Ceritasilat Novel Online

Cinta Gila Seorang Pendekar 1


Roro Centil Dendam Dan Cinta Gila Seorang Pendekar Bagian 1


SATU PUNCAK BUKIT RAJABASAH adalah puncak bukit yang hampir selalu lembah karena diatas sana banyak kabut dan berhawa dingin.

   Jalan menuju ke puncak bukit itu amat sukar.

   Kalau bukan orang yang berkepandaian tinggi amatlah mustahil bisa mencapai ke puncak bukit itu.

   Karena tidak sedikit bahaya mengancam didepan mata.

   Selain banyaknya ular-ular berbisa dan binatang melata lainnya, juga jalan menuju ke puncak bukit itu penuh dengan lereng-lereng terjal yang tertutup kabut.

   Hingga bila kurang hati-hati dan waspada bisa jatuh tergelincir dan menemui kematian.

   Tetapi sepagi itu sesosok tubuh tampak berlari-lari dengan gerakan yang terlatih bagaikan seekor kijang yang gesit diatas bukit itu.

   Dialah seorang laki-laki muda berusia sekitar enam belas tahun Berpakaian serba hijau dengan sebilah pedang tersoren dipinggang.

   Ketika dia hentikan gerakan larinya dan menatapkan pandangannya ke atas puncak bukit tampaklah seraut wajah yang amat tampan.

   Rambutnya tertutup oleh ikat kepala yang berwarna hitam.

   Hidungnya mancung dengan mata yang bersinar memancarkan ketampanan wajah yang menawan hati.

   Siapakah adanya pemuda ini? dialah yang bernama MAYANA sesudah lebih dari enam tahun dia berada dipuncak bukit Rajabasah itu, berguru pada seorang tokoh persilatan yang sakti, yang telah lama menyembunyikan diri diatas puncak bukit Rajabasah.

   Siapa gerangan adanya tokoh itu? Marilah kita ikuti jalan ceritanya.

   "Bocah bego, mengapa kau tak cepat datang menghadap padaku untuk memberi laporan?"

   Terdengar suara serak yang mengejutkan pemuda ini.

   Dia tahu kalau itu adalah suara gurunya.

   Selagi dia bersiap untuk enjot tubuh meneruskan pendakiannya kepuncak bukit, tiba-tiba sebuah bayangan telah berkelebat dihadapannya.

   Dan sesosok tubuh telah berdiri diantara kepulan asap kabut.

   Dialah seorang laki-laki tua berjubah serba putih.

   Jenggotnya menjuntai sebatas dada.

   Berwarna putih bagaikan salju.

   Rambutnya tergelung diatas terikat dengan sehelai kain sutera warna merah.

   Kakek ini melototkan sepasang matanya memandang laki-laki muda dihadapannya.

   "Mayana! aku sudah tak sabar mendengar laporanmu. Bagaimana hasil penyelidikanmu di Kota Raja?"

   Tanya laki-laki tua itu.

   Suaranya serak, seperti tempayan rengat.

   Kakek ini memang mempunyai wajah yang begitu sedap di pandang.

   Hidungnya lebar dengan cuping hidung yang mempunyai liang besar.

   Tulang pelipisnya menonjol.

   Dan mempunyai sepasang mata bagaikan mata burung elang yang menyipit serta bersinar tajam.

   Raut wajahnya boleh dikata hampir persegi empat.

   Melihat kemunculan kakek itu pemuda ini menampakkan wajah kaget.

   Akan tetapi segera mengumbar senyum.

   Dan ujarnya seraya menjura.

   "Maaf, kakek! aku pikir hari masih terlalu pagi. Dan aku tak mau mengganggu semadhi kakek..!"

   "Mm, sudah sejak malam tadi aku tak sabar menunggu hasil penyelidikanmu, mengapa harus kau khawatir mengganggu semadhiku segala? Urusan ini lebih penting! Karena hasil penyelidikanmu adalah penentuan dari langkah selanjutnya yang akan kita tempuh! "sahut kakek itu ketus. Mayana tak menjawab selain menunduk, dan berkata lirih.

   "Maafkan murid mu, guru..!"

   "Sudahlah!"

   Berkata si kakek.

   "Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah si bangsat tua itu masih bercokol di Kota Raja?"

   Tanya kakek itu. Nada suaranya mengandung ketidak sabaran. Jelas dia amat menginginkan laporan yang dibawa Mayana berkenaan dengan tugas yang diberikan pada muridnya itu.

   "Ki SABDA TAMA menurut khabar yang kudengar dari seorang prajurit tua Kadipaten, telah tak memegang tampuk pemerintahan lagi. Dia telah sejak lama mengundurkan diri dari jabatannya!"

   Tutur Mayana.

   "Hm, begitukah? Lalu siapa yang menggantikan sebagai Adipati?"

   Tanya si kakek itu dengan wajah tetap tak berubah.

   "Seorang Adipati yang masih cukup muda! Dia bernama Wukir Kamandaka!"

   Sahut Mayana dengan suara kendur. Kakek tua itu tampak termangu sejenak.

   "Hm, apakah kau tak menyelidiki anak keturunan siapakah Adipati Wukir Kamandaka itu?"

   Tanya sang guru dengan suara agak ditekan. Sang murid menggeleng. Dan katanya.

   "Aku khawatir kakek terlalu lama menunggu, karena kakek hanya memberi waktu aku satu pekan!"

   Sahutnya. Kembali tercenung orang tua ini. Lengannya bergerak mengelus jenggotnya. Setelah menghela napas, dia berkata.

   "Ya! ya, aku terlalu singkat memberi waktu padamu. Aku memang sudah tak sabar untuk segera turun tangan. Terutama dengan urusan yang satu ini. Karena semua ini bertalian dengan langkahmu juga. Karena kau telah menamatkan pelajaranmu dipuncak Rajabasah ini! ujar si kakek.

   "Jadi... jadi aku sudah dibolehkan turun gunung?"

   Tanya si pemuda tiba-tiba. Wajahnya menampakkan sinar cerah. Sudah lama dia merindukan kebebasan, untuk kembali ke dunia ramai. Sikakek menjawabnya dengan anggukan kepala beberapa kali.

   "Oh, kalau begitu aku akan teruskan penyelidikan mengenai Adipati itu, guru...!"

   Berkata si pemuda dengan wajah berseri girang. Tapi wajahnya kembali berubah, dan kedua lengannya mengepal.

   "Sekalian mencari si pembunuh ayah ibuku"

   Ujarnya dengan suara menggebu. Tiba-tiba dia berpaling menatap pada gurunya.

   "Kakek! katakanlah, siapa sebenarnya manusia yang telah memporak-porandakan keluargaku itu? Geritakanlah! bukankah kau telah berjanji akan menceritakannya bila aku telah berhasil menamatkan pelajaranku padamu?"

   Kata-kata pemuda ini terdengar menggetar.

   Karena dibarengi dengan perasaan yang sudah lama menggebu dalam dada.

   Selama beberapa tahun dia berguru menuntut ilmu kedigjayaan dipuncak bukit Rajabasah adalah karena untuk membalaskan sakit hati dan dendam pada pembunuh ibu kandungnya.

   Kakek itu tersenyum.

   Lalu ujarnya dengan suara lantang yang diiring dengan tawa terkekeh memecah kelengangan disekitar bukit itu.

   "Hehehehe... aku tak pernah mendustai apa yang pernah aku janjikan, muridku. Akan tetapi masih ada satu syarat yang harus kau lakukan sebelum kau turun gunung!"

   Berkata si kakek.

   "Katakanlah, syarat itu, guru! Aku siap menjalankan perintahmu!"

   Berkata tegas Mayana. Kakek tua itu tersenyum. Sepasang matanya berkilat menatap pada sang murid yang justru tengah menatap pula padanya.

   "Kau harus tinggal dulu dipuncak Rajabasah selama beberapa hari untuk mengikuti petunjukku, dan mengenai syarat itu, segera akan kukatakan nanti! Sekarang kembalilah ke puncak bukit!"

   Ujar si kakek.

   Selesai berkata orang tua berjubah putih itu gerakkan tongkatnya menekan batu.

   Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara.

   Dan dalam beberapa kali lompatan, sekejap saja tubuh kakek telah lenyap diatas puncak bukit, yang samar-samar masih diliputi kabut tipis.

   Tanpa ayal si pemuda segera enjot tubuhnya untuk bergerak menyusul.

   Gerakan melompat pemuda inipun tak kalah gesitnya dari gerakan si kakek.

   Dengan perdengarkan suara teriakan halus tubuhnya mencelat bagaikan letikkan seekor ikan.

   Ujung kakinya menotol batu-batu yang berada disekitar tempat itu.

   Sekejap kemudian tubuhnyapun telah lenyap tertutup kabut...

   *** DUA Siapakah kakek tua berjubah putih penghuni bukit Rajabasah itu? Dialah yang bernama GAJAH LOR.

   Pada belasan tahun yang silam mempunyai pengaruh luas diwilayah Kota Raja Kerajaan Mandaraka.

   Sebuah kerajaan kecil dipesisir pantai Pulau Jawa.

   Gajah Lor yang berusia sekitar 50 tahun itu adalah seorang yang paling pandai dalam hal ilmu merawat tubuh, hingga tak nampak ketuaan usianya.

   Tubuhnya kekar dengan urat-urat yang kokoh.

   Selama belasan tahun dia melatih diri dipuncak Rajabasah dengan berbagai ilmu kedigjayaan.

   Semata-mata karena mempunyai tujuan serta urusan dendam pada seorang.

   Serta mendidik muridnya yang bernama MAYANA itu dengan tujuan yang telah dipersiapkan se-jak lama.

   Mayana duduk dihadapan gurunya dengan hati risau.

   Betapa ingin dia rasanya untuk lebih cepat turun gunung mencari musuh besarnya guna membalas dendam pati kedua orang tuanya.

   Akan tetapi seperti ujar gurunya dia diharuskan memenuhi satu sarat sebelum turun gunung dan mengunggu selama beberapa hari untuk menerima petunjuk dari sang guru mengenai perihal langkah langkah yang harus ditempuhnya nanti.

   Yang terutama sekali adalah penjelasan Gajah Lor mengenai siapa adanya musuh besarnya itu.

   Hal itulah yang paling penting! "Mayana, muridku..!"

   Ujar Gajah Lor pada sang murid yang tepekur tundukkan wajah menatap alas tikar yang didudukinya.

   Hatinya sejak tadi kebat-kebit menunggu apa yang akan dikatakan sang guru.

   Mendengar suara sang kakek yang membuka percakapan dia mendongak menatap wajah sang guru.

   Telinganya dipasang penuh perhatian untuk mendengar apa-apa yang dikatakan kakek tua itu.

   "Aku senang sekali sejak kau berguru padaku, selama ini kau selain seorang murid yang amat cerdas juga seorang anak yang amat penurut. Tak pernah satu kali pun kau membantah apa yang aku perintahkan!"

   Ujar Gajah Lor.

   "Apakah dalam hari-hari terakhir kau bersamaku dipuncak bukit Rajabasah ini kau juga akan menuruti segala yang aku perintahkan padamu?".

   "Guru..! mengapa kau ragu dengan murid mu ini? Kau telah berbaik hati mendidik dan membesarkanku selama ini. Memberikan ilmu-ilmu kedigjayaan serta merawatku penuh kasih sayang seperti kepada anakmu sendiri. Patutkah aku membantah perintahmu?"

   Berkata Mayana dengan suara hati-hati.

   Sementara hatinya agak tergetar mengucapkan kata-kata itu.

   Perkataan gurunya kali ini agak aneh.

   Mengapa sang guru bersikap lain dari biasanya.

   Pandangan matanya juga aneh.

   Seperti membersitkan sinar serta hawa aneh yang membuat jantungnya berdegupan.

   Baru kali ini dia melihat pancaran mata sang kakek itu begitu menggidikkan hatinya.

   "Heheheh...hehe... bagus! bagus! Aku memang tidak kecewa mengangkatmu sebagai murid!"

   Berkata Gajah Lor dengan tertawa mengekeh.

   "Mayana.! Untuk menghadapi musuh besarmu, jalan darahmu harus sempurna betul. Aku akan salurkan sebagian tenaga dalamku untuk kupindahkan kedalam tubuhmu!"

   Ujar Gajah Lor setelah lama memperhatikan muridnya yang tertunduk menatap tikar dengan hati tak karuan rasa.

   "Ha, kau... kau akan memberikan separuh tenaga dalammu padaku, guru? Bagaimana dengan kau sendiri nanti? bukankah kaupun memerlukannya. Bukankah kau sendiri seperti pernah kau katakan, kau mempunyai beberapa musuh yang akan kau singkirkan? Kalau tenaga dalammu tinggal separuh, bagaimana kau dapat menghadapi musuh-musuhmu itu, guru.?"

   Tergagap Mayana memandang dengan mata membelalak pada gurunya. Walaupun diamdiam hatinya merasa girang, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan akan keadaan gurunya.

   "Heheheh... jangan khawatir! Dalam waktu beberapa bulan aku akan dapat mengembalikan seluruh tenaga dalamku seperti sediakala. Nah! segera kau bersiap-siaplah! Bukalah semua pakaian yang melekat ditubuhmu. Tak ada waktu lagi untuk aku mengulurnya karena kau cuma tiga hari berada dipuncak Rajabasah ini!"

   Ujar Gajah Lor dengan menatap lekat-lekat wajah muridnya yang tampan. Perintah itu seperti sebuah petir yang menggelegar disiang hari. Membuat Mayana terkejut. Jantungnya berdetak semakin cepat, dan wajahnya tiba-tiba dijalari rona merah.

   "Mem... membuka semua pakaianku. guru?"

   Tanyanya seperti tak percaya.

   "Ya! Untuk menerima saluran tenaga dalam haruslah terbebas dari penghalang. Apakah kau malu melakukannya?"

   Berkata Gajah Lor dengan tersenyum. Mayana seperti kebingungan. Wajahnya semakin merah.

   "Mengapa harus membuka pakaian?"

   Pikirnya dalam hati. Sejenak dia tak memberi jawaban.

   "Mayana.! apakah kau akan menolak perintahku kali ini?"

   "Ti... tidak... guru..! Tapi... tapi..."

   Kembali mulut Mayana membungkam tak tahu apa yang akan dikatakannya.

   "Hm, ketahuilah, perintah ini juga termasuk syarat permulaan sebelum aku mengatakan siapa pembunuh orang tuamu, dan sebagai persyaratan sebelum kau turun gunung!"

   Berkata Gajah lor dengan suara tegas.

   Apakah yang menjadi sebab sukarnya Mayana menuruti perintah gurunya? Ternyata semua itu disebabkan karena Mayana sebenarnya bukanlah seorang laki-laki.

   Dia seorang perempuan.

   Seorang gadis, yang baru meningkat dewasa.

   Tentu saja perintah gurunya membuat dia jadi serba salah.

   Selama ini dia memang selalu memakai pakaian laki-laki.

   Dia baru sadar setelah mengetahui perubahan demi perubahan pada dirinya dengan bertambahnya usianya.

   Walau dia tak begitu memahami tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, akan tetapi naluri kewanitaannya mulai tumbuh dan semakin kelihatan rasa malunya bila dia mandi bertelanjang bulat.

   Hal itu sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

   Selalu dia menghindar dari gurunya bila dia akan membersihkan badan atau mandi.

   Khawatir terlihat oleh sang guru.

   Kini secara tak disangka-sangka sang guru memerintahkan dia membuka seluruh pakaiannya dihadapan sang guru.

   Tentu saja membuat dia amat terkejut setengah mati.

   Dan membuat kulit wajahnya berubah merah.

   Bagaimana mungkin dia akan dapat melakukannya? "Mayana! apakah kau tak bersedia?"

   Suara Gajah Lor kembali terdengar mengoyak keheningan. Tersentak dia mendengar katakata sang guru.

   "Guru..! selang sesaat Mayana menjawab pertanyaan Gajah Lor dengan suara agak bergetar.

   "Aku rasa dengan tenaga dalam yang kumiliki, aku akan mampu membalas dendam pada musuh besarku. Apakah tidak lebih baik kalau guru tak usah menyusahkan diri memberikan separuh tenaga dalam mu padaku..."

   Dengan memberanikan diri Mayana bicara.

   "Hm, sudah kukatakan hal ini adalah termasuk syarat yang harus kau jalankan sebagai penutupan selama enam tahun kau menjadi muridku. Apakah kau tak bersedia melakukan syarat ini?"

   Berkata Gajah Lor. Mayana tercengung sesaat tanpa bisa memberi jawaban.

   "Baiklah! kuberi kau waktu setengah hari. Kalau kau tak dapat memenuhi syarat itu. berarti kau tak ingin mengetahui siapa pembunuh kedua orang tuamu. Dan yang perlu kau camkan adalah, kau tak mungkin bisa mengalahkan musuh besarmu dengan tenaga dalam yang kau miliki selama ini. Kukira kau takkan menyerahkan nyawamu begitu saja pada musuh besarmu, bukan?"

   Setelah tertawa terkekeh-kekeh, Gajah Lor bangkit berdiri. Kakinya bergerak untuk beranjak kebiliknya disudut ruangan goa itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Mayana.

   "Guru...! aku bersedia menjalankan persyaratan itu..."

   Gajah Lor tahan langkah kakinya. Tanpa balikkan tubuh kakek ini berkata dengan tersenyum menyeringai.

   "Hehehe... mengapa tak sadari tadi kau katakan? Rasa malu itu justru karena kau belum biasa. Dan ketahuilah akibat rasa malu itu justru akan menghambat langkahmu sendiri. Dan akan sia-sialah jerih usahamu selama bertahun-tahun untuk menuntut balas kematian kedua orang tuamu!"

   "Maafkan aku, guru...! aku memang bodoh..."

   Berkata Mayana dengan menunduk.

   Tapi dengan cepat dia telah loloskan pakaian yang melekat di tubuhnya.

   Dilakukannya semua itu dengan mata terpejam.

   Dan dalam beberapa kejap saja Mayana telah berdiri tegak dihadapan gajah Lor dengan keadaan tubuh bugil, tanpa sehelai benangpun melekat tubuhnya.

   *** TIGA Dalam keadaan mata terpejam itu Mayana tak mengetahui kalau sepasang mata sang guru telah memandangnya dengan mata membinar-binar.

   Menatap dan menjalari setiap lekuk-liku tubuh Mayana dengan sepuas-puasnya.

   Bibir kakek ini setengah terbuka dan tampak meneteskan air liur.

   Hidungnya kembang-kepis bercampur dengan deru napas tertahan dari sang kakek yang meman-dang tubuh Mayana seperti melihat makanan lezat yang menerbitkan air liur.

   Detik itu juga Mayana merasakan bersyiurnya angin halus menerpa tubuhnya.

   Selanjutnya dia rasakan tubuhnya lemahlunglai.

   Kelopak mata terasa berat untuk di buka.

   Dan dia merasa tubuhnya terhempas...

   tapi seperti ada lengan yang menyangganya.

   Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi.

   Cuma sekilas dia merasa tubuhnya seperti dipondong dan melayang ringan.

   Kemudian dia tak ingat apa-apa lagi.

   Ketika perlahan-lahan dia mulai sadarkan diri yang pertamatama dirasakan adalah tubuhnya seperti berat.

   Dengus napas santar seperti meniup-niup daun telinganya.

   Antara sadar dan tidak dia merasakan hawa hangat menembus seluruh tubuhnya.

   Dan sesuatu yang tak pernah dirasakan selama hidupnya membuat dia menggelinjang dan keluarkan keluhan-keluhan lirih.

   Dia tersentak ketika membuka matanya, dan melihat sang guru dalam keadaan membugil tengah menindih tubuhnya.

   "Guru...? kau ...ah, kau apakah aku...?"

   Sentaknya terkejut.

   Gajah Lor tak menjawab, tapi menutup bibir gadis itu dengan desis dan menyumbat mulutnya hingga dia sukar bernapas.

   Dalam keadaan demikian sepasang lengan Gajah Lor tiba-tiba merangkul erat tubuhnya, seperti mau meluluh lantakkan tulang belulangnya.

   Mayana menjerit tapi suaranya tersendat napasnya setengah-tengah.

   Dan berbareng dengan itu Gajah Lor pendengarkan suara keluhan panjang.

   Mayana sendiri terkulai.

   Sukmanya seperti membumbung keluar dari raganya.

   Otot-otot tubuhnya serasa luluh tak bertenaga.

   Tapi satu perasaan aneh membuat dia tertegun.

   Ada perasaan yang sukar dilukiskan.

   Dalam keadaan tidak mengerti itu dia merasa lengan Gajah Lor membelai wajahnya.

   Terasa keningnya dicium laki-laki gurunya itu.

   Hingga sesaat antaranya terasa tubuhnya menjadi ringan.

   Tak terasa lagi adanya benda berat yang membuat dia sukar bernapas.

   Ketika dia pulih dengan kesadaran penuh didapati dia terbaring dipembaringan sang guru.

   Pembaringan yang acap kali sering dirapihkan.

   Dia tergolek dalam keadaan tanpa busana, dengan sehelai selimut menutupi tubuhnya.

   Tak dilihatnya sang guru berada didalam bilik ruangan itu.

   Mayana terpaku dan tercenung dalam ketidak mengertian.

   Apakah sang guru sudah selesai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya? Tiga hari berada dipuncak bukit Rajabasah itu, Mayana mendapat tambahan kekuatan tenaga dalam dari Gajah Lor, sang guru yang telah mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan selama ini.

   Siang itu Matahari panasnya seperti membakar jagat...

   Dari atas puncak bukit Rajabasah tampak berkelebat bayangan sesosok tubuh yang berlari cepat menuruni bukit.

   Gerakannya lincah bagaikan gerakan seekor kijang.

   Melompati jurang-jurang curam yang tertutup kabut tipis.

   Dialah Mayana, si gadis puncak bukit Rajabasah, yang hari itu turun gunung dengan membawa tugas berat dari gurunya.

   Gajah Lor.

   Dalam waktu tak terlalu lama, dara rupawan yang lebih mirip dengan seorang pemuda berwajah tampan itu telah berada di bawah bukit.

   Di atas batu besar dara ini berhenti, dan balikkan tubuh.

   Sepasang matanya menatap ke atas puncak bukit.

   Puncak bukit yang telah menggemblengnya selama ini dengan bermacam ilmu kedigjayaan.

   Puncak bukit yang membawa kenangan tersendiri yang tak dapat dilupakan seumur hidupnya.

   Tampak sepasang mata dara ini basah, berkaca-kaca.

   Angin pegunungan menerpa wajahnya yang cantik.

   Tapi air mata dara ini tak mengalir turun.

   Dia telah berusaha menahannya.

   Terdengar suara menggumam tergetar keluar dari bibirnya.

   "Guru..! aku akan jalankan tugasmu dengan baik, sebagai balas jasa atas budi baikmu merawat dan membesarkan aku. Serta mewarisi aku dengan ilmu-ilmu kedigjayaan. Entah saat ini kau berada dimana. Tapi kelak suatu saat setelah selesai tugasku, dan bila telah terbalaskan dendamku, aku akan mencarimu..! Kata-kata gadis ini diucapkan dengan tandas, yang hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya. Selesai ucapkan kata-kata itu, dara ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Perasaan sedih, pilu, marah, kecewa dan dendam berkumpul menjadi satu dirongga dadanya. Selesai sesaat Mayana balikkan tubuh. Kejap berikutnya dia telah berkelebat melesat meninggalkan tempat itu dengan memper-gunakan ilmu lari cepat. Detik selanjutnya sudah tak kelihatan lagi bayangan tubuhnya... *** EMPAT KUIL TENGKORAK DARAH yang terletak diatas puncak bukit Lembayung masih tampak berdiri tegar dengan segala keangkerannya. Kuil yang baru berdiri beberapa tahun dipuncak bukit permai berpemandangan indah itu telah merobah alam sekitarnya menjadi alam yang gersang. Dimana-mana terlihat mayat manusia yang bertebaran disekeliling Kuil, dengan baunya yang busuk menyengat hidung. Sepertinya Kuil itu tak berpenghuni manusia. Ya, hanya setan-setan sajalah yang patut mendiami Kuil yang menyeramkan itu. Pemandangan indah bukit Lembayung tidak lagi mempesona. Akan tetapi menimbulkan hawa takut. Seolah Kuil itu adalah pintu gerbang Neraka layaknya. Akan tetapi dari arah ruangan kuil itu tampak mengepul asap yang menimbulkan bau panggang daging yang lezat, disenja yang baru mulai temaram itu. Ternyata seorang kakek berambut panjang beriapan tengah asyik duduk menghadapi api unggun. Sementara lengannya membolak-balik panggang daging, entah daging apa yang ditusuk pada sebatang kayu. Jelas kakek rambut putih beriapan ini adalah manusia, karena kedua kakinya menginjak tanah. Ketika itu diluar udara semakin dingin dan cuaca semakin redup. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seram membangunkan bulu roma. Si kakek rambut beriapan ini hadapkan wajahnya ke pintu kuil. Tampaklah wajahnya yang tak sedap dipandang. Sebelah matanya menonjol bulat dan nampak merah, sedangkan sebelah lagi tak berbiji mata alias picak. Hidungnya cuma separuh, menampakkan rongga bagian dalamnya. Bibirnya terbelah dua dan nampak dua buah gigi yang besar-besar mencuat keluar. Kakek se-ram ini mendengus mendengar suara tertawa yang sudah tak asing lagi baginya itu.

   "WEWE GOMBEL SETAN GENIT! mau apa kau datang menyambangi kekuilku?"

   Terdengar suara si kakek yang parau bagi suara tonggeret.

   "Apakah kau mau makan daging manusia?"

   Dan diiring kata-katanya si kakek seram ini telah bangkit berdiri. Sebelah lengannya menyambar bara api lalu... Whuuut! Dia telah ayunkan lengannya. Bara api itu melayang keluar dengan deras. Terdengar suara mengikik diluar diiringi kata-kata.

   "DEDEMIT MATA PICAK, sambutanmu sungguh menyebalkan hati!"

   Sosok tubuh putih diluar kuil itu memang baru saja jejakkan kakinya dimuka kuil.

   Melihat sambaran bara api kearahnya, dengan membentak nyaring dia meludah...

   CUIH! Lengannya mengibas.

   angin keras menggebu menghantam bara api yang meluruk ke arahnya.

   Bara api itu pecah berhamburan.

   menjadi ratusan lelatu api yang menerjang balik ke arah pintu kuil yang terbuka.

   Tentu saja mendelik sebelah mata si kakek seram.

   Namun dia cepat monyongkan mulutnya.

   Dan...

   FUUUH! Lelatu api seketika padam dan buyar kesegenap penjuru.

   "Hihihik...hihik... tua bangka mata picak, kau makanlah bara apimu, mengapa kau suguhkan padaku?"

   Sekali berkelebat si kakek muka seram melompat, dan sekejap telah berada dimuka pintu.

   Ternyata si pendatang yang dijuluki Wewe Gombel Setan Genit itu adalah seorang wanita berparas cantik.

   Bertubuh kurus tinggi semampai.

   Berkulit kuning langsat, memakai pakaian serba putih.

   Alisnya mencuat keatas dengan biji mata yang menampakkan mata yang jalang.

   Usianya ditaksir sekitar 35 tahun.

   Akan tetapi nampak tubuhnya masih montok.

   "Mau apa sebenarnya kau kemari?"

   Berkata ketus si kakek seram yang dijuluki si Dedemit Mata Picak ini. Sementara mulutnya mulai menggayam panggang daging yang sudah matang itu dengan rakus.

   "Hm, aku tak ingin minta makananmu, WICAKSA! Kedatanganku cuma mau mengatakan bahwa perbuatanmu membunuh manusia itu cuma mengundang penyakit pada dirimu sendiri! Sedangkan orang yang kau Pancing untuk menyatronimu tak berada diwi-layah ini!"

   Berkata wanita ini dengan bertolak pinggang.

   "Heh! bagaimana kau bisa tahu?"

   "Ya, karena yang mengetahui perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil Cuma sahabatku! Dia bernama CAKRA MURTI!"

   Sahut Wewe Gombel Setan Genit. Terhenyak si kakek yang bernama Wicakra itu. Tak ayal dia sudah semburkan daging panggang dimulutnya, dan tiba-tiba membanting daging panggang itu hingga amblas ke tanah.

   "Grrr... katakan segera! Apakah kau datang bersama sahabatmu itu?"

   Membentak Wicaksa. Suaranya menggeledek hingga terdengar berpantulan kesekitar tempat yang lengang itu.

   "Hihik...hihik... sabar, Wicaksa! saat ini aku datang sendiri. Tapi aku bisa mempertemukan kau dengan sahabatku itu, kalau ada imbalannya!"

   Berkata Wewe Gombel Setan Genit dengan mengikik tertawa.

   "Imbalan? Imbalan apa yang kau inginkan? katakanlah! Kalau betul si Cakra Murti sahabatmu itu bisa menunjukkan aku dimana adanya si Roro Centil, tentu aku tak keberatan memberikan imbalan. Apakah kau inginkan sekantung uang emas untuk imbalannya? aku sanggup memberikannya! Akan tetapi bila kau berdusta, maka kepalamulah sebagai gantinya, termasuk kepala sahabatmu itu!"

   Tawaran itu ternyata membuat si wanita ini cuma tersenyum, tapi segera ujarnya.

   "Aku tak memerlukan itu, Wicaksa! Yang kuperlukan adalah kitab yang kau rampas dari KI SABDA TAMA!"

   Mendengar Jawaban Wewe Gombel Setan Genit, Wicaksa jadi tertawa terkekeh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.

   "Tunjukkan aku dimana adanya sahabatmu itu. Mengenai kitab Ki Sabda Tama yang kucuri itu aku tak berminat mempelajari, disamping aku tak mengetahui arti tulisannya. Dengan sukarela akan kuberikan padamu. Tapi dengan syarat apabila aku sudah menjumpai si Roro Centil!"

   "Bagus! baiklah! Kukira tak perlu berlama-lama, Segera kau siapkan kitab itu, dan segera kita berangkat!"

   Berkata girang Wewe Gombel setan genit. Tampak dia amat gembira mendengar jawaban si Dedemit Mata Picak.

   "Baik! baik...! tunggulah! segera kupersiapkan! ujar Wicaksa dengan menyeringai girang. Tubuhnya kembali berkelebat mema-suki pintu kuil. Tak lama dia telah keluar lagi.

   "Marilah kita berangkat!"

   Ujarnya.

   Wewe Gombel Genit mengangguk.

   Dia mendahului berkelebat menuruni bukit Lembayung, disusul oleh kelebatan tubuh si Dedemit Mata Picak.

   Hingga tak lama kemudian Kuil Tengkorak Darah dipuncak bukit Lembayung kembali sunyi mencekam...

   Siapakah adanya Wewe Gombel Setan Genit dan si dedemit Mata Picak bernama Wicaksa penghuni Kuil Tengkorak Darah itu? Keduanya adalah dua orang saudara seperguruan yang masingmasing telah menempuh jalan sendiri-sendiri.

   Kedua tokoh yang berada dijalur sesat itu mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi.

   Entah permusuhan apakah gerangan Wicaksa dengan Roro Centil di Pendekar Wanita pantai Selatan hingga si kakek itu tampak amat mendendam.

   *** LIMA CAKRA MURTI ternyata seorang laki-laki gagah berusia sekitar 40 tahun.

   Laki-laki ini tengah mondar-mandir diruangan depan seperti tengah menanti kedatangan orang ditunggunya.

   Gedung tua itu terletak di tepi danau, Dikelilingi oleh hutan rimba.

   Diapit oleh dua bukit.

   Tempat sekitar itu sunyi mencekam.

   Tampaknya gedung tua itu satu-satunya gedung yang terpencil ditempat itu.

   Mata Cakra Murti menatap ke arah hutan rimba dibelakang bukit lalu dialihkan ke ujung jalan disisi danau.

   Tiba-tiba telinganya mendengar suara berkrosakan disisi gedung.

   "Siapa? kalau mau bertemu silahkan masuk dari pintu depan. Aku Cakra Murti siap menyambut tamu yang datang dengan maksud baik!"

   Berkata laki-laki ini.

   "Bagus! kedatanganku bukan untuk maksud jahat, sobat Cakra Murti!"

   Diiringi kata-kata itu sesosok tubuh berkelebatan muncul-kan diri dihadapan laki-laki itu.

   Sejenak dia terhenyak memandang si pendatang, yang ternyata adalah seorang laki-laki brewok.

   Dikedua pinggangnya terdapat dua buah buli-buli.

   Sedangkan tangan si brewok ini mencekal pula sebuah buli-buli yang sudah lepas sumbatnya.

   Tanpa hiraukan orang yang menatapnya si brewok tenggak isi buli-buli itu hingga belasan teguk.

   Bau arak mengembara seketika itu juga.

   "Hm, kiranya anda si Dewa Arak! Ada maksud apa anda meyatroni tempatku?"

   Bertanya Cakra Murti dengan kernyitkan keningnya. Si Brewok tak buru-buru menjawab. Tapi menyeka dulu bibirnya membersihkan bekas-bekas cairan-cairan arak yang membasahi bibir dan dagunya.

   "Hehehe... kalau bukan aku lihat sendiri kau ada hubungan baik dengan si perempuan kuntilanak Wewe Gombel Setan Genit, mana aku jauh-jauh menyatroni tempat tinggalmu?"

   Berkata si brewok. Tersentak juga Cakra Murti mendengar si Dewa Arak mencari orang yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya.

   "O, jadi kau mencarinya? ada persoalan apakah kau dengan sahabat ku itu?"

   Bertanya Cakra Murti, Sementara diam-diam lakilaki ini merasa adanya angin buruk yang bertiup dengan kedatangan sang tetamu.

   "Bagus! ternyata dia sahabat baikmu? Suruh dia keluar. Biar aku yang urus persoalanku dengannya!"

   Membentak si Dewa Arak.

   "Seorang tetamu yang datang dengan maksud baik, tentu akan datang dengan sikap yang baik. Caramu itu kasar sekali, juga tak mau memberitahukan persoalannya. Apakah bisa di anggap datang dengan maksud baik?"

   Berkata Cakra Murti dengan suara datar. Tapi mengandung hawa amarah yang terpendam didada. karena sikap si Dewa Arak telah menyinggung perasaan yang tak menghargai dirinya. Mendelik mata si Dewa Arak, Hidungnya mendengus.

   "Heh! apakah pangkatmu, sobat? Urusanku cuma dengan si Wewe Gombel Setan Genit. Suruh saja dia keluar! tak usah kau banyak lagak dengan segala macam pertanyaan!"

   Balas membentak si brewok.

   "Hm, baik! baik! aku tak ikut campur urusan kalian. Tapi orang yang kau cari itu justru aku sedang menantikan kedatangannya. Harap kau tunggu saja disini sampai dia datang!"

   Menyahut laki-laki ini, dengan menekan perasaannya.

   Sebenarnya hatinya panas dibentak sedemikian rupa oleh si brewok.

   Tapi dia berusaha menahan sabar, karena berhadapan dengan si brewok yang dia tak tahu urusan cuma menambah musuh saja.

   Selesai berkata Cakra Murti beranjak masuk kedalam gedungnya.

   Akan tetapi diluar dugaan sibrewok telah membentak.

   "Tunggu! apakah omonganmu bisa dipercaya?"

   Hilanglah kesabaran laki-laki ini. Tapi disaat dia mau melabrak sibrewok, terdengar suara tertawa cekikikan, disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh yang jejakkan kaki dengan ringan didepan gedung.

   "Bagus! ternyata manusianya telah muncul!"

   Teriak si brewok girang dan langsung menggembor.

   "Wewe Gombel Setan Genit! kau harus bayar kematian muridku dengan nyawamu!"

   Wajah si Dewa Arak sekejap telah berubah bringas melihat kemunculan wanita ini.

   Dan tanpa menunda kesempatan lagi dia telah ayunkan kepalanya yang disertai tenaga dalam.

   Itulah jurus pukulan maut yang dilakukan dengan mendadak.

   Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat memapaki serangan di Dewa Arak, disertai bentakan parau.

   "Tahan seranganmu, monyet tua brangasan!"

   PLAK! Benturan dua lengan terjadi.

   Dewa Arak menjerit kaget karena lengannya serasa menghantam besi.

   Disaat mana tahu-tahu dadanya kena dihantam telak oleh pukulan keras.

   BUK..! Terlemparlah tubuh si Dewa Arak, dan jatuh bergulingan.

   Ketika dia bangkit dan memandang dengan mata yang berkunang-kunang tahulah dia siapa yang menangkis serangannya.

   Ternyata si Dedemit Mata Picak, yang dengan bertolak pinggang menatap tajam dengan sebelah matanya.

   Benturan kedua pukulan bertenaga dalam barusan tak mengakibatkan reaksi apa-apa terhadapnya.

   Akan tetapi keadaan sibrewok cukup fatal.

   Dia merasakan dadanya sesak dan pandangan matanya berkunang-kunang.

   Pukulan telak pada dadanya itu kalau terkena pada orang yang ilmu kedigjayaannya rendah tentu akan meremukkkan isi dadanya.

   Untunglah tubuh si Dewa arak telah berisi dengan ilmu kebal Hingga nyawanya masih bisa diselamatkan.

   Namun cukup membuat si brewok terperanjat mengalami serangan keras secara mendadak ini dan membuat rasa nyeri pada dadanya.

   "Keparat! siapa kau...? membentak si Dewa Arak dengan gusar. Dia telah melompat bang-kit lagi. Sepasang matanya tertuju pada kakek rambut putih bertampang seram itu.

   "hehe... hahah... hahah... rupanya kau si Dewa Arak? Masih untung kau tidak mampus! Mengapa datang-datang kau menyerang orang? Tahukah kau kalau sampai kau mencelakai adik seperguruanku ini, mana mungkin nyawamu bisa selamat?"

   Tertawa mengakak Dedemit Mata Picak.

   "Apakah kau si Dedemit Mata Picak, Wicaksa?"

   Tersebut Dewa Arak ketika baru menyadari siapa adanya orang dihadapannya.

   "Hihihik... tidak salah dugaanmu itu, Dewa Arak! Bila kau berurusan denganku sama saja berurusan dengan dia Sebenarnya aku tak mau urusanku dicampuri siapapun, tapi salahmu sendiri, datangdatang kau mau membalaskan kematian muridmu tanpa kau mau tahu apa latar belakangnya!"

   Wewe Gombel Setan Genit mewakilkan menjawab pertanyaan si Dewa Arak. Akan tetapi si Dedemit Mata Picak sendiri justru mendegus.

   "Huh, siapa bilang urusanmu adalah urusanku? Saat ini aku memang tengah memerlukan keterangan mengenai urusaku. Jangan harap kau bisa selamat kalau kau menipu!"

   Tukas laki-laki bertampang seram ini dengan pelototkan sebelah matanya pada Wewe Gombel Setan Genit. Melihat demikian cepat-cepat Cakra Murti Menengahi.

   "Sudah! sudahlan! sebaiknya kau Dewa Arak segera kembali pulang. Urusanmu bisa di selesaikan lain hari. Karena kau berada ditempatku, kau harus turut peraturanku. Kalau tidak terpaksa akupun ikut campur dengan urusan sahabatku ini! Dewa arak memikir sejenak. Jelas dia tak bisa menerima begi-tu saja saran Cakra Murti. Namun setelah menimbang-nimbang diapun menyadari tak guna bersitegang pada saat itu. Karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Segera diapun berkata.

   "Baiklah! aku undurkan urusanku dengan mu, Wewe Gombel Setan Genit! Tapi kelak aku pasti menuntut penjelasan mengenai kematian muridku di tanganmu! Bila benar-benar kau berada dipihak salah, aku tak segan-segan turunkan tangan untuk mencopot nyawamu!"

   Selesai berkata dan tanpa menunggu jawaban si Dewa Arak berkelebat dari tempat itu, dan sekejap sudah tak nampak lagi bayangan tubuhnya. *** ENAM "Kaukah yang bernama Cakra Murti?"

   Bertanya Dedemit Mata Picak. Sebelah matanya menatap tajam pada laki-laki gagah dihadapannya.

   "Benar, sobat, Sungguh tak disangka kalau aku bisa berjumpa dengan anda penghuni kuil Tengkorak Darah. Ketiganya duduk diruang depan gedung. Pertanyaan itu dilontarkan si Dedemit Mata Picak setelah Wewe Gombel Setan Genit berbisik pada laki-laki bernama Cakra Murti.

   "Apakah kedatangan anda ingin menanyakan perihal si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil?"

   Bertanya Cakra Murti.

   "Benar! untuk itulah aku datang kemari, dan atas petunjuk sahabatmu ini!"

   Sahutnya seraya berpaling menatap Wewe Gombel Setan Genit.

   "Ah, bukankah anda berdua satu perguruan? Mengapa tak memakai sebutan kakang atau adik?"

   Tukas Cakra Murti.

   "Ceritanya begini...! biarlah aku yang menjelaskan, Wicaksa!"

   Wewe Gombel Setan Genit cepat-cepat menjawab, seraya melirik pada Dedemit Mata Picak yang cuma mendengus.

   "Wicaksa adalah bekas pesuruh guruku, sedangkan aku adalah murid beliau pada dua belas tahun yang silam. Karena Wicaksa juga dididik oleh guruku mengenai ilmu kedigjayaan, maka mau tak mau kami bisa dikatakan masih satu perguruan. Tujuh tahun yang lalu guru kami wafat akibat keracunan tanpa diketahui siapa yang telah membunuhnya. Dan kami berpisah menempuh jalan masingmasing. Baru dua tahun belakangan ini kami bertemu lagi. Seperti yang aku ceritakan padamu, Wicaksa yang bergelar Dedemit Mata Picak ini menghuni kuil Tengkorak Darah...! Wewe Gombel Setan Genit tuturkan secara singkat mengenai si Dedemit Mata Picak. Cakra Murti manggut-manggut mendengar penjelasan Wewe Gombel Setan Genit.

   "Hm, baiklah! Untuk mempersingkat waktu, bolehkah kulihat kitab Ki SABDA TAMA yang berada ditanganmu, sebelum aku memberitahukan dimana adanya si Roro Centil musuh besarmu itu?"

   Berkata Cakra Murti.

   "Apakah kata-katamu bisa dipercaya?"

   Untuk kedua kalinya Wicaksa berkata. Sorot matanya tajam menatap pada Cakra Murti. Cakra Murti tersenyum. Kali ini dia tak menampakkan kegusaran.

   "Percayalah! aku pasti memberitahu mengenai orang yang kau cari itu. Karena memang cuma akulah yang mengetahuinya. Aku ingin melihat apakah kitab Ki Sabda Tama itu benar-benar kitab yang sebenarnya?"

   "Apakah kau mengira aku membawa kitab Ki Sabda Tama palsu?"

   "Ya,ya...! aku percaya! Tapi alangkah baiknya kalau aku melihatnya!"

   Tukas Cakra Murti dengan berkata sungguh-sungguh.

   "Baik! baik!"

   Seraya berkata Wicaksa rogoh saku bajunya, dan lemparkan kitab yang terbungkus kain kumal itu kepada Cakra Murti.

   Dengan cepat Cakra Murti menyambuti.

   Laki-laki ini membuka lipatan kain kumal itu, lalu mengeluarkan sebuah kitab dari dalamnya.

   Agak lama dia membolak-balik kitab itu memperhatikan isinya.

   Tak lama kemudian dia kembali kekursinya, lalu membungkus lagi kitab itu.

   "Benar, kitab ini milik Ki Sabda Tama! Hm, kalau tak dari saudara seperguruanmu ini yang mengatakan, mana aku tahu kalau kitab yang kucari-cari ini berada ditanganmu...! berkata Cakra Murti.

   "Kitab ini bukan berisi mengenai ilmu-ilmu kedigayaan, melainkan berisikan tulisan mengenai Tata Kerajaan. Aku terlambat menjumpai dia sebulan yang lalu. Karena dia telah tak berada di tempat kediamannya lagi Padepokan Ki Sabda Tama telah rusak binasa. Rupanya kaulah yang memporak-porandakan untuk merebut kitab ini dari tangannya!"

   "Benar! Akan tetapi bukan niatku merampas kitab itu. Bah kan aku tak tahu menahu dengan kitab itu. Secara kebetulan aku melihat dua orang bertarung. Secara iseng aku ikut campur urusan mereka. Orang yang menempur Ki Sabda Tama, yang baru kuketahui namanya belakangan itu memakai topeng hijau. Ternyata dia berjulukan si BUTO KALA IJO. Ki Sabda Tama berilmu tinggi, hingga nampaknya buto Kala Ijo terdesak. Aku turun tangan dan pura-pura membantu. Sebelumnya memang aku telah mengetahui lewat pembicaraan kalau si Buto Kala Ijo itu bertujuan mau merebut kitab ditangan Ki Sabda Tama. Ki Sabda Tama terluka terkena pukulanku. Dan aku berhasil merampas kitab dari balik pakaiannya. Tapi benar-benar sial dangkal si Buto Kala Ijo. Dia membokongku dan merampas kitab dari tanganku, lalu melarikan diri. Karena kesalnya aku memporak-porandakan pondok Ki Sabda Tama!"

   "Lalu bagaimana kau bisa dapatkan kitab ini lagi?"

   Tanya cakra Murti.

   "Aku memang berjodoh memiliki kitab itu, karena seusai aku mengobrak-abrik pondok Ki Sabda Tama, aku mendengar suara orang menjerit parau. Ketika kuhampiri, ternyata si Buto Kala Ijo dalam keadaan terkapar berlumuran darah, Dilengannya tercekal kitab yang dirampasnya itu. Masih sempat aku melihat sesosok tubuh berkelebat ketika aku membentaknya. Agaknya dia si pembokong Buto Kala Ijo untuk merebut kitab. Tapi keburu aku datang, hingga dia tak sempat memiliki kitab itu...! "Kau tak melihat jelas orang itu?"

   Tanya lagi Cakra Murti.

   "Tidak! aku cuma melihat sekilas punggungnya! Agaknya dia telah merasai kehebatan pukulanku, dan begitu amat ketakutan melihat aku muncul, hingga tanpa memikirkan kitab dia lari selamatkan nyawa!"

   "Hahaha... haha... hebat! nasib peruntungan mu memang bagus! Juga peruntunganku, karena kitab yang kucari ini bisa jatuh ketanganku, Juga kau Dedemit Mata Picak bisa mendapat kabar tentang dimana adanya Roro centil!"

   Berkata demikian Cakra Murti tersenyum.

   Sementara hatinya berkata.

   Haha...

   kau tak tahu kalau orang yang cuma terlihat punggungnya itu adalah aku.

   Penuturan Wicaksa ditutup oleh suara tertawa Cakra Murti dengan sedikit memberi bumbu pembicaraan untuk menggembirakan hati Wicaksa.

   Cakra Murti memang agak jerih karena tokoh hitam ini punya ilmu pukulan tangan beracun.

   Tapi Wicaksa sudah membentak.

   "Sudahlah! Kini segera katakan dimana adanya si Roro Centil itu! Segera saja kau katakan! Awas, kalau kau mendustaiku, jangan harap kau masih bisa tertawa lagi!"

   "Hihihik... hihik... katakanlah, kakang Cakra Murti! Bukankah imbalannya sudah kita dapatkan?"

   Berkata Wewe Gombel Setan Genit yang sejak tadi tak ikut bicara.

   "Hm, baik! baik...! tapi sebelumnya bolehkah aku mengetahui dendam permusuhan apakah kau dengan tokoh terkenal itu?"

   "Heh! itu urusanku!"

   Berkata Wicaksa dengan mendelikkan matanya. Cepat-cepat Cakra Murti berkata.

   "Yah, sudahlah, kalau kau tak mau menceritakan mengapa harus aku paksa? Kau telah berbaik hati memberikan imbalan untuk maksudmu itu pada kami. Akupun tak ingin mengecewakan mu, sobat! Apa lagi kau adalah masih saudara seperguruan sahabat baikku ini".

   "Perjalanan ke tempat si Pendekar Wanita itu memakan waktu dua hari. Itupun dengan menggunakan ilmu lari cepat tanpa berhenti. Saat ini aku amat penat. Kau beristirahatlah bermalam disini, sambil kumpulkan tenaga. Besok kita lakukan perjalanan..."

   Ujar Cakra Murti. Padahal hatinya membatin.

   "Heh! sungguh mati aku tak tahu dimana adanya si Pendekar Wanita itu berada!"

   Tak ada pilihan bagi Wicaksa selain menuruti apa yang disarankan Cakra Murti.

   Bukankah dia lebih beruntung, karena Cakra Murti tidak cuma menunjukkan dimana adanya orang yang dicarinya itu, Tapi bahkan mau mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.

   Senja semakin temaram.

   Matahari telah sembunyi dibalik gunung.

   Cuaca mulai dilanda kepekatan ketika malam menjelang datang.

   Wicaksa mendengkur lelap di dalam kamar yang disediakan untuk nya.

   Manusia ini memang tak banyak memikirkan segala apa mengenai tindak-tanduk orang.

   Padahal kalau mau, cakra Murti bisa membinasakannya tanpa berpayah-payah mengantarkannya kesatu tempat dimana berdirinya Roro Centil.

   Cakra Murti memasuki kamarnya untuk beristirahat Akan tetapi segera merandek, karena bau wewangian menyambar hidungnya.

   Tahulah dia kalau si Wewe Gombel Setan Genit berada didalam.

   Benar saja, ketika dia melangkah masuk, di lihatnya wanita bertubuh montok yang menggairahkan itu dalam keadaan terlentang ditempat tidurnya tanpa memakai busana.

   Berselimutkan sehelai kain yang menyingkap sebagian tubuhnya.

   Bibir laki-laki ini mendesah.

   Sejak beberapa lama berhubungan dengan wanita ini, dia amat banyak menimba keuntungan.

   Diam-diam dia berpikir, apakah si Wewe Gombel Setan Genit ini benar-benar jatuh cinta padanya? *** TUJUH Siapakah sebenarnya Cakra Murti itu? Dia ternyata seorang abdi Kerajaan.

   Dialah Adipati WUKIR KAMANDAKA, yang menguasai wilayah barat Kota Raja dari kerajaan GALUH KENCANA.

   Kerajaan Galuh Kencana ini tak diperintah oleh seorang Raja.

   Tapi yang bertakhta adalah seorang Ratu.

   Adapun kitab yang berada ditangan Ki Sabda Tama ada hubungannya dengan kerajaan.

   Hingga dia harus bersusah payah mencari kitab tersebut atas perintah junjungannya sang Ratu Galuh Kencana.

   Adipati Wukir Kamandaka alias Cakra Murti yang mendapat tugas rahasia dari sang Ratu dalam pengembaraannya mencari jejak Ki Sabda Tama yang mencuri kitab pusaka kerajaan, berhasil mendekati dan bersahabat dengan Wewe Gombel Setan Genit.

   Seorang wanita cabul tokoh golongan hitam.

   Laki-laki yang boleh dikatakan tak berkepribadian baik itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat.

   Bahkan hubungan mereka sudah dapat dikatakan bagai suami istri.

   Tapi dengan demikian, Cakra Murti banyak menimba pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh hitam di Rimba Hijau saat itu.

   Bahkan dia berhasil memperalat Wewe Gombel Setan Genit untuk mendapatkan kitab Ki Sabda Tama, yang secara kebetulan benda itu berada ditangan Wicaksa, saudara seperguruan wanita itu.

   "Kakang... ah, dekaplah aku kakang... malam ini dingin sekali..."

   Suara Wewe Gombel Setan Genit terdengar lirih seperti tengah mengigau.

   Pelahan Cakra Murti menghampiri.

   Bibirnya tersenyum memandang wajah wanita itu yang matanya masih terpejam.

   Lengannya pun bergerak menjulur kebawah selimut.

   Tubuh wanita itu menggeliat, dan menggelinjang, ketika lengan nakal Cakra Murti membelai.

   "Aaah... kakang... dekaplah kakang..."

   Kembali dia mengerang.

   Sepasang matanya setengah terbuka menatap Cakra Murti dengan redup.

   Bibirnya setengah terbuka.

   Basah....

   dan, ah...

   membuat gejolak birahi Cakra Murti seketika mengembara kesekujur tubuh.

   Dan bagaikan lompatan seorang Senapati yang akan bertempur di-medan perang, Cakra Murti menerjang dengan garang.

   Didekapnya tubuh Cakra Murti seperti mau diremukkan tulang-tulangnya.

   Tubuhnya menggeliat-geliat seperti cacing.

   Dan, tak lama kemudian Cakra Murti pun terkulai dengan tubuh serasa dilolosi tulang-belulangnya...

   *** Malam semakin melarut.

   Gedung tua itu seperti mati, tak berpenghuni.

   Saat itu sebuah bayangan berendap-endap keluar dari dalam gedung itu.

   Gerakannya amat hati-hati bagai seekor kucing, tanpa menimbulkan suara.

   Tak berapa lama dia telah menyelinap kesisi sebelah timur gedung.

   Dan selang sesaat sosok tubuh itupun berkelebat lenyap.

   Dedemit Mata Picak alias Wicaksa terjaga dari tidurnya ketika Matahari telah menggelincir tinggi.

   Tersentak kaget dia, karena merasa telah berlaku kurang waspada, disamping merasa aneh.

   Mengapa dia bisa tidur lelap seperti orang mati? "Heh? jangan-jangan arak suguhan Cakra Murti yang kuminum itu mengandung obat bius...!?"

   Gumamnya.

   Tak ayal dia sudah bangkit berdiri.

   Dan bergegas memeriksa ruangan gedung itu.

   Berteriak-teriak dia memanggil si tuan-rumah dan Wewe Gombel Setan Genit.

   Tapi tak ada sahutan.

   Kecurigaannya semakin besar bahwa dia tertipu.

   Segera dia teruskan memeriksa seluruh ruangan gedung itu.

   Sebuah pintu kamar yang terkunci didobrak.

   Berderak suara daun pintu yang hancur berkepingan.

   Mendelik mata Wicaksa melihat Wewe Gombel Setan Genit dalam keadaan terlentang dipembaringan dengan telanjang.

   Sekali lompat dia telah mendekati, seraya membentak.

   "Perempuan edan! katakan, kemana gendakmu si Cakra Murti?"

   Bentakan itu dibarengi dengan lengan terjulur menjabak rambut wanita itu.

   Tapi alangkah terkejutnya dia, karena melihat darah berceceran diatas pembaringan.

   Sekejap dia telah tahan uluran lengannya.

   Ketika diperhatikan ternyata Wewe Gombel Setan Genit telah tak bernyawa lagi.

   Keadaannya amat men-genaskan, karena tulang lehernya telah remuk.

   Menggeram Wicaksa dengan kemarahan yang memenuhi dadanya.

   "Ini pasti perbuatan si Cakra Murti!"

   Teriaknya gusar. Kakek ini memaki kalang kabut, seraya berlompatan kesekitar gedung mencari dimana adanya manusia yang telah menipunya.

   "Cakra Murti! awas kau! kalau kutemukan, akan kupatahkan batang lehermu! Dan kau Wewe Gombel Setan Genit! Itulah rupanya upah buatmu! Kau telah diperalat dan tergila-gila dengan gendakmu itu yang justru mencelakai dirimu sendiri...!"

   Setelah berteriak-teriak dan menggerutu, Wicaksa alias si Dedemit Mata Picak berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Menjelang tengah hari, Wicaksa telah berada lagi dipuncak bukit Lembayung.

   Pintu Tengkorak Darah telah siap menyambut kedatangan majikannya.

   Akan tetapi ketika Wicaksa baru saja jejakkan kakinya didepan kuil, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seorang wanita.

   Tentu saja membuat Wicaksa merandek dengan kaget.

   Jelas suara itu adalah suara si Wewe Gombel Setan Genit.

   Bagaimana mungkin ha! itu bisa terjadi? Bukankah si Wewe Gombel Setan Genit telah mati? pikirnya dalam hati.

   "Hihihihik.... hihik... Wicaksa! kau keterlaluan! Mengapa tak mengubur mayatku? Kau malah kembali pulang kekuil Tengkorak Darah! Apakah kau mau sebar kematian lagi dan tambahkan mayatmayat manusia disekeliling kuilmu? Kalau tak kau balaskan dendammu sekarang juga, aku akan mencekikmu siang-siang! Hihi... hihik... hihihik..."

   Bagai disambar petir Wicaksa mendengar suara itu.

   Bulu tengkuknya seketika meremang disiang hari bolong.

   Manusia yang tak takut dengan segala macam hantu itu, kini benarbenar tak dapat mungkir lagi kalau dia sudah mendengar suara hantu.

   Hantu siapa lagi kalau bukan hantu si Wewe Gombel Setan Genit? Tak terasa dia melangkah mundur dua tindak.

   Akan tetapi tersentak dia karena mendengar suara tertawa mengikik yang seperti meniup-niup telinganya.

   "Aah...!?"

   Dia melompat ke belakang dengan keringat dingin mengucur ditengkuknya.

   "Mungkinkah ada hantu muncul di siang hari?"

   Benaknya memikir. Ternyata kemanapun dia melompat, suara tertawa mengikik itu terus mengikuti. Akhirnya...

   "Bha... baik! baik...! aku akan mengubur jenasahmu, Wewe Gombel! Tapi dimana aku bisa mencari si Cakra Murti? Aku tak tahu kemana dia pergi!"

   Tergagap dan terengah-engah Wicaksa berkata.

   Tampaknya dia amat ketakutan sekali.

   Suara tanpa rupa terus memburunya membuat tubuhnya jadi gemetar panas dingin.

   Seumur hidupnya barulah dia mendengar suara setan.

   *** DELAPAN Kita tinggalkan dulu Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah yang terpaksa menuruti perintah arwah Wewe Gombel Setan Genit yang terus memburu si kakek bertampang seram itu.

   Mari kita ikuti kemana langkah MAYANA si "pemuda"

   Yang sebenarnya seorang wanita itu melakukan perjalanan.

   Ternyata tujuannya adalah kesatu wilayah sebelah tenggara.

   Dimana Mayana telah lakukan perjalanan hampir dua pekan.

   Sebentar-sebentar dia berhenti beristirahat untuk melepas lelah.

   Dua belas desa telah dia lewati.

   Pada hari kelima belas dia telah tiba disatu tempat.

   Dara berpakaian laki-laki ini hentikan langkahnya untuk menatap kesatu puncak bukit.

   "Kukira itulah bukit Alas Wuku, tempat berdiamnya KI SABDA TAMA si pembunuh kedua orang tuaku!"

   Berdesis suara Mayana.

   Menatap tajam puncak bukit itu dengan sorot mata berapi-api.

   Setetes air mata kembali turun kepipi dara ini ketika membayangkan nasib dirinya.

   Untuk mengetahui siapa pembunuh ayah bundanya dia harus korbankan kehormatannya pada GAJAH LOR, gurunya sendiri yang telah merawatnya sejak dia berusia 10 tahun.

   Benar-benar satu pukulan batin yang luar biasa.

   Betapa 1001 macam perasaan mendekam didada gadis ini.

   Antara benci, dendam, sakit hati, penyesalan dan kekecewaan menjadi satu.

   Namun dia tak bisa berbuat apa-apa.

   Dia telah tak berhasrat memimpikan hidup berpasangan dan berumah tangga.

   Karena kesuciannya telah hancur.

   Baginya asalkan dapat membalas hutang pati kepada pembunuh orang tuanya, dia telah puas! Mungkin juga dia yang akan terkapar mati ditangan Ki Sabda Tama.

   Karena menurut gurunya manusia itu berilmu amat tinggi.

   Seperti diceritakan dibagian depan, Mayana menetap tiga hari dipuncak bukit.

   Rajabasah.

   Selama itu dia terpaksa melayani nafsu sang guru demi imbalan atas jerih payah sang guru mendidiknya.

   Dan setelah apa yang diinginkan gurunya dipenuhi, dia mendapat tahu siapa orang yang telah membunuh kedua orang tuanya itu.

   Mayana tak menjumpai adanya Gajah Lor dipondok puncak bukit Rajabasah.

   Tak diketahuinya pergi kemana sang guru itu.

   Tapi diatas meja kamarnya Mayana mendapatkan sepucuk surat yang isinya mengatakan siapa sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya.

   Ternyata adalah Ki Sabda Tama adanya.

   Disamping terheran, namun dia juga bergirang hati karena telah mengetahui siapa musuh besarnya.

   Sang nasib ternyata telah membawa dia hingga tiba ke wilayah ini, walaupun dia tak mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama berada.


Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Banjir Darah Di Pulau Neraka Hiat Sie Tee Gak To Karya Kiam Hong

Cari Blog Ini