orang-orang di atas sana yang sedang menonton dengan penuh rasa ingin tahu. Yang terjadi hanyalah tanah yang merekah seperti kisah di Alkitab sehingga Basilika Santo Petrus yang megah ini akan runtuh ke dalam kawah itu.
Apakah ini tindakan kesopanan Kohler? Kesopanan untuk menyelamatkan kehidupan? Vittoria masih tidak dapat membayangkan keterlibatan direkturnya itu. Dia dapat menerima kebencian Kohler terhadap agama ... tetapi konspirasi mengagumkan ini tampaknya tidak mungkin bagi Kohler. Apakah benar kebencian Kohler sedemikian dalamnya sehingga dia tega meluluhlantakkan Vatican dengan menyewa seorang pembunuh? Membunuh ayahnya, Paus, dan keempat kardinal? Rasanya tidak masuk akal. Dan bagaimana Kohler mengatur pengkhianatan di balik dinding Vatican? Rocher adalah orang dalam Kohler, kata Vittoria pada dirinya sendiri. Tidak diragukan lagi, Kapten Rocher memiliki kunci ke semua pintu, seperti ruangan di Kantor Paus, Il Passetto, Necropolis, makam Santo Petrus, semuanya. Mungkin saja dia yang menempatkan antimateri itu di makam Santo Petrus yang merupakan tempat yang paling rahasia di gedung ini, lalu memerintahkan anak buahnya agar tidak membuang-buang waktu dengan mencari di kawasan terlarang di Vatican. Rocher tahu tidak seorang pun yang dapat menemukan tabung itu.
Tetapi Rocher tidak pernah memperkirakan sang camerlegno akan mendapat petunjuk dari atas.
Pesan itu. Ini adalah loncatan keyakinan yang Vittoria sendiri masih sukar untuk menerimanya. Apakah Tuhan benar-benar berkomunikasi dengan sang camerlegno? Intuisi Vittoria menyangkalnya. Tapi pikirannya terpengaruh pada ilmu fisika yang terkait dengan ilmu lain. Dia pernah menyaksikan komunikasi yang luar biasa setiap harinya seperti dua telur penyu kembar yang dipisahkan dan diletakkan di dua laboratorium yang terpisah bermil-mil jauhnya, dapat menetas dalam waktu yang bersamaan ... jutaan ubur-ubur berdenyut dengan irama yang tepat seperti memiliki satu pikiran. Selalu ada jalur komunikasi yang tidak terlihat di mana-mana, pikirnya.
Tetapi antara Tuhan dan manusia? Vittoria berharap ayahnya berada di dekatnya untuk memberinya keyakinan itu. Ayahnya pernah menjelaskan komunikasi ilahiah kepadanya dengan menggunakan istilah ilmiah sehingga membuat Vittoria memercayainya. Vittoria masih ingat, pada suatu hari dia melihat ayahnya berdoa dan dia bertanya kepada ayahnya. "Ayah, mengapa ayah harus berdoa? Tuhan tidak dapat menjawabmu."
Leonardo Vetra terjaga dari meditasinya dan tersenyum kebapakan. "Putriku yang ragu-ragu. Jadi, kamu tidak percaya Tuhan berbicara kepada manusia? Biarkan kujelaskan dengan bahasamu." Ayahnya kemudian mengambil model otak manusia dari atas rak bukunya dan meletakkannya di depan Vittoria. "Mungkin kamu tahu, Vittoria, sebagian besar manusia menggunakan kemampuan otaknya hanya beberapa persen saja, sangat sedikit. Walau demikian, kalau kamu menggunakannya dalam keadaan yang melibatkan emosi, seperti ketika merasakan sakit pada tubuh, kegembiraan yang luar biasa atau takut, meditasi yang khusuk, tiba-tiba saja neuron-neuron di otakmu bekerja dengan sangat aktif sehingga menghasilkan kejernihan mental yang meningkat secara besar-besaran."
"Memangnya kenapa?" tanya Vittoria. "Hanya karena kamu berpikir dengan jernih tidak berarti kamu berbicara dengan Tuhan."
"Aha!" seru Vetra. "Tapi solusi yang mengagumkan untuk sebuah masalah yang sangat sulit sering muncul dalam keadaan jernih seperti itu. Inilah apa yang disebut para guru sebagai kesadaran yang lebih tinggi. Ahli biologi menyebutnya altered states. Ahli psikologi menyebutnya super-sentience." Ayahnya berhenti berbicara. "Dan umat Kristiani menyebutnya doa yang dikabulkan." Lalu sambil tersenyum lebar, ayahnya menambahkan, "Kadang kala menerima ilham berarti menyesuaikan otakmu agar mau mendengar apa yang sudah diketahui oleh hatimu."
Sekarang, ketika dia berlari menuruni tangga untuk menuju kegelapan di bawahnya, Vittoria merasa mungkin ayahnya benar. Begitu sulitnyakah untuk meyakini trauma yang dialami sang camerlegno telah berhasil menempatkan otaknya dalam keadaan tercerahkan sehingga "mengetahui" di mana antimateri itu diletakkan? Masing-masing dari kita adalah Tuhan, kata Buddha. Masing-masing dari kita tahu segalanya. Kita hanya harus membuka diri untuk mendengarkan kebijakan diri kita sendiri.
Itu adalah momen kejernihan ketika Vittoria menuruni tangga menuju ke bawah tanah dan merasakan pikirannya terbuka ... kebijakan dalam hatinya mengemuka. Dia kini langsung mengetahui niat sang camerlegno. Kesadarannya itu membawa serta rasa takut yang belum pernah dirasakannya.
"Camerlegno, jangan!" Vittoria berteriak ke bawah. "Anda tidak mengerti!" Vittoria membayangkan sejumlah besar orang di sekitar Vatican City sehingga tubuhnya menjadi dingin. "Jika Anda membawa antimateri itu ke atas ... semua orang akan mati!"
Langdon sekarang meloncati tiga anak tangga sekaligus, dan terus berusaha untuk mengejar langkah sang camerlegno. Jalan itu sempit tetapi dia tidak lagi merasakan claustrophobia yang dimilikinya. Ketakutan yang dulu melemahkannya itu sekarang tertutupi oleh ketakutan yang jauh lebih dalam.
"Camerlegno!" Langdon berteriak dengan keras. "Anda harus membiarkan antimateri itu tetap di tempatnya! Tidak ada pilihan lain!"
Bahkan ketika Langdon mengatakannya, dia tidak memercayai apa yang dikatakannya tersebut. Bukan hanya dia telah menerima kalau sang camerlegno telah menerima petunjuk dari Tuhan mengenai lokasi disembunyikannya antimateri, tapi tanpa dia sadari Langdon juga sedang membujuk sang camerlegno agar mereka membiarkan Basilika Santo Petrus yang merupakan mahakarya arsitektur dunia, hancur bersama-sama dengan karya seni yang tersimpan di dalamnya.
Tapi orang-orang yang berdiri di luar sana ... hanya ini satu-satunya jalan.
Tampaknya ini adalah ironi yang kejam bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan orang-orang di luar sana adalah dengan menghancurkan gereja. Langdon membayangkan Illuminati pasti akan terhibur oleh simbolisme itu.
Udara yang keluar dari dasar terowongan itu dingin dan berbau apak. Di suatu tempat di bawah sana terdapat Necropolis yang suci ... tempat pemakaman Santo Petrus dan banyak lagi penganut Kristen pertama. Langdon merasa gemetar dan berharap ini bukanlah misi bunuh diri.
Tiba-tiba lentera sang camerlegno tampak akan mati. Langdon segera mengejarnya.
Ujung tangga itu tiba-tiba muncul dan keluar dari kegelapan. Sebuah pintu gerbang dari besi tempa dengan hiasan menonjol berupa tiga tengkorak menghalangi dasar tangga itu. Sang camerlegno berada di sana, sedang menarik pintu itu untuk membukanya. Langdon meloncat, lalu mendorong gerbang itu sehingga tertutup lagi, dan menghalangi jalan sang camerlegno. Yang lain datang menyusul dengan ribut ke bagian bawah tangga itu. Semuanya tampak putih seperti hantu karena disinari oleh lampu sorot kamera BBC ... terutama Glick yang tampak lebih pucat setiap kali dia melangkah lebih ke bawah.
Chartrand mencengkeram lengan Langdon. "Biarkan sang camerlegno lewat!"
"Jangan!" seru Vittoria dari atas sambil terengah-engah. "Kita harus pergi dari sini sekarang juga! Anda tidak bisa membawa antimateri itu keluar dari sini! Jika Anda membawanya keluar, semua orang yang berada di luar akan mati!"
Suara sang camerlegno terdengar luar biasa tenang. "Semuanya ... kita harus percaya. Waktu kita hanya sedikit."
"Anda tidak mengerti," kata Vittoria. "Ledakan di permukaan akan lebih buruk daripada ledakan di bawah sini!"
Sang camerlegno menatapnya. Mata hijaunya bersinar cemerlang penuh kesadaran. "Siapa yang mengatakan akan ada ledakan di permukaan?"
Vittoria menatapnya. "Jadi, Anda akan meninggalkan antimateri itu di bawah sini?"
Kepastian sikap sang camerlegno sangat memengaruhi mereka. "Tidak akan ada kematian lagi malam ini."
"Bapa, tetapi-"
"Kumohon ... percayalah." Lalu suara sang camerlegno berubah menjadi bisikan. "Aku tidak meminta siapa pun untuk menemaniku. Kalian boleh pergi dengan bebas. Apa yang kuminta hanyalah jangan ganggu petunjuk yang diberikan-Nya. Biarkan aku mengerjakan apa yang Tuhan perintahkan kepadaku." Tatapan sang camerlegno sangat tajam. "Aku akan menyelamatkan gereja ini. Dan aku bisa melakukannya. Aku bersumpah demi hidupku."
Keheningan yang mengakhiri kalimatnya itu sama dampaknya dengan halili ntar yang mengejutkan.
PUKUL 11 LEBIH 51 malam.
Necropolis, makna harfiahnya adalah Kota Kematian.
Segala yang pernah dibaca oleh Robert Langdon tentang tempat ini ternyata tidak mempersiapkan dirinya untuk melihat apa yang sekarang dilihatnya. Ruangan besar di bawah tanah itu berisi reruntuhan mausoleum yang berbentuk seperti rumah kecil di dalam sebuah gua. Di dalam situ, udara yang tercium adalah kematian. Kisi-kisi yang aneh membatasi di jalan sempit berbentuk melingkar dengan berbagai monumen yang rusak. Sebagian besar dari monumen itu terdiri atas batu bata dengan lempengan pualam yang sudah hancur. Seperti terbuat dari debu, sejumlah pilar menjulang tinggi dan menyangga langit-langit dari tanah yang bergantung rendah di atas sekumpulan bentuk-bentuk tidak jelas di dalam kegelapan.
Kota Kematian, pikir Langdon sambil merasa terperangkap di antara rasa ingin tahu akademis dan ketakutan yang luar biasa. Mereka semua berlari ke tempat yang lebih dalam dengan menyusuri jalan melingkar itu. Apakah aku memilih pilihan yang salah? Chartrand adalah orang pertama yang terpengaruh oleh pesona sang camerlegno. Dia-lah yang membuka pintu gerbang Necropolis dan mengungkapkan keyakinannya pada sang camerlegno. Glick dan Macri, sesuai permintaan sang camerlegno, merasa terhormat untuk memberikan penerangan yang mereka butuhkan. Tapi mereka juga memperhitungkan penghargaan yang menanti mereka kalau mereka dapat keluar dari sini hidup-hidup sehingga motivasi mereka dapat dipertanyakan. Vittoria adalah orang yang paling tidak bersemangat dari semuanya. Dan Langdon melihat mata Vittoria yang memancarkan kewaspadaan yang entah kenapa terlihat sangat mirip dengan intuisi perempuan.
Sekarang sudah terlambat, pikir Langdon. Dia dan Vittoria berlari di belakang yang lainnya. Kami telah berjanji.
Vittoria tidak berbicara, tetapi Langdon tahu mereka sedang memikirkan hal yang sama. Sembilan menit tidaklah cukup untuk keluar dari Vatican City kalau sang camerlegno ternyata salah.
Ketika mereka berlari melalui mausoleum itu, Langdon merasa kakinya sangat letih, terkejut karena orang-orang lainnya mendaki dengan langkah tetap. Ketika Langdon tahu mengapa mereka mendaki, dia merasa sangat gemetar. Topografi di bawah kakinya itu adalah tanah pada zaman Kristus. Dia sedang mendaki di atas Bukit Vatican yang sesungguhnya! Langdon pernah mendengar para ahli Vatican mengklaim bahwa makam Santo Petrus berada di dekat puncak Bukit Vatican, dan Langdon terus bertanyatanya dari mana mereka mengetahui hal itu. Sekarang dia tahu. Bukit itu masih ada di sini! Langdon merasa sedang berlari di antara lembaran-lembaran sejarah. Pada suatu tempat di depannya, terletak makam Santo Petrus yang merupakan peninggalan sejarah Kristen. Sulit dibayangkan kalau makam asli tersebut dulunya hanya ditandai oleh sebuah tempat suci yang sederhana. Tetapi sekarang tidak lagi. Ketika kebesaran Petrus tersebar, sebuah makam suci baru dibangun di atas makam yang lama. Kini bangunan itu membentang sepanjang 440 kaki dan dihiasi dengan kubah karya Michelangelo. Puncaknya ditempatkan tepat di atas makam asli dengan pergeseran sekitar satu inci saja.
Mereka terus mendaki jalan yang berliku-liku di depannya. Langdon melihat jam tangannya. Delapan menit lagi. Dia mulai bertanya-tanya apakah dia dan Vittoria akan bergabung dengan mayat-mayat itu di sini selamanya.
"Awas!" seru Glick dari belakang mereka. "Lubang ular!" Langdon segera melihatnya. Serangkaian lubang-lubang kecil menghiasi jalan di depan mereka. Dia meloncatinya untuk menghindarinya. Vittoria juga meloncatinya. Dia tampak cemas ketika mereka terus berlari. "Lubang ular?"
"Lubang snack untuk kudapan bukan snake seperti katamu tadi," Langdon meralat. "Percaya padaku, kamu tidak ingin tahu tentang hal itu." Langdon baru saja menyadari kalau lubang-lubang itu adalah libation tube. Umat Kristen pertama memercayai kebangkitan orang yang telah meninggal dan mereka menggunakan lubang-lubang itu untuk betul-betul "memberi makan orang yang sudah meninggal" dengan menuangkan susu dan madu ke dalam ruang an di bawah lantai itu. Sang camerlegno merasa lemah. Dia terus berlari ke depan, kakinya menemukan kekuatan dari rasa kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Hampir sampai di sana. Dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Pikiran dapat membuat rasa sakit menjadi lebih hebat daripada apa yang dirasakan tubuh itu sendiri. Dia tahu waktu berharganya hanya tinggal sedikit.
"Aku akan menyelamatkan gerejamu, Bapa. Aku bersumpah." Walau ada lampu kamera BBC di belakangnya yang menerangi langkahnya, sang camerlegno juga membawa lampu minyaknya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku adalah menara suar di dalam kegelapan. Aku adalah cahaya. Lampu minyak itu tumpah ketika dia berlari, dan untuk beberapa saat dia khawatir minyak yang mudah terbakar itu memercikinya dan membuatnya terbakar. Dia sudah mengalami luka bakar malam ini, dan itu sudah cukup baginya. Ketika dia mendekati puncak bukit itu, tubuhya bermandikan keringat dan hampir tidak dapat bernapas lagi. Tetapi ketika dia melampaui puncak bukit, dia merasa terlahir kembali. Dia berdiri terhuyung di atas dataran di mana dia sudah sering berdiri. Di sinilah jalan itu berakhir. Necropolis itu tiba-tiba berakhir di sebuah dinding tanah. Sebuah tanda kecil bertuliskan. Mausoleum S. La tomba di San Pietro. Di depannya, setinggi pinggangnya, terdapat sebuah lubang di dinding. Tidak ada plakat yang berkilap di sini. Tidak ada hiasan. Hanya sebuah lubang sederhana di dinding. Di dalamnya terletak sebuah gua kecil dan sebuah sarkofagus yang hancur. Sang camerlegno melongok ke dalam lubang dan tersenyum lelah. Dia dapat mendengar yang lainnya berdatangan di belakangnya. Dia meletakkan lampu minyaknya dan berlutut untuk berdoa. Terima kasih Tuhan. Ini hampir berakhir. Di luar, di lapangan Santo Petrus, dikelilingi oleh para kardinal yang terheran-heran, Kardinal Mortati menatap ke layar pers dan menyaksikan drama di bawah tanah yang sedang terjadi. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayanya. Apakah seluruh dunia juga melihat apa yang baru saja dilihatnya? Apakah Tuhan benar-benar telah berbicara kepada sang camerlegno? Apakah benar antimateri itu akan ditemukan di makam Santo Petrus-"Lihat!" kerumunan itu semua menarik napas.
"Di sana!" semua orang tiba-tiba menunjuk ke arah layar. "Itu sebuah keajaiban!"
Mortati mendongak. Sudut pandang kamera itu tidak tetap tetapi cukup jelas. Gambar itu tidak akan pernah mereka lupakan.
Direkam dari belakang, sang camerlegno tampak sedang berlutut dan berdoa di atas tanah. Di depannya terdapat sebuah lubang kasar di dinding. Di dalam lubang itu, di antara batu-batu yang berserakan, terdapat sebuah peti mati dari genteng. Walau Mortati pernah melihat peti mati itu hanya satu kali dalam hidupnya, dia tahu dengan pasti apa isinya. San Pietro.
Mortati tidak cukup naif untuk mengira bahwa sorak sorai kegembiraan dan kekaguman yang sekarang membahana di seluruh kerumunan itu merupakan ungkapan atas kesempatan mereka melihat peninggalan Kristen yang paling suci. Makam Santo Petrus bukanlah hal yang dapat membuat orang-orang segera berlutut berdoa dan bersyukur secara spontan. Benda yang duduk di atasnyalah yang memancing sorak sorai itu.
Tabung antimateri itu tergeletak di sana ... tempat di mana benda tersebut berada sepanjang hari ... tersembunyi di dalam kegelapan Necropolis. Berkilap. Sangat berbahaya. Mematikan. Ilham yang diterima sang camerlegno ternyata benar.
Mortati menatap penuh kagum pada silinder tembus pandang itu. Tetesan cairan itu masih melayang-layang di bagian tengah tabung tersebut. Gua di sekitarnya berkedip merah ketika jam digital yang muncul di layar LED menghitung mundur hingga lima menit terakhir hidupnya.
Juga tergeletak di atas makam itu dan berjarak hanya beberapa inci dari tabung berbahaya itu, terlihat kamera keamanan nirkabel milik Garda Swiss yang diarahkan ke tabung antimateri agar dapat menyiarkannya ke pusat kontrol di markas Garda Swiss.
Mortati membuat tanda silang di dadanya. Ini jelas adalah gambar yang paling menakutkan yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. Dia sadar beberapa saat kemudian keadaan ini akan menjadi lebih buruk.
Tiba-tiba sang camerlegno berdiri. Dia meraih antimateri itu dalam genggamannya dan berpaling ke arah yang lainnya. Wajahnya memperlihatkan kesungguhannya. Dia berjalan melewati yang lainnya dan mulai menuruni Necropolis ke arah dia datang tadi, lalu berlari menuruni bukit itu.
Kamera Macri menangkap Vittoria Vetra yang membeku karena takut. "Mau ke mana! Camerlegno! Kukira Anda tadi mengatakan-"
"Percayalah!" seru sang camerlegno sambil terus berlari. Vittoria berpaling pada Langdon. "Apa yang harus kita lakukan?"
Robert Langdon mencoba untuk menghentikan sang camerlegno, tetapi Chartrand berlari dan mencegah Langdon. Tampaknya dia memercayai keyakinan sang camerlegno.
Gambar yang tersiar dari kamera BBC sekarang tampak seperti sebuah roller coaster yang sedang berlari, berkelok dan berbelit. Kamera itu memperlihatkan kebingungan dan rasa takut ketika iring-iringan itu bergegas kembali menembus kegelapan ke arah pintu masuk Necropolis.
Di luar, di lapangan Santo Petrus, Mortati terkesiap ketakutan. "Apakah dia akan membawa benda itu ke atas sini?"
Dalam tayangan televisi di seluruh dunia, tampak sang camerlegno berlari dengan cepat ke luar dari Necropolis dengan membawa antimateri di depannya. "Tidak akan ada kematian lagi malam ini!"
Tetapi sang camerlegno salah.
SANG CAMERLEGNO MUNCUL di pintu Basilika Santo Petrus pada pukul 11.56 malam. Dia terhuyung-huyung di depan sorotan lampu media. Sang camerlegno membawa antimateri itu di depan tubuhnya seperti membawa semacam persembahan. Dengan matanya yang menyala-nyala, dia dapat melihat sosoknya sendiri; setengah telanjang dan terluka, dan berdiri menjulang seperti raksasa di dalam berbagai layar media yang terdapat di sekitar lapangan.
Sang camerlegno belum pernah mendengar sorak-sorai seperti meledak dari kerumunan di Lapangan Santo Petrus. Ada tangisan, jeritan, doa, nyanyian ... campuran dari pemujaan dan ketakutan yang luar biasa.
Selamatkan kami dari kejahatan, sang camerlegno berbisik.
Dia merasa betul-betul kehabisan tenaga karena berlari dari Necropolis tadi. Hampir saja semuanya ini berakhir dengan bencana. Robert Langdon dan Vittoria Vetra sudah ingin menghalanginya, dan membuang tabung itu kembali ke ruang bawah tanah di mana dia sebelumnya berada, lalu berlari ke luar untuk berlindung. Mereka itu orang-orang bodoh! Sang camerlegno sekarang sadar, di malam-malam lainnya dia tidak akan memenangkan perlombaan lari seperti tadi. Namun malam ini, Tuhan kembali bersamanya. Robert Langdon, yang hampir menyusul sang camerlegno, telah dihalangi oleh Chartrand yang sangat setia dan patuh pada apa yang dikehendaki sang camerlegno. Kedua wartawan itu, tentu saja terpaku dan terbebani oleh peralatan mereka yang terlalu banyak untuk mencampuri urusan sang camerlegno.
Tuhan bertindak dengan cara yang misterius.
Sang camerlegno sekarang dapat mendengar pengiringnya datang di belakangnya ... dan dia dapat melihat kedatangan mereka dari layar berbagai media yang menjulang di sekitar Lapangan Santo Petrus. Dengan mengumpulkan kekuatan terakhirnya, dia mengangkat tabung antimateri itu tinggi di atas kepalanya. Lalu pastor muda itu membusungkan dadanya sehingga luka bakar yang berbentuk cap Illuminati tampak jelas menantang. Kemudian dia berlari menuruni tangga. Satu tindakan terakhir. Semoga berhasil, pikirnya. Semoga berhasil.
Empat menit lagi ...
Langdon hampir tidak dapat melihat ketika dia menyerbu keluar dari pintu depan Basilika Santo Petrus. Sekali lagi, terpaan sinar lampu media memasuki retinanya. Yang dapat dilihatnya adalah sosok buram sang camerlegno, yang berada tepat di depannya, sedang berlari menuruni tangga. Saat itu juga, dengan diterangi oleh lampu-lampu media, sang camerlegno tampak suci seperti dewa di era modern. Jubahnya melorot hingga pinggangnya seperti selembar kain kafan. Tubuhnya terlihat menakutkan karena terluka oleh musuhnya, tapi dia masih bertahan. Sang camerlegno terus berlari dengan tegak sambil berseru kepada dunia agar tetap percaya. Dia kemudian berlari ke arah m assa sambil membawa senjata pemusnah itu.
Langdon berlari menuruni tangga untuk mengejarnya. Apa yang ingin dilakukannya? Membunuh mereka semua? "Ciptaan setan," teriak sang camerlegno, "tidak punya tempat di Rumah Tuhan!" Dia berlari ke arah kerumunan yang sekarang menjadi ketakutan.
"Bapa!" teriak Langdon di belakangnya. "Anda tidak bisa pergi ke mana-mana lagi!"
"Tataplah langit! Kita lupa melihat ke langit!"
Pada saat itu, ketika Langdon melihat ke mana arah tujuan camerlegno, kebenaran yang sesungguhnya muncul di depan matanya. Walaupun Langdon tidak dapat melihat karena sinar lampu-lampu media yang menyilaukan, dia tahu penyelamat mereka ada di atasnya.
Langit Italia yang dipenuhi bintang-bintang. Jalan pembebasan.
Helikopter yang telah disiapkan untuk membawa sang camerlegno ke rumah sakit, diam menunggu di depannya. Pilotnya sudah duduk di kokpit, dan baling-baling telah berputar dalam posisi netral. Ketika sang camerlegno berlari ke arah pesawat tersebut, tiba-tiba Langdon merasa luar biasa gembira.
Gagasan yang menggugah benak Langdon muncul seperti semburan kawah gunung berapi ....
Pertama-tama dia membayangkan Laut Mediterania yang terbuka lebar dan luas. Berapa jauhnya dari sini? Lima mil? Sepuluh mil? Dia tahu pantai Fiumocino hanya berjarak tujuh menit dengan kereta api. Tetapi dengan menumpang helikopter dengan kecepatan 200 mil per jam tanpa berhenti ... Kalau mereka dapat menerbangkan tabung itu cukup jauh ke laut untuk kemudian menjatuhkannya ... Tapi masih ada pilihan yang lain lagi, pikir Langdon dan dia merasa sangat ringan ketika berlari. La Cava Romana! Tambang penggalian pualam di sebelah utara kota yang berjarak kurang dari tiga mil. Berapa besarnya area itu? Dua mil persegi? Yang jelas tempat itu sangat sunyi pada jam seperti ini! Jatuhkan tabung itu di sana ...
"Semuanya, mundur!" sang camerlegno berteriak. Dadanya terasa sakit ketika berlari. "Menyingkir! Sekarang!"
Garda Swiss yang berdiri di sekitar helikopter itu langsung ternganga ketika melihat sang camerlegno mendekati mereka.
"Mundur!" pastor itu berteriak. Para penjaga itu pun bergerak mundur. Dengan seluruh dunia menyaksikan dengan terkagum-kagum, sang camerlegno berlari mengelilingi helikopter untuk menuju ke arah pintu pilot dan membukanya dengan sentakan. "Keluarlah, Nak. Sekarang!"
Si pilot meloncat keluar.
Sang camerlegno melihat tempat duduk pilot yang tinggi dan tahu bahwa dalam keadaan yang sangat letih seperti saat ini dia memerlukan kedua tangannya untuk mendorong tubuhnya ke atas. Dia berpaling pada pilot yang gemetar di sampingnya lalu menyerahkan tabung itu padanya. "Pegang ini. Serahkan padaku lagi begitu aku sudah di atas."
Ketika sang camerlegno berusaha naik, dia mendengar suara Robert Langdon berteriak-teriak dengan bersemangat sambil berlari ke arah pesawat itu. Sekarang kamu mengerti, pikir sang camerlegno. Sekarang kamu percayal Sang camerlegno naik ke dalam kokpit dan mengatur beberapa tuas yang sudah diakrabinya, lalu berpaling ke jendela untuk meminta tabung itu.
Tetapi pilot yang diserahi tabung itu berdiri dengan tangan kosong. "Dia mengambilnya!" teriak pilot itu.
Sang camerlegno merasa jantungnya seperti terampas. "Siapa?" serunya keras.
Pilot itu menunjuk. "Dia!"
Robert Langdon juga heran karena ternyata tabung itu berat sekali. Dia berlari ke sisi lain helikopter itu dan meloncat masuk ke tempat dia dan Vittoria sebelumnya duduk beberapa jam yang lalu. Dia membiarkan pintunya terbuka lalu mengikat dirinya. Kemudian dia berseru pada sang camerlegno yang duduk di bangku depan.
"Terbang, Bapa!"
Sang camerlegno menoleh ke ke arah Langdon yang duduk di belakangnya, wajahnya sangat pucat karena takut. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya keras "Anda terbang! Saya akan melemparnya!" teriak Langdon. "Tidak ada waktu lagi! Terbangkan saja helikopter ini!"
Sang camerlegno tampak lumpuh sesaat. Lampu media yang menyorot menembus kaca kokpit membuat wajahnya yang kuyu menjadi gelap. "Aku dapat melakukan ini sendiri," bisiknya. "Seharusnya ini kukerjakan sendirian."
Langdon tidak mau mendeng arkan. Terbang! Dia mendengar dirinya berteriak. Sekarang! Aku di sini untuk menolongmu! Langdon menatap tabung itu dan merasa napasnya tercekat di tenggorokannya ketika dia melihat angka yang berkedip di jarum digitalnya. "Tiga menit lagi, Bapa! Tiga!"
Angka itu seolah menyadarkan sang camerlegno sehingga membuatnya kembali tenang. Tanpa ragu lagi, dia mulai mengendalikan helikopter itu. Dengan suara gemuruh, helikopter itu terbang.
Melalui debu yang berterbangan, Langdon dapat melihat Vittoria berlari ke arah helikopter itu. Mata mereka bertemu, dan kemudian Vittoria tertinggal di bawah seperti batu yang tenggelam.
DI DALAM HELIKOPTER, suara deru mesin dan angin kencang yang bertiup melalui pintu yang terbuka, menerpa perasaan Langdon dengan keriuhan yang memekakkan telinga. Dia berusaha menjaga keseimbangannya saat melawan gravitasi ketika sang camerlegno menerbangkan helikopter itu langsung ke atas. Kemilau Lapangan Santo Petrus menyusut di bawah mereka hingga menjadi bentuk elips yang bersinar di antara lampu-lampu kota.
Tabung antimateri itu terasa sangat berat di tangan Langdon. Dia memegangnya dengan lebih erat. Telapak tangannya sekarang licin karena keringat dan darah. Di dalam tabung itu, tetes antimateri melayang-layang tenang, sementara jam digital berwarna merah berkedip-kedip sambil menghitung mundur.
"Dua menit!" seru Langdon sambil bertanya-tanya di mana sang camerlegno akan menjatuhkan tabung itu. Lampu-lampu kota di bawah mereka tersebar dari segala penjuru. Dari kejauhan di arah barat, Langdon dapat melihat kerlip garis pantai Mediterania-tepian bergerigi yang diterangi sinar lampu yang membatasi kegelapan luas tak terbatas di seberangnya. Laut itu sekarang tampak lebih jauh dari yang dibayangkan Langdon semula. Lagipula, kumpulan lampu di pantai itu seperti memperingatkannya. Sekalipun ledakan itu terjadi jauh di tengah laut, ledakan tersebut tetap akan menimbulkan akibat yang merusak. Langdon tidak memperhitungkan datangnya gelombang pasang sebesar sepuluh kiloton yang akan menghantam pantai. Ketika Langdon berpaling dan menatap lurus ke depan melalui jendela depan kokpit pesawat, harapannya mengembang. Tepat di depan mereka, terlihat bayangan bergulung dari perbukitan Roma yang muncul di gelap malam. Bukit-bukit itu dihiasi oleh titik-titik lampu yang berasal dari villa orang-orang kaya. Tetapi kira-kira satu mil ke utara, perbukitan itu menjadi gelap. Tidak ada lampu sama sekali, yang ada hanya kegelapan. Tidak ada yang lainnya. Tambang itu! pikir Langdon. La Cava Romana! Langdon menatap terus ke tanah kosong itu, dan merasa bahwa tanah itu cukup luas. Selain itu, tambang tersebut juga terlihat cukup dekat. Jauh lebih dekat daripada lautan di sisi barat. Semangat mulai merasukinya. Ini jelas tempat di mana sang camerlegno ingin membawa antimateri itu! Helikopter ini langsung menuju ke arahnya! Tambang itu! Anehnya, walau suara mesin terdengar lebih keras dan helikopter itu terbang dengan cepat menembus udara, Langdon bisa melihat kalau tambang itu mulai menjauh. Apa yang dilihatnya mengubah semangatnya menjadi kepanikan. Tepat di bawahnya, ribuan kaki di bawahnya, terlihat kilau lampu-lampu media di Lapangan Santo Petrus. Kita masih ada di atas Vatican! "Camerlegno!" seru Langdon seperti tercekik. "Terus ke depan! Kita sudah cukup tinggi! Anda harus mulai terbang ke depan! Kita tidak dapat menjatuhkan tabung ini kembali di atas Vatican City!"
Sang camerlegno tidak menjawab. Tampaknya dia memusatkan perhatiannya untuk menerbangkan pesawat itu.
"Waktu kita kurang dari dua menit lagi!" teriak Langdon, sambil memegangi tabung itu. "Aku dapat melihatnya! La Cava Romana! Beberapa mil ke utara! Kita tidak punya-"
"Tidak," kata sang camerlegno. "Itu terlalu berbahaya. Maafkan aku." Ketika helikopter itu mulai naik lagi, sang camerlegno berpaling kepada Langdon dan tersenyum muram. "Semestinya kamu tidak ikut, kawan. Kamu telah mengorbankan dirimu."
Langdon melihat mata letih sang camerlegno dan tiba-tiba dia mengerti. Darahnya menjadi sedingin es. "Tetapi ... pasti ada tempat ya ng dapat kita datangi!"
"Ke atas," jawab sang camerlegno, suaranya terdengar seperti menyerah. "Itu satu-satunya hal yang pasti."
Langdon hampir tidak dapat berpikir. Dia betul-betul salah mengartikan rencana sang camerlegno. Lihat ke langit! Langit tempat di mana surga berada. Sekarang Langdon tahu maksud sang camerlegno. Ke sanalah dia benar-benar akan pergi. Sang camerlegno tidak pernah bermaksud menjatuhkan tabung antimateri itu. Dia hanya ingin membawanya sejauh yang dapat dilakukannya dari Vatican City.
Ini adalah perjalanan satu arah.
DI LAPANGAN SANTO PETRUS, Vittoria Vetra menatap ke atas. Sekarang helikopter itu tampak sebagai sebuah titik. Lampu-lampu media tidak lagi dapat mencapainya. Bahkan deru baling-balingnya pun telah memudar menjadi gumam yang sangat jauh. Tampaknya saat itu, seluruh tatapan dunia terpusat ke atas. Mereka semua terdiam sambil harap-harap cemas. Semua orang mengadahkan kepalanya ke langit ... semua orang, semua keyakinan ... semua jantung berdegup seperti menjadi satu.
Perasaan Vittoria campur aduk. Ketika helikopter itu menghilang dari pandangan, dia membayangkan wajah Robert tinggi di atasnya. Apa yang dipikirkannya? Tidakkah dia mengerti? Di sekitar lapangan, kamera-kamera televisi menyorot ke atas, ke arah kegelapan malam dan menunggu. Lautan wajah menatap ke arah langit, bersatu dalam hitungan mundur tanpa suara ... tak lama lagi langit Roma akan diterangi oleh bintang-bintang kemilau. Vittoria merasa air matanya mulai terbit.
Di belakangnya, berdiri di atas lantai pualam, 161 kardinal menatap dengan kekaguman tanpa suara. Beberapa orang kardinal mengatupkan tangan mereka untuk berdoa. Kebanyakan dari mereka hanya berdiri tak bergerak seperti tersihir. Beberapa orang menangis. Detik-detik berlalu.
Di dalam rumah-rumah, bar-bar, kantor-kantor, bandara-bandara, rumah-rumah sakit, di seluruh dunia, jiwa-jiwa bersatu dalam kesaksian universal. Lelaki dan perempuan saling bergandengan tangan. Yang lainnya memeluk anak-anak mereka. Waktu seperti melayang, dan jiwa mereka bersatu dalam kebersamaan.
Lalu tanpa rasa belas kasihan, lonceng Santo Petrus mulai berdentang.
Vittoria membiarkan air matanya jatuh.
Lalu ... dengan disaksikan oleh seluruh dunia ... waktu yang ada sudah habis.
Kesunyian absolut saat peristiwa itu terjadi adalah hal yang paling menakutkan.
Tinggi di atas Vatican City, sebuah titik cahaya muncul di langit. Dalam sekejap saja, sebuah benda langit baru saja dilahirkan ... sebuah titik cahaya yang begitu murni dan putih seperti yang belum pernah dilihat orang sebelumnya.
Lalu terjadilah.
Sebuah kilatan. Titik itu menggelembung seolah menelan dirinya sendiri, lalu terurai di langit dalam radius berukuran besar berwarna putih menyilaukan. Kemudian sinar tadi terpencar ke segala arah dengan kecepatan yang tak terkira, dan menelan kegelapan. Ketika bidang cahaya itu membesar, dia menjadi lebih kuat, seperti musuh yang berkembang dan mempersiapkan diri untuk menelan seluruh langit. Cahaya itu berpacu turun ke arah orang-orang di lapangan Santo Petrus dengan kecepatan yang luar biasa Cahaya itu begitu menyilaukan dan menyinari wajah semua orang yang terkesiap sehingga membuat mereka menutup mata sambil menjerit-jerit ketakutan.
Ketika cahaya itu menggemuruh ke segala arah, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Seolah terikat oleh kehendak Tuhan, cahaya dengan radius yang bertambah semakin besar itu tampak seperti menabrak dinding. Seolah ledakan itu terjadi di ruangan kaca raksasa. Cahaya itu kembali berkumpul ke dalam, dan beriak di antara mereka sendiri. Gelombang itu tampaknya telah mencapai diameter yang sudah ditetapkan sebelumnya dan mengambang di sana. Pada saat itu juga, bidang sinar yang menyilaukan menerangi Roma. Malam yang sebelumnya gelap gulita itu menjadi siang hari yang terang benderang. Lalu terjadilah.
Benturan itu sangat keras dan mengeluarkan suara yang memekakkan seperti gelombang guntur yang meledak dari atas langit. Guntur itu turun ke bawah, ke arah orang-orang di Lapangan Santo Petrus seperti kemurkaan neraka dan mengg uncangkan pondasi Vatican City yang terbuat dari batu granit sehingga membuat napas semua orang tersendat dan membuat mereka terjengkang ke belakang. Getaran itu mengelilingi pilar dan diikuti oleh curahan udara hangat yang muncul secara tiba-tiba. Angin panas itu seperti merobek lapangan dan mengeluarkan suara seperti erangan ketika melintasi pilar-pilar dan menghantam tembok. Debu berputar di atas mereka ketika orang-orang yang berdesak-desakan di Lapangan Santo Petrus menyaksikan kiamat yang terjadi di hadapan mereka.
Tapi secepat munculnya, bidang cahaya itu tiba-tiba seperti tersedot sendiri dan saling bertubrukan ke dalam sehingga menjadi titik kecil cahaya seperti asalnya semula.
KESUNYIAN SEPERTI INI belum pernah terjadi sebelumnya.
Satu persatu wajah-wajah di Lapangan Santo Petrus memalingkan matanya dari langit gelap di atas sana dan menundukkan kepalanya dengan rasa takjub. Lampu-lampu media mengikuti langkah mereka dan menurunkan sorotan kameranya kembali ke tanah seolah mereka memberikan penghormatan kepada langit yang kembali menjadi gelap gulita. Saat itu seluruh dunia seperti bersama-sama menundukkan kepala.
Kardinal Mortati berlutut dan berdoa. Para kardinal lainnya pun bergabung bersamanya. Petugas Garda Swiss menurunkan pedang panjang mereka dan berdiri dengan tegak seperti memberi penghormatan. Tidak ada yang berbicara. Tidak ada seorang pun yang bergerak. Di mana-mana, jantung semua orang bergetar dengan emosi yang spontan. rasa kehilangan, ketakutan, ketakjuban, keyakinan, dan rasa hormat yang besar terhadap kekuatan baru yang mengagumkan yang baru saja mereka saksikan.
Vittoria Vetra berdiri dengan gemetar di ujung tangga Basilika Santo Petrus yang luas. Dia memejamkan matanya. Walaupun perasaannya berkecamuk di dalam dadanya, ada satu kata yang teringat dan terngiang-ngiang kembali. kekejaman. Dia berusaha mengusir perasaan itu. Namun kata itu terus menggema. Sekali lagi dia berusaha untuk mengenyahkannya.
Tapi rasa sakit ini begitu mendalam. Dia berusaha untuk menenggelamkan pikirannya ke dalam gambaran yang muncul di dalam pikiran orang lain ... antimateri adalah kekuatan yang mengguncangkan dunia ... pembebasan Vatican ... sang camerlegno ... tindakan penuh keberanian ... keajaiban ... sifat tidak mementingkan diri sendiri. Meskipun begitu, kata itu terus menggema ... terucap menembus keriuhan dengan perasaan kesepian yang menusuk. Robert.
Robert datang ke Kastil Santo Angelo untuk menyelamatkannya.
Robert telah menyelamatkannya.
Dan sekarang Robert telah hancur karena antimateri ciptaannya.
Ketika Kardinal Mortati berdoa, dia bertanya-tanya apakah dia juga akan mendengar suara Tuhan seperti yang dialami sang camerlegno. Apakah seseorang harus percaya pada keajaiban agar dapat mengalami keajaiban itu? Mortati adalah orang modern dengan keyakinan yang kuno. Keajaiban tidak pernah menjadi bagian dari kepercayaannya. Tentu saja keyakinannya berbicara tentang keajaiban-keajaiban ... telapak tangan yang berdarah, kebangkitan orang yang sudah meninggal, jejak pada kain kafan Yesus ... tapi pikiran Mortati yang rasional selalu menganggap semua ini hanya sebagai bagian dari mitos. Semuanya itu adalah hasil dari kelemahan manusia yang paling parah-kebutuhan mereka akan bukti. Keajaiban tidak lebih dari kisah-kisah yang kita percayai karena kita berharap mereka sungguh-sungguh terjadi.
Tapi walau demikian ....
Apakah aku begitu modern sehingga tidak dapat menerima apa yang baru saja kusaksikan dengan mataku sendiri? Itu sebuah keajaiban, bukan? Ya! Tuhan, dengan bisikan yang disampaikanNya di telinga sang camerlegno, telah turun tangan dan menyelamatkan gereja ini. Mengapa ini begitu sulit untuk dipercaya? Apa kata orang tentang Tuhan jika Dia tidak melakukan apa-apa? Bahwa Yang Mahakuasa tidak peduli? Bahwa Tuhan tidak berdaya untuk menghentikan bencana ini? Sebuah keajaiban adalah satu-satunya jawaban yang mungkin! Ketika Mortati berlutut sambil bertanya-tanya, dan berdoa bagi jiwa sang camerlegno. Dia berterima kasih kepada Kepala Rumah Tangga Kepausan yang berusia muda itu.
Walaupun usianya masih muda, dia telah membukakan mata tuanya untuk melihat keajaiban yang tidak meragukan ini.
Yang luar biasa adalah, Mortati tidak pernah menduga bahwa keyakinannya sebentar lagi akan diuji ....
Kesenyapan di Lapangan Santo Petrus mula-mula terkoyak dengan suara desiran. Suara desiran itu kemudian menjadi gumaman. Lalu tiba-tiba berubah menjadi gemuruh. Tak disangka-sangka, kerumunan itu menjerit bersama-sama.
"Lihat! Lihat!"
Mortati membuka matanya dan berpaling ke arah kerumunan itu. Semua orang menunjuk ke arah di belakangnya, ke arah bagian depan Basilika Santo Petrus. Wajah mereka pucat pasi.
Beberapa orang jatuh berlutut. Beberapa orang lainnya pingsan. Beberapa orang lainnya menangis. "Lihat! Lihat!"
Mortati berpaling dengan bingung. Kemudian dia mengikuti arah yang ditunjukkan oleh tangan-tangan yang terulur di sekitarnya. Mereka menunjuk ke bagian tertinggi dari Basilika Santo Petrus, ke atas teras di puncak gedung, di tempat berdirinya patung Yesus dan murid-muridnya yang sedang menatap kerumunan di bawahnya.
Di sana, di sebelah kanan Yesus, dengan kedua lengan terentang ke angkasa ... berdirilah Camerlegno Carlo Ventresca.
ROBERT LANGDON TIDAK lagi melayang jatuh.
Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi rasa sakit. Bahkan tidak ada lagi suara angin yang menderu. Yang terdengar hanyalah suara lembut dari air yang berkecipak seolah dia sedang tertidur dengan nyamannya di pantai.
Dalam situasi seperti itu, Langdon merasa ini adalah kematian. Dia merasa senang karenanya. Dia membiarkan perasaan mati rasa yang mulai muncul untuk segera menguasai seluruh tubuhnya. Dia membiarkannya membawanya ke mana pun perasaan itu ingin pergi. Rasa sakit dan ketakutan sudah tidak terasa lagi, dan Langdon tidak ingin kembali merasakannya. Kenangan terakhirnya adalah sesuatu yang hanya bisa terjadi di neraka.
Ambil aku. Kumohon....
Tapi riak air yang membuatnya terlena malah yang membuatnya tersadar kembali. Riak itu seperti ingin membangunkannya dari mimpi. Tidak! Biarkan aku begini! Langdon tidak ingin bangun. Dia merasakan iblis-iblis berkumpul di sekeliling kebahagiaan yang sedang dirasakannya sambil mengetuk-ngetukkan tangannya untuk menghancurkan keadaan damai ini. Gambaran yang kabur pun bermunculan. Suara-suara yang berteriak-teriak. Angin yang berhembus kencang. Tidak, kumohon! Semakin dia berusaha untuk melawan, semakin kuat kemurkaan itu mengalir Kemudian, dengan sekonyong-konyong dia harus menghadapinya kembali ....
Helikopter itu membubung tinggi sekali sehingga membuatnya pusing. Dia terperangkap di dalamnya. Melalui pintu yang terbuka, Langdon dapat melihat lampu-lampu Roma yang semakin jauh setiap detiknya. Insting untuk bertahan hidup mengatakannya untuk melemparkan tabung itu sekarang juga. Langdon tahu, itu hanya membutuhkan waktu kurang dari dua puluh detik sampai tabung itu meluncur jatuh sejauh setengah mil. Tapi tabung itu akan jatuh ke arah sebuah kota yang dipenuhi dengan banyak orang.
Lebih tinggi! Lebih tinggi! Langdon bertanya-tanya sudah mencapai ketinggian berapa mereka sekarang. Dia tahu, pesawat berbaling-baling kecil seperti ini hanya dapat terbang setinggi empat mil. Helikopter ini pasti sudah mencapai ketinggian sekitar itu sekarang. Dua mil ke atas? Tiga mil? Masih ada kesempatan. Kalau mereka memperhitungkan jatuhnya tabung itu dengan tepat, tabung tersebut hanya akan jatuh setengah jalan ke arah bumi, dan meledak pada jarak aman dari atas tanah dan cukup jauh juga dari helikopter itu. Langdon melongok ke arah kota yang membentang di bawahnya.
"Bagaimana kalau kamu salah menghitung?" tanya sang camerlegno. Langdon berpaling dengan tatapan terkejut. Sang camerlegno tidak sedang menatap ke arahnya, tetapi tampaknya dia dapat membaca pikiran Langdon dari pantulan kaca depan pesawat yang buram. Anehnya, sang camerlegno tidak lagi asyik mengemudikan pesawat itu. Bahkan kedua tangannya tidak lagi memegang tongkat kendali. Tampaknya helikopter itu sekarang terbang secara otomatis dan diprogram untuk terus menambah ketinggian. Sang camerlegno merai h sesuatu di atas kepalanya, mencari sesuatu di langit-langit kokpit, lalu merogoh di belakang sebuah tempat kabel, kemudian melepas sebuah kunci yang disembunyikan di sana. Langdon melihat semua gerakan sang camerlegno dengan bingung. Dengan cepat sang camerlegno membuka kotak kargo dari logam yang terpasang di antara tempat duduk di bagian depan. Setelah itu pastor muda itu mengeluarkan sebuah bungkusan berukuran besar dari bahan nylon berwarna hitam. Dia lalu meletakkan bungkusan tersebut di tempat duduk di sebelahnya. Pikiran Langdon mulai berkecamuk. Gerakan sang camerlegno tampak tenang seolah dia tahu apa yang sedang dikerjakannya.
"Berikan padaku tabung itu," kata sang camerlegno, nada suaranya terdengar tenang. Langdon tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukannya. Dia menyerahkan tabung itu pada sang camerlegno. "Sembilan puluh detik!"
Apa yang dilakukan sang camerlegno pada tabung itu sangat mengejutkan Langdon. Dengan hati-hati sang camerlegno memegang tabung itu dengan kedua tangannya, lalu meletakkannya di dalam kotak kargo. Setelah itu dia menutup tutup kotak yang berat itu dan menguncinya rapat-rapat.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya Langdon.
"Membawa kita jauh dari godaan." Lalu sang camerlegno membuang kunci itu keluar melewati jendela helikopter. Ketika kunci itu melayang ke dalam langit malam, Langdon merasa jiwanya juga terbang bersamanya. Kemudian sang camerlegno mengambil bungkusan nylon hitam itu dan menyelipkan kedua tangannya di antara kedua pengikat yang terdapat di bungkusan itu. Dia lalu mengencangkan tali berperekat di sekitar perutnya dan mengenakannya seperti tas ransel. Setelah itu dia menoleh ke arah Robert Langdon yang sedang tercengang.
"Maafkan aku," kata sang camerlegno. "Seharusnya tidak terjadi seperti ini." Kemudian dia membuka pintunya dan melemparkan dirinya ke dalam langit malam. Gambaran itu terpatri di pikiran bawah sadar Langdon bersama dengan rasa sakit yang muncul kemudian. Rasa sakit yang sesungguhnya. Sakit yang dirasakan oleh tubuh. Rasanya begitu pedih dan membakar jiwanya. Dia memohon untuk segera diambil oleh Tuhan sehingga rasa sakit ini segera berakhir, tapi ketika air beriak semakin keras di telinganya, gambaran baru mulai bermunculan. Nerakanya baru saja dimulai. Dia melihat berbagai macam potongan gambaran. Gambaran yang terpecah-pecah dalam kepanikan. Dia tergeletak di antara kematian dan mimpi buruk, memohon untuk dibebaskan dari tubuh ini tapi gambaran itu semakin terang di dalam otaknya. Tabung antimateri itu terkunci dan berada jauh dari jangkauannya. Jam digitalnya menghitung mundur tanpa ampun ketika helikopter tersebut membubung semakin tinggi. Lima puluh detik. Lebih tinggi lagi. Lebih tinggi lagi. Langdon merasa pikirannya berputar dengan liar di dalam kabin pesawat dan berusaha untuk memahami apa yang baru saja dilihatnya. Empat puluh lima detik. Dia mencari-cari di bawah tempat duduk untuk mencari parasut lain. Empat puluh detik. Tidak ada apa-apa! Pasti ada pilihan lain! Tiga puluh lima detik. Dia bergegas menuju pintu helikopter yang sudah terbuka dan membiarkan angin yang bertiup keras menerpa wajahnya ketika dirinya menatap lampu-lampu yang berkedip di kota Roma yang terbentang di bawahnya. Tiga puluh dua detik. Kemudian dia membuat pilihan. Sebuah pilihan yang luar biasa .... Tanpa parasut, Robert Langdon melompat ke luar dari pintu itu. Ketika langit malam menelan tubuhnya yang jatuh berguling-guling di udara, helikopter itu tampak terus membubung semakin tinggi di atasnya. Sementara itu suara mesin pesawat tersebut seperti menghilang dan tertelan suara deru angin yang mengiringi terjun bebas yang dilakukan Langdon. Ketika dia meluncur ke arah bumi, Robert Langdon merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakannya sejak dia berlatih loncat indah selama bertahun-tahun-gaya tarik yang luar biasa ketika dia jatuh ke dalam kegelapan malam. Semakin cepat dia jatuh, semakin kuat bumi menarik tubuhnya, dan menghisapnya ke bawah. Walau demikian, kali ini ketinggian yang berada di bawahnya bukanlah lima puluh kaki di atas kolam renang. Kal i ini Langdon jatuh dari atas ribuan kaki dan meluncur turun ke sebuah kota yang terdiri atas hutan beton dan aspal yang keras. Di suatu tempat di antara angin yang menderu-deru dan keputusasaan yang melingkupinya, suara Kohler seperti bergema dari kuburnya ... kata-kata yang disampaikannya pagi ini ketika mereka berdiri di depan tabung terjun bebas yang terdapat di CERN. Satu yard persegi parasut dapat memperlambat jatuhnya tubuh sebesar hampir dua puluh persen. Langdon kini menyadari, dua puluh persen bahkan tidak mendekati apa yang dibutuhkan seseorang untuk bertahan hidup dalam keadaan terjun bebas seperti ini. Walau demikian, lebih karena merasa tidak berdaya dan sudah tidak punya harapan lagi, Langdon mencengkeram erat pada satu-satunya benda yang dapat diraihnya dari helikopter sebelum dia melompat keluar dari pintu tadi. Benda itu adalah kenang-kenangan yang tidak biasa, tetapi itu satu-satunya benda yang memberinya harapan. Penutup kaca depan yang terbuat dari kain terpal itu tadi tergeletak di bangku belakang helikopter. Penutup itu berbentuk persegi cekung dengan ukuran kira-kira empat kali dua yard dan terlihat seperti kain sprei lebar. Perkiraan terkasar untuk parasut yang bisa dibayangkan Langdon. Tidak ada pengikat tubuh, hanya ada lubang yang berada di setiap ujung yang digunakan untuk mengikatkannya ke kaca depan helikopter itu. Langdon menyambarnya, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang-lubang itu, kemudian memegangnya erat-erat dan meloncat ke dalam kehampaan. Ini adalah tindakan paling hebat yang terakhir kali dalam hidupnya. Tidak ada bayangan akan hidup pada saat itu. Langdon jatuh seperti batu. Pada awalnya kaki menghadap ke bawah. Kedua lengannya terangkat. Tangannya mencengkeram lubang-lubang yang terdapat di kain terpal itu. Kain itu menggelembung seperti jamur di atasnya. Angin menderu di sekitarnya dengan kejam. Ketika dia meluncur dengan deras ke arah bumi, terdengar ledakan besar pada suatu tempat di atasnya. Tampaknya terjadi jauh lebih tinggi dari yang diduganya. Dengan segera, gelombang guncangan menerpanya. Dia merasa napasnya tercekat di dalam paru-parunya. Tiba-tiba udara di sekitarnya terasa hangat. Dia berusaha keras untuk terus berpegangan. Udara panas seperti berlomba turun mengejarnya. Bagian atas terpal itu mulai meleleh ... tetapi masih dapat menahan tubuhnya. Langdon meluncur dengan deras ke bawah, di ujung gelombang sinar yang menyilaukan itu. Saat itu Langdon merasa seperti seorang pemain selancar yang berusaha untuk menunggangi gelombang pasang setinggi ribuan kaki. Kemudian dengan tiba-tiba, gelombang panas itu berkurang. Sekali lagi, Langdon meluncur di dalam kegelapan yang dingin. Sesaat kemudian, Langdon merasakan secercah harapan. Tapi, harapan itu segera memudar seperti panas yang tadi datang kemudian menghilang di atasnya. Walau kedua lengannya terasa sangat kaku karena memegang terpal untuk menahan kejatuhnya dan angin masih merobek tubuhnya dengan kecepatan yang memekakkan telinganya, Langdon masih juga meluncur terlalu cepat. Dia tidak akan selamat tiba di bawah. Dia akan hancur ketika menghempas tanah. Perhitungan matematika berebut memasuki benaknya, tetapi Langdon terlalu mati rasa untuk memikirkannya ... satu yard persegi parasut ... dua puluh persen mengurangi kecepatan. Apa yang dapat diperhitungkan oleh Langdon adalah terpal di atas kepalanya itu cukup besar untuk memperlambat kejatuhannya lebih dari dua puluh persen. Celakanya, dia mengetahui dari angin yang menderu-deru di sekitarnya bahwa apa pun yang dilakukan kain terpal ini untuk menahannya, itu masih tidak cukup. Dia masih meluncur terlalu cepat ... dia tidak mungkin turun hidup-hidup di antara lautan beton dan semen yang menunggunya di bawah. Di bawahnya, lampu-lampu kota Roma terhampar dari segala penjuru. Kota itu tampak seperti langit yang bertaburkan bintang, tempat di mana Langdon akan jatuh. Keluasan hamparan bintang-bintang yang sempurna itu hanya ternodai oleh garis gelap yang membelah kota itu menjadi dua-sebuah pita tanpa penerangan yang berkelok-kelok di antar a titik-titik cahaya itu seperti seekor ular gemuk. Langdon menatap ke bawah, ke arah sebentuk pita berwarna gelap itu. Tiba-tiba, gelombang harapan yang tak terduga muncul dan mengisi hatinya. Dengan kegembiraan yang hampir membuatnya gila, Langdon menarik kanopinya ke bawah dengan tangan kanannya. Terpal itu tiba-tiba mengepak lebih keras, menggelembung, memotong ke kanan untuk mencari jalan yang memiliki tolakan yang lebih kecil. Langdon merasa dirinya terbawa angin ke samping. Dia kemudian menarik terpal itu lagi dengan lebih keras, dan mengabaikan rasa sakit pada telapak tangannya. Terpal itu mengembang, dan Langdon merasa tubuhnya meluncur ke samping. Tidak terlalu banyak. Tetapi cukup banyak! Dia melihat ke bawahnya lagi, ke arah ular hitam yang berkelok-kelok itu. Ular itu terletak agak ke sebelah kanan, tetapi dia masih terlalu tinggi. Apakah dia menunggu terlalu lama? Dia menarik dengan sekuat tenaga dan akhirnya dia menerima apa saja keputusan Tuhan dengan pasrah. Dia memusatkan perhatiannya di bagian terlebar dari ular hitam itu dan ... untuk pertama kali dalam hidupnya, Langdon berdoa memohon keajaiban. Kemudian sisanya adalah keburaman. Kegelapan menyerbu di bawahnya ... naluri loncat indahnya datang lagi ... gerakan refleks untuk menegakkan tulang belakangnya dan meruncingkan jari kakinya ... menarik napas dalam-dalam sehingga membuat paru-parunya menggembung untuk melindungi organ-organ vital di tubuhnya ... menegangkan ototo-tot kakinya hingga menyerupai tongkat pemukul ... dan akhirnya ... untunglah Sungai Tiber sedang bergejolak sehingga membuat airnya deras dan penuh dengan udara ... dan tiga kali lebih lembut daripada air yang mengalir tenang. Lalu terjadilah tabrakan itu ... kemudian gelap. Terdengar suara menggelegar dari kanopi yang mengepak sehingga menarik perhatian sekelompok orang yang sedang menyaksikan bola api yang berpijar di langit. Langit di atas Roma penuh berisi tontonan malam ini ... helikopter yang meroket ke langit, sebuah ledakan dahsyat, dan sekarang benda aneh ini meluncur ke air yang menggelegak di Sungai Tiber, tak jauh dari pinggiran sebuah pulau kecil yang terdapat di sungai itu, Isola Tiberina. Sejak pulau itu digunakan untuk mengkarantina orang-orang sakit selama wabah pes terjadi di Roma pada tahun 1656, pulau itu dipercaya mempunyai kekuatan penyembuh mistis. Untuk alasan itulah Rumah Sakit Tiberina dibangun. Tubuh itu terlihat babak belur ketika ditarik ke tepi. Denyut nadi lelaki itu masih ada walau lemah sekali dan itu mengejutkan mereka. Mereka bertanya-tanya apakah itu karena reputasi penyembuhan mistis yang dimiliki Tiberina sehingga jantung lelaki itu masih mampu berdetak. Beberapa menit kemudian, ketika lelaki itu mulai terbatuk-batuk dan lambat laun mulai sadar, sekelompok orang itu memutuskan bahwa pulau ini memang memiliki keajaiban. KARDINAL MORTATI TAHU tidak ada kata-kata dalam bahasa apa pun yang bisa menggambarkan misteri yang terjadi saat itu. Kesunyian yang melingkupi Lapangan Santo Petrus bernyanyi lebih keras daripada paduan suara para malaikat. Ketika dia menatap Camerlegno Ventresca, Mortati merasakan benturan yang melumpuhkan jantung dan otaknya. Pemandangan itu tampak nyata dan jelas. Walau demikian ... bagaimana itu dapat terjadi? Semua orang melihat sang camerlegno memasuki helikopter itu. Mereka semua menyaksikan bola cahaya di angkasa. Dan sekarang, sang camerlegno berdiri tegak di atas mereka di teras yang terdapat di atap Basilika Santo Petrus. Diturunkan oleh para malaikat? Mengalami reinkarnasi dengan bantuan tangan Tuhan? Ini tidak mungkin.... Hati Mortati sangat ingin memercayainya, tetapi pikirannya menjerit-jerit minta penjelasan. Walau demikian, semua orang yang berada di sekitarnya menatap ke atas bersama-sama dengan para kardinal. Jelas, mereka juga melihat apa yang dilihatnya, dan pemandangan itu membuat mereka terkesima karena takjub. Itu memang sang camerlegno. Tidak diragukan lagi. Tetapi dia tampak berbeda. Dia terlihat seperti dewa. Seolah dia telah disucikan. Apakah dia sesosok arwah atau manusia denga n darah dan daging? Kulitnya yang berwarna putih bersinar di balik lampu sorot seolah tampak sangat ringan seperti tidak bertubuh. Di lapangan terdengar tangisan, sorak sorai dan tepuk tangan spontan. Sekelompok biarawati jatuh berlutut dan meratapkan saetas. Gemuruh mulai bertambah keras dari kerumunan itu. Tiba-tiba, seluruh orang di lapangan itu memanggil-manggil nama sang camerlegno. Para kardinal, beberapa di antaranya sambil berurai air mata, ikut bergabung. Mortati melihat ke sekelilingnya dan mencoba memahaminya. Apakah ini benar-benar terjadi? Camerlegno Carlo Ventresca berdiri di atas teras atap Basilika Santo Petrus dan memandang ke bawah ke arah kerumunan orang yang menatapnya. Apakah dia sedang tidur atau terjaga? Dia merasa menjelma menjadi bentuk lain. Dia bertanya-tanya, apakah itu tubuhnya atau hanya arwahnya yang melayang turun dari surga ke arah Taman Vatican City yang lembut dan gelap ... diam-diam seperti patung malaikat di taman yang sunyi, parasut hitamnya menyelubunginya di balik bayangan Basilika Santo Petrus yang menjulang. Dia bertanya-tanya apakah tubuhnya atau arwahnyakah yang memiliki kekuatan untuk memanjat Stairway of Medallions yang kuno itu untuk menuju teras di atap yang menjadi tempatnya berdiri sekarang. Dia merasa begitu ringan seperti hantu. Walau orang-orang di bawah menyerukan namanya, dia tahu bukan dirinya yang mereka elu-elukan. Mereka bersorak-sorak karena dorongan kegembiraan. Kegembiraan yang sama yang dia rasakan setiap hari dalam hidupnya ketika dia merenungkan Yang Mahakuasa. Mereka mengalami apa yang selama ini mereka tunggu-tunggu ... jaminan dari Yang Mahatinggi ... penguatan kekuasaan sang Pencipta. Camerlegno Ventresca sudah berdoa sepanjang hidupnya agar saat seperti ini terjadi, dan masih terus berdoa untuk itu, walau dia tidak dapat membayangkan bagaimana Tuhan menemukan cara untuk mewujudkannya. Dia ingin berteriak dengan keras kepada orang-orang itu. Tuhan kalian adalah Tuhan yang nyata! Lihatlah pada keajaiban di sekitarmu. Dia berdiri di sana sebentar, mati rasa tapi merasa lebih banyak daripada yang selama ini dia rasakan. Ketika pada akhirnya jiwanya menggerakkan tubuhnya, dia menundukkan kepalanya dan mundur dari tepian. Setelah sendirian, dia berlutut di atap dan berdoa. BAYANGAN-BAYANGAN DI sekitarnya terlihat kabur. Kadang terlihat, kadang tidak. Mata Langdon lambat laun mulai dapat melihat dengan jelas. Kakinya sakit, dan tubuhnya terasa seperti baru digilas oleh truk. Dia berbaring di tanah dengan posisi menyamping. Ada bau yang menusuk seperti bau cairan empedu. Dia juga masih dapat mendengar suara air yang berkecipak di dekatnya. Suara itu tidak lagi terdengar menenteramkan baginya. Ada suara yang lainnya juga. Mereka berbicara di dekatnya, di sekelilingnya. Dia melihat bentuk putih yang kabur. Apakah mereka semua berpakaian putih? Langdon berpikir dia sekarang entah berada di rumah sakit jiwa atau di surga. Dari rasa terbakar yang terasa di tenggorokannya, Langdon yakin dia tidak mungkin berada di surga.
Dave Pelzer A Child Called It Satria Gendeng Kail Naga Samudera Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung