Ceritasilat Novel Online

Pencuri Kitab kitab Pusaka 2


Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka Bagian 2



Hatinya bergetar mendengar setiap ucapan Ki Karsabijaksa akan keberadaan si Nuri Biru yang sesungguhnya sudah mati dan terkubur puluhan tahun silam.

   Itu berarti, selama ini dia telah berhubungan dengan perempuan siluman? "Masa bodoh,"

   Kata batin Rekong Rapah akhirnya. Keinginannya sekarang adalah menguasai Perguruan Gading Kembar.

   "Aku tahu kehebatan ilmu-ilmu yang kau miliki, Ratnawijati. Apalagi setelah kau berhasil mencuri beberapa kitab pusaka, termasuk kitab pusaka milikku. Namun kuharap cita-citamu menemui jalan buntu,"

   Ujar Ki Karsabijaksa setelah beberapa saat terdiam.

   "Hik hik hik..., Karsabijaksa! Harapanmu hanyalah isapan jempo! belaka. Apa yang kau andalkan hingga berani berkata seperti itu? Andaikan para tokoh sakti golongan putih bergabung pun, harapan-harapanmu belum tentu tercapai."' "Kau pernah dengar seorang tokoh muda yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan?"

   "Hmm...?"

   Gumam Ratnawijati.

   "Dia telah berhasil mengalahkan tokoh sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah Setan!"

   "Semasa di alam kubur, aku sudah tahu kalau sosok muda telah lahir untuk menumpas keangkaramurkaan di bumi ini. Titisan si Raja Petir itu memang hebat Untuk itulah aku kembali ke dunia ini. Aku ingin menjajal kemampuannya. Tapi aku yakin, sosok muda titisan Raja Petir itu tak akan sehebat Raja Petir yang sudah mampus!"

   Ki Karsabijaksa kembali tertegun mendengar ucapan perempuan siluman di depannya.

   "Aku harus balas dendam. Sosok muda yang berjuluk Raja Petir itu akan kubenamkan tubuhnya ke dalam perut bumi. Dan..., kau yang lebih dulu, Karsabijaksa!"

   Selarik sinar hitam seketika keluar dari kepalan Ratnawijati.

   Sinar hitam yang pada awalnya berbentuk lingkaran kecil, kini semakin lama semakin membesar.

   Bahkan melebihi ukuran tubuh pemiliknya.

   Ki Karsabijaksa tersentak menyaksikan keanehan ilmu siluman milik si Nuri Biru.

   Maka sebisa-bisanya dia berusaha memapak sinar hitam itu dengan 'Si Suci Gading Kembar', karena untuk berkelit sudah tidak mungkin.

   Langsung gading kembarnya digesek gesekkan.

   Maka....

   Crat..! Slap! Slap! Slap! Tiga larik sinar putih seketika meluruk deras ke arah lingkaran hitam besar yang juga bergerak cepat dari arah berlawanan.

   Dugaannya, akan terjadi ledak-an keras jika kedua ilmu itu bertemu.

   Maka, Ki Karsabijaksa segera menyumbat jalan pendengaran-nya.

   "Hah?!"

   Ki Karsabijaksa terkejut bukan kepalang melihat sinar putih yang keluar dari gesekan gading kembarnya terpental balik ketika menyentuh sinar hitam yang bergulung-gulung besar.

   Bahkan dua sinar hitam dan putih kini malah meluruk ke arah Ketua Perguruan Gading Kembar itu.

   "Hik hik hik.... Rasakan senjata milikmu sendiri, Karsabijaksa! Hik hik hik...!"

   "Hup!"

   Ki Karsabijaksa melenting ke udara, setelah sinar putih miliknya kembali masuk ke sepasang gading di tangannya.

   Namun, alangkah kagetnya Ki Karsabijaksa menyaksikan segulungan sinar hitam itu ikut melambung ke udara.

   Bahkan meluruk cepat ke arahnya yang tengah melakukan perputaran.

   Maka tak ada jalan lain, kecuali menghantamkan sepasang gading kembarnya ke segulungan sinar hitam itu.

   "Hiaaa...!"

   Bret! Trak! Trak! "Akh!"

   Tubuh Ki Karsabijaksa terpental jauh dan jatuh berdebum di tanah pelataran perguruannya.

   Ki Karsabijaksa kembali terkejut melihat sepasang gadingnya patah menjadi dua.

   Hatinya geram bukan main menyaksikan hal ini.

   Maka dia cepat berusaha.

   Akan tetapi....

   Ki Karsabijaksa merasakan tubuhnya seperti lumpuh.

   Sedikit pun persendiannya tak mampu diangkat Hingga ketika segulungan sinar hitam ciptaan perempuan siluman yang berjuluk si Nuri Biru itu kembali melabrak tubuhnya, dia hanya pasrah menanti ajal datang.

   "Aaakh...!"

   Lengkingan nyaring terdengar ketika segulungan asap hitam membungkus tubuh Ki Karsabijaksa. Dan ketika segulungan asap hitam itu lenyap, yang ada tinggal jasad kering yang menghitam hangus. Jasad Ketua Perguruan Gading Kembar.

   "Akh!"

   Beberapa murid Perguruan Gading Kembar yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu berteriak tertahan. Hati mereka kontan diliputi kengerian yang teramat sangat.

   "Hik hik hik...!"

   Tawa perempuan siluman bernama Ratnawijati kembali terdengar membangunkan bulu kuduk.

   "Rekong! Sekarang, kaulah Ketua Perguruan Gading Kembar ini!"

   Tukas Ratnawijati yang berjuluk si Nuri Biru. Tatapan matanya tertuju pada lelaki berpakaian biru gelap.

   "Kalau di antara murid-murid perguruan ini ada yang berani membangkang, enyahkan! Kirim mereka ke neraka!"

   Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang ada tak berani berkata sepatah kata pun.

   Apalagi ketika Rekong Rapah menghunus pedang, dan meminta semua murid Perguruan Gading Kembar sujud di hadapannya dan Sepasang Nuri Biru.

   Mereka semua menuruti apa yang diperintahkan Rekong Rapah, demi mencari selamat *** Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu dan istrinya, serta Raja Petir dan beberapa orang murid Perguruan Tameng Kencana berkumpul di sebuah ruangan khusus.

   Mereka tampaknya sedang merundingkan sesuatu yang berkenaan hilangnya beberapa kitab pusaka dari beberapa perguruan yang memang mempunyai hubungan erat.

   "Adi Rantasanu,"

   Sebut Eyang Dirgan Saluyu memecah kesunyian.

   "Seorang telik sandiku telah membawa kabar mengenai beralihnya kepemimpinan Perguruan Gading Kembar. Kau kenal Kakang Karsabijaksa, bukan?" 'Tentu,"

   Jawab Ki Rantasanu singkat. Alis matanya tampak terangkat.

   "Kedudukan Kakang Karsabijaksa sebagai guru pada perguruannya telah digeser wakilnya yang bernama Rekong Rapah,"

   Jelas Eyang Dirgan Saluyu.

   "Kedengarannya itu hal yang mustahil, Kakang Dirgan Saluyu,"

   Bantah Ki Rantasanu.

   "Kakang Karsabijaksa bukan orang lemah yang dapat ditundukkan sebegitu mudah. Bahkan kita semua yang berkumpul di sini belum tentu dapat menundukkannya. Pasti ada orang lain yang membantu murid murtad itu!"

   "Memang ada."

   "Siapa?"

   "Sepasang Nuri Biru!"

   "Sepasang Nuri Biru?"

   Tersedak kerongkongan Ki Rantasanu.

   "Bukankah Ratnawijati dan pasangannya yang bernama Pulokaliwa sudah terkubur hidup-hidup oleh almarhum Raja Petir?"

   Raja Petir yang mendengar penuturan Ki Rantasanu juga terkejut.

   Orangtua Nyi Selasih (Baca serial Raja Petir, dalam episode "Pembalasan Berdarah") yang memang berjuluk Raja Petir berhasil mengubur hidup-hidup Sepasang Nuri Biru? Tapi kenyataannya...? Temyata Sepasang Nuri Biru kembali hadir di tengah-tengah rimba persilatan dan di tengah-tengah alam manusia.

   Itu berarti Sepasang Nuri Biru bukan lagi manusia! "Kau benar, Adi Rantasanu.

   Kita memang sama-sama mendengar kalau Sepasang Nuri Biru telah di kubur hidup-hidup oleh Raja Petir.

   Dan kita sama-sama tahu kalau Sepasang Nuri Biru tak pernah kembali meramaikan rimba persilatan setelah Raja Petir wafat puluhan tahun lamanya.

   Tapi sekarang...? Sepasang tokoh golongan hitam itu hadir kembali dan menewaskan Ketua Perguruan Gading Kembar,"

   Jelas Eyang Dirgan Saluyu.

   "Apakah kalian semua dapat mengambil kesimpulan atas kejadian yang beruntun ini?"

   Hening sesaat mengisi ruangan Perguruan Tameng Kencana.

   "Maaf, Eyang, Ki Rantasanu, dan yang lainnya. Kalau boleh kusimpulkan, Sepasang Nuri Biru kini bukanlah manusia biasa. Mungkin dia adalah jelmaan dari rasa dendam yang sempat terkubur puluhan tahun lamanya. Orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi bukan hai mustahil dapat melakukan itu. Dan sesungguhnya dia tidak mati ketika almarhum Raja Petir mengubumya hidup-hidup. Tapi, justru membangun sebuah ruangan untuk melatih ilmu-ilmu yang mungkin menurutnya masih belum mantap dikuasainya. Sekarang inilah saatnya Sepasang Nuri Biru ingin menuntaskan dendamnya demi mewujudkan sebuah cita-cita yang pernah terbengkalai, karena campur tangan almarhum Raja Petir,"

   Papar Jaka. Seketika, Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu dan yang lainnya tercengang mendengar kesimpulan yang tugas itu.

   "Kesaktian Sepasang Nuri Biru bertambah tinggi setelah berhasil mencuri tiga kitab pusaka. Kita harus berhati-hati menghadapinya. Terlebih, kepada orang-orang perguruan sendiri yang telah terhasut omongan manis Sepasang Nuri Biru. Mereka pasti akan berbuat seperti yang dilakukan Rekong Rapah terhadap Ki Karsabijaksa,"

   Lanjut Jaka.

   "Maaf, Ki Rantasanu. Dalam hal ini, termasuk juga putri tunggalmu."

   "Apa?!"

   Ki Rantasanu terkejut mendengar ucapan Raja Petir yang terakhir. Mukanya tampak memerah. Namun bukan disebabkan ketersinggungannya atas ucapan Jaka, tapi karena malu yang disebabkan keterlibatan Suciati, putri kesayangannya.

   "Maaf, Raja Petir,"

   Selak Ki Rantasanu kemudian.

   "Panggil namaku saja, Ki. Jangan julukanku,' pinta Jaka merendah.

   "Aku perlu bukti atas ucapanmu yang cukup mengejutkanku, Jaka,"

   Sambung Ki Rantasanu sesaat kemudian.

   "Tentu saja, Ki Rantasanu. Pantang bagiku menuduh seseorang tanpa bukti kuat. Meskipun, bukti itu hanya aku yang tahu. Dan memang, hanya aku yang melihat dengan mata kepala sendiri hubungan langsung putri tunggalmu."

   Sejurus Ki Rantasanu tak menimpali ucapan Jaka. Hanya napasnya saja yang ditarik dalam-dalam, untuk menunggu ucapan selanjutnya dari mulut pendekar muda digdaya di depannya.

   "Dengan siapa putri tunggalku berhubungan, Jaka?"

   Terlepas juga ketidaksabaran Ki Rantasanu.

   "Aku tak kenal lelaki itu, Ki, Tapi ciri-ciri lelaki itu bisa kusebutkan. Usianya sebaya denganku. Kulitnya putih dan rambutnya tergerai sebahu. Ada tanda hitam di dekat mata sebelah kanan. Pakaiannya berwarna biru cerah, dan bersenjatakan sebatang pedang bercagak dua."

   "Pulokaliwa!"

   Ucapan yang terdengar seperti mendesis itu keluar bersamaan dari bibir Ki Rantasanu dan Eyang Dirgan Saluyu.

   "Anakku Suciati,"

   Gumam Ki Rantasanu tertunduk dan penuh penyesalan.

   "Mungkin dia telah terkena ramuan Ratnawijati yang tersohor itu, Kakang Dirgan Saluyu? Sebuah ramuan yang dapat menguasai jalan pikiran seseorang, dan sekaligus membuat orang tak pernah tua. Ah! Pasti putri tunggalku juga yang telah memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu dari tempatnya. Karena, hanya dia dan istriku yang tahu tempat penyimpanannya."

   "Ki Rantasanu. Aku pernah mempelajari cara membebaskan orang dari pengaruh berbagai macam ramuan. Jika Ki Rantasanu tak berkeberatan, aku ingin mencoba sesuatu yang pernah kupelajari itu. Aku memang belum pernah menerapkannya. Namun, semoga saja aku mampu,"

   Tandas Jaka perlahan. Ki Rantasanu mengangkat kepala. Bola matanya yang barusan terlihat redup, kini sedikit bersinar.

   "Lakukanlah yang terbaik untuk anakku, Jaka,"

   Kata Ki Rantasanu parau.

   Seketika itu juga, disuruhnya Nyi Nurimah dan juga tiga orang murid kepercayaannya untuk memanggil Suciati.

   Ki Rantasanu tak berkata sepatah pun ketika Nyi Nurimah dan murid kepercayaannya meninggalkan ruangan.

   Begitu juga Eyang Dirgan Saluyu dan Jaka.

   Demikian pula ketika Nyi Nurimah hadir kembali di hadapannya bersama Suciati, Ki Rantasanu masih tak berbicara sebaris kalimat pun.

   Matanya tampak nanar menatap putri satu-satunya.

   "Kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, Anakku?"

   Tanya Ki Rantasanu sesaat kemudian.

   "Apa maksud pertanyaanmu, Ayah?"

   Suciati balik bertanya.

   "Aku tak mengerti, kenapa kau bisa terbujuk kata-kata manis lelaki sesat itu, Suciati."

   "Aku semakin tak mengerti ucapan Ayah,"

   Kilah Suciati.

   "Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan Pulokaliwa?"

   Tak ada jawaban. Suciati seperti tak mendengar pertanyaan ayahnya.

   "Katakanlah sejujurnya, Anakku. Ini semata-mata demi kebaikanmu, juga demi kebaikan ayah dan ibumu serta seisi perguruan ini,"

   Tekan Ki Rantasanu. Suciati terdiam beberapa saat lamanya.

   "Katakanlah, Nak!"

   Nyi Nurimah ikut membujuk "Aku.... Aku, ah! Aku tak tahu harus mengatakan apa, Ibu. Aku tak ingat apa-apa. Apa yang harus ku katakan?"

   "Pengaruh ramuan Ratnawijati sudah terlalu menguasai jalan pikirannya,"

   Bisik Eyang Dirgan Saluyu di telinga Jaka.

   "Kau telah meminum sesuatu yang disodorkan Nuri Biru?"

   Desak Ki Rantasanu penasaran. Suciati kembali menggeleng, dengan pandangan kosong. Ki Rantasanu menolenkan kepalanya kepada Jaka.

   "Lakukanlah menurut kehendakmu, Jaka,"

   Pintanya kemudian. Jaka tersenyum mendengar permintaan Ki Rantasanu.

   "Kuharap, kau tidak terkejut kalau putrimu pingsan beberapa saat,"

   Ujar Jaka.

   Raja Petir segera menghampiri Suciati yang duduk bersebelahan dengan ibunya.

   Eyang Dirgan Saluyu dan orang-orang yang berada di ruangan itu menanti dengan hati berdebar.

   Beberapa saat, Jaka duduk bersila di depan Suciati.

   Seketika napasnya ditahan.

   Wajahnya nampak bersemu merah, ketika tangannya yang terbuka me-nampakkan sinar kehijauan yang semakin lama semakin kentara kepekatannya.

   Sementara, tangan kanan Jaka tiba-tiba bergerak keras.

   Sesaat kemudian....

   Tuk! Tuk! "Aaakh...!"

   Tanpa disadari Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu, tangan kanan Jaka yang bergetar hebat secepat kilat menotok dada kiri dan kanan Suciati.

   Seketika putri Kl Rantasanu itu menjerit keras disertai keluarnya cairan warna hijau kehitaman dari mulutnya.

   "Hoeeek...!"

   Brkali-kali Suciati memuntahkan cairan warna hijau kehitaman. Wajahnya konran menjadi pucat seperti mayat Matanya yang tiba-tiba terpejam, mengawali ambruknya tubuh Suciati ke pangkuan ibunya. Gadis cantik itu langsung jatuh pingsan.

   "Mungkin cairan ini yang diminumkan Ratnawijati pada Suciati. Entah apa yang dijanjikan hingga Suciati bisa dipengaruh begitu,"

   Gumam Ki Rantasanu tak habis mengerti.

   "Kita tanyakan saja setelah putri tunggalmu itu siuman, Ki Rantasanu,"

   Saran Jaka.

   Seketika suasana di ruangan itu menjadi hening.

   *** Segelas air putih diminumkan Nyi Nurimah ke mulut Suciati.

   Maka sesaat kemudian, tubuh putri tunggal Ki Rantasanu yang lemas itu kini mampu duduk kembali.

   Meskipun Nyi Nurimah masih meme-gangi bahu anaknya.

   Ki Rantasanu juga tak segera menanyai putrinya yang baru saja siuman.

   Sesungguhnya, hatinya masih cemas meski cairan ramuan Ratnawijati telah berhasil dikeluarkan Jaka dari dalam tubuh Suciati.

   "Kau bisa menanyai putrimu sekarang, Ki Rantasanu,"

   Ujar Jaka beberapa saat kemudian.

   "Kita tak punya banyak waktu."

   Ki Rantasanu memandangi wajah putri tunggalnya lekat-lekat.

   "Bagaimana perasaanmu, Suciati?"

   Tanya Ki Rantasanu sejurus kemudian.

   "Kepalaku tak lagi berat, Ayah. Dan pikiranku rasanya kembali jernih,"

   Jawab Suciati. Nyi Nurimah nampak tersenyum mendengar ja-waban putrinya.

   "Syukurlah,"

   Ki Rantasanu memegang bahu Suciati.

   "Sekarang, ceritakanlah apa yang telah kau alami selama ini,"

   Pinta Ki Rantasanu kemudian.

   "Aku tak ingat lagi kejadian-kejadian itu, Ayah. Yang kuingat, tiba-tiba saja aku jatuh cinta pada lelaki berwajah tampan yang mengaku bernama Pulokaliwa. Lelaki itu pula yang memberiku minuman yang dikata-kannya minuman abadi. Aku langsung tak sadarkan diri beberapa saat setelah meneguk cairan berwarna agak kehijauan itu. Aku juga tak tahu, apa yang telah dilakukan lelaki itu pada diriku. Ah! Maafkan aku, Ayah,"

   Suciati menjatuhkan diri ke pelukan ibunya. Sesaat suasana terasa haru.

   "Kita lupakan untuk sementara kejadian yang menimpa putrimu, Rantasanu,"

   Tegur Eyang Dirgan Saluyu.

   "Yang penting kita harus memikirkan untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi iblis seperti Sepasang Nuri Biru."

   "Ya,"

   Desah Ki Rantasanu.

   "Kita harus mampu mengubur dua kali tokoh sesat itu. Setidaknya agar mereka tak lagi mampu mereguk napas dunia."

   "Kejadian yang menimpa Kakang Karsabijaksa lambat laun akan terjadi pada kita. Menurutku, ada baiknya jika kita semua, terutama Kakang Dirgan Saluyu dan Jaka, terus mengadakan hubungan untuk menjaga kemungkinan atas kemunculan Sepasang Nuri Biru secara tiba-tiba,"

   Tambah Nyi Nurimah.

   "Hal semacam itu memang perlu, Nyi,"

   Timpal Eyang Dirgan Saluyu.

   "Kita memang harus saling ba-hu-membahu dalam menghadapi Sepasang Nuri Biru. Kita memang belum tahu sampai sejauh mana kekuatannya. Namun yang jelas kekuatannya jauh di atas kita."

   "Menurutmu bagaimana, Jaka?"

   Sodor Ki Rantasanu pada Raja Petir.

   "Menurutku, tindakan pertama adalah membenahi keadaan lingkungan perguruan masing-masing. Barangkali saja, di antara murid-murid Perguruan Tameng Kencana atau Perguruan Kamboja Merah masih ada yang bersekutu dengan tokoh sesat itu. Dan tentu mereka itu merupakan duri dalam daging yang harus segera dilenyapkan,"

   Ujar Jaka gamblang.

   "Demikian pula orang-orang yang diasuh Eyang Dirgan Saluyu. Terutama, Prabaya dan Sutriwa."

   Eyang Dirgan Saluyu tersentak kerika nama Prabaya disebut Jaka.

   "Aku juga pernah mendengar percakapan Sutriwa dan Prabaya di belakang Perguruan Kamboja Merah, dua hari lalu,"

   Tandas Jaka, meningkahi keterkejutan Eyang Dirgan Saluyu.

   "Apa yang dikatakan Prabaya dan Sutriwa, Jaka?"

   "Malam bulan purnama nanti mereka akan melakukan hal yang sama dengan Rekong Rapah,"

   Jelas Jaka., Seperti ada ribuan lebah yang menyengat seketika. Wajah Eyang Dirgan Saluyu kontan merah padam. Tubuhnya bergetar hebat dan giginya berge-meretak menandakan kemarahannya yang meluap.

   "Murid kualat!"

   Geram Eyang Dirgan Saluyu.

   "Apakah kedua muridku itu akan melaksanakan niat-nya bersama Sepasang Nuri Biru?"

   "Ya,"

   Sahut Jaka, tegas.

   Eyang Dirgan Saluyu menarik napas berat Se-sungguhnya, dia bukannya takut menghadapi Sepasang Nuri Biru.

   Bahkan menghadapi maut sekalipun.

   Akan tetapi, Eyang Dirgan Saluyu ngeri memikirkan nasib dunia persilatan, dan nasib manusia-manusia lain jika sepak terjang Sepasang Nuri Biru tak mampu dibendung.

   "Malam bulan purnama tinggal tiga kali matahari terbit,"

   Ujar Ki Rantasanu datar.

   "Kita harus menyingkirkan terlebih dahulu Prabaya dan Sutriwa."

   "Bagaimana, Kakang Dirgan Saluyu?"

   Tanya Ki Rantasanu lagi meminta kepastian. Eyang Dirgan Saluyu tak segera menjawab. Dahinya nampak berkerut, seperti mencari pemecahan yang terbaik.

   "Mengenai Prabaya dari Sutriwa biar aku yang urus. Akan kuusahakan agar tak terjadi kekerasan. Apalagi, sampai terjadi pertarungan. Syukur-syukur kedua muridku yang mungkin sedang di bawah pe-ngaruh Sepasang Nuri Biru menyadari kekeliruannya. Termasuk, mengaku kalau telah mencuri Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja. Itu, kalau memang mereka yang melakukannya."

   "Seandainya mereka berdalih atas tuduhan itu, dan mereka terang-terangan melancarkan serangan terlebih dahulu?"

   Nyi Nurimah memberi dugaan.

   "Kalau mereka berkeras, aku akan lebih keras mengambil tindakan,"

   Tegas Eyang Dirgan Saluyu. 'Tetapi kau harus hati-hari, Kakang Dirgan Saluyu,"

   Ujar Nyi Nurimah khawatir. 'Tentu saja. Hari-hariku sekarang ini penuh ke-waspadaan, Nyi,"

   Tanggap Eyang Dirgan Saluyu.

   "Namun, tenaga kalian tetap kubutuhkan jika Sepasang Nuri Biru turun tangan."

   "Itu sudah pasti, Kakang Dirgan Saluyu,"

   Selak Ki Rantasanu.

   "Kita harus bersama-sama menyingkirkan Sepasang Nuri Biru. Dan kita harus berhasil!" *** Pagi nampak begitu cerah. Kehangatan sinar matahari yang masih malu-malu mengintip, ditingkahi kicau burung-burung kecil yang berlompatan dari ranting ke ranting lain, dan ikut menyemaraki pagi ini, Namun, kecerahan pagi ini tidak dirasakan Eyang Dirgan Saluyu yang menanti kedatangan Prabaya dan Sutriwa di balai utama perguruan. Lelaki berusia tujuh puluh lima tahun dan berpakaian merah darah itu tampak tengah gelisah menanti dua murid utamanya yang sudah jelas berkhianat. Bahkan akan melakukan pembunuhan terhadap dirinya, dan telah mencuri kitab pusaka milik perguruannya sendiri. Sebentar-sebentar Eyang Dirgan Saluyu meraba sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Ketika Prabaya dan Sutriwa datang menghadap, Eyang Dirgan Saluyu menyambutnya dengan kewajaran sebagaimana seorang guru terhadap murid.

   "Duduklah, Prabaya, Sutriwa,"

   Pinta Eyang Dirgan Saluyu dengan raut wajah dibuat seramah. Prabaya dan Sutriwa duduk, lalu berhadap-hadapan dengan Eyang Dirgan Saluyu.

   "Adakah tugas yang akan Eyang berikan pada kami?"

   Tanya Raksaprabaya tenang.

   "Tidak ada tugas yang harus kalian kerjakan. Aku hanya ingin kalian menjawab beberapa pertanya-an ku,"

   Sahut Eyang Dirgan Saluyu.

   "Mengenai apa, Eyang,"

   Sutriwa ingin tahu.

   "Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja."

   Prabaya dan Sutriwa tersentak. Tapi mereka mencoba menutupi keterkejutannya.

   "Apakah Eyang sudah mengetahui pencuri kitab itu?"

   Tanya Prabaya, berusaha menutupi keterkejutannya.

   "Justru aku yang akan melempar pertanyaan itu,"

   Jawab Eyang Dirgan Saluyu.

   "Apakah penyelidikan kalian sudah membuahkan hasil?"

   "Belum, Eyang,"

   Jawab Sutriwa. Eyang Dirgan Saluyu mengangguk-angguk mendengar ucapan Sutriwa yang mencurigakan.

   "Prabaya, dan kau Sutriwa. Keberadaan manusia di dunia yang fana ini tak akan ada yang mendapatkan kesempurnaan, baik lahir maupun batin. Manusia yang bernyawa pasti akan mengalami kekurangan-kekurangan yang beraneka macam. Baik jasmani maupun rohani. Manusia juga tak akan luput dari kekhilafan atau ketidaksengajaan. Dan dua hal itu bisa ditimbulkan oleh diri manusia itu sendiri, juga akibat pengaruh manusia lain. Nilai kekhilafan itu akan menjadi ringan jika manusia yang melakukannya sudi menyadari dan mengakuinya secara jujur,"

   Tutur Eyang Dirgan Saluyu. Laki-laki tua itu menghentikan ucapannya beberapa saat. Mata tuanya yang masih nampak cemerlang, mengamati setiap perubahan pada wajah Prabaya dan Sutriwa.

   "Dan sekarang, aku ingin memaklumi dan memaafkan segala kekhilafan itu jika kalian juga ingin mengangkat hakikat kejujuran tinggi-tinggi,"

   Lanjut Eyang Dirgan Saluyu.

   "Aku tak mengerti, ke mana arah pembicaraan Eyang,"

   Sedikit keras ucapan Prabaya.

   "Sudah kujelaskan, harga sebuah kejujuran itu lebih tinggi dari lempengan emas sekalipun, Prabaya,"

   Tekan Eyang Dirgan Saluyu. Prabaya dan Sutriwa saling berpandangan.

   "Apakah Eyang mencurigai kami atas hilangnya Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja?"

   Tanya Prabaya, gusar. Hatinya malah jadi tegang.

   "Tak baik mencurigai seseorang tanpa ada bukti yang kuat, Prabaya,"

   Sangkal Eyang Dirgan Saluyu. 'Tapi, apa makna pertanyaan Eyang kalau bukan itu?"

   Sutriwa mulai menampakkan sikap aslinya.

   "Itu terserah, bagaimana tanggapan kalian atas pertanyaanku. Dan aku tidak senang kalau di dalam perguruan ini terjadi sebuah pengkhianatan. Sekarang, kembali kulempar pertanyaan pada kalian. Apakah kalian punya hubungan dengan Sepasang Nuri Biru?"

   Prabaya dan Sutriwa tak mampu lagi menyem-bunyikan keterkejutannya.

   "Kalau ya, apakah Eyang akan menghukum kami?"

   Tandas Prabaya sesaat kemudian.

   "Dihukum atau tidak, itu bukanlah suatu jalan keluar dalam menangani suatu persoalan. Di sini, yang terpenting adalah bagaimana seseorang menyadari kekeliruannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kembali. Aku ingin, kalian berbuat sesuai kedudukan kalian sebagai seorang pendekar."

   "Eyang! Setiap orang mempunyai cita-cita yang hanya dapat terwujud jika tidak setengah-setengah dalam menjalani rencana yang telah tersusun rapi. Seperti cita-citaku yang ingin menjadi pemimpin dalam perguruan ini. Aku tak ingin cita-citaku terbengkalai di tengah jalan. Untuk itu, aku memutuskan untuk berhubungan dengan pihak lain yang terang-terangan bersedia membantuku,"

   Tegas Prabaya. 'Termasuk berhubungan dengan tokoh sesat seperti Sepasang Nuri Biru?"

   Selak Eyang Dirgan Saluyu.

   "Ya! Termasuk Sepasang Nuri Biru yang hanya meminta imbalan Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja."

   "Murid bodoh!"

   Plak! Eyang Dirgan Saluyu begitu cepat melayangkan tamparan keras ke pipi Prabaya. Untung saja, tam-paran itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, tubuh Prabaya tidak sampai terjengkang.

   "Kau tahu, tanpa Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja, kau tak akan menjadi pemimpin yang baik bagi Perguruan Kamboja Merah. Bahkan perguruan yang kau pimpin tak akan bertahan lama. Sesaat saja kau menjadi pemimpin, maka di lain saat sepasang iblis yang berjuluk Sepasang Nuri Biru itu akan mendepakmu ke neraka!"

   "Itu urusanku!"

   Hardik Prabaya seraya bangkit berdiri dan menghunus keris bergagang ukiran bunga kamboja.

   "Sutriwa! Kita habisi nyawa tua bangka ini sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik. Sepasang Nuri Biru akan senang kalau kita mendahuluinya."

   Sutriwa juga tampak telah menghunus senjatanya.

   "Prabaya, Sutriwa! Sesungguhnya, aku tak menginginkan hal ini terjadi. Yang kuinginkan, kembalilah ke sosok kalian yang asli. Sosok yang tidak terpengaruh pihak lain,"

   Ujar Eyang Dirgan Saluyu.

   "Persetan dengan semua itu, Dirgan Saluyu!"

   Bentak Prabaya tegas. Bahkan sudah tak memandang kalau laki-laki tua di hadapan mereka adalah guru yang mesti dihormati.

   "Pantang bagiku menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah! Bagaimanapun juga, aku harus menyingkirkan jabatanmu dari Ketua Perguruan Kamboja Merah!"

   Seketika merah padam wajah Eyang Dirgan Saluyu mendengar ucapan muridnya yang sudah salah jalan. Namun, dia masih berusaha berslkap welas asih.

   "Bersiaplah, Dirgan Saluyu! Hiyaaa...!"

   "Heaaa...!"

   Sosok tubuh Prabaya dan Sutriwa bersamaan menerjang Eyang Dirgan Saluyu dengan senjata.

   Tusukan dan babatan keris kedua murid sesat itu ditujukan ke bagian tubuh Eyang Dirgan Saluyu yang mematikan.

   Eyang Dirgan Saluyu dengan tenang menghadapi serangan-serangan kedua muridnya.

   Gerakannya ringan dan cepat saat berkelit ke kiri dan kanan.

   Beberapa kali Eyang Dirgan Saluyu memiringkan tubuhnya, dan beberapa kali pula harus melompat ke udara.

   Sebetulnya, Eyang Dirgan Saluyu bisa saja menurunkan tangan besinya.

   Namun, hatinya masih berharap akan kesadaran mereka.

   "Seharusnya kalian sadar dengan apa yang telah kalian lakukan. Ini sebuah kekeliruan yang mem-prihatinkan!"

   Kata Eyang Dirgan Saluyu keras sambil berusaha menghindari tebasan senjata Sutriwa.

   Beberapa orang murid Perguruan Kamboja Merah berdatangan ketika mendengar keributan di ruangan gurunya.

   Mereka terkejut setengah mati menyaksikan perbuatan dua orang kakak seperguruan mereka, Prabaya dan Sutriwa.

   "Edan!"-Salah seorang murid menggeram marah. Beberapa orang malah ingin menyerbu Prabaya dan Sutriwa, namun Eyang Dirgan Saluyu keburu mencegah.

   "Kalian semua pergilah! Ini urusanku,"

   Ujar Eyang Dirgan Saluyu keras. Sesungguhnya, lelaki tua berpakaian merah itu tak menginginkan kalau salah seorang muridnya menjadi korban.

   "Sekali lagi kuperingatkan kalian berdua! Ber-palinglah dari pengaruh Sepasang Nuri Biru!"

   Sentak Eyang Dirgan Saluyu. Pada saat itu keris Sutriwa membabat cepat ke arah jantung Eyang Dirgan Saluyu. Namun dengan gerakan cepat, laki-laki tua itu memapaknya. Plak! "Aaakh...!"

   Tubuh Sutriwa seketika terpental dua langkah ke belakang.

   Tangannya yang terhantam papakan Eyang Dirgan Saluyu terasa bergetar hebat.

   Padahal, papakan itu hanya dibarengi tenaga dalam yang tidak seberapa.

   Namun akibatnya? Sutriwa tak mampu melanjutkan pertarungan Untuk beberapa saat.

   "Aku masih memberimu kesempatan, Prabaya!"

   Ulang Eyang Dirgan Saluyu.

   "Puaskan khotbahmu, Tua Bangka! Sebentar lagi kau akan mampus! Hiaaa...!"

   Srat! Srat! "Hiaaa...!"

   "Uts! Heh?!"

   Eyang Dirgan Saluyu terhenyak menyaksikan kecepatan gerakan aneh Prabaya.

   Begitu cepat sambaran keris itu, hingga Guru Besar Perguruan Kamboja Merah itu tak dpat menghindari serangan yang datang mendadak.

   Tapi, untungnya keris Prabaya hanya dapat merobek pakaiannya.

   Kini, Eyang Dirgan Saluyu tak habis pikir dengan gerakan Prabaya yang tak pernah diajarinya itu.

   "Ha ha ha...! Kau kaget, Dirgan Saluyu?!"

   Ejak Prabaya seraya menudingkan keris yang dipegangnya.

   "Itu baru jubahmu yang koyak terkena jurus 'Paruh Nuri Pemangsa Ulat'. Dan sebentar lagi, pasti kulitmu akan lumat dengan jurus 'Sepasang Nuri Memadu Kasih'. Bersiaplah menyambut kedatangan ajalmu, Dirgan Saluyu!"

   "Kau betul-betul sudah menjelma menjadi orang sesat, Prabaya! Majulah aku tak akan sungkan-sungkan meladeni semua jurus-jurus iblismu!"

   "Haiiit...!"

   "Heaaa!"

   Prabaya kembali memutar-mutar keris yang bergagang ukiran bunga kamboja.

   Gerakan-gerakan aneh itu dilakukan Prabaya dengan cepat, hingga senjatanya nampak hanya kelebatan bayangan hitam saja.

   Eyang Dirgan Saluyu memang tak mau gegabah menghadapi serangan Prabaya yang setiap saat bisa cepat berubah.

   Mata tuanya yang cemerlang dan te-linganya yang tajam, dipusatkan untuk membaca serangan yang datang dari depan dan belakang.

   Sementara, sosok Prabaya nampak menjadi dua ketika memainkan jurus 'Sepasang Nuri Memadu Kasih'.

   Namun berkat pengalaman yang matang dalam rimba persilatan, Eyang Dirgan Saluyu mampu mem-baca setiap serangan yang datang.

   Dan ketika serangan Prabaya datang dari arah belakang, Sutriwa juga merangsek dari arah depan.

   Dia memang telah mampu untuk bertarung kembali.

   Malah gerakannya begitu cepat, tak kalah dengan serangan Prabaya.

   Tetapi kelenturan tubuh Eyang Dirgan Saluyu memang patut mendapat pujian.

   Sebelum serangan kedua lawannya tiba mengoyak kulit, Eyang Dirgan Saluyu sudah merebahkan diri ke lantai rumah.

   Hingga....

   Crat...! "Akh...!"

   Sambaran keris yang dilakukan Prabaya ternyata menggores kuat ke tubuh Sutriwa.

   Maka seketika itu juga Sutriwa mengeluh pendek.

   Dan bersamaan dengan itu pula, keris Eyang Dirgan Saluyu menyayat pangkal paha Prabaya yang masih terperangah oleh serangannya yang salah sasaran.

   "Akh!"

   Prabaya memekik tertahan. Tubuhnya seketika limbung beberapa langkah. Namun tangan kanannya menekap luka memanjang pada pangkal pahanya. Da-rah nampak merembes darI sela-sela jarinya.

   "Prabaya! Sebagai orang yang pernah mendidik-mu bertahun-tahun, aku kenal betul watak aslimu. Kau tak memiliki sifat beringas seperti itu. Kau telah terpengaruh iblis itu, Prabaya. Namun begitu, kesempatanmu untuk kembali sadar masih kuharapkan Aku akan memaafkan kekhilafanmu,"

   Begitu bijaksananya ucapan yang keluar dari mulut Ketua Perguruan Kamboja Merah itu.

   "Sudah kukatakan, aku pantang menjilat ludah yang sudah jatuh ke tanah, Dirgan Saluyu! Lagi pula, aku masih mampu menghadapimu. Majulah!"

   Eyang Dirgan Saluyu tak menimpali ucapan Prabaya.

   "Majulah, Tua Bangka!"

   Teriak Prabaya geram.

   Seiring teriakannya, dari balik pakaian Prabaya yang tersibak meluncur dua buah senjata rahasia ber-warna biru, berbentuk sehelai bulu burung.

   Angin mendesing yang menimbulkan hawa panas mengiringi tibanya serangan gelap itu.

   Eyang Dirgan Saluyu yang memang selalu menajamkan pendengaran dan matanya cepat dapat menangkap kelebatan senjata rahasia Prabaya.

   Dari suara desingnya bisa ditebak kalau lesatan senjata itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Dengan gerakan yang cukup cepat, Eyang Dirgan Saluyu memutar-mutar kerisnya.

   Trang! Trang! Senjata rahasia berbentuk sehelai bulu burung itu seketika terpental jatuh terhantam keris Eyang Dirgan Saluyu.

   Namun laki-laki tua itu kaget mendengar tawa Prabaya yang menggelegar.

   "Ha ha ha.... Tua Bangka Dungu! Makanlah racun ganas yang menempel di lempengan kerismu yang tak bermanfaat itu. Ha ha ha.... Racun ganas itu sekejap mata akan bekerja mengisi seluruh aliran darahmu. Dan tak lama kemudian, kau akan mati membeku, Dirgan Saluyu!"

   Kata Prabaya lantang. Eyang Dirgan Saluyu mengembangkan senyum-nya mendengar ucapan Prabaya.

   "Prabaya! Aku bukan anak kemarin sore yang mudah dikibuli. Kalau senjata beracun itu ditangkis dengan keris yang kau pegang, maka bukan mustahil kau akan mati membeku. Tapi, tidak demikian halnya dengan keris yang berada di tanganku. Gagang kerisku dapat melunturkan berbagai jenis racun yang mematikan sekalipun. Termasuk, racun biru buatan iblis Ratnawijati!"

   Sentak Eyang Dirgan Saluyu.

   "Sekarang sambutiah ajalmu, Murid Sesat! Hih...!"

   Eyang Dirgan Saluyu melepas senjatanya berupa sebuah keris yang gagangnya berukir sekuntum bunga kamboja. Lemparan yang dilakukan Eyang Dirgan Saluyu tak tanggung-tanggung, karena seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Singngng...!"

   Keris bergagang uldran sekuntum bunga kamboja itu meluncur dengan kecepatan tinggi.

   Prabaya nampak gugup.

   Bahkan matanya sampai terbeliak lebar menanti maut.

   Dan sesaat kemudian....

   Blesss! Senjata andalan Eyang Dirgan Saluyu amblas ke perut Prabaya sampai gagangnya! Mata Prabaya melotot merasakan sakitnya senjata Eyang Dirgan Saluyu yang menikam jantung.

   Sesaat saja, Prabaya menggeliat merasakan sakit yang teramat sangat.

   Namun pada saat berikutnya, tubuhnya tak lagi bergerak.

   Seluruh permukaan kulitnya membiru.

   Uap warna putih tampak mengepul dari tubuh yang sudah tak bemyawa itu.

   *** Sosok bayangan putih tampak melesat cepat, saat matahari baru sedikit menampakkan sinarnya.

   Dari gerakannya yang ringan, bisa dipastikan kalau bayangan itu milik orang yang berkepandaian tinggi.

   Dia terus berkelebat menuju Hutan Lindakhulu.

   Sementara itu tak jauh di belakang bayangan putih tadi, sosok lain juga berkelebat tak kalah cepat.

   Seolah-olah ia ingin mengejar sosok putih di depannya.

   Begitu sosok bayangan putih di depannya berhenti di mulut Hutan Lindakhulu, dia juga berhenti.

   Jarak mereka kini antara lima belas batang tombak.

   Sosok bayangan putih itu sejenak mengedarkan pandangannya.

   Bola matanya yang kelihatan memba-ra, seolah-olah ingin menelanjangi seisi Hutan Lindakhulu.

   Melihat ciri-cirinya, ternyata bayangan putih itu tak lain dari Suciati, putri tunggal Ketua Perguruan Tameng Kencana.

   Gadis berpakaian longgar warna putih itu seketika menggeretakkan giginya.

   Tangannya yang meraba-raba gagang pedang, mengisyaratkan kalau dirinya tengah dilanda amarah yang teramat sangat Sementara sosok lain yang mengikutinya belum berbuat apa-apa.

   Dia ingin tahu, apa yang akan di-perbuat putri tunggal Ki Rantasanu itu.

   "Pulokaliwaaa...!"

   Tiba-tiba Suciati berteriak memanggil. Teriakannya dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, sehingga terdengar menggelegar. Bahkan membuat daun-daun yang meranggas seketika berguguran, berpisah dengan rantingnya.

   "Iblis terkutuk! Keluarlah kau! Kau harus mampus di tanganku sekarang!"

   Tak ada sahutan. Padahal, suara gadis cantik berpakaian longgar warna putih itu menggema ke pelosok hutan.

   "Pulokaliwa! Aku putri Ketua Perguruan Tameng Kencana ingin mengadu nyawa denganmu! Keluarlah, Iblis Sesat!"

   "Ada apa gadis cantik putri Rantasanu?"

   Sebuah suara tanpa wujud seketika terdengar jelas di telinga Suciati. Pertanyaan itu pun terdengar sosok lain yang membuntuti.

   "Keluarlah, Pulokaliwa! Jangan bisanya hanya bersembunyi di balik ketiak Ratnawijati!"

   Teriak Suciati lebih lantang. Sekelebatan bayangan biru seketika tampak. Dan tahu-tahu, sejauh tiga batang tombak dari hadapan Suciati sudah berdiri sosok lelaki tampan.

   "Ada apa, Gadis Manis! Tak biasanya kau datang dengan berteriak-teriak seperti itu. Sarungkan pedangmu, dan bicaralah baik-baik. Atau, kau ingin...."

   "Tutup mulut busukmu, Iblis! Aku tak butuh k-hangatanmu! Aku kemari hendak mengambil Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu milik orangtuaku. Cepat serahkan! Atau, pedangku ini akan memisahkan kepalamu!"

   "Aku tak mengerti dengan kelakuanmu, Suciati. Bukankah kitab pusaka itu kau sendiri yang memberi-kan padaku dan Nini Ratnawijati? Sekarang, kenapa diminta kembali?"

   Tenang ucapan lelaki berpakaian biru terang dengan senjata sebatang pedang tersampir di punggung. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pulokaliwa.

   "Itu karena kalian telah meracuniku dengan ra-muan keparat! Kalian telah memperdayai diriku untuk menjadi pengkhianat. Dan sekarang, aku tak sudi mengkhianati orangtuaku sendiri. Maka, sekarang juga serahkan kitab itu padaku. Jangan sampai kesabaranku habis, Pulokaliwa!"

   "Baik! Aku akan mengembalikan kitab pusaka milik orangtuamu, tapi dengan satu syarat,"

   Pinta Pulokaliwa.

   "Apa?!"

   "Lenyapkan dulu nyawa Rantasanu, baru kuse-rahkan kembali kitab pusaka miliknya padamu."

   "Iblis sesat! Heaaa...!"

   Suciati seketika menggenjot tubuhnya untuk menerjang lelaki berpakaian biru terang yang masih bersikap tenang.

   Pedangnya berkelebat cepat, mengarah ke bagian tubuh Pulokaliwa yang mematikan.

   Tapi tanpa menggeser pijakan kakinya, Pulokaliwa yang merupakan salah seorang dari Sepasang Nuri Biru, sanggup menghindari tebasan-tebasan pedang yang dilakukan Suciati.

   Dia hanya memiringkan atau membawa turun tubuhnya sedikit, maka tebasan itu hanya menyambar angin kosong.

   Bahkan ketika Pulokaliwa merasakan serangan yang dilancarkan Suciati bukanlah serangan main-main, seketika itu juga sodokan tangannya yang keras digunakan untuk menahan laju serangan lawan.

   "Heaaa...!"

   Dugkh! "Akh...!"

   Suciati terhuyung tiga langkah ke belakang, ketika kepalan tangan Pulokaliwa mendarat telak di perutnya. Seketika itu juga Suciati merasakan mual. Isi perutnya serasa ingin keluar.

   "Uhk... uhk...!"

   Sesaat Suciati terbatuk. Dan sesaat kemudian, dari dalam mulutnya keluar cairan kental.

   "Keparat kau, Pulokaliwa! Kubunuh kau!"

   Tanpa memikirkan keadaannya, Suciati kembali menerjang Pulokaliwa yang nampak malah tersenyum -senyum mengejek.

   "Tahan, Suciati!"

   Bentak Pulokaliwa.

   "Kau tidak akan mampu menggores sedikit pun kulit luarku. Apalagi membunuhku. Kau bukan lawanku, Suciati. Kecuali di...."

   "Jangan teruskan mulut kotormu, Pulokaliwa!"

   Putri tunggal Ki Rantasanu itu kembali meneruskan serangannya yang tertahan beberapa saat.

   Namun kini kelebatan pedangnya seperti tak beraturan, dan tak menentu arahnya.

   Pulokaliwa tersenyum saja menyaksikan gadis cantik yang menyerangnya secara membabi buta.

   Pa-dahal, seandainya saja Suciati menyerang dengan lu-apan amarah yang bisa diatur, maka serangan-serang-annya amat berbahaya.

   Tapi menyaksikan serangan gadis itu sekarang ini, Pulokaliwa hanya memandang sebelah mata.

   Dan pada suatu kesempatan, kelebatan pedang Suciati yang ngawur segera dimanfaatkan Pulokaliwa.

   Tubuhnya merendah hingga sebatas pinggang lawan.

   Dan dengan gerakan cepat, Pulokaliwa menekuk tangannya, sehingga sikutnya mengarah ke selang-kangan.

   Lalu....

   "Kau sembrono, Suciati. Hih!"

   Digkh! "Akh...!"

   Kembali tubuh Suciati terjajar tiga langkah ke belakang. Tulang selangkangannya seperti akan lepas ketika sikut Pulokaliwa mendarat cukup telak di sa-saran.

   "Sudah kukatakan, Suciati. Kau hanya pantas melayaniku di pembaringan,"

   Ejek Pulokaliwa.

   "Kakek tak tahu diri!"

   Hardik Suciati sengit.

   "Gadis edan! Berani betul kau menyebutku kakek?!"

   Dengus Pulokaliwa geram. Matanya yang membara menatap lekat-lekat wajah Suciati.

   "Kau harus membayar dengan nyawa atas ucapanmu yang tak enak di telingaku tadi!"

   "Kau memang seorang kakek, Pulokaliwa. Kau layaknya mampus puluhan tahun silam! Hanya karena ilmu setanlah kau dapat menikmati kembali napas dunia sebagai seorang pemuda tampan yang tak tahu diri!"

   Ketus suara Suciati.

   "Keparat!"

   Pulokaliwa dengan wajah berang, tak terbendung lagi menerjang Suciati yang masih merasakan kelinuan pada selangkangannya.

   Disertai teriakan keras, tubuh tinggi tegap ber-pakaian biru terang itu melesat cepat bagai anak panah terlepas dari busur.

   Sedangkan Suciati hanya terpana sesaat menyaksikan gerakan Pulokaliwa yang begitu cepat.

   Tentu saja Suciati ingin menghindari terjangan Pulokaliwa yang tanpa senjata.

   Tapi rasa nyeri pada selangkangannya tak dapat menunjang kelincahan geraknya.

   'Tak ada jalan lain,"

   Kata batin Suciati sambil melepas pedang dengan sisa kekuatannya.

   Singngng...! Pedang yang dilempar Suciati mendesing cepat ke arah tubuh Pulokaliwa.

   Maka seketika itu juga Pulokaliwa terkejut menyaksikan apa yang telah dila-kukan gadis cantik itu.

   Gerakannya yang semula ter-tuju pada tubuh Suciati, terpaksa diurungkan.

   Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke samping kanan, kemudian berjumpalitan.

   Sementara itu sosok lain yang tengah menyaksikan pertarungan antara Suciati melawan salah seorang dari tokoh Sepasang Nuri Biru segera memanfaatkan kesempatan yang hanya sedikit.

   Dia seketika melejit cepat, menyambar tubuh Suciati yang tak menyadari kehadirannya.

   "Akh!"

   Suciati sendiri tersentak kaget ketika tubuhnya dipondong paksa oleh seseorang.

   Tetapi ketika mendengar suara orang telah menyelamatkannya dari cengkeraman maut, dia pun pasrah saja.

   Sementara itu, bayangan tadi terus melesat cepat sambil membawa tubuh Suciati.

   *** "Kau terlalu ceroboh, Suciati.

   Tindakanmu tak memakai perhitungan matang,"

   Kata sosok yang ternyata Jaka, si Raja Petir. Tubuh Suciati diturunkan setelah dirasa keadaan telah aman.

   "Aku mendendam sekali pada lelaki itu, Raja Petir,"

   Kilah Suciati.

   "Lelaki itu telah berhasil menjebakku dengan ketampanannya. Aku tidak tahu lagi, apakah aku masih pantas disebut seorang gadis. Ah! Aku..., aku malu sekali pada ayah, pada ibu, dan pada orang-orang di perguruan. Terutama...."

   Suciati langsung memeluk dan menjatuhkan kepalanya di dada bidang Jaka. Putri tunggal Ki Rantasanu itu menangis sesenggukan. Bahunya sampai berguncang-guncang untuk menahan isaknya.

   "Aku harus membunuh lelaki jahanam itu, Raja Petir. Aku harus menebus kesalahanku dengan mem-bunuhnya!"

   Tekad Suciati sambil mengangkat kepalanya. Serta merta, matanya menatap tajam wajah lelaki tampan berpakaian kuning keemasan.

   "Jika kau ingin menebus kesalahan dengan cara seperti itu, kurasa ayahmu tak akan pernah membenarkan,"

   Saran Jaka, lembut.

   "Sekarang, kembalilah ke perguruan. Aku akan kembali menemui Pulokaliwa yang tengah sendirian. Ini kesempatan baik, Suciati. Jika lelaki itu berpasangan dengan Ratnawijati, maka kesempatanku untuk menaklukkan mereka akan lebih sukar. Tapi, tidak jika Pulokaliwa seorang diri."

   "Aku ikut!"

   Pinta Suciati.

   "Maaf, Suciati. Aku bukannya meremehkan ke-mampuanmu. Tapi aku merasa akan lebih leluasa menghadapi Pulokaliwa yang kemampuan ilmu silat-nya tidak bisa dianggap enteng. Kau bisa mengerti, kan? Dan ini kesempatanmu untuk menebus kesalahan jika kau bersedia menuruti permintaanku,"

   Ujar Jaka. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipis milik putri tunggal Ki Rantasanu itu. Dia hanya mampu mengerjap-ngerjapkan mata untuk membalas permintaan Jaka.

   "Kau akan melakukannya untuk menebus kesalahanmu, bukan?"

   Tandas Jaka sesaat kemudian. Gadis cantik berpakaian longgar warna putih itu menundUkkan kepalanya.

   "Terima kasih, Raja Petir,"

   Ucap Suciati perlahan.

   "Aku akan kembali ke perguruan sesuai permintaan mu." 'Terima kasih juga, Suciati. Persetujuanmu akan membuat pekerjaanku lebih mudah. Oh, ya. Aku janji akan membawakan kembali pedangmu yang kau lempar tadi."

   Suciati mengangkat kepalanya. Matanya nampak berbinar memandang wajah lelaki tampan di depannya.

   "Aku kembali sekarang, Raja Petir. Hih!"

   Suciati seketika menggenjot tubuhnya.

   Gerakannya yang ringan menandakan kalau gadis cantik berpakaian warna putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

   Sementara itu, Jaka memandangi kepergian Suciati dengan dada lapang.

   Pemuda tampan yang ber-juluk Raja Petir itu seketika berbalik dan melesat pergi, begitu tubuh Suciati telah lenyap dari pandangan.

   Dengan mengerahkan ilmu lari cepat tingkat tinggi, maka sebentar kemudian dirinya sudah tiba kembali ke tempat pertarungan antara Suciati melawan Pulokaliwa.

   Jaka menatap Pulokaliwa dari tempat yang tidak jauh.

   Nampaknya lelaki itu tengah gusar mendapatkan musuhnya telah lenyap begitu cepat.

   Kepalannya nampak diacung-acungkan ke udara.

   Bunyi menderu terdengar dari kepalan yang menghantam tempat kosong, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   "Setan alas'"

   Maki Pulokaliwa geram.

   "Kalau kalian kudapati, akan kulumat tubuh kalian!"

   "Ha ha ha.... Siapa yang akan kau lumat, Pulokaliwa?!"

   Pulokaliwa tersentak. Badannya langsung dibalikkan cepat ke arah suara yang datang. Hatinya sedikit bergetar melihat siapa yang berada di hadapannya.

   "Raja Petir...?!"

   "Kau terkejut, Tua Bangka?!"

   Ejek Jaka.

   Raja Petir tahu kemarahan Pulokaliwa akan memuncak bila disebut sebagai orang tua.

   Dan kema-rahannya yang tak terkendali bisa dimanfaatkan sebagai bumerang untuk dirinya sendiri.

   Mendengar ucapan Jaka, merah padam seluruh wajah Pulokaliwa.

   "Setan belang!"

   Maki Pulokaliwa geram.

   "Aka kubungkam mulut lancangmu dengan senjataku Hiaaa...!" *** Dua buah benda berwama kebiruan melayang cepat dari balik pakaian Pulokaliwa. Angin mendesing mengrringi tibanya luncuran senjata rahasia itu. Wrrr...! Jaka sudah bisa membaca senjata lawan yang mengandung racun ganas. Maka segera disiapkannya jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi Selasih, seorang guru yang sekaligus orangtua angkatnya. Dan akibatnya, serangkum angin keluar dari telapak tangan yang terbuka. Cukup deras dan bergu-lung-gulung bagai pusaran. Crak! Crak! Dua buah senjata rahasia yang dilempar Pulokaliwa seketika berpentalan ke dua arah. Pulokaliwa sendiri tercengang menyaksikan pukulan dahsyat yang dilancarkan lawannya, walaupun tak berlangsung lama. Dan tiba-tiba....

   "Hiyaaa...!"

   "Hip!"

   Pulokaliwa mengangkat tubuhnya ke atas kuat-kuat Begitu cepat gerakannya hingga yang nampak hanya berupa bayangan kebiruan yang menggulung di udara.

   Menyaksikan 'Pukulan Pengacau Arah' yang hanya berhasil mementahkan luncuran senjata rahasia berupa sehelai bulu burung, Jaka merasa maklum.

   Mmang, musuhnya kali ini tidak bisa dianggap enteng.

   Seorang musuh yang puluhan tahun silam pernah dikubur hidup-hidup oleh almarhum Raja Petir, guru Jaka.

   "Pukulanmu hebat, Anak Ingusan! Tak percuma kau terpilih sebagai titisan Raja Petir. Tapi seingatku, Raja Petir tak memiliki pukulan seperti itu!"

   Puji Pulokaliwa ketika kakinya mendarat manis di tanah.

   "Terima kasih!"

   Hanya itu yang keluar dari mulut Jaka.

   "Namun jangan berbangga hati dulu. Aku belum kalah! Pukulanmu belum mampu mengalahkan kedahsyatan pukulanku!"

   Lanjut Pulokaliwa keras.

   "

   Penitis-mu, si Raja Petir yang sudah mampus itu, sangat memperhitungkan pukulanku. Kau pun harus hati-hati agar tak cepat mampus! Heaaa...!"

   Serangkum sinar berwarna hitam keluar dari kibasan tangan Pulokaliwa yang begitu cepat dan mengeluarkan hawa panas begitu menyengat.

   Sinar kehitaman itu bergerak begitu cepat, mengancam nyawa Raja Petir.

   Melihat sinar hitam yang meluncur cepat ke arahnya, Jaka jadi ingin menjajal kehebatan jurus 'Pukulan Pengacau Arah'nya.

   Dia ingin tahu akibat apa yang akan ditimbulkan akibat benturan kedua pukulan yang sama-sama memiliki pamor yang menggiriskan itu.

   "Hih...!"

   Serangkum angin keluar kembali dari telapak tangan Jaka yang terbuka.

   Angin deras bergulung-gu-lung, bergerak sangat cepat ke arah sinar hitam yang juga tengah meluruk cepat.

   Sesaat kemudian....

   Glarrr! Ledakan dahsyat terdengar mengisi penjuru alam yang seketika bergetar hebat dibarengi dua tubuh yang berpentalan ke belakang.

   Beberapa pohon yang berada di sekitar pertarungan seketika bertumbangan.

   Suara berderak keras mengiringi rebahnya pohon-pohon sebesar pelukan lelaki dewasa.

   Sementara, dua sosok tubuh yang terpental ke belakang masing-masing sudah kembali tegak berdiri.

   Raja Petir nampak tak mengalami apa-apa pada dirinya.

   Namun, tidak bagi Pulokaliwa yang di antara sela bibimya menitik cairan merah.

   "Kurang ajar!"

   Geram Pulokaliwa.

   "Kau harus mampus di tanganku, Bocah!"

   Mata Pulokaliwa seketika memerah saat menge-palkan tangannya yang dialiri seluruh tenaga dalam.

   "Ini untukmu, Bocah! Huhhh...!"

   Selarik sinar hitam pekat seketika keluar dari kepalan tangan Pulokaliwa.

   Bentuknya semula sebuah lingkaran sebesar kepalan tangan.

   Namun lambat laun membesar dan semakin bertambah besar.

   Bahkan melebihi ukuran tubuh pemiliknya yang tinggi.

   Jaka awalnya menganggap sinar itu hanya sebuah tipu muslihat.

   Tapi setelah menyaksikan perubahan yang sedemikian cepat, segera dibuang anggapannya yang keliru itu.

   Lalu, tubuhnya segera melenting cepat, menghindari lingkaran hitam besar yang aneh.

   Bahkan juga menebarkan hawa cukup aneh.

   "Hip!"

   Bukan main terkejutnya Jaka menyaksikan sinar hitam itu mampu mengimbangi tubuhnya yang tengah melenting jauh di udara.

   "Ilmu aneh,"

   Kata baion Jaka, tak habis pikir.

   "Aku harus mengimbanginya dengan aji 'Bayang-bayang'. Semoga saja, ilmu aneh itu bisa terkecoh. Aji 'Bayang-bayang'...!"

   Tubuh Jaka yang semula cuma berwujud satu, kini berubah menjadi enam.

   Dan ternyata apa yang.

   diharapkannya menjadi kenyataan.

   Sinar hitam pekat yang membentuk sebuah lingkaran besar mengejar salah satu bayangannya yang berlarian di balik pohon-pohon besar.

   Sinar hitam yang aneh itu terus merangsek, mengejar bayangan tubuh Jaka di balik sebatang pohon besar.

   Dan akibatnya....

   Sinar hitam yang melingkar besar itu membungkus sebatang pohon besar.

   Dan ketika segulungan sinar aneh itu lenyap, pohon besar itu hangus mengering.

   Perlahan, serpihan batang pohon itu luruh terhembus angin.

   Jaka mendesah berat menyaksikan kedah-syatan ilmu ciptaan Pulokaliwa.

   Namun sebaliknya, Pulokaliwa juga sempat menarik napas sewaktu menyaksikan kejelian Raja Petir.

   "Kau memang hebat, Bocah! Aku tak akan lama bermain-main denganmu! Terimalah ilmu 'Jubah Hitam Nuri Biru' sebagai penyongsong kematianmu."

   Pulokaliwa merapatkan kedua telapak tangannya.

   Matanya nampak setengah terpejam.

   Sedangkan bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca sebuah mantera.

   Sesaat lamanya Pulokaliwa melakukan hal itu.

   Namun pada kesempatan lain, telapak tangannya yang kini sudah berubah menjadi seperti bara seketika terbuka dan bergerak ke arah dada.

   Lalu, kedua telapak tangan yang membara itu ditempelkan ke dadanya.

   "Krrroiiing...!"

   Pekikan aneh seketika terdengar mengisi empat penjuru alam.

   Seiring menghilangnya pekikan itu, tubuh Pulokaliwa berubah menjadi merah seperti bara.

   Dan kini tubuhnya seketika bergerak cepat ke arah Raja Petir.

   Hawa panas yang menyerigat seketika menyergap tubuh Jaka, ketika tangan Pulokaliwa yang seperti bara itu mengibas-ngibas.

   Dan untuk menghadapi musuh yang sebegitu aneh ini, Jaka memilih bertarung jarak jauh.

   Biar bagaimanapun juga, dirinya tak sudi membiarkan kulitnya terpanggang hawa panas menyengat yang keluar dari tubuh Pulokaliwa.

   Rupa-rupanya, Pulokaliwa mampu membaca jalan pikiran Jaka.

   Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, pasangan Ratnawijati itu segera merangsek.

   Di mana Jaka melenring, untuk menghindar, di situ pula Pulokaliwa berusaha mendekati dengan gerakan serupa.

   Hantaman-hantaman kosongnya temyata sanggup membakar benda-benda yang ada di sekitarnya.

   "Bukan main dahsyatnya,"

   Dengus Jaka dalam hati.

   Raja Petir memang merasa tak akan selamanya mampu menjauhi Pulokaliwa.

   Pada saatnya nanti, Pulokaliwa dapat memperpendek jarak dan dapat pula menyarangkan sambaran-sambarannya yang mematikan.

   Setelah berpikiran seperti itu, Raja Petir tak sudi membuang-buang waktu lagi.

   Selain harus menghemat tenaga, Jaka juga ingin cepat menyatroni Ratnawijati yang kemungkinan masih berada di Perguruan Gading Kembar yang telah berhasil dikuasai.

   Jaka segera melenring ke udara.

   Dengan menggerakkan badannya yang melompat seperti seekor kumbang jantan, Jaka membawa turun tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan dengan cepat.

   Dan pada kesempatan selanjutnya, tubuhnya sudah kembali tegak berdiri dengan sebuah ajian yang akan membungkam keganasan ilmu lawan.

   Sebuah ajian yang bernama 'Kukuh Karang'.

   , Dengan mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, Jaka menarik napas dengan teratur.

   Dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, pemuda tampan itu membawa turun tangannya.

   Beberapa saat Jaka merentangkan tangannya dengan jari-jari terbuka.

   Maka pada saat berikutnya, tangannya yang terkepal sudah dibawa ke depan dada secara menyilang.

   Serangkum sinar kuning seketika terlihat mem-bungkus kepala Jaka hingga dada, dan bagian lutut hingga ujung kaki.

   Sementara pada bagian lain, sedikit pun tak terdapat sinar kuning yang membungkus.

   Pulokaliwa yang tahu kalau lawannya tengah mengerahkan sebuah ajian andalan, tanpa setengah-setengah lagi segera menyerang dengan seluruh keku-atan tenaga dalam.

   Tangannya yang membara, mener-jang secepat kilat ke bagian tubuh Jaka yang tidak terbalut serangkum sinar kuning.

   Demikian kuatnya terjangan itu, hingga....

   Grrraaafsss...! Percikan bunga api berpijar ke segenap penjuru angin.

   Sementara tangan Pulokaliwa yang mendarat keras di bagian ulu hati Raja Petir, seketika tak dapat ditarik pulang.

   Kenyataannya, ada sebentuk tenaga yang cukup kuat menyerap tenaga Pulokaliwa.

   Pulokaliwa sadar, dirinya terpancing ilmu lawan.

   Dengan seluruh kekuatan yang ada, tangannya yang sebelah kembali dilayangkan ke bagian dada Jaka yang terbalut sinar kuning keemasan.

   Grrraaafsss...! Kejadian semula kembali menimpa Pulokaliwa! Sebelah tangannya yang menghunjam dada Jaka kembali tak dapat ditarik pulang.

   "Rrrgh...!"

   Pulokaliwa menggereng dan mengerahkan tenaga dalam tinggi untuk melepaskan serapan ilmu yang membuat sekujur tubuhnya menjadi lemah.

   Namun semakin kuat Pulokaliwa berusaha melepaskan diri, semakin habis tenaganya tersedot aji 'Kukuh Karang'.

   Sementara itu, melihat lawannya tengah tak berdaya, Jaka mempergunakan kesempatan ini.

   Tangan kanannya yang dialiri tenaga dalam penuh segera bergerak cepat Lalu....

   "Aaargkh...!"

   Pulokaliwa kontan menjerit aneh ketika kepalan tangan kanan Jaka menghantam titik lemah pada tenggorokannya.

   Krakkk! Wrrrt...! Bukkk! Tubuh Pulokaliwa kontan terpental sejauh tiga batang tombak daajatuh keras di tanah.

   Lehernya yang terhantam pukulan keras Jaka patah seketika.

   Yang lebih mengejutkan Raja Petir, sosok Pulokaliwa kini berubah menjadi wujudnya semula.

   Wujud orang tua yang berumur ratusan tahun! Raja Petir menarik napas dalam-dalam.

   Tanpa memandang tubuh Pulokaliwa yang tak bernyawa, Jaka berkelebat pergi menuju Perguruan Gading Kembar.

   *** Sosok bayangan kuning berkelebat cepat menuju Selatan.

   Dari caranya berlari, memberi gambaran kalau sosok itu adalah seorang tokoh persilatan yang berkemampuan tinggi.

   Betapa tidak? Dari larinya yang bagai angin berhembus itu, sukar diukur ketinggian ilmu lari cepatnya.

   Sosok bayangan kekuningan yang ternyata Raja Petir, seketika menghentikan larinya lima tombak di depan sebuah bangunan megah dengan sebuah tiang batu terpancang bertuliskan Perguruan Gading Kembar.

   Jaka menajamkan pendengarannya ketika mera-sakan ada suara pertarungan di dalam perguruan di hadapannya.

   "Ada suara dentang senjata beradu,"

   Gumam Jaka dalam hati.

   "Jangan-jangan..., ah! Hip!"

   Jaka melesat masuk ke bangunan perguruan.

   Gerakannya ringan, dan seketika itu juga menyelinap masuk ke bagian penyekat bangunan.

   Pada sebuah ruangan yang cukup besar, hati Jaka tercekat.

   Di hadapannya kini nampak Ki Rantasanu dan Eyang Dirgan Saluyu sedang mengurung si Nuri Biru.

   Sedangkan di tempat lain, nampak Suciati dan tiga murid utama Perguruan Tameng Kencana tengah mengeroyok Rekong Rapah.

   "Hik hik hik.... Terus gempurlah aku, Tua Bangka Peot! Hik hik hik... Majulah! Aku tak akan segan mengirim kalian berdua ke neraka!"

   Ejek Ratnawijati pongah, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

   "Nenek sombong!"

   Hardik Eyang Dirgan Saluyu. Wajah Ratnawijati seketika memerah mendengar bentakan Ketua Perguruan Kamboja Merah. Tampaknya dia tak senang dirinya disebut nenek.

   "Kubikin mampus kau, Kakek Peot! Hiaat..!"

   "Hiyaaat...!"

   "Hiaaa...!"

   Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bersa-maan menerjang si Nuri Biru.

   Terjangan kedua tokoh persilatan itu demikian cepatnya, dan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

   Namun, rupanya kemampuan Ratnawijati memang di atas lawan-lawannya.

   Sekali lihat saja, kejelian matanya sudah mampu menghindari terjangan lawan-lawannya.

   Bukan itu saja.

   Tubuh Ratnawijati yang berputar setengah lingkaran, mampu memberi tendangan beruntun ke arah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

   Hah?! Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang dilakukan lawan.

   Maka tanpa pikir panjang lagi, keduanya melempar tubuh ke arah yang berlawanan.

   "Hia!"

   "Hiaaa...!"

   Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergu-lingan di lantai Perguruan Gading Kembar.

   Sementara itu, Ratnawijati terkekeh menyak-sikan kedua musuhnya yang kalang kabut.

   Tapi dalam ke-terkekehannya, lawan tak diberi kesempatan untuk menyelamatkan diri.

   Si Nuri Biru itu kembali berkelebat bermaksud menghabisi nyawa lawan.

   "Haaat...!"

   "Tahaaan...!"

   Bentakan keras menggelegar seketika memenuhi ruangan Perguruan Gading Kembar.

   Ratnawijati kontan terkejut mendengar bentakan keras yang memekakkan telinga.

   Apalagi, ketika menyaksikan sesosok muda berpakaian warna kuning keemasan.

   Kedua bola matanya seketika berubah membara.

   Namun tidak demikian yang dialami Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

   Kedua orang tua itu menjadi lega harinya manakala melihat sosok Raja Petir.

   Sosok muda yang kedigdayaannya sukar dicari tandingannya.

   'Titisan Raja Petir!? Hik hik hik....

   Tepat sekali kedatanganmu ke sini.

   Aku jadi tak perlu susah-susah mencarimu.

   Sehingga aku dapat sekaligus mengirim kalian semua ke alam baka.

   Kalian semua tahu! Aku ingin secepatnya menguasai dunia persilatan! Hik hik hik....

   Bersiaplah kalian semua!"

   Mendengar ucapan Ratnawijati yang bersungguh-sungguh, Jaka segera menatap wajah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu bergantian.

   "Maaf! Biar aku saja yang menghadapi iblis betina ini,"

   Pinta Jaka pada Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

   "Kalian berdua bisa membantu Suciati menghadapi murid utama Ki Karsabijaksa."

   "Hati-hati, Jaka. Iblis itu telah menguasai tiga kitab pusaka yang dicurinya,"

   Kata Eyang Dirgan Saluyu, memperingatkan.

   "Baik, Eyang,"

   Balas Jaka.

   Tubuhnya yang bergerak ringan, seketika sudah berhadapan dengan si Nuri Biru.

   Dan kini, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu segera membaur pada pertarungan antara Suciati dan murid Perguruan Tameng Kencana melawan Rekong Rapah dan murid-murid Perguruan Gading Kembar yang telah berkhianat.

   Pertarungan yang terpecah menjadi dua bagian nampak begitu seru.

   Beragam jurus terlihat saling sambut.

   Kelebatan pedang dan dentang senjata yang beradu, bergema dan memantul pada dinding-dinding bangunan Perguruan Gading Kembar.

   Begitu bising! Itu pun masih ditingkahi teriakan dan erangan kesa-kitan dari orang yang tertikam senjata lawan.

   Sementara pertarungan antara Jaka melawan Ratnawijati sudah berlalu beberapa jurus.

   Ajian-ajian pun sudah digelar.

   "Hik hik hik.... Tak kusangka, kepandaianmu hampir sama dengan kepandaian penitismu yang sudah mampus itu. Tapi, jangan berbangga hati dulu, Anak Muda! Beberapa jurus dan ajianku belum kuke-luarkan. Dan semua itu akan kugunakan untuk mele-bur ragamu, sekalian mengirim nyawamu ke alam lain!"

   Ejek Ratnawijati sambil terkekeh-kekeh.

   "Keluarkan seluruh jurus dan ajianmu itu, Nenek Peot!"

   Balas Jaka.

   "Kurang ajar! Terimalah ini! Heaaat..!"

   Si Nuri Biru berkelebat cepat.

   Kedua telapak tangannya yang membentuk paruh burung, menyambar-nyambar murka.

   Cicit angin mengiringi sambaran yang menggunakan pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Raja Petir tersentak mendapatkan keganasan serangan lawan.

   Bukan kandungan tenaga saja yang membuat Jaka tersentak, tapi hawa dari pukulan itu.

   Hawa yang aneh.

   Apalagi, kiblatan sinar biru yang keluar dari ujung jari yang membentuk paruh burung itu.

   Untuk menghindari serangan-serangan si Nuri Biru yang memang gangs, dengan sangat terpaksa Jaka mengeluarkan ajiannya.

   "Kurang ajar! Bocah edan, jangan coba-coba me-ngelabuiku dengan aji 'Bayang-bayang' murahan itu. Huh! Kau pikir, aku bodoh hingga tak tahu memilih mana wujudmu yang asli! Rasakan ini. Haaat..!"

   Untuk kedua kalinya Jaka tersentak. Hatinya benar-benar kagurn mendapatkan kepekaan rasa yang dimiliki Ratnawijati yang mampu membaca dan mem-bedakan wujud asli seseorang. Plak! "Hip!"

   "Hup!"

   Terpaksa Jaka memapak totokan paruh burung yang dilancarkan Ratnawijati ke arah batok kepalanya.

   Benturan hebat yang terjadi, membuat tubuh kedua orang yang bertarung itu berpental ke belakang.

   Dan untuk dapat menguasai keseimbangan, masing-masing melakukan putaran di udara, lalu mendarat manis di tanah.

   Dari terpentalnya kedua tubuh itu, menandakan kalau kekuatan tenaga dalam mereka berimbang.

   "Kurang ajar!"

   Maki Ratnawijati dalam hati.

   "Masih muda sudah sedahsyat ini tenaga dalamnya."

   "Nenek ini tak kusangka tenaganya begitu besar. Aku harus hati-hati,"

   Gerutu Jaka.

   "Hai, Nenek Peot! Mana jurus dan ajianmu? Hanya sampai di situkah?"

   Si Nuri Biru menggereng keras.

   "Bocah setan! Lancang sekali mulutmu! Akan kubungkam mulutmu dengan aji 'Lingkar Hitam Ke-matian! Hih...!"

   Selarik sinar hitam keluar dari tangan Ratnawijati yang terkepal.

   Sinar itu semula membentuk segulungan kecil.

   Namun kini tambah membesar, dan menjadi lebih besar lagi saat mendekati tubuh Jaka.

   Pemuda tampan berpakaian warna kuning keemasan itu sesaat ragu ketika hendak menggelar kembali aji 'Bayang-bayang'.

   Sinar hitam yang meng-gulung besar dan digerakkan melalui kekuatan Ratnawijati, pasti dapat memilih wujud aslinya.

   Sejurus lamanya Jaka mencari titik lemah pada sinar hitam yang melingkar ganas.

   Tatapan matanya di tajamkan untuk mencari pusat lingkaran hitam itu.

   "Huh! Di situ rupanya titik kelemahan aji 'Lingkar Hitam Kematian',"

   Dengus Jaka dalam hati.

   Maka dengan kecepatan yang sukar di ukur kecepatan mata biasa, Jaka meraih sebuah bambu kuning pada pergelangan tangan kirinya.

   Sebuah bambu kuning yang tanpa lubang itu segera diselipkan di antara kedua belah bibimya.

   Lalu, mulut bambu itu dihem-buskan kuat-kuat Slats! Slats! Slats! Tiga lank sinar warna kuning keluar lewat lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka.

   Tiga larik sinar kuning itu meluruk deras, mencecar garis tengah pada lingkaran hitam ciptaan Ratnawijati.

   Memang, di situlah bagian yang peka dari aji 'Lingkar Hitam Kematian'.

   Beberapa saat kemudian....

   Blarrr...! Ledakan dahsyat seketika terdengar ketika tiga larik sinar kuning berturut-turut menembus garis peka aji 'Lingkar Hitam Kematian'.

   Benturan dua kekuatan itu demikian dahsyat Bahkan menimbulkan dorongan ke belakang bagi pe-miliknya.

   Seperti juga yang dialami si Nuri Biru.

   Tubuhnya kontan terpental beberapa tombak ke belakang, bersamaan pekiknya yang tertahan.

   "Kurang ajar!"

   Hardik Ratnawijati geram.

   "Akuilah kekeliruanmu, Nenek Tua. Aku akan mengampuni nyawamu,"

   Ujar Jaka. Kembali Ratnawijati menggereng kuat "Setan! Kau pikir aku sudah tak mampu mengi-rimmu ke neraka, heh?!"

   Ratnawijati segera maju beberapa langkah.

   Matanya dibuat setengah terpejam.

   Sementara telapak tangannya saling menempel.

   Mulutnya kelihatan ko-mat-kamit, seperti tengah membaca mantera.

   Melihat apa yang tengah dilakukan lawan, Jaka sadar kalau si Nuri Biru tengah mengerahkan ajian andalannya.

   Ajian dahsyat yang pernah diterimanya dari Pulokaliwa, yang sudah tewas terlebih dahulu.

   Ajian yang tengah dikerahkan Ratnawijati memang jarang ada tandingannya.

   Maka, Jaka memutuskan untuk menghadapi ajian itu dengan jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

   Namun, akibat yang ditimbulkannya akan membawa keruntuhan bangunan ini.

   Itulah sebabnya, Jaka segera menolehkan kepalanya ke arah pertarungan antara Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu, Suciati, dan tiga orang murid Perguruan Tameng Kencana, melawan Rekong Rapah dan murid-murid Perguruan Gading Kembar yang berkhianat.

   Bahkan kini, mereka telah mengurung Rekong Rapah yang tinggal seorang diri.

   Memang, karena dikeroyok tokoh-tokoh berke-pandaian tinggi, Rekong Rapah jadi tak berarti sama sekali.

   Dia bagaikan ayam kehilangan induk, tak tahu harus berbuat apa.

   Bahkan ketika satu tendangan keras dari Eyang Dirgan Saluyu mendarat di tubuhnya, Rekong Rapah langsung terhuyung hampir jatuh.

   , kesempatan itu digunakan Suciati sebaik-baiknya.

   Dan....

   "Aaakh...!"

   Jaka juga melihat saat pedang Suciati menghabisi Rekong Rapah. Leher tokoh pengkhianat itu kontan terpenggal, dengan darah menyembur dari lukanya. Rekong Rapah ambruk dan tewas seketika.

   "Cepat kalian tinggalkan bangunan ini! Sebentar lagi bangunan ini akan runtuh!"

   Teriak Jaka mantap, sambil menatap ke arah teman-temannya.

   Eyang Dirgan Saluyu, Ki Rantasanu, dan Suciati, serta tiga lelaki murid Ki Rantasanu seketika berkelebat meninggalkan bangunan Perguruan Gading Kembar.

   Dan seiring lenyapnya tubuh mereka, Ratnawijati telah memantapkan ajiannya.

   Seluruh tubuhnya berubah merah membara.

   Hawa panas menyengat seketika, mengisi ruangan Perguruan Gading Kembar.

   "Krrroiiing...!"

   Pekikan aneh seketika terdengar keras.

   Bangunan perguruan ini seperti terlanda gempa.

   Terlebih, ketika tubuh Ratnawijati yang sudah berubah menyambar-nyambar ganas.

   Pijaran api yang melesat, semakin membuat keutuhan bangunan ini tak lagi dapat dipertahankan.

   Yang dirasakan Jaka demikian halnya.

   Ia merasa tak akan mampu bertahan lama menghindari serangan-serangan ganas yaitig dilancarkan Ratnawijati.

   Ruang gerak yang terbatas, membuatnya mengalami kesukaran untuk mencari jarak bertarung.

   "Harus dengan ini rupanya,"

   Kata hati Raja Petir sambil meloloskan sabuk kuning keemasan yang melilit pinggangnya.

   Sinar kuning menyilaukan mata seketika memendar-mendar dari sabuk yang telah lolos dari pinggang pemiliknya.

   Pemilik sabuk berpamor menggiriskan itu sekilas memutar pergelangan tangannya.

   Bersamaan dengan berputarnya pergelangan tangan Jaka, Ratnawijati sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menerjang.

   "Haaat...!"

   Raja Petir tak mau lagi membuang-buang kesempatan baik yang ada di depannya.

   Pergelangan tangannya digerakkan.

   Maka seketika itu juga....

   Ctarrr...! Seberkas sinar keperakan melesat dari ujung sabuk yang dilecutkan Jaka.

   Seberkas sinar keperakan yang seperti petir itu menyambar.

   Itulah rangkaian jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.

   Glarrr...! Glarrr...! Dua ledakan dahsyat terjadi, ketika sambaran sinar keperakan menerjang tubuh merah membara mihk si Nuri Biru.

   "Aaargkh...!"

   Ratnawijati memekik keras.

   Tak lama kemudian, tubuhnya sudah hangus.

   Bahkan langsung terpental sehingga membentur dinding bangunan yang seketika itu juga jebol.

   Akibat ledakan dan pekikan Ratnawijati yang keras, ditambah benturan tubuh perempuan iblis itu pada dinding, membuat bangunan ini bergetar hebat.

   Untuk kemudian....

   "Hup!"

   Jaka melesat cepat meninggalkan bangunan yang seketika itu juga akan ambruk.

   Krakkk...! Brakkk...! *** "Aku tak bermaksud mendahuluimu dalam menyerang Ratnawijati, Jaka.

   Tadinya, aku hanya bermaksud memberi pelajaran pada Rekong Rapah dan membebaskan murid-murid Perguruan Gading Kembar yang masih setia pada perguruan.

   Namun kenyataannya, Ratnawijati juga ada di situ.

   Yaaah..., aku tak bisa mengelak untuk tidak menimpali serangannya,"

   Jelas Eyang Dirga Saluyu ketika Jaka keluar dari bangunan yang runtuh.

   "Ah! Itu tak jadi persoalan, Eyang. Malah tadinya aku hendak mendahului kalian dalam menghadapi Ratnawijati. Tapi ketika menyatroni Perguruan Gading Kembar, kulihat Eyang dan yang lainnya sudah berada di sana,"

   Sanggah Jaka. Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan Jaka yang terus terang. Seulas senyuman lega atas keberhasilannya menyingkirkan Ratnawijati yang berhasrat menguasai dunia persilatan.

   "Kalau begitu, aku pamit dulu, Eyang, Ki,"

   Kata Jaka sambil menatap lekat-lekat wajah Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu.

   Kedua lelaki tua itu tak kuasa berbuat apa-apa dengan keinginan Jaka.

   Mereka hanya dapat mem-balas tatapan pemuda yang memiliki kesaktian tinggi dengan sinar mata penuh kekaguman dan rasa terima kasih.

   "Aku permisi, Eyang, Ki. Hup!"

   Begitu ringannya gerakan yang dilakukan Jaka, hingga hanya sekali hentakan saja tubuhnya sudah berada beberapa tombak dari tempat semula.

   Kemudian, tubuhnya yang terbalut pakaian warna kuning keemasan lenyap di balik pohon besar.

   Di tempat lain, Suciati dan Yaya Mayada nampak memisahkan diri.

   "Maafkan segala kecerobohanku, Kakang,"

   Perlahan ucapan Suciati yang keluar. Lelaki tampan berpakaian warna putih itu menatap lekat-lekat wajah Suciati. Sesaat lamanya dia menatap wajah cantik di hadapannya, kemudian tersenyum menawan.

   "Tak ada yang perlu dimaafkan, Suciati. Lelaki pasangan Ratnawijati memang tampan dan pandai mempengaruhi gadis-gadis,"

   Kata Yaya Mayada.

   "Jadi wajar saja kalau kau...."

   "Ihhh...,"

   Suciati memukuli punggung kekasihnya. 'Tapi, aku berjanji tak akan mencintai lelaki lain selain Kakang Maya Mayada."

   "Betul?"

   Ledek Yaya Mayada.

   "Betul! Demi langit dan bumi!"

   "Ha ha ha...,"

   Yaya Mayada terbahak mendengar janji kekasihnya. Sementara, Eyang Dirgan Saluyu dan Ki Rantasanu hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah sepasang muda-mudi di belakang mereka. SELESAI E-Book. Abu keisel

   

   

   

Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Pendekar Rajawali Sakti Intan Saga Merah

Cari Blog Ini