Misteri Kereta Api Biru 2
Agatha Christie Misteri Kereta Api Biru Bagian 2
Diawasinya Katherine dengan mata yang tajam dan berpengalaman.
"Ya -ya, saya senang sekali. Nona berpotongan tubuh bagus sekali. Untuk Anda potongan yang sederhanalah yang terbaik. Nona juga berpenampilan khas Inggris. Ada orang yang marah kalau saya berkata begitu, tapi Nona tidak. Model gadis Inggris, adalah potongan yang paling bagus."
Sikapnya yang menyerupai bangsawan wanita yang sedang bermimpi, tiba-tiba lenyap. Dia meneriakkan perintah-perintah pada beberapa orang peragawati.
"Ayo, Clothilde. Virginie -cepat, Anak-anak -kenakan 'stelan yang berwarna abu-abu cerah' dan 'gaun makan malam musim gugur'. Marcelle sayang, pakai stelan dari bahan crepe de chine yang berbunga-bunga mimosa."
Pagi itu cerah.
Marcelle, Clothilde, dan Virginie yang sudah merasa bosan dan angkuh, melewati mereka sambil berputar-putar perlahan-lahan, meliuk-liuk dan menggeliat sebagaimana biasanya peragawati.
Wanita Prancis itu berdiri di dekat Katherine dan menuliskan pilihan Katherine dalam sebuah buku catatan kecil.
"Pilihan yang bagus sekali, Nona. Nona memang punya selera yang baik. Sungguh, Nona memang paling pantas mengenakan stelan-stelan itu bila akan bepergian ke Riviera dalam musim salju ini."
"Boleh saya melihat gaun malam itu sekali lagi,"
Kata Katherine -"yang berwarna merah muda bercampur hijau kebiru-biruan."
Virginie muncul lagi, sambil berputar perlahan-lahan.
"Itulah yang paling cantik,"
Kata Katherine, ketika dia memperhatikan baju lebar yang teramat berwarna kehijauan, abu-abu, dan biru.
"Apa namanya?"
"Desah di musim gugur. Ya, ya, baju itu tepat benar bagi Nona."
Kata-kata itu terkenang kembali dengan menimbulkan bayangan rasa sedih, setelah Katherine meninggalkan gedung tukang jahit itu.
"'Desah di musim gugur; baju itu tepat benar untuk Nona.'"
Musim gugur, ya, umurnya memang sudah berada di musim gugur sekarang.
Dia tak pernah mengenal musim semi atau musim panas dan tidak akan pernah mengenalnya lagi sekarang.
Sesuatu yang telah hilang dari hidupnya dan tidak akan pernah kembali padanya.
Tahun-tahun pelayanannya di St.
Mary Mead -dan sementara itu hidup pun berlalu.
"Goblok sekali aku,"
Kata Katherine sendiri.
"Tolol. Apa yang kuingini? Ah, sebulan yang lalu aku lebih berbahagia daripada sekarang."
Dikeluarkan dari tasnya surat yang tadi pagi diterimanya dari Lady Tamplin.
Katherine tidak bodoh.
Dia mengerti maksud sampingan dari surat itu.
Juga alasan mengapa Lady Tamplin tiba-tiba menunjukkan kasih sayangnya terhadap saudara sepupu yang telah lama dilupakan, tak luput dari pengertiannya.
Hanya demi keuntunganlah Lady Tamplin begitu besar keinginannya untuk bertemu dengan saudara sepupu tersayang, bukan untuk menghiburnya.
Tetapi, yah, mengapa tidak? Kedua pihak akan mengalami keuntungan.
"Aku akan pergi,"
Kata Katherine.
Pada saat itu dia sedang berjalan di Piccadilly, lalu membelok masuk ke kantor Cook untuk langsung melaksanakan urusan itu.
Dia harus menunggu beberapa menit.
Pria yang sedang dilayani petugas akan pergi ke Riviera juga.
Semua orang akan bepergian, pikirnya.
Yah, untuk pertama kali dalam hidupnya dia juga akan melakukan apa yang dilakukan oleh 'semua orang'.
Pria yang berdiri di depannya tiba-tiba keluar dari antrian, dan Katherine maju ke tempatnya.
Dia mengatur pesanannya pada petugas itu, tetapi pada saat yang sama separuh dari pikirannya sibuk memikirkan sesuatu.
Wajah pria itu -samar-samar rasanya dikenalnya.
Di mana dia melihatnya sebelum ini? Tiba-tiba dia ingat.
Dia melihatnya di Savoy, di luar kamarnya tadi pagi.
Dia tabrakan dengan pria itu di lorong hotel.
Suatu kebetulan yang aneh bahwa sehari dua kali dia bertemu dengan orang yang sama.
Dia menoleh ke belakang, didorong oleh suatu rasa kuatir yang tak diketahuinya.
Pria itu berdiri di ambang pintu dan menoleh padanya.
Berdiri bulu roma Katherine -dia merasa seolah-olah dihantui oleh suatu tragedi, nasib buruk yang akan terjadi....
Lalu kesan itu dilepaskannya dari dirinya dengan akal sehat yang biasa dimilikinya dan menujukan perhatian sepenuhnya pada kata-kata petugas.
Bab SUATU TAWARAN YANG DITOLAK Jarang sekali Derek Kettering membiarkan rasa marah menguasai dirinya.
Sifatnya yang paling menonjol adalah selalu santai, dan bukan hanya satu kali sifatnya itu telah menolongnya mengatasi suatu kesulitan.
Bahkan sekarang pun, setelah dia meninggalkan flat Mirelle, dia sudah tenang kembali.
Dia memang butuh ketenangan.
Kesulitan yang sedang dialaminya sekarang ini lebih besar daripada sebelumnya, dan faktor-faktor yang tak terduga telah timbul, dan saat itu dia tak tahu bagaimana harus menanganinya.
Dia berjalan terus sambil tenggelam dalam pikirannya.
Alisnya bertaut, dan sama sekali tak tampak gayanya yang santai dan perlente, yang begitu sesuai dengan pribadinya.
Beberapa kemungkinan terbayang di dalam pikirannya.
Dapat dikatakan bahwa Derek Kettering tidaklah sebodoh yang tampak pada penampilannya.
Dia melihat satu jalan ke luar yang masih dapat ditempuhnya -khususnya satu.
Bila jalan itu tidak segera ditempuhnya, itu hanya untuk sementara saja.
Penyakit yang hebat memerlukan obat yang hebat pula.
Dugaannya mengenai ayah mertuanya tepat.
Suatu peperangan antara Derek Kettering dan Rufus Van Aldin hanya punya satu penyelesaian.
Derek mengutuk uang dan kekuasaan uang habis-habisan.
Dia berjalan menuju St.
Jame's Street, di seberang Piccadilly, lalu berjalan di sepanjang jalan itu ke arah Piccadilly Circus.
Waktu dia melewati kantor Messr.
Thomas Cook & Sons, langkahnya diperlambatnya.
Tetapi dia berjalan terus, sambil membalik-balik persoalan itu dalam pikirannya.
Akhirnya dia mengangguk singkat, dan membelok mendadak -demikian mendadaknya hingga dia bertabrakan dengan beberapa orang pejalan kaki yang sedang berjalan di belakangnya, lalu melalui jalan yang tadi telah ditempuhnya.
Kali ini kantor Cook tidak dilewatinya, tapi dimasukinya.
Kantor itu boleh dikatakan kosong, dan dia langsung dilayani.
"Saya akan pergi ke Nice minggu depan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan?"
"Tanggal berapa, Tuan?"
"Tanggal empat belas. Kereta api apa yang terbaik?"
"Yah, kereta api yang terbaik tentulah yang bernama Kereta Api Biru. Dengan demikian Anda akan terhindar dari urusan bea cukai yang memusingkan di Calais."
Derek mengangguk. Dia sudah tahu itu.
"Tanggal empat belas,"
Gumam petugas itu.
"agak cepat juga. Kereta Api Biru hampir selalu terjual habis karcisnya."
"Tolong carikan kalau-kalau masih ada kamar yang bertempat tidur,"
Kata Derek.
"Bila tak ada -"
Kalimat itu dibiarkannya tak selesai, dan dia tersenyum penuh arti. Petugas itu menghilang beberapa menit, kemudian kembali lagi.
"Beres, Tuan, masih ada tiga kamar kosong. Anda akan saya daftarkan untuk salah satu kamar itu. Nama Anda?"
"Pavett,"
Kata Derek. Diberikannya alamat tempat tinggalnya di Jermyn Street. Petugas itu mengangguk, setelah selesai menuliskannya, dia mengucapkan selamat pagi dengan sopan pada Derek, lalu menunjukkan perhatiannya pada nasabah berikutnya.
"Saya akan pergi ke Nice -pada tanggal empat belas. Bukankah ada kereta api yang bernama Kereta Api Biru?"
Derek menoleh dengan tajam.
Kebetulan -suatu kebetulan yang aneh.
Dia teringat kata-katanya sendiri yang aneh pada Mirelle tadi.
Gambaran seorang wanita bermata abu-abu.
Kurasa aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
Tetapi ternyata dia bertemu lagi dengan wanita itu -dan bukan itu saja, dia akan pergi ke Riviera pada hari yang sama pula dengan kepergiannya sendiri.
Sesaat lamanya dia merasa bergidik -kadang-kadang dia percaya akan tahyul.
Dia tadi berkata, dengan setengah bergurau, bahwa wanita itu akan membawa nasib buruk bagi dirinya.
Seandainya -yah, seandainya itu benar.
Dari ambang pintu, Derek menoleh lagi pada wanita itu, dia sedang bercakap-cakap dengan petugas.
Sekali ini ingatannya tidak keliru.
Seorang wanita utama -dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tidak begitu muda, tidak pula terlalu cantik.
Tetapi ada sesuatu -mata abu-abu yang mungkin telah melihat terlalu banyak.
Waktu dia keluar dari gedung itu dia tahu bahwa dia merasa takut pada wanita itu.
Dia punya firasat akan adanya bencana.
Dia kembali ke tempat tinggalnya di Jermyn Street, lalu memanggil pelayannya.
"Uangkan cek ini, Pavett, lalu pergi ke kantor Cook di Piccadilly. Mereka di sana sudah menyiapkan karcis yang dicatatkan atas namamu. Bayarlah, lalu bawa kemari."
"Baik, Tuan."
Pavett pergi.
Derek pergi ke sebuah meja kecil, lalu mengambil segenggam surat.
Surat-surat itu semua senada bunyinya, dan amat dikenalnya.
Surat-surat tagihan, dalam jumlah besar dan kecil, semuanya mendesak pembayaran.
Nada tagihannya masih sopan.
Derek tahu bahwa semua nada sopan itu akan berubah, yaitu segera setelah -suatu berita tersiar.
Dia menghempaskan dirinya dengan jengkel ke sebuah kursi besar berlapis kulit.
Dia merasa sedang berada dalam -sebuah lubang terkutuk.
Ya, sebuah lubang terkutuk! Sedang jalan ke luar dari lubang terkutuk itu tidak memberi harapan.
Pavett muncul kembali dengan mendehem halus.
"Ada seorang pria yang ingin bertemu Anda -Tuan -Mayor Knighton."
"Knighton?"
Derek menegakkan duduknya, mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba jadi waspada.
"Knighton -"
Katanya dengan nada halus, seolah-olah pada dirinya sendiri.
"ada apa pula ini?"
"Apakah -eh -akan saya antar dia kemari, Tuan?"
Majikannya mengangguk. Waktu Knighton masuk ke kamar itu, dia menemukan seorang tuan rumah yang menarik dan ramah menunggunya.
"Baik benar Anda mau mengunjungi saya,"
Kata Derek.
Knighton tampak gugup.
Mata Derek yang tajam segera melihat kegugupan itu.
Sekretaris itu jelas tidak menyukai berita yang harus disampaikannya.
Orang itu menjawab percakapan Derek yang mengalir terus, seperti tanpa disadarinya saja.
Dia menolak waktu ditawari minuman, dan sikapnya jadi lebih kaku dari semula.
Derek berpura-pura baru melihat hal itu.
"Yah,"
Katanya dengan ceria.
"apa yang dikehendaki ayah mertuaku yang terhormat dari diriku? Saya percaya Anda tentu datang untuk urusan beliau?"
Knighton tidak membalas senyum itu.
"Memang benar,"
Katanya berhati-hati.
"Sebenarnya -saya ingin Tuan Van Aldin menyuruh orang lain saja."
Derek mengangkat alisnya, berpura-pura heran.
"Apakah begitu buruknya berita yang Anda bawa itu? Ketahuilah, Knighton, saya tidak terlalu mudah tersinggung."
"Memang tidak,"
Kata Knighton;
"tapi ini -"
Dia berhenti. Derek memandangnya dengan tajam.
"Ayo, katakanlah,"
Katanya dengan ramah.
"Saya tahu, berita-berita yang disuruh sampaikan oleh ayah mertuaku memang tidak selalu menyenangkan."
Knighton meneguk air liurnya. Dia berbicara dengan nada resmi yang dipaksakan, untuk membebaskan dirinya dari rasa tak enak.
"Saya diperintah Tuan Van Aldin untuk mengajukan suatu tawaran."
"Suatu tawaran?"
Derek memperlihatkan rasa terkejutnya. Kata-kata pembukaan Knighton sama sekali tidak diharapkannya. Knighton ditawarinya rokok. Untuknya sendiri dinyatakannya sebatang, lalu bersandar di kursinya sambil menggumam dengan suara agak mengejek.
"Suatu tawaran? Agaknya menarik."
"Bolehkah saya teruskan?"
"Silakan. Maafkan keheranan saya, tapi agaknya ayah mertuaku yang baik itu sudah mau mengurangi tuntutannya daripada waktu kami bercakap-cakap tadi pagi. Padahal kita biasanya tak bisa mengharapkan orang kuat, raja-raja uang itu, mengurangi tuntutannya. Itu berarti -kurasa itu berarti bahwa dia merasa kedudukannya lebih lemah daripada yang disangkanya semula."
Dengan sopan Knighton mendengarkan saja kata-kata yang diucapkan dengan seenaknya dan mengejek itu, dan wajahnya yang agak beku itu sama sekali tidak menunjukkan tanda apa-apa. Ditunggunya sampai Derek selesai, lalu dia berkata dengan tenang.
"Akan saya sampaikan usul itu dengan sesingkat mungkin."
"Silakan."
Knighton tidak melihat pada lawan bicaranya. Suaranya singkat dan tegas.
"Begini soalnya. Seperti Anda ketahui, Nyonya Kettering akan mengajukan permohonan perceraian. Bila perkara itu diadili tanpa ada pembelaan diri dari pihak Anda, maka Anda akan menerima seratus ribu pada hari surat perceraian itu beres."
Derek yang sedang menyalakan rokoknya, tiba-tiba terhenti.
"Seratus ribu!"
Katanya tajam.
"Dolar?"
"Pound."
Selama sekurang-kurangnya dua menit keadaan sunyi-sepi.
Kettering mengerutkan alisnya, berpikir.
Seratus ribu pound.
Itu akan berarti Mirelle dan kelangsungan cara hidupnya yang menyenangkan dan santai.
Itu berarti pula bahwa Van Aldin mengetahui sesuatu.
Van Aldin tidak akan mau membayar percuma.
Dia bangkit lalu berdiri dekat cerobong asap perapian.
"Dan bagaimana kalau tawarannya yang menarik itu saya tolak?"
Tanyanya dengan sopan-santun yang dingin dan mengandung ejekan. Knighton mengangkat kedua belah tangannya seolah menolak.
"Saya tekankan, Tuan Kettering,"
Katanya bersungguh-sungguh.
"bahwa saya kemari membawa pesan ini adalah dengan rasa enggan yang sebesar-besarnya."
"Tak apa-apa,"
Kata Kettering.
"Jangan susah, bukan salah Anda. Nah -saya tadi bertanya, tolong jawab."
Knighton juga bangkit. Dia berbicara lebih enggan dari semula.
"Bila Anda menolak usul itu,"
Katanya.
"Tuan Van Aldin menyuruh saya mengatakan pada Anda dengan kata-kata yang jelas bahwa dia berniat untuk menghancurkan hidup Anda. Hanya itu."
Kettering mengangkat alisnya, tetapi dia mempertahankan sikap santainya yang lucu.
"Wah, wah!"
Katanya.
"Kurasa dia memang bisa berbuat demikian. Saya pasti tidak akan mampu melawan orang Amerika yang punya uang berjuta-juta itu. Seratus ribu! Bila akan menyuap orang harus melakukannya dengan sempurna. Seandainya saya suruh Anda mengatakan bahwa saya mau melakukan apa yang dikehendakinya dengan bayaran dua ratus ribu, bagaimana?"
"Saya akan menyampaikan pesan Anda itu pada Tuan Van Aldin,"
Kata Knighton tanpa emosi.
"Itukah jawab Anda?"
"Bukan,"
Kata Derek.
"Lucu memang, tapi itu bukan jawaban saya. Anda bisa kembali pada mertuaku itu dan katakan padanya supaya dia pergi ke neraka bersama uang suapnya itu. Jelas?"
"Jelas sekali,"
Kata Knighton. Dia bangkit, ragu-ragu sebentar, lalu mukanya memerah.
"Saya -izinkanlah saya berkata Tuan Kettering, bahwa saya senang Anda menjawab demikian."
Derek tidak menyahut. Setelah tamunya meninggalkan kamar itu dia termenung selama satu-dua menit. Kemudian dia tersenyum aneh.
"Beres,"
Katanya dengan suara halus. Bab 10 DI KERETA API BIRU "Ayah!"
Nyonya Kettering amat terkejut.
Pagi itu dia kurang dapat mengendalikan syarafnya.
Dengan berpakaian sempurna -sebuah mantel panjang dari bulu binatang dan sebuah topi kecil model Cina yang dipernis merah -dia sedang berjalan-jalan di peron di Stasiun Victoria yang ramai, sambil berpikir.
Dan kemunculan ayahnya yang begitu mendadak yang disertai salam pertemuan yang mesra, tidak begitu diharapkannya.
"Aduh, Ruth, mengapa kau begitu terperanjat!"
"Tak saya sangka akan bertemu Ayah. Ayah sudah mengucapkan selamat jalan semalam dan Ayah berkata bahwa pagi ini ada pertemuan."
"Memang benar,"
Kata Van Aldin.
"tapi kau lebih penting daripada pertemuan yang mana pun juga. Aku datang untuk melihatmu terakhir kalinya, karena aku tidak akan bertemu denganmu beberapa lamanya."
"Ayah baik sekali. Aku akan senang bila Ayah pergi juga."
"Bagaimana kalau aku memang ikut?"
Pertanyaan itu hanya suatu senda-gurau. Oleh karenanya dia heran melihat pipi Ruth menjadi merah menyala. Sesaat dia merasa melihat kekecewaan membayang di mata Ruth. Ruth tertawa tanpa yakin dan dengan gugup.
"Kusangka Ayah bersungguh-sungguh tadi,"
Katanya.
"Apakah kau akan senang?"
"Tentu."
Dia berbicara dengan tekanan yang berlebihan.
"Yah,"
Kata Van Aldin.
"baguslah."
"Aku pergi tak akan lama, Ayah."
Ruth melanjutkan.
"bukankah Ayah akan ke sana juga bulan depan?"
"Akh!"
Kata Van Aldin tanpa emosi.
"Kadang-kadang ingin aku pergi ke tempat salah seorang dokter-dokter besar di Harley Street itu dan menyuruhnya mengatakan padaku bahwa aku memerlukan sinar matahari dan perubahan udara sekarang juga."
"Jangan begitu malas ah,"
Seru Ruth.
"Bulan depan akan lebih menyenangkan di sana daripada bulan ini. Macam-macam hal yang tak dapat Ayah tinggalkan sekarang ini."
"Yah kurasa memang begitu,"
Kata Van Aldin dengan mendesah.
"Sebaiknya kau naik ke keretamu, Ruth. Mana tempat dudukmu?"
Ruth Kettering mengangkat mukanya melihat ke kereta api. Di ambang pintu salah satu kereta Pullman, berdiri seorang wanita semampai yang berpakaian hitam -pelayan Ruth Kettering. Dia menyingkir waktu majikannya berjalan ke arahnya.
"Peti pakaian Anda sudah saya letakkan di bawah tempat duduk Anda, Nyonya, kalau-kalau Nyonya memerlukannya. Maukah Nyonya saya ambilkan selimut kaki, atau akan Anda minta sendiri?"
"Tidak, tidak, aku tidak akan memerlukannya. Sebaiknya kau pergi mencari tempat dudukmu sendiri, Mason."
"Baik, Nyonya."
Pelayan itu pergi.
Van Aldin masuk ke kereta Pullman bersama putrinya.
Ruth menemukan tempat duduknya, dan Van Aldin meletakkan beberapa lembar surat kabar dan majalah di atas meja di hadapannya.
Tempat duduk di depannya sudah ditempati seseorang, dan orang Amerika itu memandang sepintas pada orang itu.
Kesan sepintas yang diperolehnya adalah, mata abu-abu yang menarik dan pakaian bepergian yang rapi.
Dia terpaksa hanya mempercakapkan hal-hal tetek-bengek saja dengan Ruth, percakapan aneh yang biasa dilakukan orang bila sedang mengantar seseorang dengan kereta api.
Kemudian setelah peluit berbunyi dia melihat ke arlojinya.
"Sebaiknya aku turun saja. Selamat jalan, Sayangku. Jangan kuatir, semuanya akan kuurus."
"Ah, Ayah!"
Van Aldin berbalik dengan tiba-tiba.
Dia mendengar sesuatu dalam suara Ruth -sesuatu yang aneh sekali, tidak seperti biasanya -yang membuatnya heran.
Hampir-hampir seperti jeritan orang yang dalam keputusasaan.
Tanpa disadarinya, Ruth bergerak ke arah ayahnya, tetapi sesaat kemudian dia sudah dapat menguasai dirinya sendiri lagi.
"Sampai bulan depan,"
Katanya, dengan ceria.
Dua menit kemudian kereta api itu berangkat.
Ruth duduk diam, sambil menggigit-gigit bibir bawahnya dan berusaha keras untuk menahan air matanya yang tak biasanya mengalir.
Dia tiba-tiba merasa kesepian sekali.
Rasanya ada keinginan nekat untuk melompat ke luar dari kereta api dan kembali sebelum terlambat.
Dia yang biasanya begitu tenang, begitu percaya pada diri sendiri, untuk pertama kali selama hidupnya merasa seperti daun yang ditiup angin.
Bila ayahnya tahu -apakah katanya? Gila-gilaan! Ya, pasti gila-gilaan! Untuk pertama kali dalam hidupnya dia terbawa oleh emosinya, terbawa sampai-sampai akan melakukan suatu hal yang bahkan dinilainya sendiri sangat bodoh dan sembrono.
Tak percuma dia putri Van Aldin, hingga dia menyadari kebodohannya sendiri, dan dia cukup berakal sehat untuk mengutuk perbuatannya sendiri.
Tapi dia juga putri ayahnya dalam pengertian lain pula.
Dia memiliki kekerasan hati bagai baja, yang ingin mendapatkan semua yang diingininya, dan bila dia sudah mengambil suatu keputusan dia tidak akan mundur.
Dia sudah punya kemauan keras sejak dari buaiannya, dan keadaan-keadaan dalam hidupnya telah mengembangkan kemauan yang kuat itu.
Kini kemauannya yang kuat itu mendorongnya tanpa ampun.
Yah, semuanya sudah terlanjur.
Dia harus melaksanakannya terus.
Dia mengangkat mukanya, dan bertemu mata dengan wanita yang duduk di hadapannya.
Dia tiba-tiba berkhayal bahwa wanita itu telah membaca pikirannya.
Di mata yang berwarna abu-abu itu dia melihat pengertian dan juga -belas kasihan.
Itu hanya merupakan kesan sepintas.
Wajah kedua wanita itu menjadi kaku, menjadi tanpa emosi, hal mana menunjukkan bahwa keduanya berpendidikan baik.
Nyonya Kettering mengambil majalah, dan Katherine Grey melihat ke luar jendela, memperhatikan serangkaian pemandangan jalan-jalan dan rumah-rumah pinggiran kota yang menyedihkan.
Ruth merasa makin lama makin sulit untuk memusatkan pikirannya pada halaman-halaman bercetak yang sedang dihadapinya.
Mau tak mau, pikirannya digerayangi beribu-ribu kecemasan.
Betapa bodohnya dia! Benar-benar bodoh! Sebagai mana layaknya semua orang yang berkepala dingin dan merasa puas diri, maka bila dia kehilangan penguasaan dirinya, habislah semuanya.
Sekarang sudah terlambat....
Benarkah sudah terlambat? Alangkah senangnya bila ada seorang kawan bicara, seseorang yang bisa memberinya nasihat.
Selama ini tak pernah dia punya keinginan seperti itu -dulu dia mencemoohkan gagasan untuk meminta penilaian orang lain kecuali dirinya sendiri, tetapi sekarang -ada apa dengan dia? Panik.
Ya, itulah kata yang paling tepat -panik.
Dia, Ruth Kettering benar-benar terserang panik.
Diam-diam dia mencuri pandang ke arah orang yang duduk di hadapannya itu.
Kalau saja dia mengenal seseorang seperti orang itu -seorang makhluk yang baik, dingin, dan menaruh perhatian.
Orang yang begitulah yang bisa diajak bicara.
Tetapi kita tentu tak bisa membuka rahasia diri pada orang yang tak dikenal.
Ruth lalu tersenyum kecil memikirkan hal itu.
Diambilnya lagi majalahnya tadi.
Dia benar-benar harus menguasai dirinya.
Bagaimanapun juga semua rencananya sudah dipikirkannya baik-baik.
Dia telah mengambil keputusan atas kehendaknya sendiri.
Kebahagiaan apa yang telah didapatnya dalam hidupnya selama ini? "Mengapa aku tak boleh mengecap kebahagiaan? Tak seorang pun akan pernah tahu,"
Pikirnya sendiri dengan gelisah.
Rasanya sebentar saja mereka sudah tiba di Dover, dari mana mereka harus menyeberang untuk pergi ke Prancis.
Ruth sudah biasa berlayar.
Tetapi dia tak suka hawa dingin, dan merasa senang ketika bisa masuk ke dalam perlindungan kamar di kapal yang telah dipesannya lewat telegram.
Ruth agak percaya tahyul, meskipun dia tak mau mengakuinya.
Dia termasuk kelompok orang yang tertarik akan kejadian yang merupakan kebetulan.
Setelah mendarat di Calais dan mengambil tempat di kamar rangkap Kereta Api Biru bersama pelayannya, dia lalu pergi ke kereta restoran.
Dia tersentak keheranan mendapatkan dirinya duduk di sebuah meja kecil, berhadapan dengan wanita yang tadi duduk berhadapan pula dengannya di dalam Pullman.
Kedua wanita itu jadi tersenyum kecil.
"Benar-benar suatu kebetulan,"
Kata Nyonya Kettering.
"Ya,"
Kata Katherine.
"aneh sekali semua kejadian ini."
Seorang pelayan yang sedang bertugas, langsung mendatangi mereka dengan kecepatan yang selalu diperlihatkan oleh perusahaan kereta api itu, dan meletakkan dua mangkuk sup di hadapan mereka.
Menjelang disuguhkannya kue dadar yang menyusul sup, mereka sudah mulai mengobrol dengan cara bersahabat.
"Alangkah senangnya kita berada di tempat yang disinari matahari nanti,"
Desah Ruth.
"Saya yakin itu akan menyenangkan."
"Apakah Anda sudah mengenal Riviera dengan baik."
"Tidak, inilah untuk pertama kalinya saya ke sana."
"Bayangkan."
"Saya yakin, Anda ke sana setiap tahun, ya?"
"Boleh dikatakan begitu. Bulan-bulan Januari dan Februari di London sangat tak enak."
"Saya selalu tinggal di pedesaan. Di sana pun bulan-bulan itu memang tidak begitu menyenangkan. Sering berlumpur."
"Apa yang membuat Anda tiba-tiba memutuskan untuk bepergian?"
"Uang,"
Kata Katherine.
"Sepuluh tahun lamanya saya bekerja sebagai pendamping bayaran, yang hanya mempunyai uang pas-pasan untuk membeli sepasang sepatu pedesaan yang kuat. Sekarang saya mendapat uang warisan yang bagi saya banyak sekali jumlahnya, meskipun saya yakin bahwa jumlah itu bagi Anda tak seberapa."
"Saya heran mengapa Anda berkata begitu -bahwa jumlah uang itu tak seberapa bagi saya."
Katherine tertawa.
"Sebenarnya saya tak tahu. Saya rasa kita menyimpulkan kesan tanpa memikirkannya. Dalam bayangan saya, Anda saya gambarkan sebagai salah seorang yang kaya sekali di bumi ini. Itu hanya suatu kesan. Mungkin saya keliru."
"Tidak,"
Kata Ruth.
"Anda tidak keliru."
Tiba-tiba dia bersungguh-sungguh.
"Saya ingin Anda mengatakan pada saya, kesan-kesan lain yang Anda dapatkan mengenai diri saya."
"Saya -"
Tanpa memperhatikan rasa tak enak yang mungkin dialami lawan bicaranya, Ruth mendesak terus.
"Sudahlah, jangan terlalu kaku. Saya ingin tahu. Waktu kita berangkat dari Stasiun Victoria saya melihat Anda, dan saya punya semacam perasaan bahwa Anda -katakanlah, mengerti apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran saya."
"Perlu benar Anda ketahui bahwa saya tak pandai membaca pikiran orang,"
Kata Katherine sambil tersenyum.
"Memang tidak, tapi tolonglah katakan bagaimana pendapat Anda."
Demikian besar dan sungguh-sungguhnya keinginan Ruth itu, hingga dia mendapatkan apa yang diingininya.
"Akan saya ceritakan kalau itu memang benar-benar keinginan Anda, tapi jangan katakan saya kurang ajar. Saya rasa, Anda sedang bingung sekali, entah karena apa, dan saya kasihan sekali pada Anda."
"Tepat. Anda memang benar. Saya sedang dalam kesulitan besar. Saya -saya ingin menceritakan sesuatu mengenai hal itu pada Anda, kalau boleh."
"Aduh,"
Pikir Katherine.
"sama benar agaknya dunia ini di mana-mana! Orang-orang selalu menceritakan macam-macam padaku di St. Mary Mead, dan di sini pun rupanya sama saja. Padahal aku sebenarnya tak ingin mendengar kesulitan-kesulitan orang lain!"
Namun dia menjawab dengan sopan.
"Silakan cerita."
Mereka baru saja menyelesaikan makan mereka. Ruth langsung meneguk kopinya sampai habis, bangkit dari tempat duduknya. Dan meskipun dilihatnya bahwa Katherine sama sekali belum sempat meneguk kopinya, dia berkata.
"Mari, ikut ke kamar saya."
Kamar itu merupakan dua buah kamar tunggal yang dihubungkan oleh sebuah pintu.
Di kamar yang di sebelah, seorang pelayan kurus yang telah dilihat Katherine di stasiun Victoria, duduk tegak di bangkunya, sambil memeluk sebuah kopor besar dari kulit kambing yang di atasnya bertuliskan huruf-huruf awal sebuah nama.
R.V.K.
Nyonya Kettering menutup pintu penghubung itu lalu menghempaskan diri di tempat duduknya.
Katherine duduk di sampingnya.
"Saya sedang dalam kesulitan dan saya tak tahu apa yang harus saya perbuat. Ada seorang laki-laki yang saya cintai -amat saya cintai. Sudah sejak muda kami saling mencinta, tapi kami dipisahkan secara kasar dan tak adil. Sekarang kami bersatu kembali."
"Ya?"
"Sekarang ini -saya -akan menemuinya. Oh! Saya yakin Anda berkata bahwa semuanya itu salah, tapi Anda tak tahu keadaannya. Suami saya jahat sekali. Dia memperlakukan saya dengan cara yang memalukan."
"Ya,"
Kata Katherine lagi.
"Yang mengacaukan perasaan saya adalah ini. Saya telah menipu ayah saya -beliaulah yang mengantar saya di Stasiun Victoria tadi itu. Ayah ingin agar saya minta cerai dari suami saya, dan beliau tentulah tak tahu-menahu -bahwa saya akan menemui laki-laki yang seorang lagi itu. Kalau beliau tahu tentu akan dikatakannya saya bodoh sekali."
"Lalu, menurut Anda sendiri apakah tidak demikian?"
"Saya -saya rasa begitulah."
Ruth Kettering memandangi tangannya -tangan itu gemetar kuat.
"Tapi sekarang saya tak bisa menarik diri lagi."
"Mengapa tidak?"
"Saya -semuanya sudah diatur, dan dia akan patah hati."
"Jangan percaya,"
Kata Katherine tegas.
"hati itu alot."
"Dia akan berpikir bahwa saya tak punya keberanian, tak punya kekuatan dan pendirian."
"Saya rasa apa yang akan Anda lakukan memang bodoh,"
Kata Katherine.
"Dan saya rasa Anda pun menyadarinya sendiri."
Ruth Kettering menutup mukanya dengan tangannya.
"Entahlah -aku tak tahu. Sejak meninggalkan Stasiun Victoria tadi saya punya perasaan yang mengerikan -sesuatu yang akan terjadi atas diri saya dalam waktu dekat -sesuatu yang tak dapat saya hindari."
Dia mencengkam tangan Katherine kuat-kuat.
"Mungkin Anda berpikir bahwa saya ini gila, berbicara begini dengan Anda, tapi ketahuilah, saya tahu sesuatu yang mengerikan akan terjadi."
"Jangan pikirkan itu,"
Kata Katherine.
"coba kuatkan hati Anda. Anda masih bisa mengirim telegram pada Ayah Anda dari Paris bila Anda mau, dan dia pasti akan segera datang pada Anda."
Yang diajak bicara menjadi cerah.
"Ya, saya bisa berbuat begitu. Ah, Ayah tersayang. Sungguh aneh -tapi sampai hari ini saya tidak menyadari betapa amat sayangnya saya padanya."
Dia duduk tegak lalu menyeka matanya dengan sapu tangan.
"Saya bodoh sekali. Terima kasih banyak, Anda telah membiarkan saya berbicara dengan Anda. Saya tak mengerti mengapa saya sampai berkeadaan aneh dan histeris begini."
Dia bangkit.
"Saya sudah tak apa-apa sekarang. Saya rasa, saya memang benar-benar memerlukan seorang teman bicara. Sekarang saya tak mengerti mengapa saya telah berbuat begitu bodoh."
Katherine juga bangkit.
"Saya senang Anda telah merasa lebih baik,"
Katanya, berusaha membuat supaya suaranya terdengar biasa-biasa saja. Dia sadar sekali bahwa akibat dari terbukanya rahasia diri, adalah perasaan malu. Lalu ditambahkannya dengan bijak.
"Saya harus kembali ke kamar saya sendiri."
Dia keluar ke lorong kereta api bersamaan dengan pelayan Nyonya Kettering yang juga keluar dari kamar sebelahnya.
Pelayan itu menoleh ke arah belakang Katherine -air mukanya kelihatan sangat terkejut.
Katherine juga menoleh -tetapi waktu itu, orang yang tadi agaknya menarik perhatian pelayan itu telah masuk lagi ke dalam kamarnya, dan lorong itu kosong.
Katherine berjalan di sepanjang lorong itu untuk kembali ke kamarnya, yang berada di gerbong berikutnya.
Waktu dia melewati kamar yang terujung, pintu kamar itu terbuka dan wajah seorang wanita melongok ke luar sebentar, lalu menutup pintunya cepat-cepat.
Wajah itu tak mudah dilupakan, sebagaimana yang dialami Katherine waktu dia kemudian melihatnya lagi.
Wajah yang cantik, berbentuk bulat telur, dan dipolesi make up hebat sekali.
Katherine merasa bahwa dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Dia sampai di kamarnya sendiri tanpa pengalaman lain dan duduk beberapa lamanya memikirkan rahasia diri yang diceritakan padanya tadi.
Dengan santai dia berpikir, siapa gerangan wanita yang memakai mantel dari bulu binatang itu, dan yang berpikir pula bahwa hidupnya akan berakhir.
"Kurasa aku telah berbuat suatu kebaikan, kalau aku memang telah berhasil mencegah seseorang berbuat bodoh,"
Pikirnya.
"Tapi siapa tahu. Wanita itu kelihatannya keras kepala dan sepanjang hidupnya hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Mungkin akan baik baginya melakukan sesuatu yang lain, sekedar suatu perubahan. Ah, sudahlah -kurasa aku tidak akan pernah bertemu dengan dia lagi. Dia pasti tak ingin bertemu denganku lagi. Itulah akibat yang paling buruk bila kita membiarkan orang menceritakan tentang dirinya sendiri pada kita."
Dia berharap semoga dia tidak diberi tempat yang sama lagi pada waktu makan malam nanti.
Dibayangkannya, dengan rasa humor, bahwa kedua pihak akan merasa tak enak.
Dia menyandarkan kepalanya di bantal, dia merasa letih dan agak tertekan.
Mereka telah tiba di Paris, dan perjalanan yang lamban mengitari daerah seputar Paris yang sering terhenti-henti dan banyak menunggu, meletihkan sekali.
Waktu mereka tiba di Gare de Lyon, Katherine merasa senang bisa keluar dan berjalan-jalan hilir-mudik di peron.
Udara yang dingin menusuk, sangat menyegarkan, setelah udara panas beruap di dalam kereta api.
Dengan tersenyum dia melihat bahwa temannya yang bermantel dari bulu binatang tadi, telah mencegah rasa tak enak yang mungkin timbul pada waktu makan malam dengan caranya sendiri.
Sebuah keranjang berisi makan malam sedang diulurkan dan disambut oleh pelayannya melalui jendela.
Waktu kereta api mulai berjalan lagi, dan diberitahukan bahwa waktu makan malam telah tiba dengan bunyi lonceng yang nyaring, Katherine pergi ke kereta restorasi dengan perasaan lega.
Orang yang duduk berhadapan dengan dia malam itu, lain sekali macamnya -dia adalah seorang pria kecil, berpenampilan asing, berkumis kaku seperti diberi lilin, dan kepalanya yang berbentuk telur itu sering dimiringkannya.
Waktu masuk ke ruang makan tadi, Katherine membawa sebuah buku.
Dilihatnya mata laki-laki kecil itu melekat pada buku itu, dan tampak mata itu menyinarkan rasa senang.
"Saya lihat Anda memiliki buku roman kejahatan, Nyonya. Sukakah Anda pada buku jenis itu?"
"Buku-buku begini menghibur saya,"
Katherine mengaku. Pria kecil itu mengangguk dengan air muka penuh pengertian.
"Kata orang, buku-buku macam itu laku sekali. Mengapa, menurut Anda, Nona? Saya tanyakan itu karena ingin tahu, mengapa sifat manusia begitu?"
Katherine makin merasa senang.
"Mungkin buku-buku itu memberikan kesan pada kita, seolah-olah kita menjalani hidup yang penuh dengan peristiwa,"
Katherine berpendapat. Pria itu mengangguk dengan tenang.
"Memang ada benarnya."
"Orang tentu tahu bahwa hal-hal seperti itu tidak benar-benar terjadi,"
Sambung Katherine, tetapi pria itu memotongnya dengan tajam.
"Kadang-kadang, Nona! Kadang-kadang! Saya sendiri -kejadian seperti itu telah terjadi atas diri saya."
Katherine cepat melemparkan pandangannya pada pria itu karena merasa tertarik.
"Siapa tahu, pada suatu hari, Anda pun akan benar-benar terlibat dalam kejadian seperti itu,"
Katanya lagi.
"Semuanya itu mungkin."
"Saya rasa tak mungkin,"
Kata Katherine.
"Tak pernah hal semacam itu terjadi atas diri saya."
Pria itu menyandarkan dirinya ke depan.
"Apakah Anda ingin hal itu terjadi?"
Pertanyaan itu mengejutkan Katherine, dan dia menahan napasnya.
"Mungkin hanya angan-angan saya,"
Kata pria itu, sambil menggosok salah sebuah garpu dengan cekatan.
"tapi saya rasa Anda menginginkan terjadinya hal-hal yang menarik. Eh bien, Nona, sepanjang hidup saya, saya mengamati satu hal -'Semua yang diingini seseorang tentu diperolehnya!' Siapa tahu?"
Wajahnya berubah menjadi lucu.
"Kita bahkan bisa mendapatkan lebih daripada yang kita harapkan."
"Apakah itu suatu ramalan?"
Kata Katherine, tersenyum, sambil bangkit dari meja makan itu. Pria kecil itu menggeleng.
"Saya tak pernah meramal,"
Katanya menepuk dadanya.
"Tapi kenyataannya, saya selalu benar -tapi saya bukan membanggakannya. Selamat malam, Nona, mudah-mudahan Anda bisa tidur nyenyak."
Katherine kembali berjalan di sepanjang kereta api dengan merasa senang dan terhibur oleh teman semejanya yang kecil itu.
Dia melewati pintu kamar temannya tadi, dalam keadaan terbuka, dan dilihatnya kondektur sedang menyiapkan tempat tidur.
Wanita yang bermantel bulu binatang itu sedang berdiri di jendela, memandang ke luar.
Melalui pintu penghubung, Katherine melihat bahwa kamar di sebelahnya kosong.
Selimut-selimut dan tas-tas tertumpuk di tempat duduk.
Pelayannya tak ada di kamar itu.
Katherine mendapatkan tempat tidurnya sendiri sudah disiapkan, dan karena dia letih, dia langsung bersiap-siap untuk tidur dan memadamkan lampu, kira-kira pukul setengah sepuluh.
Dia terbangun tersentak -dia tak tahu berapa lama waktu telah berlalu.
Waktu dia melihat arlojinya, didapatkannya arloji itu mati.
Dia diserang rasa cemas yang makin lama makin kuat.
Akhirnya dia bangun, diselubungkan gaun kamarnya ke bahu, lalu melangkah ke luar, ke lorong kereta api.
Agaknya seluruh kereta api sedang terselubung tidur.
Katherine menurunkan jendela kamarnya, lalu duduk di dekat jendela itu beberapa menit lamanya, menghirup udara malam yang sejuk dan mencoba menenangkan rasa takut yang mengganggunya, namun gagal.
Kemudian dia memutuskan akan pergi ke ujung kereta api dan menanyakan jam pada kondektur, supaya dia bisa mencocokkan jamnya.
Namun Katherine menemukan kursi kondektur kosong.
Dia bimbang sebentar lalu berjalan terus ke kereta berikutnya.
Dia memandang ke sepanjang lorong yang samar-samar, dan merasa heran melihat seorang laki-laki sedang berdiri dengan tangannya memegang pintu kamar yang ditempati wanita bermantel bulu binatang itu.
Artinya, menurut perkiraannya, itu adalah kamar wanita itu.
Tapi mungkin saja dia keliru.
Laki-laki itu berdiri saja di situ sesaat dengan membelakangi Katherine -dia kelihatan bimbang dan ragu akan tindakannya sendiri.
Lalu laki-laki itu berbalik, dan dengan perasaan terancam bahaya, Katherine mengenalinya -dia adalah laki-laki yang telah dilihatnya dua kali sebelumnya, sekali di lorong Hotel Savoy dan sekali lagi di kantor Cook.
Lalu dibukanya pintu kamar itu dan masuk, sambil menutup pintunya.
Terkilas suatu gagasan dalam pikiran Katherine.
Mungkinkah ini laki-laki yang dibicarakan wanita itu -laki-laki yang akan ditemuinya dalam perjalanan itu.
Lalu Katherine menegur dirinya, bahwa dia sedang mengangankan suatu roman.
Besar sekali kemungkinannya bahwa dia keliru mengenai kamar itu.
Dia kembali ke gerbongnya.
Lima menit kemudian kereta api mengurangi kecepatannya.
Terdengar desis rem buatan Westinghouse yang seperti orang mendesah, dan beberapa menit kemudian kereta api berhenti di Lyons.
Bab 11 PEMBUNUHAN Esok paginya Katherine bangun disambut sinar matahari yang cemerlang.
Dia pergi makan pagi awal-awal, tetapi tidak bertemu dengan kedua teman yang baru dikenalnya sehari sebelumnya.
Waktu dia kembali ke kamarnya, kamar itu sudah dibenahi oleh kondektur, seorang laki-laki berambut hitam, berkumis melengkung ke bawah, dan berwajah murung.
"Nyonya bernasib baik,"
Katanya.
"matahari bersinar cerah. Para penumpang selalu merasa kecewa bila mereka tiba pada pagi hari yang kelabu."
"Saya pun pasti akan kecewa juga, kalau demikian halnya,"
Kata Katherine. Laki-laki itu bersiap-siap untuk pergi lagi.
"Kita agak terlambat, Nyonya,"
Katanya.
"Akan saya beritahu Anda kalau kita hampir tiba di Nice."
Katherine mengangguk.
Dia duduk di dekat jendela, terpesona oleh pemandangan yang bermandikan sinar matahari.
Pohon-pohon palma, air laut yang berwarna biru tua, bunga-bunga mimosa yang berwarna kuning, semuanya punya daya tarik penuh keindahan bagi wanita yang selama empat belas tahun hanya mengenal musim salju yang membosankan di Inggris.
Waktu mereka tiba di Cannes, Katherine turun dan berjalan-jalan hilir-mudik di peron.
Ingin benar dia tahu tentang wanita yang bermantel bulu binatang, dan menengadah melihat ke jendela kamarnya.
Kerainya masih terpasang -satu-satunya yang masih terpasang di seluruh kereta api.
Katherine agak heran, dan ketika masuk kembali ke kereta api dan berjalan di sepanjang lorong, dilihatnya bahwa penutup kaca pintu dari kedua kamar itu masih tertutup pula.
Wanita bermantel bulu binatang itu rupanya tak biasa bangun pagi.
Kemudian kondektur datang padanya dan mengatakan bahwa beberapa menit lagi kereta akan tiba di Nice.
Katherine memberinya upah -laki-laki itu mengucapkan terima kasih padanya, tetapi masih belum mau pergi.
Ada sesuatu yang aneh pada diri laki-laki itu.
Katherine yang mula-mula menyangka bahwa upah yang diberikannya kurang banyak, kini yakin bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang kurang beres.
Wajahnya pucat seperti orang sakit, seluruh tubuhnya gemetar, dan dia tampak ketakutan setengah mati.
Laki-laki itu memandangnya dengan cara yang aneh.
Akhirnya dia tiba-tiba berkata.
"Maafkan saya, Nyonya, apakah ada teman-teman yang akan menjemput di Nice?"
"Mungkin ada,"
Kata Katherine.
"Mengapa?"
Tetapi laki-laki itu hanya menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak dapat didengar oleh Katherine, lalu pergi, dan tak muncul lagi sampai kereta api berhenti di stasiun.
Laki-laki itu lalu mengulurkan barang-barang Katherine dari jendela.
Sesaat lamanya Katherine berdiri saja agak kebingungan di peron, lalu seorang pria muda yang berambut pirang dan berwajah ramah mendatanginya dan berkata agak ragu.
"Apakah Anda Nona Grey?"
Katherine berkata bahwa dia benar, dan wajah anak muda itu menjadi cerah seperti bidadari, lalu bergumam.
"Saya Chubby -suami Lady Tamplin. Saya berharap dia sudah menceritakan tentang saya, tapi mungkin dia lupa. Apakah kartu barang-barang Anda ada pada Anda? Waktu saya tiba di sini tahun lalu, kartu barang-barang saya hilang, dan Anda tidak akan bisa membayangkan betapa ributnya petugas-petugas di sini karenanya. Biasa, urusan bea cukai Prancis!"
Katherine memberikan kartu itu, dan ketika baru saja akan melangkah berjalan bersama laki-laki itu, suatu suara yang sangat halus dan bernada busuk bergumam di telinganya.
"Maaf sebentar, Nyonya."
Katherine menoleh dan melihat seseorang yang tubuhnya tidak begitu besar -dia mengenakan pakaian seragam yang banyak sekali pita-pita keemasannya. Orang itu menjelaskan.
"Ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Silakan Nyonya mengikuti saya. Perintah kepolisian -"
Dia mengangkat lengannya.
"Memalukan memang, tapi ya, begitulah."
Tuan Chubby Evans ikut mendengarkan, tetapi tidak begitu mengerti, karena bahasa Prancisnya sangat terbatas.
"Ciri khas orang Prancis,"
Gumam Tuan Evans. Dia adalah seorang Inggris sejati yang cinta tanah airnya, yang sudah tinggal di negeri asing seperti di tanah airnya sendiri, tetapi sangat membenci penduduk asli negeri itu.
"Selalu saja mereka berbuat bodoh begini. Tapi mereka belum pernah mengganggu orang di stasiun seperti ini. Ini sesuatu yang benar-benar baru. Saya rasa Anda harus ikut dia."
Katherine pergi mengikuti penunjuk jalannya.
Dia heran karena dia diajak menuju ke cabang jalan kereta api di mana sebuah gerbong kereta api yang sudah berangkat dilansir.
Penunjuk jalannya tadi mempersilakannya naik ke gerbong itu, dan berjalan mendahuluinya di lorong, lalu membukakannya pintu sebuah kamar.
Di dalam kamar itu ada seorang pejabat yang kelihatannya angkuh, dan dia didampingi oleh seseorang yang sukar dilukiskan, ternyata pembantunya.
Orang yang tampak angkuh itu bangkit dengan sopan, membungkuk pada Katherine, lalu berkata.
"Maafkan saya, Nyonya, ada beberapa hal yang harus kita selesaikan. Saya percaya Nyonya pandai berbahasa Prancis?"
"Saya rasa cukup mampu, Monsieur,"
Sahut Katherine dalam bahasa itu.
"Bagus. Silakan duduk, Nyonya. Saya M. Caux, komisaris polisi."
Dia membusungkan dadanya menyatakan pentingnya kedudukannya, dan Katherine berusaha supaya kelihatan terkesan.
"Apakah Anda ingin melihat paspor saya?"
Tanya Katherine.
"Ini, silakan."
Komisaris itu memandangnya dengan tajam lalu bersungut sedikit.
"Terima kasih, Nyonya,"
Katanya sambil mengambil paspor itu. Dia menelan air liurnya.
"Tapi yang saya inginkan adalah sedikit informasi."
"Informasi?"
Komisaris mengangguk perlahan-lahan.
"Mengenai seorang wanita teman seperjalanan Anda. Anda makan siang bersamanya kemarin."
"Saya rasa saya tidak bisa menceritakan apa-apa tentang dirinya. Sambil makan kami bercakap-cakap, tapi saya sama sekali tak kenal padanya. Saya tak pernah berteman dengannya sebelumnya."
"Namun demikian,"
Kata Komisaris tajam.
"Anda mengikutinya kembali masuk ke kamarnya setelah makan siang itu, dan duduk-duduk bercakap-cakap beberapa lamanya."
"Benar,"
Kata Katherine. Agaknya komisaris itu ingin Katherine mengatakan lebih banyak daripada itu. Dia memandang Katherine dengan pandangan mendorong.
"Ya, Nyonya?"
"Lalu, Monsieur?"
Katherine balik bertanya.
"Dapatkah Anda menceritakan garis besar dari percakapan itu?"
"Bisa saja,"
Kata Katherine.
"tapi saya tidak melihat alasan untuk berbuat begitu."
Sebagai seorang Inggris dia merasa jengkel. Perwira polisi itu dianggapnya tak sopan.
"Tak ada alasan?"
Seru komisaris itu.
"Oh ya, Nyonya, jelas ada alasannya."
"Kalau begitu berikan alasan itu."
Komisaris itu menggosok-gosok dagunya beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa.
"Nyonya,"
Katanya akhirnya.
"alasannya sederhana sekali. Wanita yang saya maksud itu kedapatan meninggal di dalam kamarnya pagi ini."
"Meninggal!"
Seru Katherine.
"Karena apa -serangan jantungkah?"
"Bukan,"
Kata Komisaris dengan suara seperti orang yang sedang termenung atau bermimpi.
"Tidak -dia terbunuh."
"Terbunuh!"
Seru Katherine.
"Nah, sekarang Anda tahu, Nyonya, mengapa kami sangat menginginkan informasi yang bisa kami peroleh."
"Tapi pelayannya tentu -"
"Pelayannya telah menghilang."
"Oh!"
Katherine diam sebentar untuk mengumpulkan ingatannya.
"Karena kondektur melihat Anda bercakap-cakap dengan wanita itu di dalam kamarnya, wajarlah kalau dia melaporkannya pada polisi. Dan itulah sebabnya, Nyonya, kami menahan Anda, dengan harapan mendapatkan informasi."
"Maaf,"
Kata Katherine.
"saya bahkan tak tahu siapa namanya."
"Namanya Kettering. Kami tahu itu dari paspornya dan dari kartu nama yang tertempel pada barang-barang bagasinya. Kalau kami -"
Terdengar ketukan pada pintu kamar itu. M. Caux mengerutkan alisnya. Pintu itu dibukanya kira-kira enam inci.
"Ada apa?"
Katanya tegas.
"Saya tak bisa diganggu."
Di celah pintu yang terbuka itu tampak kepala orang yang berbentuk telur, orang yang makan malam bersama Katherine di kereta api. Di wajahnya tampak senyum yang cerah.
"Nama saya Hercule Poirot,"
Katanya.
"Bukankah,"
Kata komisaris itu tergagap.
"bukankah Hercule Poirot yang terkenal itu?"
"Ya, itulah dia,"
Kata Poirot.
"Saya ingat saya pernah bertemu dengan Anda, M. Caux, di Markas Besar Kepolisian di Paris, meskipun Anda pasti sudah lupa pada saya."
"Sama sekali tidak, Monsieur, sama sekali tidak,"
Kata komisaris itu dengan ramah sekali.
"Mari, silakan masuk. Apakah Anda tahu tentang -?"
"Ya, saya tahu,"
Kata Hercule Poirot.
"Saya datang untuk melihat kalau-kalau saya bisa membantu."
"Dengan segala senang hati,"
Sahut Komisaris dengan cepat.
"Saya perkenalkan dulu, M. Poirot, pada -."
Dia melihat dulu ke paspor yang masih dipegangnya -"pada Nyonya -eh -Nona Grey."
Poirot tersenyum pada Katherine.
"Aneh bukan,"
Gumamnya.
"bahwa kebenaran kata-kata saya terbukti begitu cepat?"
"Tetapi sayang! Sedikit sekali yang bisa diceritakan Nona ini kepada kita,"
Kata Komisaris.
"Telah saya jelaskan,"
Kata Katherine.
"bahwa wanita malang itu benar-benar tak saya kenal."
Poirot mengangguk.
"Padahal dia bercakap-cakap dengan Anda, bukan?"
Katanya dengan halus.
"Anda bisa mendapatkan kesan, bukan?"
"Ya"
Kata Katherine termangu.
"Saya rasa begitu."
"Kesan apa -?"
"Ya, Nona -"
Komisaris itu tiba-tiba bergerak maju -"tolong katakan kesan Anda."
Katherine membalik-balik seluruh kejadian itu dalam pikirannya.
Ada dirasakannya bahwa dia mengkhianati suatu rahasia yang sudah dipercayakan kepadanya, tetapi dengan mendengungnya kata 'pembunuhan' di telinganya, dia tak berani menyembunyikan apa-apa lagi.
Mungkin akan besar sekali akibatnya.
Maka sedapat-dapatnya, diulanginyalah percakapannya dengan wanita yang sudah meninggal itu, kata demi kata.
"Menarik sekali,"
Kata Komisaris sambil memandang pada M. Poirot.
"M. Poirot, menarik bukan? Ada-tidaknya hubungannya dengan kejahatan itu -"
Kalimat itu tidak disudahinya.
"Saya rasa itu mungkin perbuatan bunuh diri,"
Kata Katherine agak ragu.
"Tidak,"
Kata Komisaris.
"itu tak mungkin bunuh diri. Dia dijerat dengan seutas tali hitam."
"Aduh!"
Kata Katherine, dia bergidik. M. Caux merentangkan tangannya bersikap meminta maaf.
"Memang tidak menyenangkan. Saya rasa perampok kereta api di sini lebih kejam daripada yang di negeri Anda."
"Mengerikan sekali."
"Ya, ya -"
Dia menenangkan Katherine dan bersikap minta maaf -"tapi Anda punya keberanian besar, Nona.
Segera setelah melihat Anda, saya berkata pada diri sendiri, 'Nona ini punya keberanian besar.' Sebab itu, saya akan meminta Anda berbuat sesuatu lagi -sesuatu yang tidak menyenangkan, tapi jelas sangat penting."
Katherine memandangnya dengan pengertian. M. Caux merentangkan tangannya lagi seakan meminta maaf.
"Saya akan meminta Anda, Nona, untuk menyertai saya ke kamar sebelah."
"Haruskah itu?"
Tanya Katherine dengan suara halus.
"Harus ada seseorang yang mengenalinya,"
Kata Komisaris.
"Dan karena pelayannya sudah menghilang -"
Dia mendehem nyaring -"agaknya Andalah yang paling banyak melihatnya sejak dia naik kereta api ini."
"Baiklah,"
Kata Katherine dengan tenang.
"bila itu memang perlu -"
Katherine bangkit. Poirot mengangguk padanya tanda memuji.
"Nona memang bijak,"
Katanya.
"Bolehkah saya ikut kalian, M. Caux?"
"Tentu, M. Poirot."
Mereka berjalan ke luar, ke lorong gerbong, dan M.
Caux membuka kunci pintu kamar wanita yang sudah meninggal itu.
Kerai di ujung sudah diangkat setengah untuk mendapatkan cahaya matahari.
Wanita itu terbaring di tempat tidur kereta, di sebelah kiri mereka.
Sikap tidurnya demikian wajarnya, hingga orang akan menyangka bahwa dia benar-benar sedang tidur.
Alas tempat tidur menutupi tubuhnya, dan kepalanya berpaling ke dinding, hingga hanya rambutnya yang ikal yang berwarna merah kecoklatan saja yang nampak.
M.
Caux menaruh tangannya di pundak wanita yang sudah meninggal itu dengan lembut, lalu membalikkan tubuh itu sehingga wajahnya kelihatan.
Katherine mundur sedikit dan menekankan kukunya di telapak tangannya.
Suatu pukulan hebat telah merusak wajah wanita itu hingga hampir-hampir tak bisa dikenali.
Poirot mengucapkan kata seru.
"Kapan pemukulan itu dilakukan?"
Tanyanya.
"Sebelum atau sesudah kematian?"
"Menurut dokter, sesudah,"
Kata M. Caux.
"Aneh,"
Kata Poirot sambil mempertautkan alisnya. Dia berpaling pada Katherine.
"Kuatkan hati, Nona -perhatikan dia baik-baik. Apakah Anda yakin bahwa inilah wanita yang bercakap-cakap dengan Anda dalam kereta api kemarin?"
Katherine memang punya syaraf yang kuat. Dikuatkannya lagi hatinya untuk memperhatikan wajah yang sudah rusak itu lama-lama dan bersungguh-sungguh. Lalu dia membungkuk ke depan dan mengambil tangan wanita yang sudah meninggal itu.
"Saya yakin sekali,"
Katanya akhirnya.
"Wajahnya sudah terlalu rusak untuk dikenali, tapi bentuk tubuhnya, warna rambutnya sama benar, apalagi, saya melihat ini -"
Dia menunjuk sebuah tahi lalat kecil di pergelangan tangan wanita itu -"sementara saya bercakap-cakap dengan dia."
"Bon,"
Poirot membenarkan.
"Anda memang seorang saksi mata yang hebat, Nona. Jadi, mengenai pengenalannya tak perlu diragukan lagi, tapi bagaimanapun juga, aneh sekali."
Dia memandangi wanita yang sudah meninggal itu dengan bingung sambil mengerutkan alisnya. M. Caux mengangkat bahunya.
"Pembunuhnya pasti diamuk rasa murka besar,"
Katanya mengeluarkan pendapatnya.
"Bila kematiannya disebabkan pukulan, itu bisa dipahami,"
Kata Poirot merenung.
"Tapi orang yang menjeratnya menyelinap dari belakang dan menangkapnya tanpa disadarinya. Bunyi tercekik halus -bunyi seperti orang berkumur-kumur sedikit -hanya itulah yang terdengar -dan sesudah itu, pukulan yang menghancurkan itu di mukanya. Tapi, mengapa? Apakah dia berharap bahwa bila wajah itu tak dapat dikenali lagi, maka orang tak tahu lagi siapa dia? Ataukah dia demikian bencinya pada almarhumah hingga dia tak dapat menahan napsunya untuk menghantamkan pukulan itu setelah wanita itu meninggal sekalipun?"
Katherine bergidik, dan Poirot segera berpaling padanya dengan ramah.
"Jangan Anda sampai merasa sengsara, Nona,"
Katanya.
"Bagi Anda semuanya ini benar-benar baru dan mengerikan. Bagi saya -sayang sekali! -ini merupakan cerita lama. Sebentar, saya minta pada Anda berdua."
Mereka berdiri di dekat pintu sambil memperhatikan dia berjalan cepat berkeliling kamar itu.
Dilihatnya bahwa pakaian wanita yang sudah meninggal itu terlipat rapi di ujung tempat tidur kecil itu, mantel dari bulu binatang tergantung pada cantelan, topi kecil yang dipernis merah terlempar di rak.
Lalu dia berjalan ke kamar sebelahnya, di mana Katherine waktu itu melihat si pelayan duduk.
Di situ tempat tidurnya belum dibenahi.
Tiga atau empat helai selimut bertumpuk sembarangan di tempat tidur -ada sebuah kotak topi dan beberapa buah kopor.
Tiba-tiba dia berpaling pada Katherine.
"Kemarin Anda berada di dalam sini,"
Katanya.
"Adakah Anda melihat suatu perubahan atau sesuatu yang kurang sekarang?"
Dengan cermat Katherine melihat-lihat kedua kamar itu.
"Ya,"
Katanya.
"ada sesuatu yang hilang -sebuah peti kecil dari kulit kambing berwarna merah tua. Di peti itu ada tulisan huruf-huruf awal sebuah nama 'R.V.K.'. Mungkin itu sebuah peti untuk alat-alat kecantikan atau sebuah peti perhiasan besar. Saya melihat pelayannya sedang memegangnya."
"Ah!"
Kata Poirot.
"Ya, tentu,"
Kata Katherine.
"Saya -saya tentu tak tahu apa-apa tentang hal begituan, tapi saya rasa jelas sudah, bila pelayan itu menghilang bersama peti perhiasan itu."
"Maksud Anda, pelayan itukah pencurinya? Tidak, Nona, ada alasan yang sangat baik untuk menyanggah hal itu."
"Apa itu?"
"Pelayan itu ditinggalkan di Paris."
Komisaris berpaling pada Poirot.
"Saya ingin Anda mendengar sendiri cerita kondektur kereta,"
Gumamnya penuh rahasia.
"Sangat membuat kita berpikir."
"Nona tentu ingin mendengarnya juga,"
Kata Poirot.
"Anda tidak keberatan, bukan, Komisaris?"
"Tidak,"
Kata Komisaris yang memang tidak berkeberatan.
"Tentu tidak, M. Poirot, jika Anda yang berkata begitu. Sudah selesaikah Anda di sini?"
"Saya rasa sudah. Tapi -satu menit lagi."
Dia membalik-balik selimut, lalu membawa sehelai di antaranya ke jendela dan memperhatikannya, dan mengambil sesuatu dari selimut itu.
"Apa itu?"
Tanya Komisaris tajam.
"Empat helai rambut berwarna merah kecoklatan."
Dia membungkuk ke tubuh wanita yang meninggal itu.
"Ya, memang rambut dari kepala Nyonya ini."
"Lalu ada apa? Apakah menurut anggapan Anda ada pentingnya?"
Poirot menjatuhkan selimut itu ke bangku lagi.
"Apa yang penting? Apa yang tidak? Pada tahap ini kita tak bisa mengatakannya. Tapi kita harus mencatat setiap bukti yang kecil dengan cermat."
Mereka kembali lagi ke kamar yang pertama, dan sebentar kemudian kondektur kereta itu tiba untuk ditanyai.
"Nama Anda Pierre Michel?"
Tanya Komisaris.
"Benar, Tuan Komisaris."
"Saya ingin Anda mengulangi di hadapan tuan ini -"
Dia menunjuk Poirot -"cerita yang Anda kisahkan pada saya mengenai apa yang terjadi di Paris."
"Baiklah, Tuan Komisaris. Waktu itu kami baru meninggalkan Gare de Lyon dan saya pergi menyiapkan tempat-tempat tidur. Saya sangka nyonya itu pergi makan malam, tapi dia hanya memesan keranjang berisi makan malam di kamarnya. Dia berkata bahwa dia terpaksa meninggalkan pelayannya di Paris, hingga saya hanya perlu menyiapkan tempat tidur untuk satu orang saja. Keranjang makanannya dibawa ke kamar sebelahnya -dia duduk di sana sementara saya menyiapkan tempat tidur, lalu dikatakannya bahwa dia tak ingin dibangunkan pagi-pagi, bahwa dia ingin tidur terus. Saya katakan saya mengerti, dan dia mengucapkan 'selamat tidur'."
"Apakah Anda sendiri tidak pergi ke kamar sebelah?"
"Tidak, Tuan."
"Kalau begitu Anda tidak melihat bahwa di antara bagasi di sana ada sebuah peti merah tua dari kulit kambing."
"Tidak, Tuan."
"Apakah mungkin ada seseorang bersembunyi di kamar sebelah?"
Kondektur berpikir.
"Pintunya setengah terbuka,"
Katanya.
"Sekiranya seseorang berdiri di belakang pintu itu, saya tak akan bisa melihatnya, tapi dia tentu bisa dilihat jelas oleh Nyonya waktu dia masuk ke situ."
"Benar,"
Kata Poirot.
"Adakah lagi yang dapat Anda ceritakan pada kami?"
"Saya rasa hanya itu, Tuan. Saya tak bisa ingat apa-apa lagi."
"Lalu pagi ini?"
Poirot mendesak terus.
"Sebagaimana yang diperintahkan nyonya itu, saya tidak mengganggunya. Waktu hampir tiba di Cannes saya baru memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya. Karena tak ada jawaban, saya membukanya. Kelihatannya wanita itu tidur di tempat tidurnya. Saya mengguncang bahunya akan membangunkannya, lalu -"
"Lalu Anda melihat apa yang telah terjadi?"
Poirot membantu.
"Tres bien. Saya rasa sudah cukuplah apa yang ingin saya ketahui."
"Saya harap, Tuan Komisaris, hal itu terjadi bukan karena kelalaian saya,"
Kata kondektur sendu.
"Peristiwa begini sampai terjadi di Kereta Api Biru! Mengerikan sekali."
"Tenang sajalah,"
Kata Komisaris.
"Segalanya akan dilakukan setenang mungkin, sekedar untuk keperluan pengadilan. Saya rasa Anda tak bisa dipersalahkan karena lalai."
"Lalu apakah Tuan Komisaris akan melapor demikian pula pada perusahaan kami?"
"Tentu, tentu,"
Kata Komisaris Caux tak sabaran.
"Sekian saja."
Kondektur itu pergi.
"Berdasarkan bukti pemeriksaan medis,"
Kata Komisaris.
"wanita itu mungkin sudah meninggal sebelum kereta api tiba di Lyons. Jadi siapa pembunuhnya? Dari cerita nona ini, jelas agaknya bahwa dia akan menjumpai laki-laki yang dibicarakannya itu, di suatu tempat dalam perjalanannya ini. Tindakannya yang menyuruh pelayannya tinggal itu, menguatkan hal itu pula. Apakah laki-laki itu naik kereta api ini di Paris, dan apakah wanita itu menyembunyikannya dalam kamar di sebelahnya? Jika demikian mungkin mereka lalu bertengkar, lalu laki-laki itu mungkin membunuhnya dalam kemarahan. Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lain -dan yang lebih masuk akal menurut saya -adalah bahwa si pembunuh itu seorang perampok kereta api yang memang ikut bepergian dengan kereta api ini. Dia berjalan menyelinap di lorong tanpa terlihat oleh kondektur, membunuh wanita itu, lalu lari membawa peti dari kulit kambing itu, yang pasti berisi barang-barang perhiasan yang sangat berharga. Besar kemungkinannya dia meninggalkan kereta api di Lyons. Kami telah mengirim telegram ke stasiun di sana minta keterangan-keterangan terperinci mengenai siapa saja yang kelihatan meninggalkan kereta api."
"Atau mungkin juga dia ikut terus sampai ke Nice,"
Poirot berpendapat.
"Mungkin,"
Komisaris membenarkan.
"tapi itu akan merupakan tindakan yang berani sekali."
Poirot tidak berkata apa-apa selama satu atau dua menit, lalu berkata lagi.
"Dalam kemungkinan yang kedua, Anda pikir bahwa orang itu adalah perampok kereta api biasa?"
Komisaris mengangkat bahunya.
"Itu tergantung. Kita harus mencari pelayan itu. Ada kemungkinan peti merah dari kulit kambing itu ada padanya. Bila demikian, maka laki-laki yang diceritakannya pada nona itu mungkin terlibat dalam perkara ini, dan perkaranya menjadi suatu kejahatan berdasarkan napsu. Saya pribadi berpendapat bahwa penyelesaian tentang perampok kereta api biasa, lebih mungkin. Akhir-akhir ini bandit-bandit itu makin berani."
Tiba-tiba Poirot memandang Katherine yang berdiri di seberangnya.
"Dan Anda, Nona,"
Katanya.
"tak adakah Anda mendengar atau melihat sesuatu malam hari?"
"Tidak,"
Sahut Katherine. Poirot berpaling pada Komisaris.
"Saya rasa kita tak perlu menahan Nona ini lebih lama,"
Dia menyarankan. Komisaris mengangguk.
"Maukah Nona meninggalkan alamat Anda?"
Katanya. Katherine menyebutkan nama vila milik Lady Tamplin. Poirot membungkuk padanya.
"Anda izinkankah saya untuk menemui Anda lagi?"
Tanyanya.
"Atau akan terlalu banyakkah sahabat Anda hingga waktu Anda akan habis tersita?"
"Sebaliknya,"
Kata Katherine.
"saya akan punya banyak sekali waktu luang, dan saya senang sekali bertemu lagi dengan Anda."
"Bagus sekali,"
Kata Poirot, dan mengangguk pada Katherine dengan sikap bersahabat.
"Ini akan merupakan 'roman kriminal' kita berdua. Kita akan menyelidiki peristiwa ini bersama-sama."
Bab 12 DI VILA MARGUERITE "Jadi kau benar-benar terlibat di dalamnya!"
Kata Lady Tamplin dengan rasa iri.
"Aduh, menegangkan sekali!"
Matanya yang biru seperti mata orang Cina dibukanya lebar-lebar dan dia mendesah.
"Suatu pembunuhan sungguhan,"
Kata Tuan Evans dengan gembira.
"Chubby tentu tidak mengerti apa-apa tentang hal-hal yang begitu,"
Lady Tamplin melanjutkan.
"dia sama sekali tak bisa membayangkan mengapa polisi memerlukan kau. Ah, Sayang, suatu kesempatan yang baik! Kurasa -ya, kurasa pasti kita bisa melakukan sesuatu dari kejadian ini."
Pandangan dengan penuh perhitungan agak merusak keramahan di mata biru itu.
Katherine merasa agak tak enak.
Mereka baru saja selesai makan siang, dan dia melihat pada ketiga orang yang duduk di sekeliling meja itu bergantian.
Lady Tamplin yang penuh dengan rencana-rencana yang bisa dilaksanakan, Tuan Evans yang berseri-seri dipenuhi perasaan penghargaan yang polos, dan Lenox dengan senyum masam yang aneh di wajahnya.
"Benar-benar nasib baik,"
Gumam Chubby.
"Maunya aku juga ikut denganmu -dan melihat -semua barang-barang bukti."
Nada bicaranya polos kekanakan.
Katherine tidak berkata apa-apa.
Polisi memang tidak memerintahkannya untuk merahasiakannya, dan jelas-jelas tak ada kemungkinan untuk tidak mengatakan kenyataan-kenyataan yang ada atau menyembunyikannya dari nyonya rumah.
Tapi dia berkeinginan untuk bisa berbuat begitu.
"Ya,"
Kata Lady Tamplin yang tiba-tiba terbangun dari impiannya.
"aku benar-benar yakin bahwa kita bisa berbuat sesuatu. Kau tahu maksudku, suatu pernyataan yang ditulis dengan bahasa yang bagus. Seorang saksi mata, suatu sentuhan kewanitaan. 'Bagaimana aku mengobrol dengan wanita yang meninggal itu, siapa yang menyangka -'yah, kira-kira begitulah."
"Brengsek!"
Kata Lenox.
"Kau tak tahu,"
Kata Lady Tamplin dengan suara halus dan murung.
"berapa banyak yang akan dibayar oleh surat-surat kabar untuk berita-berita kecil saja! Tentu saja kalau ditulis oleh seseorang yang kedudukan sosialnya tak meragukan. Kau tentu tak mau melakukannya sendiri ya, Katherine, tapi beri saja aku garis-garis besarnya, dan aku yang akan mengatur semuanya untukmu. Tuan de Haviland adalah sahabat baikku. Kami sudah ada saling pengertian. Laki-laki yang amat menyenangkan -sama sekali tidak berlagak wartawan. Bagaimana gagasan itu menurutmu, Katherine?"
"Aku lebih suka tidak berbuat begitu,"
Kata Katherine apa adanya. Lady Tamplin agak tak puas dengan penolakan tanpa tenggang rasa itu. Dia mendesah lalu beralih meminta penjelasan mengenai hal-hal terperinci selanjutnya.
"Seorang wanita yang penampilannya menyolok, katamu? Aku jadi ingin tahu siapa dia gerangan? Tidakkah kau mendengar namanya?"
"Ada disebut,"
Katherine mengakui.
"tapi aku tak ingat. Aku agak kacau."
"Tentu saja,"
Kata Tuan Evans.
"kejadian seperti itu tentu merupakan suatu guncangan hebat."
Dapat diragukan apakah, kalaupun Katherine ingat nama itu, dia akan mau mengatakannya.
Tanya-jawab Lady Tamplin yang tak mengenal batas itu telah membuatnya agak jengkel.
Lenox yang tajam pengamatannya, melihat hal itu, dan dia lalu menawarkan diri untuk mengantarkan Katherine naik ke lantai atas, melihat kamarnya.
Katherine ditinggalkannya di kamar itu, sambil memberi tahu dengan baik-baik sebelum dia pergi.
"Jangan ambil hati ibuku. Kalau bisa, dari neneknya yang sedang sekarat pun dia ingin mencari keuntungan beberapa penny."
Lenox turun lagi dan mendapatkan ibu dan ayah tirinya sedang membahas pendatang baru itu.
"Bisa ditampilkan,"
Kata Lady Tamplin.
"benar-benar bisa ditampilkan. Pakaiannya cukup baik. Stelan abu-abunya itu serupa dengan yang dipakai Gladys Cooper dalam film Palm Trees in Egypt."
"Adakah kau melihat matanya?"
Sela Tuan Evans.
"Jangan pedulikan matanya, Chubby,"
Kata Lady Tamplin tajam.
"Kita sedang membahas hal-hal yang benar-benar berarti."
"Ya, benar,"
Kata Tuan Evans, dan berdiam diri lagi.
"Kelihatannya dia tidak terlalu penurut,"
Kata Lady Tamplin, agak bimbang dalam mencari kata-kata yang tepat.
"Dia memiliki naluri seorang wanita utama, seperti yang dikatakan dalam buku-buku,"
Kata Lenox, tersenyum kecil.
"Picik,"
Gumam Lady Tamplin.
"kurasa memang tak dapat dielakkan begini."
"Kurasa Ibu akan berusaha keras untuk memperluas pandangannya,"
Kata Lenox, masih tersenyum.
"Tapi Ibu akan gagal. Tadi saja Ibu tentu melihat, bagaimana dia berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya."
"Bagaimanapun juga,"
Kata Lady Tamplin dengan penuh harapan.
"dia kelihatannya sama sekali tidak kikir. Ada orang, yang bila mendapatkan uang, sangat mengagung-agungkannya."
"Oh, Ibu akan mudah saja mendapatkan apa yang Ibu inginkan."
Kata Lenox.
"Apalagi, bukankah itu yang paling penting? Maksudku dengan kedatangannya kemari."
"Dia kan saudara sepupuku,"
Kata Lady Tamplin mempertahankan harga dirinya.
"Saudara sepupu, ya?"
Tanya Tuan Evans, seperti baru sadar kembali.
"Kalau begitu kurasa aku bisa memanggilnya Katherine, ya?"
"Bagaimana kau memanggilnya itu sama sekali tak penting, Chubby,"
Kata Lady Tamplin.
"Bagus,"
Kata Tuan Evans.
"Kalau begitu aku akan memanggilnya begitu. Apakah menurutmu dia pandai main tenis?"
Ditambahkannya dengan penuh harapan.
"Tentu saja tidak,"
Sahut Lady Tamplin.
"Dia bekerja sebagai pendamping seseorang, tahu. Pendamping-pendamping orang tak pernah main tenis -maupun golf. Mungkin mereka main golf kriket, tapi sepanjang pengetahuanku kerja mereka hanya menggulung benang wol dan memandikan anjing sepanjang hari."
"Ya, Tuhan!"
Seru Tuan Evans.
"Benarkah begitu?"
Lenox pergi lagi ke lantai atas, ke kamar Katherine.
"Bisakah aku membantumu?"
Tanyanya sekedar berbasa-basi. Karena Katherine menolak, Lenox duduk saja di tepi tempat tidur dan memperhatikan tamunya.
"Mengapa kau datang?"
Tanyanya akhirnya.
"Maksudku, mendatangi kami. Kami lain dari kau."
"Ah, aku ingin sekali bergaul dalam masyarakat."
"Jangan tolol,"
Kata Lenox berterus terang, dengan memandang lawan bicaranya sambil tersenyum kecil.
"Kau tahu betul apa maksudku. Kau sama sekali tak sama dengan yang kubayangkan. Ngomong-ngomong, baju-bajumu memang bagus."
Dia mendesah.
"Aku selamanya tak pantas berpakaian. Aku memang kaku sejak lahir. Sayang memang, padahal aku suka pakaian."
"Aku juga,"
Kata Katherine.
"tapi sampai saat ini, tak ada gunanya aku menyukai pakaian. Apakah menurutmu yang ini bagus?"
Katherine dan Lenox membahas beberapa model dengan selera seni.
"Aku suka padamu,"
Kata Lenox tiba-tiba.
"Aku tadi naik untuk memberi kau peringatan agar tidak terpengaruh oleh Ibu, tapi sekarang kurasa tak ada perlunya. Kau benar-benar tulus dan jujur, dan entah apa lagi yang aneh-aneh, tapi kau tidak bodoh. Ah, sialan! apa lagi itu?"
Terdengar suara Lady Tamplin yang memanggil dari serambi.
"Lenox, Derek baru saja menelepon. Dia ingin datang untuk makan malam ini. Bolehkah? Maksudku, makanan kita tidak ada yang memalukan seperti burung, bukan?"
Lenox meyakinkan ibunya bahwa semuanya beres, lalu kembali ke kamar Katherine. Wajahnya tampak lebih cerah dan tidak begitu murung lagi.
"Aku senang Derek akan datang,"
Katanya.
"Kau akan suka padanya."
"Siapa Derek itu?"
"Dia putra Lord Leconbury, kawin dengan seorang wanita Amerika yang kaya-raya. Orang-orang perempuan selalu tergila-gila padanya."
"Mengapa?"
"Ah, alasan biasa -sangat tampan dan kumpulan orang-orang tak beres. Semua orang suka padanya."
"Kau juga?"
"Kadang-kadang,"
Kata Lenox.
"Tapi kadang-kadang aku ingin kawin dengan seorang pendeta yang baik lalu tinggal di pinggiran kota dan bercocok tanam."
Dia berhenti sebentar, lalu menambahkan.
"Sebaiknya seorang pendeta dari Irlandia, maka aku akan berburu."
Beberapa saat kemudian dia berbalik pada pokok pembicaraannya semula.
"Ada sesuatu yang aneh pada diri Derek. Semua dari keluarga itu agak tak beres -suka sekali berjudi. Zaman dahulu mereka bahkan biasa memperjudikan istri-istri mereka atau tanah milik mereka, dan melakukan hal-hal yang tak benar hanya karena kegemaran berjudi itu. Derek itu bisa saja menjadi penyamun yang sempurna -dia ceria dan periang, sifat yang tepat benar untuk itu."
Dia berjalan ke pintu.
"Turunlah, kalau kau mau."
Setelah ditinggalkan seorang diri, Katherine mulai berpikir-pikir.
Pada saat itu dia merasa benar-benar tak senang dan dikejutkan oleh lingkungannya.
Guncangan yang dialaminya gara-gara penemuannya di kereta api dan cara teman-teman barunya menerima berita itu mengejutkan dia yang bersifat tanggap itu.
Lama dan bersungguh-sungguh dia memikirkan wanita yang terbunuh itu.
Dia merasa kasihan pada Ruth, tetapi dia tak dapat pula berkata bahwa dia menyukainya.
Dia mempunyai firasat kuat bahwa wanita itu punya sifat egois yang tak kenal batas, yang merupakan kunci utama kepribadiannya, dan itu menimbulkan rasa tak suka pada diri Katherine.
Dia merasa geli dan agak tersinggung waktu wanita itu seenaknya saja menyuruhnya pergi setelah dia selesai melayaninya.
Katherine merasa yakin bahwa wanita itu telah mengambil suatu keputusan, kini dia ingin tahu apa gerangan keputusan itu.
Apa pun keputusan itu, semuanya jadi tak berarti dengan terjadinya kematian itu.
Aneh bahwa kejadiannya jadi begitu, bahwa suatu kejahatan yang kejam telah mengakhiri perjalanan yang berarti baginya itu.
Tetapi tiba-tiba Katherine teringat akan suatu kejadian yang mungkin seharusnya diceritakannya pada polisi -suatu kejadian yang tadi tak diingatnya.
Apakah hal itu benar-benar penting? Dia yakin benar bahwa dia telah melihat seorang laki-laki masuk ke dalam kamar itu, tetapi Katherine sadar bahwa dia mungkin keliru.
Mungkin saja kamar yang di sebelahnya, dan laki-laki itu pasti bukan perampok kereta api.
Dia ingat betul laki-laki itu karena dia telah bertemu dengannya pada dua kesempatan -sekali di Savoy dan sekali di kantor Cook.
Tidak, dia pasti keliru.
Laki-laki itu tidak masuk ke dalam kamar wanita yang sudah meninggal itu, dan baik juga dia tidak menceritakan apa-apa pada polisi.
Seandainya dia berbuat begitu, dia mungkin menjadi penyebab suatu bencana yang tak terhingga besarnya.
Dia turun dan menggabungkan diri dengan yang lain-lain di teras depan.
Melalui dahan-dahan bunga mimosa, dia dapat melihat langsung ke Laut Mediterania yang biru -dan sambil mendengarkan celoteh Lady Tamplin dengan sebelah telinga, dia merasa senang bahwa dia sudah datang.
Tempat ini lebih baik daripada St.
Mary Mead.
Malam itu dia mengenakan baju yang berwarna merah muda bercampur biru kehijau-hijauan yang oleh penjahitnya disebut desah di musim gugur, dan setelah tersenyum melihat bayangan dirinya di cermin, dia menuruni tangga dengan perasaan agak malu, yang pertama kali dialami dalam hidupnya.
Kebanyakan tamu Lady Tamplin telah tiba, dan karena ciri khas dari pesta-pesta Lady Tamplin adalah keributan, maka hiruk-pikuknya bukan main.
Chubby bergegas mendatangi Katherine, memberinya segelas minuman cocktail, dan bertindak sebagai pelindungnya.
"Oh, ini Derek datang,"
Seru Lady Tamplin, waktu pintu terbuka dan pendatang yang terakhir masuk.
"Sekarang akhirnya kita bisa makan. Aku sudah lapar sekali."
Katherine melihat ke seberang ruangan.
Dia terkejut sekali.
Jadi ini rupanya -Derek, dan dia menyadari bahwa dia tidak merasa heran.
Dia sudah tahu bahwa pada suatu hari dia akan bertemu lagi dengan laki-laki yang telah tiga kali dilihatnya dalam rangkaian keadaan aneh yang tak disangka-sangkanya itu.
Dia juga merasa bahwa laki-laki itu mengenalinya.
Derek tiba-tiba berhenti ketika dia mengatakan sesuatu pada Lady Tamplin, dan melanjutkan percakapannya dengan susah payah.
Mereka semua masuk untuk makan malam, dan Katherine melihat bahwa Derek rupanya ditempatkan di sebelahnya.
Dia langsung menoleh pada Katherine dan tersenyum lebar.
"Saya sudah tahu bahwa saya pasti akan segera bertemu dengan Anda lagi,"
Kata Derek.
"tapi saya tak pernah menyangka bahwa itu akan terjadi di sini. Memang biasanya begitu, bukan? Sekali di Savoy dan sekali di kantor Cook -tak pernah ada dua kali tanpa ada yang ketiga kalinya. Jangan berkata bahwa Anda tak ingat pada saya atau tak pernah melihat saya. Karena bagaimanapun juga saya akan mendesak, sekurang-kurangnya agar Anda berpura-pura pernah bertemu dengan saya."
"Ah, saya tak perlu didesak,"
Kata Katherine.
"tapi ini bukan yang ketiga kalinya. Ini yang keempat. Saya juga melihat Anda di Kereta Api Biru."
"Di Kereta Api Biru!"
Derek lalu mengambil sikap yang tak dapat ditafsirkan -Katherine benar-benar tak dapat mengatakan sikap apa itu. Derek seakan-akan mengalami rintangan, tertahan. Kemudian dia berkata dengan tak acuh.
"Ada keributan apa tadi pagi? Ada orang yang meninggal, bukan?"
"Ya,"
Kata Katherine lambat-lambat.
"ada orang meninggal."
"Tak pantas meninggal di kereta api,"
Kata Derek seenaknya.
"Kurasa itu akan menimbulkan bermacam-macam kerumitan internasional, dan itu akan merupakan alasan yang baik bagi kereta api supaya datang lebih terlambat daripada biasanya."
"Tuan Kettering?"
Seorang wanita Amerika gemuk, yang duduk di hadapannya, menyandarkan tubuhnya ke depan dan berbicara pada Derek dengan logat yang menunjukkan asalnya.
"Tuan Kettering, saya yakin Anda sudah lupa pada saya, padahal saya pikir Anda adalah pria yang begitu tampan."
Derek menyandarkan tubuhnya ke depan pula, menjawab wanita itu, dan Katherine terpana.
Kettering! Itulah nama itu! Sekarang dia ingat -tetapi alangkah aneh dan ironisnya keadaan ini! Inilah laki-laki yang dilihatnya memasuki kamar istrinya kemarin malam, yang telah meninggalkan istrinya dalam keadaan hidup dan sehat-sehat saja, dan sekarang dia duduk makan di sini, tanpa menyadari nasib yang telah menimpa istrinya.
Tak dapat diragukan lagi.
Laki-laki itu tak tahu.
Seorang pelayan mendekati Derek lalu membungkuk, dan membisikkan sesuatu sambil menyampaikan sepucuk surat pendek.
Setelah terlebih dahulu meminta izin dari Lady Tamplin, surat itu dibukanya, dan di wajahnya terbayang keterkejutan yang luar biasa waktu dia membacanya -kemudian dia memandang nyonya rumah.
"Sungguh tak disangka, Rosalie, maafkan saya harus pergi. Kepala polisi ingin segera bertemu dengan saya. Saya tak tahu untuk apa."
"Dosa-dosamu sudah kedapatan rupanya,"
Kata Lenox.
"Mungkin,"
Kata Derek.
"Mungkin suatu lelucon yang bodoh, tapi kurasa aku harus segera pergi ke markas polisi. Berani benar pak tua itu menyuruhku meninggalkan makan malam ini. Ini pasti sesuatu yang sangat serius."
Dan dia tertawa sambil mendorong kursinya ke belakang lalu bangkit untuk kemudian meninggalkan ruangan itu.
Bab 13 VAN ALDIN MENERIMA TELEGRAM Petang hari tanggal lima belas Februari, London diselubungi kabut kuning yang tebal.
Rufus Van Aldin sedang berada dalam kamarnya di Savoy dan memanfaatkan keadaan cuaca yang demikian itu untuk bekerja berlipat ganda.
Knighton merasa senang sekali.
Akhir-akhir ini dia telah mengalami kesulitan untuk membuat majikannya memusatkan pikirannya pada urusan-urusan yang sedang dihadapinya.
Bila dia memberanikan diri untuk memaksakan urusan tertentu, Van Aldin selalu menolaknya dengan singkat.
Tetapi kini Van Aldin agaknya membenamkan diri dalam pekerjaannya dengan tenaga yang berlipat ganda, dan sekretaris itu benar-benar memanfaatkan kesempatan itu.
Dia yang selalu bijak, mendorong keadaan itu tanpa kentara, hingga Van Aldin tak curiga.
Namun sedang asyik-asyiknya menyelesaikan pekerjaannya itu, ada satu hal yang tetap tersembunyi dalam pikiran Van Aldin.
Suatu ucapan Knighton tanpa disengaja dan disadarinya, telah menjadi bahan pikirannya.
Kini pikiran itu mendalam tanpa kelihatan, makin lama makin jauh merasuki pikiran Van Aldin, hingga akhirnya, tanpa maunya, dia menyerah pada desakan itu.
Didengarkannya apa yang dikatakan Knighton dengan sikapnya yang seperti biasanya penuh perhatian, tetapi sebenarnya tak sepatah kata pun meresap ke dalam pikirannya.
Namun dia mengangguk dengan otomatis, dan sekretaris itu lalu beralih ke surat-surat lainnya.
Sedang dia menyortir surat-surat itu, majikannya berkata.
"Tolong ulangi lagi yang tadi, Knighton."
Sesaat Knighton kebingungan.
"Maksud Anda mengenai ini, Tuan?"
Diangkatnya sehelai laporan yang ditik rapat-rapat.
"Bukan, bukan,"
Kata Van Aldin.
"tentang yang kaukatakan tadi bahwa kau melihat pelayan Ruth di Paris kemarin malam. Aku tak mengerti. Mungkin kau keliru."
"Tak mungkin saya keliru, Tuan, saya benar-benar berbicara dengan dia."
"Yah, coba ceritakan lagi semuanya."
Knighton menurutinya.
"Saya baru saja menyelesaikan urusan dengan Bartheimer,"
Dia menjelaskan.
"dan saya kembali ke Ritz untuk membenahi barang-barang bawaan saya, makan malam, lalu berusaha supaya bisa berangkat naik kereta api yang jam sembilan dari stasiun Gare du Nord. Di meja resepsionis saya melihat seorang wanita, yang saya yakin adalah pelayan Nyonya Kettering. Saya mendatanginya dan bertanya apakah Nyonya Kettering juga menginap di sana."
"Ya, ya,"
Kata Van Aldin.
"tentu. Dan dia berkata bahwa Ruth telah melanjutkan perjalanannya ke Riviera dan bahwa Ruth telah menyuruhnya tinggal di Paris dan menunggu perintah-perintah selanjutnya?"
"Benar begitu, Tuan."
"Aneh sekali,"
Kata Van Aldin.
"Sungguh aneh sekali, atau mungkinkah pelayan itu kurang ajar?"
"Kalau demikian halnya,"
Bantah Knighton.
"tentulah Nyonya Kettering telah membayarnya, dan menyuruhnya kembali ke Inggris. Tak mungkin beliau mengirimnya ke Ritz."
"Tidak,"
Gumam jutawan itu.
"benar katamu."
Dia hampir saja mengatakan sesuatu, tetapi tak jadi.
Dia suka sekali pada Knighton dan percaya padanya, tetapi dia tak mungkin bisa membahas soal pribadi putrinya dengan sekretarisnya.
Dia sudah merasa tersinggung oleh sikap Ruth yang tak mau berterus terang, dan informasi tak disengaja yang diterimanya itu menambah rasa was-wasnya.
Mengapa Ruth sampai menyuruh pelayannya tinggal di Paris? Apakah gerangan soal atau alasannya berbuat demikian? Beberapa saat lamanya dia merenungkan peristiwa aneh itu.
Bagaimana Ruth, kalau dia sampai tahu bahwa orang yang pertama-tama bertemu dengan pelayannya di Paris itu kebetulan sekali adalah sekretaris ayahnya? Yah, begitulah biasanya peristiwa-peristiwa terjadi.
Begitulah caranya orang menemukan jejak suatu kejahatan.
Berdiri bulu kuduknya mengingat hal yang terakhir itu -pikiran itu muncul begitu saja seperti wajar.
Lalu apakah memang ada 'sesuatu yang jejaknya harus ditemukan'? Dia tak suka menanyakan hal itu sendiri, dia tak meragukan jawabnya.
Dia yakin -jawabnya adalah -Armand de la Roche.
Van Aldin merasa getir bahwa putrinya sampai terperangkap oleh laki-laki seperti itu, namun dia harus mengakui bahwa putrinya seperjalanan dengan orang baik-baik -wanita berpendidikan dan tampak cerdas itu bisa saja dengan mudah terpesona pula oleh Comte itu.
Laki-laki memang bisa menghindarinya, tapi perempuan tidak.
Kini dia mencari kata-kata untuk menghilangkan semua kecurigaan yang mungkin timbul pada sekretarisnya.
"Ruth memang selalu berubah pikiran pada saat terakhir,"
Katanya, lalu ditambahkannya lagi dengan nada yang maksudnya supaya terdengar tak acuh.
"Apakah pelayan itu tidak memberi tahu -eh -alasan berubahnya rencana?"
Knighton berusaha keras untuk menjadikan suaranya sewajar mungkin waktu dia menyahut.
"Katanya, Nyonya Kettering telah bertemu dengan seorang teman tanpa disangkanya."
"Begitukah?"
Telinga sekretaris yang sudah terlatih itu menangkap nada tegang, di balik sikap tak acuh itu.
"Oh, begitu. Laki-laki atau perempuan?"
"Kalau tak salah, katanya laki-laki."
Van Aldin mengangguk. Apa yang paling ditakutinya telah menjadi kenyataan. Dia bangkit dari kursinya, lalu berjalan hilir mudik di ruangan itu, suatu kebiasaannya bila dia sedang marah. Karena tak bisa menahan perasaannya lagi, dia menyembur.
"Ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh laki-laki mana pun, yaitu membuat perempuan menggunakan akal sehatnya. Mereka itu agaknya tak punya akal sehat. Berbicara tentang naluri wanita -wanita paling tak bisa mengenali penipu yang paling unggul. Di antara sepuluh orang perempuan, tak seorang pun tahu bahwa seseorang itu penjahat bila dia bertemu dengan salah seorang di antaranya, dan mereka bisa dijadikan mangsa oleh laki-laki mana pun yang tampan dan pandai bermulut manis. Bila saja kehendakku terkabul -"
Dia terganggu. Seorang pelayan hotel masuk membawa sepucuk telegram. Van Aldin menyobeknya, dan wajahnya tiba-tiba menjadi seputih kapur. Dia menangkap sandaran kursi dan berpegang kuat-kuat, sedang pelayan itu disuruhnya pergi dengan isyarat saja.
"Ada apa, Tuan?"
Karena merasa kuatir, Knighton bangkit.
"Ruth!"
Kata Van Aldin serak.
"Nyonya Kettering?"
"Terbunuh!"
"Kecelakaan kereta api?"
Van Aldin menggeleng.
"Tidak. Menurut telegram ini, dia juga dirampok. Mereka memang tidak menggunakan kata-kata itu, Knighton. Tapi anakku yang malang telah dibunuh orang."
"Ya, Tuhan!"
Van Aldin menunjuk telegram itu.
"Ini dari polisi di Nice. Aku harus pergi ke sana dengan kereta api yang pertama."
Knighton menunjukkan sikap efisiennya seperti biasanya. Dia melihat ke jam.
"Berangkat jam lima dari Stasiun Victoria, Tuan."
"Baik. Kau ikut aku, Knighton. Katakan pada pelayanku, Archer, dan benahi barang-barangmu sendiri. Beresi semuanya di sini. Aku ingin ke Curzon Street."
Telepon berdering nyaring dan sekretaris itu mengangkat gagangnya.
"Ya, siapa?"
Lalu pada Van Aldin.
"Tuan Goby, Tuan."
"Goby? Aku tak bisa menemuinya sekarang. Tidak -tunggu, kita masih banyak waktu. Katakan pada mereka untuk menyuruhnya naik."
Van Aldin adalah seorang pria yang kuat. Kini dia sudah dapat mengembalikan ketenangannya seperti biasa. Sedikit sekali orang yang bisa melihat adanya sesuatu yang tak beres, waktu dia menyapa Tuan Goby.
"Aku sudah terdesak waktu, Goby. Adakah sesuatu yang penting yang akan kauceritakan?"
Tuan Goby mendehem.
"Gerak-gerik Tuan Kettering, Tuan. Bukankah Anda ingin semuanya itu dilaporkan pada Anda?"
"Ya -lalu?"
"Tuan Kettering telah meninggalkan London berangkat ke Riviera, kemarin pagi."
"Apa?"
Sesuatu dalam suaranya pasti telah mengejutkan Tuan Goby. Laki-laki itu telah melepaskan kebiasaannya untuk tidak melihat pada orang yang menjadi temannya berbicara, dia mencuri pandang ke arah jutawan itu.
"Naik kereta api apa dia pergi?"
Tanya Van Aldin.
"Kereta Api Biru, Tuan."
Tuan Goby mendehem lagi, lalu berbicara pada jam di atas perapian.
"Nona Mirelle, penari dari Parthenon, pergi naik kereta api yang sama pula."
Bab 14 CERITA ADA MASON "Rasanya belum cukup saja kami menyatakan, betapa ngerinya, betapa terkejutnya, dan betapa dalamnya rasa turut berduka kami terhadap Anda, Tuan."
Demikianlah Hakim M.
Carrege berbicara pada Van Aldin.
Komisaris M.
Caux mengucapkan pula kata-kata simpati.
Van Aldin mengesampingkan rasa ngeri, terkejut, dan simpati itu dengan isyarat singkat.
Kejadian itu mengambil tempat di Kantor Kejaksaan di Nice.
Kecuali M.
Carrege, Komisaris, dan Van Aldin, ada lagi seseorang di dalam kamar itu.
Orang itulah yang berbicara sekarang.
"Tuan Van Aldin menginginkan tindakan,"
Katanya.
"tindakan cepat."
"Oh!"
Seru Komisaris.
"Saya belum memperkenalkan Anda. M. Van Aldin, ini M. Hercule Poirot -Anda tentu pernah mendengar nama itu. Meskipun beliau sudah beberapa tahun pensiun dari jabatannya, namanya masih sering disebut-sebut, sebagai salah seorang detektif paling besar yang masih hidup."
"Saya senang bertemu dengan Anda, M. Poirot,"
Kata Van Aldin, tanpa disadarinya dia kembali pada tata cara lama yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya.
"Anda sudah pensiun dari jabatan Anda?"
"Benar, Monsieur. Sekarang saya bersenang-senang saja di dunia ini."
Pria kecil itu menggerak-gerakkan tangannya.
"M. Poirot kebetulan bepergian dengan Kereta Api Biru juga,"
Komisaris menjelaskan.
"dan beliau begitu baik hati mau membantu kita dengan pengalamannya yang luas itu."
Jutawan itu memandang Poirot dengan tajam. Lalu tanpa disangka-sangka dia berkata.
"Saya orang yang kaya sekali, M. Poirot. Orang bisa berkata bahwa seorang kaya punya keyakinan bahwa dia bisa membeli apa saja dan siapa saja. Itu tak benar. Saya ini seorang besar dengan caraku sendiri, dan seorang besar bisa meminta bantuan dari orang besar lainnya."
Poirot mengangguk menyatakan pengertiannya.
"Bagus sekali kata-kata Anda, M. Van Aldin. Saya bersedia membantu Anda sepenuhnya."
"Terima kasih,"
Kata Van Aldin.
"Saya hanya bisa berkata, datanglah pada saya setiap saat, dan Anda selalu akan menemukan saya yang penuh rasa terima kasih. Nah, sekarang, Tuan-tuan, mari kita bicarakan urusan kita."
"Saya usulkan untuk menanyai pelayan, Ada Mason,"
Kata M. Carrege.
"Saya dengar Anda membawanya kemari?"
"Benar,"
Kata Van Aldin.
"Kami menjemputnya di Paris sambil lalu tadi. Dia kacau sekali mendengar kematian majikannya, tapi dia menceritakan kisahnya cukup masuk akal."
"Kalau begitu kita suruh dia masuk,"
Kata M.
Carrege.
Dia menekan bel yang ada di mejanya, dan beberapa menit kemudian Ada Mason masuk ke dalam ruangan itu.
Perempuan itu berpakaian hitam rapi, dan ujung hidungnya merah.
Sarung tangan untuk bepergian yang berwarna abu-abu telah digantinya dengan yang berwarna hitam dari kulit.
Dia melihat sekeliling kantor kejaksaan itu dengan agak gentar, dan dia agaknya lega waktu melihat kehadiran ayah majikannya.
Jaksa Pemeriksa membanggakan sikapnya yang selalu baik, dan kini dia berusaha untuk menenangkan perempuan itu.
Dalam hal itu dia dibantu oleh Poirot, yang bertindak sebagai penerjemah, dan yang sikap ramahnya meyakinkan wanita Inggris itu.
"Nama Anda Ada Mason, betulkah itu?"
"Saya dipermandikan dengan nama Ada Beatrice, Tuan,"
Kata Mason dengan sopan.
"Oh, begitu. Kami mengerti, Mason, bahwa kejadian ini menyedihkan sekali."
"Oh, memang benar, Tuan. Saya sudah bekerja dengan banyak majikan dan saya selalu memuaskan -saya harap demikian -dan saya tak pernah bermimpi sesuatu seperti ini akan terjadi di mana saya berada."
"Tidak, tidak,"
Kata M. Carrege.
"Saya hanya membaca kejadian-kejadian macam itu di dalam surat-surat kabar Minggu. Dan saya dengar kereta api luar negeri ini -"
Dia tiba-tiba menghentikan arus kata-katanya, karena dia ingat bahwa para pria yang sedang berbicara dengannya berkebangsaan sama dengan kereta api itu.
"Nah, mari kita bicarakan perkara ini,"
Kata M. Carrege.
"Saya dengar tak ada rencana Anda untuk menginap di Paris waktu akan berangkat dari London?"
"Tidak ada, Tuan. Kami akan pergi langsung ke Nice."
"Pernahkah Anda bepergian ke luar negeri dengan majikan Anda?"
"Tidak pernah, Tuan. Saya baru dua bulan bekerja pada Nyonya."
"Waktu memulai perjalanan ini, apakah beliau seperti biasa saja?"
"Beliau seperti kuatir dan agak kacau, dan beliau agak menjengkelkan dan sulit dihibur."
M. Carrege mengangguk.
"Nah, Mason, kapan Anda pertama kali mendengar bahwa Anda harus berhenti di Paris?"
"Ketika itu kami tiba di Gare de Lyon, Tuan. Majikan saya ingin turun dan berjalan-jalan di peron. Baru saja dia keluar di lorong kereta api, dia tiba-tiba berseru, lalu kembali ke kamarnya dengan seorang pria. Ditutupnya pintu di antara kamarnya dan kamar saya, hingga saya tidak melihat atau mendengar apa-apa, sampai tiba-tiba beliau membuka pintu itu lagi dan mengatakan pada saya bahwa beliau telah mengubah rencananya. Saya diberinya uang dan disuruhnya turun dan pergi ke Hotel Ritz. Katanya, orang-orang di hotel itu kenal baik padanya, dan pasti mau memberi kamar pada saya. Saya harus menunggu di sana sampai saya mendapat berita dari beliau -beliau akan mengirim telegram pada saya untuk mengatakan apa yang harus saya lakukan. Saya hanya sempat mengumpulkan barang-barang saya dan melompat ke luar, lalu kereta api pun berangkat lagi. Terburu-buru sekali."
"Waktu Nyonya Kettering mengatakan semua itu pada Anda, di mana pria itu?"
"Dia berdiri dalam kamar yang sebelah, sambil memandang ke luar jendela."
"Dapatkah Anda melukiskan orang itu pada kami?"
"Yah, saya boleh dikatakan tidak melihatnya, Tuan. Dia lebih banyak membelakangi saya. Pria itu tinggi dan rambutnya hitam -hanya itu yang dapat saya katakan. Dia berpakaian seperti pria lainnya, bermantel biru tua dan bertopi abu-abu."
"Apakah laki-laki itu salah seorang penumpang kereta api itu?"
"Saya rasa bukan, Tuan -saya rasa dia datang ke stasiun untuk menemui Nyonya Kettering. Tapi tentu bisa juga dia salah seorang penumpang, saya tak terpikir akan hal itu."
Mason kelihatan agak gugup ketika mengucapkan pernyataan yang terakhir itu.
"Oh!"
M. Carrege beralih dengan halus ke pokok soal yang lain.
"Kemudian majikan Anda meminta pada kondektur untuk tidak membangunkannya awal-awal esok paginya. Apakah itu memang kebiasaannya?"
"Benar, Tuan. Nyonya tak pernah makan pagi dan beliau tidak tidur nyenyak malam hari, jadi suka tidur sampai siang."
M. Carrege beralih lagi ke soal yang lain.
"Di antara bagasinya ada sebuah peti berwarna merah tua dari kulit kambing, betul?"
Tanyanya.
"Peti perhiasan majikan Andakah itu?"
"Benar, Tuan."
"Apakah peti itu Anda bawa ke Ritz?"
"Saya, membawa peti perhiasan Nyonya ke Ritz! Tentu saja tidak, Tuan."
Nada bicara Mason penuh kengerian.
"Kautinggalkan dalam kereta api?"
"Ya, Tuan."
"Banyakkah barang perhiasan majikan Anda, tahukah Anda?"
"Ya, Tuan. Kadang-kadang saya agak kuatir, apalagi dengan kisah-kisah ngeri yang kita dengar tentang perampokan di negeri asing ini. Saya tahu bahwa semua perhiasan itu diasuransikan, tetapi bagaimanapun juga, bahayanya besar sekali tentu. Aduh, permata-permata delima itu saja, kata Nyonya kepada saya, berharga beberapa ratus ribu pound."
"Permata delima! Delima apa?"
Sergah Van Aldin tiba-tiba. Mason berpaling padanya.
"Saya rasa Andalah yang memberikannya pada Nyonya, Tuan, belum begitu lama."
"Tuhanku!"
Seru Van Aldin.
"Permata delima itu ada padanya, katamu? Sudah kusuruh dia meninggalkannya di bank."
Mason sekali lagi mendehem dengan sopan, suatu cara yang rupanya merupakan bagian dari kebiasaannya sebagai pelayan.
Kali ini agaknya banyak yang dinyatakan dengan dehemnya itu.
Hal itu menyatakan dengan jauh lebih jelas daripada kata-kata, bahwa majikannya adalah wanita yang suka berbuat sesuka hatinya.
"Sudah gila rupanya si Ruth itu,"
Gumam Van Aldin.
"Kemasukan apa saja dia?"
Kini giliran M. Carrege yang mendehem, juga dehem yang punya arti. Hal itu membuat Van Aldin jadi mengalihkan perhatiannya padanya.
"Untuk sementara, saya rasa cukup sekian dulu,"
Kata M. Carrege, ditujukan pada Mason.
"Silakan masuk ke kamar sebelah, Nona. Di sana mereka akan membacakan pada Anda pertanyaan-pertanyaan dan jawabnya, dan Anda nanti harus menandatangani laporan itu."
Mason keluar, diiringi seorang petugas. Van Aldin segera berkata pada Jaksa.
"Lalu?"
M Carrege membuka laci meja tulisnya, mengeluarkan sepucuk surat dari situ, lalu memberikannya pada Van Aldin.
"Surat ini ditemukan di dalam tas putri Anda."
"Sahabatku sayang," (demikian surat itu dimulai) -"Aku akan mematuhimu, aku akan berhati-hati, bijaksana -dan semua peringatan-peringatan yang dibenci orang yang sedang bercinta. Paris mungkin memang berbahaya, tapi Kepulauan d'Or jauh sekali dari dunia ini, dan kau boleh yakin bahwa tidak akan ada yang bocor. Memang suatu ciri khas dirimu dan simpatimu yang begitu baik untuk menaruh perhatian pada pekerjaan tulisanku mengenai permata-permata yang terkenal. Memang akan merupakan suatu kesempatan istimewa yang luar biasa bila aku bisa benar-benar melihat dan menangani permata-permata delima yang bersejarah itu. Aku sedang menulis suatu bagian khusus mengenai Heart of Fire, Kekasihku! Sebentar lagi aku akan mengganti rugi tahun-tahun perpisahan dan kesepian kita. Pemujamu selalu, Armand"
Bab 15 COMTE DE LA ROCHE Van Aldin membaca surat itu sampai selesai tanpa bersuara.
Wajahnya berubah menjadi merah padam karena marah.
Orang-orang yang berada di situ yang memperhatikannya, melihat urat-uratnya tersembul di dahinya, dan tangannya yang besar tergenggam erat tanpa disadarinya.
Surat itu dikembalikannya tanpa berkata sepatah pun.
M.
Carrege menatap meja kerjanya terus, mata M.
Caux menatap loteng, sedang M.
Hercule Poirot perlahan-lahan menghapus debu dari lengan jasnya.
Dengan bijaknya, tak seorang pun melihat ke arah Van Aldin.
M.
Carrege yang menyadari kedudukan dan tugasnya, kemudian mulai membicarakan bahan yang tak menyenangkan itu.
"Monsieur,"
Gumamnya.
"mungkin Anda tahu siapa -eh -yang menulis surat itu?"
"Ya, saya tahu,"
Kata Van Aldin berat.
"Oh?"
Kata Jaksa dengan nada bertanya.
"Dia seorang penipu yang menamakan dirinya Comte de la Roche."
Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua Pendekar Naga Putih Algojo Gunung Sutra