Rahasia Kitab Ular 1
Roro Centil Rahasia Kitab Ular Bagian 1
TIGA orang gadis itu masih berjongkok di sisi sebuah kuburan yang masih baru ...
Keadaan di tempat itu kembali sunyi hening mencekam.
Tukang-tukang gali kubur sudah berangkat pulang dengan membawa cangkulnya masing-masing, dengan girang karena persenannya hari itu cukup besar.
"Gadis yang baju merah itu royal sekali ... Upah untuk kita bertiga ini cukup untuk kita makan dua pekan" ... Salah seorang berkata.
"Ha ha ha ... Benar Kang, agaknya ia membawa banyak uang!"
Menyahut kawannya yang berhidung melengkung bagai paruh burung betet. Sementara yang seorang lagi agaknya sudah tidak sabar untuk menerima pembagian upahnya.
"Sudahlah kita bagi di sini saja, aku mau terus pulang menemui anak istriku ...!"
Yang memegang uang hasil upah mereka bertiga itu tiba-tiba palingkan kepalanya pada kawannya, sambil tersenyum.
"Aha ... Rupanya si Jasiman sudah kangen betul pada maknya si Blotong di rumahnya...!"
Katanya sambil picingkan mata pada si hidung betet di sebelahnya yang jadi tertawa ngakak. Keruan saja muka Jasiman yang bertubuh kurus itu jadi merah padam dan terasa panas mendengar dirinya ditertawakan.
"Sudahlah cepat Gento, kau berikan jatahnya... kasihan kan, nanti kalau memble di sini kan bisa gawat! Ha ha ha ... ha ha ...
"
Si hidung betet kembali menggoda. Tampaknya si pemegang uang yang bernama Gento itu pun tidak mau menggoda lebih jauh. Segera ia berikan jatah buat kawannya itu.
"Nah, ini bagianmu Jasiman, cepatlah pulang, dan ... eh tunggu dulu ...
"
Tiba-tiba Gento sudah berteriak lagi ketika Jasiman dengan cepat menyambar uang upahnya itu, dan sudah mau ngeloyor pergi.
"Kencangkan dulu tali celanamu jangan sampai kedodoran di jalan, nanti di rumah baru pelan-pelan kau lepaskan! Ha ha ha... ha ha...". Jasiman tampak mendongkol sekali, segera tanpa perdulikan ejekan itu ia sudah putar tubuh dan bergegas pergi tanpa menoleh lagi, diikuti suara tertawa kedua kawannya itu yang terbahak-bahak... Seekor kuda berjalan dengan perlahan meniti jalan setapak itu... dengan penunggangnya seorang laki-laki tampan dan gagah, namun wajahnya menampilkan kemurungan. Pakaiannya berwarna putih dan terbuat dari bahan yang kasar. Ketika melihat kedua orang diha-dapannya, ia segera percepat jalan kudanya. Sementara kedua tukang gali kubur yang belum beranjak pergi dari situ, jadi arahkan mata untuk melihat kedatangannya.
"Maaf pak. Apakah jalan ini bisa terus tembus ke Makam...?"
Ia segera bertanya setelah memberhentikan langkah kudanya.
"Oh, benar Den,...! Berjalanlah terus. Nanti di ujung jalan ini membeloklah ke kanan. Makam itu segera akan terlihat ...!"
Menyahuti si hidung betet, dan segera minggir untuk memberi jalan.
"Terima kasih, pak.... tapi..."
Laki-laki ini tidak terus langkahkan kudanya, karena sambil berkata ia telah melompat turun dari kudanya.
"Namaku Sentanu...!"
Ternyata ia telah perkenalkan dirinya pada kedua orang itu, yang segera menyambuti uluran tangannya.
"Apakah Raden masih sanak famili yang meninggal ... ?"
Bertanya lagi si hidung betet.
"Oh, bukan ... aku hanya sahabatnya ... !"
Kata laki-laki itu, yang segera sudah menyambung kata-katanya lagi.
"Maaf, pak. Harap tidak memanggilku Raden. Aku orang biasa saja seperti juga bapak-bapak". Si hidung betet mengangguk-angguk, diikuti oleh Gento ketika mata Sentanu singgah pada wajahnya.
"Apakah bapak-bapak baru saja selesai menggali kubur...?"
Bertanya lagi si penunggang kuda itu. Kedua orang itu dengan berbareng sama-sama anggukkan kepala.
"Oh, ya ... maaf! Masih adakah orang di sana ...?"
Bertanya lagi ia, yang segera disahuti oleh Gento cepat.
"Masih ki sanak! Ada tiga orang wanita lagi di sana. Sedang yang dua orang sudah berangkat pergi... !"
"Apakah kedua orang yang pergi itu wanita juga?". Tanyanya lagi.
"Rasanya sih laki-laki dan wanita. Kata orang yang wanita itu adalah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang bernama Roro Centil". Menjelaskan Gento. Laki-laki bernama Sentanu ini tampak kerenyitkan alisnya, sementara bibirnya menggumam perlahan...
"Pendekar Wanita Pantai Selatan ... ?". Namun ia sudah cepat-cepat bertanya.
"Dari manakah bapak-bapak mengetahuinya?"
Gento agak aneh juga didesak dengan pertanyaan-pertanyaan itu, namun ia tak mau mengecewakan orang muda di hadapannya itu. Segera ia menyahuti.
"Aku mendengarnya secara kebetulan saja dari dua orang yang sedang bercakap-cakap ketika lewat di sebelah kami...! Mereka berbisik-bisik membicarakan gadis yang di sebelah pemuda itu, ketika keduanya tengah mengantar jenazah untuk dibawa ke Makam...!"
Kini berbalik Sentanu yang manggut-manggut sambil berkata.
"Baiklah...! Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak berdua!"
Laki-laki itupun meminta diri dan segera melompat ke atas punggung kudanya yang segera mencongklang cepat dari situ. Si kedua tukang gali kubur itu tampak berbisik-bisik dan tak lama kemudian menyelinap pergi ...
"Gagal...!"
Terdengar samar-samar suara Gento dari kejauhan.
Ketika mendengar suara kaki kuda memasuki makam itu, ketiga gadis yang berada di sisi kuburan yang masih baru tersebut menoleh, dan mengarahkan pandangan matanya pada Sentanu.
Laki-laki ini segera tinggalkan kudanya di sisi makam, dan menghampiri mereka.
Yang dua orang segera berdiri menyambut.
Sedangkan yang seorang lagi masih berjongkok di sisi gundukan tanah itu.
Tampak sepasang matanya masih merembeskan air mata.
Si laki-laki ini tampak menjura terlebih dulu sambil berkata;
"Maafkan aku datang terlambat sehingga tak sempat menghadiri pemakaman nya!"
Dan kata-katanya itu telah disambungnya lagi dengan memperkenalkan diri pada kedua gadis itu, yang dibalas dengan anggukan kepala oleh si baju merah. Dan lantas katanya;
"Kami memang tengah menanti kedatangan anda sobat Sentanu ...
"
Terkejut juga laki-laki tampan ini, namun si gadis baju merah itu telah menyambung kata-katanya sambil melirik pada gadis yang masih berjongkok di situ seperti tengah terhanyut dengan kesedi-hannya.
"Tentu saja kami mendengar pesan almarhum itu ... semoga anda dapat menjaganya dengan baik. Kami yakin anda pasti tidak ingin almarhum kecewa di alam baka bukan ...?"
Ucapan itu sudah dibarengi dengan deheman yang membuat Marni gadis itu segera menoleh, dan wajah yang baru dilanda kesedihan itu jadi berubah merah.
Ia memang sudah mengetahui keda-tangan laki-laki itu, namun mana ia tahu pesan kakaknya Mandra almarhum sebelum ajal tiba, kecuali kedua gadis itu yang merahasiakannya.
Tentu saja kata-kata itu telah membuatnya mengerti.
Marni memang telah mengenal Sentanu yang pernah berdiam di desa Karang Sembung, selama beberapa bulan.
Laki-laki yang pernah difitnah oleh ayah angkatnya bahwa telah menodai dirinya ...
Padahal ayah angkatnya sendirilah yang telah mengumpankannya pada Bupati Daeng Panuluh dengan imbalan uang.
Kini ia hidup sebatang kara.
Kakak kandungnya Mandra telah tewas oleh ketiga paderi cabul yang mengaku dari Gunung Wilis.
Dari kata-kata si gadis baju merah ia segera mengetahui bahwa kakaknya telah berpesan untuk menjaga dirinya, entah sebagai adik atau sebagai istri.
Apakah kedatangan Sentanu adalah untuk mewujudkan pesan kakaknya Mandra almarhum?.
Berfikir Marni, sementara kesedihan nya belum lagi sirna.
Tiba-tiba terbersit di hatinya perasaan malu pada laki-laki bernama Sentanu.
Marni merasakan dirinya bukanlah seorang gadis lagi.
Ia takut bila Sentanu mau mengambilnya sebagai seorang istri hanya karena terpaksa.
Apakah mungkin Sentanu dapat merasa puas beristrikan nya? Rasa malu itu bergelut dalam jiwanya, dan sekonyong-konyong ia merasa rendah diri...
Tiba-tiba Marni bangkit berdiri, dan tanpa berpaling lagi ia telah berlari cepat dari tempat itu sambil menutup wajahnya.
Hal demikian yang tiba-tiba itu telah membuat mereka bertiga jadi terpaku.
Lebih-lebih Sentanu yang jadi tak mengerti apa sebabnya.
Tiba-tiba ia sudah bergerak mau mengejarnya.
Namun si gadis baju merah telah berkata.
"Rasanya tak perlu anda mengejarnya sobat Sentanu, itu akan menambah luka di hatinya". Selanjutnya si gadis baju merah menjelaskan akan sifat seorang wanita yang bila telah bersikap demikian, berarti ia merasa rendah diri untuk berhadapan dengan seorang laki-laki yang telah berniat untuk menjaganya. Kata-kata menjaga itu tentu saja mempunyai arti yang amat dalam Sejurus Sentanu jadi termenung dan serba salah. Tiba-tiba pada saat itu adik seperguruan si gadis baju merah yang bernama Surti ini berkata;
"Kak Roro Dampit, biarlah aku menyusulnya, kasihan ia. Aku akan menemaninya atau mungkin juga menjaganya sebagai adikku sendiri. Karena nasibnya adalah tidak berbeda dengan nasibku sendiri ...
"
Si gadis baju merah yang ternyata bernama Roro Dampit ini tercenung sejenak, tapi kemudian;
"Pergilah Surti! Agaknya kita pun harus berpisah. Aku tak dapat menemanimu karena aku punya urusan sendiri seperti kau juga. Guru kita telah tiada, dan kaupun cuma saudara seperguruan denganku. Mulai hari ini kita ambil jalan sendiri-sendiri... Setujukah kau?"
Tentu saja ucapan itu membuat Surti jadi terhenyak ... namun ia segera dapat membaca fikiran orang.
"Hm, baiklah kalau kau menginginkan demikian, kak Roro Dampit. Asal saja kau tak melupakanku kalau berjumpa di jalan ..."
Jawab Surti sambil sudut matanya bergerak sekilas melirik pada Sentanu yang masih tercenung di situ mendengarkan pembicaraan orang. Si gadis baju merah ini tiba-tiba tertawa hambar dan katanya;
"Aih adik Surti, siapa yang mau melupakan orang...? Walau bagaimanapun kita masih satu saudara seperguruan... !"
Dan sambungnya lagi;
"Pergilah susul dia, nanti kau kehilangan jejak."
Surti anggukkan kepalanya, dan tatap wajah kakak seperguruannya, kemudian mengalihkannya pada Sentanu yang cuma anggukkan kepala ...
Dan selanjutnya ia sudah balikkan tubuh, lalu tubuhnya berkelebat cepat menyusul ke arah mana Marni berlari.
Kini tinggal mereka berdua di tempat itu.
Hening kembali mencekam...
Si gadis baju merah dan Sentanu sama-sama membisu.
Sentanu sendiri seperti bingung akan apa yang akan ia lakukan.
Tiba-tiba Roro Dampit terdengar berkata memecah kehe-ningan;
"Kemanakah tujuan anda sobat Sentanu...?"
Laki-laki ini seperti baru tersadar dari lamunannya, ia cepat-cepat menjawab ...
"Entahlah ... mungkin juga aku akan pergi jauh...!"
"Mengembara...?"
Si gadis bertanya lagi sambil kerutkan alisnya. Sentanu anggukkan kepalanya, dan terdengar ia menghela napas.
"Apakah anda telah tak punya sanak famili lagi ... ?"
"Ada! Seorang paman". Sahutnya.
"Siapa...? Tinggal di mana? Mengapa anda tak ke sana saja ... ?"
Tanya gadis itu beruntun. Tiba-tiba Sentanu angkat wajahnya menatap gadis baju merah itu "Kuharap janganlah membicarakannya!"
Katanya dengan nada agak ketus. Tentu saja hal itu membuat Roro Dampit jadi terhenyak, dan tundukkan muka ke tanah.
"Maafkan kalau hal itu menyinggung perasaanmu. Aku tak tahu ada ganjalan apa anda dengannya. Dan akupun tak akan menanyakan lagi...
"
Tiba-tiba kini Sentanu yang balik bertanya;
"Dan anda akan ke mana... ?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu!"
Si gadis menjawab seenaknya. Selang sejenak tiba-tiba Sentanu berkata "Baiklah, maaf aku pergi dulu..."
Dan ia sudah melangkahkan kakinya menuju ke tempat kudanya menunggu.
"Bolehkah aku ikut dengan anda...? Akupun ingin merantau. Alangkah senangnya kalau ada teman seperjalanan". Laki-laki ini tak menjawab, dan ia sudah segera melompat ke atas punggung kudanya. Tampak ia seperti sedang mempertimbangkan. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan, si gadis tiba-tiba telah melompat ke atas punggung kuda dan enak saja telah duduk di belakangnya. Terkesiap juga ia akan keberanian gadis baju merah itu yang belum mendapat jawaban sudah berani taruh pantat seenaknya di belakang punggungnya. Belum lagi ia tarik kendali kudanya untuk memutar, si gadis telah hentakkan kakinya pada perut kuda sambil berteriak;
"Heaaa! Ayoh cepat kak Sentanu, aku sudah ingin segera meninggalkan tempat seram ini...!"
Keruan saja sang kuda jadi terkejut dan angkat kedua kakinya tinggi-tinggi sambil perdengarkan suara ringkikan panjang.
Kalau Roro Dampit tak cepat memeluk tubuh laki-laki itu tentu ia sudah terlempar dari punggung kuda.
Segera Sentanu dapat menguasai binatang tunggangannya itu, yang segera diputar arah.
Dan sang kuda sudah mencongklang cepat meninggalkan makam itu melalui jalan setapak...
Sentanu geleng-gelengkan kepalanya.
Agak mendongkol juga ia atas kenakalan gadis baju merah itu.
Namun hatinya jadi berdebar karena merasakan dua benda lembut menempel pada punggungnya.
Ternyata gadis itu telah memeluknya erat sekali.
Senja sebentar lagi akan lewat dan berganti dengan malam ...
Telaga yang berair jernih itu menampakkan dua bayangan sosok tubuh, namun tidak jelas karena air telaga bergoyang-goyang terkena hembusan angin.
Ternyata sang angin terus menghembus ke darat dan menyibak segerumbul rumput alang-alang yang segera terdengar bunyi berkeresekan.
Kedua sosok tubuh itu ternyata berada di tempat itu, terlindung semak lebat yang banyak tumbuh di sisi telaga...
Keduanya dalam jarak yang dekat sekali, sehingga saling menempel tubuh yang satu dengan lainnya.
"Ayolah, buka pakaianmu ...
"Salah seorang berbisik.
"Tunggu dulu sampai. agak gelap, aku takut ada orang melihat kita. Menyahut yang seorang.
"Aih ... Percayalah, tempat ini tersembunyi. Tak kan ada orang yang melihat kita!"
Yang seorang agaknya sudah tak sabar lagi menunggu, dan segera membukai pakaiannya ...
Terpaksa iapun menuruti membuka pakaiannya satu persatu.
Dan tak lama kemudian kedua sosok tubuh itu sudah dalam keadaan bugil.
Sementara cuaca semakin gelap.
Rembulan sisa kemarin malam belum lagi muncul.
Terdengar yang seorang mendesah ...
"Oh, dinginnya".
"Hmm... nanti setelah kita berenang pasti akan menjadi hangat, percayalah!"
Berkata sosok tubuh yang disebelahnya. Dan sebelum kata-kata itu disahuti, sosok tubuh yang berada di sebelahnya telah berkata;
"Lihatlah...!". Sebuah benda hitam panjang meluncur ke luar dari balik semak! Bergerak-gerak dedaunan yang kena tersenggol benda tersebut. Mata sosok tubuh yang melihat keluarnya benda itu jadi menatap tak berkedip. Dan tak lama kemudian ...
"Ayo... doronglah sedikit lagi, tekan agak kuat... ! Nah, begitu... !"
Terdengar suara.
Dan terlihatlah dengan jelas sebuah rakit melaju ke tengah telaga yang dikemudikan oleh seorang wanita setengah umur dengan mempergunakan sebatang bambu panjang untuk pengayuhnya.
Dari seberang telaga itu terdengar lagi suara seorang wanita;
"Cepat kau tarik rakit itu ke pinggir, dan ikatkan yang kuat dengan rakitmu!"
Si wanita itu tak menyahuti karena sibuk menancapkan batang bambu panjang itu ke dalam air.
Bila telah menyentuh dasar, segera menekannya dan mendorong rakitnya yang diarahkan pada rakit yang terapung di tengah telaga itu.
Sebentar kemudian kedua rakit itu telah merapat.
Segera si wanita itu mengikatnya kuat-kuat pada ujung kedua rakit itu dengan tali yang telah disediakan.
Dan selanjutnya ia sudah mengayuh lagi rakitnya untuk kembali lagi ke seberang telaga ...
Terdengar si wanita itu menggumam sendiri.
"Heran?! Entah rakit siapa yang hanyut sampai ke mari... !". Sementara kedua sosok tubuh yang telah membugil itu jadi saling pandang dan garuk-garuk kepala.
"Huh!? Pembantu-pembantu tua itu telah menggagalkan rencana kita!"
Berkata yang seorang.
"Ini semua adalah gara-garamu, yang tidak mengikat rakit dengan kencang, hingga hanyut ke tengah...!". Kata yang seorang lagi mendesis. Ternyata kedua orang itu adalah si tukang gali kuburan, yaitu Gento dan si hidung betet. Yang sudah mengatur rencana untuk menyeberang dengan rakit yang telah disembunyikan di balik semak, namun ikatannya terlepas dan hanyut ke tengah telaga. Si hidung betet tak bisa menjawab, namun hatinya diam-diam memikir; Rasanya sudah ku ikat cukup kuat... tapi entahlah! Karena waktu itu aku tergesa-gesa takut dilihat orang. Dan entah galah bambunya itu hanyut ke mana. Berfikir lagi ia. Rasa sakit pada pangkal pahanya dan gatal-gatal pada punggungnya membuat si hidung betet berteriak tertahan;
"Aduh!"
Dan terdengarlah suara Plak! Plok! ketika lengannya bergerak ke sana-kemari memukuli tubuhnya.
Ternyata nyamuk-nyamuk rawa telah menggigit tubuhnya yang telanjang bulat...
Dan mulai menyerbu menyantap darah yang dihidangkan untuknya...
Segera saja cepat-cepat ia mengenakan pakaiannya lagi dengan terburu-buru.
Begitu juga Gento yang mulai diserbu binatang-binatang penghisap darah itu, segera sambar pakaiannya ...
Sementara mulutnya terus menggerutu mempersalahkan kawannya.
Belum lagi dua pekan kedua sahabat itu yang kerjanya cuma sebagai kuli suruhan orang, telah tidak mempunyai uang lagi.
Rupanya Gento mempunyai kelakuan yang tidak baik, yang telah menyeret si hidung betet...
untuk mencuri pada salah sebuah rumah gedung di seberang telaga itu.
Rakit bambu sudah sejak siang-siang mereka sediakan untuk menyeberang.
Rencana sudah diatur matang sejak tadi siang.
Gedung itu memang di samping letaknya agak terpencil, juga bagian belakangnya sudah bolong-bolong.
Hingga mengundang orang untuk berniat jahat.
Mereka sengaja menyeberang tidak terlalu malam, karena di belakang gedung itu ada tempat untuk bersembunyi, sambil melihat situasi untuk segera mereka melaksanakan niatnya nanti malam.
Tapi apa lacur sang rakit telah hanyut ke tengah...
Mereka sudah membukai pakaiannya untuk dibawa berenang ke sana, ternyata telah keduluan munculnya pembantu-pembantu rumah gedung itu yang kini tengah menarik rakitnya dibawa langsung ke seberang.
Gagallah rencana jahatnya...
Tak berapa lama kemudian keduanya sudah kembali menyuruk ke semak-semak untuk segera meninggalkan tepian telaga tersebut.
Ketika kedua bayangan sosok tubuh kedua tukang gali kubur itu sudah lenyap di kejauhan, sesosok tubuh muncul dari balik pohon di tempat yang agak ketinggian itu.
Ternyata dia Roro Centil...
Terlihat senyumnya yang menawan tatkala sang gadis Pendekar Pantai Selatan itu menatap rakit terapung yang sudah ditarik sampai ke seberang...
Dan terdengar gumamnya puas.
"Heh! Biar kau rasakan kegagalanmu maling-maling picisan ..."
Ternyata yang melepaskan rakit kedua tukang gali kubur itu adalah hasil perbuatan Roro, yang rencananya telah ia ketahui.
Ternyata pertemuannya dengan Ginanjar telah menambah pengalamannya ...
Roro makin teliti dengan keadaan ling-kungannya.
Beberapa keping uang pemberian Pak Ronggo Alit cukup untuk makan tidur beberapa pekan, dan membeli satu setel pakaian laki-laki bekas di pasar loak.
Entah akan dipergunakan untuk apa.
Roro Centil baru saja kembali dari Kota Raja ...
entah mengapa ia ingin sekali mengetahui di mana tempat tinggal pemuda itu yang masih terhitung saudara seperguruannya.
Ternyata orang yang bernama Ronggo Alit itu, seorang yang amat ramah tamah.
Berumur kira-kira lima puluh tahun.
Di rumah pak Ronggo Alit itulah Ginanjar tinggal selama ini.
Usaha pak Ronggo Alit ternyata amat maju pesat sebagai penjual obat-obatan.
Toko nya yang besar itu dilengkapi dengan beberapa orang pembantu.
Menurut penuturannya baru setahun inilah usaha itu dikembangkan.
Gadis bernama Kasmini itu yang pernah ditolongnya, ternyata berada di sana.
Juga bekerja sebagai pelayan di toko itu ...
Banyak kisah menarik yang Roro dengar dari tokoh bekas pejuang dari Partai Pengemis, yang bersahabat baik dengan Ki Bayu Seta atau si Pendekar Bayangan almarhum.
Dan tentu saja iapun menceritakan tentang kematian Pendekar Besar itu, yang masih termasuk Guru Roro, karena iapun mewarisi beberapa jurus ilmu kepandaiannya.
Hampir dua pekan ia berada di gedung sederhana tempat tinggal pak Ronggo Alit itu ...
selama berada di sana banyak berita baik yang didengarnya.
Yaitu ditumpasnya Partai Pengemis Baru yang telah muncul dan mengacau oleh pihak Kerajaan.
Partai Pengemis lama pun telah dibubarkan ...
agar tidak terjadi lagi hal-hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan kericuhan.
Kini orang-orang Partai Pengemis lama yang pernah bersatu padu dengan pihak Kerajaan Medang dalam menumpas pemberontak, dapat bernapas lega ...
Sekembalinya dari Kota Raja, Roro menginap pada sebuah penginapan sederhana di dekat pasar...
Malam baru saja merayap...
Ketika Roro kembali ke tempatnya.
Udara panas, seperti mau turun hujan.
Rembulan pun terlihat dari sela-sela jendela agak meredup tertutup awan...
Begitu tiba di kamarnya ia sudah lemparkan tubuhnya ke pembaringan empuk itu, yang segera berderit mengusik kelengangan.
Seperti biasa ia tak lupa untuk berserah diri pada Tuhan ...
dan segera pejamkan mata.
Rasa panas mulai berkurang ketika ada angin bertiup di luar.
Kamar bagian atas tepat Roro bermalam itu cuma ada tiga kamar.
Dan kebetulan malam itu tak ada lagi tamu yang menginap selain Roro.
Dapat dilihat olehnya tadi sewaktu melewati kedua kamar itu yang terlihat kosong ...
Iapun dapat bernafas lega, karena sebagai seorang wanita selalu ada saja rasa khawatir terhadap keselamatan dirinya ...
Suara burung Perkutut yang telah dikerek persis dekat jendela kamarnya itu membuat ia segera mendusin ...
Ternyata hari sudah agak siang.
Karena jelas terlihat sorot panas matahari yang menyemprot dari sela-sela jendela.
Bergegas ia bangun dan gerakkan tubuh untuk memulihkan lagi otot-otot yang kendur, dan melancarkan darah serta pernafasannya melalui beberapa gerakan khusus, mirip sebuah tarian yang diajarkan oleh si manusia banci Gurunya.
Selesai itu ia pun bergegas turun untuk mandi, setelah membuka terlebih dahulu jendela kamarnya, serta melirik sekejap pada seekor Perkutut yang sedang asyik manggung.
Namun tersentak dan terhenti sejenak, karena terkejut melihat jendela yang sekonyong-konyong terbuka...
Makam yang berada di sebelah barat daerah Karang Sembung adalah makam yang paling lama, dan paling jauh ...
Sehingga karena lamanya orang kadang-kadang tidak ingat lagi kalau di sana ada terdapat sebuah makam kuno.
Kuburan di makam itu tidak banyak.
Cuma aja beberapa belasan gunduk tanah, yang nisannya terlihat sudah banyak yang lapuk dimakan usia dan rayap.
Namun bila diperhatikan dan disengaja untuk menghitung, maka akan terlihat ada tujuh buah kuburan yang sungkup dan nisannya terbuat dari batu.
Bentuk ketujuh kuburan itu hampir mirip satu sama lain baik sungkup dan batu nisannya.
Sayang, karena lamanya dan sudah tidak dirawat lagi, banyak semak belukar yang tumbuh rapat hingga sukar bila orang datang mau berziarah ke makam tersebut...
Ternyata makam tua yang hampir sudah tak di ingat orang lagi itu, masih ada juga yang mau mengunjunginya...
Dua sosok tubuh tampak mendatangi ke arah makam.
Gerakannya ringan sekali.
Yang seorang bertubuh langsing berbaju dan berpakaian serba hitam.
Ternyata ia seorang wanita, yang dari kerut dan potongannya ia bekas seorang yang cantik.
Berkulit sawo matang, dengan usia sekitar empat puluh tahun.
Namun tidaklah mengurangi kecantikannya, yang memang dapat dilihat bahwa ia seorang wanita yang pandai merawat tubuh dan merias diri.
Yang seorang lagi adalah laki-laki dengan perawakan sedang, tinggi tidak, pendekpun tidak.
Usianya sudah dapat dipastikan adalah lebih muda si laki-laki itu, yang kelihatannya dari golongan bangsawan atau orang-orang berada.
Ketika tiba di ujung makam, si wanita baju hitam sudah hentikan langkahnya yang ringan dan cepat.
Tak berapa lama disusul oleh si laki-laki bangsawan itu yang tertinggal jauh di belakang.
Begitu si laki-laki bangsawan itu tiba di belakang si wanita kira-kira sepuluh langkah lagi, ia sudah jatuhkan pantatnya ke tanah; dengan napas yang memburu dan wajah penuh keringat.
Si wanita cuma melirik saja sambil tersenyum, sedangkan ia tampaknya tak merasa lelah sama sekali...
Akan tetapi tiba-tiba si laki-laki bangsawan itu telah perdengarkan seruan tertahan;
"Hah!? Apa-apaan kau istriku ... masakan mengajak aku jalan-jalan ke kuburan!?". Dan seketika saja wajahnya telah berubah menampilkan perasaan takut. Memang suasana makam tua itu terlihat agak menyeramkan ... Namun si wanita baju hitam cuma tertawa saja. Sengaja suara tertawanya ia bikin keras yang mengikik panjang. Keruan saja bulu tengkuk si laki-laki bangsawan yang memang pengecut itu jadi terbangun semua. Tubuhnya terasa berubah jadi panas dingin, karena suara tertawa sang istri persis suara Kuntilanak. Hingga bukannya takut terhadap setan, tapi takut pada istrinya sendiri, yang memang kebetulan berpakaian serba hitam, dan rambutnya beriapan -kusut. Sedangkan berdirinya di pojokan dekat sebuah batu nisan yang sudah doyong di bawah pohon ... Persis Hantu kuburan! Tiba-tiba si wanita menghentikan tertawanya dan berkata "Katanya kau cinta banget padaku ... Cinta yang dulu kau katakan sangat ngebet! Kau berkata bahwa akan sehidup semati.... Tapi nyatanya baru dibawa jalan-jalan ke kuburan aja, kau sudah ketakutan setengah mati, suamiku... ! Hi hi hi... hi hi...
"
Kembali disambung dengan suara mengikik yang tertahan.
"Sudahlah, jangan kau tertawa lagi, aku benar-benar takut mendengar suara tertawamu itu!"
Sang suami berkata dengan hati amat mendongkol pada istrinya.
"Oooo, jadi kau takut padaku ya, bukan pada setan penunggu makam tua ini!?". Bertanya sang istri dengan ketus. Tentu saja suaminya jadi kelabakan untuk menjawabnya ...
"Bu ... bukan ... ! Yang kutakutkan suaramu, mirip ...
"
"Mirip setan, begitu!?"
Sang istri sudah menyambung kata-kata gagap suaminya yang dirasa terlalu lambat bicara.
Tampak sang suami mengangguk-angguk, agaknya penyakit gagapnya sudah mau kumat lagi, hingga mulutnya saja yang menganga tapi yang menjawab adalah anggukan kepala.
Tiba-tiba istrinya telah berdiri bertolak pinggang di hadapannya dengan wajah cemberut, dan berkata;
"Jadi jelasnya kau takut aku apakah takut setan...?!".
"Ya takut setan...?"
Jawabnya dengan lancar.
"Apa? Buktinya kau takut aku!"
Berkata lagi ia dengan ketus.
"A ... aku ... a... a... a...
"
"Hm, kumat lagi ... !"
Gerutu si wanita baju hitam kesal.
Akhirnya ia berkata "Sudahlah, tak usah kita teruskan debat.
Menunggu bicaramu selesai saja kesabaranku rasanya sudah mau naik sampai kepala...! Saking kesalnya menunggu bisa-bisa aku benar-benar jadi setan karena pegalnya hatiku!".
Si wanita sudah lanjutkan lagi bicara;
"Dengarlah suamiku ... Makam tua ini dulunya adalah bekas istana raja-raja pulau seberang yang berkuasa di tanah Jawa. Kerajaan-kerajaan kecilnya banyak tersebar di seluruh Jawa, kecuali Madura. Tapi tetap berdaulat pada kerajaan besar yaitu Kerajaan Medang, yang pernah dikuasai berpuluh tahun...
"
Sang suami manggut-manggut mende-ngar penuturan itu. Diam-diam hatinya memuji kepintaran pengetahuan sang istri, yang mengerti sejarah.
"Aku mengetahui dari ayahku, karena ayahku adalah orang tanah seberang... Namun ayah tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Di waktu terjadi peperangan besarpun ayah tetap berdiam di sini. Karena kedatangannya ke tanah Jawa adalah karena ingin merantau."
Demikianlah, tanpa dipinta sang istri telah bercerita mengenai keluarganya. Kalau ditinjau dari kata-katanya dan juga gerak-gerik suaminya yang lebih muda, tampaknya mereka belum lama menjadi suami istri, dan terbukti dengan kata-katanya;
"Suamiku, aku ingin kau adalah suami yang terakhir ... Kalau kau sudah janji padaku janji sehidup semati, ya sudah... Dan kau harus benar-benar buktikan kata-katamu itu ... !"
Sejurus si wanita baju hitam itu berhenti bicara dan menatap wajah suaminya yang mirip adik atau bahkan anak sendiri Yang ditatap jadi cengar-cengir dan manggut-manggut sambil berkata;
"Baiklah istriku sayang.. aku kini tidak takut setan lagi. Walaupun kau ajak aku untuk masuk ke lubang kuburan sekalipun aku akan turuti kau demi cintaku padamu...!". Mendengar kata-kata suaminya itu bukan main girangnya si wanita baju hitam. Segera ia tarik lengan suaminya dan kepit dengan ketiaknya sebelah kiri, sehingga mirip tengah di rangkul dari belakang. Sementara lengannya sendiri pun menyeruak mencari jalan dari belakang baju sang suami, dan berhenti di pinggang kanannya. Dengan saling berangkulan begitu mereka memasuki makan tua tersebut ... Sudah tentu sang suami menurut saja ke mana ia "diseret"
Sang istri.
Makin ke dalam...
dan makin ke dalam lagi.
Kini rangkulannya telah mereka lepaskan karena jalanan sempit dan penuh semak belukar.
Namun cekalan tangan sang suami tak mau lepas dari tangan istrinya.
Bahkan mencekal makin kuat.
Sementara hatinya berdebar-debar.
Namun rasa takut itu tak ditampakkan pada istrinya.
Bahkan ia berkata;
"Wah, kalau kita membangun gedung di tengah makam ini orang pasti akan memuji keberanian kita...! "Hm, itu sih belum seberapa... Aku maunya membangun di dalam kuburan... !"
"Hah... !?". Tentu saja jawaban sang istri membuat ia mati kutu tak bisa bicara lagi. Untung saja ia tak bicara. Kalau ia berani teruskan, niscaya penyakit gagapnya akan kumat lagi.
"Eh, ngomong-ngomong kau mau ajak ke mana aku ...?"
Berkata ia sambil menahan perasaan takutnya yang sudah sedari tadi menggelutinya.
"Mengajakku untuk masuk ke dalam kuburan...!"
Dengan tenang saja si wanita baju hitam menyahuti. Namun sudah membuat hati si bangsawan itu jadi kebat-kebit, dan tubuhnya sudah mulai panas dingin. Istrinya kalau becanda keterlaluan? Pikirnya.
"Kau tunggu di sini...!"
Tiba-tiba ia kibaskan lengannya dari pegangan tangan sang suami.
Dan segera enjot tubuhnya ke tengah makam.
Lalu dengan berhati-hati ia meneliti setiap gunduk kuburan yang mempunyai sungkup atau tutup lubang serta nisannya dari batu.
Tiba-tiba ia telah berkelebat lagi ke sisi makam.
Di sana ia berhenti.
Setelah meneliti tempat sekitarnya, ia segera melangkah menuju semak.
Dengan menyingkap semak sebuah batu berbentuk kerucut yang tertutup semak belukar itu segera terlihat olehnya.
Sementara si laki-laki bangsawan masih berdiri di sana.
Di hadapan sebuah kuburan tua yang batu-batunya penuh berlumut.
Ia benar-benar tak mengerti apa yang tengah dilakukannya istrinya.
Ketika tiba-tiba kuburan yang berada di hadapannya bergerak tergetar...
"Hah!? ... To ... to ... tto ... ttttto ..."
Gagapnya langsung saja kumat lagi.
Ketika bersamaan dengan menjeblos-nya kuburan batu itu ke bawah, terdengar bunyi Blug! Ketika si wanita baju hitam menoleh...
ternyata sang suami telah jatuh pingsan, karena takutnya melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya.
Kiranya ketika batu berbentuk kerucut itu diputar, justru yang bergerak adalah kuburan batu yang berada di hadapan suaminya ...
Segera saja ia berkelebat ke sana.
Ia jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal melihat sang suami yang terkapar di sisi kuburan ...
Namun ia segera sudah alihkan matanya memandang ke lubang kuburan yang sudah menganga itu.
Tadinya ia sudah mau melompat ke lubang, kalau saja ia tidak kasihan pada sang suami.
Namun ia segera urungkan niatnya.
Segera ia sudah melompat lagi ke sisi makam.
Langsung masuk ke semak, dan menyingkap batu kerucut itu serta memutarnya lagi.
Maka segera saja batu sungkup kuburan itupun mumbul lagi ke atas.
Segera ia kembali lagi...
Ia pandang sejenak suaminya dengan diam-diam ia membatin.
Seandainya ia tidak pingsan tentu ia sudah ketakutan setengah mati kalau tahu ia benar-benar mau dibawa masuk ke dalam kuburan! Memikir demikian ia benar-benar bersyukur dengan kejadian itu.
Segera ia seret sang suami dan letakkan di atas batu kuburan.
Dengan tubuh menyender pada batu nisan yang cukup besar itu.
Dan dengan cepat ia melesat kembali ke sisi makam.
Memutar batu kerucut itu ...
Dan perlahan-lahan tubuh si laki-laki bangsawan itu turut amblas ke dalam lubang.
Sementara ia sudah segera kembali ke tempat itu.
Tak berapa lama iapun melesat masuk ke dalam ...
Saat selanjutnya kira-kira sepeminuman teh, tiba-tiba sungkup batu kuburan itu telah naik ke atas, dan kembali seperti sedia kala.
Suasana makam tua itu kembali sunyi lengang dan misterius ...
Roro Centil kembali ke kamarnya...
ia sudah merencanakan untuk mengurus kotak perhiasannya yang dicuri di jongos tua Tonga, yang bersembunyi di kuburan misterius di makan tua itu.
Kalau dibiarkan terlalu lama ia khawatir benda-benda warisan Gurunya itu akan lenyap.
Hal itu akan membuatnya kecewa, disamping rasa jengkelnya pada si pencuri...
Berfikir demikian ia segera berkemas-kemas ...
Namun alangkah terkejutnya ia ketika di atas meja ada tergeletak sebuah kertas yang dilipat.
Sebuah suratkah...? Siapa yang meletakkannya...
Pikir Roro.
Segera ia menyambarnya...
membuka lipatannya, dan membacanya.
Ternyata surat itu ditujukan padanya, yang tulisannya berbunyi.
"Nona Pendekar! Sudilah anda datang ke lereng Gunung Wilis. Kedatangan anda sangat kami harapkan. Kami menanti di biara Welas Asih". Dan pada bagian bawahnya ada tertulis kata-kata. Ketua biara; Paderi Jayeng Rana. Tercenung seketika Roro membaca surat itu. Siapakah yang telah menaruhnya di sini? Berfikir ia. Namun segera ia lipat kembali kertas itu dan selipkan pada BH-nya yang baru saja dipakainya. Tiba-tiba terdengar suara orang naik ke atas, dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Suara ketukan segera terdengar, dibarengi dengan satu suara;
"Kakak, tadi ada seorang laki-laki di bawah yang telah memberikan sepucuk surat, dan suruh aku mengantarkan pada kakak. Karena kuketahui kakak sedang mandi, aku telah menaruhnya di atas meja...!"
Segera Roro mengetahui ia anak si pemilik penginapan ini. Cepat ia menyahuti dari dalam;
"Oh, ya ... sudah kutemukan, ... ng ... Terimakasih dik!"
Terdengar lagi suara mengiyakan, lalu suara langkah kaki pun terdengar melangkah turun dari atas loteng itu ...
Dan Roro Centil meneruskan berkemas.
Cepat benar sang waktu ...
Sebentar saja hari sudah menjelang tengah hari.
Pak Wiro si pemilik penginapan itu merasa agak aneh pada tamunya, karena sampai siang begini tak keluar dari kamarnya.
Juga tak terdengar suara apa-apa di loteng kamarnya.
Padahal hanya ia seorang yang berada di atas.
Apakah tidur lagi sehabis mandi...? Berfikir ia.
Apakah ia tidak lapar...
dan memesan makanan? Kembali ia memikir.
Karena biasanya setiap tamunya pasti makan atau minum di tempatnya, karena selain menyewakan tempat bermalam ia juga menyediakan makanan.
Sebab di bawah dipergunakan juga untuk berjualan nasi serta lauk-pauknya.
Segera ia panggil anak gadisnya untuk melihat.
"Coba nduk, lihat tetamu kita...! Tampaknya kok aneh. Tak ada kedengaran suaranya. Apakah ia tidur, atau... mungkin sakit...!? Tapi tadi pagi habis mandi, dan tampaknya segar bugar..."
Menyahut sang anak.
Segera sang anak bergegas naik ke loteng ...
Namun tak lama kemudian sudah kembali lagi, dan mengatakan bahwa tamunya sudah tak ada di kamarnya.
Dan di atas meja ditemukan beberapa keping uang receh sebagai pembayaran uang sewa menginap.
Segera ia berikan uang itu pada ayahnya.
Pak Wiro jadi geleng-geleng kepala karena baru sekali ini mendapat tamu yang aneh.
Dari mana ia keluarnya...? Demikian pikirnya.
Apakah ia melompat dari jendela kamar yang setinggi itu ...? Membatin ia.
Namun ia tak dapat untuk terus memikirkannya karena beberapa orang telah datang ke warungnya.
Ia segera cepat-cepat melayani para langganannya ...
* * * * Suara kecapi yang dimainkan oleh seorang kakek berkulit hitam di bawah pohon di sisi jalan itu amat enak sekali kedengarannya.
Berdenting-denting mengalunkan ira-ma tembang yang mengasyikkan, membuat orang yang lewat pasti akan menoleh dan kagum.
Karena belum pernah didengarnya irama kecapi yang seindah itu, yang dimainkan dengan enak saja oleh si kakek.
Jari-jarinya yang lincah itu bergerak kesana-kemari seperti sudah punya mata saja, karena memainkannya tanpa dilihat lagi.
Tiba-tiba empat orang laki-laki berpakaian putih hitam muncul di tikungan jalan.
Agaknya suara kecapi yang enak didengar itu telah membuat mereka pergi mencari dari mana sumber suara itu.
Segera terlihat oleh mereka adanya seorang kakek yang berumur kira-kira enam puluhan tahun.
Berwajah seperti orang yang mengantuk.
Dengan rambut separuh putih, namun amat tipis, bahkan pada bagian atasnya sudah boleh dikatakan botak.
Kumisnya pun tipis terjuntai bagai ekor tikus.
Tulang pelipisnya menonjol keluar, dengan kulit muka yang kasar.
Dialah yang dijuluki si "Kecapi Maut".
Seorang tokoh persilatan dari Pantai Utara.
Entah angin apa yang telah meniupnya hingga ia datang jauh-jauh ke daerah yang hampir dekat ke Pantai Selatan ini ...
Keempat laki-laki itu tampaknya dari satu perguruan, karena warna dan potongan-potongan pakaiannya sama.
Sebentar saja mereka telah sampai ke bawah pohon, di mana sang kakek tengah asyik memainkan kecapinya.
Melihat yang memainkannya seorang kakek kumal dengan pakaian rombeng yang bertambal di sana-sini itu, salah seorang sudah buka suara ...
"Eh, kakek.... coba perdengarkan padaku lagu dengan irama yang lain... Lagu itu membuat mataku jadi mengantuk...!"
Katanya, sambil segera merogoh sakunya mengeluarkan sekeping uang receh, dan dilemparkan ke hadapan si kakek.
Kepingan uang logam itu persis jatuh di papan Kecapi yang tengah asyik dimainkan.
Suara Klotak! pun terdengar.
Dan sekonyong-konyong suara dentingan tali kecapi itu terhenti Namun mata si kakek kumal itu masih tetap seperti tadi, terbuka pun tidak.
Melihat orang tetap berdiam, yang seorang berkata;
"Eh, kakek tua! Bukalah matamu. Apakah uang sedekah itu kurang... ? Mainkanlah dulu. Nanti kalau lagunya enak didengar aku yang tambahi ... !". Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari kedua temannya ...
"Ha ha ha ... he he he ... Kau mau tambahi pakai batu...? Macam kau mana pernah pegang uang...! Ha ha ha..."
Salah seorang berkata, dan ditimpali suara tertawa yang memperolok-olokkannya. Tiba-tiba si kakek telah membuka matanya yang memang sipit, hingga masih mirip orang meram saja. Terdengar suaranya yang serak;
"Siapakah kalian ini...?"
Yang melempar uang itu segera berkata dengan membusungkan dadanya;
"Hmm... Agaknya kau belum tahu?... Kami adalah murid-murid dari perguruan Gelap Ngampar! Yang di daerah ini punya nama disegani orang...! Nah, petiklah kecapimu, kakek!"
Si kakek tampak manggut-manggut dan tersenyum, tapi senyumnya adalah senyum sinis. Terdengar ia bertanya lagi;
"Siapakah Guru kalian?". Si laki-laki yang melempar uang tadi tiba-tiba jadi plototkan matanya.
"Apakah kami harus memperkenalkan juga pada seorang pengamen tua macam kau...!"
Berkata ia.
"Baiklah, akupun tak begitu ingin untuk mengetahuinya...! Nih! Ambil lagi uangmu!"
Si kakek pemetik Kecapi ini tiba-tiba goyangkan peti Kecapinya...
Hebat akibatnya.
Uang logam receh di atas peti itu sekonyong-konyong melesat ke arah laki-laki itu, yang jadi terkejut.
Untung ia bermata awas.
Sekali lengannya bergerak ia telah dapat menangkap kembali uang logam recehnya.
Seketika keempat murid-murid pergu-ruan "Gelap Ngampar"
Itu jadi terkesiap. Sadarlah mereka bahwa si kakek pemetik Kecapi itu bukanlah orang sembarangan. Belum sempat mereka buka suara, si kakek berkulit hitam itu telah perdengarkan suara kata-katanya;
"Baiklah! Akan kuperdengarkan pada kalian sebuah lagu yang lain dari pada yang lain!"
Dan selanjutnya suara dentingan tali-tali Kecapi telah berkumandang di telinga mereka.
Iramanya memang terdengar lain, ketika jari-jari sang kakek kembali menari-nari di atas tali Kecapinya.
Nada itu terkadang rendah dan tiba-tiba berubah meninggi dengan suara yang makin keras...
Tapi tahu-tahu merendah lagi dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lalu sekonyong-konyong beralih lagi dengan nada tinggi yang keras.
Tiba-tiba nadanya berubah makin cepat...
dan semakin cepat, tapi suaranya sudah tak beraturan lagi.
Keempat laki-laki itu tampak kerutkan alisnya.
Suara itu tidak enak didengar...
bahkan membuat telinga terasa sakit.
Salah seorang tampak sudah menutup telinganya, sementara yang tiga orang lagi berteriak-teriak agar si kakek segera menghentikan permainannya.
Jari-jari si kakek berhenti menari..., Namun akibatnya ternyata lebih fatal, karena suara dentingan yang kacau tadi seperti berdengung-dengung di telinga mereka.
Tahu-tahu tubuh mereka telah sempoyongan limbung.
Dan alangkah terkejutnya keempat murid-murid perguruan Gelap Ngampar itu karena mengetahui masing-masing telinganya telah menge-luarkan darah...
"Kurang ajar kau....!"
Salah seorang segera melangkah maju, siap mengirim tendangan pada si pemetik Kecapi...
Tapi pada saat itu ...
TINGNGNG! Satu petikan bernada keras telah terdengar.
Apakah akibatnya?...
Keempat laki-laki itu tiba-tiba berteriak keras, dan terjungkal roboh.
Setelah meregang nyawa, beberapa saat kemudian tubuh keempat murid perguruan Gelap Ngampar itu telah tergeletak tak bergeming lagi.
Kematian yang dialaminya ternyata amat aneh dan menggiriskan, karena dari telinga, mata dan hidungnya telah mengalirkan darah segar.
Kejadian itu ternyata tidak luput dari mata seorang laki-laki bertudung yang menyan-dang buntalan di punggungnya, dengan tali buntalan yang diikatkan erat pada dadanya melalui pundak dan bawah ketiaknya.
Diam-diam laki-laki ini jadi terkesiap mengetahui ilmu permainan kecapi yang mengandung maut itu.
Dalam jarak satu lemparan tombak ia dapat mengetahui kalau si pemetik Kecapi itu seorang kakek berpakaian kumal yang penuh tambalan di sana-sini, dengan kepala yang hampir tidak berambut.
Dalam jarak sejauh itu ternyata suara dentingan tali-tali Kecapi itu telah membuat ia terkesiap, karena mengandung tenaga dalam yang hebat, yang dikirimkan melalui suara petikan Kecapinya.
Segera ia satukan panca indranya, hingga suara Kecapi itu seperti tak terdengar olehnya.
Namun alangkah terkejutnya ia melihat kejadian yang dialami keempat orang itu.
Siapakah kakek pemetik Kecapi itu? Pikirnya.
Namun tampaknya ia tak mau berurusan dengan orang.
Segera ia berkelebat pergi, angkat kaki dari situ.
Beberapa saat kemudian ia telah memasuki sebuah desa.
Laki-laki bertudung yang wajahnya hampir tak terlihat karena seperti terbenam oleh tudungnya yang lebar itu tampak celingukan ke beberapa arah.
Dan pandangan matanya terhenti pada sebuah kedai di tengah desa.
Segera ia melangkah ke sana...
Kiranya sebuah kedai nasi yang ditujunya.
Terdengar suaranya yang serak ketika ia memesan makanan.
"Dibungkus nang...?"
Terdengar suara warung berkata dengan nada heran. Yang segera disahutinya pendek.
"Tampaknya anak mau melakukan perjalanan jauh...?"
Berkata lagi ia sambil membungkus nasi dan lauk pauk pesanan itu dengan rapi, serta sekalian mengikatnya.
"Benar mbok...!"
Menyahut si laki-laki bertudung itu.
"Kemanakah tujuan anak ... ?"
"Ke... ,Gunung Wilis! Apakah simbok dapat menunjukkan aku ke mana arah yang menuju ke sana?". Jawaban itu tentu saja membuat si tukang warung jadi terkejut, dan tatap wajah orang seperti tak percaya.
"Anak mau Ke sana....?"
Tanyanya lagi mengulang seperti ingin jelas.
"Ya.... Apakah jalan ke sana jauh, mbok?"
Sambungnya lagi. Perempuan tua itu tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata;
"Oalaaaah nang...! Bukannya jauh lagi, tapi terlalu jauuuuh sekali! Ada keperluan apa anak jauh-jauh mau ke sana ... ?"
Tanyanya lagi, sambil memberikan bungkusan nasi yang telah rapi diikatnya.
"Ke tempat famili... !"
Sahut laki-laki itu pendek.
Dan balikkan tubuh untuk segera berjongkok, dan buka ikatan ujung buntalannya di dada.
Selanjutnya meraih bungkusan nasi itu dan selipkan pada buntalannya.
Tak berapa lama kemudian ia sudah keluar lagi dari kedai nasi itu.
Tiba-tiba ia merandek karena mendengar suara di belakangnya;
"Berjalanlah lurus sampai ke ujung desa ini. Lalu membelok ke kiri... Itulah arah timur. Bila mau ke Gunung Wilis teruslah menghadap ke timur. Setelah melewati dua buah gunung, maka Gunung ketiga itulah gunung Wilis yang berdekatan dengan sebuah gunung, yang bernama Gunung Liman. Tapi jangan salah... karena Gunung Wilis tidaklah setinggi Gunung Liman, dan berada di sebelah selatan Gunung Liman ... !". Ternyata yang berkata adalah seorang laki-laki setengah tua tanpa membalikkan tubuhnya. Dan tanpa menoleh lagi ia telah bergegas pergi dengan langkah lebar menuju ujung desa. Sebentar saja ia telah tiba di sana ... Ketika membelok ke kiri tiba-tiba ia hentikan langkahnya merandek sejenak. Karena di hadapannya telah berdiri seekor kuda putih yang kekar, lengkap dengan pelana dan tali kendalinya.
"Aneh...!? Kuda siapakah?"
Terdengar ia bergumam.
Tampak ia palingkan kepalanya ke perbagai arah.
Ternyata di situ tak ada sepotong manusia dan sebuah pondok pun.
Tersentaklah hatinya.
Apakah kuda itu diperuntukkan buat dirinya...? Tiba-tiba terdengar suara yang mendesis dari bibirnya.
"Setan alas! Aku sudah menyamar, toh masih ketahuan...!"
Dan sekonyong-konyong ia telah lemparkan topi tudungnya.
Segera saja terurai rambutnya yang panjang ...
Dan ketika lengannya bergerak ke arah wajahnya, ia telah menarik selembar kulit tipis yang melekat pada wajahnya.
Terlihatlah wajah aslinya...
Sepasang mata yang bulat indah dengan bulu matanya yang lentik panjang.
Hidung yang tidak terlalu mancung dengan bibir tipis bagaikan busur panah yang melengkung kemerahan.
Wajah yang amat cantik dari seorang gadis muda yang baru meningkat dewasa...
Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Segera ia simpan kedok kulit muka itu, dan terdengar suara tertawanya yang merdu.
Tiba-tiba sekali berkelebat ia telah melesat ke dekat kuda putih itu berdiri.
Setelah lepaskan tali kendali yang mengikat binatang itu pada sebatang pohon kecil, ia sudah enjot tubuhnya melayang ke atas punggung kuda.
Ternyata kuda putih itu seekor kuda yang jinak.
Binatang itu perdengarkan ringkikan perlahan dan berputar-putar di situ.
Roro baru sadar kalau ia baru sekali ini naik kuda.
Dengan hati-hati ia mencoba tarik dan kendurkan tali kendalinya.
Biarlah! Hitung-hitung sambil belajar naik kuda.
Pikirnya.
"Hus! Hus! Heaaaaaa ... !"
Ia coba berteriak sambil hentakkan kakinya pada perut kuda, dan keprakkan tali kendali ketika sang kuda telah menghadap ke arah timur.
Dan dengan segera binatang itu bergerak lari ke arah itu ...
tapi tiba-tiba Roro telah tarik kendalinya.
Sekonyong-konyong binatang itu segera tahan larinya, dan terdengar ringkikan-nya.
Ketika berhenti, sepasang kaki depannya tiba-tiba terangkat ke atas ...
Nyaris Roro terjungkal ke belakang.
Untung tubuhnya tertahan oleh tali kendali yang menyangkut pada mulut binatang itu.
Setelah berputar-putar beberapa kali mengelilingi pohon kecil itu dengan berulang-ulang menarik ke kiri dan ke kanan ...
Roro pun fahamlah caranya untuk mengendalikan kuda dengan baik.
Selanjutnya ia telah keprak tali kendalinya sambil berteriak;
"Heaaa-aaaaa!"
Dan sang kuda dengan patuh segera mencongklang dengan cepat ke arah timur.
Tubuh Roro Centil tampak terangguk-angguk di atas punggung si Putih yang mencongklang dengan cepat.
Tapi tampaknya Roro sudah lengket pantatnya di atas pelana.
Ia tinggal mengikuti saja gerakan-gerakan punggung binatang itu tanpa kikuk lagi.
Debu mengepul yang ditinggalkannya makin menipis...
dan akhirnya punggung Roro sudah tak kelihatan lagi karena sudah semakin jauh Di tepi sebuah sungai tampak terlihat seekor kuda hitam yang bulunya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari sore yang cerah, tertambat pada sebatang pohon tua yang tumbuh di tepi sungai yang berair jernih.
Seonggok pakaian berwarna merah tampak tidak jauh dari kaki kuda itu, berada di atas sebuah batu di tepi sungai.
Sepasang kaki tersembul dari permukaan air, bersamaan dengan terlihat-nya sepasang betis yang berkulit halus...
terdengar suara air menyibak muncrat.
"Kang Sentanuuuu...! Apakah kau tidak ingin mandi? Oh, segar sekali rasanya...!"
Satu suara merdu segera terdengar dari tengah sungai yang berair tidak terlalu dalam itu.
Ternyata itu adalah suara Roro Dampit yang tengah berkecimpung di air sungai mempertunjukkan kebolehannya berenang, pada seorang laki-laki tampan yang tampak menuruni tepi sungai yang berbatu-batu.
Namun ia tidaklah menoleh pada suara itu, melainkan terus membasuh wajah serta tangan dan kakinya ketika tiba di tepi air.
Tiba-tiba persis di hadapannya sebuah kepala tersembul di permukaan air.
Diselingi suara tertawa ...
dan sebagian tubuhnya segera tersembul semua.
"Idiiih, nggak mandi! Malu ah..."
Demikian kata Roro Dampit sambil menutupi sebagian tubuhnya yang entah disengaja entah tidak, ujung dua bukit kembar itu sedikit terlihat.
Membuat mata Sentanu mau tak mau merayap ke sana...
Seketika laki-laki ini cepat-cepat palingkan wajahnya, sementara jantungnya kembali berdegup cepat.
Ia akui memang akan kecantikan orang, namun justru ingatannya bahkan tertumpu pada Ratu Laut Nyai Roro Kidul.
Yang pernah digandrungi setengah mati.
"Puaskanlah mandimu, sebentar lagi setelah istirahat kita lanjutkan perjalanan!"
Berkata ia sambil balikkan tubuh, dan melangkah pergi dari situ.
Ternyata yang ditujunya adalah ke bawah sebatang pohon rindang.
Di sana ia menjatuhkan pantatnya untuk duduk di akar pohon.
Sementara pandangan matanya tertuju lagi pada tempat di mana gadis itu mandi berkecimpung ...
Terdengar suara helaan napasnya yang berat seperti ia tengah berusaha melepaskan tekanan perasaan dalam dadanya.
Bukannya wajah Roro Dampit yang berkelebatan pada wajahnya.
Tapi wajah si Pendekar Wanita Pantai Selatan, yaitu Roro Centil.
Yang akhirnya barulah disadari bahwa Ratu Dongeng Nyai Roro Kidul itu bukanlah seorang Dewi lautan, melainkan seorang wanita Pendekar yang berilmu tinggi.
Hingga sampai-sampai ia tak percaya bahwa seorang manusia dapat bermain di atas ombak dengan gelombang yang besar-besar itu.
Betapa tingginya ilmu pendekar wanita yang menamakan dirinya Roro Centil itu.
Membatin hatinya.
Pantas kalau ketika paderi cabul Gunung Wilis itu berhasil ditumpasnya.
Demikianlah sambil duduk di akar pohon itu, sebentar pikirannya tertumpu pada si gadis pendekar itu, namun sebentar tertuju pada gadis yang asyik mandi di hadapannya...
yang sama-sama mempunyai nama depan yang sama yaitu RORO.
Cuma berbeda pada ujungnya saja.
Sesaat ia teringat akan dirinya yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, cuma sekedar ilmu yang boleh dikatakan tak berarti bila dibandingkan dengan para pendekar yang pernah didengar namanya, seperti; si Maling Sakti atau Pendekar Bayangan.
Memikir demikian ia merasa menyesali kebodohannya selama ini Saking jauhnya ia melamun, sampai-sampai ia tak menyadari kalau si gadis teman seperjalanannya itu telah selesai mandi.
Dan telah pula selesai mengenakan pakaiannya kembali.
Bahkan langkah-langkah tindakan kaki di belakangnya ia tak mendengarnya karena memang si gadis baju merah itu dengan berjalan memutar, telah berada di belakang Sentanu.
Dan dengan langkah hati-hati ia menghampiri laki-laki itu.
Sentanu yang tak menyadari tiba-tiba jadi terkejut karena sepasang lengan yang dingin telah merangkul lehernya dari belakang...
Dibarengi terdengarnya suara "Kak Sentanu, kau melamun saja...
apa sih yang dilamunkan...?"
Tentu saja ia jadi gelagapan.
Untuk meronta adalah hal yang sulit rasanya karena tak sesuai dengan hatinya yang lembut dan mengerti perasaan orang.
Terpaksa ia mandah saja ketika sepasang benda lunak yang lembut menindih pada punggungnya, dan ketika benda yang menimbulkan rangsangan itu menggeser ke atas, pipi yang terasa dingin namun hangat itu telah menempel pada pipinya...
Terdengarlah bisikan lembut pada telinganya "Kak Sentanu...
aku...
aku cinta padamu...
"
Suara yang mendesis pada telinganya itu benar-benar membuat hatinya tergetar...
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Rangsangan yang kuat itu mulai mempengaruhi jiwanya.
Apa lagi di goda terus menerus selama beberapa hari dalam perjalanan yang tak menentu itu, yang Sentanu tak mengetahui arahnya.
Bahkan si gadis baju merah itulah yang menunjuki arah ke mana ia membawa kudanya.
Alhasil ia cuma pegang tali kendali, namun urusan berhenti, belok kiri atau belok kanan adalah atas perintah dan keinginan si gadis di belakang punggungnya, yang ia tinggal menuruti saja ke mana yang dimauinya! Rasa benci pada pamannya Senapati Wira Pati itu, dan rasa sedih dengan kematian ibunya membuat ia ingin pergi sejauh-jauhnya entah ke mana ia tak tahu ...
Memang selama ini ia selalu berusaha menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan hati kecilnya.
Ia menyadari betapa tidak baiknya berjalan dengan seorang gadis.
Apalagi teman seperjalanannya berada pada satu kuda.
Di samping menarik perhatian orang, juga kurang leluasa baginya karena walaupun bagaimana ia mengkhawatirkan hal-hal yang tak diingininya.
Pernah ia hampir berniat mening-galkan gadis baju merah itu dengan diam-diam, di saat malam menjelang, dan mereka bermalam pada sebuah pondok petani.
Roro Dampit dengan berani telah mengatakan bahwa mereka berdua adalah suami istri yang kemalaman di jalan.
Tentu saja ia jadi melengak.
Seandainya ia tidak diserobot lebih dulu untuk memberikan penjelasan, tentu tak akan terjadi mereka berdua menginap dalam satu kamar.
Untunglah malam demi malam selama dalam perjalanan itu Sentanu selalu dapat menguasai diri ...
Namun tindakan Roro Dampit semakin berani ...
dan yang terakhir ini lebih berani lagi, dengan membisikkan kata-kata cinta yang sudah dikatakannya dengan terang-terangan, tanpa malu-malu lagi.
Bahkan kali ini sang gadis telah jatuhkan tubuhnya pada pangkuan Sentanu ...Laki-laki ini cuma bisa pejamkan mata menahan gejolak hatinya yang memburu ...
Tiba-tiba saja ia sudah tak bisa berfikir jernih lagi, ketika lengan-lengan halus Roro Dampit mulai merayapi wajahnya ...
lalu turun ke bawah mengusap lehernya ...
ke bawah lagi ...
mengusap dadanya.
Bukan itu saja bahkan mulai membukai kancing-kancing bajunya.
Bagaikan seekor ular saja lengan yang halus dan jari-jari yang lembut itu merayapi hampir sekujur tubuhnya.
Tubuh Sentanu bagian atasnya entah bagaimana telah terbuka seluruhnya ...
Entah cara apa yang dilakukan ular-ular lembut itu, hingga pakaian atas si laki-laki itu bisa merosot ke bawah.
Kelanjutannya ...
ular-ular lembut itu merayap lagi ke atas.
Dan berhenti menggantung pada lehernya.
Bagai seekor kerbau yang dicocok hidungnya dengan tali, ia merendah saja akan apa yang dilakukan gadis itu padanya...
Sentanu tak dapat menahan kepalanya untuk menunduk dalam-dalam, karena sepasang ular lembut itu telah mengganduli lehernya dengan berat.
Tahu-tahu ia merasa bibirnya telah dipagut oleh seekor ular yang mendesis-desis bagaikan mau menyantap bibirnya dan menelannya bulat-bulat hingga ia rasakan napasnya sesak, karena hidungnya tertindik benda lunak yang mengeluarkan angin mendesah-desah...
Dan rasa hangat segera merayapi sekujur tubuhnya ketika sepasang benda lunak yang lembut itu menempel erat menindih dadanya, seperti mau menutup bunyi degup jantungnya yang semakin cepat berdetak...
Dua ekor anak anjing yang terpisah dari induknya yang berada di seberang sungai itu tiba-tiba tampak saling terkam dan saling gigit dengan seru ...
bahkan ketika salah seekor jatuh terguling, kaki-kaki yang sigap dari salah satu anjing itu telah kembali menerkam.
Dan moncongnya telah dipergunakan menggigit leher kawannya yang meronta-ronta manja dengan keluarkan keluhan-keluhan.
Tak lama gigitannya pun terlepas...
dan keduanya bergumul semakin seru...
Saling tindih dan saling terkam...
Selang beberapa saat tampak seekor kupu-kupu yang hinggap pada ranting kayu telanjang ...
telah keluarkan telurnya yang melekat pada ranting yang d hinggapi nya.
Dengan harapan atau memang tak begitu dirisaukannya si telur mau menetas atau tidak...
Sementara kedua anjing di seberang sungai itu rupanya tergeletak saling tindih, dengan napas yang terendah engah.
Namun "perkelahian"
Itu benar-benar mencapai kepuasan bagi keduanya ...
Matahari makin condong ke arah barat.
Ketika seekor kuda putih mencongklang cepat, namun terkadang harus berhenti untuk membelok atau memutar, dikarenakan jalan yang dilaluinya banyak rintangan.
Tiga sungai telah dilintasi, yang terpaksa harus mencari air yang agak dangkal untuk melintasinya...
Sementara cuaca semakin meredup, karena sang mentari seolah tertutup rimbunnya pepohonan.
Si punggung kuda putih itu tak lain dari Roro Centil.
Yang dalam perjalanannya menuju ke Gunung Wilis.
Surat yang dikirim padanya dengan melalui seseorang yang tak diketahuinya itu, telah membuat ia harus menempuh perjalanan yang teramat jauh itu.
Semata-mata karena terdorong rasa kewajiban untuk datang karena undangan aneh yang tak diketahui maksudnya itu.
Disamping rasa ingin tahu pada si pengundangnya, yang menurut yang tertera di surat adalah dari ketua Biara "Welas Asih".
Di lereng Gunung Wilis, yang bernama; Paderi Jayeng Rana.
Siapakah paderi Jayeng Rana itu, dan apakah hubungannya dengan si Tiga paderi Gunung Wilis yang telah ditumpasnya itu?...
Serta satu hal yang membuat ia ingin tahu adalah ada permusuhan dan persoalan apakah paderi-paderi Gunung Wilis itu dengan Gurunya, yang menurut penuturan sang Guru adalah beliau terluka terkena pukulan beracun dari Paderi-Paderi Gunung Wilis.
Namun apakah sebabnya ia tak boleh membalas dendam...
itulah yang ia ingin ketahui ...
Sedangkan tiga paderi Gunung Wilis itu nyata-nyata telah ditumpasnya.
Mengapa masih ada lagi paderi Gunung Wilis yang lain ...
? Manakah yang benar? Itulah yang membuat Roro terpaksa menunda pengejarannya pada si jongos tua yang telah melarikan atau mencuri kotak perhiasannya.
Namun telah diketahui tempat persembunyiannya...
Di hadapannya kini telah melintang lagi sebuah sungai...
entah sungai yang keberapa kali yang harus dilintasi.
Namun sebentar lagi hari akan gelap, maka Roro urungkan niatnya untuk menyeberang.
Dan mencari saja tempat bermalam, sambil bersantap.
Karena khawatir nasi yang telah dibelinya itu jadi mubazir tak termakan...
Segera ia putar kudanya untuk mencari jalan ke arah desa terdekat...
yang ia yakin pasti ada di sekitar situ.
Benarlah, tak berapa lamanya setelah menempuh jarak kurang lebih dua lemparan tombak.
Dari jauh, dilihatnya ada asap mengepul.
Pasti sebuah pondok.
Pikir Roro.
Dan bergegas ia ke sana.
Dan yang tampak ternyata benar-benar di luar dugaan, karena di situ, hanya terdapat sebuah gubuk tanpa dinding.
Sedangkan di bawah atap itu terlihat dua sosok tubuh, laki-laki dan wanita tengah asyik memanggang sesuatu entah daging apa...
yang baunya sedap dan wangi sekali.
Sedangkan pada tiang gubuk itu tertambat seekor kuda hitam yang tengah asyik makan rumput.
Segera Roro dapat mengetahui kalau yang wanita itu adalah murid si Naga Seribu Racun.
Sedangkan yang laki-laki ia dapat mengenalinya yaitu laki-laki yang telah menemukan kalungnya.
Benda itu sudah tergantung di lehernya, namun dengan orangnya baru hari ini dapat ia jumpai lagi...
Melihat si gadis baju merah cuma sendiri, tanpa adiknya...
dan kini di tempat sunyi begini telah berdua-dua dengan laki-laki.
Segeralah Roro mengerti pasti ada apa-apa dengan kedua orang itu.
Mendengar langkah-langkah kuda mendekati, tentu saja kedua orang yang tengah asyik dengan panggangannya itu jadi menoleh, dan terkejut melihat siapa.
Orang yang menunggangnya.
"Nona Pendekar Roro Centil... !? Oh, angin apa yang telah membawa anda sampai kemari...?"
Berseru si wanita baju merah itu, sambil bangkit berdiri, dan menghampiri lebih dulu.
Sentanu pun cepat-cepat bangkit....
segera ia tatap wajah orang, yang ternyata dua pasang mata telah bentrok, karena saat itupun Roro tengah menatap padanya.
Adegan sekilas itu tak luput dari mata Roro Dampit...
Walaupun cuma sekilas, namun mempunyai arti yang mendalam bagi pandangan hatinya.
Memang bisa dimaklumi bagi seorang wanita yang sedang dimabuk cinta seperti dirinya.
Namun ia tak perdulikan semua itu, dan cepat menyalami Roro yang baru saja melompat turun dari kudanya.
Sentanu pun segera keluar dari gubuk, dan menjura hormat pada si pendatang yang pernah digandrungi dan disangka Peri atau Dewi laut Pantai Selatan.
Tak dikisahkan obrolan mereka bertiga, yang sama-sama terkejut karena dapat berjumpa dengan tidak sengaja di tempat itu.
Selanjutnya terlihat mereka asyik bersantap dengan nikmatnya daging kelinci yang baru saja ditangkap oleh Roro Dampit.
Dan disaat daging matang, muncul Roro yang memang membawa bekal nasi yang cukup banyak beserta lauknya.
Tentu saja suatu kebetulan yang jarang ada.
Maka ketiganya terus saja bersantap.
Tak dikisahkan malamnya, dan obrolan-obrolan Roro Centil dan Roro Dampit, yang tidur satu selimut berdua.
Kedua Roro itu dapat tidur pulas ...
cuma Sentanu yang jadi serba kikuk.
Hingga semalam-malaman ia tak dapat memicingkan matanya.
Kegelisahan membuat ia cuma duduk menghadap api unggun sampai menjelang pagi.
Roro Dampit dapat tidur nyenyak karena ia telah mengetahui jelas tentang hubungan Roro Centil pada Sentanu.
Yang tenyata tak ada hubungan apa-apa.
Cuma mengenai seuntai kalung yang telah ditemukan Sentanu sepuluh tahun yang lalu.
Yang ternyata adalah milik Roro Centil.
Dan Roro cuma ingin bertemu muka saja pada orang yang telah menemukannya, tanpa ada embel-embel yang lainnya, apalagi kisah asmara.
Karena ucapan terimakasih akan terasa lebih akrab bila dengan menjumpai orangnya.
Bila dilihat usia, agaknya Roro Centil lebih muda dibandingkan dengan umur Roro Dampit.
Namun Roro Centil ternyata mempunyai kelebihan kecerdasan dibanding Roro Dampit.
Dan perbedaan watak kedua wanita itu adalah; Roro Dampit lebih mementingkan diri sendiri.
Sedangkan Roro Centil lebih cenderung mementingkan urusan orang lain ketimbang dirinya.
Roro Centil tahu diri orang sedang dimabuk cinta, makanya pagi-pagi sekali ia sudah berkemas untuk segera meneruskan perjalanan.
Namun Roro Dampit dengan memelas memohon agar jangan berangkat dulu...
Heran juga Roro Centil, mengapa si gadis baju merah begitu berkeras untuk menahannya...? Pada sat itu Sentanu muncul.
Rupanya ia baru saja selesai mandi di sungai yang memang tidak berapa jauh.
Melihat munculnya Sentanu, tiba-tiba lengan Roro Centil segera ia tarik untuk menjauh dari gubuk itu.
Tentu saja membuat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini jadi makin keheranan.
Ia cuma bisa mandah saja tanpa bicara apa-apa.
Sekalian ingin tahu ada rahasia apakah di antara mereka berdua yang tak boleh diketahui Sentanu...? Roro Dampit mengajaknya duduk di bawah sebatang pohon.
Dan selanjutnya ia sudah berbicara dengan suara perlahan.
Sementara Sentanu cuma melirik kelakuan kedua wanita itu, seolah tak memperdulikan atau juga berpura-pura tak mengetahui.
Ia melangkah mendekat kudanya yang bernama Antasena itu.
Dan membersihkan bulu-bulu binatang kesaya-ngannya itu dengan tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa Roro Centil yang agak keras.
Suara merdu yang membuat Sentanu menoleh.
Lapat-lapat di dengarnya suara si Pendekar Wanita itu.
Sementara Sentanu pasang telinga baik-baik sambil pura-pura membersihkan sepatu kaki kudanya...
"Jadi aku mau kalian jadikan Penghulu untuk menikahkan kalian? Hihihi ... alangkah lucunya!"
Sentanu terkejut juga mendengar kata-kata yang didengarnya lapat-lapat itu. Telinganya segera ia pasang lagi baik-baik.
"Aku tak tahu caranya menikahkan orang... Sebaiknya kalian cari saja orang yang mengerti ...
"
Terdengar lagi suara Roro Centil.
"Tidak ... ! Aku ingin kau yang menjadi Penghulunya nona Pendekar...! Aku sudah yatim piatu, dan dia ... dia juga sama halnya denganku. Kurasa tak ada halangannya kau menikahkan kami nona Pendekar ... Kasihanilah aku!"
Terdengar Roro Dampit menyahuti dan berkata seperti meratap.
Trenyuh juga hati Sentanu mendengarnya.
Ia telah merasa berbuat kekhilafan, dan ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Cuma saja ia masih teringat akan pesan Mandra, sahabatnya yang telah memohon padanya untuk menjaga adiknya, Marni.
Yang kini tak diketahuinya di mana, karena memang bukan kesalahannya untuk tidak menepati janji atau pesan terakhir itu, melainkan Marni yang telah mendahului pergi karena tak mau berjumpa dengannya.
Kini semua itu bukanlah masalah...
Ia harus tunjukkan dirinya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab! Demikian pikirnya dengan matang.
Memikir demikian, tiba-tiba ia bangkit berdiri..., pandangan matanya ia arahkan pada kedua wanita yang tengah bersitegang itu.
Yang satu mohon dengan memaksa, sedangkan yang satu menolak dengan mengarahkan pada jalur yang benar.
Sentanu merasa ia harus berpihak pada Roro Dampit yang dilihatnya begitu memelas mengharapkan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu untuk menikahkan mereka.
Segera ia langkahkan kaki ke sana dengan cepat...
Melihat kedatangan Sentanu Roro Dampit sudah tutup mulutnya berhenti bicara.
Roro Centil cepat bangkit berdiri, diikuti Roro Dampit, yang memandang wajah Sontanu segera menunduk.
Sentanu segera menjura...
dan berkata;
"Maafkan, aku telah mengganggu pembicaraan kalian berdua ... !"
"Oh, tidak mengapa, kami hanya membicarakan...
"Aku sudah dengar apa yang kalian bicarakan."
Sentanu memotong pembicaraan orang. Agaknya ia sudah tak sabar untuk memulai berkata. Roro Centil yang memang sengaja agak mengeraskan suara tadi, cuma tersenyum. Ia memang sudah menyangka pasti Sentanu akan mendengar pembica-raannya.
"Maaf aku telah memotong kata-katamu, nona Pendekar ...
"
Kembali Roro Centil tersenyum dan lirikan matanya pada Roro Dampit yang masih tundukkan wajahnya.
"Ah, tak mengapa... Silahkan anda bicara, biarlah aku dan kak Roro Dampit yang ganti mendengarkan". Sela Roro Centil, dengan kata-kata yang menghargai orang. Segera Sentanu ungkapkan perasaan hatinya yang ada bersamaan dengan keinginan Roro Dampit, yang ia bersedia menyuntingnya, serta tak lupa mengemukakan alasan-alasannya. Tentu saja pernyataan itu kembali membuat Roro Centil jadi geleng-gelengkan kepala, dan berkata;
"Aiiiii ... Kalian ini agaknya telah sepakat untuk mengangkatku menjadi wali, juga penghulu kalian berdua... Entah kapan berundingnya...?"
Lain halnya dengan Roro Dampit, yang begitu mendengar kata-kata Sentanu yang ternyata di luar dugaan adalah laki-laki yang berani bertanggung jawab.
Ia telah menjadi kegirangan setengah mati.
Tadinya ia mengira Sentanu pasti tidak akan menghiraukannya kalau ada terjadi apa-apa terhadap dirinya.
Kecemburuannya pada Marni sudah pasti ada, karena ia menduga Sentanu kelak akan mencari juga di mana adanya Marni, demi menunaikan janjinya pada Mandra disaat pesan terakhirnya sebelum tewas.
Ketika mendengar penjelasan bahwa ia kelak cuma akan menjaga Marni sesuai dengan janjinya, namun tidak sebagai istri...
melainkan sebagai adik angkatnya.
Tentu saja ia girang bukan main...
karena ia benar-benar amat mencintai Sentanu.
Itulah sebabnya tadi ia sengaja diam-diam minta dinikahkan cepat-cepat pada sang Pendekar Wanita.
Dengan harapan Sentanu tidak akan menyeleweng lagi bila telah menikah.
Apa lagi dinikahkannya oleh Pendekar Wanita Pantai Selatan, sudah pasti Sentanu akan mati kutu ...
Kini segalanya telah menjadi terang.
Sentanu pun justru ingin cepat-cepat menikah demi menghindari dosa yang ditakutkan akan berkelanjutan.
Mendengar Sentanu pun menginginkan si wanita Pendekar itu menjadi wali mereka sekaligus menikahkannya, Roro Dampit segera bergerak memeluk Sentanu, yang balas memeluknya sambil mengusap-usap rambutnya.
Sekonyong-konyong keduanya telah berjongkok memberikan penghormatan pada Roro Centil.
Bahkan Roro Dampit telah bersujud mencium kakinya.
Keruan saja si Pendekar Wanita ini jadi terkesiap.
Buru-buru ia angkat bahu orang dengan satu hentakan tenaga dalam, karena ia yakin keduanya pasti akan susah untuk dibangunkan.
"Bangunlah, tak layak kalian berbuat begitu...! Usiaku masih sangat muda, bahkan kalian berdua justru lebih tua. Kita bicaralah yang baik. Marilah..."
Satu kekuatan tenaga dalam telah membuat keduanya unjuk rasa kaget, karena bagai disedot oleh besi sembrani mereka tahu-tahu telah bangkit berdiri. Segera Roro Centil bimbing mereka ke dalam gubuk.
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tetap tak bisa menikahkan kalian . ... karena aku tak tahu cara menikahkan orang. Biarlah aku menjadi saksi saja atas pernikahan kalian nanti. Sedangkan untuk mengesyahkan kalian menjadi suami istri, aku akan carikan orang yang memang kerjanya menikahkan orang..."
Dan lanjutnya lagi;
"Kalian tunggulah di sini. Aku akan cari di beberapa desa, dan bawa kemari untuk menikahkan kalian dengan resmi. Bagaimanakah... Apakah kalian setuju?"
Kedua sejoli itu tak keluarkan sepatah kata selain mengangguk-angguk.
Sementara Roro Dampit sudah basahi pelupuk matanya dengan genangan air mata.
Entah air mata sedih atau bahagia...
Roro Centil segera berdiri dan beranjak keluar gubuk ...
Akan tetapi pada saat itu terdengar satu suara...
"Kalau cuma untuk menikahkan saja mengapa harus cari orang jauh-jauh? Aku pun sanggup...!". Tentu saja suara itu membuat ketiganya jadi terkejut. Roro Centil segera pasang mata, dan pusatkan panca indra untuk mengetahui di mana adanya sumber suara itu. Sedangkan Roro Dampit tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengha-pus air matanya, dan melompat keluar gubuk sambil palingkan kepalanya ke sana kemari dengan mata liar menatap ke beberapa arah. Sementara Roro Centil telah mengetahui di mana adanya orang yang bersuara itu, dan tentu saja ia jadi terkesiap karena yang terlihat adalah ujung sebuah peti kayu ...
"Hah!? Si pemetik Kecapi Maut...!"
Roro keluarkan desisan dari bibirnya.
Dan pada saat itu juga telah berkumandang suara petikan tali-tali kecapi dengan lagu yang enak sekali bernada lembut membuat orang akan segera terkenang masa yang si-lam...
Wajah Roro Dampit tampilkan senyum girang ...
segera ia sudah melompat ke arah mana suara Kecapi itu.
Roro Centil tak dapat mencegah karena orang sudah cepat sekali memburu ke balik pohon di belakang gubuk itu.
Sementara Roro Dampit telah berada di hadapan si pemetik kecapi itu yang segera telah menghentikan permainannya.
Melihat seorang kakek berkulit hitam yang entah dari mana datangnya dan tahu-tahu sudah berada di situ, Roro Dampit terkejut juga.
Namun mengetahui orang bisa menjadi penghulu untuk menikahkannya, Roro Dampit sudah cepat-cepat buka suara;
"Oh... Benarkah kakek bisa menikahkan kami...?"
Si kakek pemetik kecapi itu dengan terkekeh-kekeh tertawa segera menjawab;
"Jangankan untuk menikahkan manusia di dunia, menikahkan manusia untuk di Akhirat pun aku bisa...!"
Roro Dampit melengak juga mendengar kata-kata itu, namun ia tak begitu memperdulikan ucapan yang seperti bernada sombong itu. Karena pikirannya sudah tertuju pada resminya pernikahan mereka berdua, ia sudah sambung kata-kata si kakek;
"Aku yang akan menikah Kek, kami memang tengah mencari orang yang pandai dan mengerti akan hal itu. Saksinya pun sudah ada. Beliau adalah Pendekar Wanita Pantai Selatan, Roro Centil..."
Ketika mengucapkan demikian Roro Dampi bicara dengan nada bangga, dan palingkan kepala melirik pada Roro Centil yang masih berdiri di samping gubuk dengan hati kebat-kebit.
Ia agak menyesal kesembronoan Roro Dampit yang telah memperkenalkan dirinya dengan nama sanjungan itu Sementara Sentanu sudah mau bergerak menyusul ke sana...
namun Roro segera menahannya karena sudah terdengar lagi suara Roro Dampit "Mari kek, kupersilahkan anda ke gubuk.
Di sana enak kita dapat duduk bercakap-cakap..."
Segera Roro Dampit melangkah lebih dulu.
Dan tampak sang kakek sudah angkat peti kecapinya dan sangkutkan di pundaknya.
Namun alangkah terkejutnya ketiganya ketika mengetahui si pemetik kecapi tidak berdiri, melainkan berjalan dengan menggunakan kedua lengannya untuk melompat dari balik pohon itu.
Ternyata kedua kakinya buntung sebatas paha, yang tertutup oleh jubahnya yang berwarna abu-abu.
Roro Centil kerutkan kening, dan dalam hati ia diam-diam berdoa agar tak terjadi sesuatu, betapa ia amat memikirkan nasib kedua sejoli itu ....
Tak dikisahkan lagi bagaimana upacara berlangsung.
Akhirnya resmilah pernikahan kedua sejoli itu, dengan disaksikan oleh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tampak Roro Dampit kucurkan air mata bahagia.
Segera Sentanu peluk istrinya dengan terharu ...
Roro Centil menundukkan wajahnya...
Entah apa yang terasa di hatinya...
tapi yang jelas iapun turut merasakan kebahagiaan mereka berdua.
Sementara si pemetik kecapi sudah lantas buka suara, dan palingkan kepalanya pada Roro Centil, yang segera angkat wajahnya.
"Upacara sudah selesai... Kini suruhlah sepasang pengantin ini cepat-cepat pergi, karena kini tinggal lagi urusan "Kita"
Yang belum lagi diselesaikan...!"
Terkesiap seketika Roro Centil mendengar kata-kata itu.
Urusan apakah? sentak hatinya.
Ia merasa tak punya urusan apa-apa dengan kakek pemetik kecapi ini? Demikian hatinya bertanya-tanya.
Namun dalam saat-saat suasana bahagia seperti itu, Roro tak mau mengusik kebahagiaan sepasang sejoli yang sedang bertangisan itu.
Iapun diam-diam memuji kebaikan hati sang kakek yang tidak mau melibatkan sepasang sejoli yang baru jadi pengantin itu.
Segera ia bangkit berdiri, dan berkata;
"Sobat Sentanu, dan Roro Dampit... maaf, bukannya aku mengusir kalian, tapi kumohon dengan sangat karena sudah selesainya urusan pernikahan kalian; segeralah kalian teruskan perjalanan seperti rencana tujuan kalian semula..."
Roro hentikan bicaranya sebentar, dan melangkah keluar dari gubuk...
itulah isyarat agar kedua mempelai mengikutinya.
Segera sepasang sejoli ini turut bangkit berdiri sejenak keduanya saling tatap.
Namun segera melangkah keluar gubuk mengikuti sang Pendekar Wanita Pantai.
Selatan itu ...
Roro Centil telah berdiri disamping kuda putihnya.
Dan saat kedua mempelai itu tiba, segera ia angkat bicara lagi;
"Aku tak dapat memberikan apa-apa untuk tanda mata atau kado buat kalian berdua... tapi harap kalian tak menolak jika kuberikan kudaku ini sebagai hadiah untuk kalian...!"
Roro Dampit sudah lantas peluk Roro Centi dengan tiba-tiba, sambil berkata "Oh, terimakasih...
terima kasih...! Kami merasa senang sekali adik Pendekar...
Aku akan rawat kuda pemberian ini baik-baik, dan akan selalu ingat akan kebaikan budi adik pendekar...!"
Roro Centil berusaha tekan perasaannya, dan berkata sambil lepaskan pelukan si wanita murid Naga Seribu Racun yang telah tewas itu...
"Pergilah berangkat... ! Ucapkan terimakasih pada kakek yang telah berjasa menikahkan kalian..."
Sambil berkata Roro juga menatap Sentanu, yang segera anggukkan kepala dengan hormat.
Segera ia bimbing lengan istrinya...
Tak dikisahkan lagi kelanjutannya.
Sepasang pengantin baru itu tampak telah meninggalkan gubuk itu dengan langkah kuda perlahan.
Betapa serasinya pasangan pengantin baru itu dengan menunggang kuda, yang satu berwarna hitam pekat, sedang yang satu lagi putih bersih; dengan penunggangnya seorang wanita muda yang cantik berbaju merah.
Didampingi seorang laki-laki yang gagah dan tampan.
Roro Dampit putarkan tubuhnya, dan sebelah lengannya telah diangkat tinggi-tinggi melambaikan tangan pada sang Pendekar Wanita Pantai Selatan yang menatap dengan terharu.
Tak berapa lama kemudian kedua kuda itu telah mencongklang dengan cepat...
dan lenyap di balik tikungan jalan; sementara derapnya masih saja terdengar dari kejauhan...
namun kemudian suasana kembali sunyi...
Tak terasa setitik air bening tersembul di pelupuk mata Roro Centil.
Air mata terharu juga bahagia, melihat kebahagiaan sepasang pengantin itu ...
Tingngng...! Satu suara membuat ia tersentak, dan sadar akan dirinya yang belum ketahuan nasibnya.
Roro Centil lihat si kakek pemetik Kecapi masih duduk menyender pada tiang gubuk.
Di hadapan papan kecapinya...
sementara sebelah lengannya tampak asyik mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar...
Segera ia tatap wajah orang tajam-tajam seraya berkata Roro Centil "Maaf kakek yang terhormat, sebelumnya akupun berterima kasih atas pertolonganmu menikahkan kedua sahabatku tadi...
Kini ingin sekali aku mengetahui ada urusan apakah anda denganku...? Sedangkan aku pikir, aku merasa tak punya permasalahan apa-apa dengan anda...! Dan bolehkah kiranya aku yang rendah mengetahui siapa anda?..."
Tingngng...! Terdengar lagi suara dentingan tali kecapi.
Roro Centil yang bersikap waspada sejak tadi mengetahui betapa kehebatan irama Kecapi mautnya si kakek berkulit hitam ini.
Dan terdengarlah suaranya yang serak parau, suara yang amat berbeda dengan yang tadi;
"Hmm. Nama Roro Centil, Pendekar Wanita Pantai Selatan itulah yang membuat aku jauh-jauh datang dari pantai Utara untuk mencarimu. Kematian Empat Iblis Kali Progo dengan cara yang amat mengerikan itu, beritanya telah bertiup sampai ke Pantai Utara. Tentu saja aku si Kecapi Maut ingin sekali berkenalan dengan Pendekar Wanita yang hebat dan keji itu. Tapi tak dinyana, ternyata yang aku jumpai adalah seorang bocah perempuan yang baru melek, dan baru lepas susu dari ibunya.... Huh! Benar-benar membuat aku jadi kesal ... !"
Raja Petir Pembalasan Berdarah Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Pendekar Rajawali Sakti Iblis Tangan Tujuh