Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Berdarah 2


Raja Petir Pembalasan Berdarah Bagian 2



Jelas Nyi Selasih lagi, sambil memotong tatapan Jaka yang terkagum-kagum mendengarkannya. Jaka kemudian mengalihkan tatapannya ke arah kotak kayu itu. Sungguh tak disangka kalau senjata-senjata di dalamnya mempunyai pengaruh dahsyat seperti itu.

   "Itulah beberapa manfaat dari peninggalan Raja Petir yang kuketahui. Selebihnya, dapat diketahui dari kitab pusaka ini,"

   Nyi Selasih mengangkat kitab pusaka yang terbalut sutera berwarna kuning keemasan.

   "Yang kuketahui, kitab pusaka ini hanya menyajikan inti-inti ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian inti menghindari serangan lawan. Di antaranya, adalah ajian 'Bayang-Bayang' dan aji 'Kukuh Karang' yang mampu meredam setiap jenis senjata atau segala ajian yang dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam."

   Mata tua pendekar wanita pada zamannya itu masih tetap cerah menatap wajah Jaka. Sebentar suasana jadi hening. Sedangkan Jaka menanti diam membisu, dengan kepala tertunduk.

   "Harapanku, kau mampu menuruni apa yang diwarisi mendiang Raja Petir dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dasawarsa. Bahkan kalau memungkinkan, kau mesti berhasil menyelesaikan tugas yang maha berat ini dalam waktu satu windu. Delapan tahun, Cucuku. Karena itu, bersungguh-sungguhlah! Dunia persilatan butuh pendekar digdaya, beraliran putih, agar berpijak pada kebenaran dan keadilan. Pendekar yang berani menentang keangkaramurkaan dan kelaliman."

   "Aku akan berusaha sekuat tenaga, Eyang Putri,"

   Tegas Jaka, mantap.

   *** Tujuh purnama telah dilalui Jaka untuk menyesuaikan diri dengan benda pusaka peninggalan Raja Petir.

   Tak ada lagi rasa menggigil yang menerpa tubuhnya ketika kotak pusaka warna kuning emas dibuka.

   Demikian pula ketika sabuk warna kuning keemasan yang dikenal sebagai Sabuk Petir dililitkan ke Pinggangnya.

   Tak lagi dirasakan kalau sabuk itu seolah-olah ingin mengeluarkan isi perutnya.

   Jaka sendiri sesungguhnya takjub terhadap benda pusaka yang diwarisinya kini.

   Sebuah sabuk warna kuning keemasan.

   Dan apabila dipergunakan, dapat mengeluarkan seberkas sinar keperakan layaknya sebuah petir yang mampu menghanguskan sesuatu yang disambarnya.

   Begitu juga terhadap sepasang bambu kuning yang terikat di pergelangan tangan kirinya, yang mempunyai kegunaan berbeda.

   Di lain pihak, Nyi Selasih begitu bangga menyaksikan kepesatan perubahan yang dialami Jaka.

   Hingga tak terasa, delapan puluh sembilan purnama kembali menggelinding, mengimbangi kepesatan Jaka dalam mempelajari dan mewarisi peninggalan Almarhum Raja Petir.

   Dan pada malam purnama terakhir....

   "Kerahkan seluruh kemampuanmu mengolah aji 'Kukuh Karang', Jaka. Eyang Putri akan melempar pedang ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Pusatkan seluruh kepekaanmu,"

   Ujar Nyi Selasih.

   Tanpa diperintah dua kali, Jaka segera mengangkat kedua tangannya ke atas kepala.

   Kemudian napasnya ditarik tanpa menimbulkan bunyi, seiring rentangan tangannya yang menimbulkan bunyi gemeretak.

   Otot-otot baja Jaka seketika nampak bersembulan seiring mengepalnya jari-jari tangan.

   Kemudian, dibawa kedua tangannya ke depan dada secara menyilang.

   Sinar kuning yang membungkus kepala hingga dada, dan sinar kuning yang membungkus lutut hingga ujung kaki, nampak memancar setelah Jaka tuntas menyelesaikan gerakannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.

   Dan, di hadapannya kini sekitar lima tombak berdiri Nyi Selasih.

   Tangan kanannya tampak menggenggam sebilah pedang pendek.

   Mulanya, wajah Nyi Selasih merah padam.

   Namun sebentar kemudian, wajahnya berubah menjadi begitu keras.

   Dari tubuhnya yang nampak menggigil, terlihat kalau perempuan tua itu tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   "Hiyaaat"

   Singgg...! Pedang pendek yang tergenggam di tangan nenek berpakaian longgar warna putih itu seketika terlepas.

   Kecepatannya sungguh sukar diikuti mata biasa.

   Dan senjata itu terus meluruk deras ke arah Jaka yang telah siap dengan aji 'Weduk Sukmaraga'nya.

   Suara deru angin yang keluar dari pedang pendek yang tengah melayang itu mampu menyingkirkan kerikil-kerikil sebesar ibu jari lelaki dewasa.

   Dan ketika pedang pendek itu menyentuh kulit Jaka, maka....

   Trak! Percikan bunga api seketika menerangi ruangan goa.

   Benturan benda yang terlempar disertai kekuatan tenaga dalam penuh membuat pedang pendek itu terlempar jauh dan membentur dinding goa.

   Bahkan pedang pendek itu kini terpecah jadi dua bagian.

   Jaka nampak puas dengan apa yang telah didapatnya.

   Wajahnya yang tampan nampak bersinar cerah setelah melepas napasnya yang tertahan di perut Akan tetapi, kecerahan wajah Jaka menjadi sima manakala Nyi Selasih tampak tengah terkulai.

   Maka, segera dihampirinya, nenek itu.

   "Kau tidak apa-apa, Eyang Putri?"

   Tanya Jaka cemas. Nenek berpakaian longgar warna putih itu menggelengkan kepalanya dengan bibir terkulum senyum.

   "Tidak apa-apa, Cucuku. Tidak apa-apa. Aku hanya merasakan sekujur tubuhku tidak dialiri sedikit tenaga pun. Aku terlalu penuh mengaliri tenagaku ke dalam pedang pendek itu. Tapi aku puas, Cucuku. Puas sekali."

   Nyi Selasih kemudian menyeka keringatnya yang sebesar butiran jagung, lalu kembali mengembangkan senyum. Rupanya dia puas menyaksikan Jaka yang tiba-tiba duduk di hadapannya dengan keadaan kaki menyilang dan kepala tertunduk.

   "Terima kasih, Eyang Putri. Terima kasih,"

   Ucap Jaka parau.

   "Pada pencipta jagat semesta inilah seharusnya kau mengucapkan kalimat itu, Cucuku. Bukan kepadaku. Sebab tanpa jalan Yang Maha Kuasa, aku ini bukan apa-apa."

   Jaka semakin menundukkan kepala.

   Betapa sesungguhnya perempuan tua di hadapannya ini sangat dihormatinya.

   Dia telah mendidiknya hingga menjadi seperti sekarang ini.

   Begitu besar jasanya....

   Sebutir air menggulir dari balik kelopak mata Jaka.

   Air mata haru atas ketulusan hati seorang perempuan tua di hadapannya.

   "Besok, sebelum matahari terbit, kau sudah harus meninggalkan tempat ini. Berjalanlah menuju Utara. Di sana, kau akan menemui hal yang dapat menempa dirimu untuk menjadi seorang pendekar bijaksana. Di sana pula kau dapat menemukan kelaliman-kelaliman yang tengah merajalela. Maka, gunakan kesempatan untuk mengamalkan apa yang telah didapatkan selama ini. Tampilkan dirimu sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran. Dan saranku, jangan gunakan Pusaka Raja Petir selagi masih bisa mempergunakan cara lain. Terkecuali, memang terpaksa."

   Jaka mengangkat kepalanya perlahan.

   Air matanya sudah kering sejak tadi.

   Dan ketika permukaan wajahnya mencium punggung Nyi Selasih, tubuhnya terasa bergetar hebat Pikirannya pun terbawa arus deras perasaannya.

   Haruskah dia berpisah dengan orang yang begitu dicintai dan dihormatinya? *** Selaret sinar kuning seketika menyibak tirai putih yang menutupi mulut goa.

   Beberapa saat, tirai putih itu menggantung akibat terkena sibakan sinar kuning yang diciptakan Jaka.

   Namun ketika selarik bayangan kuning yang ditimbulkan akibat gerakan Jaka dengan ilmu lari cepatnya, tirai putih yang menggantung itu kembali meluruk ke bawah dan kembali menutup mulut goa.

   "Selamat tinggal, Eyang Putri! Kita pasti akan berjumpa lagi,"

   Ucap Jaka seiring lesatan tubuhnya meninggalkan goa yang ditutupi air terjun. Suaranya terdengar menggema terpantul dinding-dinding goa. Melalui pengerahan tenaga dalam yang tinggi, Nyi Selasih membalas ucapan muridnya.

   "Selamat jalan, Cucuku. Jaga dirimu baik-baik!" *** Sepuluh tahun setelah Jaka diselamatkan Eyang Legar dari kurungan api telah terlewatkan. Dan entah ke mana bocah yang telah menjadi pemuda tampan itu mengembara. Hari merambat begitu cepat, menuntun sang surya pada ketinggiannya. Sementara di tempat lain, dia berdiri tepat di atas ubun-ubun, dengan sinarnya yang pongah seperti hendak membakar apa saja yang ada di bawahnya. Sebuah perkampungan yang nampak masih dikelilingi pepohonan besar pun, tak urung terselimut hawa panas yang menerobos lewat celah-celah dedaunan.

   "Rasanya hari ini begitu lain ya, Kang?"

   Kata seorang lelaki pendek sambil meraih gelas minumnya.

   "Ya. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan,"

   Timpal lelaki berpakaian serba hitam. Ditilik dari cara duduk dan cara berpakaiannya, tampaknya mereka adalah orang-orang persilatan yang tengah berada dalam sebuah kedai dan sekaligus tempat penginapan.

   "Huh! Kenapa penginapan ini terlalu rendah atapnya. Begitu sempit,"

   Umpat lelaki bertubuh pendek lagi.

   Diseruputnya minumannya, lalu diletakkannya kembali seraya menarik napas dalam-dalam.

   Sementara di lain tempat, pada meja yang terletak di sudut ruangan, nampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun sedang asyik menikmati hidangan di hadapannya.

   Dia mengenakan pakaian wama hijau daun.

   Sepasang arit tampak terselip di kiri-kanan pinggangnya.

   Rupanya, dia merasa tidak terganggu oleh pembicaraan tamu lain yang bertubuh pendek.

   "Kang,"

   Panggil lelaki bertubuh pendek itu.

   "Hari ini perasaanku tak enak. Semenjak kita tinggal di penginapan ini, hatiku dag dig dug tak karuan. Akan ada apa ya, Kang?"

   Lelaki berpakaian serba hitam tersenyum-senyum mendengar ucapan rekannya yang bertubuh pendek.

   "Kau terlalu perasa, Wiratma,"

   Tukasnya sambil mengusap kepala rekannya.

   "Aku tahu, kenapa jantungmu dag dig dug seperti itu."

   Lelaki bertubuh pendek yang bernama Wiratma itu mengernyitkan dahinya.

   "Kau pasti terlalu memikirkan si Mirah. Ha ha ha...,"

   Ledek lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terbahak-bahak. Lelaki muda berpakaian hijau daun itu menoleh. Disaksikannya kelucuan lelaki berpakaian hitam yang tengah terbahak-bahak.

   "Sabar ya, Wiratma. Tak lama lagi kita akan sampai di padepokan. Dan berarti, sebentar lagi kau akan bertemu si Mirah yang menurutmu perempuan yang paling pandai membuat sambal. Ha ha ha...."

   "Bukan itu, Kang Jalu. Bukan itu!"

   Selak Wiratma sambil menahan guncangan tawa rekannya.

   "Lalu, apa?"

   Tanya laki-laki berpakaian serba hitam yang ternyata bernama Jalu.

   "Firasatku mengatakan, kalau akan terjadi sesuatu di tempat ini,"

   Jelas Wiratma.

   "Ngaco!"

   "Dia benar, Kisanak!"

   Tukas laki-laki tinggi besar yang tiba-tiba saja muncul di halaman penginapan.

   "Firasat temanmu yang mirip bola itu sungguh tajam. Di tempat ini, jika kalian semua tidak menuruti keinginanku, maka akan terjadi banjir darah!"

   Kemunculan lelaki tinggi besar berpakaian merah darah itu cukup mengejutkan Ki Lunta yang kebetulan keluar dari kamarnya. Laki-laki tua pemilik kedai dan penginapan ini kenal, siapa lelaki tinggi kekar berpakaian merah itu.

   "Ah! Maaf, Tuan Bontan. Sekali ini, tolong jangan ganggu tamu-tamuku,"

   Ratap Ki Lunta terbata-bata. Lelaki bertubuh kekar yang ternyata bernama Bontan itu tersenyum sinis.

   "Berani betul kau berkata seperti itu, Ki Lunta! Kau tahu, apa akibatnya atas ucapanmu yang jelek barusan?"

   Lelaki tinggi kekar berpakaian merah darah itu adalah kaki tangan Gantangga, seorang tokoh sesat yang menguasai daerah ini.

   Dia kemudian menepuk dada kiri dan kanannya.

   Tak lama setelah tepukan itu, berkelebat tiga bayangan merah yang tahu-tahu telah berdiri tegak di sarnping kiri-kanannya.

   "Sarkam, Jalil, Warman! Beri pelajaran pada kakek peot itu!"

   Perintah Bontan. Tiga laki-laki berpakaian merah yang baru datang itu segera menuruti perintah Bontan. Sekali lesatan saja mereka sudah berada di hadapan Ki Lunta. Dan itu semua tanda kalau Sarkam, Bayong, dan Warman cukup menguasai ilmu bela diri.

   "Di hadapan kami, sebaiknya kau tutup mulut, Ki Lunta!"

   Sentak Sarkam sambil mengarahkan tinjunya.

   Ki Lunta tak mampu mengelak ketika tinju Sarkam yang cukup keras mendarat di wajahnya.

   Tubuh laki-laki tua itu terhuyung ke belakang.

   Namun, pemilik penginapan dan rumah makan itu masih mampu menguasai diri, hingga tidak terjerembab.

   Hanya saja, tak urung dari wajahnya yang terkena pukulan keras Sarkam tadi mengalir juga darah dari sela-sela bibirnya.

   Sarkam kembali melangkah menghampiri Ki Lunta.

   Tangannya yang masih terkepal erat, kembali diarahkan ke wajah Ki Lunta.

   Laki-laki tua pemilik kedai itu hanya mampu terbeliak.

   "Terimalah ini, Kakek Peot!"

   Trak! "Ukh...!"

   Sarkam terpekik ketika sebuah benda menghadang tangannya. Kontan tangannya terasa seperti kesemutan. Wajah Sarkam pun seketika berubah merah.

   "Kurang ajar!"

   Maki Sarkam. Matanya yang seperti ingin keluar, ditujukan ke arah lelaki pendek yang berdiri di dekat lelaki berpakaian serba hitam, yang menghalangi serangannya.

   "Berani betul kau menghalangi keinginanku, Gentong Busuk!"

   Sarkam langsung melancarkan serangan ke arah lelaki bertubuh pendek yang telah menggagalkan niatnya itu.

   Sebuah sodokan tangannya yang mengarah ke ulu hati lelaki bertubuh pendek itu hanya menemui tempat kosong.

   Wajah Sarkam semakin merah.

   Kembali pukulannya diarahkan ke wajah lelaki bertubuh pendek yang bernama Wiratma itu.

   Wiratma memang sudah siap menerima serangan.

   Maka tubuhnya segera direndahkan.

   Dan bersamaan dengan itu, jari-jari tangannya yang membentuk seperti kerucut, disodokkan ke ulu hati Sarkam yang melompong.

   "Akh...!"

   Sarkam kontan terhuyung ke belakang terkena sodokan tangan Wiratma.

   "Mau coba-coba menyerang lagi?!"

   Tantang Wiratma. Sarkam mendengus geram. Langsung pinggangnya diraba. Maka, seberkas sinar putih berkilatan keluar dari sarungnya. Sarkam kini telah menghunus golok, siap melancarkan serangan kembali.

   "Terimalah ini, Gentong Busuk!"

   Pekik Sarkam marah.

   Golok yang ada di genggamannya langsung ditebaskan ke arah leher Wiratma.

   Namun, kembali lelaki bertubuh pendek itu merendahkan tubuhnya.

   Maka tebasan golok Sarkam kembali membentur tempat kosong.

   Dan pada saat tubuhnya merendah, Wiratma cepat menyodokkan sikut kanannya ke ulu hati Sarkam.

   "Aaakh...!"

   Sarkam kontan terpekik menerima sodokan sikut kanan lelaki bertubuh pendek itu. Maka tubuhnya kembali terjajar ke belakang. Menyaksikan Sarkam kewalahan menghadapi lelaki bertubuh pendek, Jalil dan Warman datang membantu dengan golok terhunus.

   "Hiaaat..!"

   Melihat keadaan yang tak menyenangkan ini, lelaki berpakaian serba hitam yang memang saudara seperguruan Wiratma juga segera membantu.

   "Rupanya kalian senang main keroyok!"

   Dengus Jalu sambil menghunus senjatanya.

   "Hm.... Rupanya kau pun ingin cepat-cepat mampus!"

   Bentak Jalil.

   "Terima ini!"

   "Hiaaat...!"

   "Uts!"

   Trang! Trang...! Jalu kini slbuk menangkis serangan yang bertubi-tubi.

   Begitu juga yang dialami Wiratma.

   Maka pertarungan tak seimbang pun terjadi ketika lelaki tinggi kekar yang bernama Bontan ikut turun ke gelanggang pertarungan.

   Hingga pada suatu kesempatan, Bontan melihat bidang lowong di perut Wiratma.

   Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkannya.

   Maka.,..

   Blesss! "Aaakh...!"

   Wiratma kontan terpekik keras. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kanan mendekap perutnya yang terkena tusukan senjata Bontan.

   "Kau..., jahanam!"

   Menyaksikan temannya tergeletak bermandikan darah, Jalu semakin naik pitam.

   "Terimalah ini, Jahanam!"

   "Hiyaaa...!"

   Trang! "Hiya! Hiyaaa...!"

   Trang! Trang! Bug.... Bret! Lelaki berpakaian hitam itu terhuyung tiga langkah, setelah rusuk kanannya terserempet senjata Sarkam.

   "Keparat...!"

   Maki Jalu tanpa mempedulikan rusuknya yang sedikit mengeluarkan darah. Bontan kembali menerjang. Senjata nya diayun-ayunkan ke arah leher lelaki berpakaian hitam. Bet! "Hup...!"

   Jalu membawa turun kepalanya.

   Beberapa rambut lagi, kepala lelaki berpakaian hitam itu terpisah dari badannya.

   Tapi untungnya, gerakannya sedikit lebih cepat dari penyerangnya.

   Namun siapa sangka kalau gerakan kaki Sarkam datang begitu cepat ke arah dadanya.

   Dug! "Akh...!"

   Jalu terhuyung sejauh tiga batang tombak.

   Karena tak kuasa menahan tendangan yang cukup keras, maka tubuhnya yang limbung segera saja menghantam meja yang ditempati anak muda berpakaian hijau daun.

   Meja yang tertimpa tubuh kekar milik Jalu hancur seketika.

   Maka mau tak mau makanan yang ada di atasnya berpentalan tak tentu arah.

   Bahkan di antaranya ada yang mengotori pakaian anak muda yang menempati meja itu.

   Melihat kenyataan yang terbentang di depan matanya, lelaki lain yang berpakaian merah darah segera memburu lawannya yang sudah tak berdaya.

   Dia memang bermaksud menghabisi nyawa lelaki berpakaian serba hitam ini.

   "Hiyaaat...!"

   "Tunggu!"

   Secara mendadak, Jalil menghentikan gerakannya. Goloknya yang sudah terayun di udara, seketika terhenti.

   "Apa maumu, Anak Muda?!"

   Sentak Jalil pada anak muda berpakaian hijau daun.

   "Rupanya kau ingin cari mampus juga, heh?!"

   "Sabar, Kisanak,"

   Ucap anak muda berpakaian hijau itu sabar.

   "Sesungguhnya, aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya berkewajiban mencegah penginapan ini dari banjir darah."

   "Jaga mulutmu, Anak Muda!"

   Sentak Sarkam.

   "Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan sekarang, heh!"

   "Ya. Sekarang ketahuilah! Kami adalah kaki tangan Ludah Setan yang tak pernah segan berurusan dengan nyawa. Termasuk nyawamu! Bersiaplah!"

   Timpal Warman.

   "Sabar, Kisanak. Sabar. Jadi manusia itu harus memiliki banyak kesabaran, karena akan membawa kita pada keselamatan. Kuulangi lagi, sebetulnya aku tak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya tidak senang kalau di penginapan ini terjadi pertumpahan darah. Darah itu amis, Kisanak. Aku paling tidak suka dengan bau amis,"

   Kata pemuda itu, seraya berdiri.

   "Bedebah...!"

   "Sabar!"

   Anak muda berpakaian hijau daun itu kembali mengangkat tangannya.

   "Baiklah aku berterus terang. Aku merasa terganggu dengan ulah kalian. Pertama, kalian semua telah membuat tempat penginapan ini kotor dan rusak. Kedua, secara tak langsung kalian telah mengotori pakaianku. Dan yang ketiga, kalian telah melakukan pembunuhan di tempat ini, di hadapanku. Kalian semua harus bertanggung jawab!"

   "Keparat..!"

   "Anak muda sombong! Terimalah ini! Hiyaaa...!"

   "Uts!"

   Anak muda berpakaian hijau daun itu memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka tusukan golok yang mengarah ke perutnya tentu saja menemui tempat kosong. Bukan itu saja. Sikutnya dengan begitu cepat menghantam pelipis penyerangnya. Bletak! "Ughhh...!"

   Sarkam terpental sejauh dua batang tombak. Namun serangan berikutnya harus dihadapi anak muda berpakaian hijau daun yang belum sempat merubah kedudukannya.

   "Kurang ajar! Hiyaaat...!"

   Tebasan golok ke arah pinggang, dapat dihindari anak muda berpakaian hijau itu dengan gerakan amat lentur.

   Lalu dengan lugas, tubuhnya digenjot ke atas.

   Dia melakukan lentingan menakjubkan seraya berputar dua kali di udara.

   Menyaksikan kebolehan anak muda berpakaian hijau daun itu, darah Bontan terasa mendidih.

   Dia yang merasa sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, jelas merasa direndahkan.

   "Kurang ajar! Hei, Anak Muda! Jangan bangga dulu setelah berhasil terlepas dari serangan yang dilakukan anak buahku. Hm..., akan segera kucincang dagingmu. Bersiaplah!"

   Mendengar ancaman yang tidak main-main, lelaki muda berpakaian hijau daun itu segera merubah letak berdirinya.

   "Hiaaat...!"

   "Hup!"

   "Hei pengecut! Jangan kabur. Hup!"

   Setelah melejitkan tubuhnya dengan kecepatan penuh, anak muda berpakaian hijau itu mendaratkan kakinya di luar halaman penginapan dengan manis. Itu menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.

   "Hup!"

   Begitu pula lelaki berpakaian merah darah yang bernama Bontan. Dia kini telah mendarat di hadapan anak muda berpakaian hijau daun itu dengan manis.

   "Aku bukan pengecut, Kisanak! Aku hanya tak ingin menyaksikan tempat penginapan milik Ki Lunta berantakan. Kau tahu, Kisanak? Nanti malam aku ingin tidur nyenyak di kamar penginapan itu."

   "Kadal gudik! Terimalah ini.... Hiyaaat!"

   "Uts!"

   Anak muda berpakaian hijau daun itu menggeser tubuhnya ke belakang menghindari sabetan golok lawan.

   Namun belum betul mengatur keseimbangan tubuhnya, serangan lain datang hendak membabat punggungnya.

   Takkk! Buggg! Di luar dugaan, anak muda berpakaian hijau daun itu cepat membalikkan tubuhnya untuk menangkis serangan si pembokong.

   Bukan itu saja tindakannya.

   Si pembokong pun harus rela menerima sambaran tangan yang cukup keras dari anak muda itu.

   Pada saat yang bersamaan, Sarkam mengayunkan goloknya dari belakang.

   Angin mendem kuat ketika keluar dari gerakan Sarkam.

   Jelas, Sarkam melakukannya dengan seluruh tenaga.

   Merasakan adanya bahaya mengancam, anak muda itu merendahkan tubuhnya.

   Melalui cetah ketiak nya, dia dapat menyaksikan gerakan yang dilakukan Sarkam.

   "Hiyaaa...!"

   "Hair!"

   Desss! Desss! "Aaakh...!"

   Melalui kecepatan gerakan yang luar biasa, anak muda berpakaian hijau daun itu melakukan tendangan belakang yang tak mampu dihindari Sarkam.

   Akibatnya, tubuh Sarkam terlempar sejauh tiga batang tombak.

   Menyaksikan tubuh Sarkam yang terjerembab dan tak bangkit lagi, Bontan segera saja meningkatkan serangannya.

   Bahkan Jalil dan Warman diperintah untuk menyerang pula.

   "Hiyaaat...!"

   Trang! Trang..! Bret! "Uuugkh...!" *** Jalil dan Warman terkejut menyaksikan pimpinan mereka dengan begitu mudah dapat ditundukkan anak muda berpakaian hijau daun itu.

   Dengan gerakan cepat, tubuh Jalil melejit untuk menangkap tubuh Bontan yang terpental ke arahnya.

   "Hup!"

   Sekuatnya Jalil menahan tubuh Bontan. Namun tak urung, tubuhnya terdorong juga. Memang begitu keras tendangan anak muda berpakaian hijau muda itu setelah terlebih dahulu membabat perut Bontan dengan senjatanya yang mirip arit.

   "Keparat!"

   Maki Jalil setelah mengatur keseimbangan tubuhnya. Lelaki berperawakan sedang itu kembali hendak menerjang anak muda berpakaian hijau daun itu, tetapi....

   "Tahan, Jalil!"

   Sentak Bontan sambil mendekap luka sabetan di perutnya.

   "Rasanya kau tak akan mampu meladeni anak muda usilan itu. Lebih baik mundur. Kita akan membuat perhitungan nanti."

   Jalil mengurungkan niatnya.

   Sekarang dia baru merasakan kalau anak muda berpakaian hijau daun itu memang bukan tandingannya.

   Ditatapnya mata anak muda itu dengan sinar mata menggiriskan.

   Sebentar kemudian, giginya terdengar bergemeretak menahan amarah, menyaksikan tubuh Sarkam yang tergeletak tanpa nyawa dan tubuh Bontan yang terluka parah.

   "Hai, Anak Muda Usilan! Dengarlah! Kami kaki tangan Ludah Setan tak pernah menganggap persoalan ini selesai sampai di sini. Kami bersumpah akan segera kembali menemui kadal buduk sepertimu, untuk menuntut balas. Kau dengar itu?!"

   Dengan tangan bertolak pinggang, anak muda berpakaian hijau daun itu menyunggingkan senyum mengejek ke arah lawannya.

   "Pulang, dan mengadulah kepada pimpinanmu. Aku yang bernama Roka akan selalu menunggu kedatanganmu,"

   Tantang pemuda itu.

   "Bocah sombong!"

   Maki Jalil.

   "Warman! Kau bopong mayat Sarkam. Biar aku memapah Kakang Bontan."

   Warman segera melaksanakan perintah temannya.

   Dengan cepat diangkatnya mayat Sarkam.

   Sementara, Jalil memapah Bontan dengan Iangkah terhuyung-huyung.

   Belum lagi jauh Jalil meninggalkan anak muda yang telah mempecundanginya, kepalanya menoleh, menatap penuh dendam pada anak muda berpakaian hijau daun itu.

   Sedangkan anak muda berpakaian hijau daun itu hanya tersenyum-senyum geli saja menyaksikan tingkah lawannya.

   "Sampaikan salamku untuk Ludah Setan, Ludah Jin, dan ludah-ludah lainnya! Katakan, Roka menunggu di tempat ini!"

   Mendengar ejekan yang memerahkan telinga itu, Jalil segera membuang tatapannya. Dadanya terasa sesak dipenuhi bara dendam.

   "Awas kau! Rasakan balasanku nanti, Anak Muda Bau Tengik!"

   Gerutu Jalil sambil terus memapah tubuh Bontan.

   Sementara, anak muda berpakaian hijau daun yang bernama Roka itu berpaling, setelah terlebih dahulu mengusap-usap debu yang mengotori pakaiannya.

   *** Roka kembali memasuki ruangan penginapan yang tengah dibenahi pemiliknya.

   Ki Lunta, si pemilik penginapan sederhana ini, melirik sekilas ke arah anak muda yang tengah duduk kembali.

   Dia segera menarik napasnya dalam-dalam, sebelum kakinya melangkah menghampiri Roka.

   "Tindakanmu terlalu berani, Anak Muda,"

   Kata Ki Lunta periahan. Wajah tuanya nampak jelas begitu pucat.

   "Apa tindakanku barusan salah, Ki?"

   Selidik Roka dengan alis terangkat. Ki Lunta tak menjawab pertanyaan itu. Wajah tuanya tertunduk seketika, dan napasnya ditarik dalam-dalam.

   "Kau takut kaki tangan Ludah Setan kembali lagi ke sini, Ki?"

   Tanya Roka. Anak muda berpakaian hijau daun itu menatap wajah lelaki tua, di hadapannya. Dia tersentak menyaksikan wajah Ki Lunta yang semakin pucat.

   "Kau sakit, Ki?"

   Roka memegang bahu Ki Lunta yang terasa begitu dingin. Lelaki tua berumur sekitar enam puluh tahun itu menggelengkan kepala.

   "Tindakan yang kau ambil barusan sebenarnya tidak salah, Anak Muda."

   "Ah! Panggil saja aku Roka, Ki."

   Ki Lunta mengangguk.

   "Kau terlalu berani berurusan dengan Ludah Setan, Roka. Aku tidak yakin, kepandaian yang kau miliki mampu menandingi kesaktiannya."

   "Setinggi apakah kesaktian Ludah Setan itu, Ki?"

   Selidik Roka. Mendengar ucapan Ki Lunta, Roka merasa dirinya direndahkan. Mungkin dikira dirinya tak mampu menandingi kehebatan Ludah Setan. Mendengar pertanyaan Roka, dahi Ki Lunta sedikit berkerut.

   "Sukar mengukur kesaktian si Ludah Setan yang sudah betul-betul menjadi setan di desa ini. Puluhan tokoh sakti, terutama tokoh dari aliran putih telah dibinasakannya. Bahkan belum lama ini, seorang tokoh yang cukup dikenal kedigdayaannya harus menyerahkan selembar nyawanya ke tangan Ludah Setan. Kau tahu siapa tokoh itu, Roka?"

   Roka menggeleng mendengar pertanyaan Ki Lunta. Memang, dia tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Ludah Setan. Roka memang baru saja menamatkan pelajaran ilmu olah kanuragan di Perguruan Hijau Kemuning.

   "Macan Kumbang dari Selatan,"

   Tegas Ki Lunta kemudian.

   Roka tersentak mendengar nama besar Macan Kumbang dari Selatan yang disebut Ki Lunta telah mati dibunuh oleh Ludah Setan.

   Meskipun dirinya belum pernah menyaksikan kehebatannya, namun melalui mulut guru besarnya, Roka penah mendengar kehebatan dan kedigdayaan yang dimiliki Macan Kumbang dari Selatan.

   Dia adalah pendekar berusia setengah baya yang sudah malang melintang di rimba persilatan.

   Bergetar juga hati Roka mendapatkan kenyataan seperti itu.

   Akan tetapi, siapa yang dapat menduga kalau kejadiannya jadi seperti sekarang ini? Roka mengerutkan dahinya.

   Otaknya tengah berpikir keras.

   "Ludah Setan,"

   Gumam Roka dalam hati.

   "Sesakti apa pun, aku harus menghadapimu."

   "Kau menyesal, Roka?"

   Pertanyaan Ki Lunta bagai petir menggelegar di telinga Roka. Ditatapnya wajah Ki Lunta dalam-dalam. Roka menggeretakkan giginya sebelum bicara.

   "Apa kau pikir aku ini seorang pengecut, Ki?"

   Tukas Roka ketus. Sifat kependekarannya seketika muncul.

   "Siapa pun si Ludah Setan dan setinggi apa pun kesaktiannya, aku akan tetap menunggunya di tempat ini. Pantang bagiku menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah. Aku telah menantang si Ludah Setan, dan berarti harus pula menghadapinya."

   Ki Lunta terkejut mendengar ucapan anak muda berpakaian hijau daun yang begitu tegas itu. Dia kelihatannya tidak main-main dengan ucapannya.

   "Aku kagum dengan keberanianmu, Roka. Tetapi...."

   "Tetapi apa, Ki?"

   Selak Roka cepat "Untuk sementara ini, Rasanya kau tak akan berhadapan langsung dengan Ludah Setan. Kau harus lebih dulu berhadapan dengan Gantangga."

   "Siapa itu Gantangga, Ki?"

   "Tangan kanan Ludah Setan,"

   Jelas Ki Lunta.

   "Seandainya aku mampu mengalahkan Gantangga?"

   Ki Lunta tak menimpali pertanyaan Roka. Kakinya malah melangkah ke arah lelaki berpakaian hitam yang telah selesai membalut luka-lukanya.

   "Seharusnya kejadian ini tidak terjadi, Kisanak,"

   Kata Ki Lunta pada lelaki berpakaian serba hitam yang bernama Jalu.

   "Akan tetapi, siapa yang dapat mencegah suratan yang telah digariskan sang Pencipta...?"

   Jalu tak menimpali ucapan Ki Lunta. Sepertinya, dia membenarkan perkataan yang keluar melalui mulut lelaki tua di hadapannya itu. Itulah sebabnya, ketika Ki Lunta sudah tidak berkata lagi, Jalu mohon pamit.

   "Aku pamit, Ki,"

   Ucap Jalu datar. , Ki Lunta menganggukkan kepalanya. Sementara, Roka hanya memandang wajah Jalu yang kini sudah memondong temannya itu.

   "Hup!"

   Dengan gerakan ringan, Jalu melesat dari hadapan Ki Lunta. Namun tak lama kemudian, suaranya yang dikirim lewat pengerahan tenaga dalam terdengar Ki Lunta dan Roka.

   "Terima kasih atas pertolonganmu, Roka!" *** Blarrr...! Suara gaduh seketika terdengar di pagi buta seperti ini. Belum lagi hilang keterkejutan penghuni sebuah penginapan, suara lain yang tak kalah kerasnya terdengar.

   "Ki Lunta! Keluarkan semua penghuni penginapanmu. Biar kukirim nyawa-nyawa mereka ke neraka! Ki Lunta! Kau dengar!"

   Brakkk...! Pemilik kedai dan penginapan yang bernama Ki Lunta keluar tergesa-gesa.

   Dugaannya yang kemarin terbukti kini.

   Di depannya, sekarang tengah berdiri sosok angker berpakaian merah darah dengan ikat kepala juga berwarna merah darah.

   Kaki Ki Lunta seperti tak mampu menahan bobot badannya.

   Lelaki tua itu merasakan seluruh tubuhnya menggigil menyaksikan Gantangga berdiri di hadapannya dengan senjata andalan yang sudah terlepas dari pinggang.

   Sepasang senjata berbentuk palu bergerigi, dan terbuat dari logam keras berwarna hitam legam itu tergenggam erat di tangan kanannya.

   Belum lagi Ki Lunta berhasil mengatasi rasa ketakutannya, sosok angker itu telah mengayunkan senjata.

   Bunyi bergemuruh seketika terdengar disertai deru angin keras yang menerbangkan kerikil-kerikil di sekitarnya.

   Itu menandakan kalau sosok angker ini tidak main-main dengan serangannya.

   Wukkk! Wukkk..! "Mati aku,"

   Ujar Ki Lunta dalam hati.

   Wajah tuanya nampak semakin pucat, seperti tanpa darah yang mengalir di tubuhnya.

   Blarrr...! Sebuah meja di depannya hancur berkeping-keping terhajar senjata Gantangga.

   Dialah tangan kanan Ludah Setan yang datang untuk menuntut balas atas kekalahan anak buahnya terhadap Roka.

   Gantangga melangkah ke arah Ki Lunta yang kini terkulai di lantai.

   Keringat dingin sebesar biji jagung semakin deras mengaliri tubuhnya.

   "Tamatlah riwayatku,"

   Gumam Ki Lunta. Namun belum lagi langkah kaki Gantangga tiba di hadapan Ki Lunta, tiba-tiba....

   "Berhenti...!"

   Tiba-tiba sebuah bentakan keras telah menghentikan langkah Gantangga. Dan seiring dengan terdengarnya bentakan itu, berkelebatlah sesosok bayangan hijau ke arah Ki Lunta.

   "Minggirlah, Ki Lunta. Biar kuhadapi orang yang tak tahu sopan ini."

   Mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan diri, Ki Lunta secepatnya bergegas.

   "Keberanianmu patut dipuji, Anak Muda,"

   Kata Gantangga seraya memutar-mutar senjatanya periahan.

   "Akan tetapi, keberanianmu bukan pada tempatnya. Kau tidak tahu, dengan siapa berhadapan sekarang."

   Mendapatkan gertakan yang seperti itu, seketika Roka mengembangkan senyumnya.

   "Siapa pun kau, dan setinggi apa pun kepandaianmu, selama aku berpijak pada kebenaran rasanya aku tak akan lari. Meskipun nyawa yang jadi taruhannya,"

   Sahut Roka, dingin.

   "Ternyata kau punya nyali dua, Bocah Sombong! Rasanya aku tak sabar lagi ingin mengunyah kedua nyalimu. Tahan seranganku.... Hiyaaa!"

   Wukkk! Wukkk...! Menyaksikan lawannya yang sudah menggunakan senjata, Roka segera menggeser kakinya ke belakang.

   "Hiaaat...!"

   Wukkk! Wukkk...! Blarrr! Dengan gerakan ringan, Roka melenting seraya melakukan putaran dua kali di udara untuk menghindari hantaman palu bergerigi yang dikirim Gantangga.

   "Hup!"

   Roka menjejakkan kakinya dengan manis di luar penginapan.

   "Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menyingkirkanku, Gantangga!"

   Tukas Roka sambil menarik keluar senjata andalannya berupa sepasang arit keperakan. Sret! Sret! Wukkk! Wukkk...! "Hiyaaa...!"

   Trang! Roka menangkis sambaran palu bergerigi itu dengan senjatanya.

   Dan betapa terkejutnya hati Gantangga ketika menyadari kalau tenaga dalam lawan hampir seimbang dengannya.

   Tubuhnya terjajar ke belakang tiga langkah, sementara tangannya terasa linu.

   "Boleh juga tenaga dalam bocah ingusan ini!"

   Desis Gantangga sambil membetulkan kakinya setelah terhuyung tiga langkah ke belakang. Pertarungan kembali berlanjut setelah masing-masing mengetahui kekuatan lawan. Hanya saja kali ini Roka yang mengambil keputusan untuk menyerang.

   "Hiaaat..!"

   Sret! Sret! "Uts!!"

   Gantangga mendoyongkan tubuhnya menghindari sambaran senjata Roka yang mencecar ke perut.

   Sambaran itu berhasil dielakkannya, namun sodokan sikut yang dilancarkan Roka kembali mengancam wajahnya yang berahang keras.

   Menyaksikan keadaan itu, Gantangga segera melempar tubuhnya ke kanan.

   Mirip lompatan seekor harimau.

   Tubuhnya yang kekar itu seketika bergulingan di tanah berdebu.

   Akan tetapi, Roka tak begitu saja membiarkan lawannya lolos.

   Dengan gerakan yang sukar dilihat mata biasa, Roka kembali mencecar lawannya.

   Sepasang senjata andalannya berputar-putar cepat, mencecar bagian yang mematikan pada tubuh lawan.

   "Hiyaaa!"

   Srat! Srat! Srat! "Hup!"

   "Hiyaaa...!"

   Roka terus mencecar tubuh Gantangga yang kerepotan menghindari setiap serangannya.

   Rupanya, Roka tahu caranya menghadapi lawan yang menggunakan senjata palu bergerigi.

   Pertarungan memang harus dilakukan dengan jarak dekat.

   Sementara, lawan membutuhkan pertarungan jarak jauh.

   Di situlah keunggulan Roka.

   Hingga pada jurus yang ke lima belas, tendangan yang dialiri pengerahan tenaga dalam, berhasil disarangkan di tubuh lawan.

   Bugkh! "Akh...!"

   Tubuh Gantangga terpental sejauh tiga batang tombak.

   Perutnya kontan terasa melilit dan mual.

   Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan berwarna merah.

   Dan sebelum Roka kembali menyerang, Gantangga segera bangkit sambil membenturkan kedua telapak tangannya.

   Plak! Plak! Plak...! Seiring tepukan tangan Gantangga, berturut-turut lima sosok bayangan berkelebat cepat mengurung Roka.

   "Kali ini kau harus mampus, Bocah Ingusan!"

   Bentak Gantangga setelah menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya dengan punggung tangan.

   Kini Gantangga kembah memutar-mutar senjata andalannya.

   Wukkk....

   Wukkk...! Dalam keadaan terkurung seperti itu, Roka segera meningkatkan kewaspadaannya.

   Dengan ekor mata, diperhatikannya empat orang lawan yang bersenjatakan pedang dan seorang lawan yang senjatanya sama dengan senjata Gantangga.

   Dialah Majakot, orang kedua setelah Gantangga.

   "Seraaang...!"

   Empat orang lawan bersenjata pedang seketika merangsek maju.

   Secara bersamaan, empat orang berpakaian merah itu menusukkan senjatanya ke bagian-bagian mematikan tubuh Roka.

   Maka kembali Roka menggenjot tubuhnya.

   Dengan bertumpu pada salah satu pedang lawan, dia melenting ke udara dan bersalto dua kali.

   "Hup!"

   Roka mendarat ringan di tanah. Namun belum lagi sempat menarik napas lega, senjata Majakot sudah datang mencecar kepalanya.

   "Pecah kepalamu, Bocah!"

   Wuttt...! "Uts!"

   Roka menundukkan kepalanya.

   Senjata andalan yang dilancarkan Majakot, lewat lima rambut di atas kepala Roka.

   Namun tak urung dia merasakan angin keras yang seperti mengangkat pori-pori kulit kepalanya.

   Setelah Roka berhasil melepaskan diri dari maut, dengan mengandalkan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, Roka mengirimkan serangan ke arah dada Majakot yang lowong.

   "Hiyaaa...!"

   Sret! Sret! "Heh?!"

   Roka menarik mundur serangannya ketika sebilah pedang mengkilat memapak serangannya.

   Kemudian, tubuhnya yang sudah berada di udara dibuang ke k-nan.

   Seorang penyerang gelap yang hendak memanfaatkan keadaan Roka, ternyata bernasib sial.

   Pada saat membuang tubuhnya ke kanan, Roka sudah dapat mengambil kesimpulan kalau lawan akan memanfaatkan keadaannya yang kurang menguntungkan.

   Maka....

   "Hap!"

   Bret!! "Aaakh...!"

   "Keparat!"

   Gantangga memekik geram, giginya bergemeretak keras menahan amarah yang meluap-luap.

   "Kau telah menghilangkan nyawa murid kesayanganku! Maka kau harus menukar dengan nyawamu, Bocah Edan!"

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Gantangga dan Majakot merangsek bersamaan. Keduanya tampak tengah mempersiapkan jurus andalan untuk melumat tubuh Roka.

   "Kusayangkan kalau akhirnya kau harus menerima kematian begitu cepat, Anak Muda. Untuk itu, sebut namamu. Karena biar bagaimanapun juga, aku harus angkat jempol akan keberanianmu menentang Ludah Setan, junjungan kami,"

   Ujar Gantangga dengan suara ditekan. Roka mencibir mendengar ucapan Gantangga.

   "Jurus apa yang kalian andalkan hingga memiliki kesombongan seperti itu?"

   Tak kalah berat nada suara Roka.

   "Bocah ingusan! Kau memang pantas menerima jurus 'Badai Gurun' yang akan mengirimmu ke neraka. Ayo, Kakang! Lebih cepat bocah ingusan ini mampus, lebih baik!"

   "Baik, Adi Majakot!"

   Wukkk...! Wukkk...! Terbelalak juga mata Roka menyaksikan dua pasang senjata dari dua orang lawan yang kini tengah berputar bersamaan di udara.

   Senjata berbentuk palu yang pada ujung gagangnya disambung dengan rantai itu berputar di atas kepala begitu cepat.

   Hingga yang terlihat kini hanya segulungan warna hitam yang mengeluarkan angin deras.

   Udara di sekitar tempat pertarungan itu seketika menjadi dingin.

   Debu dan kerikil beterbangan tak tentu arah.

   Pohon-pohon kecil yang ada di sekitarnya kontan bertumbangan.

   Roka merasakan tubuhnya seperti hendak diterbangkan.

   Namun dengan segenap kemampuannya, dia berhasil mengatasi.

   Akan tetapi bukan main terkejutnya Roka ketika merasakan hawa dingin yang mendadak lenyap.

   Dan kini telah berganti hawa panas yang timbul akibat berputarnya dua pasang senjata berbentuk palu bergerigi dengan kecepatan penuh.

   Dengan mengerahkan hawa murni, hawa panas yang keluar dari senjata yang terus berputar itu mampu diredam Roka.

   Malahan, Roka kini sedang menyiapkan serangan.

   Sepasang kakinya bertumpu membentuk kuda-kuda gantung.

   Sedangkan tubuhnya digerak-gerakkan begitu gemulai, layaknya padi yang tertiup angin sepoi-sepoi.

   Ya! Roka tengah menyajikan jurusnya yang bernama 'Gemulai Padi Menguning'.

   Gerakan Roka yang semula nampak gemulai kini menjadi mengejang.

   Seluruh permukaan wajahnya dialiri warna kemerahan.

   Dan sebentar kemudian, gerakannya yang begitu cepat berkelebat deras ke arah tubuh Gantangga.

   "Hiaaa...!"

   Seperti dalam mimpi, Gantangga menerima serangan tak terduga yang dilancarkan Roka.

   Maka segera dia melempar diri ke kiri ketika sambaran sepasang arit Roka hendak memakan lambungnya.

   Seiring lemparan tubuhnya, Gantangga sempat mengirim serangan dengan palu bergeriginya.

   Wukkk! Roka mengangkat sedikit kakinya yang sudah berada di udara.

   Dan ketika menjejak tanah, tubuh Roka kembali melenting mengejar Gantangga yang tengah bergulingan.

   "Hiaaa. .!"

   "Hiyaaa...!"

   Bugkh! "Agkh!"

   Roka terpekik tertahan.

   Tubuh anak muda berpakaian hijau itu terjajar dua batang tombak ketika menerima serangan gelap Majakot.

   Seketika Roka merasakan dadanya sesak.

   Tendangan yang dilancarkan lawan tadi terlalu keras menghantam dadanya.

   Darah nampak merembes dari sudut bibirnya.

   Belum lagi Roka mampu metawan sesak di dadanya, Majakot kembali menyerang.

   Rupanya dia tidak ingin membuang-buang kesempatan yang cukup baik Wukkk....

   Wukkk! Majakot segera melepas senjata andalannya kembali, mengarah ke tubuh Roka.

   Dan Roka hanya terpekik ketika senjata bergerigi milik lawan sempat menyerempet tubuhnya.

   Brettt! "Akh!"

   Pakaian Roka tampak koyak terkena sambaran senjata lawan. Bahkan kulit yang ikut terserempet, sedikit mengeluarkan darah.

   "Hiaaat...!"

   Gantangga menyusulkan serangan ketika melihat Roka terdesak hebat. Tubuhnya yang tengah melayang di udara, mengirimkan sebuah tendangan bertenaga. Suara yang cukup kuat terdengar mengiringi hantaman kaki kekarnya. Bug! "Akh!"

   Roka kembali terpekik menerima hantaman yang cukup keras.

   Tubuhnya terpental sejauh tiga batang tombak.

   Darah kental tampak keluar dari mulutnya yang terbatuk-batuk.

   Melihat tubuh Roka yang tak mampu bangkit, Gantangga dan Majakot melancarkan serangan secara bersamaan.

   Senjata mereka yang bergerigi tajam berkelebat cepat mencecar batok kepala Roka.

   "Hiaaat...!"

   "Hiyaaa...!"

   Roka hanya terhenyak menyaksikan kedua lawan yang merangsek maju.

   Dia sudah pasrah menanti saat-saat ajal yang akan segera menjemput, tapi...

   Trak! Trak...! *** Sejengkal lagi senjata milik Gantangga dan Majakot menghantam batok kepala Roka, tiba-tiba benturan keras seketika terdengar.

   Tubuh Gantangga dan Majakot seketika terpental sejauh tiga batang tombak.

   Kedua lelaki berpakaian merah darah itu merasakan tangannya seperti lumpuh.

   Dan itu jelas tenaga dalam mereka kalah dibanding orang yang memapak serangannya.

   "Kurang ajar!"

   Bentak Gantangga keras.

   Seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun berdiri tegak disertai senyum di bibir.

   Wajah pemuda berpakaian kuning keemasan dengan sabuk juga berwarna keemasan melilit di pinggang, nampak begitu tampan.

   Hidungnya berukuran sedang.

   Bola matanya tampak cemerlang.

   Kulit mukanya juga bersih, dan berahang kuat.

   Pada pergelangan tangan kiri pemuda itu nampak dua batang bambu kuning sepanjang jengkal bocah berusia tiga tahun.

   Dia kemudian kembali melepas senyumnya.

   "Maafkan aku, Kisanak,"

   Ucapan yang bernada lembut seketika terdengar melalui bibir tipis milik lelaki muda berpakaian warna kuning keemasan itu.

   "Sebenarnya aku tak bermaksud mencampuri urusanmu."

   "Setan!"

   Sentak Majakot seraya bangkit setelah mampu menguasai dirinya.

   "Lalu, apa namanya dengan tingkahmu yang barusan itu?!"

   "Sekali lagi, aku mohon maaf, Kisanak. Tingkahku yang barusan itu semata terdorong oleh kecurangan yang telah kalian lakukan,"

   Timpal pemuda itu.

   "Cari mampus!"

   Menggelegar suara yang dikeluarkan Gantangga, karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

   Sehingga sempat membuat Ki Lunta yang sejak tadi menyaksikan pertarungan secara tersembunyi menekap telinganya.

   Bahkan tubuhnya juga terdorong ke belakang beberapa langkah.

   Sementara pemuda berpakaian kuning keemasan itu hanya mempertontonkan sebaris giginya yang tertata rapi.

   "Mati tidak bisa dicari, Kisanak. Tetapi mati memang akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa."

   "Setan belang! Hiyaaa...!"

   Gantangga membuka serangan.

   Seluruh tenaganya dikerahkan untuk menjatuhkan lawan yang jauh lebih muda.

   Plak! Plak...! Pemuda berpakaian kuning keemasan itu menangkis sodokan kiri kanan yang dilancarkan Gantangga.

   Ringan saja gerakan yang dilakukannya, akan tetapi hasilnya sangat mengejutkan Gantangga.

   "Bocah setan!"

   Maki Gantangga geram. Dia kembali merasakan tubuhnya seperti tersengat ratusan lebah.

   "Seraaang...!"

   Teriak Majakot ketika menyaksikan Gantangga terkulai di tanah. Tiga orang bersenjata pedang yang sejak tadi hanya sebagai penonton, seketika merangsek maju. Tak ketinggalan Majakot yang barusan memberi aba-aba.

   "Tahaan..!"

   Bentak pemuda berpakaian kuning keemasan, menggelegar.

   "Lebih baik kalian pergi dari sini, daripada membuang nyawa percuma!"

   "Bocah sombong!"

   Maki Majakot geram. Tangannya kembali bergerak memberi aba-aba.

   "Jangan salahkan aku kalau umur kalian hanya sampai di sini,"

   Pemuda berpakaian kuning keemasan itu meloloskan sabuk yang melilit pinggangnya.

   la memang ingin mengetahui keampuhan sabuk yang belum pemah dipergunakannya.

   Maka, cahaya menyilaukan tampak mengiringi lolosnya sabuk.

   Bahkan cahaya itu mampu menghentikan para penyerang yang bergerak maju.

   Melalui gerakan manis, pemuda berpakaian kuning keemasan itu memutar pergelangan tangannya.

   Dan kemudian, sabuk kuning yang tercekal dilecutkan kuat-kuat Glarrr...! Pohon sebesar pelukan dua lelaki dewasa seketika rumbang seiring bunyi ledakan dahsyat.

   Bukan itu saja.

   Seberkas sinar keperakan yang tercipta barusan pun mampu menghanguskan pohon besar yang tumbang tadi.

   "Raja Petir?!"

   Terbeliak mata Ki Lunta menyaksikan kejadian di depan matanya. Begitu juga yang dialami penghuni penginapan yang turut menyaksikan pertarungan. Benak mereka seketika dijejali pertanyaan dan dugaan yang simpang siur.

   "Dia pasti jelmaan Raja Petir"

   Tebak lelaki kurus berkumis lebat.

   "Ngaco!"

   Bantah yang lain.

   "Raja Petir itu sudah tua. Lagi pula, orang yang mati mana mungkin bisa hidup lagi."

   "Mungkin ia keturunan Raja Petir. Atau pasti cucunya,"

   Selak lelaki berambut keriting, dari belakang. Mereka yang mendengar ucapan lelaki berambut keriting serempak menganggukkan kepala. Sementara, di tempat lain Ki Lunta masih sibuk dengan pikirannya.

   "Itu baru peringatanku, Kisanak. Lebih baik kalian segera pergi jauh-jauh sebelum menyesal. Dan, jangan coba-coba kembali lagi!"

   Ujar pemuda berpakaian kuning keemasan, lantang.

   "Bocah sombong!"

   Maki Majakot "Seraaang...!"

   Tiga sosok berpakaian merah langsung merangsek maju mendengar perintah pemimpinnya.

   Namun belum lagi serangan mereka tiba, seberkas sinar keperakan telah datang mendahului.

   Seperti ada petir menyambar, ketiga sosok berpakaian merah itu kontan berpentaian beberapa tombak dengan keadaan tubuh sebagian menghangus.

   "Dia pasti pewaris Raja Petir,"

   Gumam Ki Lunta.

   Ada perasaan lega seketika mengisi dada.

   Ki Lunta berharap, dengan kehadiran Raja Petir, ketakutan penduduk terhadap ulah Ludah Setan dan kaki tangannya akan segera berakhir.

   Sementara, Gantangga dan Majakot yang menyaksikan nasib malang ketiga anak buahnya, langsung merasa gentar.

   Apalagi menyaksikan keadaan tubuh anak buahnya yang sebagian menghitam.

   "Bagaimana? Apa kalian akan melanjutkan pertarungan ini?"

   Tanya pemuda berpakaian kuning keemasan, tenang.

   "Hhh.... Kali ini kami mengaku kalah. Tapi Ludah Setan, yang merupakan junjungan kami, tidak akan tinggal diam. Kalian semua sebentar lagi akan melayat ke neraka. Camkan itu!"

   Setelah berkata demikian, Gantangga dan Majakot berkelebat pergi. Mereka meninggalkan ketiga anak buahnya yang tewas begitu mengerikan. *** "Kau hebat, Anak Muda."

   Ki Lunta terbungkuk-bungkuk menghampiri pemuda berpakaian kuning keemasan.

   Wajahnya sudah kembali biasa, karena ketegangan sudah tidak menghinggapinya.

   Ki Lunta kembali membungkukkan badan.

   Tapi kali ini disertai tundukan kepala sebagai tanda hormat dan terima kasih.

   "Kalau tak ada dirimu, mungkin aku dan rumah penginapanku sudah rata dengan tanah. Ah! Siapa namamu, Anak Muda? Aku sendiri bernama Ki Lunta. Biarlah aku akan selalu mengingat budi baikmu yang tak ternilai ini."

   Pemuda berpakaian kuning keemasan itu mengembangkan sedikit senyumnya. Wajahnya nampak lebih tampan ketika sinar mentari pagi menerpanya.

   "Pujianmu terlalu berlebihan, Ki. Rasanya belum pantas aku menerimanya. Apalagi, kau menyebut-nyebut budi baik barusan. Kukira, apa yang kulakukan barusan hanyalah sebuah kewajiban yang memang harus dijalani. Manusia memang diharuskan saling tolong-menolong, Ki Lunta."

   Ki Lunta tersenyum simpul mendengar kerendahan bicara anak muda di hadapannya ini.

   "Ah, ya. Namaku Jaka Sembada. Dan biasa dipanggil dengan sebutan Jaka,"

   Lanjut pemuda berpakaian kuning keemasan itu sambil menoleh ke arah Ki Lunta dan Roka bergantian.

   "Aku Roka,"

   Kata lelaki berpakaian hijau daun, ikut memperkenalkan diri.

   "Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu."

   "Melihat apa yang telah kau lakukan, aku jadi teringat seorang tokoh sakti golongan putih yang berbudi luhur. Tokoh itu pernah malang-melintang di dunia persilatan, yang disegani lawan dan dihormati kawan,"

   Ujar Ki Lunta kemudian.

   "Siapa nama tokoh itu, Ki?"

   Selidik Jaka.

   "Raja Petir,"

   Jawab Ki Lunta.

   "Apakah kau pewarisnya?"

   Jaka tersenyum mendengar pertanyaan Ki Lunta.

   "O ya, Ki Lunta. Apa kau telah kenal lama dengan kaki tangan Ludah Setan?"

   Tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.

   "Sudah,"

   Jawab Ki Lunta periahan.

   "Mereka memang sudah lama menguasai desa ini."

   "Penduduk desa ini tak ada yang berani menentang?"

   "Ludah Setan sudah benar-benar menjadi setan di desa ini. Dia begitu bengis dan kejam. Siapa saja yang berani membangkang, nyawa yang jadi taruhannya,"

   Sahut Ki Lunta sambil menggelengkan kepalanya.

   "Apa senjata si Ludah Setan sama dengan senjata yang dipakai Gantangga dan Majakot?"

   Selidik Jaka lebih jauh. Jaka ingin meyakini kemiripan senjata yang pernah diceritakan Nyi Selasih.

   "Sama persis,"

   Jawab Ki Lunta.

   Ada kegeraman seketika mengisi rongga dada Jaka.

   Pikirannya langsung tertuju pada cerita Eyang Legar dan Nyi Selasih.

   Kata mereka, dirinya terkurung api yang melahap sebuah rumah, dua puluh tahun yang lalu.

   Ayah Jaka telah dibunuh seseorang yang bernama Gandewa.

   Sedangkan ibunya, diculiknya pula.

   Bahkan rumah mereka dibakar.

   Padahal, Jaka yang saat itu masih bayi, terkurung di dalamnya.

   Untung saja, dia sempat diselamatkan Eyang Legar.

   "Gandewa!"

   Jaka memekik dalam hati. Tangannya tiba-tiba saja terkepal dan wajahnya yang tampan berubah kemerahan.

   "Apa kau pernah bentrok dengan Ludah Setan?"

   Tanya Roka yang sejak tadi memperhatikan sikap Jaka.

   "Ah... eh! Be..., belum,"

   Tergagap jawaban yang keluar dari mulut Jaka. Lamunannya akan kejadian yang pernah menimpa kedua orangtuanya terpenggal.

   "Aku permisi ke dalam, Ki Lunta, Roka."

   Jaka segera melangkah perlahan menuju ke kamarnya. Dia memang ingin menenangkan pikirannya. Ternyata sebelumnya Jaka memang sedang menginap di situ. *** "Rasakan pembalasanku nanti, Gandewa!"

   Batin Jaka memekik keras.

   Pemuda itu bangkit dari pembaringannya.

   Jari-jari tangannya yang berisi nampak meraba-raba sabuk warna kuning keemasan, yang bernama Sabuk Petir.

   Kelak, sabuk itu akan membuat para tokoh aliran hitam tercengang.

   Jaka kembali membaringkan tubuhnya setelah sekian lama berdiri tegak sambil mengelus elus Sabuk Petir yang melilit pinggangnya.

   Dua mata cemerlang yang sangat menopang ketampanan wajah Jaka, seketika terpejam.

   Dari pikirannya yang menerawang jauh, kembali terdengar ucapan Nyi Selasih yang menyatakan kemungkinan masih hidupnya ibu kandung Jaka.

   "Eyang Putri memang tidak dapat memastikan kalau ibumu masih hidup, Jaka. Tapi dari pemberitahuan yang kudapatkan melalui Eyang Legar, ke-mungkinan itu bisa saja terjadi. Karena di dalam rumahmu yang sedang dilalap api, tak ditemukan mayat lain selain mayat ayahmu, yang bernama Sempani."

   "Keparat!"

   Kembali hati Jaka memekik.

   Sementara pikiran lain terbersit, kalau si Ludah Setan telah merampas istri orang.

   Ibu kandungnya sendiri! Jaka kini telah terlelap sambil membawa dendam nya ke dalam mimpi.

   Malam kian merambat larut.

   Dan sebentar lagi, pagi datang menyingsing.

   *** Matahari sudah keluar sepenuhnya manakala Jaka Sembada berpamitan pada Ki Lunta.

   "Aku keliling dulu sebentar, Ki. Ingin lihat lihat keadaan di luar,"

   Pamit Jaka pada Ki Lunta yang tengah sibuk membenahi rumah penginapannya yang sedikit rusak akibat ulah kaki tangan Ludah Setan. Ki Lunta mengangguk saja mendengar ucapan Jaka. Mata tuanya menatap wajah tampan Jaka, seperti tak berkedip.

   "Masih muda, ilmunya sudah tinggi,"

   Desah Ki Lunta dalam hati.

   Firasat Ki Lunta sendiri mengatakan akan terjadi perubahan besar dengan hadirnya sosok muda yang memiliki kepandaian tinggi.

   Ya, Ki Lunta memang sudah lama mengharapkan hadirnya sosok tangguh yang akan mampu menandingi kebengisan Ludah Setan dan para begundalnya.

   Sementara Ki Lunta masih sibuk berkhayal-khayal, sosok yang diidam-idamkannya telah lenyap dari hadapannya.

   Sosok Jaka Sembada yang kini telah pergi jauh meninggalkan perbatasan Desa Jelaga.

   Jaka terus melangkah ke arah Timur.

   Kakinya yang kokoh bergerak cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya memang sudah tinggi.

   Sementara perbatasan Desa Jelaga sudah jauh ditinggalkan.

   Dan Jaka baru berhenti ketika tiba-tiba....

   Trang! Trang...! "Haiiit...!"

   Bugkh! "Akh...!"

   Jaka langsung memasang pendengarannya yang tajam.

   Dia memang seperti mendengar suara orang bertarung.

   Maka bergegas kakinya melangkah ke arah suara pertarungan berasal.

   Dugaannya memang tidak meleset Di hadapannya, sekitar sepuluh batang tombak nampak seseorang sedang dikeroyok.

   "Seorang perempuan?"

   Desis Jaka.

   Maka dia segera saja mencari tempat persembunyian untuk menyaksikan sebuah pertarungan yang kelihatannya tidak seimbang itu.

   Dari jarak yang tidak begitu jauh, Jaka terus mengikuti jalannya pertarungan.

   la kagum melihat kepandaian yang dimilikt perempuan yang ternyata masih begitu muda itu.

   Jaka mengira-ngira, paling tidak usia gadis berpakaian warna hijau itu tak lebih dari tujuh belas tahun.

   "Hiyaaa...!"

   Bugkh! "Aaakh...!"

   Tendangan keras gadis itu mendarat telak ke tubuh salah seorang pengeroyok yang jumlahnya belasan.

   "Anak manis! Sungguh tak kusangka kalau kau menyimpan kepandaian yang mengagumkan,"

   Kata seseorang yang seketika menghadang serangan gadis berpakaian hijau itu, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

   "Tapi akan lebih mengagumkan jika kali sudi ikut bersama kami. Gadis secantikmu tak layak terjun di dunia persilatan yang penuh kekerasan. Lebih baik, pergunakanlah kecantikanmu untuk mereguk madu kebahagiaan bersamaku. Kau akan senang ikut bersamaku."

   "Cis!"

   Gadis berpakaian hijau itu meludahi wajah laki-laki bercambang bauk yang merupakan salah seorang pemimpin dari pengeroyok bersenjata pedang.

   Lelaki setengah baya yang diludahi itu segera memiringkan kepalanya.

   Hingga, terjangan ludah gadis berpakaian hijau itu hanya lewat di samping kin kepalanya.

   "Hiaaat...!"

   Belum lagi lelaki bercambang bauk siap, gadis berpakaian hijau itu kembali menyerang. Trang...! Dua tubuh saling berpentalan ke belakang sejauh tiga batang tombak.

   "Gadis setan,"

   Maki lelaki setengah baya bercambang bauk itu.

   Dia merasakan tangannya bergetar ketika memapak serangan yang dilancarkan ke arah lehernya.

   Sementara, gadis berpakaian hijau itu merasakan hal yang sama.

   Serangannya terasa seperti membentur dinding baja.

   Bahkan hampir saja pedangnya terlepas.

   "Rupanya kau gadis keras kepala!"

   Bentak lelaki bercambang bauk lebat itu.

   "Menghadapi anak buahku yang memiliki kepandaian rendah, kau boleh bangga. Tapi menghadapi kami...."

   Tiba-tiba lelaki setengah baya bercambang bauk itu menjentikkan ujung jemari tangannya. Maka dua sosok bayangan seketika berkelebat cepat, dan mendarat ringan di samping kiri dan kanannya.

   "Bagus!"

   Lantang suara yang keluar dari bibir tipis gadis berpakaian hijau itu.

   "Majulah kalian semua! Biar lebih cepat kukirim ke neraka."

   "Gadis sombong!"

   Sentak salah seorang lelaki yang berdiri di samping kanan lelaki bercambang bauk.

   "Terimalah ini! Hiyaaa...!"

   "Hiyaaat...!"

   Gadis berpakaian hijau itu menyambut serangan lelaki yang barusan memakinya. Trang...! Dentang senjata beradu kembali terdengar memekakkan telinga, disertai percikan bunga api dari benturan pedang yang dialiri tenaga dalam penuh.

   "Kurang ajar!"

   Teriak lelaki yang tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak.

   "Habisi saja gadis keras kepala itu! Jangan beri ampun!"

   Belasan pengeroyok kelas rendah itu seketika berhamburan menebaskan senjata ke bagian-bagian mematikan dari tubuh gadis berpakaian hijau itu.

   "Hait! Hup!"

   Gadis yang ternyata memiliki kemampuan tinggi, segera menggenjot tubuhnya hingga melambung di udara.

   Lalu, dia melakukan salto dua kali.

   Akan tetapi belum lagi gadis itu berdiri tegak, serangan pengeroyoknya kembali datang.

   Gadis cantik itu sedikit pun tak gentar menghadapi pengeroyok yang seperti hendak melumat tubuhnya.

   Pedangnya yang berwarna keperakan diputar-putarnya hingga menimbulkan suara menderu.

   Gadis cantik yang sudah siap menerima serangan, seketika terbelalak menyaksikan para pengeroyoknya seketika menghentikan langkahnya.

   Namun, pedang-pedang mereka langsung dilepas dengan pengerahan tenaga dalam lumayan.

   Gadis itu terus memutar-mutar pedangnya, hingga pedang-pedang lawan yang meluncur deras ke arahnya berhasil dihalau.

   Trang! Trang! Trang! Pedang-pedang itu terlontar ke kiri dan kanan.

   Namun bersamaan dengan itu, tiga sosok bayangan melesat susul-menyusul.

   Serangan yang dilakukan secara bergelombang membuat gadis cantik berpakaian hijau itu kerepotan.

   Kibasan-kibasan tangannya selalu saja dirasakan seperti membentur dinding baja.

   Sehingga ia harus menguras seluruh tenaganya.

   Dan pada suatu kesempatan....

   Desss! Desss! Brugkh! "Aaakh...!"

   Gadis berpakaian hijau itu terpekik keras ketika dua tendangan lawan mendarat telak di tubuhnya. Mulutnya meringis menahan sakit yang amat sangat. Dari bibirnya yang tipis nampak mengalir cairan berwarna merah.

   "Hoeeek...!"

   Cairan kental berwarna merah, seketika keluar dari mulut gadis cantik yang terkulai di tanah itu. Nampaknya, dia terluka dalam. Sementara itu dari tempat persembunyiannya, Jaka sempat geram melihat lagak lelaki-lelaki pengeroyok yang mirip banci itu.

   "Ha ha ha.... Rupanya hanya sebegitu saja kepandaian yang kau miliki! Semula niatku ingin menikmati kecahtikanmu. Tetapi karena kesombonganmu, aku menjadi tidak berselera. Kau harus mampus, Gadis Liar!"

   Selesai lelaki bercambang bauk itu mengeluarkan cemoohan, dua orang temannya seketika berkelebat dengan pedang terayun di udara.

   Mereka memang berniat menghabisi nyawa gadis cantik yang terkulai tak berdaya itu.

   Menyaksikan pemandangan yang terbentang di hadapannya, Jaka seketika merasakan darahnya naik ke ubun-ubun.

   "Betul-betulcurang!"

   Maki Jaka, seraya menggenjot tubuhnya kuat-kuat.

   "Hiyaaat...!"

   Tap! Tap! Sosok kuning yang berkelebat cepat tiba-tiba saja sudah berhasil menangkap dua bilah pedang yang hendak merejam tubuh gadis yang terkulai tanpa daya itu.

   Maka, si pemilik senjata tentu saja geram menyaksikan pedangnya sudah berpindah tangan.

   Tubuhnya yang terhuyung karena daya tarikan Jaka, tak dipedulikannya lagi.

   Kemudian langsung saja tubuhnya berbalik, dan kembali menyerang dengan tangan kosong.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Pukulan keras dan tendangan yang dialiri tenaga dalam penuh berhasil dielakkan Jaka hanya dengan memiringkan tubuhnya ke kin dan kanan.

   Bahkan bukan itu saja.

   Kaki kanan Jaka telak mendarat di bagian dada dan perut penyerangnya.

   Kedua sosok itu kontan terjengkang sejauh dua batang tombak.

   Jaka sendiri terkejut melihat akibat yang ditimbulkan dari sepakan yang sedikit pun tidak dialiri tenaga dalam.

   Bagaimana jadinya jika pengerahan tenaga dalam dikerahkan? Menyaksikan kedua lawannya berhasil dilumpuhkan, lelaki setengah baya bercambang bauk segera memerintahkan belasan anak buahnya untuk merangsek maju.

   "Seraaang...!"

   Pada berdirinya yang membelakangi gadis cantik berpakaian hijau daun, Jaka nampak tengah menyiapkan sebuah jurus.

   Tangannya yang terentang di bawah pinggang, diangkat seiring tarikan napasnya.

   Kedua tangan yang kini sudah berada di atas pinggang tiba-tiba didorong ke depan secara perlahan-lahan.

   Sementara jari-jari tangannya nampak terbuka.

   Wusss...! Dari jari-jari tangan Jaka yang terbuka, seketika mengeluarkan segumpalan angin yang menggulung, seperti sebuah pusaran.

   Karuan saja para penyerang yang memiliki kemampuan rendah tak mampu mena-han angin yang menerpa tubuh mereka.

   Serangan yang semula ditujukan pada satu titik, malah berubah ke lain arah.

   Bahkan di antara serangan yang berubah arah itu harus meminta korban.

   Srat! Srat! "Akh...!"

   "Ugkh...!"

   Dua sosok bersenjata pedang seketika bergelimpangan di tanah dengan perut dan paha robek terserempet pedang kawannya sendiri.

   Sedangkan keadaan penyerang lain terpental dengan arah berlawanan satu sama lain.

   Bukan main terkejutnya lelaki setengah baya bercambang bauk menyaksikan tindakan pemuda berpakaian warna kuning keemasan itu.

   Dia sendiri merasakan tubuhnya bergetar hebat, saat merasakan hembusan angin yang keluar dari telapak tangan pemuda di hadapannya.

   Padahal, tenaga dalam telah dikeluarkannya.

   "Kalau kalian bertarung secara jantan, mungkin aku tak akan mencampuri urusan kalian,"

   Tukas Jaka, setelah selesai mencoba jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi Selasih.

   "Bocah usilan! Jangan kau bangga dulu. Tahanlah ini! Hiyaaa...!"

   Lelaki setengah baya bercambang bauk lebat itu meiejitkan tubuhnya.

   Suara angin menderu mengiringi serangannya yang disertai seluruh tenaga dalamnya.

   Sementara Jaka tetap berdiri seperti semula.

   Disaksikannya sendiri, bagaimana lelaki tinggi kekar itu mengerahkan segenap kemampuannya.

   Plak! Plak! Bug! "Ugkh...!"

   Lelaki bercambang bauk itu seketika terpental terkena sodokan tangan Jaka, setelah lebih dahulu berhasil memapak pukulannya. Lelaki tinggi kekar itu merasakan tangannya seperti lumpuh. Barusan dia seperti habis memukul sebuah dinding baja saja.

   "Kisanak! Seingatku, kita tak pernah berurusan. Tapi kenapa kau begitu lancang mencampuri urusanku?!"

   Sentak lelaki bercambang bauk, kembali bangkit dengan pedang terhunus.

   "Itu juga urusanku, Kisanak. Kau tahu kenapa? Karena kau tak jantan, Kisanak. Kau lihat! Orang yang kau hadapi adalah seorang gadis yang masih belia. Dan satu lagi, kalian sudah berani main keroyok. Kalian licik!"

   "Hm.... Aku mengerti sekarang,"

   Tukas lelaki bercambang bauk itu.

   "Kau juga butuh kecantikan gadis itu bukan? Ha ha ha.... Kita sama kalau begitu. Kenapa kita harus bertengkar? Bukankah kita bisa memerintah gadis itu untuk melayani kita secara bergantian?"

   "Manusia bejat!"

   Bentak gadis yang berada di belakang Jaka. Gadis berwajah cantik itu hendak bangkit menerjang. Namun baru saja mencoba bangkit, dirinya sudah kembali terkulai di tanah.

   "Aku tak akan menuruti ucapan lelaki gila itu, Nisanak. Malahan aku akan memberesinya segera. Biar jagat ini tak lagi dipenuhi lelaki hidung belang macam dia,"

   Ujar Jaka seraya menunjuk lelaki setengah baya bercambang bauk.

   Sebentar kemudian, dia sudah melepas sabuk kuning keemasan yang melillt di pinggangnya.

   Lelaki yang ditunjuk Jaka kontan merasa gentar hatinya.

   Itu dapat dilihat dari berdirinya yang tak lagi tegak.

   "Siap-siaplah kau, Kisanak. Aku akan segera mengubur tubuhmu!"

   Geram Jaka.

   Tubuhnya dirundukkan sedikit, karena tengah menciptakan kuda-kuda penuh untuk menyajikan sebuah serangan.

   Blarrr! Sebatang pohon besar sebesar dua pelukan tangan lelaki dewasa, seketika tumbang terkena sambaran seberkas sinar keperakan seperti petir yang keluar seiring hentakan sabuk kuning keemasan yang digerakkan Jaka.

   Lelaki bercambang bauk seketika melentingkan tubuhnya, menghindari terpaan pohon yang cukup besar.

   Dia melakukan salto dua kali di udara, kemudian mendarat di tanah dengan kaki tak lagi sempurna.

   Lelaki itu nampak semakin kentara kegentarannya.

   Dia tidak mampu membayangkan seandainya pukulan itu mengenai tubuhnya.

   "Oh.... Kau, kaukah Raja Petir?"

   Suara laki-laki bercambang bauk itu terdengar agak gemetar.

   "Kenapa, kau takut dengan Raja Petir?"

   Tanya Jaka, melepas senyumnya.

   la merasa julukan itu terlalu hebat untuk dirinya yang baru terjun di rimba persilatan.

   Lelaki bercambang bauk itu menundukkan kepalanya perlahan-lahan.

   Namun sebentar kemudian, sudah kembali terangkat dengan tatapan mata sedikit terbelalak.

   "Aku laki-laki, Raja Petir. Meskipun sekarang aku kalah, aku tetap menyimpan dendam padamu. Suatu saat nanti, aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan"

   Tanpa malu-malu lagi lelaki bercambang bauk itu memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan arena pertarungan. Sementara, Jaka menyaksikan kepergian pengeroyok itu dengan pandangan mencemooh.

   "Aku akan menanti perhitunganmu, Kisanak!"

   Leceh Jaka. Setelah tubuh lelaki bercambang bauk hilang tertelan kelebatan pepohonan, tatapan mata Jaka beralih pada gadis cantik berpakaian hijau yang masih terkulai di tanah.

   "Kau terluka dalam, Nisanak."

   Gadis cantik berpakaian hijau itu mengangkat kepalanya dengan tangan masih mendekap dada.

   "Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Petir,"

   Ujar gadis berpakaian hijau itu sambil berusaha bangkit berdiri.

   Jaka menundukkan kepalanya mendengar panggilan gadis cantik di depannya.

   Dirinya jelas masih merasa sungkan dipanggil seperti itu.

   Raja Petir? Memang sebuah julukan yang amat angker kedengarannya.

   "Ugkh...!"

   Tangan gadis berpakaian hijau itu kembali mendekap dadanya ketika berusaha bangkit.

   "Maukah kau mengantarku, Raja Petir?"

   Jaka tak segera menanggapi permintaan gadis dihadapannya. Sekilas diamatinya paras gadis yang berkulit putih lembut itu.

   "O, ya. Namaku Seruni, dan tempat tinggalku tak begjtu jauh dari perbatasan desa ini,"

   Lanjut gadis itu memperkenalkan diri.

   "Sebenarnya, aku mampu kembali ke tempat tinggalku seorang diri. Tapi, aku khawatir berjumpa lagi dengan laki-laki yang barusan menyerang, dan mengaku anak buah Ludah Setan. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aku tak mampu menghadapi mereka."

   Jaka mengembangkan senyum mendengar penuturan Seruni yang terang-terangan.

   "Kalau kau tak bersedia, aku tak memaksa,"

   Lanjut Seruni sambil bersusah payah mengangkat badannya. Seruni memang mampu berdiri. Namun tubuhnya yang oleng, segera saja disangga Jaka.

   "Aku akan mengantarmu, Seruni."

   Sambil melangkahkan kakinya perlahan, gadis cantik bernama Seruni itu menceritakan hal bentroknya dengan lelaki bercambang bauk tadi.

   "Lelaki bercambang bauk itu mengatakan kalau daerah perbatasan ini ada dalam wilayah kekuasaannya. Setiap orang yang lewat di wilayah kekuasannya, harus membayar upeti. Kalau seorang laki-laki, maka seluruh hartanya harus ditinggalkan. Dan kalau seorang perempuan, harus bersedia dibawa ke hadapan junjungannya. Ludah Setan."

   "Biadab!"

   Maki Jaka sambil terus melangkahkan kakinya.

   *** Pendopo Perguruan Hijau Kemuning nampak begitu luas.

   Jaka nampak tengah berbincang-bincang dengan seorang lelaki tua berpakaian serba putih.

   Rambut, kumis, dan jenggot lelaki itu sebagian berwarna putih.

   "Jadi kau anak Sempani, Jaka?"

   Tanya orang tua yang ternyata bernama Terala, minta penegasan. Jaka menganggukkan kepala. Begitulah cerita yang pernah kudengar."

   "Jadi ada kemungkinan, ibumu bernama Purwakanti,"

   Duga Terala. Tersentak Jaka mendengar dugaan lelaki yang ternyata ayah Seruni.

   "Dari mana Ki Terala tahu nama ibu kandungku?"

   "Jangan panggil aku seperti itu, Jaka. Aku terhitung paman denganmu."

   Terala langsung memeluk tubuh Jaka yang belum lepas rasa keheranannya. Baru setelah Terala menjelaskan perkara yang sebenarnya, Jaka dapat memaklumi apa yang dikatakan lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun itu.

   "Dulu, kami. Paman, ayahmu, dan Gandewa sama-sama menuntut ilmu olah kanuragan pada Perguruan Soka Merah, di bawah bimbingan Eyang Seleguri. Di antara kami, hanya Gandewa yang memiliki watak keras. Rasa ingin memiliki begitu besar menguasai jiwanya, termasuk pada hal-hal yang kurang baik,"

   Tutur Terala, memulai ceritanya.

   Dan memang, sikap Gandewa itu terbukti ketika sosok lain hadir sebagai murid baru Perguruan Soka Merah.

   Dia seorang wanita muda dan cantik.

   Namun, siapa yang dapat menyangka kalau kehadiran gadis muda dan cantik itu mendatangkan perpecahan.

   Terutama, antara Gandewa dan Sempani yang diam-diam menyemai bibit asmara.

   dan ternyata perpecahan itu semakin meruncing ketika Purwakanti memilih Sempani sebagai pujaan hatinya.

   Gandewa waktu itu tak dapat berbuat apa-apa menerima kenyataan ini.

   Apalagi, Eyang Seleguri merestui hubungan Sempani dan Purwakanti.

   Maka darah di hati Gandewa tentu saja menggelegak.

   Benci dan dendam langsung menyeruak masuk ke dalam jiwanya yang keras.

   Gandewa bukan saja membenci Sempani, tapi juga membenci Terala dan Eyang Seleguri.

   Lalu secara diam-diam, Gandewa pergi meninggalkan perguruan dengan membawa dendam membara.

   Dia kemudian datang kembali ke perguruan itu setelah dua tahun berselang dalam rangka menuntaskan dendamnya.

   Gandewa dulu memang telah berubah.

   Dia dulu memiliki ilmu olah kanuragan di bawah Terala.

   Tapi dalam waktu dua tahun, di bawah tempaan Lengkong Pendekar Sesat, perkembangan ilmu olah kanuragannya begitu pesat.

   Kedatangan Gandewa ke Perguruan Soka Merah sesungguhnya tidak sendiri.

   Dia telah berkomplot dengan tokoh sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat.

   Awalnya, Ketua Perguruan Soka Merah mampu meredam amukan Gandewa.

   Tapi ketika Regita, Angkara, Jatianom, dan Barrot turun gelanggang, seluruh penghuni Perguruan Soka Merah tak lagi memiliki kemampuan mengusir orang-orang sesat itu.

   Seluruh murid Perguruan Soka Merah terbantai, kecuali Terala, Sempani, dan Purwakanti.

   Eyang Seleguri pun tewas dalam kejadian itu.

   Keheningan seketika tercipta setelah Terala menghentikan ceritanya.

   Seorang lelaki sebaya Terala tiba-tiba menghampiri dengan sikap begitu hormat "Bagaimana keadaan Seruni, Kakang Gumai?"

   Tanya Terala, khawatir. Sejak meninggalnya ibu Seruni, Terala memang melipat gandakan kasih sayang pada putri tunggalnya.

   "Dia harus semadi untuk memulihkan keadaannya, Adi Terala,"

   Jawab Gumai.

   "Oh ya, Paman Terala. Apakah kau juga mempunyai murid yang bernama Roka?"

   "Betul"

   "Akh!"

   Jaka tiba-tiba tersentak. Ingat Roka, ia jadi ingat Ki Lunta dan ancaman kaki tangan Ludah Setan.

   "Maaf, Paman. Aku harus pergi. Permisi."

   Tubuh Jaka seketika berkelebat cepat.

   Gerakan-nya yang ringan menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf sempurna.

   Terala tertegun menyaksikan kemampuan pemuda itu.

   Sesungguhnya tak disangka kalau anak semuda Jaka telah memiliki kesempurnaan ilmu meringankan tubuh.

   "Kau tunggui Seruni, Kakang Gumai. Aku ingin menyusul Jaka."

   Tanpa berkata dua kali, tubuh lelaki berusia lima puluh tahun itu berkelebat cepat.

   Ilmu meringankan tubuhnya tak beda jauh dengan yang dimiliki Jaka.

   *** Jaka menghantamkan kepalannya ke udara, menyaksikan penginapan milik Ki Lunta yang sudah rata dengan tanah.

   Api masih memercik dari sisa-sisa bangunan yang terbakar.

   "Gandewa, biadaaab...!"

   Jaka berteriak keras ketika menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat di sebatang pohon besar.

   Keadaan dua tubuh itu sungguh menggiriskan.

   Bumi seperti berguncang hebat seiring teriakan Jaka.

   Pohon-pohon kecil di sekitarnya bertumbangan.

   Terala yang sudah berhasil menemui jejak Jaka, terlihat limbung.

   Dia terpaksa menutup kedua telinganya.

   Perlahan Jaka menghampiri mayat Roka dan Ki Lunta yang terikat di pohon sebesar tiga kali pelukan tangan lelaki dewasa.

   Tubuh Roka yang tanpa kaki dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, membuat tekad Jaka untuk melumat Gandewa semakin kuat.

   Ditambah lagi, Beberapa bilah pedang yang tertanam di tubuh mereka.

   "Gandewa biadaaab...!"

   Raja Petir berteriak keras ketika menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat disebuah batang pohon besar.

   Tubuh Roka yang tanpa kaki, dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, terikat dibatang pohon dengan beberapa bilang pedang menancap ditubuh! "Betul-betul biadab!"

   Maki Jaka. Belum lagi Jaka selesai meletakkan mayat Ki Lunta, dua sosok manusia berpakaian merah seketika melesat ke arahnya. Dengan senjata sepasang palu bergerigi berantai baja, mereka mengirim serangan begitu cepat.

   "Uts! Hip!"

   Tubuh Jaka melenting seraya berputaran dua kali di udara. Tubuhnya yang bergerak ringan, sudah menjejakkan kaki ke tanah. Dan dengan secepat kilat pula, dikirimkannya pukulan jarak jauh.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Blarrr! Sebatang pohon besar tumbang terkena pukulan jarak jauh yang dilancarkan Jaka. Namun kedua lawannya mampu mengelak dengan melempar tubuhnya ke arah yang berlawanan. Jaka bermaksud mengirim kembali serangannya ketika tiba-tiba....

   "Ha ha ha...!"

   Tawa panjang seketika terdengar memekakkan telinga.

   Jaka segera mengurungkan niatnya.

   Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dicobanya mengusir kebisingan tawa orang yang tak diketahui keberadaannya.

   Seiring lenyapnya tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam itu, tiba-tiba berlompatan puluhan sosok berpakaian merah dengan pedang terhunus.

   Maka Jaka yang dipenuhi kewaspadaan tinggi, melirik satu pesatu sosok yang mengepungnya.

   Malahan, Jaka menghitungnya dalam hati.

   "Hm.... Lima puluh lebih,"

   Batin Jaka.

   "Aku harus menguras tenaga untuk mengusir semuanya."

   Jaka kembali menatap tajam sosok berpakaian merah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Itu bisa dibuktikan dari cara mereka yang hadir tanpa menimbulkan suara.

   "Kenapa tidak sekalian Gandewa yang turun tangan?!"

   Sentak Jaka disertai pengerahan sebagian tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengukur sejauh mana tenaga dalam yang dimiliki para pengepung yang berjumlah lima puluh orang lebih itu.

   "Hanya segitu?"

   Tanya Jaka perlahan ketika menyaksikan pengepungnya mundur ke belakang.

   "Ternyata kau punya kepandaian juga, Anak Muda!"

   Sosok kekar berkepala botak dengan bekas luka memanjang di pipi sebelah kiri seketika hadir di antara para pengepung Jaka.

   Pakaiannya merah dengan senjata sepasang palu bergerigi warna hitam berantai baja yang dililitkan di pinggang.

   Dia tak lain adalah Gandewa yang berjuluk Ludah Setan, seorang tokoh sesat yang menjadi momok di dunia persilatan.

   "Apakah kau yang disebut-sebut anak buahku sebagai si Raja Petir, Anak Muda?"

   Tanya Gandewa seperti meremehkan.

   Sesungguhnya dia tak yakin kalau pemuda di hadapannya ini dijuluki Raja Petir.

   Sepengetahuannya, Raja Petir adalah tokoh tua yang sudah lama meninggal.

   Bukan anak muda seperti di hadapannya sekarang ini yang berjuluk Raja Petir.

   Begitu pula dengan Terala.

   Dari tempat persembunyiannya, orang tua itu meragukan kepandaian Jaka dalam menghadapi Gandewa.

   Keinginannya untuk terjun membantu Jaka seketika tercetus.

   Namun, ternyata pikiran jernihnya melarang.

   Dalam urusan yang gawat seperti ini, Terala tak mau mengambil tindakan sembrono.

   Dia ingin melihat dulu, sejauh mana kemampuan Jaka dalam menghadapi si Ludah Setan.

   Terala akan turun ke arena pertempuran jika keadaan menginginkan.

   Belum lagi pikiran Terala tuntas, empat sosok berpakaian merah menyerang Jaka secara bersamaan Dari tempat persembunyiannya, Terala sempat terhenyak menyaksikan ulah Jaka yang tidak mempedulikan serangan lawan-lawannya.

   Trak! Trak...! Tubuh empat penyerang itu berpentalan, sedangkan senjata yang dihantamkan ke tubuh Jaka patah menjadi dua bagian! "Kenapa hanya empat orang saja yang maju? Coba kalian semua maju! Keroyoklah aku, biar lebih cepat memberesi kalian semua!"

   Seperti diberi aba-aba, para pengepung Jaka segera merangsek maju.

   Mereka telah termakan ucapan Jaka yang memang tidak main-main.

   Menghadapi pengeroyoknya yang berjumlah tidak sedikit, Jaka segera meloloskan sebuah bambu kuning yang berlubang di bagian tengahnya.

   Lalu, diselipkannya bambu itu di sela-sela bibirnya.

   Slats! Slats! Slats! Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari lu-bang bambu kuning yang terhembus napas Jaka.

   Sinar keperakan itu seperti sambaran petir.

   Maka akibatnya....

   Giant! Glarrr! Glarrr! Tiga ledakan dahsyat seketika terjadi.

   Para pengeroyok yang semula merangsek maju, seketika berguguran ke tanah.

   Sementara, Terala yang menyaksikan pertarungan dari tempat tersembunyi, merasakan hal yang sama.

   Namun berkat ketinggian tenaga dalamnya, ia berhasil mengatasi ledakan dahsyat yang mampu merobek gendang telinganya.

   Namun di balik keberhasilan Terala, tersimpan keterkejutan yang luar biasa di hatinya.

   "Raja Petir?!"

   Itulah suara keterkejutan Terala.

   Menyaksikan ketidakberdayaan anak buahnya, darah Gandewa atau yang lebih dikenal sebagai si Ludah Setan naik ke ubun-ubun.

   Dan tiba-tiba dia memekik keras sambil melepaskan ludah mautnya yang berwarna kemerahan, dan terpecah menjadi lima bagian.

   Masing-masing pecahan ludah, mencecar ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Jaka.

   "Hiaaa! Cuh! Cuh...!"

   Si Ludah Setan kembali melancarkan serangan manakala serangan pertamanya berhasil dielakkan Jaka.

   "Uts! Hip!"

   Jaka kembali melenting menghindari teipaan ludah maut milik Gandewa.

   Blarrr...! Pohon besar tumbang terterjang ludah maut ciptaan Gandewa.

   Bukan itu saja yang sempat mengejutkan Jaka.

   Pohon yang terkena sambaran ludah maut itu nampak hangus! "Aku harus berhati-hati,"

   Kata batin Jaka.

   Pemuda itu langsung saja menyiapkan aji 'Kukuh Karang' untuk meredam kehebatan Ludah Setan.

   Seluruh kepala hingga dadanya seketika terbalut sinar warna kuning keemasan.

   Begitu juga pada bagian lutut hingga ujung kaki.

   Hanya bagian ulu hati hingga pangkal paha saja yang tak terbalut sinar kuning keemasan.

   Gandewa mengira, pada bagian yang tak terbalut sinariah kelemahan aji 'Kukuh Karang' milik Jaka Sembada.

   Makanya, dia mencecar bagian itu.

   Namun setelah sekian kali ludah mautnya tak mampu menembus tubuh Jaka, segera saja dikeluarkannya aji 'Dewa Api'.

   Maka dari telapak tangannya seketika tercipta gumpalan-gumpalan api yang bebas menerjang tubuh Jaka.

   Namun bukan main geramnya hati Gandewa menyaksikan aji 'Dewa Api'nya tak mampu berbuat banyak.

   Kegeraman Gandewa ternyata memancing Jaka untuk mengambil alih penyerangan.

   Dengan menggunakan sebilah bambu kuning yang terdapat di tangan kirinya, Jaka melakukan penyerangan.

   Gandewa segera menyajikan aji 'Dinding Setan' untuk menangkis serangan lawan.

   Dan memang, serangan yang dilakukan Jaka telah berhasil diredam Gandewa.

   Begitu juga dengan pukulan jarak jauh yang dilancarkannya.

   Aji 'Dinding Setan' milik Gandewa memang lebih ampuh.

   Menyaksikan serangan Raja Petir yang tak mampu menembus ajiannya, tawa Gandewa seketika meledak.

   "Ha ha ha...! Rupanya hanya segitu saja kemampuanmu! Terhadap anak buahku, kau bolah saja unjuk gigi, Raja Petir. Tapi terhadapku.... Ha ha ha...."

   "Tak ada jalan Iain,"

   Desis Jaka. Pemuda itu segera meloloskan lilitan Sabuk Petir dari pinggangnya. Maka seketika sinar kuning keemasan memendar dari sabuk yang terlepas dari pinggang Jaka.

   "Hati-hatilah, Setan Gundul!"

   Teriak Jaka lantang.

   "Jurus 'Petir Membelah Malam' akan segera mengirimmu ke alam kubur! Hiaaa....!"

   Ctarrr! Blarrr...! Bunyi bergemuruh seketika terdengar seiring bergeraknya pergelangan tangan Jaka yang memainkan Sabuk Petirnya dalam jurus 'Petir Membelah Malam'.

   Seberkas sinar keperakan pun menyambar seperti petir.

   Dan hasilnya, aji 'Dinding Setan' yang dibuat Gandewa berhasil dibobol.

   Gandewa sendiri nampak terpental sejauh tiga batang tombak.

   "Gandewa! Sebelum dirimu kukirim ke alam baka, alangkah baiknya kau mengetahui siapa diriku. Kau ingat peristiwa dua puluh tahun silam, Gandewa? Kau ingat Sempani, Purwakanti? Kau ingat bayi merah yang kau biarkan terkurung api?! Ketahuilah, Gandewa! Akulah bayi merah itu. Akulah putra Sempani yang berhasil kau bunuh, dan Purwakanti yang telah kau miliki secara paksa. Dan sekarang, aku datang untuk menuntut balas, Gandewa. Camkan itu!"

   Bukan main terkejutnya hati Gandewa mendengar penuturan lawannya. Sungguh tak dikira kalau lawannya kini adalah putra tunggal Sempani yang telah dibunuhnya.

   "Bersiap-siaplah untuk mampus, Setan Gundul!"

   Bentak Jaka, geram. Dia kembali menggerak-gerakkan pergelangan tangannya untuk memainkan jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

   "Hiyaaa...!"

   Seiring teriakan Jaka, seiring itu pula tercipta jurus ampuh 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

   Akibatnya Gandewa jadi terkesima menyaksikan apa yang dilakukan lawannya.

   Namun nalurinya mengajarkannya untuk bertahan.

   Maka dengan tangan kanan, Gandewa menciptakan jurus 'Badai Gurun' untuk meredam serangan Jaka.

   Ctar! Ctar! Blarrr...! Bunyi menggelegar kembali mengisi jagat raja, mengiringi terpentalnya sosok Gandewa dengan tangan kanan terpisah dari tempatnya.

   Tangan kanan Gandewa memang telah putus terhantam jurus maut 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

   Gandewa menggeram keras menerima kenyataan itu.

   Pada saat yang gawat untuk mempertahankan nyawanya, segera diciptakannya ludah mautnya.

   "Cuh! Cuh...!"

   Jaka tak mengira kalau Gandewa masih mampu melancarkan serangan dari jarak jauh.

   Maka tubuhnya seketika itu juga dilentingkan ke udara dan berputaran beberapa kali untuk menghindari terjangan ludah maut Gandewa.

   Melihat kesempatan itu, Gandewa segera mempergunakan akal liciknya.

   Pada saat lawannya sibuk mengelakkan serangan, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, tubuhnya melesat kabur.

   "Hai, Setan Gundul! Jangan kabur!"

   Teriak Jaka keras.

   Langkah kaki Jaka yang ringan, seketika diciptakan untuk mengejar Gandewa.

   Namun setelah seratus tombak mengejar, seketika Jaka menghentikan larinya.

   Niatnya diurungkan untuk terus mengejar Gandewa, orang yang telah menghilangkan nyawa ayahnya.

   Kenapa Jaka Sembada membatalkan pengejarannya? Apakah dia yakin kalau Gandewa akan tewas di perjalanan? Atau, itu hanya siasat Jaka untuk memancing Empat Setan Goa Mayat yang telah berkomplot dengan Gandewa dalam pembunuhan orangtuanya dan memusnahkan Perguruan Soka Merah? Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, silahkan simak serial Raja Petir dalam episode .

   "Empat Setan Goa Mayat". SELESAI Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Pendekar Rajawali Sakti Macan Gunung Sumbing

Cari Blog Ini