Rahasia Kitab Ular 2
Roro Centil Rahasia Kitab Ular Bagian 2
Terkejutlah Roro Centil, ia tak menyangka akan hal yang sudah berlangsung lewat setahun yang lalu itu, akan berbuntut panjang Si kakek pemetik kecapi sudah lanjutkan lagi bicaranya;
"Bukan kematiannya yang aku sesalkan, karena siapa pun bisa saja mati. Entah dia seorang penjahat atau bukan. Tapi cara kematiannya itu yang sampai ke telingaku, sehingga aku perlu mengetahui dan hubungan apakah kau dengan si Dewa Tengkorak... Itulah yang perlu kutanyakan. Dan apakah si iblis keji itu masih hidup? Apakah kau adalah muridnya...?!"
Pertanyaan itu sudah tentu dengan nada yang ditekan, karena dapat dilihat dari wajahnya, betapa ia amat membencinya.
Roro Centil menarik napas dalam-dalam...
segera ia teringat akan kejadian setahun yang lalu, di mana di saat pertarungan dengan si Empat Iblis Kali Progo ia telah mempergunakan jurus keji dari si Dewa Tengkorak, yang dipelajari dari Gurunya si Manusia Aneh Pantai Selatan yaitu salah satu dari "10 Jurus Pukulan Kematian", yang cuma dikuasainya tujuh jurus pukulan saja.
Segera ia menjawab dengan suara datar seadanya;
"Baiklah kakek, akan kujelaskan... Si Dewa Tengkorak telah mati sejak tiga tahun yang lalu. Kematiannya adalah dengan sebab akibat dari 10 jurus Pukulan Kematian yang ia lontarkan sendiri disaat bertarung dengan Pendekar Bayangan...! Aku bukanlah muridnya, walau aku telah menguasai beberapa jurus ilmunya...!"
Demikian jelas Roro polos. Namun tiba-tiba terdengarlah suara si kakek pemetik kecapi...
"Bagus...! Bagiku sama saja. Langsung atau tidak langsung kau adalah tetap murid si iblis tua itu...! Karena kau telah mewarisi ilmu-ilmu kejinya! Karena dengan ilmu kejinya itulah aku sampai kehilangan kedua belah kakiku ini...!".
"Tapi tapi...
"
Belum habis Roro berkata satu sambaran angin keras telah menyerangnya dengan bersyiur dahsyat.
Ternyata si kakek telah mengibaskan jubahnya yang lebar itu.
Terkejut Roro bukan main ketika rasakan sambaran dahsyat yang mau menghantam dada...
segera ia keluarkan teriakan keras tertahan, dan tubuhnya melesat ke atas menghindari serangan yang datang.
Dan dengan beberapa kali berjumpalitan di udara ia kembali turun kira-kira jarak beberapa tombak.
Namun hebat akibat dari kibasan lengan jubah itu.
Karena baru saja Roro turun menjejakkan kakinya ke tanah, terdengarlah suara bergedebukan.
Ternyata gubuk itu telah ambruk terkena hempasan angin dari kibasan jubah si pemetik Kecapi, yang telah melesat keluar dengan melompat cepat.
Dan dengan sekali enjot ia telah tiba di hadapan Roro dalam jarak tidak terlalu jauh.
Belum sempat Roro buka suara untuk bicara lagi, telah terdengar petikan tali kecapi dengan nada nyaring yang menembus kesunyian di tempat itu...
Roro terkesiap, dan cepat salurkan tenaga dalamnya pada telapak tangan.
Ia tahu orang mau membunuhnya...
Maka dengan berteriak keras ia telah mengirim satu pukulan ke arah si kakek kulit hitam itu.
Terdengar suara tertawa menghindar dari si kakek dan sebelah lengannya ia pergunakan menangkis serangan itu.
DEZZ...! Dua tenaga dalam yang hebat telah saling beradu.
Roro terhuyung tiga-empat langkah...
sedangkan si kakek hampir terjengkang....
namun sambil berdiri dengan dengkulnya ia telah kibaskan lagi kedua lengan jubahnya ...
Syiuut Syiuuut!...
Angin keras yang mengandung tenaga dalam yang hebat menerjang ke arah Roro.
Terasa bersyiur angin panas.
Cepat ia pergunakan jurus Ikan Hiu Balikkan Ekor, dan memapaki kedua serangan itu dengan tenaga dalam Inti Es...
Hebat akibatnya.
Sambaran angin panas yang dahsyat itu tiba-tiba berbalik menerjang ke arah si pemetik Kecapi.
Terkejut si kakek ini bukan kepalang.
Segera ia sambar peti Kecapinya untuk menangkis, namun tiba-tiba ia urungkan, dan jatuhkan tubuh bergulingan sambil memeluk peti Kecapinya.
Terasa angin panas dan dingin lewat bersyiur.
BRAAAKKK! Terdengar suara keras.
Ternyata pohon besar di belakangnya telah hancur lumat kena hantaman angin tenaganya sendiri.
Keringat dingin terasa mengalir di sekujur tubuh si pemetik kecapi.
Ia tahu tenaganya sendiri yang hebat, seandainya ia tangkis dengan peti kecapinya sudah pasti akan hancur.
Karena saat itu ia belum lagi menghimpun tenaga dalam...
Roro Centil sudah cepat buka suara;
"Kakek Kecapi maut! Urusanmu dengan si Dewa Tengkorak adalah urusan yang tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan aku. Mengapa kau jadi berbalik mau membunuh ku...?". Jawabannya adalah Tingng! Tringng! Tingng!... Dan seterusnya telah terdengar nada santar yang membawa maut, berkumandang dengan irama yang keras tinggi, lalu merendah dengan cepat, lalu meninggi lagi... Dan akhirnya yang terdengar adalah nada-nada yang kacau. Roro tersentak. Segera ia tutup indra pendengarannya, ketika rasakan darahnya terasa bergolak mendengar irama yang mengandung tenaga dalam, yang menyerang melalui pendengaran yang mengacau sirkuit otaknya itu. Sementara ia telah keluarkan senja-tanya sepasang "Rantai Genit". Ia berfikir lawan tidaklah enteng, sedangkan perjalanannya jadi tertunda gara-gara mengurusi si Kecapi Maut ini. Yang bisa-bisa membuat ia cuma tinggal nama saja di dunia ini... Sementara si kakek pemetik Kecapi terus membunyikan senjata ampuhnya, dengan nada-nada keras, rendah dan tinggi ... namun sudah tentu irama yang kacau dan tak enak untuk didengar. Tahu orang masih asik menari-narikan jari tangannya pada tali-tali kecapinya, Roro Centil segera goyangkan pinggulnya dan gerak-gerakkan tubuhnya meliuk-liuk dengan cepat, terkadang gemulai... seolah tengah mengikuti irama yang kacau ini dengan tarian yang disuguhkannya. Sementara sepasang senjatanya ia putar-putar sehingga terdengar suara mendengung mirip suara ratusan lebah. Jika saja Roro mengetahui akibat dari putaran si sepasang Rantai Genitnya, tentu ia akan kagum. Karena sesungguhnya suara berdengung itu telah membuat serangan tenaga dalam, melalui petikan tali kecapi itu menjadi buyar... tersapu angin putaran kedua benda itu. Hal itu telah membuat si Kecapi Maut jadi melengak. Matanya yang sipit itu jadi melotot agak lebar, melihat di hadapannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan tengah menari-nari dengan tubuh meliuk-liuk sambil memutar-mutar kedua benda di kedua lengannya. Tingng! Tingng! Tringng! Ia pentil tali kecapinya dengan keras, dan kemudian tiba-tiba berhenti. Segera ia tunggu reaksinya... Namun tunggu punya tunggu, Roro Centil masih terus menari-nari dengan lincah, dan terkadang gemulai... membuat ia jadi terheran-heran. Akhirnya tahulah ia bahwa serangan mautnya itu ibarat batu yang kecemplung ke laut. Tiba-tiba terdengar ia berseru keras... dan tubuhnya yang tinggal tiga perempat bagian itu telah melesat ke arah Roro. Peti kecapi mautnya telah di pakai menerjang menghantam orang. Namun bagai tidak melihat serangan orang Roro telah berhasil membuat serangan itu lewat ke tempat kosong. Makin gusar si kecapi maut. Beberapa serangan ia lancarkan menyerang leher, dada dan perut. Tapi itu pun lolos, cuma dengan melangkah melenggang-lenggok meliuk ke sana-kemari, atau ke atas dan ke bawah...
"Bocah Keparat...!"
Teriaknya.
Dan ia sudah menerjang dengan serangan-serangan hebat yang mematikan.
Roro terkejut juga lihat serangan-serangan yang berbahaya itu.
Ternyata kecapi telah sedari tadi berhenti bermain...
Segera ia buka indra pendengarannya sambil tetap pergunakan jurus istimewa ciptaan Gurunya itu, yang diberinya nama jurus "Bidadari Mabuk Kepayang".
Hasilnya memang mengagumkan, karena serangan-serangan si kakek selalu saja lolos.
Karena yang diperhatikan Si pemetik kecapi itu adalah tubuh lawannya saja ia tak mengetahui ketika tahu-tahu senjata si Rantai Genit tiba-tiba meluncur deras ke kepalanya.
Terkesiap seketika si kakek ini.
Ia segera pergunakan peti kecapinya menangkis melindungi kepalanya...
Inilah yang diinginkan Roro Centil.
BRAK! Terdengar suara keras dari peti Kecapi Maut si kakek yang hancur.
Belum sempat si kakek melompat, sudah menyambar lagi bandulan "Genit"
Itu...
BRAKK! Nyaris bandulan itu menembus peti yang bisa langsung mengenai kepala...
kalau tidak cepat-cepat ia lepaskan peti kecapinya, yang somplak dan hancur tak terpakai lagi itu...
Dengan berteriak tertahanlah ia cepat menggelinding menjauh, tatkala satu sambaran lagi kembali menyusul menyerang punggungnya.
Rantai Genitnya Roro Centil seperti punya mata saja yang terus bergerak meluncur saling susul.
Brukk! Kecapi Mautnya sudah ter-lempar dalam keadaan rusak berat, dengan tali-tali senarnya yang sudah kusut hampir putus semua.
Tiba-tiba terdengar teriakan Roro yang nyaring merdu, dan yang terlihat oleh si kakek berkulit hitam itu adalah berkelebatnya bayangan putih...
yang kemudian lenyap.
"Hah!?"
Tersentak hatinya.
Karena tubuh sang gadis itu benar-benar lenyap tak berbekas ...
Ketika tiba-tiba...
Rrrrt! Secercah sinar kuning telah berkelebat di bawah hidungnya, dan terasa ada benda yang menjerat lehernya.
Terkesiap ia bukan buatan, ketika mengetahui itulah senjata aneh si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sementara di atas kepalanya terdengar suara mende-ngungnya ratusan tawon.
Kiranya Roro Centil telah berada di belakang si pemetik Kecapi Maut, dengan sepasang senjatanya yang siap mencabut nyawa...
Terasa terbang sukma si kakek tatkala ia mengetahui dirinya sudah dibawah kekuasaan lawannya.
Dan pada saat itu juga terdengarlah suara yang merdu namun dengan nada menggertak...
"Hai kakek yang sudah mau masuk liang kubur! Apakah kau masih juga mau menjatuhkan kesalahan padaku...?! Betapa tadinya aku amat mengagumi kepandaianmu memetik Kecapi, tapi alangkah kecewanya ternyata irama kecapimu adalah untuk membunuh orang...! Sungguh amat disayangkan, anda yang telah setua ini masih memperturutkan nafsu. Padahal nafsu itulah yang akan menghancurkan dirimu...! Bukankah tadi kau katakan siapapun dapat saja mati. Tapi kalau mau mati, maka matilah yang baik! Bukan mati konyol karena memperturutkan hawa nafsu ..."
Tampak tubuh si kakek Kecapi Maut itu tergetar hebat.
Tubuhnya sekonyong-konyong jadi lemah lunglai, dan jatuh terduduk.
Terlihat ada air bening menetes turun membasahi jubahnya...
Getaran tubuhnya makin terlihat tatkala sepasang lengan si kakek itu tiba-tiba bergerak menggeletar dengan jari-jari yang terbuka.
Tiba-tiba sepuluh jari tangan itu dipertemukan seperti orang mau memberi hormat.
Namun apakah kelanjutannya?...
sepasang lengan yang tergetar itu tiba-tiba bergerak, dan ...
Krakk! Krrakk! Terdengar suara tulang yang berklotakan.
Roro Centil terkejut bukan main...
kiranya si pemetik Kecapi Maut telah meremas hancur kesepuluh jari-jari tangannya.
Segera ia kendurkan dan lepaskan Rantai genitnya pada leher si kakek...
dan melangkah ke samping dua tindak.
Tampak keadaan kedua telapak tangan sang kakek yang dalam keadaan yang mengerikan karena serpihan tulang-tulang yang hancur itu bersimbah darah, dan air mata yang seperti membanjir deras dari kelopak matanya.....
"Kakek!?... kau... kau..."
Hanya itu yang keluar dari kerongkongan Roro, tatkala terdengar suara si kakek yang parau terputus-putus menahan gejolak perasaan dan rasa sakit yang tak terhingga...
"Inilah... yang patut kulakukan... Jari-jari... tanganku ini telah banyak membunuh orang!"
Tampak si pemetik Kecapi Maut berhenti berkata sebentar...
untuk menyeka air matanya.
Dengan mengangkat pangkal lengannya, dan dengan mempergunakan kain jubah yang dipakainya ia menyapu wajahnya.
Sebentar kemudian ia telah menerus-kan kata-katanya...
"Bocah Pendekar, betapa aku orang tua merasa malu... malu karena harus dinasihati oleh seorang bocah yang pantas menjadi cucuku ... namun telah membuka mata hatiku untuk menyadari akan kekeliruanku... Benar, bocah Pendekar, menurutkan hawa nafsu adalah takkan ada habisnya selama manusia belum masuk ke liang kubur. Kecuali orang-orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya... Dia takkan terbawa arus gelombang nafsu yang melandanya, karena pada jiwanya telah tertanam benih-benih kesadaran dan iman yang teguh..."
Kembali ia berhenti sejenak untuk mengangkat kedua lengannya yang terasa nyeri. Dan ia sudah meneruskan kata-katanya;
"Kini aku serahkan segalanya pada nasib...! Kalau kau mau bunuh aku silahkan bunuh! Kalau kau mau mengampuni aku, aku sungguh-sungguh bersyukur pada Tuhan. Biarlah penderitaan ini aku jalani, dan kurasakan sebagai penebus atas segala dosaku... Aku telah merasa bersalah telah berniat membalas dendam pada orang yang justru tak ada sangkut-pautnya dengan urusan dendamku. Dan aku harus menyadari bahwa dendam itu adalah sesuatu yang harus dihilangkan pada diri manusia...
"
Sampai di sini si kakek pemetik Kecapi Maut berdiam menutup mulut dan mengatupkan kelopak matanya, menunggu tindakan apa yang akan diambil gadis Pendekar yang ada di hadapannya...
Selang sesaat terdengar Roro Centil menghela napas.
Dan terdengar kata-kata seperti terharu...
"Kakek...! Aku bukanlah orang telengas yang kejam. Memang aku pernah gunakan jurus telengas si Dewa Tengkorak itu ketika menumpas ke empat Iblis Kali Progo. Tapi percayalah ...! Hal itu di luar kesadaranku... Aku masih terlalu hijau untuk berkecimpung di dunia persilatan, dalam meneruskan perjuangan Guru-Guruku... menegakkan keadilan di atas bumi ini. Baiklah, aku berjanji tak akan mempergunakan jurus keji itu lagi... dan tentu saja aku hargai kesadaran yang telah kau temukan itu, kakek... Nah... rasanya aku tak dapat berlama-lama di sini, karena aku tengah dalam perjalanan memenuhi undangan orang dan perjalanan yang kutempuh amat jauh sekali... Selamat menempuh duniamu yang baru... kakek, dan selamat tinggal...!"
Setelah berkata demikian Roro Centil berkelebat pergi.....
tapi ketika itu juga ia teringat akan buntalan pakaiannya.
Segera ia melesat ke gubuk yang sudah roboh itu...
Tak terlalu sukar ia sudah menemukan kembali buntalannya, dan selanjutnya tanpa menoleh lagi ia sudah enjot tubuhnya, dan berlalu dari tempat itu...
Biara "Welas Asih"
Di lereng Gunung Wilis adalah sebuah biara yang tidak begitu dikenal orang...
Namun penduduk sekitar Gunung Wilis mengetahui kalau di biara itu terdapat tiga orang paderi yang bersaudara...
yang dikenal sebagai para tabib yang pandai mengobati orang Namun sepandai-pandainya manusia...
ada saja kelemahannya.
Oleh sebab itulah tak semua orang yang datang dapat disembuhkan penyakitnya...
Manusia hidup memang tak luput dari pelbagai masalah, juga tak dapat menghindari yang namanya takdir.
Juga mati hidupnya manusia, adalah sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Sudah hampir 9 tahun paderi Jayeng Rana meninggalkan kuil atau biara Welas asih, yang sudah berpuluh tahun dibinanya, kini telah berada kembali di biara Welas Asih, di lereng Gunung Wilis.
Ia memang seorang paderi yang berasal dari Nepal.
Entah mengapa ia amat senang mengembara di masa mudanya.
Hingga ia tiba di suatu daerah yang amat subur dengan tumbuh-tumbuhannya.
Terutama kelapa.
Akhirnya ia menganggap bahwa daerah atau pulau yang diinjaknya itu adalah pulau Kelapa.
Di Lereng Gunung Wilis itulah ia mendirikan sebuah kuil atau biara yang diberinya nama Welas Asih, yang berarti; kasih sayang ...
Memang sebenarnya watak dan pribadi dari paderi Jayeng Rana adalah watak yang tiada cela.
Peramah, baik hati, rendah hati juga kasih sayang terhadap siapa saja.
Pribadinya menarik, membuat orang akan merasa segan bila berbicara atau bertatap muka dengannya.
Sedikit kepandaian yang ia miliki ternyata dapat berguna bagi masyarakat.
Menolong yang sakit, atau memberi bantuan pada yang susah adalah dasar dari kehidupan yang ditujunya...
Jarang orang menemui manusia semacam paderi Jayeng Rana ini, karena kebanyakan manusia pada kenyataannya adalah menitik beratkan pada kepentingan pribadinya saja, tanpa mau mengetahui keadaan orang lain.
Apakah susah...? Apakah perlu dibantu...? Apakah perlu ditolong...? Dan lain sebagainya.
Padahal bagi orang yang mengerti apa arti dan maknanya kehidupan; pasti menyadari betapa Tuhan menciptakan manusia ini tak lain dan tak bukan adalah untuk dapat hidup saling berkasih sayang dengan sesamanya, dan hidup saling tolong menolong.
Demikianlah...
berpuluh tahun paderi Jayeng Rana bermukim di biara Welas Asih, di Lereng Gunung Wilis, ia memang membawa tiga orang murid, yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya.
Sejak ia kembali ke Nepal 9 tahun yang lalu, biara Welas Asih diserahkan pada ketiga orang muridnya.
Yang telah dapat dipercaya untuk meneruskan cita-citanya yaitu beramal bakti pada masyarakat, disamping harus bekerja keras untuk hidup.
Karena manusia yang baik ialah, yang hidup tanpa harus mengandalkan belas kasih orang lain, Atau mengharap-harap hujan emas yang jatuh dari langit.
Tuhan takkan merobah nasib setiap manusia, kalau tidak manusia itu sendiri yang merobahnya...
Demikian ia selalu camkan pada murid-muridnya.
Demikian juga dengan akhlak dan budi pekerti manusia...
apakah Tuhan akan merobah watak manusia yang sesat sekonyong-konyong menjadi orang baik yang berakhlak mulia? Tidak! Karena watak jahat akan tetap saja jahat, tak akan berubah menjadi baik apa bila tidak manusia itu sendiri yang berusaha merobahnya.
Juga watak yang baik, tentu saja tidak akan selamanya baik.
Kalau manusia itu tidak terus memupuknya; ibarat kita memelihara tanaman...
kalau tidak dirawat dan disirami setiap hari akan layulah tanaman itu.
Bermacam nasihat telah ditanamkan di hati ketiga paderi muridnya itu oleh paderi Jayeng Rana si pendiri biara Welas Asih.
Ternyata kembalinya ke Nepal adalah untuk memperdalam ilmu ketabibannya di sana.
Dalam waktu beberapa tahun ia berhasil menambah ilmu kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan itu, yang memang sudah menjadi cita-citanya.
Hingga paderi Jayeng Rana berhasil membuat sebuah kitab, yang berisikan ilmu-ilmu tersebut.
Tentu saja dibuatnya kitab itu adalah untuk dapat diamalkan dan dipelajari kelak oleh ketiga orang murid-muridnya.
Demikianlah setelah selang beberapa tahun kemudian, paderi Jayeng Raya berangkat kembali ke pulau Kelapa dengan membawa kitab yang telah diciptakannya itu...
Namun karena satu dan lain hal ia terpaksa tidak bisa langsung ke gunung Wilis.
Perjalanan jauh yang ditempuhnya itu amatlah melelah-kannya.
Dan ia memang tidak berniat lagi tinggal di pulau Kelapa itu, karena ingin menghabiskan sisa umur menjelang hari tuannya itu di tanah kelahirannya.
Ia menitipkan Kitab Pusaka itu pada seorang bekas pembantunya yang setia di pesisir pantai Pulau Kelapa (Pulau Jawa).
Pembantu yang setia itu tak lain dari seorang laki-laki berkebangsaan India.
Dialah yang bernama Gurnam Singh.
Yang sejak kedatangannya dari Nepal sampai ke Pulau Kelapa dan mendirikan biara Welas Asih, selalu turut ber-samanya.
Gurnam Singh menikah dengan seorang gadis dari lereng Gunung Merapi.
Dan menetap di pesisir pantai Pulau Kelapa.
Setelah menitipkan Kitab Pusaka tersebut untuk diberikan pada ketiga muridnya di biara Welas Asih...
Paderi Jayeng Rana kembali ke Nepal.
Niat yang baik itu ternyata banyak sekali rintangannya; karena kitab yang sedianya akan segera diantarkan itu telah dicuri oleh seorang sahabat Gurnam Singh.
Tentu saja betapa kecewanya sang pembantu yang setia itu...
Berbulan-bulan ia mencari, dan mencari...
ke mana perginya sahabat licik yang pandai berpura-pura itu.
Yang bersifat bagaikan musang yang berbulu ayam.
Tak dapat dibayangkan betapa masygulnya hati Gurnam Singh.
Hilangnya Kitab Pusaka itu adalah tanggung jawabnya untuk dapat menemukannya kembali.
Sahabat Gurnam Singh itulah yang bernama Tonga.
Tonga memang seorang yang berwatak licik.
Bila orang melihat perawakannya tentu akan timbul rasa iba.
Wajah yang memelas, serta tubuh kecil yang kurus dan bentuk muka yang lancip...
Rasanya akan sulitlah orang untuk menebak atau menyangka Tonga orang bejat.
Karena penampilannya bagaikan seorang yang berakhlak amat baik.
Inilah salah satu dari keanehan manusia di dunia.
Tonga telah membawa kitab itu pada Gurunya, yang juga berakhlak sama bejatnya dengan muridnya.
Sang Guru ternyata orang dari Nepal juga.
Yang berilmu tinggi namun sesat.
Kitab curian itu ternyata tidaklah menarik perhatiannya.
Bahkan telah timbul suatu ilham bejat setelah membaca isi Kitab yang menerangkan tentang ilmu-ilmu ketabiban itu...
Dengan ilham yang didapat dari Kitab Pusaka itu ia telah berhasil menciptakan suatu ilmu sesat yang hebat.
Yang bila dipelajari dan dikuasai orang...
maka akan rusaklah akhlak orang itu, walaupun ilmu kedigjayaannya tinggi.
Ilmu-ilmu sesat hasil gubahannya dari Kitab Pusaka ilmu ketabiban itu telah dituangkannya dalam sebuah kitab ciptaannya.
Sang Guru si laki-laki bernama Tonga itu benar-benar merasa puas telah berhasil menciptakan sebuah kitab yang luar biasa sesatnya itu.
Bahkan saking gilanya, kulit luar dari kitab itu dibuat serupa dengan kitab ilmu ketabiban tersebut.
Yaitu terbuat dari kulit ular.
Sayang...
manusia berakhlak rendah itu tak menyadari bahwa hakekatnya umur manusia Tuhanlah yang menentukan.
Manusia boleh sakti tapi janganlah lari dari kenyataan...
Karena sesakti-saktinya manusia sakti di dunia ini yang kesemuanya pun akhirnya MATI! Karena hakekatnya manusia hidup itu adalah untuk mati! Itulah sebabnya bagi orang yang memahami akan arti hidup; ia akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal orang yang memahami akan arti hidup; ia akan berusaha sebaik-baiknya mencari bekal untuk mati.
Karena setelah kematian, akan ada lagi kehidupan yang lebih sempurna dan kekal untuk selama-lamanya.
Yaitu kehidupan Akhirat.
Sayang sang Guru si laki-laki bernama Tonga itu meninggal dunia sebelum sempat bertobat dan menanam amal dalam kehidupannya.
Kini Tonga yang menguasai kedua Kitab Ular itu.
Kematian Gurunya dianggap wajar saja.
Dan ia berniat untuk mempelajari kedua kitab itu.
Ia tidaklah seperti gurunya yang fanatik.
Karena ia berpendapat lebih banyak ilmu adalah lebih baik.
Tanpa mau tahu apakah ilmu itu sesat atau ilmu yang bermanfaat.
Sayang...
belum lagi ia sempat mempelajari, telah muncul Gurnam Singh yang telah mencarinya sekian lama itu akhirnya dapat mengetahui jejak tempat persembunyiannya.
Dan merampas kembali kitab yang telah dicurinya.
Bahkan kedua Kitab Ular itu berhasil dibawa kabur.
Tentu saja Tonga dapat mengetahui ke mana Gurnam Singh membawanya...
yang tentu saja ke biara Welas Asih di lereng gunung Wilis ...
Dugaan Tonga tidak salah.
Gurnam Singh si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu memang membawanya ke kuil atau biara Welas Asih.
Di sana ia berikan kedua kitab itu yang ia tak tahu mana yang asli pada si ketiga paderi dan juga menceritakan kejadian yang dialaminya, hingga ia terlambat memberikan Kitab Pusaka titipan paderi Jayeng Rana guru mereka.
Setelah meneliti kedua kitab itu segera mereka dapat mengetahui mana yang asli...
Namun alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui kitab yang satu lagi adalah kitab yang berisikan ilmu-ilmu kedigjayaan yang sesat, dan amat jahat.
Mereka segera kembalikan pada Gurnam Singh, namun ditolaknya...
dan mengatakan agar kitab itu sementara dititipkannya di biara tersebut.
Lalu iapun kembali ke pesisir pantai pulau Kelapa.
Tonga menyusul ke biara Welas Asih...
Dan dengan segala macam akal, ia berhasil tinggal di biara itu sebagai seorang pembantu atau jongos.
Tentu saja ia berpura-pura dirinya adalah seorang yang berakhlak baik.
Padahal diam-diam ia berniat mencuri lagi kitabnya yang segera dapat diketahui berada di ruangan tempat kitab.
Tak disangka telah terjadi peristiwa...
yaitu munculnya tiga orang yang berkepandaian tinggi yang mau merebut kitab pusaka paderi Jayeng Rana, yang disangkanya adalah kitab ilmu kedigjayaan yang amat tinggi.
Ternyata khabar Gurnam Singh mencari seorang pencuri kitab telah tersiar ke setiap tempat...
Dan ketiga penjahat itu mencium jejak Gurnam Singh, yang telah berhasil menemukan kitab titipan paderi Jayeng Rana itu kembali.
Ketiga penjahat tak dikenal itu merusak biara dan mengobrak-abriknya, karena sudah tentu mereka tak dapat memberikan kitab warisan guru mereka...
Pertarungan terjadi.
Namun ketiga Paderi tak ada daya untuk dapat menang dalam pertarungan itu...
Ketiganya terjungkal mandi darah.
Tonga yang cari kesempatan baik dalam kekeruhan itu, berhasil masuk ke ruangan kitab...
Namun ia harus sembunyi di belakang lemari mengetahui ketiga penjahat itu memasuki ruangan.
Ketika keadaan sudah sepi, Kitab Ular yang tengah diincarnya itu telah lenyap.
Dengan segala daya upaya, Tonga akhirnya dapat mengetahui di mana adanya si ketiga penjahat itu, yang telah mencukur gundul kepalanya...
Mereka adalah Kuti, Kebo Ireng dan Lembu Alas.
Ternyata Kuti pun orang Nepal, yang sudah lama berdiam di tanah Jawa ini...
Ketika mengetahui ketiga paderi palsu itu ada berhubungan dengan Bupati Daeng Panuluh di daerah Karang Sembung; dengan modal wajahnya yang memelaskan hati, ia berhasil mendekati Bupati Daeng Panuluh untuk dapat bekerja di Gedung kuno tempat kediaman si tiga paderi Gunung Wilis yang palsu itu.
Permohonannya dikabulkan.
Dan ia pun berhasil menjadi jongos di sana.
Demikianlah hingga akhirnya ia berhasil lagi merebut Kitab Ular yang berisikan ilmu-ilmu sesat dari Gurunya itu, dari tangan Roro Centil...
Rusaknya biara "Welas Asih"
Membuat terkejut paderi Jayeng Rana, yang tidak disangka-sangka muncul lagi di Lereng Gunung Wilis bersama Gurnam Singh.
Betapa trenyuh hatinya menyaksikan keadaan yang menyedihkan itu.
Dijumpainya cuma tinggal seorang muridnya yang masih tersisa...
Itupun dalam keadaan cacat jasmani akibat dari ketelengasan dari si ketiga penjahat, yang juga diketahui salah seorangnya berasal dari Nepal.
Sudah beberapa hari ia berada di biara itu lagi.
Datangnya seorang tetamu yang tak diundang, telah membuat paderi yang sudah lanjut usia ini telah menitahkan Gurnam Singh untuk membawa sepucuk surat undangan, untuk diberikan pada seorang Pendekar Wanita agar segera datang ke biara Welas Asih, di lereng gunung Wilis...
Sementara yang ditunggu-tunggu masih dalam perjalanan...
Dialah Pendekar Wanita Pantai Selatan...
alias Roro Centil.
Tujuh buah sungai dan dua buah Gunung telah ia lewati.
Yang satu adalah gunung Merapi yang di sebelah utaranya terdapat juga sebuah gunung yang tidak terlalu jauh yaitu Gunung Merbabu, sedang yang kedua adalah Gunung Lawu.
Ternyata tanpa memakai kuda perjalanan Roro lebih cepat beberapa kali lipat.
Karena dengan ilmu lari yang mengandalkan tenaga dalam yang tinggi itu lebih mudah ketimbang naik kuda, yang harus mencari jalan lebih dulu, karena sukarnya perjalanan yang harus ditempuh.
Kedua puncak Gunung Wilis dan Gunung Liman telah kelihatan.
Hati Roro Centil berdebar girang...
Segera ia enjot tubuh untuk segera tiba di sana.
"Gunung Wilis adalah yang berada di sebelah selatan Gunung Liman. Aku akan segera tiba di sana sebelum tengah hari...!"
Guman Roro dengan suara mendesis dari bibirnya.
Sementara uap putih tampak keluar dari hidung dan mulut si Pendekar Wanita ini.
Hawa memang teramat dingin.
Apa lagi dengan mempergunakan ilmu lari cepat itu Roro telah pergunakan sepenuh tenaganya.
Lewat tengah hari ia telah tiba di lereng Gunung Wilis.
Roro kendurkan larinya untuk mengatur napas.
Perjalanan sejauh ini baru pertama kali ia alami entah mungkin saat-saat dimuka mungkin akan lebih jauh lagi...
Pikir Roro Centil, yang segera hentikan larinya ketika ia telah menemukan sebuah desa.
Ternyata tidaklah sukar untuk menanyakan di mana adanya biara "Welas Asih", karena hampir semua penduduk desa itu mengetahuinya.
Alangkah girang hatinya setelah mendaki agak lebih ke atas lagi, ia telah melihat ada sebuah bangunan yang bentuk dan potongannya lain dari pada yang lain.
Itukah biara Welas Asih...?.
Desis Roro dalam hati.
Baru saja ia menginjakkan kakinya di halaman biara, ia sudah terkejut mendengar satu suara yang bernada lemah, namun terdengar jelas di telinganya.
"Omitohud...! Ah... Selamat datang di biara kami yang rusak nona pendekar Pantai Selatan...! Selamat datang di lereng Gunung Wilis! Ternyata Tuhan meramahmati kedatangan anda dengan selamat...!"
Segera Roro gerakkan tubuhnya melesat ke arah pintu biara yang lebar dengan temboknya yang banyak terdapat ukiran-ukiran.
Dan terlihatlah seorang kakek ber-jubah putih.
Kepalanya licin plontos dengan kumis yang terjuntai hampir menyatu dengan jenggotnya yang putih, yang panjangnya sebatas dada.
Roro segera balas penghormatan orang, sementara matanya yang tajam dapat segera melihat adanya dua orang paderi yang tengah berduduk di lantai di atas sehelai tikar permadani ...
Segera ia sudah berkata;
"Andakah yang bernama Paderi Jayeng Rana... Ketua biara Welas Asih ini...?"
Kakek berjubah putih yang berkepala licin plontos itu kembali menjura sambil menyahuti;
"Omitohud...! Benar nona Pendekar... silahkan masuk...!"
Sambil berkata demikian ia telah membuka pintu biara lebar-lebar.
Roro langkahkan kaki untuk bertindak masuk...
dan duduk di atas tikar permadani.
Di hadapannya adalah dua orang paderi yang usianya di bawah paderi Jayeng Rana.
Bahkan tampak jauh lebih muda lagi dibanding keadaan paderi ketua biara itu.
Keduanya terlihat menjura, dan Roro segera balas dengan anggukkan kepala.
Namun sekilas Roro sudah perhatikan keadaan orang...
Yang seolah adalah paderi yang cacad jasmani, bahkan bekas luka masih tampak belum sembuh benar pada bagian leher yang menggurat panjang.
Sementara matanya tertutup oleh sehelai kain pembalut berwarna putih bernoda darah yang sudah mengering.
Sedang sebelah lengannya putus sebatas siku.
Tubuhnya berperawakan kekar.
Berbeda jauh dengan paderi di sebelahnya yang kecil kurus dengan muka yang lancip, dan tulang pelipis menonjol.
Kepalanya licin plontos sekali seperti baru habis dicukur.
Pelupuk matanya separuh tertutup, seperti agak enggan memandang wajah tetamunya.
Terkejut juga Roro, ia seperti pernah melihat wajah itu.
Sementara itu paderi Jayeng Rana tampak terus masuk ke dalam setelah mempersilahkan tetamunya untuk duduk.
Dan tak lama kemudian telah keluar lagi sambil membawa sesuatu yang terbungkus kain.
Apa yang akan dilakukan paderi ini...? Pikir Roro.
Sementara ia sudah kembali meneliti wajah si paderi kurus itu.
Roro jadi terkesiap bukan main ketika akhirnya ia mengenali siapa paderi kurus itu.
"Pencuri keparat! Kiranya kau sembunyi di sini?"
Teriak Roro dalam hati. Karena ia segera mengetahui paderi itu adalah si jongos tua Tonga yang telah mencuri kitab dalam buntalannya berikut kotak perhiasannya. Akan tetapi ia segera tahan diri ketika paderi Jayeng Rana buka suara;
"Nona Pendekar Pantai Selatan... harap anda maafkan aku yang telah jauh-jauh mengundang anda datang ke biaraku ini. Tak lain dan tak bukan adalah untuk..."
Paderi Jayeng Rana tak meneruskan kata-katanya karena segera buka buntalan di hadapannya.
Terkejutlah Roro melihat isi buntalan kain itu tak lain adalah sebuah kitab yang bersampul dengan kulit Ular berikut sebuah kotak kecil terbuat dari perak.
Itulah kitab yang dicuri oleh si jongos tua Tonga juga termasuk benda miliknya itu.
Ketika ia pandang paderi kurus itu ternyata paderi itu makin menundukkan mukanya dalam-dalam.
Paderi Jayeng Rana tahu keadaan orang.
Segera cepat-cepat ia perkenalkan paderi kurus itu pada Roro;
"Oh, ya ... ini adalah seorang paderi baru di sini, mungkin nona Pendekar telah mengetahuinya. Namun kumohon sudilah nona Pendekar mendengar penuturanku...!"
Terpaksa Roro Centil manggut-manggut sambil kerutkan alis tak mengerti.
Paderi Jayeng Rana segera menuturkan bahwa tujuannya mengundang Roro Centil datang, tak lain adalah untuk mengambil kembali benda miliknya, yang telah dicuri oleh paderi baru bernama Tonga itu.
Dituturkannya bahwa beberapa hari yang lalu, ketika ia baru saja mengasoh sejak tiba dari Nepal, telah kedatangan tamu.
Yaitu seorang laki-laki yang datang sambil bercucuran air mata.
Ia telah mengaku terus terang akan segala dosanya.
Dan ingin bertobat untuk kembali ke jalan yang benar.
Lalu dituturkannya semua riwayat asal kejadian tentang musibah yang telah menimpa biara "Welas Asih".
Hingga sampai akhirnya diungkapkan tentang tiga orang paderi palsu yang telah mengaku dari gunung Wilis yang telah membawa lari Kitab Ular.
Yang sebenarnya paderi-paderi itu adalah penjahat-penjahat terkutuk, yang telah merusak kewibawaan biara Welas Asih yang telah puluhan tahun dibinanya.
Kitab Ular yang dirampas ketiga penjahat itu adalah kitab Ular yang palsu.
Yang berisi ilmu-ilmu sesat, ciptaan seorang tokoh jahat yang bergelar si Setan Arak.
Paderi Jayeng Rana telah lama mengenal tokoh asal Nepal itu, yang menjadi guru si paderi baru Tonga.
Beruntunglah Tonga dapat sadar dan cepat-cepat datang ke biara Welas Asih untuk memberikan kitab ini, berikut sekalian mengembalikan kotak perhiasan milik si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tujuannya paderi Jayeng Rana adalah memohon bantuan akan keselamatan biaranya juga keselamatan si paderi Tonga dari kejaran orang-orang yang telah mengetahui ia mewarisi kitab sesat itu dari si Setan Arak gurunya.
"Nah, oleh sebab itu aku mengundang anda untuk datang kemari..."
Demikian keterangan paderi Jayeng Rana. Dan sambungnya lagi;
"Inilah kotak perhiasan milik anda, terimalah...!". Roro segera menerima benda itu, dan periksa isinya. Ternyata tak ada yang kurang. Segera ia masukkan benda itu ke dalam buntalannya, seraya berkata;
"Terimakasih kakek Paderi Jayeng Rana...!"
Dan iapun palingkan kepala menatap paderi Tonga, lalu palingkan lagi wajahnya menatap Paderi Jayeng Rana.
"Hm, apakah anda percaya penuh bahwa dia benar-benar akan bertobat... ?"
Berkata Roro dengan wajah sinis. Terlihat air muka Tonga dijalari rona merah. Belum sempat si ketua kuil biara Welas Asih menjawab, paderi baru itu telah mendahului biara .
"Jika aku berdusta biarlah aku tak diberi hidup lagi...!"
Katanya tegas. Namun Roro cuma perdengarkan suara di hidung.
"Heh! Kebanyakan orang baru sadar setelah dirinya kepepet. Dan di saat sudah longgar biasanya lalu berbalik melawan arus seperti Klambang! Apakah di balik dinding bisa diketahui ada cecaknya, kalau tak ada bunyi...!". Sengaja Roro ingin tahu isi hati orang sebenarnya. Wajah Tonga kian memerah... tapi pada saat itu paderi Jayeng Rana telah berkata "Sudahlah hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di dalam dada... Paderi baru Tonga telah membawa kitab pusaka warisan gurunya ini adalah untuk dimusnahkan di hadapanku juga di hadapan nona pendekar. Maka sudilah nona Pendekar menjadi saksi akan kebenaran dan ketulusan hati paderi Tonga untuk benar-benar bertobat. Karena dengan musnahnya kitab Ular yang sesat ini, maka akan tertolonglah bahaya pada masyarakat khususnya dan pada umat manusia umumnya...!"
"Kalau untuk menjadi saksi saja sih aku tak keberatan...!"
Berkata Roro Centil.
"Omitohud...! Terimakasih...! Terimakasih...!"
Wajah paderi Jayeng Rana menampilkan kegembiraan; ia sudah segera mau menyuruh paderi baru Tonga untuk segera memusnahkan kitab yang berada di hadapannya.
Namun sekonyong-konyong ia teringat pada Gurnam Singh yang belum menampakkan batang hidungnya.
Ia segera berkata;
"Maaf, mungkin upacara peleburan Kitab Ular yang sesat ini harus ditunda dulu, karena menunggu seorang pembantuku Gurnam Singh yang belum datang".
"Apakah dia yang mengirim undangan padaku...?"
Bertanya Roro Centil.
"Benar!"
Menyahut paderi Jayeng Rana.
"Apakah anda tak memakai kuda tunggangan?"
Ia balik bertanya. Roro tersenyum dan menjawab;
"Aku memang ada disediakan kuda, tapi kudanya telah kuhadiahkan pada sahabatku yang baru melangsungkan pernikahannya...!".
"Oooh...!?"
Terdengar suara paderi Jayeng Rana. Keningnya tampak dikerutkan dan kemudian terlihat ia manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya.
"Apakah anda mendapat petunjuk jalan...? Tiba-tiba paderi Jayeng Rana bertanya lagi.
"Cuma di sebuah desa... seseorang telah memberitahukan arah ke lereng gunung Wilis ini! Eh, ya apakah orang, yang memberi petunjuk itu adalah Gurnam Singh...?"
Roro berbalik tanya lagi pada paderi itu.
"Benar, tidak salah...! Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia dan bertanggung jawab!"
Menyahut paderi Jayeng Rana.
Sekonyong-konyong Roro Centil teringat akan Gurunya (si Manusia Aneh Pantai Selatan) yang pernah menceritakan bahwa ia telah terkena pukulan beracun oleh ketiga paderi gunung Wilis.
Segera ia menanyakan tentang itu, juga apa persoalannya.
"Omi tohud...! Itu bukan pukulan! Apakah sampai sekarang guru nona masih menderita keracunan? Di manakah dia adanya...?"
Roro Centil segera tuturkan keadaan Gurunya, dengan panjang lebar.
Terkejutlah paderi Jayeng Rana, mendengar si Manusia Aneh itu telah menjadi seorang tuna rungu dan menutup diri di Pantai Selatan.
Segera ia ceritakan persoalannya.
Bahwa kira-kira dua belas tahun yang silam telah datang seseorang dari Pantai Selatan.
Memang susah menerka orang itu...
dikatakan laki-laki bukan, perempuan pun bukan.
Kedatangannya adalah untuk meminta tolong mengobati penyakitnya, yaitu ia mengalami keracunan hebat, akibat telah salah makan ramuan dari bermacam rumput, yang ternyata mengandung racun.
Kisah yang dituturkan paderi Jayeng Rana itu adalah kisah dari ketiga orang paderi muridnya, yang telah menceritakan padanya.
Sementara si paderi berlengan buntung itu manggut-manggut mendengarkan kisah yang akan diceritakan itu.
Si ketiga paderi dengan suka rela telah menolong mengobatinya dengan segala usaha.
Ternyata racun amat ganas, yang rasanya sulit untuk dibrantas dalam waktu cepat.
Menurut pengamatan si ketiga paderi muridnya, racun itu akan cepat bisa terberantas seandainya ia disamping mengobati racun juga mengobati jiwanya.
Maksudnya mengobati jiwanya adalah menyadari akan takdir yang telah dialaminya sebagai manusia yang tidak normal.
Karena ia telah membeberkan isi hatinya pada ketiga paderi tentang keinginannya yang menggebu-gebu untuk menjadi seorang wanita tulen.
Hal itu telah merasak jiwanya.
Sehingga racun merembes ke hati ...
Tidak dinyana kata-kata si ketiga paderi telah "Memukul"
Perasaannya.
Karena rasa cintanya yang telah berurat berakar pada si Dewa Tengkorak, tak dapat dihilangkan begitu saja.
Bahkan semakin ia berusaha untuk menghilangkannya, semakin menggebu-gebu menyerang dirinya.
Sehingga ambisinya untuk menjadi seorang wanita tulen telah membuat ia mempergunakan cara-cara aneh.
Pernah suatu kali ia datang lagi ke biara Welas Asih dengan memperlihatkan bentuk tubuh kewanitaannya.
Hal itu membuat si tiga paderi berucap bahwa perbuatan semacam itu justru akan lebih mempercepat kematiannya.
Itulah satu "Pukulan"
Hebat yang telah mengena di jiwa si manusia aneh Pantai Selatan, yang telah menganggapnya sebagai satu "pukulan beracun".
Demikianlah, paderi Jayeng Rana mengutarakan kisah yang diceritakan muridnya beberapa tahun yang silam.
Di mana belum terjadi musibah yang menyedihkan ini, dan ketiga paderi Gunung Wilis masih komplit.
Kini ketiga paderi gunung Wilis sudah hancur...
cuma tinggal seorang pun sudah cacad, akibat perbuatan penjahat-penjahat keji yang merusak biara, merusak penghuninya, juga merusak nama baiknya.
Roro Centil manggut-manggut me-ngerti dan terdengar ia menghela napas lega.
Lega karena teka-teki kata-kata Gurunya telah terpecahkan.
"Pantas Guru telah pesan wanti-wanti padaku agar aku tak membalaskan dendam pada ke Tiga Paderi Gunung Wilis, yang telah mencelakainya dengan pukulan beracun. Ternyata pukulan beracun itu adalah "Pukulan"
Kata-kata, yang telah mengena pada jiwanya dan telah melukai perasaannya".
Menggumam Roro dalam hati.
Dapat dimakluminya bahwa sang Guru sampai setua itu usianya masih saja tergila-gila pada si Dewa Tengkorak.
Dan di saat orang yang dicintainya itu tewas di depan matanya, barulah reda api asmara yang menggebu-gebu dalam dadanya.
"Oh... Guruku yang malang..."
Desis hatinya dengan haru. Tiba-tiba Roro menatap wajah paderi Jayeng Rana dan berkata;
"Terima kasih atas penuturan itu kakek paderi Jayeng Rana. Baru aku mengerti akan arti makna kata-kata Guruku...". Roro berhenti berkata sebentar untuk melirik si paderi Tonga. Dan lanjutnya kata-katanya.
"Soal itu sudah kuanggap selesai, tinggal kini kita kembali kepada soal peleburan kitab Ular ini. Rasanya bisa dilaksanakan sekarang saja, tanpa harus menunggu kedatangan Gurnam Singh, yang mungkin akan terlambat datang... dapat dimaklumi karena dalam perjalanan yang jauh tidaklah mungkin terhindar dari adanya rintangan di tengah jalan. Sehingga membuat ia terlambat datang... Dan bukan-kah paderi Tonga hanya ingin agar aku dapat menyaksikan... ?"
Tampak paderi Tonga manggut-manggut dengan wajah berseri. Sedang paderi cacad di sebelahnya tak memberi reaksi apa-apa selain menundukkan kepala. Lain halnya dengan paderi Jayeng Rana, yang mengelus-elus jenggotnya sambil berkata;
"Omi tohud...! Aku yang tua dan tak berpengalaman hanya menuruti saja apa yang dirasa baik bagi nona Pendekar. Walau anda berusia muda sungguh aku menghargai usul itu...!"
"Terimakasih kakek paderi Jayeng Rana, namun..."
Roro sudah berkata lagi. Dan setelah berhenti sebentar untuk menatap Kitab Ular, ia teruskan kata-katanya;
"Alangkah baiknya kalau aku melihatnya terlebih dulu sebelum dimusnahkan...!". Sayang aku tak mengenal huruf-huruf yang seperti cakar ayam itu... dan sayang kitab yang berkulit sebagus itu ternyata isinya adalah amat sesat...!"
Kata Roro lanjutkan ucapannya. Paderi Jayeng Rana tak menjawab melainkan menatap paderi Tonga yang sudah lantas mengangguk dan ucapnya;
"Aku yang memiliki kitab itu, tentu saja aku yang memberi izin... Silahkanlah periksa kitab itu. Atau aku yang hina ini akan sangat berterimakasih kalau nona Pendekar yang memusnahkannya...!"
Kata-kata paderi Tonga terdengar tandas dan amat terasa akan keikhlasannya. Paderi Jayeng Rana manggut-manggut mendengarnya, dan terdengar kata-katanya yang lirih;
"Omitohud....! Sungguh keikhlasan hati itu adalah mutiara dalam kehidupan manusia...
". Setelah ucapan kata-katanya paderi Jayeng Rana segera berikan Kitab Ular pada Pendekar Wanita Pantai Selatan. Roro balik-balik dan buka lembaran-lembaran kitab yang tak tahu apa isi dan arti tulisannya. Selang sesaat ia berkata;
"Hmm... baiklah kalau aku yang diberi izin untuk memusnahkannya...". Dan begitu selesai kata-katanya, tiba-tiba kedua telapak tangannya bergerak meremas Kitab Ular, yang sekejap saja terdengar suara Krrrssssss! Dan di lain kejap Kitab Ular itu telah hancur jadi serpihan kecil-kecil yang meluruk jatuh dari tangannya. Terdengar paderi Tonga menghela napas, seperti merasa lega, dengan lenyapnya kitab sesat warisan dari Gurunya si Setan Arak. Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara bergedubrakan di bagian belakang gedung kuil. Semua yang berada di dalam ruangan jadi terkejut. Roro Centil sudah sangkutkan kembali buntalannya dan ikatkan di punggung. Segera berdiri pasang indranya. Diikuti paderi Jayeng Rana dan paderi Tonga. Cuma paderi cacad yang kedua matanya terbalut kain itu masih tetap duduk, walau ia kelihatan gelisah karena tak dapat mengetahui apa yang terjadi. Dalam keadaan mereka tengah terkesima itu, paderi Tonga mendahului melompat ke arah suara yang bergedubrakkan di belakang Gedung ... Namun saat paderi Jayeng Rana dan Roro Centil segera akan bergerak juga ke sana, tiba-tiba terdengar satu ledakkan keras di ruangan itu, hampir bersamaan dengan satu teriakan keras yang memperingati, namun terlambat sudah... Ruangan biara itu telah ambrol dengan suara yang bergemuruh. Puing-puing beterbangan disertai runtuhnya tembok dan atap ruangan yang meluruk ambruk ke bawah... Pada saat itu terlihat tubuh seorang laki-laki di luar Biara berdiri dengan kedua lututnya, menatap ke arah ruangan depan biara yang baru saja hancur, dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar mandi darah. Ternyata dialah Gurnam Singh adanya.
"Keparraaat! Jangan lari kau iblis keji..."
Tiba-tiba terdengar ia berteriak keras ketika melihat sesosok tubuh berkelebat dari samping tembok reruntuhan. Dan tubuhnya dengan sempoyongan mengejar sosok tubuh itu.
"Perempuan iblis busuk...! Pengecut jahanam, berhenti kau...!"
Teriak Gurnam Singh.
Kira-kira sejauh dua lemparan tombak sosok tubuh berpakaian serba hitam itu tiba-tiba menghentikan larinya.
Gurnam Singh sudah lantas enjot tubuh dan tiba di hadapannya...
Si wanita berpakaian serba hitam itu ternyata adalah, wanita yang beberapa hari di belakang berada di Makam Tua bersama suaminya si bangsawan yang berpenyakit gagap itu.
Ia telah perdengarkan suara tertawanya yang merdu.
Tatapan matanya yang genit memandang pada Gurnam Singh.
"Sudahlah... mengapa kau masih juga mengejarku...? Segalanya sudah terlambat. Mereka semua sudah pada mampus... kukira tak ada lagi persoalan. Kitab Ular musnah, berikut semua orang-orang yang berada di dalam gedung itu. Tapi "Peta Rahasia"
Harta karun si Setan Arak ada bersamaku...! Hi hi hi... Aku amat memimpikan punya seorang suami berkebangsaan India, yang khabarnya... Hi hi hi... hi hi...
"
Wanita yang boleh dikatakan sudah hampir menjelang usia tua itu tidak meneruskan kata-katanya, karena telah tertawa geli mengikik sambil menutupi mulutnya.
Wajah Gurnam Singh bersemu merah.
Tiba-tiba ia sudah berteriak keras dan menerjang dengan melancarkan pukulan dan tendangan-tendangan, menjejak tubuh si wanita baju hitam.
Yang segera bekele-batan menghindari.
Plak! Ia menangkis satu tendangan kilat yang mengarah leher, dengan sepasang lengannya.
Tampak tubuh si wanita terhuyung dua tindak, sementara dengan berjumpalitan di udara Gurnam Singh kembali menjejakkan kakinya ke tanah.
Ia sudah bersiap akan melancarkan serangan lagi, tatkala si wanita angkat sebelah tangannya dan berkata "Tunggu dulu...! Harap kau berfikir dulu baik-baik.
Untuk membunuhmu bagiku adalah tidak terlalu sukar.
Tapi aku sangat menyayangkan nyawamu kalau mati siang-siang.
Lebih baik kau bersatu padu denganku.
Peta harta karun si Setan Arak ini kita selidiki bersama"...
Katanya sambil mengeluarkan selembar kulit yang tipis dari balik bajunya.
Dan segera lanjutkan ucapannya;
"Terus terang, aku amat mendambakan pelukan dan belaian tanganmu, Gurnam Singh... Kita akan bahagia, kita akan kaya kelak dengan harta yang tak akan habis sampai tujuh turunan...!"
Demikian kata-kata rayuan yang terdengarnya amat muluk itu.
Namun dengan kata-kata yang serius penuh harapan agar Gurnam Singh benar-benar kepincut hatinya.
Namanya saja manusia...
siapa yang tak inginkan harta? Kalau wanita masih bisa dicari dengan mudah tapi kalau harta...
sungguhlah amat sulit untuk mencarinya.
Tampak Gurham Singh laki-laki kekar dan tegap asal India itu terdiam sejenak.
Walaupun boleh dikata iapun sudah hampir memasuki usia tua, namun dari wajah dan perawakann tubuhnya masih boleh ditaksir oleh wanita-wanita pencari suami.
Karena di samping tampan wajahnya, penampilannya pun tidak mengecewakan.
Hidungnya yang mancung, dengan jambang bauknya yang selalu tercukur bersih itu tampak menambah ganteng wajahnya.
Apa lagi melihat bulu-bulu dada yang tumbuh lebat yang terlihat dari celah bajunya yang terbuka...
ck ck ck...
amat menggairahkan bagi perawan-perawan tua yang genit yang sudah tujuh puluh kali bulan purnama belum laku-laku...
Namun apakah jawaban Gurnam Singh? "Iblis perempuan Bejat! Siapa sudi jadi piaraanmu...
?! Aku tak inginkan harta karun apa pun.
Yang aku inginkan adalah nyawa iblismu, jahanam! Kau telah bunuh semua orang-orang yang aku hormati...! Kuhancurkan kau...!!"
Dan ia sudah kembali menerjang dengan beringas.
Sambaran-sambaran kaki Gurnam Singh menyambar deras menghujani tubuh si wanita baju hitam yang agak repot juga menangkis dan mengelakkannya.
Tampak terlihat betapa geramnya si wanita telengas ini, terhadap laki-laki yang telah membuyarkan impian dan hasrat kewanitaannya.
Dari menangkis dan mengelak, kini telah berubah untuk balas menyerang...
dengan bertubi-tubi.
Hantaman tangan kiri dan kanan si wanita itu tak dapat dianggap main-main, karena mengandung tenaga dalam hebat.
Angin pukulannya membersit mengarah ulu hati dan kepala, disertai suara desisan dari mulutnya bagaikan seekor ular yang mau memagut mangsanya...
Plak! Plak! Terdengar suara beradunya tangan dan kaki yang setiap beradu selalu kepulkan uap hitam.
Terkejutlah Gurnam Singh...
karena ia segera menyadari dirinya dalam bahaya.
Ia lihat telapak tangan wanita itu telah berubah jadi hitam.
Ketika sebuah pukulan beruntun dilancarkan ke arahnya, segera menyambar uap hitam.
Terpaksa dengan berteriak tertahan dan gulingkan tubuh ia selamatkan diri tanpa berani menangkis.
"Heh! Segeralah kau menyusul mereka ke alam baka...!"
Teriak wanita itu, yang segera memburu ke arah Gurnam Singh.
Hssssss ...
! Hussssss ! Terdengar suara mendesis ke arahnya.
Tampak kedua lengan si wanita meluncur bagaikan ular sendok mengarah leher disertai keluarnya uap hitam yang keluar dari telapak tangannya.
Terkesiap Gurnam Singh seketika...
Karena kedua kakinya yang telah beberapa kali beradu dengan lengan wanita itu telah keracunan dan menggeletar tak bisa digerakkan.
Ia sudah nekat untuk menangkis serangan maut itu...
Akan tetapi pada saat itu juga sebuah bayangan berkelebat, dan...
Plakk! terdengar satu jeritan panjang dari mulut wanita itu.
Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan jatuh ke tanah dengan suara berdebuk.
Sementara sesosok bayangan telah memburu berkelebat ke arah wanita itu, dan sekejap kemudian sudah jejakkan kaki di hadapan wanita itu lagi.
Tampak si wanita baju hitam berusaha bangkit,...
namun ketika baru saja ia angkat kepalanya, sudah terdengar suara....
"Bangunlah isteriku yang setia!". Terkesiap seketika hati si wanita itu mendengar suara dan melihat orangnya... Ternyata di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki muda berpakaian mewah. Siapa lagi kalau bukan si laki-laki bangsawan yang punya penyakit gagap itu, alias suaminya sendiri. Entah bagaimana asalnya sampai sang suami telah dapat menyusulnya sampai ke gunung Wilis. Terbeliak mata si wanita yang kelopak matanya penuh dengan pulasan berwarna biru tua itu. Dan terjungkit alisnya yang hitam legam karena ditambahi dengan langes pantat dandang...
"Hah...!? Kau... kau..."
Teriak wanita itu seperti tak percaya pada penglihatannya. Tiba-tiba si pemuda bangsawan yang punya penyakit gagap itu jadi tertawa terbahak-bahak...
"Ha ha ha ha... ha ha... ha ha ha...
". Baru saja ia berhenti tertawa, eh nambah lagi;
"Ha ha ha... ha ha ha... nana... ha ha". Dan "Ha ha ha... nana... nana... ha ha ha...
"
Tentu saja membuat si wanita terheran-heran. Bahkan seribu heran berada di benaknya...
"Apakah yang terjadi?"
Menggumam si wanita istri si laki-laki bangsawan itu.
Baru saja ia mau bangkit berdiri sebuah bayangan hijau tiba-tiba berkelebat di hadapannya.
Tahu-tahu telah berdiri sesosok tubuh yang padat gempal dan berpinggang langsing, dengan buntalan kecil yang menggemblok di punggungnya.
Siapa lagi kalau bukan Roro Centil adanya...
Sekali gerakkan tangan pada tubuh laki-laki itu, segera saja suara tertawanya berhenti.
Dan tubuhnya jatuh menggelosor ke tanah.
Ternyata urat ketawanya telah ditotok orang, hingga si laki-laki itu tertawa tak henti-hentinya.
Kalau dibiarkan terus bisa putus nyawanya.
Saat itu si wanita baju hitam telah bangkit berdiri.
Dan sekali enjot tubuh ia sudah bergerak untuk melarikan diri.
Namun pada saat itu Roro sudah berkelebat menghadang.
"Mau kabur ke mana kau siluman licik...!"
Teriak Roro.
Betapa gemasnya ia pada perempuan ini.
Kalau saja ia tak cepat menyelamatkan diri, tentu tubuhnya telah hancur lumat oleh ledakan dahsyat yang meruntuhkan ruangan biara tadi.
Kiranya sebelum mendengar suara bergedubrakkan di belakang gedung kuil, Roro sudah waspada sejak jauh-jauh karena indranya yang peka dapat menangkap adanya suara ledakan yang jauh di bawah lereng.
Selang beberapa saat terdengar lebih jelas suara orang berlari saling kejar.
Dan ketika terjadi suara bergedubrakan di belakang gudang, ia semakin waspada...
Pada saat itulah ia lihat Tonga beranjak cepat untuk melihat ke belakang.
Sekelebat ia lihat sekilas adanya bayangan yang berkelebat ke sebelah kanan tembok, yang terlihat bayangannya dari atas langit-langit ruangan.
Tiba-tiba dari lobang angin yang terdapat di sisi tembok itu telah meluncur sebuah benda yang mendesis mengeluarkan asap.
Terkesiap Roro melihat benda yang jatuh menggelinding tepat di sebelah paderi cacad itu, yang mengeluarkan asap makin banyak.
Sekelebat hatinya menduga itu adalah asap racun.
Tak sempat ia berfikir lagi, bahkan untuk mengingat paderi cacad itu pun tak sempat...
Hanya saja sekilas ia ingat akan bunyi ledakan dikejauhan tadi yang didengarnya lapat-lapat.
Nalurinya mengatakan akan terjadi bahaya...
Dan bersamaan dengan terjadinya ledakan itu, ia telah melompat cepat dari ruangan itu sambil lengannya menyambar jubah paderi Jayeng Rana...
Dan jatuh kan diri bergulingan sambil peluk tubuh paderi Jayeng Rana, hingga sampai ke kolong meja di ruangan dapur.
Hebat akibat ledakan itu.
Separuh gedung biara itu telah hancur...
Ambruk.
Sedangkan ruangan depan biara sudah tak berbentuk lagi, karena tertutup oleh reruntuhan puing-puing....
Dapat dibayangkan bagaimana nasib si paderi cacad itu yang masih berada di ruangan depan itu...?.
Selang sesaat...
Roro lihat bayangan tubuh orang dari arah ruangan belakang yang terhalang oleh selarik tembok memanjang.
Segera ia beri isyarat pada paderi Jayeng Rana agar jangan bergerak.
Bersyukur Roro karena tempat mereka menyelamatkan diri, terlindung di bawah meja hingga tidaklah nampak oleh sosok tubuh itu.
Yang ternyata adalah paderi Tonga.
Kecurigaan Roro pada orang ini makin besar, karena dengan langkah tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa ia melangkah terus melewati ruangan dapur.
Dan di tengah ruangan yang sudah hancur itu, ia berhenti menatap reruntuhan tembok yang telah menguruk ruangan biara bagian depan...
yang tampak masih mengepulkan debu.
Terdengar suara mendesis dari mulutnya;
"Heh! Mampuslah kalian semuanya! Pekerjaan si Ular Beracun berhasil dengan baik namun hampir saja nyawaku ikut melayang... He he he... he he...
"
Belum habis suara tertawanya, tahu-tahu tubuh si paderi Tonga sudah terjungkal roboh, dengan keluarkan teriakan parau yang cuma sesaat saja dibarengi dengan muncratnya darah segar merah putih.
Ternyata kepalanya telah hancur bonyok, hingga sampai otaknya berhamburan keluar.
Kiranya saking kesalnya pada si jongos licik itu, Roro Centil telah rasakan kepalanya berdenyutan...
entah mengapa tiba-tiba di luar kesadarannya ia telah berkelebat cepat dari kolong meja...
Dan sekali lengannya bergerak, ia telah hantam batok kepala orang dengan telapak tangannya sepenuh tenaga.
Tamatlah riwayat manusia licik yang pandai berpura-pura itu.
Segera Roro lap tangannya, bersih-kan darah di jubah Tonga yang matinya menelungkup itu.
Rasa penasaran membuat ia merogohi jubah dalam si paderi bohong itu setelah balikkan mayatnya.
Ternyata telah ditemukan lembaran-lembaran kulit tipis, yang bertuliskan tak terbaca oleh Roro.
Saat itu paderi Jayeng Rana telah menghampiri di belakangnya.
Cepat Roro berdiri dan pandang wajah paderi itu seraya berkata;
"Coba kakek paderi periksa, apakah ini bukan lembaran-lembaran isi Kitab Ular?"
Paderi Jayeng Rana raih lembaran-lembaran kulit tipis itu dari tangan Roro sesaat antaranya ia berucap dengan wajah menampilkan kemarahan...
"Omi tohud...! Benar!... Heh!? Orang ini sungguh licik...! Ia telah mengelabui kita dengan menukar isi kitab itu terlebih dulu, sedangkan isinya telah ia copot dan selipkan pada jubahnya. Pembunuhan ini telah ia rencanakan terlebih dulu dengan orang yang berjulukan si Ular Beracun itu...! Omiitohud...! Sungguh hati manusia sukar diduga...!". Bukan main geramnya hati Roro. Ia raih kembali lembaran-lembaran kitab ular ciptaan si Setan Arak itu, dan remas hancur sampai jadi bubuk. Kemudian dengan sekali berkelebat ia telah keluar dari ruangan itu. Akan halnya paderi Jayeng Rana pada saat itu juga teringat akan seorang sisa muridnya, yang tadi tak sempat menyelamatkan diri... Seketika wajahnya berubah pucat. Serta merta ia sudah memburu ke arah tumpukan puing-puing reruntuhan itu, dan membongkarnya... Namun ia hanya dapatkan keadaan tubuh sang murid yang telah hancur luluh...
"Omiitohud...! Segera ia angkatkan kedua lengannya, dan panjatkan do'a untuk arwahnya pada Tuhan. Sementara dua tetes air bening mengalir turun membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia... Begitulah di saat ia keluar dari sisa reruntuhan biara itu... dikejauhan ia telah dengar suara orang bertempur. Kembali ia berkelebat ke sana... Sebentar saja telah melihat seorang wanita berbaju hitam tengah melancarkan pukulannya, pada seorang laki-laki yang segera dapat mengetahui yaitu Gurnam Singh. Baru saja ia mau gerakkan tubuh... sekonyong-konyong telah berkelebat sesosok tubuh yang memapaki serangan itu, hingga ia batalkan niatnya. Dari ucapan si laki-laki berpakaian mewah itu, segeralah ia tahu kalau kedua orang itu suami istri. Ia lihat keadaan Gurnam Singh yang tampak parah... Segera ia berikan pertolongan. Yang ternyata kedua kakinya telah keracunan... Terkejut Roro... dalam keadaan bingung karena tak tahu cara mengobati orang, tanpa pikir panjang ia telah robek celana orang hingga sampai sebatas paha. Segera ia lihat kakinya yang matang biru kehitam-hitaman. Roro memang belum banyak penga-laman, namun otaknya cerdik. Memikir orang keracunan ia berpendapat harus mengeluarkan darah orang yang terkenal racun itu. Tiba-tiba saja tanpa pikir panjang ia telah gigit kedua jempol kaki Gurnam Singh yang tampaknya sudah tak dapat rasakan rasa nyeri lagi. Begitu darah mengucur ia segera pencet kaki orang dan urut ke bawah dengan salurkan hawa dingin melalui telapak tangannya. Segera saja darah membeku... karena kemudian yang terlihat keluar melalui luka yang digigitnya itu adalah darah kental yang kehitam-hitaman. Melihat usahanya berhasil, segera ia lakukan seperti tadi pada kaki Gurnam Singh yang sebelah lagi. Maka selesailah pertolongan pertama itu. Racun tidak akan terus mengalir naik, karena sudah membeku di kaki. Kalau tak dikeluarkan paling-paling cuma kakinya yang busuk. Namun jiwa orang sudah dapat tertolong. Baru saja Roro menarik napas lega sudah terdengar suara tertawa yang tak henti-hentinya itu, ternyata si laki-laki berpakaian mewah itulah yang tertawa tak putus-putus... Segera Roro mengetahui orang telah menotok urat ketawanya. Namun di situ cuma ada dua orang suami istri itu. Siapakah orang ketiga...! memikir Roro. Tak banyak ayal lagi ia telah berkelebat membebaskan totokan pada tubuh laki-laki bangsawan itu... Demikianlah... di saat si wanita berbaju serba hitam itu mau melarikan diri, Roro Centil sudah menghadangnya.
"Kaulah pasti yang berjulukan si Ular Beracun...! Hmm, jangan harap kau dapat lolos setelah kau gunakan kekejianmu untuk membinasakan kami di biara...!"
Si Ular Beracun tatap wajah orang dengan wajah pucat... tiba-tiba ia telah keluarkan selembar kulit tipis dari balik bajunya... sambil mundur dua tindak ia berkata dengan tergagap.
"Ja... janganlah kau bunuh aku no... nona Pendekar. Biarlah kuberikan peta harta karun ini padamu...! Namun berjanjilah kau akan mengampuni nyawaku...". Terkejut juga Roro Centil. Peta harta karun siapakah? pikir Roro. Namun dengan suara keren ia sudah membentak dengan sinis.
"Heh! Kau mau tukar nyawamu dengan harta karun orang lain... ? Bagus sekali...!".
"Tidak! Harga Karun itu adalah milik paman angkatku sendiri, si Setan Arak. Aku... aku terpaksa melakukan perbuatan jahat itu karena... karena suruhan orang. Percayalah nona Pendekar...!"
Kembali dengan terbata-bata si Ular Beracun berkata menjelaskan.
"Hmmm..."
Roro kerutkan alisnya.
"Benarkah demikian...?"
Bertanya Roro.
"Percayalah nona Pendekar... aku berani bersumpah! Aku tidak berdusta...!"
Menyahuti si Ular Beracun dengan wajah kusut seperti mau menangis.
"Darimana kau dapatkan peta itu dan siapa yang telah menyuruhmu untuk membunuhku bersama paderi-paderi kuil Welas Asih...! "
Tanya lagi Roro dengan serius.
"Peta ini ada di dalam Kitab Ular... Aku telah menyobeknya lebih dulu, karena khawatir dikuasai murid paman angkatku, yaitu yang bernama..."
"Lalu siapakah yang telah menyuruhmu melakukan perbuatan keji itu...?"
Bertanya lagi Roro dengan tidak sabar. Sementara otak Roro yang cerdas sudah memikir akan adanya satu kejanggalan. Tampak si Ular Beracun tidak cepat cepat menyahuti... tiba-tiba ia berkata dengan cepat;
"Itulah orangnya yang berada di belakang nona Pendekar...!"
Roro cepat balikkan tubuh untuk melihat ke belakang... Namun pada saat itu dengan cepat si Ular Beracun telah meroboh "sesuatu"
Dari balik bajunya, dan dengan cepat menggigit tali yang tergantung pada benda itu.
Detik berikutnya ia telah lemparkan benda itu ke arah Roro Centil sambil gulingkan tubuh menjauh...
Terdengarlah suara berdentum keras...
Tanah dan batu-batu berhamburan bercampur serpihan tubuh manusia yang hancur lumat menjadi serpihan-serpihan yang menyemburat ke udara...
Pada saat itu juga terdengar suara teriakan paderi Jayeng Rana yang memburu ke arah di mana terjadi ledakan dahsyat itu, dan berucap;
"Omiitohud...!". Dan dari arah lain juga berkelebat sesosok tubuh yang keluar dari tempat persembunyiannya, dan berdiri terpaku memandang ke tempat ledakan dahsyat itu. Debu mengepul membumbung ke udara, sementara di dekat lubang yang hitam bekas terjadinya ledakan tampak serpihan-serpihan serta potongan tubuh manusia yang telah hancur, berserakan... bercampur dengan cairan-cairan darah yang sudah menghitam. Paderi Jayeng Rana terpaku memandang apa yang terlihat di depan matanya. Pandangan matanya adalah pandangan yang hampa. Sementara Gurhan Singh yang berada tidak jauh dari ledakan itu tampak perlahan-lahan bangkit dengan terhuyung-huyung mendekati paderi Jayeng Rana yang segera memburunya untuk memeluknya. Tampak paderi yang telah berusia lanjut itu linangkan air mata seraya berucap;
"Gurnam... kau selamat...? Omiitohud... Syukurlah."
Dan pandangan paderi tua itu kembali pada bekas ledakan yang asap hitamnya mulai menipis, diikuti oleh Gurhan Singh yang melihat semua yang terlihat di hadapannya itu, terasa bagi bayangan fatamorgana yang menghunjam ke ulu hatinya.
Mengapa ini harus terjadi...? Mengapa...
Mengapa?!...
Pekik hatinya.
Tiba-tiba laki-laki setia yang perkasa inipun titikkan air mata.
Sekonyong-konyong hatinya menjerit;
"T i d a a a a a a a a a k...!". Entah mengapa ia merasakan adanya satu ketidakadilan yang terasa menghimpit dada... ia merasa takdir itu bukanlah suatu keharusan... Haruslah...?! Tapi akhirnya ia sadar. Inilah kehidupan. Inilah alam Fana...! Wajahnya pun tertunduk... Hatinya kembali cair. Dan gemuruh yang membludak dalam dadanya pun sirna. Batin bersihnya pun membisik...
"Tuhan berkuasa atas segalanya...!". Senyap yang mencekam itu berlangsung beberapa saat...... ketika tiba-tiba satu suara merdu menyibak kesenyapan yang mencekam.
"Kakek paderi, paman Gurnam Singh... janganlah kalian khawatirkan diriku. Aku tak apa-apa...!". Terkejut bukan main kedua orang ini ketika melihat si Pendekar Wanita Pantai Selatan dengan tersenyum-senyum keluar dari balik sebongkah batu besar, dan dengan berjalan santai mendekati keduanya. Yang bagaikan melihat seorang Dewi yang baru turun dari langit, menatap tak berkedip dengan mulut ternganga keheranan. Bahkan sesosok tubuh yang tadi keluar dari balik semak itu pun tengah menatap padanya. Siapakah gerangan dia...? Gerakan sosok tubuh yang mendekati ke arah mereka bertiga itu membuat ketiganya berpaling... Kalau tadi yang terkejut adalah paderi Jayeng Rana dan Gurnam Singh ketika melihat kemunculan Roro Centil, tapi kini Roro Centil lah yang terkejut melihat kemunculan sosok tubuh itu, yang tak lain adalah si laki-laki berpakaian mewah yang berpenyakit gagap itu. Tentu saja Roro tak mengetahui akan penyakitnya. Yang ia ketahui adalah laki-laki itu suami si Ular Beracun yang telah tewas termakan oleh senjatanya sendiri... Kiranya sewaktu Roro Centil menengok ke belakang untuk melihat siapa orang yang di belakangnya ... Ia telah waspada akan gerak-gerik si Ular beracun yang kata-kata dan penjelasannya jelas ngawur. Namun ia pura-pura tak begitu memperhatikan. Begitulah... ketika si Ular Beracun melempar granat tangannya ia sudah waspada. Ketika terasa sesuatu bergerak melayang ke arahnya, dengan gerakkan lengan ke belakang ia sudah menghantam balik benda itu dengan angin pukulannya. Dan tentu saja sebelum si Ular beracun sempat jauh bergulingan untuk menghindari ledakan, benda itu telah lebih dahulu mengenai tubuhnya... dan meledak. Sedang Roro Centil begitu habis menghantam balik benda pembawa maut itu telah berkelebat cepat ke balik sebuah batu besar. Karena begitu cepatnya... sampai-sampai paderi Jayeng Rana yang melihat dari kejauhan, juga Gurnam Singh, tak dapat melihat gerakan tubuhnya. Karena bersamaan dengan terjadinya ledakan dahsyat itu. Adapun si laki-laki bangsawan itu ternyata hanya berpura-pura saja tertawa sampai terpingkal-pingkal, yang disangka Roro adalah terkena totokan orang. Padahal dengan tertawa sedemikian gelinya itu adalah untuk menyalurkan tenaga dalam, untuk mencegah menjalarnya racun pada kedua tangannya, Akibat benturan keras dengan lengan si Ular Beracun yang di papaknya di saat menyelamatkan nyawa Gurnam Singh. Adapun di saat terjadi ledakan dahsyat itu, tentu saja sebelumnya ia sudah mengetahui karena membaui asap mesiu... Segera ia berkelebat ke semak-semak bersamaan dengan berkelebatnya tubuh Roro ke balik batu. Hingga keduanya sama-sama tak melihat gerakan orang karena tengah berupaya menyelamatkan nyawa masing-masing pada detik yang kritis itu... Penjelasan dari si laki-laki bangsawan itu diungkapkan dalam perjalanan meninggalkan lereng gunung Wilis. Tampak keduanya dengan mempergunakan ilmu lari cepat, bercakap-cakap sepanjang jalan yang dilaluinya. Tentu saja yang bertindak sebagai penunjuk jalan adalah si laki-laki bangsawan itu, karena entah mengapa Roro agak simpati pada laki-laki yang masih boleh disebut pemuda itu, karena usianya baru sekitar dua puluh limaan tahun. Dibanding dengan Roro Centil hanya berbeda atau berselisih sekitar tujuh-delapan tahun saja... Roro yang memang ingin menambah pengalamannya, makanya ketika si laki-laki itu mengajaknya pergi ke suatu tempat, ia tak menolaknya. Ternyata laki-laki bangsawan itu bernama Joko Sangit. Sebuah nama yang aneh... Pikir Roro. Karena nama itu kalau diterjemahkan berarti Pemuda Bau. Joko adalah jejaka atau pemuda; sedang sangit artinya gosong atau hangus. Jadi namanya mengartikan; seorang pemuda atau jejaka yang sudah hangus. Roro adalah Roro yang selama ia masih penasaran, ia tak akan berhenti menyelidiki. Tentu saja ia ingin mengetahui riwayat dan asal-usul si Joko Sangit, yang telah menempur istrinya sendiri yaitu si Ular Beracun, dengan menyelamatkan nyawa Gurnam Singh, si pembantu paderi Jayeng Rana yang setia itu. Bahkan kematian istrinya yang tragis itu membuat ia senang setengah mati. Melihat orang mempunyai ilmu aneh, yaitu mengusir racun dengan suara tertawa agar racun tak menjalar ke tempat yang berbahaya Roro memikir untuk mengenalnya lebih dekat. Juga untuk menambah pengalamannya di dunia persilatan. Keanehan-keanehan telah banyak ia alami dengan mengenal gurunya yang juga aneh luar biasa. Lalu tokoh hitam si Dewa Tengkorak, yang wataknya pun aneh. Kini ia dapat berkenalan dengan seorang yang menamakan dirinya Joko Sangit, yang menurut pengamatannya juga seorang yang mempunyai keanehan...
"Ilmu lari cepatmu hebat juga... Til!"
Bertanya Joko Sangit sambil mengimbangi kecepatan lari Roro Centil.
"Hus!? Panggil namaku Roro saja...! Aku tak biasa dipanggil orang dengan sebutan demikian..."
Berkata Roro dengan kerutkan alisnya.
"Oh, begitu...... Kalau aku sih sebenarnya cari panggilan yang gampang saja... Kalau kau senang dipanggil Roro, baiklah aku akan memanggilmu Roro ...
"Masih jauhkah perjalanan kita...?"
Bertanya Roro, menyambung pembicaraan Joko Sangit.
"Rasanya tidak...!"
Menyahut Joko Sangit.
"Apakah sekarang ini kita sedang menuju ke Tuban?"
Tanya Roro lagi.
"Oh, tidak... aku belum ingin kembali ke sana. Nantilah, pasti kau akan kuajak ke Tuban setelah selesai urusanku ..."
Sahut Joko Sangit berikan penjelasan.
Selesai berkata, Joko sangit tambah kecepatan larinya.
Tentu saja Roro segera berkelebat menyusul.
Dan bayangan tubuh kedua orang muda-mudi itu melesat cepat bagai anak-anak lepas dari busurnya.
Hingga dalam waktu setengah hari, sejak keberangkatannya pada pagi hari dari biara Welas Asih di lereng Gunung Wilis; keduanya telah tiba di dataran yang berbukit-bukit...
Beberapa saat kemudian Joko Sangit menghentikan larinya seraya berteriak;
"Stop! Kita berhenti di sini...!". Segera Roro pun menghentikan larinya. Setelah teliti daerah sekitarnya, tampak Joko Singit mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Yang ternyata adalah selembar kulit tipis. Tersentak hati Roro, ketika melihat benda yang tengah diteliti oleh Joko Sangit adalah selembar peta, yang mirip dengan peta si Ular Beracun. Yaitu peta harta karun milik si Setan Arak. Roro tak banyak bertanya, cuma berfikir akan satu keanehan. Bukankah peta di tangan si Ular Beracun itu telah turut hancur berikut tubuh wanita itu...? Pikirnya.
"Inilah pegunungan Kendeng...!"
Berkata Joko Sangit. Dan lanjutnya;
"Kalau aku yang lebih dulu menemukan harta Karun si Setan Arak itu, sudah pasti kaupun akan kebagian, Roro... Ha ha ha.
"Mari ikuti aku!"
Lanjutnya lagi.
Agaknya ia telah dapat mengetahui tanda-tanda pada peta itu.
Berkelebat tubuh Joko Sangit diikuti Roro yang bagaikan bayangannya mengintil terus di belakang Joko Sangit.
Setelah mendaki, menurun, membelok ke kanan dan ke kiri serta seterusnya...
Tiba-tiba Joko Sangit angkat lengannya untuk berhenti.
Di bawah sana tampak ada satu dataran yang curam...
di bawah lereng-lereng batu bukit yang terjal.
Untuk menuruni bukit terjal itu kalau tidak orang yang berkepandaian cukup tinggi, akanlah kesulitan untuk mencapai ke bawah.
Mengerti Joko Sangit akan menuruni lembah yang curam itu, Roro Centil sudah berkata;
"Kita bersusah payah turun ke bawah, apakah sudah dipastikan harta itu masih ada...? Karena kulihat peta itu bukan hanya berada di tanganmu saja, tapi istrimu si Ular Beracun itu pun memilikinya. Namun tentu saja sudah hancur lumat!"
Joko Sangit hanya mendengus.
"Perduli...! Apakah peta harta itu ada seratus pun aku tetap akan menyelidiki...!"
Berkata ia dengan ketus.
Mengingat ia tak mungkin membatalkan niat karena sebentar lagi mereka dapat lihat buktinya, siapa yang lebih cepat dialah yang dapat.
Begitu pendapat Joko Sangit.
Dan segera ia bergerak untuk menuruni lereng terjal yang curam itu.
Sedikit tergelincir, akan tamatlah riwayatnya sebagai manusia, karena di bawah sana menunggu batu-batu lancip yang bisa menembus tubuh mereka ...
Namun bagi kedua orang muda yang berkepandaian tinggi itu tidak berarti apa-apa.
Karena dalam beberapa saat saja keduanya telah tiba dengan selamat sampai di bawah sana ...
Namun alangkah terkejutnya Roro Centil maupun Joko Sangit mengetahui di bawah dataran yang diinjaknya, di sekitar tempat itu banyak bergelimpangan mayat-mayat....
Apakah yang telah terjadi...? Berfikir Roro.
Ia segera bertindak lebih ke dalam.
Di mana di sebelah dalam ada terdapat goa.
Di sini bangkai-bangkai manusia bercampur dengan bangkai srigala.
Yang terlihat berpuluh-puluh banyaknya.
Dalam keadaan terpukau itu tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh.
Yang membuatnya terkejut tentu saja karena sosok tubuh itu tak lain dari paderi Jayeng Rana.
Melengak seketika Roro maupun Joko Sangit.
Akhirnya sadarlah Joko Sangit, bahwa paderi Jayeng Rana ternyata berilmu tinggi.
Begitupun Roro Centil.
Karena iapun seperti tak menduga kalau ternyata paderi Jayeng Rana lebih maklum akan kelicikan orang yang menjadi tamunya.
Rahasia Tonga telah diketahui sang paderi Jayeng Rana dari Gurnam Singh.
Bahkan peta rahasia itu adalah akal licik yang sudah dipersiapkannya untuk membunuh para jago-jago Persilatan dengan menjerumuskannya ke dalam lembah yang akan membuat mereka tak dapat kembali pulang dengan masih bernyawa.
Sekejap ketiganya saling berpan-dang-pandangan...
Dan tiba-tiba Roro Centil berteriak sambil menyebut Guru pada kakek tua paderi Jayeng Rana ...
Dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
"Kakek paderi Jayeng Rana... Terimalah aku sebagai murid...!". Paderi Jayeng Rana tersenyum sendu ... sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang, seraya berkata;
"Omiitohud...! Siapa yang dapat menolak keberuntungan untuk dapat memariskan ilmunya pada seorang pendekar wanita yang berbudi dan cantik di depan mata... ?"
Dan paderi Jayeng Rana segera bimbing lengan kedua orang muda itu untuk dibawa melesat ke atas bukit, keluar dari lembah maut yang cuma menjadi kuburan bagi orang yang rakus dan tamak akan harta duniawi...
Betapapun harta dan benda tidaklah dapat membuat orang berbahagia, selama manusia belum terlepas dari hawa nafsu.
Hanya orang-orang yang berhasil mengendalikan hawa nafsunya sajalah yang akan merasakan kebahagiaan dalam keadaan bagaimanapun juga...
T A M A T Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Fujidenkikagawa
Pendekar Pulau Neraka Lambang Kematian Pendekar Bayangan Sukma Sumpit Nyai Loreng Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila