Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 1


Agatha Christie Lapangan Golf Maut Bagian 1


MURDER ON THE LINKS By Agatha Christie LAPANGAN GOLF MAUT Alihbahasa.

   Ny.

   Suwarni A.S.

   Penerbit.

   PT Gramedia Jakarta, November 1985 POIROT HERAN ketika dia menerima sepucuk surat permintaan tolong penuh harapan dari seseorang yang ternyata sudah meninggal, dan tiba tepat pada saat pemakaman.

   POIROT BINGUNG ketika semua jalur pemeriksaan dan semua kesimpulan yang diambilnya, ternyata salah.

   POIROT SAKIT HATI ketika dia dicemoohkan oleh inspektur polisi setempat, dan dia terancam oleh kegagalan yang sangat memalukan.

   POIROT BERADA DI PUNCAK kemampuannya yang tak ada duanya, yang bangkit untuk menghadapi tantangan yang terbesar, yaitu seorang pembunuh kalap yang meninggalkan serangkaian petunjuk yang berbelit-belit, untuk menyesatkan dan menghancurkan.

   Bab TEMAN SEPERJALANAN ADA sebuah lelucon terkenal mengenai seorang pengarang muda.

   Dia bertekad untuk membuat awal ceritanya menarik dan lain dari yang lain, dalam usahanya untuk menarik dan mencengkam perhatian para editor yang paling cerewet.

   Untuk itu dia telah menulis di awal ceritanya itu, kalimat berikut.

   "'Sialan!' kata wanita bangsawan itu."

   Anehnya, kisahku ini diawali dengan cara yang sama.

   Bedanya, wanita yang mengucapkan kata itu bukan wanita bangsawan! Hari itu adalah suatu hari di awal bulan Juni.

   Aku baru saja menyelesaikan suatu urusan di Paris, dan sedang berada dalam kereta api pagi dalam perjalananku ke London, di mana aku masih tinggal sekamar dengan sahabat lamaku, seorang Belgia bekas detektif, Hercule Poirot.

   Kereta api ekspres Calais boleh dikatakan kosong -dalam gerbongku bahkan hanya ada seorang penumpang lain.

   Aku berangkat dari hotel agak tergesa-gesa, dan ketika aku sibuk memeriksa apakah semua barangku sudah terkumpul, kereta api pun berangkat.

   Selama kesibukanku itu aku hampir-hampir tak melihat teman segerbongku, tetapi kini aku benar-benar menyadari kehadirannya.

   Sambil melompat dari tempat duduknya, diturunkannya jendela lalu diulurkannya kepalanya ke luar.

   Sebentar kemudian ditariknya kembali kepalanya sambil berseru dengan keras.

   "Sialan!"

   Aku ini orang kolot.

   Aku berpendirian bahwa seorang wanita harus bersikap kewanitaan.

   Aku tak sabaran melihat gadis modern yang gila-gilaan, yang berdansa dari pagi sampai malam, yang merokok tanpa berhenti, dan menggunakan bahasa yang akan membuat seorang wanita nelayan tersipu-sipu! Maka aku mengangkat mukaku dengan agak mengerutkan dahiku.

   Terpandang olehku seraut wajah cantik yang menantang tanpa malu.

   Dia memakai topi kecil yang molek berwarna merah.

   Seuntai rambut ikal yang berwarna hitam menutupi kedua belah telinganya.

   Menurut perkiraanku, umurnya baru tujuh belas tahun lebih sedikit.

   Tanpa malu-malu dia membalas pandanganku, lalu meringis.

   "Aduhai, kita telah membuat Bapak yang baik hati itu terkejut!"

   Katanya pada seseorang yang sebenarnya tak ada.

   "Maafkan bahasa saya yang buruk! Sangat tak pantas bagi seorang wanita terhormat, saya tahu itu, tapi saya punya alasan untuk itu! Saya telah kehilangan satu-satunya saudara perempuan saya."

   "Begitukah?"

   Kataku dengan sopan.

   "Malang benar Anda."

   "Beliau tak suka!"

   Kata wanita itu.

   "Beliau benar-benar tak suka -padaku dan pada saudara perempuanku. Sungguh tak adil untuk tidak menyukai kakakku itu, karena beliau belum melihatnya!"

   Aku membuka mulutku, tetapi dia sudah mendahuluiku.

   "Tak usah berkata apa-apa! Tak seorang pun suka pada saya! Biarlah saya menelan kekecewaan ini! Saya memang tak beres!"

   Dia menyembunyikan dirinya di balik sebuah surat kabar komik berbahasa Prancis yang besar.

   Sebentar kemudian kulihat matanya mengintip padaku dari tepi atas surat kabar itu.

   Aku tak dapat menahan senyumku.

   Dia langsung melemparkan surat kabar itu, lalu tertawa ceria.

   "Saya sudah menduga bahwa Anda tidaklah segoblok yang saya sangka semula,"

   Katanya berseru.

   Tawanya menulari diriku, dan mau tak mau aku ikut-ikutan, meskipun aku tak senang mendengar kata 'goblok' tadi.

   Gadis itu benar-benar tipe gadis yang paling tak kusukai, tapi tak ada alasan mengapa aku lalu harus bersikap tak wajar.

   Aku mau mengalah.

   Apalagi dia benar-benar cantik.

   "Nah! Sekarang kita bersahabat!"

   Kata gadis nakal itu.

   "Katakan bahwa Anda kasihan pada kakakku tadi -"

   "Aku kasihan!"

   "Begitu sebaiknya!"

   "Aku belum selesai. Aku ingin menambahkan bahwa meskipun aku kasihan padanya, aku sama sekali tidak keberatan dia tak hadir di sini."

   Aku agak membungkuk. Tetapi wanita yang aneh itu mengerutkan alis matanya lalu menggeleng.

   "Jangan begitu. Aku lebih suka sikap 'tak suka yang terselubung' seperti tadi itu. Bukan main wajahmu tadi! Wajah itu seolah-olah berkata, 'Dia bukan orang yang pantas masuk golonganku.' Dan kau memang benar -meskipun, ingat baik-baik, zaman sekarang ini sukar kita membedakannya. Tak semua orang bisa membedakan antara seorang wanita setan dan seorang wanita bangsawan. Nah, mungkin aku telah membuatmu terkejut lagi! Kau kelihatannya berpendirian kolot. Tapi biarlah. Dunia bahkan akan lebih baik kalau ada beberapa orang lagi seperti kau. Aku benci sekali pada laki-laki yang tak sopan. Aku jadi marah dibuatnya."

   Dia menggeleng kuat-kuat.

   "Bagaimana kau kalau sedang marah, ya?"

   Tanyaku dengan tersenyum.

   "Aku jadi benar-benar seperti setan! Tak peduli aku apa yang kukatakan dan apa yang kulakukan! Aku pernah hampir membunuh seorang laki-laki. Ya, sungguh. Dia memang pantas dibunuh. Aku ini berdarah Itali. Aku kuatir, suatu hari kelak, aku akan mengalami kesulitan."

   "Pokoknya, jangan marah padaku,"

   Pintaku.

   "Tidak akan. Aku suka padamu -sudah sejak pertama kali aku melihatmu. Tapi kau kelihatan benci sekali, hingga kupikir kita tidak akan pernah bisa bersahabat."

   "Nyatanya, kita sekarang sudah bersahabat. Ceritakan sesuatu tentang dirimu."

   "Aku seorang aktris. Bukan -bukan aktris seperti yang kaubayangkan, yang makan siang di Hotel Savoy dengan bertaburkan perhiasan, dan yang fotonya terpampang di setiap surat kabar dan mengatakan bahwa mereka sangat menyukai krem muka buatan Nyonya Anu. Aku berada di atas pentas sejak aku berumur enam tahun -kerjaku jempalitan."

   "Apa katamu?"

   Tanyaku heran.

   "Tak pernahkah kau melihat akrobat-akrobat cilik?"

   "Oh itu, aku mengerti."

   "Aku lahir di Amerika, tapi sebagian besar dari hidupku kuhabiskan di Inggris. Sekarang kami sedang mengadakan pertunjukan baru -"

   "Kami?"

   "Kakakku dan aku. Pertunjukan kami adalah semacam tari dan nyanyi, main sulap sedikit, dan dicampur pula dengan pertunjukan model lama. Penonton selalu suka pertunjukan macam itu. Lagi pula mendatangkan uang -"

   Kenalan baruku itu duduk dengan agak membungkuk, lalu bercerita dengan panjang lebar dengan menggunakan istilah-istilah yang kebanyakan tak dapat kumengerti.

   Namun aku merasa makin menaruh perhatian padanya.

   Dia merupakan campuran yang aneh antara kanak-kanak dan wanita dewasa.

   Meskipun dia kelihatan benar-benar banyak tahu mengenai dunia, dan seperti dikatakannya sendiri, mampu menjaga dirinya sendiri, namun ada suatu ketulusan yang aneh dalam sikapnya menghadapi kehidupan, serta keyakinannya yang penuh untuk 'berbuat baik'.

   Bayangan dunia yang tak kukenal itu punya daya tarik terhadap diriku, dan aku suka melihat wajah kecilnya yang hidup dan berapi-api bila sedang berbicara.

   Kami melewati Amiens.

   Nama itu menimbulkan kenangan lama.

   Temanku itu rupanya punya naluri yang memungkinkannya mengetahui apa yang ada dalam benakku.

   "Kau sedang teringat akan perang, rupanya?"

   Aku mengangguk.

   "Kurasa kau terlibat dalam peperangan itu, ya?"

   "Benar-benar terlibat. Aku luka dan aku jadi cacat. Aku menjabat pekerjaan setengah tentara. Sekarang aku menjadi sekretaris pribadi seorang anggota Parlemen."

   "Bukan main! Itu pekerjaan orang pintar!"

   "Bukan. Sebenarnya sedikit sekali yang harus dikerjakan. Biasanya dalam beberapa jam sehari saja aku sudah bisa menyelesaikan pekerjaanku. Pekerjaan itu juga membosankan. Terus terang, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bila tak ada sesuatu tempatku mengalihkan pikiranku."

   "Mudah-mudahan saja pekerjaan sampinganmu itu bukan mengumpulkan serangga!"

   "Tidak. Aku tinggal sekamar bersama seorang pria yang menarik. Dia berkebangsaan Belgia -seorang bekas detektif. Dia sekarang menetap di London sebagai detektif swasta, dan usahanya maju sekali. Dia seorang pria kecil yang benar-benar luar biasa. Sering-sering dia membuktikan dirinya benar padahal polisi yang bertugas mengalami kegagalan."

   Teman seperjalananku itu mendengarkan dengan mata lebar.

   "Menarik sekali. Aku suka sekali akan kejahatan. Aku selalu nonton film-film misteri. Dan bila ada berita pembunuhan, kulahap berita dalam surat kabar itu."

   "Apakah kau ingat 'Peristiwa Styles'?"

   Tanyaku.

   "Coba kuingat-ingat dulu. Bukankah peristiwa mengenai wanita tua yang diracun itu? Di suatu tempat di Essex?"

   Aku mengangguk.

   "Itulah perkara besar yang pertama yang diselesaikan oleh Poirot. Kalau bukan karena dia, pembunuhnya pasti sudah bebas lepas. Itu memang suatu karya detektif yang hebat."

   Karena sudah mulai dengan bahan itu, aku terus menceritakan tentang peristiwa itu, sampai pada penyelesaiannya yang gemilang yang tak disangka-sangka.

   Gadis itu mendengarkan dengan terpesona.

   Kami berdua bahkan demikian asyiknya, hingga tanpa kami sadari, kereta sudah masuk ke stasiun Calais.

   "Astaga!"

   Seru temanku itu.

   "Mana kotak bedakku, ya?"

   Dia lalu membedaki wajahnya, kemudian memoles bibirnya, sambil melihat hasilnya di cermin saku yang kecil. Setelah selesai, dia tersenyum puas, lalu menyimpan cermin dan kotak alat-alat kecantikannya ke dalam tasnya.

   "Sekarang lebih baik,"

   Katanya.

   "Menjaga penampilan itu cukup melelahkan, tapi bila seorang gadis punya harga diri, dia tak boleh membiarkan dirinya acak-acakan."

   Aku berurusan dengan beberapa orang pekerja stasiun, lalu kami turun ke peron. Temanku itu mengulurkan tangannya.

   "Selamat berpisah, lain kali aku akan menggunakan bahasa yang baik."

   "Ah, tapi aku kan boleh mengawasimu di kapal nanti?"

   "Mungkin aku tidak akan berada di kapal. Aku harus melihat apakah kakakku ternyata naik kereta itu juga tadi. Tapi terima kasih."

   "Ah, tapi bukankah kita masih akan bertemu? Aku -", aku ragu.

   "Aku ingin bertemu dengan kakakmu."

   Kami berdua tertawa.

   "Kau baik. Akan kusampaikan padanya apa yang telah kaukatakan. Tapi kurasa kita tidak akan bertemu lagi. Kau baik sekali selama dalam perjalanan, terutama karena aku telah begitu tak sopan terhadapmu. Tapi apa yang terungkap di wajahmu mula-mula tadi itu memang benar. Aku memang bukan seseorang dari golonganmu. Dan itu akan menimbulkan kesulitan -aku tahu betul itu."

   Wajahnya berubah. Sesaat semua keceriaannya sirna. Wajah itu membayangkan amarah -dan dendam.

   "Jadi, selamat berpisah,"

   Katanya akhirnya dengan nada yang lebih ringan.

   "Tidakkah kau akan memberitahukan namamu padaku?"

   Tanyaku waktu dia berbalik. Dia menoleh ke arahku. Terlihat lesung pipit di kedua belah pipinya. Dia tak ubahnya suatu lukisan indah.

   "Cinderella,"

   Katanya, lalu tertawa.

   Aku sama sekali tak menyangka kapan dan dengan cara bagaimana aku akan bertemu lagi dengan Cinderella.

   Bab PERMINTAAN TOLONG PUKUL sembilan lewat lima menit esok paginya aku memasuki ruang tamu yang kami pakai bersama untuk sarapan.

   Sahabatku Poirot, yang sebagaimana biasanya selalu tepat pada waktunya, sedang mengetuk-ngetuk kulit telurnya yang kedua.

   Wajahnya berseri-seri waktu aku masuk.

   "Kau pasti tidur nyenyak, ya? Sudahkah kau pulih dari perjalanan penyeberangan yang melelahkan itu? Sungguh hebat, kau datang hampir pada waktunya pagi ini. Maaf, tapi letak dasimu tak simetris. Mari kubetulkan."

   Aku sudah pernah melukiskan diri Hercule Poirot.

   Seorang pria kecil yang luar biasa! Tingginya satu meter enam puluh, kepalanya berbentuk telur, yang selalu agak dimiringkannya, matanya bersinar hijau bila ada sesuatu yang mendebarkannya, kumisnya kaku seperti kumis tentara, sikapnya selalu anggun! Penampilannya apik dan perlente.

   Dia mempunyai perhatian yang besar sekali mengenai kerapian.

   Bila melihat letak suatu barang perhiasan tak benar, atau setitik debu, atau letak pakaian seseorang agak mengganggu penglihatan, pria kecil itu akan merasa tersiksa.

   Perasaan tersiksa itu baru akan hilang bila dia bisa memperbaiki hal itu.

   Dia mendewakan 'Aturan' dan 'Teori'.

   Dia selalu meremehkan barang bukti yang nyata, seperti bekas tapak kaki dan abu rokok, dan berpendapat bahwa barang-barang itu tidak akan pernah memungkinkan seorang detektif menyelesaikan suatu masalah.

   Maka dengan tenang sekali dia akan mengetuk kepalanya yang berbentuk telur itu, dan berkata dengan penuh keyakinan.

   "Pekerjaan yang sebenar-benar pekerjaan, dikerjakan dari dalam sini. Oleh sel-sel kecil yang berwarna abu-abu di sini ini -ingat selalu, sel-sel kecil berwarna abu-abu, mon ami!"

   Aku duduk di tempatku, lalu untuk menjawab kata-kata sambutannya tadi, aku berkata sambil lalu, bahwa penyeberangan laut dari Calais ke Dover yang hanya satu jam itu tak dapat dikatakan 'melelahkan'.

   Poirot menggoyang-goyangkan sendok telurnya kuat-kuat dalam membantah kata-kataku itu.

   "Sama sekali tidak benar! Bila dalam waktu satu jam itu seseorang mengalami suatu sensasi dan emosi yang sangat menyakitkan, maka orang itu akan menghayatinya selama berjam-jam! Bukankah salah seorang penyair Inggris sendiri pernah menulis, bahwa waktu itu tidak dihitung dengan jam, melainkan dengan detak jantung?"

   "Tapi kurasa bahwa yang dimaksud oleh Browning, sang penyair, adalah sesuatu yang lebih romantis daripada mabuk laut."

   "Karena dia adalah seorang Inggris, seorang dari kepulauan yang menganggap Spanyol itu bukan apa-apa. Ah, kalian orang-orang Inggris ini! Kami lain!"

   Dia tiba-tiba menjadi tegang lalu menunjuk ke tempat roti dengan dramatis.

   "Ah, itu lagi, bagus benar!"

   Serunya.

   "Ada apa?"

   "Insan roti itu. Adakah kaulihat?"

   Diambilnya potongan roti dari tempatnya, lalu diangkatnya supaya kulihat.

   "Segi empatkah ini? Tidak. Segi tigakah? Juga tidak. Ataukah bulat? Lagi-lagi tidak. Apakah bentuknya membuat enak mata memandang barang sedikit saja? Simetri apa yang kita lihat di sini? Sama sekali tak ada."

   "Roti adalah potongan dari sebatang roti, Poirot,"

   Aku menjelaskan untuk menyenangkan hatinya. Poirot memandangiku dengan murung.

   "Bagaimana kecerdasan sahabatku Hastings ini!"

   Serunya dengan mencemooh.

   "Tidakkah kau mengerti bahwa aku sudah melarang membeli roti seperti ini -roti yang sembarangan saja dan tak tentu bentuknya. Sebenarnya tak boleh ada seorang pun tukang roti yang sudi membuatnya!"

   Aku berusaha untuk mengalihkan pikirannya.

   "Adakah sesuatu yang menarik yang datang melalui pos?"

   Poirot menggeleng dengan sikap tak senang.

   "Aku belum memeriksa surat-suratku, tapi kurasa tak ada yang menarik hari ini. Penjahat-penjahat besar, penjahat-penjahat yang bekerja memakai teori, tak ada lagi. Perkara-perkara yang harus kutangani akhir-akhir ini, sangat tak berarti. Kedudukanku sekarang ini sebenarnya sudah merosot menjadi tukang mencari anjing-anjing kesayangan untuk para wanita terkemuka! Perkara terakhir yang agak menarik adalah perkara kecil yang rumit mengenai berlian Yardley itu, padahal itu -sudah berapa bulan yang lalu, Sahabatku?"

   Dia menggeleng dengan murung.

   "Besarkan hatimu, Poirot, nasib akan berubah. Bukalah surat-suratmu. Siapa tahu mungkin akan muncul suatu perkara besar."

   Poirot tersenyum, lalu mengambil pisau kecil pembuka amplop yang selalu dipakainya untuk membuka surat-suratnya, dan dipotongnya bagian atas dari beberapa buah amplop yang terletak di dekat piringnya.

   "Surat tagihan. Surat tagihan lagi. Suatu bukti bahwa dalam usia tua ini aku telah menjadi pemboros. Nah, sepucuk surat dari Japp."

   "Ya?"

   Aku memasang telingaku. Inspektur dari Scotland Yard itu telah berulang kali menawarkan kepada kami perkara yang menarik.

   "Dia hanya mengucapkan terima kasih padaku (dengan caranya sendiri), atas bantuan kecilku dalam Perkara Aberystwyth, karena waktu itu aku telah memberinya petunjuk yang benar. Aku senang sudah membantunya."

   "Bagaimana dia mengucapkan terima kasihnya?"

   Tanyaku ingin tahu, karena aku tahu siapa Japp itu.

   "Dia cukup baik. mengatakan bahwa aku masih hebat dalam usiaku yang sudah begini, dan bahwa dia senang telah mendapatkan kesempatan untuk menyertakan aku dalam perkara itu."

   Itu memang ciri khas Japp, hingga aku tak bisa menahan tawaku. Poirot terus membaca surat-suratnya dengan tenang.

   "Ini ada suatu usul supaya aku memberikan ceramah pada perkumpulan Pramuka setempat. Countess Forfanock akan merasa mendapatkan kehormatan bila aku mau mengunjunginya. Pasti aku akan disuruhnya mencari anjing kesayangannya lagi! Nah, ini yang terakhir. Nah -"

   Aku segera mendengar perubahan nada bicaranya, lalu mengangkat mukaku. Poirot sedang membaca dengan penuh perhatian. Sebentar kemudian dilemparkannya kertas surat itu padaku.

   "Yang ini luar biasa, mon ami. Coba baca sendiri."

   Surat itu ditulis di atas kertas buatan luar negeri, ditulis tangan dengan huruf besar-besar.

   Villa GeneviEve Merlinville-sur-Mer Prancis Tuan yang terhormat.

   Saya memerlukan bantuan seorang detektif, dan dengan alasan yang nanti akan saya katakan pada Anda, saya tak ingin meminta bantuan polisi.

   Saya telah banyak mendengar tentang Anda dari beberapa sumber.

   Semua laporan menunjukkan bahwa Anda tidak saja punya kemampuan besar, tetapi juga orang yang amat pandai menyimpan rahasia.

   Saya tak dapat menceritakan apa-apa secara terperinci, karena pos tidak dapat dipercaya, tetapi karena rahasia yang ada dalam tangan saya, setiap hari saya merasa ketakutan.

   Saya yakin bahwa bahaya itu benar-benar mengancam, dan oleh karenanya saya mohon agar Anda secepat mungkin menyeberang ke Prancis.

   Saya akan mengirim mobil untuk menjemput Anda di Calais bila Anda mengirim telegram kapan Anda akan tiba.

   Saya akan berterima kasih sekali bila Anda mau melepaskan semua perkara yang sedang Anda tangani, dan memusatkan seluruh perhatian Anda untuk kepentingan saya.

   Saya bersedia membayar semua ganti ruginya.

   Mungkin saya akan membutuhkan tenaga Anda untuk waktu yang agak lama, karena mungkin Anda akan perlu pergi ke Santiago, di mana saya pernah tinggal beberapa lamanya.

   Saya akan senang bila Anda mau menyebutkan berapa imbalan yang Anda minta.

   Saya tekankan sekali lagi bahwa soal ini mendesak.

   Hormat saya.

   P.T.

   Renauld Di bawah tanda tangan itu tertulis sebaris kata-kata yang dicantumkan dengan tergesa-gesa, sehingga hampir tak terbaca.

   Demi Tuhan, datanglah! Surat itu kukembalikan pada Poirot dengan jantung berdebar.

   "Akhirnya datang!"

   Kataku.

   "Inilah sesuatu yang jelas lain dari biasanya."

   "Memang,"

   Kata Poirot sambil merenung.

   "Kau tentu akan pergi, bukan?"

   Lanjutku. Poirot mengangguk. Dia sedang berpikir dalam sekali. Akhirnya dia rupanya telah mengambil keputusan, lalu mendongak melihat jam. Wajahnya serius.

   "Dengar, Sahabat, kita tak boleh membuang waktu. Kereta api ekspres Continental berangkat dan stasiun Victoria pukul sebelas. Jangan bingung. Kita masih sempat berunding selama sepuluh menit. Kau tentu ikut aku, bukan?"

   "Yaaah -"

   "Kau sendiri berkata bahwa majikanmu tidak akan membutuhkan tenagamu selama beberapa minggu ini."

   "Memang benar. Tapi Tuan Renauld ini menekankan dengan tegas bahwa urusannya bersifat pribadi sekali."

   "Alaa, aku bisa menangani Tuan Renauld. Omong-omong, rasanya aku pernah mendengar nama itu."

   "Ada seorang jutawan di Amerika Selatan. Namanya Renauld, meskipun kupikir dia orang Inggris asli. Aku tak tahu apakah dia orangnya."

   "Pasti dia. Itu sebabnya ada disebut-sebutnya tentang Santiago. Santiago itu terletak di Chili, dan Chili ada di Amerika Selatan! Nah, kita telah membuat kemajuan yang baik."

   "Wah, wah, Poirot,"

   Kataku dengan lebih berdebar.

   "aku sudah bisa mencium bau uang banyak dalam perkara ini. Bila kita berhasil, kita akan kaya!"

   "Jangan terlalu berharap, Teman. Seorang kaya tak begitu mudah mau berpisah dari uangnya. Aku pernah melihat seorang jutawan terkenal, yang mengerahkan orang satu trem penuh hanya untuk mencarikan uangnya setengah penny yang jatuh."

   Aku mengakui kebenaran kata-kata itu.

   "Bagaimanapun juga,"

   Poirot melanjutkan.

   "bukan uangnya yang menarik bagiku dalam hal ini. Memang akan menyenangkan bila kita diberi kuasa penuh dalam pengeluaran uang dalam penyelidikan kita. Dengan demikian kita bisa yakin bahwa kerja kita tidak akan terlalu banyak menyita waktu. Tapi kadang-kadang dalam perkara yang menarik perhatianku, soal itu sulit. Adakah kaulihat tambahan yang di bawah itu? Bagaimana kesanmu?"

   Aku mempertimbangkannya.

   "Jelas bahwa waktu dia menulis surat itu dia menguasai dirinya, tetapi pada akhirnya dia kehilangan penguasaan dirinya, dan dengan dorongan hati yang tak terkendalikan, ditulisnyalah ketiga kata itu."

   Tetapi sahabatku itu menggeleng kuat-kuat.

   "Kau keliru. Tidakkah kaulihat bahwa tinta untuk tanda tangannya hampir hitam warnanya, sedang tinta untuk tambahan itu pucat sekali?"

   "Lalu?"

   Tanyaku heran.

   "Ya, Tuhan, mon ami, gunakan sel-sel kecil kelabumu! Apakah kurang jelas? Tuan Renauld menulis surat ini. Tanpa mengeringkan tintanya, dia membacanya lagi dengan saksama. Kemudian, bukan hanya terdorong, melainkan dengan sengaja, ditambahkannya kata-kata yang terakhir itu, lalu mengeringkannya?"

   "Mengapa?"

   "Parbleu! Supaya bisa memberikan kesan atas diriku, sebagaimana kau telah terkesan."

   "Apa?"

   "Mais, oui -supaya aku benar-benar datang! Dibacanya lagi suratnya itu, lalu dia merasa tak puas. Surat itu dirasanya tak cukup kuat!"

   Dia berhenti, lalu menambahkan perlahan-lahan dengan mata yang bersinar hijau yang selalu menandakan gejolak hatinya.

   "Maka, mon ami, karena kata-kata tambahan itu ditambahkan bukan karena dorongan hati, melainkan dengan kesadaran, dengan darah tenang, itu menandakan betapa mendesaknya perkara itu, dan kita harus mendatanginya secepat mungkin."

   "Merlinville,"

   Gumamku sambil merenung.

   "Kurasa aku pernah mendengar nama itu."

   Poirot mengangguk.

   "Itu suatu tempat kecil yang tenang -tapi itu tak penting! Letaknya kira-kira di pertengahan antara Boulogne dan Calais. Yah, begitulah kebiasaan golongan tertentu. Orang-orang Inggris kaya yang ingin hidup tenang. Tuan Renauld pasti punya rumah di Inggris, ya?"

   "Ya, seingatku, di Rutland Gate. Ada sebuah lagi rumah besar di pedesaan, di suatu tempat di Hertfordshire. Tapi sedikit sekali yang kuketahui tentang dia; kegiatan sosialnya tak banyak. Kalau tak salah dia punya perusahaan besar yang berpusat di Amerika Selatan, di London, dan dia lama tinggal di Chili dan di Argentina."

   "Pokoknya, kita akan mendengar semuanya secara terperinci dari orangnya sendiri. Ayo kita berkemas. Masing-masing cukup sebuah kopor kecil, lalu kita naik taksi ke stasiun Victoria."

   "Bagaimana dengan Countess tadi?"

   Tanyaku dengan tersenyum.

   "Ah! Aku lak peduli! Perkaranya pasti tak menarik."

   "Mengapa kau begitu yakin?"

   "Karena kalau memang penting dia pasti datang, bukannya hanya menulis surat. Seorang wanita tak sabar menunggu -ingat selalu itu, Hastings."

   Pukul sebelas kami berangkat dari Victoria menuju ke Dover. Sebelum berangkat, Poirot mengirimkan sepucuk telegram pada Tuan Renauld, memberitahukan pukul berapa kami akan tiba di Calais.

   "Aku heran mengapa kau tidak menyiapkan obat mabuk laut, Poirot,"

   Kataku menggodanya, sebab aku ingat percakapan kami waktu sarapan tadi. Sahabatku yang sedang mengamat-amati cuaca dengan penuh perhatian itu, menoleh padaku dengan pandangan marah.

   "Apakah kau sudah lupa akan cara ajaran Laverguier yang begitu ampuh itu? Aku selalu mempraktekkan ajarannya itu. Ingat, kita menjaga kebimbangan diri kita dengan menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, sambil menghirup dan menghembuskan napas, dengan menghitung enam setiap kali sebelum menarik napas."

   "Hm,"

   Kataku dengan tenang.

   "Kau sudah akan terlalu letih menjaga keseimbangan badanmu dan menghitung enam waktu tiba di Santiago, atau Buenos Ayres, atau ke negara mana pun yang kautuju."

   "Pikirkan apa itu! Apa kausangka aku akan pergi ke Santiago?"

   "Bukankah Tuan Renauld menyebutnya dalam suratnya?"

   "Dia tak tahu cara kerja Hercule Poirot. Aku tak mau berlari hilir-mudik, bepergian dan meletihkan diriku. Pekerjaanku dilaksanakan dari dalam -sini -"

   Katanya sambil mengetuk-ngetuk dahinya. Sebagaimana biasa, pernyataan itu menimbulkan keinginanku untuk menentang.

   "Boleh saja, Poirot, tapi kurasa kau punya kebiasaan terlalu membenci hal-hal tertentu. Nyatanya suatu bekas sidik jari kadang-kadang bisa berakibat tertangkapnya dan terhukumnya seorang pembunuh."

   "Dan pasti, juga telah menyebabkan seseorang yang tak bersalah digantung,"

   Kata Poirot datar.

   "Tapi pengetahuan tentang sidik jari dan bekas tapak kaki, macam-macam jenis lumpur, dan petunjuk-petunjuk lain yang tercakup dalam penyelidikan terperinci sampai sekecil-kecilnya -semuanya itu tentu amat penting, bukan?"

   "Tentu. Aku tak pernah membantah hal itu. Seorang penyelidik yang terlatih, seorang ahli, tentulah amat berguna! Tapi yang lain-lain, orang-orang seperti Hercule Poirot. adalah lebih dari para ahli itu! Bagi mereka, para ahli itu memberikan petunjuk-petunjuk nyata. Pekerjaan mereka adalah memikirkan cara kerja kejahatan itu, uraian yang masuk akal, urut-urutan kerja yang tepat serta susunan kenyataan-kenyataannya; dan di atas segalanya inti psikologis perkara itu. Kau tentu pernah berburu rubah, ya?"

   "Kadang-kadang aku berburu,"

   Kataku, agak kebingungan oleh perubahan bahan pembicaraan yang tiba-tiba itu.

   "Mengapa?"

   "Eh bien, dalam berburu itu kau membutuhkan anjing, bukan?"

   "Anjing pemburu,"

   Aku menambahkan dengan halus.

   "Ya, tentu."

   "Tapi,"

   Poirot mengacung-acungkan jarinya padaku.

   "kau tentu tidak turun dari kudamu dan berlari-lari di tanah sambil mengendus-endus tanah dengan hidungmu dan berseru nyaring-nyaring Ow-ow?"

   Tanpa kusadari aku tertawa terbahak. Poirot mengangguk puas.

   "Jadi kaubiarkan anjing pemburu itu melakukan pekerjaannya sebagai anjing, bukan? Lalu mengapa kausuruh aku, Hercule Poirot, merendahkan diriku dengan merangkak (mungkin di rumput yang lembab), hanya untuk mempelajari bekas jejak kaki yang mencurigakan? Ingat misteri di Kereta Ekspres Plymouth. Si Japp yang baik itu pergi untuk mengadakan pemeriksaan di jalan kereta api itu. Waktu dia kembali, aku, yang sama sekali tidak beranjak dari apartemenku, bisa mengatakan padanya dengan tepat, apa yang telah ditemukannya di sana."

   "Jadi kau berpendapat bahwa Japp telah membuang-buang waktunya?"

   "Sama sekali tidak, karena hasil pemeriksaannya membuktikan kebenaran teoriku. Tapi kalau aku yang harus pergi, itu berarti pemborosan waktu. Demikian pula halnya dengan apa yang dinamakan ahli-ahli itu. Ingat kesaksian tulisan tangan dalam Perkara Cavendish itu. Berdasarkan tanya-jawab pembela, dinyatakan adanya persamaan tulisan tangan, tapi terdakwa membawa bukti yang menunjukkan ketidaksamaannya. Semua bahasanya bersifat teknis. Dan hasilnya? Apa yang memang sudah kita ketahui sejak semula. Tulisannya sama benar dengan tulisan John Cavendish. Dan pikiran kita dihadapkan pada pertanyaan 'Mengapa?' Apakah karena tulisan itu memang tulisannya sendiri? Ataukah karena seseorang ingin agar kita menyangka demikian? Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mon ami, dan jawabanku tepat."

   Dan Poirot yang telah berhasil membuatku terdiam, meskipun tidak meyakinkan diriku, bersandar dengan rasa puas.

   Di kapal aku menyadari bahwa aku sebaiknya tidak mengganggu sahabatku yang sedang menyendiri itu.

   Cuaca cerah sekali, dan laut tenang, setenang air dalam kolam.

   Jadi aku tak heran waktu Poirot menyertai aku turun di Calais dengan tersenyum.

   Dikatakannya bahwa metode Laverguier sekali lagi terbukti kebenarannya.

   Tetapi kami menghadapi kekecewaan, karena tak ada mobil yang menjemput kami, Poirot menjelaskan hal itu dengan mengatakan bahwa telegramnya terlambat dikirimkan.

   "Karena kita diberi kebebasan dalam pengeluaran uang, kita sewa saja mobil,"

   Katanya ceria. Dan beberapa menit kemudian kami sudah terbanting-banting dalam sebuah mobil sewaan yang paling buruk, yang berderak-derak, menuju ke Merlinville. Semangatku sedang menggebu-gebu.

   "Bagus benar cuaca!"

   Aku berseru.

   "Ini pasti akan merupakan perjalanan yang menyenangkan."

   "Untukmu, memang. Untukku, ingat, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di akhir perjalanan ini."

   "Ah!"

   Kataku ceria.

   "Kau pasti akan menemukan segalanya, meyakinkan Tuan Renauld bahwa dia aman, kau akan mengejar calon pembunuhnya, dan semuanya akan berakhir dengan cemerlang."

   "Kau optimis sekali, Sahabatku."

   "Memang, aku begitu yakin akan keberhasilan. Bukankah kau satu-satunya Hercule Poirot?"

   Tetapi sahabat kecilku itu tidak menangkap umpanku. Dia memperhatikan diriku dengan serius.

   "Kau ini seperti peramal saja, Hastings. Itu bahkan akan merupakan alamat suatu bencana."

   "Omong kosong. Bagaimanapun juga, perasaanmu lain daripada perasaanku."

   "Memang lain, aku takut."

   "Takut apa?"

   "Entahlah. Tapi aku punya suatu firasat -entah apa!"

   Bicaranya demikian seriusnya hingga mau tak mau aku pun terkesan.

   "Aku punya perasaan,"

   Katanya lambat-lambat.

   "bahwa ini akan merupakan suatu peristiwa besar -suatu perkara yang panjang dan sulit, yang tidak akan mudah diselesaikan."

   Aku masih ingin bertanya lagi, tetapi kami sudah memasuki kota kecil Merlinville, dan pengemudi mengurangi kecepatan mobil untuk menanyakan jalan ke Villa GeneviEve.

   "Lurus saja, Tuan, memotong kota. Villa GeneviEve itu kira-kira setengah mil di sebelah ujung kota. Anda pasti bisa menemukannya. Sebuah villa besar yang menghadap ke laut."

   Kami mengucapkan terima kasih pada orang yang memberi keterangan itu, lalu meneruskan perjalanan kami, meninggalkan kota.

   Karena jalan bercabang dua, kami jadi harus berhenti lagi.

   Seorang petani sedang berjalan ke arah kami, dan kami menunggu sampai dia tiba ke dekat kami untuk menanyakan jalan lagi.

   Tepat di sisi jalan ada sebuah villa kecil, tetapi villa itu terlalu kecil dan tak terpelihara, hingga tak mungkin itu yang sedang kami cari.

   Sedang kami menunggu, pintu pagarnya terbuka dan seorang gadis keluar.

   Kini petani itu lewat di sisi kami, dan supir menjengukkan kepalanya ke luar untuk menanyakan arah.

   "Villa GeneviEve? Beberapa langkah saja lagi terus di jalan ini, lalu membelok ke kanan, Monsieur. Kalau tak ada tikungan itu, Anda pasti sudah bisa melihatnya dari sini."

   Supir mengucapkan terima kasih padanya, lalu menghidupkan mesin mobil lagi.

   Mataku melekat memandangi gadis yang masih berdiri melihat pada kami, sambil memegang pintu pagar dengan sebelah tangannya.

   Aku seorang pengagum keindahan, dan inilah suatu keindahan yang tak dapat dilewati oleh siapa pun tanpa mengatakan sesuatu.

   Dia tinggi semampai, bentuk tubuhnya seperti dewi yang muda, rambutnya yang berwarna keemasan memancar kena sinar matahari.

   Aku berani bersumpah pada diriku sendiri bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat.

   Waktu kami membelok ke jalan yang berbatu-batu, aku menoleh lagi, melihatnya.

   "Astaga, Poirot,"

   Aku berseru.

   "adakah kaulihat dewi muda itu?"

   Poirot mengangkat alisnya.

   "Nah, mulai lagi kau!"

   Gumamnya.

   "Belum-belum, kau sudah melihat dewi!"

   "Ah, sudahlah, dia memang dewi, bukan?"

   "Mungkin. Aku tak melihat kenyataan itu."

   "Masakan kau tidak melihatnya!"

   "Mon ami, jarang sekali dua orang melihat hal yang sama. Umpama saja, yang kaulihat adalah dewi. Sedang aku -"

   Dia ragu sebentar.

   "Bagaimana?"

   "Aku hanya melihat seorang gadis yang bermata penuh rasa takut,"

   Kata Poirot serius. Pada saat itu kami memasuki sebuah pintu pagar besar yang berwarna hijau, dan kami mengeluarkan kata seru serentak. Di hadapan pintu pagar itu berdiri seorang agen polisi yang tegap. Dia mengangkat tangannya menghalangi kami.

   "Tuan-tuan tak bisa lewat."

   "Tapi kami harus bertemu dengan Tuan Renauld,"

   Aku berseru.

   "Kami ada janji dengan beliau. Bukankah ini villanya?"

   "Benar, Tuan, tapi -"

   Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan.

   "Tapi apa?"

   "Tuan Renauld terbunuh pagi ini."

   Bab DI VILLA GENEVIEVE POIROT langsung melompat keluar dari mobil, matanya berapi-api karena kacau. Dicengkeramnya pundak agen polisi itu.

   "Apa kata Anda? Terbunuh? Kapan? Bagaimana?"

   Agen polisi itu membebaskan dirinya.

   "Saya tak bisa menjawab apa-apa. Tuan."

   "Tentu. Saya mengerti."

   Poirot berpikir sebentar.

   "Komisaris Polisi pasti ada di dalam, bukan?"

   "Ada, Tuan."

   Poirot mengeluarkan kartu namanya, dan menuliskan beberapa patah kata di situ.

   "VoilA! Maukah Anda berbaik hati untuk mengusahakan supaya kartu ini segera disampaikan pada Bapak Komisaris?"

   Agen itu mengambilnya, lalu bersiul sambil menoleh ke belakang.

   Dalam beberapa detik saja seorang rekannya datang.

   Kartu nama Poirot tadi diberikannya pada rekannya itu.

   Mereka harus menunggu beberapa menit.

   Lalu seseorang yang bertubuh gemuk pendek dan berkumis besar datang terburu-buru ke pintu gerbang.

   Agen polisi memberi hormat lalu menyingkir.

   "Sahabatku Poirot,"

   Seru pendatang baru itu.

   "senang sekali bertemu dengan Anda. Kedatangan Anda tepat pada waktunya."

   Wajah Poirot menjadi cerah.

   "Tuan Bex! Saya senang sekali."

   Dia berbalik padaku.

   "Ini sahabat saya. Dia orang Inggris, Kapten Hastings -Tuan Lucien Bex."

   Komisaris polisi itu dan aku sama-sama mengangguk dengan hormat, lalu Tuan Bex menoleh pada Poirot lagi.

   "Sobat lama, lama benar kita tak bertemu, sejak di Ostend itu. Saya dengar Anda sudah meninggalkan kepolisian."

   "Memang. Saya membuka perusahaan swasta di London."

   "Dan Anda katakan tadi Anda punya informasi yang bisa membantu kami?"

   "Mungkin Anda sudah tahu. Tahukah Anda bahwa saya kemari karena diminta datang?"

   "Tidak. Oleh siapa?"

   "Oleh almarhum. Agaknya dia sudah tahu bahwa sudah ada rencana pembunuhan atas dirinya. Malangnya, dia terlambat memanggil saya."

   "Sialan!"

   Seru pria Prancis itu.

   "Jadi dia sudah meramalkan pembunuhan atas dirinya sendiri? Itu menghancurkan teori kami sama sekali! Tapi mari masuk."

   Dia membuka pintu pagar lebih lebar. Dan kami lalu berjalan ke arah rumah. Tuan Bex berbicara lagi.

   "Hakim Pemeriksa, Tuan Hautet, harus segera diberi tahu tentang hal itu. Dia baru saja selesai memeriksa tempat terjadinya kejahatan, dan baru akan mulai mengadakan tanya-jawab. Dia orang baik. Anda akan menyukainya. Dia simpatik sekali. Cara kerjanya orisinal, tapi penilaiannya hebat."

   "Kapan kejahatan itu dilakukan?"

   Tanya Poirot.

   "Mayatnya ditemukan pagi ini, kira-kira pukul sembilan. Baik berdasarkan kesaksian Nyonya Renauld maupun hasil pemeriksaan dokter, dapat dikatakan bahwa dia meninggal kira-kira pukul dua pagi. Mari silakan masuk."

   Kami tiba di tangga yang menuju ke pintu depan villa itu. Dalam lorong rumah ada lagi seorang agen polisi yang sedang duduk. Melihat Komisaris, dia berdiri.

   "Di mana Tuan Hautet?"

   Tanya Komisaris.

   "Dalam ruang tamu utama, Pak."

   Tuan Bex membuka pintu di sebelah kiri lorong rumah dan kami masuk.

   Tuan Hautet dan juru tulisnya sedang duduk di sebuah meja bundar yang besar.

   Mereka mengangkat muka waktu kami masuk.

   Komisaris memperkenalkan kami dan menjelaskan kehadiran kami di situ.

   Tuan Hautet, Hakim Pemeriksa yang bertugas, adalah seorang pria jangkung yang kurus, matanya hitam dan berpandangan tajam.

   Janggutnya berwarna kelabu dan digunting rapi.

   Dia punya kebiasaan membelai-belai janggutnya itu sambil berbicara.

   Di dekat para-para perapian ada lagi seorang pria yang sudah berumur, yang pundaknya agak bungkuk.

   Dia diperkenalkan pada kami sebagai Dokter Durand.

   "Luar biasa sekali,"

   Kata Tuan Hautet, setelah mendengarkan penjelasan Komisaris.

   "Tuan membawa suratnya?"

   Poirot menyerahkan surat itu padanya, dan Hakim Pemeriksa membacanya.

   "Hm, dia menyebut-nyebut tentang suatu rahasia. Sayang sekali dia kurang berterus terang. Kami berterima kasih sekali pada Anda, Tuan Poirot. Kami akan mendapat kehormatan, bila Anda bersedia membantu kami dalam penyelidikan kami ini. Atau apakah Anda harus cepat-cepat kembali ke London?"

   "Bapak Hakim, saya bermaksud untuk tinggal di sini. Saya telah terlambat datang untuk mencegah kematian klien saya, tapi saya merasa bertanggung jawab untuk menemukan pembunuhnya."

   Hakim itu membungkuk.

   "Perasaan Anda itu sungguh terhormat. Saya juga merasa, Nyonya Renauld pasti akan meminta bantuan Anda. Kami sedang menunggu Tuan Giraud dari Markas Besar kami di Paris. Dia akan tiba setiap saat, dan saya yakin, Anda dan dia akan bisa saling memberikan bantuan dalam penyelidikan Anda. Sementara itu saya harap Anda bersedia menghadiri tanya-jawab yang akan saya lakukan. Saya rasa tak perlu saya katakan bahwa kami siap memberikan setiap bantuan yang Anda perlukan."

   "Terima kasih, Tuan. Anda tentu mengerti bahwa saya benar-benar masih dalam kegelapan. Sedikit pun saya tak tahu apa-apa."

   Tuan Hautet mengangguk pada Komisaris, dan Komisaris meneruskan bercerita.

   "Tadi pagi, waktu pelayan tua yang bernama FranCoise menuruni tangga untuk mulai bekerja, dia mendapatkan pintu depan terbuka sedikit. Seketika dia merasa ketakutan kalau-kalau telah terjadi pencurian, dan dia langsung pergi ke ruang makan untuk memeriksa. Tapi waktu dilihatnya semua barang perak di situ masih lengkap, dia tidak lagi memikirkannya, dan berkesimpulan bahwa majikannya mungkin telah bangun lebih awal, dan pergi berjalan-jalan pagi."

   "Maaf, saya menyela, Tuan, tapi apakah itu memang kebiasaannya?"

   "Tidak, tapi FranCoise itu sependapat dengan pendapat umum di sini mengenai orang-orang Inggris -bahwa mereka itu aneh, dan bisa saja melakukan sesuatu tanpa perhitungan setiap saat. Seorang pelayan lain yang lebih muda, yang bernama Leonie, yang seperti biasanya akan membangunkan nyonyanya, terkejut sekali melihat nyonyanya itu dalam keadaan tersumbat mulutnya dan terikat kaki tangannya. Lalu hampir pada saat yang bersamaan, disampaikan berita bahwa tubuh Tuan Renauld telah ditemukan, mati ditikam dari belakang."

   "Di mana?"

   "Itulah salah satu kenyataan yang paling aneh dalam perkara ini, Tuan Poirot. Tubuh itu ditemukan dalam keadaan tertelungkup, dalam sebuah liang kubur terbuka."

   "Apa?"

   "Ya. Lubang itu baru saja digali -hanya beberapa meter di luar batas tanah villa ini."

   "Dan sudah berapa lama dia meninggal?"

   Dokter Durand yang menjawab.

   "Pukul sepuluh tadi pagi saya memeriksa mayat itu. Mungkin dia sudah meninggal sekurang-kurangnya tujuh, atau bahkan sepuluh jam sebelumnya."

   "Hm, jadi tepatnya antara tengah malam dan pukul tiga subuh."

   "Benar, dan berdasarkan kesaksian Nyonya Renauld, setelah pukul dua subuh, yang dengan demikian lebih memperkecil lapangan pemeriksaan. Dia mati seketika, dan jelas tidak bunuh diri."

   Poirot mengangguk dan Komisaris melanjutkan.

   "Para pelayan yang ketakutan cepat-cepat membebaskan Nyonya Renauld dari tali yang mengikatnya. Tubuhnya lemah sekali, dan dia hampir pingsan karena kesakitan. Menurut ceritanya, dua orang bertopeng memasuki kamar tidur mereka. Orang-orang itu menyumbat mulutnya dan mengikatnya, lalu dengan paksa membawa suaminya pergi. Hal itu kami ketahui dari pelayan sebagai orang kedua. Mendengar berita menyedihkan itu, dia langsung menjadi bingung sekali. Begitu tiba, Dokter Durand langsung memberinya obat penenang, dan kami belum bisa menanyainya. Tapi dia pasti akan bangun dalam keadaan lebih tenang, dan dengan demikian akan bisa menanggung ketegangan akibat tanya-jawab nanti."

   Komisaris berhenti sebentar.

   "Bagaimana dengan para penghuni rumah ini, Tuan?"

   "Pertama-tama, FranCoise tua itu, pelayan kepala yang sudah bertahun-tahun tinggal di rumah ini, bersama pemilik Villa GeneviEve ini yang terdahulu. Kemudian ada dua orang gadis kakak-beradik, Denise dan Leonie Oulard. Rumah mereka di Merlinville, dan orang tua mereka keluarga baik-baik. Kemudian, seorang supir yang dibawa Tuan Renauld dari Inggris, tapi dia sedang pergi berlibur. Akhirnya, Nyonya Renauld dan putranya, Tuan Jack Renauld. Dia pun saat ini sedang bepergian."

   Poirot menunduk. Tuan Hautet memanggil.

   "Marchaud!"

   Agen polisi datang.

   "Bawa kemari pelayan yang bernama FranCoise."

   Agen itu memberi hormat lalu pergi. Beberapa saat kemudian dia kembali, dengan menggiring FranCoise yang ketakutan.

   "Anda bernama FranCoise Arrichet?"

   "Ya, Tuan."

   "Sudah lama Anda bekerja di Villa GeneviEve ini?"

   "Sebelas tahun saya bekerja untuk Nyonya Vicomtesse. Lalu waktu beliau menjual villa ini dalam musim semi yang lalu, saya bersedia tinggal dengan bangsawan Inggris yang membelinya. Tak pernah saya membayangkan -"

   Hakim memotong bicaranya.

   "Tentu. Tentu. Nah, FranCoise, sekarang mengenai pintu depan itu. Tugas siapakah menguncinya malam hari?"

   "Tugas saya, Tuan. Saya selalu mengerjakannya sendiri setiap malam."

   "Lalu tadi malam?"

   "Saya kunci seperti biasa."

   "Anda yakin?"

   "Saya berani bersumpah demi orang-orang suci. Tuan."

   "Pukul berapa waktu itu?"

   "Tepat pada waktu seperti biasanya, pukul setengah sebelas, Tuan."

   "Bagaimana dengan penghuni rumah lainnya, apakah mereka sudah tidur?"

   "Nyonya sudah masuk ke kamar tidurnya beberapa waktu sebelumnya. Denise dan Leonie naik ke lantai atas bersama saya. Tuan masih di kamar kerjanya."

   "Jadi, kalau kemudian ada yang membuka pintu, itu tentu Tuan Renauld sendiri?"

   FranCoise mengangkat bahunya yang lebar.

   "Untuk apa beliau melakukannya? Mengingat perampok-perampok dan pembunuh-pembunuh yang berkeliaran setiap saat! Tak mungkin! Tuan bukan orang yang bodoh. Lebih masuk akal kalau beliau membukakan pintu untuk perempuan itu pulang -"

   "Perempuan itu?"

   Sela Hakim dengan tajam.

   "Perempuan yang mana maksudmu?"

   "Tentu perempuan yang datang menemuinya."

   "Apakah ada perempuan yang datang menemuinya malam itu?"

   "Ada, Tuan -bahkan sering, malam hari."

   "Siapa dia? Tahukah kau siapa dia?"

   Pelayan itu memandang dengan pandangan berarti.

   "Bagaimana saya bisa tahu siapa dia?"

   Gerutunya.

   "Saya tidak membukakannya pintu semalam."

   "Oh, begitu!"

   Geram Hakim Pemeriksa, sambil menghantamkan tangannya ke meja.

   "Saya minta kau segera mengatakan pada kami, nama perempuan yang sering datang mengunjungi Tuan Renauld malam hari."

   "Polisi-Polisi,"

   Gerutu FranCoise.

   "Tak pernah saya menyangka bahwa saya akan terlibat dengan polisi. Tapi saya memang tahu benar siapa dia. Dia adalah Nyonya Daubreuil."

   Komisaris Polisi mengeluarkan kata seru, dan membungkukkan tubuhnya, menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.

   "Nyonya Daubreuil -dari Villa Marguerite di tepi jalan itu?"

   "Itulah yang saya katakan, Tuan. Orangnya memang cantik, huh!"

   Wanita tua itu mendongakkan kepalanya mencemooh.

   "Nyonya Daubreuil,"

   Gumam Komisaris.

   "Tak mungkin."

   "VoilA,"

   Gerutu FranCoise.

   "Itu rupanya imbalannya kalau kita berkata benar."

   "Sama sekali tidak,"

   Kata Hakim Pemeriksa membujuk.

   "Kami terperanjat, itu sebabnya. Kalau begitu Nyonya Daubreuil dan Tuan Renauld, mereka itu -"

   Dia sengaja berhenti.

   "Eh, benar-benar tak salahkah itu?"

   "Mana saya tahu? Tapi mau apa lagi? Tuan Renauld adalah seorang bangsawan Inggris -kaya pula -sedang Nyonya Daubreuil miskin -dan suka bersenang-senang, meskipun kelihatannya dia hidup begitu tenang dengan putrinya. Dia pasti punya sejarah masa lalu! Dia sudah tak muda lagi, tapi yah! Saya sering melihat kaum pria menoleh sekali lagi untuk melihatnya kalau dia sedang berjalan. Apalagi akhir-akhir ini dia sering membelanjakan banyak uang -seluruh kota sudah tahu. Hidup dengan biaya secukup-cukupnya saja, sudah tak perlu lagi dia."

   Dan FranCoise menggelengkan kepalanya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Tuan Hautet membelai-belai janggutnya sambil berpikir.

   "Dan Nyonya Renauld?"

   Tanyanya akhirnya.

   "Bagaimana dia menanggapi -persahabatan itu?"

   FranCoise mengangkat bahunya.

   "Beliau itu selalu baik hati -sangat sopan. Orang, akan cenderung mengatakan bahwa dia tidak menduga apa-apa. Tetapi, begitulah rupanya beliau menanggung deritanya. Saya perhatikan Nyonya makin hari makin pucat dan kurus. Dia tak sama lagi dengan waktu dia datang di sini sebulan yang lalu. Tuan juga sudah berubah. Agaknya beliau pun mengalami banyak kesulitan. Bisa dikatakan bahwa beliau sedang mengalami guncangan saraf. Dan saya rasa hal itu tidak mengherankan, mengingat hubungan yang sedang dijalankannya dengan cara itu. Tidak dengan cara diam-diam, bukan pula dengan sembunyi-sembunyi. Pasti itu cara orang Inggris!"

   Teranjak aku dari tempat dudukku karena marahku, tetapi Hakim Pemeriksa melanjutkan pertanyaannya, tanpa terganggu oleh kejadian-kejadian sampingan.

   "Katamu tadi Tuan Renauld membukakan pintu untuk Nyonya Daubreuil keluar? Apakah wanita itu pulang?"

   "Ya, Tuan. Saya mendengar mereka keluar dari kamar kerja. Tuan mengucapkan selamat tidur, lalu menutup pintu setelah perempuan itu keluar."

   "Pukul berapa waktu itu?"

   "Kira-kira pukul sepuluh lewat dua puluh lima menit, Tuan."

   "Tahukah kau pukul berapa Tuan Renauld pergi tidur?"

   "Saya mendengar beliau naik kira-kira sepuluh menit kemudian. Anak tangga selalu berderak-derak, hingga kita selalu tahu kalau ada yang naik atau turun."

   "Hanya itu saja? Apakah kau tidak mendengar bunyi yang mengganggu tengah malam itu?"

   "Sama sekali tidak, Tuan."

   "Siapa di antara pembantu yang pertama-tama turun pagi hari?"

   "Saya, Tuan. Saya segera melihat pintu terbuka sedikit."

   "Bagaimana dengan jendela-jendela lain di lantai bawah, apakah jendela-jendela itu semua terkunci?"

   "Semuanya terkunci, Tuan. Tak ada satu pun yang mencurigakan atau tidak pada tempatnya."

   "Baiklah, FranCoise, kau boleh pergi."

   Wanita tua itu berjalan terseret-seret ke arah pintu. Setiba di ambang pintu, dia menoleh.

   "Satu hal ingin saya katakan, Tuan. Nyonya Daubreuil itu orang jahat! Sungguh. Seorang wanita tahu benar bagaimana wanita lainnya. Dia orang jahat, harap Anda ingat itu."

   Lalu sambil menggelengkan kepalanya seperti seorang yang bijak, FranCoise meninggalkan kamar itu.

   "Leonie Oulard,"

   Hakim memanggil.

   Leonie datang dengan bercucuran air mata, bahkan hampir-hampir histeris.

   Tuan Hautet menanganinya dengan bijaksana.

   Kesaksian pelayan itu terutama berhubungan dengan ditemukannya nyonyanya dalam keadaan terikat dan mulut tersumbat.

   Hal itu diceritakannya dengan cara yang berlebihan.

   Sebagaimana FranCoise, dia pun tidak mendengar apa-apa tengah malam itu.

   Adiknya Denise menyusulnya.

   Dia membenarkan, bahwa majikannya sudah berubah akhir-akhir ini.

   "Beliau makin hari makin murung. Makannya makin kurang saja. Beliau selalu tegang."

   Tetapi Denise punya teori sendiri mengenai hal itu.

   "Pasti beliau ketakutan pada Mafia. Dua orang yang bertopeng -siapa lagi kalau bukan mereka? Mengerikan sekali masyarakat sekarang!"

   "Itu tentu mungkin,"

   Kata Hakim dengan halus.

   "Nah, sekarang, apakah kau yang membukakan pintu waktu Nyonya Daubreuil datang semalam?"

   "Semalam tidak, Tuan, tapi malam sebelumnya."

   "Tapi FranCoise tadi mengatakan bahwa Nyonya Daubreuil semalam ada di sini."

   "Tidak, Tuan. Memang ada wanita yang datang menemui Tuan Renauld semalam, tapi bukan Nyonya Daubreuil."

   Hakim terkejut dan mengatakan bahwa memang wanita itu yang datang, tapi pelayan muda itu tetap bertahan.

   Katanya, dia kenal sekali wajah Nyonya Daubreuil.

   Wanita yang datang itu memang berambut hitam juga, tetapi lebih pendek; dan jauh lebih muda, katanya.

   Tak satu pun yang bisa menggoyahkan pernyataannya itu.

   "Sudah pernahkah kau melihat wanita itu?"

   "Belum, Tuan."

   Lalu gadis itu menambahkan dengan agak ragu.

   "Tapi saya rasa dia orang Inggris."

   "Wanita Inggris?"

   "Benar, Tuan. Dia menanyakan Tuan Renauld dalam bahasa Prancis yang cukup baik, tapi logatnya -kita selalu bisa mendengarnya, bukan? Apalagi waktu mereka keluar dari kamar kerja, mereka berbicara dalam bahasa Inggris."

   "Apakah kau mendengar apa yang mereka katakan? Maksudku, apakah kau mengerti?"

   "Saya bisa berbahasa Inggris,"

   Kata Denise dengan bangga.

   "Wanita itu berbicara terlalu cepat, hingga saya tak bisa mengikuti apa yang dikatakannya, tapi saya mendengar kata-kata Tuan yang terakhir waktu beliau membukakannya pintu untuk keluar."

   Gadis itu berhenti sebentar, lalu mengulangi kata-kata majikannya dengan sangat berhati-hati dan bersusah payah.

   "Baiklah -baiklah -tapi demi Tuhan, pulanglah sekarang!"

   Hakim memperbaiki ucapan gadis itu.

   Kemudian Denise disuruhnya pergi, dan setelah berpikir sebentar dipanggilnya FranCoise kembali.

   Ditanyainya lagi wanita itu, apakah dia tak keliru dalam menentukan malam kedatangan Nyonya Daubreuil.

   Tetapi ternyata FranCoise sangat keras kepala.

   Memang benar semalamlah Nyonya Daubreuil datang.

   Tak salah lagi, dialah itu.

   Rupanya Denise ingin membuat dirinya penting, itu jelas! Maka dikarangnyalah kisah mengenai wanita asing itu.

   Dengan membanggakan pengetahuan bahasa Inggrisnya pula! Mungkin Tuan Renauld sama sekali tidak mengucapkan kalimat dalam bahasa Inggris itu, dan meskipun ada, itu tidak membuktikan apa-apa, karena pengetahuan bahasa Inggris Nyonya Daubreuil pun sempurna, dan biasa menggunakan bahasa itu kalau bercakap-cakap dengan Tuan dan Nyonya Renauld.

   "Patut Anda ketahui, Tuan Jack, putra majikan kami, yang biasanya ada di sini, bahkan bahasa Prancisnya yang buruk."

   Hakim tidak berkeras.

   Dia hanya menanyakan tentang supir, dan dijawab bahwa baru kemarin.

   Tuan Renauld menyatakan bahwa beliau mungkin tidak akan memerlukan mobil, maka sebaiknya Masters -supir itu -pergi saja berlibur.

   Alis mata Poirot kelihatan berkerut karena kebingungan.

   "Ada apa?"

   Tanyaku berbisik. Dia menggeleng dengan tak sabar, lalu bertanya.

   "Maaf, Tuan Bex, tapi Tuan Renauld pasti bisa mengemudikan mobilnya sendiri, bukan?"

   Komisaris melihat pada FranCoise, dan wanita tua itu segera menyahut.

   "Tidak, Tuan tidak mengemudikan sendiri."

   Kerut di dahi Poirot makin mendalam.

   "Sebenarnya lebih baik kauceritakan padaku apa yang menyusahkanmu,"

   Kataku tak sabar.

   "Tidakkah kau mengerti? Dalam suratnya Tuan Renauld mengatakan bahwa dia akan mengirim mobilnya ke Calais untuk menjemputku."

   "Mungkin maksudnya sebuah mobil sewaan,"

   Kataku.

   "Pasti begitu. Tapi mengapa harus menyewa mobil kalau dia mempunyai mobil sendiri? Mengapa memilih kemarin untuk menyuruh supirnya pergi berlibur -dengan tiba-tiba pula lagi? Mungkinkah alasannya karena dia menginginkan supir itu tidak berada di tempat waktu kita tiba?"

   Bab SURAT YANG BERTANDA TANGAN 'BELLA' FRANCOISE meninggalkan ruangan. Hakim mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil merenung.

   "Tuan Bex,"

   Katanya akhirnya.

   "kita menghadapi dua kesaksian yang berlawanan. Yang mana yang harus kita percayai, kesaksian FranCoise atau Denise?"

   "Denise,"

   Kata Komisaris dengan pasti.

   "Dialah yang membukakan pintu waktu tamu itu datang. FranCoise sudah tua dan keras kepala, dan jelas bahwa dia tak suka pada Nyonya Daubreuil. Apalagi kita sudah boleh berkesimpulan bahwa Tuan Renauld berhubungan dengan seorang wanita lain."

   "Tiens!"

   Seru Tuan Hautet.

   "Lupa kita memberitahukan hal itu pada Tuan Poirot."

   Dia mencari-cari di antara kertas-kertas yang ada di atas meja, lalu memberikan kertas yang dicarinya itu pada sahabatku.

   "Tuan Poirot, surat ini kami temukan dalam saku mantel almarhum."

   Poirot mengambilnya lalu membuka lipatannya.

   Kertasnya sudah agak lusuh dan kusut, dan ditulis dalam bahasa Inggris dengan tulisan tangan yang kurang bagus.

   Kekasihku, Mengapa sudah lama kau tidak menulis surat? Kau masih cinta padaku, bukan? Surat-suratmu akhir-akhir ini lain sekali, dingin dan aneh, dan sekarang lama tak kunjung tiba.

   Aku jadi takut.

   Takut kalau-kalau kau tidak lagi mencintai aku! Tapi itu tak mungkin -alangkah bodohnya aku -selalu membayangkan yang bukan-bukan! Tapi kalau kau memang tak lagi cinta padaku, tak tahulah aku apa yang harus kulakukan -mungkin aku akan membunuh diri! Aku tak bisa hidup tanpa kau.

   Kadang-kadang kubayangkan mungkin ada wanita lain.

   Suruhlah dia berhati-hati, awas dia -dan kau juga! Lebih baik kubunuh kau daripada membiarkan kau dimilikinya! Aku bersungguh-sungguh.

   Nah, aku menulis yang tidak-tidak lagi.

   Kau cinta padaku, dan aku cinta padamu -ya, cinta sekali padamu.

   Aku yang memujamu seorang, Bella Tak ada alamat, tak ada tanggal.

   Poirot mengembalikannya dengan wajah serius.

   "Lalu apa kesimpulannya, Tuan Hakim -?"

   Hakim Pemeriksa mengangkat bahunya.

   "Agaknya Tuan Renauld terlibat cinta dengan wanita Inggris ini -Bella. Dia menyeberang kemari, bertemu dengan Nyonya Daubreuil, dan mulai mengadakan hubungan dengannya. Cinta Renauld terhadap wanita Inggris itu mulai mendingin, dan wanita itu langsung mencurigai sesuatu. Surat ini jelas mengandung ancaman. Tuan Poirot, pada pandangan pertama perkara ini kelihatannya sederhana sekali. Rasa cemburu! Bahwa Tuan Renauld ternyata ditikam dari belakang, jelas menunjukkan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh seorang wanita."

   Poirot mengangguk.

   "Tikaman di punggung, memang benar -tapi tidak demikian dengan liang kubur itu! Itu pekerjaan berat -tak ada wanita yang sanggup menggali kubur, Tuan. Itu pekerjaan laki-laki."

   Komisaris berseru nyaring.

   "Benar, benar. Anda memang benar. Kami tadi tidak memikirkannya."

   "Seperti saya katakan tadi,"

   Sambung Tuan Hautet.

   "pada pandangan pertama perkara ini kelihatan sederhana, tapi laki-laki yang berkedok itu, dan surat yang Anda terima dari Tuan Renauld membuat persoalannya menjadi rumit. Agaknya kita dihadapkan pada keadaan-keadaan yang benar-benar berlainan, yang sama sekali tak ada hubungannya satu dengan yang lain. Mengenai surat yang dikirimkannya pada Anda, apakah menurut Anda mungkin menunjuk pada Belia dengan ancamannya itu?"

   Poirot menggeleng.

   "Saya rasa tidak. Seorang pria seperti Tuan Renauld, yang telah menjalani hidup penuh petualangan di tempat-tempat yang jauh, tak mungkin meminta perlindungan dalam menghadapi seorang wanita."

   Hakim Pemeriksa mengangguk membenarkan.

   "Tepat benar dengan pandangan saya. Jadi kita harus mencari keterangan tentang surat itu -"

   "Di Santiago,"

   Kata Komisaris menyambung.

   "Saya akan segera mengirim telegram pada kepolisian di kota itu, untuk menanyakan mengenai kehidupan almarhum sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya selama dia tinggal di sana, hubungan-hubungan asmaranya, hubungan dagangnya, persahabatannya, dan permusuhannya dengan orang-orang, kalau ada. Kalau setelah itu kita belum juga mendapatkan petunjuk mengenai pembunuhan yang misterius itu, maka aneh sekali jadinya."

   Komisaris memandang berkeliling meminta persetujuan.

   "Baik sekali,"

   Kata Poirot menghargai.

   "Istrinya pun mungkin bisa memberi kita petunjuk,"

   Hakim menambahkan.

   "Tak adakah Anda menemukan surat-surat lain dari Belia itu, di antara barang-barang Tuan Renauld?"

   Tanya Poirot.

   "Tidak ada. Salah satu usaha kami yang pertama tentulah mencari kalau-kalau ada petunjuk di antara kertas-kertas dalam kamar kerjanya. Tapi kami tidak menemukan apa-apa yang penting. Semuanya kelihatan beres dan sah. Satu-satunya yang luar biasa adalah surat wasiatnya. Ini dia."

   Poirot mempelajari dokumen itu.

   "Jadi begitu rupanya. Suatu peninggalan sebesar seribu pound untuk Tuan Stonor -siapa dia?"

   "Sekretaris Tuan Renauld. Dia tinggal di Inggris, tetapi sekali dua kali datang kemari untuk berakhir pekan."

   "Dan sisanya semua ditinggalkan tanpa syarat untuk istrinya tercinta, Eloise. Semua dinyatakan dengan sederhana, tapi benar-benar sah. Disaksikan oleh kedua pelayan, Denise dan FranCoise. Tak ada satu pun yang aneh."

   Surat wasiat itu dikembalikannya.

   "Mungkin,"

   Bex mulai berbicara lagi.

   "Anda tidak melihat -"

   "Tanggalnya?"

   Tanya Poirot dengan mata memancar.

   "Tentu, tentu saya melihatnya. Dua minggu yang lalu. Mungkin hal itu membuktikan saat itu untuk pertama kalinya dia tahu tentang adanya bahaya. Banyak orang kaya meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat, karena tak pernah memikirkan kemungkinan dirinya meninggal. Tapi berbahaya untuk menarik kesimpulan terlalu awal. Bagaimanapun, hal itu menunjukkan betapa kasih dan sayangnya dia pada istrinya, meskipun dia sering main serong."

   "Ya,"

   Kata Tuan Hautet ragu.

   "Tapi mungkin dia agak kurang adil terhadap putranya, karena anak muda itu ditinggalkannya dalam keadaan benar-benar tergantung pada ibunya. Bila ibunya itu kawin lagi, dan suaminya yang kedua berhasil mendapatkan kekuasaan darinya, maka anak itu tidak akan bisa mendapatkan sepeser pun dari uang ayahnya."

   Poirot mengangkat bahunya.

   "Laki-laki memang makhluk yang suka membusungkan dada. Tuan Renauld pasti membayangkan bahwa jandanya tidak akan menikah lagi. Mengenai putranya, itu mungkin suatu tindak pencegahan yang baik untuk meninggalkan uang itu di tangan ibunya. Putra-putra orang kaya terkenal liarnya."

   "Mungkin yang Anda katakan itu memang benar. Nah, Tuan Poirot, pasti Anda sekarang ingin mendatangi tempat kejadian kejahatan itu. Sayang mayatnya sudah dipindahkan, tapi foto-foto tentu sudah dibuat dari segala sudut, dan segera setelah selesai Anda akan mendapatkannya."

   "Terima kasih, Tuan, atas segala kerja sama Anda yang baik."

   Komisaris bangkit.

   "Mari ikut saya, Tuan-tuan."

   Dibukanya pintu, lalu membungkuk dengan hormat mempersilakan Poirot mendahuluinya. Tetapi sebaliknya, Poirot pun membungkuk dengan sopan-santun yang sama, dia mundur lalu membungkuk pada Komisaris.

   "Silakan, Tuan."

   "Silakan, Tuan."

   Akhirnya mereka keluar ke lorong rumah.

   "Kamar yang itu, apakah itu kamar kerja?"

   Tanya Poirot tiba-tiba, sambil mengangguk ke arah pintu yang di seberang.

   "Ya. Apakah Anda ingin melihatnya?"

   Sambil berbicara, Komisaris membuka pintu kamar itu, dan kami masuk.

   Kamar yang dipilih Tuan Renauld untuk kamar khususnya, kecil, tapi ditata dengan selera tinggi dan nyaman.

   Di bagian yang menjorok, menghadap jendela, ada sebuah meja tulis biasa, dengan banyak lubang-lubang kecil tempat menyimpan.

   Dua buah kursi besar dari kulit menghadap perapian, dan di antara kedua buah kursi itu ada sebuah meja bundar yang penuh dengan buku-buku dan majalah-majalah yang terbaru.

   Dua di antara dindingnya dimanfaatkan sebagai rak buku yang penuh dengan buku berjajar-jajar, dan di ujung kamar di seberang jendela ada sebuah bupet yang bagus dari kayu ek.

   Di atasnya ada sebuah patung dewa.

   Tirai-tirai jendelanya berwarna hijau lembut, dan warna karpetnya senada dengan warna itu.

   Poirot berdiri bercakap-cakap sebentar di kamar itu, lalu dia maju, menyapu dengan lembut sandaran kursi-kursi kulit, mengambil sebuah majalah dari meja, lalu menyapu permukaan bupet itu perlahan-lahan dengan jari-jarinya.

   Wajahnya membayangkan rasa puas.

   "Tak ada debu?"

   Tanyaku dengan tersenyum. Dia membalas pandanganku dengan tersenyum, menghargai diriku karena tahu keistimewaannya.

   "Tak ada sebutir pun apa-apa, mon ami! Dan sekali ini mungkin aku menyayangkannya!"

   Matanya yang tajam seperti burung elang memandang berpindah-pindah ke sana kemari.

   "Nah,"

   Katanya tiba-tiba dengan nada lega.

   "Alas lantai di depan perapian itu berkerut."

   Dan dia membungkuk untuk melicinkannya. Tiba-tiba dia berseru, lalu bangkit. Di tangannya tergenggam beberapa potongan kertas.

   "Di Prancis ini sama saja dengan di Inggris,"

   Katanya.

   "para pelayan tidak pernah menyapu di bawah-bawah tikar!"

   Bex menerima potongan-potongan kertas itu darinya, dan aku mendekat untuk ikut melihat.

   "Kau mengenalinya -bukan, Hastings?"

   Aku menggeleng dengan rasa heran -namun kertas yang berwarna merah muda dengan rona tersendiri itu, rasanya memang kukenal. Rupanya otak Komisaris bekerja lebih cepat daripada otakku.

   "Ini potongan sehelai cek,"

   Dia berseru. Potongan kertas itu besarnya kira-kira lima sentimeter bujur sangkar. Di situ tertulis perkataan Duveen.

   "Bien,"

   Kata Bex.

   "Cek ini dibayarkan pada atau ditarik oleh seseorang yang bernama Duveen."

   "Saya rasa dibayarkan pada,"

   Kata Poirot.

   "karena kalau saya tak salah, tulisan itu tulisan Tuan Renauld."

   Hal itu segera dibenarkan dengan membandingkannya dengan tulisan yang ada dalam catatan yang ada di meja tulis.

   "Astaga,"

   Gumam Komisaris dengan air muka kecewa.

   "saya benar-benar tak dapat membayangkan, bagaimana mungkin barang itu tak terlihat oleh saya."

   Poirot tertawa.

   "Pokoknya, lihatlah selalu ke bawah tikar! Sahabat saya Hastings ini tahu, bahwa suatu kerut yang sekecil-kecilnya pun akan sangat mengganggu saya. Segera setelah saya melihat bahwa alas perapian tak licin, saya berkata sendiri. 'Tiens! Kaki kursi terkait ke alas itu waktu ditarik. Mungkin ada sesuatu di bawahnya yang tak terlihat oleh FranCoise!'"

   "FranCoise?"

   "Atau Denise, atau Leonie. Siapa saja yang membersihkan kamar ini. Karena saya tadi tidak menemukan debu, itu berarti bahwa kamar ini sudah dibersihkan tadi pagi. Peristiwa ini menurut bayangan saya, begini terjadinya. Kemarin, atau mungkin semalam, Tuan Renauld menuliskan sehelai cek untuk ditarik oleh seseorang yang bernama Duveen. Setelah itu, cek itu disobek, dan dibuang ke lantai. Tadi pagi -"

   Tapi Bex sudah menarik lonceng dengan tak sabaran.

   FranCoise datang memenuhi panggilan itu.

   Memang, tadi banyak sekali potongan-potongan kertas di lantai.

   Diapakannya kertas itu? Memasukkannya ke dalam anglo di dapur tentu? Apa lagi? Bex menyuruhnya pergi dengan isyarat yang membayangkan putus asanya.

   Kemudian wajahnya menjadi cerah, dan dia berlari ke meja tulis.

   Sebentar kemudian dia mencari-cari dalam buku cek almarhum.

   Lalu dia mengulangi gerakan putus asanya tadi.

   Bekas sobekan cek dalam buku itu kosong.

   "Besarkan hati Anda!"

   Seru Poirot sambil menepuk punggungnya.

   "Nyonya Renauld pasti akan bisa menceritakan pada kita tenung orang misterius yang bernama Duveen itu."

   Wajah Komisaris pun cerah kembali.

   "Benar juga. Mari kita lanjutkan."

   Waktu kami berbalik akan meninggalkan kamar itu, Poirot berkata seenaknya.

   "Di sini Tuan Renauld menerima tamunya semalam, ya?"

   "Ya -bagaimana Anda tahu?"

   "Dari ini. Saya menemukannya di sandaran kursi kulit."

   Lalu diperlihatkannya sehelai rambut panjang yang berwarna hitam, yang dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

   Rambut itu rambut seorang wanita! Tuan Bex membawa kami keluar di bagian belakang rumah, di mana ada sebuah gudang kecil yang tertempel pada bangunan rumah.

   Dikeluarkannya sebuah kunci dari sakunya dan dibukanya gudang itu.

   "Mayatnya ada di sini. Kami baru saja memindahkannya dari tempat kejadian kejahatan, segera setelah para fotografer selesai membuat foto."

   Setelah pintu terbuka kami masuk.

   Orang yang terbunuh itu terbaring di tanah, ditutupi sehelai kain.

   Dengan cekatan Tuan Bex membuka kain penutup itu.

   Tuan Renauld tingginya sedang dan langsing.

   Kelihatannya dia berumur lima puluh tahun, dan rambutnya yang hitam sudah banyak diselingi uban.

   Mukanya tercukur bersih, hidungnya panjang dan mancung, serta jarak antara kedua matanya dekat.

   Warna kulitnya merah perunggu, sebagaimana biasanya warna kulit orang yang banyak menghabiskan waktunya di bawah sinar matahari di daerah tropis.

   Giginya kelihatan keluar, dan air mukanya membayangkan keterkejutan dan ketakutan amat sangat.

   "Dari wajahnya kita bisa melihat bahwa dia memang ditikam dari belakang,"

   Kata Poirot.

   Dengan halus dibalikkannya tubuh mayat itu.

   Di situ, di antara kedua belah belikatnya, terdapat sebuah noda bulat berwarna merah kehitaman, mengotori mantel tipis yang terbuat dari kulit rusa.

   Di tengah-tengahnya tampak irisan pada bahan itu.

   Poirot memeriksanya dengan teliti.

   "Tahukah Anda dengan senjata apa pembunuhan ini dilakukan?"

   "Alat itu tertinggal di lukanya tadi."

   Komisaris mengambil sebuah stoples kaca.

   Di dalamnya terdapat benda kecil yang kelihatannya lebih mirip pisau kecil untuk membuka amplop surat daripada untuk dijadikan alat lain.

   Pisau itu bergagang hitam, dan mata pisaunya kecil, berkilat.

   Dari gagang sampai ke ujung pisau panjangnya tak lebih dari dua puluh lima sentimeter.

   Poirot menyentuh ujung yang sudah berubah warna itu dengan ujung jarinya.

   "Waduh! Tajam sekali! Alat pembunuh yang kecil mungil dan mudah digunakan!"

   "Malangnya, kita tak bisa menemukan satu pun bekas sidik jari,"

   Kata Bex dengan menyesal.

   "Pembunuhnya pasti memakai sarung tangan."

   "Tentu saja,"

   Kata Poirot dengan sikap mencemooh.

   "Di Santiago sekalipun, orang sudah tahu cara itu. Meskipun demikian, saya merasa sangat tertarik mengenai tidak adanya sidik jari. Sebenarnya mudah saja meninggalkan sidik jari orang lain umpamanya! Maka polisi tentu akan senang."

   Dia menggeleng.

   "Saya kuatir penjahat kita ini orang yang kurang tahu akan cara kerja yang baik -atau kalau tidak, dia mungkin terdesak waktu. Tapi kita lihat saja nanti."

   Mayat itu diletakkannya kembali pada keadaan semula.

   "Saya lihat dia hanya memakai pakaian dalam di bawah mantelnya,"

   Katanya.

   "Ya, Hakim Pemeriksa pun merasa bahwa itu aneh."

   Pada saat itu terdengar suatu ketukan di pintu yang tadi ditutup Bex. Bex membukanya. FranCoise yang datang. Dia berusaha untuk mengintip-intip dengan rasa ingin tahu yang besar.

   "Ada apa?"

   Tanya Bex dengan tak sabar.

   "Nyonya. Beliau berpesan bahwa beliau sudah cukup baik, dan sudah siap untuk menerima Hakim Pemeriksa."

   "Baik,"

   Kata Tuan Bex dengan tegas.

   "Katakan itu pada Tuan Hautet, dan katakan juga bahwa kami akan segera datang."

   Poirot agak berlambat-lambat, dan menoleh lagi ke arah mayat itu.

   Sejenak kusangka bahwa dia akan menolak ajakan itu, akan menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak akan beristirahat sampai dia menemukan pembunuhnya.

   Tetapi waktu dia berbicara, kata-katanya lemah dan tak tegas, sedang pernyataannya menggelikan dan tak sesuai dengan saat seperti itu.

   "Mantelnya kepanjangan,"

   Katanya dengan agak tertahan.

   Bab KISAH NYONYA RENAULD TUAN Hautet kami temui sedang menunggu kami di lorong rumah, lalu kami semua naik ke lantai atas bersama-sama, FranCoise berjalan di depan untuk menunjukkan jalan.

   Poirot berjalan naik dengan cara membelok-belok.

   Aku keheranan, sampai dia kemudian berbisik sambil meringis.

   "Pantas para pelayan mendengar waktu Tuan Renauld menaiki tangga, setiap anak tangga yang diinjak berderak-derak, hingga orang yang sudah mati pun bisa bangun."

   Di atas tangga ada sebuah lorong yang bercabang.

   "Tempat para pembantu."

   Tuan Bex menjelaskan.

   Kami berjalan terus di sepanjang lorong, dan FranCoise mengetuk sebuah pintu kamar yang terakhir di sebelah kanan.

   Suatu suara samar-samar mempersilakan kami masuk.

   Kami masuk ke sebuah ruangan yang luas, yang menghadap ke laut.

   Laut yang terletak empat ratus meter jauhnya dari tempat itu tampak biru dan berkilauan.

   Di sofa terbaring seorang wanita semampai yang sangat menarik.

   Dia berbaring dengan ditopang bantal-bantal, dan dijaga oleh Dokter Durand.

   Wanita itu sudah setengah baya, dan rambutnya yang semula berwarna hitam kini hampir seluruhnya putih, namun semangat hidupnya yang membara dan kekuatan pribadinya, seakan dapat dirasakan di mana pun dia berada.

   Kita akan segera menyadari bahwa kita sedang berada di dekat apa yang disebut orang Prancis, 'seorang wanita utama'.

   Dia menyambut kedatangan kami dengan menganggukkan kepalanya dengan anggun.

   "Silakan duduk, Tuan-tuan."

   Kami mengambil kursi-kursi, dan juru tulis Hakim mengambil tempat di sebuah meja bundar.

   "Nyonya,"

   Tuan Hautet memulai pembicaraannya.

   "saya harap tidak akan terlalu menyusahkan Anda untuk menceritakan pada kami apa yang terjadi semalam."

   "Sama sekali tidak, Tuan. Saya tahu apa artinya waktu, asal pembunuh-pembunuh jahat itu tertangkap dan dihukum."

   "Baiklah, Nyonya. Saya rasa tidak akan terlalu meletihkan Anda, bila saya menanyai Anda dan Anda membatasi diri dengan menjawab saja. Pukul berapa Anda pergi tidur semalam?"

   "Pukul setengah sepuluh, Tuan. Saya letih."

   "Dan suami Anda?"

   "Saya rasa kira-kira satu jam kemudian."

   "Apakah dia kelihatan bingung -risau atau bagaimana?"

   "Tidak, tidak berbeda dari biasanya."

   "Apa yang terjadi kemudian?"

   "Kami tidur. Saya terbangun oleh tangan yang ditekankan di mulut saya. Saya mencoba berteriak, tapi terhalang oleh tangan itu. Ada dua orang dalam kamar. Mereka memakai kedok."

   "Bisakah Anda melukiskan sedikit tentang mereka, Nyonya?"

   "Yang seorang tinggi sekali, dan berjanggut hitam yang panjang, yang seorang lagi pendek dan gemuk. Janggutnya kemerah-merahan. Keduanya memakai topi yang dibenamkan dalam-dalam, hingga matanya terlindung."

   "Hm,"

   Kata Hakim sambil merenung.

   "saya rasa janggutnya terlalu tebal, bukan?"

   "Maksud Anda janggut itu palsu?"

   "Ya. Tapi lanjutkanlah cerita Anda."

   "Yang memegang saya adalah yang pendek. Mulut saya disumbatnya, kemudian kaki dan tangan saya diikatnya. Laki-laki yang seorang lagi berdiri di samping suami saya. Diambilnya pisau kecil pembuka surat saya yang seperti pisau belati itu dari meja hias saya, lalu ditodongkannya ke jantung suami saya. Setelah laki-laki yang pendek itu selesai mengurus saya, dia menyertai temannya. Suami saya mereka paksa bangun dan ikut mereka ke kamar pakaian di sebelah. Saya hampir pingsan karena ketakutan, namun saya paksa diri saya untuk memasang telinga.

   "Namun mereka berbicara dengan suara demikian halusnya, hingga saya tak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Tapi saya rasa, saya dapat mengenali bahasanya, bahasa Spanyol campuran seperti yang digunakan di beberapa bagian di Amerika Selatan. Agaknya mereka menuntut sesuatu dari suami saya, lalu kemudian mereka menjadi marah dan suara mereka agak meninggi. Kalau tak salah, laki-laki yang tinggi yang berbicara, 'Anda tahu apa yang kami ingini!' katanya. 'Rahasia itu! Mana dia?' Saya tak tahu apa jawab suami saya, tapi yang seorang lagi berkata dengan kasar, 'Bohong! Kami tahu itu ada padamu. Mana kunci-kuncimu?' "Lalu saya dengar laci-laci ditarik. Pada dinding kamar pakaian suami saya ada tempat penyimpanan, di mana dia selalu menyimpan cukup banyak uang tunai. Menurut kata Leonie, tempat itu sudah dibongkar dan uangnya tak ada lagi. Tapi rupanya apa yang mereka cari tak ada di situ, karena kemudian saya dengar laki-laki yang jangkung menyumpah-nyumpah dan memerintah suami saya berpakaian. Segera setelah itu, saya rasa ada suatu suara dalam rumah ini yang mengganggu mereka, karena mereka lalu mendorong suami saya ke dalam kamar saya dalam keadaan setengah berpakaian."

   "Maaf,"

   Poirot menyela.

   "apakah tak ada jalan ke luar lain dari kamar pakaian itu?"

   "Tidak ada, hanya ada satu pintu, yaitu yang menghubungkannya dengan kamar saya. Mereka cepat-cepat mendorong suami saya, yang pendek di depan, yang tinggi di belakangnya dengan tetap memegang pisau belati tadi. Paul mencoba melepaskan diri untuk mendatangi saya. Saya melihat matanya yang tersiksa. Dia berpaling pada orang-orang yang menangkapnya. 'Saya harus berbicara dengan istri saya,' katanya. Lalu dia berjalan ke sisi tempat tidur dan berkata, 'Tidak apa-apa, Floise. Jangan takut. Aku akan kembali sebelum matahari terbit.' Meskipun dia berusaha untuk berbicara dengan suara mantap, saya melihat ketakutan yang mahabesar di matanya. Lalu mereka mendorong suami saya keluar dari pintu lagi. Yang jangkung berkata, 'Sekali saja bersuara -maka kau akan menjadi bangkai, ingat!' "Setelah itu,"

   Sambung Nyonya Renauld.

   "mungkin saya pingsan. Yang saya ingat kemudian, adalah Leonie yang menggosok-gosok pergelangan tangan saya, dan memberi saya brendi."

   "Nyonya Renauld,"

   Kata Hakim.

   "apakah Anda bisa menduga apa yang dicari penjahat-penjahat itu?"

   "Sama sekali tidak."

   "Apakah Anda tahu, apa yang kira-kira ditakuti suami Nyonya?"

   "Ya, saya melihat perubahan pada dirinya."

   "Sejak berapa lama?"

   Nyonya Renauld berpikir.

   "Mungkin sejak sepuluh hari."

   "Tidak lebih lama?"

   "Mungkin, tapi saya telah melihatnya sejak itu."

   "Adakah Anda menanyakan sebabnya pada suami Anda?"

   "Pernah sekali. Tapi dia mengelak. Namun saya yakin bahwa ada sesuatu yang sangat dikuatirkannya. Tapi karena dia ingin menyembunyikan kenyataan itu dari saya, maka saya mencoba berpura-pura tak melihatnya."

   "Tahukah Anda bahwa dia telah meminta bantuan seorang detektif?"

   "Seorang detektif?"

   Seru Nyonya Renauld terkejut sekali.

   "Ya, tuan ini -Tuan Hercule Poirot."

   Poirot membungkukkan tubuhnya.

   "Beliau baru tiba hari ini atas panggilan suami Anda."

   Lalu diambilnya surat yang ditulis oleh Tuan Renauld dari sakunya dan diserahkannya pada wanita itu. Wanita itu membacanya, dan tampak jelas bahwa dia merasa terkejut sekali.

   "Saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Kelihatannya dia menyadari benar adanya bahaya yang mengancam itu."

   "Nyonya, saya minta agar Anda berterus terang pada saya. Adakah suatu peristiwa dalam hidup suami Anda di Amerika Selatan, yang mungkin bisa memberikan titik terang pada pembunuhan atas dirinya?"

   Lama Nyonya Renauld berpikir, tapi akhirnya dia menggeleng.

   "Tak bisa saya mengingat apa pun juga. Suami saya memang punya musuh, orang-orang yang diunggulinya dalam sesuatu hal, tapi saya tak bisa mengingat seseorang atau suatu peristiwa tertentu. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada peristiwa saya mungkin hanya tidak menyadarinya."

   Hakim Pemeriksa mengelus janggutnya dengan kecewa.

   "Lalu dapatkah Anda memastikan saat kejahatan itu dilakukan?"

   "Ya, saya ingat, saya mendengar jam di atas perapian itu berbunyi dua kali."

   Dia mengangguk ke arah sebuah jam yang terbungkus dalam sebuah wadah kulit, yang terdapat di tengah-tengah para-para perapian. Poirot bangkit dari tempat duduknya, memandangi jam itu dengan tajam, lalu mengangguk dengan puas.

   "Dan ini ada lagi,"

   Seru Tuan Bex.

   "sebuah arloji tangan yang pasti tersenggol oleh kedua penjahat itu sampai jatuh dari meja hias. Jam ini hancur luluh. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa jam ini akan bisa memberikan kesaksian tentang mereka."

   Pecahan-pecahan kaca Arloji itu disingkirkannya perlahan-lahan. Tiba-tiba wajahnya berubah, dia kelihatan terkejut sekali.

   "Ya Tuhan!"

   Teriaknya.

   "Ada apa?"

   "Jarum arloji itu menunjukkan pukul tujuh!"

   "Apa?"

   Seru Hakim Pemeriksa itu dengan terkejut. Tetapi Poirot, yang selalu tenang seperti biasa, mengambil arloji tangan yang sudah hancur itu dari Komisaris yang terkejut, lalu menempelkannya ke telinganya. Kemudian dia tersenyum.

   "Kacanya memang sudah pecah,"

   Katanya.

   "Tapi jamnya sendiri masih jalan."

   Penjelasan tentang misteri itu disambut dengan lega. Tetapi Hakim teringat akan suatu hal.

   "Tetapi sekarang kan bukan pukul tujuh?"

   "Tidak,"

   Kata Poirot dengan halus.

   "sekarang pukul lima lewat beberapa menit. Mungkin arloji ini terlalu cepat jalannya, begitukah, Nyonya?"

   Nyonya Renauld mengerutkan alisnya karena merasa heran.

   "Memang terlalu cepat jalannya,"

   Katanya membenarkan.

   "tapi saya tak tahu bahwa sampai sekian banyak kecepatannya."

   Dengan sikap tak sabaran, Hakim meninggalkan soal arloji itu lalu melanjutkan pertanyaannya.

   "Nyonya, pintu depan kedapatan terbuka sedikit. Boleh dikatakan hampir pasti, bahwa kedua pembunuh itu masuk lewat pintu itu. Tapi pintu itu terbuka sama sekali tidak karena paksaan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan tentang hal itu?"

   "Mungkin pada saat terakhir suami saya keluar untuk berjalan-jalan, lalu lupa menguncinya waktu masuk."

   "Apakah hal itu mungkin terjadi?"

   "Mungkin sekali. Suami saya itu orang yang linglung sekali."

   Waktu mengucapkan kata-kata itu alisnya berkerut, seolah-olah sifat pembawaan laki-laki itu kadang-kadang menjengkelkannya.

   "Saya rasa kita bisa menarik satu kesimpulan,"

   Kata Komisaris tiba-tiba.

   "Mengingat orang-orang itu menyuruh Tuan Renauld berpakaian, agaknya tempat di mana 'rahasia' itu tersembunyi, ke mana mereka akan membawa Tuan Renauld, jauh letaknya."

   Hakim mengangguk.

   "Ya, memang jauh, tapi tidak terlalu jauh, karena almarhum mengatakan akan kembali pagi harinya."

   "Pukul berapa kereta api terakhir berangkat dari stasiun Merlinville?"

   Tanya Poirot.

   "Ada yang pukul dua belas kurang sepuluh menit, kadang-kadang pukul dua belas lewat tujuh belas menit. Tapi lebih besar kemungkinannya ada mobil yang menunggu mereka."

   "Tentu,"

   Poirot membenarkan, dia kelihatan agak kecewa.

   "Itu memang salah satu jalan untuk menelusuri mereka,"

   Kata Hakim dengan wajah yang menjadi cerah.

   "Sebuah mobil yang berisi dua orang asing lebih mudah dilihat. Itu suatu cara yang bagus sekali, Tuan Bex."

   Dia tersenyum sendiri, kemudian dia serius lagi, dan berkata pada Nyonya Renauld.

   "Ada satu pertanyaan lagi. Kenalkah Anda pada seseorang yang bernama Duveen?"

   "Duveen?"

   Ulang Nyonya Renauld sambil berpikir.

   "Rasanya tidak."

   "Tak pernahkah Anda mendengar suami Anda menyebut seseorang yang bernama demikian?"

   "Tak pernah."

   "Apakah Anda mengenal seseorang yang nama baptisnya, Bella?"

   Diperhatikannya Nyonya Renauld dengan saksama waktu dia bertanya itu, ingin melihat tanda-tanda kemarahan atau perasaan lain di wajahnya, tetapi wanita itu hanya menggeleng dengan cara yang wajar saja. Dia melanjutkan pertanyaannya.

   "Tahukah Anda bahwa suami Anda semalam menerima tamu?"

   Kini dilihatnya warna merah meronai pipi wanita itu, namun dia menjawab dengan tenang.

   "Tidak, siapa dia?"

   "Seorang wanita."

   "Oh ya?"

   Tetapi untuk sementara hakim itu sudah merasa puas, dan tidak berkata apa-apa lagi.

   Agaknya tak mungkin Nyonya Daubreuil tersangkut dalam kejahatan itu, dan dia sama sekali tak mau membuat Nyonya Renauld risau tanpa perlu.

   Dia memberi isyarat pada Komisaris, dan laki-laki itu menanggapinya dengan mengangguk.

   Kemudian dia bangkit, pergi ke ujung lain dari kamar itu, lalu kembali dengan membawa stoples kaca, yang terdapat di gudang tadi.

   Dari stoples itu dikeluarkannya pisau belati itu.

   "Nyonya,"

   Katanya dengan halus.

   "kenalkah Anda pada barang ini?"

   Wanita itu terpekik.

   "Ya, itu pisau belati saya."

   Kemudian dilihatnya ujung belati yang bernoda itu, dia menarik tubuhnya mundur dengan mata yang melebar ketakutan.

   "Apakah itu -darah?"

   "Benar, Nyonya. Suami Nyonya terbunuh dengan senjata ini."

   Dia cepat-cepat menarik benda itu dari pandangan.

   "Yakinkah Anda bahwa pisau belati itu sama dengan yang terdapat di meja hias Anda semalam?"

   "Ya, saya yakin. Itu hadiah dari anak saya. Dia bertugas di angkatan udara selama perang. Dia mengaku lebih tua daripada umurnya sebenarnya."

   Dalam suaranya terdengar nada kebanggaan.

   "Pisau itu terbuat dari kawat pesawat terbang, dan anak saya memberikannya sebagai kenang-kenangan."

   "Saya mengerti, Nyonya. Sekarang saya harus menanyakan suatu soal lain. Putra Anda itu, di mana dia sekarang? Kita perlu mengirim telegram padanya segera."

   "Jack? Dia sedang dalam perjalanan ke Buenos Ayres."

   "Apa?"

   "Ya. Kemarin suami saya mengirim telegram padanya. Semula dia menyuruh anak itu pergi ke Paris untuk suatu urusan, tapi kemarin dia baru tahu bahwa anak itu harus segera melanjutkan perjalanannya ke Amerika Selatan. Kemarin malam ada kapal yang akan berangkat ke Buenos Ayres dari Cherbourg, lalu dikirimnya telegram supaya anak itu berangkat dengan kapal itu."

   "Tahukah Anda apa urusan di Buenos Ayres itu?"

   "Tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Tapi Buenos Ayres bukanlah tujuan akhir anak saya. Dari sana dia harus ke Santiago lewat darat."

   Hakim dan Komisaris berseru serentak.

   "Santiago! Lagi-lagi Santiago!"

   Pada saat itu, saat kami semua terpana mendengar nama itu disebutkan, Poirot mendekati Nyonya Renauld.

   Sebelum itu dia berdiri saja di dekat jendela bagai seseorang yang tenggelam dalam mimpi, dan aku tak yakin apakah dia menyadari benar apa yang sedang berlangsung di sekitarnya.

   Dia berhenti di sisi wanita itu sambil membungkuk.

   "Maaf, Nyonya, bolehkah saya memeriksa pergelangan Anda?"

   Meskipun agak terkejut mendengar permintaan itu, Nyonya Renauld mengulurkan tangannya pada Poirot.

   Di seputar setiap pergelangannya tampak bekas merah yang buruk, bekas tempat tali membenam ke dalam dagingnya.

   Sedang dia memeriksa itu, aku rasanya melihat lenyapnya suatu bayangan harapan yang semula tampak di matanya.

   "Luka ini pasti sakit sekali,"

   Katanya, dan sekali lagi dia kelihatan heran. Tetapi Hakim berbicara dengan bersemangat.

   "Tuan muda Renauld harus langsung dihubungi dengan telegram. Penting sekali kita mengetahui sesuatu tentang perjalanannya ke Santiago itu."

   Dia tampak ragu.

   "Saya semula berharap bahwa dia berada dekat saja, hingga dia bisa mengurangi kesedihan Anda, Nyonya."

   Dia berhenti.

   "Maksud Anda,"

   Kata wanita itu dengan suara halus.

   "untuk mengenali mayat suami saya?"

   Hakim menundukkan kepalanya.

   "Saya seorang wanita yang kuat, Tuan. Saya bisa menanggung semua yang dituntut dari diri saya. Sekarang pun saya siap."

   "Ah, besok pun masih bisa."

   "Saya lebih suka semuanya cepat selesai,"

   Katanya dengan nada rendah, di wajahnya terbayang rasa pedih.

   "Tolong tuntun saya, Dokter."

   Dokter cepat-cepat mendekatinya, pundak wanita itu ditutupinya dengan mantel, lalu kami beriring-iring perlahan-lahan menuruni tangga.

   Tuan Bex cepat-cepat mendahului semuanya untuk membuka pintu gudang.

   Sebentar kemudian Nyonya Renauld tiba di ambang pintu gudang.

   Wajahnya pucat sekali, tapi geraknya tampak pasti.

   Tuan Hautet yang berada di belakangnya tak sudah-sudahnya mengucapkan kata-kata dukacita dan penyesalannya.

   Wanita itu menutup mukanya dengan tangannya.

   "Sebentar, Tuan-tuan, saya menguatkan diri sebentar."

   Dilepaskannya tangannya lalu dia melihat ke mayat itu. Kemudian daya tahannya yang begitu hebat, yang telah mampu membuatnya bertahan sampai sebegitu jauh, sirna.

   "Paul!"

   Pekiknya.

   "Suamiku! Oh Tuhan!"

   Dan dia tersungkur, pingsan di tanah. Poirot segera berada di sisinya. Diangkatnya kelopak mata wanita itu, dan dirabanya nadinya. Setelah dia yakin bahwa wanita itu benar-benar pingsan, Poirot menyingkir. Lenganku dicengkeramnya.

   "Benar-benar goblok aku ini, Temanku! Tak pernah aku mendengar jerit seorang wanita yang lebih banyak mengandung rasa cinta dan kesedihan, daripada yang kudengar tadi. Anggapanku semula semuanya salah. Eh bien! Aku harus mulai dari awal lagi!"

   Bab TEMPAT KEJADIAN KEJAHATAN DOKTER berdua dengan Tuan Hautet mengangkat wanita yang pingsan itu masuk ke rumah. Komisaris memperhatikan mereka dari belakang, dia menggelengkan kepalanya.

   "Kasihan wanita itu,"

   Gumamnya sendiri.

   "Tak kuat dia menanggung shock itu. Yah, kita tak bisa berbuat apa-apa sekarang. Nah, Tuan Poirot, mari kita pergi ke tempat kejahatan itu dilakukan."

   "Mari, Tuan Bex."

   Kami melalui rumah, dan keluar melalui pintu depan. Sambil lewat Poirot mendongak, melihat ke tangga yang menuju ke lantai atas, lalu menggeleng dengan kesal.

   "Saya masih tetap heran, mengapa para pelayan tidak mendengar apa-apa. Waktu kita bertiga menaiki tangga itu tadi, bunyi deraknya bahkan bisa membangunkan orang yang sudah mati!"

   "Ingat, waktu itu tengah malam. Mereka waktu itu sedang tidur nyenyak."

   Tetapi Poirot tetap menggelengkan kepalanya, seolah-olah tetap tak bisa menerima penjelasan itu sepenuhnya. Setiba di luar, di jalan masuk ke rumah, dia berhenti lagi, lalu mendongak melihat ke atas rumah.

   "Mengapa mereka pertama-tama mencoba membuka pintu depan? Bukankah hal itu sulit? Rasanya jauh lebih masuk akal, kalau mereka segera mencoba mendongkel sebuah jendela."

   "Tapi semua jendela di lantai bawah dipasangi terali besi,"

   Kata Komisaris. Poirot menunjuk ke sebuah jendela di lantai atas.

   "Bukankah itu jendela kamar tidur yang baru saja kita masuki tadi? Lihatlah -di dekatnya ada sebatang pohon, yang dengan sangat mudah dapat dijadikan titian untuk memasuki kamar itu."

   "Mungkin,"

   Komisaris membenarkan.

   "Tapi mereka tak bisa berbuat demikian, tanpa meninggalkan bekas jejak kaki di bedeng-bedeng bunga."

   Aku melihat kebenaran kata-katanya itu.

   Ada dua buah bedeng bunga yang lonjong yang ditanami bunga geranium merah, di kiri kanan anak tangga yang menuju ke pintu depan.

   Pohon yang dikatakan Poirot memang berakar di bagian belakang bedeng itu, dan tidaklah mungkin mencapai pohon itu tanpa menginjak bedeng.

   "Begini,"

   Lanjut Komisaris.

   "karena cuaca panas, di jalan masuk atau di lorong tidak akan tampak bekas jejak kaki orang, tapi di bedeng bunga yang tanahnya lembut itu, lain lagi soalnya."

   Poirot mendekati bedeng itu dan memeriksa tanahnya dengan cermat.

   Sebagaimana yang dikatakan Bex, tanahnya memang benar-benar halus.

   Lagi pula tak ada bekas apa pun di situ.

   Poirot mengangguk seakan-akan sudah yakin, dan kami lalu berbalik, tetapi tiba-tiba dia melompat ke samping dan memeriksa bedeng bunga yang sebuah lagi.

   "Tuan Bex!"

   Panggilnya.

   "Lihat ini. Di sini ada banyak bekas, silakan lihat."

   Komisaris mendekatinya -lalu tersenyum.

   "Tuan Poirot, sahabatku, itu pasti bekas jejak sepatu bot besar tukang kebun, yang solnya berpaku. Pokoknya, jejak itu tidak akan penting, karena di sebelah sini tak ada pohon, dan oleh karenanya tak ada titian untuk dijadikan jalan memasuki lantai atas."

   "Benar,"

   Kata Poirot yang kelihatan kecewa.

   "Jadi menurut Anda, bekas jejak kaki itu tak penting?"

   "Sama sekali tak penting."

   Kemudian aku terkejut sekali, karena Poirot mengucapkan kata-kata.

   "Saya tak sependapat dengan Anda. Saya berpendapat bahwa jejak-jejak kaki ini adalah yang terpenting, dari segalanya yang telah kita lihat,"

   Tuan Bex tak berkata apa-apa, dia hanya mengangkat bahunya. Terlalu halus perasaannya untuk mengeluarkan pendapatnya yang sesungguhnya. Dia hanya berkata.

   "Mari kita lanjutkan."

   "Baiklah. Saya bisa menyelidiki soal bekas jejak kaki ini nanti saja,"

   Kata Poirot dengan ceria.

   Tuan Bex tidak mengambil jalan lurus di sepanjang jalan masuk mobil, melainkan membelok ke sebelah kanan.

   Jalan itu menuju ke sebuah tanjakan kecil di sebelah kanan rumah, dan di kedua belah sisinya dibatasi oleh semacam semak-semak.

   Jalan itu tiba-tiba menuju ke sebuah lapangan, dari mana kita bisa melihat laut.

   Di situ ada sebuah bangku, dan tak jauh dari situ ada gudang yang agak bobrok.

   Beberapa langkah lebih jauh terdapat sederetan semak-semak kecil yang membatasi perbatasan dengan tanah milik villa itu.


Wiro Sableng Wasiat Sang Ratu Wiro Sableng Dewi ULar Rajawali Emas Geger Batu Bintang

Cari Blog Ini