Ceritasilat Novel Online

Kutukan Manusia Sekarat 2


Raja Naga Kutukan Manusia Sekarat Bagian 2



"Lengannya sebatas siku penuh sisik coklat. Apakah... apakah dia ada hubungannya dengan Dewa Naga? Seingatku, hanya Dewa Nagalah satu-satunya manusia yang memiliki sisik, tetapi warna hijau! Dan tatapan mata pemuda itu... gila! Benar-benar angker! Tetapi jelas kalau dia memiliki kelembutan pula!"

   Raja Naga mengangkat kepalanya.

   "Sebelum kita berpisah, aku hendak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara Berkabut berada?!"

   Kepala Nenek Konde Satu menegak. Matanya tak berkedip. Masih dalam posisi seperti itu dia berkata.

   "Mengapa kau mencari Menara Berkabut? Ada urusan apa kau dengan manusia keji yang berdiam di sana?!"

   "Itu urusan pribadiku! Bila kau bisa mengatakan di mana Menara Berkabut berada, aku tidak akan pernah melupakan budi baikmu! Kelak... pasti akan kubalas!"

   "Suaranya berubah dingin dan dalam. Tatapannya makin angker. Ah, pemuda ini nampaknya memang punya urusan yang tak bisa dilepaskan! Tentunya... dengan Hantu Menara Berkabut!"

   Kata Nenek Konde Satu dalam hati. Kemudian berkata.

   "Sungguh kebetulan sekali kau bertanya soal itu. Karena, aku sendiri juga hendak menuju ke sana!"

   "Berarti... kau tahu di mana Menara Berkabut berada?"

   Tanya si pemuda terburu. Perempuan tua berkonde mencuat ini menggelengkan kepala "Aku datang mengunjungi Bandung Sulang, untuk menanyakan dimanakah Menara Berkabut berada? Tapi sayang, dia sudah keburu mampus!"

   Nenek Konde Satu melihat pancaran angker si pemuda agak meredup. Kendati demikian tak mengurangi kengerian siapa pun yang melihatnya.

   "Ya, sungguh sayang...,"

   Kata Raja Naga pelan sambil mengangguk. Kemudian sambungnya.

   "Kita sama-sama punya urusan di Menara Berkabut, sebaiknya.. kita cari di mana Menara Berkabut itu berada!"

   Habis ucapannya, pemuda bersisik ini sudah berkelebat cepat.

   Rambut panjangnya yang diikat ekor kuda itu berlompatan.

   Wuusss!! Nenek Konde Satu yang berdiri agak jauh dari sana, tersentak karena merasa desiran angin yang keluar di saat si pemuda berkeiebat.

   "Luar biasa! Siapa pemuda itu sebenarnya?! Dia merahasiakan julu-kannya, tentunya untuk sembunyikan sesuatu! Gila! Sungguh gila!"

   Desisnya terheran dan terkagum. Lalu digeleng-gelengkan kepalanya.

   "Pemuda itu juga hendak mencari Menara Berkabut! Jelas dia punya persoalan dengan Hantu Menara Berkabut! Bandung Sulang telah tiada! Sulit mencari tempat bertanya lagi! Mungkin, tinggal Dewa Naga dan Dewa Segala Obat yang mengetahui tempat itu! Tapi... mencari keduanya sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami!"

   Perempuan tua berkonde mencuat ini masih menggeleng-gelengkan kepala.

   Wajahnya terlihat agak jengkel.

   Tak lama kemudian, dia segera meninggalkan Bukit Gulungan.

   *** MATAHARI kembali memancarkan sinar beningnya di awal perjalanannya.

   Warna keemasan terpantul indah pada sebuah sungai.

   Di sekeliling sungai yang mengalirkan air jernih dan tak memperdengarkan suara bergemuruh, tumbuh pepohonan yang sebagian akarnya banyak masuk ke dalam air.

   Ranggasan semak belukar setinggi dada menghiasi tempat itu.

   Lelaki bertubuh pendek, gemuk kekar yang mengenakan pakaian warna biru terbuka di bagian dada, hingga tak bisa menutupi perut gemuknya, hanya berdiri membelakangi sungai.

   Tak ada suara yang keluar dari mulut lelaki gemuk itu.

   Karena lemak yang berlebihan di setiap inci tubuhnya, tak terlihat adanya kerutan atau keriput, padahal usia si kakek sudah mencapai tujuh puluh dua tahun.

   Sebuah tombak berwarna biru tergenggam di tangan kanannya yang gempal, lebih tinggi dari tubuhnya.

   "Sebelum matahari terbit, aku sudah berada di sini. Tetapi, kakek berambut jarang itu belum juga datang. Apakah dia sudah melupakan pertemuan ini? Atau, justru aku yang salah tempat itu?"

   Kakek bertubuh gempal ini memandang sekelilingnya.

   "Tldak! Aku tidak salah tempat! Tempat inilah di mana terakhir kalinya aku bertemu dengan kakek berambut jarang itu!"

   Belum habis kata-kata si kakek bertubuh gempal, satu suara telah terdengar.

   "Dewa Tombak! Maafkan keterlambatanku!"

   Dewa Tombak segera memutar kepala ke samping kanan. Dia langsung menyeringai begitu melihat satu sosok tubuh berpakaian compang-camping telah berdiri sejarak delapan langkah.

   "Kau memang selalu terlambat! Dan aku merasa pasti, alasanmu lagi-lagi tentunya karena kau harus mengobati pasienmu!"

   Kakek berpakaian ungu compang camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang jarang ditumbuhi rambut. Di pinggangnya yang kurus, menyantel sebuah pundi kecil. Sambil berjalan si kakek berkata.

   "Dua belas tahun sudah berlalu, usia kita kini sudah bertambah sebanyak dua belas tahun! Tetapi kau tetap tak jauh berubah, Dewa Tombak!"

   "Selain keahlianmu dalam bermacam penyakit dan penemuanmu dalam segala obat, kau rupanya pandai memuji juga! Dewa Segala Obat! Apakah kau belum juga menemukan jejak di manakah putra mendiang Pendekar Lontar berada?"

   Dewa Segala Obat menggeleng.

   "Dua belas tahun aku mencoba melacak jejaknya, tetapi gagal kutemukan! Bagaimana dengan kau sendiri?!"

   "Aku juga mengalami nasib yang sama! Selama itu pula aku tak menjumpai di manakah putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar berada!"

   "Sampai saat ini, aku masih menyesal, mengapa aku tak segera mengatakan pada Dewi Lontar, siapakah orang yang telah membunuh suaminya!"

   "Kau juga belum mengatakannya kepadaku?! Sekarang, apakah kau mau membuka rahasia yang selama dua belas tahun kau simpan?!"

   Dewa Segala Obat mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya! Mungkin sudah terlambat, tetapi tak ada salahnya bila kukatakan sekarang!"

   "Katakan!"

   "Seperti hasil yang kudapatkan setelah memeriksa tubuh Pendekar Lontar dua belas tahun yang lalu. aku berkesimpulan, kalau yang membunuhnya adalah Hantu Menara Berkabut!"

   Kepala Dewa Tombak menegak.

   "Hantu Menara Berkabut?!"

   "Demikianlah kesimpulanku!"

   Dewa Tombak tak segera membuka mulut. Kening kakek gemuk ini berkerut. Lamat-lamat seraya memandangi Dewa Segala Obat, Dewa Tombak berkata.

   "Aku ingat kalau Pendekar Lontar pernah mengalahkan manusia itu! Aku juga Ingat, Hantu Menara Berkabut pun pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang dan Pendekar Harum! Bagaimana kau bisa berkesimpulan demikian?!"

   "Racun yang mengakibatkan kematian Pendekar Lontar, merupakan gabungan dari puluhan bisa ular mematikan! Dan ular-ular itu hanya bisa didapatkan di sekitar Menara Berkabut!"

   Kedua kakek ini tak ada yang bersuara. Air sungai tetap mengalir jernih. Perlahan-lahan matahari pun semakin naik. Sinarnya tak secemerlang tadi, karena sudah terdapat sengatan yang cukup panas.

   "Seperti janjiku pada Dewi Lontar, setelah penguburanjenazah suaminya, aku akan datang lagi menjumpainya. Tetapi yang kutemukan, hanyalah jenazahnya belaka sementara putranya sudah tidak ada di tempat. Setelah itu kau datang dan menanyakan sebab-sebab kematian Dewi Lontar yang tak bisa kujawab. Dewa Segala Obat, sampai hari ini, aku juga masih dibingungkan dengan kematian Dewi Lontar. Siapakah yang telah membunuh perempuan perkasa itu?"

   Dewa Segala Obat menggelengkan kepalanya.

   "Saat ini yang terbaik menurutku, kita harus mencari di manakah putra mereka yang bernama Boma Paksi! Mungkin agak sulit untuk menemu-kannya!"

   "Bagaimana bila ternyata bocah itu juga telah tewas di tangan si pembunuh?"

   "Tidak! Aku merasa pasti dia belum mati"

   "Karena kita tak menemukan mayatnya selain mayat Dewi Lontar?"

   "Kira-kira demikian!"

   "Bagaimana kalau ternyata si pembunuh membawanya dari tempat itu dan membunuhnya di tempat yang tersembunyi? Mengubur atau membuang mayatnya ke dasar jurang, sangat sulit kita temukan!"

   Kata-kata Dewa Tombak membuat kakek berpakaian compang-camping itu terdiam.

   "Apa yang kau katakan memang benar! Yah... kalau memang demikian, berarti habislah penerus dari Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!"

   Kembali tak ada yang bersuara. Angin pagi yang sejuk telah berubah menjadi sedikit menyengat, karena sinar matahari yang sudah sepenggalah lewat, telah dapat menerobos rangkaian pepohonan di tepi sungai sana. Tiba-tiba Dewa Segala Obat berkata.

   "Bagaimana dengan satu kemungkinan lain?"

   "Kemungkinan apa?"

   "Menurutmu.... Dewa Naga juga berada di sana."

   "Ya! Dia memang berada di sana, tetapi dia telah meninggalkan tempat itu dengan paras kecewa! Tentunya ada yang membuatnya kecewa!"

   "Kau tahu apa sebabnya?"

   "Dewa Naga menghendaki Boma Paksi menjadi muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya."

   "Mengapa?"

   "Aku tak bertanya lebih jauh dengannya. Hanya yang bisa kuduga, karena saat itu Dewi Lontar masih berada dalam kesedihannya. Tentunya dia akan makin sedih bila berpisah dengan putranya. Kau tahu, bila saat itu Pendekar Lontar tidak meninggal, mungkin Dewi Lontar akan mengizinkan anaknya berguru atau mewarisi seluruh ilmu Dewa Naga. Dan menurutku...."

   Dewa Segala Obat memutus kata-katanya sendiri. Sepasang mata bulatnya memandang Dewa Segala Obat. Yang dipandang seperti mengerti apa yang terpancar dari pantiangan itu. Dewa Tombak berkata.

   "Maksud-mu.... Dewa Naga yang telah membawa putra mereka?"

   "Itulah satu-satunya jawaban yang dapat diterima pula!"

   "Tetapi dia sudah meninggalkan tempat penuh kekecewaan."

   "Kita tahu, Kakang Segala Jaka adalah orang yang angin-anginan. Dia bisa tiba-tiba marah dan bisa bersikap lebih konyol dari siapa pun. Tak mustahil kalau kemudian dia datang kembali, kali ini dengan maksud untuk mengambil langsung tanpa permisi putra Dewi Lontar."

   Kata-kata Dewa Tombak membuat Dewa Segala Obat terdiam. Dan masing-masing orang untuk beberapa lama tak ada yang buka suara. Sampai Dewa Segala Obat berkata lagi.

   "Kalau begitu... bagaimana bila kuusulkan sebaiknya kita segera mendatangi Menara Berkabut?"

   "Usul yang bagus! Tetapi sebelumnya, aku ingin menjumpai Bandung Sulang maupun Pendekar Harum! Mereka pernah mengalahkan Hantu Menara Berkabut! Bila memang Hantu Menara Berkabut datang untuk membalas dendam, keduanya pun tak akan luput dari dendam yang merejam dirinya!"

   Dewa Segala Obat mengangguk.

   "Kalau begitu... kau pergilah menjumpai Bandung Sulang dan aku menjumpai Pendekar Harum! Kau ingat tempat di mana dulu kita pernah bertemu?"

   "Maksudmu... di Gunung Menjangan?"

   "Ya! Kita akan berjumpa di sana sepuluh hari di muka!"

   Setelah berbicara beberapa saat, kedua tokoh itu pun segera berkelebat ke arah yang berbeda.

   Siang terus beranjak menuju senja.

   * * * MENCARI sesuatu atau seseorang yang belum diketahui tempatnya maupun rupanya memang laksana mencari jarum di tumpukan Jerami.

   Sudah tiga hari Raja Naga meninggalkan Lembah Naga untuk mencari pembunuh ayah dan ibunya.

   Dan di hari yang keempat ini, dia belum juga menemukan jejak yang berarti.

   "Nenek Konde Satu yang pernah kujumpai beberapa hari lalu, sebenarnya punya tujuan yang sama denganku, mencari Hantu Menara Berkabut yang berdiam di Menara Berkabut. Seharusnya aku bisa melacak tempat itu bersama-sama dengannya. Tstapi, ah... masih banyak yang harus kupercimbangkan ketimbang melangkah bersamanya. Masih untung dia mau mengerti kalau bukan akulah yang telah membunuh sahabatnya yang bernama Bandung Sulang,"

   Kata pemuda berusia tujuh belas tahun ini.

   Pancaran matanya yang dingin dan angker diedarkan ke sekeliling.

   Memandang ranggasan semak dan jalan setapak yang tumpang tindih.

   Untuk beberapa saat Raja Naga terdiam.

   Otaknya diputar untuk menentukan jalan mana yang harus ditempuh.

   Tetapi karena tak tahu harus ke mana, dia lagi-lagi merasa buntu.

   "Huh! Sesulit apa pun, aku harus menemukan Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bongkok! Kedua manusia itulah yang menjadi musuh utamaku saat ini!"

   Tiba-tiba Raja Naga menoleh ke kiri. Dia melihat dua sosok tubuh berkelebat cepat.

   "Hei! Kupikir hanya aku seorang diri di tempat sunyi ini. Tetapi ada dua orang berkelebat yang sempat kulihat jubah masing-masing berwarna hijau"

   Belum lagi Boma Paksi memikirkan lebih jauh tentang siapa kedua orang yang dilihatnya, dia kembali melihat dua sosok tubuh berkelebat cepat ke arah kedua orang yang berkelebat tadi. Bahkan dia sempat mendengar salah seorang yang menyusul itu berseru.

   "Ke mana pun kalian pergi, kalian tak akan pernah luput dari kematian!"

   Ditempatnya Raja Naga terdiam dengan kening berkerut.

   "Astaga! Ada apa ini? Jelas sekali kalau kedua orang yang berkelebat betakangan itu sedang menyusul dua orang berjubah hijau yang berkelebat lebih dulu! Hemm... tentunya telah terjadi sesuatu di antara mereka! Sebaiknya aku melihat apa yang sebenarnya terjadi!"

   Memutuskan demikian, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik-sisik coklat ini sudah berkelebat. Dalam waktu singkat dia dapat melihat bayangan dua orang yang mengejar dua orang berjubah hijau.

   "Jarak telah diperpendek! Dua orang pengejar itu nampaknya tak lama lagi akan dapat mengejar sekaligus melampaui kedua orang berjubah hijau itu!"

   Desisnya.

   Apa yang diperkirakan Raja Naga memang benar, karena mendadak saja dua pengejar itu telah melenting ke udara, berputar dua kali dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapan dua orang berjubah hijau yang berlari di depan.

   Begitu kedua kaki masing-masing orang hinggap di tanah, mereka langsuhg berbalik dan memasang wajah angker.

   Salah seorang dari pengejarnya yang berkepala botak di tengah tetapi rambut lainnya panjang tergerai ke belakang, sudah memperlihatkan seri-ngaiannya.

   "Tak ada lagi tempat untuk melarikan diri selain menuju ke neraka! Dua Serangkai Jubah Hijau... hari ini juga kalian akan mampus!!"

   Dua kakek berpakaian kuning yang mengenakan jubah hijau itu perlahan-lahan mundur dua tindak ke belakang.

   Wajah masing-masing orang yang serupa satu sama lain, pucat pasi.

   Yang pada keningnya terdapat sebuah tahi lalat yang dapat dijadikan sebagai pembeda dari yang seorang lagi, nampak sedang menekap dadanya kuat-kuat.

   Dari bibirnya masih mengalir darah segar.

   Di pihak lain yang seorang lagi hampir-hampir tak bisa menguasai keseimbangannya.

   Yang ada tahi lalat di keningnya berbisik.

   "Sema Kuriang... bertahan-lah... kita jangan sampai mampus di tangan mereka...."

   Sema Kuriang meringis nyeri.

   "Gala Kuriang, kita tak mungkin bisa menghadapi keduanya...."

   "Peduli setan! Sebelum kita menemukan putra Pendekar Lontar, kita jangan mati dulu!"

   Di balik ranggasan semak, Raja Naga yang memutuskan untuk bersembunyi mengerutkan keningnya mendengar ucapan keduanya. Dia mendengarkan lagi.

   "Tetapi rasanya... kita tak akan pernah menemukan putra mendiang Pendekar Lontar. Mungkin... saat ini dia sudah bersama Dewa Segala Obat atau Dewa Tombak...."

   Sebelum Sema Kuriang menyahut, kakek berkepala botak di.tengah tadi sudah mendesis dingin.

   "Dendam lama telah terkuak! Dua belas tahun lalu kami gagal membunuh kalian karena seseorang tak dikenal telah menyelamatkan kalian! Tetapi sekarang, kalian tak akan bisa memohon bernapas lebih lama...."

   Dua Serangkai Jubah Hijau tak ada yang membuka mulut.

   Mereka sama-sama menahan sakit dan berusaha untuk mengalirkan tenaga dalam.

   Kendati keadaan mereka sudah tak memungkinkan, tetapi keduanya tak ingin mati lebih dulu.

   Lelaki berjubah hitam berkepala plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara.

   "Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus berlama-lama lagi?! Membunuh keduanya adalah pekerjaan yang harus kita lakukan! Agar mereka mengerti siapa kita adanya?!"

   Kakek berjenggot dikepang itu melirik pada temannya. Lalu sambil mengarahkan kembali pandangannya pada Dua Serangkai Jubah Hijau yang sudah memucat dia berkata dingin.

   "Kau benar, Iblis Telapak Darah. Kita bunuh keduanya!!"

   Habis ucapannya, Iblis Penghancur Raga segera menerjang ke depan, ke arah Sema Kuriang. Di pihak lain, Iblis Telapak Darah melancarkan serangan ganasnya pada Gala Kuriang ( Teman-teman pembaca bisa membaca episode pertama dari serial Raja Naga;

   "Tapak Dewa Naga", untuk mengetahui siapakah orang-orang ini). Kendati mereka telah terluka parah, Dua Serangkai Jubah Hijau masih berusaha untuk menyelamatkan diri. Iblis Penghancur Raga mendengus begitu melihat Sema Kuriang berhasil memutuskan serangannya. Tanpa surutkan kecepatannya tiba-tiba ditepukkan kedua tangannya. Blaaaarrr!! Wrrrrr!! Letupan terdengar, menyusul meng-gebraknya hamparan angin bergemuruh. Melihat hal itu, wajah Sema Kuriang memucat. Lintang pukang dia menghindar! ganasnya serangan lawan. Jlgaaaarrr!! Sebatang pohon langsung hangus terkena gelombang angin Iblis Penghancur Raga. Kejadian itu membuat kakek berompi biru ini menggeram sengit.

   "Kau masih dapat menghindar rupanya!"

   Terhuyung-huyung Sema Kuriang menyahut.

   "Ilmu Penghancur Ragamu tak memiliki kekuatan berarti!"

   "Terkutuk! Kukirim nyawamu ke akhirat!!"

   Di pihak lain lelaki berkepala plontos dan berjubah hitam itu sudah mengangkat kedua telapak tangannya tinggi-tinggi saat menerjang.

   Lalu secara tiba-tiba diturunkan kedua telapak tangannya dengan cara menyentak! Angin dibaluri asap merah melesat ke arah Gala Kuriang yang memekik tertahan.

   Dengan sisa tenaganya dia berputar ke belakang menghindari serangan lawan.

   Kedua kakinya goyah begitu menginjak tanah kembali.

   Dia hampir saja tak bisa mengendalikan keseimbangannya.

   Dengan kekerasan hati dia berhasil mengimbangkan lagi kedudukannya.

   Segera dagunya diangkat ke arah Iblis Telapak Darah.

   Saat itu juga dilihatnya kedua telapak tangan kakek berkepala plontos memancarkan sinar warna merah.

   Lalu terlihat tetesan darah dari sana.

   Angker dan menyebarkan bau busuk.

   "Celaka! Dia sudah mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah'nya! Okh! Rasanya akan sulit untuk bertahan lebih lama! Celaka! Betul-betul celaka! Mengapa kami harus berjumpa dengan dua jahanam ini?!"

   Serunya dalam hati.

   Belum lagi dia memutuskan untuk melakukan tindakan apa pun guna mengatasi serangan lawan, Iblis Telapak Darah sudah menerjang.

   Kedua telapak tangannya yang meneteskan darah, didorong ke atas.

   Sinar merah bergelombang muncrat Memperdengarkan suara berdenging menggiriskan.

   Lalu laksana anak panah muncratan sinar merah yang masih meneteskan darah mendadak meluncur ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara berdenging-denging.

   Jgaaarrr!! Tanah dimana tadi Gala Kuriang berdiri, langsung retak lebar.

   Belum lagi Gala Kuriang yang berhasil menghindarkan serangan lawan berdiri tegak, sinar merah yang meneteskan darah itu mendadak muncrat kembali ke udara.

   Dua Serangkai Jubah Hijau memang harus mati-matian mempertahankan selembar nyawa milik mereka.

   Tetapi sekeras apa pun yang keduanya lakukan, mereka tetap tak akan bisa menghindari serangan-serangan kedua lawannya.

   Karena luka dalam yang mereka derita semakin menyakitkan! Saat ini iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah sudah meluncur dengan ilmu masing-masing, siap mengantar Dua Serangkai Jubah Hijau ke akhirat! Wajah Dua Serangkai Jubah Hijau sendiri sudah memucat laksana mayat.

   Dada mereka turun naik dengan napas memburu.

   Butiran keringat sebesar jagung sudah turun membasahi wajah masing-masing orang.

   Namun mendadak saja satu sosok tubuh mencelat dari balik ranggasan semak.

   Tak ada desir angin apa-apa di saat sosok tubuh itu melesat.

   Tak ada tanda-tanda ranggasan semak di mana tadi dilewati oleh sosok tubuh itu bergerak.

   Kejap kemudian....

   Jlegaaarr!! Blaaaarrrl! Dua serangan ganas dari Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah putus di tengah jalan.

   Benturan dahsyat itu membuat tanah terbongkar ke udara dan beberapa buah pohon tumbang.

   Tempat itu laksana dilanda topan dahsyat.

   Untuk beberapa saat pandangan masing-masing orang ter-halang.

   Tatkala tanah-tanah itu surut kembali, terlihat sosok Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah telah mundur sejarak lima langkah.

   Masing-masing orang saat ini sedang berpandangan dengan wajah terhenyak.

   Lalu tanpa sadar keduanya memandangi sekujur tubuh mereka.

   Saat lain keduanya sudah mengangkat kepala ke depan.

   Mereka melihat seorang pemuda sudah berdiri di tengah-tengah Dua Serangkai Jubah Hijau yang juga sedang memandangi pemuda yang menolong mereka.

   Tadi begitu mendengar benturan dahsyat, keduanya merasakan kalau punggung mereka ditarik ke belakang oleh seseorang.

   Dan sekarang, orang yang ternyata seorang pemuda itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka.

   "Astaga! Siapakah pemuda ini? Wajahnya begitu tampan, tetapi kedua lengannya sebatas siku bersisik coklat. Tadi... astaga! Dia memutuskan dua ilmu mengerikan dari Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah sekaligus! Dan sekarang dia tak kurang suatu apa,"

   Desis Sema Kuriang dalam hati.

   "Wajah pemuda ini sebenarnya tampan, tetapi tatapannya... sangat dingin dan mengerikan. Bibirnya tersenyum, memperlihatkan kalau dia sebenarnya seseorang yang penuh canda. Ah, siapakah pemuda yang secara tiba-tiba muncul dan menolong kami Ini?"

   Batin Gala Kuriang. Di pihak lain Iblis Penghancur Raga sudah berseru setelah hilang keterkejutannya.

   "Pemuda bersisik mau mampus! Sebutkan siapa kau adanya sebelum kubuat lumat tubuhmu!!"

   Pemuda yang tadi melompat dan mematahkan serangan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah hanya tersenyum. Kendati demikian, tatapannya yang angker cukup menyiutkan hati yang melihatnya.

   "Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini! Dan sungguh kebetulan lagi kalau aku tak pernah menyukai tindakan semena-mena ini!".

   "Tatapannya itu... seperti mengandung kekuatan magis yang dapat merontokkan nyali lawan! Keparat! Siapa pun dia adanya, aku tak peduli! Dia telah masuk kalangan dan telah mengacaukan semua niatku!"

   Geram Iblis Penghancur Raga dalam hati. Dengan angkuh diangkat dagunya dan berseru.

   "Kau tak tahu urusan dan telah lancang mencampuri! Apakah salah bila aku menghajar sampai mampus?!"

   "Urusan salah atau tidak, rasanya tak ada yang bisa tentukan saat ini! Yang pasti, aku menghehdaki kalian berdamai dan menghentikan pertikaian ini"

   "Pemuda celaka! Sikapmu seperti kau sudah berada di atas langit! Sebutkan Julukan?!"

   Geram Iblis Penghancur Raga dengan tubuh menggigil karena amarah "Aku tidak tahu apakah julukanku ini sudah kau dengar atau belum! Tetapi tak ada salahnya bila kau mendengarnya! Guruku memberiku julukan Raja Naga...."

   "Raja Naga?"

   Ulang Iblis Penghancur Raga dalam hati. Matanya memandang tak berkedip pada si pemuda yang masih tersenyum.

   "Sudah lama aku malang melintang di rimba persilatan ini bersama Iblis Telapak Darah, tetapi aku belum pernah mendengar julukan angker itu. Sama angker dengan tatapannya yang memerah."

   Di pihak lain Iblis Telapak Darah yang juga gusar karena niatnya untuk membunuh Dua Serangkai Jubah Hijau gagal, sudah membentak.

   "Siapa pun kau adanya. kusarankan lebih baik menyingkir sebelum kau menyesali keadaan!"

   "Aku telah masuk ke dalam kalangan! Apakah kau pikir aku akan menyesalinya?!"

   "Bagus! Berarti kau sudah siap untuk mampus!"

   Habis bentakannya Iblis Telapak Darah sudah menerjang dengan kedua telapak tangannya yang seperti meneteskan darah.

   Gelombang angin diliputi asap merah sudah menderu ganas ke arah Boma Paksi alias Raja Naga.

   Yang diserang hanya menggeleng gelengkan kepalanya.

   "Seharusnya kau menyadari dengan tindakanmu seperti ini bukan mengakhiri urusan dalam perdamaian, tetapi semakin menambah pertikaian!!"

   Bersamaan dia berucap demikian, pemuda bersisik hijau ini juga menerjang ke depan.

   Tangan kanannya diputar sedikit, menyusul disentakkan.

   Jlegaaaarrrll Benturan yang terjadi itu menim-bulkan letupan yang sangat keras.

   Tanah seketika memburai ke udara.

   Dari gumpalan tanah itu mencelat sosok Iblis Telapak Darah yang terbanting teiungkup dengan dada menghantam tanah.

   Bukan karena terbanting di atas tanah yang menyebabkan dadanya terasa sakit dan sesak, melainkan karena benturan yang terjadi tadi.

   Sementara itu Dua Serangkai Jubah Hijau maupun iblis Penghancur Raga masih memperhatikan gumpalan tanah yang menutupi sosok si pemuda, karena pemuda tampan berambut dikuncir itu tak terlihat terpental.

   Iblis Penghancur Raga yang tadi terhenyak melihat ambruknya Iblis Telapak Darah, menggeram dingin sambil memandangi gumpalan tanah yang masih membubung.

   "Pemuda itu tentunya memiliki ilmu yang tinggi karena dapat membuat Iblis Telapak Darah terbanting! Tetapi tentunya, sekarang dia sudah mampus!"

   Sema Kuriang membatin gelisah.

   "Pemuda itu terlalu berani! Bahkan sangat berani! Nampaknya dia tidak mengetahui kehebatan ilmu 'Telapak Darah' dari lelaki berjubah hitam itu hingga nekat membenturnya! Ah, bila dia tewas sekarang, keadaan kami akan lebih celaka!"

   Sementara itu sambil menahan nyerinya, Gala Kuriang berkata dalam hati.

   "Pemuda itu telah melakukan kesalahan besar, karena berani membentur ilmu 'Telapak Darah'. Tentunya dia tidak mengetahui kehebatan dan kekejaman ilmu itu. Sayang sekali kalau pemuda gagah itu harus tewas saat ini juga...."

   Gumpalan tanah yang membubung tinggi itu perlahan-lahan sirap.

   Dan orang yang berada di sana yang melihat ke arah gumpalan tanah itu termasuk Iblis Telapak Darah yang telah berdiri walau agak sempoyongan, sama-sama memandang tegang.

   Terutama pandangan Dua Serangkai Jubah Hijau yang harap-harap cemas.

   Berbeda dengan tatapan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah yang merasa pasti kalau pemuda berompi ungu itu telah mati.

   Dan tatkala tanah itu sirap, semuanya melengak kaget.

   Bahkan seruan terkejut terdengar dari mulut Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah secara bersamaan.

   "Gillaaa!!"

   Sosok pemuda gagah yang kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu, tetap berdiri tegak! Bahkan tersenyum tanpa kurang suatu apa! * * * RAJA Naga tersenyum.

   "Aneh! Mengapa kau melotot sampai sedemikian rupa, hah?! Atau jangan-jangan... matamu sebenarnya memang selalu melotot karena keseringan mengintip nenek-nenek mandi?!"

   Sindiran pemuda itu seolah tak terdengar oleh telinga Iblis Penghancur Raga.

   Lelaki berjenggot dikepang ini masih tertegun, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

   Terlebih lagi Iblis Telapak Darah.

   Orang yang tadi melancarkan serangannya ini pun terdiam tak berkedip.

   Bahkan mulutnya sampai menganga! Lain halnya dengan Dua Serangkai Jubah Hijau yang begitu melihat sosok si pemuda tak kurang suatu apa, kegelisahan dan ketegangan mereka seketika lenyap.

   Bahkan keduanya seolah melupakan rasa sakit pada dada masing-masing, karena terlalu gembira melihat pemuda itu masih berdiri tegak.

   Raja Naga berseru lagi.

   "Busyet! Kalian Ini kenapa?! Kok pada bengong seperti itu?!"

   Iblis Telapak Darah lebih dulu sadar dari keterkesimaannya. Tangan kanannya menuding ke depan.

   "Pemuda laknat! Siapa kau sebenarnya, hah?!"

   "Tadi kukatakan... namaku Boma Paksi! Julukanku Raja Naga!"

   Sahut si pemuda sambil tersenyum, tetapi sorot matanya tetap angker.

   "Katakan dari mana asalmu?!"

   "Aku berasal dari Lembah Naga!"

   "Apa?!"

   Seru Iblis Telapak Darah keras.

   Dia sampai tersentak mundur dua langkah ke belakang mendengar jawaban si pemuda.

   Bahkan dia hampir ter-sungkur karena sesungguhnya keseimbangannya belum pulih.

   Demikian pula halnya dengan orang-orang yang berada di sana.

   Kepala masing-masing orang tegak, tatapan mereka tak berkedip pada si pemuda.

   Iblis Penghancur Raga sudah ber-seru, tetapi kali ini suaranya tidak sedingin tadi.

   "Kau mengatakan berasal dari Lembah Naga! Apa hubunganmu dengan Dewa Naga?!"

   "Dia adalah guruku...."

   Kali ini Iblis Penghancur Raga yang surutkan langkah dengan wajah tegang. Dia melirik Iblis Telapak Darah yang juga sedang meliriknya.

   "Pantas dia dapat menanggulangi ilmu Telapak Darahku,"

   Desis Iblis Telapak Darah. Di pihak lain senyuman Dua Serangkai Jubah Hijau semakin mengembang. Mereka sama sekaii tak menyangka kalau pemuda bersisik coklat itu adalah murid dari Dewa Naga.

   "Nasib lagi beruntung,"

   Desis Sema Kuriang. Raja Naga berkata lagi.

   "Sekarang apakah kalian masih mau meneruskan urusan Ini?! Silang urusan ini tak pantas diteruskan! Sebaiknya kita sama-sama membuka tangan untuk saling memaafkan dan menghentikan semua ini."

   Tak ada yang menyahuti ucapannya. Ketegangan yang memancar dari wajah Iblis Penghancur Raga semakin menjadi-jadi. Matanya tak berkedip, menyipit dalam. Lamat-lamat ketegangannya itu mencair, berubah menjadi amarah dan rasa tak puas.

   "Aku ingin membuktikan kebenaran apakah kau memang murid dari Dewa Naga atau kau hanya mengada-ngada!"

   Belum habis bentakannya, lelaki berjenggot dikepang ini sudah mene-pukkan tangannya bersamaan luncuran tubuhnya yang sedemikian cepat.

   Gelombang angin bergemuruh dahsyat menggebrak ke arah Raja Naga.

   Yang diserang hanya menjerengkan mata.

   Keangkeran terpancar dalam dari sana.

   Tanpa bergeser dari tempatnya, anak muda dari Lembah Naga ini sudah mendorong kedua tangannya ke depan.

   Menderu pula gelombang angin yang mematahkan gelombang angin dari Iblis Penghancur Raga.

   Menyusul....

   Tap! Tap!! Telapak tangan masing-masing orang bertemu.

   Menempel kuat hingga menimbulkan asap hitam.

   Iblis Penghancur Raga menggeram seraya melipat gandakan kekuatannya.

   Tetapi Raja Naga tetap kelihatan tenang.

   Bahkan seraya mendehem kecil, dia mendorong kedua telapak tangannya.

   Wuusss! Kontan Iblis Penghancur Raga terpental ke belakang dan terbanting kuat di atas tanah setelah menabrak pohon yang langsung tumbang.

   "Keparaaatthhh!!"

   Desisnya seraya mengangkat kepala dengan muiut mengeluarkan darah.

   Hanya itu yang bisa dikatakannya, karena kejap kemudian tubuhnya mendadak bergetar hebat.

   Menyusul terdengar letupan kecil berkali-kali diiringi keluhan tertahan! Dua tarikan napas betikut sosok Iblis Penghancur Raga tinggal tulang belulang saja karena daging yang meliputi tubuhnya telah hancur menjadi debu.

   Ilmu 'Penghancur Raga' yang dikeluarkannya tadi telah menerpa dirinya sendiri.

   Raja Naga menarik napas pendek.

   "Dia terlalu kejam...,"

   Desisnya pelan. Sementara itu dalam keadaan terhuyung, Iblis Telapak Darah bangkit. Darahnya mendidih. Tatapannya sepanas bara api.

   "Pemuda bersisik! Aku akan terus mengingat peristiwa ini! Kelak kau akan mendapatkan balasannyal!"

   Lalu dengan masih menahan sakit dan dendam setinggi gunung merapi, lelaki berjubah hitam itu sudah berialu. Raja Naga hanya memandang keper-giannya tanpa berkata apa-apa. Lamat-lamat dia mendesis pelan.

   "Maafkan aku...."

   "Anak muda... kuucapkan terima kasih atas bantuanmu,"

   Terdengar suara itu di belakangnya. Raja Naga membalikkan tubuhnya. Dilihatnya Sema Kuriang sedang merangkapkan tangan sambil menahan sakit.

   "Paman... jangan banyak bicara dulu.... Kau masih terluka. Sebaiknya berbaringlah, biar kuobati dulu luka-lukamu. Kau juga, Paman...."

   Dua Serangkai Jubah Hijau segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Raja Naga. Setelah diobati luka-lukanya, kedua lelaki berpakaian kuning dan berjubah hijau itu duduk bersemadi sementara Raja Naga menunggu.

   "Salah seorang dari mereka tadi menyebut julukan mendiang Ayah. Aku berharap, mereka mengetahui sesuatu yang selama ini sedang kucari.... Sebaiknya, kutunggu saja mereka."

   Raja Naga pun menunggu sampai keduanya selesai bersemadi. Lalu dia bertanya.

   "Paman... aku telah mendengar julukan kalian tadi. Dua Serangkai Jubah Hijau. Tetapi, aku belum mengetahui siapakah nama Paman berdua?"

   "Namaku Sema Kuriang dan dia adalah saudara kembarku Gala Kuriang. Anak muda... aku tak menyangsikan lagi kalau kau adalah murid Dewa Naga. Bagaimanakah kabar beliau?"

   Raja Naga tersenyum.

   "Beliau baik-baik saja, Paman Sema Kuriang. O ya, Paman... kalau tak salah dengar tadi, Paman menyebutkan julukan seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Lontar. Apakah Paman menge-nalinya?"

   Sema Kuriang mengangguk.

   "Kami bukan hanya mengenalnya, tetapi bersahabat akrab dengannya dan istrinya."

   "Tolong ceritakan tentang Pendekar Lontar dan istrinya, Paman...."

   Sema Kuriang menarik napas pen-dek. Lalu meluncur cerita dari mulutnya, cerita yang sama seperti yang pernah didengar Raja Naga dari gurunya.

   "Sampai hari ini, kami tidak tahu siapa yang telah menolong kami dua belas tahun yang lalu dari maut yang akan diturunkan oleh Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah. Lalu kami segera pergi ke tempat Dewa Segala Obat. Tetapi sayang, kami tak menjumpainya. Kami juga Ingat kalau Dewa Naga menyuruh agar kami datang ke Menara Berkabut. Tetapi cara menyuruh Dewa Naga sungguh angin-anginan sesuai dengan sifatnya...."

   Gala Kuriang menyambung.

   "Karena gagal menjumpai Dewa Segala Obat, akhirnya kami memutuskan untuk tidak mendatangi Menara Berkabut, karena kami ingin hadir dalam upacara pemakaman Pendekar Lontar. Tetapi sayang, kami tertahan hujan badai yang sangat dahsyat hingga lima hari kemudian kami baru tiba di rumah kedlaman Pendekar Lontar. Tak ada siapa pun di sana. Sepi, sepi sekaii. Tak ada Dewi Lontar maupun putranya yang bernama Boma Paksi. Saat itu kami berpikir, kalau Dewi Lontar sudah meninggalkan tempat itu bersama putranya. Lalu kami pun mencari makam Pendekar Lontar. Tetapi yang mengejutkan, karena di sana ada dua buah makam. Pada batu nisan yang ada di masing-masing makam, kami melihat nama Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Hal ini sangat mengejutkan kami! Bagaimana Dewi Lontar yang segar bugar bisa menemui kematiannya? Kami terus berpikir tetapi kami tak menemukan jawabannya. Sampai kemudian kami ingat putra mereka yang bernama Boma Paksi. Kami mencoba mencarinya tetapi tak pernah menemuinya."

   "Sampai hari ini?"

   "Sampai hari ini!"

   "Paman Gala Kuriang... bagaimana kalian bisa berjumpa kembali dengan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah?"

   "Sesungguhnya, selama dua belas tahun kami masih mencari kebenaran siapakah yang telah Si membunuh Pendekar Lontar, juga yang membunuh istrinya. Kami juga masih penasaran apakah putra mereka masih hidup atau tidak. Karena rasa penasaran itulah akhirnya kami memutuskan untuk melacak kembali semua itu dari awal. Saat itu kami memutuskan untuk mencari Dewa Segala Obat yang kemungkinan besar dapat mengetahui semua rahasia itu. Dan di tengah perjalanan kami berjumpa dengan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah yang rupanya tetap mendendam. Kami mencoba menghindari pertarungan, tetapi gagal karena kedua orang itu sudah menerjang. Dan kelanjutannya... kau melihat sendiri apa yang telah terjadi, Anak muda...."

   Boma Paksi menarik napas panjang.

   "Tak kusangka kalau urusan yang kuhadapi ini sedemikian sulit. Bermula dari kematian Bandung Sulang yang tidak kuketahui siapa pembunuhnya. Masih beruntung karena Nenek Konde Satu yang sudah menuduhku masih bisa menerima ucapanku. Dan sekarang? Ah, urusan ini semakin panjang berkem-bang."

   "Anak muda... sebenarnya kau hendak ke mana?"

   Tanya Sema Kuriang. Boma Paksi tersenyum. Bukan menjawab pertanyaan orang. dia malah berkata.

   "Paman Sema Kuriang, tadi kalian mengatakan kalau kalian sedang mencari putra Pendekar Lontar."

   "Ya... kami akan tetap mencarinya sampai kami mengetahui beritanya. Apakah dia sudah mati atau masih hidup."

   "Dia masih hidup, Paman."

   "Oh! Kau mengenalnya?! Katakan, di mana dia berada?!"

   "Aku sangat mengenalnya, Paman. Dan saat ini dia berada di sini...."

   Seketika Dua Serangkai Jubah Hijau memutar kepala ke sekelillng.

   Mereka membuka mata lebar-lebar untuk melihat orang lain yang berada di sana.

   Karena tak melihat siapa pun di sana kecuali pemuda dihadapannya, masing-masing orang mengarahkan lagi pandangannya ke depan.

   Sema Kuriang nampak akan buka mulut, tetapi urung dilakukan.

   Justru dipandanginya si pemuda yang memiliki tatapan angker itu dengan seksama.

   "Okh!"

   Desisnya kemudian.

   "Kau... kaukah putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar?"

   Kepala Boma Paksi mengangguk perlahan. * * * "Astaga!"

   Seru Gala Kuriang.

   "Benarkah... benarkah kau putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar?"

   "Tak ada yang kudustai, karena aku memang tak pandai berdusta...."

   Dua Serangkai Jubah Hijau memandang pemuda di hadapannya penuh takjub.

   Dua belas tahun mereka melacak jejak putra mendiang Pendekar Lontar dan tanpa disangka sekarang bertemu.

   Kalau dulu mereka melihat pemuda itu masih bocah, kini sudah menjadi seorang pemuda gagah.

   Bahkan memiliki kesaktian tinggi! "Boma Paksi...

   tentunya, Dewa Nagalah yang telah menyelamatkanmu,"

   Kata Gala Kuriang.

   "Kau benar, Paman. Guru Dewa Naga memang yang telah menyelamatkanku. Bahkan, dia mendidikku dengan menurunkan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Oya, Paman... menurut Guru, pembunuh ayahku adalah Hantu Menara Berkabut sementara yang membunuh ibuku adalah Dadung Bongkok."

   Dua Serangkai Jubah Hijau tak menjawab. Sema Kuriang membatin.

   "Dulu ketika masih bocah, dia memiliki sisik yang halus yang belum begitu kentara pada kedua tangan sebatas siku. Juga tatapan mata yang dingin. Sekarang sisik-sisik pada kedua tangannya sudah jelas kelihatan. Sepasang matanya bukan hanya memancarkan sinar dingin, tetapi juga keangkeran yang membikin ciut hati yang melihatnya. Rasanya... sudah tiba saatnya untuk membalas kematian Pendekar Lontar dan Dewi Lontar...."

   Gala Kuriang berkata dalam hati.

   "Kesaktian pemuda ini tak disangsikan lagi. Dia adalah murid Dewa Naga, manusia sakti yang tiada tanding di kolong jagat ini."

   "Paman berdua... mengapa kalian terdiam?"

   Tanya Raja Naga. Sorot matanya tetap memancarkan keangkeran. Sema Kuriang menarik napas pendek.

   "Rasanya... perjalanan panjang yang telah kami lakukan harus segera diakhiri. Kami memang bermaksud hendak mencari pembunuh Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Bahkan kami juga hendak mencari Dewa Segala Obat untuk menanyakan kejelasan tentang kematian Pendekar Lontar. Dan hari ini, nampaknya tugas kami sudah selesai...."

   "Apa maksud, Paman?"

   "Boma... Sekarang kami hanya ingin memesan kepadamu. Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bongkok bukanlah orang-orang yang bisa dipandang sebelah mata. Kesaktian kedua manusia itu sangat tinggi. Mungkin, hanya Dewa Naga yang dapat menandingi mereka."

   "Aku sudah menduga akan hal itu, Paman. Tetapi biar bagaimanapun Juga kebenaran harus ditegakkan. Aku mencari mereka bukan untuk menuntut balas kematian kedua orangtuaku. Tetapi mencoba menyadarkan mereka untuk tidak lagi melakukan tindakan yang sama kejinya seperti tindakan yang pernah mereka lakukan terhadap orangtuaku."

   "Seingatku.... Hantu Menara Berkabut pernah dikalahkan oleh Pendekar Lontar, Pendekar Harum dan Bandung Sulang. Nampaknya dia sedang membalas kekalahannya dulu. Hingga hari ini, yang baru kami ketahui adalah kematian ayahmu, Boma. Mungkin pula Hantu Menara Berkabut akan menuntut balas pada Pendekar Harum dan Bandung Sulang."

   "Bandung Sulang?"

   Desis Boma Paksi dalam hati.

   "Kakek yang sempat bercakap-cakap denganku sebelum tewas bernama Bandung Sulang. Jangan-jangan dia tewas dibunuh oleh Hantu Menara Berkabut? Sayangnya, aku belum sempat mendengar kelanjutan ucapannya...."

   "Paman... tahukah Paman di manakah Menara Berkabut berada?"

   Tanyanya kemudian.

   "Tempat itu merupakan sebuah misteri berkepanjangan yang sulit terpecahkan. Hanya pemiliknya yang mengetahui seluk beluk tempat itu. Menara Berkabut merupakan menara kokoh berwarna hitam gelap yang selalu diliputi kabuttebal. Bila kita tidak mengetahuinya kendati kita tahu di mana tempatnya, masih memungkinkan kita akan tersesat dan terjebak. Karena selain kabut tebal yang dapat menghalangi pandangan, di sana juga terdapat puluhan ular berbisa yang sangat ganas. Boma... kau bisa meneruskan langkahmu ke arah timur. Aku belum pernah datang ke Menara Berkabut, tetapi aku pernah melihat tempatnya bersama Dewa Naga. Tanpa dirinya, mungkin aku tak akan bisa mengetahui di mana tempat itu."

   "Satu hal yang perlu kau ingat,"

   Sambung Gala Kuriang.

   "Di sekitar Menara Berkabut juga terdapat lumpur hidup yang bisa menelan apa saja dan siapa saja yang jatuh padanya."

   Wajah Boma Paksi agak sedikit berubah mendengar apa yang dikatakan Dua Serangkai Jubah Hijau.

   Sesaat murid Dewa Naga ini terdiam.

   Sisik pada kedua tangannya sebatas siku sedikit agak menyala, pertanda dia agak sedikit tegang.

   Tetapi di lain Saat pemuda gagah ini sudah berkata.

   "Paman... bahaya apa pun yang akan kuhadapi aku tak peduli. Aku harus berhasil menemukan Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bongkok. Aku ingin melihat rupa orang-orang yang telah membunuh kedua orangtuaku...."

   "Kegagahan yang dimilikinya itu tentu diwarisi dari mendiang Pendekar Lontar...,"

   Desis Sema Kuriang dalam hati. Lalu berkata.

   "Kalau begitu... tugas kami sudah selesai. Dan tiba saatnya kami untuk kembali ke tempat asal."

   "Dari manakah Paman berdua berasal?"

   "Kami berasal dari sebuah dusun sunyi yang jauh dari keramaian. Berada di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Mungkin kami akan berdiam di sana untuk menghabiskan usia...,"

   Sahut Gala Kuriang.

   "Boma... bila kau senggang, mampirlah ke tempai kami."

   Boma Paksi menganggukkan kepalanya.

   "Semoga Paman berdua akan selalu baik-baik saja dan dipanjangkan umur...."

   "Kami turut pula mendoakan agar kau berhasil menjalankan tugasmu...."

   "Kalau begitu, aku akan segera melanjutkan perjalanan, Paman...."

   Kata Boma Paksi sambil merengkapkan kedua tangannya.

   Setelah itu dia mulai melangkah dengan gagah diikuti oleh pandangan Dua Serangkai Jubah Hijau yang beberapa saat kemudian melengak.

   Karena sosok pemuda bermata angker itu telah lenyap dari pandangan! "Hebat!"

   Sema Kuriang berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala.

   "Aku yakin... tak lama lagi julukan Raja Naga akan menggegerkan rimba persilatan. Sema Kuriang, seperti yang pernah kita rencanakan, sebaiknya kita memang kembali ke tempat asal. Aku sudah rindu dengan tanah kelahiran kita...."

   Saudara kembarnya mengangguk.

   Lalu keduanya sama-sama mening-galkan tempat itu.

   Walaupun tenang tetapi keduanya juga sedikit mencemaskan apa yang akan dialami oleh Raja Naga.

   * * * DUA hari telah berlalu kembali, seperti angin yang terus bertiup, waktu pun terus bergerak pelan-pelan dan kemudian bertambah cepat tanpa dapat dirasakan kembali.

   Terkadang hanya tinggal penyesalan dalam bagi orang yang merasa telah dikalahkan sang Waktu.

   Saat ini siang meranggas panas.

   Sinar matahari seolah mengamuk hendak mengkeringhitamkan seisi bumi.

   Kering kerontang melanda beberapa tempat.

   Akan tetapi di balik sinar terik matahari yang menyengat bumi ada sebuah tempat yang tetap gulita.

   Tempat yang agak terpencil dan sukar dilihat oleh mata karena tertutup gumpalan kabut yang sangat tebal.

   Di sekeliling tempat itu dipenuhi lumpur-lumpur yang kelihatan tenang padahal mematikan.

   Ular-ular berbisa dari berbagai jenis berkeliaran di sekeliling tempat itu.

   Dari kengerian yang nampak adalah kabut-kabut tebal itu yang seperti tak mau beranjak kendati saat ini angin berhembus kencang.

   Di balik kabut tebal itu berdiri sebuah bangunan yang menjulang tinggi, bangunan kokoh yang tertutup oleh gumpalan kabut hitam.

   Bukan hanya kabut-kabut hitam itu yang tak bergeming sedikit pun dihembus angin, menara tinggi itu seharusnya pun agak bergetar.

   Tetapi kekokohannya sungguh luar biasa.

   Di bagian teratas dari bangunan berbentuk menara itu terdapat sebuah ruangan yang cukup besar.

   Di ruangan itulah tiga sosok tubuh sedang duduk mengadakan suatu pertemuan.

   Orang yang duduk di atas sebuah batu altar yang menghadap dua orang lainnya yang duduk di batu altar pula, memandang kedua tamunya tak berkedip.

   Orang ini berkepala bulat dengan rambut panjang warna putih, beriap hingga tergerai acak-acakan sampai punggungnya.

   Tubuhnya agak sedikit bongkok dan kurus.

   Sepasang matanya tajam laksana sambaran mata elang.

   Wajahnya yang dilapisi kulit tipis, dihiasi dengan cambang yang turun hingga dagu.

   Kakek yang pada tangannya terdapat geiang warna hitam ini, mengenakan pakaian panjang dan jubah berwarna jingga.

   Di hadapannya, di sebelah kanan-nya, duduk seorang perempuan tua kontet berkulit hitam legam.

   Semakin kelam karena pakaian yang dikenakannya pun berwarna hitam, panjang hingga ke mata kaki.

   Dan terbelah hingga balas dengkul.

   Memperlihatkan sepasang kaki hitam yang keriput.

   Kepalanya bulat dengan rambut panjang acak-acakan hingga pinggul.

   Hidungnya juga bulat dengan bibir lebar tanpa gigi.

   Yang mengerikan dari sosoknya adalah sepasang bola matanya, yang menyala-nyala merah.

   Di samping perempuan kontet ini, duduk seorang kakek bongkok dengan rambut putih panjang.

   Sepasang matanya dalam dan tajam.

   Kumis dan jenggotnya seperti terpintal bersatu.

   Mengenakan pakaian hitam penuh tambalan.

   Tangan kiri si kakek pertampang angker ini kutung.

   Masing-masing orang tak ada yang buka mulut.

   Dari sikap mereka, jelas kalau pertemuan belum dimulai.

   Kakek berjubah jingga yang bukan lain Hantu Menara Berkabut memandang pada kakek yang tangan kirinya kutung.


Pendekar Rajawali Sakti Dendam Gadis Pertapa Pendekar Rajawali Sakti Iblis Tangan Tujuh Pendekar Naga Putih Dedemit Bukit Iblis

Cari Blog Ini