Misteri Kereta Api Biru 4
Agatha Christie Misteri Kereta Api Biru Bagian 4
Sambil tetap memandang gadis itu, Poirot meneruskan.
"Waktu itu saya berada di Paris. Anda meminta saya datang. Anda menyerahkan diri Anda ke dalam tangan saya. Bila saya bisa mengembalikan barang itu, kata Anda, Anda akan berterima kasih pada saya seumur hidup. Eh bien! Saya berhasil mengembalikannya pada Anda."
M. Papopolous mendesah panjang.
"Itulah saat yang paling tak menyenangkan dalam perjalanan karier saya,"
Gumamnya.
"Tujuh belas tahun memang lama,"
Kata Poirot tercenung.
"tapi saya rasa saya tak keliru bila saya katakan, bahwa bangsa Anda tak pernah lupa."
"Bangsa Yunani?"
Kata Papopolous, dengan senyum ironis.
"Bukan, darah Yunaninya yang saya maksud,"
Kata Poirot. Sepi sebentar, kemudian orang tua itu kembali pada sikapnya yang anggun.
"Anda memang benar, M. Poirot,"
Katanya dengan tenang.
"Saya seorang Yahudi. Dan seperti Anda katakan, bangsa kami tak mudah lupa."
"Kalau begitu, maukah Anda membantu saya?"
"Mengenai permata-permata itu, Monsieur, saya tak bisa berbuat apa-apa."
Sebagaimana yang dilakukan Poirot tadi, orang tua itu memilih kata-katanya dengan berhati-hati.
"Saya tak tahu apa-apa. Saya tak mendengar apa-apa. Tapi mungkin saya bisa memberi Anda pertolongan -itu pun, kalau Anda menaruh perhatian pada pacuan kuda."
"Dalam keadaan tertentu, saya mungkin tertarik,"
Kata Poirot sambil memandangnya lekat.
"Ada seekor kuda yang akan ikut pacuan di Longchamps, yang saya rasa, juga akan menaruh perhatian. Saya tak yakin apakah Anda mengerti perumpamaan itu, berita itu sudah melalui banyak tangan."
Dia berhenti lalu memandangi Poirot lekat-lekat, seolah-olah ingin meyakinkan bahwa Poirot memahaminya.
"Saya mengerti, mengerti betul,"
Kata Poirot sambil mengangguk.
"Nama kuda itu,"
Kata M. Papopolous, sambil bersandar dan mempertemukan ujung jari-jarinya.
"adalah Marquis. Saya rasa, tapi saya tak yakin, bahwa kuda itu kuda Inggris, ya, Zia?"
"Saya rasa juga demikian,"
Kata gadis itu. Poirot bangkit dengan bersemangat.
"Terima kasih, Monsieur,"
Katanya.
"Besar sekali artinya mendapatkan petunjuk dari orang yang benar-benar tahu. Au revoir, Monsieur, dan terima kasih banyak."
Dia berpaling pada gadis itu.
"Au revoir, Mademoiselle Zia. Rasanya baru kemarin saya bertemu dengan Anda di Paris. Rasanya paling-paling baru dua tahun yang lalu."
"Umur enam belas dan tiga puluh tiga tahun itu besar bedanya,"
Kata Zia sedih.
"Kalau mengenai diri Anda, tidak,"
Poirot menegaskan dengan jantan.
"Barangkali Anda dan ayah Anda mau makan malam bersama saya suatu kali kelak."
"Kami akan senang sekali,"
Sahut Zia.
"Kalau begitu nanti kita atur,"
Kata Poirot.
"dan sekarang -saya pergi dulu menyelesaikan urusan saya."
Poirot berjalan di sepanjang jalan sambil bersenandung kecil.
Diputar-putarkan tongkatnya dengan gaya, satu atau dua kali dia tersenyum sendiri.
Dia memasuki kantor pos yang pertama-tama dijumpainya dan mengirim telegram.
Agak lama dia berpikir untuk mencari kata-katanya, tapi kata-kata tadi harus merupakan kode dan dia harus mengembalikan ingatannya.
Telegram itu harus seolah-olah berurusan dengan sebuah peniti dasi yang hilang dan dialamatkan pada Inspektur Japp, Scotland Yard.
Bila kode itu diuraikan kembali, bunyinya akan menjadi singkat dan tegas.
"Beri kabar dengan telegram segala sesuatu yang diketahui mengenai seseorang yang nama julukannya Marquis."
Bab 23 SEBUAH TEORI BARU Tepat pukul sebelas Poirot datang ke hotel Van Aldin. Didapatinya jutawan itu sedang seorang diri.
"Anda datang tepat pada waktunya, M. Poirot,"
Katanya dengan tersenyum, sambil berdiri menyalami detektif itu.
"Saya selalu datang pada waktunya,"
Kata Poirot.
"Saya selalu memperhatikan ketepatan waktu. Tanpa aturan dan metode -"
Dia berhenti tiba-tiba.
"Ah, mungkin saya sudah mengatakan hal itu pada Anda dulu. Mari kita langsung saja membicarakan tujuan kedatangan saya ini."
"Mengenai gagasan Anda itukah?"
"Ya, mengenai gagasan saya itu."
Poirot tersenyum.
"Pertama-tama, Monsieur, saya ingin menanyai pelayan wanita itu, Ada Mason, sekali lagi. Adakah dia di sini?"
"Ya, ada."
"Bagus!"
Van Aldin memandangnya dengan rasa ingin tahu. Dibunyikannya bel, dan seorang pelayan diperintah untuk memanggil Mason. Poirot menyapanya dengan sopan santun yang merupakan kebiasaannya, hal mana selalu berpengaruh baik bagi orang-orang golongan itu.
"Selamat siang, Nona,"
Katanya dengan ceria.
"Silakan duduk, bila diperkenankan Monsieur."
"Ya, ya, duduklah,"
Kata Van Aldin.
"Terima kasih, Tuan,"
Kata Mason dengan sopan, dan dia duduk di ujung sebuah kursi. Dia tampak lebih kurus dan wajahnya lebih masam daripada biasanya.
"Saya datang untuk menanyai Anda beberapa pertanyaan lagi,"
Kata Poirot.
"Kita harus menyelesaikan soal ini sampai tuntas. Saya selalu kembali pada laki-laki yang di kereta api itu. Kepada Anda telah diperlihatkan Comte de la Roche. Kata Anda mungkin dia orangnya, tapi Anda tak yakin."
"Sudah saya katakan, Tuan, saya tidak melihat wajah laki-laki itu. Itulah sulitnya."
Wajah Poirot cerah dan dia mengangguk.
"Tepat, tepat. Saya mengerti benar kesulitannya. Sekarang, Nona, kata Anda, baru dua bulan Anda bekerja pada Nyonya Kettering. Selama waktu itu, berapa kali Anda melihat suami majikan Anda?"
Mason berpikir beberapa saat, lalu berkata.
"Hanya dua kali, Tuan."
"Dari dekat atau dari jauh?"
"Satu kali beliau datang ke Curzon Street. Saya sedang berada di lantai atas, saya melihat melalui susuran tangga dan melihat beliau yang sedang berada di lorong rumah di bawah. Anda tentu mengerti bahwa saya ingin tahu, karena saya tahu -eh -bagaimana persoalannya."
Mason menyudahi kalimatnya dengan mendehem kecil.
"Dan yang satu kali lagi?"
"Saya sedang berada di taman, bersama Annie -salah seorang pembantu rumah tangga -lalu Annie menunjukkan Tuan yang sedang berjalan dengan seorang wanita asing."
"Sekarang dengarkan, Mason, laki-laki yang Anda lihat di kereta, yang sedang bercakap-cakap dengan Nyonya di Gare de Lyon, Anda tahu bahwa itu bukan suami majikan Anda?"
"Tuan? Ah, saya rasa itu tak mungkin."
"Tapi Anda tak yakin,"
Desak Poirot.
"Yah -saya tak pernah memikirkannya, Tuan."
Jelas bahwa Mason merasa risau dengan gagasan itu.
"Anda sudah mendengar bahwa suami majikan Anda juga berada di kereta api. Bukankah wajar saja kalau beliau yang datang melalui lorong kereta api itu?"
"Tapi pria yang berbicara dengan Nyonya itu mestinya datang dari luar, Tuan. Dia berpakaian untuk di jalanan. Dia mengenakan mantel dan topi lembut."
"Bagus, Nona, ingat-ingat terus. Kereta api baru saja tiba di Gare de Lyon. Kebanyakan penumpang berjalan-jalan di peron. Majikan Anda pun akan berbuat demikian pula, dan untuk keperluan itu, beliau pasti mengenakan mantel bulu binatangnya, bukan?"
"Benar, Tuan,"
Mason membenarkan.
"Kalau begitu, suami majikan Anda juga mungkin berbuat demikian. Dalam kereta api memang ada pemanasan, tapi di luar, yaitu di stasiun, dingin. Dia mengenakan mantel dan topinya, dan dia berjalan di sisi kereta api. Dan waktu dia menengadah melihat jendela-jendela yang berlampu, dia tiba-tiba melihat Nyonya Kettering. Sebelum itu dia sama sekali tak tahu bahwa istrinya ada di kereta api itu. Wajarlah kalau dia naik ke kereta lalu pergi ke kamarnya. Istrinya berseru terkejut melihat suaminya dan cepat menutup pintu di antara kedua kamar kalian, karena mungkin percakapan mereka bersifat pribadi."
Dia bersandar pada kursinya dan memperhatikan akibat kata-katanya itu.
Tak ada orang yang lebih tahu daripada Hercule Poirot bahwa orang-orang segolongan Mason tak dapat diburu-buru.
Dia harus memberinya waktu untuk menghilangkan gagasan yang sudah dibentuknya sendiri.
Tiga menit kemudian Mason berbicara.
"Yah, tentu mungkin saja begitu, Tuan. Saya tak pernah berpikir akan begitu keadaannya. Suami Nyonya saya jangkung dan berambut hitam, dan potongan badannya pun hampir sama. Melihat topi dan mantelnya, saya jadi berpikir bahwa dia adalah seorang pria dari luar. Ya, mungkin saja, Tuan. Saya tak ingin membantahnya."
"Terima kasih banyak, Nona. Saya tidak akan mengganggu Anda lagi. Oh ya, satu lagi."
Dikeluarkan dari sakunya, kotak rokok yang telah diperlihatkannya pada Katherine.
"Apakah ini kotak rokok majikan Anda?"
Tanyanya pada Mason.
"Bukan, Tuan, bukan kepunyaan Nyonya -setidak-tidaknya -"
Tiba-tiba dia tampak terkejut. Jelas bahwa dia baru menggarap suatu gagasan dalam pikirannya.
"Bagaimana?"
Tanya Poirot mendorong.
"Saya rasa, Tuan -saya tak yakin, tapi saya rasa -itu kotak yang dibelikan Nyonya untuk Tuan."
"Oh,"
Kata Poirot dengan sikap yang tak mengandung arti apa-apa.
"Tapi apakah jadi diberikannya atau tidak, saya tak bisa mengatakannya."
"Tentu,"
Kata Poirot.
"tentu. Saya rasa sekian saja, Nona. Selamat siang."
Ada Mason pergi dengan sopan, dan menutup pintu tanpa berbunyi. Poirot melihat pada Van Aldin, dengan wajah yang berhias senyum yang samar. Jutawan itu kelihatan sangat terkejut.
"Menurut Anda -Anda pikir Derek-kah orangnya?"
Tanyanya.
"Tapi -segalanya menunjuk ke orang yang lain. Comte itu boleh dikatakan telah tertangkap basah dengan adanya permata-permata itu padanya."
"Tidak."
"Tapi Anda sendiri mengatakannya pada saya -"
"Apa yang saya katakan pada Anda?"
"Mengenai permata-permata itu. Anda tunjukkan pada saya."
"Tidak."
"Kemarin di lapangan tenis?"
"Tidak."
"Gilakah Anda, M. Poirot, atau sayakah yang sudah linglung?"
"Tak ada di antara kita yang gila,"
Kata sang detektif.
"Anda bertanya, saya menjawabnya. Kata Anda apakah saya kemarin tidak memperlihatkan permata-permata pada Anda? Saya jawab -tidak. Yang saya tunjukkan pada Anda, M. Van Aldin, adalah tiruannya yang memang hebat, hampir tak bisa dibedakan dari aslinya, kecuali oleh seseorang yang benar-benar ahli."
Bab 24 POIROT MEMBERI NASIHAT Jutawan itu membutuhkan beberapa menit untuk menyerapi kata-kata itu. Dia menatap Poirot seolah-olah dia sudah menjadi bisu. Orang Belgia yang kecil itu mengangguk-angguk perlahan.
"Ya,"
Katanya.
"hal itu mengubah keadaan, bukan?"
"Tiruan!"
Dia membungkuk.
"Selama ini, M. Poirot, apakah Anda sudah mengetahui hal itu? Apakah yang ingin Anda katakan selama ini? Anda tak pernah percaya bahwa Comte de la Roche itu pembunuhnya?"
"Saya pernah ragu,"
Kata Poirot dengan tenang.
"Pernah pula hal itu saya katakan pada Anda. Perampokan dengan kekerasan dan pembunuhan -"
Dia menggeleng kuat-kuat -"tidak, sukar dibayangkan. Tidak cocok dengan kepribadian Comte de la Roche."
"Tapi Anda percaya bahwa dia berniat untuk mencuri permata-permata delima itu?"
"Tentu. Mengenai hal itu saya tak ragu. Dengar, akan saya ceritakan kembali peristiwa itu pada Anda menurut penglihatan saya. Comte itu tahu tentang permata delima itu dan dia segera menyusun rencananya. Dia mengarang-ngarang suatu kisah yang romantis mengenai buku yang sedang ditulisnya, untuk membujuk putri Anda membawa permata-permata itu padanya. Dia menyiapkan tiruan yang sama benar dengan permata itu. Jelas bukan, bahwa dia bermaksud untuk menukarnya? Putri Anda tidak ahli dalam hal batu-batu permata. Mungkin akan lama baru dia tahu apa yang telah terjadi. Bila demikian halnya -yah -saya rasa dia tidak akan mengadukan Comte itu ke pengadilan. Terlalu banyak yang akan terungkap. Ya, suatu rencana yang betul-betul aman dalam pandangan Comte -sesuatu yang mungkin telah pernah dilakukannya."
"Agaknya jelas begitu, memang,"
Kata Van Aldin merenung.
"Hal itu memang sesuai dengan kepribadian Comte de la Roche,"
Kata Poirot.
"Ya, tapi lalu -"
Van Aldin melihat pada Poirot dengan pandangan menyelidik -"apa yang terjadi sebenarnya? Ceritakan, M. Poirot."
Poirot mengangkat bahunya.
"Itu sederhana sekali,"
Katanya -"seseorang telah mengambil langkah mendahului Comte."
Lama mereka diam. Agaknya Van Aldin sedang memutar ingatannya. Lalu dia berbicara tanpa tedeng aling-aling.
"Sudah berapa lama Anda mencurigai menantu saya, M. Poirot?"
"Sejak semula. Dia mempunyai alasan dan kesempatan. Semua orang dengan sendirinya percaya bahwa laki-laki yang ada di dalam kamar Nyonya Kettering itu adalah Comte de la Roche. Saya juga berpikir begitu. Lalu Anda kebetulan pernah berkata bahwa Anda satu kali keliru melihat Comte yang Anda sangka menantu Anda. Hal itu membuat saya menarik kesimpulan bahwa mereka itu sama tinggi dan potongan badannya, dan sama pula warna rambutnya. Lalu timbul beberapa gagasan lain dalam otak saya. Pelayan itu baru sebentar bekerja pada putri Anda. Tak mungkin dia bisa mengenali betul Tuan Kettering bila dia melihatnya, karena Tuan Kettering tidak tinggal di Curzon Street -apalagi laki-laki itu sangat berhati-hati dan selalu memalingkan mukanya."
"Anda percaya bahwa dia -telah membunuhnya?"
Tanya Van Aldin dengan suara serak. Poirot cepat-cepat mengangkat tangannya.
"Tidak, tidak, saya tidak berkata begitu -tapi itu suatu kemungkinan -suatu kemungkinan besar. Dia berada dalam kesempitan, kesempitan yang benar-benar menjepit, yang mengancam kehancurannya. Inilah satu-satunya jalan ke luar."
"Tetapi, mengapa permata-permata itu diambilnya?"
"Supaya kejahatan itu kelihatannya seperti kejahatan biasa yang dilakukan oleh perampok-perampok. Kalau tak begitu orang akan langsung mencurigainya."
"Kalau begitu, apa yang telah dilakukannya dengan permata-permata delima itu?"
"Itu yang masih harus kita lihat. Ada beberapa kemungkinan. Ada seseorang di Nice yang mungkin bisa membantu, pria yang saya tunjukkan pada Anda di lapangan tenis itu."
Dia bangkit dan Van Aldin juga bangkit, lalu meletakkan tangannya ke pundak laki-laki kecil itu. Waktu dia berbicara, suaranya keras penuh emosi.
"Temukan pembunuh Ruth,"
Katanya.
"hanya itu yang saya minta."
Poirot menghadapinya dengan gagah.
"Serahkan itu ke tangan Hercule Poirot,"
Katanya dengan yakin.
"Jangan kuatir. Saya akan menemukan kebenarannya."
Dia menepiskan sehelai bulu halus dari topinya, tersenyum meyakinkan pada jutawan itu, lalu pergi meninggalkan kamar itu. Namun sedang dia menuruni tangga, keyakinan diri itu agak tersapu dari wajahnya.
"Memang semuanya beres,"
Gumamnya sendiri.
"tapi ada kesulitannya. Ya, kesulitannya besar."
Waktu dia sedang berjalan ke luar hotel, dia tiba-tiba berhenti.
Sebuah mobil berhenti di depan pintu.
Di dalamnya ada Katherine Grey, dan Derek Kettering sedang berdiri di sisi mobil itu, asyik bercakap-cakap dengan gadis itu.
Beberapa menit kemudian mobil itu berangkat lagi dan tinggallah Derek berdiri di trotoar memperhatikan mobil itu dari belakang.
Air mukanya kelihatan aneh.
Dia tiba-tiba menggerakkan bahunya, mendesah dalam-dalam, lalu berpaling, dan mendapatkan Hercule Poirot berdiri di sampingnya.
Dia terkejut.
Kedua laki-laki itu saling bertatapan.
Poirot dengan tetap dan tak ragu, sedang Derek dengan agak menantang.
Waktu dia berbicara, nadanya mengandung cemoohan dan ejekan, dan dia mengangkat alis matanya.
"Manis sekali dia, ya?"
Tanyanya santai. Sikapnya wajar sekali.
"Ya,"
Kata Poirot sambil merenung.
"itu memang kata-kata yang tepat sekali bagi Mademoiselle Katherine. Ungkapan khas bahasa Inggris, dan Mademoiselle Katherine itu juga orang Inggris sejati."
Derek diam saja tanpa menjawab.
"Tapi dia juga simpatik, ya?"
"Ya,"
Kata Derek.
"Tak banyak orang seperti dia."
Dia berbicara dengan suara halus, seolah-olah pada dirinya sendiri. Poirot mengangguk membenarkan. Kemudian dia membungkukkan tubuhnya ke arah Derek dan berbicara dengan nada lain, nada tenang, dan bersungguh-sungguh, yang tak biasa bagi Derek.
"Maukah Anda memaafkan orang tua, Monsieur, bila dia mengatakan sesuatu yang dianggap lancang pada Anda. Saya ingin mengingatkan Anda pada sebuah peribahasa dalam bahasa Inggris. Peribahasa itu berbunyi, 'Sebaiknya putuskan dulu cinta yang lama, sebelum memulai cinta yang baru.'"
Kettering berpaling padanya dengan marah.
"Apa maksud Anda ini?"
"Anda marah sekali pada saya,"
Kata Poirot dengan tenang.
"Sudah saya duga. Mengenai maksud saya -maksud saya, Monsieur -ada sebuah mobil lain dengan seorang wanita di dalamnya. Bila Anda berpaling, Anda akan melihatnya."
Derek berputar. Merah-padam wajahnya karena marah.
"Mirelle, terkutuk dia!"
Gumamnya.
"Aku akan segera -"
Poirot menghalangi gerakan yang akan dilakukan Derek.
"Apakah bijak yang akan Anda lakukan itu?"
Tanyanya memberi peringatan. Matanya bersinar lembut dengan cahaya hijau di dalamnya. Tapi Derek tak melihat tanda-tanda peringatan itu. Karena marahnya dia tak dapat menguasai dirinya.
"Saya sudah benar-benar putus dengan dia, dan dia tahu itu,"
Seru Derek dengan marah.
"Anda sudah putus dengan dia, benar, tapi apakah dia sudah putus dengan Anda?"
Derek tiba-tiba tertawa sumbang.
"Kalau bisa, dia tidak akan mau putus dengan dua juta pound,"
Gumamnya dengan kasar.
"begitulah, Monsieur."
Poirot mengangkat alisnya.
"Anda sinis sekali,"
Gumamnya.
"Begitukah?"
Dia tiba-tiba tersenyum lebar -senyum itu mengandung kesenangan.
"Sudah cukup lama saya hidup di dunia, M. Poirot, untuk mengetahui bahwa perempuan sama saja."
Tiba-tiba wajahnya menjadi lembut.
"Semuanya, kecuali satu."
Dibalasnya pandangan Poirot dengan menantang. Mula-mula matanya mengandung kewaspadaan, lalu mengabur lagi.
"Yang itu,"
Katanya, dan kepalanya dianggukkannya ke arah Cap Martin.
"Oh!"
Kata Poirot. Ketenangan bicaranya memang sudah diperhitungkannya untuk merangsang temperamen lawan bicaranya.
"Saya tahu apa yang akan Anda katakan,"
Kata Derek cepat.
"Cara hidup yang saya jalani selama ini, kenyataan bahwa saya tak pantas baginya. Anda akan berkata bahwa saya bahkan tak punya hak untuk berpikir ke arah itu. Anda akan berkata bahwa Anda tidak sedang menjelek-jelekkan saya -saya tahu bahwa saya tak pantas berbicara begini karena istri saya baru beberapa hari meninggal, dan dibunuh pula."
Derek berhenti sebentar untuk bernapas, dan Poirot memanfaatkan jeda itu untuk berkata dengan lirih.
"Tapi, saya kan sama sekali tidak berkata apa-apa."
"Tapi nanti Anda akan berkata."
"Ha?"
Kata Poirot.
"Anda berkata bahwa saya sama sekali tak punya kesempatan mengawini Katherine."
"Tidak,"
Kata Poirot.
"saya tidak akan berkata begitu. Anda memang terkenal punya nama buruk, tapi kaum wanita tak pernah mengacuhkan hal-hal yang begituan. Bila Anda seorang yang berwatak baik sekali, yang bermoral tinggi, dan yang tidak akan mau melakukan apa yang terlarang, dan -mungkin melakukan segala-galanya yang memang seharusnya -eh bien! -maka saya benar-benar akan meragukan keberhasilan Anda dengan kaum wanita. Anda tahu, nilai-nilai moral itu tidak romantis. Tapi, hal itu dihargai oleh para janda."
Derek Kettering menatapnya, lalu berbalik dan pergi ke mobilnya yang sedang menunggu.
Poirot memandanginya dengan penuh perhatian dari belakang.
Dilihatnya bayangan wanita cantik itu mengulurkan kepalanya ke luar mobilnya dan mengatakan sesuatu.
Derek Kettering tak berhenti.
Dia mengangkat topinya lalu berjalan terus melewatinya.
"Yah, begitulah,"
Kata M. Hercule Poirot.
"kurasa sudah waktunya aku pulang."
Didapatinya George yang selalu berkepala dingin, sedang menyeterika celananya.
"Hari yang menyenangkan, Georges, agak meletihkan, tapi sangat menarik,"
Katanya. Sebagaimana biasa George menanggapi kata-kata itu dengan kaku.
"Memang, Tuan."
"Pribadi seorang penjahat itu, suatu soal yang menarik, Georges. Banyak pembunuh yang mempunyai kepribadian dengan daya tarik."
"Saya selalu mendengar, Tuan, bahwa Dr. Crippen adalah pria yang cara bicaranya menyenangkan. Padahal dia sampai hati mencincang istrinya."
"Contoh-contoh yang kauberikan selalu tepat, Georges."
Pelayan itu tidak menjawab dan pada saat itu telepon berdering. Poirot mengangkat gagangnya.
"Halo -halo -ya, ya, Hercule Poirot yang bicara ini."
"Di sini Knighton. Tolong tunggu sebentar, M. Poirot. Tuan Van Aldin ingin berbicara dengan Anda."
Sepi sebentar, lalu terdengar suara jutawan itu.
"Andakah itu, M. Poirot? Saya hanya akan mengatakan pada Anda bahwa Mason telah datang pada saya atas kehendaknya sendiri. Dia telah memikirkannya, dan katanya boleh dikatakan dia sudah yakin bahwa laki-laki di Paris itu adalah Derek Kettering. Katanya, pada waktu itu ada sesuatu yang dikenalinya, tapi beberapa waktu lamanya dia tak dapat memastikannya. Sekarang dia merasa yakin."
"Oh,"
Kata Poirot.
"terima kasih, M. Van Aldin. Itu kemajuan bagi kita."
Gagang telepon dikembalikannya, dan berdiri sebentar dengan senyuman yang aneh di wajahnya. George harus berkata dua kali dengannya, barulah mendapatkan jawaban.
"Eh?"
Tanya Poirot.
"Apa katamu tadi?"
"Apakah Anda akan makan siang di sini, atau akan keluar, Tuan?"
"Kedua-duanya tidak,"
Kata Poirot.
"Aku akan pergi tidur dan minum sampanye ringan. Apa yang kuharapkan telah terjadi, dan bila yang diharapkan telah terjadi, aku jadi emosi."
Bab 25 PERLAWANAN Waktu Derek Kettering melewati mobilnya, Mirelle mengulurkan kepalanya.
"Derek -aku harus berbicara sebentar denganmu -"
Tetapi Derek melewatinya saja tanpa berhenti, sambil mengangkat topinya. Waktu Derek tiba kembali di hotelnya, penjaga pintu meletakkan pena kayunya dan berbicara dengannya.
"Seorang pria sedang menunggu, ingin berbicara dengan Anda, Monsieur."
"Siapa?"
"Dia tidak menyebutkan namanya, Monsieur, tapi katanya urusannya dengan Anda penting sekali, dan bahwa dia akan menunggu."
"Di mana dia?"
"Di kamar tamu kecil, Monsieur. Dia lebih suka di situ daripada di ruang tunggu, katanya, karena urusannya bersifat pribadi."
Derek mengangguk, dan menujukan langkahnya ke arah kamar itu.
Dalam kamar tamu kecil itu hanya ada tamu itu -dia bangkit dan membungkuk memberi hormat dengan gaya asing, waktu Derek masuk.
Derek hanya satu kali bertemu dengan Comte de la Roche, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk mengenali pria ningrat itu, dan dia mengerutkan dahinya dengan marah.
Sungguh lancang! "Comte de la Roche, bukan?"
Katanya.
"Saya rasa Anda membuang-buang waktu saja datang kemari."
"Saya harap tidak,"
Kata Comte itu dengan sabar.
Giginya yang putih, berkilat.
Sikap menarik Comte itu biasanya memang tak mempan bagi sesama kaum pria.
Semua laki-laki, tanpa kecuali, benar-benar benci padanya.
Derek Kettering menyadari suatu keinginan besar dalam dirinya untuk menendang Comte itu keluar dari kamar itu.
Hanya kesadaran bahwa suatu skandal akan lebih tidak menguntungkan pada saat itu sajalah, yang mencegahnya untuk berbuat demikian.
Dia merasa heran bagaimana Ruth sampai bisa jatuh cinta pada laki-laki itu.
Seorang bajingan yang banyak gaya, bahkan lebih jahat daripada itu.
Dia melihat ke tangan pria itu -kuku-kukunya dipotong bagus sekali, dia merasa jijik.
"Saya datang untuk suatu urusan kecil,"
Kata Comte.
"Saya rasa sebaiknya Anda mau mendengarkan saya."
Sekali lagi Derek merasa amat tergoda untuk menendangnya ke luar, tetapi sekali lagi ditahan dirinya.
Dia bukannya tak bisa menangkap sindiran berupa ancaman atas dirinya, tetapi hal itu ditafsirkannya dengan caranya sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa akan lebih baik mendengarkan dulu apa yang akan dikatakan Comte itu.
Dia duduk dan mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tak sabaran di atas meja.
"Nah,"
Katanya dengan tajam.
"ada apa?"
Bukanlah kebiasaan Comte itu untuk segera buka kartu.
"Izinkanlah saya terlebih dulu, Monsieur, untuk menyatakan belasungkawa saya atas duka cita yang baru saja Anda alami."
"Bila saya mendengar kelancangan dari Anda,"
Kata Derek dengan tenang.
"Anda akan saya tendang ke luar dari pintu itu."
Dia menganggukkan kepalanya ke arah pintu di samping Comte, dan Comte itu menggeser dengan gelisah.
"Akan saya kirimkan sahabat-sahabat saya pada Anda, Monsieur, bila itu keinginan Anda,"
Katanya dengan angkuh. Derek tertawa.
"Suatu pertarungan, ya? Comte, saya tidak menganggap Anda serius. Tapi saya akan senang sekali kalau bisa menendang Anda sampai ke Promenade des Anglais."
Comte itu sama sekali tak ingin merasa tersinggung. Dia hanya mengangkat alisnya dan bergumam.
"Orang-orang Inggris memang biadab."
"Nah,"
Kata Derek.
"apa yang akan Anda katakan pada saya?"
"Saya akan berterus terang,"
Kata Comte itu.
"saya akan segera mengatakan persoalannya. Itulah yang terbaik bagi kita berdua, bukan?"
Dia tersenyum lagi dengan tenang.
"Teruskan,"
Kata Derek singkat. Comte memandangi loteng, mempertemukan ujung-ujung jarinya, lalu berkata dengan halus.
"Anda telah mewarisi uang banyak sekali, Monsieur."
"Apa urusannya dengan Anda?"
Comte duduk tegak.
"Monsieur, nama saya ternoda! Saya dicurigai -dituduh -telah melakukan suatu kejahatan kotor."
"Tuduhan itu tak berasal dari saya,"
Kata Derek dingin.
"Sebagai pihak yang berkepentingan, saya tak pernah menyatakan pendapat saya."
"Saya tak bersalah,"
Kata Comte itu.
"Saya berani bersumpah -."Diangkat tangannya ke arah langit -"bahwa saya tak bersalah."
"Saya rasa, M. Carrege-lah yang akan menjadi Hakim Ketua dalam urusan perkara ini,"
Sindir Derek dengan sopan. Comte itu tak peduli.
"Saya tidak saja telah dicurigai secara tak adil, telah melakukan kejahatan, tapi saya juga perlu uang."
Dia mendehem perlahan tapi meyakinkan. Derek bangkit.
"Itu sudah kuduga,"
Katanya dengan suara halus.
"Pemeras bajingan! Tidak satu penny pun akan kuberikan padamu. Istriku sudah meninggal, dan skandal sebesar apa pun tidak akan berpengaruh atas dirinya lagi sekarang. Pasti dia telah menulis surat-surat yang bodoh padamu. Kalaupun aku harus membelinya darimu dengan harga yang tinggi sekali pada saat ini, aku yakin bahwa kau akan berusaha untuk menyimpan beberapa di antaranya. Dan kukatakan padamu, M. Comte de la Roche, pemerasan adalah perbuatan yang jahat, baik di Inggris maupun di Prancis. Itulah jawabanku. Selamat siang."
"Sebentar, -"
Comte mengulurkan tangannya waktu Derek berbalik akan meninggalkan kamar itu.
"Anda keliru, Monsieur, benar-benar keliru. Saya harap saya ini cukup 'terhormat'."
Derek tertawa.
"Setiap surat yang ditulis oleh seorang wanita kepada saya, saya anggap suci."
Didongakkannya kepalanya dengan gaya anggun yang bagus sekali.
"Usul yang akan saya ajukan pada Anda, lain sekali sifatnya. Sebagaimana saya katakan, saya amat memerlukan uang, dan saya akan merasa terpaksa pergi pada polisi dengan memberikan informasi tertentu."
Derek masuk lambat-lambat sekali kembali ke dalam kamar.
"Apa maksud Anda?"
Sekali lagi senyum Comte yang menyenangkan menghiasi wajahnya.
"Kita tak perlu membicarakannya secara terperinci,"
Katanya dengan suara seperti kucing mendengkur.
"Kata orang, carilah orang yang mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan, begitu bukan? Sebagaimana saya katakan tadi, Anda telah mendapatkan uang banyak sekali."
Derek tertawa.
"Kalau hanya itu saja -"
Katanya dengan angkuh. Tapi Comte menggeleng.
"Bukan hanya itu, Tuan yang baik. Saya tak perlu datang pada Anda kalau saya tak punya informasi yang tepat dan lebih terperinci daripada itu. Sangat tidak menyenangkan, Monsieur, kalau kita ditangkap dan diadili karena pembunuhan."
Derek memaki sambil mendekatinya. Wajahnya membayangkan marah yang demikian hebatnya hingga mau tak mau Comte mundur selangkah-selangkah.
"Apakah Anda mengancam saya?"
Tanya laki-laki muda itu geram.
"Anda tidak akan mendengar hal semacam itu,"
Comte meyakinkannya.
"Gertak apa pula -"
Comte mengangkat tangannya yang putih.
"Anda keliru. Ini bukan suatu gertakan. Untuk meyakinkan Anda, akan saya katakan ini. Informasi saya berasal dari seorang wanita. Dialah yang memegang bukti yang tak bisa disangkal, bahwa Andalah yang telah melakukan pembunuhan itu."
"Siapa dia?"
"Mademoiselle Mirelle."
Derek mundur seolah-olah ditampar.
"Mirelle,"
Gumamnya. Apa yang dianggap kesempatan baik itu cepat-cepat ditangkap oleh Comte.
"Seratus ribu franc hanya suatu jumlah kecil,"
Katanya.
"Saya tak minta lebih."
"Eh?"
Kata Derek linglung.
"Kata saya tadi, Monsieur, sejumlah kecil sebesar seratus ribu franc sudah akan cukup untuk -memuaskan saya."
Derek agaknya baru sadar. Dia memandang Comte tajam-tajam.
"Anda ingin jawabnya sekarang?"
"Kalau bisa, Monsieur."
"Dengar ini -pergilah ke neraka. Tahu?"
Derek berbalik dan keluar dari kamar itu, meninggalkan Comte yang terlalu terkejut hingga tak dapat berkata apa-apa.
Setelah keluar dari hotel itu dia menghentikan sebuah taksi dan pergi ke hotel Mirelle.
Waktu dia bertanya, dikatakan petugas di situ bahwa penari itu baru saja datang.
Derek memberikan kartunya pada penjaga pintu.
"Tolong antarkan ini pada Madame dan tanyakan apakah beliau mau menerima saya."
Sebentar kemudian Derek diminta mengikuti pelayan.
Bau harum minyak wangi yang tajam menusuk hidung Derek waktu dia melangkahi ambang pintu apartemen penari itu.
Kamar itu penuh dengan bunga anyelir, anggrek, dan mimosa.
Mirelle sedang berdiri di dekat jendela dengan mengenakan kimono yang berenda-renda.
Dia menyambut Derek dengan tangan terulur.
"Derek -kau datang juga padaku. Aku tahu kau pasti datang."
Tangan yang mencengkam ditepiskan Derek dan memandangnya dengan tajam.
"Mengapa kausuruh Comte de la Roche mendatangiku?"
Mirelle memandangnya dengan terkejut -dia kelihatan sungguh-sungguh.
"Aku? Menyuruh Comte de la Roche mendatangi kau? Buat apa?"
"Agaknya untuk pemerasan,"
Kata Derek tegas. Sekali lagi Mirelle terbelalak. Lalu tiba-tiba dia tersenyum dan mengangguk.
"Tentu. Itu memang bisa diharapkan. Itu pasti dilakukannya, itu memang ciri khas laki-laki itu. Aku seharusnya tahu itu. Sungguh, Derek, aku benar-benar tidak menyuruhnya."
Derek memandanginya dengan tajam sekali, seolah-olah ingin membaca pikirannya.
"Baiklah kuceritakan,"
Kata Mirelle.
"Aku sebenarnya malu, tapi akan kuceritakan saja. Beberapa hari yang lalu aku marah, aku mengamuk, aku marah sekali, kurasa kau maklum -"
Dia melakukan suatu gerakan lincah.
"Temperamenku ini, aku tak sabar. Aku ingin membalas dendam padamu, maka aku lalu mendatangi Comte de la Roche, dan kusuruh dia pergi ke polisi untuk mengatakan begini begitu. Tapi jangan takut, Derek. Aku tidak marah habis-habisan padamu -bukti itu hanya ada padaku sendiri. Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bukti dariku, kau mengerti? Dan sekarang -sekarang?"
Dia mendekati Derek lalu menyandarkan dirinya padanya, sambil memandangnya dengan merayu. Derek menolakkannya dengan kasar. Mirelle berdiri dengan napas terengah, dan mata terpicing seperti kucing mengintai.
"Hati-hati, Derek, hati-hati betul kau. Kau mau kembali padaku, bukan?"
"Aku tidak akan kembali padamu,"
Kata Derek dengan pasti.
"Oh!"
Penari itu makin kelihatan seperti seekor kucing. Kelopak matanya berkedip-kedip.
"Jadi ada seorang wanita lain rupanya? Yang makan siang bersamamu waktu itukah dia? Eh? Aku betul, kan?"
"Aku bermaksud untuk melamar wanita itu. Sebaiknya kau tahu itu."
"Wanita Inggris yang terlalu sopan santun itu! Apakah kausangka aku akan sudi menunjang maksudmu itu? Tidak akan."
Tubuhnya yang cantik lentur itu menggetar.
"Dengarkan, Derek, ingatkah kau percakapan kita di London waktu itu? Kaukatakan bahwa satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkanmu adalah kematian istrimu. Kau menyesal bahwa dia begitu sehat. Kemudian kau mendapatkan gagasan tentang suatu kecelakaan. Bahkan lebih dari suatu kecelakaan."
"Kurasa,"
Kata Derek dengan angkuh.
"percakapan itulah yang kausampaikan pada Comte de la Roche."
Mirelle tertawa.
"Apakah aku sebodoh itu? Bisakah polisi berbuat sesuatu berdasarkan cerita yang samar-samar seperti itu? Dengar -aku akan memberimu kesempatan terakhir. Putuskan hubunganmu dengan wanita Inggris itu. Kembalilah padaku. Maka kemudian, Sayang, aku tak akan pernah menceritakan -"
"Menceritakan apa?"
Mirelle tertawa dengan halus.
"Kausangka tak seorang pun melihatmu -"
"Apa maksudmu?"
"Seperti yang kukatakan, kausangka tak seorang pun melihatmu -tapi aku melihat kau, Derek, Mon ami -aku melihat kau keluar dari kamar istrimu sebentar sebelum kereta api memasuki Lyons malam itu. Dan aku tahu lebih banyak dari itu. Aku tahu bahwa waktu kau keluar dari kamar itu, dia meninggal."
Derek hanya menatap wanita itu. Kemudian seperti seorang yang sedang bermimpi, dia berbalik perlahan sekali dan keluar dari kamar itu -jalannya terhuyung. Bab 26 SUATU PERINGATAN "Jadi begitulah,"
Kata Poirot.
"kita berteman dan saling tidak menyembunyikan rahasia."
Katherine memalingkan kepala untuk memandangnya.
Ada sesuatu dalam suaranya itu, sesuatu yang serius, yang tersembunyi, yang tak pernah didengar sebelumnya.
Mereka sedang duduk-duduk dalam taman di Monte Carlo.
Katherine datang dengan teman-temannya dan begitu tiba, mereka bertemu dengan Knighton dan Poirot.
Lady Tamplin langsung menguasai Knighton dan menghujaninya dengan kenangan-kenangan lama.
Katherine curiga bahwa kebanyakan di antara kenangan itu hanya dicari-cari saja.
Mereka berdua menjauh -Lady Tamplin dengan tangannya menggandeng lengan anak muda itu.
Knighton beberapa kali menoleh lewat bahunya, dan mata Poirot berkedip melihat hal itu.
"Tentu saja kita bersahabat,"
Kata Katherine.
"Sejak semula kita sudah saling menaruh simpati,"
Kata Poirot.
"Yaitu waktu Anda mengatakan pada saya bahwa suatu roman kriminal bisa terjadi dalam kehidupan biasa."
"Dan saya benar, bukan?"
Poirot menantangnya, sambil mengangkat telunjuknya.
"Kini kita tercebur di tengah-tengahnya. Bagi saya itu wajar saja -itu memang bidang saya -tapi bagi Anda lain halnya. Ya,"
Tambahnya dengan merenung.
"Bagi Anda memang lain."
Katherine memandangnya dengan tajam. Poirot seolah-olah memberinya suatu peringatan, yang menunjukkan adanya suatu bahaya yang tak tampak olehnya.
"Mengapa Anda katakan bahwa saya berada di tengah-tengahnya? Memang benar, saya bercakap-cakap dengan Nyonya Kettering tak lama sebelum dia meninggal, tapi sekarang -sekarang semuanya sudah berlalu. Saya tidak lagi ada urusan dalam perkara itu."
"Ah, Mademoiselle, pernahkah kita bisa berkata, 'aku sudah tak punya hubungan lagi dengan ini atau itu'?"
Katherine berputar untuk menghadapi laki-laki itu.
"Ada apa sebenarnya?"
Tanyanya.
"Anda sedang mencoba untuk mengatakan sesuatu pada saya -atau lebih tepat menyampaikan sesuatu. Tapi saya tak pandai menafsirkan sindiran. Saya jauh lebih suka Anda mengatakan apa yang harus Anda katakan itu secara langsung saja."
Poirot memandangnya dengan murung.
"Ah, benar-benar sifat khas orang Inggris,"
Gumamnya.
"Semuanya maunya hitam atau putih, segala-galanya gamblang dan tertera dengan jelas. Tapi hidup ini tidak seperti itu, Mademoiselle. Ada hal-hal yang belum ada, tapi sudah ada bayang-bayangannya sebelumnya."
Poirot menyeka dahinya dengan sehelai sapu tangan yang besar sekali dan bergumam.
"Ah, saya jadi puitis. Marilah kita bicarakan kenyataan-kenyataan saja, menurut kehendak Anda. Dan berbicara tentang kenyataan, bagaimana pendapat Anda tentang Mayor Knighton?"
"Saya suka padanya,"
Kata Katherine dengan hangat -"dia menyenangkan."
Poirot mendesah.
"Ada apa?"
Tanya Katherine.
"Anda menjawab begitu bersemangat,"
Kata Poirot.
"Kalau saja Anda berkata dengan suara yang tak acuh, 'Oh, cukup baik,' umpamanya -eh bien -terus terang saya akan lebih senang."
Katherine tak menjawab. Dia merasa agak gelisah. Poirot melanjutkan dengan menerawang.
"Tapi, yah, siapa tahu? Kaum wanita memang punya banyak jalan untuk menyembunyikan perasaannya -dan berbuat seolah-olah suka, mungkin cara yang cukup baik pula untuk menyembunyikan."
Poirot mendesah lagi.
"Saya tak mengerti -"
Katherine mulai berkata. Poirot menyela.
"Anda tak mengerti mengapa saya begitu lancang, Mademoiselle? Saya orang tua, dan sekali-sekali -tidak terlalu sering saya bertemu dengan seseorang yang kesejahteraannya amat saya pikirkan. Kita bersahabat, Mademoiselle. Anda sendiri berkata begitu. Dan soalnya hanyalah -saya ingin melihat Anda berbahagia."
Katherine menatap lurus ke depannya. Dia memegang sebuah payung dari katun berbunga-bunga, dan dengan ujungnya dia membuat gambar-gambar kecil pada kerikil di kakinya.
"Tadi saya bertanya tentang Mayor Knighton, sekarang saya akan menanyakan satu hal lagi. Sukakah Anda pada Tuan Derek Kettering?"
"Saya baru kenal padanya,"
Kata Katherine.
"Itu bukan jawaban."
"Saya rasa itu cukup jelas."
Poirot memandangnya, terkejut mendengar nada bicaranya. Kemudian dia mengangguk lambat-lambat dan dengan bersungguh-sungguh.
"Mungkin Anda benar, Mademoiselle. Percayalah, saya ini sudah banyak makan garam, dan saya tahu bahwa ada dua hal yang benar. Seorang laki-laki yang baik mungkin hancur karena cintanya pada seorang wanita yang jahat -tapi sebaliknya juga berlaku. Seorang pria yang jahat juga bisa hancur karena cintanya pada seorang wanita yang baik."
Katherine mengangkat mukanya mendadak.
"Maksud Anda dengan hancur -"
"Maksud saya adalah, kalau ditinjau dari sudut laki-laki itu. Dalam kejahatan, orang juga harus bulat hati seperti halnya dengan yang lain-lain."
"Agaknya Anda mencoba memberi peringatan pada saya,"
Kata Katherine dengan suara rendah.
"Terhadap siapa?"
"Saya tak dapat melihat ke dalam hati Anda, Mademoiselle. Kalaupun bisa, saya rasa Anda tidak akan membiarkan saya berbuat demikian. Saya hanya mengatakan ini -ada laki-laki yang punya pesona terhadap kaum wanita."
"Comte de la Roche,"
Kata Katherine dengan tersenyum.
"Ada lagi yang lain -lebih berbahaya daripada Comte de la Roche. Mereka punya kemampuan-kemampuan yang menarik -nekat, pemberani, gagah. Anda sedang terpesona, Mademoiselle; saya bisa melihatnya, tapi saya rasa tidak lebih dari itu. Saya harap saja demikian. Orang yang sedang saya bicarakan ini, perasaannya memang sungguh-sungguh, tapi meski demikian -"
"Ya?"
Poirot berdiri dan memandangi Katherine dari atas. Lalu dia berkata dengan suara rendah tetapi jelas.
"Anda mungkin boleh mencintai seorang pencuri, Mademoiselle, tapi seorang pembunuh, jangan."
Setelah itu dia berbalik dan meninggalkan Katherine duduk seorang diri.
Didengarnya Katherine terengah tetapi dia tidak mempedulikannya.
Dia telah mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
Ditinggalkannya Katherine seorang diri untuk mencernakan ungkapannya yang terakhir, yang cukup jelas itu.
Derek Kettering yang baru keluar dari kasino ke sinar matahari, melihatnya duduk seorang diri di bangku itu, dan segera menemaninya.
"Saya baru saja berjudi,"
Katanya sambil tertawa kecil.
"berjudi tanpa hasil. Saya kalah sampai habis -habis, artinya semua uang yang saya bawa."
Katherine melihat padanya dengan wajah kuatir. Dia tiba-tiba menyadari adanya sesuatu yang baru dalam sikap Kettering, suatu luapan yang tersembunyi, yang menampilkan diri dalam bentuk beratus-ratus tanda-tanda kecil yang lain.
"Anda pasti selalu suka berjudi. Anda tertarik pada semangat berjudi itu."
"Maksud Anda, setiap hari dan dalam segala hal, seorang penjudi? Anda hampir benar. Tidakkah Anda melihat sesuatu yang merangsang dalam judi itu? Kita mempertaruhkan segala-galanya dalam satu lemparan saja -tak ada yang lebih menyenangkan dari itu."
Katherine yang merasa dirinya tenang dan tak tergoyahkan, merasa bergairah untuk menjawab.
"Saya ingin berbicara dengan Anda,"
Lanjut Derek.
"siapa tahu kapan lagi saya akan mendapatkan kesempatan lain? Ada semacam gagasan yang sedang tersebar, bahwa saya telah membunuh istri saya -jangan, jangan menyela. Itu tentu omong kosong."
Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, bicaranya lebih nekat.
"Bila berhadapan dengan polisi dan para pemuka setempat di sini, saya harus selalu berpura-pura -ah -sopan. Saya lebih suka tidak berpura-pura dengan Anda. Saya ingin kawin dengan harapan akan mendapatkan uang. Saya sedang mencari uang, ketika saya bertemu dengan Ruth Van Aldin. Dia mirip Madona yang langsing, sedang -saya -eh -saya membuat bermacam-macam rencana yang muluk-muluk, lalu saya dikecewakan dan merasa getir. Istri saya mencintai seorang pria waktu kami menikah. Dia tak pernah mencintai saya barang sedikit pun. Ah, saya bukannya mengeluh -perkawinan itu memang suatu tukar-menukar secara terhormat dan sempurna. Dia menginginkan Leconbury dan saya ingin uangnya. Kesalahan timbul semata-mata gara-gara darah Amerika Ruth. Tanpa sedikit pun mempedulikan saya, dia ingin saya selalu menjadi pesuruhnya. Berulang kali dikatakannya bahwa dia telah membeli saya dan bahwa saya adalah miliknya. Akibatnya, saya jadi berkelakuan buruk terhadapnya. Mertua saya akan menceritakan itu pada Anda, dan dia memang benar. Pada saat kematian Ruth, saya sedang menghadapi kehancuran mutlak."
Dia tiba-tiba tertawa.
"Tentu saja orang menghadapi kehancuran mutlak bila harus berhadapan melawan Rufus Van Aldin."
"Lalu?"
Tanya Katherine dengan suara rendah.
"Lalu -"
Derek mengangkat bahunya -"Ruth terbunuh pada saat yang tepat."
Dia tertawa, dan suara tawanya menyakitkan Katherine. Dia merinding.
"Ya,"
Kata Derek.
"kata-kata saya itu memang jahat bunyinya. Tapi itu memang benar. Sekarang akan saya ceritakan sesuatu yang lain. Sejak pertama kali melihat Anda, saya tahu Andalah satu-satunya wanita di dunia ini bagi saya. Saya -takut pada Anda. Saya sangka Anda akan membawa nasib buruk bagi saya."
"Nasib buruk?"
Tanya Katherine tajam. Derek menatapnya.
"Mengapa Anda ulangi begitu? Apa yang ada dalam pikiran Anda?"
"Saya teringat apa yang dikatakan orang pada saya."
Derek tiba-tiba tertawa kecil.
"Orang-orang tentu berbicara banyak tentang saya pada Anda, dan banyak di antaranya memang benar. Ya, bahkan ada hal-hal yang lebih buruk lagi -hal-hal yang tidak akan pernah saya ceritakan pada Anda. Selama ini saya suka berjudi -dan saya suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Saya tak mau melakukannya pada Anda lagi. Yang sudah biarlah berlalu. Tapi ada satu hal yang saya ingin Anda percaya. Saya bersumpah dengan sekhidmat-khidmatnya bahwa saya tidak membunuh istri saya."
Diucapkannya kata-kata itu dengan amat bersungguh-sungguh, namun tampak sedikit bersandiwara. Ditatapnya mata Katherine yang penuh cemas lalu dilanjutkannya.
"Saya tahu. Saya telah berbohong beberapa hari yang lalu. Memang benar, kamar istri saya yang saya masuki waktu itu."
"Oh,"
Kata Katherine.
"Sulit dijelaskan mengapa saya masuk ke situ, tapi akan saya coba. Saya hanya terdorong saja berbuat demikian. Bolehlah dikatakan saya sedang memata-matai istri saya. Saya tak mau dilihat orang dalam kereta api. Mirelle telah mengatakan pada saya bahwa Comte de la Roche akan bertemu dengan istri saya di Paris. Nah, sepanjang penglihatan saya, itu tak benar. Saya merasa malu, dan tiba-tiba saya berpikir sebaiknya saya nyatakan saja penyesalan saya itu padanya supaya selesai, maka saya dorong saja pintu kamarnya dan saya masuk."
Dia berhenti sebentar.
"Lalu?"
Tanya Katherine lembut.
"Ruth sedang terbaring tidur di bangku -mukanya tidak menghadap ke pintu -saya hanya bisa melihat bagian belakang dari kepalanya. Saya tentu bisa saja membangunkannya. Tapi tiba-tiba saya tak mau. Lagipula, apa lagi yang harus diucapkan, bukankah sudah beratus kali dikatakan sebelumnya? Dia tampak tidur begitu tenangnya. Saya tinggalkan kamar itu perlahan-lahan sekali."
"Mengapa tak Anda katakan terus terang begitu pada polisi?"
Kata Katherine.
"Karena saya tidak setolol itu. Sejak semula saya sudah menyadari bahwa kalau ditinjau dari sudut alasan, sayalah pembunuh yang paling masuk akal. Kalau satu kali saja saya akui bahwa saya masuk ke dalam kamarnya sebentar sebelum dia terbunuh, habislah saya."
"Oh, begitu."
Mengertikah Katherine? Dia sendiri tak tahu. Dia merasakan adanya daya tarik yang kuat dari kepribadian Derek, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang melawan, yang menahan...
"Katherine -"
"Saya -"
"Kau tahu aku cinta padamu. Apakah -apakah kau cinta padaku?"
"Saya -entahlah, aku tak tahu."
Katherine merasa lemah.
Entah disadarinya entah tidak.
Kalau saja -.
Katherine memandang ke sekelilingnya dengan putus asa, seolah-olah sedang mencari sesuatu yang bisa menolongnya.
Wajahnya jadi bersemu dadu waktu seorang laki-laki jangkung berambut pirang terpincang-pincang bergegas menjalani jalan setapak ke arah mereka -Mayor Knighton.
Suara Katherine terdengar lega dan hangat waktu dia menyapa laki-laki itu.
Derek bangkit, mukanya masam, kelam seperti tersaput awan hitam.
"Apakah Lady Tamplin sedang berjudi?"
Tanyanya dengan nada ringan.
"Saya harus mendatanginya dan memberi tahu sistem saya supaya dia menang."
Dia berbalik lalu meninggalkan mereka berdua.
Katherine duduk lagi.
Jantungnya berdebar kuat dan tak teratur, tetapi sementara dia duduk di situ, bercakap-cakap biasa-biasa saja dengan laki-laki yang pendiam dan agak pemalu di sisinya itu, kepercayaan dirinya pun kembali.
Kemudian dia terkejut waktu menyadari bahwa Knighton juga sedang membuka isi hatinya, seperti yang telah dilakukan Derek, hanya dengan cara yang lain sekali.
Dia malu dan tergagap-gagap.
Kata-katanya terputus-putus, dan sama sekali tak didukung oleh kefasihan lidah.
"Sejak pertama kali saya melihat Anda -saya -sebenarnya tak boleh saya bicara seperti ini -tapi Tuan Van Aldin sewaktu-waktu bisa berangkat dari sini, dan saya mungkin tak punya kesempatan lain lagi. Saya tahu Anda tidak akan bisa segera mencintai saya -itu tak mungkin. Saya yakin saya telah berbuat lancang. Saya mempunyai milik pribadi, meskipun tak banyak -jangan, jangan jawab sekarang. Saya tahu jawaban apa yang akan Anda berikan. Tapi kalau saya harus pergi tiba-tiba, saya hanya ingin Anda tahu -bahwa saya mencintai Anda."
Katherine merasa terguncang, dia terkesan. Caranya begitu lembut dan menarik.
"Ada satu hal lagi. Saya hanya akan mengatakan bahwa bila -kapan saja Anda dalam kesusahan, apa pun yang bisa saya lakukan -"
Dipegangnya tangan Katherine, digenggamnya erat-erat sesaat lamanya, lalu dilepaskannya, kemudian berjalan cepat-cepat ke arah kasino tanpa menoleh.
Katherine duduk tanpa bergerak, memandanginya dari belakang.
Derek Kettering -Richard Knighton -dua orang laki-laki yang begitu berbeda -begitu jauh berbeda.
Ada kebaikan hati pada Knighton, baik dan dapat dipercaya.
Sedangkan Derek -Lalu tiba-tiba Katherine dilanda perasaan aneh.
Dia merasa bahwa dia tidak duduk seorang diri lagi di bangku dalam taman kasino itu, bahwa ada seseorang yang berdiri di sampingnya, dan bahwa orang itu adalah wanita yang sudah meninggal itu, Ruth Kettering.
Selanjutnya dia juga berperasaan bahwa Ruth ingin -dengan amat sangat -menceritakan sesuatu padanya.
Perasaan itu begitu aneh, tetapi begitu jelas, hingga tak dapat dihapuskan.
Dia merasa benar-benar yakin bahwa roh Ruth Kettering sedang mencoba untuk menyampaikan sesuatu yang penting sekali padanya.
Tetapi perasaan itu lalu menghilang.
Katherine bangkit, agak gemetar.
Apakah yang ingin dikatakan Ruth Kettering tadi itu? Bab 27 WAWANCARA DENGAN MIRELLE Setelah Knighton meninggalkan Katherine, dia pergi mencari Hercule Poirot, yang ditemukannya di ruang perjudian, sedang dengan gayanya meletakkan pasangan dalam jumlah yang terkecil pada angka-angka genap.
Knighton lalu mendekatinya -waktu itu nomor tiga puluh tiga yang keluar, dan uang pasangan Poirot ditarik.
"Nasib buruk!"
Kata Knighton.
"Apakah Anda masih akan memasang?"
Poirot menggeleng.
"Tidak lagi."
"Apakah Anda dapat merasakan pesona judi?"
Tanya Knighton ingin tahu.
"Judi roulette tidak."
Knighton cepat menoleh padanya. Wajahnya membayangkan kecemasan. Dia berbicara dengan sikap hormat dan terhenti-henti.
"Apakah Anda sibuk, M. Poirot? Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada Anda."
"Saya bersedia. Sebaiknya kita keluar. Di luar menyenangkan, ada sinar matahari."
Mereka berjalan berdua, dan Knighton menghirup napas panjang.
"Saya suka Riviera,"
Katanya.
"Saya kemari satu kali dua belas tahun yang lalu, dalam masa perang, waktu saya dibawa ke rumah sakit Lady Tamplin untuk dirawat. Rasanya seperti surga, karena waktu itu saya datang dari Flanders."
"Tentu,"
Kata Poirot.
"Sudah lama benar rasanya perang berlalu!"
Renung Knighton. Mereka berjalan terus beberapa jauhnya tanpa bercakap.
"Adakah sesuatu yang sedang Anda pikirkan?"
Tanya Poirot. Knighton memandangnya dengan terkejut.
"Anda benar,"
Dia mengaku.
"Saya tak mengerti bagaimana Anda sampai tahu."
"Hal itu nyata benar kelihatan,"
Kata Poirot datar.
"Saya tak tahu bahwa saya begitu tembus cahaya."
"Pekerjaan saya adalah mengawasi kegiatan jiwa orang dari gerak lahiriahnya,"
Pria kecil itu menjelaskan dengan menepuk dada.
"Baik saya katakan pada Anda, M. Poirot. Sudahkah Anda mendengar tentang penari itu -Mirelle?"
"Kekasih M. Derek Kettering itukah?"
"Ya, itulah dia. Dan karena Anda tahu, Anda tentu akan mengerti pula bahwa wajarlah kalau Tuan Van Aldin berprasangka terhadapnya. Penari itu menulis surat pada majikan saya itu, untuk minta wawancara. Tuan Van Aldin menulis surat singkat yang merupakan penolakan, hal mana tentu saja saya lakukan. Tadi pagi dia datang ke hotel dan menyuruh orang mengantarkan kartu namanya, dengan mengatakan bahwa soalnya sangat mendesak dan penting dia segera bertemu dengan Tuan Van Aldin."
"Saya merasa tertarik,"
Kata Poirot.
"Tuan Van Aldin marah sekali. Disuruhnya saya membawa pesan pada wanita itu. Saya memberanikan diri untuk tidak membenarkan beliau. Saya melihat adanya kemungkinan bahwa Mirelle memberi kita informasi yang berarti. Kita tahu bahwa dia ada di Kereta Api Biru, dan dia mungkin melihat atau mendengar sesuatu yang barangkali penting sekali kita ketahui. Sependapat atau tidak Anda dengan saya, M. Poirot?"
"Setuju,"
Kata Poirot datar.
"Kalau saya boleh berkata, M. Van Aldin telah berbuat bodoh sekali."
"Saya senang Anda berpandangan demikian dalam hal ini,"
Kata sekretaris itu.
"Nah, saya akan menceritakan sesuatu, M. Poirot. Saya merasa bahwa sikap Tuan Van Aldin itu tak bijak, hingga saya lalu turun dan mengadakan wawancara sendiri dengan wanita itu."
"Eh bien?"
"Sulitnya, dia berkeras ingin bertemu dengan M. Van Aldin sendiri. Saya sampaikan pesan beliau dengan memperhalusnya sedapat mungkin. Terus terang, saya malah menyampaikannya dalam bentuk yang lain. Saya katakan bahwa Tuan Van Aldin terlalu sibuk hingga tak bisa menerimanya sekarang, tapi bahwa kalau mau, dia boleh berhubungan dengan saya saja. Dia tak mau berbuat demikian, dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi saya mendapat kesan yang kuat, M. Poirot, bahwa perempuan itu tahu sesuatu."
"Ini serius,"
Kata Poirot dengan tenang.
"Tahukah Anda di mana dia menginap?"
"Ya."
Knighton menyebutkan nama sebuah hotel.
"Bagus,"
Kata Poirot.
"kita langsung pergi ke sana."
Sekretaris itu memandangnya dengan bimbang.
"Bagaimana dengan Tuan Val Aldin?"
Tanyanya ragu.
"M. Van Aldin adalah orang yang keras kepala,"
Kata Poirot datar.
"Saya tak suka bertengkar dengan orang yang keras kepala. Saya bertindak tanpa persetujuan mereka. Kita akan segera pergi dan menjumpai wanita itu. Saya akan mengatakan padanya, bahwa Anda telah diberi kuasa atas nama M. Van Aldin, dan jagalah diri Anda baik-baik supaya tidak sampai menentang saya."
Knighton masih kelihatan agak ragu, tetapi Poirot tidak mempedulikan kebimbangannya itu.
Di hotel mereka diberi tahu bahwa Mirelle ada, dan Poirot minta disampaikan kartu namanya dan kepunyaan Knighton, dengan ditulisi Dari Tuan Van Aldin di atas kedua kartu itu.
Mereka menerima pesan bahwa Mademoiselle bersedia menerima mereka.
Waktu mereka diantar masuk ke apartemen penari itu, Poirot segera mengambil alih pimpinan.
"Mademoiselle,"
Gumamnya sambil membungkuk dalam-dalam.
"kami kemari atas nama M. Van Aldin."
"Oh! Mengapa dia tak datang sendiri?"
"Dia tak sehat,"
Kata Poirot berbohong.
"Sakit tenggorokan, Riviera telah menyerangnya, dan saya diberinya hak untuk bertindak atas namanya, demikian pula Mayor Knighton, sekretarisnya. Itu pun tentu, kalau Mademoiselle tak ingin menunggu dua minggu lagi."
Poirot punya keyakinan bahwa, bagi seseorang bertemperamen seperti Mirelle, kata 'tunggu' adalah suatu pantangan.
"Eh bien, saya akan bicara, Tuan-tuan,"
Serunya.
"Selama ini saya bersabar. Saya menahan diri. Tapi untuk apa? Saya malah dihina! Ya, dihina! Ah! Sangkanya dia bisa memperlakukan Mirelle seperti itu? Membuang Mirelle begitu saja seperti sampah. Ketahuilah, tak pernah ada laki-laki yang bosan dengan saya. Selalu sayalah yang bosan, bukan mereka."
Dia berjalan hilir-mudik di kamar itu, tubuhnya yang langsing gemetar karena murkanya. Sebuah meja kecil menghalangi langkahnya, lalu disepaknya ke sudut, di mana meja itu berantakan kena dinding.
"Begitulah dia akan kubuat,"
Serunya.
"dan begini!"
Sambil mengambil sebuah mangkuk kaca berisi bunga lili, dilemparkannya ke perapian, di mana mangkuk itu hancur berkeping-keping.
Knighton memandanginya dengan sikap tak suka dan dingin layaknya orang Inggris.
Dia merasa malu dan tak enak.
Sebaliknya, Poirot senang dan melihat pemandangan itu dengan mata berkedip-kedip.
"Ah, hebat sekali!"
Serunya.
"Bisa dilihat bahwa Mademoiselle berdarah panas."
"Saya seorang artis,"
Kata Mirelle.
"setiap artis berdarah panas. Sudah saya katakan pada Derek supaya dia berhati-hati, tapi dia tak mau mendengarkan."
Tiba-tiba dia berbalik menghadapi Poirot.
"Benarkah dia akan mengawini gadis Inggris itu?"
Poirot mendehem.
"Menurut desas-desus,"
Gumamnya.
"dia memujanya dengan sepenuh hati."
Mirelle mendekati mereka.
"Dia telah membunuh istrinya,"
Teriaknya.
"Nah -kalian sudah mendengarnya! Sudah dikatakannya pada saya sebelumnya bahwa dia berniat akan membunuhnya. Dia terbentur pada jalan buntu -ah! -dia lalu mengambil jalan yang paling mudah."
"Kata Anda M. Kettering membunuh istrinya."
"Ya, ya, ya. Bukankah sudah saya katakan?"
"Polisi akan memerlukan bukti dari pernyataan itu,"
Kata Poirot.
"Saya melihatnya keluar dari kamar istrinya malam itu di kereta api."
"Kapan?"
Tanya Poirot tajam.
"Sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons."
"Bersediakah Anda bersumpah, Mademoiselle?"
Kini berubah sikap Poirot waktu berbicara, tajam dan tegas.
"Ya."
Semua diam sejenak. Mirelle bernapas terengah, matanya yang setengah menantang dan setengah ketakutan memandang dari laki-laki yang seorang ke laki-laki yang seorang lagi.
"Ini soal serius, Mademoiselle,"
Kata detektif itu.
"Sadarkah Anda betapa seriusnya?"
"Tentu saja sadar."
"Bagus,"
Kata Poirot.
"Kalau begitu Anda tentu mengerti bahwa kita tak boleh membuang-buang waktu. Maukah Anda menyertai kami ke kantor Jaksa Pemeriksa?"
Mirelle terperanjat. Dia bimbang, tapi dia tak punya jalan untuk mengelak.
"Baiklah,"
Katanya.
"saya akan mengambil mantel."
Sepeninggalnya, Poirot dan Knighton saling berpandangan.
"Memang perlu kita bertindak selagi -apa kata pepatah Anda -selagi besi masih panas,"
Gumam Poirot.
"Dia berdarah panas. Dalam waktu satu jam, dia mungkin menyesal, dan dia ingin menarik diri. Kita harus berusaha untuk mencegah hal itu."
Mirelle muncul kembali, mengenakan mantel beludru berwarna pasir dan bertepian kulit macan tutul.
Dia memang tampak seperti seekor macan tutul betina, merah kekuningan dan amat berbahaya.
Matanya masih memancarkan kemarahan dan kepastian.
Mereka menemukan M.
Caux sedang bersama Jaksa Pemeriksa.
Setelah beberapa kata perkenalan singkat dari Poirot, Mademoiselle Mirelle pun diminta dengan hormat untuk menceritakan kisahnya.
Hal itu dilakukannya dengan kata-kata yang sama benar dengan yang diucapkannya pada Poirot dan Knighton tadi, tetapi dengan cara yang jauh lebih tenang.
"Cerita yang luar biasa, Mademoiselle,"
Kata M. Carrege. Dia bersandar pada kursinya, memperbaiki letak kaca matanya yang tak bergagang, dan memandangi penari itu dengan tajam serta penuh selidik.
"Anda ingin kami mempercayai bahwa M. Kettering benar-benar telah menggembar-gemborkan kejahatan yang dilakukannya, pada Anda?"
"Ya, ya. Katanya, istrinya terlalu sehat. Bila dia harus meninggal, harus melalui kecelakaan -dan dia yang akan mengurus semuanya."
"Sadarkah Anda, Mademoiselle,"
Kata M. Carrege dengan tegas.
"bahwa Anda telah menjadikan diri Anda terlibat sebelum kejadian itu?"
"Saya? Sama sekali tidak, Monsieur. Sedikit pun saya tidak menanggapi pernyataan itu secara serius. Sungguh tidak! Saya kenal laki-laki, Monsieur -mereka sering berucap sembarangan. Akan banyak kekacauan kalau orang menanggapi semua yang mereka katakan secara harfiah."
Jaksa Pemeriksa mengangkat alisnya.
"Jadi, kami harus beranggapan bahwa Anda menanggapi ancaman-ancaman Kettering itu sebagai kata-kata iseng saja? Bolehkah saya bertanya, Mademoiselle, mengapa Anda sampai memutuskan kontrak di London dan datang ke Riviera ini?"
Mirelle melihat padanya dengan mata hitam yang sendu.
"Saya ingin menyertai laki-laki yang saya cintai,"
Katanya polos.
"Apakah itu tak wajar?"
Poirot menyelakan suatu pertanyaan dengan halus.
"Jadi, apakah atas keinginan M. Kettering Anda menyertainya ke Nice?"
Mirelle kelihatan agak sulit menjawab. Kelihatan bahwa dia agak bimbang sebelum dia berbicara. Kemudian dia berkata dengan angkuh dan tak acuh.
"Dalam hal-hal seperti itu saya berbuat sesuka saya, Monsieur,"
Katanya. Ketiga pria yang ada di situ tahu bahwa itu sama sekali bukan jawaban. Mereka tidak berkata apa-apa.
"Kapan Anda menjadi yakin bahwa M. Kettering telah membunuh istrinya?"
"Sebagaimana saya katakan, saya melihatnya keluar dari kamar istrinya sebentar sebelum kereta api memasuki Lyons. Pandangannya -oh! waktu itu saya tak mengerti -suatu pandangan yang mengerikan, seolah-olah dia baru saja melihat hantu. Saya tidak akan lupa pandangan itu."
Suaranya naik melengking, dan tangannya diangkatnya dengan gaya yang berlebihan.
"Baik,"
Kata M. Carrege.
"Setelah itu, waktu saya mendengar bahwa Nyonya Kettering meninggal waktu kereta api meninggalkan Lyons, waktu itulah -saya tahu!"
"Tapi -Anda tidak melaporkannya pada polisi, Mademoiselle,"
Kata Komisaris. Mirelle menoleh padanya dengan gaya, dia kelihatan senang memainkan perannya.
"Apakah saya mau mengkhianati kekasih saya?"
Tanyanya.
"Jangan, jangan suruh seorang wanita berbuat begitu."
"Tapi sekarang -"
Sindir M. Caux.
"Sekarang lain halnya. Dia telah mengkhianati saya! Apakah saya harus menanggungnya diam-diam?...."
Jaksa Pemeriksa menahannya.
"Benar, benar,"
Katanya membujuk.
"Sekarang, Mademoiselle, tolong baca pernyataan yang telah Anda ceritakan pada kami tadi. Lihat, apakah itu benar, dan tolong tanda tangani."
Mirelle tak banyak membuang waktu untuk membaca laporan itu.
"Ya, ya,"
Katanya.
"sudah betul."
Dia bangkit.
"Anda tidak memerlukan saya lagi, Tuan-tuan?"
"Untuk sementara, tidak, Mademoiselle."
"Dan Derek akan ditangkap?"
"Segera, Mademoiselle."
Mirelle tertawa dengan kejam lalu merapatkan mantelnya yang dari bulu binatang itu ke tubuhnya.
"Seharusnya dia mempertimbangkan kemungkinan ini sebelum dia menghina saya,"
Serunya.
"Ada satu soal kecil -"
Poirot mendehem menyatakan maaf -"hanya soal sepele."
"Ya?"
"Apa yang membuat Anda menduga bahwa Nyonya Kettering sudah meninggal waktu kereta api meninggalkan Lyons?"
Mirelle terbelalak.
"Tapi dia sudah meninggal."
"Benarkah begitu?"
"Ya, tentu. Saya -"
Wanita itu tiba-tiba berhenti. Poirot memandang lekat padanya, dan dia melihat bayangan kewaspadaan di mata wanita itu.
"Saya diberi tahu. Semua orang berkata begitu."
"Oh,"
Kata Poirot.
"saya tak tahu bahwa kenyataan itu telah disebut-sebut di luar kantor Jaksa Pemeriksa."
Mirelle kelihatan agak salah tingkah.
"Hal-hal begitu memang cepat kedengaran,"
Katanya samar-samar.
"Berita begitu cepat tersiar. Seseorang mengatakannya pada saya. Saya tak ingat siapa."
Mirelle berjalan ke pintu. M. Caux melompat ke depan untuk membukakan pintu itu, dan sedang dia berbuat demikian, terdengar suara Poirot yang halus sekali lagi.
"Lalu mengenai barang-barang perhiasannya? Maafkan saya, Mademoiselle. Dapatkah Anda menceritakannya?"
"Barang-barang perhiasan? Perhiasan apa?"
"Permata delima bekas milik Ratu Catherine yang Agung. Karena Anda banyak mendengar, Anda tentu juga mendengar tentang barang-barang itu."
"Saya tak tahu apa-apa tentang permata apa pun,"
Kata Mirelle tajam. Dia keluar dan menutup pintu. M. Caux kembali ke kursinya, Jaksa Pemeriksa mendesah.
"Bukan main pemarahnya!"
Katanya.
"Tapi benar-benar gaya. Saya ingin tahu apakah dia berkata benar? Saya rasa begitu."
"Ada suatu kebenaran dalam ceritanya, itu pasti,"
Kata Poirot.
"Hal itu sudah dibenarkan oleh Nona Grey. Dia melihat ke sepanjang lorong kereta api sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons, dan dia melihat M. Kettering memasuki kamar istrinya."
"Agaknya tuduhan terhadapnya sudah jelas,"
Komisaris mendesah.
"Sayang, seribu sayang,"
Gumamnya.
"Apa maksud Anda?"
Tanya Poirot.
"Sudah menjadi keinginan saya yang terbesar selama hidup ini untuk menangkap Comte de la Roche itu. Kali ini, ma foi, saya sangka kami akan berhasil mendapatkannya. Yang seorang itu -tak begitu memuaskan."
M. Carrege menggosok-gosok hidungnya.
"Bila sampai terjadi kesalahan,"
Katanya dengan berhati-hati.
"akan memalukan sekali. M. Kettering itu dari keluarga ningrat. Berita ini akan dimuat dalam surat-surat kabar. Bila kita membuat kesalahan -"
Dia mengangkat bahunya dengan perasaan tak enak.
"Lalu mengenai barang-barang perhiasannya,"
Kata Komisaris.
"menurut Tuan-tuan, apa yang dilakukannya dengan barang-barang itu?"
"Diambilnya untuk suatu rencana masa depannya, tentu,"
Kata M. Carrege.
"Barang-barang itu tentu menyulitkannya dan sulit pula dilepas."
Poirot tersenyum.
"Saya punya gagasan sendiri mengenai permata-permata itu. Tuan-tuan, tahukah Anda tentang seseorang yang bernama Marquis?"
Komisaris menyandarkan tubuhnya ke depan dengan penuh semangat.
"Marquis,"
Katanya.
"Marquis? Apakah menurut Anda dia terlibat dalam hal ini, M. Poirot?"
"Saya bertanya apakah Anda tahu tentang dia."
Komisaris menyeringai dengan penuh arti.
"Tidak sebanyak yang saya ingini,"
Katanya lirih.
"Dia selalu bekerja di balik layar. Dia punya anak buah yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor untuknya. Tapi dia dari kalangan atas. Kami yakin itu. Dia tidak berasal dari kelompok-kelompok penjahat."
"Seorang Prancis?"
"Ya, mungkin. Saya rasa begitu. Tapi kami tak yakin. Dia telah beroperasi di Prancis, Inggris, Amerika. Dalam musim gugur yang lalu di Swiss telah terjadi serangkaian perampokan yang diduga adalah perbuatan dia. Bagaimanapun juga dia orang besar dalam bidangnya, yang pandai berbahasa Inggris dan Prancis dengan sempurna, sedang asal-usulnya merupakan suatu misteri."
Poirot mengangguk lalu bangkit untuk pergi.
"Apakah Anda tak bisa memberi petunjuk lebih banyak lagi pada kami, M. Poirot?"
Desak Komisaris.
"Untuk sementara, tidak,"
Kata Poirot.
"tapi mungkin ada berita menunggu saya di hotel."
M. Carrege kelihatan merasa tak senang.
"Bila Marquis terlibat dalam perkara ini -"
Katanya mulai, lalu berhenti.
"Maka semua gagasan kita buyar,"
Keluh M. Caux.
"Gagasan saya tidak akan buyar,"
Kata Poirot.
"Sebaliknya, hal itu akan sangat sesuai dengan gagasan-gagasan saya. Au revoir, Messieurs. Bila saya mendapatkan berita penting, saya akan segera menghubungi Anda."
Dia berjalan kembali ke hotelnya dengan wajah suram.
Waktu dia sedang tak berada di tempat, sepucuk telegram telah datang.
Dengan sebuah pisau pemotong kertas yang dikeluarkan dari sakunya, telegram itu dibukanya.
Telegram itu panjang, dan setelah dia membacanya dua kali barulah dimasukkannya lambat-lambat ke dalam sakunya.
Di lantai atas, George sedang menunggu kedatangan majikannya.
"Aku letih sekali, George, letih sekali. Tolong pesankan secangkir coklat."
Minuman itu langsung dipesan dan diantar, dan George meletakkannya di meja kecil dekat siku majikannya. Waktu dia bersiap-siap akan meninggalkan tempat itu, Poirot berkata.
"George, kurasa kau banyak tahu tentang kaum ningrat Inggris, ya?"
George tersenyum seperti ingin meminta maaf.
"Saya rasa saya boleh berkata begitu, Tuan,"
Sahutnya.
"Kurasa kau berpendapat bahwa penjahat-penjahat biasanya berasal dari kalangan rendahan kan, Georges?"
"Tidak selalu, Tuan. Salah seorang putra Duke dari Devize menimbulkan banyak kesulitan. Dia meninggalkan Eton dengan nama buruk dan setelah itu beberapa kali dia menimbulkan kekacauan besar. Polisi tak mau menerima anggapan bahwa perbuatan-perbuatannya itu disebabkan oleh kleptomania. Dia seorang pria muda yang pintar, Tuan, tapi jahatnya bukan main. Ayahnya mengusirnya ke Australia, dan saya dengar dia ditangkap di sana dengan nama lain. Sungguh aneh, Tuan, tapi itulah kenyataan. Tak perlu saya katakan bahwa tuan muda itu tidak kekurangan uang."
"Barangkali dia suka akan sesuatu yang mendebarkan,"
Gumam Poirot.
"dan ada kelainan sedikit di otaknya. Sekarang aku ingin tahu -"
Dikeluarkannya telegram tadi dari sakunya dan dibacanya lagi.
"Lalu ada lagi putri Lady Fox,"
Pelayan itu melanjutkan, rupanya dia sedang senang mengingat-ingat.
"Dia menipu para pedagang, memalukan sekali! Dia sangat mencemaskan keluarga baik-baik itu, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa aneh yang bisa saya sebutkan."
"Kau punya pengalaman luas, George,"
Gumam Poirot.
"Aku sering bertanya-tanya, mengapa kau mau merendahkan diri dan menjadi pelayanku, padahal kau biasa hidup dengan keluarga-keluarga terkemuka dan bergelar bangsawan. Aku berkesimpulan bahwa kau juga menyukai sesuatu yang mendebarkan."
"Bukan itu, Tuan,"
Kata George.
"Saya pernah membaca dalam Berita Singkat Kalangan Atas bahwa Anda pernah diterima di Buckingham Palace. Dikatakan di situ bahwa Yang Mulia Raja sangat baik dan sangat ramah serta sangat memuji keahlian Anda. Waktu itu kebetulan saya sedang mencari pekerjaan baru."
"Ah,"
Kata Poirot.
"orang memang selalu ingin tahu alasan."
Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam pikirannya, lalu dia berkata.
"Sudahkah kautelepon Mademoiselle Papopolous?"
"Sudah, Tuan -dia dan ayahnya akan merasa senang makan malam dengan Anda malam ini."
"Oh,"
Kata Poirot merenung. Diminum coklatnya sampai habis, diletakkannya cangkir dan alasnya dengan rapi di tengah-tengah nampan, lalu berkata dengan halus, seolah-olah bukan pada pelayannya, melainkan pada dirinya sendiri.
"Seekor tupai, George, mengumpulkan kenari. Buah itu dikumpulkannya dalam musim gugur untuk bisa dimakannya kemudian hari. Supaya kita berhasil dalam hidup ini, George, kita harus mau mengambil pelajaran dari kehidupan makhluk yang lebih rendah daripada kita, yaitu dari kerajaan binatang. Aku selalu berbuat begitu. Aku pernah berperan seperti kucing, yang mengamat-amati lubang tikus terus-menerus. Aku juga pernah menjalankan cara tupai, George. Kukumpulkan fakta-fakta dari sana-sini. Sekarang aku mau pergi ke gudang penyimpananku itu dan mengambil satu buah kenari khusus, kenari yang sudah kusimpan -berapa lama, ya? Tujuh belas tahun yang lalu. Mengerti kau, George?"
"Saya rasa, Tuan,"
Kata George.
"kenari tidak akan bisa tahan selama itu, meski saya tahu bahwa ilmu pengawetan makanan memang besar artinya."
Poirot memandangnya lalu tersenyum.
Bab 28 POIROT BERPERAN SEBAGAI TUPAI Poirot mempersiapkan dirinya untuk memenuhi janji makan malam, ketika dia hanya punya waktu tiga perempat jam saja.
Dia mempunyai maksud tersendiri.
Mobilnya tidak membawanya langsung ke Monte Carlo, melainkan ke rumah Lady Tamplin di Cap Martin, di mana dia minta bertemu dengan Nona Grey.
Wanita-wanita di rumah itu sedang berdandan dan Poirot dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu kecil untuk menunggu.
Tiga atau empat menit kemudian Lenox Tamplin datang menemuinya.
"Katherine belum siap benar,"
Katanya.
"Bisakah saya menyampaikan pesan Anda padanya, atau apakah Anda lebih suka menunggu sampai dia turun sendiri?"
Poirot menatapnya. Satu-dua menit kemudian dia baru menjawab, seolah-olah ada sesuatu yang berat yang membebaninya dalam mengambil keputusan. Agaknya jawaban atas pertanyaan yang demikian sederhananya itu, sangat berarti.
"Tidak,"
Katanya akhirnya.
"tidak, saya pikir saya tak perlu menunggu untuk menemui Mademoiselle Katherine. Saya rasa, mungkin, lebih baik tidak. Hal-hal yang akan saya katakan ini kadang-kadang sulit."
Lenox menunggu dengan sopan, alisnya agak terangkat.
"Ada berita yang harus saya sampaikan,"
Lanjut Poirot.
"Barangkali Anda bisa menyampaikannya pada teman Anda itu. Malam ini M. Kettering telah ditangkap karena membunuh istrinya."
"Anda ingin saya menceritakannya pada Katherine?"
Tanya Lenox. Napasnya agak terengah, seolah-olah dia baru saja berlari -menurut penglihatan Poirot -wajahnya putih dan tegang, jelas sekali.
"Kalau bisa, Mademoiselle."
"Mengapa?"
Tanya Lenox.
"Apakah Anda rasa Katherine akan menjadi risau? Apakah dia akan sedih?"
"Entahlah, Mademoiselle,"
Kata Poirot.
"Saya akui terus terang, biasanya saya tahu segala-galanya. Tapi dalam hal ini, saya -yah, saya tak tahu. Mungkin Anda lebih tahu daripada saya."
"Ya,"
Kata Lenox.
"saya tahu -tapi saya tidak akan memberitahukannya pada Anda."
Dia diam beberapa menit, alisnya yang hitam bertaut menjadi satu.
"Percayakah Anda bahwa memang Kettering yang melakukannya?"
Tanya Lenox tiba-tiba. Poirot mengangkat bahunya.
"Polisi berpendapat demikian."
"Oh,"
Kata Lenox.
"Anda mengelak rupanya? Jadi mungkin ada sesuatu yang harus disembunyikan."
Dia diam lagi, sambil tetap mengerutkan alisnya. Poirot berkata dengan lembut.
"Anda sudah lama kenal Derek Kettering, bukan?"
"Sejak saya masih kecil, meskipun jarang-jarang bertemu,"
Kata Lenox kasar.
Poirot mengangguk berulang kali tanpa berkata apa-apa.
Lenox menarik sebuah kursi dengan kasar lalu mendudukinya, menekankan sikunya ke meja dan menopang wajahnya dengan tangannya.
Sambil duduk dengan sikap demikian, dia memandang langsung pada Poirot yang duduk di seberangnya.
"Berdasarkan apa mereka berbuat demikian?"
Tanyanya.
"Saya rasa, alasan bahwa Kettering mungkin akan memperoleh uang dengan kematian istrinya."
"Dia akan mendapatkan dua juta."
"Dan bila istrinya tidak meninggal dia akan hancur?"
"Ya."
"Tapi tentunya ada lagi yang lebih daripada itu,"
Lenox bertahan.
"Saya tahu bahwa Kettering bepergian dengan kereta api yang sama, tapi -itu saja tidak akan cukup."
"Sebuah kotak rokok dengan huruf 'K' di atasnya, yang bukan kepunyaan Nyonya Kettering, telah ditemukan di dalam kamar wanita itu, dan dua orang melihatnya masuk dan keluar dari kamar itu, sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons."
"Siapa kedua orang itu?"
"Teman Anda Katherine adalah salah seorang di antaranya. Yang seorang lagi adalah Mademoiselle Mirelle, penari itu."
"Lalu Derek sendiri, apa katanya tentang kejadian itu?"
Tanya Lenox tajam.
"Dia membantah masuk ke kamar istrinya,"
Kata Poirot.
"Tolol!"
Kata Lenox ketus, sambil merengut.
"Sebentar sebelum Lyons, kata Anda? Tak adakah yang tahu kapan -kapan pastinya dia meninggal?"
"Kesaksian dokter memang bisa tidak terlalu meyakinkan,"
Kata Poirot.
"Mereka menduga bahwa kematian mungkin terjadi sesudah kereta api meninggalkan Lyons. Dan kami sudah tahu, bahwa beberapa menit setelah meninggalkan Lyons, Nyonya Kettering sudah meninggal."
"Bagaimana Anda tahu?"
Poirot tersenyum agak aneh.
"Ada seseorang lain yang masuk ke kamarnya dan menemukannya meninggal."
"Dan mereka tidak memberi tahu pihak kereta api?"
"Tidak."
"Mengapa begitu?"
"Mereka pasti punya alasan sendiri."
Lenox memandangi Poirot dengan tajam.
"Apakah Anda tahu alasannya?"
"Saya rasa tahu."
Lenox duduk diam-diam membolak-balik persoalan dalam pikirannya. Poirot memperhatikannya tanpa berkata apa-apa. Akhirnya Lenox mengangkat mukanya. Pipinya jadi berwarna merah muda dan matanya bersinar.
"Kalian berpikir bahwa seseorang di dalam kereta api yang membunuhnya, tapi itu sama sekali tak perlu. Apa yang tidak memungkinkan seseorang masuk ke kereta api waktu kereta api itu berhenti di Lyons? Mereka bisa saja langsung masuk ke kamar Nyonya Kettering, menjerat leher wanita itu, mengambil permata-permata delimanya, lalu turun lagi dari kereta api tanpa diketahui seseorang pun. Mungkin dia sebenarnya dibunuh waktu kereta api berada di stasiun Lyons. Jadi waktu Derek masuk dia masih hidup, dan yang seorang lagi menemukannya sudah meninggal."
Poirot bersandar di kursinya. Dia menarik napas dalam-dalam. Dia memandang gadis yang duduk di seberangnya dan mengangguk tiga kali, kemudian dia mendesah.
"Mademoiselle,"
Katanya.
"apa yang Anda katakan itu sangat masuk akal -benar sekali. Saya sedang berjuang dalam gelap, dan Anda telah menunjukkan saya suatu cahaya. Ada satu hal yang merupakan tanda tanya bagi saya dan Anda sudah menjadikannya jelas."
Poirot bangkit.
"Dan Derek?"
Tanya Lenox.
"Siapa yang tahu?"
Kata Poirot, sambil mengangkat bahunya.
"Tapi dengar kata-kata saya ini, Mademoiselle. Saya tak puas, tidak. Hercule Poirot merasa tidak puas. Mungkin malam ini juga saya akan mendengar sesuatu lagi. Sekurang-kurangnya saya akan mencoba."
"Apakah Anda akan menemui seseorang?"
"Ya."
"Seseorang yang tahu sesuatu?"
"Seseorang yang mungkin tahu sesuatu. Dalam peristiwa seperti sekarang ini kita tak boleh membiarkan satu pun bahan tanpa disentuh. Au revoir, Mademoiselle."
Lenox mengantarnya sampai ke pintu.
"Apakah -saya telah membantu?"
Tanyanya. Wajah Poirot menjadi lembut waktu dia menengadah memandang Lenox yang berdiri di ambang pintu di atasnya.
"Ya, Mademoiselle, Anda telah membantu. Bila Anda dalam kegelapan, ingatlah itu."
Waktu mobil berangkat, Poirot asyik termangu dengan mengerutkan alisnya, tapi dalam matanya tampak cahaya hijau yang samar -hal mana selalu merupakan suatu pertanda akan adanya kemenangan yang diharapkannya.
Dia datang terlambat beberapa menit di tempat pertemuan, dan mendapati M.
Papopolous dan putrinya telah tiba lebih dulu.
Dia mohon maaf dengan segala kerendahan hati, dan dengan berlebihan dia menunjukkan sopan santun serta perhatiannya terhadap tamu wanitanya.
Orang Yunani itu ramah sekali dan baik hati malam itu, seperti seorang jagoan.
Zia kelihatan manis dan senang.
Makan malam itu menyenangkan.
Poirot ceria dan berseri-seri.
Dia mengisahkan lelucon-lelucon, dia bergurau, dia memuji-muji Zia Papopolous, dan dia menceritakan peristiwa-peristiwa menarik dalam karirnya.
Jenis makanannya terpilih dengan baik dan anggurnya baik sekali.
Setelah selesai makan, M.
Papopolous bertanya dengan sopan.
"Bagaimana dengan petunjuk yang saya berikan dulu? Sudahkah Anda mengadu untung Anda terhadap kuda itu?"
"Saya sedang mengadakan hubungan dengan -eh -bandar balapan,"
Sahut Poirot. Kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Seekor kuda yang terkenal, bukan?"
"Bukan,"
Kata Poirot.
"kuda itu adalah seperti yang dikatakan orang Inggris, kuda hitam."
"Oh!"
Kata M.
Papopolous, merenung.Sekarang kita harus pergi ke kasino dan mengadu untung kita di meja roulette,"��kata Poirot ceria.
Di kasino mereka berpisah.
Poirot selalu mendampingi Zia, sedang M.
Papopolous memisahkan diri.
Poirot tidak beruntung, tetapi Zia bernasib baik terus, dan dalam waktu singkat telah memenangkan beberapa ribu franc.
"Saya rasa sebaiknya saya berhenti saja sekarang,"
Katanya pada Poirot, datar. Poirot mengedipkan matanya.
"Bagus!"
Serunya.
"Anda memang putri ayah Anda, Mademoiselle Zia. Anda tahu kapan harus berhenti. Yah! Itulah seninya."
Dia melihat ke sekeliling ruangan.
"Saya tak melihat ayah Anda,"
Katanya tak acuh.
"Saya ambilkan mantel Anda, Mademoiselle, dan kita berjalan-jalan di taman saja."
Tetapi dia tidak langsung pergi ke ruang penyimpanan mantel.
Matanya yang tajam tadi telah melihat kepergian M.
Papopolous.
Dia ingin sekali tahu rencana orang Yunani yang licik itu.
Tanpa disangka dia menemukannya di ruang duduk besar.
Orang itu sedang berdiri dekat sebuah pilar, bercakap-cakap dengan seorang wanita yang baru tiba.
Wanita itu adalah Mirelle.
Poirot menyingkir tanpa dilihat.
Dia berhenti di sisi lain dari pilar, dan tidak dilihat oleh kedua orang yang sedang berbicara itu.
Sebenarnya penari itulah yang sedang berbicara, sedang Papopolous hanya kadang-kadang menyela dengan sepatah kata atau dengan gerakan saja.
"Sudah saya katakan, saya butuh waktu,"
Kata penari itu.
"Jika Anda mau memberi saya waktu, saya akan mendapatkan uangnya."
"Menunggu -itulah sulitnya."
Orang Yunani itu mengangkat bahunya.
"Hanya sebentar saja,"
Desak lawan bicaranya.
"Tolonglah! Seminggu -sepuluh hari -selama itu saja yang saya minta. Anda akan mendapat untung."
Papopolous berdiri agak menggeser dan menoleh dengan gelisah dan -menemukan Poirot berdiri dekat benar dengannya dengan wajah polos berseri-seri.
"Ah! Ini Anda rupanya, M. Papopolous. Saya sedang mencari-cari Anda. Bolehkah saya mengajak Mademoiselle Zia berjalan-jalan di taman? Selamat malam, Mademoiselle."
Dia membungkuk dalam-dalam di depan Mirelle.
"Seribu maaf, saya tak melihat Anda tadi."
Dengan tak sabaran penari itu membalas sapaan itu. Jelas bahwa dia tak senang percakapannya terganggu. Poirot cepat arif. Papopolous bergumam.
"Tentu -tentu,"
Dan Poirot menarik diri. Diambilnya mantel Zia, lalu mereka keluar, ke taman.
"Di sinilah orang biasanya membunuh diri,"
Kata Zia. Poirot mengangkat bahunya.
"Begitu kata orang. Manusia memang bodoh bukan, Mademoiselle? Makan, minum, menghirup udara segar, bukankah itu menyenangkan, Mademoiselle. Sungguh tolol kalau orang mau meninggalkan itu semua hanya karena tak punya uang -atau karena hati yang sakit. Cinta itu mendatangkan banyak bahaya, bukan?"
Zia tertawa.
"Anda tak boleh menertawakan cinta, Mademoiselle,"
Kata Poirot, sambil mengguncang-guncangkan telunjuknya ke arah wanita itu.
"Anda masih muda dan cantik."
"Tidak lagi,"
Kata Zia.
"Anda lupa bahwa umur saya sudah tiga puluh tiga tahun, M. Poirot. Dengan Anda saya berterus terang, karena tak ada gunanya berbohong. Sebagaimana Anda katakan pada Ayah, memang tepat tujuh belas tahun yang lalu Anda membantu kami di Paris."
"Rasanya belum sampai sekian lamanya, bila saya melihat Anda,"
Kata Poirot dengan jantan.
"Waktu itu Anda sama benar dengan sekarang, Mademoiselle, hanya agak kurus, agak pucat, dan lebih serius. Baru berumur enam belas tahun dan baru kembali dari sekolah berasrama. Tidak seperti anak kecil di asrama, belum pula wanita dewasa. Anda waktu itu menggairahkan, menarik, Mademoiselle Zia -orang-orang lain pasti juga berpendapat demikian."
"Waktu berumur enam belas, pikiran orang masih pendek dan tolol,"
Kata Zia.
"Mungkin saja,"
Kata Poirot.
"Ya, mungkin saja. Waktu berumur enam belas, orang mudah percaya, bukan? Percaya saja apa kata orang lain."
Poirot yang sebenarnya melihat lirikan tajam dari gadis itu, pura-pura tidak menyadarinya. Dia melanjutkan.
"Peristiwa itu memang aneh. Ayah Anda tak pernah mengerti apa yang ada di baliknya, Mademoiselle."
"Tidakkah?"
"Waktu beliau meminta keterangan terperinci, saya berkata begini, 'Saya telah mengembalikan pada Anda apa-apa yang hilang, tanpa timbul skandal. Anda tak boleh bertanya-tanya lagi.' Tahukah Anda mengapa saya berkata begitu, Mademoiselle?"
"Saya tak tahu,"
Kata gadis itu dingin.
"Karena saya kasihan pada seorang gadis kecil dari asrama, yang begitu kurus, pucat, dan serius."
"Saya tak mengerti apa yang Anda katakan ini,"
Kata Zia marah.
"Masa tidak, Mademoiselle. Sudah lupakah Anda pada Antonio Pirezzio?"
Didengarnya suara napas yang tertahan -seperti terengah.
"Dia datang untuk bekerja sebagai asisten di toko, tapi bukan hanya dengan cara begitu dia bisa mendapatkan apa yang diingininya, bukan? Seorang asisten bisa pula main mata dengan putri majikannya, bukan? Apalagi kalau dia muda, tampan, dan bermulut manis. Mereka tentu tak bisa bercintaan terus, mereka kadang-kadang juga membicarakan hal-hal yang mendapatkan perhatian mereka berdua -seperti umpamanya barang yang amat menarik, yang sementara itu ada di tangan M. Papopolous. Dan karena -seperti kata Anda, Mademoiselle -seorang muda itu tolol dan mudah percaya, Anda mudah pula percaya padanya dan bahkan memperlihatkan padanya di mana barang istimewa itu disimpan. Dan setelah barang itu hilang -setelah bencana besar yang tak masuk akal itu terjadi -aduh! -kasihan anak asrama itu. Betapa mengerikan kedudukannya. Dia ketakutan, si kecil malang itu. Bicara atau tidak? Lalu datanglah orang hebat itu, Hercule Poirot. Seperti suatu mukjizat saja, bagaimana penyelesaian-penyelesaian terjadi. Barang-barang warisan yang tak ternilai harganya itu kembali dan tak ada pula pertanyaan yang akan membuka rahasia."
Zia berpaling padanya dengan geram.
"Jadi selama ini Anda tahu? Siapa mengatakannya pada Anda? Apakah -apakah Antonio?"
Poirot menggeleng.
"Tak seorang pun menceritakannya,"
Katanya dengan tenang.
"Saya menerka. Terkaan saya tepat, bukan, Mademoiselle? Soalnya kalau kita tak pandai menerka, tak ada gunanya menjadi detektif."
Beberapa menit lamanya gadis itu berjalan saja di sisinya tanpa berkata apa-apa. Kemudian dia berkata dengan keras.
"Lalu apa yang akan Anda lakukan berhubung dengan hal itu? Apakah akan Anda ceritakan pada Ayah?"
"Tidak,"
Kata Poirot tajam.
"Tentu tidak."
Gadis itu memandangnya dengan heran.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu dari saya?"
"Saya mengharapkan bantuan Anda, Mademoiselle."
"Mengapa Anda beranggapan bahwa saya bisa membantu Anda?"
"Saya tidak beranggapan apa-apa. Saya hanya berharap."
"Dan bila saya tidak membantu Anda, maka -Anda akan mengatakannya pada ayah saya?"
"Tentu saja tidak! Hilangkan pikiran itu. Saya bukan seorang pemeras. Saya tak mau memegang rahasia Anda, lalu mengancam dengan bersenjatakan rahasia itu."
"Bila saya menolak membantu Anda -"
Gadis itu mulai lagi.
"Tolak saja, tidak apa-apa."
"Lalu mengapa -?"
Dia terhenti.
"Dengarkan, saya ceritakan. Kaum wanita itu bersifat pemurah, Mademoiselle. Bila dia bisa memberikan jasa pada orang yang telah berbuat baik padanya, mereka rela memberikan jasa itu. Saya pernah bermurah hati pada Anda, Mademoiselle. Waktu itu saya bisa saja berbicara, tapi saya menutup mulut."
Mereka diam lagi, lalu gadis itu berkata.
"Beberapa hari yang lalu, ayah saya telah memberi Anda petunjuk secara sindiran."
"Beliau memang baik."
"Saya rasa,"
Kata Zia ragu-ragu.
"tak ada lagi yang dapat saya tambahkan pada petunjuk itu."
Poirot tidak memperlihatkan rasa kecewa, kalaupun itu ada. Tak satu pun syaraf mukanya berubah.
"Eh bien!"
Katanya dengan ceria.
"Kalau begitu kita harus berbicara tentang soal-soal lain."
Lalu mulailah dia mengobrol dengan riang. Namun gadis itu seperti orang linglung, dan jawaban-jawabannya diberikannya secara tak sadar dan tak selalu tepat. Waktu mereka tiba di dekat kasino lagi, barulah agaknya gadis itu mengambil keputusan.
"M. Poirot?"
"Ya, Mademoiselle?"
"Saya -saya ingin membantu Anda kalau bisa."
"Anda baik sekali, Mademoiselle -sangat bersahabat."
Keduanya diam lagi. Poirot tak mau mendesak. Dia mau menunggu dan membiarkan sampai Zia mulai sendiri.
"Ah,"
Kata Zia.
"mengapa saya tak boleh menceritakannya pada Anda? Ayah saya sangat waspada -selalu berhati-hati dalam segala ucapannya. Tapi saya tahu bahwa dengan Anda hal itu tak perlu. Anda telah berkata bahwa Anda semata-mata ingin mencari pembunuh itu, dan bahwa Anda tak mau berurusan dengan permata-permata itu. Saya percaya pada Anda. Anda benar, waktu Anda menebak bahwa kehadiran kami di Nice adalah karena permata-permata delima itu. Permata-permata itu telah diserahkan di sini sebagaimana yang direncanakan. Sekarang permata-permata itu ada pada ayah saya. Beberapa hari yang lalu dia telah mengisyaratkan pada Anda siapa nasabah kami yang misterius itu."
"Marquis?"
Gumam Poirot perlahan.
"Benar, Marquis."
"Pernahkah Anda melihat Marquis itu, Mademoiselle Zia?"
"Satu kali,"
Kata gadis itu.
"Tapi tak jelas,"
Tambahnya lagi.
"hanya melalui lubang kunci."
"Itu selalu sulit,"
Kata Poirot penuh pengertian.
"tapi bagaimanapun juga, Anda melihatnya. Akan bisakah Anda mengenalinya kembali?"
Zia menggeleng.
"Dia memakai kedok,"
Dia menjelaskan.
"Tua atau muda?"
"Dia berambut putih. Itu mungkin rambut palsu, mungkin juga bukan. Tapi pas sekali. Saya rasa dia tidak tua. Langkahnya waktu berjalan seperti orang muda, begitu pula suaranya."
"Suaranya?"
Tanya Poirot bersungguh-sungguh.
"Ya, suaranya! Apakah Anda akan bisa mengenalinya kembali, Mademoiselle Zia?"
"Mungkin bisa,"
Kata gadis itu.
"Anda menaruh perhatian padanya, ya? Itukah sebabnya Anda mengintip melalui lubang kunci?"
Zia mengangguk.
"Ya, ya. Saya ingin tahu. Banyak benar yang sudah kita dengar tentang dia -dia bukan pencuri biasa -dia lebih banyak merupakan seorang tokoh dalam sejarah atau cerita roman."
"Ya,"
Kata Poirot merenung.
"ya, mungkin begitu."
"Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan pada Anda,"
Kata Zia.
"Ada satu soal kecil yang saya pikir mungkin -yah -berguna bagi Anda."
"Ya?"
"Seperti kata saya tadi, permata-permata delima itu diserahkan pada ayah saya di Nice ini. Saya tidak melihat orang yang menyerahkannya, tapi -"
"Ya?"
"Satu hal saya tahu. Dia adalah seorang wanita."
Bab 29 SURAT DARI RUMAH "Katherine yang baik, -Karena kau hidup di antara sahabat-sahabatmu yang orang-orang terkemuka sekarang ini, kurasa kau tentu tak ingin lagi mendengar berita dari kami.
Tapi aku selalu berpendapat bahwa kau adalah seorang gadis yang selalu berakal sehat, jadi kurasa barangkali kau tidak akan menjadi terlalu berkepala besar.
Di sini segalanya berjalan seperti biasa saja.
Ada kesulitan besar mengenai pendeta pembantu yang bukan main angkuhnya.
Dalam pandanganku dia tak lebih tak kurang seorang Kristen biasa.
Semua orang sudah berbicara pada pendeta setempat tentang hal itu.
Tapi kau pun tahu siapa pastor kita -tak lain tak bukan amal derma Kristen saja tanpa semangat yang mendalam.
Akhir-akhir ini aku mengalami kesulitan dengan pembantu-pembantu rumah tangga.
Gadis yang bernama Annie itu tak beres -roknya selalu di atas lutut dan tak mau memakai kaus kaki dari wol yang baik itu.
Tak seorang pun mau ditegur.
Aku juga sakit rematik dan Dokter Harris menganjurkan supaya aku pergi berobat pada seorang spesialis di London -yang akan berarti pemborosan tiga guinea ditambah ongkos kereta api, kataku padanya.
Tapi dengan menunggu sampai hari Rabu, aku berhasil mendapatkan kesempatan pergi ke sana dengan ongkos pulang yang murah.
Muka dokter di London itu masam dan bicaranya berputar-putar tak mau berterus terang, sampai akhirnya aku berkata, 'Saya perempuan sederhana, Dokter, dan saya ingin segala sesuatu dijelaskan seterang-terangnya.
Apakah ini kanker atau bukan?' Setelah itu dia baru mengatakannya.
Katanya aku harus berobat terus selama satu tahun, dan jangan menunggu sampai terlalu kesakitan, meskipun aku yakin bahwa aku bisa menanggung sakit.
Hidup ini kadang-kadang terasa sepi, karena kebanyakan sahabat-sahabatku telah meninggal atau pergi.
Aku ingin kau berada di St.
Mary Mead, Sayang.
Seandainya kau tidak mendapatkan uang itu untuk lalu pergi memasuki masyarakat orang-orang terkemuka itu, maka aku akan menawarkan padamu gaji dua kali sebanyak yang dibayar Jane, untuk merawatku.
Tapi yah, sudahlah -tak ada gunanya menginginkan apa yang tak bisa kita dapatkan.
Tapi, siapa tahu nasibmu menjadi buruk -itu mungkin saja.
Aku sering sekali mendengar tentang laki-laki ningrat gadungan yang mengawini gadis-gadis kaya dan mengambil uang gadis itu untuk kemudian meninggalkannya begitu saja.
Aku yakin kau tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi atas dirimu karena kau mempunyai pikiran sehat.
Tapi siapa tahu -dan karena tak pernah mendapatkan perhatian yang cukup besar, aku takut kau lalu gelap mata.
Jadi kalau sampai terjadi apa-apa, Sayang, ingatlah bahwa selalu ada rumah untuk tempatmu kembali -dan meskipun aku hanya seorang perempuan yang bisa bicara apa adanya, aku juga berhati hangat.
Sahabat lamamu yang menyayangimu, Amelia Viner NB.
-Aku melihat namamu tercantum di surat kabar, bersama saudara sepupumu Viscountess Tamplin.
Berita itu kugunting dan kusimpan bersama guntingan-guntinganku yang lain.
Pada hari Minggu aku berdoa semoga kau dihindarkan dari kesombongan dan kebanggaan hampa."
Katherine membaca surat istimewa itu sampai dua kali, lalu diletakkannya dan dia menatap ke air Laut Mediterania yang biru melalui jendela kamar tidurnya.
Dia merasa kerongkongannya tersumbat.
Dia tiba-tiba jadi rindu pada St.
Mary Mead.
Begitu penuh dengan hal-hal kecil yang biasa dan kadang-kadang bodoh -namun -itulah kampung halamannya.
Dia jadi ingin sekali menelungkup dan menangis puas-puas.
Lenox yang pada saat itu masuk, menggagalkan niatnya itu.
"Halo, Katherine,"
Kata Lenox.
"Hai -ada apa?"
"Ah, tak apa-apa,"
Kata Katherine, sambil cepat-cepat mengambil surat Miss Viner dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Kau tadi kelihatan aneh,"
Kata Lenox.
"Anu -kuharap kau tidak keberatan -aku tadi menelepon sahabatmu M. Poirot yang detektif itu dan mengajaknya makan siang bersama kita di Nice. Kukatakan kau ingin bertemu dengan dia, karena kupikir dia mungkin tak mau datang kalau aku yang mengajaknya."
"Jadi kau yang ingin bertemu dengan dia?"
Tanya Katherine.
"Ya,"
Kata Lenox.
"Aku agak jatuh cinta padanya. Selama ini tak pernah aku bertemu dengan laki-laki yang matanya benar-benar hijau seperti mata kucing."
"Baiklah,"
Kata Katherine. Dia berbicara tanpa semangat. Hari-hari terakhir ini banyak guncangannya. Penangkapan atas diri Derek Kettering telah menjadi bahan pembicaraan hangat, dan misteri Kereta Api Biru telah dibahas habis-habisan dari segala segi.
"Sudah kuperintahkan supaya mobil disiapkan,"
Kata Lenox.
"dan Ibu sudah kubohongi -entah aku tak ingat lagi apa -tapi itu tak penting, dia tak pernah ingat. Jika dia tahu akan ke mana kita, dia ingin ikut, untuk memompa berita dari M. Poirot."
Kedua gadis itu tiba di Negresco dan mendapati Poirot sedang menunggu.
Dia menunjukkan kesopanan yang luar biasa, dan mengumbar puji-pujian pada kedua gadis itu, sampai mereka mau tak mau, tertawa -meskipun demikian mereka makan dengan tidak begitu riang.
Katherine banyak termangu dan linglung, sedangkan Lenox tak sudah-sudahnya berbicara.
Waktu mereka sedang duduk di teras menghirup kopi, Lenox tiba-tiba menyerang Poirot dengan terang-terangan.
"Bagaimana perkara itu? Anda tentu tahu maksud saya, bukan?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Semuanya berjalan sebagaimana biasanya,"
Katanya.
"Dan Anda membiarkan hal-hal itu berjalan sebagaimana biasanya saja?"
"Anda masih muda, Mademoiselle, Anda harus tahu bahwa ada tiga hal yang tak dapat diburu-buru -Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan orang-orang tua."
"Omong kosong!"
Kata Lenox.
"Anda tidak tua."
"Ah, menyenangkan sekali kata-kata Anda itu."
"Ini Mayor Knighton,"
Kata Lenox. Katherine cepat menoleh lalu kembali lagi.
"Dia bersama Tuan Van Aldin,"
Sambung Lenox.
"Saya ingin menanyakan sesuatu pada Mayor Knighton. Sebentar, ya?"
Setelah ditinggalkan berduaan, Poirot membungkuk ke arah Katherine dan berkata.
"Anda kelihatan linglung, Mademoiselle -pikiran Anda melayang jauh sekali, bukan?"
"Hanya sampai di Inggris saja, tidak lebih jauh."
Terdorong oleh sesuatu yang tak disadarinya, Katherine mengeluarkan surat yang diterimanya tadi pagi, lalu diberikannya pada Poirot supaya dibaca.
"Itulah berita pertama yang saya terima dari dunia saya yang lama. Jadi bagaimanapun juga saya -merasa sedih."
Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah