Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 2


Agatha Christie Lapangan Golf Maut Bagian 2



Tuan Bex menguakkan semak-semak itu untuk melewatinya, dan di hadapan kami terbentang bukit berumput yang luas.

   Aku melihat ke sekelilingku, lalu melihat sesuatu yang membuatku amat terkejut.

   "Wah, ini lapangan golf,"

   Teriakku. Bex mengangguk.

   "Batas-batasnya belum sempurna,"

   Dia menjelaskan.

   "Diharapkan lapangan ini akan bisa dibuka bulan depan. Orang-orang yang bekerja di sinilah yang menemukan mayat itu pagi tadi."

   Aku tersentak.

   Agak di sebelah kiriku, yang tadi belum terlihat olehku, ada sebuah liang sempit, dan di dekatnya ada tubuh seorang laki-laki.

   Dia tiarap dengan kepalanya ke bawah! Jantungku rasanya berhenti berdetak, aku.

   membayangkan bahwa tragedi itu telah terulang lagi.

   Tapi Komisaris membuyarkan bayanganku itu dengan berjalan maju sambil berseru dengan kesal dan keras.

   "Apa saja kerja polisi-polisiku ini? Mereka sudah mendapat perintah ketat untuk tidak mengizinkan siapa pun juga berada di sekitar tempat ini tanpa surat-surat pengantar yang jelas!"

   Laki-laki di tanah itu membalikkan kepalanya menoleh kepada kami.

   "Saya punya surat-surat pengantar yang jelas,"

   Katanya, lalu bangkit perlahan-lahan.

   "Tuan Giraud, sahabatku,"

   Seru Komisaris.

   "Saya sama sekali tak tahu bahwa Anda sudah datang. Bapak Hakim Pemeriksa sudah tak sabaran menunggu Anda."

   Sedang komisaris itu berbicara, aku mengamat-amati pendatang baru itu dengan rasa ingin tahu yang besar.

   Aku sering mendengar nama detektif pada Dinas Rahasia di Paris yang terkenal itu, dan aku tertarik sekali melihat orangnya sendiri.

   Tubuhnya tinggi sekali, umurnya mungkin tiga puluh tahun, rambutnya berwarna merah kecokelatan, berkumis, dan gerak-geriknya seperti tentara.

   Sikapnya agak angkuh, hal mana menunjukkan bahwa dia benar-benar menyadari betapa pentingnya dirinya.

   Bex memperkenalkan kami, dengan mengatakan bahwa Poirot adalah rekannya seprofesi.

   Mata detektif itu membayangkan bahwa dia merasa tertarik.

   "Saya sering mendengar nama Anda, Tuan Poirot,"

   Katanya.

   "Di masa lalu Anda sangat terkenal, bukan? Tapi zaman sekarang, cara kerja banyak berubah."

   "Namun kejahatan tetap sama saja,"

   Kata Poirot dengan halus. Aku segera melihat bahwa Giraud cenderung bersikap bermusuhan. Dia tak suka ada orang lain yang dihubungkan dengan dirinya, dan kurasa bahwa bila dia menemukan suatu petunjuk yang penting, dia akan menyimpannya sendiri.

   "Hakim Pemeriksa -"

   Bex mulai lagi. Tetapi Giraud memotongnya dengan kasar.

   "Persetan dengan Hakim Pemeriksa! Yang penting adalah cahaya matahari ini! Kira-kira setengah jam lagi cahaya sudah akan habis, dan tak bisa lagi dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan praktis. Saya sudah tahu semua tentang peristiwanya, dan orang-orang di rumah itu bisa kita tangani besok, tapi kalau kita ingin menemukan petunjuk-petunjuk dari pembunuhnya, di tempat inilah kita akan menemukannya. Polisikah yang telah menginjak-injak tempat ini semuanya? Saya sangka sekarang ini mereka sudah lebih mengerti."

   "Tentu mereka tahu. Bekas-bekas yang Anda keluhkan itu telah ditinggalkan oleh para pekerja yang menemukan mayat itu."

   Teman bicaranya menggeram penuh kebencian.

   "Saya melihat bekas jejak kaki tiga orang yang telah melewati pagar -tapi mereka itu cerdik. Kita hanya bisa mengenali bekas jejak kaki Tuan Renauld yang berada di tengah-tengah, sedang bekas jejak kaki kedua orang yang di kiri kanannya telah dihapus dengan cermat. Meskipun sebenarnya tak banyak yang bisa dilihat di tanah yang kering dan keras ini, mereka rupanya tak mau mengambil risiko."

   "Anda mencari bekas-bekas yang kelihatannya tak penting, bukan?"

   Celetuk Poirot.

   "Tentu."

   Poirot tersenyum kecil. Kelihatannya dia akan berbicara, tapi dia membatalkannya. Dia membungkuk di tempat sebuah sekop tergeletak.

   "Benar sekali,"

   Kata Giraud.

   "Dengan itulah liang kubur itu digali. Tapi Anda tidak akan menemukan apa-apa pada benda itu. Itu adalah sekop Tuan Renauld sendiri, dan orang yang menggunakannya memakai sarung tangan. Ini sarung tangan itu."

   Dia menunjuk dengan kakinya ke suatu tempat di mana terletak sepasang sarung tangan yang berlepotan tanah.

   "Dan sarung tangan itu pun milik Tuan Renauld -atau sekurang-kurangnya kepunyaan tukang kebunnya. Saya katakan sekali lagi, orang yang merencanakan kejahatan itu tak mau untung-untungan. Pria itu ditikam dengan pisau belatinya sendiri, lalu akan dikuburkan dengan sekopnya sendiri pula. Mereka bertekad untuk tidak meninggalkan jejak! Tapi saya akan mengalahkan mereka. Pasti selalu ada sesuatu! Dan saya akan menemukannya."

   Tapi kini agaknya Poirot tertarik akan sesuatu yang lain, sepotong pipa pendek dari timah hitam yang sudah berubah warnanya. Pipa itu terletak di sebelah sekop. Benda itu dipegangnya dengan lembut.

   "Lalu apakah barang ini juga milik orang yang terbunuh itu?"

   Tanyanya. Kurasa aku mendengar sindiran halus dalam pertanyaan itu. Giraud mengangkat bahunya untuk menyatakan bahwa dia tak tahu dan juga tak peduli.

   "Mungkin sudah berminggu-minggu terletak di tempat ini. Pokoknya, barang itu tidak menarik perhatian saya."

   "Sebaliknya, saya menganggapnya sangat menarik,"

   Kata Poirot dengan manis.

   Kurasa dia semata-mata ingin menjengkelkan detektif dari Paris itu, dan kalau memang begitu, dia telah berhasil.

   Detektif itu berbalik dengan kasar, sambil berkata bahwa dia tak mau membuang-buang waktu.

   Dan sambil membungkuk-bungkuk dia mulai mencari lagi di tanah dengan teliti.

   Sementara itu, Poirot yang seolah-olah tiba-tiba teringat akan sesuatu, pergi melewati perbatasan tanah tadi, lalu mencoba membuka gudang kecil itu.

   "Pintu itu terkunci,"

   Kata Giraud, sambil menoleh melalui bahunya.

   "Tapi gudang itu hanya merupakan tempat tukang kebun menyimpan tetek-bengeknya saja. Sekop ini tidak diambil dari situ, melainkan dari gudang alat-alat yang ada di dekat rumah."

   "Luar biasa,"

   Gumam Tuan Bex padaku dengan bersemangat.

   "Baru setengah jam dia berada di sini, dan dia sudah tahu semuanya! Orang hebat dia! Giraud pastilah seorang detektif yang terbesar yang hidup di zaman ini."

   Meskipun aku benci sekali pada detektif itu, mau tak mau aku terkesan.

   Orang itu seakan-akan memancarkan efisiensi kerja.

   Dengan sendirinya aku merasa, bahwa sampai sebegitu jauh, Poirot belum menonjolkan dirinya demikian hebatnya, dan hal itu membuatku kesal.

   Poirot seolah-olah selalu mengarahkan perhatiannya pada hal-hal remeh yang tak berarti, yang tak ada hubungannya dengan peristiwa itu.

   Sekarang ini pun dia tiba-tiba bertanya.

   "Tuan Bex, tolong jelaskan, apa arti garis kapur putih yang mengelilingi liang kubur itu. Apakah itu suatu tanda buatan polisi?"

   "Bukan, Tuan Poirot, itu urusan lapangan golf ini. Tanda itu menunjukkan bahwa di situlah nanti akan dibuat apa yang disebut dalam dunia golf bunkair."

   "Suatu bunkair?"

   Poirot bertanya dengan berpaling padaku.

   "Apakah itu sebuah lubang sembarang yang diisi pasir dan sebuah tebing di suatu sisinya?"

   Aku membenarkannya.

   "Anda tidak main golf, Tuan Poirot?"

   Tanya Bex.

   "Saya? Tak pernah! Permainan apa itu!"

   Dia jadi bersemangat.

   "Bayangkan saja sendiri, setiap lubang itu berbeda panjangnya. Penghalang-penghalangnya tidak pula diatur secara matematika. Bahkan tanah rumputnya pun kadang-kadang lebih tinggi sebelah. Hanya ada satu hal yang menyenangkan, yaitu -apa namanya ya? -kotak-kotak tempat berpijak pertama kali itu! Kotak-kotak itu sajalah yang simetris."

   Aku tak dapat menahan tawa, membayangkan bagaimana permainan itu di mata Poirot, dan sahabatku yang kecil itu tersenyum padaku dengan penuh kasih sayang tanpa ada rasa benci. Lalu dia bertanya.

   "Tapi Tuan Renauld main golf, bukan?"

   "Ya, dia suka sekali main golf. Pembuatan lapangan ini pun bahkan terutama berkat beliau dan besarnya sumbangannya. Dia bahkan punya hak suara dalam perencanaannya."

   Poirot mengangguk sambil merenung. Kemudian dia berkata.

   "Pilihan mereka sama sekali bukan pilihan yang baik -untuk menguburkan mayat. Bila para pekerja itu mulai menggali tanah, semua pasti akan ketahuan."

   "Tepat,"

   Seru Giraud dengan penuh kemenangan.

   "Dan itu membuktikan bahwa orang-orang itu tak mengenal daerah ini. Ini suatu bukti tak langsung yang paling bagus."

   "Ya,"

   Kata Poirot ragu-ragu.

   "Orang yang tahu pasti tidak akan mau menguburkannya di situ -kecuali -kecuali kalau mereka memang ingin mayat itu ditemukan. Dan itu tentu tak masuk akal, bukan?"

   Giraud bahkan tak merasa perlu menjawab.

   "Ya,"

   Kata Poirot dengan suara agak kesal.

   "Ya -jelas -tak masuk akal!"

   Bab NYONYA DAUBREUIL YANG MISTERIUS DALAM menelusuri perjalanan kami ke rumah, Tuan Bex minta diri meninggalkan kami, dengan menjelaskan bahwa dia harus segera memberitahukan kedatangan Giraud pada Hakim Pemeriksa.

   Giraud sendiri tampak senang waktu Poirot mengatakan bahwa dia sudah cukup melihat-lihat apa yang diperlukannya.

   Waktu kami akan meninggalkan tempat itu.

   kami masih melihat Giraud, merangkak di tanah, dan mencari dengan demikian bersungguh-sungguh, hingga aku merasa kagum.

   Poirot tahu apa yang ada dalam pikiranku, karena segera setelah kami tinggal berduaan saja dia berkata dengan mengejek.

   "Akhirnya kautemukan detektif yang kaukagumi -anjing pemburu dalam bentuk manusia! Begitu bukan, Sahabatku?"

   "Sekurang-kurangnya, dia berbuat sesuatu,"

   Kataku tajam.

   "Kalau memang ada yang bisa ditemukan, dialah yang akan menemukannya. Sedang kau -"

   "Eh bien! Aku juga ada menemukan sesuatu! Sepotong pipa dari timah hitam tadi itu."

   "Omong kosong, Poirot. Kau tahu betul itu tak ada hubungannya dengan kejadian itu. Maksudku tadi, hal-hal yang kecil -tanda-tanda yang pasti akan dapat menuntun kita pada pembunuh-pembunuh itu."

   "Mon ami, suatu barang petunjuk yang panjangnya enam puluh sentimeter sama benar nilainya dengan barang petunjuk yang berukuran dua milimeter! Tapi sudah menjadi pendapat yang romantis, bahwa semua barang petunjuk yang penting pasti kecil sekali! Kau mengatakan bahwa pipa timah hitam itu tak ada hubungannya dengan kejahatan itu, karena Giraud telah berkata demikian padamu. Tidak!" -katanya, waktu aku akan memotong pembicaraannya dengan pertanyaan -"sebaiknya tak usah kita bicarakan lagi. Biarkan Giraud mencari sendiri, dan aku dengan jalan pikiranku. Perkara ini kelihatannya cukup sederhana -namun -namun, mon Ami, aku tak puas -Dan tahukah kau apa sebabnya? Gara-gara arloji tangan yang terlalu cepat dua jam itu. Kemudian ada beberapa hal yang kecil yang aneh, yang kelihatannya tak cocok. Umpamanya, bila tujuan pembunuh-pembunuh itu adalah pembalasan dendam, mengapa mereka tidak menikam Renauld dalam tidurnya saja supaya segera beres?"

   "Mereka menginginkan 'rahasia' itu,"

   Aku mengingatkannya. Poirot menepiskan setitik debu dari lengan bajunya dengan kesal.

   "Lalu, di mana 'rahasia' itu? Mungkin agak jauh, karena mereka menyuruhnya berpakaian. Tapi dia ditemukan di tempat yang dekat, boleh dikatakan sejengkal saja dari rumahnya. Apalagi, sungguh suatu kebetulan bahwa suatu senjata seperti pisau belati itu terletak sembarangan, siap pakai."

   Dia berhenti, mengerutkan dahinya, lalu melanjutkan.

   "Mengapa para pelayan sampai tak mendengar apa-apa? Apakah mereka dibius? Apakah ada komplotan dan apakah komplotan itu mengusahakan supaya pintu depan tetap terbuka? Aku ingin tahu apakah -"

   Dia tiba-tiba terhenti. Kami telah tiba di jalan masuk mobil di depan rumah. Tiba-tiba dia berpaling padaku.

   "Sahabatku, aku akan memberikan suatu kejutan bagimu -untuk menyenangkan hatimu! Aku memperhatikan benar teguran-teguranmu! Kita akan memeriksa bekas-bekas jejak kaki!"

   "Di mana?"

   "Di bedeng bunga di sana itu. Tuan Bex mengatakan bahwa itu adalah bekas jejak kaki tukang kebun. Mari kita lihat apakah itu benar. Lihat dia sedang menuju kemari dengan kereta dorongnya."

   Memang benar seorang laki-laki setengah baya sedang menyeberangi jalan masuk dengan membawa bibit sekereta penuh. Poirot memanggilnya, dan laki-laki itu meletakkan kereta dorongnya dan terpincang-pincang mendatangi kami.

   "Apakah akan kauminta salah satu sepatu botnya untuk membandingkannya dengan bekas jejak kaki itu?"

   Tanyaku dengan menahan napas. Kepercayaanku pada Poirot timbul lagi sedikit. Karena dikatakannya bahwa bekas jejak kaki yang di bedeng sebelah kanan itu adalah penting, agaknya memang demikianlah adanya.

   "Ya,"

   Kata Poirot.

   "Tapi tidakkah dia akan menganggap hal itu aneh?"

   "Dia sama sekali tidak akan berpikir apa-apa."

   Kami tak bisa berkata apa-apa lagi, karena laki-laki tua itu sudah berada di dekat kami.

   "Apakah Anda akan menyuruh saya sesuatu, Tuan?"

   "Ya. Anda sudah lama menjadi tukang kebun di sini, bukan?"

   "Sudah dua puluh empat tahun, Tuan."

   "Nama Anda -?"

   "Auguste, Tuan."

   "Saya kagum melihat bunga geranium ini. Bunga-bunga ini cantik sekali. Sudah lamakah bunga-bunga ini ditanam?"

   "Sudah agak lama, Tuan. Tapi supaya bedeng-bedengnya tetap kelihatan cantik, kita harus selalu menyiapkan bedeng-bedeng dengan tanaman baru, dan mencabut tanaman yang sudah mati, juga menjaga supaya bunga-bunga yang tua dipetik baik-baik."

   "Kemarin Anda menanam tanaman baru, bukan? Yang di tengah itu, dan yang di bedeng lain juga?"

   "Tuan bermata tajam. Selamanya setelah sehari dua tanaman baru itu baru akan tumbuh dengan baik. Ya, saya memang baru menempatkan sepuluh tanaman baru di setiap bedeng kemarin malam. Sebagaimana Anda pasti tahu, kita tak boleh memindahkan tanaman baru bila matahari sedang panas."

   Auguste merasa senang melihat perhatian Poirot, dan dia lalu cenderung untuk banyak bercerita.

   "Yang di sana itu jenis yang bagus sekali,"

   Kata Poirot sambil menunjuk.

   "Bolehkah saya minta stek-nya?"

   "Tentu, Tuan."

   Laki-laki itu melangkah ke bedengan itu, lalu dengan berhati-hati mengambil suatu potongan dari tanaman yang dikagumi Poirot tadi. Poirot berterima kasih banyak-banyak, dan Auguste pergi kembali ke kereta dorongnya.

   "Kaulihat?"

   Kata Poirot dengan tersenyum, sambil membungkuk ke bedeng untuk memeriksa bekas sepatu bot yang solnya berpaku besar milik tukang kebun itu.

   "Sederhana saja."

   "Aku tak menyadari -"

   "Bahwa kaki itu terdapat di dalam sepatu bot? Kau tidak memanfaatkan kemampuan pikiranmu dengan baik. Nah, bagaimana dengan bekas jejak kaki itu?"

   Aku memeriksa bedengan itu dengan teliti.

   "Semua bekas jejak kaki di bedengan ini adalah bekas sepatu bot yang sama,"

   Kataku akhirnya setelah menyelidiki dengan saksama.

   "Begitukah? Eh bien, aku sependapat dengan kau,"

   Kata Poirot. Dia kelihatan sama sekali tidak menaruh perhatian, dan dia seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang lain.

   "Bagaimanapun juga,"

   Kataku.

   "sudah berkurang satu hal yang memusingkan kepalamu sekarang."

   "Apa maksudmu?"

   "Maksudku, sekarang kau akan bisa mengalihkan perhatianmu dari bekas jejak kaki ini."

   Tapi aku terkejut melihat Poirot menggeleng.

   "Tidak, tidak, mon ami. Akhirnya aku berada di jalur yang benar. Aku memang masih berada dalam kegelapan, tapi, sebagaimana yang sudah kusinggung dengan Tuan Bex tadi, bekas jejak kaki ini adalah hal yang paling penting dan menarik dalam perkara ini! Kasihan si Giraud itu -aku tak heran kalau dia tidak memperhatikannya sama sekali."

   Pada saat itu, pintu depan terbuka, dan Tuan Hautet menuruni tangga diikuti oleh Komisaris.

   "Oh, Tuan Poirot, kami sedang mencari-cari Anda,"

   Kata hakim itu.

   "Hari sudah malam, tapi saya masih ingin mengunjungi Nyonya Daubreuil. Dia pasti amat berdukacita atas kematian Tuan Renauld, dan kalau kita beruntung kita akan mendapatkan petunjuk dari dia. Rahasia yang tidak dipercayakan almarhum pada istrinya itu, mungkin diceritakannya pada wanita yang cintanya telah menjerat dirinya. Kita tahu di mana kelemahan Samson, bukan?"

   Aku mengagumi bahasa bunga Tuan Hautet. Kurasa Hakim Pemeriksa sedang menikmati perannya dalam drama yang misterius ini.

   "Apakah Tuan Giraud tidak akan ikut kita?"

   Tanya Poirot.

   "Tuan Giraud telah menyatakan dengan jelas, bahwa dia lebih suka menjajaki perkara ini dengan caranya sendiri,"

   Kata Tuan Hautet datar.

   Dapat dilihat dengan jelas bahwa tindak-tanduk Giraud yang angkuh terhadap Hakim Pemeriksa tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari pejabat itu.

   Kami tak berkata apa-apa lagi, lalu kami berjalan bersamanya.

   Poirot berjalan dengan Hakim Pemeriksa, Komisaris dan aku mengikutinya beberapa langkah di belakangnya.

   "Tak dapat diragukan bahwa cerita FranCoise memang benar,"

   Kata komisaris itu padaku dengan nada misterius.

   "Saya baru saja menelepon beberapa markas besar. Rupanya telah tiga kali selama enam minggu terakhir ini -yaitu sejak kedatangan Tuan Renauld di Merlinville -Nyonya Daubreuil telah membayarkan sejumlah besar uang sebagai simpanannya di bank. Jumlah uang itu semua dua ratus ribu franc!"

   "Bukan main,"

   Kataku sambil berpikir.

   "itu sama banyaknya dengan empat ribu pound!"

   "Tepat. Ya, agaknya memang sudah jelas bahwa pria itu benar-benar tergila-gila. Sekarang kita tinggal harus melihat, apakah rahasia itu dibukakannya pada perempuan itu atau tidak. Hakim Pemeriksa merasa optimis, tapi saya tidak sependapat dengan dia."

   Sambil bercakap-cakap itu kami berjalan di sepanjang lorong ke arah jalan yang bercabang, tempat mobil sewaan kami berhenti petang tadi, dan sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa Villa Marguerite, rumah Nyonya Daubreuil yang misterius itu adalah rumah kecil dari mana gadis cantik tadi keluar.

   "Sudah bertahun-tahun dia tinggal di sini,"

   Kata Komisaris, sambil menganggukkan kepalanya ke arah rumah itu.

   "Hidupnya tenang sekali, sama sekali tidak menarik perhatian orang. Agaknya dia tak punya teman atau sanak-saudara kecuali kenalan-kenalannya selama tinggal di Merlinville ini. Dia tak pernah menceritakan tentang masa lalunya maupun tentang suaminya. Orang bahkan tak tahu, apakah suaminya itu masih hidup atau sudah meninggal. Jadi hidupnya memang penuh misteri."

   Aku mengangguk, aku makin tertarik.

   "Lalu -anak gadisnya?"

   Tanyaku memberanikan diri.

   "Seorang gadis yang benar-benar cantik -rendah hati, berbakti, sebagaimana seharusnya. Orang-orang merasa kasihan padanya, karena, meskipun dia sendiri tak tahu apa-apa tentang masa lalunya, laki-laki yang ingin mengawininya harus mencari tahu sendiri tentang masa lalu itu, lalu -"

   Komisaris mengangkat bahunya dengan sinis.

   "Tapi itu kan bukan salahnya!"

   Aku berseru dengan rasa marah.

   "Memang bukan. Tapi apa mau dikata? Laki-laki sering ingin sekali tahu tentang asal-usul istrinya."

   Kami tak bisa meneruskan percakapan itu, karena kami sudah tiba di pintu.

   Tuan Hautet menekan bel.

   Beberapa menit kemudian, kami mendengar jejak kaki di dalam, dan pintu terbuka.

   Di ambang pintu berdiri dewi mudaku yang kulihat petang itu.

   Waktu dia melihat kami, darah di wajahnya seakan-akan sirna, hingga dia kelihatan pucat sekali, dan matanya terbelalak ketakutan.

   Tak dapat diragukan lagi, dia benar-benar takut! "Nona Daubreuil,"

   Kata Tuan Hautet, sambil membuka topinya.

   "maafkan kami sebesar-besarnya karena harus mengganggu Anda, tapi ini adalah demi kepentingan hukum -Anda mengerti, bukan? Tolong sampaikan salam hormat saya pada ibu Anda, dan tanyakan apakah beliau mau berbaik hati dan mengizinkan saya mewawancarainya sebentar?"

   Sesaat gadis itu berdiri tak bergerak. Tangan kirinya ditopangkannya ke sisi tubuhnya, seolah-olah akan menenangkan debar jantungnya yang kuat. Tetapi kemudian dia bisa menguasai dirinya, dan berkata dengan suara lemah.

   "Akan saya lihat. Silakan masuk."

   Dia masuk ke sebuah kamar di sebelah kiri lorong rumah, dan kami mendengar gumam suara rendah. Kemudian terdengar suatu suara yang sama nadanya, tapi dengan tekanan yang lebih keras di balik suara yang bulat itu berkata.

   "Tentu boleh. Persilakan mereka masuk."

   Semenit kemudian kami berhadapan dengan Nyonya Daubreuil yang misterius.

   Tubuhnya tidak setinggi putrinya, lekuk-lekuk tubuhnya menunjukkan kematangan.

   Rambutnya pun tak sama dengan rambut putrinya.

   Rambutnya berwarna hitam, dan dibelah di tengah model madona.

   Matanya yang setengah terlindung oleh kelopaknya yang merunduk, berwarna biru.

   Pada dagunya yang bulat ada lesung pipitnya, dan bibirnya yang setengah terbuka seolah-olah selalu membayangkan senyum.

   Dia selalu kelihatan amat feminin, dia umpak pasrah tapi sekaligus memikat.

   Meskipun penampilannya amat terpelihara, kelihatan bahwa dia tak muda lagi, namun daya tariknya bisa bertahan melebihi umurnya.

   Dia berdiri dengan memakai baju hitam yang memakai kerah dan lapis lengan yang putih bersih.

   Kedua belah tangannya terkatup.

   Dia kelihatan amat menarik dan tak berdaya.

   "Anda ingin bertemu dengan saya, Tuan?"

   Tanyanya.

   "Benar, Nyonya."

   Tuan Hautet menelan air ludahnya.

   "Saya sedang menyelidiki tentang kematian Tuan Renauld. Anda pasti sudah mendengarnya?"

   Wanita itu menundukkan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Air mukanya tak berubah.

   "Kami datang untuk bertanya, apakah Anda bisa -eh -memberikan sedikit titik terang pada keadaan di sekitar peristiwa ini?"

   "Saya?"

   Jelas terdengar bahwa dia terkejut.

   "Benar, Nyonya. Tapi mungkin akan lebih baik bila kami berbicara dengan Anda sendiri saja."

   Hakim memandang dengan penuh arti pada anak gadisnya. Nyonya Daubreuil berpaling pada gadis itu.

   "Marthe sayang -"

   Tetapi gadis itu menggeleng.

   "Tidak, Maman, saya tidak akan pergi, saya bukan anak kecil lagi. Umur saya sudah dua puluh dua. Saya tidak akan pergi."

   Nyonya Daubreuil menoleh pada Hakim Pemeriksa lagi.

   "Anda dengar sendiri, Tuan."

   "Saya lebih suka berbicara tanpa kehadiran Nona Daubreuil."

   "Seperti kata anak saya, dia bukan anak kecil lagi."

   Hakim itu bimbang sejenak, dia merasa dikalahkan.

   "Baiklah, Nyonya,"

   Katanya akhirnya.

   "Terserah Andalah. Kami mendapat informasi yang dapat dipercaya, bahwa Anda punya kebiasaan mengunjungi almarhum di villanya malam hari. Benarkah begitu?"

   Pipi wanita yang pucat itu kini memerah, tapi dia menjawab dengan tenang.

   "Saya rasa Anda tak berhak menanyai saya dengan pertanyaan semacam itu!"

   "Nyonya, kami sedang menyelidiki suatu pembunuhan."

   "Jadi, mau apa Anda? Saya tidak terlibat dalam pembunuhan itu."

   "Nyonya, pada saat sekarang kami pun tidak berkata begitu. Tapi Anda kenal baik dengan korban. Pernahkah dia menceritakan pada Anda tentang suatu bahaya yang mengancamnya?"

   "Tak pernah."

   "Pernahkah dia menceritakan tentang hidupnya di Santiago, dan musuh-musuhnya yang ada di sana?"

   "Tidak."

   "Jadi sama sekali tak bisakah Anda membantu kami?"

   "Saya rasa, tidak. Saya benar-benar tak mengerti mengapa Anda harus mendatangi saya. Apakah istrinya tak dapat memberi tahu Anda apa yang ingin Anda ketahui?"

   Suaranya mengandung suatu cemoohan kecil.

   "Nyonya Renauld sudah menceritakan pada kami sebisanya."

   "Oh!"

   Kata Nyonya Daubreuil.

   "Saya pikir -"

   "Apa pikir Anda, Nyonya?"

   "Ah, tak apa-apa."

   Hakim Pemeriksa melihat padanya. Pria itu menyadari bahwa dia sedang bertarung, dan lawannya cukup tangguh.

   "Apakah Anda tetap bertahan pada pernyataan Anda, bahwa Tuan Renauld tidak menceritakan apa-apa pada Anda?"

   "Mengapa Anda menganggap bahwa dia mungkin menceritakan itu pada saya?"

   "Karena,"

   Kata Tuan Hautet dengan keberanian yang diperhitungkan.

   "seorang laki-laki biasanya lebih mau menceritakan pada kekasih gelapnya, apa yang tak selalu mau dia ceritakan pada istrinya."

   "Oh!"

   Dia melompat ke depan. Matanya berapi-api.

   "Anda menghina saya, Tuan! Di depan anak saya pula! Saya tak bisa menceritakan apa-apa lagi pada Anda. Harap Anda mau meninggalkan rumah saya!"

   Wanita itu pasti merasa kehormatannya telah dilanggar.

   Kami meninggalkan Villa Marguerite seperti segerombolan anak-anak sekolah yang kemalu-maluan.

   Hakim menggumamkan kata-kata marah.

   Poirot tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

   Tiba-tiba dia seperti terkejut dari renungannya, dan bertanya pada Tuan Hautet, apakah ada sebuah hotel di dekat tempat itu.

   "Ada sebuah hotel kecil, Hotel des Bains, sebelum kita sampai ke kota. Hanya beberapa ratus meter ke arah jalan itu. Tempat itu akan memudahkan pekerjaan penyelidikan Anda. Kalau begitu kita akan bertemu lagi besok pagi, bukan?"

   "Ya, terima kasih, Tuan Hautet."

   Setelah saling berbasa-basi, rombongan kami berpisah. Poirot dan aku pergi menuju kota Merlinville, dan yang lain-lain kembali ke Villa GeneviEve.

   "Memang luar biasa cara kerja polisi Prancis ini,"

   Kata Poirot, sambil memperhatikan mereka.

   "Informasi yang ada pada mereka mengenai kehidupan seseorang, sampai-sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya yang biasa-biasa saja, sungguh luar biasa. Meskipun Tuan Renauld itu baru enam minggu lebih sedikit berada di sini, mereka sudah tahu betul akan selera dan kesukaannya, dan dalam waktu singkat saja mereka sudah bisa memberikan informasi tentang jumlah simpanan Nyonya Daubreuil di bank, sampai-sampai jumlah yang akhir-akhir ini disetorkannya! Arsip mereka pasti merupakan suatu badan yang hebat. Tapi apa itu?"

   Dia tiba-tiba berbalik. Tampak seseorang tanpa topi berlari-lari di jalan mengejar kami. Dia adalah Marthe Daubreuil.

   "Maaf,"

   Teriaknya terengah-engah, setibanya di dekat kami.

   "Sa -saya tahu, saya sebenarnya tak boleh berbuat begini. Jangan katakan pada ibu saya. Tapi benarkah kata orang, bahwa Tuan Renauld telah memanggil detektif sebelum dia meninggal, dan -apakah Anda orangnya?"

   "Benar, Nona,"

   Kata Poirot dengan halus.

   "Betul sekali. Tapi dari mana Anda dengar itu?"

   "FranCoise yang menceritakannya pada Amelie, pelayan kami,"

   Marthe menjelaskan dengan wajah yang memerah. Poirot nyengir.

   "Dalam kejadian seperti ini, kita rupanya tak bisa menyimpan rahasia! Sebenarnya tak apa-apa. Nah Nona, apa yang ingin Anda ketahui?"

   Gadis itu bimbang. Agaknya dia ingin berbicara, tetapi takut. Akhirnya, dengan hampir-hampir berbisik, dia bertanya.

   "Adakah -seseorang yang dicurigai?"

   Poirot memandangnya dengan tajam. Kemudian dia menjawab dengan mengelak.

   "Pada saat sekarang semua orang dicurigai, Nona."

   "Ya, saya tahu -tapi -adakah seseorang yang dicurigai secara khusus?"

   "Mengapa Anda ingin tahu?"

   Gadis itu kelihatan ketakutan mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja aku teringat kata-kata Poirot yang diucapkannya siang tadi mengenai gadis itu.

   "Gadis dengan mata ketakutan!"

   "Tuan Renauld selalu baik hati pada saya,"

   Sahutnya akhirnya.

   "Wajarlah kalau saya merasa tertarik."

   "Saya mengerti,"

   Kata Poirot.

   "Yah, pada saat ini kecurigaan sedang ditujukan pada dua orang."

   "Dua?"

   Aku berani bersumpah bahwa dalam nada suaranya terdengar nada terkejut dan lega.

   "Nama mereka belum dikenal, tapi diduga bahwa mereka itu berkebangsaan Chili dari Santiago. Nah, Nona, beginilah jadinya kalau ada gadis muda secantik Anda! Saya telah membukakan rahasia pekerjaan kami pada Anda!"

   Gadis itu tertawa ceria, lalu kemudian, dengan agak malu-malu, dia mengucapkan terima kasih pada Poirot.

   "Saya harus lari pulang. Maman akan mencari saya."

   Waktu dia berbalik berlari kembali ke jalan yang dilaluinya tadi, dia tampak bagai Dewi Atalanta yang modern. Aku menatapnya terus.

   "Mon ami,"

   Kata Poirot, dengan suaranya yang halus mengandung ejekan.

   "apakah kita harus terpaku saja di sini sepanjang malam -hanya karena kau melihat seorang wanita muda yang cantik, dan kepalamu jadi puyeng?"

   Aku tertawa dan meminta maaf.

   "Tapi dia memang benar-benar cantik, Poirot. Kita harus maklum pada siapa saja yang sampai tergila-gila padanya."

   Poirot menggeram.

   "Mon Dieu! Dasar hatimu yang peka sekali!"

   "Poirot,"

   Kataku.

   "ingatkah kau setelah Perkara Styles selesai, lalu -"

   "Lalu kau jatuh cinta pada dua orang wanita cantik sekaligus, tapi kau tidak mendapatkan seorang pun di antaranya? Ya, aku ingat."

   "Kau menghiburku dengan mengatakan bahwa pada suatu hari mungkin kita akan berburu kejahatan lagi, dan bahwa dengan demikian -"

   "Eh bien?"

   "Nah, sekarang kita sedang berburu kejahatan lagi, dan -"

   Aku berhenti dan tanpa kusadari aku tertawa. Tetapi aku heran melihat Poirot menggeleng dengan serius.

   "Ah, mon ami, jangan menaruh hati pada Marthe Daubreuil itu. Dia tak cocok bagimu! Percayalah pada Papa Poirot!"

   "Ah,"

   Aku berseru.

   "Komisaris meyakinkanku, bahwa gadis itu tidak hanya cantik tapi juga baik! Bidadari yang sempurna!"

   "Beberapa dari penjahat-penjahat terbesar yang kukenal berwajah seperti bidadari,"

   Kata Poirot ceria.

   "Suatu cacat pada sel-sel kelabu, bisa saja terjadi dengan mudah pada orang yang berwajah bidadari secantik madona."

   "Poirot,"

   Aku berseru kengerian.

   "kau kan tidak bermaksud bahwa kau mencurigai seorang anak yang tak tahu apa-apa seperti itu!"

   "Nah! Nah! Jangan marah! Aku tidak berkata bahwa aku mencurigai dia. Tapi kau juga harus mengakui, bahwa besarnya keinginannya untuk mengetahui tentang perkara ini agak aneh."

   "Sekali ini pandanganku lebih jauh daripadamu,"

   Kataku.

   "Rasa kuatirnya itu bukan mengenai dirinya sendiri -tapi untuk ibunya."

   "Sahabatku,"

   Kata Poirot.

   "seperti biasa, kau sama sekali tidak melihat apa-apa. Nyonya Daubreuil benar-benar mampu menjaga dirinya sendiri tanpa dikuatirkan oleh putrinya. Kuakui aku tadi menggodamu, namun demikian kuulangi lagi apa yang telah kukatakan tadi. Jangan sampai jatuh hati pada gadis itu. Dia tak cocok untukmu! Aku, Hercule Poirot tahu itu. Terkutuk! Terkutuk! Aku ingin benar mengingat di mana aku melihat wajah itu!"

   "Wajah yang mana?"

   Tanyaku heran.

   "Wajah gadis itu?"

   "Bukan, wajah ibunya."

   Dia mengangguk dengan bersungguh-sungguh waktu melihat keherananku.

   "Ya -sungguh. Sudah lama, waktu aku masih dinas di kepolisian di Belgia. Sebenarnya aku belum pernah melihat wanita itu, tapi aku sudah pernah melihat fotonya -sehubungan dengan suatu perkara. Kalau tak salah -"

   "Ya?"

   "Mungkin aku keliru, tapi kalau aku tak salah, perkara itu adalah perkara pembunuhan!"

   Bab SUATU PERTEMUAN TAK DISANGKA PAGI-PAGI esok harinya kami sudah berada di villa.

   Kali ini orang yang mengawal di pintu gerbang tak lagi menahan kami.

   Dia bahkan memberi salam dengan hormat, dan kami berjalan terus ke arah rumah.

   Leonie, si pelayan, baru saja menuruni tangga, dan dia kelihatan tak keberatan diajak berbicara.

   Poirot menanyakan tentang kesehatan Nyonya Renauld.

   Leonie menggeleng.

   "Dia sedih sekali, kasihan beliau itu! Beliau tak mau makan -sama sekali tak mau apa-apa! Dan pucatnya seperti mayat. Sedih rasanya melihat beliau. Ah, sungguh mati, saya tidak akan mau bersedih begitu demi seorang laki-laki yang sudah main serong dengan perempuan lain!"

   Poirot mengangguk penuh pengertian.

   "Memang benar apa yang Anda katakan tadi, tapi apa mau dikata? Hati seorang wanita yang penuh dengan cinta mudah sekali memaafkan segalanya. Namun demikian, pasti telah terjadi banyak pertengkaran antara mereka berdua dalam bulan terakhir ini, ya?"

   Sekali lagi Leonie menggeleng.

   "Tak pernah, Tuan. Tak pernah saya mendengar Nyonya mengeluarkan kata-kata protes -atau bahkan suatu teguran pun! Perangai dan pembawaannya bagaikan bidadari -lain sekali dengan Tuan."

   "Apakah perangai Tuan Renauld tidak seperti bidadari?"

   "Jauh dari itu. Bila dia marah-marah, seluruh rumah tahu. Beberapa hari yang lalu, waktu beliau bertengkar dengan Tuan Jack, -aduhai! Suara mereka mungkin bisa didengar sampai di pasar, nyaring sekali mereka bertengkar!"

   "Begitukah?"

   Tanya Poirot.

   "Kapan pertengkaran itu terjadi?"

   "Oh, sesaat sebelum Tuan Jack berangkat ke Paris. Hampir saja dia ketinggalan kereta api. Dia keluar dari ruang perpustakaan dan hanya sempat menyambar tas yang sebelumnya ditinggalkannya di lorong rumah. Padahal mobil sedang diperbaiki, hingga dia harus berlari ke stasiun. Saya sedang membersihkan ruang tamu utama, dan saya melihatnya waktu dia lewat. Wajahnya pulih -pucat -dengan sedikit merah di kedua belah pipinya. Aduh bukan main marahnya!"

   Leonie senang benar bercerita itu.

   "Apa bahan pertengkaran itu?"

   "Oh, itu saya tak tahu,"

   Leonie mengakui.

   "Mereka berteriak-teriak, suara mereka nyaring dan melengking, tapi mereka berbicara begitu cepat, hingga hanya orang yang betul-betul tahu bahasa Inggris saja yang bisa mengerti. Tapi wajah Tuan sepanjang hari itu seperti mendung gelap saja! Sama sekali tak bisa disenangkan hatinya!"

   Bunyi orang menutup pintu di lantai atas seketika memutuskan kisah Leonie.

   "Aduh, FranCoise menunggu saya!"

   Serunya, baru menyadari panggilan tugasnya.

   "Si Tua itu selalu memarahi saya saja."

   "Sebentar lagi, Nona. Di mana Hakim Pemeriksa?"

   "Mereka pergi ke luar melihat mobil di garasi. Tuan Komisaris berpendapat mungkin pada malam pembunuhan itu, mobil itu dipakai."

   "Pendapat macam apa itu?"

   Gumam Poirot, setelah gadis itu pergi.

   "Apakah kau juga akan pergi menyertai mereka?"

   "Tidak, aku akan menunggu di ruang tamu sampai mereka kembali. Di situ sejuk pada pagi hari yang panas ini."

   Cara menanggapi hal-hal dengan tenang itu kurang berkenan di hatiku.

   "Kalau kau tak keberatan -"

   Kataku ragu.

   "Sama sekali tidak. Kau ingin menyelidiki dengan caramu sendiri, bukan?"

   "Ya, aku lebih ingin melihat Giraud. Jika dia ada di sekitar tempat ini, aku ingin melihat apa rencananya."

   "Anjing pemburu dalam bentuk manusia itu,"

   Gumam Poirot, sambi! menyandarkan dirinya di sebuah kursi yang nyaman, lalu memejamkan matanya.

   "Silakan, Sahabatku. Au revoir."

   Aku berjalan santai keluar dari pintu depan.

   Hari memang panas.

   Aku membelok ke jalan setapak yang kami lalui sehari sebelumnya.

   Aku berniat akan menyelidiki tempat pembunuhan itu sendiri.

   Tetapi aku tak langsung pergi ke tempat itu, melainkan membelok ke semak-semak, supaya aku bisa keluar ke lapangan golf yang terletak kira-kira sembilan puluh meter lebih jauh di sebelah kanan.

   Bila Giraud masih ada di tempat itu, aku ingin melihat caranya bekerja sebelum dia menyadari kehadiranku.

   Tetapi semak-semak di sini jauh lebih lebat, dan aku harus berjuang untuk membuka jalan ke luar.

   Ketika akhirnya aku berhasil keluar ke lapangan itu, caranya sangat mengejutkan dan dengan demikian tiba-tiba hingga aku bagai terlempar mengenai seorang wanita muda yang sedang berdiri membelakangi tanah perkebunan itu.

   Wanita itu tentu saja memekik, tetapi aku pun berseru karena terperanjat.

   Karena dia tak lain adalah teman seperjalananku di kereta api, Cinderella! Temanku itu pun sangat terkejut.

   "Kau!"

   Kami berdua berseru serentak. Wanita muda itulah yang mula-mula menguasai dirinya.

   "Astaga!"

   Serunya.

   "Apa yang kaulakukan di sini?"

   "Sebaliknya, apa pula urusanmu?"

   Balasku.

   "Waktu aku bertemu denganmu terakhir, kemarin dulu, kau sedang dalam perjalanan pulang ke Inggris, sebagai anak yang patuh. Apakah kau telah diberi karcis pulang pergi, karena kau bekerja pada anggota Parlemen itu?"

   Bagian terakhir dari kata-katanya itu tak kupedulikan.

   "Waktu aku bertemu kau terakhir,"

   Kataku.

   "kau sedang dalam perjalanan pulang dengan kakakmu, sebagai seorang gadis baik-baik. Omong-omong, bagaimana kakakmu itu?"

   Sederetan gigi putih adalah jawaban yang kuterima.

   "Baik benar kau menanyakan hal itu! Kakakku baik-baik saja, terima kasih."

   "Apakah dia ada di sini bersamamu?"

   "Dia tinggal di kota,"

   Kata gadis nakal itu dengan anggun.

   "Aku tak percaya kau punya kakak,"

   Kataku sambil tertawa.

   "Kalaupun ada, namanya tentu Harris!"

   "Ingatkah kau siapa namaku?"

   Tanyanya dengan tersenyum.

   "Cinderella. Tapi kau sekarang akan memberitahukan namamu yang sebenarnya, kan?"

   Dia menggeleng dengan pandangan nakal.

   "Juga tak mau memberitahukan mengapa kau ada di sini?"

   "Oh itu! Untuk beristirahat."

   "Di perairan-perairan Prancis yang mahal ini?"

   "Murahnya bukan main, asal kita tahu ke mana harus pergi."

   Aku memperhatikannya dengan tajam.

   "Tapi, kau tak punya maksud untuk datang kemari, waktu aku bertemu denganmu dua hari yang lalu?"

   "Kita semua pernah mengalami kekecewaan-kekecewaan,"

   Kata Cinderella dengan tegas.

   "Nah, ceritaku sudah terlalu banyak daripada yang kauperlukan. Anak kecil tak boleh terlalu ingin tahu. Kau belum mengatakan padaku, mengapa berada di tempat ini. Apakah kau datang bersama anggota Parlemen itu, bersenang-senang di tepi pantai?"

   Aku menggeleng.

   "Terka lagi. Ingatkah kau akan ceritaku bahwa sahabat karibku adalah seorang detektif?"

   "Ya, lalu?"

   "Dan mungkin kau sudah mendengar tentang kejahatan -yang terjadi di Villa GeneviEve itu?"

   Dia terbelalak memandangku. Dadanya terangkat ke depan, dan matanya menjadi besar dan bulat.

   "Maksudmu -kau terlibat dalam urusan itu?"

   Aku mengangguk. Jelas kelihatan bahwa aku sedang berada di pihak yang menang. Sedang dia menatapku, nyata benar bahwa dia sedang emosi. Beberapa saat lamanya dia diam saja, sambil terus menatapku. Lalu dia mengangguk kuat-kuat.

   "Bukan main, kebetulan sekali! Tolong antar aku berkeliling. Aku ingin melihat semua yang mengerikan."

   "Apa maksudmu?"

   "Ya, seperti yang kukatakan itu. Anak kecil, bukankah sudah kuceritakan bahwa aku suka sekali akan kejahatan? Apa gunanya aku sampai menyakiti mata kakiku gara-gara aku memakai sepatu bertumit tinggi yang tersandung tunggul ini? Sudah berjam-jam aku berkeliling mencari di sini. Sudah kucoba untuk masuk lewat depan, tapi si Tua polisi Prancis itu tak mau mengizinkan aku masuk. Kurasa, pahlawan-pahlawan wanita seperti Helen of Troy, Cleopatra, dan Mary, ratu Skotlandia, bersama-sama sekalipun tidak akan bisa menggoyahkan hatinya! Kau benar-benar beruntung bisa masuk kemari. Ayolah, tunjukkan padaku semua yang patut dilihat."

   "Tapi -tunggu dulu -aku tak bisa. Tak seorang pun diizinkan masuk kemari. Mereka ketat sekali."

   "Bukankah kau dan temanmu itu orang-orang penting di sini?"

   Aku tak suka mengingkari kedudukanku yang penting itu.

   "Mengapa kau begitu ingin?"

   Tanyaku lemah.

   "Dan apa pula yang ingin kaulihat?"

   "Oh, semuanya! Tempat kejadiannya, senjatanya, mayatnya, bekas-bekas sidik jarinya atau hal-hal lain yang menarik seperti itu. Aku belum pernah mendapatkan kesempatan berada di tengah-tengah suatu peristiwa pembunuhan seperti ini. Aku akan mengingatnya sepanjang hidupku."

   Besarnya keinginan gadis itu akan melihat hal-hal yang mengerikan membuatku merasa muak.

   Aku pernah membaca tentang gerombolan perempuan yang mengepung pengadilan-pengadilan, sedang seorang laki-laki malang diadili akan menentukan hidup matinya.

   Kadang-kadang aku ingin tahu siapa perempuan-perempuan itu.

   Sekarang aku tahu.

   Mereka itu semua seperti Cinderella, muda dan punya kegemaran akan kejadian-kejadian hebat yang mendebarkan, akan sensasi dalam bentuk apa pun juga, tanpa mempertimbangkan pantas tidaknya atau perasaan orang lain.

   Kecantikan gadis itu yang menyolok mau tak mau membuatku merasa tertarik, namun dalam hatiku aku tetap mempertahankan kesanku yang pertama yang tak menyukai kelakuannya.

   Wajah cantik dengan pikiran yang mengerikan di baliknya! "Tinggalkanlah tempatmu yang penting itu,"

   Kata wanita itu tiba-tiba.

   "Dan jangan terlalu mengagungkan dirimu. Waktu kau dipanggil untuk menyelesaikan pekerjaan ini, apakah dengan mendongak angkuh kau berkata bahwa urusan ini adalah urusan yang kotor, dan kau tak mau terlibat dalamnya?"

   "Tidak, tapi -"

   "Bila kau berada di sini karena berlibur, tidakkah kau akan mencari-cari juga seperti aku sekarang? Pasti!"

   "Aku seorang laki-laki. Kau wanita!"

   "Bayanganmu tentang wanita adalah seseorang yang naik ke sebuah kursi dan berteriak-teriak kalau melihat seekor tikus. Itu bayangan prasejarah. Tapi kau mau mengantar aku berkeliling, bukan? Soalnya itu akan berarti suatu perubahan besar bagiku."

   "Perubahan bagimu?"

   "Mereka itu tak mengizinkan seorang wartawan pun masuk. Aku akan bisa membuat perjanjian besar dengan suatu surat kabar. Kau tak bisa membayangkan betapa tingginya bayaran mereka untuk suatu kisah kejadian seperti ini."

   Aku bimbang. Digenggamnya tanganku dengan tangannya yang kecil halus.

   "Tolonglah -Temanku yang baik."

   Aku menyerah.

   Diam-diam aku mengakui, bahwa seharusnya aku merasa senang menjadi penunjuk jalannya.

   Bagaimanapun juga, sikap moral yang diperlihatkan gadis itu bukanlah urusanku.

   Aku hanya agak gugup memikirkan apa yang akan dikatakan Hakim Pemeriksa.

   Tetapi kutenangkan diriku dengan meyakinkan bahwa tidak akan mungkin ada akibat buruknya.

   Mula-mula kami pergi ke tempat jenazah ditemukan.

   Di sana ada seorang yang mengawal.

   Dia memberi hormat dengan sopan karena dia mengenaliku, dan tidak menanyakan tentang teman yang menyertaiku.

   Mungkin dianggapnya gadis itu adalah termasuk tanggung jawabku.

   Kujelaskan pada Cinderella bagaimana jenazah itu ditemukan, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil sekali-sekali menanyakan pertanyaan yang masuk akal.

   Kemudian kami menujukan langkah kami ke arah villa.

   Aku berjalan dengan berhati-hati sekali, karena terus terang, aku tak ingin bertemu dengan siapa pun juga.

   Kuajak gadis itu melewati semak-semak di belakang rumah, di mana ada gudang.

   Aku ingat bahwa kemarin malam, setelah mengunci kembali pintunya, Tuan Bex memberikan kunci itu pada agen polisi yang bernama Marchaud, 'kalau-kalau Tuan Giraud perlu masuk ke gudang itu sedang kami berada di lantai atas.' Kupikir, pastilah detektif dari Dinas Rahasia itu telah mengembalikannya pada Marchaud lagi, setelah dia menggunakannya.

   Kutinggalkan gadis itu di tempat yang tak kelihatan, di semak-semak.

   Aku masuk ke rumah.

   Marchaud sedang bertugas di depan pintu ruang tamu utama.

   Dari dalam kamar itu terdengar gumam suara orang-orang.

   "Apakah Tuan membutuhkan Hakim? Beliau ada di dalam. Beliau sedang menanyai FranCoise lagi."

   "Tidak,"

   Kataku cepat-cepat.

   "saya tidak membutuhkan dia. Tapi saya amat membutuhkan kunci gudang di luar itu, bila itu tidak melanggar peraturan."

   "Tentu boleh, Tuan."

   Dikeluarkannya kunci itu.

   "Silakan. Bapak Hakim memberikan perintah supaya semua fasilitas Anda kami penuhi. Harap Anda kembalikan saja pada saya kalau Anda sudah selesai di luar sana, itu saja."

   "Tentu."

   Aku senang sekali, karena aku menyadari bahwa di mata Marchaud, sekurang-kurangnya, kedudukanku sama pentingnya dengan Poirot. Gadis itu masih menungguku. Dia berseru kegirangan melihat kunci itu di tanganku.

   "Kau mendapatkannya, ya?"

   "Tentu,"

   Kataku dingin.

   "Tapi kau tentu tahu, bahwa apa yang sedang kulakukan ini benar-benar melanggar peraturan."

   "Kau benar-benar sahabat setia yang baik, aku tidak akan melupakan hal itu. Ayolah. Mereka tak bisa melihat kita dari dalam rumah, bukan?"

   "Tunggu."

   Kutahan dia yang sudah ingin sekali pergi.

   "Aku tak mau menahan kalau kau benar-benar ingin masuk. Tapi apakah kau yakin, kau benar-benar ingin? Kau sudah melihat kuburnya, dan kau sudah melihat tempat kejadiannya, lalu kau sudah pula mendengar semua tentang peristiwa itu sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. Tidakkah itu cukup bagimu? Pemandangan di tempat itu tidak akan menyenangkan -bahkan mengerikan."

   Dia memandangku sebentar dengan air muka yang tak dapat kuduga. Lalu dia tertawa.

   "Aku? Ketakutan?"

   Katanya.

   "Mari kita pergi."

   Tanpa berkata-kata lagi kami tiba di pintu gudang itu.

   Aku membukanya dan kami masuk.

   Aku mendekati jenazah, dan dengan halus menyingkap kain penutupnya sebagaimana yang dilakukan Tuan Bex kemarin siangnya.

   Gadis itu mengeluarkan bunyi napas yang tertahan, dan aku menoleh padanya.

   Di wajahnya terbayang ketakutan yang hebat, dan kini dia mendapatkan ganjaran gara-gara kurangnya pertimbangannya.

   Aku sama sekali tak merasa kasihan padanya.

   Dia harus merasakannya sendiri sekarang.

   Perlahan-lahan mayat itu kubalikkan.

   "Lihat,"

   Kataku.

   "dia ditikam dari belakang."

   Suaranya hampir tak terdengar.

   "Dengan apa?"

   Aku mengangguk ke arah stoples gelas.

   "Pisau belati itu."

   Tiba-tiba gadis itu terhuyung, dan lalu roboh. Aku melompat akan membantunya.

   "Kau akan pingsan. Mari keluar. Kau tak tahan rupanya."

   "Air,"

   Gumamnya.

   "Air. Cepat."

   Kutinggalkan dia dan aku berlari masuk ke rumah.

   Untunglah tak seorang pun pelayan ada di tempat itu, hingga aku bisa mengambil segelas air tanpa dilihat, dan menambahkan beberapa tetes brendi dari botol saku.

   Beberapa menit kemudian aku kembali.

   Gadis itu masih terbaring sebagaimana kutinggalkan tadi, tetapi beberapa teguk air yang bercampur brendi itu telah memulihkan keadaannya kembali dengan cepat sekali.

   "Bawa aku keluar dari sini -aduh, cepat, cepat!"

   Katanya sambil menggigil. Aku membawanya ke luar dengan menopangnya, supaya dia mendapat udara segar, dan dia menutup pintunya. Lalu dia menghirup napas dalam-dalam.

   "Sekarang lebih baik. Aduh, mengerikan sekali! Mengapa kaubiarkan aku masuk tadi?"

   Aku menyadari bahwa hal itu sekadar merupakan pernyataan khas wanita, hingga aku tak dapat menahan senyum.

   Diam-diam aku bukannya tak senang bahwa dia pingsan.

   Keadaan itu membuktikan bahwa dia tidaklah terlalu kebal seperti yang kusangka semula.

   Bagaimanapun juga, dia masih muda sekali, dan mungkin tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya.

   "Bukankah aku sudah berusaha untuk menahanmu."

   "Kurasa memang begitu. Nah, selamat tinggal."

   "Hei, kau tak bisa pergi begitu saja -seorang diri. Kau belum kuat. Aku harus menyertaimu kembali ke Merlinville."

   "Omong kosong! Aku sama sekali sudah tak apa-apa lagi."

   "Bagaimana kalau kau pusing lagi? Tidak, aku tetap harus ikut kau."

   Tetapi dia menentang hal itu dengan sekuat tenaga.

   Namun akhirnya, aku mengalah hingga hanya diizinkan mengantar sampai ke pinggir kota saja.

   Kami menyusuri jalan yang telah kami lalui tadi, melewati liang kubur lagi, dan berjalan kembali ke arah jalan besar.

   Setelah tiba di tempat di mana mulai terdapat deretan toko-toko, dia berhenti lalu mengulurkan tangannya.

   "Selamat tinggal, dan terima kasih banyak karena kau telah mengantar aku."

   "Yakinkah kau bahwa kau sudah tak apa-apa lagi?"

   "Ya, terima kasih. Mudah-mudahan kau tidak akan mengalami kesulitan gara-gara mengantar aku melihat-lihat tadi!"

   Aku membantah pikirannya itu dengan ringan.

   "Nah, selamat tinggal."

   "Sampai bertemu,"

   Kataku memperbaikinya.

   "Kalau kau masih tinggal di sini, kita tentu masih bertemu."

   Dia tersenyum padaku.

   "Memang begitu. Sampai jumpa kalau begitu."

   "Tunggu sebentar, kau belum memberikan alamatmu."

   "Oh, aku menginap di Hotel du Phare. Hotel itu kecil, tapi cukup baik. Datanglah menjengukku besok."

   "Baiklah!"

   Kataku, dengan tekanan yang mungkin berlebihan.

   Kuperhatikan dia sampai dia tak kelihatan lagi, lalu aku berbalik dan berjalan kembali ke villa.

   Aku teringat bahwa aku belum mengunci kembali pintu gudang.

   Untunglah, tak seorang pun melihat kealpaanku itu, dan setelah menguncinya kucabut kunci itu lalu kukembalikan pada agen polisi tadi.

   Pada saat itu, aku tiba-tiba menyadari bahwa meskipun Cinderella telah memberikan alamatnya, aku masih tetap tak tahu namanya yang sebenarnya.

   Bab TUAN GIRAUD MENEMUKAN BEBERAPA PETUNJUK DALAM ruang tamu utama kutemukan Hakim Pemeriksa sibuk menanyai tukang kebun tua, Auguste.

   Poirot dan Komisaris, yang juga hadir, menyambut kedatanganku.

   Poirot dengan tersenyum sedang Komisaris membungkuk dengan hormat.

   Diam-diam aku mengambil tempat duduk.

   Tuan Hautet berusaha keras dan sangat cermat sekali, namun tidak berhasil memancing sesuatu yang penting.

   Sarung tangan kebun diakui Auguste sebagai miliknya.

   Sarung tangan itu katanya dipakainya waktu mengurus semacam bunga primula yang beracun bagi orang-orang tertentu.

   Dia tak dapat mengatakan kapan dia memakainya terakhir.

   Dia sama sekali tidak merasa kehilangan.

   Di mana sarung tangan itu disimpan? Kadang-kadang di suatu tempat, kadang-kadang di tempat lain.

   Sekop itu biasanya terdapat di gudang alat-alat yang kecil.

   Apakah gudang itu terkunci? Tentu saja terkunci.

   Di mana kuncinya disimpan? Parbleu! Tentu saja di pintunya! Tak ada sesuatu yang berharga, yang patut dicuri di situ.

   Siapa yang menyangka akan ada bandit atau pembunuh? Hal semacam itu tak pernah terjadi waktu tempat ini masih dihuni oleh Nyonya Vicomte.

   Setelah Tuan Hautet menyatakan bahwa dia sudah selesai dengan tanya-jawab dengannya, orang tua itu pun pergi, sambil tak sudah-sudahnya menggerutu.

   Mengingat bagaimana Poirot bersikeras terus mengenai bekas jejak kaki yang terdapat di bedeng-bedeng bunga, aku memperhatikan orang tua itu dengan saksama selama dia memberikan kesaksiannya.

   Kesimpulanku, dia sama sekali memang tak ada sangkut-pautnya dengan kejahatan itu, atau dia seorang aktor ulung.

   Tiba-tiba aku mendapatkan suatu gagasan.

   Sebelum dia keluar dari pintu aku berkata.

   "Maaf, Tuan Hautet, maukah Anda mengizinkan saya mengajukan satu pertanyaan saja padanya?"

   "Tentu, Tuan."

   Merasa didorong begitu, aku berpaling pada Auguste.

   "Di mana Anda taruh sepatu bot Anda?"

   "Sialan!"

   Geram orang tua itu.

   "Di kaki saya tentu. Di mana lagi?"

   "Tapi kalau Anda tidur malam hari?"

   "Di bawah tempat tidur saya."

   "Lalu siapa yang membersihkannya?"

   "Tak seorang pun. Untuk apa dibersihkan? Apakah saya harus berbaris di barisan terdepan seperti orang muda? Pada hari Minggu, saya tentu mengenakan sepatu khusus hari Minggu, tapi pada hari-hari lain -!"

   Dia mengangkat bahunya. Aku menggeleng kehilangan semangat.

   "Yaah,"

   Kata Hakim.

   "Kita tak banyak mendapatkan kemajuan. Kita terpaksa menunda hal ini sampai kita mendapatkan balasan telegram dari Santiago. Adakah di antara Anda yang melihat Giraud? Benar-benar kurang sopan! Saya ingin menyuruh seseorang memanggilnya, dan -"

   "Anda tak perlu menyuruh orang pergi jauh, Bapak Hakim."

   Kami terkejut mendengar suaranya yang tenang itu. Giraud sedang berdiri di luar, dan dia kini menjenguk ke dalam dari jendela yang terbuka. Dia melompat melalui jendela itu ke dalam kamar, lalu mendekati meja.

   "Saya siap menjalankan tugas-tugas Anda, Pak Hakim. Maafkan saya, karena tidak melapor lebih cepat."

   "Tak apa-apa, tak mengapa,"

   Kata Hakim dengan perasaan tak enak.

   "Soalnya, saya hanya seorang detektif,"

   Lanjut Giraud.

   "saya tak tahu-menahu tentang tanya-jawab. Kalaupun saya mengadakan tanya-jawab, saya tidak akan melakukannya dengan jendela terbuka. Kalau ada orang yang berdiri di luar, dia akan bisa mendengarkan dengan mudah. Tapi sudahlah."

   Merah wajah Tuan Hautet karena marah.

   Jelas bahwa Hakim Pemeriksa dan detektif yang bertugas saling tak menyukai.

   Sejak semula mereka sudah saling membenci.

   Bagi Giraud, semua hakim pemeriksa itu goblok, dan bagi Tuan Hautet, yang menganggap dirinya penting, sikap seenaknya dari detektif Paris itu pasti akan menyulitkan.

   "Eh bien, Tuan Giraud,"

   Kata Hakim agak tajam.

   "Anda pasti telah memanfaatkan waktu Anda dengan baik sekali? Apakah Anda sudah dapat memberikan nama-nama para pembunuhnya pada kami? Juga di mana mereka berada sekarang?"

   Tanpa merasa tersinggung karena sindiran itu, Giraud menjawab.

   "Sekurang-kurangnya, saya tahu dari mana mereka itu."

   "Bagaimana?"

   Giraud mengeluarkan dua buah barang dari sakunya, lalu meletakkannya di atas meja.

   Kami mengerumuni barang itu.

   Barang-barang itu sangat sederhana.

   sebuah puntung rokok, dan sebatang korek api yang belum dinyalakan.

   Detektif itu berbalik menghadapi Poirot.

   "Apa yang Anda lihat itu?"

   Tanyanya. Nadanya terdengar kasar. Mukaku jadi panas dibuatnya. Namun Poirot tetap tak tersinggung. Dia hanya mengangkat bahunya.

   "Sebuah puntung rokok dan sebatang korek api."

   "Lalu, apa yang dapat Anda jelaskan dari barang-barang itu?"

   Poirot menelentangkan kedua belah tangannya.

   "Tidak -tidak ada apa-apa."

   "Oh!"

   Kata Giraud dengan nada puas.

   "Tidakkah Anda pelajari barang-barang ini? Bukan begitu caranya yang lazim -setidak-tidaknya di negeri ini bin. Barang-barang itu biasa terdapat di Amerika Selatan. Untunglah korek apinya belum dinyalakan. Kalau sudah, saya tidak akan bisa mengenalinya. Agaknya salah seorang di antara mereka membuang puntung rokoknya yang sudah mati, lalu menyalakan sebatang lagi. Waktu dia akan menyalakannya, sebatang korek apinya terjatuh."

   "Lalu puntung korek api yang sebatang lagi?"

   "Puntung korek api yang mana?"

   "Puntung yang sudah dinyalakannya. Adakah itu Anda temukan pula?"

   "Tidak."

   "Mungkin Anda kurang teliti mencarinya."

   "Kurang teliti mencarinya -"

   Sesaat terkilas seolah-olah amarahnya akan meledak, tetapi dia berusaha menguasai dirinya.

   "Anda kelihatannya suka berkelakar, Tuan Poirot. Tapi bagaimanapun juga, ada atau tidak puntung korek api yang satu itu, puntung rokok itu saja sudah cukup. Rokok itu dari Amerika Selatan, kertasnya terbuat dari lapisan dalam kayu manis."

   Poirot mengangguk. Komisaris angkat bicara.

   "Puntung rokok dan korek api itu mungkin kepunyaan Tuan Renauld. Ingat, dia baru dua tahun kembali dari Amerika Selatan."

   "Bukan,"

   Sahut detektif itu dengan yakin.

   "Saya telah memeriksa barang-barang milik Tuan Renauld. Rokok yang diisapnya dan korek api yang dipakainya lain sekali."

   "Tidakkah Anda merasa aneh,"

   Tanya Poirot.

   "bahwa orang-orang tak dikenal itu datang tanpa membawa senjata, tanpa membawa sarung tangan, tanpa sekop, dan kebetulan sekali mereka bisa menemukan barang-barang itu di sini?"

   Giraud tersenyum dengan sikap super.

   "Tentu saja aneh. Tanpa teori yang ada pada saya, hal itu memang tak bisa dijelaskan."

   "Oh!"

   Kau Tuan Hautet.

   "Maksud Anda mereka berkomplot, dan seorang dari komplotan itu ada dalam rumah ini?"

   "Atau di luar,"

   Kata Giraud dengan senyum aneh.

   "Tapi lalu tentu harus ada yang membukakannya pintu? Bukankah kita tak bisa beranggapan, bahwa nasibnya demikian baiknya, hingga mereka menemukan pintu dalam keadaan terbuka sedikit dan bisa masuk?"

   "Setuju, Pak Hakim. Memang ada seseorang yang membukakan mereka pintu, tapi pintu itu bisa saja dengan mudah dibuka dari luar -oleh seseorang yang memiliki kuncinya."

   "Tapi siapa yang memilikinya?"

   Giraud mengangkat bahunya.

   "Mengenai hal itu, kalaupun ada yang memilikinya, dia tentu akan berusaha untuk tidak mengatakannya. Tapi ada beberapa orang yang mungkin memilikinya. Tuan Jack Renauld, putra mereka, umpamanya. Dia memang sedang dalam perjalanan ke Amerika Selatan, tapi mungkin dia telah kehilangan kunci itu atau kunci itu telah dicuri orang. Kemudian tukang kebun -dia sudah bertahun-tahun di sini. Salah seorang pelayan yang masih muda mungkin pula punya pacar di luar. Mudah saja menjiplak bentuk kunci dan menyuruh orang membuat tiruannya. Pokoknya, banyak kemungkinannya. Kemudian ada lagi seseorang, yang menurut saya sangat mungkin menyimpan barang seperti itu."

   "Siapa?"

   "Nyonya Daubreuil,"

   Kata detektif itu datar.

   "Ehem!"

   Kata Hakim dengan wajah agak sedih.

   "rupanya Anda juga sudah mendengar tentang hal itu, ya?"

   "Saya mendengar segalanya,"

   Kata Giraud dengan tenang.

   "Pasti ada satu hal yang belum Anda dengar,"

   Kata Tuan Hautet dengan senang, karena bisa memperlihatkan kelebihan pengetahuannya, dan tanpa menunggu lebih lama, diceritakannya kisah tentang tamu misterius yang datang pada malam hari menjelang kejadian itu.

   Dia juga menyinggung tentang cek yang ditulis untuk Duveen, dan akhirnya memberikan surat yang ditandatangani oleh Bella pada Giraud.

   Giraud mendengarkan tanpa berkata apa-apa, membaca surat itu dengan saksama, lalu dikembalikannya.

   "Semuanya menarik sekali, Pak Hakim. Tapi teori saya tetap, tak bisa diganggu gugat."

   "Apa teori Anda itu?"

   "Sementara ini saya tak mau mengatakannya. Ingat, saya baru saja mulai dengan penyelidikan saya."

   "Tolong katakan satu hal, Tuan Giraud,"

   Kata Poirot tiba-tiba.

   "Menurut teori Anda pintu terbuka. Teori itu tidak menjelaskan mengapa pintu itu dibiarkan terbuka. Bila mereka pergi, tidakkah wajar kalau mereka menutupnya kembali? Bila seorang agen polisi kebetulan datang ke rumah ini, seperti yang kadang-kadang dilakukannya, untuk melihat apakah semuanya aman, mereka bisa ketahuan dan segera terkejar."

   "Ah! Mereka lupa. Pasti suatu keteledoran, yakinlah."

   Lalu aku heran, karena Poirot mengucapkan lagi kata-kata yang hampir sama dengan yang diucapkannya terhadap Bex malam kemarin.

   "Saya tak sependapat dengan Anda. Pintu yang dibiarkan terbuka, atau yang memang sengaja dibuka, atau memang dianggap perlu terbuka, dan semua teori yang membantah hal itu, pasti akan salah."

   Kami semua memandang pria kecil itu dengan amat terkejut.

   Tadi dia terpaksa mengakui bahwa dia tak tahu-menahu tentang batang korek api itu tadi.

   Kurasa hal itu pasti telah membuatnya malu.

   Tetapi sekarang, seperti biasanya, dia mengemukakan hukumnya pada Giraud yang agung tanpa ragu-ragu dan dengan perasaan puas.

   Detektif dari Paris itu memilin-milin kumisnya, sambil memandang sahabatku dengan sikap geli.

   "Anda tak sependapat dengan saya, bukan? Nah, apa yang menurut Anda paling istimewa dalam perkara ini? Coba saya dengar pendapat Anda."

   "Satu hal yang saya lihat jelas sekali. Coba ingat-ingat, Tuan Giraud, tak adakah sesuatu yang menurut Anda seperti pernah Anda kenali dalam perkara ini? Apakah tak ada yang mengingatkan Anda akan sesuatu?"

   "Pernah dikenal? Mengingatkan saya akan sesuatu? Saya tak dapat langsung menjawabnya. Tapi saya rasa, tidak."

   "Anda keliru,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "Ada suatu kejahatan yang hampir sama benar caranya pernah dilakukan."

   "Kapan? Dan di mana?"

   "Oh, mengenai hal itu, sayangnya, saya belum dapat mengingatnya sekarang ini -tapi kelak pasti bisa. Tadinya saya berharap Andalah yang bisa membantu mengingatkan saya."

   Giraud mendengus terang-terangan.

   "Banyak sekali kejadian dengan orang-orang berkedok! Saya tak bisa mengingatnya satu demi satu. Semua kejahatan ini kira-kira sama saja."

   "Namun ada yang biasa dinamakan ciri khasnya."

   Poirot tiba-tiba bersikap seperti orang memberikan kuliah dan menujukan pembicaraannya pada kami semua.

   "Sekarang saya akan membicarakan segi psikologis kejahatan. Tuan Giraud tentu tahu bahwa setiap penjahat punya cara khasnya sendiri, dan polisi yang kemudian dipanggil untuk menyelidiki -dalam suatu perkara pencurian, umpamanya -sering kali sudah bisa menduga siapa pelakunya, hanya dengan melihat cara tertentu yang dipakainya. (Japp tentu akan berkata begitu pula padamu, Hastings.) Manusia adalah makhluk yang berlain-lainan. Berlainan, baik dalam hukum, dalam hidupnya sehari-hari, maupun di luar hukum. Bila seseorang melakukan kejahatan, maka semua kejahatan lain yang dilakukannya pasti mirip benar dengan cara kejahatan yang pernah dilakukannya itu. Perkara seorang pembunuh berkebangsaan Inggris yang menyingkirkan istri-istrinya secara berturut-turut dengan cara membenamkannya dalam bak mandinya, adalah salah satu contoh. Bila caranya itu diubahnya, mungkin sampai sekarang pun dia masih belum tertangkap. Tapi dia menuruti petunjuk-petunjuk biasa dalam kebiasaan manusiawinya, dengan berpikir bahwa apa yang telah berhasil tentu akan berhasil lagi, dan dengan demikian dia mendapatkan ganjarannya."

   "Lalu apa maksudnya semua ini?"

   Cemooh Giraud.

   "Bahwa bila kita menemukan dua kejahatan yang sama benar perencanaannya dan cara kerjanya, kita akan menemukan otak yang sama pula di baliknya. Saya sedang mencari otak itu, Tuan Giraud -dan saya pasti bisa menemukannya. Di sini kita menemukan petunjuk yang tepat -petunjuk psikologis. Mungkin Anda tahu semua tentang puntung-puntung rokok dan korek api, Tuan Giraud, tapi saya, Hercule Poirot, tahu pikiran manusia!"

   Dan pria kecil yang lucu itu mengetuk-ngetuk dahinya dengan sikap penting. Giraud masih tetap tak terkesan sama sekali.

   "Untuk menuntun Anda,"

   Poirot melanjutkan.

   "akan saya tunjukkan pula suatu kenyataan yang mungkin tak tampak oleh Anda. Sehari setelah kejadian menyedihkan itu, arloji Nyonya Renauld terlalu cepat dua jam. Hal itu mungkin akan menarik untuk Anda selidiki."

   Giraud terbelalak.

   "Mungkin saja memang biasa terlalu cepat."

   "Sebenarnya begitulah kata mereka pada saya."

   "Kalau begitu, eh bien!"

   "Tapi, dua jam itu lama,"

   Kata Poirot dengan halus.

   "Kemudian ada pula soal bekas telapak kaki di bedeng bunga."

   Dia mengangguk ke arah jendela yang terbuka. Dengan penuh semangat dan dengan langkah panjang-panjang, Giraud pergi ke jendela itu, lalu melihat ke luar.

   "Bedeng yang ini?"

   "Ya."

   "Tapi saya tak melihat bekas telapak kaki."

   "Tidak,"

   Kata Poirot sambil meluruskan letak setumpukan buku-buku di atas meja.

   "Memang tak ada."

   Suatu pandangan geram membayangi wajah Giraud sejenak. Dia mengambil langkah-langkah panjang ke arah penggodanya, tapi pada saat itu pintu ruang tamu terbuka, dan Marchaud mengumumkan.

   "Tuan Stonor, sekretaris Tuan Renauld, baru tiba dari Inggris. Bolehkah beliau masuk?"

   Bab 10 GABRIEL STONOR LAKI-LAKI yang memasuki ruangan itu adalah orang yang segera menarik perhatian.

   Tubuhnya yang jangkung, dengan bobot yang bagus potongannya, serta wajah dan leher yang cukup banyak mendapat sinar matahari, melebihi semua orang yang berkumpul dalam ruang itu.

   Bahkan Giraud pun kelihatan tak berarti di sampingnya.

   Setelah aku mengenalnya lebih baik, kusadari bahwa Gabriel Stonor mempunyai kepribadian yang istimewa.

   Dia kelahiran Inggris, tapi sudah bepergian ke mana-mana di seluruh dunia.

   Dia pernah berburu binatang-binatang besar di Afrika, pernah mengusahakan tanah pertanian di California, dan berdagang di Kepulauan Laut Selatan.

   Dia pernah menjadi sekretaris seorang jutawan kereta api di New York, dan pernah pula berkemah di padang pasir bersama suatu suku bangsa yang baik selama setahun.

   Dengan mata yang terlatih dia bisa mengenali Tuan Hautet.

   "Anda hakim pemeriksa dalam perkara ini? Selamat bertemu, Pak Hakim. Mengerikan sekali perkara ini. Bagaimana Nyonya Renauld? Bisakah beliau menanggung semua ini dengan baik? Dia tentu mengalami shock yang hebat."

   "Ya, hebat sekali,"

   Kata Tuan Hautet.

   "Saya perkenalkan, Tuan Bex -komisaris polisi kami, Tuan Giraud dari Dinas Rahasia. Tuan ini adalah Hercule Poirot. Tuan Renauld telah memintanya datang, tapi beliau datang terlambat untuk mencegah kejadian itu. Ini sahabat Tuan Poirot, Kapten Hastings."

   Stonor melihat pada Poirot dengan penuh perhatian.

   "Meminta Anda datang rupanya beliau, ya?"

   "Jadi Anda tak tahu bahwa Tuan Renauld telah memanggil seorang detektif?"

   Sela Tuan Bex.

   "Tidak. Tapi saya sama sekali tak heran."

   "Mengapa?"

   "Karena orang tua itu kebingungan! Saya tak tahu apa yang dibingungkannya. Dia tidak menceritakannya pada saya. Hubungan kami belum sebegitu jauh. Tapi beliau jelas kebingungan -hebat sekali!"

   "Hm!"

   Kata Tuan Hautet.

   "Tapi Anda tak tahu apa sebabnya?"

   "Sudah saya katakan, tidak."

   "Maaf, Tuan Stonor, tapi kami harus mulai dengan beberapa formalitas. Nama Anda?"

   "Gabriel Stonor."

   "Sudah berapa lama Anda menjadi sekretaris Tuan Renauld?"

   "Sudah dua tahun, sejak beliau mula-mula tiba dari Amerika Selatan. Saya bertemu dengan beliau melalui seorang teman saya yang juga kenal padanya, dan beliau menawari saya pekerjaan ini. Beliau bos yang benar-benar baik."

   "Apakah dia banyak bercerita tentang hidupnya di Amerika Selatan?"

   "Ya, banyak."

   "Tahukah Anda bahwa dia pernah tinggal di Santiago?"

   "Saya rasa telah beberapa kali beliau ke sana."

   "Tak pernahkah dia bercerita tentang suatu kejadian khusus yang terjadi di sana -sesuatu yang mungkin menimbulkan permusuhan terhadap dirinya?"

   "Tak pernah."

   "Adakah dia pernah mengatakan sesuatu tentang suatu rahasia?"

   "Seingat saya tidak. Tapi, memang ada suatu misteri pada dirinya. Beliau tak pernah bercerita tentang masa kecilnya, umpamanya, atau mengenai kejadian-kejadian sebelum dia berangkat ke Amerika Selatan. Saya rasa dia orang Kanada keturunan Prancis, tapi saya tak pernah mendengar dia berbicara tentang kehidupannya di Kanada. Dia memang bisa menutup mulut rapat-rapat seperti kerang."

   "Jadi sepanjang pengetahuan Anda, dia tak punya musuh? Lalu tak dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai suatu rahasia yang membuatnya sampai terbunuh, karena orang ingin mendapatkannya?"

   "Tak bisa."

   "Tuan Stonor, pernahkah Anda mendengar nama Duveen yang punya hubungan dengan Tuan Renauld?"

   "Duveen. Duveen."

   Dia mencoba mengingat-ingat nama itu.

   "Rasanya tak pernah. Tapi rasanya saya pernah mendengar nama itu."

   "Kenalkah Anda seorang wanita, seorang teman Tuan Renauld, yang nama awalnya Bella?"

   Tuan Stonor menggeleng lagi.

   "Bella Duveen? Apakah itu nama lengkapnya? Aneh sekali! Saya yakin saya tahu nama itu. Tapi pada saat ini, saya tak ingat dalam hubungan apa."

   Hakim mendehem.

   "Ketahuilah, Tuan Stonor. Harap Anda tidak menyembunyikan apa-apa. Mungkin Anda, dengan mempertimbangkan perasaan Nyonya Renauld -yang saya dengar amat Anda hormati dan sayangi. Anda mungkin -yah!"

   Kata Tuan Hautet. yang kata-katanya jadi kacau.

   "pokoknya sama sekali tak ada yang boleh disembunyikan."

   Stonor memandanginya dengan mata terbelalak, lalu matanya membayangkan bahwa dia mulai mengerti.

   "Saya kurang mengerti,"

   Katanya dengan halus.

   "Apa hubungannya dengan Nyonya Renauld? Saya sangat menghormati dan menyayangi wanita itu; beliau orang yang hebat dan istimewa, tapi saya tak mengerti, bagaimana keterbukaan saya dalam perkara ini atau tertutupnya saya, mempengaruhi beliau?"

   "Tak ada hubungannya, kecuali kalau Bella Duveen itu lebih dari sekadar sahabat bagi suaminya."

   "Oh!"

   Kata Stonor.

   "Sekarang saya mengerti. Tapi saya berani mempertaruhkan uang saya sampai sen yang terakhir, bahwa Anda keliru. Pria tua itu menoleh saja pun tak mau pada perempuan lain. Dia memuja istrinya sendiri. Merekalah pasangan yang paling mesra yang pernah saya lihat."

   Tuan Hautet menggeleng perlahan-lahan.

   "Tuan Stonor, kami ada bukti jelas -sepucuk surat cinta yang ditulis oleh Bella pada Tuan Renauld. Dalam surat itu dia menuduh bahwa laki-laki itu telah bosan padanya. Apa lagi, kami ada lagi bukti, bahwa pada saat kematiannya, dia sedang punya hubungan gelap dengan seorang wanita Prancis, yang bernama Nyonya Daubreuil, yang menyewa villa di sebelah situ. Itulah laki-laki yang menurut Anda tak pernah menoleh pada perempuan lain!"

   Sekretaris itu menyipitkan matanya.

   "Tunggu sebentar, Pak Hakim. Anda sedang menelanjangi orang yang salah. Saya kenal betul Paul Renauld. Apa yang Anda katakan itu semuanya tak mungkin. Pasti ada penjelasan lain."

   Hakim itu mengangkat bahunya.

   "Apa penjelasan lain itu?"

   "Apa yang membuat Anda menduga bahwa itu adalah peristiwa cinta?"

   "Nyonya Daubreuil punya kebiasaan mendatangi laki-laki itu malam hari. Juga, sejak Tuan Renauld tinggal di Villa GeneviEve, Nyonya Daubreuil telah menyetorkan banyak uang tunai. Jumlahnya mencapai empat ribu dalam mata uang pound Anda."

   "Itu memang benar,"

   Kata Stonor dengan tenang.

   "Saya sendiri yang mengirimkan uang itu atas permintaannya. Tapi itu bukan hubungan gelap."

   "Ah! Tuhanku! Lalu hubungan apa?"

   "Pemerasan,"

   Kata Stonor tajam, sambi! menepuk meja kuat-kuat.

   "Itulah persoalannya."

   "Ah! Itu pendapat baru!"

   Seru Hakim. Mau tak mau dia merasa terguncang.

   "Pemerasan,"

   Ulang Stonor.

   "Orang tua itu diperas habis-habisan -jumlahnya besar sekali. Empat ribu pound dalam beberapa bulan. Huh! Sudah saya katakan bahwa Tuan Renauld itu diselubungi misteri. Agaknya Nyonya Daubreuil tahu betul itu dan memanfaatkannya dengan baik."

   "Itu memang mungkin,"

   Teriak Komisaris dengan bersemangat.

   "Itu pasti masuk akal."

   "Mungkin?"

   Geram Stonor.

   "Itu sudah jelas! Sudahkah Anda tanyai Nyonya Renauld mengenai gagasan soal cinta Anda itu?"

   "Belum. Kami tak ingin menimbulkan kesedihan hatinya kalau hal itu bisa dicegah."

   "Kesedihan? Ah, dia hanya akan menertawakan Anda. Saya ulangi, beliau dan Tuan Renauld adalah pasangan abadi."

   "Ah, hal itu mengingatkan saya pada suatu hal lain,"

   Kata Tuan Hautet.

   "Apakah Tuan Renauld pernah mengatakan pada Anda, bahwa dia telah mengubah surat wasiatnya?"

   "Saya tahu semua -saya yang membawanya ke pengacaranya setelah dibuatnya. Kalau Anda ingin melihatnya, saya bisa memberitahukan nama pengacaranya. Mereka yang menyimpannya. Surat wasiat itu sederhana sekali. Separuh diserahkannya pada istrinya untuk selama hidupnya, yang separuh lagi untuk putranya. Masih ada beberapa peninggalan lain. Kaku tak salah saya ditinggalnya beberapa ribu."

   "Kapan surat wasiat itu dibuat?"

   "Kira-kira satu setengah tahun yang lalu."

   "Apakah Anda akan terkejut sekali, Tuan Stonor, bila Anda mendengar bahwa Tuan Renauld telah membuat surat wasiat baru, kurang dari dua minggu yang lalu?"

   Stonor kelihatan sangat terkejut.

   "Saya tak tahu. Bagaimana bunyinya?"

   "Seluruh kekayaannya yang banyak itu diwariskannya, tanpa sisa, pada istrinya. Tak ada disebut sebut tentang putranya."

   Tuan Stonor bersiul panjang.

   "Itu jelas sangat merugikan anak muda itu. Ibunya sangat memujanya, tapi bagi dunia luar kelihatannya ayahnya kurang menaruh kepercayaan padanya. Hal itu tentu akan merupakan sesuatu yang pahit bagi harga dirinya. Namun, hal itu semua membuktikan kebenaran kata-kata saya tadi, yaitu bahwa hubungan Tuan Renauld dengan istrinya mesra sekali."

   "Memang benar,"

   Kata Tuan Hautet.

   "Mungkin kita akan harus mengubah jalan pikiran kita mengenai beberapa hal. Kami sudah mengirim telegram ke Santiago, dan jawabannya kami harapkan akan datang setiap saat. Dengan demikian mungkin semuanya akan menjadi jelas, dan bisa difahami. Sebaliknya, bila dugaan Anda mengenai 'pemerasan' itu memang benar, maka Nyonya Daubreuil seharusnya bisa memberi kita informasi yang berharga."

   Poirot bertanya.

   "Tuan Stonor, apakah Masters, supir yang berkebangsaan Inggris itu, sudah lama bekerja pada Tuan Renauld?"

   "Setahun lebih."

   "Tahukah Anda, apakah dia pernah tinggal di Amerika Selatan?"

   "Saya tahu betul, tak pernah. Sebelum bekerja pada Tuan Renauld, selama bertahun-tahun dia bekerja pada orang di Gloucestershire yang saya kenal baik."

   "Jelasnya, bisakah Anda menjawab atas namanya, bahwa dia tak perlu dicurigai?"

   "Pasti."

   Poirot kelihatan agak kecewa. Sementara itu Hakim telah memanggil Marchaud.

   "Sampaikan salamku pada Nyonya Renauld, katakan bahwa aku ingin berbicara dengan beliau sebentar. Katakan padanya supaya tak usah bersusah-payah. Aku akan menjumpainya sendiri di atas."

   Marchaud memberi salam lalu pergi.

   Kami menunggu beberapa menit, lalu kami terkejut waktu pintu terbuka, karena yang masuk adalah Nyonya Renauld yang pucat-pasi.

   Tuan Hautet membawakannya kursi, sambil tak sudah-sudahnya meminta maaf, dan wanita itu mengucapkan terima kasih dengan tersenyum.

   Tangannya yang sebelah dipegang Stonor dengan sikap sopan sekali.

   Pria itu agaknya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

   Nyonya Renauld menoleh pada Tuan Hautet.

   "Anda ingin menanyakan sesuatu pada saya, Tuan Hakim?"

   "Dengan izin Anda, Nyonya. Saya dengar, suami Anda adalah orang Kanada keturunan Prancis. Dapatkah Anda menceritakan sesuatu tentang masa mudanya, atau pendidikannya?"

   Wanita itu menggeleng.

   "Suami saya selalu tertutup mengenai dirinya, Tuan. Saya rasa masa kanak-kanaknya tidak bahagia, karena dia tak pernah mau membicarakan tentang masa itu. Kami menjalani hidup ini semata-mata atas dasar masa kini dan masa depan."

   "Adakah sesuatu yang misterius dalam hidup masa lalunya?"

   Nyonya Renauld tersenyum kecil lalu menggeleng.

   "Tak ada sesuatu yang begitu romantis, Tuan Hakim."

   Tuan Hakim ikut tersenyum.

   "Memang, kita memang tak boleh membiarkan diri kita menjadi terlalu romantis. Tetapi ada satu hal lagi -"

   Dia ragu. Stonor cepat menyela.

   "Mereka punya gagasan yang aneh, Nyonya Renauld. Mereka membayangkan bahwa Tuan mempunyai hubungan gelap dengan seseorang yang bernama Nyonya Daubreuil, yang katanya tinggal di sebelah sini."

   Pipi Nyonya Renauld menjadi merah tua. Dia mendongakkan kepalanya lalu menggigit bibirnya. Wajahnya tampak bergetar. Stonor terkejut melihatnya, tetapi Tuan Bex membungkuk lalu berkata dengan halus.

   "Kami menyesal menyakiti hati Anda, Nyonya, tapi mungkinkah Anda punya alasan untuk menduga bahwa Nyonya Daubreuil adalah kekasih gelap suami Anda?"

   Dengan terisak sedih, Nyonya Renauld membenamkan wajahnya ke dalam tangannya. Bahunya terangkat tegang. Akhirnya diangkatnya kepalanya, dan berkata terputus-putus.

   "Mungkin benar."

   Tak pernah aku melihat orang yang demikian hebat tercengangnya seperti Stonor.

   Dia benar-benar terpana.

   Bab 11 JACK RENAULD AKU tak dapat mengatakan bagaimana percakapan itu akan berkelanjutan, karena pada saat itu pintu terbuka lebar-lebar, dan seorang anak muda yang jangkung masuk.

   Sesaat aku dilanda perasaan ngeri bahwa orang yang sudah meninggal itu hidup kembali.

   Kemudian aku sadar bahwa rambut yang hitam itu tak ada ubannya, dan dapat dilihat dengan jelas bahwa usianya baru lebih sedikit dari seorang anak.

   Dia menyerbu kami tanpa basa-basi.

   Dia langsung cepat-cepat mendatangi Nyonya Renauld, tanpa mempedulikan kehadiran kami yang lain.

   "Ibu!"

   "Jack!"

   Sambil berseru anak muda itu didekapnya dalam pelukannya.

   "Sayangku! Mengapa kau sampai kemari? Bukankah seharusnya kau sudah berlayar dengan kapal Anzora dari Cherbourg dua hari yang lalu?"

   Kemudian wanita itu tiba-tiba menyadari kehadiran kami yang lain. Dia lalu berbalik dengan anggun.

   "Anak saya, Tuan-tuan."

   "Oh!"

   Kata Tuan Hautet, sambil membalas anggukan anak muda itu.

   "Rupanya Anda tak jadi berlayar dengan kapal Anzora?"

   "Tidak, Tuan. Saya baru saja akan menerangkan, bahwa keberangkatan Anzora tertunda dua puluh empat jam karena kerusakan mesin. Saya tak jadi berangkat malam kemarinnya, dan seharusnya berangkat semalam. Lalu saya kebetulan membeli surat kabar petang, dan di dalamnya saya membaca berita tentang -musibah yang menimpa kami -"

   Suaranya terputus dan air matanya tergenang.

   "Kasihan ayahku -kasihan ayahku yang malang."

   Sambil mengamati anaknya seolah-olah dalam mimpi, Nyonya Renauld berkata lagi.

   "Jadi kau tak jadi berlayar?"

   Lalu seolah-olah tak disadarinya, dia bergumam seakan-akan pada dirinya sendiri.

   "Tapi sudahlah, sudah tak ada artinya lagi -sekarang."

   "Silakan duduk, Tuan Renauld,"

   Kata Tuan Hautet, sambil menunjuk ke sebuah kursi.

   "Saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Tentu Anda sangat terkejut mendapatkan berita dengan cara itu. Namun amatlah menguntungkan bahwa Anda tak jadi berlayar. Saya berharap bahwa Anda mungkin bisa memberi kami informasi yang kami butuhkan untuk menyingkap misteri ini."

   "Saya siap sedia, Bapak Hakim. Tanyakan saja apa yang ingin Anda ketahui."

   "Pertama-tama, saya dengar bahwa perjalanan Anda ini Anda lakukan atas permintaan ayah Anda?"

   "Memang benar, Pak Hakim. Saya menerima sepucuk telegram dari ayah saya, yang menyuruh saya melanjutkan perjalanan saya terus ke Buenos Ayres, lalu dari sana terus melalui Andes ke Valparaiso dan terus ke Santiago."

   "Oh begitu. Lalu apa tujuan perjalanan itu?"

   "Saya tak tahu, Pak Hakim."

   "Apa?"

   "Saya tak tahu. Lihatlah, ini telegramnya."

   Hakim mengambil telegram itu, lalu membacanya dengan nyaring.

   "'Lanjutkan segera perjalanan ke Cherbourg naik kapal Anzora yang akan berlayar nanti malam ke Buenos Ayres. Tujuan akhir Santiago. Instruksi selanjutnya akan menunggu di Buenos Ayres. Jangan sampai gagal. Persoalannya amat penting. Renauld.' Lalu tak adakah surat-menyurat terdahulu mengenai persoalan itu?"

   Jack Renauld menggeleng.

   "Itulah satu-satunya keterangannya. Tentu saya tahu bahwa ayah saya yang sudah begitu lama tinggal di Amerika Selatan banyak urusan di sana. Tapi sebelum itu tak pernah dia menyuruh saya ke sana."

   "Tapi Anda tentu sering kali ke Amerika Selatan, Tuan Renauld?"

   "Waktu masih kecil, saya di sana. Tapi saya mendapatkan pendidikan saya di Inggris, dan menghabiskan sebagian besar dari hari-hari libur saya di Inggris pula, hingga saya benar-benar hanya tahu sedikit sekali tentang Amerika Selatan daripada yang diharapkan."

   Tuan Hautet mengangguk, lalu melanjutkan tanya-jawabnya seperti yang sudah dilakukannya terdahulu.

   Sebagai jawaban, Jack Renauld menyatakan dengan pasti, bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang adanya permusuhan yang telah melibatkan ayahnya di kota Santiago, atau di tempat lain di benua Amerika Selatan.

   Dia tidak pula melihat adanya perubahan dalam tingkah laku ayahnya akhir-akhir ini, dan tak pernah mendengarnya menyebut-nyebut suatu rahasia.

   Perintah perjalanannya ke Amerika Selatan dianggapnya berhubungan dengan urusan perusahaan saja.

   Waktu Tuan Hautet berhenti sebentar, Giraud menyela dengan suara halus.

   "Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, Pak Hakim."

   "Tentu, Tuan Giraud, silakan,"

   Kata Hakim dengan nada dingin. Giraud menyeret kursinya agak mendekati meja.

   "Apakah hubungan Anda dengan ayah Anda baik-baik saja, Tuan Renauld?"

   "Tentu saja,"

   Sahut anak muda itu dengan angkuh.

   "Dapatkah Anda memastikan hal itu?"

   "Ya."

   "Tak adakah pertengkaran-pertengkaran kecil?"

   Jack mengangkat bahunya.

   "Semua orang kadang-kadang mungkin saja ada perbedaan pendapat."

   "Memang benar. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan dengan pasti bahwa Anda bertengkar hebat dengan ayah Anda pada malam menjelang keberangkatan Anda ke Paris, apakah orang itu berbohong?"

   Mau tak mau aku mengakui kepandaian Giraud. Kesombongannya waktu berkata.

   "Saya tahu segala-galanya", bukanlah isapan jempol belaka. Jack Renauld benar-benar tampak kacau oleh pertanyaan itu.

   "Ka -kami memang bertengkar,"

   Dia mengakui.

   "Oh, bertengkar rupanya. Lalu dalam pertengkaran itu, apakah Anda menggunakan kata-kata, 'Kalau Ayah mati, saya bisa berbuat sesuka hati saya'?"

   "Mungkin,"

   Gumam yang ditanya.

   "saya tak sadar."

   "Menjawab kata-kata Anda itu, apakah ayah Anda berkata, 'Tapi aku belum mati!' Dan kata-kata itu Anda balas pula dengan mengatakan 'Saya kepingin Ayah mati!'?"

   Anak muda itu tak dapat menjawab. Tangannya mempermainkan barang-barang yang ada di atas meja dengan gugup.

   "Saya minta jawaban, Tuan Renauld,"

   Kata Giraud dengan tajam. Sambil berseru dengan marah, anak muda itu melemparkan sebuah pisau pembuka surat yang berat ke lantai.

   "Buat apa lagi? Anda pun sudah tahu. Ya, saya memang bertengkar dengan ayah saya. Saya pasti telah mengucapkan kata-kata itu -saya demikian marahnya, hingga saya tak tahu lagi apa yang saya katakan! Saya marah sekali -saya sampai hampir-hampir bisa membunuhnya pada saat itu -nah begitulah keadaannya, sekarang terserah!"

   Dia bersandar di kursinya. Mukanya merah, dan sikapnya menantang. Giraud tersenyum. Lalu sambil mendorong kursinya agak ke belakang sedikit, dia berkata.

   "Sekian saja. Anda tentu ingin melanjutkan tanya-jawab Anda, Pak Hakim."

   "Ya, memang benar,"

   Kata Tuan Hautet.

   "apa yang menjadi bahan pertengkaran Anda?"

   "Saya menolak menyatakannya."

   Tuan Hautet menegakkan duduknya.

   "Tuan Renauld, Anda tidak boleh mempermainkan hukum!"

   Bentaknya.

   "Apa bahan pertengkaran Anda waktu itu?"

   Renauld muda tetap diam, wajahnya yang kekanak-kanakan merengut dan murung. Pada saat itu terdengar suatu suara yang dingin dan tenang, yaitu suara Poirot.

   "Saya akan memberi tahu Anda, kalau Anda mau, Bapak Hakim."

   "Anda tahu?"

   "Tentu saja tahu. Yang menjadi bahan pertengkaran itu adalah Nona Marthe Daubreuil."

   Renauld melompat terperanjat. Hakim mendekatkan dirinya ke meja.

   "Benarkah itu, Tuan Renauld?"

   Jack Renauld menunduk.

   "Benar,"

   Dia mengakui.

   "Saya mencintai Nona Daubreuil, dan saya ingin menikah dengannya. Waktu saya memberitahukan hal itu pada ayah saya, langsung saja dia mengamuk. Jelas saya tak tahan mendengar gadis yang saya cintai dihina, dan saya pun menjadi marah juga."

   Tuan Hautet melihat ke seberang meja, ke arah Nyonya Renauld.

   "Apakah Anda mengetahui tentang -pertengkaran itu, Nyonya?"

   "Saya juga kuatir hal itu akan terjadi,"

   Sahutnya singkat.

   "Ibu!"

   Pekik anak muda itu.

   "Ibu sama saja rupanya! Marthe itu bukan saja cantik, tapi juga baik. Apa saja yang tak berkenan di hati Ibu mengenai dia?"

   "Tak ada satu pun yang tak berkenan di hatiku mengenai Nona Daubreuil. Tapi aku lebih suka bila kau menikah dengan seorang wanita Inggris, atau kalaupun dengan wanita Prancis, tidak dengan seseorang yang mempunyai ibu yang leluhurnya meragukan!"

   Kebenciannya terhadap wanita yang lebih tua itu terdengar jelas dalam suaranya, dan aku bisa mengerti dengan baik bahwa dia mengalami pukulan yang hebat ketika putra tunggalnya menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta pada putri saingannya itu.

   Nyonya Renauld meneruskan lagi berbicara dengan Hakim.

   "Barangkali seharusnya saya membicarakan hal itu dengan suami saya. Tapi saya semula berharap bahwa itu hanya cinta monyet yang akan lebih cepat berlalu jika tidak diperhatikan. Sekarang saya merasa bersalah, karena saya tidak berbicara. Tapi sebagaimana sudah saya katakan, akhir-akhir ini suami saya kelihatannya begitu kuatir dan murung dan jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya, hingga saya selalu berusaha untuk tidak menambah beban pikirannya."

   Tuan Hautet mengangguk.

   "Waktu Anda memberitahukan pada ayah Anda mengenai niat Anda terhadap Nona Daubreuil,"

   Hakim itu melanjutkan.

   "apakah dia terkejut?"

   "Dia benar-benar terperanjat. Kemudian dia memerintahkan saya untuk membuang jauh-jauh semua gagasan itu dari pikiran saya. Dia tidak akan pernah mau memberikan restunya pada pernikahan itu katanya. Dengan rasa jengkel, saya menuntut penjelasan, apa yang menyebabkannya tidak menyukai Nona Daubreuil. Ayah tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu, tapi berbicara dengan kata-kata yang menghina mengenai misteri yang menyelubungi kehidupan kedua orang anak-beranak itu. Saya jawab bahwa saya akan mengawini Marthe, dan bukan leluhurnya, tapi dia berteriak memarahi saya dan dengan tegas menolak untuk membicarakan soal itu lagi. Seluruh gagasan itu harus saya buang begitu saja. Ketidakadilan dan kesewenangan itu membuat saya marah sekali -terutama karena ayah sendiri sering menaruh perhatian besar pada kedua beranak Daubreuil itu, dan selalu menganjurkan agar mereka diundang ke rumah. Saya mengamuk, dan kami lalu bertengkar hebat. Ayah mengingatkan saya, bahwa saya masih benar-benar tergantung padanya, dan mungkin dalam menjawab kata-katanya itulah saya berkata bahwa saya akan bisa berbuat sesuka hati saya sesudah dia meninggal -"

   Poirot menyela dengan cepat-cepat mengajukan pertanyaan.

   "Kalau begitu Anda tahu isi surat wasiat ayah Anda?"

   "Saya tahu bahwa dia telah mewariskan separuh dari kekayaannya pada saya, sedang yang separuh lagi ditinggalkan untuk ibu saya, dan akan menjadi milik saya pula setelah Ibu meninggal,"

   Sahut anak muda itu.

   "Lanjutkan cerita Anda,"

   Kata Hakim.

   "Setelah itu kami bertengkar dengan berteriak-teriak dengan marah sekali, sampai saya tiba-tiba menyadari bahwa saya hampir ketinggalan kereta api yang akan berangkat ke Paris. Saya terpaksa berlari-lari ke stasiun, masih dalam keadaan marah sekali. Namun, segera setelah saya berada jauh, saya menjadi tenang. Saya menulis surat pada Marthe, menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan balasannya membuat saya lebih tenang lagi. Ditekankannya pada saya, bahwa kami harus tabah, maka katanya semua tantangan akan kalah. Cinta kami harus tahan uji dan tahan cobaan, dan bila orang tuaku menyadari bahwa aku tidak sekadar tergila-gila saja, mereka tentu akan mengalah pada kami. Tentulah saya tidak menceritakan padanya tentang keberatan Ayah yang utama terhadap rencana perkawinan itu. Saya segera menyadari bahwa saya harus berpikir dengan tenang dan tidak bertindak dengan kekerasan. Selama saya di Paris, Ayah menulis beberapa pucuk surat yang bernada kasih sayang, dan sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang pertengkaran kami atau sebabnya. Maka saya pun membalas dengan nada yang sama pula."

   "Dapatkah Anda menyerahkan surat-surat itu?"

   Tanya Giraud.

   "Saya tidak menyimpannya."

   "Tak apa-apalah,"

   Kata detektif itu. Renauld melihat padanya sebentar, lalu Hakim melanjutkan pertanyaannya.

   "Saya ingin menyinggung soal lain. Apakah Anda mengenal nama Duveen, Tuan Renauld?"

   "Duveen?"

   Kata Jack.

   "Duveen?"

   Lalu dia membungkuk dan perlahan-lahan memungut pisau pembuka surat yang tadi dilemparkannya ke lantai. Setelah dia mengangkat kepalanya, dia membalas tatapan mata Giraud.

   "Duveen? Tidak, saya tak tahu."

   "Coba Anda baca surat ini, Tuan Renauld, lalu katakan pada saya, apakah Anda tahu siapa orangnya yang menulis surat pada ayah Anda itu."

   Jack Renauld mengambil surat itu dan membacanya sampai selesai. Sambil membaca itu wajahnya memerah.

   "Apakah surat ini dialamatkan pada ayah saya?"

   Jelas terdengar kemarahan dan emosi dalam nada suaranya.

   "Benar. Kami menemukannya dalam saku mantelnya."

   "Apakah -"

   Dia bimbang, lalu memandang sekilas pada ibunya. Hakim mengerti.

   "Sementara ini -belum. Dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai penulis surat itu?"

   "Saya sama sekali tak tahu."

   Tuan Hautet mendesah.

   "Misterius sekali perkara ini. Ah, sudahlah, saya rasa tak usah kita bicarakan lagi surat itu. Bagaimana pendapat Anda, Tuan Giraud. Agaknya kita tidak mendapatkan kemajuan-kemajuan dari surat itu."

   "Memang tidak,"

   Detektif itu membenarkan dengan bersungguh-sungguh.

   "Padahal,"

   Desah hakim itu.

   "mula-mula perkara ini kelihatannya sederhana sekali!"

   Dia menangkap pandangan Nyonya Renauld, dan dia tiba-tiba merasa malu hingga mukanya memerah.

   "Oh, ya,"

   Dehemnya, sambil membalik-balik kertas di atas meja.

   "Coba saya lihat, sampai di mana kita? Oh ya, senjatanya. Saya kuatir hal ini akan menyakitkan Anda, Tuan Renauld. Saya dengar barang itu adalah hadiah Anda untuk ibu Anda. Menyedihkan sekali -menyusahkan sekali -"

   Jack Renauld membungkuk. Wajahnya yang pada waktu membaca surat tadi merah, kini menjadi pucat-pasi.

   "Apakah maksud Anda -bahwa ayah saya -dibunuh dengan pisau pembuka surat yang terbuat dari kawat pesawat terbang itu? Tapi itu tak mungkin! Barang sekecil itu!"

   "Yah, Tuan Renauld, nyatanya memang begitu! Ternyata itu merupakan alat yang tepat sekali, meskipun kecil, namun tajam dan mudah menanganinya."

   "Di mana barang itu? Bisakah saya melihatnya? Apakah masih melekat di -tubuhnya?"

   "Oh, tidak. Sudah dicabut. Apakah Anda ingin melihatnya? Anda ingin meyakinkan diri Anda? Barangkali sebaiknya begitu, meskipun tadi ibu Anda sudah mengenalinya. Namun -Tuan Bex, bolehkah saya minta bantuan Anda?"

   "Tentu, Pak Hakim, akan saya ambilkan segera."

   "Tidakkah akan lebih baik kalau Tuan Renauld yang dibawa ke gudang itu?"

   Giraud mengusulkan dengan halus.


Pendekar Rajawali Sakti Kabut Hitam Di Karang Setra Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Roro Centil Geger Tombak Pusaka Ratu Shima

Cari Blog Ini