Malaikat Dan Iblis 6
Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 6
Vittoria menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam. "Alam mempunyai banyak misteri yang belum terungkap."
Olivetti lebih mendekatkan dirinya. "Boleh aku bertanya siapa kamu ini? Apa kedudukanmu di CERN?"
"Aku staf peneliti senior dan ditunjuk menjadi penghubung ke Vatican dalam keadaan gawat ini."
"Maafkan aku kalau aku tidak sopan. Kalau ini memang keadaan gawat mengapa aku harus berurusan denganmu dan bukan dengan direkturmu? Dan kenapa kamu dengan tidak sopannya datang ke Vatican dengan mengenakan celana pendek?"
Langdon mengerang dalam hati. Bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, sang komandan malah mempermasalahkan aturan berpakaian? Tapi kemudian dia baru sadar. Kalau penis dari batu saja bisa menimbulkan pemikiran kotor di otak penghuni Vatican, Vittoria Vetra yang datang dengan celana pendek pasti menjadi ancaman bagi keamanan nasional negara mini ini.
"Komandan Olivetti," sela Langdon, berusaha untuk meredam bom kedua yang nampaknya akan segera meledak. "Namaku Robert Langdon. Aku dosen kajian religius dari Amerika Serikat dan tidak ada hubungannya dengan CERN. Aku sudah pernah melihat percobaan antimateri dan berani menjamin kebenaran pernyataan Nona Vetra tadi. Antimateri itu memang sangat berbahaya. Kami punya alasan untuk meyakini benda itu diletakkan di kompleks Anda oleh sebuah kelompok antireligius yang bertujuan untuk mengacaukan acara pemilihan paus."
Olivetti berpaling, menatap orang yang tingginya tidak lebih dari tubuhnya itu. "Di depanku ada seorang perempuan mengenakan celana pendek mengatakan kepadaku kalau setetes cairan bisa meledakkan Vatican City, lalu ada seorang dosen dari Amerika berkata kalau kami sedang menjadi sasaran sebuah kelompok antireligius. Apa yang kalian inginkan dariku?"
"Temukan tabung itu," kata Vittoria. "Sekarang juga."
"Tidak mungkin. Benda itu bisa berada di mam saja. Vatican City itu luas sekali."
"Kamera Anda tidak dipasangi pelacak GPS?"
"Kamera itu tidak biasanya dicuri. Kami membutuhkan waktu hari-hari untuk menemukan kamera yang hilang itu."
"Kita tidak punya beberapa hari," kata Vittoria tegas. "Kita hanya punya waktu enam jam."
"Enam jam sampai apa, Nona Vetra?" suara Olivetti tiba-tiba menjadi lebih keras. Dia lalu menunjuk gambar di dalam layar monitor di hadapan mereka. "Sampai layar itu selesai menghitung mundur? Sampai Vatican City menghilang? Percayalah padaku, aku tidak suka ada orang yang mengganggu sistem keamananku. Aku juga tidak suka ada peralatan aneh yang muncul secara misterius di sini. Aku peduli. Itu pekerjaanku. Tetapi apa yang baru saja kalian katakan padaku itu tidak dapat diterima."
Langdon berbicara tanpa berpikir lagi. "Anda pernah mendengar tentang Illuminati?"
Air muka sang komandan yang dingin itu berubah. Matanya menjadi putih seperti seekor hiu yang siap menyerang. "Kuperingatkan. Aku tidak punya waktu untuk ini semua."
"Jadi, Anda pernah mendengar tentang Illuminati."
Mata Olivetti menghujam seperti bayonet. "Aku orang yang bersumpah untuk membela Gereja Katolik. Tentu saja aku pernah mendengar tentang Illuminati. Mereka telah mati beberapa dasawarsa yang lalu."
Langdon merogoh sakunya dan mengeluarkan kertas faks yang menunjukkan mayat Leonardo Vetra yang dicap. Dia m enyerahkannya kepada Olivetti.
"Aku peneliti Illumniati," kata Langdon ketika Olivetti mempelajari gambar itu. "Sulit juga bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Illuminati masih aktif, tapi munculnya cap ini digabungkan dengan fakta bahwa Illuminati terkenal memiliki sumpah untuk melawan Vatican City telah mengubah pendapatku."
"Ini hanyalah tipuan komputer." Olivetti lalu menyerahkan kertas itu kepada Langdon. Langdon menatap ragu. "Tipuan? Lihatlah pada kesimetrisannya! Kalian harus menyadari bahwa keaslian-"
"Keaslian itulah yang tidak kamu punyai. Mungkin Nona Vetra tidak memberimu penjelasan. Para ilmuwan dari CERN sudah banyak mengkritik kebijakan Vatican sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mereka secara teratur mengajukan permintaan untuk menarik kembali teori penciptaan alam semesta, meminta maaf secara resmi kepada Galileo dan Copernicus, dan mencabut kritik kami terhadap penelitian yang berbahaya dan tidak bermoral. Skenario seperti apa yang rasanya cocok bagi kalian? Hmm biar aku pikir dulu ... ada kelompok setan berusia empat ratus tahun telah muncul kembali dengan senjata yang dapat memusnahkan massa atau orang-orang konyol dari CERN sedang berusaha untuk mengganggu peristiwa suci di Vatican dengan omong kosong seperti ini?"
"Foto itu," kata Vittoria, suaranya terdengar seperti lava mendidih, "adalah ayahku. Dia dibunuh. Kamu pikir ini akal-akalan kami saja?"
"Aku tidak tahu, Nona Vetra. Tetapi sampai aku mendapatkan jawaban yang masuk akal, aku tidak akan memberikan peringatan apa-apa kepada anak buahku. Kewaspadaan dan kehati-hatian adalah tugasku ... seperti peristiwa suci ini yang dapat berlangsung karena kejernihan pikiran. Hari ini sama seperti hari-hari lainnya."
"Paling tidak, tunda acara itu."
"Tunda?" Mulut Olivetti mengaga. "Sombong sekali! Rapat untuk memilih paus tidak seperti pertandingan baseball di Amerika yang dapat kamu batalkan karena hujan. Ini adalah perisitiwa suci dengan peraturan dan proses yang ketat. Tidak jadi masalan apakah satu milyar umat Katolik di dunia ini menunggu seorang pemimpin. Tidak peduli apakah ada media massa dari selurun dunia mefflmggu di luar. Protokol untuk peristiwa suci ini bukan hal yang dapat dipermainkan. Sejak 1179, pertemuan untuk memilih seorang paus tetap berlangsung walau ada gempa bumi, kelaparan, dan bahkan bencana pes sekalipun. Percayalah, pertemuan ini tidak akan pernah ditunda hanya karena ilmuwan dibunuh atau satu tetes zat yang hanya Tuhan yang tahu."
"Antarkan aku pada seorang yang bertanggung jawab," pinta Vittoria. Olivetti melotot. "Aku adalah orang bertanggung jawab di sini."
"Tidak," sergah Vittoria. "Seseorang dari kepastoran."
Olivetti mulai habis kesabarannya. "Mereka sudah pergi. Kecuali Garda Swiss, satu-satunya yang masih ada di Vatican City hanyalah Dewan Kardinal yang berkumpul untuk mengadakan rapat. Dan mereka berada di dalam Kapel Sistina."
"Bagaimana dengan Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan?" desak Langdon datar.
"Siapa?"
"Kepala Urusan Rumah Tangga Mendiang Paus." Langdon mengulangi kata itu dengan nada yakin sambil berdoa mudah-mudahan ingatannya tidak salah. Dia ingat pernah membaca tentang pengaturan otoritas Vatican yang unik setelah kematian seorang paus. Kalau Langdon benar, sebelum paus yang baru terpilih, kekuasan beralih sementara ke asisten pribadi mendiang Paus; Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan, sebuah badan sekretariat yang mengawasi jalannya rapat pemilihan Paus sampai para kardinal memilih Bapa Suci yang baru. "Saya yakin Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan adalah orang yang berwenang pada saat ini."
"Il camerlengno?" Olivetti mendengus. "Dia hanyalah seorang pastor di sini. Dia adalah pelayan kepercayaan mendiang Paus."
Tetapi dia masih berada di sini. Dan Anda melapor kepadanya."
Olivetti melipat lengannya di dadanya. "Pak Langdon, memang benar kalau peraturan Vatican memerintahkan sang camerlegno untuk berperan sebagai kepala pemerintahan selama rapat pemilihan paus berlangsung. Karena dia masih belum matario untuk diangkat sebagai paus, maka dia dapat memastikan pemilihan yang berj alan dengan jujur dan adil. Ini seperti kalau presiden Anda meninggal dan salah satu ajudannya memerintah untuk sementara waktu di Ruang Oval. Sang camerlegno masih muda dan pemahamannya tentang keamanan, atau apa pun itu, masih terbatas. Jadi sayalah yang bertanggung jawab di sini."
"Bawa kami padanya," kata Vittoria.
"Tidak mungkin. Rapat untuk memilih paus akan dimulai empat puluh menit lagi. Sang camerlegno sedang berada di dalam kantornya untuk bersiap-siap. Aku tidak akan mengganggunya karena ada masalah keamanan."
Vittoria membuka mulutnya untuk mendesaknya, tapi terpotong oleh suara ketukan pintu. Olivetti membukanya.
Seorang penjaga mengenakan tanda-tanda kebesaran lengkap berdiri di luar dan menunjuk jam tanganya. "E I'ora, comandante."
Olivetti memeriksa jam tangannya sendiri dan mengangguk. Dia berpaling pada Langdon dan Vittoria seperti seorang hakim yang sedang mempertimbangkan nasib mereka. "Ikuti aku," katanya kemudian. Lalu dia membawa mereka keluar dari ruang pemantau dan melewati ruang kendali keamanan untuk menuju ke sebuah ruangan kecil yang terang di bagian belakang. "Kantorku." Olivetti meminta mereka masuk. Ruangan itu tidak istimewa, hanya terdiri atas sebuah meja yang berantakan, lemari arsip, kursi lipat dan pendingin udara. "Aku akan kembali sepuluh menit lagi. Kusarankan agar kalian menggunakan waktu itu untuk memutuskan bagaimana kalian akan melanjutkan kunjungan kalian."
Vittoria berputar. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Tabung itu-"
"Aku tidak punya waktu untuk itu," Olivetti menjadi sangat marah. "Mungkin aku akan menahan kalian hingga rapat pemilihan paus selesai, kalau aku masih punya waktu."
"Signore" desak penjaga itu, sambil menunjuk jam tangannya. "Spazzare di cappella."
Olivetti mengangguk dan beranjak akan pergi.
"Spazzare di cappella?" tanya Vittoria. "Kamu pergi untuk menyisir kapel itu?"
Olivetti berputar kembali, matanya menatap tajam ke arahnya. "Kami menyisir untuk mencari alat penyadap elektronik, Nona Vetra. Ini prosedur keamanan." Dia kemudian menunjuk kaki Vittoria seperti menyindir. "Sesuatu yang tentu tidak akan kamu mengerti."
Setelah itu lelaki besar itu membanting pintu sehingga kaca tebalnya bergetar. Dengan cepat Olivetti mengeluarkan sebuah kunci, memasukkannya ke lubangnya dan memutarnya. Sebuah gerendel yang berat bergeser masuk ke penguncinya.
"Idiotal" teriak Vittoria. "Kamu tidak bisa mengurung kami di sini!"
Melalui kaca itu Langdon dapat melihat Olivetti mengatakan sesuatu kepada seorang penjaga. Penjaga itu mengangguk. Ketika Olivetti berjalan pergi ke luar ruangan, penjaga itu berpaling menghadap mereka dari balik kaca pintu, lengannya disilangkan, sebuah pistol besar tampak terselip di pinggangnya.
Sempurna, pikir Langdon. Sangat sempurna.
VITTORIA MELOTOT KE ARAH seorang tentara Garda Swiss yang in di luar pintu ruang kerja Olivetti. Pengawal itu balas melotot, seragam aneka warnanya sangat kontras dengan airmukanya yang tegas.
"Che fiasco," pikir Vittoria. Ditahan oleh seorang lelaki bersenjata dan mengenakan piyama. Langdon hanya terdiam sementara Vittoria berharap Langdon akan menggunakan otak Harvard-nya untuk berpikir bagaiman mengeluarkan mereka dari sini. Namun Vittoria bisa melihat dari wajah Langdon kalau lelaki itu lebih merasa terkejut daripada sedang berpikir. Dia mulai menyesal karena sudah melibatkan dosen itu hingga sejauh ini. Insting pertama Vittoria adalah mengeluarkan ponselnya dan menelepon Kohler, tetapi dia tahu itu bodoh. Pertama, penjaga itu akan masuk dan merampas ponselnya. Kedua, kalau Kohler sedang menjalani perawatan rutinnya, dia mungkin masih dalam keadaan tidak berdaya. Bukannya tidak penting ... tetapi sepertinya Olivetti tidak akan memercayai kata-kata orang lain pada saat ini. Ingat! Kata Vittoria pada diri sendiri. Ingat jawaban dari ujian ini! Ingatan adalah kiat para filsuf penganut Buddha. Vittoria tidak menuntut pikirannya untuk mencari pemecahan untuk masalah ini, dia meminta pikirannya agar mengingatnya. Pemikiran kalau seseorang pernah mengetahui jawaban dari sebuah masala h, menciptakan pola berpikir yang memastikan bahwa jawaban itu ada ... dan mengurangi ketidakberdayaan akibat rasa putus asa. Vittoria sering menggunakan proses itu untuk mengatasi kebingungan ilmiah ... seperti ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut orang kebanyakan, tidak ada jawabannya. Pada saat itu, kiat ingatannya mengarah ke kekosongan yang besar. Jadi dia mempertimbangkan berbagai pilihan yang ada di depannya, seperti berbagai hal yang harus dilakukannya. Dia harus memperingatkan seseorang. Seseorang di Vatican ini yang akan mendengarkannya dengan serius. Tetapi siapa? Sang camerlegno. Bagaimana caranya? Vittoria sedang terkunci di dalam sebuah kotak kaca yang hanya memiliki satu pintu. Alat, katanya pada dirinya sendiri. Pasti ada peralatan yang bisa membantu. Amati lagi sekelilingmu. Secara naluriah, dia melemaskan bahunya dan mengendurkan matanya, lalu menarik napas panjang sebanyak tiga kali ke dalam paru-parunya. Dia merasakan jantungnya berdetak lambat dan otot-ototnya melunak. Kekacauan karena panik dalam benaknya menghilang. Baik, pikirnya, bebaskan pikiranmu. Apa yang dapat membuat situasi ini menjadi keadaan yang positif? Apa saja yang kumiliki? Pikiran analitis Vittoria Vetra, begitu sudah tenang, menjadi buah kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng. Dalam beberapa detik saja dia menyadari bahwa pengurungan mereka ini sebenarnya adalah kunci bagi kebebasannya.
"Aku akan menelepon," katanya tiba-tiba. Langdon mendongak. "Aku baru saja ingin memintamu untuk menelepon Kohler, tetapi-"
"Bukan Kohler. Orang lain."
"Siapa?"
"Sang camerlegno."
Langdon betul-betul tampak bingung. "Kamu akan menelepon Kepala Rumah Tangga Kepausan? Bagaimana caranya?"
"Olivetti tadi mengatakan bahwa sang camerlegno sedang berada di Kantor Paus."
"Memangnya kamu tahu nomor telepon pribadi Paus?"
"Tidak. Aku tidak akan meneleponnya dari ponselku." Dia menggerakkan kepalanya ke arah pesawat telepon berteknologi tinggi di atas meja kerja Olivetti. Pesawat itu dilengkapi dengan tombol panggilan cepat. "Kepala Keamanan pasti mempunyai nomor langsung ke Kantor Paus."
"Dia juga punya seorang atlet angkat berat yang memegang senjata dan berdiri enam kaki dari sini."
"Dan kita terkunci di dalam."
"Aku sudah mengetahuinya dengan baik, terima kasih."
"Maksudku, penjaga itu terkunci di luar. Ini adalah kantor pribadi Olivetti. Aku yakin tidak ada orang lain yang mempunyai kuncinya."
Langdon melihat ke arah penjaga yang berdiri di luar. "Kaca itu sangat tipis, dan senjatanya besar sekali."
"Apa yang akan dilakukannya? Menembakku karena aku menggunakan telepon?"
"Siapa yang tahu! Ini adalah negeri yang sangat aneh, dan segala yang terjadi-"
"Apa pun yang terjadi," kata Vittoria, "entah dia menembak kita atau kita menghabiskan 5 jam 48 menit berikutnya di Penjara Vatican, paling tidak kita duduk di baris terdepan ketika antimateri itu meledak."
Langdon menjadi pucat. "Tetapi penjaga itu akan segera menghubungi Olivetti begitu kamu mengangkat telepon. Lagi pula di situ ada dua puluh tombol. Dan aku tidak melihat adanya petunjuk. Kamu akan mencobanya semua dan mengharapkan keberuntungan?"
"Tidak juga," sahut Vittoria sambil berjalan menuju pesawat telepon itu. "Hanya satu." Vittoria lalu mengangkat gagang telepon itu dan menekan tombol paling atas. "Nomor satu, aku bertaruh denganmu untuk satu dolar Illuminati dalam sakumu itu kalau ini adalah nomor Kantor Paus. Apa yang terpenting bagi seorang Komandan Garda Swiss?"
Langdon tidak punya waktu untuk menjawab. Penjaga di luar pintu itu mulai menggedor pintu dengan bagian belakang pistolnya. Dia juga memberikan isyarat kepada Vittoria untuk meletakkan telepon itu.
Vittoria mengedipkan matanya pada sang penjaga. Penjaga itu tampaknya semakin marah.
Langdon bergerak menjauh dari pintu dan berpaling pada Vittoria. "Kamu harus benar karena lelaki itu tampak marah sekali!"
"Sialan!" seru Vittoria, ketika mendengarkan suara dari gagang telepon itu. "Sebuah rekaman."
"Rekaman?" tanya Langdon. "Paus punya mesin penjawab?"
"Itu bukan Kantor Paus," k ata Vittoria sambil meletakkan kembali gagang telepon itu. "Itu hanya daftar menu mingguan dari toko kelontong Vatican."
Langdon tersenyum lemah pada penjaga di luar yang sekarang dengan marah dari luar dinding kaca sambil memanggil Olivetti dengan walkie-talkie-nya.
OPERATOR TELEPON VATICAN berpusat di Ufficio di Comunicazione yang terletak di belakang Kantor Pos Vatican. Ruangan itu bisa dikatakan kecil dan berisi sebuah papan panel Corelco 141 dengan delapan jalur. Kantor itu menerima 2.000 panggilan setiap harinya dan biasanya dialihkan secara otomatis ke sistem informasi yang sudah terekam.
Malam ini, satu-satunya operator yang bertugas sedang duduk dengan tenang sambil menghirup secangkir besar teh berkafein. Dia merasa bangga menjadi salah satu pegawai yang diperbolehkan berada di Vatican City malam ini. Tentu saja kehormatan itu berkurang dengan kehadiran beberapa Garda Swiss yang berjaga di luar pintunya. Ke toilet pun harus dikawal, pikir sang operator. Ah, sebuah penghinaan yang harus diterima atas nama rapat pemilihan paus yang suci.
Untunglah, tidak banyak sambungan telepon malam ini. Atau mungkin itu bukanlah hal yang menguntungkan, pikirnya. Minat dunia akan kejadian-kejadian di Vatican tampaknya mulai berkurang sejak beberapa tahun silam. Panggilan telepon dari pers sudah menipis dan orang-orang gila itu sudah tidak sering menelepon lagi sekarang. Pers berharap peristiwa malam ini akan lebih bernuansa perayaan. Sayangnya, Lapangan Santo Petrus walau penuh oleh mobil trailer pers, mobil-mobil tersebut kebanyakan berasal dari pers Italia dan Eropa biasa. Hanya beberapa jaringan pers global yang berada di sana ... pasti mereka hanya mengirim giornalisti secundari, wartawan kelas dua mereka.
Operator itu menggenggam cangkir besarnya dan bertanya-tanya berapa lama peristiwa malam ini akan berakhir. Mungkin pada tengah malam, dia menerka. Akhir-akhir ini, sebagian besar orang dalam sudah mengetahui siapa yang dijagokan untuk menggantikan Paus sebelum rapat diadakan sehingga proses itu hanya memakan waktu lebih singkat, sekitar tiga atau empat jam ritual daripada waktu pemilihan yang sebelumnya. Tentu saja perselisihan tingkat tinggi pada menit-menit terakhir dapat memperpanjang acara itu hingga subuh ... atau bahkan lebih lama lagi. Rapat pemilihan paus pada tahun 1831 berlangsung selama 54 hari. Malam ini tidak akan seperti itu, katanya pada dirinya sendiri; kabar angin yang terdengar mengatakan kalau rapat ini hanya akan menjadi sebuah "tontonan santai."
Lamunan operator itu tergugah oleh suara dering dari saluran internal di papan panel yang berada di hadapannya. Dia melihat lampu merah yang berkedip-kedip dan menggaruk kepalanya. Ini aneh, pikirnya. Saluran nol. Siapa dari kalangan internal yang menelepon operator informasi malam ini? Siapa yang masih berada di dalam? "Citta del Vaticano, prego?" katanya ketika menjawab telepon itu.
Suara di dalam saluran itu berbicara dalam bahasa Italia dengan cepat. Samar-samar operator itu mengenali aksen yang biasa terdengar dari kalangan Garda Swiss. Mereka berbicara bahasa Italia dengan lancar dan dipengaruhi oleh aksen Franco-Swiss. Tapi, orang yang meneleponnya ini bukan seorang Garda Swiss.
Ketika mendengarkan suara perempuan di telepon, operator itu tiba-tiba berdiri dan hampir menumpahkan tehnya. Dia menatap ke saluran itu lagi. Dia tidak salah. Sambungan internal panggilan itu berasal dari dalam. Pasti sebuah kesalahan! pikirnya. Seorang perempuan di dalam Vatican City? Malam ini? Perempuan itu berbicara dengan cepat dan marah. Operator itu sudah cukup lama bekerja menjadi operator sehingga dia tahu apa yang harus dilakukannya ketika berurusan dengan seorang pazzo. Tapi perempuan ini tidak terdengar gila. Dia memang mendesak tetapi kalimatnya tetap masuk akal. Tenang dan efisien. Lelaki itu mendengarkan permintaan perempuan itu dengan bingung.
"Il camerlegno," operator itu bertanya sambil masih mencoba membayangkan dari mana panggilan itu berasal. "Aku tidak dapat menghubungkan ... ya, aku tahu beliau berada di Kantor Paus, siapa Anda, ulan gi? ... dan Anda ingin memperingatkan beliau akan .... " Dia mendengarkan dan merasa semakin ngeri. Semua orang dalam bahaya? Bagaimana bisa begitu? Dan dari mana Anda menelepon? "Mungkin aku harus menghubungi Garda Swiss..." Tiba-tiba operator itu berhenti. "Anda bilang Anda di mana? Di mana?"
Lelaki itu mendengarkan dan terkejut sekali. Dia lalu membuat keputusan. "Harap tunggu sebentar," dia berkata sambil menekan tombol lain sebelum perempuan itu dapat menjawab. Kemudian dia menelepon ke nomor langsung Komandan Olivetti. Tidak mungkin perempuan itu benar-benar-Saluran itu langsung diangkat.
"Per I'amore di Diol" suara seorang perempuan yang sudah dikenalnya itu berteriak di telinganya. "Sambungkan aku segera!"
Pintu pusat keamanan Garda Swiss terbuka. Pengawal itu menepi ketika Komandan Olivetti memasuki ruangan seperti sebuah roket. Sambil membelok ke arah kantornya, Olivetti menemukan kejadian seperti yang tadi dikatakan pengawalnya melalui walkie-talkie-nya... Vittoria Vetra sedang berdiri di sisi meja kerjanya dan berbicara dengan menggunakan telepon pribadi sang komandan.
Che coglioni che ha questa! pikirnya. Yang satu ini berani sekali! Dengan wajah pucat, dia berjalan ke arah pintu kantornya dan memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Dia kemudian menarik pintu itu hingga terbuka dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
Vittoria mengabaikannya. "Ya," kata Vittoria dengan seseorang di telepon. "Dan aku harus memperingatkan-"
Olivetti merampas gagang telepon itu dari tangan Vittoria dan menempelkannya ke telinganya sendiri. "Siapa ini!?"
Saat itu juga, ketegapan tubuh Olivetti menyurut. "Ya, camerlegno ... " katanya. "Betul, Pak ... tetapi masalah keamanan menuntut ... tentu saja ... saya menahan mereka di sini tentunya, tetapi Olivetti mendengarkan. "Ya, Pak," katanya akhirnya. "Saya akan membawa mereka ke kantor Anda." ISTANA APOSTOLIK ADALAH sekelompok gedung yang terletak di dekat Kapel Sistina di sudut timur laut Vatican City. Dihiasi oleh Lapangan Santo Petrus yang tampak menonjol di depannya, istana itu terdiri atas Rumah Dinas Kepausan dan Kantor Paus.
Vittoria dan Langdon mengikuti sang komandan tanpa bersuara ketika Olivetti membawa mereka ke sebuah koridor panjang bergaya rococo Perancis. Olivetti masih terlihat berang. Setelah menaiki tiga set anak tangga, mereka akhirnya memasuki sebuah koridor yang remang-remang.
Langdon tidak dapat memercayai benda-benda seni yang terpampang di sekitarnya. Dia dapat melihat patung dada, permadani dinding, dekorasi ukiran huruf, dan semua karya seni itu berharga ratusan ribu dolar. Setelah melewati dua pertiga dan perjalanan mereka, mereka melewati sebuah air mancur dari batu pualam. Olivetti membelok ke kiri, menuju ke sebuah ruangan, lalu memasuki sebuah pintu terbesar yang pernah dilihat Langdon.
"Ufficio di Papa," kata sang komandan sambil menatap Vittoria dengan kesal. Tapi Vittoria tidak takut. Dia melewati Olivetti dan mengetuk pintunya dengan keras. Kantor Paus, kata Langdon dalam hati sambil masih belum percaya kalau dirinya sedang berdiri di depan sebuah ruangan yang paling suci di dunia Kristen. Avanti!" seseorang berseru dari dalam. Ketika pintu terbuka, Langdon harus melindungi matanya. Sinar matahari bersinar menyilaukan di ruangan itu. Perlahan, sosok di depannya mulai menjadi semakin jelas. Ruang Kantor Paus itu lebih mirip dengan ruang dansa daripada sebuah kantor. Lantai dari pualam berwarna merah membentang ke dinding yang dihiasi lukisan dinding yang mewah. Sebuah tempat lilin yang sangat besar tergantung di atas, sementara itu sekumpulan jendela berbentuk melengkung menawarkan panorama yang mengagumkan dari Lapangan Santo Petrus yang sedang bermandikan cahaya matahari. Ya ampun, seru Langdon. Ini benar-benar sebuah ruangan dengan pemandangan indah. Di ujung balairung itu, di atas sebuah meja berukir, seorang lelaki duduk sambil menulis dengan tekun. "Avanti," serunya lagi. Dia lalu meletakkan penanya dan mengayunkan tangannya kepada mereka. Olivetti mendahului mereka dengan sikap militernya. "Signore," katanya ber nada minta maaf. "No ho potuto-"
Lelaki itu memotong kalimatnya. Dia lalu berdiri dan mengamati kedua tamunya itu.
Sang camerlegno sama sekali tidak seperti orang tua lemah dengan sinar kesucian yang sedang berjalan-jalan di Vatican seperti yang selama ini dibayangkan oleh Langdon. Lelaki itu tidak mengenakan rosario ataupun medali. Dia juga tidak mengenakan jubah berat. Dia hanya mengenakan jubah ringan yang tampak menonjolkan bentuk tubuhnya yang kekar. Tampaknya dia berusia tiga puluhan, masih sangat muda bagi ukuran Vatican. Yang lebih mengejutkan lagi, wajahnya tampan, rambutnya cokelat dengan mata berwarna hijau cerah yang bercahaya, seolah kedua matanya itu diterangi oleh misteri dari alam semesta. Ketika lelaki itu semakin dekat, Langdon melihat kalau lelaki itu sangat lelah seperti telah melewati lima belas hari terberat dalam hidupnya.
"Aku Carlo Ventresca," katanya. Bahasa Inggrisnya sempurna "Camerlegno mendiang Paus." Suaranya terdengar jujur dan ramah dengan sebersit aksen Italia.
"Vittoria Vetra," kata Vittoria sambil melangkah ke depan dan mengulurkan tangannya. "Terima kasih sudah bersedia menemui kami."
Olivetti cemberut ketika sang camerlegno menjabat tangan Vittoria.
"Ini Robert Langdon," lanjut Vittoria. "Seorang ahli sejarah agama dari Harvard University."
"Padre? kata Langdon dengan aksen Italianya yang diusahakan sebaik mungkin. Dia menundukkan kepalanya sambil mengulurkan tangannya.
"Jangan, jangan," desak sang camerlegno sambil meminta Langdon untuk mengangkat kepalanya lagi. "Kantor Yang Mulia Paus tidak membuatku suci. Aku hanyalah seorang pastor, seorang Kepala Rumah Tangga Kepausan yang melayani jika diperlukan."
Langdon kemudian menegakkan tubuhnya.
"Silakan," kata sang camerlegno, "mari duduk." Dia kemudian mengatur beberapa kursi di sekeliling mejanya. Langdon dan Vittoria kemudian duduk. Tampaknya Olivetti lebih senang berdiri. Sang camerlegno duduk di mejanya. Sambil menyilangkan tangannya, dia mendesah dan menatap tamunya.
"Signore," kata Olivetti. "Pakaian perempuan ini adalah kesalahanku. Aku-"
"Pakaiannya bukanlah hal yang aku khawatirkan," sahut sang camerlegno, suaranya terdengar terlalu leti untuk diganggu. "Ketika operator Vatican meneleponku setengah jam sebelum aku membuka rapat pemilihan paus, dia mengatakan padaku bahwa seorang perempuan menelepon dari kantor pribadimu, Pak Olivetti, untuk memperingatkanku akan adanya ancaman keamanan serius yang belum Anda kabarkan kepada saya. Itulah yang aku khawatirkan. Olivetti berdiri kaku, punggungnya melengkung seperti seorang serdadu sedang diperiksa dengan teliti. Langdon merasa seperti dihipnotis oleh penampilan sang camerlengo. Lelaki itu masih muda dan letih seperti juga dirinya, pastor itu memiliki aura ksatria mistis yang memancarkan Icarisma dan kewenangan.
"Signore," kata Olivetti, nada suaranya penuh sesal tetapi masih keras hati. "Anda seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan urusan keamanan. Anda memiliki tanggung jawab lainnya."
"Aku sangat tahu apa kewajibanku yang lainnya. Aku juga tahu sebagai direttore intermediario, aku mempunyai kewajiban atas keamanan dan kesejahteraan semua orang pada saat rapat pemilihan paus berlangsung Apa yang terjadi di sini?"
"Saya sudah mengatasinya."
"Tampaknya belum."
"Bapa," kata Langdon menyela sambil mengeluarkan kertas faks yang sudah lusuh dan menyerahkannya kepada sang camerlegno, "silakan."
Komandan Olivetti melangkah ke depan, mencoba ikut campur. "Bapa, kumohon, jangan risaukan pikiran Anda dengan-"
Sang camerlegno mengambil kertas faks itu dan mengabaikan Olivetti. Dia menatap gambar Leonardo Vetra yang terbunuh lalu menarik napas karena terkejut. "Apa ini?"
"Itu ayahku," kata Vittoria, suaranya bergetar. "Ayahku seorang pastor dan ilmuwan. Ayah dibunuh tadi malam."
Tiba-tiba wajah sang camerlegno menjadi lembut. Dia menatap Vittoria. "Anakku sayang. Aku turut berduka." Dia membuat tanda salib di depan dadanya sendiri dan melihat kertas faks itu sekali lagi, matanya tampak dipenuhi oleh rasa jijik. "Siapa yang ... dan luka bakar pada ... " sang camer legno berhenti sejenak, matanya menyipit dan mendekatkan gambar itu ke wajahnya.
"Tulisan itu berbunyi Illuminati," kata Langdon. "Saya yakin Anda mengenali nama itu."
Air muka sang camerlegno mendadak berubah. "Saya pernah mendengar nama itu, tetapi .... "
"Kelompok Illuminati membunuh Leonardo Vetra sehingga mereka dapat mencuri sebuah teknologi baru yang .... "
"Signore," Olivetti berseru. "Ini aneh sekali. Kelompok Illuminati? Ini jelas merupakan penipuan."
Sang camerlegno tampak memikirkan kata-kata Olivetti. Lalu dia berpaling dan menatap Langdon dengan tajam sehingga Langdon merasa paru-parunya kehabisan udara. "Pak Langdon saya sudah melewatkan hidupku di dalam Gereja Katolik. Saya tahu banyak tentang Illuminati ... dan legenda cap tersebut. Walau demikian saya hams memperingatkan Anda, saya seorang lelaki yang hidup di masa kini. Kristen sudah mempunyai banyak musuh jadi tidak usah membangkitkan hantu-hantu itu kembali."
"Simbol itu asli," kata Langdon terdengar agak terlalu membela diri. Dia mengulurkan tangannya dan memutar kertas faks itu di hadapan sang camerlegno. Sang camerlegno terdiam ketika melihat kesimetrisan yang dimiliki cap itu.
"Bahkan komputer modern sekalipun," katanya menambahkan, "tidak dapat meniru ambigram yang simetris dari kata itu."
Sang camerlegno melipat tangannya dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun selama beberapa saat. "Kelompok Illuminati sudah mati," akhirnya dia berkata. "Sudah lama sekali. Itu merupakan kenyataan sejarah."
Langdon mengangguk. "Kemarin, saya juga akan sepakat dengan Anda."
"Kemarin?"
"Sebelum rangkaian peristiwa ini. Saya percaya Illuminati telah muncul kembali untuk mewujudkan sumpah lama mereka."
"Maafkan saya. Pengetahuan sejarah saya sudah berkarat. Sumpah kuno apa itu?"
Langdon menarik napas panjang. "Untuk menghancurkan Vatican City."
"Menghancurkan Vatican City?" Sang camerlegno terlihat lebih bingung daripada takut. "Tetapi itu tidak mungkin." Vittoria menggelengkan kepalanya. "Aku khawatir kami masih mempunyai berita buruk yang lainnya." "APAKAH INI BENAR?" tanya sang camerlegno yang tampak terheran-heran sambil menatap Olivetti dan Vittoria.
"Signore," kata Olivetti meyakinkan, "saya mengakui ada semacam peralatan asing di sini. Benda itu tampak pada layar monitor keamanan kami, tetapi ketika Nona Vetra menceritakan kemampuan benda tersebut, aku tidak-"
"Tunggu sebentar," kata sang camerlegno. "Kamu dapat melihat benda itu?"
"Ya, signore. Pada kamera nirkabel nomor 86."
"Dan kenapa kamu tidak menemukannya?" Sekarang suara sang camerlegno menggema karena marah.
"Sangat sulit, signore." Olivetti berdiri tegak ketika dia menjelaskan keadaannya. Sang camerlegno mendengarkan dan Vittoria dapat merasakan keprihatinan lelaki itu meningkat. "Kamu yakin benda itu berada di dalam Vatican City?" sang camerlegno bertanya. "Mungkin seseorang telah membawa keluar kamera itu dan menyiarkan gambar itu dari tempat lain."
"Itu tidak mungkin," kata Olivetti. "Dinding luar kami lindungi secara elektronik untuk menjaga komunikasi internal. Tayangan ini hanya berasal dari dalam, kami tidak akan dapat menangkap gambar tersebut dari luar."
"Jadi," kata sang camerlegno, "kamu punya tugas untuk mencari kamera yang hilang itu dengan segala peralatan yang ada, begitu?"
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Tidak, signore. Untuk menemukan kamera itu kami membutuhkan ratusan orang. Kami mempunyai masalah keamanan lainnya yang harus kami hadapi saat ini, dan dengan segala hormat kepada Nona Vetra, tetesan yang dibicarakannya hanyalah benda yang kecil sekali. Itu tidak mungkin dapat meledak sehebat yang dikatakannya."
Kesabaran Vittoria menguap habis. "Tetesan itu cukup untuk meratakan Vatican City dengan tanah! Kamu tidak mendengarkan kata-kata yang kuucapkan padamu?"
"Bu," kata Olivetti, suaranya terdengar keras seperti baja, "pengalamanku pada bahan-bahan peledak sangat luas."
"Pengalamanmu sudah kuno," sergah Vittoria tak kalah kerasnya. "Walau pakaianku begini, cara berpakaian yang kutahu sangat mengganggumu, aku adalah seorang ahli fisika sen ior di sebuah fasilitas penelitian atomik yang paling maju di dunia. Aku sendiri yang merancang tabung antimateri itu sehingga spesimen tersebut tidak meledak sekarang. Dan aku peringatkan, kalau kamu tidak menemukan tabung itu dalam waktu enam jam, anak buahmu tidak akan bisa melindungi Vatican lagi hingga abad berikutnya. Karena setelah ledakan itu Vatican hanyalah sebuah lubang besar di tanah."
Olivetti berjalan mendekati sang camerlegno, matanya yang awas seperti serangga menyala karena marah. "Signore, saya tidak dapat membiarkan hal ini terus berlangsung. Waktu Anda terbuang sia-sia karena dua pelawak ini. Kelompok Illuminati? Tetesan yang akan memusnahkan kita semua?"
"Basta," sergah sang camerlegno. Dia mengucapkan kata itu dengan perlahan namun seperti menggema di seluruh ruangan. Kemudian sunyi. Dia kemudian berbisik kepada Olivetti. ' Berbahaya atau tidak, Illuminati atau bukan, wnda apa pun itu, yang pasti adalah benda yang tidak seharusnya ada di Vatican City ... apalagi dalam acara akbar seperti ini. Aku ingin benda itu ditemukan dan dipindahkan. Atur pencariannya sekarang juga. Olivetti mendesak. "Signore, walaupun kita mengerahkan semua penjaga untuk menyisir setiap sudut kompleks dan mencari kamera kami membutuhkan waktu berhari-hari untuk menemukannya. Terlebih lagi, setelah berbicara dengan Nona Vetra, aku telah memerintahkan anak buahku untuk mencari nama zat yang bernama antimateri tersebut di buku panduan balistik kami yang paling mutakhir. Dan saya tidak menemukan kata itu di mana pun. Tidak ada apa-apa."
Dasar bodoh! pikir Vittoria. Sebuah buku panduan balistik? Apakah mereka tidak bisa mencarinya di kamus? Di bawah huruf A! Olivetti masih terus berbicara. "Signore, kalau Anda menyuruh kami mencari benda tersebut di seluruh kompleks ini tanpa dilengkapi peralatan apa pun, saya harus menolak."
"Komandan." Suara sang camerlegno itu bergetar karena marah. "Aku peringatkan kepadamu. Ketika kamu berbicara padaku, kamu sedang berbicara kepada institusi ini. Aku tahu kamu tidak menghormati posisiku di sini, tapi menurut hukum akulah yang bertanggung jawab untuk saat ini. Kalau aku tidak salah, para kardinal sekarang sedang berada di tempat yang aman, di dalam Kapel Sistina, dan regu keamananmu tidak perlu terlalu bekerja keras hingga acara suci ini selesai. Aku tidak mengerti kenapa kamu ragu-ragu untuk mencari benda tersebut. Sepertinya kamu sengaja ingin membahayakan rapat pemilihan paus."
Olivetti terlihat kesal. "Berani-beraninya! Aku sudah melayani mendiang Paus selama dua belas tahun! Dan paus sebelumnya selama empat belas tahun! Sejak tahun 1438 Garda Swiss telah-"
Walkie-talkie yang tergantung di ikat pinggang Olivetti berbunyi keras, memotong kalimatnya. "Commandante?"
Olivetti melepaskannya dan menekan tombol bicara. "Sto ocupato! Cosa voi!!"
"Scusi," kata seorang Garda Swiss melalui radio. "Di sini ada komunikasi. Saya kira Anda ingin tahu kalau kita baru saja menerima ancaman bom."
Olivetti menjawab dengan tegas. "Atasi! Lakukan prosedur seperti biasanya, dan tulis laporannya."
"Sudah kami lakukan, Pak, tetapi penelepon itu ..." Pengawal itu berhenti sejenak. "Saya tidak ingin mengganggu Anda, Pak tetapi orang itu mengatakan nama zat yang baru saja Anda perintahkan untuk diselidiki. Antimateri."
Semua orang di dalam ruangan itu saling memandang dengan tatapan tegang.
"Dia mengatakan apa?" bentak Olivetti.
"Antimateri, Pak. Ketika kami mencoba melacak, saya juga melakukan beberapa penelitian tambahan atas permintaan si penelepon. Informasi tentang antimateri adalah ... yah, terus terang saja, sangat berbahaya."
"Kukira kamu tadi mengatakan kalau di buku panduan balisitik tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu."
"Saya menemukannya di internet, Pak."
Haleluya, seru Vittoria dalam hati.
"Zat kimia itu tampaknya sangat mudah meledak," kata pengawal itu lagi. "Sulit dibayangkan apakah informasi ini akurat tetapi tertulis di sini bahwa setiap pon antimateri mengandung sekitar seratus kali muatan hulu ledak senjata nuklir."
Olivetti menjadi lesu. Seperti sedang menonton gu nung yang runtuh. Perasaan kemenangan dalam diri Vittoria terhapus oleh kesan ketakutan pada wajah sang camerlegno.
"Kamu berhasil melacak telepon itu?" tanya Olivetti dengan membentak.
"Tidak, Pak. Pasti dia menelepon dengan menggunakan ponsel dan disandi dengan sangat canggih. Jalur SAT terganggu sehingga triangulasinya terputus. Tanda IF mengesankan bahwa penelepon itu berada di Roma, tetapi sulit untuk melacaknya."
"Apakah dia menuntut sesuatu?" tanya Olivetti, suaranya tenang.
"Tidak, Pak. Hanya memperingatkan kita bahwa ada antimateri tersembunyi di dalam kompleks ini. Dia tampak terkejut, aku tidak tahu. Dia kemudian bertanya padaku apakah sudah melihatnya. Anda menanyakan tentang antimateri, jadi saya memutuskan untuk menghubungi Anda, Pak."
"Kamu bertindak benar," kata Olivetti. "Aku akan ke sana sebentar lagi. Beri tahu aku kalau dia menelepon lagi."
Sunyi sejenak dari walkie-talkie itu. "Si penelepon masih terhubung, Pak."
Olivetti terlihat seperti baru saja disetrum listrik. "Dia masih di sana?"
"Ya, Pak. Kami sudah mencoba untuk melacaknya selama sepuluh menit ini, tapi tidak berhasil. Dia pasti tahu kalau kita tidak dapat menemukannya karena dia menolak untuk memutuskan sambungan sampai dia berbicara dengan sang camerlegno."
"Sambungkan dia," perintah sang camerlegno. "Sekarang!" Olivetti berpaling. "Bapa, jangan. Negosiator Garda Swiss yang terlatih lebih cocok untuk mengatasi ini." "Sekarang"
Olivetti memerintahkan pengawal itu.
Sesaat kemudian, telepon di atas meja Camerlegno Ventresca mulai berdering. Jemari sang camerlegno meraih tombol speaker phone di pesawat teleponnya. "Demi Tuhan, kamu pikir kamu ini siapa?" SUARA YANG DIPERKERAS dari speaker phone sang camerlegno terdengar seperti kaku dan dingin dengan kesan angkuh. Semua orang di ruangan itu mendengarkan.
Langdon mencoba mengenali aksennya. Timur Tengah, mungkin? "Aku pembawa pesan dari sebuah persaudaraan kuno," suara itu mengumumkan dirinya dengan logat yang asing. "Sebuah persaudaraan yang telah kamu perlakukan dengan tidak adil. Aku adalah pembawa pesan dari kelompok Illuminati."
Langdon merasa otot-ototnya menegang, keraguannya telah pupus sekarang. Saat itu juga dia merasakan berbagai macam perasaan yang campur aduk antara rasa tegang, bangga dan takut seperti yang dirasakannya ketika dia pertama kalinya melihat ambigram itu tadi pagi.
"Apa yang kamu kehendaki?" tanya sang camerlegno.
"Aku mewakili para ilmuwan yang seperti juga dirimu, sedang berusaha untuk mencari jawaban. Jawaban bagi nasib manusia, tujuannya, penciptanya."
"Siapa pun kamu," kata sang camerlegno, "aku-"
"Silenzio. Kamu lebih baik mendengarkan. Selama dua milenium gerejamu telah mendominasi pencarian akan kebenaran. Kalian telah menghancurkan lawanmu dengan kebohongan dan ramalan tentang hari kiamat. Kalian telah memanipulasi kebenaran demi kepentingan kalian, membunuh orang-orang yang penemuannya tidak sesuai dengan pemikiran kalian. Kenapa kalian heran ketika menjadi sasaran orang-orang yang diberi pencerahan dari seluruh dunia?"
"Orang-orang yang diberi pencerahan tidak akan memeras untuk mencapai tujuannya."
"Memeras?" Penelepon itu tertawa. "Ini bukan pemerasan. Kami tidak mempunyai tuntutan. Penghancuran Vatican tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kami sudah menanti selama empat ratus tahun untuk hari ini. Pada tengah malam nanti, kotamu akan dihancurkan. Tidak ada yang dapat kamu lakukan."
Olivetti bergerak cepat menuju speaker phone. "Jalan masuk ke kota ini tidak mungkin ditembus! Kamu tidaK mungkin bisa menanam bom di sini!"
"Kamu berbicara dengan keteledoran seorang Garda Swiss. Mungkin keteledoran seorang petugas? Pasti kamu tahu kalau selama berabad-abad Illuminati sudah menyusup ke dalam berbagai organisasi kalangan atas di seluruh dunia. Kamu betul-betul yakin Vatican itu bebas dari penyusupan kami?"
Yesus, kata Langdon dalam hati, jadi mereka mempunyai orang dalam. Bukan rahasia lagi kalau penyusupan merupakan ciri khas kekuatan Illuminati. Mereka menyusup ke dalam Kelompok Mason, jaringan perbankan besar, juga tubuh peme rintahan. Kenyataannya, Churchill pernah mengatakan kepada para wartawan kalau mata-mata Inggris bisa menyusup ke dalam Nazi seperti Illuminati menyusup ke dalam Parlemen Inggris, Perang Dunia II dapat selesai dalam waktu satu bulan saja.
"Betul-betul omong kosong," bentak Olivetti. "Pengaruhmu tidak mungkin meluas sejauh itu."
"Mengapa tidak? Karena Garda Swiss kalian begitu tangkasnya? Karena mereka menjaga setiap sudut dunia kecilmu itu? Bagaimana dengan Garda Swiss sendiri? Apakah mereka bukan manusia? Apakah kamu benar-benar yakin kalau mereka mau mempertaruhkan hidup mereka hanya untuk sebuah dongeng tentang seorang lelaki yang dapat berjalan di atas air? Tanyakan pada diri kalian sendiri bagaimana tabung itu bisa memasuki kota kalian. Atau bagaimana empat dari harta kalian yang paling berharga dapat menghilang siang ini?"
"Harta kami?" bentak Olivetti. "Apa maksudmu?"
"Satu, dua, tiga, empat. Kalian belum kehilangan mereka sekarang?"
"Apa maksud kalian-" Tiba-tiba Olivetti berhenti. Matanya terbelalak seolah perutnya baru saja ditinju.
"Pada saat matahari menyingsing," kata penelepon itu. "Bolehkah aku membacakan nama-nama mereka?"
"Ada apa ini?" tanya sang camerlegno yang tampak bingung. Penelepon itu tertawa. "Jadi satuan pengamananmu itu belum memberimu penjelasan tentang hal ini? Memalukan sekali. Tidak mengherankan. Kesombongan yang hebat. Aku membayangkan betapa malunya untuk mengatakan kebenaran ... dia sudah bersumpah untuk menjaga keempat kardinal yang tampaknya telah menghilang.... "
Olivetti meledak. "Darimana kamu mendapatkan informasi itu?"
"Sang camerlegno," penelepon itu berkata dengan riang, "coba tanyakan komandanmu itu, apakah semua kardinal kalian sudah lengkap berkumpul di Kapel Sistina."
Sang camerlegno berpaling pada Olivetti, mata hijaunya meminta penjelasan.
"Signore," bisik Olivetti di telinga sang camerlegno. "Memang benar ada empat kardinal kita yang belum melaporkan diri mereka di Kapel Sistina, tetapi tidak perlu khawatir. Mereka semua sudah mendaftarkan diri mereka di tempat penginapan pagi ini, jadi kami tahu kalau mereka semua berada di dalam Vatican City dengan aman. Anda sendiri sudah minum teh bersama mereka beberapa jam yang lalu. Keempat orang itu hanya terlambat menghadiri acara ramah-tamah sebelum rapat pemilih paus dimulai. Kami sudah mencari mereka, tapi kami yakin mereka hanya lupa waktu dan masih menikmati suasana kota ini."
"Menikmati suasana kota ini?" ketenangan sudah tidak terdengar lagi dalam suara sang camerlegno. "Mereka harus berada di kapel itu satu jam yang lalu!"
Langdon menatap Vittoria dengan tatapan keheranan. Kardinal-kardinal yang menghilang? Jadi para pengawal itu tadi sedang mencari mereka di bawah? "Kalian akan memercayaiku kalau aku membacakan namanama mereka," kata penelepon itu lagi. "Kardinal Lamasse dari Paris, Kardinal Guidera dari Barcelona, Kardinal Ebner dari Frankfurt Olivetti tampak semakin menciut tiap kali nama-nama itu dibacakan.
Penelepon itu berhenti sebentar, seolah dia sedang menikmati kesenangan tersendiri saat menyebutkan nama terakhir. "Dan dari Italia ... Kardinal Baggia."
Tubuh sang camerlegno langsung lesu seperti sebuah kapal besar yang mati angin. Pakaiannya menggelembung ketika dia terduduk di atas kursinya. "I prefereti," bisiknya. "Keempat kardinal yang diunggulkan ... termasuk Baggia ... yang paling tepat untuk diangkat sebagai Supreme Pontiff, Paus yang Agung ... bagaimana ini bisa terjadi?"
Langdon pernah membaca tentang pemilihan paus modern sehingga dia mengerti ketika menatap wajah sang camerlegno yang putus asa. Walau secara teknis setiap kardinal yang berusia di bawah delapan puluh tahun dapat menjadi paus, tapi hanya sedikit saja di antara mereka yang bisa mendapat dukungan dua pertiga dari mayoritas suara dalam pemilihan itu. Orang-orang yang dijagokan dikenal sebagai para preferiti. Dan mereka semua kini telah menghilang.
Keringat menetes di dahi sang camerlegno. "Apa yang akan kamu lakukan pada mereka?"
"Menurutmu apa yang akan kulakukan? Aku adalah keturunan Hassassin."
Langdon merasa m enggigil. Dia mengenal nama itu dengan baik. Gereja berhasil menciptakan beberapa musuh berbahaya selama bertahun-tahun, seperti kelompok Hassassin, Knight Templar, sekelompok serdadu yang diburu atau dikhianati oleh gereja.
"Biarkan kardinal-kardinal itu bebas," kata sang camerlegno. "Apakah mengancam ingin menghancurkan Kota Tuhan saja tidak cukup?"
"Lupakan keempat kardinalmu itu. Kamu, toh masih punya banyak. Pastikan bahwa kematian mereka akan diingat oleh jutaan orang. Itu adalah impian setiap martir, bukan? Aku akan membuat mereka menjadi pencerah media. Satu per satu. Pada tengah malam, Illuminati akan mendapatkan perhatian semua orang. Mengapa harus mengubah dunia kalau dunia tidak memerhatikanmu. Pembunuhan di depan umum akan membuat masyarakat sangat ketakutan, bukan? Kalian telah membuktikannya sejak lama... pengadilan itu, penyiksaan yang dilakukan terhadap kelompok Knight Templar dan tentara salib." Dia berhenti sejenak, lalu "Dan tentu saja la purga."
Sang camerlegno terdiam.
"Jadi kalian tidak ingat la purga?" tanya penelepon itu. "Tentu saja tidak, kalian masih anak-anak. Para pastor adalah ahli sejarah yang payah. Mungkin karena sejarah itu mempermalukan mereka?'"
"Lapurga" Langdon mendengar dirinya berbicara. "Tahun 1668. Gereja mencap empat orang ilmuwan Illuminati dengan simbol salib untuk membersihkan dosa mereka."
"Suara siapa itu?" tanya si penelepon. Dia lebih terdengar seperti tertarik daripada prihatin. "Ada siapa lagi di sana?"
Langdon merasa gemetar. "Namaku tidak penting," katanya sambil mencoba untuk menenangkan suaranya. Berbicara dengan anggota Illuminati yang masih hidup seperti berbicara dengan George Washington. "Aku seorang akademisi yang mempelajari sejarah persaudaraanmu."
"Bagus," sahut suara itu. "Aku senang masih ada orang yang ingat berbagai peristiwa kejahatan yang dilakukan kepada kami."
"Kami, para ilmuwan, mengira kalian telah mati."
"Sebuah pemikiran yang salah. Persaudaraan kami sudah bekerja keras untuk bertahan hidup. Apa lagi yang kamu ketahui tentang la purga?"
Langdon ragu-ragu. Apa lagi yang kutahu? Semuanya ini adalah kegilaan, itu yang kutahu! "Setelah dicap, para ilmuwan itu dibunuh, dan mayat mereka di lempar ke tempat-tempat umum di sekitar Roma sebagai peringatan bagi para ilmuwan lainnya agar tidak bergabung dengan Illuminati."
"Ya. Maka kami akan melakukan hal yang sama. Quid pro quo. Anggap saja sebagai retribusi simbolis bagi saudara-saudara kami yang kalian penggal. Keempat kardinal kalian akan mati, satu orang setiap jam, dan akan dimulai pada pukul delapan. Pada tengah malam seluruh dunia akan terpesona."
Langdon bergerak mendekati telepon itu. "Kamu benar-benar bermaksud untuk mencap dan membunuh mereka?"
"Sejarah berulang sendiri, bukan? Tentu saja, cara kami lebih elegan dan lebih terus terang daripada gereja. Mereka membunuh empat ilmuwan itu satu per satu dan membuang mayat mereka ketika tidak ada orang yang melihat. Pengecut sekali."
"Apa maksudmu?" tanya Langdon. "Kamu akan mencap tubuh mereka dan membunuh mereka di depan umum?"
"Tepat. Walau itu tergantung pada pengertianmu terhadap kata umum itu sendiri. Aku tahu kalau sekarang sudah tidak banyak orang pergi ke gereja."
Langdon merasa heran. "Kamu akan membunuh mereka di dalam gereja?"
"Satu tindakan kebaikan. Memudahkan Tuhan untuk mengirim arwah mereka ke surga dengan lebih cepat. Sepertinya itu yang terbaik buat mereka. Tentu saja, dapat kubayangkan kalau pers juga akan menyukainya."
"Kamu membual," kata Olivetti, suaranya kembali terdengar dingin. "Kamu tidak bisa membunuh seseorang di gereja dan berharap bisa lolos begitu saja."
"Membual? Kami bergerak di antara Garda Swiss-mu seperti hantu, memindahkan empat kardinalmu dari dalam dinding-dindingmu tanpa sepengetahuanmu, menanam peledak mematikan di jantung tempat tersuci kalian, dan kamu sekarang mengatakan kalau aku membual? Begitu pembunuhan itu terjadi dan para korban ditemukan, media akan berkerumun. Pada tengah malam, dunia akan tahu alasan Illuminati melakukan itu."
"Dan kalau aku menempatkan penjaga pada s etiap gereja?" tanya Olivetti. Penelepon itu tertawa. "Kupikir agamamu yang sudah menyebar dengan luas itu akan membuat usahamu menjadi sebuah tugas yang berat, Komandan. Apakah kamu tidak bisa menghitung? Di Roma ada lebih dari empat ratus gereja Katolik. Katedral, kapel, tabernakel, biara, asrama pendeta, sekolah paroki .... "
Wajah Olivetti tetap keras.
"Akan dimulai sembilan puluh menit lagi," kata penelepon itu dengan nada seperti akan mengakhiri pembicaraannya. "Satu orang kardinal dalam setiap jamnya. Deret matematika tentang kematian. Sekarang aku harus pergi."
"Tunggu!" pinta Langdon. "Katakan padaku tentang cap yang akan kamu berikan kepada orang-orang itu."
Pembunuh itu terdengar senang. "Kukira kamu sudah tahu cap yang mana. Atau kamu ragu? Kamu akan segera melihatnya. Bukti bahwa legenda kuno itu benar."
Langdon merasa pusing. Dia tahu pasti apa yang dimaksud lelaki itu. Langdon membayangkan cap di atas dada Leonardo Vetra. Dongeng rakyat tentang Illuminati menyebutkan jumlah cap itu ada lima. Mereka masih mempunyai empat cap lagi, pikir Langdon, dan empat orang kardinal yang hilang.
"Aku disumpah," kata sang camerlegno, "untuk mengangkat paus yang baru malam ini. Disumpah oleh Tuhan."
"Sang camerlegno" kata penelepon itu, "dunia tidak memerlukan paus baru. Setelah tengah malam nanti, dia tidak akan memiliki apa pun untuk dipimpin kecuali reruntuhan. Gereja Katolik sudah berakhir. Kekuasaanmu di bumi ini sudah selesai."
Lalu dia terdiam.
Sang camerlegno tampak benar-benar sedih. "Kalian keliru. Gereja lebih dari sekadar adukan semen dan batu. Kalian tidak dapat menghapuskan kepercayaan yang sudah berusia dua ribu tahun ... kepercayaan apa pun itu. Kalian tidak bisa meremukkan kepercayaannya dengan menghancurkan rumah peribadatan begitu saja. Gereja Katolik akan berlanjut dengan atau tanpa Vatican City."
"Sebuah kebohongan besar. Tetapi tetap saja sebuah kebohongan. Kita berdua tahu yang sebenarnya. Katakan padaku, mengapa Vatican City dipagari seperti benteng?"
"Hamba Tuhan hidup dalam dunia yang berbahaya," jawab sang camerlegno.
"Berapa usiamu, camerlegno? Vatican seperti sebuah benteng Gereja Katolik menyimpan separuh dari hartanya di balik dindingnya-lukisan-lukisan langka, patung-patung, perhiasan tak ternilai, buku-buku berharga ... lalu masih ada emas yang sangat banyak dan surat-surat tanah di dalam bank Vatican City. Orang dalam memperkirakan nilai dari Vatican City adalah 48,5 milyar dolar. Kalian benar-benar duduk di atas tambang emas. Besok semua itu akan menjadi debu. Kalian akan bangkrut. Orang tidak akan mau bekerja tanpa mendapatkan upah."
Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Roro Centil Duel Dan Kemelut Di Cipatujah Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan