Kail Naga Samudera 1
Satria Gendeng Kail Naga Samudera Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit SATU TANJUNG Karangbolong.
Senja saat itu.
Angin bertiup seperti hari-hari biasa, menjarahi pantai.
Matahari membanggakan warna kuning lembayung nya.
Juga seperti hari-hari biasa.
Daun nyiur di mana-mana bergerak-gerak beranggukan bagai terkantuk-kantuk.
Alam ramah.
Semuanya nampak sumringah.
Ti-dak untuk dua lelaki tua yang baru saja menyulut satu perkelahian besar.
"Heaaa!!!"
Teriakan salah seorang di antaranya meng-gugurkan kedamaian, mencerabut keramahan alam dari mahligainya.
Berkawal teriakan itu, se-bentuk angin pukulan menderu ke arah lelaki tua lain.
Berhawa panas.
Berbentuk memanjang.
Di sekelilingnya berpusingan asap berwarna keme-rahan.
Menjulur deras seolah naga api.
Wurr! Pihak yang diserang adalah kakek berusia tujuh puluhan jika dilihat dari perawakan mau-pun wajahnya.
Berpakaian hitam-hitam longgar.
Berikat pinggang dari kulit buaya.
Kepalanya di-ikat kain hitam, merangkum rambut putih seba-tas bahu.
Di atas bibirnya tumbuh kumis yang juga berwarna pucat.
Lebat.
Bertolak belakang dengan alisnya yang tumbuh jarang.
Bahu kanan orang tua itu membopong seo-rang perempuan berpakaian ungu.
Terlalu sulit wajahnya dikenali karena posisi tubuhnya yang tertelungkup lemas di punggung pembopongnya.
Rambutnya menjuntai-juntai.
Keadaannya amat lemah.
Begitupun tarikan napasnya.
Hampir tak kentara.
Bukan berarti dia sudah tak bernyawa Pihak lain, yang baru saja melepas seran-gan pukulan jarak jauh berhawa panas adalah seorang kakek kurus kering.
Berjubah hitam pendek sebatas paha.
Berjenggot dan berambut tak kalah putih dengan lawannya.
Tumbuh amat pan-jang.
Jenggotnya bahkan tumbuh sampai menca-pai lutut.
Wajahnya dipenuhi kerut-merut.
Kulit pipi bagian bawahnya malah sampai bergelantun-gan.
Siapa mereka berdua? Andai ada segelintir orang persilatan yang menyaksikan ketegangan yang terus memuncak antara kedua orang tua itu, tentu mereka akan segera menyingkir.
Buat mereka, itu jalan terbaik.
Sebab, dua orang itu adalah sepasang tokoh ka-langan atas dunia persilatan yang tak hanya disegani, tapi juga memiliki kesaktian sulit tertandingi.
Ibarat penghuni hutan, mereka adalah raja diraja singa.
Berurusan dengan mereka tak akan menjamin keunggulan.
Untuk Iblis Dari Neraka, bahkan bisa berarti mengundang tangan kema-tian dengan sengaja! Kakek yang membopong wanita menyan-dang julukan Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Siapa lagi tokoh tua yang memiliki gelar itu kecuali si tua Ki Kusumo? Sementara penyerangnya, yang siap men-jadi seterunya dalam kancah pertarungan besar itu menyandang julukan sangar.
Iblis Dari Neraka.
Sangar melebihi perawakannya sendiri yang begitu kurus.
Ki Kusumo memanggilnya Ki Ageng Sulut.
Tokoh sakti mandraguna dari dunia hitam yang telah memburunya sekian lama (Untuk mengetahui awal kejadiannya, bacalah episode sebelumnya .
"Geger Pesisir Jawa"}! Serbuan serangan pembuka dari Ki Ageng Sulut atas diri Ki Kusumo tidak cukup berarti buat orang tua ahli segala macam jenis obat dan seni penyembuhan itu. Meskipun dia dibebani tubuh seorang perempuan di bahunya. Pukulan jarak jauh Ki Ageng Sulut datang. Bagai menundukkan maut. Ki Kusumo tak membiarkan tubuhnya ter-panggang hawa panas pukulan tersebut. Tak di-hadapinya dengan pukulan peredam. Untuk per-tarungan awal, hanya akan membuang tenaga se-cara sia-sia melakukan hal demikian. Karenanya orang tua itu hanya berusaha mengelak. Tak ada teriakan pertanda kesukaran, tu-buh Ki Kusumo melenting ringan ke atas. Amat ringan. Tak terlihat kakinya melakukan hentakan. Dia seperti melayang lurus begitu saja. Seperti terlontarkan oleh tenaga dorongan hebat dari dasar bumi. Cukup mencengangkan. Terutama ka-rena lesatan tegak lurus tubuh Ki Kusumo sang-gup mencapai ketinggian sampai sepuluh tombak! Lalu tubuhnya menukik kembali ketika an-gin pukulan berhawa panas lawan telah lewat. Disebut menukik pun tak terlalu tepat. Karena Ki Kusumo melayang turun seperti mengendarai angin. Perlahan-lahan bagai sehelai bulu. Bagi Ki Kusumo tindakan itu tak lebih dari sekadar usaha menyelamatkan diri. Bagi lawan-nya, tindakan tadi seperti hendak memamerkan satu kelihaian. Penghinaan bagi KI Ageng Sulut. Dari seorang yang berusia di bawahnya. Tak cu-ma itu, pamor dan kebesaran julukan Iblis Dari Neraka pun jauh lebih lama menggegerkan di tanah Jawa. Pun di dunia persilatan. Jauh sekian tahun mendahului Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Keparat! Kau jangan pamer kelihaian pe-ringan tubuhmu padaku, Kusumo!"
Maki Ki Ageng Sulut "Kenapa kau berpikir begitu, Ki Ageng Sulut?"
Sambut Ki Kusumo, si Tabib Sakti Pulau Dedemit, sesampainya kembali di tanah.
"Apa kau pikir karena aku tak sebanding dengan kedigdayaanmu yang mendirikan bulu kuduk?"
Tambah Ki Kusumo, mencoba memanc-ing kegusaran lawan kian dalam.
Bukan ucapan pedas memerahkan telinga tadi yang justru menampar harga diri si tua kurus kering, manusia keji tak berhati itu.
Yang lebih menghinakan bagi dirinya adalah cara Ki Kusumo melepas kekehnya di akhir perkataan baru-san.
Kekeh itu dalam benak Ki Ageng Sulut seolah ditujukan untuk seekor anak kera.
Bukankah dengan begitu, Ki Kusumo hanya menganggapnya seekor anak kera? Itu keterlaluan, geram Ki Ageng Sulut.
"Jangan kau mencoba menipu diri, Kusumo. Kenyataannya, aku memang lebih digdaya darimu!"
Pangkas Ki Ageng Sulut, memastikan keberadaan nama besarnya.
"Kau ingin mengatakan kau lebih sakti da-riku?"
"Tentu! Ya, aku lebih sakti darimu. Jauh lebih sakti. Karena aku adalah Iblis Dari Neraka!"
"He he he! Tapi kenapa Iblis Dari Neraka yang sakti mandraguna membutuhkan pertolon-ganku?"
"Keparat! Jaga mulutmu Kusumo!"
"Ya... ya.... Aku memang harus menjaga mulutku. Tentunya kau tak ingin mendengar aibmu, bukan? Bahwa seorang sakti mandraguna yang memiliki nama besar seperti kau datang ke sini untuk meminta pertolonganku. Lalu kalau aku tak bersedia, jangan-jangan kau memohon-mohon padaku. Dengan penuh memelas, ten-tunya!"
"Kau memang keparat, Kusumo! Heaa!!"
Kegusaran Ki Ageng Sulut menjadikan ala-san baginya untuk melancarkan serangan beri-kutnya.
Tidak dengan pukulan jarak jauh berhawa panas yang sanggup membakar udara seperti se-belumnya.
Kali ini dia mempergunakan tepukan-tepukan telapak tangan.
Dari caranya melakukan serangan tampak sekali kalau kakek kurus kering sakti satu ini hendak melampiaskan kegusaran.
Hendak dijadikannya lawan sebagai sasaran ter-jangan.
Setidak-tidaknya menganggap Ki Kusumo sebagai sebatang pohon pisang yang akan demi-kian mudah dikepruk remuk dengan telapak tan-gannya! Plok plok plok plok! Dari tempatnya berdiri, cukup jauh dari tempat lawan, kaki Ki Ageng Sulut bergerak cepat menuju Ki Kusumo.
Langkah-langkahnya pendek.
Namun amat bertenaga.
Nyalang.
Tapi juga tera-tur.
Kekuatannya kentara sekali dari suara berdebam yang tercipta.
Berbarengan dengan setiap hentakan lang-kahnya, kedua telapak tangannya ditepukkan lu-rus ke depan.
Bunyinya santer.
Memekakkan te-linga.
Sekaligus menggetarkan udara dan nyali.
Sepertinya kedua lengan tokoh tua bangka itu telah berubah wujud menjadi dua bilah batang lo-gam keras yang setiap saat akan meremukkan lawan.
Jarak makin menyempit.
Ki Ageng Sulut makin dekat.
Padat anca-man.
Wajahnya berkobar-kobar dengan kemara-han teramat besar.
"Tepukan Iblis Kematian...,"
Bisik Ki Kusumo, cukup tahu jurus apa yang sedang dilan-carkan lawan ke arahnya.
Satu jurus yang sudah dianggap sebagai jawaranya jurus-jurus dunia persilatan.
Hanya dimiliki oleh Ki Ageng Sulut semata.
Tak ada orang lain! Mematikan bukan karena lawan terkena tepukan itu.
Melainkan ketika lawan tersambar angin yang dihasilkan tepukannya.
Jangankan tubuh manusia, sebongkah pecahan benteng ke-raton pun dapat dihancurkannya hanya dengan sekali tepukan.
Untuk melepas angin tepukan mautnya, si pemilik membutuhkan jarak sedikit-nya satu tombak.
Lebih jauh dari itu, tenaga angin tepukan bahkan tak bisa membinasakan see-kor lalat.
Dengan alasan itulah, Ki Ageng Sulut berusaha untuk mempersempit jarak.
Sungguh jurus yang aneh.
Sulit pula di-mengerti.
Namun bagi Ki Kusumo, tak terlalu aneh atau pun sulit dimengerti.
Dia dapat mem-baca bahwa lawan sengaja membatasi jarak jang-kau tenaga dalamnya.
Dengan cara itu, kekuatan tenaga pukulan jarak jauhnya dapat dipadatkan sedemikian rupa.
Seperti memadatkan timbunan mesiu agar dapat menciptakan kekuatan ledakan yang hebat! Lepas dari itu, bukan berarti Ki Kusumo memandang remeh serangan lawan.
Bahkan, dia menyadari benar posisinya.
Ancaman yang serupa dengan patukan moncong seekor naga sedang mengarah ke dirinya! Jelas berbahaya! Ki Ageng Sulut rupanya tahu benar bagai-mana memanfaatkan keadaan lawan.
Ki Kusumo saat itu sedang membopong seorang wanita.
Nyai Cemarawangi.
Akan teramat sulit baginya jika dipaksa untuk melakukan pertarungan jarak dekat.
Segala kerepotan akan menyudutkannya menjadi pihak terdesak.
Terutama karena dia harus ber-hati-hati agar wanita di bahunya tidak menjadi sasaran serangan lawan.
Boleh pula dia berkoar bahwa kesaktian-nya berada jauh di atas lawan.
Boleh saja Iblis Dari Neraka menyanjung dirinya sebagai tokoh yang lebih banyak makan asam garam ketimbang Ki Kusumo.
Namun, tak sedikit pun kepastian bahwa Ki Kusumo adalah seorang tokoh yang mentah.
Maksud Ki Ageng Sulut pun terbaca oleh Ki Kusumo.
Untuk tidak menempatkan posisinya men-jadi sulit, Ki Kusumo cepat mengambil tindakan.
Sebelum lawan benar-benar sampai pada jarak serangan mautnya, dengan gesit Ki Kusumo me-lompat jauh-jauh ke belakang.
Hinggap di bawah batang pohon kelapa, meletakkan tubuh Nyai Cemarawangi di atas pasir, lalu sesegera nya menggenjot tubuh kembali.
Langsung dihadang-nya laju lawan di tengah jalan dengan satu terkaman seperti seekor kucing liar yang siap mencabik lawan dengan keempat kakinya.
"Heaaa!!!"
Ki Ageng Sulut dipaksa terperanjat.
Tentu saja, karena dia tak pernah menyangka lawannya akan melakukan tindakan seperti itu.
Dikiranya, Ki Kusumo justru akan menanti.
Menanti sampai 'Tepukan Iblis Kematian' menanduknya.
Setelah itu baru dia berkelit.
Nyatanya kini, tabib sakti itu malah senga-ja mempercepat sempitnya jarak.
Semuanya di luar perhitungan Ki Ageng Sulut.
Padahal, kakek bengis itu sudah memperhitungkan pada langkah ke berapa dia akan melepas 'Tepukan Iblis Kematian'-nya! Wukh! Tanpa membiarkan lawan mengatur posi-sinya agar dapat melepas 'Tepukan Iblis Kema-tian', kaki Ki Kusumo sudah lebih dahulu mem-babat menyamping.
Kepala lawan hendak dilon-tarkannya dari leher! "Keparat!"
Ki Ageng Sulut memaki.
Memaki saja tidak cukup untuk menyelamatkan kepalanya.
Dia ha-rus pula berjumpalitan ke depan.
Tubuhnya ber-gelundung beberapa kali.
Sengaja mengambil ja-rak agar dia dapat mengatur serangan berikut-nya.
Ki Kusumo tidak memberi kesempatan.
Di-burunya lagi arah gerak lawan.
Sekedipan mata, kakinya menjejak pasir.
Kedip berikutnya dia sudah memutar tubuh lurus di udara, mengejar la-wan.
Tangannya kali ini membuat berpuluh-puluh patukan deras di udara.
Menuju Ki Ageng Sulut.
Deb deb deb deb! Ki Ageng Sulut cepat bangkit.
Matanya me-nyipit sepersekian kejap sebelum terjangan lawan tiba.
Mulutnya sempat melepas desisan.
"Mencuri Bunga Karang!"
Itulah nama jurus yang kini diperlihatkan Ki Kusumo.
Satu jurus yang tak kalah hebat dari 'Tepukan Iblis Kematian'.
Bukan cuma pamor, namun benar-benar kehebatannya.
Jurus itu pun hanya dimiliki oleh Ki Kusumo.
Satu jurus ber-hawa kematian yang diciptakannya di Pulau De-demit.
Jurus yang mengandalkan patukan jari beracun yang lebih mirip dengan gaya seseorang menyambar bunga karang dari permukaan laut.
Satu patukan bisa berarti seratus racun mematikan.
Karena patukan jurus 'Mencuri Bunga Ka-rang' memang mengandalkan tenaga dalam yang dibaurkan dengan serbuk di sekujur jari tangan Ki Kusumo.
Racun tersebut amat halus, nyaris tak kentara oleh pandangan.
Sekali lawan terpagut, maka jari tangan Ki Kusumo akan menjepit kulitnya.
Dalam sekeleba-tan, jari tangan Ki Kusumo akan mencerabut ku-lit itu, sekaligus membiarkan racun di jarinya mengalir melalui luka menganga di bagian tubuh lawan! Tak kalah berbahaya dengan 'Tepukan Iblis Kematian'.
Jelas! Namun jurus itu hanya dipergunakan oleh Ki Kusumo sewaktu-waktu.
Kesannya kejam.
Dia sendiri memang tak suka.
Kecuali jika harus menghadapi orang semacam Iblis Dari Neraka, dia tak akan ragu-ragu mempergunakannya.
Tak akan! Deb! Satu patukan merangsak leher Ki Ageng Sulut.
Sudah terlampau dekat untuk bisa meng-hindar.
Mau tak mau kakek bengis itu menyam-butnya.
Ditekuknya kedua tangan dalam-dalam.
Dibuatnya satu tepukan yang akan menahan pa-tukan jari lawan.
Jika perlu, meremukkannya.
Plok! Tepat ketika telapak tangan Ki Ageng Sulut melakukan tumbukan, jari tangan lawan amat gesit tertarik kembali ke belakang.
Lebih cepat dari kelitan kepala seekor ular sendok.
Berselang amat cepat, tangan Ki Kusumo yang lain mematuk ke wajah lawan.
"Keparat!"
Maki Ki Ageng Sulut, merasa hampir dikecohkan lawan.
Untung saja ketangka-san lehernya mampu dapat menyelamatkan wa-jahnya dari pagutan maut jari tangan lawan.
Dia menggeleng amat cepat ke samping.
Tak urung, pipinya merasakan pedih tersambar angin patu-kan Ki Kusumo.
Tepat keputusan Ki Kusumo untuk men-gimbangi serangan lawan dengan 'Mencuri Bunga Karang'.
Karena jurus ini pun mengandalkan se-rangan pada jarak dekat.
Bahkan bisa amat de-kat.
Menyebabkan lawan sulit mengatur jarak untuk melepas 'Tepukan Iblis Kematian'-nya.
Sebelum Ki Kusumo mencecarnya lebih de-ras seperti serbuan hujan, Ki Ageng Sulut memutuskan untuk mengubah taktik tarungnya.
Tidak bisa dia mengimbangi serangan lawan hanya den-gan 'Tepukan Iblis Kematian'.
Ibarat tak imbangnya kelincahan seekor ular dengan beruang be-sar.
Meskipun tenaga beruang jauh lebih tangguh dari seekor ular sekalipun.
Namun, bisa sang ular akan mematikan si beruang kalau dia kalah cepat menempatkan serangan.
Ki Ageng Sulut melompat jauh-jauh.
Dia berdiri dengan mata memerah.
Seranglah, desis-nya dalam hati pada Ki Kusumo.
Karena ketika terjangan lawan datang nanti, dia akan menyam-butnya dengan satu jurus amat berbahaya yang terlalu menakutkan untuk kalangan persilatan di seluruh penjuru mata angin! DUA PETAKA sedang melanda Kadipaten Pan-dan.
Kegegeran besar yang terjadi karena ulah gerombolan perampok.
Laskar Lawa Merah.
Dirga-sura pemimpinnya.
Lelaki berjuluk Tangan Seribu Dewa, tokoh dunia persilatan golongan hitam yang kian hari kian menebarkan ketakutan.
Terutama di sekitar Pesisir Selatan tanah Jawa.
Kadipaten Pandan adalah satu dari dua wi-layah yang terakhir menjadi mangsa empuk Laskar Lawa Merah.
Satu daerah lain adalah Ka-dipaten Ayah.
Dengan rencana yang matang, Dir-gasura mencuri-curi kesempatan melakukan ge-rakan gila-gilaan saat patroli pasukan Demak belum terlihat di dua kadipaten tersebut.
Ketika kekacauan terjangkit, ketika rumah-rumah penduduk dilalap jago merah yang sengaja disulut oleh anak buah Dirgasura, ketika pendu-duk berteriak-teriak ketakutan, ketika darah mereka tertumpah memboreh wajah bumi, ketika harta benda dikuras, ketika itulah gerombolah Laskar Lawa Merah diusik oleh kedatangan dua muda-mudi.
Mereka Satria dan Mayangseruni.
Satria yang dianggap mempunyai hutang nyawa terhadap kematian salah seorang anggota Laskar Lawa Merah di Kadipaten Ayah akhirnya harus berurusan langsung dengan Dirgasura.
Be-gitupun Mayangseruni, gadis yang semula dikira Tresnasari.
Pada satu saat, ketika Satria siap meng-hantamkan dua sikunya ke telinga Dirgasura bersama kemarahan yang meledak-ledak, satu anak panah beracun milik seorang anak buah Dirgasu-ra menembus punggungnya.
Pemuda tanggung itu jatuh dari bahu Dirgasura (Lihat kembali episode sebelumnya.
"Geger Pesisir Jawa')! Saat itu, Satria tersungkur jatuh. Sebagai lelaki yang sering mendapat sebutan manusia setengah raksasa, tinggi Dirgasura hampir dua kali orang biasa. Jatuh dari atas tubuhnya membuat Satria amat keras meninju tanah. Persoalan gawatnya bukan di sana. Me-lainkan pada anak panah yang menancap di punggungnya. Ketika terjatuh, posisi Satria amat memba-hayakan. Dia jatuh ke belakang. Menyebabkan anak panah yang menancap di punggungnya tertekan masuk lebih kuat menembus tubuhnya. Mengeri-kan! Sampai hampir seluruh bagian anak panah itu menembus keluar dari bagian dada pemuda tanggung itu. Batangnya berboreh darah. Dia ter-kulai setelah terlebih dahulu tubuhnya mengge-liat mengenaskan beberapa saat. Pemandangan mengenaskan itulah yang membuat hati Mayangseruni begitu miris. Pilu menyaksikan keadaan kawan muda barunya yang belum lagi sempat diketahui namanya. Geram, terlampau geram menelan kelaliman kelewat ba-tas telah terjadi lagi di depan matanya. Gadis ayu itu dibakar kemurkaan. Menggelegak bagai lahar! "Kau akan membayar nyawanya dengan nyawamu, Manusia Terkutuk!!"
Pekik Mayangseruni, menumpahkan panas membakar dalam di-rinya dalam kutukan. Pedangnya digerakkan nyalang. Wukh wukh! "Haiih!!"
Diserbunya Dirgasura kalap.
Sepasang senjata di kedua belah tangannya diputar bersilangan dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya.
Ke-cepatannya membuat putaran kedua pedang membentuk tameng samar yang aneh.
Satu tombak di dekat Dirgasura, pedang di tangan kiri Mayangseruni menyabet deras ke leh-er lawan.
Dirgasura berkelit mudah.
Kepalanya menggeleng ke sisi.
Mayangseruni menyusupkan tusukan ke arah gelengan kepala lawan.
Kekalapannya sema-kin menjadi.
Wajahnya beringas.
Keayuan nya nyaris terselubungi pancar keberingasannya.
Dalam serangan berbahaya gadis itu, mu-lut Dirgasura sempat-sempatnya memperdengar-kan tawa.
Seraya tergelak pendek dia menggerakkan lehernya satu putaran, seolah seekor ular yang mencoba merembeti pedang lawan.
Satu perbuatan yang mengundang bahaya bagi dirinya sendi-ri.
Bisa saja dia tersayat sisi pedang lawan.
Namun itu tak terjadi sama sekali.
Itulah maksudnya.
Dengan begitu, dia hendak mengejek lawan mudanya.
Mendorongnya semakin terjerembab dalam kekalapan.
Mayangseruni merasa dipermainkan.
"Bajingan!"
Jarak tarung yang diperdekat oleh Dirgasu-ra, tak memungkinkan gadis itu untuk melancar-kan gempuran pedang.
Kakinya membuat sa-puan, terseret di atas tanah.
Hendak dibabatnya kuda-kuda lawan.
Jika keseimbangan lawan teru-sik sedikit saja, maka dengan mudah mata pe-dangnya akan menyayat kulit tenggorokan Dirga-sura yang sengaja melingkari pedang Mayangse-runi dengan leher betonnya.
Gelak Dirgasura terlontar lagi.
Dia tahu benar maksud Mayangseruni.
Hanya dengan mengangkat kaki bergantian amat cepat, dia berhasil mementahkan sapuan kaki Mayangseruni.
Si pendekar wanita muda makin terpe-rangkap dalam kekalapannya.
Serangan diper-gencar.
Namun tidak berarti lebih terarah.
Kemarahan dalam dirinya telah membuatnya tak begitu memperhatikan siasat serangan.
Jurus-jurusnya jadi kacau membabi-buta.
Dirgasura, si Tangan Seribu Dewa, men-ganggap dirinya mendapatkan boneka kecil yang bisa dijadikan mainannya.
Dijadikan bulan-bulanan yang mengasyikkan.
Empat tusukan beruntun hendak dis-arangkan Mayangseruni di empat bagian memati-kan tubuh Dirgasura.
Si Tangan Seribu Dewa memperlihatkan kebolehannya yang menyebab-kan orang-orang persilatan menjulukinya demi-kian.
Tangannya yang terkenal cepat bagai milik seribu Dewa, bergerak laksana bayangan.
Tring tring tring tring! Hanya dengan sebelah tangan, empat tu-sukan sengit beruntun pedang Mayangseruni di-jentikinya.
Setiap kali terkena jentikan jari Dirgasura, pedang Mayangseruni tergetar.
Tangannya dilanda rasa nyeri.
Pergelangannya lemas.
Hampir saja dia melepaskan begitu saja kedua senja-tanya.
Sementara Dirgasura memperlihatkan ke-pongahannya dengan mengangsurkan sebelah tangan yang lain di belakang punggungnya.
Mayangseruni tersurut mundur.
Jentikan jari lawan terakhir membuat tangan kanannya terasa lumpuh sejenak.
"Kenapa mundur, Anak Manis?"
Ledek Dirgasura beriring senyum sinisnya yang teramat memuakkan di mata Mayangseruni.
"Apa kau tak mau bermain-main lagi?"
Sambung si lelaki setengah raksasa ini.
Sia-sia banyak mulut dengan manusia he-wan seperti dia, gusar Mayangseruni dalam hati.
Lagi pula, kemarahannya tak memberinya kesem-patan untuk itu.
Dengan sekali dengusan, pendekar wanita berusia muda itu mempersiapkan kembali jurus pedangnya.
Pedangnya disilangkan di depan wa-jah.
Membentuk gaya gunting besar.
"Hiaaa!!"
Dengan tiba-tiba, diterkamnya lawan.
Mayangseruni terbang lurus seperti sebatang tombak.
Di tengah jalan, tubuhnya berputar.
Sepasang pedang yang bersilangan menjadi ujung serangan mematikan.
Bagai mata pelobang bumi yang berputar.
Bagi Dirgasura, serangan lawan tak lebih dari kesempatan untuk membuktikan bagaimana pamor kecepatan tangannya.
Kecepatan Tangan Seribu Dewa! Begitu putaran pedang bersilangan yang kekuatannya berpusat pada putaran tubuh Mayangseruni di udara hendak mencabik-cabik tubuhnya.
Dirgasura membuat tamparan-tamparan secepat bayangan dengan sebelah tan-gan.
Seolah lelaki setengah raksasa itu sedang menghalau serbuan seribu lebah! Luar biasa! Mengagumkan! Terutama bagi para antek-antek Dirgasura.
Bagaimana tidak? Karena hanya mengandalkan kuku-kuku di ujung jarinya.
Dirgasura memapaki pusingan pedang bersilangan lawan.
Hanya dengan kuku-kuku di ujung jarinya! Pengerahan te-naga dalam ke ujung jari-jemarinya menyebabkan putaran pedang Mayangseruni tertahan seketika.
Lebih mencengangkan lagi, putaran tubuh pendekar wanita muda itu pun terjegal.
Tubuhnya tersentak.
Kemudian menukik jatuh.
Bersamaan dengan itu, sepasang tangan Dirgasura melaku-kan pagutan pada ujung pedang lawan dengan ja-ri telunjuk dan ibu jari.
Krep! Mayangseruni dipaksa terkesiap.
Bahaya besar baginya.
Pada saat tubuhnya menukik se-perti itu, akan sangat sulit baginya untuk membuat kuda-kuda baru.
Lawan setiap saat bisa mengayun kaki, menyambut tukikan tubuhnya.
Kekhawatiran Mayangseruni menjadi bera-lasan.
Dirgasura benar-benar melakukan sambu-tan berbahaya dengan dongketan kaki lurus ke atas.
Mayangseruni memekik kecil.
Dia tahu tendangan yang mengarah lawan ke ulu hatinya akan berakibat fatal! Maut siap menyambut.
Dalam beberapa kedip mata lagi.
Mayangseruni tak sempat berbuat lain, ke-cuali pasrah.
Bletak! "Aaaah!"
Raungan tinggi berat terdengar berdebam di udara.
Bukan dari mulut mungil Mayangseru-ni.
Melainkan dari kerongkongan si manusia se-tengah raksasa.
Apa yang terjadi? Pada saat kaki Dirgasura mendongkel te-lak-telak ulu hati Mayangseruni, mendadak saja berseliweran angin pukulan tak berwujud.
Kaki Dirgasura terhantam.
Sekaligus menyelamatkan ulu hati Mayangseruni dari ancaman kaki itu.
Entah siapa yang telah berulah.
Belum je-las bagi siapa pun.
Yang pasti, Dirgasura merasakan sakit sampai ke ubun-ubun.
Dapat dinilai da-ri suara raungannya.
Rasa sakit yang juga me-maksa si Tangan Seribu Dewa melepaskan pagu-tan jarinya pada sepasang pedang lawan.
Belum cukup sampai di situ, satu samba-ran deras merangsak kembali.
Dada Dirgasura menjadi sasaran empuk.
Dash! Sang pemimpin gerombolan begal yang di-takuti terjajar kuat ke belakang.
Tak sempat berteriak, karena jalan pernapasannya menyempit seketika.
Hanya parasnya saja yang berubah membiru kala itu juga.
"Tak sepantasnya kau bertengkar dengan bocah baru besar seperti dia, Kunyuk Bongsor!"
Sembur seseorang tiba-tiba.
Belum tampak wu-judnya.
Namun suaranya sudah berada di mana-mana.
Menggaung seperti sahutan guntur di ke-jauhan.
Meninju gendang telinga.
Seluruh anggota Laskar Lawa Merah men-cari-cari ke segenap penjuru.
Siapa manusia yang telah berani mengacau tindakan serangan pemimpin gerombolan begal yang begitu ditakuti di sepanjang Pesisir Selatan tanah Jawa? Niscaya mereka tak akan punya nyali un-tuk memperdengarkan pertanyaan macam itu jika tahu siapa si pengacau sesungguhnya.
Siapa dia? Seorang sesepuh di antara sese-puh dunia persilatan.
Si tokoh yang dianggap setengah siluman.
Manusia bangkotan yang merin-dukan mati tapi tak kunjung kesampaian....
"Panembahan Dongdongka...,"
Desis Dirgasura, ketika pandangannya yang mengabur me-nyaksikan seorang kakek bungkuk kurus kering berkepala botak melayang menuju kancah keribu-tan! Bertengger angker di atas pelepah daun kelapa sambil memukul-mukuli kepala klimisnya dengan bambu kuning di tangan.
Sebagian besar kalangan persilatan per-caya, kalau dedengkot itu sudah memukul-mukuli kepala sendiri berarti dia sedang marah besar.
Akan ada nyawa yang melayang di tangannya.
Hampir dapat dipastikan! Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah tiba.
Apa jadinya nanti? TIGA JAUH dari kerusuhan di Kadipaten Pan-dan, seorang gadis mungil yang baru menginjak remaja berjalan gontai.
Tanpa tujuan.
Tak ada gairah.
Terseret setiap langkahnya, pada jalan setapak berkerikil kecil yang membelah lembah be-rumput nan luas.
Seorang gadis yang sebenarnya berwajah menawan jika tak dirundung kesedihan.
Beram-but hitam panjang dibuntut kuda.
Berpakaian silat warna merah hati.
Di ikat pinggangnya terselip sepasang belati.
Lembah dikepung oleh barisan pegunun-gan.
Dingin kesannya.
Dengan warna kelabu ke-hitaman di kejauhan.
Di tepi lembah yang berba-tuan, pegunungan, pepohonan randu tumbuh ja-rang.
Kabut sudah semenjak tadi merayapi sege-nap penjuru.
Senja memang makin lelah.
Cahaya makin terengah.
Sebentar lagi malam.
Sisa kun-ing matahari hanya cukup untuk menerangi ja-lan.
Inikah akhir hidup? Tanyanya mendesah lirih dalam hati.
Biarpun dunia tak menampak-kan tanda-tanda akan segera kiamat, namun bagi gadis itu rasanya hidup telah terputus.
Saksikanlah keruh wajahnya.
Bagai men-dung kelabu.
Binar yang mestinya hadir dalam pandangan mata gadis remaja sebayanya tak ada lagi semenjak dia mengetahui tentang suatu yang amat memukul hatinya.
Ibunda tercintanya akan segera mati.
Direnggut penyakit tak terobati, yang sejak lama mendekam dalam tubuhnya.
Seperti seonggok racun yang perlahan tapi pasti meracu-ni dari dalam.
Dan pada waktunya membunuh-nya tanpa ampun.
Dia adalah Tresnasari.
Bocah perempuan remaja kawan dekat Satria.
Dara yang untuk pertama kalinya menyiram hati pemuda tanggung itu dengan guyuran cinta pertama.
Menyejukkan.
Namun juga menyakitkan ketika terjadi perpisa-han.
Sejak mengetahui Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit, ternyata tak bisa menyembuhkan penyakit Nyai Cemarawangi, Ibunya tercinta, Tresnasari pergi dari Tanjung Karangbolong.
Meninggalkan sepotong hati gamang oleh rasa kehilangan milik Satria (Baca episode sebelumnya .
"Geger Pesisir Jawa")! Tresnasari terus berjalan. Melangkah terus. Dalam kebisuan dan ke-sepian benaknya sendiri. Dia tak tahu keluh apa lagi yang hendak diperdengarkan hatinya. Lelah sudah. Biar hatinya sunyi. Jangkrik mulai berderik. Satwa malam lain mulai pula menyenandungkan suara masing-masing. Semuanya terdengar sengau di telinga Tresnasari. Semuanya pun terdengar lirih. Dia terus berjalan. Siapa pun tak bisa menghiburnya. Apa pun tak mampu menghiburnya. Walaupun dirinya sendiri. Kehancuran semata yang menggeluti se-genap rasanya. Dia terus berjalan. Tresnasari akhirnya sampai di ujung jalan setapak. Tanpa sadar, langkahnya telah menggi-ringnya tiba di tepi jurang terjal. Gelap mulai menjadi kelam. Malam telah benar-benar hadir. Matanya menatap lusuh ke bawah. Ke ke-gelapan jurang yang segelap asanya. Di sana, tak ada sebetik cahaya pun. Di sana senyap. Laksana kesenyapan yang kini menguasainya. Dingin. Menggidikkan. Memanggil-manggilnya.
"Nyai...,"
Desah Tresnasari, nyaris tak kentara.
"Tak ada lagi gunanya aku hidup kalau Nyai nantinya akan mati. Aku tak bisa berpikir lagi apa yang harus aku lakukan jika Nyai tiada...."
Lalu menyembul samar bisikan halus dari dasar hatinya.
Bisikan yang menghasut agar dia mengakhiri saja seluruh kesah ini.
Mengakhiri.
Kegelapan jurang di bawah sana pun seperti me-nyeruak bisikan serupa.
Perlahan, tapi gencar.
Makin gencar dan makin menghasut.
Tresnasari terisak.
Ditutupnya wajah den-gan kedua telapak tangan.
Beberapa saat ba-hunya terguncang-guncang kecil diberondong ke-pedihan serta kesedihan.
Lalu tubuhnya gontai.
Pada saatnya, dia sempoyongan ke depan.
Mulut jurang dalam pun menyambutnya! Sepi kembali di sana.
Dingin mengendap-endap.
* * * "Blang kunyuk macam apa kau, tega-teganya berbuat sesial ini pada bocah-bocah baru besar!"
Maki Dedengkot Sinting Kepala Gundul setibanya di atas tanah.
Kepalanya makin gencar saja diketuk-ketuk dengan batang bambu kuning.
Tanpa sadar, seluruh anggota gerombolan Laskar Lawa Merah tersurut mundur beberapa tindak.
Ketakutan membayangi benak mereka.
Termasuk Dirgasura sendiri.
Lelaki setengah raksasa itu mundur dengan memegangi dada.
Mu-lutnya terbasuh darah segar.
Mulutnya terkekang rapat.
Apa yang hendak dikatakannya pada kakek yang kesaktiannya tak tertandingi? Bagaimana pula dia berkata sementara dadanya demikian sesak? Jangan lagi berkata, sekadar menarik napas saja sudah teramat sulit.
Dongdongka mendelik-delik.
Kaki sekurus batang kayu keringnya melangkah dari pelepah kelapa.
Didekatinya tubuh tak bergerak Satria.
Seraya melangkah bersungut-sungut, mulutnya menggerutu.
"Kalau kudapati bocah gendeng ini sudah tak punya nyawa, kalian tahu sendiri!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul sampai di dekat Satria.
Kalau melihat letak anak panah yang menembus tubuhnya, Dongdongka tahu nyawa anak itu tidak terancam.
Batang anak pa-nah hanya meleset sedikit dari jantungnya.
Paru-parunya pun luput.
Kalau terluka parah bisa ju-ga.
Tapi tidak akan menyebabkan kematian.
"Hei bocah gendeng, apa kau sudah mati?!"
Tanyanya.
Ditendangnya pantat pemuda tanggung itu.
Satria tetap tak bergerak.
Dongdongka mengernyit.
Kelopak matanya membesar memperhatikan bagaimana sekujur kulit bocah yang ditaksirnya untuk dijadikan murid telah membiru.
Penasaran dia merundukkan tubuh lebih dekat.
Dada anak itu juga tak bergerak.
Tak ada naik-turun napasnya.
Sedikit pun.
Dia masih kurang yakin juga.
Dipukul-pukulkannya ujung bambu kuning ke batok kepa-la Satria.
"Yah, jangan-jangan mati juga bocah gen-deng ini"
Gumamnya.
Tak ingin terus dipermainkan keraguan-nya, Dongdongka mendekatkan jari tangannya ke urat nadi di leher pemuda tanggung itu.
Dong-dongka lega.
Masih terasa denyutnya.
Tapi, otak sinting sang sesepuh sinting ini rupanya tak bisa menyia-nyiakan kesempatan baik untuk melakukan satu kesintingan.
"Kalian telah membunuhnya! Kalian telah membunuhnya, tahu! Mampus, anak gendeng ini telah mampus!"
Teriak Dedengkot Sinting Kepala Gundul kelabakan, seperti kerasukan setan pusing satu kelurahan.
Anak buah Dirgasura makin tersurut mundur.
Ketakutan mereka makin menjadi-jadi.
Kiamat..
kiamat, bisik hati masing-masing, ciut.
Kalau sudah begitu, rasanya mereka sudah tak punya harapan mendapat kesempatan hidup.
Sewaktu Dedengkot Sinting Kepala Gundul bangkit dan membalikkan tubuh dengan mata mencorong semerah-merahnya, beberapa anak buah Dirgasura yang bernyali tanggung mulai rajin menelan ludah.
"Ini keterlaluan! Keterlaluan, tahu! Tahu-kah kalian kalau bocah ini akan kujadikan mu-rid? Kalian itu sial, tahu?!"
Sumpah serapah Dongdongka melantun.
Saking marahnya, tangan orang tua kelewat uzur itu menggerak-gerakkan batang bambu tak sadar.
Bambu memperdengar-kan dengung menyeramkan.
Ujungnya nyaris tak kentara karena begitu hebatnya getaran.
Bahkan udara di sekitarnya mulai memanas, hingga men-gepulkan asap tipis.
Tambah rajin saja beberapa anak buah Dirgasura menelan ludah.
"Sekarang...,"
Mulai Dongdongka lagi. Dadanya yang mirip papan penggilasan naik turun tak beraturan. Sejenak kalimatnya disunat. Dia diam. Diedarkannya pandangan sebengis-bengisnya kepada setiap anggota Laskar Lawa Merah.
"Yang telah memanah bocah ini... tunjuk tangan!"
Mulainya kembali dengan bentakan menggeledek pada dua kata terakhir.
Seorang anak buah Dirgasura saat itu juga tersentak tak alang kepalang.
Biji matanya mendelik.
Mulutnya menganga.
Napasnya tergagap.
Sebentar kemudian, dia ambruk dengan mata masih mendelik ketakutan.
Usut punya usut, ru-panya dia yang telah melepas anak panah bera-cun ke tubuh Satria.
Heran, bisa-bisanya Dirgasura punya anak buah macam dia? "Ayo tunjuk tangan!!"
Sentak Dongdongka lebih keras.
Masalahnya, tak satu pun anggota Laskar Lawa Merah mengangkat tangannya.
Bu-kan karena takut mengaku.
Apalagi malu-malu kucing.
Cuma, di antara mereka memang tidak ada yang telah memanah Satria.
Pelakunya sudah ngejoprak lebih dulu.
Dan siapa nyana, kalau Tangan Seribu Dewa, pemimpin gerombolan paling bengis di se-panjang Pesisir Selatan tanah Jawa nyatanya tak bisa berbuat apa-apa menghadapi sesepuh edan dunia persilatan di tanah Jawa itu? "Tak ada yang mau tunjuk tangan juga?!"
Tandas Dongdongka kehilangan kesabaran.
"Kalau begitu, kalian semua akan merasakan akibatnya!"
Ancamnya. Dongdongka baru hendak mengamuk, Dir-gasura akhirnya angkat bicara.
"Tunggu Panembahan.... Maafkan kami ka-rena telah lancang. Kami tidak tahu kalau bocah itu hendak kau jadikan murid...."
Dongdongka mendengus.
"Kalau tak tahu, makanya tanya!"
Sem-protnya.
"Jadi kau ketua gerombolan kentut ini?"
Katanya lagi.
Dirgasura tak bisa banyak macam meng-hadapi Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dia memaksakan diri menjura dengan dada yang ma-sih nyeri.
Keangkuhannya terdepak entah ke ma-na.
Hilanglah pamornya selaku pemimpin gerom-bolan perampok bengis seperti kentut tertiup...
raja kentut! "Benar Panembahan...."
"Siapa kau?!""
Susul Dongdongka. Dia tak mengenal Dirgasura. Padahal namanya sudah demikian santer mengobrak-abriknya penduduk Pesisir Selatan tanah Jawa.
"Aku Dirgasura, Panembahan."
"Dirgasura Laksonosurya...."
"Maksudku, julukanmu!"
Dirgasura ragu. Untuk apa menyebutkan julukannya? Sebesar-besarnya julukan Tangan Seribu Dewa, tak akan sebanding dengan kebesa-ran si sesepuh sinting ini. Laksana kentut dengan... raja kentut! "Sebut!"
"Tangan Seribu Dewa...."
Mata Dongdongka menyipit mendengar ju-lukan yang disebutkan Dirgasura. Dirgasura sendiri agak waswas. Jangan-jangan sang sesepuh pernah mencarinya karena satu urusan.
"Ah, aku tak kenal! Julukan jelek macam apa itu.... 'Jangan Ribut Dewa'?"
Ketus Dongdongka akhirnya.
Salah dengar rupanya dia.
Da-sar tua bangka, ya tua bangka juga.
Telinganya kadang-kadang mabok! Setelah itu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tergelak-gelak seru.
Sendirian saja.
Memangnya mau mengajak siapa? "Sudah, menyingkir kalian!"
Bentaknya akhirnya. Dirgasura tak mengerti, Ketuanya saja bingung, apalagi anak buahnya.
"Kalian tuli?! Sana kalian menyingkir, sebelum aku berubah pikiran!"
Ulang Dongdongka.
Dirgasura menyingkir ragu.
Dia melangkah waswas, takut-takut Dedengkot Sinting Kepala Gundul melakukan tindakan untuk menghukum-nya.
Nyatanya, sampai mereka cukup jauh meng-hela kuda, Dongdongka tak mengejar mereka.
Atau melakukan tindakan apa pun terhadap me-reka.
Tua bangka itu memang sulit dimengerti "Kau juga menyingkir!"
Bentak Dongdongka pada Mayangseruni, sepeninggal Laskar Lawa Merah. Si pendekar muda belia itu sendiri saat itu hendak mendekati tubuh Satria.
"Tapi dia kawanku, Kek,"
Kilah Mayangseruni. Dia tidak begitu mengenal siapa sesungguhnya tokoh tua edan di dekatnya itu.
"Mau kawan kek, mau kekasihmu kek, mau suamimu kek, mau kakekmu kek, pokoknya kau menyingkir!"
"Tapi kau akan menolongnya, bukan?"
Sewaktu berkata, wajah Mayangseruni tampak me-melas.
"Tidak, dia akan kulempar ke kandang buaya! Ya, jelas saja. Bukankah aku sudah bilang tadi kalau bocah gendeng ini akan kujadikan muridku..."
Sungut Dongdongka.
Dihampirinya Satria.
Diangkatnya tubuh pemuda tanggung itu dengan sebelah tangan.
Caranya seperti sedang mengangkat seikat kayu kering.
Padahal tubuh kakek uzur itu jauh tak meyakinkan untuk bisa mengangkat se ember air sekalipun.
Ditelung-kupkannya Satria di bahunya.
Lalu dia pun beranjak.
Santai saja lang-kahnya.
Sebelum jauh dia menoleh pada Mayang-seruni yang melepas kepergiannya.
"Aku pinjam dulu kekasihmu ini ya, Cah Ayu. Kapan-kapan kukembalikan. Utuh!"
Bisiknya dengan sebaris senyum kekurangan gigi.
Dasar sinting! Wajah Mayangseruni memerah.
Tak jelas, apakah Dongdongka tahu atau tidak.
Lelaki tua itu sudah berkelebat hilang dari tempatnya semu-la.
EMPAT DONGDONGKA membawa Satria ke satu tempat.
Bukan tempat kediamannya.
Seperti tak tahu saja tabiat kakek aneh itu.
Di mana pun, selama masih di kolong langit bisa dikatakan tempatnya.
Kalau perlu di kolong ranjang pengantin baru sekalipun.
Orang-orang saja banyak yang melihat dia di beberapa tempat yang sebenarnya tidak layak untuk manusia.
Satria sendiri pernah menemuinya sedang bertapa di dalam lumpur.
Julukannya saja sudah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Segila-gilanya manusia waras, pasti dia orangnya.
Satria dibawanya ke tempat Ki Kusumo.
Memang bukan tempat aneh seperti biasanya si manusia langka itu 'bersemayam'.
Pasalnya, Dongdongka membutuhkan pertolongan Ki Ku-sumo untuk menawarkan racun yang sudah te-lanjur mengaduk-aduk tubuh bagian dalam Sa-tria.
Soal kesaktian, Dongdongka nomor wahid di tanah Jawa ini.
Hampir-hampir tak ada satu orang pesaing pun.
Kalau bicara soal obat-mengobati, dia buta sama sekali.
Jangankan soal menangani racun ganas, mengobati panu saja barangkali tak tahu.
Tanjung Karangbolong tentu saja ditujunya.
Tanpa membutuhkan waktu lama, Dedengkot Sinting Kepala Gundul akhirnya tiba di tujuan.
Setibanya di sana, ditemukannya gu-buk Ki Kusumo sudah musnah terbakar.
Cuma tersisa puing-puing arang menghitam.
Asap tipis mengambang lamat ke udara.
Sejenak melayang lalu pupus diterabas angin pantai.
"Weh, dedemit mana yang habis menga-muk?"
Perangah Dongdongka.
"Ke mana pula si Kusumo?"
Gumamnya.
Masih dengan membopong Satria di ba-hunya, kakek jelek itu mencari-cari KI Kusumo.
Di gubuk yang sudah menjadi tumpukan arang jelas tak ada.
Bodoh sekali kalau dia mencari ke sana.
Maka dicarinya si Tabib Sakti Pulau Dedemit ke sekitar tempat itu.
Sekian lama mencari, Ki Kusumo tak kun-jung ditemukan.
"Ke mana keropos satu ini,"
Gerutu Dongdongka, jengket juga. Mungkin dia pergi agak jauh, pikirnya. Agar dapat melihat lebih jelas ke tempat yang agak jauh, diputuskannya untuk naik ke puncak pohon kelapa.
"Hup!"
Ringan saja, Dongdongka menggenjot tu-buh.
Dia melenting ke satu batang pohon kelapa.
Kakinya menjejak sekali, lalu tubuhnya melenting lebih tinggi ke pohon kelapa di sebelahnya.
Di pohon kedua dia menjejak, menggenjot tubuh lebih tinggi, kemudian mencelat ke pohon kelapa pertama kembali.
Begitu seterusnya.
Sampai dia tiba di pucuk salah satu pohon.
Di pucuk kelapa berupa bakal daun me-runcing yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menahan bobot seberat buah kelapa sekalipun, Dongdongka mulai berteriak-teriak memanggil-manggil Ki Kusumo.
"Moooo!! Moooo!!! Moooo!!!"
Tiga kali berteriak 'mooo', dia mulai sadar kalau dirinya malah mirip sapi kelaparan.
Usaha sia-sia, pikirnya.
Tak tahu ke mana si tabib jelek itu, sumpah serapahnya membatin.
Pasti ada kejadian yang tak terduga menyebabkan dia me-ninggalkan gubuknya.
Dalam keadaan hangus pula.
Dongdongka turun.
Diletakkannya tubuh Satria di atas pelepah daun kepala.
Ditelitinya lagi denyut nadi di leher pemuda tanggung yang kian membiru itu.
"Waduh!"
Dongdongka terperanjat bukan main.
Ter-nyata denyut nadi Satria sudah tak terasa lagi.
Benar-benar tak terasa.
Biarpun Dongdongka su-dah menekan jarinya kuat-kuat atau membiar-kannya lama-lama.
Baru dia sadar, sewaktu meletakkan Satria, tubuh pemuda tanggung itu terasa sudah agak mengejang.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul meraba telapak tangan pemuda tanggung itu.
Dingin.
Wajah tua bangka itu murung seketika.
Sa-tu-satunya kesimpulan.
Satria telah mati! Dongdongka lalu berjongkok di sisi tubuh terbaring Satria.
Bertopang dagu pula.
"Cah Gendeng.... Cah Gendeng.... Sial se-kali nasibmu. Kusumo si tabib jelek itu mestinya ada di sini saat kubutuhkan untuk menawarkan racun di tubuhmu. Tapi dia tidak ada. Gubuknya saja sudah gosong...,"
Ocehnya ngelantur seorang diri. Kepalanya menggeleng-geleng seperti orang linglung.
"Kalau aku, jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Urusan racun dan segala tai kucing macam itu, mana aku tahu.... Ah, sial benar nasibmu. Padahal, aku yang sudah kelewat 'ngebet' kepin-gin mati saja, belum juga terkabulkan. E, kau yang masih hijau dengan mulus melangkahiku. Betapa kurang ajarnya kau, eh betapa sialnya nasibmu...."
Sedang sendu-sendunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyesali nasib Satria (nasibnya juga yang sulit mati, barangkali), matanya ter-tumbuk pada seonggok tubuh. Tergeletak cukup jauh dari tempatnya.
"Nah, itu siapa?"
Dongdongka buru-buru bangkit.
Harapan-nya timbul.
Siapa tahu itu Kusumo yang sedang istirahat setelah kecapaian membakar gubuknya sendiri, pikirnya ngaco.
Kalau benar, siapa tahu juga nyawa calon muridnya bisa diselamatkan.
Tabib sehebat Kusumo tentu tahu mana orang yang benar-benar telah mampus, dan mana yang belum, harapnya lagi.
Sewaktu makin dekat, tua bangka itu ma-lah kecewa.
Orang itu nyatanya bukan Ki Kusu-mo.
Melainkan Nyai Cemarawangi.
Tergeletak me-nyedihkan nyaris mendekati bibir pantai.
Di bagian dada atasnya terdapat bekas luka menghan-gus.
Dongdongka meneliti sejenak.
"Iblis Dari Neraka. Kenapa tua bangka jelek itu membunuh perempuan ini...,"
Bisiknya, setelah mengetahui jenis pukulan yang bersarang di dada Nyai Cemarawangi.
Ya, perempuan itu telah menemui ajal.
Bu-kan karena penyakit tak tersembuhkan.
Melain-kan karena terkena serangan nyasar Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka ketika sedang bertarung sengit dengan Ki Kusumo.
Siapa yang bisa menduga cara kematian menjemput seseorang? Lalu bagaimana dengan nasib Ki Kusumo? * * * Daerah terakhir Tresnasari terlihat berada di sekitar kaki Gunung Sumbing, sudah demikian jauh dari Tanjung Karangbolong.
Sejak meninggalkan gubuk Ki Kusumo, Tresnasari terus mela-rikan kudanya.
Berhenti sejenak membiarkan ku-danya beristirahat dan makan, lalu pergi lagi.
Dia sendiri hampir-hampir tak ingin menyentuh makanan.
Tak ada selera lagi.
Paling hanya minum beberapa teguk air jika haus begitu mencekik leher.
Berhari-hari berkuda dalam keadaan keku-rangan makan seperti itu tentu saja merongrong ketahanan tubuhnya sendiri.
Gadis muda itu melemah dan semakin melemah.
Sewaktu tiba di se-kitar kaki Gunung Sumbing, Tresnasari terjatuh lemas dari atas kudanya.
Untuk beberapa saat dia tak sadarkan diri.
Ketika hujan gerimis turun, dia tersadar.
Kuda tunggangannya sudah tak ditemukan lagi.
Tresnasari melanjutkan perjalanan tanpa tujuan.
Tak peduli apakah tubuhnya masih begitu lemas.
Tak peduli harus berjalan terseok-seok lunglai.
Sampai akhirnya dia tiba di bibir jurang yang menelannya.
Saat itu tubuhnya meluncur deras menuju kegelapan jurang.
Sulit menduga dasar jurang, mengingat wilayah sekitar Gunung Sumbing ter-golong daerah tertinggi di tanah Jawa bagian Tengah.
Banyak lekukan-lekukan alam dalam mem-bentuk jurang berbatu-batu.
Bukan keputusan untuk melakukan bu-nuh diri menyebabkan dia jatuh.
Keputusasaan memang telah begitu pekat dalam benaknya.
Na-mun, sama sekali belum cukup untuk membuat-nya melakukan tindakan bodoh seperti itu.
Kalaupun dia akhirnya tergelincir masuk jurang, penyebabnya karena tubuhnya sudah demikian lemah.
Kesanggupan tubuhnya sampai pada batas yang tak bisa lagi dipertahankan nya.
Sewaktu berdiri di bibir jurang, matanya mendadak berkunang-kunang.
Kepalanya memberat.
Pandangan menjadi gelap, segelap dasar jurang.
Ketika itulah Tresnasari tergelincir.
Tresnasari meluncur terus.
Kesadarannya timbul-tenggelam.
Di dasar jurang, apa yang akan menyambut tubuhnya? Batu-batu berukuran lebih besar dari kerbau? Lamat-lamat, ketika kesadarannya mulai mengapung, Tresnasari merasakan tubuhnya menghantam sesuatu di dasar jurang.
Bukan se-suatu yang keras.
Bukan batu cadas besar.
Bu-kan semak atau pepohonan.
Sesuatu yang lain, yang telah menyelamatkannya dari kematian.
Meski begitu, tak urung dia merasakan ada tu-lang di pangkal lengannya patah.
Rasa sakit luar biasa menyergap.
Selebihnya kegelapan dan keheningan.
Ka-rena Tresnasari tak sadarkan diri.
Waktu berlalu.
Pagi hari menjelang.
Matahari menghan-gatkan wajah bumi.
Namun kekuasaan sinarnya tidak sanggup mencapai dasar jurang tempat Tresnasari terjatuh.
Mulut jurang terlalu sempit dengan bagian bawah semakin melebar.
Tak mungkin bagi sinar matahari untuk menerobos langsung sampai ke dasarnya.
Hanya pantulan-pantulan sinar dari mulut jurang saja yang bisa memberi sedikit penerangan.
Di dasar jurang, kabut pekat masih meng-gumpal-gumpal seolah enggan enyah.
Dingin me-raja.
Tresnasari tersadar.
Keluh perlahannya terdengar.
Perlahan gadis muda itu menggerak-kan badan.
Kepalanya diangkat agak berat.
Setelah beberapa saat, baru dia dapat mengingat-ingat kejadian apa yang telah menim-panya.
"Apakah aku telah mati?"
Tanyanya ragu.
Karena sepanjang ingatannya dia telah masuk jurang cukup dalam.
Satu keajaiban seandainya dia tidak mati.
Gadis itu mencoba mengamati sekitarnya.
Pandangannya masih kabur.
Meski begitu sudah cukup untuk memperhatikan mulut jurang di atas sana.
Juga tebing tanah berbatu yang nyaris tegak.
Beberapa pohon tampak tumbuh di tebing, seakan tangan-tangan makhluk dasar bumi yang menjulur keluar.
Tresnasari bergidik sendiri.
Rasa dingin menggigit menyebabkan bulu kuduknya mere-mang demikian hebat.
"Aneh,"
Bisiknya.
"Aku benar-benar masih hidup...."
Dicobanya bangkit.
Baru saja dia berusaha menggerakkan tubuh lebih jauh, mulutnya men-geluh.
Tulang pangkal lengan di bahunya terasa demikian sakit.
Pasti ada yang patah.
Sambil mendekap bahu yang direjam nyeri, Tresnasari meneruskan niat.
Sebelum dia benar-benar berdi-ri, dia dikejutkan oleh sesuatu selama ini ditumpanginya.
"Apa ini?"
Tanyanya heran, mengurungkan niat untuk bangkit.
Kabut tebal kira-kira setinggi lutut di dasar jurang menyulitkannya mencari tahu.
Penasaran.
Tresnasari mempergunakan tangannya untuk me-raba-raba.
Mendadak dia tersentak bangkit.
Wa-jahnya berubah memucat.
Parasnya dilanda garis keterkejutan yang berbaur dengan ketakutan.
"Mayat...,"
Bisiknya, mendesis.
Dia yakin benar pada rabaan tangannya.
Bahwa yang selama ini ditumpanginya adalah tu-buh manusia mati.
Dan begitu kabut sedikit me-nyingkir, Tresnasari dibuat lebih terperanjat, Ternyata di tempatnya jatuh tidak hanya ada satu mayat.
Melainkan lebih dari sepuluh mayat lelaki! Semuanya saling tumpang-tindih.
Keadaan mayat-mayat itu mengerikan.
Seluruhnya telah kehilangan Kepala! Rupanya, tumpukan bangkai tanpa kepala itulah yang telah menyelamatkan nyawanya.
Dia terjatuh di atasnya hingga nyawanya tak harus terlempar.
Tresnasari tersurut mundur beberapa tin-dak.
Sampai tebing menghadangnya.
"Perbuatan biadab siapa ini?"
Desisnya bergidik. Jawaban dari pertanyaan yang sesungguhnya ungkapan kengerian itu adalah sebentang tawa terkikik. Melengking. Meninggi. Mencelat-celat dari sisi-sisi tebing.
"Hi hi hi hi!"
Tawa seorang wanita tua.
Mendirikan bulu roma.
Menyusul kemudian kelebatan cepat bagai sosok hantu dari satu sudut gelap jurang.
Bayangan itu berhenti di atas sebuah batu paling besar berbentuk mirip tengkorak kepala manusia berukuran dua ekor banteng.
"Sss... siapa kau?!"
Tanya Tresnasari.
Nadanya tercekat.
Kalaupun ada keberanian yang mengalir dalam diri gadis berjiwa pendekar itu, tak urung dia digebah ketakutan.
Ini bukan satu pengalaman yang terbiasa dihadapi seperti bertarung dengan seorang lelaki beringas.
Di luar itu, Tresnasari merasa sedang berhadapan dengan si-luman perempuan.
Pengalaman seperti itu tak pernah dialaminya.
Itu yang menyebabkan keta-kutannya terjangkit.
"Hi hi hi!"
Jawaban pertanyaan Tresnasari sekali lagi disambut dengan kikik mendenging. Napas si gadis muda memburu. Ditatapnya sosok bayangan yang berdiri dalam kungkungan kegelapan.
"Kuharap, kau mau mengatakan padaku, siapa kau sebenarnya?"
Ulang Tresnasari, memberanikan diri.
"Lucu!"
Sentak wanita tua yang belum lagi menampakkan rupanya.
"Pada saat aku sedang merindukan murid, tiba-tiba saja ada bocah perempuan jatuh dari langit! Hi Hi Hi!"
Lengkingnya jauh lebih meninggi dari sebelumnya, seakan dia mendapat kegembiraan tak alang kepalang.
"Apa maksudmu?"
"Apa maksudku?"
Suara si nenek terdengar meraung.
Ada nada mengancam.
Ada hawa menakutkan.
Dari atas batu tempatnya berdiri, si nenek melangkah.
Melangkah, dan melangkah.
Sampai pantulan cahaya pagi dari bibir jurang menerangi wajahnya, Mata Tresnasari dibuat membelalak me-nyaksikan wajah perempuan tua menggidikkan itu.
Dua bola matanya besar.
Biji matanya berurat kemerahan.
Sekeliling matanya berwarna biru.
Wajah perempuan itu dipenuhi keriput bercam-pur kudis berlendir.
Bibirnya pucat berkerut.
Tak terlihat kalau wajah nenek itu dialiri darah.
Pakaian yang dikenakannya sudah tak lagi menunjukkan kewajaran seorang manusia.
Men-genakan baju dari bahan yang biasa dipakai un-tuk kain kafan.
Sudah tercabik-cabik parah.
Ko-tor.
Juga menebar bau bangkai menyengat.
"Kau pikir bisa menolak dari ketentuanku!"
Geram si nenek. Ditatapnya bulat-bulat Tresnasari dengan sudut mata.
"Ak... aku tak mengerti maksudmu, Nek...,"
Kata Tresrnasari terbata.
Langkahnya makin tersurut di sepanjang sisi tebing.
Sementara si nenek terus mendekatinya.
Perlahan.
Selangkah demi selangkah.
Tanpa mengacuhkan ucapan si gadis yang ketakutan, nenek buruk rupa itu menengadah ke bibir jurang.
Borok di lehernya tertarik, menyebabkan lendir nanah keluar.
Menjijikkan! Lalu terdengar teriakannya.
Lebih mirip dengking panjang binatang malam.
"Aku dapat murid!!! Hi hi hi!"
LIMA KALAU dipikir-pikir, hidup memang serba sulit diperkirakan.
Selalu saja keadaan yang akan datang ibarat mata dadu.
Dilemparkan dengan harapan, namun belum tentu jatuh dengan mata dadu yang dikehendaki.
Kadang semuanya begitu mulus seperti jalan tak berkelok.
Seolah selalu sa-ja terbuka mata dadu yang dikehendaki.
Lalu, tiba-tiba bisa saja berubah sama se-kali.
Menjadikan segala kejadian menjadi sulit dimengerti.
Satu misal, Dongdongka.
Sungsang-sungbel dia berusaha agar Satria bisa jadi muridnya.
Namun belakangan, si pemuda tanggung malah modar dibantai racun.
Seperti telah diketahui, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa Satria telah me-nemui ajal.
Selama hampir setengah harian, orang tua bertabiat aneh itu tak beranjak dari sisi tubuh Satria.
Berjongkok saja seperti orang yang terlalu khusuk buang hajat.
Sementara itu, mulutnya terus ngoceh tanpa juntrungan tentang ke-sialan nasib si pemuda tanggung.
Setelah puas, baru terpikir olehnya untuk segera mengubur tubuh si pemuda malang.
Lan-tas, melayap ke mana saja pikirannya untuk me-lakukan hal itu selama setengah harian? Sedangkan jenazah Nyai Cemarawangi pun dibiarkan terbengkalai.
Mulailah Dongdongka menggali tanah ber-pasir yang agak jauh dari bibir pantai.
Hanya dengan menggunakan bambu kuning sebesar jari, dia menggali tanah.
Caranya? Soal cara, dia tak begitu tahu cara lebih sopan ketimbang penggali kubur.
Namun bicara soal kecepatan, ternyata dia jauh lebih cepat menggali dari seribu satu penggali kubur mana pun.
Pertama-tama, bambu kuning ditancapkan di atas tanah seperti menusukkan batang lidi ke dalam tepung.
Kemudian ujung bambu yang masih berada di luar mulai diputar-putarnya.
Wrrrr! Saat itu juga tanah berhamburan.
Lobang di bagian bambu yang menancap semakin lama semakin membesar, membesar, dan membesar.
Tak sampai sepeminum teh, sudah tercipta lo-bang besar.
Di luar rencana, ukuran lobang ma-lah kebesaran.
Setidak-tidaknya cukup untuk mengubur dua ekor kerbau hamil! "Gara-gara terlalu enak melobangi..."
Gumamnya sambil meringis membayangkan 'lobang' yang lain.
Ini manusia memang sinting.
Katanya sudah kebelet mau mati, tapi pikirannya tetap sa-ja mesum! Lobang selesai.
Tubuh Satria pun diang-katnya.
Tak perlu dikafani, pikir Dongdongka.
Hanya merepotkan dia saja.
Sudah bagus dia mau menguburkan! Kalau tak ada pikiran segila itu di otaknya, mana mungkin dia punya julukan Dedengkot 'Sinting' Kepala Gundul? "Nan, beristirahatlah dengan santai...,"
Katanya, memberi ucapan terakhir pada Satria.
La-lu....
Bruk! Dilemparkan begitu saja tubuh Satria ke dalam lobang.
Mulai ditimbuninya tubuh Satria dengan tanah.
Baru seperempat lobang tertimbu-ni, matanya menyipit mendadak.
Dia melihat timbunan tanah bergerak-gerak.
Seperti ada sesuatu yang beringsut perlahan di dalamnya.
"Gila, daerah apa ini? Cacing-cacingnya kenapa begitu tak sabaran. Aku belum lagi selesai menimbun tanah...,"
Gerutu Dongdongka.
Kakek aneh itu acuh lagi.
Diteruskannya menimbuni tanah dengan kakinya.
Baru satu-dua tarikan napas, timbunan tanah bergerak lagi.
Rasa penasarannya terpancing juga.
Ke-dongkolan pun mulai pula merayap.
Mau diberi pelajaran cacing-cacing ini barangkali, rutuknya dalam hati.
Dongdongka pun berjongkok.
Pokoknya, kalau sedikit saja terlihat ubun-ubun seekor cacing, akan langsung dipentungnya dengan bambu kuning.
Memangnya cacing punya ubun-ubun apa? Sewaktu makin dekat memperhatikan tim-bunan tanah, mendadak saja ada sesuatu mene-robos keluar.
Kontan Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlonjak.
Tinggi, tinggi sekali....
Di udara mulut peotnya melepas teriakan kaget diselingi sumpah serapah.
Namun ketika menyaksikan benda apa yang menerobos keluar, mulutnya langsung beru-bah haluan.
Semula memaki-maki, kini malah tersenyum lebar disertai teriakan gembira.
Sebab yang dilihatnya adalah tangan Satria.
Disusul kepala dan dada pemuda tanggung itu keluar dari timbunan tanah! Tiba di tanah, Dongdongka bersorak-sorak.
Dia berteriak-teriak lebih gila dari orang gila di pojok bumi mana pun.
Dia melonjak-lonjak.
Dia berjinjit-jinjit.
"Kau hidup kembali, Cah Gendeeeeeeeng!"
Serunya panjaaaaang! Satria yang masih duduk dengan setengah tubuh tertimbun tanah menatap tua bangka itu terlolong-lolong.
Memangnya sejak kapan aku ma-ti? Bisik hatinya keheranan.
Sebab yang diingat terakhir kali, dia sedang bertarung dengan Dirgasura.
Lalu ada sesuatu yang menembus pung-gungnya.
Setelah itu dia tak sadarkan diri.
Kulit pemuda tanggung itu sudah tak lagi membiru.
Tampaknya, racun yang mengendap dalam tubuhnya telah musnah sama sekali.
Tentu bukan satu hal yang cukup ajaib jika hal itu terjadi.
Karena selama ini dia telah meminum Ra-muan Pulau Dedemit racikan Ki Kusumo.
Ra-muan yang membuatnya kebal terhadap segala jenis racun paling ganas.
Selain itu, bekas luka yang menembus punggung hingga ke dadanya sudah mengering sama sekali.
Bahkan sudah tampak memulih.
Benar-benar ramuan ampuh yang diberikan KI Kusumo selama ini! Sewaktu Dongdongka menyangka Satria mati, jaringan badan pemuda tanggung itu sendiri sedang melakukan perlawanan keras terhadap racun ganas.
Akibat langsung yang ditimbulkan adalah berhentinya denyut nadi beberapa saat.
Untung saja si manusia uzur bertingkah tengik tak buru-buru menguburnya.
Kalau tidak, Satria akan benar-benar mampus.
Dijamin! "Apa yang telah terjadi padaku, Kakek Gundul?"
Tanya Satria. Beringsut dia bangkit dari timbunan tanah. Matanya menatapi sekitar lobang, padat kesan keheranan.
"Apa yang terjadi?! Hua ha ha! Kau mati, tahu! Dan tahu-tahu kau hidup lagi. Ini baru se-ru, baru seru!"
"Aku sama sekali tak mengerti?"
"Kau pikir aku juga mengerti?"
Perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi padaku?"
Satria dibuat makin penasaran. Dia keluar dari lobang. Berjalan gontai ke dekat Dongdongka, Sebatang pohon kelapa rebah didudukinya.
"Kau ingat, kalau kau sedang terlibat perkelahian sengit dengan manusia bongsor jelek di Kadipaten Pandan, kan?"
Satria mengangguk.
"Nah, ketika kau sudah hampir membuat mampus manusia bongsor jelek itu, tahu-tahu ada panah menembus punggungmu... cep! Siapa lagi kalau bukan anak buah si manusia bongsor jelek yang melakukan itu padamu! Kau tahu, anak panah itu beracun...."
Mulut Dongdongka memonyong.
"Racun guuuaaaanas! Wih, ngeri aku!"
Satria mengangguk-angguk pelan.
"O, jadi karena itu aku tak sadarkan diri?"
Gumamnya.
"Bukan cuma tak sadarkan diri, tahu! Kau malah mati. Mampus, tahu?!"
Pelotot Dongdong-ka, ngotot.
"Tapi, aku kok masih hidup?"
"Bukan masih hidup, tahu! Yang benar, kau telah hidup kembali...."
"... tahu?!"
Serobot Satria, kesal dengan ekor kalimat Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang membosankan. Dongdongka manyun.
"Lalu bagaimana dengan nasib gadis itu?"
Susul Satria. Yang dimaksud tentu Mayangseruni.
"Gadis yang mana?"
"Gadis yang ikut bertarung denganku me-lawan Dirgasura."
"Dirgasura siapa?"
"Manusia bongsor jelek itu."
"O, si 'Jangan Ribut Dewa' itu bernama Dirgasura ya...."
"Jadi ke mana gadis itu?"
"Gadis itu? Gadis yang pakai dua pedang itu, kan?"
"Iya...."
Lama-lama, bisa terkena serangan darah tinggi juga Satria.
"Dia sudah kusuruh pergi,"
Tukas Dongdongka, enteng saja.
"Kenapa kau suruh pergi, Kakek Gundul?"
Protes Satria.
Dia masih punya satu urusan penting dengan Mayangseruni.
Kuat dugaannya kalau Mayangseruni masih ada hubungan dengan Tres-nasari.
Bukankah waktu itu dia menanyakan pa-da Satria seorang gadis yang mirip dengannya? "Karena dia tak ada urusan denganku.
Ja-dinya kusuruh pergi saja."
"Tapi, aku punya urusan dengannya."
"Mana aku tahu. Kau tidak pernah bilang padaku. Makanya, kalau mau mati ingat-ingat untuk meninggalkan pesan. Mentang-mentang kau keenakan mati waktu itu...."
Dongdongka ini 'ngelindur' atau masih sadar? Dianggapnya mati itu semacam tamasya apa? Lagi pula, siapa yang mati? Satria menggeleng-gelengkan kepala. Pusing tujuh keliling kepalanya menghadapi manusia bertabiat sinting satu ini.
"Ah, sudahlah...,"
Tepis Satria akhirnya. Harapannya cuma bisa bertemu kembali satu hari dengan Mayangseruni. Satria mengedarkan pandangan.
"Eh, bukankah aku di tempat Ki Kusumo?"
Tanya Satria kemudian.
"Ho-oh!"
"Kenapa dengan gubuknya?"
"Kusumo kekurangan kayu bakar, barang-kali."
Percuma menanggapi sahutan seenak udel Dongdongka. Satria mengedarkan pandangan la-gi. Dia merasa ada yang tak beres. Pasti telah terjadi sesuatu di tempat itu, duganya yakin. Dike-temukannya jenazah Nyai Cemarawangi.
"Nyai...,"
Sentak Satria, setengah berteriak. Diburunya jenazah perempuan setengah baya malang itu.
"Apa yang terjadi dengannya, Kakek Gun-dul?!"
Teriak Satria, ketika tiba di dekat jenazah Nyai Cemarawangi yang mengenaskan keadaannya.
"Jadi dia Nyaimu, ya?"
"Apa yang terjadi?!!"
Raung Satria. Kegalau-annya mendapati Nyai Cemarawangi mati menge-naskan seperti itu menyebabkan dia tak bisa menguasai diri.
"Hey, bukan aku yang membunuhnya?"
Kilah Dongdongka.
"Siapa?!"
Dengus Satria. Matanya memerah. Wajahnya terbakar. Kegeraman menanjak demi-kian cepat ke ubun-ubunnya.
"Kau jangan melotot seperti itu padaku, ta-hu?!"
Omel Dongdongka, merasa 'kena getahnya'. Satria berlari gusar memburu ke arah De-dengkot Sinting Kepala Gundul.
"Siapa yang telah membunuhnya?!"
Teriak-nya serak. Nyaris saja kerah jubah si tua bangka dicengkeramnya.
"Sabar, sabar. Kau jangan seperti cacing kebakaran jenggot, eh kakek kepanasan, eh cac-ing kakek jenggot, eh cacing kepanasan jenggotnya terbakar, eh cacing jenggot terbakar kakek... aduh, susah amat aku ngomong kalau kau sewot begini!" (Maksud si tua bangka itu sebenarnya; seperti cacing kepanasan. Atau; seperti kakek kebakaran jenggot)! Napas Satria mendengus-dengus. Dadanya terlonjak-lonjak.
"Aku sudah memeriksa luka di tubuh pe-rempuan itu. Aku mengenal pukulan itu. Biasa orang sebangkotan aku tak mengenal banyak je-nis pukulan? Kan keterlaluan?"
"Siapa pembunuhnyaaaa!!"
Bentak Satria, kalap.
"Iya! Iya! Busyet kau keterlaluan sekali, Cah Gendeng! Pembunuhnya si kakek jelek . Ageng Sulut... tahu?!"
"Dia akan membayar nyawa Nyai!!"
Pekik Satria meninggi, mencelat ke angkasa.
"Aku juga berpikir begitu, Cah Gendeng. Tapi kau tak akan sanggup melawannya hua ha ha!"
"Aku tak peduli!"
"Jangan begitu. Setidaknya, kau harus menjadi muridku dulu. Benar, kan?"
Satria melangkah gusar. Mondar-mandir di depan si kakek bertabiat sinting. Sampai kepala klimisnya harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seekor kakak tua.
"Kau mau menjadi muridku, kan?"
Tanya Dongdongka, penuh harap. Satria tidak berniat menyahut. Yang berke-camuk dalam benaknya saat itu cuma kemara-han. Menggelegak. Bergejolak "Maulah...,"
Rayu Dongdongka.
Satria malah makin cepat mondar-mandir.
Menghamburkan pasir pantai dengan langkah-langkah berat gusarnya.
Terus mengikuti gerakan Satria, lama-lama Dedengkot Sinting Kepala Gundul Jadi pusing sendiri.
Hidungnya kembang-kempis.
Aku jadi mau marah juga nih, gerutunya tak kentara.
Ak-hirnya....
"Mau, tahu!!"
Bentak Dongdongka, sewot.
* * * Dalam beberapa hari belakangan, Satria di-rundung kemurungan.
Kerjanya hanya duduk melamun di dekat puing-puing arang gubuk Ki Kusumo.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih bersamanya.
Tak ada hal lain yang ingin dilakukan pemuda tanggung itu, kecuali merenung.
Dan tak ada hal lain yang ingin dilakukan Dongdongka, kecuali terus merayu-rayu Satria agar mau menjadi muridnya.
Kepergian Tresnasari beberapa waktu lalu sudah begitu memukul batinnya.
Benih cinta per-tamanya seperti dibawa lari dengan kepergian tanpa pesan gadis ayu itu.
Belum lagi Tresnasari diketemukan, Nyai Cemarawangi menemui ajal dengan cara amat menyedihkan.
Dua kali batin Satria tertinju.
Dua kali dia kehilangan.
Jiwanya dipenuhi lebam.
Bagi Satria, Nyai Cemarawangi sudah begi-tu dekat dengan dirinya.
Perhatian yang dicurahkan Nyai Cemarawangi pada dirinya layaknya seorang Ibu terhadap anak.
Ketulusannya meng-guyur hati Satria, memberinya kesejukan.
Kebaikannya ibarat lampu penerang ditengah kegela-pan.
Ya, pada saat Satria merasa kesepian karena tak pernah tahu menahu banyak perihal tentang diri dan asal-usulnya, Nyai Cemarawangi datang menawarkan kasih seorang ibu.
Lantas, bagaimana Satria tidak merasa ke-hilangan? Walaupun sebenarnya pemuda tanggung itu amat tahu kalau Nyai Cemarawangi cepat atau lambat akan menemui ajal juga.
Penyakit mema-tokkan usianya.
Tuhan berkehendak begitu.
Tapi, Satria tak akan sudi menerima cara kematian yang dialami oleh Nyai Cemarawangi.
Kalau saja tak ada manusia keji yang merenggut nyawanya, tentu perempuan welas-asih itu masih bisa me-nikmati hari.
Setidaknya dia masih bisa menik-mati harapan untuk bisa sembuh.
Sesak terasa dada Satria.
Sekarang, ke mana pula Ki Kusumo? Ke-luhnya membeban.
Seperti juga Tresnasari dan Nyai Cemarawangi, kakek itu pun termasuk orang yang sudah telanjur dekat dengan Satria.
Kesala-hannya tak jujur pada Satria tentang penyakit Nyai Cemarawangi, bukanlah hal yang tak ter-maafkan.
Pemuda tanggung berhati sebening permukaan pualam dan sekokoh baja itu yakin, Ki Kusumo memiliki alasan sendiri.
Satria bahkan telah memaafkannya.
Kalau ingat kebaikan Ki Kusumo selama ini, dia jadi kian diombang-ambing rasa kehilangan.
Lamat-lamat Satria terkenang kembali se-luruh pintalan hari-harinya bersama Tresnasari, Nyai Cemarawangi, dan Ki Kusumo.
Hari-hari yang penuh tantangan, namun juga kegembiraan.
Hari-hari yang berat, tapi sekaligus sarat kebaha-giaan.
Sampai semuanya direnggut darinya.
Di-rampas.
Dileburkan....
Satria gusar.
Ada dendam.
Sulit untuk me-nunjukan dendam itu pada siapa, Pada Tuhan? Tak mungkin.
Apa pun yang dikehendaki-Nya, adalah kebaikan bagi setiap manusia.
Satu-satunya orang yang bisa disalahkan adalah Ki Ageng Sulut Iblis Dari Neraka! "KI Ageng Sulut...,"
Bisik Satria. Nadanya diayun dendam. Di belakangnya, Dongdongka tiba.
"Ayolah, Cah Gendeng. Kau mestinya mau menjadi muridku. Bukankah kau ingin membalas perbuatan Ageng Sulut sialan terhadap Nyaimu?"
Rayu Dongdongka, suatu kali. Dia sudah kehabi-san akal menghadapi kemurungan Satria yang menjadi-jadi.
"Dia bukan Nyaiku, Kek. Tapi, dia orang yang begitu ku sayangi tiga tahun terakhir ini..."
Desah Satria.
"Aku tidak peduli. Mau Nyaimu atau bu-kan, yang penting kau mau menjadi muridku!"
Satria mendadak bangkit. Dia berbalik. Di-tatapnya mata tua Dongdongka. Ada sepercik ba-ra terbakar dalam pandangannya.
"Jadi, hanya itu yang kau pedulikan?"
Sin-dir Satria terseret.
"Kau hanya peduli aku bisa menjadi muridmu dan menurunkan kesaktianmu yang hebat itu? Kau hanya ingin dirimu senang!"
Lalu ditinggalkannya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan langkah terbanting. Kesewotan Dongdongka terpancing. Ter-bungkuk-bungkuk, diikutinya langkah Satria.
"Kau jangan bertingkah tengik seperti itu, Cah Gendeng! Kau pikir kau ini siapa, hah?! Tak ada seorang pun yang berani menampikku, tak ada yang punya nyali meremehkanku, apalagi sampai membentakku!!"
Satria tak peduli.
"Kau memang bocah gendeng tak tahu di-untung! Ratusan pendekar tanah Jawa telah ku-tolak mentah-mentah. Padahal mereka hanya memohon agar aku sudi menurunkan pada mere-ka satu-dua kesaktian! Kau tahu itu?! Kau dengar itu?!"
Satria tetap jalan. Malah langkahnya diper-cepat. Dongdongka terus mengikuti. Wajahnya makin porak-poranda karena merasa dijadikan bulan-bulanan tingkah bocah bau kencur! "Berhenti, Cah Gendeng! Kau harus men-dengarkan perkataanku! Kalau tidak...."
"Kalau tidak apa?!"
Mendadak Satria berbalik. Ditantangnya tatapan membelalak-belalak Dongdongka.
"Kalau tidak... kalau tidak...."
Dongdongka kehabisan kata-kata. Pemuda sial, rutuknya dalam hati. Kenapa selalu saja tatapan mata tajamnya membuat aku sulit bicara.
"Kalau tidak, kau akan membunuhku se-mena-mena seperti Ki Ageng Sulut membunuh Nyai Cemarawangi?!"
Gempur Satria, makin menyudutkan Dongdongka.
"Huh!"
Didahului dengusan, Satria berjalan kem-bali.
"Aku tak akan melakukan itu, Cah Gendeng! Aku bukan Ageng Sulut jelek itu! Dia itu kejam, aku tidak. Mungkin sedikit-sedikit... maksudku, biarpun aku sinting, tapi masih punya ra-sa kemanusiaan. Hey, Cah Gendeng!"
Satria terus mengayuh langkahnya, me-ninggalkan Dongdongka yang berdiri tanpa berani mengikuti.
Tapi mulutnya terus saja mencerocos.
Ketika Satria menghilang dari pandangan "Cah Gendeng, Cah Gendeng! Kau tak bisa berbuat begitu padaku.
Tak bisa.
Kau harus me-nolong aku.
Hu...
hu hu huuuuu!"
Sang sesepuh sinting para sepuh dunia persilatan menjatuhkan dirinya ke atas pasir.
Dengan tertelungkup seperti bocah kecil, dia menangis sesegukan.
* * * Sore harinya Satria baru kembali.
Setengah harian itu, dia menguapkan segala kegundahan-nya dengan berjalan menyusuri pantai Karangbo-long.
Menikmati pemandangan laut dan angin se-gar, membuat pikirannya jadi agak jernih.
Sampai di dekat puing-puing gubuk, Satria dibuat terheran-heran dengan perbuatan Dong-dongka.
Orang tua yang selalu bertingkah sinting itu sedang tertelungkup.
Bahunya bergonjang-gonjang.
Kegilaan macam apa lagi yang sedang di-lakukannya? Tanya hati Satria.
Satria mendekat.
Kian dekat, telinganya makin jelas men-dengar sesegukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Astaga, dia menangis! Perangah Satria.
Ce-pat-cepat dihampirinya Dongdongka.
Diangkatnya bahu kurus kakek sakti itu perlahan.
Sesinting-sintingnya orang tua itu, Satria tak akan tega membiarkannya terombang-ambing dalam kesedihan.
"Kenapa kau menangis, Kek?"
Tanya Satria. Suaranya tak sepedas sebelumnya. Sekarang ter-dengar lembut, bersahabat. Juga penuh kasih. Dongdongka buru-buru menyapu air ma-tanya. Dengan air mata masih menggenang di ke-lopak mata bawahnya ditatapnya Satria nanap.
"Aku sedih karena kau tak sudi menjadi muridku...,"
Ucapnya perlahan.
"Apa?"
Satria tersentak.
Satria terhenyak.
Tak disangkanya kalau kepiluan si orang tua ternyata bermuasal dari dirinya.
Dari penolakannya menjadi murid Dongdongka.
Pemuda tanggung itu terduduk lunglai.
Betapa berdosanya dia telah membuat orang tua menjadi sesedih itu.
Satria bisu.
Diam seribu bahasa.
Wajahnya tertunduk.
Pandangannya terjatuh ke butiran pasir.
Tak kuasa lagi ditatapnya mata Dongdongka.
"Kau tahu, Cah. Aku sudah demikian muak dengan dunia ini. Usiaku sudah terlalu uzur. Telah terlalu lama aku hidup. Sampai aku bosan dengan segala kebusukan manusia. Bosan dengan kemunafikan, bosan dengan keculasan, bosan dengan kebiadaban, bosan dengan segala tipu daya mereka..."
Tutur Dongdongka terbata.
Satu-satu.
Pada saat itu, seperti hilang menguap segala kesintingannya selama ini.
Pada saat itu pula, tak ada kesan sebersit pun kalau dia adalah seorang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa yang demikian disegani dan ditakuti.
Semuanya pupus, dihisap oleh gelombang lara dalam di-rinya.
"Sudah lama aku memimpikan dapat meninggalkan dunia. Aku begitu ingin mati. Tapi segenap kesaktianku menyebabkan aku menjadi su-lit untuk begitu. Rasanya aku akan semakin lama dijejali kebusukan dunia ini jika kesaktianku masih tetap kumiliki...,"
Sambung Dongdongka.
"Karena itu aku harus mencari seorang murid. Murid yang dapat kuberikan seluruh ke-saktianku. Dengan kuserahkan segala kesaktian-ku, aku akan menemui ajal dengan tenang. Na-mun, aku tidak bisa sembarangan menurunkan ilmuku. Kau tahu, semakin banyak saja manusia yang sulit dipercaya di dunia ini. Seringkali amanat dikhianati hanya karena keinginan kecil."
Dongdongka menghentikan penuturannya beberapa saat. Dihelanya napas berat. Seakan sedang mengangkat beban yang demikian berat dari dadanya.
"Lalu aku bertemu kau. Beberapa lama ku-perhatikan kau. Sampai akhirnya aku tahu, aku yakin kalau kaulah yang pantas untuk menerima amanat ku. Kau orang yang pantas untuk menja-di muridku, Cah...."
Wajah Dongdongka terjatuh.
"Sayang, kau tak sudi menjadi murid tua bangka macam aku,"
Desahnya, terdengar lirih.
"Padahal, kau bocah baik. Kau berhati mulia. Kau pantas menjadi seorang pendekar besar yang menerima kesaktianku...."
Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua