Napas Vampir 2
Goosebumps Napas Vampir Bagian 2
"Hmmmm."
"Anda harus mengantar kami pulang,"
Ujar Kara sambil bertolak pinggang.
"Ya!"
Aku menimpali.
"Anda harus mengantar kami pulang -sekarang juga!"
Pangeran Nightwing menjejakkan kaki ke lantai. Tiba-tiba ia kelihatan sangat letih. Sorot matanya pun meredup. Ia menghela napas.
"Antar kami pulang,"
Kara berkeras.
"Kami takkan memberitahu siapa pun bahwa kami bertemu Anda. Kami akan melupakan semua kejadian ini."
Si vampir tua menyibakkan jubahnya. Ia menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa mengantar kalian pulang,"
Ia berbisik.
"Kenapa tidak?"
Tanyaku. Ia kembali menghela napas.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya."
"Hah?"
Kara dan aku sama-sama memekik tertahan.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mengantar kalian pulang,"
Pangeran Nightwing mengulangi.
"Aku vampir -bukan tukang sulap."
"Tapi -tapi -tapi...,"
Aku mulai tergagap-gagap lagi. Seluruh tubuhku gemetar tak terkendali.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?"
Jerit Kara. Si vampir tua angkat bahu.
"Sebenarnya tak jadi soal,"
Sahutnya pelan-pelan.
"Sama sekali tidak jadi soal. Begitu aku menemukan gigi taringku, aku akan mengisap darah kalian. Dan setelah itu kalian akan berubah menjadi vampir."
Chapter 16
"TAPI kami mau pulang!"
Teriakku.
"Enak saja. Kami tidak mau jadi vampir!"
Kara memprotes.
"Ini tidak adil! Kami sudah membantu Anda. Sekarang Anda harus membantu kami!"
Si vampir tua tidak mendengarkan protes kami. Dalam cahaya obor yang berkerlap-kerlip, aku melihat pandangannya menerawang jauh.
"Napas Vampir,"
Ia berbisik.
"Aku membutuhkannya -sekarang juga."
"Antar kami pulang -sekarang juga!"
Kara menghardik.
"Jangan banyak alasan. Antar kami pulang!"
Saking marahnya, tanganku sampai mengepal! Habis, kami sudah membantu si vampir tua pulang ke kastilnya.
Tapi ternyata ia malah menipu kami.
Ia justru mau menggigit leher Kara dan aku agar kami berubah menjadi vampir.
Kami akan ditahan selama-lamanya di sini.
Aku mencoba membayangkan bagaimana rasanya tinggal di kastil ini.
Tidur sepanjang hari di dalam peti mayat.
Bangun setelah gelap, lalu berubah menjadi kelelawar.
Lalu terbang malam demi malam untuk mencari korban yang bisa digigit.
Begitu terus selama-lamanya.
Cuma membayangkannya saja sudah membuatku gemetaran.
Mulai sekarang aku takkan pernah lagi mengeluh kalau harus menjaga Tyler, kataku dalam hati.
Tiba-tiba jantungku nyaris copot ketika aku sadar.
bisa jadi aku takkan pernah bertemu lagi dengan Tyler Brown.
Atau dengan Mom dan Dad.
Atau dengan teman-temanku.
"Anda harus mengantar kami pulang!"
Aku berseru kepada Pangeran Nightwing.
"Harus!"
Si vampir tua berjalan mondar-mandir di hadapan kami. Obor di tangannya berkerlap-kerlip. Ia sama sekali tidak memedulikan kami. Tampaknya ia tidak ingat bahwa Kara dan aku ada di situ.
"Napas Vampir,"
Ia kembali berkata.
"Aku butuh Napas Vampir."
Di mana botol itu? aku bertanya-tanya. Botol itu ada di tanganku ketika kami membukanya di ruang kecil tadi. Aku mulai mencari-cari di lantai. Tapi botol biru itu tidak kelihatan.
"Kenapa Anda membutuhkannya?"
Tanya Kara. Si vampir tua memandang Kara sambil memicingkan mata.
"Kalau lagi bangun, vampir butuh Napas Vampir setiap hari,"
Ia berkata lambat-lambat.
"Kami tidak bisa hidup hanya dengan darah."
Kara dan aku menatapnya, menunggu penjelasan selanjutnya.
"Kami semua tinggal bersama-sama di sini, di kastilku,"
Pangeran Nightwing menerangkan dengan suara parau.
"Masing-masing punya botol sendiri. Dan kami selalu menjaganya baik-baik."
Ia menghela napas.
"Tapi sekarang aku ingat lagi...persediaan kami sudah mulai menipis. Botolku tinggal satu. Aku harus mendapatkannya. Harus!"
"Tapi apa manfaat Napas Vampir sebenarnya?"
Tanyaku.
"Napas Vampir adalah segala-galanya bagi vampir,"
Sang pangeran menjawab.
"Berkat Napas Vampir, kami bisa melakukan perjalanan waktu. Kami jadi tidak tampak oleh mata manusia. Napas Vampir membuat kulit kami bersih dan licin. Napas Vampir memberi kami energi. Membantu kami tidur. Mencegah tulang-tulang jadi keropos. Dan juga mengharumkan napas!"
"Wow!"
Aku bergumam sambil geleng-geleng kepala.
"Tapi, apa hubungannya dengan gigi taring Anda yang hilang?"
Kara mendesak.
"Napas Vampir memulihkan daya ingat,"
Ujar si vampir.
"Kami hidup ratusan tahun, jadi ada saja hal yang terlupakan.
"Napas Vampir membantuku mengingat di mana kusimpan taringku."
Ia berbalik. Lalu menatapku.
"Botolnya. Kau masih pegang botolnya?"
Aku mulai merasakan kekuatan matanya yang bersinar keperakan. Mata itu seakan-akan membakar mataku, merasuk ke dalam jiwaku.
"T-tidak...!"
Aku tergagap-gagap.
"Botolnya tidak ada padaku."
"Tapi percuma saja!"
Seru Kara.
"Botol itu kan sudah kosong. Isinya kita habiskan supaya Anda bisa pulang ke sini."
Pangeran Nightwing langsung menggelengkan kepala.
"Itu terjadi di masa depan,"
Katanya ketus.
"Lebih dari seratus tahun dari sekarang. Ingat, ini tahun 1880. Botolnya masih penuh sekarang."
Kepalaku serasa berputar-putar. Aku bersandar ke salah satu peti mayat dan berusaha memahami ucapan si vampir tua. Pangeran Nightwing mulai mondar-mandir lagi sambil mengusap-usap dagu.
"Botol itu kusembunyikan di suatu tempat,"
Ia bergumam.
"Aku menyembunyikannya supaya yang lain tidak bisa menemukannya sementara aku tidur siang. Tapi di mana? Di mana aku menyembunyikan botol itu? Aku harus mendapatkannya. Harus!"
Ia berpaling dari kami. Jubah ungunya yang panjang berkibarkibar di belakangnya. Cahaya obor yang berwarna jingga tampak menari-nari di dinding ketika ia melayang ke arah pintu.
"Di mana? Di mana?"
Ia bertanya pada dirinya sendiri sambil menggelengkan kepala. Beberapa detik kemudian ia menghilang. Tinggallah Kara dan aku berdiri di tengah deretan peti mayat. Kara menghela napas. Ia menggerakkan dagu ke arah peti-peti itu.
"Moga-moga aku dapat tempat di dekat jendela,"
Ia berkelakar.
"Aku suka udara segar."
Aku menegakkan badan dan memukul ujung peti dengan kesal.
"Ini tidak masuk akal!"
Seruku.
"Umurku baru dua belas,"
Kara mengeluh.
"Aku belum siap mati, lalu hidup untuk selama-lamanya!"
Aku menelan ludah.
"Kau tahu kan, apa yang harus kita lakukan?"
Ujarku.
"Kita harus menemukan Napas Vampir itu sebelum Pangeran Nightwing. Kalau dia lebih cepat dari kita, dia akan memperoleh gigi taringnya kembali. Dan itu berarti kita bakal celaka."
"Aku tidak setuju,"
Balas Kara.
"Aku punya rencana yang jauh lebih baik."
"Rencana yang lebih baik? Rencana apa itu?"
Aku langsung mendesaknya. Chapter 17 KARA melirik ke pintu, lalu kembali menatapku.
"Kita harus lari dari sini,"
Katanya.
"Itu rencanamu?"
Aku berseru.
"Cuma begitu?"
Ia mengangguk dan menempelkan telunjuk ke bibir.
"Barangkali kita bisa cari pertolongan kalau kita lari dari kastil ini,"
Ia menjelaskan.
"Kalau kita tetap di sini, kita pasti celaka. Kita akan terus berada dalam kekuasaan Pangeran Nightwing."
"Tapi siapa yang bisa menolong kita?"
Ujarku.
"Jangan lupa -kita berada seratus tahun di masa lalu! Memangnya ada orang di luar kastil ini yang bisa menolong kita kembali ke masa depan?"
"Entahlah,"
Sahut Kara sambil menghela napas.
"Aku cuma tahu bahwa kita tidak punya kesempatan sama sekali kalau kita tetap berada di kastil seram ini."
Sebenarnya aku masih ingin membantah. Tapi tak ada lagi yang terpikir olehku. Kara benar. Kami memang harus melarikan diri.
"Ayo,"
Ia berbisik. Ia meraih tanganku dan menarikku menyusuri deretan peti mayat. Aku menahannya.
"Mau ke mana kita?"
Ia menunjuk.
"Ke jendela. Siapa tahu kita bisa memanjat keluar lewat jendela."
Ruangan itu sama panjangnya dengan gedung olahraga sekolah kami.
Kami berjalan di antara kedua deretan peti mayat yang terbuka.
Aku tak bisa mengalihkan mata dari peti-peti mayat itu.
Itu tempat tidur vampir.
Kata-kata itu terngiang-ngiang dalam benakku sementara kami menuju ke jendela.
Bisa jadi Kara dan aku juga bakal tidur di situ.
Aku merinding.
Lalu aku berhenti berjalan.
"Kara, lihat."
Aku menunjuk jendela di atas.
"Kita cuma buang-buang waktu."
Ia mendesah. Ia langsung tahu apa maksudku. Jendela besar itu berada jauh di atas lantai. Jauh di luar jangkauan tangan kami. Kami takkan bisa mencapainya, bahkan dengan bantuan tangga sekalipun.
"Satu-satunya cara untuk keluar lewat jendela itu adalah terbang,"
Kataku. Kara mengerutkan kening dan menatap jendela itu.
"Mogamoga kita tidak perlu menghabiskan sisa hidup kita sebagai kelelawar yang keluar-masuk lewat jendela itu."
"Pasti ada cara lain untuk keluar dari sini,"
Aku berkata sambil memaksakan nada riang.
"Ayo. Kita cari pintu depan."
"Freddy -jangan!"
Kara segera mencegahku.
"Kita tidak bisa mondar-mandir di lorong-lorong. Pangeran Nightwing akan memergoki kita."
"Kita akan berhati-hati,"
Sahutku.
"Ayo, Kara. Kita cari jalan keluar dari sini."
Kami berbalik dan berlari, kembali menyusuri deretan peti mayat.
Kami bergegas melalui pintu yang terbuka.
Dan keluar ke lorong panjang yang remang-remang.
Lorong itu seakan-akan membentang sejauh ratusan kilometer.
Di sepanjang sisinya terdapat pintu-pintu kayu berwarna gelap.
Di atas setiap pintu ada lampu gas yang memancarkan cahaya kekuningan.
Sepatuku setengah terbenam di karpet tebal berwarna biru.
Udara berbau masam.
Aku menoleh ke arah ruang peti mayat.
Sebuah patung batu yang seram menatapku dari atas pintu.
Aku mengalihkan mata, lalu memandang ke kiri-kanan.
"Ke arah mana?"
Bisikku. Kara angkat bahu.
"Ke mana saja. Kita harus mencari pintu atau jendela yang menghadap keluar."
Tanpa bersuara kami berjalan melintasi karpet yang tebal.
Lampu-lampu gas di atas pintu-pintu menghasilkan cahaya redup dan suram.
Kara dan aku berhenti di depan pintu pertama.
Aku meraih pegangannya yang terbuat dari kuningan, dan memutarnya.
Pintu itu berderak-derak ketika kubuka.
Kami mengintip ke sebuah ruangan besar berbentuk bujur sangkar yang berisi berbagai perabot.
Tapi semua perabot itu diselubungi seprai berwarna putih.
Sejumlah kursi tampak bagaikan hantu di samping sofa panjang yang terbungkus kain.
Di sudut ruangan, di dekat perapian, ada sebuah jam besar.
Kara menunjuk tirai tebal berwarna hitam yang menutupi dinding di seberang pintu.
"Pasti ada jendela di situ. Ayo, kita periksa."
Kami berlari melintasi ruangan. Tapi kakiku tergelincir. Aku menunduk, dan melihat seluruh lantai tertutup lapisan debu setebal hampir dua senti.
"Sepertinya ruangan ini sudah lama tidak dipakai,"
Aku berkomentar. Kara tidak menyahut. Ia meraih tirai yang tebal dan menariknya keras-keras. Aku mengulurkan tangan untuk membantunya. Tirai itu bergeser. Di baliknya ternyata ada jendela yang juga penuh debu.
"Yes!"
Aku berseru.
"Jangan senang dulu, kata Kara mengingatkan. Aku langsung melihat apa maksudnya. Jendela itu diamankan dengan terali hitam yang kokoh.
"Ahhh!"
Kara menutup tirai kembali sambil mengerang kesal.
Kami keluar dari ruangan itu, kembali ke lorong dan mencoba pintu di seberang.
Kali ini kami masuk ke sebuah ruangan kecil yang penuh koper dan tas.
Semuanya ditumpuk-tumpuk sampai ke langit-langit.
Ruangan itu tak berjendela.
Di ruangan berikutnya kami menemukan meja kayu besar serta rak-rak berisi buku-buku tua.
Satu-satunya jendela tertutup tirai hitam yang tebal.
Aku segera menarik tirai itu -dan melihat jendela yang penuh debu.
Tapi jendela ini juga diamankan dengan terali hitam.
"Aneh,"
Aku bergumam.
"Kastil ini seperti penjara,"
Kara berbisik dengan suara gemetar. Matanya membelalak karena ngeri.
"Tapi pasti ada jalan keluar dari sini."
Kami kembali ke lorong yang panjang. Aku berhenti ketika mendengar kepak sayap. Sayap kelelawar? Apakah vampir-vampir itu sudah pulang? Kara juga mendengarnya.
"Cepat,"
Ia berbisik.
Kami membuka pintu berikut.
Terburu-buru kami masuk.
Pintunya langsung kututup lagi.
Kemudian aku berbalik dan melihat bahwa kami berada di ruang makan yang luas.
Sebuah meja panjang membentang dari ujung ke ujung.
Tak ada apa-apa di atasnya selain tempat lilin di tengah-tengah.
Aku melihat beberapa lilin putih yang sudah hampir terbakar habis.
Semuanya terselubung debu tebal.
"Sudah lama tidak ada yang makan di sini,"
Aku bergumam. Kara bergegas menuju ke jendela. Ia segera membuka tirai -dan lagi-lagi berhadapan dengan jendela berterali.
"Ahhhh!"
Ia menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi.
"Setiap jendela pasti ada teralinya!"
Ia meraung-raung.
"Kita tidak bisa terus mondar-mandir di lorong. Cepat atau lambat kita pasti kepergok."
Aku menatap meja makan yang penuh debu. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
"Hei -vampir kan tidak pernah makan,"
Ujarku.
"Memangnya kenapa?"
Tanya Kara. Dengan kesal ia memukulmukul tirai hitam yang tebal itu.
"Jadi, kemungkinan besar mereka tak pernah masuk dapur,"
Aku melanjutkan.
"Kita akan aman di situ. Siapa tahu ada pintunya. Mungkin..."
Kara menghela napas.
"Mungkin. Mungkin. Mungkin."
Ia menggelengkan kepala dengan putus asa.
"Pasti ada ribuan ruangan di kastil seram ini. Bagaimana cara kita bisa menemukan dapur?"
Aku menyentuh bahunya dan menggiringnya ke pintu.
"Ini ruang makan, kan? Mungkin dapurnya tidak terlalu jauh dari sini."
"Mungkin mungkin mungkin,"
Ia menggerutu dengan getir.
Aku menggiringnya ke lorong, kemudian mengajaknya ke pintu berikut.
Kami membukanya dan mengintip ke dalam.
Bukan.
Ternyata bukan dapur.
Tergesa-gesa kami menyusuri lorong sambil membuka pintu demi pintu.
Sebentar-sebentar kami menoleh ke belakang karena takut kepergok Pangeran Nightwing.
Kami hanya bisa berharap ia tidak menemukan kami.
Kami membelok.
Dan memasuki lorong yang lebih sempit dan lebih gelap.
Aku membuka pintu pertama.
Yaaa! Sebuah dapur kuno dengan tungku dan tumpukan kayu bakar.
Panci-panci dan pot-pot yang hitam karena jelaga tampak bergantungan di dinding di samping tungku.
Aku memandang berkeliling.
Dan melihat jendela dapur yang lebar.
Tak ada tirai.
Dan tak ada terali! "Horeee!"
Kara bersorak-sorai. Serta-merta kami berlari menghampiri jendela. Bisakah jendela itu dibuka? Kami berusaha mengangkatnya dari bawah. Tapi tak ada pegangan, tak ada tempat untuk memegang bingkainya.
"Pecahkan saja!"
Seru Kara.
"Pecahkan saja jendelanya!"
Aku berlari ke dinding dan meraih kuali logam yang berat. Aku membawanya ke jendela. Mengambil ancang-ancang. Bersiap-siap untuk mengayunkannya.
"Oh!"
Aku memekik ketika tiba-tiba terdengar suara batuk. Di belakang kami. Di lorong.
"Dia datang,"
Bisikku.
"Itu pasti Pangeran Nightwing!"
"Pecahkan jendelanya!"
Kara mendesak.
"Jangan. Dia akan mendengar bunyinya! Dia akan menemukan kita!"
Balasku. Aku menurunkan kuali itu. Dan kembali mengamati jendela di hadapan kami. Sekali lagi terdengar suara batuk. Kali ini lebih dekat.
"Lihat,"
Aku berbisik kepada Kara.
"Kurasa jendelanya harus didorong."
Aku mengangkat kedua tangan dan mulai mendorong kaca jendela yang penuh debu.
Aku mendorong dengan sekuat tenaga.
Perlahan-lahan kaca jendela itu bergerak keluar.
Aku terus mendorong sampai kaca itu tak bisa digerakkan lagi.
Embusan udara malam yang dingin menerpaku.
Aku meraih tangan Kara dan membantunya naik.
Sebuah bunyi dari pintu dapur membuatku tersentak kaget.
"Cepat...!"
Bisikku.
"Dia sudah datang!"
Jantungku berdegup kencang ketika aku mendorong Kara ke jendela. Terburu-buru kami memanjat ke ambang jendela. Chapter 18
"APAKAH dia melihat kita? Apakah dia sempat melongok ke dapur?"
Bisik Kara.
"Entahlah,"
Sahutku.
"Aku tidak sempat melihatnya. Tapi yang jelas, dia sedang berada di lorong."
"Kalau dia melihat kita...."
Ujar Kara.
Tapi sisa kalimatnya hilang terbawa angin yang tiba-tiba berembus kencang.
Udara malam terasa sejuk dan menyegarkan di kulitku.
Bulan terselubung awan tebal, sehingga suasananya gelap gulita.
Kami berlutut sambil merapatkan punggung ke dinding dapur.
Aku meringkuk di samping Kara, dan berusaha menjaga keseimbangan di ambang jendela yang sempit.
"Ayo,"
Aku mendesak. Kami berbalik dan menghadap ke dalam ruangan. Kemudian, sambil memegang bingkai jendela dengan kedua tangan, kami mulai menurunkan kaki untuk mencapai tanah. Turun. Turun....
"Hei...!"
Aku memekik ketika kakiku tak kunjung menginjak tanah.
Seberkas sinar bulan menembus lapisan awan.
Aku memandang ke bawah.
Dan langsung menjerit karena panik.
Kakiku menggelantung di udara.
Tanganku berpegangan pada bingkai jendela di atas kami.
Jauh di bawah aku melihat batu-batu karang yang berkilau redup dalam cahaya bulan.
Jauh di bawah! Berkilometer-kilometer di bawah! "K-kita berada di puncak tebing!"
Kara tergagap-gagap.
"Kastilnya -dibangun di atas tebing!"
"Ohhh!"
Aku mengerang ketakutan. Kastil itu ternyata dibangun di puncak tebing karang yang tegak lurus. Dan kami bergelantungan di sisinya.... Lenganku mulai pegal. Aku merasakan tanganku mulai merosot dari bingkai jendela di atas.
"Kara...!"
Aku memekik tertahan.
Chapter 19 TANGANKU mencakar-cakar tembok batu yang gelap.
Aku berjuang untuk meraih sesuatu -apa saja.
Tapi tubuhku meluncur terlalu cepat.
Kakiku menendang-nendang.
Tanganku berayun-ayun.
Angin menyambar seakan-akan hendak mendorongku kembali ke atas.
Siapa itu yang melolong-lolong? Aku? Dan kemudian, sekonyong-konyong, aku berhenti.
Berhenti menjerit.
Berhenti meluncur.
Sebuah bayangan hitam menyelubungiku.
Sesuatu yang runcing mencengkeram pundakku.
Tengkukku terkena embusan napas panas.
Aku mendengar bunyi berkepak.
Dan detak jantung yang berdegup-degup.
Tubuhku diangkat oleh bayangan gelap yang menyergapku.
Aku menoleh -dan melihat sepasang mata merah yang menyala-nyala.
Embusan napas panas tadi berasal dari mulut yang menganga.
Astaganaga! Aku mau dimakan! pikirku.
Aku terperangkap di dalam bayangan bermata merah ini.
Aku berada dalam cengkeramannya dan ia membawaku semakin tinggi.
Semakin tinggi.
Dan kemudian aku dikelilingi kegelapan.
Aku mendarat, entah di mana.
Mendarat dalam posisi berdiri.
Aku membuka mata dan melihat Kara.
Mulutnya terbuka lebar karena bingung.
"Freddy..."
Ia memanggil dengan suara serak.
"Freddy...?"
Aku berpaling ke jendela yang terbuka dan melihat kelelawar raksasa yang baru saja membawaku kembali ke dapur.
Sayapnya mengepak-ngepak dan membentur-bentur lantai.
Matanya yang merah menyorot tajam dari wajahnya yang mengerikan.
Ia menyelamatkan kami! aku menyadari.
Aku jatuh berlutut.
Aku berpegangan pada tepi tempat tungku untuk menjaga keseimbangan.
Kau tidak apa-apa.
Kau tidak apa-apa, aku berkata dalam hati.
Sekali lagi aku memandang ke arah kelelawar raksasa yang telah menyelamatkanku.
Makhluk itu mulai mengerut sambil membungkus tubuhnya dengan sayapnya yang hitam.
Kedua sayap itu berubah menjadi jubah.
Jubah berwarna ungu.
Dan ketika jubah itu tersibak ke belakang, Pangeran Nightwing pun muncul.
"Kau telah membuat kesalahan besar, anak muda,"
Ujarnya dingin. Matanya yang aneh seakan-akan hendak membakar mataku.
"Kaupikir kau bisa terbang?"
Ia bertanya dengan nada mengejek.
"Belum waktunya kau belajar terbang -belum!"
"A-a-a-a..."
Seluruh tubuhku gemetaran, sehingga aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Kalau kalian sudah menjadi vampir, kalian boleh terbang setiap malam,"
Seru Pangeran Nightwing. Ia merapatkan wajahnya ke wajahku. Saking dekatnya, aku bisa mencium bau kulitnya yang apak.
"Jangan coba-coba melarikan diri lagi,"
Ia menggeram.
"Itu hanya buang-buang waktu. Dan lain kali... aku takkan menyelamatkan kalian."
Aku menelan ludah.
Aku menahan napas seraya berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
Pangeran Nightwing berpaling dariku.
Ia menyibakkan jubah ungunya ke belakang, lalu melayang melewati Kara.
Tapi kemudian ia berhenti di pintu dan berbalik.
"Jangan bengong saja,"
Ia berkata ketus.
"Bantu aku mencari Napas Vampir. Aku tahu botol itu ada di dekat-dekat sini."
Ia memegang lehernya yang pucat.
"Aku haus sekali... haus sekali."
Matanya yang keperakan menatap kami bergantian.
"Aku harus ingat di mana aku menyimpan taringku. Cepat. Bantu aku mencari Napas Vampir. Botolnya pasti di sekitar sini."
Kara dan aku tidak punya pilihan. Ia berdiri di ambang pintu, menunggu kami mengikutinya. Aku bangkit dan menyusul Kara yang sudah lebih dulu keluar ke lorong.
"Barangkali botolnya kusembunyikan di ruang tamu kerajaan,"
Pangeran Nightwing berkata pada dirinya sendiri.
Ia membuka sebuah pintu dan segera masuk ke ruangan itu.
Kara dan aku menunggu.
Lorong seakan-akan membentang tak berujung di hadapan kami.
Dan ada begitu banyak pintu.
Dan ini baru salah satu bagian dari kastil si vampir tua.
"Kau baik-baik saja?"
Kara bertanya sambil mengamatiku.
"Kelihatannya kau masih gemetaran."
"Aku memang masih agak kaget,"
Aku mengakui.
"Siapa yang tidak kaget kalau jatuh dari tebing?!"
Kara menggelengkan kepala.
"Lari dari sini ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan."
"Kita tidak bisa lari,"
Sahutku.
"Kastil ini sengaja dibangun di atas tebing supaya tak ada yang bisa lari."
Ia menyibak sejumput rambut yang jatuh ke depan matanya.
"Kita tidak boleh menyerah, Freddy. Kita harus berusaha terus. Kalau dia sampai menemukan gigi taringnya, kita bakal diubah jadi vampir."
"Karena itulah rencanaku yang pertama lebih baik,"
Aku berkeras.
"Kita harus menemukan botol Napas Vampir itu sebelum dia. Siapa tahu kita beruntung. Siapa tahu kita yang lebih dulu menemukannya."
"Tapi, apa yang akan kita lakukan kalau kita sudah menemukannya?"
Tanya Kara.
"Kita jaga botol itu agar jangan sampai jatuh ke tangannya!"
Jawabku. Aku menarik Kara ke ruangan berikut. Kami sama-sama memekik kaget ketika melihat deretan peti mayat. Lusinan peti mayat. Semua ditata rapi dalam empat deretan sepanjang ruangan. Dan semuanya terbuka.
"Lagi-lagi kamar tidur vampir!"
Seru Kara. Tubuhnya gemetar.
"Aku benar-benar ngeri, Freddy. Coba lihat, betapa banyak peti mayat di sini."
"Semua vampir sedang berkeliaran di luar, beterbangan kian kemari untuk mencari darah,"
Aku berkata.
"Tapi, tidak lama lagi mereka akan pulang. Dan kalau mereka melihat kita...."
Kara menelan ludah.
"Bisa-bisa mereka menganggap kita hidangan pencuci mulut!"
"Ehm... mungkin lebih baik kalau kita mencari botol itu di ruangan lain saja,"
Aku mengusulkan.
"Jauh dari peti-peti mayat ini."
Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu. Sebuah peti mayat yang merapat ke dinding. Sebuah peti mayat yang tertutup.
"Kara -coba lihat, tuh!"
Aku berbisik sambil menunjuk.
"Semua peti mayat lainnya ditinggalkan dalam keadaan terbuka. Itu satusatunya peti mayat yang tertutup. Jangan-jangan...?"
Kara mengamati peti mayat itu dengan mata terpicing.
"Aneh,"
Ia bergumam.
"Aneh sekali."
Bermacam-macam pikiran mulai berseliweran dalam benakku.
"Mungkin peti mayat itu kosong,"
Ujarku penuh semangat.
"Mungkin tak ada yang tidur di situ. Berarti tempat itu sempurna sekali. Sempurna untuk menyembunyikan sebotol Napas Vampir."
Kara menahanku.
"Tapi mungkin juga ada vampir yang masih tidur,"
Ia mewanti-wanti.
"Kalau peti mayat itu kita buka, dan ternyata dia bangun..."
Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Kita harus memeriksanya!"
Aku berseru.
"Kita harus berani ambil risiko."
Perlahan-lahan kami menghampiri peti mayat itu.
Aku menatap tutupnya yang terbuat dari kayu gelap yang mengilap karena dipoles.
Dengan hati-hati aku meraba permukaan kayu yang licin.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, kami masing-masing meraih pegangan peti.
Dan dengan waswas kami mengangkat tutup peti mayat itu.
Chapter 20 TUTUP peti mayat itu ternyata cukup berat.
Kara dan aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk membukanya.
Aku berpaling ke pintu untuk memastikan Pangeran Nightwing tidak datang kemari.
Ia tidak kelihatan.
Kemudian aku menegakkan badan dan mengintip ke peti mayat itu.
Bagian dalamnya dilapisi kain laken berwarna hijau tua.
Aku jadi teringat pada meja biliar di ruang bawah tanah rumahku.
Aku menghela napas.
Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah aku bakal melihat ruang bawah tanah itu lagi.
"Kosong,"
Kara bergumam.
"Cuma peti mayat yang kosong."
"Kita harus mencari terus,"
Ujarku. Aku sudah hendak menjauhi peti mayat itu ketika aku tiba-tiba melihat sebuah lipatan. Sebuah lipatan di sisi peti mayat. Seperti lipatan di sisi koper. Lipatan itu tampak agak menggembung.
"Hei! Tunggu dulu,"
Kataku. Kara sudah hampir sampai di pintu. Aku merogoh lipatan itu. Dan mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna biru.
"Kara -lihat!"
Seruku. Aku sampai lupa merendahkan suara agar tidak menarik perhatian Pangeran Nightwing.
"Aku menemukannya! Napas Vampir!"
Kara langsung tersenyum lebar. Matanya tampak bersinar-sinar.
"Bagus!"
Ia berseru.
"Bagus sekali! Sekarang kita harus menyembunyikan botol itu dari Pangeran Nightwing. Di suatu tempat yang takkan pernah ia temukan."
Aku mengangkat botol itu dan mengamatinya dengan saksama.
"Bagaimana kalau botolnya kita buka saja, dan isinya kita tuangkan semua,"
Aku mengusulkan. Kara bergegas menghampiriku.
"Waktu kita membukanya tadi, kita mundur seratus tahun ke masa lalu,"
Ujarnya berapi-api.
"Mungkin kalau dibuka lagi...."
"Kita bakal melompat seratus tahun ke masa depan,"
Aku menyambung.
"Ya! Pangeran Nightwing kan sempat bilang bahwa Napas Vampir berguna untuk melakukan perjalanan waktu. Mungkin kalau botolnya kita buka lagi, kita bakal kembali ke ruang bawah tanah di rumahku."
Kami sama-sama menatap botol biru itu.
Mana yang lebih baik? Menyembunyikan botol itu agar si vampir tua tidak bisa mendapatkan gigi taringnya kembali? Atau membukanya, sambil berharap kabut yang bergulung-gulung itu akan membawa kami pulang ke zaman kami sendiri? Kara menggenggam botol itu erat-erat.
Tangannya yang satu lagi meraih tutup kaca yang menyumbat leher botol.
Ia mulai menariknya -tapi lalu berhenti.
Kami bertukar pandang.
Ia tampak ragu-ragu.
"Lakukan saja,"
Aku akhirnya berbisik.
Kara mengangguk.
Ia kembali menarik sumbat kaca itu.
Tapi sekali lagi ia berhenti.
Dan menahan napas.
Dari sudut mata aku melihat sesuatu bergerak.
Aku juga mendengar suara langkah pelan di lantai.
Dan aku sadar kami tak lagi sendirian di ruangan ini.
Chapter 21 AKU segera berbalik.
Kusangka aku akan melihat Pangeran Nightwing berdiri di belakang kami.
"Oh!"
Aku berseru kaget ketika melihat seorang gadis kecil muncul dari bayang-bayang.
Matanya yang biru pucat tampak terbelalak lebar.
Sepertinya ia sama kagetnya seperti kami! Ketika ia menghampiri kami, aku melihat rambutnya panjang pirang dan keriting.
Ia mengenakan baju terusan abu-abu berpotongan kuno, dengan blus putih di dalamnya.
Usianya kira-kira sebaya dengan kami, pikirku.
Tapi ia berasal dari zaman yang lain.
Gadis itu berhenti beberapa peti mayat jauhnya dari kami.
"Siapa kalian?"
Ia bertanya sambil mengamati kami dengan curiga.
"Sedang apa kalian di sini?"
"K-kami tidak tahu,"
Aku tergagap-gagap.
"Kami tahu siapa kami. Tapi kami tidak tahu kenapa kami bisa ada di sini!"
Kara meralat.
"Kami tidak sengaja sampai di sini,"
Aku menambahkan. Gadis itu tetap kelihatan bingung. Ia menyelipkan tangan ke kantong bajunya.
"Kau sendiri siapa?"
Tanya Kara. Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia terus menjaga jarak dan menatap kami dengan matanya yang biru pucat.
"Gwendolyn,"
Ia akhirnya berkata.
"Namaku Gwendolyn."
"Kau salah satu dari mereka?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Gwendolyn merinding.
"Bukan,"
Ia segera menyahut, lalu menyeringai dengan geram.
"Bukan. Aku benci mereka!"
Ia berseru.
"Aku benci mereka semua."
Kara bergerak-gerak gelisah. Botol berisi Napas Vampir diserahkannya padaku. Botol itu terasa dingin dan lembap. Aku cepatcepat menyembunyikannya agar tidak terlihat oleh Gwendolyn.
"Kau tinggal di sini?"
Kara bertanya pada gadis itu.
"Kau saudara Pangeran Nightwing?"
Roman muka Gwendolyn semakin getir.
"Bukan,"
Ujarnya dengan suara parau. Matanya berkaca-kaca.
"Aku ditawan di sini. Umurku baru dua belas. Tapi mereka memperlakukanku seperti budak."
Sebutir air mata mengalir di pipinya yang pucat.
"Seperti budak,"
Ia mengulangi dengan suara bergetar.
"Kalian tahu apa yang harus kulakukan? Aku dipaksa membersihkan dan memoles peti mayat mereka, siang dan malam."
"Idih,"
Kara bergumam. Gwendolyn menghela napas. Ia menyibakkan rambutnya yang pirang dan menyeka air mata dari pipinya.
"Siang dan malam. Di kastil ini ada selusin ruangan berisi peti mayat berderet-deret. Dan semuanya harus kubersihkan dan kupoles sampai mengilap untuk para vampir."
"Bagaimana kalau kau menolak tugas itu?"
Aku bertanya.
"Kau kan bisa bilang pada Pangeran Nightwing bahwa kau tak mau mengerjakannya?"
Gwendolyn tertawa getir.
"Kalau menolak, dia akan mengubahku jadi vampir."
Ia kembali gemetaran.
"Lebih baik aku membersihkan peti mayat daripada jadi vampir."
"Apakah kau tidak bisa melarikan diri?"
Aku bertanya. Sekali lagi ia tertawa getir.
"Melarikan diri? Kalau pun aku bisa lolos dari sini, mereka pasti akan melacakku. Mereka berubah jadi kelelawar, dan mengejarku. Dan mereka akan mengisap darahku sampai aku jadi salah satu dari mereka."
Aku menelan ludah. Aku kasihan sekali padanya. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Tempat kami bukan di sini,"
Kara berkata sambil melirik ke pintu.
"Kami tidak sengaja dibawa Pangeran Nightwing kemari. Apakah kau bisa menolong kami? Barangkali kau tahu bagaimana kami bisa lari dari sini?"
Gwendolyn menundukkan kepala. Sepertinya ia sedang berpikir.
"Mungkin bisa,"
Ia akhirnya berkata.
"Tapi kita harus hatihati. Kalau sampai kepergok...."
"Kami akan berhati-hati,"
Aku berjanji. Gwendolyn menoleh ke bagian depan ruangan.
"Ikuti aku,"
Ia berbisik.
"Cepat. Sudah hampir fajar. Kalau para vampir pulang dan melihat kalian -kalian pasti celaka. Mereka akan menyergap kalian dan mengisap darah kalian sampai kering. Kalian takkan pernah lagi melihat sinar matahari."
Ia mengajak kami ke lorong.
Kami berhenti sambil merapat ke dinding, dan menoleh ke kiri-kanan.
Pangeran Nightwing tidak kelihatan.
Tapi kami tahu ia ada di sekitar sini.
Kami tahu ia sedang mencari-cari botol berisi Napas Vampir.
Botol yang sedang kugenggam erat-erat.
"Lewat sini,"
Bisik Gwendolyn.
Kami mengikutinya lewat pintu lain.
Pintu itu menuju ke tangga yang sempit.
Lampu-lampu gas di dinding memancarkan cahaya redup.
Setelah menuruni tangga, kami memasuki terowongan panjang yang berkelok-kelok.
Saking sempitnya, kami terpaksa berbaris satu-satu.
Terowongan itu berkelok-kelok dan membawa kami semakin jauh ke tengah kastil.
"Kau yakin ada jalan keluar dari sini?"
Kara bertanya pada Gwendolyn. Suaranya bergema di terowongan yang sempit. Gwendolyn mengangguk.
"Ya. Pokoknya, ikuti saja aku. Di ruang bawah tanah ada pintu rahasia."
Langkah kami berdebam-debam di lantai terowongan yang keras. Rambut Gwendolyn yang pirang tampak bersinar di depan kami, bagaikan obor yang menunjukkan jalan. Jalan menuju kebebasan. Jalan ke tempat yang aman. Aku mencondongkan badan mendekati Kara.
"Kita bakal selamat. Kita bakal keluar dari sini -dan botol Napas Vampir kita bawa sekalian!"
Kara menempelkan telunjuk ke bibir.
"Ssst. Kita belum keluar,"
Ia mengingatkanku. Terowongan itu berakhir di ruang bawah tanah yang besar dan gelap. Gwendolyn mengambil obor menyala dari dinding dan mengangkatnya tinggi-tinggi untuk menerangi jalan.
"Ikuti aku,"
Ia berbisik.
"Cepat."
Obor di tangannya memancarkan cahaya berkedap-kedip.
Tapi di luar lingkaran cahaya itu, kegelapan yang pekat merajalela.
Gwendolyn membawa kami menembus kegelapan.
Udaranya lembap dan berbau masam.
Samar-samar aku mendengar suara air menetes.
Kara dan aku berjalan sambil merapat satu sama lain.
Kami berusaha untuk tetap berada di dalam lingkaran cahaya.
Botol Napas Vampir kugenggam erat-erat di tanganku.
Tiba-tiba Gwendolyn berhenti.
Ia berhenti begitu mendadak sehingga Kara dan aku hampir menabraknya.
Ia berbalik pelan-pelan.
Cahaya obor memperlihatkan senyum di wajahnya.
"Sudah sampai?"
Tanya Kara.
"Mana pintunya?"
"Ya. Kita sudah sampai,"
Sahut Gwendolyn sambil berbisik.
"Kita sendirian di bawah sini."
"Hah?"
Seruku. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Kalian jadi milikku sekarang,"
Gwendolyn melanjutkan. Senyum di wajahnya bertambah lebar.
"Kita tak bakal terganggu oleh Pangeran Nightwing, atau vampir-vampir lainnya."
"Tapi -lewat mana kami bisa keluar dari sini?"
Aku mendesak. Gwendolyn tidak menjawab.
"Kenapa kita berhenti di sini?"
Seru Kara.
"Aku haussssss sekali...,"
Gwendolyn mendesis.
"Haussssss sekali...."
Ketika ia menurunkan obor, aku melihat sepasang taring panjang muncul di mulutnya.
"Aku haus sekali...."
Ia menghela napas.
"Haus sekali...."
Serta-merta ia meraih pundakku. Dan tahu-tahu leherku sudah tergores gigi taringnya yang runcing. Chapter 22
"JANGAN...!"
Aku menjerit. Aku menepis tangannya dan mendorongnya dengan keras.
"Jangan! Jangan ganggu aku!"
Aku meraung-raung. Mata Gwendolyn tampak bersinar-sinar. Air liur menetes-netes dari taringnya yang panjang.
"Aku haussss...,"
Ia mendesis.
"Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
Aku memohonmohon.
"Kalian ingin bebas, kan?"
Gwendolyn bertanya dengan nada mengejek.
"Nah, ini satu-satunya cara untuk bebas dari sini!"
Ia menengadah dan membuka mulut lebar-lebar. Kemudian ia kembali menerjang ke arahku.
"Tidak bisa!"
Teriakku. Cepat-cepat aku mengelak. Rambutnya yang panjang dan keriting mengenai wajahku. Aku sempat terhuyunghuyung. Tapi berhasil menjaga keseimbangan. Ia mengambil ancang-ancang untuk menyerang lagi.
"Freddy -Napas Vampir!"
Seru Kara.
"Pakai Napas Vampir! Barangkali kita bisa pulang ke masa depan!"
"Hah?"
Aku sama sekali lupa bahwa aku sedang menggenggam botol itu.
"Haus sekali...,"
Gwendolyn bergumam sambil menjilat bibirnya yang kering.
"Haus sekali...."
Botol berisi Napas Vampir kuangkat tinggi-tinggi. Botol biru itu memantulkan cahaya obor. Gwendolyn memekik tertahan. Ia mundur dengan mata terbelalak. Aku meraih sumbat botol. Dan mulai menariknya.
"Jangan -jangan!"
Gwendolyn memohon.
"Letakkan botol itu! Jangan dibuka! Aku mohon -jangan dibuka!"
Aku tidak memedulikannya -memegang sumbat itu dan mencabutnya dari leher botol. Chapter 23 TIDAK terjadi apa-apa. Kami bertiga menatap botol biru yang terbuka di tanganku.
"Tunggu sebentar,"
Kataku pada Kara. Suaraku melengking tinggi.
"Waktu di ruang bawah tanah rumahku kita juga harus tunggu sebentar. Baru kemudian kabutnya menyembur ke luar."
Gwendolyn menatap botol itu dengan mata lebar. Kami menunggu dengan tegang. Beberapa detik berlalu. Kemudian beberapa detik lagi. Tawa Gwendolyn akhirnya memecahkan keheningan.
"Botolnya kosong!"
Ia berseru sambil tertawa mengejek.
"Kastil ini penuh botol kosong. Di sebelah sana ada satu ruang yang penuh botol kosong."
Ia menunjuk ke kegelapan.
Aku memegang botol itu di depan wajahku, dan mengamati isinya.
Keadaannya terlalu gelap untuk bisa melihat.
Tapi Gwendolyn benar.
Botol itu memang kosong.
Dengan kesal kubuang botol itu ke lantai.
Gwendolyn tersenyum jahat dalam cahaya obor yang berkelapkelip.
Aku berusaha menjauhinya.
Tapi punggungku membentur pilar batu.
Aku terperangkap.
Taring Gwendolyn tampak berkilauan.
"Haus sekali...,"
Ia berbisik.
"Freddy -jangan lari. Bantu aku. Aku haus sekali...."
"Aku juga haus!"
Sebuah suara menggelegar dari belakang kami.
Aku membalik dan melihat sinar jingga sebuah obor yang menuju ke arah kami.
Dan di tengah lingkaran cahaya itu, aku melihat wajah Pangeran Nightwing yang tampak sangat geram.
Ia melayang menghampiri kami.
Pandangannya tertuju pada Gwendolyn.
Mulut vampir muda itu terbuka lebar.
Ia mengangkat kedua tangan, seakan-akan hendak melindungi dirinya.
"Gwendolyn -sedang apa kau di bawah sini dengan tawananku?"
Pangeran Nightwing bertanya dengan gusar.
Ia tidak memberi Gwendolyn kesempatan menjawab.
Dalam sekejap ia sudah melayang-layang di atasnya.
Jubahnya mengembang bagaikan sayap kelelawar.
Ia memelototi Gwendolyn dengan matanya yang keperakan.
Dan kemudian ia membuka mulut dan mendesisdesis.
Gigi taring Gwendolyn tampak berkilau basah dalam cahaya obor.
Ia menyibakkan rambutnya.
Tangannya tetap digunakannya sebagai perisai ketika ia membalas desis si vampir tua.
Oh, wow! pikirku.
Sepertinya mereka bakal berkelahi! Aku mencondongkan badan ke depan.
Sebenarnya aku ngeri sekali -tapi aku juga ingin menyaksikan pertempuran yang bakal terjadi.
Kedua vampir itu melayang-layang di atas lantai.
Mereka saling mendesis, bagaikan sepasang ular yang siap menyerang.
"Freddy -ayo!"
Bisik Kara. Ia meraih lenganku dan menariknya.
"Ini kesempatan kita."
Kara benar.
Kami harus berusaha lari sementara kedua vampir itu sibuk saling mengancam.
Jantungku berdegup kencang ketika aku memungut obor Gwendolyn dari lantai dan berlari menyusul Kara.
Kami bergegas menembus kegelapan.
Pasti ada jalan keluar dari sini! aku berkata dalam hati.
Pasti ada jalan untuk lolos! Akhirnya aku melihat sebuah pintu terbuka.
Tanpa pikir panjang Kara dan aku menerobos pintu itu.
Aku menoleh ke belakang.
Pangeran Nightwing tampak melayang tinggi di atas lantai.
Jubahnya berkibar-kibar.
Gwendolyn masih mendesisdesis.
Tak ada waktu untuk menyaksikan pertempuran mereka.
Aku segera berbalik dan mengikuti Kara.
"Di mana kita?"
Bisikku. Aku mengangkat obor untuk menerangi ruangan tempat kami berada.
"Wow,"
Kara bergumam ketika melihat rak-rak yang menempel di dinding.
Kami telah menemukan gudang botol Napas Vampir kosong yang sempat diceritakan Gwendolyn tadi.
Di setiap dinding ada rak yang menjulang dari lantai sampai ke langit-langit.
Dan setiap rak penuh sesak dengan botol-botol biru.
Ke mana pun aku memandang, aku melihat tumpukan botol biru.
"Kelihatannya ada sejuta botol kosong di sini!"
Aku berbisik. Kami memandang berkeliling. Botol-botol itu memantulkan cahaya obor dan berkilauan bagaikan permata biru. Kara menggelengkan kepala, seakan-akan bingung melihat begitu banyak botol. Ia berpaling padaku. Roman mukanya serius sekali.
"Tak ada jalan untuk melarikan diri,"
Bisiknya.
"Melarikan diri?"
Sebuah suara parau berkata dari ambang pintu. Pangeran Nightwing memasuki gudang.
"Percuma, kalian tidak mungkin kabur dari sini,"
Ia berkata. Matanya yang keperakan menatap kami dengan tajam.
"Tak ada yang bisa kabur dari kastil Pangeran Nightwing."
Ia merentangkan jubah dan mulai melayang di atas lantai.
"A-apa yang akan Anda lakukan?"
Aku tergagap-gagap.
Ia mendongakkan kepalanya yang botak.
Bunyi mendesis yang keluar dari mulutnya membuatku merinding.
Aku merasakan diriku terdorong mundur ke tengah ruangan.
Pangeran Nightwing menggunakan semacam kekuatan gaib untuk mengendalikan diriku.
Ia melayang semakin tinggi, terselubung oleh jubahnya.
Ia tampak seperti serangga di dalam kepompong berwarna ungu.
Tapi aku bisa merasakan kekuatannya.
Ia mendorongku ke belakang...
mencengkeramku...
mendorongku....
Dan kemudian, tiba-tiba saja, ia melepaskan diriku.
Ia mendarat di lantai.
Matanya berkilat-kilat.
Ia menjentikkan jarinya yang kurus.
Perlahan-lahan ia tersenyum.
"Yesss!"
Ia mendesis. Kara dan aku mundur sampai ke rak yang berseberangan dengan pintu masuk. Kakiku gemetaran. Pangeran Nightwing telah mencengkeramku dengan kekuatan gaibnya. Dan aku tidak sanggup melawan. Napasku terengah-engah.
"Yesss!"
Ia kembali mendesis.
"Sekarang aku ingat lagi!"
Chapter 24 KARA dan aku tidak berani bersuara. Kami menatap vampir tua itu sambil membisu ketika ia berpaling ke rak-rak yang berisi botolbotol biru.
"Di sinilah aku menyembunyikan botol Napas Vampir yang masih penuh,"
Ia berkata pada kami.
"Aku menyembunyikannya di gudang botol kosong. Sebab aku tahu yang lain takkan mencarinya di sini."
Ia tersenyum, dan aku bisa melihat gusinya yang licin di balik bibirnya yang kering. Senyumnya lenyap. Ia memicingkan mata.
"Aku haus sekali,"
Ia berbisik sambil memandang Kara dan aku.
"Aku harus mendapatkan botol yang masih penuh itu. Aku harus memulihkan ingatan -dan mendapatkan taringku kembali."
Ia bergegas ke rak terdekat dan mulai membongkar botol-botol biru.
"Yang mana? Yang mana?"
Ia bergumam-gumam.
"Di sini ada ribuan botol, dan hanya satu yang masih penuh."
Tangannya yang kecil dan kurus bergerak dengan cekatan. Ia menyingkirkan botol-botol kosong sambil terus bergumam-gumam. Tak sedikit botol yang jatuh ke lantai dan pecah berantakan.
"Kara -cepat!"
Aku menunjuk rak yang paling jauh.
"Jangan bengong!"
Ia langsung menangkap maksudku.
Kami harus lebih dulu menemukan botol penuh itu.
Kami harus menemukannya sebelum Pangeran Nightwing.
Aku berlutut dan mulai memeriksa botol-botol di rak paling bawah.
Kosong...
kosong...
kosong...
lagi-lagi kosong....
Botol-botol kosong kugeser satu per satu.
Aku mencari bagaikan kesetanan.
Aku memicingkan mata dalam cahaya yang redup, dan mencari satu-satunya botol yang masih ada isinya.
Botol-botol kosong berjatuhan dan pecah.
Botol-botol kosong menggelinding kian kemari.
Kara sibuk memeriksa di sampingku.
"Bukan. Bukan. Bukan. Bukan,"
Ia bergumam sambil memeriksa botol satu per satu.
"Hei!"
Pangeran Nightwing berseru dari seberang ruangan.
"Pergi dari situ!"
Kami tidak menggubrisnya.
Kami terus saja membongkar botolbotol, semakin lama semakin cepat.
Kami harus lebih dulu mendapatkan botol yang masih penuh.
Dan akhirnya -aku berhasil menemukannya.
Aku menarik napas dalam-dalam ketika tanganku meraih botol yang lebih berat dari yang lainnya.
Tanganku gemetaran ketika aku mengangkat botol itu.
Ya! Botolnya memang lebih berat.
Ya! Sumbatnya masih terpasang rapat.
"Aku menemukannya!"
Aku berseru seraya bangkit berdiri.
"Kara -lihat! Aku menemukannya!"
Aku mengangkat botol itu tinggi-tinggi untuk memperlihatkannya pada Kara -dan Pangeran Nightwing segera menyambarnya.
"Terima kasih banyak,"
Ia berkata. Chapter 25 SAMBIL tersenyum lebar, si vampir tua mengangkat botol itu dan bersiap-siap membukanya.
"Tidak bisa!"
Aku meraung.
Tanpa pikir panjang aku menerjangnya.
Dan rupanya ia tidak menduga aku akan bertindak nekat.
Pundakku menghantam dadanya.
Ia ternyata begitu ringan, seakan-akan tak bertulang.
Sang Pangeran terbatuk-batuk.
Botol Napas Vampir itu terlepas dari genggamannya.
Aku mengulurkan tangan -dan menangkapnya di udara.
Sambil memegangnya erat-erat dengan kedua tangan, aku mundur ke rak.
Pangeran Nightwing segera pulih.
Ia menatapku sambil memicingkan mata, dan sekali lagi aku merasakan diriku dicengkeram oleh kekuatan gaibnya.
"Freddy, serahkan botol itu padaku,"
Ia memerintah dengan suaranya yang tenang dan lembut. Aku tidak bergerak. Aku tidak bisa bergerak.
"Serahkan botol itu,"
Si vampir tua mengulangi. Ia melayang ke arahku sambil mengulurkan tangannya yang kurus kering.
"Kau harus menyerahkannya padaku, Freddy."
Aku menelan ludah.
Aku tidak bisa memberikan botol Napas Vampir itu.
Aku tahu Kara dan aku bakal celaka kalau Pangeran Nightwing sampai membukanya.
Tapi aku tidak bisa bergerak.
Kekuatan gaib Pangeran Nightwing membuatku seperti terpaku di tempat.
Aku tak berdaya! "Serahkan botol itu!"
Ia mendesak, lalu berusaha meraihnya.
"Monkey in the Middle!"
Aku mendengar Kara berteriak. Sepertinya ia berada di tempat yang jauh sekali. Mula-mula aku bahkan tidak mengerti maksud ucapannya.
"Monkey in the Middle!"
Ia berseru sekali lagi.
Kali ini aku paham.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Aku harus mengerahkan segenap tenaga untuk menggerakkan lenganku.
Pangeran Nightwing mencoba menyambar botol di tanganku.
Ujung jarinya sempat menyentuh botol itu.
Tapi aku keburu melemparkannya melewati pundak sang Pangeran.
Tangan Kara menggapai.
Ia berusaha menangkap botol itu -dan ia berhasil.
"Tangkapan maut!"
Ia berseru dengan gembira. Pangeran Nightwing menggeram-geram karena marah. Sertamerta ia berbalik.
"Berikan botol itu padaku!"
Ia menghardik dengan suaranya yang serak, lalu menerjang ke arah Kara.
Kara mengambil ancang-ancang, dan melemparkan botol itu kembali padaku.
Lemparannya rendah, kira-kira setinggi lutut si vampir tua.
Aku membungkuk dan berhasil menangkap botolnya.
Pangeran Nightwing kembali berpaling padaku.
Ia memicingkan matanya yang menyeramkan.
"Mana botol itu?!"
Ia menggerung.
Aku melemparkannya tinggi-tinggi, di atas kepalanya.
Kali ini Kara menangkap operanku dengan sebelah tangan.
Kara dan aku biasa bermain Monkey in the Middle, atau lempar-lemparan, kalau sedang menjaga Tyler.
Anak kecil itu tak pernah berhasil merebut bola dari tangan kami.
Kara dan aku bisa membuatnya mondar-mandir selama berjamjam! Tapi aku tahu kesabaran Pangeran Nightwing sudah hampir habis.
Kara dan aku tidak mungkin memenangkan permainan ini.
Tapi, apa lagi yang bisa kami lakukan? Si vampir tua menerjang Kara.
Tangannya terulur lurus ke depan, jubahnya melambai-lambai.
Kara mengelak.
Ia terpaksa melempar botol dalam posisi tidak seimbang.
Aku berusaha menangkapnya -tapi gagal.
Botol itu terbang ke salah satu rak.
Botol-botol berjatuhan dan pecah berantakan.
Pangeran Nightwing cepat-cepat melayang ke rak itu.
Dengan kalang-kabut ia meraih botol-botol yang bergelindingan di lantai.
Tapi aku lebih cepat.
Aku berhasil menemukan botol tadi, memungutnya, dan mengopernya kepada Kara.
"Sudah...!"
Teriak Pangeran Nightwing.
"Cukup!"
Ia bergegas menghampiri Kara.
Kara melemparkan botol itu, jauh di atas kepala si vampir.
Aku bersiap-siap untuk menangkapnya.
Tapi di luar dugaanku, Pangeran Nightwing mendadak melesat ke atas -dan menyambar botol itu dengan kedua tangan.
Sementara ia kembali menjejakkan kaki di lantai, senyum kemenangan menghiasi wajahnya.
"Aku yang menang,"
Ujarnya puas. Matanya bersinar-sinar.
"Aku yang menang. Makanya, belajar terbang, dong."
Ia mengangkat botol itu.
"Jangan -jangan!"
Aku memohon. Senyumnya bertambah lebar. Tanpa berkata apa-apa lagi, dicabutnya sumbat botol itu. Chapter 26 KAMI bertiga seakan-akan terpaku di tempat. Tanpa berkedip aku menatap botol terbuka di tangan Pangeran Nightwing.
"Jangan,"
Kara bergumam.
"Jangan...."
Beberapa detik berlalu. Kemudian beberapa detik lagi.
"Kenapa tidak terjadi apa-apa?"
Bisik Pangeran Nightwing. Senyumnya meredup. Ia mengangkat botol itu dan memiringkannya agar dapat mengintip ke dalam. Pundaknya tergantung lemas di bawah jubah ungunya. Ia menghela napas.
"Kosong,"
Katanya.
"Botol ini kosong juga."
Kara dan aku bertukar pandang. Tiba-tiba aku tahu apa yang terjadi. Aku panik sewaktu berusaha memungut botol tadi. Dan rupanya aku meraih botol yang salah. Aku berpaling ke arah rak -dan melihat botol yang masih penuh tepat di depanku.
"Hei, ini dia!"
Aku berseru dan segera meraihnya.
"Ini dia!"
Si vampir tua menggeram dengan kesal. Serta-merta aku diterjangnya.
"Kara -tangkap!"
Teriakku. Aku melemparkan botol itu pada Kara. Tapi Pangeran Nightwing mengayunkan lengan. Tangannya berhasil menepis botol itu.
"Oh...!"
Aku memekik ketika melihat botol itu menabrak dinding. Lalu terpental. Jatuh ke lantai. Dan pecah. Seketika kabut bau mulai memenuhi ruangan.
"Kita kalah,"
Aku bergumam.
"Kita bakal celaka."
Chapter 27 AKU berusaha menahan napas, tapi percuma saja.
Bau menyengat yang menyebar dengan cepat seakan-akan mampu menembus kulitku.
Kara menutup hidung dan mulut dengan sebelah tangan.
Matanya tampak terbelalak lebar karena ngeri.
Ia mengibas-ngibaskan tangannya yang satu lagi untuk menghalau kabut yang mulai menyelubunginya.
Aku terbatuk-batuk.
Mataku mulai berair.
Aku segera memejamkan kedua mataku.
Tapi aku tetap merasakan air mata mengalir di pipiku.
Ketika aku membuka mata lagi, Kara sudah tidak kelihatan.
Kabutnya sudah terlalu tebal.
Aku melihat jubah ungu Pangeran Nightwing.
Jubahnya tampak gelap di tengah kabut.
Dan kemudian jubah itu pun menghilang dari pandangan.
Dan aku sendirian.
Sendirian di tengah awan tebal yang bergulung-gulung.
Aku jatuh berlutut.
Kututupi wajah dengan kedua belah tangan Aku berusaha menahan napas.
Tapi lidahku tetap bisa mengecap kabut menjijikkan itu! Berapa lama aku berlutut di lantai? Entahlah, aku tidak tahu.
Tapi ketika akhirnya aku membuka mataku yang terasa perih, kabut itu sudah mulai menipis.
Jubah ungu Pangeran Nightwing kembali tampak ketika kabut mulai turun ke lantai.
Dan kemudian aku melihat Kara di seberang ruangan.
Ia sedang melindungi wajahnya dengan sebelah tangan.
Kabut itu semakin tipis.
Aku mulai bisa melihat sekelilingku.
Dan tiba-tiba aku sadar bahwa aku sedang menatap permainan air hockey.
Aku berkedip-kedip.
Di tengah ruangan tampak meja biliar.
Meja biliar? Permainan hockey? Kara bergegas menghampiriku.
Matanya tampak bersinar-sinar.
"Kita sudah kembali, Freddy!"
Serunya gembira.
"Kita sudah kembali ke ruang bawah tanah rumahmu!"
"Horeee!"
Aku bersorak. Aku mengepalkan tangan dan mengacungkan keduanya.
"Asyik!"
Aku maju dengan terhuyung-huyung, lalu memeluk meja hockey. Kemudian aku mencium dinding. Bayangkan, mencium dinding! "Kita sudah kembali! Kita sudah kembali!"
Kara memekikmekik sambil melompat-lompat.
"Napas Vampir itu berhasil membawa kita pulang ke rumahmu, Freddy!"
"Ahhhhh!"
Aku berbalik dan melihat Pangeran Nightwing mendongakkan kepala sambil meraung-raung. Ia menyibakkan jubahnya, lalu mengepalkan tangan dengan gusar.
"Aduuuh! Aduuuh! Kenapa jadi begini!?"
Ia berseru dengan suara parau. Kara dan aku berdiri berdekatan ketika si vampir menghampiri kami.
"Aku tidak mau berada di sini!"
Teriak sang Pangeran.
"Aku harus pulang. Aku harus mengambil taringku! Tanpa taringku aku bakal mati!"
Ia melayang-layang di atas kami. Matanya tampak berapi-api ketika ia memelototi kami. Bibirnya yang kering gemetaran. Ia merentangkan jubahnya seakan-akan hendak menangkap kami.
"Aku harus pulang!"
Serunya.
"Mana Napas Vampirnya? Mana botol biru itu?"
Aku segera memandang berkeliling. Botol itu tidak kelihatan.
"Botolnya ketinggalan di masa lampau,"
Ujar Kara.
Si vampir tua kembali meraung-raung sambil mendongakkan kepala.
Kemudian ia mengangkat jubahnya lebih tinggi lagi, lalu ia menukik dan menyerang.
Kara dan aku mundur sampai menabrak meja biliar.
Si vampir bergerak dengan cepat.
Sebelum aku sempat berbuat apa-apa, ia sudah mengurung Kara dan aku dengan jubahnya yang ungu.
Kami terperangkap.
Kami tidak bisa bergerak.
Kemudian, tibatiba saja, jubahnya merosot.
Pangeran Nightwing mundur selangkah.
Mulutnya sampai menganga karena kaget.
Aku ikut menoleh -dan melihat Mom dan Dad bergegas masuk ke ruang bawah tanah.
"Mom!"
Aku berseru.
"Dad! Awas! Dia vampir! Vampir sungguhan!"
Chapter 28 PANGERAN NIGHTWING menatap kedua orangtuaku sambil memicingkan mata. Ia masih tercengang-cengang. Pandangannya tertuju pada Mom.
"Cynthia...?"
Ia berseru.
"Cynthia, sedang apa kau di sini?"
Mom menatapnya sambil tersenyum.
"Daddy, akhirnya Daddy bangun juga!"
Katanya.
"Hah?"
Kini giliran Kara dan aku yang tercengang-cengang. Mom bergegas maju dan memeluk si vampir tua. Mereka berpelukan lama sekali.
"Daddy sudah tidur paling tidak seratus tahun di sini,"
Katanya.
"Kami tidak tahu apakah Daddy mau dibangunkan atau dibiarkan tidur terus."
Dad juga menghampiri Pangeran Nightwing. Ia tersenyum lebar, dan menaruh tangannya di pundakku.
"Sudah bertemu anak kami, Freddy?"
Ia bertanya pada si vampir.
"Ini Freddy -cucumu."
Cucu? Aku? Aku cucu vampir? Nightwing menatapku sambil menggelengkan kepala. Ia sama bingungnya dengan aku! "Cynthia...?"
Ia berkata pada Mom.
"Cynthia -taringku. Aku kehilangan taringku."
Mom merangkul pinggang si vampir.
"Daddy, taring Daddy tidak hilang,"
Ujarnya.
"Taring Daddy ada di gelas di kamar mandi. Di tempat Daddy menaruhnya waktu itu."
"Sini. Di sebelah sini,"
Kata Dad. Mereka menuju ke kamar mandi kecil di pojok yang tak pernah kami pakai. Beberapa detik kemudian Pangeran Nightwing keluar sambil mengatur-atur posisi taringnya dengan jarinya.
"Nah, begini lebih enak,"
Katanya.
"Dan sekarang ayo kita terbang. Aku haus sekali! Sudah seratus tahun aku tidak minum apa-apa."
Mom dan Dad berpaling padaku.
"Kami mau pergi dulu,"
Ujar Dad.
"Kau bikin sandwich saja di atas, oke? Sekalian buatkan satu untuk Kara."
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening.
"Tapi kalau Mom dan Dad memang vampir, berarti aku juga, dong?"
Aku bertanya dengan suara gemetar.
"Tentu saja,"
Sahut Mom.
"Tapi kau masih kecil, Freddy. Taringmu belum tumbuh. Kau masih harus menunggu seratus tahun lagi!"
Ada sejuta hal yang hendak kutanyakan.
Tapi mereka bertiga mulai mengepak-ngepakkan lengan.
Naik-turun.
Dan dalam beberapa detik saja mereka sudah berubah menjadi kelelawar, lalu terbang keluar melalui jendela.
Aku terpaku menatap jendela itu sambil berusaha menenangkan diri.
Jantungku berdegup-degup.
Setelah merasa lebih tenang, aku berpaling pada Kara.
"Wow,"
Ia berkata sambil menggelengkan kepala.
"Wow."
"Aku sendiri juga belum bisa percaya,"
Sahutku lambat-lambat. Kara menatapku sambil cengar-cengir.
"Dari pertama aku sudah tahu bahwa kau aneh, Freddy. Tapi aku tidak menyangka kau seaneh ini!"
Rasanya aku ingin tertawa.
Namun aku masih terlalu kaget untuk tertawa, atau menangis, atau menjerit -atau melakukan apa pun! Siapa yang tidak kaget kalau mendengar bahwa ia sebenarnya vampir? Seharusnya Mom dan Dad memberitahuku dengan cara yang tidak begitu mengejutkan.
Tapi mungkin bagi mereka semua ini biasa saja....
Pintu kamar mandi masih terbuka.
Aku melangkah masuk.
"Kamar mandi ini tidak pernah dipakai,"
Aku bergumam.
"Kami selalu memakai kamar mandi di ujung seberang."
Kara mengikutiku. Pintu lemari obat tampak setengah terbuka. Kara membukanya lebar-lebar. Raknya dipenuhi berbagai botol dan stoples. Aku melihat segala macam obat-obatan dan salep-salep aneh. Di rak paling atas ada botol kaca berwarna hijau.
"Apa ini?"
Tanyaku. Langsung saja aku mengambil botol itu. Tapi Kara merebutnya dari tanganku.
"Kembalikan!"
Aku berseru sambil mendorongnya. Ia malah membalas mendorongku. Kemudian ia memutar botol itu dan membaca tulisan pada labelnya.
"KERINGAT MANUSIA SERIGALA."
"Kara -kembalikan botol itu ke tempatnya!"
Perintahku.
"Cepat! Kembalikan! Jangan macam-macam, Kara. Jangan buka botol itu. Jangan..."
Ia malah menggodaku. Sambil cengar-cengir ia pura-pura hendak membuka botol tersebut.
"Jangan...!"
Aku memekik. Aku berusaha merebut botolnya -tapi meleset. Tanganku menepis tutup botol sampai terlepas.
"Hei!"
Kara berseru ketika cairan kuning menyembur ke luar dan membasahi kami berdua. Aku geleng-geleng kepala.
"Lihat, tuh!"
Aku menghardiknya.
"Apa yang akan terjadi sekarang?"
"Grrrrrowwwwrrrrrr!"
Sahut Kara.END
Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Pendekar Pedang Matahari Kelabang Ireng Raja Naga Tapak Dewa Naga