Geger Batu Bintang 1
Rajawali Emas Geger Batu Bintang Bagian 1
GEGER BATU BINTANG Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Rajawali Emas Dalam Episode 001 .
Geger Batu Bintang
http.//duniaabukeisel.blogspot.com Angin barat bertiup kencang, memapas Lembah Permata yang penuh rerumputan segar.
Di pagi muda ini, terdengar alunan suara seruling bambu yang mengisi kehampaan lembah.
Suaranya mendayu-dayu, sepertinya ditiup oleh seorang yang sangat ahli.
Tetapi dugaan itu keliru, karena yang meniup justru adalah seorang bocah bertelanjang dada di sebuah gubuk reyot.
Jemari kecilnya lincah menari-nari di atas lobang-lobang seruling.
Mulutnya melancip, saat meniup.
Dari cara duduknya, nampak si bocah yang kira-kira berusia dua belas tahun itu begitu santai.
Tubuhnya merebah dengan menumpangkan kaki kanan pada kaki kirinya yang tertekuk.
Tak jauh dari gubuk tempat si bocah berambut gondrong itu berada, sepuluh ekor kambing sedang merumput.
Begitu asyiknya, apalagi diiringi alunan seruling.
Namun, tiba-tiba saja alunan se-ruling yang ditiup si bocah terhenti.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara mengembik dari mulut kambing-kambing yang sedang digembalakan saling sahut dan tumpang tindih.
Si bocah yang sejak delapan bulan terakhir ini sudah menggembalakan kambing, tentu saja sudah sangat hafal.
Dia yakin kalau suara itu bukanlah embikan biasa, melainkan penuh ketakutan.
Dan berarti pasti ada penyebabnya.
Seketika si bocah melompat dari gubuk reyot yang tadi diduduki.
Mata kecilnya yang bundar menatap tak berkedip pada kambing-kambingnya yang kini berlari liar.
"Aneh! Ada apa ini? Mengapa kambing-kambing konyol itu kabur ketakutan. Sudah enak bersantai, jadi ada urusan!"
Maki si bocah panjang pendek. Sebelum si bocah berwajah tampan itu bergerak untuk menggiring kambing-kambingnya kembali, mendadak....
"Kraaakh...!"
Terdengar suara keras yang membedah angkasa.
Bahkan sampai menggetarkan lembah tempat si bocah berada.
Dan ini membuat kepalanya mendongak.
Matanya menangkap satu bayangan raksasa di angkasa.
Begitu cepatnya, sehingga yang tertangkap hanyalah bayangan penuh warna keemasan.
Si bocah garuk-garuk kepalanya, lalu membuang ketombe yang menempel di tangannya.
Keningnya berkerut.
Dan kejap berikutnya mulutnya terlihat menyang-menyong.
"Masa di pagi yang cerah ini aku melihat setan? Hiii.... Setan apa yang melayang seperti warna emas di angkasa?"
Si bocah bergidik.
Untuk beberapa lama dia masih tegak dalam jarak lima langkah dari gubuk tempatnya bersantai tadi.
Ekor matanya melirik lagi ke atas, berkeliling bagai mencari bayangan keemasan tadi.
Tetapi, bayangan itu telah sirna secepat datangnya.
Bagai disadarkan kalau kambing-kambingnya kocar-kacir, si bocah mendengus.
Lalu dia berlari untuk mengumpulkan kambing-kambing itu.
Memang, alam telah menempa dirinya menjadi kuat.
Meskipun tersengat lelah tak menentu, akhirnya kambing-kambing itu berhasil dikumpulkannya lagi.
"Awas! Kalau kalian lari lagi, aku potong!"
Rutuk si bocah, mengomel. Tetapi sejurus kemudian kepalanya menoleh seolah khawatir ada yang mendengar kata-katanya.
"Hiii.... Kalau Juragan Lanang mendengar, bisa leherku yang di-potong."
Kembali si bocah menatap angkasa luas, seolah masih berusaha menemukan bayangan keemasan yang tadi sempat tertangkap matanya. Namun setelah beberapa saat menunggu, bayangan keemasan itu tak lagi nampak.
"Apakah ada setan gentayangan yang menimbulkan suara seperti lengkingan seekor burung? Ah.... Kalau memang tadi seekor burung, mana ada yang begitu besar?"
Lalu tanpa peduli lagi, dan seolah melupakan bayangan keemasan yang dilihatnya tadi, si bocah kembali menaiki gubuk tempatnya bersantai tadi.
Baru saja pantatnya dihenyakkan, mendadak saja ekor mata si bocah melihat kelebatan hitam dari arah kiri.
Begitu cepatnya, sehingga ketika kepalanya menoleh satu sosok hitam sudah berdiri di hadapannya.
Kepala sosok yang ditutupi rambut hitam panjang sampai pinggul itu mendongak ke angkasa.
Kening si bocah berkerut, menatap sosok aneh di hadapannya yang ternyata seorang perempuan berbaju panjang warna hitam.
"Busyet! Kok banyak sekali setan gentayangan pagi ini? Kalau tadi setan warna emas yang ada di angkasa, sekarang setan keriput baju hitam yang berdiri di depanku? Hiii.... Lebih baik aku pulang saja mengembalikan kambing-kambing ini. Masa bodoh kambing-kambing itu masih lapar! Masa bodph dimarahi Juragan Lanang, daripada dicekik setan hitam ini!"
Sehabis berpikir demikian, si bocah mengendap-endap menyelinap dari arah kanan perempuan tua berbaju hitam panjang. Tetapi.... Tap! Mendadak, leher si bocah telah dicengkeram nenek baju hitam yang baru datang tadi.
"Mau ke mana kau, Bocah Jelek?"
Desis si nenek dingin, penuh lengkingan. Si bocah mengkeret dengan leher terasa sakit. Lehernya berusaha dige-rakkan, tetapi justru membuatnya makin kesakitan dengan napas tercekik.
"Nek! Lepaskan tanganmu ini! Aku bisa mampus!"
Pinta si bocah dengan suara tersendat sengau.
Si nenek melepaskan cengkera-mannya, membuat tubuh si bocah langsung ambruk.
Tangan kecil si bocah segera mengusap-usap lehernya yang sakit dengan tatapan penuh kemarahan pada si nenek.
Sesaat si bocah terdiam.
Dia tak jadi melontarkan umpatannya, begitu melihat wajah si nenek yang matanya bersinar kelabu dan masuk ke dalam itu.
Dari sini, si bocah bagai melihat ada ancaman mengerikan.
Wajah penuh keriput dengan bibir warna merah karena susur yang masih dikunyah, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa ngeri.
Tetapi dasar bersifat pemberani, kengerian si bocah hanya melingkar sesat saja.
Dia lantas bangkit perlahan-lahan, seraya bertolak ping-gang di hadapan si nenek.
"Siapa kau ini, Nek? Enak-enaknya mencekik leherku? Memangnya aku kambing!"
Maki si bocah, mengkelap. Kalau bukan seorang bocah yang membentak seperti itu, dalam satu kedipan mata, nyawa si pembentak akan melayang. Tetapi si nenek tidak berbuat apa-apa, meskipun suaranya penuh ancaman.
"Bocah kurang ajar! Apakah kau belum pernah mendengar namaku, hah?!"
Bentak si nenek.
"Kalau kau sudah dengar, aku tidak tanya!"
Balas si bocah. Kontan memerah kelam wajah si nenek mendengar bentakan ketus si bocah barusan.
"Kurang ajar! Fruhhh...!"
Bentakan si nenek disertai semburan merah dari mulutnya, langsung menerpa wajah si bocah yang buru-buru menghapusnya.
"Bau!"
"Bocah sialan! Namaku Mara Hitam Ritrik! Orang-orang menjulukiku Ratu Tengkorak Hitam! Cepat berlutut, sebelum nyawamu melayang!"
Bukannya ciut nyalinya mendengar ancaman nenek baju hitam, si bocah yang yakin kalau prang di hadapannya bukan setan gentayangan makin melotot garang.
"Namaku Tirta! Orang-orang menju-lukiku si Penggembala Kambing! Nah! Apakah kau takut denganku?!"
Kata si bocah sambil mendongakkan kepala dan tetap bertolak pinggang. Makin mengelam paras si nenek yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. Darahnya benar-benar mendidih.
"Bocah kurang ajar! Anak siapa kau ini, hah?!"
Bentak si Ratu Tengkorak Hitam.
"Aku datang dari langit! Aku utusan para Dewata! Nah! Kalau kau takut, ayo minggat!"seru si bocah bernama Tirta makin keterlaluan. Tangan kanan Mara Hitam Ritrik alias Ratu Tengkorak Hitam terangkat, siap menempeleng Tirta. Sebenarnya, dia hanya ingin menakut-nakuti saja. Tetapi di luar dugaan, Tirta justru membuka kedua matanya lebih lebar.
"Kurang ajar! Nama besarku akan pupus bila orang-orang mendengar aku membunuh seorang bocah seperti kau ini! Bocah! Sejak kapan kau berada di sini?"
Si nenek mencak-mencak tak karuan.
"Mau apa tanya-tanya?"
Sahut Tirta, seenaknya.
"Jawaaabbb!"
Suara keras itu mcnggelegar, membuat Tirta mengkeret.
"Tadi pagi!"
Sahut Tirta acuh tak acuh. Diam-diam, dia ketakutan setengah mati sebenarnya.
"Apakah kau melihat burung ber-bulu keemasan lewat di lembah ini?"
"Tidak! Yang ada nenek jelek hitam!"
"Kurang ajar!"
Kali ini Ratu Tengkorak Hitam tak mau hanya menakut-nakuti, tetapi siap untuk menempelang. Bukan main keta-kutannya Tirta. Dia bersiap-siap untuk kabur. Namun....
"Heran... rupanya Ratu Tengkorak Hitam hanya berani menghadapi anak kecil! Apakah sudah tak punya nyali lagi menghadapi yang lebih?"
Sekonyong konyong lerdengar satu suara yang langsung menghentikan keinginan Ratu Tengkorak Hitam untuk menghajar Tirta. Ratu Tengkorak Hitam cepat menurunkan tangan seraya betbalik ke belakang. Matanya menyipit dengan mulut masih mengunyah susur.
"Rupanya Kaki Gledek yang datang ke sini? Apakah Goa Setan sudah terlalu busuk untuk kau diami?"
Kata si nenek.
Orang yang baru datang ternyata bertubuh tinggi besar.
Rambutnya panjang tak beraturan.
Wajahnya yang kasar dihiasi codet di pipi kanan.
Hidung dan bibirnya besar.
Pakaiannya merah-merah dengan ikat pinggang warna kuning.
Dan lelaki bernama Kaki Gledek ini terbahak-bahak mendengar sambutan si nenek.
Tawanya yang keras meng-getarkan, seolah hendak memamerkan tenaga dalamnya.
Si nenek raenggeram sambil menga-lirkan tenaga dalam pada telinganya.
Sementara Tirta, si bocah pemberani yang bersiap kabur tadi, langsung jatuh pingsan begitu serangan tenaga dalam itu menghantam gendang telinganya.
Kambing-kambing yang tadi dikumpulkannya kembali dengan susah payah kini sudah berlarian entah ke mana.
"Ratu Tengkorak Hitam.... berita munculnya Rajawali Emas burung kesayangan Sepuh Mahisa Agni atau yang berjuluk si Malaikat Dewa, telah singgah pula ke Goa Setan. Batu Bintang yang ada di ekor burung itulah yang tentu memaksamu keluar dari Sungai Terkutuk itu bukan?"
Tanya si Kaki Gledek.
Wajah si nenek kelam.
Jelas, dia tak bisa memandang remeh pada lelaki tinggi besar itu.
Nama besar Kaki Gledek telah membedah rimba persilatan sejak lima belas tahun lalu.
Kesaktian sepasang kakinya tak bisa disangsikan lagi.
Selama ini, Ratu Tengkorak Hitam memang belum pernah bertarung.
Dan agaknya, pertarungan mereka akan segera berlangsung.
Diam-diam Ratu Tengkorak Hitam bukan hanya mengalirkan tenaga dalam pada dua telinga lebarnya, tetapi pada seluruh tubuh.
Terutama sepasang tangannya yang kurus.
"Bukan hanya aku yang mendengar tentang Batu Bintang, sebuah bahan yang bisa dibuat sebuah senjata tangguh dan sakti. Karena ada dua orang yang hendak mendapatkannya, maka tak ada jalan lain kecuali menentukan siapa yang berhak mendapatkannya."
Kaki Gledek mengumbar tawanya hingga makin keras, membuat lembah itu bagai bergetar hebat.
Rerumputan dalam jarak lima puluh tombak pun sampai terpapas.
Sementara yang di sekitar mereka justru ternyata masih tumbuh utuh.
Dari sini bisa ditebak kalau Kaki Gledek bukan hanya memiliki tenaga dalam tinggi, melainkan juga mampu memindah-mindahkan tenaga dalam jarak puluhan tombak.
"Usui yang menarik! Apakah...."
"Bacot busuk tak berguna!"
Sentak Ratu Tengkorak Hitam.
Begitu habis membentak, si nenek melakukan gempuran.
Kedua kepalan tangannya mendadak berubah menjadi hitam berkilatan.
Tubuhnya yang meluruk hebat, seolah bagai bayangan hitam mengerikan dinamakan 'Jalan Hitam Kematian'.
Sebuah kesaktian yang didapat dari gurunya yang berjuluk Maharaja Tengkorak Hitam.
Puluhan tahun lalu, jurus 'Jalan Hitam Kematian' yang mematikan memang menjadi momok dalam rimba persilatan.
Tak seorang pun yang mampu mengatasi keampuhan jurus mengerikan itu.
Dan Ratu Tengkorak Hitam rupanya beruntung.
Karena sebelum gurunya menemui ajal akibat sakit, dia masih sempat diwarisi jurus mematikan itu.
Kaki Gledek bukannya tidak tahu kalau si nenek mempergunakan jurus mematikan.
Maka bisa ditebak kalau Ratu Tengkorak Hitam menghendaki pertarungan singkat.
Begitu tubuh si nenek menggebah, lelaki tinggi besar itu mencelat ke depan seraya menggelar jurus 'Kaki Gledek Kirim Nyawa'.
Seketika sinar merah melingkupi kedua kakinya yang penuh bulu.
Begitu dahsyatnya jurus yang diperlihatkan, sehingga menciptakan suara berdentum tak ubahnya gledek menyalak disertai angin besar bergemuruh.
Dan benturan hebat pun tak terelakkan.
Blarrr! Tanah yang dipijak kedua orang itu kontan bergetar.
Perbukitan yang mengelilingi lembah bagai bergoyang hebat.
Kilatan sinar hitam dan merah mencelat tinggi.
Rerumputan terbang terpapas dan luruh kembali.
Di tempat lain, tubuh Tirta yang masih pingsan terlempar sepuluh tombak ke belakang.
Bahkan gubuk tempat Tirta biasa bersantai terbang terbawa angin yang terjadi.
Dari kepulan debu tebal, mencelat dua sosok tubuh ke belakang.
Tubuh tinggi besar milik Kaki Gledek terhuyung tiga tombak.
Kedua kakinya bagai patah, akibat benturan tadi.
Segera dia berdiri tegak seraya mengalirkan tenaga dalam pada kakinya.
Dari mulutnya mengalir darah segar.
Sementara, Ratu Tengkorak Hitam hanya terjajar mundur satu tombak.
Kea-daannya masih terlihat segar bugar dengan tangan tetap menyala hitam.
"Kembali ke tempat asalmu, Orang Tak Berguna! Aku tak segan-segan menurunkan tangan telengas!"
Ancam si nenek dengan suara dingin.
"Jurus 'Jalan Hitam Kematian' benar-benar bukan omong kosong. Tenaga dalam orang tua keriput ini juga tidak main-main,"
Kata batin Kaki Gledek dengan wajah setengah pias.
"Hhh! Manusia hina ini tak akan kulepaskan, meski aku harus mati. Batu Bintang harus kumiliki!"
Lalu si Kaki Gledek menatap tangan Ratu Tengkorak Hitam.
"Setan gentayangan! Kita baru bertarung satu gebrakan. Dan apakah itu takberarti aku akan mundur? Selangkah pun tak terlintas niat dalam otakku!"
Desis si Kaki Gledek.
"Kalau begitu, terimalah kematian!"
Kembali Ratu Tengkorak Hitam membuka jurus 'Jalan Hitam Kematian'.
Tubuhnya kembali meluruk dengan tangan hitam berkilatan.
Kaki Gledek yang baru merasakan kehebatan jurus itu, cepat melipat gandakan tenaga dalamnya.
Tak ingin menderita kerugian, segera jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi' dilepaskan.
Blarrr...! Kembali benturan dahsyat terjadi.
Bahkan lebih dahsyat dari yang pertama.
Namun kali ini akibatnya kebalikan dari yang pertama.
Tubuh Ratu Tengkorak Hitam tampak mertcelat tiga tombak ke belakang dengan kedua tangan terasa remuk.
Sementara Kaki Gledek masih berdiam tegak dengan langit.
"Apakah hanya begitu saja kehebatan 'Jalan Hitam Kematian'?"
Ejek lelaki tinggi besar itu penuh seringaian. Si nenek cepat mengalirkan hawa murni ke kedua tangannya, lalu menyilangkannya di dada. Mata kelabunya bagai mencelat keluar.
"Huh! Kali ini nyawamu akan putus dari badan!"
Mendadak saja si nenek memutar kedua tangannya di depan dada.
Semula perlahan, namun semakin lama semakin bertambah cepat.
Tangannya bagai berubah menjadi ribuan jumlahnya.
Dan seketika, angin yang ditimbulkan akibat putaran tangannya melesat kedada Kaki Gledek.
Begitu cepat, hingga....
Desss...! Lelaki tinggi besar itu mundur dua langkah.
"Sinting!"
Maki si Kaki Gledek dengan dada terasa bergetar.
"Jurus apa yang kau perlihatkan, hah?!"
"Jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'! Putuslah nyawamu, Setaaannn!"
Diiringi angin gemuruh, tubuh Ratu Tengkorak Hitam menerjang.
Begitu cepat, hingga sukar ditangkap mata.
Di tempatnya, Kaki Gledek tercekat dengan dada berdebar lebih cepat.
Rasanya untuk menghindar sudah tak mungkin lagi.
Jalan satu-satunya, memang harus memapaki.
Saat itu juga, Kaki Gledek mengerahkan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi'.
Tubuhnya langsung mencelat dengan kaki kanan dan kiri menggebah ke depan.
Lalu....
Blarrr! Blaarrr! Dua suara seperti gunung batuk terdengar hebat.
Asap tebal tampak mengepul saat terjadi benturan barusan.
Satu sosok tubuh yang ternyata tubuh Kaki Gledek mencelat lima tombak ke belakang.
Begitu sampai di tanah, dia ambruk, tak mampu kuasai keseimbangan.
Tetapi begitu Ratu Tengkorak Hitam menderu kembali siap habisi nyawanya, tanpa membuang tempo lagi Kaki Gledek bangkit.
Dan dengan mengerahkan tenaganya, dia berlari lintang pukang ke arah timur! Melihat lawannya kabur, si nenek cepat menahan gerakannya seraya membuat putaran di udara.
Dan begitu mendarat di tanah, pipi peotnya menggembung mengerikan, penuh jalur-jalur kerut menakutkan.
Dan seketika kedua tangannya menghentak, melepas pukulan jarak jauh., Wusss...! "Uts...!"
Blarrr...! Bila saja Kaki Gledek tak mencelat cepat, tak mustahil nyawanya akan putus.
Tanah yang terhantam pukulan 'Angin Dendam Punah Nyawa' kontan berlobang sedalam satu tombak.
Dan dari tempatnya, Ratu Tengkorak Hitam melihat tubuh lawannya lenyap perlahan-lahan.
"Manusia hina keparat! Bila bertemu lagi, tak akan kuampuni nyawa busukmu!"
Tiba-tiba Ratu Tengkorak Hitam terdiam. Bagai teringat akan niatnya semula untuk mencari Rajawali Emas.
"Hhh! Aku tak boleh membuang waktu. Rajawali Emas yang membawa bongkahan batu keemasan yang disebut Batu Bintang, harus kudapatkan sebelum banyak yang mencari. Rimba persilatan saat ini sedang kacau. Siapa yang lebih kuat, dialah yang akan berjaya. SekaliguS, menjadi orang kuat dalam rimba persilatan!"
Lalu tanpa buang waktu, Ratu Tengkorak Hitam berkelebat meninggalkan lembah yang kini telah porak poranda.
Kenyamanan dan kepermaian lembah telah terusik akibat pertarungan yang sebenarnya berjalan singkat.
* * * Kaki Gledek menghentikan larinya di perbatasan sebuah hutan lebat yang masih perawan.
Kini matanya baru terbuka, setelah membuktikan kesaktian Ratu Tengkorak Hitam.
Maka melarikan diri adalah jalan yang paling tepat.
Baginya, mendapatkan Batu Bintang adalah yang lebih utama.
Begitu sepasang kaki lelaki tinggi besar terbungkus baju merah ini menginjak perbatasan hutan, matahari telah merangkak ke ufuk barat.
Kepalanya langsung menoleh ke belakang.
Kini bayangan Ratu Tengkorak Hitam tak terlihat lagi.
Tetapi Kaki Gledek yakin kalau si nenek tak akan melepaskannya.
Maka, lelaki ini memutuskan untuk meneruskan larinya.
Kembali ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai pada puncaknya.
Setelah tiga kali penanakan nasi terlewatkan, Kaki Gledek telah tiba di ujung hutan belantara itu.
Kaki Gledek mengatur napas dalam-dalam.
Meskipun kelelahan masih membias di wajahnya, namun kegeramannya masih tampak akibat keka-lahannya dari Ratu Tengkorak Hitam.
"Peduli setan dengan wanita peot itu! Aku harus mencari Batu Bintang. Entah, di mana burung raksasa keparat itu berada sekarang. Tetapi jelas, sebelum aku bertemu si nenek peot itu, burung raksasa sialan tadi menuju ke arah timur! Sebaiknya, kutinggalkan hutan ini sebelum malam menjelang!"
Tetapi baru saja Kaki Gledek melangkah satu lindak, tiba-tiba....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa menghentak yang demikian keras, membuat Kaki Gledek tercekat.
Suara tawa itu bukan hanya menggugurkan dedaunan, tetapi juga mematahkan ranting-ranting pohon! Jelas, betapa tingginya tenaga dalam si pemilik tawa! Belum sempat lelaki tinggi besar itu menenangkan batinnya, sesosok bayangan telah berkelebat turun dari sebuah pohon.
Dan tahu-tahu, bayangan itu telah berdiri tiga tombak di hadapannya.
Sepasang mata Kaki Gledek membuka lebih lebar, menatap wajah dingin di hadapannya yang berdiri agak mem-bongkok.
Untuk beberapa lama, lelaki berbaju merah yang baru saja menderita kekalahan dari Ratu Tengkorak Hitam ini tak berbuat apa-apa.
Kecuali, tegak berdiri dengan pandangan lebih membesar tak percaya pada sosok di hadapannya.
"Manusia Mayat Muka Kuning...,"
Desisnya dengan suara, bergetar.
Tanpa disadari bukan hanya suaranya bergetar, tubuhnya pun mendadak gemetar.
Orang yang baru turun dari pohon itu berwujud aneh.
Tubuhnya kurus mencangkung tanpa baju, menonjolkan tulang-tulang di sekitar dada dan perut.
Celananya pangsi berwarna hitam kusam.
Rambut panjangnya tergerai sampai punggung.
Yang mengerikan dari wujud anehnya, wajahnya berwarna kuning.
Namun sekujur tubuhnya berwarna hitam.
Wajah kuning nan dingin itu seperti mayat saja.
Orang itulah yang akhir-akhir ini menjadi momok dalam rimba persilatan, baik golongan lurus maupun sesat.
Dialah yang dikenal sebagai Manusia Mayat Muka Kuning.
"Kaki Gledek... cecunguk dari Goa Setan yang berani berlagak di hadapanku!"
Ejek Manusia Mayat Muka Kuning. Suaranya terdengar dingin, namun mampu membuat merah telinga Kaki Gledek yang tengah berusaha menindih rasa takut dan gemetar tubuhnya. Namun usahanya sia-sia saja.
"Aku.... Maafkan aku.... Aku tak sengaja berada di sini...,"
Ucap Kaki Gledek terpatah-patah dengan wajah pias.
"Tak seorang pun yang kubiarkan hidup setelah pamer wajah di hadapanku! Kaki Gledek! Ajal sudah membentang di depanku. Dan nyawamu siap lepas dari badan!"
Ancam Manusia Mayat Muka Kuning sambil maju satu tindak. Sikapnya benar-benar mengancam. Tanpa sadar Kaki Gledek mundur tiga tindak.
"Tunggu! Jangan turunkan tangan telengas dulu, sebelum mendengarkan kata-kataku!"
Cegah Kaki Gledek, setelah berusaha membangkitkan keberaniannya.
"Otak licik dalam benak busukmu mau coba mempengaruhiku?!"
Desis Manusia Mayat Muka Kuning, dingin.
"Aku... aku punya keterangan bagus. Dan tentunya, kau sangat ingin mendengarnya,"
Bujuk Kaki Gledek berusaha tenang. Otak liciknya bekerja keras, untuk menutupi kepengecutannya. Ketika Manusia Mayat Muka Kuning menghentikan langkah dan berdiri mencangkung menatapnya, Kaki Gledek tersenyum.
"Pernahkah kau mendengar tentang seekor rajawali raksasa berwarna keemasan?"
Susulnya.
"Iihh! Siapa pun tahu, burung raksasa itu peliharaan Sepuh Mahisa Agni yang berjuluk Malaikat Dewa!"
Dengus lelaki berwajah kuning berusia tujuh puluh tahun itu.
"Tentunya kau tahu tentang Batu Bintang yang ada di ekor burung itu, bukan?"
Sepasang mata lelaki berwajah kuning itu menyipit. Matanya tak berkedip menatap Kaki Gledek yang berusaha menenangkan diri.
"Apa maksudmu?"
Tanyanya, tetap bernada dingin.
"Aku punya kabar bagus untukmu,"
Kata Kaki Gledek.
"Katakan!"
"Janji untuk melepaskan aku dari sini?"
"Setan hina! Kau coba-coba mempengaruhiku, hah?!"
Bentak Manusia Mayat Muka Kuning seraya menjentikkan jari telunjuknya.
Dan....
Sraattt! Seketika sinar kuning bagai jarum melesat ke arah Kaki Gledek.
Lelaki tinggi besar berbaju merah itu tercekat dan langsung melompat.
Namun, lesatan sinar kuning itu lebih cepat daripada gerakannya.
Bukan disebabkan karena luka dalam akibat pertarungan dengan Ratu Tengkorak Hitam, melainkan karena sinar kuning itu memang melesat lebih cepat! Satu kehebatan kecil yang diperlihatkan Manusia Mayat Muka Kuning.
Crasss! "Aaah...!"
Tak urung tangan kanan Kaki Gledek terserempet sinar kuning.
Perihnya tak terkira.
Bahkan sekujur tubuhnya terasa seperti terbakar.
Dia mengeluh panjang pendek, namun tak berani membentangkan tatapan marah pada lelaki berwajah kuning yang menggiriskan itu.
Manusia Mayat Muka Kuning menyeringai buas.
"Kau akan mampus bila ocehan mulutmu hanya bualan belaka!"
Kaki Gledek mendekap tangan ka-nannya dengan tangan kiri. Dialirkannya hawa murni untuk mengusir panas menyengat yang menyerangnya.
"Mana berani aku bertindak bodoh di hadapanmu? Siapa pun tak akan berani unjuk gigi melihat kesaktianmu. Namun perlu kutegasi, berita yang akan kusampaikan bukan hanya ocehan belaka,"
Tandas Kaki Gledek, merendah. Manusia Mayat Muka Kuning ter-senyum mendengar kata-kata Kaki Gledek.
"Bagus! Berarti kau sayang nyawa! Katakan! Di mana burung rajawali raksasa itu berada?"
Menyadari kalau lelaki tua berwajah kuning itu akan menjanjikan kebebasan baginya, Kaki Gledek sengaja mengulur waktu untuk membuktikan lebih jelas.
"Kukatakan berita ini, tetapi lepaskan nyawaku."
"Tak pernah ludah yang terbuang kujilat lagi. Tetapi, ingat! Bila hanya ocehan busuk, ke ujung neraka pun kau harus mati di tanganku."
Diam-diam Kaki Gledek tersenyum puas dalam hati. Maka dengan terputus-putus, diceritakannya tentang perkela-hiannya dengan Ratu Tengkorak Hitam.
"Aku terluka dalam sebenarnya. Bila aku tidak cepat melarikan diri, tak mustahil nyawaku akan putus di tangan Ratu Tengkorak Hitam,"
Tutur Kaki Gledek di ujung ceritanya.
"Apa hubungannya cerita busukmu ini dengan bualanmu tentang Batu Bintang?"
Tanya Manusia Mayat Muka Kuning, merasa tak puas dengan cerita Kaki Gledek.
"Nenek poet dari Sungai Terkutuk itu memiliki Batu Bintang!"
Sahut Kaki Gledek penuh keyakinan kalau omong kosongnya akan dimakan bulat-bulat oleh lelaki berwajah kuning dan berbentuk tirus.
"Bualan usang!"
Di luar dugaan Kaki Gledek, Manusia Mayat Muka Kuning menggebah keras. Tangan kanannya siap diayunkan lagi. Buru-buru Kaki Gledek mengangkat tangannya.
"Tunggu!"
Cegah Kaki Gledek.
"Aku mengatakan apa adanya! Batu Bintang telah dijatuhkan oleh burung Rajawali Emas milik Sepuh Mahisa Agni dan Ratu Tengkorak Hitam yang telah mendapatkannya. Dan aku pun bertarung untuk merebut Batu Bintang yang menggegerkan itu."
Melihat ketakutan dan ketakber-dayaan orang tinggi besar di hadapannya, Manusia Mayat Muka Kuning menurunkan tangan kanannya perlahan-lahan.
"Untuk saat ini, aku bisa mempercayai kata-kata berbisamu itu. Tetapi, ingat! Nyawamu ada di tanganku bila ini hanya ocehan busuk!"
"Kupertaruhkan kebebasanku untukmu!"
Tandas Kaki Gledek meya-kinkan. Saat ini jalan yang terbaik adalah lepas dari Manusia Mayat Muka Kuning. Apa yang dialami lelaki baju merah itu tak ubahnya lepas dari mulut buaya, dan tiba di mulut harimau.
"Bagus! Di mana Ratu Tengkorak Hitam berada?"tuntut Manusia Mayat Muka Kuning.
"Ketika aku melarikan diri, dia berada di Lembah Permata!"
"Aku akan mencari wanita peot itu!"
Kata Manusia Mayat Muka Kuning. Kaki Gledekyang merasa terbebas dari ancaman maut di hadapannya, tersenyum lagi dalam hati. Namun di wajahnya masih memperlihatkan kengerian.
"Dan tentunya, kau tak lupa akan janjimu, bukan?"
Usik Kaki Gledek tersenyum.
"Sama sekali tidak! Kebebasan kuberikan padamu. Nyawa kubiarkan menempel di tubuh hina itu. Tetapi...."
Di ujung kalimatnya, Manusia Mayat Muka Kuning menjentikan jarinya. Tik! "Aaakkhhh...!"
Kaki Gledek kontan menjerit setinggi langit ketika dua buah sinar kuning melesat masuk ke dalam kedua tangannya. Tubuhnya langsung ambruk terguling. Panasyang membakar segera merajah sekujur tubuhnya.
"Seperti janjiku, nyawamu tak kuambil!"
Sehabis berkata dingin, Manusia Mayat Muka Kuning melesat cepat bagai kilat.
Ditinggalkannya Kaki Gledek yang masih meraung kesakitan, berusaha menahan serangan panas pada sekujur tubuhnya.
Matahari bertambah redup di kaki barat.
Udara dingin mulai menaungi Lembah Permata yang permai dan sekarang porak-poranda akibat pertem-puran Ratu Tengkorak Hitam melawan si Kaki Gledek.
Burung-burung di kejauhan beterbangan, dari Lembah Permata yang nampak hanya bayang-bayang hitam belaka, Tirta, bocah dua belas tahun yang gagah berani itu, perlahan-lahan siuman dari pingsannya.
Tubuhnya menggeliat dan terasa sakit sekali.
Ketika berusaha duduk, terdengar keluhan kecil dari mulut merah-nya..disertai mata yang tertutup kembali karena menahan sakit.
"Aaakhhhh."
Perlahan-lahan Tirta membuka mata seraya menahan sakit. Pandangannya yang pertama redup, lama kelamaan membuka. Kini, didapatinya lembah yang telah berantakan.
"Oh! Apa yang terjadi?"
Desisnya bingung dengan kepala masih terasa pusing.
"Seingatku, tadi kan ada si nenek peot galak yang mengaku berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. O, iya. Lalu, datang lelaki jelek berbaju merah yang dipanggil Kaki Gledek. Ke mana mereka?"
Sejenak bocah cerdik yang berani itu terdiam.
"Aku ingat sekarang,"
Desisnya lagi.
"Orang berbaju merah itu tertawa keras. Kurasakan telingaku sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Ih! Mengapa ada suara tawa yang bisa membuat telinga sakit begitu, ya? Untungnya cuma pingsan. Kalau sampai mati, siapa yang akan menggembalakan kambing-kambing Juragan Lanang. Kalau tak ada yang menggembala... oh!"
Mendadak saja sepasang mata bundar milik Tirta terbuka lebih melebat.
Kepalanya menoleh ke sana kemari Namun tak seekor kambing pun berada di sana.
Maka tanpa menghiraukan keadaan tubuhnya yang masih terasa sakit dan pegal, bocah itu berdiri.
Rasa takut kini menjalari perasaannya, hingga membuatnya tidak tenang.
"Apa yang harus kukatakan pada Juragan Lanang mengenai kambing-kambingnya yang lenyap? Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku harus mencari kambing-kambing itu. Kalau aku pulang tanpa kambing-kambing itu, Ayah pasti akan dimarahi Juragan Lanang lagi. Buktinya, ketika seekor kambing Juragan Lanang lecet kakinya akibat terperosok di lobang, ayahlah yang dimarahi dan disuruh bekerja di sawahnya, tanpa dibayar selama dua minggu. Padahal aku tahu, saat itu Ayah sedang berusaha membayar hutangnya. Oh.... Aku harus mencarinya! Peduli aku akan pulang malam atau tidak. Aku tidak ingin melihat Ayah kembali bekerja pada Juragan Lanang tanpa dibayar sepeser pun! Apalagi, mengingat hutang Ayah yang belum juga lunas...."
Setelah menguatkan hatinya, perlahan-lahan Tirta mulai berlari.
Tetapi karena rasa sakit akibat tubuhnya terpental jauh setelah ter-jadinya benturan dua tenaga dalam tinggi antara Ratu Tengkorak Hitam dengan Kaki Gledek, membuat tubuhnya tersuruk.
Namun kekerasan hati Tirta benar-benar besar.
Biasanya, saat hari menjelang malam seperti ini? dia tak berani berada di Lembah Permata seorang diri.
Namun karena tak enak membayangkan apa yang akan dialami ayahnya nanti, terpaksa dia bangkit dan mencari kambing-kambing itu.
Tirta bertekad, harus menemukan kambing-kambing itu.
Sesuai ajaran ayahnya, segala beban di pundak harus dijaga penuh.
Segala kewajiban telah dipikul, harus dipertanggungjawabkan secara utuh.
Malam mulai datang.
Dusun Bojong Pupuk yang tak jauh dari Lembah Permata, seolah mati setelah seharian para penduduknya bekerja keras di sawah dan ladang.
Lampu sentir yang ada di setiap rumah mulai dihidupkan, memberikan penerangan yang tak seberapa terang.
Di depan salah sebuah rumah yang terletak di tepi perbatasan Dusun Bojong Pupuk bagian selatan, nampak seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh tahun tengah mondar-mandir saja.
Sesekali lelaki berwajah cukup tampan itu berhenti melangkah, lalu melongok ke arah jalan tempat orang biasa datang dari sana.
Berkali-kali terdengar desahan bernada gelisah dari hidung si lelaki, berbaur suara jangkrik dan kodok yang mulai unjuk gigi sejak mahatari masuk ke peraduannya.
"Ke mana bocah itu? Mengapa sampai saat begini belum juga datang? Apakah dia tertidur seperti waktu lalu?"
Desis lelaki itu gelisah.
Kepalanya melongok lagi ke arah jalan, namun yang ditunggunya belum muncul juga.
Pintu rumah sederhana itu ber-derit dan terbuka.
Tampak seorang perempuan berwajah cantik muncul tergesa, langsung menghampiri lelaki itu.
Si lelaki menghentikan langkah-nya.
Pandangannya cepat beralih pada perempuan itu.
"Bagaimana, Kakang Layung Seta? Apakah Tirta sudah datang?"
Tanya si perempuan begitu sarat kegelisahan.
Seperti yang dilakukan lelaki tadi, perempuan ini pun melongok ke arah jalan, arah kedatangan Tirta biasanya.
Lelaki yang ternyata ayah Tirta itu menggeleng.
Ditatapnya wajah pucat penuh gelisah milik perempuan yang tak lain istrinya.
"Belum, Mentari! Mungkin dia tertidur di gubuk,"
Sahut lelaki bernama Layung Seta.
"Susul saja, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu pada anak kita,"
Pinta perempuan bernama Mentari itu. Layung Seta menarik napas pendek. Lalu ditatapnya wajah istrinya seraya anggukkan kepala.
"Aku akan menyusulnya, Bu,"
Kata Layung Seta. Segera lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebentar saja, dia sudah muncul kembali. Namun kini, di pinggangnya telah terselip sebilah golok.
"Mentari... tunggulah di rumah. Barangkali saja aku selisih jalan dengan Tirta."
Mentari mengangguk.
"Hati-hati, Kakang."
Layung Seta mengangguk, lalu bergegas menuju ke arah timur, ke arah Lembah Permata.
Jalan setapak penuh rumput dan cukup gelap, tak terlalu sulit dilalui Layung Seta.
Sebagai putra Dusun Bojong Pupuk, jalan-jalan itu sudah sangat dihafalnya, Bahkan, sewaktu seusia putranya, Lembah Permata merupakan salah satu tempat yang sering didatangi, selain sungai di sebelah selatan.
Sepenanak nasi telah berlalu, saat lelaki yang tengah gelisah memikirkan anak semata wayangnya itu tiba di Lembah Permata.
Pahdangannya langsung beredar ke seantero lembah.
Namun tak nampak seorang pun di tempat ini.
Pikirnya, Tirta tentu berada di gubuk.
Akan tetapi, kening Layung Seta jadi berkerut heran.
Sepanjang ingatannya, sejak gubuk itu dibuatnya lima bulan lalu, dia sangat hafal letak gubuk itu.
Namun pada Kenyataannya, tak ada gubuk yang dicarinya.
Dan dia makin heran melihat rerumputan di sekitar tempat itu terpapas.
"Apakah tadi ada angin topan di sini?"
Tanyanya tak mengerti.
Namun sejurus kemudian, Layung Seta yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, bisa melihat jejak-jejak kaki yang seperti terseret di beberapa tempat.
Dia berjongkok, langsung mengamati tanah di sekitarnya dengan bantuan sinar rembulan yang membulat penuh.
Perasaan lelaki ini makin cemas memikirkan nasib Tirta.
Dia tegak lagi, dan segera menjelajahi lembah itu dengan mata lebih terbuka.
Dan di sela-sela pencariannya, Layung Seta meneriakkan nama putranya.
Waktu terus bergulir.
Suasana cemas dan mencekam makin menyiksa hati Layung Seta.
Setelah lelah mencari, langkahnya berhenti di tengah-tengah Lembah Permata.
"Di mana Tirta berada? Apakah dia saat ini dalam keadaan sehat? Ataukah celaka karena pertarungan hebat yang sepertinya baru terjadi?"
Gumamnya, berkata pada diri sendiri.
Lelaki yang tengah mencemaskan anaknya itu menarik napas berkali-kali.
Kepalanya mendongak, menatap rembulan yang sudah berada tepat di tengah kepala.
Diputuskan untuk segera kembali ke rumah, setelah teringat akan istrinya yang tentunya tengah cemas menunggu.
Layung Seta membayangkan, betapa sedihnya Mentari mendapati dirinya pulang tanpa Tirta.
* * * Matahari mengintip malu-malu dari balik Gunung Slamet yang tinggi menjulang.
Udara nampak cerah dalam bentangan langit biru di angkasa.
Angin membelai lembut tubuh Gunung Slamet.
Dalam jarak ribuan tombak dari gunung yang berdiri angkuh itu terdapat sebuah sungai yang mengalir deras bergemuruh.
Di dekatnya berdiri pepohonan yang tak begitu tinggi, namun dedaunan yang melingkupinya sangat rimbun.
Burung-burung beterbangan seolah menyambut pagi yang cerah ini.
Di sisi sungai, satu sosok tubuh kecil bertelanjang dada tampak terbaring lemah tak berdaya.
Selang beberapa saat, satu bayangan berkelebat dan berhenti di tepi sungai, Ternyata yang baru datang adalah seorang perempuan tua dengan rambut dikonde.
Tubuhnya agak membungkuk.
Dia terkekeh-kekeh melihat air sungai yang menawarkan kesegaran.
Di tangan kanannya tampak sebuah pengebut bergagang baja.
"Hik hik hik.... Pasti nyaman tubuhku bila mandi di sini. Hmmm.... Tak ada manusia di sini. Berarti, tak akan ada yang mengintipku,"
Oceh nenek berkonde itu cukup nyaring.
Si nenek menoleh ke kanan dan kiri, lalu buru-buru membuka baju batik kusamnya.
Di balik baju batik kusam itu, nampak sebuah kutang putih.
Sepertinya dada itu memang tak ada yang perlu ditutupi, karena memang terlihat rata.
Namun ketika akan melepaskan kain batik kusam yang melilit bagian bawah, mendadak saja mata celongnya menyipit.
"Kunyuk! Ada bocah tidur di sana! Keparat! Meskipun cuma bocah, tetapi memiliki mata!"
Rutuk si nenek. Buru-buru si nenek mengenakan lagi baju batik kusamnya. Lalu pengebutnya diselipkan ke balik pinggangnya, Dan hanya sekali lompat, tubuh bungkuknya sudah tiba di sisi tubuh bocah yang dilihatnya.
"Bocah! Bangun! Aku ingin mandi!"
Bentaknya garing.
Tetapi, bocah yang terlungkup itu tak bergeming sama sekali.
Kening nenek berkonde ini jadi berkerut.
Lalu, tubuhnya membungkuk.
Dan dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau tubuh bocah itu pingsan.
Perlahan-lahan dibalikannya tubuh bocah yang ternyata Tirta.
"Hmm... bocah bagus. Wajahnya tampan. Dan, ya... ampun... tulang belulangnya sangat kokoh! Hik hik hik.... Tak perlu kuurusi segala persoalan busuk hari ini. Keinginanku untuk dapatkah seorang murid tampaknya sudah di depan mata,"
Gumam si nenek. Jemari tangan kanan nenek berkonde yang kurus itu menekan beberapa urat di bagian dada dan kepala Tirta.
"Luar biasa! Denyutan nadi dan aliran darah bocah ini sangat kuat. Tak seperti orang pingsan. Anak siapa dia? Peduli setan sekalipun dia anak dedemit sungai ini!"
Lalu dengan ringan nenek berkonde itu mengangkat tubuh Tirta yang pingsan.
Segera dibawanya bocah itu ke sebuah gubuk yang Di dalam gubuk, si nenek yang masih penuh pesona itu menatap wajah dan tubuh Tirta yang masih pingsan.
Rupanya, kelelahan tak bisa ditahan lebih lama lagi oleh bocah pemberani ini, untuk teruskan langkah mencari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang.
"Hebat!. Hebat! Nasibmu sangat beruntung, Kunti Pelangi! Kau akan dapat murid pandai yang bisa mewarisi seluruh ilmumu!"
Oceh si nenek berkonde.
Seolah si nenek berkata pada orang lain.
Padahal, yang di sebutkan tadi adalah namanya sendiri.
Dan kali ini ditekannya dua buah urat yang ada di bawah lengan kanan dan kiri Tirta.
Sesaat, dialirkannya tenaga dalam melalui jari-jemari tangan si bocah.
Bibir keriput nenek bernama Kunti Pelangi itu melepas senyum.
"Luar biasa! Tak percuma aku membuang waktu. Bocah ini akan kujadikan muridku. Nah! Dia mulai bergerak sekarang."
Nenek Kunti Pelangi menatap tajam Tirta yang mulai bergerak. Mata bocah nekat berhati kuat itu perlahan-lahan terbuka. Dan yang tertangkap matanya pertama kali adalah seringai nenek.
"Setaaannn! Setaaannn!"
Teriak Tirta, kalap.
Si bocah hendak melompat.
Tetapi tangan nenek berkonde itu cepat menangkap tangan Tirta.
Wajahnya yang tadi selalu tertawa karena merasa mendapat murid yang selama ini dicarinya, lenyap bagai ditarik setan mendengar jeritan Tirta.
"Bocah keparat! Sembarangan kau berani menghina Bidadari Hati Kejam!"
Tirta mengerjapkan matanya berulangkali. Tubuhnya segar sekarang, setelah mendapat penyembuhan aneh yang dilakukan nenek yang ternyata berjuiuk Bidadari Hati Kejam.
"Tetapi... wajahmu, Nek.... Mengerikan sekali.... Aku mau pulang! Aku mau pulang! Oh! Tidak, tidak aku tidak mau pulang! Aku harus mencari kambing-kambingku!"
Kening Bidadari Hati Kejam berkernyit hingga wajah keriputnya makin menggetarkan nyali Tirta.
"Apa maksudmu dengan kambing-kambing? Apakah kau pikir wajahku seperti kambing?!"
Sengat si nenek berkonde keras, membuat Tirta sampai menekap telinga dengan kedua tangannya.
Tetapi hati bocah pemberani itu mulai yakin sekarang, kalau nenek bergigi jarang itu bukan setan gentayangan.
Otaknya yang cerdik tahu kalau perempuan tua itu sedang marah.
Maka buru-buru bibirhya mengulas senyum.
'"' "Mana berani aku bilang kalau kau seperti kambing, Nek? Kalaupun mirip kambing, kau kan berjenggot?"
Cetus Tirta.
"Setan kebluk! Kutampar sobek mulutmu!"
Sentak Bidadari Hati Kejam, dengan tangan terangkat.
"Ampouuun! Jangan, Nek! Jangan tampar. Aku harus cari kambing-kambing Juragan Lanang yang hilang."
"Sekali lagi bicara ngaco, kukirim nyawamu ke akhirat!"
"Jangan, nanti aku tidak tahu pulang!"
Jawaban Tirta sepertinya asal saja. Padahal ja-waban itu muncul dari kepolosannya. Dan ini membuat si nenek terkikik-kikik. Tangan kanannya dilepaskan dari lengan Tirta. Si bocah segera usap-usap lengannya yang rada memerah.
"Siapa namamu, Bocah?"
Tanya Bidadari Hati Kejam.
"Tirta,"
Sahut si bocah.
"Siapa nama orangtuamu?"
"Ayahku bernama Layung Seta. Ibuku bernama Mentari."
"Bocah pemberani,"
Kata batin nenek berkonde itu dengan seringainya.
"Nek, tadi kau menyebut dirimu Bidadari Hati Kejam. Apakah kau memang kejam, Nek?"
Tanya Tirta, membuat si nenek terkejut.
"Bocah sok tahu! Tahu apa kau soal kejam, hah?!"
Bentak Bidadari Hati Kejam.
"Ayahku mengatakan, kalau kita sebagai manusia, hidup harus rukun. Berada dalam jalur lurus dan putih yang menggelombang. Jangan sampai salah jalan. Bila semua berhasil dilakukan, berarti kita memiliki hati bersih dan mulia. Sehingga, seluruh sifat kejam akan sirna."
Untuk yang kesekian kali, kening Bidadari Hati Kejam berkernyit. Ditatapnya dalam-dalam Tirta yang masih menyang-menyong mulutnya. Seolah si bocah tak menyadari kalau perempuan tua itu masih terheran-heran mendengar kata-katanya.
"Nek... jangan menatapku seperti itu,"
Ujar Tirta, merasa jengah ditatap begitu. Nenek berkonde itu merubah raut wajahnya.
"Aku ingin kau menjadi muridku, Bocah."
"Murid? Maksudmu... kau jadi guruku? Belajar apa kita nanti, Nek?"
"Pertanyaan bodoh,"
Dengus batin Bidadari Hati Kejam. Namun di kejap lain si nenek menyadari kalau pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan wajar yang muncul dari seorang bocah berhati bersih.
"Mungkin kau terlalu kecil untuk mengetahui siapa aku ini, Bocah. Tetapi, aku telah menjatuhkan pilihan padamu. Kaulah yang akan mewarisi seluruh ilmu yang kumiliki. Sekaligus menunaikan segala urusan yang membentang di depanku,"
Kata Bidadari Hati Kejam.
"Ilmu apa, Nek?"
Tanya si bocah.
"Kesaktian."
"Wah! Rasanya tak mungkin. Kau saja berhati kejam. Jangan-jahgan setelah aku belajar padamu, hatiku jadi kejam juga. Tidak ah! O ya. Nek, Apakah kau melihat kambing-kambingku?"
Lagi-lagi kening nenek berkonde itu berkernyit mendengar ocehan Tirta.
Ratusan anak manusia yang ingin berusaha mempelajari seluruh kesaktian yang dimilikinya.
Namun, tak satu pun yang berkenan di hati Bidadari Hati Kejam.
Sekarang, bocah bertelanjang dada yang duduk di balai-balai kusam dan reyot di hadapannya itu justru menolak? "Gila! Pertanda apa ini? Apakah kesaktianku tak berarti apa-apa di hadapan bocah ini?"
Rutuk si nenek dalam hati sambil membuang pandangan ke arah lain dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Mendadak, si nenek menatap Tirta dengan penuh harap.
"Bocah bagus! Kau pasti akan memintaku menjadi gurumu bila sudah kuperlihatkan kesaktian yang kumiliki."
Lalu tanpa menunggu jawaban lagi, Bidadari Hati Kejam sudah menarik tangan kanan Tirta yang masih ter-bengong. Dan tahu-tahu dia mencelat keluar gubuk, membawa si bocah.
"Hoooiii!"
Jerit Tirta ngeri sambil memejamkan kedua matanya.
"Di mana kita berada sekarang, Nek?"
Tanya Tirta, ketika telah membuka matanya. Dan kini mereka berada di sebuah tanah lapang yang sangat luas, penuh bebatuan di sana-sini.
"Banyak omong! Kau lihat batu itu?!"
Tunjuk Bidadari Hati Kejam.
"Sejak tadi juga sudah kulihat! Apanya yang aneh dengan batu itu. Di sungai juga banyak batu seperti itu!"
"Bukan batunya yang harus kau lihat, Kebluk! Tetapi..."
Begitu kata-kata Bidadari Hati Kejam habis, tangannya mengibas-ngibas di depan wajah keriputnya. Tak ada angin yang menderu. Tak ada suara yang terdengar.
"Apa yang kau lihat?"
Tanya Bidadari Hati Kejam.
"Masih batu itu! Sudahlah, Nek.... Aku harus mencari kambing-kambing itu bila tak ingin kena marah Juragan Lanang!"
"Bocah kebluk! Kau lihat sekarang! Fuhhh...!"
Bidadari Hati Kejam menghembuskan napas panjang dari mulut, mengarah pada batu besar yang berjarak sepuluh tombak dari hadapannya dan Tirta.
Dan mendadak saja, batu besar itu menjadi seperti serpihan debu yang kontan beterbangan.
Setelah nenek berkonde itu menghentikan tiupannya dan debu pada batu itu menghilang, justru Tirta yang terjingkat.
"Kambingku!"
Sentak si bocah. Tak! "Awww"
Nenek berkonde ini menjitak kepala Tirta. Kontan bocah itu mengusap-usap kepalanya. sambil meringis kesakitan.
"Bodoh! Dari jarak sepuluh tombak, batu itu telah kuukir menjadi bentuk kambing! Bagaimana menurutmu, Bocah Kebluk?"
"Hebat!"
Sahut Tirta, mendumal. Suarariya menyentak, karena jengkel dijitak Bidadari Hati Kejam. Si nenek melototkan matanya lebih lebar.
"Hanya hebat katamu?"
Katanya, bernada jengkel.
"Habis, apa dong?"
Tukas si bocah.
"Langsung menyembah di hadapanku! Dan kau memintaku untuk mengangkatmu sebagai murid!"
Ujar Bidadari Hati Kejam, tegas.
"Siapa bilang aku mau menjadi muridmu?"
"Mau kujitak lagi?"
"Ampun, ampun!"
Tirta sudah melipat kedua tangannya di kepala.
"Jangan jitak lagi, Nek! Sakit! Soal jadi murid, soal gampang, Nek. Tetapi aku tidak mau dimarahi Juragan Lanang gara-gara jadi muridmu. Lagi pula, aku harus bertanggung jawab terhadap kambing-kambing yang hilang! Sudah ya, Nek?"
Perlahan-lahan Tirta menurunkan kedua tangannya dari kepala. Ketika melihat nenek berkonde tak melakukan apa-apa, dia melangkah perlahan.
"Aku mau cari kambingku, ah!"
Katanya, dengan suara terayun. Ditinggalkan begitu, si nenek hanya melongo saja. Sementara, Tirta sudah melenggang santai sambil bersiul-siul.
"Aneh! Kenapa jadi begini?"
Desis Bidadari Hati Kejam, seolah baru sadar kalau bocah yang keras kepala dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi itu sudah berlalu.
Padahal hanya sekali kelebat, dengan mudah dia sudah akan tiba melebihi jarak yang telah ditempuh Tirta.
Tetapi hal itu tidak dilakukannya.
Hatinya masih kagum atas sifat Tirta yang tak bisa disembunyikannya.
"Bocah itu harus kudapatkan! Dialah satu-satunya anak manusia yang cocok untuk menerima seluruh ilmu yang kumiliki! Urusan dengan Manusia Mayat Muka Kuning, biar kutunda dulu untuk membujuk bocah kebluk itu. Tetapi aku juga penasaran dengan berita munculnya Rajawali Emas, hewan peliharaan Sepuh Mahisa Agni yang membawa Batu Bintang di ekornya. Baiknya, kukejar bocah sialan itu."
Baru saja si nenek hendak melangkah, mata tajamnya sudah menangkap bayangan yang melesat dari arah samping berjarak lima tombak dari tempat-berdiri.
"Tak permisi sangat menyakitkan hati bagi yang melihat!"
Serunya.
"Ingin kulihat, siapa kau adanya?!"
Tangan kanan Bidadari Hati Kejam langsung mengembang, lalu mengibas ke arah bayangan hitam yang berkelebat.
Wussss! Merasakan angin deras menderu ke arahnya, bayangan hitam itu menghentikan larinya.
Dan seketika tubuhnya dibuang ke belakang.
Blarrr! Angin yang dilepaskan dari pukulan jarak jauh Bidadari Hati Kejam kontan menghantam tanah, hingga bolong dua tombak.
Sementara bayangan hitam tadi sudah berdiri tegak kembali.
Kepalanya langsung menoleh, dengan tatapan penuh kemarahan.
"Hup!"
Bidadari Hati Kejam seketika mengempos tubuhnya. Dan kini, dia telah berdiri dalam jarak tiga tombak di hadapan bayangan hitam tadi. * * * "Ratu Tengkorak Hitam!"
Dengus Bidadari Hati Kejam sambil menatap tak berkedip pada sosok di hadapannya.
"Pantas bersikap tanpa sopan santun. Ada urusan apa hingga kau nampaknya tergesa-gesa?"
Sosok bayangan yang baru muncul itu memang Ratu Tengkorak Hitam.
Setelah mengalahkan Kaki Gledek, Ratu Tengkorak Hitam mencoba menyusulnya.
Namun dia tak berhasil mendapatkan Kaki Gledek.
Ratu Tengkorak Hitam menatap tajam Bidadari Hati Kejam.
Dia tahu, siapa yang berada di hadapannya.
"Hmmm... Bidadari Hati Kejam.... Kudengar kau sudah lama mengundurkan diri dari rimba persilatan. Kini, tiba-tiba muncul dan membuat urusan. Apa yang memancingmu muncul kembali ke alam yang penuh keangkara murkaan ini?"
Tanya Ratu Tengkorak Hitam, dingin. Sementara, mulutnya tak henti-hentinya mengunyah susur.
"Pertanyaan bagus. Tapi, sekaligus menunjukkan kebodohan orang yang berbicara. Apa urusanmu tanya-tanya begitu, hah?!"
"Bicara boleh, asal jangan menikam hati. Kau telah menebarkan satu bibit yang akan muncul dan berkembang dalam!"
Balas Ratu Tengkorak Hitam lebih dingin. Gerakan mengunyah susurnya semakin cepat, pertanda tak suka dihina.
"Dan aku yakin, kemunculanmu kembali ke rimba persilatan, karena kau menghendaki Batu Bintang pada ekor rajawali raksasa keemasan peliharaan Sepuh Mahisa Agni!"
Nenek berkonde yang bicaranya terkadang keras bernada kejam, lebih lebar membuka matanya.
Dan tiba-tiba saja, raut wajahnya yang penuh kerut-merut berubah kelam.
Bola matanya seperti hendak lompat keluar.
Entah, apa yang terjadi.
Karena tiba-tiba saja, Ratu Tengkorak Hitam, jadi keder hatinya.
Namun, perempuan berbaju panjang warna hitam yang telah lama malang melintang itu tak menampakkan rasa keder yang datang mendadak.
"Hmm.... Berita Rajawali Emas yang membawa Batu Bintang rupanya sudah cepat menyebar. Perempuan bengis dari golongan sesat ini sudah turun tangan,"
Kata batin Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu berusaha mene-kan gejolak amarahnya. Namun begitu, napasnya terlihat turun naik amat cepat.
"Sekian tahun lamanya tak ku-jajaki dunia kotor ini. Selagi muncul harus merampungkan urusan, justru mendapat urusan lain. Ratu Tengkorak Hitam ada di depan mata. Maka, ajal sudah terbentang!"
Kata Bidadari Hati Kejam, penuh tekanan.
Ratu Tengkorak Hitam hanya umbar tawa.
Sehingga, cairan merah campuran ludah busuknya dan perahan susur yang selalu digigit melompat keluar.
Meskipun sikapnya tenang, namun diam-diam kedua tangannya telah merangkum jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'.
"Kalau dulu banyak orang membi-carakan hilangnya Bidadari Hati Kejam dikarenakan tak punya lawan yang mampu menandingi, tetapi hari ini semuanya hanya bual kosong belaka. Ternyata, mundurnya Bidadari Hati Kejam tak lebih karena takut mengumbar kesaktian yang sudah menurun,"
Ejek Ratu Tengkorak Hitam. Suara penuh ejekan bagai satu sengatan lebah singgah di telinga Bidadari Hati Kejam. Dan ini membuat dadanya kian menghentak-hentak.
"Hanya ada dua pilihan. Minggat dari depan mataku, atau rela kehilangan nyawa!"
Ancam Bidadari Hati Kejam, makin sarat kemarahan. Perlahan-lahan Ratu Tengkorak Hitam membuka kedua kakinya, agak melebar. Kali ini tangan kanannya diangkat menyatu dada. Sementara, tangan kirinya berada lurus di samping pinggul.
"Kupilih yang kedua. Karena, aku ingin mencoba menjajaki kesaktianmu yang konon tak pernah terkalahkan sejak tiga puluh tahun belakangan ini,"
Sahut Ratu Tengkorak Hitam, mantap.
"Kau sudah membuat keputusan,"
Desis Bidadari Hati Kejam seraya membuka kedua tangan di dada.
"Jangan salahkan bila nyawamu putus!"
Tanpa membuang tempo, tubuh Bidadari Hati Kejam sudah meluruk disertai angin bergemuruh yang seolah menyambar dahsyat.
* * * Tubuh Bidadari Hati Kejam yang sudah mencelat siap melepaskan satu serangan, disambut Ratu Tengkorak Hitam dengan jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa'.
Buukkk! "Aaakh...!"
Dua tangan yang sama-sama telah berisi tenaga dalam tinggi bertemu dalam satu benturan keras.
Kedua perempuan tua itu sudah sama-sama berseru tertahan.
Bidadari Hati Kejam hanya mundur tiga tindak.
Segera dikerahkannya hawa murni untuk mengobati lengannya yang terasa agak ngilu.
Sedangkan Ratu Tengkorak Hitam mencelat tiga tombak ke belakang.
Bukan hanya lengannya saja yang terasa seperti patah, tapi juga tulang pangkal lengannya pun agak masuk ke dalam, menabrak dadanya.
Dari benturan yang baru saja terjadi, Ratu Tengkorak Hitam sebenarnya maklum kalau nama besar Bidadari Hati Kejam bukan omong kosong belaka.
Apalagi ketika menahan serangan dengan salah satu jurus andalannya, yang membuat Kaki Gledek lintang pukang.
Ternyata, jurus andalannya tak banyak membawa arti pada Bidadari Hati Kejam.
"Peduli setan! Setinggi apa pun ilmu nenek berkonde itu, aku tak akan mundur!"
Rutuk Ratu Tengkorak Hitam dalam hati.
Bet! Bet! Kembali Ratu Tengkorak Hitam mempersiapkan jurus andalan lainnya, 'Undang Maut Sedot Darah'.
Sebuah jurus yang sangat dahsyat, karena dari jarak dua puluh tombak telah mampu menyedot darah lawan hingga habis.
Perubahan wajahnya nampak jelas.
Butiran keringat mendadak muncul.
Tubuhnya bergetar.
Bukan karena menahan sakit, melainkan karena tenaga yang dialirkan pada kedua lengannya yang kini berubah makin hitam.
Namun belum lagi nenek berbaju panjang warna hitam itu melepaskan pukulannya....
"Undang Maut Sedot Darah!"
Bidadari Hati Kejam yang berdiri empat tombak mendesis keras agak tertahan.
"Tak mungkin sahabatku si Raja Lihai Langit Bumi mau menurunkan ilmu andalannya itu padamu! Kau pasti telah mencurinya, Perempuan Hina!"
Lanjut Bidadari Hati Kejam, mengkelap. Ratu Tengkorak Hitam sebenarnya cukup terkejut mendengar seruan Bidadari Hati Kejam yang bisa menebak jurusnya. Namun rasa terkejutnya segera ditindih dengan mengumbar tawanya kembali.
"Peduli setan setiap ucapanmu, Bidadari Hati Kejam!"
Seru Ratu Tengkorak Hitam disertai muncratan cairan warna merah.
"Yang perlu kau ketahui sekarang, jurus 'Undang Maut Sedot Darah' telah aku kuasai! Lebih baik, akui kekalahanmu sebelum darah yang mengalir tak seberapa dalam tubuh rentamu itu akan sirna sekali tekan!"
Wajah si nenek berkonde itu membesi.
"Raja Lihai Langit Bumi. Ada hubungan apa dia dengan wanita tua hina ini? Tak mungkin dia akan menurunkan ilmu itu pada Ratu Tengkorak Hitam yang terkenal senang membual. Apakah sekarang dia sudah menjadi sahabatnya, Rasanya sangat tipis kemungkinannya seandainya Ratu Tengkorak Hitam mampu mengalahkan dan memaksa Raja Lihai Langit Bumi untuk mengajarkan jurus 'Undang Maut Sedot Darah'. Dalam dua gebrakan saja Ratu Tengkorak Hitam pasti akan terkapar. Hhh! Jurus 'Undang Maut Sedot Darah' adalah jurus yang mengerikan. Meskipun dua kali pernah kulihat Raja Lihai Langit Bumi memamerkannya padaku, tetapi aku tidak tahu kelemahannya. Peduli dedemit gunung karang sekalipun! Akan kubuat melek mata Ratu Tengkorak Hitam! Tetapi, hubungan apa yang telah terjadi antara Raja Lihai Langit Bumi, hingga jurus mautnya berhasil dipelajari Ratu Tengkorak Hitam?"
"Apakah kau belum membuat keputusan?"
Sentak Ratu Tengkorak Hitam malan mengunibar seringai lebar. Sehingga, membuat kerut di wajahnya makin nampak.
"Kini kau yang tentukan pilihan! Akui kekalahanmu dan menjadi pengikutku atau kau akan mampus dengan tubuh kering?!"
"Sesumbarmu terlalu tinggi. Ratu Tengkorak Hitam!"
Desis Bidadari Hati Kejam dengan wajah garang.
"Meskipun aku tak tahu, apa hubunganmu dengan Raja Lihai Langit Bumi, tak akan kulepaskan manusia busuk seperti kau ini!"
"Kita membuktikan ucapanmu itu, Bidadari Hati Kejam!"
Habis berkata begitu, Ratu Tengkorak Hitam menepuk kedua tangannya.
Maka seketika kedua tangannya telah memancarkan sinar hitam yang menyilaukan mata.
Bersamaan dengan itu, lima belas larik sinar hitam melesat ke arah Bidadari Hati Kejam.
Set! Set...! "Uts...!" .
Bidadari Hati Kejam cepat berjumpalitan, mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
Seketika lima belas larik sinar hitam yang mencelat dari tepukan tangan Ratu Tengkorak Hitam, menghantam beberapa batu besar yang berjarak sepuluh tombak hingga berantakan dan berpentalan jauh.
Dan ketika jatuh ke tanah, luruh jadi debu! Saat itu juga wajah Bidadari Hati Kejam jadi pias melihat kesaktian lawannya.
Kemarahannya pun bertambah naik.
Sesungguhnya, dia memang berhati kejam.
Terutama, terhadap orang-orang golongan sesat.
Makanya dia dijuluki Bidadari Hati Kejam.
Nenek berkonde itu tak mau bertindak ayal lagi.
Begitu tepukan.tangan dari Ratu Tengkorak Hitam terdengar, segera pengebut di balik bajunya dicabut.
Wuuuttt! Wuuuttt! Beberapa kali kibasan, maka angin laksana topan marah kontan menderu dahsyat.
Kedahsyatan angin itu benar-benar terbukti.
Saat itu juga, lima belas larik sinar hitam Ratu Tengkorak Hitam mencelat balik ke pemiliknya.
"Heh...?!"
Seketika terdengar seruan tertahan dari mulut Ratu Tengkorak Hitam. Saat itu juga, tubuhnya berkelebat cepat.
"Untungnya kugunakan jurus 'Rangkai Bunga Habisi Kumbang' melalui senjataku ini. Hasilnya, bukan hanya membuat Ratu Tengkorak Hitam tunggang-langgang, tetapi membuat kuyakin kalau dia tak menguasai secara benar jurus tadi. Kalau yang mempergunakan Raja Lihai Langit Bumi, sinar hitam yang telah dilepaskan tak akan berbalik ke pemiliknya. Malah mungkin bisa menyusup masuk ke dalam lawan, kendati berada di lobang semut sekalipun. Hhh! Raja Lihai Langit Bumilah yang kupikit mampu menandingi ilmuku puluhan tahun lalu. Tetapi aku dan dia berada dalam jalan lurus, hingga tak pernah terjadi bentrokan."
Sementara itu, Ratu Tengkorak Hitam telah berdiri tegak kembali dengan wajah pias. Tangannya tak lagi berada di depan dada.
"Aku mengaku kalah padamu, Bidadari Hati Kejam! Tetapi urusan ini tak akan kulupakan!"
Desis Ratu Tengkorak Hitam, dingin..1
"Ratu Tengkorak Hitam! Kau boleh tinggalkan tempat ini. Tetapi, nyawa busukmu harus kau tanggalkan Usai berkata begitu, pengebut di tangan Bidadari Hati Kejam bergerak. Namun, orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat cepat. Akibatnya, hantaman pengebut yang dilepaskannya menghantam batu besar hingga hancur menjadi debu.
"Kurang ajar! Hhh! Nyawamu sudah ada di tanganku, Ratu Tengkorak Hitam!"
Maki Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu berdiri dengan tubuh agak mencangkung. Diselipkannya lagi pengebut ke balik pakaiannya.
"Urusan ini telah jadi kapiran. Manusia Mayat Muka Kuning belum kutemukan. Manusia itu harus kucabut nyawanya, karena memaksaku keluar dari kediamanku. Belum lagi selesai urusan itu, muncul Ratu Tengkorak Hitam. Hhh! Mengapa sahabatku mengajarkan jurus andalannya pada Ratu Tengkorak Hitam? Apakah dia sudah membelot dari jalur lurus yang telah dijalani berpuluh tahun? Kalau Raja Lihai Langit Bumi telah mencoreng arang di mukanya sendiri, tak segan-segan aku turun tangan meskipun nyawa taruhanhya! Tentang burung Rajawali Emas yang muncul membawa bongkahan batu sakti yang disebut Batu Bintang, rupanya telah memancing keluar para tokoh rimba persilatan. Hhh.... Urusanku bisa berubah kacau! Lalu aku... sialan! Bocah itu pasti sudah jauh! Aku sudah jatuh hati pada bocah nakal itu! Sialan lagi! Mengapa dulu orang-orang rimba persilatan menjulukiku Bidadari Hati Kejam? Padahal, julukan itu hanya pas untuk golongan sesat yang akan mampus di tanganku! Sialan, dasar sialan! Padahal aku berhati lembut!"
Dengan wajah tak karuan dan mulut menyang-menyong, nenek berkonde itu mendumal.
Sesekali kaki kanannya diangkat dan dihentakkan di tanah.
Tanah yang dihentak itu tidak amblas.
Bahkan batu besar yang berjarak tiga tombak dengan dirinya bergeser sejauh sepuluh tombak.
Sesaat kemudian, si nenek berkelebat ke arah perginya Tirta.
* * * Akibat kambing-kambing yang digembalakan hilang entah ke mana, Tirta merasa harus bertanggung jawab.
Bocah ini terus melangkah, tanpa mempedulikan kelelahan dan kepenatan tubuhnya.
Tak dipedulikannya sinar mentari yang mencorong garang.
Masih untung perutnya sudah diisi dengan memakan buah-buahan yang disediakan Bidadari Hati Kejam tadi.
Kini Tirta menghentikan langkah-nya di bawah sebatang pohon.
Rasa haus mulai mencekik tenggorokannya.
Sambil menghenyakkan pantatnya, kepalanya menengadah.
Dicarinya buah-buahan pohon yang akan dijadikan tempat berteduh.
Tetapi, nihil.
Begitu pula dengan beberapa pohon lain yang dilalui tadi.
Sementara rasa haus makin mencekiknya.
Sedangkan keringat semakin banyak,tumpah, seperti kesia-siaan belaka.
"Waduh! Ke mana lagi aku harus mencari kambing-kambing itu? Berabe kalau begini!"
Keluh bocah berusia sekitar dua belas tahun itu seraya menghembuskan napas panjang.
"Pokoknya, aku tidak akan pulang sebelum membawa kambing-kambing itu! Tetapi... aku rindu pada Ibu. Aku ingin jumpa Ibu. Sedang apa Ibu sekarang, ya? Tentunya Ibu sangat mencemaskan aku, sama seperti Ayah. Ah, Ibu.... Sebentar lagi kita akan bertemu, setelah kutemukan kambing-kambing itu."
Di benak bocah ini segera membayangkan seandainya bertemu ibunya.
Akan dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang yang tentunya sangat cemas memikirkannya.
Lalu akan diceritakan pada ayahnya kalau dia tidak pulang, karena harus bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing milik Juragan Lanang.
Bibir Tirta tersenyum memikir-kannya.
"Kata Ibu... aku diberi nama Tirta. Karena Ibu mengharapkan kehi-dupanku akan melaju terus. Tirta itu berarti air. Setiap air sungai, gunung, dan lainnya, semuanya mengalir ke laut. Ibu ingin hidupku kelak seperti itu. Hanya mendapatkan hambatan kecil yang tak seberapa, dan akhirnya menuju cita-cita yang kuinginkan. Kata Ibu, air mengalir itu terus bergerak tanpa menghiraukan rintangan. Air selalu menjadi teman manusia. Tetapi air bisa jadi musuh manusia. Ibu berharap aku menjadi teman manusia sesama, dan menjadi lawan bagi orang-orang durjana. Hmm... Hebat sekali Ibu memberi nama buatku. Kata Ayah aku diberi nama Tirta karena saat aku hendak dilahirkan, Ibu sedang pergi mandi. Dan hampir saja aku mbrojol di sungai bila saja Ibu tidak cekatan dan Ayah tak segera datang. Karena saat pertama aku dilahirkan sudah berteman dengan sungai. Akhirnya, aku dinamakan Tirta. Ah.... Kedua cerita itu ciikup membuatku senang."
Selagi Tirta tersenyum sendirian. Werrrr...! "Koaaakkk!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagai membedah langit, disusul suara sangat dahsyat, seperti mengalahkan kerasnya suara guntur.
Tirta tersentak dan langsung berdiri.
Seketika kepalanya menengadah ke langit.
Dari tempatnya berdiri, yang terhalang rimbunnya dedaunan, mata kecilnya melihat kelebatan bayangan keemasan.
Sangat indah, dan membuatnya terpana beberapa saat.
Apalagi, bayangan raksasa keemasan itu tidak segera berlalu seperti yang pertama kali dilihatnya.
Justru terbang berputaran tetap dengan suara menggebah.
"Aku yakin, bayangan keemasan yang kulihat itu adalah seekor burung. Tetapi... burung apa yang besarnya empat kali seekor gajah dewasa?"
Kalau bocah lain yang melihat burung raksasa itu, tentu akan langsung berlari ketakutan. Tetapi Tirta yang memang penasaran, justru jadi tertarik.
"Hoooiii! Burung raksasa! Ayo, turun! Ajak aku terbang untuk mencari kambing-kambing yang hilang!"
Teriak si bocah, tanpa sadar. Burung rajawali keemasan itu berkaok-kaok keras. Suaranya mengguntur, sekaligusi mengerikan.
"Wah.... Kalau tidak mau, ya sudah! Pergi sana! Jangan ganggu aku! Kedatanganmu "tak bisa menghilangkan rasa hausku, tahu?!"
Seru Tirta seraya menurunkan kepalanya kembali.
Dan tanpa sengaja, mata bocah ini melihat sebatang rumput yang tumbuh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Cepat kakinya melangkah menghampiri.
Dan niatnya untuk mencabut rumput diurungkan, karena di tempat itu tak ada rumput lain, kecuali rumput yang mendatangkan rasa heran di hatinya.
Rumput itu tak berwarna hijau, tapi berwarna kuning seperti rumput kering.
Di ujung rumput, tampak putih bunga kuning yang indah.
Lebih banyak didorong rasa herannya, Tirta mencabut rumput itu.
Diamat-amatinya sejenak.
Karena kebiasaannya yang suka menghisap-hisap rumput, mulailah rumput aneh itu dimasukkan ke mulutnya.
Lalu dihisap-hisapnya.
"Manis.... Lumayan buat penghi-lang hausku meskipun hanya sedikit."
Masih menghisap-hisap sari rumput yang terasa manis, bocah itu kembali menengadahkan kepalanya ke atas. Burung rajawali raksasa keemasan itu masih berputar di angkasa. Sayapnya mengepak berulang-kali, menimbulkan suara mengguntur.
"Sudah sana pergi! Aku mau tidur dulu sebelum melanjutkan mencari kambing-kambing itu!"
Lalu dengan santai dan masih menghisap-hisap sari manis dari rumput yang dicabutnya, Tirta kembali ke pohon tadi.
Tubuhnya segera disandarkan di bawahnya.
Namun yang tak disangka Tirta, burung raksasa itu bukannya terbang menjauh, tapi justru menukik.
Angin besar kontan menerbangkan dedaunan saat burung raksasa itu hinggap di atas tanah.
Bukan main tercengangnya Tirta melihat betapa besarnya burung yang berjarak dua puluh tombak dari hadapannya.
Tak sadar kedua matanya melebar dengan mulut terbuka.
Rumput yang bersari manis tadi terlepas dari gigitannya.
Dan lagi-lagi bukannya ketakutan, si bocah justru bangkit dan berjalan mendekati rajawali raksasa itu.
Mukanya kesal sekali.
"Ayo terbang lagi sana! Aku mau tidur!"
Usir Tirta dari jarak tiga tombak.
Tetapi kemudian, si bocah melongo ketika burung raksasa itu menegakkan kepala.
Bola matanya yang kemerahan menatap langsung ke arah Tirta.
Dari melongonya, pandangan Tirta berubah menjadi kagum.
Diamatinya burung rajawali raksasa itu dari kepala sampai kaki.
Paruh burung itu besar dan kokoh, melengkung kuat dengan ujung runcing tajam.
Lehernya penuh bulu tebal berwarna keemasan bercampur kemerahan.
Di atas kepalanya, terdapat jambul berwarna keemasan yang sangat terang.
Bagian badannya berwarna keemasan, bercampur kemerahan dan kebiruan.
Sayapnya berwarna keemasan, bercampur abu-abu.
Yang paling menarik adalah ekornya.
Lebar panjang, berwarna keemasan.
Kedua kakinya yang sebesar kaki manusia dewasa itu tampak kering, sekeras baja dan agak bersisik.
Jari-jarinya mekar, dengan kuku-kuku runcing tajam dan melengkung.
Bola matanya yang besar berwarna kemerahan.
"Hei, Rajawali.... Peliharaan siapakah kau ini? Apakah ada manusia raksasa di zaman ini?"
Ucap Tirta, perlahan-lahan. Rajawali itu seperti mengerti kata-kata Tirta. Kepalanya digerak-gerakkan seperti menggeleng sambil mengeluarkan suara berkoak-koak. Kening Tirta berkerut.
"Hei? Kau pintar sekali rupanya! Pemilikmu pasti sudah mengajarkanmu untuk bercakap-cakap, bukan? Kalau begitu, ayo cepat tinggalkan tempat ini. Kau harus kembali pada pemilikmu. Kasihan dia kalau mencari-carimu."
Tetapi rajawali itu kembali menggerak-gerakkan kepalanya seperti menggeleng. Lalu kepalanya bergerak-gerak ke arah belakang. Tirta mengerutkan keningnya kembali.
"Apa maksudmu?"
Tanyanya bingung.
Si bocah memperhatikan sekali lagi tanpa kedip pada rajawali yang menggerak-gerakkan kepalanya lagi ke arah belakang.
Tirta berjalan menyamping sepuluh tombak, karena terhalang tubuh besar itu untuk melihat ke belakang.
Dia celingak-celinguk beberapa saat.
"Hoooii! Tidak ada siapa-siapa di belakang? Apa maksudmu barusan tadi?"
Kembali rajawali itu menggerak-gerakkan kepalanya. Tirta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Maksudmu, aku ikut denganmu, ya?"
Kali ini Tirta melihat rajawali itu mengangguk-angguk.
"Wah! Nanti saja! Aku harus mencari kambing-kambingku dulu. Sebenarnya sih, aku mau menunggangimu, Karena dari atas tentunya lebih mudah mencari kambing-kambing yang hilang, bukan? Tetapi, tidak ah...! Nanti aku malah jatuh."
Tirta melihat sepasang mata rajawali itu meredup. Hatinya jadi tidak enak.
"Wah.... Jangan begitu dong. Nanti saja aku ikut denganmu setelah kutemukan kambing-kambingku, ya? Kalau begitu sampai ketemu lagi...."
Lalu dengan santainya, Tirta melangkah kesamping dan menuju ke arah timur.
Ditinggalkannya rajawali raksasa yang nampak sedih diperlakukan seperti itu.
Tak lama kemudian, burung itu pun mengepakkan lagi kedua sayap besarnya.
Tubuhnya langsung mengangkasa dengan suara gemuruh keras.
Tirta sampai menoleh dan mengusap usapdadanya.
"Copot! Copot! Ya sudah terbang saja sana!"
Tetapi rajawali keemasan itu justru terbang berputaran di atas kepalanya. Tirta yang melangkah di bawahnya segera menghentikan langkah dan mendongak.
"Hei! Sana dong! Suaramu justru akan membuat kambing-kambing yang sedang kucari makin kabur!"
Tetapi burung itu terus terbang di atas kepalanya.
Akibatnya, kepakan sayapnya menimbulkan angin besar.
Tirta mendumal panjang pendek.
Lalu tanpa menghiraukan rajawali raksasa itu lagi bocah itu kembali melangkah.
Tetapi, lama-kelamaan bertambah jengkel.
"Hooiii! Sana dong! Suaramu itu bikin takut kambing-kambingku! Aku harus bertanggung jawab atas hilangnya kambing-kambing itu!"
Teriak Tirta. Dan seperti menuruti kata-kata Tirta, rajawali raksasa itu terbang dan lenyap dari pandahgan. Bocah itu lantas tersenyum dengan sikapjumawa.
"Nah, begitu dong. Kan urusanku jadi beres."
Namun sebelum si bocah mulai melangkah, mendadak....
"Berhentiii...!" * * * Tirta kontan menghentikan lang-kahnya dan menoleh ketika terdengar bentakan menggelegar. Di samping kanannya berjarak dua tombak, berdiri seorang lelaki tinggi besar berbaju merah. Matanya menatap dingin penuh kesengitan.
"Dikira siapa? Tidak tahunya tukang sampah,"
Gumam Tirta seraya melangkah kembali dengan anehnya. Tapi.... Tap! Mendadak, sebuah tangan penuh bulu tahu-tahu telah menyambar tangan Tirta. Ketika tangannya ditarik, Tirta tersuruk ke belakang.
"Apa-apaan ini? Lepaskan!"
Umpat si bocah.
Lelaki tinggi besar yang baru datang itu tak lain adalah Kaki Gledek.
Setelah berhasil mengelabui Manusia Mayat Muka Kuning, dia yang bersikeras untuk mendapatkan Batu Bintang terus melanjutkan langkah.
Dan tak disangka, lelaki ini melihat rajawali itu berada di atas kepala bocah itu.
"Kemana rajawali itu pergi?"
Tanya Kaki Gledek dingin, penuh ancaman. Tatapan matanya melebar pada Tirta yang merasa kesakitan akibat lengannya dicekal keras.
"Mana aku tahu? Justru dia kusuruh pergi!"
Sahut Tirta, kesal.
"Bodoh! Panggil burung itu ke sini!"
"Wah.... Bagaimana caranya? Aku tidak tahu dia datang lagi! Kambing-kambingku yang hilang bisa makin jauh kalau mendengar suara burung itu datang."
"Bocah keparat! Kutampar mulutmu yang lancang hingga kau mau bicara!"
Kaki Gledek mengangkat tangan kirinya.
Segera dilayangkannya tamparan pada pipi Tirta.
Bocah itu langsung memejamkan matanya.
Tetapi bukan tamparan keras yang dirasakan Tirta.
Justru lengannya dicengkeram orang tinggi besar itu tiba-tiba terasa terlepas.
Dan....
Wuuut! Tamparan Kaki Gledek meleset.
"Hei!"
Orang tinggi besar itu menarik wajah tegang dengan mulut terbuka lebar. Sungguh heran Kaki Gledek, karena tamparan yang sangat dekat luput begitu saja.
"Bocah sialan! Kuhajar kau!"
Maki Kaki Gledek.
Dengan garangnya, Kaki Gledek menyerbu ke arah Tirta yang lagi-lagi memejamkan mata sambil menekap kepalanya dengan kedua tangan.
Namun lagi-lagi bocah itu .merasakan tubuhnya bagai ada yang menarik dari hajaran Kaki Gledek.
Dua kali hajaran tak kena sasaran, kaki Gledek menghentikan tindakannya.
Dia tegak berdiri.
Kepalanya langsung menoleh ke sana kemari.
"Tak mungkin bocah ini bisa menghindar begitu saja. Pasti ada orang iseng yang menolongnya,"
Gu-mam Kaki Gledek.
"Orang iseng yang mau cari mampus! Lekas keluar sebelum kupatah-patahkan seluruh tulang dalam tubuhmu!"
Bentaknya.
Tak ada sahutan yang terdengar.
Tak ada sosok tubuh yang mencelat keluar.
Yang ada, justru Tirta yang tengah mengintip dari balik lengannya yang tertekuk ke atas.
Dilihatnya orang tinggi besar berbaju merah itu sedang celingukan mengumbar bentakan keras ke sana-sini.
Tirta yang berotak cerdik buru-buru mundur mempergunakan kesempatan.
Lalu tubuhnya berbalik dan berlari.
Dari ekor matanya, Kaki Gledek bisa melihat kalau bocah itu berniat melarikan diri.
Segera tangan kanannya diangkat, siap melancarkan satu pukulan jarak jauh.
"Hei...?!"
Namun lagi-lagi lelaki itu melongo. Karena dalam sekali kerjapan mata, bocah itu sudah tak nampak di hadapannya. Rasanya mustahil bila bocah itu memiliki ilmu meringankan tubuh.
"Keparat!"
Makinya sambil menurunkan tangannya kembali.
Mata belo Tirta seakan tak percaya melihat apa yang terjadi di hadapannya.
Semakin kuat keyakinannya kalau ada orang yang menolong bocah itu.
Dan akhirnya, diyakini kalau orang yang menolong bocah itu memiliki ilmu sangat tinggi.
Terbukti dia tak mampu menemukan Tirta yang dibawa sosok yang masih belum jelas siapa.
"Sialan! Siapa orang itu sebenarnya?"
Maki Kaki Gledek dengan wajah membesi.
Apa yang terjadi itu dirasakan lelaki tinggi besar itu seolah menjadi tantangan baginya.
Dia tak akan membiarkan ada orang lain menghina seperti itu.
Tetapi tiba-tiba dia menjadi kecut ketika tiba pada satu pikiran.
"Apakah Martusia Mayat Muka Kuning yang melakukannya karena sudah tahu aku mengelabuinya? Atau, Ratu Tengkorak Hitam yang secara tidak langsung ingin menculik bocah itu? Ini bisa jadi, karena dia juga melihat bocah itu seperti bercakap-cakap dengan Rajawali Emas! Sialan! lebih baik kutinggalkan tempat ini dan meneruskan mencari Rajawali Emas. Sambil lalu, aku harus menemukan bocah sialan itu. Karena, dialah sekarang kunci dari semua rahasia yang terpendam ini. Bila melihat si bocah yang seperti bercakap-cakap dengan Rajawali Emas itu, aku yakin dia mampu memanggilnya. Berarti, memang dialah kunci dari semua ini. Dan dia harus kumiliki dan kupaksa untuk memanggil turun rajawali itu. Tetapi dasar sialan! Siapa yang menggangguku tadi, hingga aku gagal menangkapnya?"
Sambil mcmaki tak karuan dengan pikiran tak menentu, Kaki Gledek mencelat ke arah Tirta pergi tadi.
* * * Sudah empat hari Tirta tak kem-bali ke rumah, sejak mencari kambing-kambing yang hilang.
Di rumahnya, keadaan ibunya jauh dari sifat keriangan sehari-harinya.
Wanita yang tengah dirundung kerinduan pada putranya itu jadi enggan makan.
Perasaannya benar-benar tak enak.
Yang diingat hanya putranya semata.
Layung Seta menarik napas panjang sambil menatap wajah pucat istrinya.
"Mentari... makanlah...,"
Bujuk lelaki ini, mendesah. Mentari tersenyum tipis.
"Apa anak kita sudah kembali, Kakang?"
Tanya wanita itu bagai hafalan belaka.
Tak ada nada pertanyaan.
Layung Seta menggeleng.
Hatinya kian pedih.
Apalagi mengingat bahwa dia telah menghajar anak buah Juragan Lanang yang mendesaknya agar menyerahkan sepuluh ekor kambing yang belum kembali.
Tiba-tiba salah seorang lelaki masuk terburu-buru ke dalam ruangan.
"Ada apa, Mardi?"
Sambut Layung Seta, dengan sebuah pertanyaan.
"Layung.... Orang-orang Juragan Lanang si lintah darat itu datang kembali,"
Lapor lelaki bernama Mardi. Layung Seta menarik napas pendek.
"Hm.... Urusan bisa jadi makin panjang. Siapa saja yang berada di depan?"
"Aku. Sumirat, Gondo, dan Wajak,"
Jelas Wardi.
"Katakan pada mereka, jangan ada yang ikut campur."
"Layung.... Kau sahabat kami sejak kecil. Dan lagi, Juragan Lanang telah memeras kita. Mana bisa kami membiarkan kau...."
"Kuhargai bantuanmu, Mardi,"
Potong Layung Seta.
"Tetapi perlu kau tahu, Juragan Lanang memiliki banyak anak buah berkepandaian tinggi. Lebih baik kalian tetap berdiam tanpa berbuat apa-apa. O, ya Mardi.... Kalau terjadi sesuatu... tolong selamatkan istriku."
Mardi menganggukkan kepala saja.
Hatinya penasaran ingin membantu Layung Seta yang merupakan sahabatnya sejak kecil.
Namun kemudian dia keluar lagi.
Di luar, dia melihat tiga temarinya tengah berdiri di depan pintu masuk tengah menghaiangi langkah lima orang lelaki berwajah bengis.
Salah seorang dari mereka adalah lelaki yang sebelumnya dipecundangi Layung Seta.
Namanya, Barok.
Merasa paling punya urusan, Barok melangkah satu tindak.
"Minggir kalian semua, bila masih ingat anak dan istri!"
Bentaknya, garang. Lelaki yang bernama Sumirat menggeram. Tangannya segera meraba hulu golok.
"Barok! Ternyata kau hanya jadi anjing peliharaan Juragan Lanang. Bukankah kau tahu, siapa manusia keparat yang berkedok sebagai juragan itu?!"desis Sumirat. Barok memicingkan kedua matanya. Hatinya mengkelap oleh kata-kata Sumirat.
"Jangan ikut campur, Sumirat!"
"Setan! Apakah pikirmu setelah menjadi anjing suruhan Juragan Lanang kau merasa lebih jago dariku? Jangan jual lagak di hadapanku, Barok!"
Sahut Sumirat, tak gentar. Bahkan mundur sejengkal pun tidak.
"Keparat! Kau ingin merasakan pukulanku rupanya?!"
Bentak Barok, Lelaki suruhan Juragan Lanang itu sudah siap menurunkan tangan telengas.
Namun Sumirat sudah langsung menarik kaki kanannya ke belakang.
Kini tubuhnya agak condong ke depan dengan kedua tangan siap menangkis serangan.
Tetapi belum lagi bentrokan itu terjadi, Layung Seta telah berdiri di depan pintu rumahnya.
"Minggir, Sumirat! Ini urusanku dengan orang-orang tak punya otak itu!"
Teriaknya, lantang.
Sumirat kembali pada sikap semula.
Dan dia langsung menoleh ke arah Layung Seta yang sudah melangkah ke arahnya.
Sebentar saja ayah dari Tirta itu sudah berdiri di sisinya sambil menatap Barok.
Tanpa sadar lelaki suruhan Juragan Lanang itu mundur dua tindak, langsung bersembunyi di belakang lelaki berbaju hitam.
"Layung,... Lebih baik kau masuk ke dalam. Urusan ini sudah kepalang basah. Biar kami menghadapinya. Terutama, anjing itu!"
Seru Sumirat seraya menunjuk ke arah Barok. Layung Seta menghembuskan napas perlahan. Tangan kanannya memberi isyarat pada Sumirat agar diam.
"Ini jadi urusanku. Lebih baik kalian minggir,"
Tandas Layung Seta. Sumirat hendak membantah, tetapi Layung Seta sudah memotong kembali.
"Ingat! Sebagai sahabat, aku sangat menghargai pengorbanan kalian. Tetapi aku tak ingin kalian menjadi sasaran manusia-manusia ini!"
Lalu dengan gagah Layung Seta maju dua tindak. Dia berhenti pada jarak dua Jombak dari orang-orang yang memandang bengis padanya.
"Barok...! Apakah kau tak puas juga setelah kuhajar tadi pagi?!"
Merasa bersama teman-temannya, sikap Barok jadi lebih hebat dari semula.
Lelaki yang tak tahu malu itu maju dua tindak dengan kedua tangannya melipat.
Sementara, Layung Seta masih bersikap tenang.
Tapi sahabat-sahabatnya yang berada di belakang sudah tak sabar untuk menghajar rontok gigi Barok yang terlihat pongah kini.
"Juragan Lanang menitip pesan padamu, Layung! Bila sampai besok sepuluh ekor kambingnya yang dilarikan anakmu belum kembali, rumah ini akan disita! Dan kau yang belum melunasi hutang padanya, harus bekerja disa-wahnya. Begitu pula istrimu. Dia harus bekerja sebagai babu!"
Kata Barok.
"Omonganmu membuat darahku mendidih, Barok! Anakku tidak membawa kabur kambing-kambing itu!"
Desis Layung Seta.
"Kalau begitu, di mana anakmu sekarang, ha?!"
Bentak Barok, sok galak.
"Sudah empat hari ini anakku tak tahu di mana rimbanya. Bersama sahabat-sahabatku ini, aku sudah mencarinya ke mana-mana. Namun dia tak kutemukan."
"Anakmu tentunya sudah menjual kambing-kambing itu. Dan sekarang, dia bersembunyi karena takut kuhajar."
Mendengar tuduhan Barok. hati Layung Seta jadi mengkelap. Napasnya jadi sesak dengan bahu turun naik.
"Jaga mulutmu, Barok. Sekali lagi kau menuduh begitu, aku tak akan bertindak segan lagi!"
"Urusan Juragan Lanang telah kusampaikan padamu, Layung. Sekarang kita teruskan urusan tadi pagi. Nah! Kuajak teman-temanku ini untuk menghajarmu, Layung!"
Belum lagi Layung Seta berkata, tiga orang teman Barok sudah menerjang.
Sementara, Barok tersenyum-senyum.senang.
Di benaknya sudah terbayang, kalau Layung Seta akan babak belur.
Belum lagi ketika matanya melirik lelaki tinggi besar berbaju hitam terbuka yang masih tenang-tenang saja.
Akan disaksikannya satu pembalasan mengasyikkan.
Sementara Layung Seta menghadapi tiga lawan ganas, sahabat-sahabatnya hanya saling berpandangan.
Tangan mereka sudah gatal hendak membungkam mulut Barok.
Menghadapi tiga serangan ganas itu, Layung Seta nampak masih berada di atas angin.
Bahkan dalam jurus keempat....
Duk! Des...! Dua lawan kontan jatuh terduduk sambil mendekap perut akibat tendangan keras Layung Seta.
Kemudian....
Des! "Aaakh...!"
Tendangan memutar yang dilakukan Layung Seta sambil melompat, kontan menghantam penyerang terakhir yang masih bertahan.
Terdengar suara keluhan tertahan saat tubuhnya ambruk, menyusul dua temannya yang tengah kesakitan.
Sambil menahan sakit ketiga lelaki itu buru-buru beringsut ke belakang, mehjauhi Layung Seta yang sedang mengatur napas perlahan dengan tatapan ke arah Barok dan lelaki berbaju hitam terbuka, memperlihatkan bulu-bulu di dada.
Bersamaan dengan itu....
"Hebat kau, Layung Seta! Sayangnya, kau telah mempermalukan sahabatku ini! Perkenalkan! Orang-orang menjulukiku Cakar Harimau,"
Dengus lelaki berbaju hitam. Suaranya berat,'bagai gerengan harimau."
Layung Seta hanya tersenyum tipis.
"Kita tak saling kenal. Tapi kau telah membuat urusan. Bila kau pergunakan otak, maka kau akan tahu. Sahabat macam Barok itu tak patut kau bela,"
Sahut Layung Seta, tenang.
"Peduli setan ucapanmu, Layung Seta! Kau telah mempermalukan sahabatku. Dan itu berarti, kau telah membuatku malu pula! Ingin kurasakan kehebatanmu itu, Layung!"
Begitu habis kata-katanya, lelaki yang mengaku berjuiuk Cakar Harimau menerjang cepat.
Kedua tangannya yang membentuk cakar mengibas-ngibas, siap mencabik-cabik tubuh lawan.
Layung Seta sejak semula yakin kalau lawan bukanlah orang samba-rangan.
Maka dia coba menjajaki dengan mengandalkan kecepatan menghindar.
Di samping itu, dia juga mencoba menguras tenaga lawan sambil sesekali mengirim serangan mendadak.
Namun agaknya, Cakar Harimau memang jelas harus diperhitungkan.
Pada jurus kesembilan Layung Seta sudah terkesiap ketika bajunya tercabik-cabik oleh cakaran Cakar Harimau.
Bahkan paha kanannya telah berdarah, tergores oleh kuku-kuku tajam lawan.
Layung Seta mundur lima langkah ke belakang.
Matanya tak berkedip menatap lawan yang sedang menerjang.
"Kau akan mendapat tanda peringatan dariku, Layung!" . Namun sebejum dua cakar lawan mencabik, empat bayangan telah berkelebat ke arah Cakar Harimau yang sama sekali tak menduga. Plak! Plak! Des! Des! Dua bayangan memapaki serangan, dan dua lagi menghantam tubuh Cakar Harimau. Akibatnya lelaki tinggi besar penuh bulu itu terjajar mundur dengan kegeraman meradang. Di tempat lain, empat sahabat Layung Seta yang tadi berkelebat sudah berdiri gagah. Mereka langsung melingkari Layung Seta yang tengah menahan sakit. Seolah, mereka hendak melindungi lelaki itu.
Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu