Ceritasilat Novel Online

Cinta Gila Seorang Pendekar 2


Roro Centil Dendam Dan Cinta Gila Seorang Pendekar Bagian 2



Mayana yang bernasib baik berjumpa dengan seorang kakek tua pertapa ketika dia melewati sebuah hutan.

   Ketika dia mencium bau asap setanggi.

   Asap harum itu dicari dari mana asalnya.

   Ternyata berasal dari dalam sebuah goa disisi bukit.

   Kakek pertama penghuni goa itu mempersilahkan dia masuk.

   Mayana menceritakan maksudnya.

   Ternyata kakek itu mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama.

   Dia menyuruh dia menuju ke arah tenggara untuk mencari sebuah bukit bernama bukit ALAS WUKU, dengan memberikan ciri-ciri bukit itu.

   Sayang dia tak sempat melihat wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil membelakangi.

   Bahkan kakek itu tak memberitahukan namanya.

   Mayana meminta diri.

   Walau hatinya agak ragu, terpaksa dia harus pergi mencari bukit Alas Wuku, karena tak tahu lagi kemana dia harus mencari musuh besarnya itu.

   Demikianlah, hingga Mayana tiba diwilayah ini.

   Mayana mulai bergerak menyelusuri sekitar bukit, sebelum naik kepuncaknya.

   Didapati sebuah goa di bawah bukit.

   Tersentak hati dara ini.

   Tak ayal dara ini segera hunus pedangnya.

   "Hm, apakah manusia jahanam itu bersembunyi disini?"

   Desisnya.

   Akan tetapi bukan main terkejutnya dia ketika didapati si kakek pertapa yang dijumpainya itu telah berada didalam goa itu.

   Kakek itu duduk disudut ruangan goa dengan membelakanginya, seperti dijumpai pada dua pekan yang lalu didalam hutan pada sebuah goa.

   "Kakek pertapa? Apakah maksudmu sebenarnya? Katakanlah siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau berada disini mendahuluiku?"

   Berkata Mayana.

   "Hehehe... gadis muda yang gagah berani. Akulah sebenarnya Ki SABDA TAMA orang yang kau cari itu!"

   Kalau ada petir mungkin tak membuat seterkejut Mayana pada saat itu. Tersentak dia dengan melompat mundur. Wajahnya berubah tegang. Napasnya menderu, Dan lengannya bergetar memegang pedang.

   "Betulkah kau Ki Sabda Tama?"

   Bentaknya ingin meyakinkan.

   "Hehehe... mengapa aku harus berdusta? Bukankah kau mau membunuhku? Nah! bunuhlah aku si pembunuh kedua orang tuamu ini!"

   Seraya berkata kakek pertapa misterius itu balikkan tubuhnya. Terperanjat dara ini ketika melihat siapa adanya kakek pertapa itu. Yang tak lain dari GAJAH LOR adanya.

   "Guru...? kau... kau..."

   Tergegap Mayana menatap dengan mata membelalak.

   "Benar! aku gurumu sendiri!"

   "Tak mungkin! apakah kau berkata sebenarnya, guru? ataukah kau sengaja mau mengecoh aku?"

   Tergetar suara dara ini dengan melangkah mundur beberapa tindak.

   "Apa yang aku katakan tidak dusta! Pada enam belas tahun yang lalu aku membunuh kedua orang tuamu karena dendam. Ibumu adalah istriku. Dan ayahmu adalah kakak kandungku sendiri! Dia bernama WESI GENI. Wesi Geni telah melarikan diri dengan merebut istriku. Berta-hun-tahun aku mencari. Dan di saat aku hampir putus asa tak menjumpai dimana adanya Wesi Geni yang kucari hampir 10 tahun tak pernah kujumpai, aku berhasil menemukan mereka. Saat itu hasil hubungan Wesi Geni dengan istriku telah membuahkan anak, yaitu kau sendiri. Aku tak dapat menahan rasa cemburu dan dendam yang telah terpendam selama sepuluh tahun itu. Terjadilah kisah yang membawa malapetaka dari keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati. Demikian juga ibumu!"

   "Oh...!?"

   Tersentak kaget Mayana.

   Jantungnya berguncang keras.

   Tubuhnya menggeletar menahan 1001 macam perasaan yang berkecamuk didada.

   Mayana menatap tajam wajah Gajah Lor.

   Dilihatnya setitik air bening mengalir turun dari kelopak mata laki-laki tua itu.

   Laki-laki yang telah menodainya.

   Laki-laki yang telah menjadi gurunya sendiri.

   Terdengar suara laki-laki tua itu menghela napas.

   Lalu lanjutkan kata-katanya.

   "Apa yang kukatakan adalah cerita yang sebenarnya, Mayana! Selama ini aku merasa berdosa karena menyembunyikan rahasia ini terhadapmu. Sebelum kau membunuhku baiknya ku ceritakan riwayat belasan tahun yang silam mengenai diriku!"

   Laki-laki ini tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan ingatannya. Tak lama dia mulai bicara lagi.

   "Dulu, pada masa aku masih menjadi seorang Adipati. Aku hidup berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Dengan kekuasaan yang cukup besar. Aku jatuh cinta pada Indreswari putri seorang Tumenggung. Tumenggung itu adalah masih paman angkatku sendiri. Tak dinyana kakakku Wesi Geni diam-diam juga mencintai gadis itu. Dan bahkan mereka diam-diam telah saling jatuh cinta. Hal itu kuketahui setelah kami menikah. Peduli dengan semua itu. Cintaku pada Indreswari amat besar. Dan kami telah menikah. Terpaksa aku mengesampingkan kisah cinta mereka. Toh, gadis itu sudah jadi istriku! Dua tahun kami menikah, ternyata tak dikaruniai seorang anakpun. Hingga suatu ketika aku ditugaskan Ratu untuk membuat kitab susunan tata kerajaan. Aku yang memerlukan tempat sunyi segera meninggalkan gedung Kedipatian, setelah meminta izin pada Ratu. Aku berjanji pada istriku akan pulang sebulan kemudian. Tapi ketika aku kembali, ternyata Indreswari telah minggat bersama Wesi Geni. Betapa gusarnya aku, sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa permisi dan masih membawa kitab tata kerajaan, aku pergi mencari dimana adanya mereka. Aku tak pernah kembali ke Kota Raja. Hingga kemudian aku berhasil menemui mereka, dan membunuhnya. Lalu aku bersembunyi dipuncak bukit Raja basah dengan membawa kau. Dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan! Nah, kukira cukuplah sudah penjelasanmu, Mayana! Apakah kau masih ragu kalau aku ini si pembunuh ayah ibumu?" *** SEMBILAN Mayana tercenung lama. Lama... tak tahu dia apa yang harus diperbuat. Hubungan antara guru dan murid selama ini amat akrab. Bahkan telah berlanjut dengan hubungan badan. Ada rasa kasihan pada Gajah Lor. Bila menilai akan cerita sang guru, dia tak dapat disalahkan. Siapa yang tak sakit hati istrinya dibawa lari orang. Walau yang membawa lari adalah kakak kandungnya sendiri? Bila mengingat hubungan keluarga, Gajah Lor adalah masih pamannya sendiri. Tegakah dia membunuh orang tua itu? Yang telah mendidiknya selama ini? Kemelut dihati Mayana seperti sukar dipecahkan. Tapi bila mengingat akan kesuciannya yang telah dirusak oleh sang paman, betapa sakitnya hatinya. Gadis ini gigit bibirnya menahan perasaan yang menggebu dalam dada. Sementara Gajah Lor tiba-tiba terdengar batuk-batuk, lalu berkata parau.

   "Mayana! tunggu apa lagikah kau? Ayo! tusukkan pedangmu kejantungku! Bukankah selama sepuluh tahun kau cuma menantikan saat ini?"

   Gajah Lor gerakkan tangannya merobek jubahnya hingga dadanya terbuka.

   "Ayo, Mayana! mengapa kau ragu?"

   Berkata lagi Gajah Lor.

   "Aku rela mati ditanganmu, walau... walaupun aku sudah terlanjur mencintaimu!"

   Kata-kata laki-laki tua ini membuat dara ini palingkan wajahnya, yang tiba-tiba terasa panas.

   "Mencintaiku?"

   Bentaknya menggeledek. Mata dara ini membinar dan berkaca-kaca.

   "Heh! kau tak lebih dari manusia binatang! Kalau kau mau menolong orang mengapa mengharapkan imbalan? Mengapa kau baru berterus terang setelah kau menodaiku?"

   Terisak Mayana dengan air mata mengalir di pipinya. Gajah Lor tertawa terkekeh, dan kembali dia batuk-batuk.

   "Semua itu sebenarnya atas dasar sakit hati, muridku! Akan tetapi aku tak dapat menolak kenyataan, kalau aku ternyata mencintaimu. Aku puas telah dapatkan kehangatan tubuhmu. Biarlah aku mati dengan menanggung dosa. Ya, aku telah banyak berbuat dosa. Aku membunuh kakak kandungku sendiri yang tak bersalah!"

   Berkata Gajah Lor. Kata-kata ini membuat Mayana tersentak untuk mendengar apa yang akan diutarakan Gajah Lor.

   "Ya! ayahmu tak bersalah! Yang salah adalah aku!"

   Gajah lor yang tadinya akan menceritakan rahasia lebih lanjut kembali terbatuk-batuk. Tiba-tiba dia muntahkan darah kental berkali-kali.

   "Ah, guru! kau... kau terluka dalam?"

   Tersentak kaget Mayana.

   "Heheheh... benar, muridku! Tapi tak apa. Toh aku akan mati ditanganmu. Aku mati sebagai penebus atas dosaku!"

   Berkata parau Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.

   "Tidak, guru! Aku takkan membunuhmu! kau harus cepat diobati. Akan tetapi Gajah Lor tak menyahut. Dia telah terkulai tak sadarkan diri. Gadis ini jadi kebingungan. Di serba salah untuk bertindak. Ingin dia menolong, tapi di lain saat hatinya mendadak menjadi membencinya. Dan akan membunuhnya saja. Tapi mengingat dia perlu tahu rahasia apa yang akan dikatakan sang guru itu, dia harus menyelamatkan jiwanya. Demikianlah. Mayana segera totok beberapa bagian jalan darah sang guru. Lalu gunakan tenaga dalamnya untuk melancarkan pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya dia sudah berlari keluar goa. Di carinya beberapa jenis tumbuhan obat. Kemudian dengan ramuan yang telah dipelajari dia berusaha mengeluarkan racun yang mengendap ditubuh Gajah Lor. Nyatalah Gajah Lor telah terkena pukulan beracun. Siapa adanya orang yang melukai gurunya itu tidaklah Mayana mengetahui. Usaha Mayana untuk menyelamatkan nyawa sang guru ternyata membawa hasil. Dua hari dalam rawatan Mayana, Gajah Lor menampakkan kepulihan kesehatannya. Hingga suatu hari...

   "Mayana, muridku...! Ah, mengapa kau bersusah payah menolongku?"

   Berkata Gajah Lor dengan menatap muridnya.

   "Tak usah kau berkata begitu, guru?"

   Katakanlah siapa yang telah melukaimu?"

   Mayana tersenyum menatap pada Gajah Lor.

   Girang hatinya melihat kesehatan Gajah Lor berangsur membaik.

   Laki-laki tua yang masih bertubuh tegap itu menatap muridnya dengan trenyuh.

   Hatinya seperti disayat melihat gadis itu begitu amat memperhatikan dirinya.

   Dua sinar mata kembali beradu tatap.

   Aneh! Mayana merasakan jantungnya berdetak cepat.

   Dan satu perasaan aneh menelusuri sanubarinya.

   Entah mengapa dia amat mengharapkan Gajah Lor tetap hidup.

   Dan ada rasa tenteram bila dia bersamanya.

   Tidak saja seperti dia bersama orang tuanya sendiri, tapi bahkan lebih dari itu.

   Cepat-cepat Mayana menunduk ketika merasa wajahnya menjadi panas.

   Dan hatinya tergetar dengan 1001 macam perasaan.

   "Kelak akan kuceritakan bila aku sudah sehat betul, muridku. Dan terima kasih atas kebaikan hatimu..."

   Berkata lirih Gajah Lor.

   Mayana cuma bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan hati tak menentu.

   Sementara Gajah Lor memandangnya seperti tertegun hingga tubuh gadis itu lenyap dibalik pintu goa.

   *** Apapun didunia ini bisa saja terjadi.

   Dan apa yang terjadi sudah menjadi jalan hidup manusia.

   Demikian pula dengan kedua manusia didalam goa itu.

   Hubungan dan benih cinta yang terkandung didalam hati dari dua manusia berlainan jenis yang jauh perbedaan usianya, kembali berlanjut...

   Mayana tak kuasa menolak tatkala laki-laki tua itu meminta untuk melayaninya.

   Sang dara kembali tenggelam dalam nikmatnya cinta.

   Tenggelam dalam nikmatnya sesuatu yang pernah dia rasakan.

   "Mayana... aku... aku amat mencintaimu..."

   "Guru... ah, guru..."

   Mendesah dara ini dalam dekapan tubuh laki-laki kekar itu.

   Laki-laki yang telah memberikan sejuta kenikmatan untuknya hingga dia lupa segala-galanya.

   Menggelinjang tubuh sang dara dalam alunan ombak bahtera disamudra luas yang tak berujung.

   Desah dan rintih menjadi satu memenuhi ruangan goa itu.

   Sementara diluar goa angin pegunungan bertiup kencang.

   Awan hitam berarak dilangit.

   Hawa dingin menebar kesetiap pelosok.

   Dan dengan di dahului oleh gelegarnya petir diangkasa, hujanpun turun dengan lebatnya.

   Bumipun seketika basah oleh air hujan....

   *** SEPULUH WICAKSA alias si Dedemit Mata Picak penghuni kali Tengkorak Darah itu tergesa-gesa menguburkan jenazah Wewe Gombel Setan Genit, dengan bulu tengkuk meremang.

   Selesai menimbun lubang dengan tanah, Wicaksa menengok kekiri kanan.

   Seperti mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel Setan Genit.

   Ditunggunya beberapa saat.

   Tapi tak ada lagi suara tertawa yang menyeramkan dan tiupan yang menghembusi daun telinganya.

   "Apakah arwah si Wewe Gombel telah sempurna setelah kukuburkan mayatnya?"

   Gumam Wicaksa.

   "Eeeh! apa katamu, setan tua? kau harus laksanakan tugas keduamu mencari si Cakra Murti untuk membalas kematianku! hihi... hihik... apakah kau mau pungkiri janjimu?"

   Suara Wewe Gombel Setan Genit tiba-tiba terdengar mendesing nyaring didaun telinga. Tak ampun kakek ini melompat kaget. Seketika keringat dingin merembes dikuduknya.

   "Ah!?... bbaft... bab... baik! baik! aku akan mengerjakan perintahmu! Tapi... tapi katakan kemana aku harus mencarinya?"

   "Goblok! kau cari ke arah Kota Raja!"

   "Ha? ke Kota Raja?"

   Tersentak Wicaksa.

   "Behar! apakah kau tak tahu kalau dia sebenarnya seorang Adipati?"

   "Ya.. ya... eh, dia seorang Adipati?"

   "Betul! dialah Adipati Wukir Kamandaka!"

   "Hah!?"

   Jadi... jadi si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kamandaka?"

   "Iya, goblok! Hayo, cepat berangkat mencarinya!"

   Membentak suara arwah Wewe Gombel Setan Genit. Tahu-tahu Wicaksa menjerit kaget karena merasa pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh ngusruk ketanah.

   "Waaa..!? jangan main kasar kau arwah Wewe Gombel. Aduuh, pantatku sampai nyeri begini...!"

   Memaki Wicaksa.

   "He? kau berani membantah? mau ku tendang atau tidak itu kemauan ku! Kalau kau tak cepat berangkat. Awas! Sekali kujilat lehermu, kau akan mati hangus seketika!"

   Arwah Wewe Gombel justru lebih galak lagi. Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan gemetar dia berkata.

   "Baik! baik! Wewe Gombel Setan Genit! aku turut perintahmu!"

   "Nah, begitu! segera berangkat ke arah timur!"

   Perintah si arwah Wewe Gombel Setan Genit.

   Tak ayal lagi setelah melihat arah matahari yang condong ke arah barat, Wicaksa berkelebat cepat menuju ke arah timur, dengan tengkuk semakin meremang.

   Diamdiam dia mengeluh karena seumur hidupnya barulah dia diperalat oleh setan! Kalau saja Wicaksa dapat mempergunakan mata batinnya dengan baik, tentulah dia dapat melihat siapa orang yang memerintah itu.

   Karena tak lain dari seorang wanita berpakaian dari kulit macan tutul.

   Siapa lagi kalau bukan RORO CENTIL adanya.

   Gadis pendekar Pantai Selatan ini sambil berkelebat mengikuti Wicaksa diam-diam tersenyum, karena berhasil mengakali Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Darah.

   "Hihihi... manusia sinting semacammu yang membunuhi orang seenaknya saja sebelum kutamatkan riwayatnya, ada baiknya kutipu dia agar ke Kota Raja. Agar diketahui oleh pihak Kerajaan yang selama ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat semaunya!"

   Menggumam Roro, Tapi diam-diam dalam hati dia membatin.

   "Oh, ya? Ada permusuhan apakah dia denganku? Baru kuingat kalau pembunuhan atas orang-orang desa yang mayatnya disebarkan disekitar Kuil Tengkorak Darah adalah kudengar untuk mengundang munculnya aku?"

   Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari dirinya.

   Hal itu diketahui dari hasil mendengar pembicaraan si Wewe Gombel Setan Genii dengan Wicaksa, juga pembicaraan dengan Cakra Murti.

   Bagaimana Roro secara tiba-tiba berada di tempat itu, dan berhasil menakut-nakuti Wicaksa serta mengetahui siapa adanya Cakra Murti? Marilah kita menengok ke belakang pada beberapa waktu belakangan ini..

   Perbuatan biadab Wicaksa yang sengaja mengundang maut itu telah terdengar oleh Roro, ketika dia singgah disebuah desa.

   Adanya penghuni kuil Tengkorak darah yang tadinya bekas kuil peninggalan seorang Brahmana.

   Brahmana itu bernama YOGA SWARA yang tinggal bersama murid-muridnya dikuil tersebut.

   Roro berjumpa dengan salah seorang murid Brahmnana Yoga Swara yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian.

   Dia menceritakan kemunculan seorang kakek bertampang seram yang menamakan dirinya si Dedemit Mata Picak mengacau kuil mereka dibukit Lembayung.

   Saat itu guru mereka Brahmana Yoga Swara sedang tak berada dikuil.

   Si Dedemit Mata Picak itu bertujuan mau merebut Kuil untuk tempat tinggalnya.

   Tentu saja para murid sang Brahmana mempertahankan.

   Namun mereka cuma mengantar kematian.

   Pemuda bernama Poma Jatu berhasil menyelamatkan jiwanya dengan melarikan diri memasuki desa.

   Akan tetapi Wicaksa setelah beberapa hari bercokol dikuil puncak Lembayung mulai menyebar maut membunuhi orang-orang desa.

   Dan mayatnya dibawa kekuil.

   Dalam waktu beberapa bulan saja kuil Brahmana Yoga Swara telah penuh dengan mayat yang membusuk bertimbun.

   Menimbulkan bau busuk yang menebar dan mengembara ke sekitarnya.

   Beberapa orang kaum pendengar yang coba mendatangi puncak bukit Lembayung untuk menumpas manusia iblis gila itu ternyata cuma pulang nama saja.

   Demikianlah, hingga kuil itu terkenal dengan nama Kuil Tengkorak Darah.

   Roro ucapkan terima kasih pada Poma Jatu yang telah beberapa kali pindah ke lain desa itu hingga berjumpa dengan Roro.

   Demikianlah, ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak Darah, Roro menjumpai Wicaksa yang baru saja kedatangan Wewe Gombel Setan Genit.

   Roro yang mempergunakan ajian Halimunan, tak diketahui kedatangannya oleh kedua tokoh golongan sesat itu.

   Demikianlah, hingga Roro menguntit mereka hingga tiba di wilayah tempat tinggal Cakra Murti yang menempati sebuah gedung tua ditepi danau.

   Bagaimana Roro dapat mengetahui siapa sebenarnya Cakra Murti? Itulah memang perjalanan yang tengah ditujunya.

   Roro memang telah melacak jejak Cakra Murti yang telah diketahuinya adalah seorang Adipati yang bernama Wukir Kamandaka.

   Dengan tugas mencari Ki Sabda Tama untuk mengambil kitab ditangan bekas Adipati itu.

   Diketahuinya Cakra Murti adalah Wukir Kamandaka adalah Cakra Murti adalah karena keteledoran Cakra Murti sendiri.

   Wukir Kamandaka dalam usaha pencarian jejak Ki Sabda Tama telah bergabung dengan kelompok-kelompok kaum Rimba Hijau golongan hitam.

   Bahkan tingkah lakunya mengikuti jejak kaum golongan hitam.

   Tentu saja dia tak luput dari perbagai kejahatan yang dilakukan orang-orang golongan sesat itu.

   Seperti dalam melakukan perampokan, pembegalan, pemerkosaan yang sudah dianggap biasa oleh Wukir Kamandaka.

   Bahkan kaum penjahat itu merasa terlindung dengan adanya Wukir Kamandaka berada diantara mereka.

   Roro Centil yang sejak pelacakan selalu menggunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak menampakkan diri dalam pandangan mata biasa, terus melakukan penguntitan pada Wukir Kamandaka yang telah menyamar dengan nama CAKRA MURTI, Wukir Kamandaka memang pandai dalam hal menyulap diri.

   Dengan menambah kumis dan jenggot palsu pada wajahnya, serta merobah dandanannya akan sukar dikenali lagi kalau sebenarnya dia adalah Adipati Wukir Kamandaka.

   Roro yang telah tahu dimana tempat tinggal sementara Cakra Murti, telah tahu banyak tentang hubungan Cakra Murti dengan Wewe Gombel Setan Genit si wanita cabul itu.

   Demikianlah, hingga ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan Cakra Murti pada Wewe Gombel Setan Genit yang dianggap sudah tak berguna lagi, semua itu tak luput dari mata Roro.

   Hingga kemudian dia mengakali WICAKSA dan menakut-nakutinya dengan menirukan suara Wewe Gombel Setan Genit.

   Dan memaksa kakek muka seram itu untuk mengejar Cakra Murti alias Adipati Wukir Kamandaka ke Kota Raja.

   *** SEBELAS CAKRA MURTI percepat larinya agar cepat tiba ditempat tujuan.

   Ternyata dia tak langsung ke Kota Raja.

   Akan tetapi membelok kearah selatan.

   Melewati sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan.

   Sementara Wicaksa terus menuju kearah Kota Raja.

   Kakek tampang seram ini setiap saat selalu menggerutu dalam hati, karena merasa kesal harus diperbudak oleh "arwah"

   Wewe Gombel Setan Genit.

   Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain mempercepat larinya menuruti perintah dari suara yang selalu mendesing ditelinganya.

   Semalaman menempuh perjalanan, Wicaksa telah tiba dibatas wilayah Kota Raja.

   Hari sudah menjelang pagi.

   Roro yang akan melihat situasi digedung Kedipatian, segera menahan langkah Wicaksa.

   "Hm, berhenti dulu, Wicaksa!"

   "Huh! kebetulan! aku sudah capek sekali. Berilah aku waktu beristirahat sampai siang nanti, Wewe Gombel..."

   Keluh Wicaksa yang segera merandek menahan langkah.

   "Hihihi... baik! kau beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila matahari sudah sepenggalah, kau harus segera cari gedung Kedipatian diwilayah Kota Raja ini!"

   "He? kita sudah sampai?"

   Tanya Wicaksa terkejut, tapi juga girang.

   "Ya! Ini sudah perbatasan wilayah Kota Raja!"

   Ujar Roro.

   "Hehehe... baik! baik, jangan khawatir! Siang nanti aku akan satroni gedung si Adipati gila itu untuk kukirim nyawanya ke Akhirat!"

   "Bagus! Nah! silahkan kau beristirahat!"

   Ujar Roro.

   Diamdiam dia tersenyum melihat kakek muka seram itu yang tampak amat kegirangan sekali.

   Selesai berkata, Roro berkelebat pergi meninggalkan Wicaksa.

   Dengan tetap menggunakan aji Halimunan, Roro melesat kearah Kota Raja....

   Ternyata Cakra Murti menuju kesebuah rumah paling besar yang berada ditengah desa.

   Pagi dinihari itu suasana disekitar desa masih nampak sepi.

   Sejenak Cakra Murti menatap ke pintu depan rumah besar itu.

   Tapi dia tak menuju kesana.

   Melainkan melangkah ke arah sisi rumah besar itu.

   Matanya tertuju pada sebuah jendela yang tertutup rapat."

   Ketika lengannya bergerak mengetuk pelahan, dari dalam kamar segera terdengar suara...

   "Siapa ...?"

   "Ehm, aku yang datang, sayang ..."

   Menyambut sang Adipati.

   Terdengar olehnya suara orang bangun dari tempat tidur.

   Lalu suara kaki pelahan melangkah mendekati jendela.

   Ternyata dalam kamar itu diisi oleh seorang gadis.

   Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta mata yang masih mengantuk, dia membuka jendela.

   Sementara hati gadis ini sudah berdebar karena mendengar suara lirih yang tak asing lagi baginya.

   Suara yang amat dikenal betul, yaitu suara sang kekasih yang dirinduinya.

   "Ah, ka... kakang..."

   Desisnya membelalak girang. Tapi...

   "Sssst!"

   Cakra Murti telah membekap mulut gadis ini, ketika dengan gerak cepat dia melompat masuk melalui jendela. Sesaat laki-laki ini telah melepaskan lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan senyuman.

   "Ginarti, kau baik-baik saja?"

   Ucapnya lirih. Wajah Cakra Murti tampak berseri-seri. Dan gadis mengangguk terpana. Gerakan melompat Cakra Murti membuat dia kagum.

   "Sukurlah..."

   Ucap Cakra Murti, seraya menutup lagi daun jendela yang terbuka. Lengannya bergerak merangkul pinggang gadis cantik putri kepala desa itu, lalu bagaikan seorang yang lapar melihat makanan laki-laki itu memeluk dan menciumi gadis itu bertubi-tubi.

   "Ahh... engg... nanti dulu, kakang. Aku... aku belum mandi..."

   Ucap lirih Ginarti yang menepiskan wajah Cakra Murti dengan napas tersengal.

   "Hm, tak perlu, sayangku... Tak mandipun"

   Tubuh dan mulutmu wangi. Dan kau... amat cantik sekali dalam keadaan bangun tidur begini!"

   Desis Cakra Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali menggelinjang ketika Cakra Murti memeluknya, merengkuhnya, dan kemudian menariknya keatas tempat tidur.

   "Tunggu dulu...!"

   Berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra Murti bergerak melepaskan baju tidur bagian atas. Namun toh sudah membuat tersembulnya dua buah bukit kembar miliknya.

   "Apa yang akan kau katakan, sayangku?"

   Desis Cakra Murti. Tapi lengannya tak berhenti untuk segera meremas kedua buah benda kenyal itu dengan napas yang semakin memburu.

   "Ahh... kakang, mengapa kau tak bisa sabar sebentar?"

   Terpejam-pejam mata gadis ini, tapi segera dia mendorong tubuh laki-laki itu.

   "Hm baiklah! katakanlah, apa yang mau kau katakan?"

   Tanya Cakra Murti. Ginarti cepat-cepat tutupi kedua buah dadanya.

   "Apakah kau telah berhasil mendapatkan kitab ditangan Ki Sabda Tama yang berisi ilmu Tata Kerajaan itu?"

   Tanya Ginarti.

   "Aha, kalau itu yang kau tanyakan, semuanya sudah beres! Kau tak usah khawatir. Dalam waktu tak lama lagi kau akan menggantikan kedudukan sang Ratu di Kerajaan GALUH KENCANA... Percayalah!"

   Berkata Cakra Murti.

   "Oh, benarkah...?"

   Ternganga mulut gadis ini.

   "Mengapa tidak benar?"

   Inilah kitabnya! ujar Cakra Murti seraya bangkit duduk dan mengeluarkan bungkusan kain kumal berisikan kitab Ki Sabda Tama.

   Seketika mata gadis ini berubah menjadi nanar.

   Dipeluknya laki-laki itu dengan sejuta perasaan menyelimuti sekujur sanubari.

   Ah, betapa bahagianya menjadi seorang Ra-tu.

   Khayalnya seketika membumbung sampai kelangit.

   "Kau nanti jadi Rajanya, kakang..."

   Bisik Ginarti dengan gelora yang semakin menggebu.

   "Tentu, manisku ...!"

   Bisik Cakra Murti.

   Dilolosinya pakaian Cakra Murti dengan amat cekatan dengan napas kian memburu.

   Sementara laki-laki itu pun berbuat sama.

   Lengannya tak berhenti-henti meremas.

   Tak lama desah-desah lirih membauri kamar itu.

   BRRRAAAAK! Pintu kamar itu porak-poranda bagai diterjang kaki gajah.

   Dua insan yang tengah terlena dalam buaian asmara itu terlonjak kaget.

   Terkejut bukan kepalang Cakra Murti ketika melihat siapa yang berdiri didepan pintu.

   Siapa lagi kalau bukan si Dewa Arak.

   Laki-laki tegap ini melotot menatap Cakra Murti yang terpana kaget dengan muka merah.

   Keadaan tubuhnya yang dalam keadaan membugil itu membuat dia kalang kabut menyambar pakaiannya.

   Sementara Ginarti menjerit kaget seraya menyambar selimut menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

   "Perempuan bejat! sungguh tak pantas kau menjadi keponakanku! Ternyata kalian merencanakan maksud jahat pada Kerajaan!"

   Membentak Dewa Arak dengan suara parau. Membuat wajah wanita ini jadi pucat.

   "Paman Kala Bendu... aku... aku..."

   Tergagap Ginarti ketakutan. Pada saat itu dimuka pintu kembali tersembul sesosok tubuh laki-laki tua. Laki-laki tua ini adalah kepala desa, si tuan rumah yang kecolongan dengan kedatangan "pencuri"

   Anak-anak gadisnya yang tak diundang.

   "Anak durhaka! kau patut dihajar sampai mampus! membentak laki-laki ini menatap anak gadisnya yang dalam keadaan kusut masai.

   "Hm, kecurigaanmu beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau tak menginap dirumah malam ini, tak nantiya kau bisa jumpa bangsat ini. Yang ternyata ada main dengan anakku!"

   Berkata sang Kepala Desa. BRRRAAK! Tiba-tiba jendela kamar itu pecah berantakan diterjang Cakra Murti. Dengan sigap dia telah melompat keluar. Akan tetapi si De-wa Arak telah memburunya dengan membentak keras.

   "Kau tak dapat lari, pengkhianat!"

   Gerakan Dewa Arak yang begitu gesit berhasil mendahului mencegat larinya Cakra Murti. Cakra Murti masih sempat menyambar kitab Ki Sabda Tama. Laki-laki yang belum sempat mengenakan bajunya ini mendengus.

   "Dewa Arak! apa hubungannya kau dengan urusanku!?"

   "Heh! apakah telingamu tak mendengar kalau namaku Kala Bendu?"

   Bentak si Dewa Arak.

   "Aku tak kenal segala nama rongsokan macam itu! Apa hubunganmu dengan Kerajaan?"

   "Hehe... hahaha... apa hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ketahuilah! Aku adalah utusan Kanjeng Ratu untuk menawanmu dengan segera, dan merampas kitab Ki Sabda Tama. Aku adalah Adipati Kala Bendu yang akan menggantikan kedudukanmu!"

   Terhenyak seketika Cakra Murti alias Wukir Kamandaka mendengar jawaban kata-kata si Dewa Arak. Tentu saja dia tak percaya begitu saja pada kata-kata orang.

   "Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat mu menjadi Adipati penggantiku?"

   Membentak laki-laki ini dengan wajah merah padam.

   "Sejak terbukanya kedokmu. Siapa yang tak tahu kalau kau berkomplot dengan kaum golongan hitam untuk menumbangkan kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! kau layak dihukum gantung! Segera berikan kitab itu. Dan serahkan dirimu untuk segera kuhadapkan pada Kanjeng Ratu!"

   "Buktikan bahwa kau benar-benar telah diangkat Adipati oleh Ratu!"

   Teriak Cakra Murti dengan wajah pucat. Kala Bendu tersenyum. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dikeluarkannya sebuah gulungan kain. Tanpa banyak bicara dia bentangkan gulungan kain itu dihadapan Cakra Murti.

   "Kau bacalah, Wukir Kamandaka! Bacalah dengan jelas!"

   Berkata Kala Bendu alias si Dewa Arak dengan suara tegar berpengaruh.

   Mendelik mata Cakra Murti ketika membaca tulisan besarbesar pada kertas yang berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tangan Ratu Galuh Kencana.

   DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN "GALUH KENCANA"

   MENGANGKAT SECARA SYAH KALA BENDU SEBAGAI ABDI KERAJAAN, DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WILAYAH BARAT KERAJAAN "GALUH KENCANA", DAN MUTLAK MENJADI PENGGANTI ADIPATI WUKJR KAMANDAKA, YANG TELAH DINYATAKAN SEBAGAI PEMBERONTAK MUSUH KERAJAAN.

   TERTANDA.

   RATU GALUH KENCANA Seketika pucatlah wajah Wukir Kamandaka.

   Tak ayal lagi dia telah berkelebat melarikan diri.

   "Manusia pengkhianat! Kau tak dapat lari kecuali ke Neraka!"

   Membentak Kala Bendu seraya berkelebat mengejar.

   Kejarkejaranpun segera terjadi dipagi yang masih berembun itu.

   Hingga kedua orang itu lenyap tak kelihatan lagi.

   Sementara dari rumah Kepala Desa itu terdengar suara jeritan dan lolong sigadis anak kepala desa itu yang dihajar oleh ayahnya.

   Beberapa orang penduduk keluar dari rumahnya mendengar ributribut itu.

   Akan tetapi mereka tak mengerti perihal peristiwa itu.

   Kecuali cuma menatap dari kejauhan dengan bertanya-tanya sesama tetangga.

   "Ada kejadian apakah, pak Slamet?"

   "Wuaah! Ndak tahu, ya...?"

   "Kasihan gadis itu, mengapa pagi-pagi sudah dipukuli?"

   "Bapaknya ngamuk karena... maklum sudah lama menduda!"

   Sahut salah seorang.

   "Ko' ngamuk? Apa dia mau sama anaknya sendiri?"

   "Mungkin juga!"

   "Gila!? Eh, Jangan mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"

   "Weleeh! bukannya mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa saja terjadi. Iya nggak pak Slamet?"

   "Iya ... iya! Tapi jangan menuduh dulu! Aku tahu persis pak Kepala Desa seorang yang paling jujur dan alim!"

   Pembicaraanpun habis, karena pintu rumah Kepala Desa tampak sudah tertutup.

   *** DUABELAS RORO CENTIL yang telah berada di dalam ruang pendopo Kedipatian segera mencari Wukir Kamandaka disetiap kamar dan memeriksa setiap ruangan.

   Dengan aji Halimunan yang digunakan Roro tidaklah sukar bagi Roro untuk menyelidiki.

   Akan tetapi tak dijumpai sang Adipati itu berada digedungnya.

   Berarti orangnya belum tiba.

   Pada saat itulah Roro mendengar suara ribut-ribut diluar.

   Ketika itu sebuah bayangan menerobos masuk kedalam gedung.

   Sekilas, Roro segera melihat siapa adanya sosok tubuh itu yang tak lain dari Wukir Kamandaka yang tengah di carinya.

   Roro bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu.

   Wukir Kamandaka mengeluh kaget karena tahu-tahu sekujur tulangnya mendadak lemah lunglai.

   Bahkan dia tak dapat mengeluarkan suara lagi ketika terasa ada lengan yang menotok tengkuknya.

   Detik itu Roro telah menyeret tubuhnya dan membawanya melompat ke tempat persembunyian.

   Sementara sesosok tubuh menyusul masuk dengan menggembor keras.

   "Pengkhianat Kamandaka! Kau takkan dapat selamatkan dirimu dari tiang gantungan!"

   Seketika seisi gedung Kedipatian menjadi gempar.

   Para prajurit Kadipaten mengurung kesetiap penjuru gedung.

   Pencarian Wukir Kamandaka digedung Kedipatian itu berlangsung beberapa lama.

   Namun aneh.

   Tak dijumpai ,di mana adanya Wukir Kamandaka.

   Tentu saja mereka tak tahu kalau semua itu adalah karena perbuatan Roro.

   Apakah yang dimaui Roro gerangan? Ternyata Roro telah mengamankan Wukir Kamandaka dengan membawa berkelebat dari ruang tempat persembunyiannya keluar dari gedung Kedipatian.

   "Hihihi... ingin kulihat bagaimana cara kau bertarung dengan si WICAKSA! sobat pengkhianat Kerajaan?"

   Berkata Roro seraya gulingkan tubuh Wukir Kamandaka ketanah.

   Laki-laki ini menyeringai kesakitan ketika tubuhnya jatuh menggabruk ke tanah.

   Saat itu Roro telah tampakkan ujudnya.

   Terbelalak mata Wukir Kamandaka melihat seorang dara rupawan berdiri dihadapannya dengan pakaian dari kulit macan tutul.

   "Hah! ssiapakah anda...?"

   Sentaknya terkejut.

   "Siapa? Hihihi... bukankah kau telah mengetahui siapa aku? Bukankah kau akan menunjukkan si Dedemit Mata Picak ke tempat aku berada?"

   Tanya Roro dengan tersenyum.

   "Ha? andakah nnon... nona Pendekar RORO CENTIL?"

   Suara Wukir Kamandaka menampakkan keterkejutan yang luar biasa. Karena baru pertama kali inilah dia melihat siapa pendekar wanita Pantai Selatan itu.

   "Tidak salah"

   Ujar Roro dengan suara ketus.

   Saat itu Wukir Kamandaka merasakan totokan pada tubuhnya telah punah sama sekali, bahkan dia telah mampu berbicara.

   Merasa dia telah terbebas, dan tahu apa yang dilakukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini, tak ayal lagi laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.

   "Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar..."

   Ujarnya dengan manggut-manggut mencium tanah beberapa kali "He? siapa yang telah menolongmu? aku tak merasa menolong orang yang menjadi pengkhianat Kerajaannya sendiri.

   Kau sebagai abdi Kerajaan yang seharusnya membela Kera-jaanmu, mengapa kau malah bersekongkol dengan kaum golongan hitam untuk menghancurkan Kerajaan mu sendiri?"

   Bentak Roro, Matanya melotot gusar, tapi bibirnya tersungging senyuman. Pendekar kita ini memang orang aneh. Tentu saja kata-kata itu membuat Wukir Kamandaka keluarkan keringat dingin.

   "Sobat pendekar Roro Centil! serahkan dia padaku!"

   Tiba-tiba terdengar suara menggeledek memecah keheningan yang mencekam.

   Didahului dengan bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah berkelebat dan berdiri ditempat itu.

   Ternyata tak lain dari Kala Bendu alias si Dewa Arak.

   Tersentak Wukir Kamandaka melihat kemunculan laki-laki berjuluk si Dewa Arak ini.

   Akan tetapi pada saat itu Roro telah berkata.

   "Tidak! orang ini adalah urusanku! kau tak boleh mengganggunya!"

   "Ha? apa maksudmu, sobat?"

   Tanya Dewa Arak terheran. Pada saat itu sebelum Roro menjawab pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro.

   "Bagus! segera kau telah menyusul kemari, WICAKSA! Segera kau bunuhlah Adipati pengkhianat ini!"

   Berkata Roro dengan suara nyaring. Selesai Roro berkata, mendadak tubuh Roro berkelebat dan lenyap. Saat itu Wicaksa muncul dari balik semak belukar.

   "Grrr...! CAKRA MURTI! kau harus menemui kematian ditanganku, sebagai penebus kematian saudara seperguruanku Wewe Gombel Setan Genit!"

   Menggeram Wicaksa menatap dengan mata memancarkan hawa amarah pada Wukir Kamandaka. Laki-laki ini seketika mundur dua tindak. Tidak! dia bagianku! Serahkan kitab Sabda Tama itu padaku, pengkhianat!"

   Membentak Kala Bendu. Akan tetap terkejut Wukir Kamandaka ketika tersadar dia sudah tak mengantongi lagi kitab Ki Sabda Tama. Buku itu telah lenyap.

   "Hah! Kitab itu telah hilang! aku tak tahu terjatuh dimana. Jangan-jangan si Roro Centil itulah yang mengambilnya!"

   Berkata Wukir Kamandaka dengan wajah pias. Tersentak kaget si Dewa arak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara membentak disusul oleh berkelebatnya dua sosok tubuh.

   "Kalian semua manusia-manusia pengkhianat! dan manusia durjana!"

   Dua sosok tubuh itu ternyata adalah GAJAH LOR dan muridnya, Mayana. Wajah Wukir Kamandaka dan Kala Bandu alias Dewa Arak seketika berubah pucat. Serentak mereka berteriak tertahan.

   "Ki SABDA TAMA...!?"

   "Hm, benar! Kala Bendu! sejak kapan Ratu keluarkan surat pengangkatan Adipati pada mu? Surat itu palsu! Dan kau Wukir Kamandaka! Kau tak berhak menjadi Adipati, kecuali atas izinku! Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah menjanjikan persyaratan mutlak denganku, bila aku berhasil menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan maka akulah yang bakal menjadi pengganti Ratu Kerajaan GALUH KENCANA!"

   Berkata Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.

   Suaranya terdengar menggeledek terdengar oleh Kala Bendu dan Wukir Kamandaka bagaikan mendengar petir disiang hari.

   Keduanya tersentak kaget melihat Ki Sabda Tama mengeluarkan sebuah MEDALI Itulah medali Lambang Kerajaan GALUH KENCANA.

   Seketika menggigil tubuh Kala Bendu karena rahasianya terbongkar.

   Memandang pada Wukir Kamandaka, laki-laki ini berdiri dengan lutut gemetar melihat Lambang Kerajaan itu dengan mata membelalak.

   "Dan kalian lihatlah! Kitab Tata Kerajaan ini masih berada ditanganku! Kitab yang kalian perebutkan itu adalah kitab palsu yang hanya berisi syair-syair belaka!"

   Semakin membelalak mata Kala Bendu dan mata Wukir Kamandaka melihat kitab asli ciptaan Ki Sabda Tama di tangan si penciptanya itu.

   "Kalian semua harus segera serahkan diri untuk menjalani hukuman, dan menghadap Kanjeng Ratu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian semua.

   "Tapi... tapi aku diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari anda, Ki Sabda Tama dengan tujuan mengambil kitab itu!"

   "Perintah dusta!"

   Bentak Ki Sabda Tama pengkhianat Kerajaan! Dan kau Wukir Kamandaka! kaupun telah terlibat dengan pengkhianatan ini!"

   Kala Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, selain tiba-tiba dia keluarkan senjatanya. Dan dengan ganas telah menerjang Gajah Lor.

   "Kunyuk tua! kiranya diam-diam kau mengetahui apa yang kulakukan selama ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan mampus!"

   WHUUT! WHUUUT! Sambaran-sambaran ganas klewang Kala Bendu bersyiuran menabas leher dan mencercah balok kepala Gajah Lor.

   Akan tetapi pada detik itu.

   TRAANG! TRANGG! Kilatan pedang menyambar, hingga terjadilah benturan yang memercikkan letusan api.

   Ternyata dengan sebal Mayana telah menangkis sambaran klewang Kala Bendu.

   "Heheh... bagus, muridku! kau kirimkan nyawa bangsat ini ke Akhirat!"

   Teriak Gajah Lor.

   Sementara itu entah sejak kapan Roro telah berada lagi di tempat itu.

   Roro yang ikut campur urusan untuk membela yang berada dipihak benar, ternyata dia sendiri kebingungan karena urusan jadi sedemikian pelik.

   Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama bersama muridnya dengan membawa kitab ciptaannya yang asli, serta Medali Pusaka Kerajaan Galuh Kencana membuat Roro terlongong, memeganggi kitab ditangannya.

   Saat itu pertarungan telah terjadi.

   Kala Bendu terpaksa harus menghadapi serangan-serangan Mayana yang ganas.

   Sementara Gajah Lor alias Ki Sabda Tama Menerjang ganas ke arah Wukir Kamandaka! Laki-laki yang sudah ciut nyalinya ini bertarung dengan hati kacau.

   Karena niatnya adalah melarikan diri.

   Tapi apa mau dikata Gajah Lor terus memburunya dengan pukulan-pukulan maut.

   Walaupun dia berilmu cukup tinggi, tapi menghadapi serangan Gajah Lor yang ilmunya lebih tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir Kamandaka tak dapat berbuat banyak.

   Satu hantaman telak membuat laki-laki ini menjerit parau.

   Tubuhnya limbung, ketika Gajah Lor berhasil sarangkan telapak tangannya yang mengandung tenaga dalam menggeprak kepala Cakra Murti alias Wukir Kamandaka.

   *** Dalam saat limbung itu tahu-tahu WICAKSA menggerung keras.

   Lengannya terjulur...

   Dan...

   Bluk! Wukir Kamandaka menjerit sekali lagi.

   Tubuhnya terlempar bergulingan.

   Lalu terkapar terlentang tak berkutik lagi.

   Tampak tulang dadanya remuk bahkan sekujur tubuhnya berubah menjadi kehitaman.

   Itulah pukulan beracun Wicaksa yang amat mengerikan, yang sekaligus telah mengantar nyawa orang.

   "Wah, wah... urusan jadi rumit. Apa yang harus kuperbuat?"

   Gerutu Roro yang jadi pijit-pijit keningnya memandang kearah pertarungan.

   Tiba-tiba Roro melihat Kala Bendu berkelebat melarikan diri.

   Diiringi bentakan Mayana.

   Dara puncak Rajabasah itu mengejar.

   Disusul oleh bentakan Ki Sabda Tama yang berkelebat menyusul.

   Tak dapat dibiarkan begitu saja Kala Bendu melarikan diri.

   Roro meremas kitab ditangannya, ketika ketiga manusia itu sekejap sudah tak kelihatan lagi.

   Bubuk kertas ditaburkan ditanah.

   "Benda tak berguna lagi!"

   Gerutu Roro.

   Tiba-tiba tersentak Roro ketika serangkum angin menyambar tubuhnya.

   Dalam keadaan tak berwaspada itu agaknya serangan itu akan sukar terhindarkan.

   Tapi naluri si Pendekar Pantai Selatan ini sudah teramat peka.

   Walau serangan itu sepertinya mengenai sasaran, namun Roro telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam.

   WHUUUUK! "Aaaah...!"

   Buk! Tubuh Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakan disusul berkelebat muncul seorang kakek tinggi besar.

   "Hehehe... hoho... ternyata ilmu kepandaian mu tak berarti, Roro Centil! Toh akhirnya kau harus jatuh juga ke tanganku!"

   "Kau makin tambah umur semakin cantik, pendekar Roro! Amboi, pakaianmu dari kulit macan tutul amat serasi dengan tubuh mu yang mulus. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!"

   Berkata laki-laki tinggi besar ini.

   "Siapa kau...?"

   Bertanya Roro seolah dalam keadaan tak berdaya. Menatap dengan membelalakkan mata pada orang dihadapannya.

   "Hohoho... kau lupa, atau memang sudah tak ingat lagi? Akulah RATAN SUGAR! Masih ingatkah ketika kau membunuh si Ririwa Bodas? Aku adalah pamannya!"

   Sahut si kakek tinggi besar.

   Tersentak Roro yang segera teringat akan nama Ririwa Bodas si kakek pendek berbuntut ular, yang tak lain dari guru Giri Mayang alias Kelabang Kuning.

   Musuh besar yang amat mendendam padanya itu telah banyak memakan korban dengan perbuatan gurunya yang menciptakan ular-ular siluman untuk membunuhi penduduk tak berdosa.

   Perbuatan itu dilakukan cuma untuk memancing kemunculan Roro agar Giri Mayang dapat melakukan pembalasan dendam.

   Perlu diketahui kedua guru dan murid yang telah tewas ditangan Roro itu berasal dari wilayah Pulau Andalas.

   "Heh, aku ingat! ya, aku kini ingat siapa adanya kau! Lalu apakah kau mau membalas dendam untuk membunuhku?"

   Bertanya Roro dengan tetap terlentang ditanah tak bergerak.

   "Ya! tapi bukan ditempat ini. Kau akan ku bawa ke Pulau Andalas. Tepatnya ke Kerajaan Sriwijaya. Karena kepalamu perlu digunakan untuk tumbal kerajaan!"

   Tersentak kaget Roro.

   "Edan! kepalaku mau dibuat tumbal kerajaan?"

   Memaki Roro dalam hati. Pada saat itu Ratan Sugar telah menghampiri dan ulurkan lengannya untuk menyambar tubuh Roro. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan menggeledek.

   "Tunggu!"

   Disusul sambaran ganas angin pukulan berbau amis menyambar ke arah Ratan Sukar.

   Kakek tinggi besar ini kibaskan jubahnya menangkis.

   Hebat kibasan lengan jubah gombrong kakek tinggi besar ini.

   Karena angin pukulan yang jelas adalah pukulan beracun itu menyambar balik kearah si penyerangnya.

   Ternyata yang barusan menyerang adalah Wicaksa si Dedemit Mata Picak.

   Penghuni Kuil Tengkorak Darah ini mana mau membiarkan orang yang memang tengah dicarinya selama ini digondol pergi? Whuuusss....

   Bhlarrr! Angin balikan dari si kakek tinggi besar lewat dibawah kaki Wicaksa yang mengelak dengan melompat gesit menghindari sambaran angin pukulannya sendiri.

   Angin pukulan bertenaga besar itu menghantam pohon yang seketika berderak hancur.

   Dan hangus seketika menjadi arang.

   "Hebat! Sungguh hebat serangan balasan mu, kakek Dewur!"

   Berkata Wicaksa yang diam-diam keluarkan keringat dingin. Kalau terlambat dia mengelak, tak dapat dibayangkan bagaimana keadaan tubuhnya.

   "Setan alas kau! Siapa kau manusia jelek? Dan apa maksudmu menghalangi urusanku? Mengapa kau panggil aku kakek DEWUR?"

   Menggembor Ratan Sugar.

   "Hehehe... Jelek-jelak namaku sudah kesohor. Siapa yang tak kenal dengan Wicaksa si Dedemit Mata Picak penghuni Kuil Tengkorak Darah!"

   Tukas Wicaksa dengan menyeringai.

   Kau ku panggil kakek Dewur, karena tubuhmu gede-duwur...! alias tinggi besar! Dan maksud ku menghalangi niatmu, tentu saja takkan kubiarkan kau membawa pergi dia untuk kau jadikan tumbal di Kerajaan Sebrang! Karena dia adalah mangsa yang telah lama kucari-cari!"

   "Hmmm, jadi kau menginginkan juga? Baik kalau begitu. Segera kita tentukan dengan pertarungan. Siapa yang masih tinggal hidup dialah yang berhak atas pendekar Roro Centil ini!"

   Berkata Ratan Sugar dengan menggembor marah, namun kata-katanya tegas.

   "Kau mengajakku bertarung? Hehehe... bagus! Memang inilah yang kuharapkan. Majulah kau kakek Dewur!"

   Berkata jumawa Wicaksa.

   Tanpa diperintah dua kali Ratan Sugar telah menerjang Wicaksa dengan serangan ganas.

   Sepasang lengannya mengeluarkan sinar merah mengerikan.

   Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan sinar hijau.

   Suara bentakan dan ledakan-ledakan pukulan yang mengharu bisu membauri sekitar tempat itu Pertarungan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.

   Dua orang tokoh hitam yang sama-sama berkepandaian amat tinggi itu saling baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa lagi.

   Bahkan dia tak tahu kalau Roro telah berkelebat menjauhi pertarungan itu.

   Dari atas puncak pohon yang berada ditempat ketinggian, Roro menonton pertarungan adu nyawa itu.

   sebentar-sebentar dia berteriak kagum.

   Dan sekali-kali terkadang leletkan lidah melihat pukulan-pukulan ganas yang beradu menimbulkan suara menggetarkan bumi.

   Satu ledakan dahsyat kembali terdengar.

   Terdengar dua teriakan yang menjadi satu.

   Tampak tubuh kedua lawan bertarung itu terlempar beberapa tombak.

   Tubuh Ratan Sugar menghantam pohon yang seketika berderak patah.

   Lalu tumbang dengan suara riuh berkrosakan.

   Sedangkan tubuh Wicaksa terguling-guling dalam keadaan terbakar.

   Roro melompat dari puncak pohon.

   Dengan gerak ringan segera menghampiri tubuh Ratan Sugar.

   Segera dilihatnya tubuh kakek tinggi besar itu telah tak bernyawa lagi dengan keadaan tubuh hangus kehitaman.

   "Aiiih, ternyata ajalmu lebih cepat datang, sebelum kau sempat membawa dan memotong kepalaku untuk tumbal Kerajaan...! Kakek DEWUR yang malang..."

   Menggumam Roro. Ketika dia melihat kearah Wicaksa, kakek muka seram itu tengah menggosergoser sekarat dengan jubah hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah menghampiri.

   "Heh... hhe... RO... RORO... C.. CEN... Ti... L...! senang sekali a... aku melihat rupa dan wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... matipuh aku... t... tak penasas... sssaran... nnn ..."

   Berkata terengah Wicaksa memandang Roro dengan tertawa menyeringai. Keadaan kakek ini amat mengenaskan sekali. Roro menatap tak berkedip.

   "Ada permusuhan apakah kau sebenarnya denganku, Wicaksa?"

   Bertanya Roro dengan menatap heran.

   "Mengapa kau membunuhi orang hanya untuk mengundang munculnya diriku?"

   Kata-kata Roro seperti menyambung napas kakek seram itu, yang sudah mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Wicaksa"

   Tertawa lemah menyeringai.

   "Hehe... heh... heh.... aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta... pa... pada... mu... Ro... ro..."

   Baru saja selesai Wicaksa menyahut dengan kata-kata yang membuat mata Roro membelalak, kakek penghuni Kuil Tengkorak Darah itupun terkulai kepalanya. Napasnya telah lepas meninggalkan jasadnya.

   "Gila! edan ...!?"

   Roro Centil seperti tak percaya mendengar kata-kata Wicaksa.

   "Aiiih! Dedemit Mata Picak! kau benar-benar iblis gila cinta! sungguh dunia telah gila! dan manusia-manusia telah banyak yang gila!"

   Gerutu Roro Centil.

   Dan dengan diiringi suara tertawa melengking tinggi yang mirip tangisan, si Pendengar Wanita Pantai Selatan berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Saat tubuh Roro telah lenyap, suara tertawanya yang membangunkan bulu roma itu masih terdengar berpantulan disekitar tempat sunyi itu.

   RORO semakin tak mengerti dengan kemelut di Kerajaan Galuh Kencana Karena beberapa pekan kemudian setelah dia membantu pertarungan orang-orang Kala Bendu yang menguasai Istana.

   Roro mendengar berita aneh.

   Roro yang mengira Ki Sabda Tama alias Gajah Lor yang bakal menjadi pengganti Ratu Galuh Kencana, ternyata membunuh diri, setelah selesai penobatan MAYANA sebagai pengganti Ratu Kerajaan Galuh Kencana dengan gelar Dewi Mayana Sabda Tama.

   Apa yang menjadi penyebab kenekatan serta perbuatan Gajah Lor ini tak seorangpun dari pihak Kerajaan yang mengetahui.

   Kecuali Dewi Mayana Sabda Tama sendiri.

   Ketika kemudian terdengar kabar bahwa Ratu baru Dewi Mayana Sabda Tama itu kedapatan telah tewas membunuh diri dikamarnya, segera tersingkaplah rahasia mereka berdua, antara guru dan murid.

   Yaitu Mayana telah meninggalkan sepucuk surat seperti syair, yang berbunyi.

   GUNUNG-GUNUNG BESAR BERGELEGAR MENAKUTKAN LAUTAN MELUAP, AIRNYA NAIK KEDARATAN...

   DEWA MURKA KARENA KAMI SALAH! CINTA MEMBUAT KAMI BAHAGIA, TAPI NAFSU SUNGGUH ANGKARA! BIARKAN KAMI PERGI MENEBUS DOSA! Dari hasil dugaan orang-orang Istana, syair itu diartikan adalah Ki Sabda Tama telah mencintai Mayana Putrinya sendiri.

   Perbuatan terkutuk yang telah mereka lakukan atas dasar nafsu dan dendam Ki Sabda Tama pada kakak kandungnya Wesi Geni yang telah membawa lari istrinya.

   Ternyata Mayana bukan anak Wesi Geni.

   Melainkan adalah anak kandungnya sendiri.

   Namun cinta telah bersemi, walau cintanya adalah "cinta gila".

   Hingga Ki Sabda Tama setelah membahagiakan Mayana dengan mengangkatnya sebagai Ratu, dia membunuh diri.

   Namun ternyata Mayana sendiripun menyusul ayahnya yang telah terlanjur dicintainya.

   Roro Centil tercenung beberapa saat lamanya.

   Namun akhirnya dia menghela napas.

   "Inilah Dendam dan Cinta Gila Seorang Pendekar!"

   Gumamnya. Tubuhnyapun berkelebat pergi... Roro merasa kejahatan memang tetap sukar untuk ditumpas, karena Kala Bendu berhasil meloloskan diri. Kelak disitu saat tak mungkin kalau manusia itu tak membuat kericuhan lagi.... TAMAT E-Book by Abu Keisel
https.//www.facebook.com/ DuniaAbuKeisel

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Sungai Ular Roro Centil Empat Iblis Kali Progo Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka

Cari Blog Ini