Ceritasilat Novel Online

Empat Setan Goa Mayat 1


Raja Petir Empat Setan Goa Mayat Bagian 1


EMPAT SETAN GOA MAYAT oleh Bondan Pramana Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit Bondan Pramana Serial Raja Petir Dalam episode 002 .

   Empat Setan Goa Mayat 128 hal ; 12 x 18 cm.
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Sinar matahari yang sejak tadi sempat membakar kulit, kini sedikit demi sedikit semakin berkurang senga-tannya.

   Peredaran matahari memang menandakan kalau yang terjadi di dunia ini tak selamanya mampu bertahan.

   Angin sore bertiup sepoi-sepoi membuat orang merasa ngantuk.

   Di bawah sorotan matahari yang mulai meredup itulah, dua sosok tubuh tengah jalan berdampingan.

   Yang seorang adalah pemuda tampan, dengan sorot mata tajam.

   Rambutnya ikal rapi, sangat serasi dengan pakaiannya yang berwama kuning keemasan.

   Pemuda itu tak lain adalah Jaka Sembada, yang berjuluk Raja Petir.

   Sedangkan yang berjalan di sisi kanan Jaka adalah seorang lelaki setengah baya.

   Pakaiannya serba putih, membungkus kulit tubuhnya yang mulai mengeriput.

   Jenggot yang sudah separuh memutih, memperlihatkan kewibawaannya.

   "Kau telah mengambil keputusan yang terbaik, Raja Petir. Paman kira, saat itu juga kau akan menghabisi setan gundul itu. Kemampuan ilmu silat Gandewa memang berkembang pesat. Entah berguru pada siapa lelaki licik itu. Namun, kenyataannya ilmu silat Gandewa tidak mampu menandingi kedigdayaanmu, Raja Petir,"

   Terala menolehkan kepala. Mata tuanya yang berbinar-binar, tak lekang menatap wajah Jaka yang memang tampan. Jaka menundukkan kepalanya se-saat, mendengar ucapan Terala. Sedangkan kulit wajahnya nampak bersemu merah.

   "Jangan panggil aku seperti itu, Paman. Terlalu berlebihan kedenga-rannya,"

   Tukas Jaka seraya mengangkat kepala, membalas tatapan Terala.

   "Kenapa?"

   Tanya Terala, bernada menyelidik.

   "Kau pantas menyandang julukan itu, karena ciri-ciri dan penampilanmu sudah teramat mendukung. Apalagi kedigdayaanmu yang tinggi cukup untuk menopang julukan itu."

   "Tapi, mungkin aku bukan apa-apa jika dibanding almarhum Raja Petir. Aku masih terlalu mentah pengalaman, Paman."

   Terala mengembangkan senyumnya mendengar kerendahan hati anak adik seperguruannya. Kelihatannya, Jaka memang mewarisi watak ayahnya.

   "Seiring perkembangan usiamu, maka pengalamanmu akan bertambah,"

   Tandas Terala sambil memegangi punggung Jaka.

   "O ya, Jaka. Paman jadi ingin tahu jalan cerita tentang jatuhnya warisan Raja Petir ke tanganmu. Paman benar-benar penasaran. Masalahnya, Selasih, orang yang memasukkan ibumu ke Perguruan Soka Merah, pernah bercerita pada Seleguri kalau dia tidak punya minat untuk mengangkat seorang murid pun. Dan sepertinya, dia mengikuti jejak ayahnya, yaitu Raja Petir terdahulu."

   Jaka Sembada mengembangkan se-nyumnya mendengar keinginan lelaki setengah baya yang berjalan di sampingnya.

   "Tentu,saja aku akan mence-ritakannya padamu, Paman Terala. Namun rasanya, kalau sekarang ini tidak mungkin."

   "Kenapa?"

   Terala melebarkan kelopak matanya.

   "Hari sudah semakin sore, Paman. Nampaknya tubuhku sudah lelah,"

   Kilah Jaka, halus.

   Terala melepaskan pegangannya pada punggung Jaka.

   Kemudian, tubuhnya yang terbungkus pakaian warna putih melesat lebih dulu.

   Diajaknya Jaka agar cepat-cepat beranjak kembali ke Perguruan Hijau Kemuning, dengan menggunakan ilmu meringankan rubuh.

   "Hip!"

   Jaka Sembada menggerakkan kaki-nya. Maka sebentar saja tubuhnya sudah berada di samping Terala yang tak mengurangi kecepatan larinya. *** "Orang-orang Kapak Terbang!"

   Terala menghentikan ayunan kaki-nya sesaat, begitu menyaksikan pemandangan di hadapannya.

   Meski dari jarak yang ridak kurang dari dua puluh lima langkah, Terala sudah dapat memastikan apa yang terjadi.

   Jaka Sembada juga turut menghen-tikan langkahnya, dan berdiri di samping Terala.

   "Mau apa mereka, Paman?"

   Tanya Jaka. Terala menggelengkan kepalanya, tanpa mengalihkan pandangan matanya yang lurus ke arah perkelahian Gumai Gumarang melawan tiga lelaki berpakaian ungu dan bersenjatakan kapak kecil.

   "Setahu Paman, Perguruan Hijau Kemuning tak pernah berurusan dengan orang-orang Kapak Terbang,"

   Sahut Terala, akhirnya.

   "Mungkin murid-muridmu, Paman. Roka, misalnya. Atau mungkin juga Seruni,"

   Duga Jaka.

   Terala tidak menimpali dugaan Jaka.

   Tubuhnya yang tiba-tiba mengejang, secepat kilat melesat ke arena pertempuran Gumai Gumarang melawan orang-orang Perguruan Kapak Terbang.

   Namun, kehadirannya di tengah-tengah pertempuran tidak langsung membuka serangan.

   "Tahan!"

   Bentak Terala keras.

   Tiga lelaki berpakaian ungu yang tengah bertarung seketika berlompatan ke belakang dua langkah.

   Begitu juga yang dilakukan Gumai Gumarang.

   Sedangkan dua orang murid Perguruan Hijau Kemuning sudah roboh di tanah.

   Mereka memang masih hidup, namun nasibnya mengkhawatirkan.

   Jelas, dalam pertarungan tadi, mereka terkena sasaran tiga orang berpakaian ungu.

   "Orang-orang Kapak Terbang! Apa urusan kalian hingga datang mengacau kediaman kami?!"

   Ucapan Terala sangat berwibawa, sehingga membuat wajah ketiga lelaki berpakaian ungu memerah.

   "Kedatangan kami ke sini untuk membalas kema tian murid kami!"

   Jawab salah seorang dari anggota Perguruan Kapak Terbang. Lelaki gagah yang memiliki suara mirip perempuan itu seketika berkacak pinggang.

   "Ya! Serahkan saja orangmu yang telah berani menghilangkan nyawa murid Perguruan Kapak Terbang. Atau, perguruan ini kuratakan dengan tanah!"

   Gertak lelaki berkumis melintang dengan rambut mirip rambut jagung.

   "Kisanak! Buka mata kalian lebar-lebar! Apa kalian tidak melihat kedua muridku yang tengah meregang nyawa itu? Sebentar lagi, kedua nyawa muridku akan melayat ke akhirat Dan itu berarti, tuntutanmu sudah lebih. Seharusnya aku yang marah, Kisanak!"

   "Tidak begitu hitungannya!"

   Selak salah seorang lelaki berpakaian ungu dan berperawakan sedang, namun nampak begitu kekar.

   "Muridmu yang bernama Roka telah menghina kebesaran Perguruan Kapak Terbang. Dan yang lebih kurang ajar lagi, muridmu itu telah berani menantang seisi Perguruan Kapak Terbang. Hal itu berarti dia sudah berani menantang junjungan kami, Rimpopokan!"

   "Roka?!"

   Terala mengucapkan nama itu dalam hati. Dia memang murid kesayangannya, tapi....

   "Akh!"

   Terala menepis bayang-bayang Roka yang telah tewas dengan keadaan tubuh yang mengerikan. Orang-orang Gandewa memang telah membunuhnya dengan menebas putus kedua kaki muridnya itu.

   "Serahkan cepat, Kisanak! Atau kuhancurkan sekarang juga perguruan ini!"

   Bentak lelaki berkumis melintang dan berambut kekuning-kuningan, kasar.

   "Dia tidak ada di sini!"

   Bergetar ucapan yang keluar melalui bibir Terala. Dia kelihatan geram melihat kekurangajaran ketiga lelaki berpakaian ungu itu.

   "Pembohong! Rasakan ini. Hiiaaat..!"

   Lelaki berpakaian ungu dan kumis melintang yang sebenarnya bemama Jumpawa itu segera melesat. Tenaganya digenjot kuat, dengan letak kaki lurus ke depan. Suara menderu seketika mengiringi tibanya serangan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

   "Uts!"

   Terala cepat-cepat menggeser kakinya sedikit sambil memiringkan badannya.

   Maka serangan Jumpawa hanya membentur tempat kosong, beberapa rambut meleset dari sasaran.

   Namun, Terala cukup memuji dalam hati gerakan lelaki berkumis melintang yang demikian cepat itu.

   Belum juga Terala menarik napas lega, tiba-tiba sambaran kaki lawan kembali datang mengancam begitu cepat Besss...! Tak ada kesempatan lagi bagi Terala untuk mengelak.

   Apalagi gerakan yang dilakukan Jumpawa begitu cepat.

   Maka dengan mengandalkan kepekaannya, tangan kirinya yang terkepal segera diangkat.

   Takkk! "Akh!"

   "Ugkh!"

   Terala terjajar dua langkah, manakala tangannya memapak tendangan Jumpawa yang cukup keras.

   Padahal, tenaga dalamnya hampir seluruhnya dikerahkan.

   Begitu halnya dengan Jumpawa.

   Hatinya terkejut menyaksikan kecepatan Terala menangkis serangannya.

   Dan yang lebih mengejutkan lagi, begitu merasakan tenaga dalam lawannya yang tidak jauh berbeda.

   Orang-orang dari Perguruan Kapak Terbang semakin merasa terhina oleh perlawanan Terala.

   Makanya, secara diam-diam lelaki berpakaian ungu berperawakan sedang yang bernama Gingsal menyibak bagian pakaiannya.

   Dari balik pakaiannya diraihnya benda berbentuk kapak berwarna merah seperti bara.

   Gingsal tidak langsung melepas senjata andalannya, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai kapak terbang.

   Sementara, setelah sekian lama Terala dan Jumpawa saling tatap untuk mengukur kekuatan masing-masing, mereka kembali melanjutkan pertarungan.

   Jumpawa lebih dulu maju dengan mengayun-ayunkan kapaknya yang berukuran sedang.

   Sedangkan Terala yang menyaksikan lawannya mengeluarkan senjata, tanpa sungkan-sungkan lagi segera meloloskan pedang dari warangkanya.

   "Haaa...!"

   "Hiyaaa...!"

   Trang! Trang...! Benturan-benturan senjata tak dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus mengalir begitu cepat. Sementara, peluh sudah hampir membasahi sekujur tubuh Terala dan Jumpawa.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Bret! "Ugkh!"

   Lelaki berpakaian ungu dan berkumis melintang itu terkejut melihat sambaran pedang lawan yang begitu cepat Dia hanya mampu menggeser tubuhnya sedikit ke belakang, namun tak urung pakaiannya sobek tersambar pedang Terala.

   "Kurang ajar!"

   Maki Jumpawa, geram.

   Jumpawa kembali ingin melancarkan serangan.

   Namun, seketika niatnya diurungkan manakala matanya sekelebatan menangkap sebuah benda kemerahan melesat begitu cepat ke arah Terala.

   Terala tidak menyadari adanya bahaya mengancam itu.

   Namun, Gumai Gumarang yang merupakan kakak seperguruannya sempat melihat benda yang melesat begitu cepatnya.

   Maka dia bermaksud ingin memapak serangan gelap itu.

   Tapi, seketika niatnya diurungkan.

   Sebab, Gumai Gumarang telah melihat sosok kuning keemasan melesat demikian cepat dan lebih dulu menghadang benda kemerahan yang tengah melayang di udara, mengancam kese-lamatan Terala.

   Tap! Sosok kuning keemasan berputaran dua kali di udara, setelah berhasil menangkap benda yang ternyata sebuah kapak berukuran kecil warna merah.

   Setelah menyelidiki benda yang berada di tangannya, lelaki berpakaian kuning keemasan yang ternyata Jaka segera menatap dua lelaki berpakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang.

   "Kisanak sekalian!"

   Menggeleger suara Jaka.

   "Apakah cara ini yang dilakukan orang rimba persilatan? Kalian licik! Apa tidak ada cara lain, selain membokong dengan benda beracun seperti ini?"

   Karmawa, lelaki berpakaian ungu yang suaranya mirip perempuan, maju dua langkah. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, lelaki itu berbicara.

   "Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa begitu lancang mencampuri urusan kami. Minggirlah. Jangan menyesal kalau kau mati muda!"

   Mendengar ucapan seperti itu, mata Jaka langsung berkilatan seperti menahan marah. Namun, sebentar kemudian matanya kembali seperti biasa, dengan seulas senyum teramat menawan.

   "Kisanak!"

   Seru Jaka mantap.

   "Yang kuketahui, urusan ini adalah urusan antara Perguruan Hijau Kemuning dengan Perguruan Kapak Terbang...."

   "Nah! Lalu, kenapa kau tidak cepat-cepat menyingkir, Anak Muda?!"

   Selak Gingsal.

   "Aku akan menyingkir, kalau kalian juga menyingkir dari sini,"

   Sahut Raja Petir alias Jaka Sembada, tenang.

   "Kurang ajar! Bunuh pemuda usilan itu!"

   Teriak Gingsal geram.

   "Hiyaaa...!"

   "Tunggu!"

   Jaka masih berusaha menahan, dan usahanya ternyata tidak sia-sia. Gingsal seketika menghentikan gerakannya. Tatapannya tertuju lurus ke wajah Jaka.

   "Aku tak segan-segan melenyapkan kalian semua jika tidak mau mendengar kata-kataku. Menyingkirlah!"

   "Setan belang! Siapa kau sebenarnya, Anak Muda Usilan? Apa kau memiliki nyawa rangkap, heh!"

   "Aku Jaka Sembada, dan Ketua Perguruan Hijau Kemuning ini adalah pamanku. Jadi, wajar kalau aku mengusir tamu kurang ajar seperti kalian!"

   "Sombong kau!"

   Gingsal seketika membuka jurus. Kakinya yang sejak tadi berdiri tegak langsung direndahkan, membentuk kuda-kuda kokoh.

   "Terimalah hadiah atas keku-rangajaranmu, Bocah! Hiyaaa...!"

   "Uts!"

   "Hiaaa...!"

   "Ups!"

   Lelaki berperawakan sedang itu geram menyaksikan serangan yang dilancarkannya secara beruntun berhasil dielakkan lawan demikian mudah. Bahkan si Raja Petir hanya menggeser sedikit bagian-bagian tubuhnya.

   "Adi Jumpawa! Adi Karmawa! Mari kita habisi saja bocah edan ini! Ayo!"

   Dua bayangan ungu seketika melesat cepat ke arah Jaka.

   Rata-rata, gerakan mereka begitu ringan.

   Jelas, dua lelaki yang dipanggil Jumpawa dan Karmawa memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

   Melihat orang-orang Kapak Terbang hendak main keroyok, semula Terala hendak membantu.

   Namun, niatnya diurungkan ketika yakin kalau Jaka Sembada akan mampu menghalau para pengeroyoknya.

   "Adi Terala, kenapa kita tidak membantunya?"

   Gumai Gumarang keheranan menyaksikan tingkah Terala.

   Mendapatkan teguran seperti itu, Terala menjadi tak enak hati.

   Apalagi urusan ini memang urusannya.

   Jadi, kenapa harus Jaka yang mengatasi orang-orang Kapak Terbang seorang diri? "Kita hadapi satu lawan satu, Kakang Gumai!"

   Setelah berkata demikian, tubuh Terala cepat melesat ke arah pertarungan.

   Begitu juga Gumai Gumarang.

   Gerakannya yang cukup cepat langsung ditujukan ke dada Jumpawa.

   Demikian pula Terala.

   Dia tanpa sungkan-sungkan lagi melancarkan serangan ke arah tubuh Karmawa.

   Sedangkan Jaka berhadapan dengan Gingsal yang merupakan orang tertua dari kelompok Kapak Terbang.

   Pertarungan satu lawan satu berjalan cukup seru.

   Pada jurus-jurus awal, orang-orang Kapak Terbang berhasil mengimbangi perlawanan Terala, Jaka, dan Gumai Gumarang.

   Akan tetapi memasuki jurus kedua belas, orang-orang berpakaian ungu itu mulai sedikit terdesak.

   Terutama lelaki berperawakan sedang dan kekar yang bertarung melawan Jaka.

   Padahal Raja Petir hanya mengeluarkan jurus-jurus ringan dari Eyang Legar (Baca serial Raja Petir dalam epipode "

   Pembalasan Berdarah").

   "Setan!"

   Maki Gingsal ketika sambaran tangan Jaka hampir saja mendarat di wajahnya.

   Gingsal segera membawa mundur tubuhnya sedikit.

   Pijakan kakinya yang tidak sempurna dicoba ditutupi dengan gerakan menyerang ke arah iga Jaka.

   Menyaksikan kesembronoan lawan, Raja Petir segera memiringkan tubuh ke kanan.

   Langsung dilepaskannya tendangan keras dengan kaki kanan terarah ke kaki kiri lawan.

   Plak! Bukkk...! "Akh..."

   Lelaki berperawakan sedang itu memekik tertahan. Tubuhnya yang begitu keras menghantam bumi, disaksikan Jaka dengan senyum sinis.

   "Bagaimana? Masih sanggup mela-wanku?"

   Tanya Jaka enteng.

   "Keparat!"

   Gingsal kembali bangkit. Sementara di tempat lain, Terala berhasil mendesak Karmawa.

   "Terimalah ini, Kisanak! Hiyaaa...!"

   Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu melancarkan tendangan keras ke arah dada Karmawa yang tengah mengatur letak berdirinya. Sepertinya tendangan cepat yang dilancarkan Terala tak mampu dielakkan Karmawa. Maka.... Degkh! "Ugkh!"

   Tubuh Karmawa terjajar tiga langkah ke belakang.

   Dadanya seketika terasa seperti melesak ke dalam.

   Darah nampak merembes dari sela-sela bibirnya.

   Lelaki itu segera memegangi dadanya yang terasa sesak dengan tangan kiri.

   Akan tetapi, siapa yang sangka kalau tangan lelaki itu begitu cepat meraih benda yang ada di balik pakaiannya.

   Dan begitu berada dalam genggaman, benda itu dengan cepat dilemparkan ke arah Terala yang belum siap.

   Singgg...! Suara mendesing nyaring mengi-ringi tibanya serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari anggota Perguruan Kapak Terbang itu.

   Terala terkejut menyaksikan benda berwarna kemerahan melesat cepat, dan tahu-tahu sudah mengancam dadanya.

   Semula Terala ingin menangkis serangan itu dengan pedangnya.

   Namun rasanya hal itu tidak mungkin.

   Maka secepat kilat letak tubuhnya dirubah.

   Namun...

   "Akh...!"

   Terala memekik tertahan.

   Sebilah kapak kecil berwarna kemerahan tetap saja menggores kulit tubuhnya.

   Sebetulnya luka yang diakibatkan serempetan kapak kecil tadi tidak terlalu dalam.

   Tetapi justru racun dari kapak itu yang bergerak cepat Maka, kini Terala merasakan tubuhnya demam dan matanya berkunang-kunang.

   Melihat keadaan Terala yang kurang menguntungkan, cepat-cepat Jaka menyudahi perlawanan lelaki bernama Gingsal.

   "Terimalah ini! Hiyaaa...!"

   Tuk! Tuk! "Akh!"

   Tubuh Gingsal seketika terjungkal ke tanah, dan tak mampu bergerak lagi akibat totokan yang dilancarkan Jaka. Selesai menyingkirkan lawannya, Raja Petir melesat cepat ke arah Terala.

   "Menyingkirlah, Paman,"

   Pinta Jaka.

   "Paman Gumai! Bawa Paman Terala ke dalam! Biar kuhadapi dua cecunguk ini."

   Mendengar seruan Jaka yang tidak main-main, Gumai Gumarang segera melesat menghampiri Terala.

   Dan dengan cepat pula dibopongnya tubuh lelaki setengah baya berpakaian putih yang terluka oleh kapak kecil beracun itu.

   Jumpawa, lelaki berkumis melintang yang memiliki rambut tipis seperti rambut jagung, merasa tak senang melihat Gumai melesat pergi.

   Lelaki berkumis melintang ini sangat penasaran, karena belum sempat mendaratkan sebuah pukulan pun pada lawannya.

   Rasa penasaran membuat Jumpawa mengambil keputusan untuk mencegah Gumai Gumarang masuk ke dalam.

   Namun sayang, gerakannya terhadang Jaka.

   "Hup! Akulah lawanmu, Kisanak,"

   Cegah Jaka dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Jumpawa seketika menahan langkahnya. Dia tak langsung menyerang, mengingat calon lawannya ini begitu mudah merobohkan Gingsal.

   "Sudah kukatakan, akulah lawanmu. Ayo maju. Kenapa diam seperti itu? Seranglah aku,"

   Jaka mencoba memanas-manasi. Jumpawa menatap wajah Jaka tajam-tajam. Begitu juga halnya dengan Karmawa.

   "Kau juga!"

   Tunjuk Jaka pada Karmawa.

   "Kenapa diam begitu? Ayo serang aku! Atau, nyali kalian sudah tidak ada lagi?"

   "Keparat! Sombong betul kau, Bocah!"

   Bentak Jumpawa, geram.

   Seiring bentakan Jumpawa, tiba-tiba berdesingan beberapa kapak kecil berwarna merah ke arah Jaka.

   Sing...

   sing...

   sing...! Menghadapi serangan lawan yang mengandalkan kecepatan serangan gelap, Jaka segera mengerahkan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.

   Kedua telapak tangannya yang terbuka, dibawa ke depan dada, lalu didorongkan ke muka.

   Maka seketika keluar angin keras dari telapak tangannya yang terbuka.

   Wusss....' Angin keras yang keluar dari telapak tangan Raja Petir itu kelihatan bergulung-gulung, layaknya sebuah putaran angin.

   Maka, dapat dipastikan ketiga benda yang melaju cepat ke arah Jaka terpapas gulungan angin itu.

   Trak! Trak! Trak! Seperti menyentuh benda keras, ketiga kapak kecil beracun itu berpentalan tak tentu arah.

   Salah satunya, malah hampir menyambar tubuh pemiliknya sendiri.

   "Hup!"

   Jumpawa segera saja membuang dirinya ke kanan untuk menghindari senjatanya sendiri.

   "Brengsek!"

   Hardik Jumpawa. Sungguh Jumpawa tidak percaya dengan kemampuan anak muda di hadapannya. Senjata rahasia andalah Perguruan Kapak Terbang begitu mudah dihalaunya! *** "Kakang Jumpawa! Ayo habisi saja nyawa anak muda sok jago ini!"

   Seru Karmawa, geram.

   Jumpawa segera memenuhi permintaan Karmawa.

   Langsung kapak berukuran sedang berwarna hitam miliknya dimainkan dengan memutar-mutar pergelangan tangannya.

   Begitu juga yang dilakukan Karmawa.

   Nampaknya, kedua lelaki berpakaian ungu itu hendak menyajikan jurus-jurus andalan.

   "Tunggu, Kisanak!"

   Cegah Jaka kemudian.

   "Sebenarnya, antara aku dan kalian tak pernah ada suatu urusan yang begitu berat. Kecerobohan kalian akan kumaafkan, sekiranya kalian mau. Dan aku akan membiarkan kalian pergi tanpa mengusik lagi. Atau..., kalian ingin agar aku yang meminta maaf atas kesalahan Roka yang telah tewas di tangan orang lain?"

   "Omong kosong!"

   Hardik Karmawa.

   "Aku sudah telanjur membenci kehadiran dan keusilanmu, Anak Muda! Kita harus melanjutkan pertarungan ini sampai salah satu di antara kita mati!"

   Timpal Jumpawa.

   Jaka Sembada mengembangkan senyumnya sekilas.

   Dari dalam, Gumai Gumarang keluar dengan tergesa-gesa.

   Dia bermaksud menyerang dua lelaki berpakaian ungu yang berada lima tombak kurang di hadapan Jaka.

   Namun, cepat-cepat tangan Raja Petir menahan langkah Gumai Gumarang.

   "Tahan, Paman,"

   Tukas Jaka. Gumai Gumarang mengurungkan mak-sudnya.

   "Bagaimana keadaan Paman Terala?"

   Tanya Jaka.

   "Dia harus bersemadi untuk menghilangkan sisa racun yang tersebar di pembuluh darah,"

   Jelas Gumai Gumarang.

   "Syukurlah,"

   Desah Jaka perlahan. Matanya yang tajam kemudian diarahkan pada dua lelaki berpakaian ungu di hadapannya.

   "Bagaimana, Kisanak? Apa kalian masih berselera melanjutkan pertarungan ini? Atau, kalian akan pergi secara damai, setelah aku, atas nama Perguruan Hijau Kemuning meminta maaf pada Perguruan Kapak Terbang?"

   "Tidak semudah itu, Anak Muda Sombong! Kita selesaikan dulu urusan ini,"

   Bantah Karmawa.

   "O, begitu,"

   Tekan Jaka.

   "Ku-harap, kalian tidak menunduhku kejam setelah sabuk ini melumat tubuh kalian. Bersiaplah!"

   Jaka perlahan meloloskan sabuk berwarna kuning keemasan yang melilit pinggangnya.

   Dari sabuk yang terlepas, nampak sinar kuning berkilauan berpendar-pendar.

   Kini sabuk itu telah tergenggam di tangan pemiliknya.

   Kedua lelaki berpakaian ungu itu seketika membeliakkan mata, menyaksikan pamor yang begitu dahsyat dari sabuk yang digenggam pemuda dihadapan mereka.

   Dengan perasaan ngeri, Jumpawa dan Karmawa mencoba melawan kemilau sinar yang keluar dari sabuk kuning warna keemasan milik Raja Petir.

   Namun, lain halnya dengan Gumai Gumarang.

   Keterkejutan yang melanda kedua lelaki berpakaian ungu itu memang juga hinggap pada dirinya.

   Pasalnya, dia seakan pernah melihat sabuk keemasan yang digunakan seorang tokoh berkepandaian sangat tinggi pada puluhan tahun yang lampau.

   Seorang tokoh yang malang-melintang di dunia persilatan, dan selalu berpihak pada kebenaran.

   Gumai Gumarang tidak berani melanjutkan dugaannya terhadap tokoh sakti yang pernah bertualang pada puluhan tahun silam.

   Matanya sibuk memperhatikan apa yang akan dilakukan pemuda berpakaian kuning keemasan di sampingnya.

   Belum lagi kedua lelaki ber-pakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang itu bertindak, Jaka telah memutar-mutar pergelangan tangannya.

   "Ini untuk perhatian kalian, Kisanak!"

   Slap! Glarrr! Slap! Glarrr...! Seleret sinar berwarna keperakan seperti petir keluar melalui ujung sabuk yang dikebutkan Raja Petir. Sambarannya bahkan mampu membuat dua batang pohon sebesar dua pelukan lelaki dewasa hangus terbakar, lalu tumbang.

   "Raja Petir?!"

   Dua lelaki berpakaian ungu dari Perguruan Kapak Terbang terhenyak menyaksikan apa yang telah diperagakan pemuda di hadapan mereka.

   Jumpawa dan Karmawa jadi teringat ucapan Ki Rimpopokan.

   Guru Besar Perguruan Kapak Terbang itu pernah menceritakan kalau puluhan tahun silam ada seorang tokoh sakti yang tak pernah, atau sangat sukar dikalahkan.

   Tokoh itu berjuluk Raja Petir! Menilik senjata dan pakaian pemuda yang baru saja menumbangkan dua batang pohon besar itu, jelas sama persis dengan apa yang pernah diceritakan Ki Rimpopokan.

   "Apakah anak muda itu pewaris ilmu Raja Petir?"

   Benak Jumpawa menyimpan pertanyaan yang sama persis dengan Gumai Gumarang.

   "Bukankah Raja Petir sudah wafat puluhan tahun lalu? Hm... kalau begitu, dia pasti pewaris ilmunya. Akan tetapi...."

   Gumai Gumarang masih menggantung pertanyaannya.

   Seingatnya, keturunan Raja Petir yang terakhir hanya mempunyai seorang anak perempuan.

   Dan konon menurut kabar, ilmu-ilmu yang dimiliki Raja Petir hanya bisa diwarisi sepenuhnya oleh seorang lelaki keturunannya.

   Sedangkan Jaka? "Apa tidak mungkin dia Raja Petir gadungan yang hanya ingin meniru atau mengambil alih kemasyhuran nama Raja Petir terdahulu?"

   Berbagai praduga berseliweran di benak Gumai Gumarang.

   Namun segera ditepisnya dugaan buruk akan diri Jaka yang disebut Terala sebagai kemenakannya.

   Keberanian Jumpawa dan Karmawa sedikit demi sedikit surut Apalagi dengan ancaman anak muda berpakaian kuning keemasan yang tidak main-main itu.

   "Bagaimana? Aku sudah sudi meminta maaf atas nama Perguruan Hijau Kemuning. Apakah Kisanak sudi meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning ini? Kalau kalian berkeberatan...."

   Belum selesai ucapan si Raja Petir, dua sosok berpakaian ungu itu telah berkelebat cepat menyambar tubuh rekannya yang sejak tadi tergeletak karena tertotok oleh Jaka.

   Sebentar kemudian, kedua sosok ungu dari Perguruan Kapak Terbang itu melesat pergi meninggalkan Jaka dan Gumai Gumarang.

   Mereka menatap kelakuan orang-orang Perguruan Kapak Terbang dengan senyum.

   Setelah sosok-sosok ungu betul-betul lenyap dari Perguruan Hijau Kemuning, Gumai Gumarang menatap lekat-lekat wajah Jaka yang membias kegembiraan.

   Gumai Gumarang terus menatapi wajah Raja Petir disertai perasaan kagum yang berbaur dengan tanda tanya.

   Namun, dirinya terhenyak kerika tanpa disadari Jaka menoleh ke arahnya.

   Gumai Gumarang merasa tertangkap basah atas perbuatannya.

   Rasanya, seluruh permukaan wajahnya memanas.

   Gumai Gumarang merasa risih atas perbuatannya tadi.

   Maka untuk menutupi kerisihannya, dia segera memegang bahu Jaka.

   "Mari masuk ke dalam, Jaka. Mudah-mudahan saja Terala sudah menyelesaikan semadinya,"

   Ajak Gumai Gumarang.

   Tentu saja Jaka tidak menolak ajakan itu.

   Apalagi tubuhnya terasa lerih.

   Makanya, kakinya segera melangkah seiring langkah kaki Gumai Gumarang.

   *** Terala mengakhiri semedinya se-telah dirasakan racun yang menyebar dipembuluh darahnya dirasakan sudah tidak ada lagi.

   Kelopak mata yang sejak tadi terpejam kini mulai membuka sedikit demi sedikit.

   Sementara seruni yang menunggu sejak tadi segera menghambur kearah orang tuanya.

   Dipeluknya erat-erat tubuh Terala penuh kasih.

   "Bersyukur ayah telah terhindar dari bahaya yang mengerikan". Desah seruni sambil duduk disisi kiri ayah kandungnya. Terala hanya tersenyum saja menyaksikan putri tunggalnya kesa-yangannya berlaku manja. Dialah pelipur lara Terala satu-satunya.

   "Disamping mengucap syukur pada Pencipta Jagat Semesta ini, kita harus berterima kasih kepada Jaka Sembada. Melalui perantaranya lah kita semua terhindar dari bencana. Juga, Perguruan Hijau Kemuning terhindar dari kehancuran."

   Tambah Terala. Mendengar penuturan ayahnya Seruni segera tersadar. Dia segera berhambur kearah Jaga Sembada yang ternyata sudah berkumpul di ruang Rahasia.

   "Maafkan aku Raja Petir, Aku tidak memperhatikan kehadiranmu."

   Seru Seruni sambil berlutut dihadapan Jaka yang merasa risih diperlakukan seperti itu.

   "Namaku Jaka, Seruni. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku,"

   Tukas Jaka sambil membawa bangkit tubuh Seruni.

   "Kakang Jaka,"

   Panggil Seruni.

   "Terima kasih sekali atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan kami."

   "Jangan sungkan seperti itu, Seruni. Sudah wajar setiap makhluk harus tolong-menolong, dan mengasihi. Bunga tanpa kumbang dan air, tidak akan ada apa-apanya. Bunga itu akan layu, lalu mati."

   Seruni terdiam mendengar ucapan bijak dari mulut lelaki tampan di hadapannya. Gadis itu hanya mampu menundukkan kepala saja. Seketika, suasana jadi hening karena belum ada orang yang membuka percakapan lagi.

   "Kau mungkin letih, Jaka,"

   Kata Terala memecah kebisuan Seruni dan Jaka. Si Raja Petir hanya tersenyum, dan menatap Terala.

   "Antar Jaka ke dalam, Seruni. Biar dia istirahat dulu,"

   Perintah Terala kemudian.

   Tanpa diperintah dua kali, Seruni bangkit sambil menggamit lengan Jaka.

   *** Fajar mulai menyingsing kerika Jaka terjaga dari tidurnya.

   Hawa dingin menyejukkan dada seketika dirasakan si Raja Petir yang kini duduk di pembaringan sambil menggerak-gerakkan badannya.

   Udara dingin yang sejuk itu masuk melalui celah jendela yang sekarang dihampiri Jaka.

   Pemuda berwajah tampan dan berambut ikal itu membuka jendela yang hanya diganjal bambu sebesar lengan bocah.

   Suara berderit terdengar seiring terkuaknya daun jendela ke kiri dan ke kanan.

   Angin pagi yang sejuk berebutan masuk, langsung menerpa tubuh Jaka.

   Kicau burung pun semakin terdengar merdu di telinga.

   Tok, tok, tok...! Tubuh Jaka berbalik, namun tidak segera membukakan pintu.

   Tok, tok, tok...! "Kang Jaka! Kakang sudah bangun?"

   Tanya Seruni perlahan. Dia yakin kalau pemuda itu sudah bangun.

   "Belum,"

   Jawab Jaka bergurau.

   "Ah! Kakang pasti masih mengantuk, ya? Kalau begitu, biarlah nanti akan kusampaikan pada ayah dan Paman Gumai,"

   Kata Seruni sambil membalikkan badan dan melangkah meninggalkan pintu kamar. Mendengar tapak kaki Seruni yang meninggalkan pintu kamamya, Jaka segera menghambur dan membuka pintu.

   "Katakan pada Paman, Seruni. Kakang menyusul nanti."

   Setelah berkata seperti itu, Jaka bergegas pergi. *** "Enak sekali pisang gorengnya, Paman. Pasti Seruni yang membuatnya,"

   Puji Jaka sambil mengunyah pisang goreng yang masih hangat.

   Jaka kini memang telah berada di pendopo Perguruan Hijau Kemuning.

   Dia duduk di kursi jati berukir, di sebelah Gumai Gumarang.

   Sementara tepat di depannya, duduk Terala bersama putrinya, Seruni.

   Mereka saat ini memang tengah berbincang-bincang, mengelilingi sebuah meja pualam.

   Terala mengembangkan senyumnya mendengar seloroh pemuda yang memiliki ilmu silat dan kesaktian sangat tinggi.

   Begitu juga Gumai Gumarang.

   "Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"

   Basa-basi Gumai Gumarang kemudian.

   "Nyenyak sekali, Paman. Mungkin karena tubuhku terlalu lelah,"

   Jawab Jaka. Senyum Terala semakin merekah.

   "O ya, Jaka. Menyambung pembi-caraan Paman yang kemarin...."

   "Mengenai pewaris Raja Petir itu, Paman?"

   Selak Jaka tanpa sungkan.

   Tawanya seketika lepas ringan.

   Gumai Gumarang yang duduk tak jauh dari Jaka ikut tertawa lepas, bahunya nampak berguncang-guncang seiring tawanya yang agak keras, namun pikiran Gumai Gumarang sesungguhnya tak lepas dari rasa keingintahuannya juga.

   Mengenai asal-usul Raja Petir.

   "Paman bangga memiliki kemenakan seperti kau, Jaka. Dan akan lebih bangga kalau kau sudi menceritakan asal-usulmu. Sehingga menjadi pewaris ilmu dan pusaka Raja Petir yang kesohor itu." 'Tentu saja, Paman,"

   Sahut Jaka. Sebentar dia meraih minuman, dan kemudian meneguknya. Selanjutnya, barulah dia membuka ceritanya.

   "Sejak peristiwa itu, aku memang diasuh seorang kakek yang kupanggil Eyang Legar."

   "Legar?"

   Tandas Gumai Gumarang.

   "Aneh?"

   Sekilas Jaka menatap perubahan air muka Gumai Gumarang.

   "Ada apa, Paman?"

   Tanya Jaka ingin tahu.

   "Apa Paman mengenai Eyang Legar?"

   "Hm.... Apa mungkin dia?"

   Desah Gumai Gumarang.

   "Tapi kalau Legar yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa, aku memang pernah mengenalnya. Bahkan sempat bertarung."

   "Betul sekali, Paman Gumai. yang membesarkan dan mendidikku selama hampir dua belas tahun adalah Eyang Legar yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa. Ah! Maafkan aku, Paman. Kalau boleh aku tahu, apa sebabnya Paman bertarung melawan si Hantu Pemburu Nyawa?"

   Gumai Gumarang nampaknya tidak keberatan mendengar permintaan Jaka.

   "Dia tokoh sesat, Jaka. Sepak terjangnya selalu berurusan dengan kekerasan, nyawa, dan perempuan...."

   Gumai Gumarang menghentikan ceritanya. Tatapan matanya beralih pada Terala yang mendengarkan dengan seksama.

   "Si Hantu Pemburu Nyawa dulu menginginkan orang yang kucintai dan kusayangi,"

   Lanjut Gumai Gumarang. Namun, sesungguhnya pikirannya menerawang .jauh ke masa lampau. Terutama saat dirinya bertarung dengan si Hantu Pemburu Nyawa, demi mempertahankan Ningrum.

   "Pasti kau mempertahankannya, Paman?"

   Selak Jaka, mengusir keter-pakuan Gumai Gumarang.

   "Oh! Tentu..., tentu. Tentu saja aku mempertahankannya. Malahan, aku mengajaknya bertarung...."

   "Hasil akhirnya bagaimana, Paman?"

   Selak Seruni, tiba-tiba. Rupanya dia ingin tahu juga kelanjutan cerita yang memang selama ini disembunyikan Gumai Gumarang.

   "Paman kalah, Seruni. Kepandaian si Hantu Pemburu Nyawa memang di atas kemampuan paman. Tapi untungnya, pada saat-saat gawat datang pertolongan yang tidak kuduga sama sekali. Dua bayangan putih tiba-tiba berkelebat cepat menyambar tubuhku dan Ningrum. Mereka membawa kami ke tempat sepi, yang sepertinya belum pernah dijamah orang. Anehnya, penolong gelap itu tak mau menampakkan din sampai paman dan Ningrum memutuskan tinggal sementara di tempat itu."

   "Bagaimana dengan Eyang Legar yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa itu? Apakah dia tidak mencarimu?"

   "Aku rasa, si Hantu Pemburu Nyawa terus mencariku dan Ningrum. Namun belakangan, setelah paman keluar dari persembunyian, terdengar selentingan kabar kalau si Hantu Pemburu Nyawa mengasingkan diri. Entah alasan apa yang membuatnya berubah begitu."

   "Penyebabnya adalah seorang perempuan bernama Selasih, Paman Gumai,"

   Celetuk Jaka.

   "Selasih?"

   Kali ini Terala yang membeliakkan mata.

   "Kalau aku tidak salah, bukankah dia yang mengantarkan Purwakanti, ibu kandungmu itu, menjadi murid Perguruan Soka Merah."

   "Dugaan Paman Terala mungkin tak salah. Namun yang jelas, si Hantu Pemburu Nyawa mengasingkan diri bukan dikarenakan kalah dalam mengadu ilmu silat, tapi karena hal lain,"

   Tambah Jaka.

   "Hal apakah itu, Kakang Jaka?"

   Seruni kembali tak mampu menahan keingin tahuannya.

   "Asmara."

   "Asmara?"

   Ucapan yang keluar seperti desahan itu terdengar lewat bibir Seruni, Terala, dan Gumai Gumarang.

   "Persoalan hati memang sukar sekali ditebak, Seruni. Seorang seperti si Hantu Pemburu Nyawa yang memiliki hati keras dan kejam luar biasa, harus mengaku kalah oleh segurat hati yang terpanah racun asmara. Apalagi waktu itu, Selasih bersedia menerima keadaan si Hantu Pemburu Nyawa dengan mengatakan kalau pada dasarnya manusia itu baik. Selasih minta agar si Hantu Pemburu Nyawa membuang semua kebiasaan dan sifat-sifat buruknya."

   "Si Hantu Pemburu Nyawa meme-nuhinya?"

   Selak Terala.

   "Betul, Paman. Eyang Legar memang menyanggupi permintaan Nini Selasih. Namun, sayangnya hubungan mereka tak berlanjut indah. Orang-orang rimba persilatan dari golongan putih, yang kehidupan sehari-harinya dekat dengan Nini Selasih, tidak merestui hubungan itu,"

   Tutur Jaka. Jaka menghentikan ceritanya sejenak. Dipandanginya satu persatu wajah-wajah di dekatnya. Tampaknya mereka mengharapkan agar Jaka bercerita kembali.

   "Mendapatkan kenyataan seperti ini, Nini Selasih tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan si Hantu Pemburu Nyawa pun demikian adanya. Tidak mungkin kehendaknya dipaksakan, kalau pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan. Khususnya, antara Selasih dengan orang-orang terdekatnya. Tindakan terbaik akhirnya didapat si Hantu Pemburu Nyawa. Karena telah berjanji pada Nini Selasih untuk meninggalkan kebiasaan dan sifat buruknya, akhirnya diputus-kannya untuk mengasingkan diri. Ditinggalkannya keramaian rimba persilatan yang tak pernah ada habisnya."

   Terala, Gumai Gumarang, dan Seruni mengangguk-anggukkan kepala. Kelihatannya mereka mempercayai cerita yang disampaikan Jaka barusan.

   "O ya, Paman Gumai,"

   Mata Jaka menatap wajah Gumai Gumarang lekat-lekat. Gumai Gumarang membalas tatapan mata Jaka, dengan benak dipenuhi keheranan.

   "Izinkan aku mewakili Eyang Legar untuk menyampaikan kata maaf pada Paman. Eyang Legar telah benar-benar insaf atas apa yang pernah dilakukannya. Juga, terhadap diri Paman Gumai beserta Bibi Ningrum. Paman bersedia memaafkannya?"

   Gumai Gumarang tidak segera menyahuti permintaan Jaka.

   Tatapan matanya yang semula tertuju pada wajah tampan si Raja Petir, kini beralih menatap wajah Terala.

   Seolah-olah, dia meminta persetujuan.

   Baru setelah Terala tersenyum, Gumai Gumarang kemudian menganggukkan kepalanya.

   "Lanjutkan kisahmu tentang dia, dan keberadaanmu menjadi pewaris Raja Petir,"

   Pinta Gumai Gumarang perlahan. Jaka Sembada menarik napas lega.

   "Selama tinggal bersama Eyang Legar di puncak Gunung Kalaban, aku ditempa ilmu silat dan kesaktian. Aku senang sekali, karena dapat menekuni sungguh-sungguh apa yang diberikan Eyang Legar. Hingga suatu ketika aku bertanya pada Eyang Legar, apakah sudah cukup ilmu yang kumiliki? Eyang Legar menjawab, belum."

   Jaka berhenti sejenak. Dia berusaha mengingat-ingat kenangan belasan tahun yang lalu, saat-saat bersama Eyang Legar. Pemuda itu berusaha menjalin peristiwa demi peristiwa yang bisa mengungkap lebih jelas lagi latar belakangnya.

   "Mendapatkan jawaban yang seperti itu, tentu saja hatiku tidak puas. Maka pada Eyang Legar aku meminta diajarkan ihnu silat dan kesaktian yang lain. Tapi, beliau menolak. Alasannya ilmu yang dimiliki adalah Ilmu golongan hitam. Aku kecewa, Paman,"

   Jaka menghentikan ceritanya. Dia lalu meraih minumannya dan menghirupnya beberapa tegiik.

   "Kekecewaanku terhapus ketika Eyang Legar menjanjikan akan membawaku pada seseorang yang pantas menurunkan ilmunya. Dialah Nini Selasih, wanita yang dicintai Eyang Legar seumur hidup. Melalui Eyang Legar dan Nini Selasih, jati diriku tersingkap. Aku rasa, Paman Terala masih mengingat ceritaku beberapa hari yang lalu."

   Terala menganggukkan kepala.

   "Sepeninggal Eyang Legar, aku diasuh Nini Selasih. Dialah orang-tuaku, sekaligus guru yang bijaksana. Aku ditempa oleh ilmu silat dan kesaktian penuh kesungguhan. Hingga, suatu saat Nini Selasih menemukan kepastian diri bahwa akulah bocah yang selama bertahun-tahun ditunggu-tunggu untuk dapat mewarisi pusaka almarhum Raja Petir. Begitu saat yang telah diperhitungkan tiba, Nini Selasih membawaku ke suatu tempat yang tak seorang pun tahu. Di sanalah Pusaka Raja Petir kuterima."

   Jaka menunjukkan sabuk kuning keemasan dan dua buah bambu kuning sepanjang jengkal bocah berumur tiga tahun yang terletak di pergelangan tangan kirinya.

   "Sewindu lamanya aku mempelajari peninggalan almarhum Raja Petir. Hingga suatu saat Nini Selasih memutuskan agar aku mengembara, mencari pengalaman dan mengusir setiap kebatilan dan keangkaramurkaan. Dan awalnya, aku merasa canggung ketika orang-orang persilatan mengenaliku sebagai sosok Raja Petir. Sampai saat ini pun, perasaan itu masih tetap ada. Dan aku tetap berusaha membiasakan diri. Biar bagaimanapun juga, mau tak mau aku harus menerima julukan itu,"

   Jaka mengakhiri ceritanya. Seruni menarik napas panjang seraya menatap wajah ayahnya.

   "Ayah, bagaimana kalau aku dan Kakang Jaka berjalan-jalan keluar untuk sekadar menghirup udara segar?"

   Pinta Seruni di kiar dugaan Jaka. Hal ini dilakukan Seruni agar Jaka tidak terus-menerus dikejar pertanyaan dari ayahnya maupun pamannya. Mendengar permintaan ayahnya, Terala melepas seulas senyum sebagai tanda persetujuan.

   "Permisi, Paman Terala, Paman Gumai,"

   Pamit Jaka ketika Seruni menarik-narik tangannya.

   Hawa panas yang belum begitu menyengat seketika menyergap tubuh Jaka dan Seruni yang baru saja keluar dari pendopo Perguruan Hijau Kemuning.

   Dan buat si Raja Petir, seolah-olah kehangatan sinar mentari begitu memberi kebahagiaan hari ini.

   Demikian pula Seruni.

   Gadis berpakaian hijau daun itu menampakkan wajah yang demikian cerah.

   "Kau hebat, Kakang,"

   Puji Seruni seiring langkahnya yang ringan.

   Jaka tersenyum tipis mendengar pujian gadis cantik yang melangkah di sebelahnya.

   Sama sekali tak ada kebanggaan di hati Jaka.

   Dia memang tak ingin sombong, kecuali di hadapan musuh-musuhnya.

   Namun kesombongannya itu sebenarnya hanya sekadar untuk meruntuhkan nyali lawannya.

   Karena, Jaka ber-pikir, lebih baik menjatuhkan nyali lawannya daripada menjatuhkan tangan kejam.

   Setidak-tidaknya, dia bisa mengurangi dendam tokoh-tokoh hitam lainnya.

   "Hebat apanya, Seruni?"

   "Segalanya, Kakang. Ya ilmunya, ya...."

   "Pada dasarnya, manusia itu lemah, Seruni. Manusia tidak memiliki daya apa-apa tanpa sang Pencipta Jagat Semesta ini. Sepandai-pandainya manusia, pasti ada yang lebih pandai lagi. Demikian seterusnya, hingga akhirnya hanya Dia-lah yang terpandai."

   Seruni terdiam. Diserapnya kata-kata Jaka yang penuh makna itu. Disadari pula kalau ada kebenaran pada kata-kata Jaka.

   "Dan bagiku, sang Pencipta dan Pemelihara Alam Raya ini telah memilihku sebagai perantara untuk mengusir segala bentuk keangkara-murkaan dan kebatilan. Yang Maha Kuasa telah memberi kekuatan pada diriku. Dan aku harus menempatkan kekuatan itu pada tempat yang benar."

   Seruni terpekur mendengar ucapan Jaka yang penuh kata-kata bijak.

   Tak terasa, langkah mereka telah jauh meninggalkan Perguruan Hijau Kemuning.

   Sementara tanpa disadari mereka, nampak sosok bayangan kemerahan tengah melesat cepat ke arah Utara.

   Entah apa yang sedang dikejar sosok itu.

   *** Sosok tubuh berpakaian merah itu tak mengurangi kecepatan larinya yang bagai tak menapak tanah.

   Dari pengerahan ilmu lari cepatnya yang cukup sempurna, jelas kalau sosok itu bukanlah orang sembarangan.

   Sosok berpakaian merah itu seketika mengurangi kecepatan larinya.

   Dari senjatanya yang berbentuk aneh berupa sepasang palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja, dapat dikenali kalau sosok berpakaian merah itu adalah Gantangga, orang keper-cayaan Ludah Setan.

   Gantangga seketika menghentikan larinya ketika di hadapannya menghadang semak belukar dan beberapa pohon berduri.

   Sebentar ditelitinya keadaan sekelilingnya.

   Ketika merasa yakin, Gantangga segera menyibak semak belukar dan pepohonan berduri.

   Setelah melewati semak belukar yang tidak begitu sulit, Gantangga kini berhadapan dengan dinding tanah merah setinggi lima belas tombak.

   Gantangga mencoba mengukur ketinggian dinding bertanah merah itu dengan tatapan matanya.

   Dan sekejapan kemudian....

   "Hip!"

   Gantangga menggenjot tubuhnya, lalu melejit ke atas. Dan setelah melakukan putaran dua kali, dia meluruk turun.

   "Hup!"

   Namun belum lagi Gantangga menarik napas lega, tiba-tiba.... Wusss! "Uts!"

   Gantangga terkesiap.

   Namun sebagai tokoh berilmu tinggi, dia tahu apa yang harus dilakukannya.

   Maka ketika dia sadar kalau seberkas benda hitam beriringan itu hendak menerjang tubuhnya, dia cepat-cepat melenting menghindarinya.

   Gantangga yakin betul kalau senjata rahasia yang berupa jarum-jarum beracun itu dilepaskan penghuni Goa Mayat dengan sengaja.

   "Hup!"

   Gantangga kembali mendaratkan tubuhnya.

   "Aku utusan Gandewa, Nyi!"

   Gantangga mengerahkan tenaga dalam pada teriakannya tadi. Maka suaranya terdengar menggema, memantul di antara dinding-dinding Goa Mayat. Namun, gema suara Gantangga seketika tertelan kekehan suara nenek-nenek.

   "He he he.... Lemparkan senjatamu ke atas kalau kau betul-betul utusan Ludah Setan!"

   Teriak perempuan tua itu, lantang. Gantangga segera meloloskan senjatanya, berupa palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja. Rantai itu membelit pinggangnya yang kokoh.

   "Akan kuserahkan senjataku padamu, Nyi,"

   Ujar Gantangga. Suara menderu seketika tercipta dengan berputar-putarnya senjata Gantangga. Wuuuk.... Wuuukkk! Singgg...! Klang! Senjata yang dilempar Gantangga persis jatuh di depan mulut Goa Mayat Seketika suara kekehan kembali terdengar.

   "He he he.... Kemarilah, Gantangga,"

   Ujar suara yang ternyata Nyi Regita. Gantangga kembali melejitkan tubuhnya ke udara, seraya melakukan gerak memutar dua kali. Gerakannya begitu ringan ketika mendarat manis di mulut Goa Mayat "Hup!"

   "He he he.... Kukira kau setan dari mana, sehingga berani menyatroni kediamanku. He he he.... Bawa kabar apa kau dari Gandewa?"

   Gantangga menjura, memberi hormat Kepalanya yang menunduk, kini sudah tegak kembali. Hanya saja, wajahnya kali ini agak pias.

   "Celaka, Nyi!"

   Agak bergetar suara Gantangga.

   "Celaka?"

   Dahi Nyi Regita yang memang sudah keriput tambah mengkerut.

   "He he he.... Siapa yang celaka, Gantangga?"

   "Dua hari lalu, junjunganku bertarung dengan Raja Petir, Nyi."

   "Raja Petir?"

   Selak seorang kakek berjubah warna biru langit yang tiba-tiba muncul, lalu berdiri di samping Nyi Regita. Dia memegang senjata berupa sending perak. Nyi Regita sering memanggilnya sebagai Ki Angkara.

   "Jangan mengigau, Gantangga! Aku tak suka dengan igauanmu yang tak masuk akal!"

   Bentak Ki Angkara yang juga berjuluk si Sending Setan.

   "Kau membual terlalu jauh, Gantangga. Hati-hati,"

   Rimpal Nyi Regita dengan suara yang tidak begitu keras. Gantangga kembali menjura penuh hormat. Dirasakannya lututnya seketika bergetar.

   "Aku tidak sedang mengigau, Ki. Dan juga tidak membual,"

   Bantah Gantangga agak takut-takut.

   "Bocah edan!"

   Maki Ki Angkara. Bahkan Ki Angkara juga bermaksud hendak menghajar lelaki berpakaian merah di hadapannya. Namun, gerakannya cepat dicegah Nyi Regita. Malah perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kembali terkekeh-kekeh.

   "He he he.... Lanjutkan saja ceritamu, Gantangga. Lupakan kekerasan aki peot itu. Asal kau tahu saja, sekarang ini dia lebih senang mengumbar kemarahannya."

   "Edan!"

   Maki Ki Angkara lagi. Nyi Regita mengembangkan senyum peotnya.

   "Lanjutkan ceritamu, Gantangga!"

   Pinta Nyi Regita kemudian.

   "Dia betul-betul persis Raja Petir, Nyi. Ciri-ciri senjata dan pakaiannya semakin memperkuat. Julukannya, yakni Raja Petir. Bahkan dia masih begitu muda!"

   "Murah sekali igauanmu, Gantangga!"

   Hardik Ki Angkara.

   "Raja Petir sudah mampus! Kau tahu itu."

   "Aku tidak mengigau, Ki. Malah aku pernah bertarung dengannya. Dia begitu digdaya. Ki Gandewa pun tak kuasa menghadapi Raja Petir. Bahkan hampir saja terjumput ajal. Untung Ki Gandewa mampu menangkis aji pamungkas milik Raja Petir dengan tangan kanannya. Tapi sayang, Ki Gandewa harus merelakan tangan kanannya yang putus."

   "Ha ha ha...!"

   Ki Angkara tertawa terbahak-bahak. Dadanya yang masih kelihatan berisi tampak berguncang-guncang hebat.

   "Utusan Gandewa betul-betul pembual tingkat rendahan. Ha ha ha.... Jangan coba-coba mengelabui aku, Bocah!"

   Nyi Regita mencoba menatap Ki Angkara sebagai tanda memperingatkan. Dan isyarat itu dapat ditangkap Ki Angkara, sehingga harus mengecilkan tawanya.

   "Nyi Regita,"

   Panggil Ki Angkara pada nenek berpakaian merah dengan untaian kalung emas berbentuk bulan sabit melingkari lehernya.

   "Apakah kau tidak mencium adanya bau kelicikan dari cerita utusan Ludah Setan itu?"

   "Maksudmu?"

   Nyi Regita menaikkan sedikit alisnya yang hitam tebal.

   "Kenapa kepekaanmu mulai luntur, Nyi. Apakah kau tidak dapat mencium maksud jelek pada cerita yang dibawa Gantangga? Hm.... Aku yakin, cerita itu hanyalah akal licik si Gundul Gandewa."

   "Jangan ngelantur bicaramu, Angkara,"

   Sental Nyi Regita memperingatkan dengan suara ringan. Nenek itu merasa tak enak hati pada utusan Gandewa.

   "Aku tidak melantur. Keyakinanku tak berubah bahwa cerita itu hanyalah akal licik Gandewa. Tidakkah kau pelajari sikapnya selama ini? Dia belakangan ini seperti hendak menjauhi kita, Nyi. Dengan cerita yang dibuat-buat itu, dia pasti ingin menyingkirkan kita dari peta kekuatan kaum hitam rimba persilatan. Dugaanku, Gandewa ingin mengadu domba kita pada tokoh yang memang telah diukur kesaktiannya. Karena merasa tidak sanggup, Gandewa menyodorkan kita sebagai umpan."

   Nyi Regita mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar penuturan si Sending Setan.

   Sementara, Gantangga yang menyaksikan kecurigaan si Seruling Setan hanya mampu menggeram dalam hati.

   Dia tidak mampu membantah kecurigaan Ki Angkara.

   Gantangga tahu benar tabiat lelaki tua berpakaian warna biru langit itu.

   Wataknya memang keras, dan pendapatnya tidak boleh ditentang oleh orang-orang yang berada di bawah kekuasannya.

   "Dugaanmu rasanya bisa diterima akal, Angkara,"

   Ujar Nyi Regita setengah bergumam.

   "Pikiranku tak sampai ke situ, karena aku beranggapan Gandewa bukannya menjauhi persatuan kita. Tapi, dia memiliki kesibukan lain. Hanya saja setelah mendengar penuturanmu...."

   Nyi Regita menggantung ucapannya. Dahinya nampak berkerut sebagai pertanda telah memikirkan persoalan yang perlu jalan keluar.

   "Bagaimana tanggapanmu atas kecurigaan Ki Angkara, Gantangga?"

   Nyi Regita melemparkan pertanyaan pada lelaki berpakaian merah yang tengah menundukkan kepala.

   Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Gantangga tergagap seketika.

   Dia tidak tahu harus menjawab apa.

   Gantangga benar-benar takut menyaksikan kemarahan Ki Angkara.

   Itulah sebabnya, sebelum menjawab pertanyaan Nyi Regita, wajahnya ditolehkan ke arah Ki Angkara.

   "Jangan takut, Gantangga. Ki Angkara tak akan marah karena aku hanya meminta kepastianmu,"

   Hibur Nyi Regita, seolah-olah tahu ketakutan Gantangga.

   "Aku... aku...."

   "Kenapa mesti gugup begitu, Gantangga?"

   "Aku... aku tak sependapat dengan dugaan Ki Angkara, Nyi."

   "Apa?!"

   Ki Angkara terkejut mendengar jawaban Gantangga yang di luar dugaan. Dia bangkit dari duduknya untuk kemudian....

   "Hiyaaa...!"

   Bug! "Akh!"

   Tubuh Gantangga kontan terjerembab terkena tendangan keras lelaki tua berpakaian biru langit. Padahal tendangan keras yang dilan-carkan si Seruling Setan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam.

   "Bangkit kau, Pembohong! Biar kulumat seka lian!"

   Hardik Ki Angkara sambil hendak mengayunkan pukulannya.

   "Tahan, Angkara!"

   Sentak Nyi Regita menahai luapan nafsu adik seperguruannya. Si Seruling Setan mengurungkan niatnya untul menghajar Gantangga kembali.

   "Kau akan malu sendiri nantinya jika kecurigaan mu ternyata salah,"

   Lanjut Nyi Regita dengan teguran halus.

   Ki Angkara mendengus kesal.

   Dita-tapnya wajah Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setan itu lekat-lekat Kalau saja perempuan tua itu bukan pim-pinannya, sudah dihancurkannya batok kepala lelaki yang bernama Gantangga itu sekarang juga.

   "Kurasa kecurigaanku tidak akan meleset, Nyi,"

   Kata Ki Angkara seiring seringainya.

   "Aku tidak membantah kecuri-gaanmu, Angkara. Namun kita harus membuktikannya terlebih dahulu,"

   Nyi Regita membawa duduk tubuhnya di atas sebongkah batu hitam.

   "Apakah kita harus pergi melihat Gandewa sekarang?"

   Tanya Ki Angkara.

   "Lebih cepat, lebih baik,"

   Tegas nenek berpakaian merah itu seraya menganggukkan kepala.

   "Apa ridak sebaiknya menunggu Jatianom dan Barrot?"

   "Kita pergi bukan untuk bertarung, Angkara. Mengapa mesti menunggu mereka?"

   "Baik,"

   Ki Angkara menyetujui.

   "Kau berangkatlah lebih dulu, Gantangga,"

   Perintah Nyi Regita.

   "Tak lama lagi aku akan datang menemui junjunganmu."

   Tanpa diperintah dua kali, Gantangga segera menggenjot tubuhnya.

   Lelaki berpakaian merah dan bersenjatakan sepasang palu bergerigi itu seketika melesat cepat Larinya yang seperti ridak menyentuh tanah, membawa dirinya hilang di kelebatan pepohonan.

   Dua bayangan merah dan biru.

   melesat bagai anak panah lepas dari busur.

   Ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang dimiliki kedua bayangan itu kelihatannya cukup tinggi.

   Sehingga, sukar diikuti tatapan mata biasa.

   Yang nampak hanya sekelebatan sinar biru dan merah, seperti saling kejar-mengejar.

   Kedua sosok itu tak lain adalah Nyi Regita.

   Perempuan berumur sekitar tujuh puluh tahun itu di kalangan rimba persilatan dikenal berjuluk Telapak Setan.

   Dialah orang pertama dari Empat Setan Goa Mayat! Sedangkan yang seorang lagi adalah lelaki tua berumur tujuh puluh lima tahun.

   Namanya Ki Angkara.

   Dia mengenakan pakaian warna biru langit Di kalangan rimba persilatan, dia berjuluk Sending Setan.

   Memang, senjatanya berupa seruling, terbuat dari logam perak.

   Kedua orang itu terus melesat bagai kilat.

   Maka tak heran kalau dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah tiba di sebuah rumah besar yang sekelilingnya berpagar kayu gelondong setinggi dua tombak.

   Beberapa orang berpakaian hitam bersenjata golok di pinggang segera menjura, memberi salam hormat atas kedatangan orang yang menjadi sekutu junjungannya.

   Mereka adalah penjaga pintu gerbang rumah besar itu.

   Tanpa berucap sepatah kata pun, Nyi Regita dan Ki Angkara melangkah melewati pintu utama kediaman Gandewa yang berjuluk Ludah Setan.

   Kehadiran mereka di ruang utama, disambut Majakot dan Gantangga dengan menjura penuh takzim.

   "Silakan Ki Angkara dan Nyi Regita masuk ke ruang khusus,"

   Ujar Majakot sambil merentangkan ta ngannya.

   Pintu ruangan yang terbuat dari kayu jati tebal seketika terbuka.

   Nyi Regita dan Ki Angkara segera memasuki ruangan khusus yang menebar aroma wangi cendana.

   Lalu dari ruangan itu, Nyi Regita dan Ki Angkara masih harus berbelok ke kanan untuk menemui Gandewa.

   Gandewa bangkit dari berbaringnya ketika sosok yang dikenal begitu akrab datang.

   "Ah! Untung kalian cepat-cepat datang,"

   Sambut Gandewa sambil merentangkan tangannya.

   Melihat keadaan Gandewa yang tanpa tangan kanan, Nyi Regita menoleh ke arah Ki Angkara sambil menebar seulas senyum mengejek.

   Sedangkan Ki Angkara tak berkata-kata.

   Namun dalam hati, Ki Angkara belum mau mengakui kekalahannya, kalau dugaannya terhadap Gandewa salah.

   "Tokoh mana yang sanggup membuatmu jadi seperti kucing sakit begini?"

   Tanya Nyi Regita agak sengit. Sesungguhnya dia tidak yakin kalau cerita yang dibawa Gantangga benar adanya. Gandewa tak segera menjawab. Kelihatannya, dia agak kikuk mendapatkan pertanyaan seperti itu.

   "Dia masih muda dan sangat sakti,"

   Keluh Gandewa akhirnya. Ucapan itu dikeluarkan agak periahan.

   "Aku tak percaya kalau kau yang tua bangka mampu ditundukkan begitu saja oleh anak bau kencur!"

   Selak Ki Angkara sambil meneliti tangan Gandewa yang tinggal sebelah.

   "Mulanya pikiranku seperti kau juga, Kakang Angkara. Tapi setelah kutelusuri kedigdayaan anak muda itu, baru aku yakin kalau tak bisa berbuat banyak. Seluruh ilmu dan ajian yang kulancarkan mampu dibendungnya dengan aji 'Kukuh Karang',"

   Jelas Gandewa.

   "Apa?! Aji 'Kukuh Karang'? Lalu, kemampuan apa lagi yang dipertontonkan ke hadapanmu?"

   Selidik Nyi Regita terkejut.

   Sepengetahuannya, aji 'Kukuh Karang' hanya dimiliki Raja Petir.

   Apa mungkin anak muda yang telah mempecundangi Gandewa adalah pewaris Raja Petir? "Banyak jurus yang diperagakan untuk mencegah dan mendesakku, Nyi Regita.

   Di antaranya, anak muda itu memainkan sabuk kuningnya yang berkilauan dalam jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga' dan 'Petir Membelah Malam',"

   Jelas Gandewa. Tersedak kerongkongan Nyi Regita mendengar penuturan Gandewa yang cukup jelas. Dari ajian dan jurus-jurus yang diucapkannya, dapat tersirat gambaran kalau anak muda itu betul-betul pewaris almarhum Raja Petir.

   "Raja Petir?!"

   Gumam Ki Angkara.

   "Kita harus menghadapinya, Nyi."

   "Kita belum tahu, sampai sejauh mana kedigdayaan anak muda itu, Angkara. Meski kenyataannya Gandewa mampu dikalahkannya, namun kita tetap berharap akan ketidak sempuranaan ilmu yang diwarisi dari almarhum Raja Petir,"

   Tukas Nyi Regita. Pikiran Nyi Regita menerawang ke belahan masa silam, saat Raja Petir pemah malang-melintang di rimba persilatan. Tokoh itu memang sempat menjadi momok di kalangan tokoh persilatan golongan hitam.

   "Aku yakin, kita berempat mampu menyingkirkannya, Nyi,"

   Tekad Ki Angkara.

   "Mudah-mudahan begitu, Angkara,"

   Balas Nyi Regita.

   "Bagaimana denganmu, Gandewa?"

   "Aku juga berharap seperti itu,"

   Sambut Gandewa sedikit geram. Apalagi ketika matanya membentur tangan kanannya yang sudah hilang.

   "Bersama-sama kita singkirkan Raja Petir yang nyata-nyatanya anak Sempani!"

   Suara Gandewa demikian keras.

   Saat itu, seorang perempuan se-tengah baya berpakaian merah seketika menghentikan langkahnya persis di kelokan ruangan, tepat di dekat kamar Gandewa.

   Perempuan itu terkejut mendengar nama Sempani disebut-sebut Gandewa dari dalam kamar.

   Perempuan itu bernama Purwakanti, istri Sempani.

   Sejenak niatnya untuk menyediakan minuman bagi tamu-tamu Gandewa, diurungkan.

   Bahkan kini Purwakanti mempertajam pendengarannya.

   "Sekarang, dialah musuh besar kita, Kakang Angkara. Kita tidak bisa menganggap remeh Raja Petir. Apalagi kalau anak Sempani itu mampu mewarisi ilmu-ilmu Raja Petir dengan sempurna. Bisa-bisa bukan hal mustahil kita dapat ditaklukkannya. Menurut kalian, kapan waktu yang tepat untuk kita bertarung dengannya?"

   Kata Gandewa.

   "Menurutku, akan lebih baik kita menunggu kedatangan Jatianom dan Barrot yang sedang mengurusi masalah mereka,"

   Jawab Nyi Regita.

   "Urusan?"

   Desis Gandewa.

   "Punya urusan apa Jatianom dan Barrot? Dan, dengan siapa?"

   "Perguruan Cermin Sakti."

   "Cermin Sakti? Oh! Ada urusan apa mereka dengan Ki Sobarang?"

   "Urusan lama, Gandewa,"

   Jelas Ki Angkara.

   "Urusan lama?"

   "Kau tak perhatikan wajah Barrot yang sedemikian buruk, Gandewa?"

   "Ya! Aku tahu itu,"

   Sahut Gandewa.

   "Luka-luka itu adalah bekas sayatan senjata Sobarang, dan hanya bisa disembuhkan jika cermin ajaib yang ada di Perguruan Cermin Sakti dapat dikuasai Barrot"

   Gandewa menganggukkan kepala mendengar penjelasan Nyi Regita.

   "Kenapa kalian tidak membantu Barrot agar urusannya cepat ter-laksana?"

   "Bukan kami tidak mau. Tapi Barrotlah yang melarang. Menurutnya, dia bersama Jatianom sudah cukup mampu mengatasi Sobarang dan orang-orang-nya."

   Gandewa seketika mendesis. Ta-ngannya yang tinggal sebelah terangkat dengan jari-jari terkepal erat.

   "Rasanya, aku sudah tak sabar lagi menyaksikan anak Sempani itu lenyap dari muka bumi!"

   Dengus si Ludah Setan.

   Sementara itu, dari kelokan yang menuju ruangan khusus, Purwakanti merasa geram mendengar ucapan Gandewa yang terdengar begitu menyakitkan.

   Ada keinginan di hatinya untuk segera melihat keberanian Raja Petir yang disebut-sebut tiga orang yang berada dalam ruangan khusus itu sebagai anak Sempani, yang berarti anaknya juga.

   Purwakanti ingin meyakinkan, apakah Raja Petir itu berul-betul anak Sempani? Atau....

   "Ah...!"

   Perempuan setengah baya ber-pakaian merah itu menarik napasnya dalam-dalam.

   Kekhawatiran seketika mengisi rongga dadanya.

   Apakah Raja Petir akan mampu menandingi lima orang sekaligus? Padahal, mereka adalah tokoh sesat yang memiliki ilmu silat dan ilmu kesaktian yang begitu tinggi? "Ha ha ha...!"

   Perempuan setengah baya yang bernama Purwakanti itu terhenyak dari pikirannya yang bercabang-cabang ketika mendengar suara tawa dari dalam ruangan itu. Kembali pendengarannya dipertajam seraya mengatur napas.

   "Gandewa! Raja Petir itu mengaku anak kandung Sempani. Bukankah itu berarti dia anak kandung Purwakanti, istrimu? Dan berarti pula, si Raja Petir yang hendak kau kirim ke alam baka itu adalah anak tirimu juga,"

   Kata Ki Angkara dengan mimik muka yang dibuat lucu. Nyi Regita pun nampak senyum-senyum mendengar ucapan Ki Angkara.

   "Dia bukan darah dagingku, Kakang Angkara. Dia anak Sempani!"

   Balas Gandewa, sengit "Sempani yang telah mencabik-cabik perasaanku. Dan hal ini takkan pernah kulupakan seumur hidupku, Seluruh keturunannya harus kuenyahkan dari muka bumi ini!"

   "Kau yakin kita bisa mengatasi anak Sempani itu?"

   Dingin suara Nyi Regita.

   "Kalau kita berlima bekerjasama secara rapi, kita pasti mampu menyingkirkan Raja Petir!"

   "Kalau memang begitu, kita harus kedatangan Jatianom dan Barrot!" * * * Perbatasan Kampung Dukuh sebelah Utara nampak begitu sunyi. Sebatang tonggak bambu besar tertancap dengan warna menyolok sebagai tanda batas antara dua kampung. Memang, tetangga Kampung Dukuh sebelah Utara adalah Kampung Kerawung. Telah puluhan tahun kedua kampung itu bertetangga rukun. Tak heran kalau masing-masing warga kampung yang satu memberi kebebasan pada warga kampung yang lain untuk bertandang ke wilayahnya. Di Kampung Dukuh berdiri sebuah perguruan silat besar yang bernama Perguruan Cermin Sakti. Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh kondang bernama Ki Sobarang. Tak jauh dari perguruan itu, nampak dua orang lengah berjalan perlahan. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu, hingga perempuan yang berdiri di sebelah kanan lelaki berpakaian warna kuning keemasan tertawa bergelak-gelak.

   "Kau bisa saja, Seruni."

   Lelaki berpakaian kuning keemasan yang ternyata Jaka Sembada ikut tergelak.

   "Ketampanan lelaki bukan cerminan dari kepribadiannya. Juga ketampanan Itu bukan jaminan untuk mendapatkan kekasih."

   "Kenyataannya lebih banyak begitu, kan?"

   Kata gadis di sebelah Jaka yang memang Seruni.

   "

   Ssst...!"

   Raja Petir menempelkan telunjuk di bibirnya. Matanya yang tajam disipitkan ke suatu tempat yang membentang di depannya. Sedangkan Seruni segera mengikuti isyarat Jaka.

   "Sebaiknya kita bersembunyi,"

   Ajak Seruni sambil melesat ke balik pohon sebesar tiga kali pelukan orang dewasa.

   Jaka mengikuti tindakan gadis cantik berpakaian hijau daun itu.

   Dari balik pohon, mereka dengan leluasa menyaksikan dua orang lelaki ber-tampang angker sedang menuju ke sebuah bangunan yang memiliki pintu gerbang lumayan besar di Kampung Dukuh.

   Yang seorang memegang cambuk, dan yang seorang lagi wajahnya tertutup topeng buruk.

   "Mau apa mereka ke Perguruan Cermin Sakti?"

   Bisik Seruni, seperti bicara pada diri sendiri.

   "Nampaknya mereka bermaksud tidak baik,"

   Duga Jaka.

   "Ada urusan apa mereka dengan Ki Sobarang?"

   "Ki Sobarang? Kau kenal dia, Seruni?"

   Tanya Jaka. Sementara matanya tak lepas memandang gerak-gerik dua lelaki angker yang menuju ke Perguruan Cermin Sakti.

   "Dia sahabat baik Paman Gumai,"

   Jelas Seruni.

   Jaka Sembada mengangguk-angguk mengerti.

   Namun seiring anggukannya, dia dikejutkan berlompatannya kedua lelaki itu melewati pagar pintu gerbang yang dikawal empat orang berpakaian putih terang.

   *** "Kisanak! Siapa kalian?! Kenapa berani masuk secara tak sopan seperti itu?"

   Tanya seorang penjaga pintu gerbang yang memiliki perut buncit.

   Kedua lelaki berpakaian hitam itu terkekeh mendengar pertanyaan lelaki yang berdiri tiga tombak di depannya.

   Dan belum juga tawanya berhenti, tangannya yang memegang cambuk cepat bergerak.

   Ctar...! "Akh!"

   Lelaki penjaga pintu gerbang yang berperut buncit seketika memekik dan langsung roboh terhantam cambuk berduri milik salah seorang lelaki berpakaian hitam yang baru datang itu.

   Ketiga penjaga lain yang menyaksikan rekannya terjungkal begitu cepat, terkejut bukan kepalang.

   "Aku Barrot, dan temanku Jatianom. Kami ingjn bertemu Sobarang! Biarkan kami masuk!"

   Kedua lelaki berpakaian hitam itu segera melangkah. Maka, menyaksikan gelagat tidak baik ini, ketiga penjaga itu segera menghadang. Masing-masing menyilangkan sepasang golok di depan dada.

   "Jangan halangi langkah kami kalau kalian tidak ingin bernasib sama dengan si gendut bodoh itu!"

   Hardik orang yang bernama Barrot.

   "Minggirlah, kalian!"

   Tiga pengawal yang masing-masing sudah menghunus sepasang golok itu segera merangsek maju.

   "Hiyaaa...!"

   Bet! Bet! Dug! "Akh!"

   Seorang penjaga bertubuh pendek terpental deras terkena sodokan tangan lelaki bertopeng buruk yang bernama Barrot. Dan sebentar kemudian, seorang penjaga lainnya terbabat cambuk berduri milik Jatianom. Ctar! "Ugkh!"

   Tubuh lelaki yang terhajar cambuk berduri milik Jatianom seketika ambruk dan menggelepar, dengan bagian dada terkoyak.

   Beberapa saat lamanya dia menggeliat.

   Namun sebentar kemudian, geliatan itu tak lagi nampak.

   Memang, nyawa lelaki itu telah melayang meninggalkan raganya.

   Menyaksikan kedua temannya yang roboh dalam segebrakan, dua penjaga yang memang murid-murid Perguruan Cermin Sakti merasa ngeri.

   Namun karena rasa tanggung jawab yang tinggi, membuat mereka tanpa ragu merangsek maju.

   "Hiyaaa...!"

   "Hiya...!"

   Seiring teriakan penjaga bertubuh tinggi kekar, tiba-tiba dari sebelah Timur bangunan Perguruan Cermin Sakti bermunculan puluhan lelaki berpakaian putih terang.

   Mereka yang rata-rata bersenjata sepasang golok itu tak lain adalah murid-murid Perguruan Cermin Sakti.

   Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan lagi.

   Puluhan murid Perguruan Cermin Sakti yang rata-rata memiliki kemampuan lumayan, tanpa ragu-ragu membabatkan senjatanya ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.

   Akan tetapi, Barrot dan Jatianom bukanlah tokoh sembarangan.

   Pertempuran menjadi lebih sengit, ketika dari bagian Barat bangunan Perguruan Cermin Sakti bermunculan delapan orang berpakaian jingga dengan pedang terhunus.

   Mereka adalah murid-murid utama Perguruan Cermin Sakti.

   Sementara itu Jaka dan Seruni telah beranjak dari persembunyian mereka.

   Dan kini mereka bersembunyi di atas pohon, dekat pagar Perguruan Cermin Sakti.

   Dari ketinggian itu, mereka menyaksikan pertarungan yang semakin lama tidak seimbang.

   Beberapa murid utama Perguruan Cermin Sakti terlihat sudah meregang nyawa dengan tubuh berlumuran darah.

   Ctar! Ctar...! Srat! Srat...! Bug! "Akh...!"

   Empat lelaki berpakaian putih seketika menggelepar tersambar cambuk berduri dan pedang berkeluk lima yang dimainkan Jatianom dan Barrot.

   Angin yang bertiup saat ini seketika menebarkan bau anyir darah yang menggenangi halaman Perguruan Cermin Sakti.

   Menyaksikan pemandangan yang tak sedap itu, murid-murid Perguruan Cermin Sakti semakin memperhebat serangan.

   "Hiyaaa...!"

   "Hiyat!"

   "Tahan...!"

   Tiba-tiba sesosok tubuh melenting dari dalam bangunan. Gerakannya ringan saat melesat. Setelah berputaran dua kali di udara, sekejap kemudian dia sudah mendarat di depan murid-murid Perguruan Cermin Sakti yang langsung menghentikan serangannya.

   "Kalian minggir semua!"

   Ujar laki-laki berusia tak lebih tujuh puluh lima tahun itu.

   Rambutnya yang memutih digelung ke atas.

   Sehingga sangat serasi dengan .jubahnya yang panjang sebatas mata kaki.

   Di tangannya tergenggam dua batang tombak kembar berukuran kecil dan terbuat dari logam keras.

   "Kedua setan ini bukan tandingan kalian!"

   "Baik, Guru!"

   Murid-murid Perguruan Cermin Sakti seketika menjura, dan sebentar kemudian semuanya menepi.

   "Seharusnya sejak tadi kau keluar, Sobarang!"

   Bentak lelaki yang mengenakan topeng hitam dan buruk.

   "Percuma kau menyuruh tikus-tikus kudisan itu menghalangiku. Hanya membuat kotor pedangku saja!"

   Lelaki tua yang dipanggil Sobarang itu seketika mendengus. Matanya yang tajam menatap mayat-mayat muridnya.

   "Mau apa kau datang lagi ke sini, Barrot?!"

   Sentak lelaki berjubah putih yang ternyata Guru Besar Perguruan Cermin Sakti.

   "Aku ingin merebut cermin itu, Tua Bangka!"

   "Apa kau sudah mampu menandingiku?"

   Ki Sobarang mencibir.

   "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Sobarang! Dulu, kau boleh bangga dapat menaklukkan aku. Tapi sekarang.... Ha ha ha..., apakah kau tak pemah dengar nama besar Empat Setan Goa Mayat?"

   Ki Sobarang mengernyitkan dahinya.

   "Sobarang! Ketahuilah, aku dan sahabatku ini adalah dua dari Empat Setan Goa Mayat,"

   Gertak Barrot. Dari tempat persembunyiannya, Jaka merasakan keterkejutan yang teramat sangat. Rasanya, seperti seribu kala yang menyengat tiba-tiba. Wajah Jaka nampak memerah menahan kegeraman.

   "Empat Setan Goa Mayat...?!"

   Jaka memekik dalam hati. Wajahnya semakin bertambah merah, karena kegeramannya semakin meluap.

   "Kau kenapa, Kakang? Kenapa wajahmu berubah seperti itu?"

   Seruni terkejut juga melihat perubahan air muka Jaka. Jaka tak menjawab pertanyaan ,Seruni. Malah matanya terus memandang tajam.

   "Sobarang! Aku tak ada waktu lagi! Kalau kau dan seisi perguruanmu ingin selamat, serahkan cermin itu!"

   "Kalau aku mempertahankannya?"

   Kata Ki Sobarang, seperti tantangan.

   "Cari mampus!"

   Sentak Barrot.

   "Hiyaaa...!"

   Wukkk! Wukkk...! Barrot cepat meluruk seraya menyabetkan pedangnya ke arah dada Ki Sobarang.

   "Uts!"

   Ki Sobarang melompat ke belakang. Maka tebasan pedang berkeluk lima yang dilancarkan lelaki bertopeng itu membentur tempat kosong.

   "Setan!"

   Barrot kembali merangsek. Pedang berkeluk limanya ditebas-tebaskan ke perut Ki Sobarang. Tapi dengan gerakan ringan dan cukup manis, lelaki tua berjubah panjang warna putih itu berkelit.

   "Uts!"

   "Hait!"

   "Hip!"

   Ki Sobarang kembali melenting dan melakukan putaran dua kali.

   Akan tetapi baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah sambaran lain seketika mencecar kepalanya.

   Ctar! Ctar! Ki Sobarang yang mengetahui pembokongan secara mendadak, segera melempar tubuhnya ke kanan.

   Dan secepat kilat, kembali tubuhnya melenting, untuk kemudian menjejak mantap di tanah.

   "Majulah kalian sekaligus!"

   Tantang Ki Sobarang sambil menyilangkan dua tombak kembar di depan dadanya. Mendapat tantangan seperti itu, Jatianom dengan senjata cambuk berduri segera datang menerjang.

   "Hiyaaa...!"

   Tendangan lurus Jatianom dengan pengerahan tenaga dalam tinggi berkelebat cepat.

   Angin menderu mengiringi tendangannya.

   Ki Sobarang mengegoskan sedikit tubuhnya.

   Maka tendangan yang dilakukan Jatianom yang berjuluk si Cambuk Setan melaju serambut dari dada Ki Sobarang.

   Melihat pertahanan Jatianom sedikit kosong, Ki Sobarang segera menusukkan tombak pendeknya.

   Wuuut...! "Uts!"

   "Hiya...!"

   Lelaki berpakaian hitam bersenjatakan cambuk itu menarik pulang tubuhnya. Lalu dengan gerakan manis, tubuhnya berputar dua kali ke belakang. Namun, Ki Sobarang terus mencecar lelaki yang belum sempat membenahi berdirinya.

   "Terimalah ini...!"

   Wuuut...!"

   Ki Sobarang kembali mengebutkan tombak pendeknya.

   Akibatnya, Jatianom kembali harus berjumpalitan.

   Guru Besar Perguruan Cermin Sakti itu bermaksud terus menekan Jatianom yang keadaannya sangat tidak menguntungkan.

   Namun Ki Sobarang merasakan tubuhnya sukar digerakkan seketika.

   Tiba-tiba saja hawa panas terasa melingkar-lingkar di bagian leher dan pergelangan kaki.

   Semakin Ki Sobarang berusaha keras untuk melepasnya, hawa panas itu terasa semakin menyengat.

   "Ha ha ha.... Kau tak akan mampu melepaskan diri dari aji 'Lingkar Hitam Pengusung Raga', Sobarang. Menyesal sekali aku harus melenyap-kanmu dan meratakan Perguruan Cermin Sakti dengan bumi sekarang juga. Bersiap-siaplah menerima kematianmu, Sobarang!"

   Kata Barrot, pongah.

   "Hiyaaa...!"

   Tak berkedip Ki Sobarang menanti saat-saat ajalnya.

   Dia benar-benar tak mampu menembus lingkaran sinar hitam yang membungkus leher dan pergelangan kakinya.

   Sementara, pedang Barrot hampir menembus dadanya.

   Namun, pada saat-saat yang menentukan....

   Trak! Trak! Sosok bayangan kuning keemasan seketika berkelebat cepat memapak pedang berkeluk lima milik lelaki bertopeng hitam yang hampir bersarang di dada Ki Sobarang.

   "Akh!"

   Barrot seketika memekik tertahan.

   Tubuhnya kontan terjajar dua langkah ke belakang.

   Bahkan tangannya yang menggenggam sebilah pedang berkeluk lima terasa bergetar hebat.

   Begitu juga yang dirasakari sosok kuning yang berhasil memapak pedang Barrot.

   Tangannya terasa seperti tersengat binatang berbisa.

   Bahkan tubuhnya terasa seperti didorong kuat.

   Sosok bayangan berpakaian kuning itu lalu melenting, dan mendarat agak limbung di sebelah kanan Ki Sobarang.

   "Adi Gumai Gumarang!"

   Sebut Ki Sobarang sedikit terkejut Dia merasakan hawa panas yang melingkar-lingkar di leher dan pergelangan kakinya kini lenyap seketika.

   Seiring keterkejutan Ki Sobarang, si Cambuk Setan pun tersentak tak percaya.

   Begitu juga Seruni dan Jaka yang bersembunyi di atas sebatang pohon besar.

   "Paman Gumai Gumarang!"

   Gumam Seruni dan Jaka bersamaan.

   "Punya urusan apa beliau ke Perguruan Cermin Sakti?" *** Ctar! Gumai Gumarang berjumpalitan menghindari terjangan cambuk berduri yang bersuara bagai halilintar. Tubuhnya yang bergerak begitu ringan terus menghindari serangan gencar yang dilakukan Jatianom dari kelompok Empat Setan Goa Mayat Ctar! Gumai Gumarang menangkis sambaran lidah cambuk berduri dengan pedangnya yang memancar sinar kebiruan. Glarrr...! Suara menggelegar terdengar seiring beradunya dua senjata yang memiliki pamor menggiriskan itu. Tubuh Gumai Gumarang dan Jatianom sama-sama terjengkang dua batang tombak. Tangan masing-masing terasa ngilu. Itu menandakan kalau tenaga dalam satu sama lain seimbang. Sementara itu Ki Sobarang sudah kembali terlibat pertarungan melawan Barrot, Ketua Perguruan Cermin Sakti itu nampak terdesak oleh gempuran-gempuran Barrot yang berjuluk si Topeng Hitam. Pedang berkeluk lima milik lelaki bertopeng itu berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Ki Sobarang yang mematikan.

   "Hiyaaa...!"

   Semula Ki Sobarang ingin memapak sambaran itu dengan ujung tombak pendeknya.

   Namun gerakan yang dilakukan lelaki bertopeng hitam itu ternyata hanya tipuan belaka.

   Pedang yang semula terarah ke bagian kepala, ternyata berbalik arah.

   Maka....

   Bret! "Akh...!"

   Ujung pedang berkeluk lima yang datang begitu cepat itu sama sekali tak mampu dihindari Ki Sobarang. Sehingga, perutnya sobek terkena ujung pedang Barrot. Ki Sobarang kini mendekap perutnya. Darah nampak ber-ceceran dari sela-sela jari tangannya.

   "Sudah kukatakan, Sobarang! Sekarang aku bukan tandinganmu lagi. Ajalmu sudah dekat! Hiyaaa...!"

   Trang! Ternyata lagi lagi serangan yang dilakukan Barrot menemui kegagalan.


Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Sungai Ular Pendekar Rajawali Sakti Iblis Penggali Kubur

Cari Blog Ini