Ceritasilat Novel Online

Raja Lihai Langit Bumi 1


Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi Bagian 1


RAJA LIHAI LANGIT BUMI Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Rajawali Emas Dalam Episode .

   Raja Lihai Langit Bumi 128 Hal.; 12 x 18 Cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com Hari telah memasuki senja.

   Suasana di sekitar gunung itu mencekam.

   Gerumbul semak belukar bagai mengiang-ngiangkan tarian kematian pada gendang telinga bersatu dalam hembusan angin bagai bisikan.

   Pepohonan yang tumbuh di sana-sini menambah keremangan yang penuh mistis.

   Udara berhembus dingin menusuk tulang.

   Gumpalan awan hitam berangkai di langit, pohon halangi tembusan sinar surya yang redup dan kaburkan pesona langit cerah.

   Hingga kengerian akan melanda siapa yang melihatnya.

   Namun dua sosok tubuh terus merayapi dinding gunung, seperti tak mempedulikan suasana mencekam.

   Meskipun kedua orang itu tak menghiraukan keadaan di sekeli-lingnya, di dasar hati paling dalam, keduanya seakan tak mampu menindih ketegangan yang datang.

   Hati-hati dan penuh kewaspadaan tinggi bila tak ingin meluncur jatuh terguling dan menghantam bebatuan yang banyak di sekitar sana.

   "Gila! Sampai seberapa lama kita lakukan tindakan konyol seperti ini?"

   Tanya seorang lelaki yang mengenakan baju hitam.

   Wajah kasarnya ditumbuhi dengan jerawat.

   Dan terasa sakit ditempa hembusan angin yang dingin dan keras.

   Dedaunan yang luruh menerpa wajah dan rambutnya yang cukup panjang.

   Didongakkan kepala melihat arakan awan hitam yang menggayut di mata.

   Dialihkannya pandangannya pada kawan di sebelahnya dengan dengusan jengkel.

   "Setan, sejak tadi hanya pertanyaan bodoh yang kau lontarkan. Silahkan kau banyak omong di Puncak Neraka bila ingin nyawamu putus!"

   Maki kawannya yang penuh bulu dan mengenakan pakaian terbuat dari kulit harimau.

   Wajahnya berkerut-kerut dengan rahang mengeras tak suka mendengar suara orang yang berbicara tadi.

   Orang yang berbaju hitam yang tak lain adalah Barok menggerutu panjang pendek.

   Masih mendumal tak berhenti dan menahan rasa pegal pada kedua kakinya, dilanjutkannya merayapi dinding gunung yang cukup terjal, sementara kawannya si Cakar Harimau sudah mendahului mendaki.

   Seperti yang diceritakan dalam episode "Wasiat Malaikat Dewa" , Barok memang menyelinap keluar dan rumah Juragan Lanang untuk meminta bantuan sahabatnya itu, si Cakar Harimau yang pernah membantunya saat membalaskan sakit hatinya pada Layung Seta, namun berhasil dihajar oleh kawan-kawan Layung Seta (Untuk mengetahui si Cakar Harimau, silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode .

   "Geger Batu Bintang"). Orang berwajah kasar yang berbaju warna hitam legam itu tidak tahu kalau majikannya telah tewas di tangan Tirta alias si Rajawali Emas. Atas usul Cakar Harimau yang hendak meminta bantuan teman-teman gurunya guna memuluskan rencana Barok, dia segera mengajak Barok ke Puncak Neraka, di mana teman-teman gurunya yang berjuluk Lima Iblis Puncak Neraka mendekam di sana. Pendakian yang susah namun dilakukan terus sekuat hati, akhirnya berhasil dituntaskan. Tepat matahari tenggelam di balik peraduannya dan mensunyikan suasana di puncak itu. Dingin lebih menggigit, merayapi seluruh tubuh keduanya. Kabut tebal yang menyelimuti Puncak Neraka hampir-hampir tak bisa diterobos oleh mata biasa. Bahkan angin yang menghembus tak mampu pecahkan gumpalan kabut.

   "Di mana mereka?"

   Bisik Barok dengan suara serak.

   Di samping hampir-hampir tak kuasai dingin, juga rasa takut yang mendadak datang.

   Yang terpampang di matanya hanya kegelapan semata.

   Namun orang baju hitam itu yakin kalau di sana-sini banyak terdapat batu menonjol dan lamping gunung yang terjal yang bila nekat beranjak dari tempatnya dalam gumpalan kabut pekat tak mustahil akan buat dirinya celaka.

   Bukannya menjawab pertanyaan orang, si Cakar Harimau berlutut dengan kedua tangan menyatu didada membentuk sesem-bahan.

   "Wahai Lima Iblis Puncak Neraka... kami datang untuk meminta bantuanmu...."

   Tak ada suara yang terdengar, bahkan suara si Cakar Harimau bagai lenyap ditelan kabut tebal.

   Namun keanehan terjadi, karena angin dingin bagai ber-henti bertiup.

   Akan tetapi, rasa dingin yang menusuk tak berkurang sedikit juga, bahkan makin merayapi seluruh tulang dalam tubuh.

   Membuat Si Cakar Harimau mengulangi lagi kata-katanya, kali ini dengan ketegangan makin tinggi.

   Hingga kemudian...

   "Siapapun yang injakkan kaki di Puncak Neraka, maka ia akan pulang tanpa nyawa!"

   Mendengar ucapan bernada ancaman, Cakar Harimau langsung jatuhkan kepala, bersujud.

   "Ampuni selembar nyawa hina dalam badan! Kami datang butuh pertolongan"

   Kebalikan dari sikap si Cakar Harimau, Barok sudah ingin melompat turun mendengar suara yang menggetarkan dirinya barusan.

   Namun rasa malu membuatnya bertahan.

   Tubuhnya yang makin menggigil bukan lagi disebabkan hawa dingin melain-kan suara angker yang barusan menyelinap ke kedua telinganya.

   Tanpa Barok berbuat sama seperti yang dilakukan si Cakar Harimau.

   "Sabda sudah dilepaskan! Nyawa harus putus dari badan!"

   Suara angker itu kembali terdengar, kali ini bertalu-talu. Entah dari mana orang-yang berucap barusan. Terasa dekat sekali, namun tak nampak siapa pun di depan mata.

   "Ampuni nyawa kami ini. Kami datang sebagai sahabat. Bukan mencari musuh...."

   Dan entah dari mana datangnya, mendadak saja kabut tebal yang menutupi Puncak Neraka di hadapan kedua manusia yang tengah bersujud itu tersibak.

   Bila saja keduanya dalam keadaan tegak, tentunya mereka akan terkejut, karena dari sibakan kabut, kini berdiri lima lelaki bertampang angker dengan melipat kedua tangan di dada.

   Memandang dingin pada keduanya yang masih bersujud.

   "Mendengar suaramu, tentunya kau si Cakar Harimau,"

   Salah seorang berucap. Gerakan mulutnya aneh. Hanya membuka mulut sedikit namun suaranya bagai, menggema ke seantero tempat. Penuh getaran sekaligus ancaman.

   "Benar. Aku adalah Wedang Wulung atau yang sering disebut si Cakar Harimau. Sahabatku ini bernama Barok"

   Sahut si Cakar Harimau masih bersujud. Dadanya makin bergetar.

   "Angkat kepala dan silakan bicara. Bila buang waktu percuma, berarti buang nyawa sia-sia."

   Perlahan-lahan si Cakar Harimau mengangkat kepalanya.

   Orang penuh bulu itu terbelalak menatap lima sosok tubuh berdiri angker di hadapannya.

   Untuk kedua kalinya si Cakar Harimau bertemu dengan orang-orang ini.

   Pertama sekali ketika diajak bertandang oleh gurunya si Pawang Harimau.

   Namun saat itu dia tak merasa terkejut atau keder dengan dada kebat-kebit seperti sekarang, karena cara memanggil lima orang angker ini dilakukan oleh gurunya dan tak banyak basa-basi yang terjadi.

   Namun sekarang, tak urung dada orang penuh bulu itu bergetar.

   Merasa si Cakar Harimau mengangkat tubuhnya, Barok pun perlahan-lahan melakukan tindakan yang sama.

   Namun rasa terkejut di hati orang baju hitam ini lebih besar dari yang dirasakan si Cakar Harimau.

   Untuk beberapa saat dia hanya bisa ternganga tak berkesip menatap lima lelaki yang berdiri dengan pandangan dingin.

   Bahkan tubuh gemetarnya mendadak menjadi lebih kencang bergetar.

   Hatinya kebat-kebit.

   Rasa menyesalnya mengikuti usul si Cakar merayapi hatinya.

   Sesaat dia hanya tegak terpaku bagai melihat hantu disiang hari.

   Lima orang yang berdiri di hadapan mereka memiliki postur dan tubuh yang sama.

   Dengan sepasang mata bolong ke dalam dan wajah tirus mengerikan.

   Lipat mata mereka seakan membuat mata yang celong itu bagai tertutup.

   Hidung mereka pesek dengan bibir bagian bawah tebal.

   Rambut mereka putih diikat ke belakang.

   Pakaian mereka berwarna biru kusam dengan jubah hitam panjang yang berkebyar-kebyar dihembus angin.

   Di bahu masing-masing terdapat selendang yang berlainan warna dan selendang itulah yang menandakan siapa nama mereka.

   Julukan Lima Iblis Puncak Neraka sangat santer dua puluh tahun yang lalu, namun tenggelam begitu saja setelah kekejaman mereka "dihentikan oleh Bidadari Hati Kejam.

   Sepak terjang mereka yang malang melintang dalam rimba persilatan, hanya dihentikan dalam waktu tiga kali penanakan nasi oleh si nenek berkonde itu.

   Kekalahan itu memaksa mereka berlalu dari hadapan Bidadari Hati Kejam dengan membawa luka parah pada tubuh dan dendam setinggi langit.

   Kalaupun saat ini Lima Iblis Puncak Neraka tak pernah meninggalkan tempat, dikarenakan mereka tengah memperdalam ilmu guna membalas sakit hati pada Bidadari Hati Kejam.

   Dan sebagai orang rimba persilatan yang meskipun namanya tak terlalu diperhitungkan, si Cakar Harimau sangat tahu soal itu.

   Diam-diam dia pun tahu saat ini Bidadari Hati Kejam sudah muncul kembali ke dunia ramai.

   Cakar Harimau segera membuka mulut, tak mau terlalu lama dicekam rasa kebat-kebit hatinya.

   "Tak mungkin kami berani datang ke tempat ini bila hanya melepas omongan bualan. Terpaksa kami mengganggu kete-nangan Lima Iblis Puncak Neraka. Karena! urusan mendesak dan kami minta bantuan."

   "Bila urusan tak membuat kami tertarik, terpaksa nyawamu sebagai ganti. Tak peduli meskipun kau murid sahabat kami, Si Pawang Harimau,"

   Orang angker berselendang hitam yang berucap. Matanya tajam tak berkesip pada Cakar Harimau. Cakar Harimau mengatupkan kedua tangan didada. Lalu dengan suara penuh kesopanan namun tak mampu menutupi rasa tegangnya dia berucap.

   "Iblis Angin... tak akan berani aku melakukan tindakan bodoh bila hanya mengganggu ketenangan kalian untuk sebuah urusan kecil belaka."

   "Segera ajukan penyebab apa kau datang,"

   Kata yang berselendang hijau.

   "Urusan bisa jadi kapiran bila aku masih berbasa-basi,"

   Batin si Cakar Harimau. Lalu.

   "Lima Iblis Puncak Neraka, Iblis Angin, Iblis Air, Iblis Tanah, Iblis Matahari, dan Iblis Bulan, aku sengaja datang bersama sahabatku sehu-bungan dengan munculnya kembali Bidadari Hati Kejam,"

   Kata Cakar Harimau padahal sama sekali tujuan mereka semula bukan itu.

   Tetapi Cakar Harimau memiliki otak selicik Barok.

   Tentunya dengan mengatakan hal itu, dia yakin Lima Iblis Puncak Neraka akan mau membantu mereka.

   Apa yang diperkirakan orang penuh bulu itu memang benar.

   Karena mendadak saja orang-orang bertampang angker dihadapannya serentak buka suara penuh tekanan yang tak mampu menindih rasa gusar.

   Menyusul suara Iblis Air yang mengenakan selendang warna hijau, penuh kegeraman.

   "Nenek keparat yang membawa luka dendam dalam jiwa dan sukma! Katakan di mana nenek berkonde itu berada?!"

   "Ini tanda-tanda yang bagus sekali hingga bisa membuka jalan,"

   Habis membatin seperti itu, si Cakar Harimau berkata.

   "Saat ini aku tidak tahu di mana dia berada. Tapi Bidadari Hati Kejam telah keluarkan sesumbar dingin untuk membunuh kalian!"

   "Keparat!"

   Iblis Air mendengus setinggi langit. Tangan kanannya mengibas jauh kedepan. Gelombang angin menghempas, bersamaan hawa panas yang luar biasa, menghantam apa saja yang menghalangi terjangannya dan di kejauhan terdengar. suara seperti ledakan.

   "Kedatanganmu mengingatkan kami pada dendam yang harus kami balas pada Bidadari Hati Kejam. Sekian tahun kami berdiam di sini dan menunggu saat yang tepat, nampaknya setan-setan neraka mulai merestui keinginan kami. Bagus, Wedang Wulung! Kami bisa terima kedatanganmu dengan tangan terbuka!"

   Kata yang berselendang merah dan berjuluk Iblis Matahari.

   "Sudah kuduga mereka akan membantu. Kini tiba saatnya untuk mengatakan apa keinginan sebenarnya,"

   Batin Cakar Harimau dengan bibir tersenyum. Habis membatin seperti itu, dia berkata.

   "Di samping itu, ada urusan yang hendak kami utarakan. Kami harap, urusan ini akan berkenan dihati Lima Iblis Puncak Neraka."

   "Kau telah membawa berita bagus bagi pendengaran Lima Iblis Puncak Neraka. Dengan senang hati kami akan mendengarkan setiap ucapan."

   Cakar Harimau melirik Barok, yang dilirik nampak tak melakukan tindakan apa-apa.

   Rupanya, rasa mencekam yang singgah melihat betapa mengerikan wajah-wajah dihadapannya, membuat Barok seolah tak tahu kejadian yang sedang di hadapinya.

   Hal itu membuat gusarnya Iblis Angin.

   "Suruh temanmu yang nampaknya suka menjilat namun penakut itu untuk bicara! Tiga tarikan napas belum terdengar apa-apa, nyawanya akan menjadi penghuni lembah di sebelah timur Puncak Neraka ini."

   Menyadari perubahan wajah dan suara orang-orang di hadapannya Cakar Harimau segera gerakkan tangan, menyenggol tangan Barok dengan sentakan cukup kuat, membuat orang baju hitam itu tersentak.

   Sesaat Barok menjelma menjadi orang dungu, lebih-lebih ketika tatapannya berserobok dengan lima pasang mata tajam yang menusuk bagai hendak menelan bulat-bulat.

   Tak tahu berbuat apa, Barok hanya tertegun dengan mulut terbuka.

   Cakar Harimau menjadi tidak sabaran melihat sikap Barok yang seperti memancing kemarahan orang-orang yang akan memandang sebelah mata bila menurunkan tangan telengas.

   Dia segera berbisik dengan suara ditekan.

   "Katakan apa kemauanmu, jangan menjadi sapi ompong kalau tak ingin nyawa melayang"

   Dengan gugup Barok segera mengubah posisinya. Ia ini menarik dan meng-hembuskan napas guna mengusir kegugupan yang melanda. Setelah dirasa cukup tenang dari tekanan dari sepasang mata Cakar Harimau, dengan hati-hati dia berkata.

   "Namaku Barot Tukang pukul Juragan Lanang. Aku... aku bisa memberikan apa saja yang kalian minta, bila kalian mau membantuku."

   "Tentang apa?"

   Tatapan mata celong ke dalam Iblis Angin membuat Barok menggigil kembali.

   "Gila! Tak kusangka akan bertemu dengan orang-orang seperti ini,"

   Batinnya gelisah.

   Lalu kembali dengan menindih ketakutannya dia beberkan apa yang diinginkannya.

   Selang beberapa saat, terdengar tawa keras menggema di seantero Puncak Neraka, melayang jauh entah ke mana.

   Lima Iblis Puncak Neraka saling pandang sambil tertawa-tawa.

   "Dua tawaran yang menarik telah masuk ketelinga. Tentu tak akan kami buang jadi hampa,"

   Kata Iblis Angin.

   "Cakar Harimau, berita yang kau sampaikan pada kami tak ubahnya irama musik mengalun merdu. Juga apa yang diminta oleh sahabatmu yang penjilat itu. Baik, kami akan penuhi permintaan kalian. Namun... ada satu hal yang perlu kami ketahui lebih dulu."

   "Tentang apakah itu?"

   Cakar Harimau yang bertanya karena merasa lebih baik dia yang melakukan. Melihat keadaan Barok yang mendadak bagai terserang demam, bisa-bisa urusan jadi tambah panjang.

   "Kami menyirap kabar tentang perebutan Batu Bintang yang kini telah ditempa menjadi sebuah senjata sakti yang disebut Pedang Batu Bintang. Juga tentang munculnya seorang tokoh muda yang berjuluk si Rajawali Emas. Adakah kalian pernah mendengar tentang hal itu?". Cakar Harimau terdiam, begitu pula yang dilakukan Barok. Padahal dalam kediaman itu mereka sebenarnya telah mendengar pula tentang Pedang Batu Bintang dan pendekar muda yang berjuluk si Rajawali Emas. Entah mengapa keduanya hanya membisu seribu bahasa tanpa menjawab keingintahuan Lima Iblis Puncak Neraka. Kediaman dua orang itu dianggap oleh orang-orang berwajah angker kalau keduanya tak tahu soal yang mereka tanyakan. Iblis Angin berkata lagi.

   "Orang-orang dungu yang hanya mengandalkan kepandaian menjilat"

   Mendapati ucapan orang, hati Cakar Harimau. menggeram.

   "Setan keparat! Bila saja tak kuketahui betapa tingginya ilmu lima orang keparat ini, sudah kuhajar ucapan dari Iblis Angin."

   Sementara Barok berkata dalam hati.

   "Mengapa Cakar Harimau masih berlama-lama di sini? Apakah dia tidak tahu aku sudah hendak terkencing-kencing?"

   Iblis Angin menggeram kembali.

   "Kalian masih bisa kami terima sekarang ini! Tetapi, kami ingin kalian membawa berita bagus tentang Batu Bintang!!"

   Kendati hatinya geram bukan main mendapati sikap Iblis Angin itu yang seperti menginjak-injak harga dirinya, Cakar Harimau hanya menganggukkan kepala dengan sikap santun.

   Terdengar suara pongah dari orang yang berselendang biru yang dijuluki Iblis Bulan.

   "Sekarang, tinggalkan tempat ini. Tunggu kami di Bukit Watu Gening purnama mendatang. Ingat baik-baik apa yang akan kukatakan ini! Saat kalian datang ke Bukit Watu Gening, kalian harus membawa lima dara perawan yang kami butuhkan. Bila kalian tak datang ke sana dan menyediakan apa yang kami minta, berarti... kalian telah siap mati! Dan tentunya kalian bukanlah orang-orang dungu yang akan melarikan diri dari tangan Lima Iblis Puncak Neraka!"

   Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata, Cakar Harimau segera berdiri dan berbalik setelah menjura.

   Barok sendiri segera melakukan hal yang sama.

   Baginya, inilah jalan terbaik untuk menyingkirkan ketakutannya pada kelima orang bertampang angker ini.

   Agak tergesa keduanya kembali menu-runi Puncak Neraka.

   Mendaki Puncak Neraka ternyata lebih mudah dibandingkan menuruninya.

   Barok sampai terguling dua kali bila saja Cakar Harimau tak segera menangkapnya dan Barok tak segera menyambar akar pohon yang menjulai di bawahnya.

   "Bodoh! Tak kusangka kau menjadi pengecut semacam itu, Barok!!"

   Barok balas membentak.

   "Jangan mengejekku! Apakah kau sebenarnya tidak takut berhadapan dengan manusia-manusia celaka itu!!"

   Cakar Harimau menatap dingin. Ingin rasanya dilepaskan pegangannya pada tangan Barok agar lelaki berbaju hitam itu meluncur deras dan menghantam batu cadas dibawah! Lalu katanya dingin.

   "Lupakan persoalan itu! kita harus memenuhi janji pada Lima Iblis Puncak Neraka bila masih sayang nyawa!!"

   Sepeninggal dua orang itu, Lima Iblis Puncak Neraka tetap berdiri tegak dengan tangan bersedekap di dada.

   Tak dihiraukan betapa angin makin besar dan dingin menusuk.

   Jubah hitam yang mereka kenakan.

   berkebyar-kebyar dimainkan angin dingin.

   * * * Hutan kecil yang ditumbuhi pepohonan tinggi bagai lelap dalam gelapnya malam.

   Angin bagai berlari dari satu pohon ke pohon lain, merayap dan gugurkan dedaunan.

   Sinar rembulan masih terpaku dalam lelapnya awan hitam yang tak mau bergeser sedikit juga dari tempatnya.

   Hingga mengakibatkan suasana di hutan itu tak ubahnya bagai berada dalam sebuah kuburan.

   Seperti dituturkan sebelumnya dalam episode "Wasiat Malaikat Dewa", Tirta alias si Rajawali Emas mendadak muncul menyelamatkan Bidadari Hati Kejam yang dikeroyok tiga dedengkot rimba persi-latan, Manusia Mayat Muka Kuning, Dewi Kematian, dan Ratu Tengkorak Hitam.

   Bila bertempur satu lawan satu, ketiganya bukanlah tandingan Bidadari Hati Kejam.

   Namun menghadapi tiga lawan secara serempak seperti itu, Bidadari Hati Kejam akhirnya terdesak.

   Untungnya dalam keadaan yang kritis, Rajawali Emas muncul dan bertindak cepat, segera diselamatkan-nya nenek berkonde yang mengenakan baju dan kain batik kusam itu.

   Lalu dibawanya ke hutan kecil.

   Sementara itu, Siluman Buta yang mempunyai dendam pada Raja Lihai Langit Bumi, yang sejak pertarungan itu terjadi hanya tegak dengan mempertajam telinganya, segera ketebatkan tubuh berlalu setelah si Rajawali Emas membawa pergi tubuh Bidadari Hati Kejam.

   Sementara tiga dedengkot rimba persilatan dari golongan hitam tak melakukan pengejaran karena gerakan si Rajawali Emas, begitu tangkas dan menghilang secepat angin.

   Salah satu yang ada dalam wasiat si Malaikat Dewa, Tirta alias Pendekar Rajawali Emas diharuskan berguru pada Bidadari Hati Kejam untuk mempelajari ilmu pedang yang akan disamarkan melalui jurus-jurus pengebut si nenek berkonde.

   Namun belum lagi semuanya berlangsung, mendadak saja si Rajawali Emas kelojotan dengan tubuh yang sangat panas luar biasa hingga sekujur tubuhnya menjadi semerah darah.

   Ini disebabkan karena tenaga sakti yang berasal dari Rumput Selaksa Surya yang dihisapnya secara tak sengaja.

   Dan saat Bidadari Hati Kejam kelimpungan hanya bisa terbengong, menatap tak percaya pada pemuda yang lima tahun lalu sangat diinginkannya sekali.

   untuk menjadi muridnya seperti sekarat, muncul satu sosok tubuh yang dikenalnya sebagai Raja Lihai Langit Bumi.

   Nenek berkonde yang duduk di sebatang akar pohon menjulur keluar, menatap tubuh tinggi kurus berpakaian putih dengan selempang kain putih dari bahu kanan ke pinggang kiri yang juga duduk berjarak satu tombak dari tempatnya.

   Orang tua berselempang kain putih itu seluruh tubuhnya dipenuhi bulu yang memutih.

   Wajahnya begitu bijaksana.

   Penuh kelem-butan, begitu pula dengan tutur kata dan perbuatannya.

   "Kapan pemuda itu akan siuman setelah kau mengobatinya, Sirat Perkasa?"

   Tanya si nenek berkonde pada Raja Lihai Langit Bumi yang bernama asli Sirat Perkasa.

   Orang tua yang duduk di hadapannya mengusap jenggot putihnya, mengangkat kepala dan menatap Bidadari Hati Kejam.

   Lalu dengan suara lembut dijawab perta-nyaan si nenek berkonde.

   "Aku tak bisa memastikan kapan dia akan siuman, Kunti Pelangi. Yang pasti, pengaruh dari Rumput Selaksa Surya setelah kuobati untuk sementara akan membuatnya tidak terganggu lagi."

   Nenek berkonde mendengus mendengar jawaban orang.

   "Dia calon muridku seperti yang diwasiatkan Guru padanya. Aku ingin dia sembuh, Sirat."

   Raja Lihai Langit Bumi tersenyum.

   "Urusan sembuh dan penyembuhan hanya dipegang langsung oleh Yang Maha Agung. Aku hanya perantara belaka. Kalau Yang Maha Agung mengizinkan dia akan siuman cepat, maka semuanya akan cepat."

   "Berbicara denganmu, tak ubahnya berbicara dengan seorang pendeta, Sirat!"

   Bidadari Hati Kejam kembali mendengus. Kali ini dari mulutnya.

   "Heran! Tak berubah meski lama kita tak bersua!"

   "Tetapi, aku tak heran mendapati nada ucapanmu yang selalu keras dan diiringi bentakan,"

   Sahut Raja Lihai Langit Bumi masih tersenyum. Lalu segera berucap begitu melihat wajah Bidadari Hati Kejam berubah.

   "Aku berani berkata, menjelang pagi pemuda itu akan sembuh. Dan tak kusangka dia memiliki keberuntungan sempurna dalam hidupnya."

   Tak menghiraukan kata-kata pertama Raja Lihai Langit Bumi, Bidadari Hati kejam segera bertanya.

   "Apa maksudmu?"

   "Kunti Pelangi... bertahun-tahun orang meributkan tentang Batu Bintang yang bisa ditempa menjadi sebuah senjata maha sakti. Dan kini... pemuda yang bernama Tirta telah mendapatkannya, bahkan telah menempanya menjadi sebuah senjata yang disebut Pedang Batu Bintang. Secara tidak langsung, dia telah menjadi majikan dari Bwana, burung rajawali keemasan peliharaan Guru. Kesempurnaan yang dimilikinya sebagai seorang pen-dekar, dia berhasil menghisap Rumput Selaksa Surya yang tak banyak diketahui oleh orang. Dan dia telah memiliki sebuah tenaga dahsyat bila dia bisa mengen-dalikannya."

   Bidadari Hati Kejam menatap sahabat-nya yang sekaligus saudara seperguruannya dengan kening berkerut.

   "Kau nampaknya sangat mengetahui tentang hal itu, Sirat. Apakah kau bisa mengajarkan padanya bagaimana cara kendalikan tenaga yang ada ditubuhnya?"

   Tanya si nenek kemudian. Raja Lihai Langit Bumi tersenyum.

   "Bukankah dia calon muridmu, Kunti?"

   "Setan tua yang banyak omong! Jawab saja pertanyaanku!"

   Maki Bidadari Hati Kejam dengan mulut berbentuk kerucut mendengar kata-kata yang masuk dalam telinganya sebagai ejekan.

   Makian itu tak membuat gusar Raja Lihai Langit Bumi.

   Dia sangat hafal bagaimana perangai Bidadari Hati Kejam, dan hal itu hanya merupakan ingatan belaka saat mereka masih sama-sama muda dan menuntut ilmu pada Sepuh Mahisa Agni atau si Malaikat Dewa.

   "Kalau kau menyetujui dia menjadi muridku pula, ada baiknya kukatakan padanya. Namun kalau kau tak menyetujui dia menjadi muridku, aku akan tetap menerangkan tentang rahasia tenaga Rumput Selaksa Surya padanya. Dari penglihatanku yang mulai menua ini, aku menangkap gelagat kalau dia akan menjadi tokoh besar yang akan disegani kawan maupun lawan."

   "Bicara muter-muter tak karuan! Mengapa tidak langsung pada sasaran?"

   Sentak Bidadari Hati Kejam melotot.

   "Aku memang mengetahui soal rahasia Rumput Selaksa Surya dan aku akan mengajarkan padanya bagaimana cara mengendalikan tenaga itu."

   Mendapati jawaban orang, Bidadari Hati Kejam senyum dengan desahan lega.

   Dialihkan pandangan pada Tirta alias si Rajawali Emas yang terbujur di hadapannya, di antara tempatnya dan tempat duduknya Raja Lihai Langit Bumi.

   Masih memandang pada Tirta, telinganya segera mendengar ucapan Raja Lihai Langit Bumi lagi.

   "Yah... dugaanku pun memang demikian. Dia akan menjadi seorang pendekar besar. Hanya yang pikiranku heran, sepertinya sari Rumput Selaksa Surya telah lama dihisapnya. Lalu, siapa yang telah mengobatinya hingga dia masih bisa bertahan? Menurut penglihatanku tenaga surya yang telah bersemayam dalam tubuh pemuda ini, yang tiba-tiba bisa muncul mendadak, namun sepertinya telah ada yang mengatur hingga kemunculannya hanya tiga bulan sekali. Aku bisa menduga siapa yang telah melakukannya, Kunti"

   "Apa itu?"

   Sentak Bidadari Hati Kejam, segera tolehkan kepala lagi pada sahabatnya.

   "Mengingat pemuda ini telah mendapatkan Batu Bintang yang ditempa menjadi Pedang Batu Bintang, tentunya dia telah menjadi majikan Bwana, burung Rajawali raksasa peliharaan Guru. Tak mustahil dia juga mendekam di Gunung Rajawali dan tentunya, ketika dia berada dalam keadaan kelojotan dan parah akibat tenaga surya yang keluar dari dalam tubuhnya, hanya seorang yang bisa menyembuhkannya."

   "Guru?"

   Tebak Bidadari Hati Kejam. Raja Lihai Langit Bumi menganggukkan kepala.

   "Tak salah. Hanya gurulah yang bisa melakukan semua itu. Dan tentunya telah mengendalikan tenaga surya itu hingga muncul setiap tiga bulan. Kalau tidak, lima tahun yang lalu bocah ini sudah berteman cacing tanah."

   "Kalau begitu, mengapa Guru tidak mengobati atau mengajarkan bagaimana cara mengendalikan tenaga surya itu padanya?"

   Tanya Bidadari Hati Kejam pula.

   "Menurut Guru, dia, tak pernah tahu cara kendalikan tenaga surya itu. Tentang bagaimana aku bisa tahu, aku telah mempergunakan ilmu 'Peraba Sukma' bertahun-tahun untuk meneliti dan menduga bagaimana cara mengendalikan tenaga surya dari sari Rumput Selaksa Surya. Tetapi, aku yakin kalau Guru sebenarnya tahu rahasia mengendalikan tenaga surya itu. Hanya aku tak tahu mengapa Guru mengatakan tidak tahu."

   "Tak mustahil manusia satu ini bisa mengendalikan ilmu, menemukan rahasianya meskipun dia tak pernah menghisap sari Rumput Selaksa Surya."

   Sehabis Bidadari Hati Kejam membatin, hutan kecil yang diselimuti kegelapan itu pun makin membiaskan kesunyian.

   Sampai kemudian terpecahkan oleh kata-kata Bidadari Hati Kejam bagai menyentak dan segera mengangkat kepalanya menatap tak berkedip pada Raja Lihai Langit Bumi.

   "Ada pertanyaan yang telah lama singgah di benakku, Sirat! Pertanyaan yang kutahan selama lima tahun sebelum berjumpa dengan kau hari ini, Dan jadi sebuah lingkaran yang berputar-putar di benak tua ini dan inginkan temukan jawab."

   Mendapati suara dan tatapan Bidadari Hati Kejam seperti menekan, Raja Lihai Langit Bumi menarik napas pendek dan menatap sahabatnya itu.

   "Jelas sekali kalau yang akan dibicarakannya ini sesuatu yang sangat sulit,"

   Batinnya. Setelah itu, dengan suara tetap perlahan orang tua berselempang kain putih itu berkata.

   "Pertanyaan apa yang mengganggu benakmu itu, Kunti? Bila melihat sikapmu, nampaknya kau benar-benar telah memendamnya sekian lama."

   "Dia nampaknya memang tidak tahu apa yang kupikirkan selama ini. Baiknya kukatakan saja sekarang."

   Batin Bidadari Hati Kejam dan segera ajukan pertanyaan.

   "Ada hubungan apa kau dengan Ratu Tengkorak Hitam?". Kalau tadi Raja Lihai Langit Bumi berkata perlahan, kali ini bersuara agak sedikit keras mengandung keheranan.

   "Mengapa kau bertanya soal itu? Lalu menyambung dalam hati.

   "Pertanyaan yang aneh. Sudah tentu aku tak punya hubungan apa-apa dengan nenek baju hitam yang dikenal sebagai tokoh rimba persilatan Golongan sesat. Sampai saat ini aku tak punya silang sengketa dengannya, akan tetapi, bila melakukan perbuatan hina di depan mataku jelas tak akan bisa kubiarkan."

   Seperti diceritakan pada episode pertama "Geger Batu Bintang", Bidadari Hati Kejar pernah bertarung dengan Ratu Tengkorak Hitam.

   Dalam satu gebrak, Bidadari Hati Kejam sudah mampu meretasi serangan Ratu Tengkorak Hitam.

   Namun, sesuatu yang mengejutkannya terjadi.

   Karena Ratu Tengkorak Hitam mempergunakan salah satu jurus istimewa yang dimiliki sahabatnya ini, Raja Lihai Langit Bumi.

   Dan begitu lama pertanyaan serta kehe-ranan Bidadari Hati Kejam terpendam.

   Dia bertekad, kalau memang Raja Lihai Langit Bumi telah menurunkan jurus saktinya pada Ratu Tengkorak Hitam, dia akan lakukan satu tuntutan dan menjatuhkan hukuman dalam satu pertarungan.

   Dengan rasa kesal yang tiba-tiba muncul, Bidadari Hati Kejam mengutarakan soal itu.

   "Aneh! Bagaimana Ratu Tengkorak Hitam bisa memiliki jurus yang berbahaya itu?"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi bagai gumaman. Lalu mengalihkan pandangan pada sahabatnya yang masih memandangnya tak berkedip.

   "Mungkinkah yang kau lihat itu jurus 'Undang Maut Sedot Darah', Kunti?"

   "Meskipun kita mempelajari ilmu dari satu guru dan telah memiliki ilmu-ilmu yang berbeda, tetapi kita pernah muncul dihadapan Guru. Sehingga, aku tahu semua ilmu yang kumiliki. Dan yang kulihat saat Ratu Tengkorak Hitam menyerangku, dia mempergunakan jurus 'Undang Maut Sedot Darah'. Katakan yang sesungguhnya, dan aku tak segan-segan untuk mengepruk kepalamu bila kau memang menurunkan jurus itu pada nenek busuk berbaju hitam panjang itu..."

   Raja Lihai Langit Bumi mendesah pendek. Ucapan Kunti Pelangi satu hal yang wajar. Aku pun tak akan melawan bila memang dia menghendaki seperti itu. Tetapi, aku tak pernah menurunkan ilmu pada siapapun juga."

   Setelah membatin begitu, dengan suara pelan agar tidak menambah kecurigaan Bidadari Hati Kejam, Orang tua berselempang kain putih berujar.

   "Aku tak mengerti bagaimana nenek baju hitam dari Sungai Terkutuk itu bisa menguasai jurus itu, Kunti."

   "Jawabannya hanya ada padamu, Sirat."

   "Dan jawaban itu sudah kukemukan, Kunti. Aku bukan tolol yang menurunkan ilmu pada manusia keji seperti Ratu Tengkorak Hitam. Kupertaruhkan segala kehormatan yang ada pada diriku bila ternyata aku berdusta dalam hal ini."

   Mengenai kejujuran, Bidadari Hati Kejam tak lagi menyangsikan soal itu pada saudara seperguruannya ini.

   Namun meskipun demikian, hatinya masih diliputi rasa heran yang tinggi bagaimana Ratu Tengkorak Hitam bisa memiliki jurus 'Undang Maut Sedot Darah'.

   "Baiklah Sirat. Kendati demikian, di hati kecilku masih tersisa rasa tak percaya dengan ucapanmu itu. Apakah kau melupakan tentang jurusmu sendiri yang banyak ditakuti oleh para tokoh rimba persilatan baik dari golongan lurus maupun golongan sesat?"

   Usik Bidadari Hati Kejam kemudian. Mata kelabunya tak berkedip menatap pada saudara seperguruannya yang memiliki sifat sungguh berbeda dengannya. Raja Lihai Langit Bumi hanya menganggukkan kepalanya.

   "Aku mengerti apa yang kau katakan itu, Kunti"

   "Bagus! Kembali kukatakan, apa pun yang saat ini kau katakan, aku bisa mempercayainya. Karena selain Eyang Guru tak seorang pun bisa menandingi kejuju-rannya selain dirimu, Sirat. Tetapi akan kulacak tentang jurusmu yang berpindah tangan kepada Ratu Tengkorak Hitam."

   Raja Lihai Langit Bumi hanya diam saja.

   Di batinnya ada sesuatu yang terasa mengusik hatinya.

   Sungguh, sesuatu yang cukup membuatnya tegang, Entah kenapa.

   Sementara itu, merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi.

   Bidadari Hati Kejam terdiam.

   Kendati demikian, hatinya masih bertanya-tanya soal jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang dimiliki oleh Ratu Tengkorak Hitam.

   Begitu juga yang dilakukan orang tua berselempang kain putih yang bijaksana.

   Terdiam sambil mengusap-usap jenggot putihnya.

   Wajahnya yang jernih, dengan kebijaksanaan yang nampak, semakin memperjelas bagaimana hati lelaki tua itu.

   "Untuk saat ini aku bisa mempercayai setiap ucapannya"

   Entah apa yang kemudian dipikirkan keduanya.

   Yang terbentang kemudian, kesunyian yang makin meraja.

   * * * Setelah bertemu dengan Dewi Kematian yang dulu adalah kekasihnya, Manusia Mayat Muka Kuning bagai melupakan urusan-urusan yang ada di depan matanya.

   Dengan nafsu yang berpendar-pendar, orang tua kurus tanpa baju yang menonjolkan tulang belulang pada tubuhnya bagai menemukan pelampiasan dahaga yang telah lama ditahan.

   Dituntaskan seluruh apa yang dia inginkan pada kekasihnya yang juga menyambutnya dengan bersemangat.

   Dua hari dua malam keduanya berada dalam sebuah gubuk di sebuah hutan kecil sebelah utara Gunung Slamet.

   Menikmati apa yang bisa mereka reguk.

   Terutama Manusia Mayat Muka Kuning yang terbahak-bahak mendapati apa yang selama ini telah berlalu dari dirinya.

   Keduanya bagai sepasang remaja yang dirasuk asmara tinggi.

   Melupakan segala urusan yang terpentang di depan mata, dan mengacuhkan Ratu Tengkorak Hitam yang berdiri di luar gubuk itu dengan menggerutu panjang pendek dan wajah penuh kemuakan.

   "Keparat betul dua manusia sialan ini!"

   Batin si nenek baju hitam panjang sambil terus mengunyah susurnya. Cairan susur warna merah yang telah bercampur dengan ludah busuknya menyembur ketika dia berkata dengan menindih rasa jengkel dan gusar dalam dada.

   "Bila aku terus menerus jadi kambing congek begini, Pedang Batu Bintang yang sudah berada di tangan si Rajawali Emas bisa berpindah tangan seorang yang menginginkannya. Celaka! Aku harus lebih cepat bertindak. Bodohnya aku yang mau menuruti perintah Dewi Kematian. Persetan dengan segala ancaman yang dilontarkannya. Urusan bela-kangan! Bila kepergok dan nyawaku terancam, aku bisa saja mengatakan kalau semua ini adalah untuknya. Setan keparat!"

   Wajah nenek berbaju hitam panjang itu berubah sikap geramnya, nampak dia lebih perlahan mengunyah susurnya, menandakan hatinya diliputi kebimbangan.

   "Aku tahu, urusan Pedang Batu Bintang tak mudah. Bila aku telah bersatu dengan Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian segalanya akan berjalan dengan mulus. Bila Pedang Batu Bintang telah pindah tangan, akan kuusahakan untuk mencurinya dengan cara licik! Dan lagi yang sampai sekarang kuingat, saat lima tahun lalu dimana bocah yang kini telah tumbuh menjadi pemuda perkasa dan berjuluk si Rajawali Emas tak mudah kutangkap begitu saja. Entah bagaimana sekarang. Julukan si Rajawali Emas begitu santer sekali. Tetapi masa bodoh! Dua hari dua malam aku selalu mendengar suara mesum kedua manusia laknat itu! Keparat busuk! Lebih baik aku berlalu dari sini daripada telingaku makin menjadi pekak!"

   Memikir sampai di sana, Ratu Tengkorak Hitam menolehkan kepala pada gubuk yang berjarak sepuluh tombak dari tempatnya berdiri.

   Si nenek ingin sekali menghempaskan gubuk itu dengan sekali pukul, karena tak tahan mendengar suara mesum dari sana! Namun nenek baju hitam panjang itu masih bisa menggunakan otaknya untuk tidak melakukan tindakan nekat.

   Karena bisa-bisa nyawanya yang akan putus ditengah jalan sebelum didapatkan apa yang selama ini di inginkan.

   Menghadapi Dewi Kematian saja dia masih jeri, apalagi ditambah dengan Manusia Mayat Muka Kuning.

   Ditolehkan pandangannya lagi ke muka.

   Tanpa buang waktu lagi, Ratu Tengkorak Hitam segera berkelebat tinggalkan tempat itu dengan mulut mendumal tak karuan.

   Sementara itu, dua anak manusia yang berbeda jenis di dalam gubuk, beberapa lama kemudian terkulai setelah memacu diri dan telentang menatap langit-langit gubuk yang sudah mau ambruk.

   Desahan napas Manusia Mayat Muka Kuning lebih memburu dari biasanya.

   Berkali-kali sepasang mata yang menyipit itu dipejam buka.

   Bibirnya yang keriput dan pucat itu berulangkali tersenyum.

   Lalu perlahan-lahan ditolehkan kepala menatap Dewi Kematian yang masih polos dan terbaring disisinya.

   Tangannya dengan nakal meraba payudara Dewi Kematian yang besar dan putih itu.

   "Aku merasa hidup ini lebih berarti sekarang, Dewi."

   Suaranya bagai tersekat ditenggorokan.

   "Segala urusan yang memusingkan kepala menguap beberapa lama. Tak akan kupedulikan lagi segala persoalan bila terus menerus seperti ini bersamamu, Dewi."

   Dewi Kematian membuka kedua matanya, melirik dengan sinar manja pada orang tua yang telentang di sisinya. Dadanya yang penuh bergerak naik turun, membuat mata celong ke dalam orang tua muka kuning semakin liar dan tangan kanan kurusnya makin buas.

   "Begitu pula denganku."

   "Aku senang mendapati jawaban seperti itu, Dewi"

   Manusia Mayat Muka Kuning mengangkat tangan kanan Dewi Kematian, lalu mengecupnya hingga mulutnya jadi mencang-mencong, Lalu seolah memberi tahu berkata pelan.

   "Nenek jelek baju hitam yang selalu mengunyah susur itu sudah berlalu dari sini."

   Dewi Kematian pasang senyum.

   Tak usah jadikan masalah soal itu.

   Sengaja kubiarkan dia berlalu, karena dia tak akan bisa melarikan diri dari tanganku.

   Bila nenek keparat itu telah mendapatkan Pedang Batu Bintang senjata yang menjadi idamanku, barulah akan kulepas nyawanya dari badan busuk-nya!"

   Dengan bernafsu dan terkekeh pelan, orang tua berdada kurus yang menonjolkan tulang-belulangnya menciumi leher jenjang Dewi Kematian yang saat ini tak mengenakan cadar suteranya.

   Untuk beberapa saat dilakukannya perbuatan itu.

   Lalu diangkat kepalanya dan menatap wajah jelita Dewi Kematian dengan tatapan penuh kagum bercampur heran.

   Keheranan yang pertama kali dirasakan orang tua kurus muka kuning itu saat Dewi Kematian membuka cadar suteranya.

   Dia sampai terperangah tak tahu harus berbuat apa.

   Pandangannya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

   "Puluhan tahun berlalu sudah tanpa terasa hingga umur terus bekerja dan menua. Jasadku telah berubah dimakan usia. Tetapi, Dewi... kulit tubuhmu, kemulusan dirimu dan raut wajahmu, tak ubahnya tetap berusia dua puluh tahun."

   Dewi Kematian terkikik mendengarnya. Lalu dengan suara tak bisa menutupi bangganya dia berucap.

   "Inilah sebuah keistimewaan yang kumiliki."

   "Bisakah kau mengatakan rahasianya padaku?"

   Aju Manusia Mayat Muka Kuning penuh harap.

   "Bermimpilah kau, Orang Tua. Bila aku bersedia mengatakan semua ini. Aku mau tidur bersamamu lagi karena aku membutuhkan kehangatan setelah kutinggalkan muridku si Lanang itu. Kalau sudah kudapatkan pemuda lain yang tentunya lebih muda, perkasa dan gagah dari orang tua keparat ini, mana mau aku tidur dengannya lagi,"

   Batin Dewi Kematian. Lalu dengan suara manja dia berkata.

   "Kau masih sangat tampan dan perkasa. Untuk apa kau menginginkan rahasia awet muda yang kumiliki? Apakah kau hendak memancing cemburuku?"

   Senang bukan buatan Manusia Mayat Muka Kuning mendapati kata-kata orang. Gairahnya menyentak naik, suaranya makin tersekat di tenggorokan dan gerakan tangannya yang tadi bermain di dada Dewi Kematian pun mulai turun.

   "Kau benar-benar istimewa, Dewi... aku ingin mengulanginya lagi."

   Akan tetapi, Dewi Kematian yang sebenarnya sangat muak tidur dengan Manusia Mayat Muka Kuning dengan halus menolak.

   "Bukan aku tak mau melakukannya lagi. Akan tetapi urusan masih membentang. Kita masih punya kesempatan. Kau mengerti, maksudku?"

   Orang tua yang dadanya bertonjolan tulang itu mendengus. Tak dapat menekan kecewa dan dongkolnya. Tapi mulutnya berbunyi juga.

   "Aku mengerti"

   Dengan manja Dewi Kematian mengusap wajah orang tua di sampingnya. Wajah yang seluruhnya berwarna kuning, pucat bagai mayat, menggigil penuh gairah.

   "Kau akan bisa terus menerus menikmati apa yang kau inginkan. Tetapi, aku menginginkan Pedang Batu Bintang terlebih dulu,"

   Mendengar kata-kata perempuan montok di sampingnya. Manusia Mayat Muka Kuning mengumbar tawa.

   "Pedang Batu Bintang. Pedang sakti yang menjadi rebutan banyak orang. Jangan kuatir, Dewi. Pedang Batu Bintang akan berpindah tangan."

   "Oh! Kau mau mendapatkannya untukku?"

   Manusia Mayat Muka Kuning mengang-guk. Lalu sambil mengecup bibir merah basah Dewi Kematian, dia berbisik lirih.

   "Untukmu, apa pun akan kulakukan."

   "Bagus! Dengan begitu aku tak akan perlu terlalu lama turun tangan"

   Batin Dewi Kematian.

   Lalu dengan gerakan gemulai dan penuh rangsangan, Dewi Kematian segera mengenakan pakaiannya kembali yang terbuat dari sutera yang indah.

   Pakaian yang dibagian dadanya agak rendah, hingga memperlihatkan sembulan buah dadanya yang putih, gempal dan mulus.

   Pakaian bagian bawahnya yang panjang sampai mata kaki, pun terbelah hingga pangkal pahanya.

   Lalu dengan perlahan dipakainya kembali cadar sutera untuk menutupi wajah jelitanya.

   Rupanya, di balik cadar itu tersembunyi wajah tak ubahnya milik bidadari dari kayangan.

   Manusia Mayat Muka Kuning sendiri sudah mengenakan celana pangsinya yang berwarna hitam.

   Tak mengenakan baju hingga tulang-belulang di dadanya nampak jelas.

   Dia segera berdiri dengan tubuh agak mencangkung ke depan.

   Dalam posisi berdiri seperti itu kengerian bagi yang melihatnya akan rasa takut menerpa di hati.

   Sekujur tubuhnya berkulit hitam, tetapi wajahnya berwarna kuning pekat dan pucat seperti mayat.

   Dia mendahului keluar dari gubuk.

   Saat melangkah seperti tak memijak tanah, begitu ringannya.

   Rambut panjangnya hingga ke punggung berlompatan menebarkan bau tak sedap.

   Menyusul bau tak sedap itu, aroma harum penuh rangsangan terhempas dihembus angin.

   Aroma harum yang menguap dari tubuh Dewi Kematian pun tertangkap oleh hidung Manusia Mayat Muka Kuning.

   "Aneh Ketika dia dalam keadaan polos, aroma harum itu seolah tak tercium. Meskipun begitu bau tubuhnya sangat menggairahkan sekali. Dan sekarang, entah dari mana asalnya aroma harum itu. Dan wajahnya... Mengapa masih seperti dulu ketika pertama kali aku bertemu dengannya?"

   Batin orang tua muka kuning.

   Dan aroma harum makin menguap bersama dengan munculnya sosok tubuh perempuan berbaju dan bercadar sutera, berdiri di sisi Manusia Mayat Muka Kuning.

   Dewi Kematian menatap sejenak orang tua muka kuning itu, lalu mengalihkan pandangan kedepan.

   "Sekarang! kita teruskan langkah mencari si Rajawali Emas yang membawa Pedang Batu Bintang,"

   Kata Dewi Kematian dengan suara dingin.

   "Ya, sekaligus mencari Bidadari Hati Kejam. Nenek berkonde itu tak akan lepas dari kematian!"

   Habis kata-kata Manusia Mayat Muka Kuning, mendadak saja tubuh Dewi Kematian sudah melesat. Manusia Mayat Muka Kuning mendengus.

   "Dia mau uji ilmu peringan tubuhku rupanya. Baik! Dia akan menemui batunya! Dan pengalaman dua hari dua malam itu, sungguh tak akan bisa kulupakan. Lebih terasa dari yang pernah kulakukan dulu padanya. Masih kupendam heran dan penasaran mengetahui dirinya masih demikian muda. Suatu saat, aku bertekad untuk tahu bagaimana membuat diri masih begitu muda meskipun tubuh sudah dimakan usia."

   Habis membatin seperti itu, tubuh orang tua muka kuning pun melesat, meninggalkan tempat itu menyusul Dewi Kematian.

   Hidungnya yang pesek masih merasakan aroma wangi yang menguap dari tubuh perempuan bercadar sutera itu.

   Makin membuatnya bersemangat untuk mengejar.

   * * * Kokok ayam jantan di kejauhan mulai terdengar, bersahut-sahutan, bertalu-talu dan menggemarentakkan hutan kecil itu.

   Di ufuk timur sang mentari mulai melepaskan panah merahnya dari busur lingkaran bola api raksasanya.

   Namun hanya sedikit cahaya yang bisa menerobos hutan kecil yang dipenuhi pepohonan tinggi dan rimbun itu.

   Dua orang tua yang memiliki watak berbeda sejak semalam tak ada yang memejamkan mata.

   Mulut keduanya terkan-cing rapat, memikirkan hal-hal yang ada dibenak masing-masing tanpa diketahui apa yang dipikirkan oleh salah seorang dari mereka, juga tak ingin apa yang ada di benak mereka diketahui satu sama lain.

   Bidadari Hati Kejam membatin memikirkan kata-kata Raja lihai Langit Bumi semalam.

   "Ini sebuah teka-teki yang membentang didepan mata. Sangat celaka bila Ratu Tengkorak Hitam mempergunakan jurus 'Undang Maut Sedot Darah' untuk membunuh siapa saja yang diinginkannya. Tak mustahil orang-orang rimba persilatan yang telah mengenal jurus itu sebagai milik sahabatku ini, akan mencari dan berusaha membunuhnya. Celaka! Urusan baru terpentang di depan mata, sudah membuyar rengkah. Tak bisa dibiarkan terus menerus bila tak ingin semakin jadi berubah arah."

   Sementara Raja lihai Langit Bumi juga membatin.

   "Kalau yang di katakan Kunti Pelangi tentang Ratu Tengkorak Hitam yang menguasai jurus 'Undang Maut Sedot Darah' kemungkinan hanya seorang yang bisa mengajarinya. Bukan Sepuh Mahisa Agni yang berjuluk Si Malaikat Dewa. Ya... hanya seorang... yang sekarang berada entah di mana. Urusan bisa jadi panjang. Lama aku undur diri dari dunia ramai ini tetapi harus berhadapan dengan urusan yang lama terpendam dan kini terbentang."

   Dalam kepekaan yang bisa melanda dan kesunyian yang mendera, mendadak terdengar suara erangan pelan dari hadapan mereka. Bidadari Hati Kejam lebih dulu bertindak sesuai dengan sifatnya yang tak sabaran mendapati Tirta yang mengerang barusan.

   "Bagaimana keadaanmu?"

   Tanyanya ketika pemuda tampan berambut gondrong dan kenakan pakaian keemasan dengan celana panjang warna kebiruan itu membuka mata.

   Lalu segera pejamkan kembali.

   Masih memejamkan kedua matanya karena cukup silau saat terkena terobosan kecil matahari dijawabnya pertanyaan yang dilontarkan untuknya.

   "Aku... sudah enakan, Nek."

   "Bocah kebluk! Panggil aku guru."

   Sentak Bidadari Hati Kejam dengan mata melotot. Tirta tersenyum dan perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. Kedua kakinya masih berselonjor. Ada rasa pegal yang cukup menyiksa.

   "Ya, Guru. Apakah Eyang telah datang ke sini dan mengobatiku?"

   Tanya Tirta kemudian.

   "Bodoh! Kau lihat disebelah kananmu itu! Dia yang mengobatimu!!"

   Bentak Bidadari Hati Kejam, namun dalam hati.

   dia membenarkan apa yang dikatakan Raja Lihai Langit Bumi tentang siapa yang pertama kali mengobati pemuda berbaju keemasan ini dari pengaruh Rumput Selaksa Surya dan menjadikannya muncul setiap tiga bulan sekali.

   Tirta segera mengalihkan pandangan dan seolah baru menyadari ada orang tua berbaju putih dengan selempang kain putih itu dia tertegun.

   Hanya sejenak keter-tegunannya, kejap kemudian dia sudah menangkupkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit dan berujar, Terima kasih atas pertolonganmu, Guru...."

   Raja Lihai Langit Bumi tersenyum melihat sopan santun yang diperlihatkan si pemuda.

   "Seperti dugaanku. Tadi dia menyebutkan 'Eyang', pasti yang dimaksudnya adalah Guru Sepuh Mahisa Agni alias si Malaikat Dewa yang telah menolongnya,"

   Batinnya lalu berkata.

   "Hanya pertolongan yang tak seberapa". Meskipun mendengar ucapan si kakek yang bernada merendah, tetapi Tirta langsung teringat akan wasiat Malaikat Dewa. Kembali ditegakkan tubuhnya dan memandang penuh kagum pada orang tua berkain putih yang diselempangkan di bahu kanan menuju ke lingkar perut bagian kiri.

   "Guru... apakah Guru yang berjuluk Raja Lihai Langit Bumi?"

   Tanyanya sopan. Membias lagi kata-kata Eyang Malaikat Dewa, temui Raja Lihai Langit Bumi Hanya dialah orang yang bisa mengobatimu. Dan mudah-mudahan dia telah menemukan rahasia dari Rumput Selaksa Surya"

   Kembali orang tua itu tersenyum.

   "Entah siapa yang menjuluki seperti itu. Tahu-tahu nama asliku seolah menguap begitu saja dan menjadi sebutan Raja Lihai Langit Bumi."

   Kembali Tirta membungkukkan tubuh.

   "Terimalah salam hormat dariku yang bodoh ini, Guru."

   Raja lihai Langit Bumi mengulapkan tangannya.

   "Bangunlah. Kau telah pulih kembali sekarang."

   "Tetapi... aku butuh pengarahan Guru untuk menuntaskan dan memulihkan tenaga yang tiba-tiba bisa datang bergejolak dalam tubuhku ini,"

   Kata Tirta yang semakin yakin siapa lelaki tua berwajah bijak di sampingnya.

   "Hmm... Tirta, aku memang sudah temukan rahasia Rumput Selaksa Surya. Meskipun aku tak pernah merasakan tenaga apa yang keluar dari hasil Rumput Selaksa Surya, namun penjelasan Sepuh Mahisa Agni atau Eyang gurumu itu padaku, aku bisa menduga di mana letak titik rahasia Rumput Selaksa Surya,"

   Sahut Raja Lihai Langit Bumi.

   "Kuucapkan terima kasih bila Guru mau memberitahuku beberapa petunjuk,"

   Kata Tirta penuh harap. Mendadak disela-sela perkataan si Rajawali Emas dan Raja Lihai Langit Bumi, terdengar tawa nyaring yang berasal dari Bidadari Hati Kejam.

   "Bagus, bagus itu! Berarti... kau akan mempunyai dua orang guru, Tirta!"

   "Terima kasih, Guru. Aku sangat berterima kasih sekali."

   "Aku tak suka berbasa-basi begitu. Raja Lihai Langit Bumi... ada baiknya kau segera mulai ajarkan tentang rahasia Rumput Selaksa Surya padanya. Aku juga ingin tahu tentang rahasia apa yang terkandung pada Rumput Selaksa Surya yang telah berumur puluhan tahun dan telah dihisap oleh bocah kebluk yang kini telah tumbuh jadi pemuda gagah!"

   Raja Lihai Langit Bumi hanya tersenyum.

   "Memang itulah yang harusnya kita mulai lebih dulu, mengingat bila pemuda ini telah berhasil mengendalikan tenaga yang ada pada tubuhnya, dia akan lebih tangguh dan cepat menerima ajaranmu. Bidadari Hati Kejam."

   "Masih banyak ucap! Ayo, cepat! Aku sudah tak sabaran untuk melihatnya! Hei, Bocah Kebluk! Kenapa kau cengengesan, hah?"

   Bentak Bidadari Hati Kejam pada Tirta yang cengengesan melihat sikap Bidadari Hati Kejam. Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan hasil rajahan Sepuh Mahisa Agni berkata.

   "Apakah kalau kau tidak membentak-bentak mulutmu jadi bisulan, Guru?"

   "Bocah kebluk! Banyak omong kau ini!"

   "Sudah, sudah,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi menengahi. Lagi-lagi tak merasa aneh atau gusar mendapati sikap Bidadari Hati Kejam seperti itu.

   "Hmm... Tirta, sebelum kita berusaha kendalikan tenaga surya yang muncul pada tubuhmu itu, aku akan terangkan lebih dulu tentang Rumput Selaksa Surya."

   "Baik, Guru."

   Tirta segera mengambil posisi tegak dengan kaki bersila. Rasa pegal di tubuhnya sudah menghilang. Sementara itu Bidadari Hati Kejam masih berkomat-kamit tak karuan.

   "Kekuatan yang ada pada tubuhmu yang berasal dari rumput langka dari sarinya yang kau hisap, akan membangkitkan aliran darah berkecepatan lebih dari biasanya. Perubahan aliran darah itu tak bisa dihitung dengan mudah bagaimana terjadinya. Tetapi aku yakin, Eyang Guru telah mengobatimu hingga perubahan aliran darah yang memancarkan hawa panas luar biasa dalam tubuhmu, bisa diatur setiap tiga bulan sekali. Bila tak segera diobati, akibatnya aliran darah dalam tubuhmu yang berpusat pada jantung tak akan bisa dibendung. Dan, akan meledakkan urat-urat di tubuhmu, serta merontokkan jantungmu. Di samping itu, tenaga yang mengalir dalam tubuhmu itu akan kembali berpusat pada pusar. Karena pusarlah seluruh tenaga yang ada akibat dari hisapan sari Rumput Selaksa Surya itu berdiam. Hanya bisa dikendalikan dengan sempurna bila kau sudah mengetahui bagaimana melemahkannya. Perlu diketahui pula, tenaga surya yang akan bisa kau kendalikan, akan menjelma menjadi tenaga yang berkekuatan dahsyat dengan rasa panas seperti matahari berjarak sejengkal,"

   "Luar biasa, juga begitu mengerikan, Guru,"

   Desis Tirta dengan mata melebar.

   "Benar, Tirta. Lebih mengerikan lagi bila ternyata yang telah menghisap sari rumput itu tak mampu mengendalikannya. Dan hasil yang terjadi bila pengendalian tenaga surya dalam tubuhmu itu berhasil diatasi, adalah sebuah tenaga yang sangat mengerikan. Kau harus berhati-hati mempergunakan tenaga surya dalam tubuhmu itu, Tirta. Juga, dengan apungan tenaga panas dalam tubuhmu yang mampu mengatasi hawa dingin sedingin salju di Puncak Himalaya, kau bisa melesatkan dan melontarkan tubuhmu pada berapa jarak yang kau maui. Mungkin, ilmu meringankan tubuhmu hanya bisa ditandingi oleh Sepuh Mahisa Agni dan Ki Sampurno Pamungkas. Seorang tokoh sakti rimba persilatan yang entah berada di mana sekarang ini. Tetapi, tak menutupi ilmu peringan tubuhmu itu bisa ditandingi oleh tokoh-tokoh persilatan yang belum pernah kudengar namanya."

   "Bocah ini benar-benar beruntung,"

   Batin Bidadari Hati Kejam.

   "Lalu bagaimana caraku mengendalikannya, Guru?"

   "Pengendalian yang akan kau jalani ini tidak berlangsung singkat. Paling cepat membutuhkan waktu satu bulan dan paling lambat tak terkira waktunya. Tergantung bagaimana cara kau melatih dan kerutinan yang akan kau lakukan, Tirta. Juga kesabaran yang kau miliki akan diuji untuk menuntaskan cara mengendalikan tenaga dari Rumput Selaksa Surya."

   "Aku akan menuruti apa yang Guru perintahkan."

   "Bagus. Hanya jalan masih terlalu panjang di depan mata. Rasanya hanya sedepa, namun begitu berliku jauh membentang belaka."

   "Apa maksud Guru berucap seperti itu,"

   Batin Tirta tak mengerti sambil menatap orang tua berselempang kain putih dihadapannya yang tengah mendesah sambil mengusap jenggot putihnya. Sementara Bidadari Hati Kejam membatin.

   "Raja Lihai Langit Bumi, sahabatku yang selalu bijaksana. Dengan mengatakan seperti itu, dia hendak mengatakan masih ada langit di atas langit. Artinya, bila si Rajawali Emas berhasil mengendalikan tenaga surya yang didapatnya, dia tak boleh sombong dan membanggakan diri. Karena, masih ada yang mungkin lebih tinggi ilmunya dari siapa pun juga. Tak hanya Sang Pencipta yang Maha Tinggi dari semua kehidupan ini."

   Raja Lihai Langit Bumi berkata lagi sambil menatap pemuda di hadapannya dengan pancaran mata jernih dan bijaksana.

   "Kita bisa memulainya sekarang, Tirta. Ingat, letak kekuatanmu itu berasal dari pusar."

   "Baik, Guru.", Sejak saat itu, mulailah si Rajawali Emas pasang telinga untuk dengarkan setiap perintah dari Raja Lihai Langit Bumi. Untuk pertama kali saat melakukan kuda-kuda guna menindih rasa panas yang mendadak muncul ketika dia coba alirkan tenaga surya dari pusar ke seluruh tubuh, mendadak saja pemuda berbaju keemasan itu ambruk dengan perut bagai diaduk-aduk tangan-tangan kasar. Menyusul rasa panas yang bagai menyiksa otaknya. Tak tanggung lagi, jantungnya bagai diremas keras sekuat tenaga. Bila saja tak ada Raja Lihai Langit Bumi di sana yang segera turunkan panas dalam tubuh Tirta, tak mustahil nyawa pemuda tampan yang berasal dari Gunung Rajawali itu akan putus! "Pusatkan perhatianmu pada pusar dan tenaga surya. Letakkan seluruh pikiran pada satu titik hingga kau memasuki lorong hampa, Tirta." * * * DENGAN segala kegigihan, keuletan dan keinginannya, kembali Tirta mengikuti setiap perintah dari Raja Lihai Langit Bumi. Tak dipedulikan betapa sukarnya dia saat memulainya kembali. Hawa panas yang muncul dan selalu menerjang membuatnya terkadang bagai tak mampu untuk meneruskan latihan. Namun, kegigihan yang memang dimili-kinya, memacu semangat dalam jiwanya. Perlahan dan bertahap, Tirta mulai bisa mengubah rasa panas dalam tubuhnya menjadi hawa dingin. Beberapa hari berlalu dan dengan kegigihan yang memang dimilikinya, dia kini bisa mengubah rasa dingin yang meraja menjadi hawa normal pada tubuhnya. Kemudian dirasakan pemuda tampan itu pusat tenaga surya yang terletak pada perutnya kini mampu digerak-gerakkan. Aliran tenaga panas bisa dipindahkan ke bagian mana saja dari tubuhnya yang dihendaki. Bidadari Hati Kejam yang hanya memperhatikan, berdecak kagum.

   "Beruntung nasibku karena bocah kebluk yang telah tumbuh menjadi pemuda itu akan menjadi muridku. Hmmm... Urusanku dengan Manusia Mayat Muka Kuning biar ditunda dulu. Tetapi, orang tua muka kuning itu akan terus kukejar sampai keneraka sekalipun!"

   Tetapi Raja Lihai Langit Bumi melihat semua itu belum sempurna benar.

   "Jangan girang dulu, Tirta. Tenaga panas yang bisa kau pindah-pindahkan bisa membakar seluruh jalan darahmu. Karena pengontrolan yang telah kau lakukan meskipun telah sempurna, masih bisa diterobos oleh hawa panas itu."

   Tirta menghentikan gerakannya dan menatap orang tua berselempang kain putih itu dengan kening berkerut.

   "Mengapa sampai terjadi begitu, Guru?"

   Tanyanya heran.

   "Pusat tenaga surya dalam pusarmu belum sempurna betul kau kuasai. Coba kau alirkan tenaga surya itu pada kedua tanganmu, Tirta."

   Tirta segera menjalankan perintah si orang tua.

   "Apa yang kau rasakan?"

   "Sebuah dorongan yang sangat kuat sekali pada pusarku, Guru. Dan terasa menusuk dengan panas menyengat."

   "Itulah sebabnya kukatakan, justru tenaga surya itu akan menyerangmu sendiri."

   "Lalu apa yang harus kulakukan?"

   "Berendam disungai selama tujuh hari tujuh malam."

   Sepasang mata tajam si pemuda berbaju keemasan melebar.

   "Busyet. Apa tidak salah dengar ini?"

   Batinnya agak terkejut. Tetapi sesuai dengan namanya 'Tirta,' yang berarti air dan laksana air yang terus menerjang halang rintang untuk sampai ke tempat yang dituju, Tirta kembali menatap Raja Lihai Langit Bumi.

   "Bila memang itu yang Guru kehendaki, aku akan menurut."

   "Bukan aku yang menghendakinya, Tirta. Justru itu merupakan pilihanmu."

   Dengan wajah memerah Tirta menangkup-kan kedua tangan di dada, membungkuk sedikit dan berkata dengan kepala tertunduk.

   "Maafkan kebodohan saya, Guru."

   Raja Lihai Langit Bumi membatin.

   "Tindak tanduknya sudah mencerminkan jiwa kependekaran. Dan aku yakin, dalam waktu yang tak terlalu lama, namanya akan diperhitungkan oleh orang-orang rimba persilatan. Bahkan sekarang saja sudah kudengar beberapa orang rimba persilatan meributkan tentang pemuda, yang berjuluk Rajawali Emas yang telah mendapatkan Pedang Batu Bintang."

   Bidadari Hati Kejam menyambar.

   "Kau memang bodoh, Bocah Kebluk! Ayo ikuti kata-kata Raja Lihai Langit Bumi kalau kau ingin selamat!"

   Tirta melirik pada Bidadari Hati Kejam yang duduk uncang-uncang kaki di sebatang ranting diatas kepalanya.

   "Enaknya ngomong!"

   Dengusnya dalam hati. Lalu tiba-tiba dia tertawa.

   "Guru... apakah kau mau menemaniku berendam disungai? Tetapi jangan ah, bisa-bisa ikan yang hidup disana pada mati semua karena mencium bau baju dan kain batikmu yang pasti seumur-umur tidak dicuci!"

   Wusss! Sebagai jawaban selorohannya, Bida-dari Hati Kejam mengibaskan tangan kirinya.

   Serangkum angin menderu ke arah Tirta.

   Bila saja, si pemuda tidak lebih dulu melompat sebelum si nenek berkonde menyerang, tak pelak lagi tubuhnya akan terhantam telak.

   Dan akibat yang terjadi, tanah di mana tadi Tirta berada, membentuk lobang sedalam setengah tombak dan mengeluarkan asap.

   "Wah! Main serang begini, ya?"

   "Bocah kebluk! Turuti setiap perintah Raja Lihai Langit Bumi!"

   Bentak Bidadari Hati Kejam dengan mata melotot. Tirta cuma tersenyum-senyum, lalu mencabut sebatang rumput dan dihisap-hisapnya, dan dengan sikap seperti tak menghiraukan kata-kata Bidadari Hati Kejam dia berucap.

   "Guru... kupikir. kita bisa mulai sekarang."

   Raja Lihai Langit Bumi hanya mengangguk. Lagi-lagi tidak heran melihat sikap berangasan si nenek berkonde. Di ranting yang didudukinya, Bidadari Hati Kejam mendumal sambil tersenyum.

   "Bocah yang kini telah tumbuh menjadi pemuda gagah ini, tak banyak berubah. Terkadang sifatnya bisa serius, terkadang bisa konyol keterlaluan. Namun tindak tanduknya jelas menunjukkan dia akan jadi pendekar besar."

   Dan mulailah penggojlokkan pengen-dalian tenaga surya dalam pusarnya dilakukan.

   Dengan menahan rasa dingin yang menggigit dan gempuran aliran sungai yang cukup deras menampar tubuh dan wajahnya, si Rajawali Emas telah duduk bersemadi mengosongkan diri didalam sungai Rasa dingin yang seperti mematikan seluruh urat nadi tubuhnya, membuatnya seperti membeku.

   Ketika Raja lihai Langit Bumi memintanya untuk keluar dari sungai yang deras itu, si Rajawali Emas tak mampu menggerakkan tubuhnya.

   Aliran darahnya bagai menggumpal dalam kedua kakinya yang duduk bersila disungai dan membikin beku otot-otot dalam tubuhnya.

   "Coba kau buka tenaga surya dalam tubuhmu, Tirta. Alirkan perlahan pada seluruh tubuh. Rasakan bagaimana getaran yang terjadi dan kau rasakan sesuatu yang lain dari hasil berendammu ini selama tujuh hari tujuh malam,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi dari seberang, berdiri dengan kedua kaki dibuka sedikit dan tangan bersedekap di dada.

   Pagi telah menjelang kembali, entah pagi yang ke berapa dalam kehidupan ini.

   Di atas pohon yang ada di sana, nenek berkonde yang berbadan agak bongkok itu, duduk mencangkung memperhatikan.

   Sejak pertama kali Raja Lihai Langit Bumi mengajarkan bagaimana cara mengendalikan tenaga surya dalam tubuh Tirta, dia memang hanya memperhatikan.

   Bahkan bacotnya yang kadang terdengar keter-laluan dan menyakitkan hati, hanya sesekali terdengar.

   Sementara itu, si Rajawali Emas segera menjalankan perintah Raja Lihai Langit Bumi.

   Dan...

   astaga! Baru saja dialirkan tenaga surya dalam tubuhnya, mendadak saja dirasakan rambatan secepat angin menyusup kesetiap jalan darahnya.

   Begitu cepat hingga dingin membeku yang selama tujuh hari tujuh malam dirasakan menghilang begitu saja.

   Merasa tubuhnya sudah normal, dengan cepat Tirta melompat keluar dari sungai.

   Byuuuurrr! Air muncrat saat tubuhnya melompat.

   Ketika dia hinggapkan kaki kembali ke tanah, mendadak saja sisa-sisa air di tubuh, wajah dan rambutnya mengering! "Guru!"

   Seru Tirta tertahan, kaget bercampur gembira.

   "Kau telah berhasil mengendalikan tenaga surya dalam tubuhmu, Tirta. Sebuah tenaga yang bila kau alirkan akan menjadi tenaga sakti yang sulit dicari tandingan. Tetapi seperti kataku, jalan masih panjang membentang, penuh rintang dan halang. Bila kita menengadah memandang, maka hati akan terpentang. Kesombongan akan singgah, merasa diri lebih cakap dan gagah."

   Kalau dulu saat Raja Lihai Langit Bumi berucap sesuatu yang tak dimenger-tinya, sekarang Tirta mulai mengerti apa yang dimaksud oleh orang tua berbulu putih pada sekujur tubuhnya. Dia kembali menangkupkan kedua tangan di dada.

   "Terima kasih atas pelajaran yang Guru berikan."

   "Hanya sebuah pelajaran yang tak berharga. Tirta... kupikir seluruhnya telah usai. Kau dapat mengendalikan tenaga surya dan mengalirkan kapan dan di bagian mana yang kau mau. Hanya ingat, perjalanan masih panjang...."

   "Akan selalu kuingat kata-kata Guru."

   "Coba kau keluarkan sedikit saja tenaga suryamu, Tirta,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi dengan suara yang tetap lembut dan tatapan bijaksana pada Tirta.

   Tirta segera menegakkan tubuh.

   Lalu perlahan-lahan tubuhnya dialirkan tenaga surya dari pusarnya, mengalir merambati seluruh urat dalam tubuhnya.

   Kalau biasanya yang terasa adalah panas yang menggila, kali ini dirasakan suhu tubuhnya normal-normal saja namun gejolak aliran tenaga dalam tubuhnya sangat dirasakan sekali.

   Itu menandakan kalau tenaga surya yang dicoba untuk dialirkan memang sudah bekerja.

   Dan mendadak saja dia berbalik ke kiri, lalu dihempaskan tangan kanannya kemuka.

   Seberkas cahaya dan gelombang angin panas menghampar dahsyat.

   Gerakannya sebenarnya ringan saja dan tenaga yang dikeluarkan hanya sedikit.

   Namun akibatnya, tiga batang pohon berjarak lima belas tombak dari hadapannya, langsung hangus dengan dedaunan yang rontok dan menyebabkan ketiga pohon itu langsung gundul meranggas.

   Tirta sampai melongo melihatnya.

   Untuk beberapa saat dia tertegun menatap apa yang baru saja dilakukannya.

   Masih menatap takjub mulutnya keluarkan desisan.

   "Luar biasa!"

   "Itulah jurus 'Selaksa Surya' yang telah kau miliki dan kau pelajari sendiri dari himpunan tenaga surya dalam tubuhmu, Tirta,"

   Kata Raja Lihai Langit Bumi tersenyum. Si nenek berkonde yang duduk di atas pohon berdecak kagum.

   "Gila! Bahkan bila aku melatih puluhan tahun, belum tentu akan kumiliki tenaga dahsyat penuh panas yang tinggi semacam itu. Dia benar-benar beruntung. Dan pilihanku dulu tak salah dulu bila menginginkan dia jadi muridku. Sayangnya, seperti yang dikatakan pemuda itu, Guru hanya mengizinkan aku mengajarkan ilmu pengebut saktiku ini. Tetapi, itu tak akan mengurangi rasa banggaku sebagai gurunya. Dan kupikir itu lebih baik. Jangan-jangan, aku bisa dikalahkannya bila kuturunkan ilmu yang kumiliki. Persetan dia bisa kalahkan aku atau tidak, nyatanya dia tetap akan jadi muridku dan aku akan jadi gurunya!"

   "Kini kau telah dapat mengendalikan tenaga surya yang bersemayam dalam tubuhmu, Tirta. Secara tidak langsung, kau adalah muridku. Kuembankan tugas dibahumu, Tirta,"

   Kata orang tua berselempang kain putih dengan wajah yang tak mampu menutupi rasa senang dan bangganya melihat kegigihan dan keberhasilan Tirta alias si Rajawali Emas menguasai tenaga surya dalam tubuhnya.

   "Tugas apakah itu, Guru?"

   "Mungkin kabar yang kusirap ke telinga tua ini, hanya sebuah kabar angin belaka karena tak pernah kudengar orang-orang rimba persilatan meributkannya. Namun mata tua dan hati lemah ini jelas mengudap sebuah bahaya yang akan datang."

   "Bahaya apakah itu, Guru?"

   Tanya Tirta penuh minat. Tanpa disadari dadanya berdebar mendengar penuturan Raja Lihat Langit Bumi yang berdiri berjarak dua tombak di hadapannya. Membiarkan rambutnya yang putih panjang dimainkan angin dingin yang nakal.

   "Seseorang yang berjuluk Iblis Kubur akan muncul dari makamnya setelah seratus tahun mendekam dalam makam itu."

   Kata-kata yang diucapkan si orang tua hanya pelan, namun bagai mengiang di telinga Tirta hingga sesaat pemuda itu melongo. Terlebih-lebih Bidadari Maut Kejam yang langsung melompat turun dan menatap tak berkedip pada Raja Lihai Langit Bumi.

   "Aku tahu kau memiliki ilmu ,'Peraba Sukma'. Tetapi ucapan yang baru saja kau lontarkan hanyalah bualan belaka!"

   Meskipun mulut si nenek berkonde berucap demikian, namun tak urung hatinya bergetar mendengar ucapan orang.

   "Aku memang tak bisa membuktikan. Namun menurut ilmuku yang masih dangkal ini, Iblis Kubur akan muncul tiga purnama sejak sekarang. Dia telah ditelan sumpahnya sendiri dan akan bangkit kembali dari makamnya setelah ratusan tahun. Jangan bertanya soal kejelasannya lebih lanjut, karena aku sendiri tidak menangkap terlalu jelas. Telah kuembankan tugas pada murid kita ini untuk membuktikan semua ini dan hentikan sepak terjangnya yang akan banyak turunkan celaka dibumi ini. Maaf, waktu telah berjalan dengan cepat, pertemuan harus disudahi. Masih ada urusan yang terbengkelai dan hari segera selesai."

   Usai berkata begitu, mendadak saja tubuh Raja Lihai Langit Bumi telah menghilang dari pandangan.

   Lenyap bagai ditelan bumi, menguap bagai dibawa angin.

   Tinggal Tirta yang masih terbengong mendengar ucapan Raja Lihai Langit Bumi dan Bidadari Hati Kejam yang diam-diam bertambah bergetar mendengar semua itu.

   Tetapi di kejap lain dia sudah berkata dengan kebiasaannya yang selalu membentak.

   "Setelah kau usai mengendalikan tenaga surya pada tubuhmu, kini giliranku untuk mengajarimu ilmu pengebut saktiku ini yang akan kau pergunakan dengan Pedang Batu Bintang!"

   Masih tak mengerti dengan ucapan Raja Lihai Langit Bumi, Tirta segera meng-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata Bidadari Hati Kejam.

   Dan mulailah dia berlatih ilmu pengebut sakti yang dimiliki oleh Bida-dari Hati Kejam.

   Kalau nenek berkonde mempergunakan pengebutnya, Tirta mempergunakan senjatanya, Pedang Batu Bintang.

   * * * Hari memasuki siang ketika perempuan tua berbaju hitam dengan mulut berbibir keriput yang masih mengunyah susur hingga menampakkan kepeotan bibirnya teraput cairan merah hentikan langkah di sebuah tempat yang dipenuhi dengan pepohonan, semak belukar dan bebatuan.

   Sudah tiga minggu orang yang tak lain Ratu Tengkorak Hitam itu meninggalkan Dewi Kematian dan Manusia Mayat Muka Kuning.

   Mata kelabunya diedarkan menatap keremangan tempat meskipun saat ini matahari telah sampai di ujung kepala.

   "Hhhh! Tujuanku tetap satu. Mendapatkan Pedang Batu Bintang dari tangan si Rajawali Emas. Dasar keparat si Dewi Kematian yang mesum itu. Padahal ketika pemuda berajah burung rajawali keemasan pada lengan kanan dan kirinya datang menyelamatkan Bidadari Hati Kejam, itu kesempatanku untuk merebut Pedang Batu Bintang. Dikarenakan, adanya Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian yang tentunya akan membantuku. Tetapi setan busuk! Keduanya tak bermaksud mengejar! Apakah karena lesatan si Rajawali Emas begitu luar biasa, ataukah ada sesuatu yang mereka inginkan? Sementara itu kemana perginya Siluman Buta? Keparat! Urusan makin jadi kapiran dan selama lima tahun keluar lagi dari Sungai Terkutuk, belum ada satu juga yang berhasil kujalankan. Terutama mengingat pesan dari.."

   Kata-kata Ratu Tengkorak Hitam tiba-tiba putus laksana direnggut setan. Mata kelabunya yang masuk kedalam menyipit hingga menyiratkan kengerian. Mulutnya yang masih mengunyah susur bersuara angker dengan mata dijerengkan ke sana kemari.

   "Orang mana yang ingin mampus tapi tak segera tampakkan muka? Cepat keluar sebelum kuterabas putus lehermu!!"

   Sebagai jawaban dari bentakannya barusan, mendadak menggema tawa dahsyat yang menggugurkan dedaunan dan menimbulkan gemuruh angin dahsyat.

   Rasa marah di hati Ratu Tengkorak Hitam mendadak sirna setelah dikenalinya tawa yang keras itu.

   Seketika nenek baju hitam yang sangat kejam menjatuhkan diri dan berlutut.

   Suaranya yang keras dan angker mendadak berubah bagai menangkap kalau setan neraka yang datang.

   "Maafkan atas kebodohanku tak tahu yang datang itu adalah engkau, Dewi".

   "Berlututmu aku terima, Mara Hitam Ritrik! Hanya saja, tugas kulihat baru sekali kau jalankan!"

   Suara yang terdengar angker diiringi tawa itu belum putus, namun Ratu Tengkorak Hitam yang bernama asli Mara Hitam Ritrik sudah menangkap bayangan berkelebat dan berdiri dihadapannya. Disusul dengan suara bernada memerintah.

   "Berdirilah!"

   Perlahan-lahan nenek baju hitam yang kejam itu berdiri Sikapnya nampak takut dan tegang sekali.

   Meskipun seringkali Ratu Tengkorak Hitam bertemu atau berhadapan dengan orang yang ilmunya jauh lebih tingginya darinya, namun tak seorang pun yang bisa membuatnya berlutut, apalagi ketakutan seperti ini Namun sekarang, dia benar-benar menjadi tikus yang terperangkap kepungan kucing lapar! Orang yang baru datang mengenakan pakaian berwarna hijau muda, tipis hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah dan sempurna.

   Wajahnya berbentuk bulat telur dan akan menimbulkan getar pesona yang sukar ditepiskan bagi yang melihatnya.

   Tak pandang bulu apakah dia, perempuan dan lebih-lebih lelaki.

   Sepasang matanya jernih dengan bulu mata yang lentik melengkung, dibiasi sepasang alis tebal yang indah dan agak bertautan.

   Hidungnya bangir dengan sepasang bibir yang tipis memerah basah.

   Dagunya runcing, disanggah oleh leher jenjang yang indah dan mulus.

   Yang lebih menarik dari semua itu, rambutnya yang panjang bercahaya bagai dihiasi oleh pernik perak, hingga rambut itu semakin menyala saja.

   Dengan tubuh yang indah dan dada padat serta pinggul mencuat keluar, sungguh sempurna apa yang dimiliki oleh gadis jelita itu.

   Sungguh tak masuk akal bila Ratu Tengkorak Hitam yang telah malang melintang dirimba persilatan ini, kini tunduk oleh seorang gadis yang usianya nampak berjarak jauh dengannya, mengingat wajah gadis berpakaian hijau menerawang itu kira-kira baru Sekitar tujuh belas tahun.

   Namun, siapa pun yang belum pernah mengenal gadis itu, jelas-jelas akan tertipu! Karena sesungguhnya, dia berusia tujuh puluh tahun! Dan perempuan berbaju hijau menerawang itu dikenal dengan julukan Dewi Karang Samudera, seorang tokoh dan momok rimba persilatan yang kepandaiannya sukar dijajaki.

   Pertama kali berjumpa dengan tokoh jelita itu, di saat Ratu Tengkorak Hitam sedang melayani nafsu birahi mendiang gurunya, Maharaja Langit Hitam.

   Karena di samping mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang gurunya, Ratu Tengkorak Hitam juga diharuskan melayani apa yang diinginkan gurunya dan entah mengapa Ratu Tengkorak Hitam yang bernama Mara Hitam Ritrik melayaninya dengan senang hati.

   Saat itulah Dewi Karang Samudera muncul.

   Anehnya, gurunya yang tak pernah pandang sebelah mata pada kawan maupun lawan, tiba-tiba hentikan seluruh gerakannya padahal saat itu Ratu Tengkorak Hitam sedang menuju puncak birahinya.

   Dia mencoba tahan gurunya agar tak menghentikan apa yang diinginkannya, namun gurunya sudah bergegas berpakaian dan keluar.

   Bukan buatan jengkelnya Ratu Tengkorak Hitam kala itu.

   Dengan kejengkelan yang tinggi dan kegusaran yang membuat raut wajahnya berubah, dia mengintip dari jendela gubuk dimana gurunya keluar tadi.

   Dilihatnya gurunya tengah merangkul seorang dara jelita berbaju hijau menerawang.

   Kegusaran makin melanda Ratu Tengkorak Hitam melihat gurunya tanpa malu-malu dan jengah meniduri dara yang baru datang itu.

   Entah apa yang keduanya lakukan kemudian, Ratu Tengkorak Hitam hanya terdiam dengan kegusaran yang makin melanda dan tak berani menunjukkan kegusaran itu ketika gurunya memperkenalkannya dengan perempuan yang baru datang tadi.

   Pertemuan selanjutnya ketika Maharaja Langit muncul dari satu perjalanan jauh yang dilakukannya dengan menderita luka parah.

   Dewi Karang Samudera pun datang dan mengobatinya.

   Namun sebelum pengobatan itu sepenuhnya dilakukan, ajal sudah menjemput Maharaja Langit Hitam.

   Dari mulut perempuan yang membuatnya heran karena wajahnya tetap seperti yang pertama kali dijumpai, Ratu Tengkorak Hitam tau kalau gurunya tewas di tangan Sepuh Mahisa Agni atau Malaikat Dewa.

   Ketika diputuskan untuk membalas dendam, Dewi Karang Samudera melarangnya.

   Untuk melampiaskan kemarahannya, Ratu Tengkorak Hitam mulai melakukan per-jalanan dan julukannya kemudian menjadi santer sebagai tokoh dari golongan sesat.

   Saat dia kembali ke Sungai Terkutuk, perempuan berbaju hijau menerawang muncul dan mengajarkannya beberapa ilmu.

   Salah satunya adalah jurus 'Undang Maut Sedot Darah' yang diketahuinya milik Raja Lihai Langit Bumi ketika melihat orang berselempang kain putih itu mengalahkan Siluman Buta di Lembah Maut saat menentukan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan.

   Namun pada akhirnya, tak ada yang bisa dikatakan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan ini karena pertarungan di Lembah Maut berakhir dengan kekacauan.

   Kalaupun perempuan berbaju hijau menerawang ini muncul di hadapannya, tentunya.

   memang ada urusan penting.

   Ratu Tengkorak Hitam bagai teringat kalau di pundaknya diembannya tugas dari Dewi Karang Samudera.

   Dan merasa baru sekali dijalankan tugas yang diembannya entah mengapa hatinya menjadi ciut.

   "Maafkan aku, Dewi... aku memang baru sekali melakukan hal itu. Dan sampai sekarang aku belum berjumpa dengan Raja Lihai Langit Bumi."

   Perempuan berjuluk Dewi Karang Samudera itu memamerkan senyum yang luar biasa menggetarkan. Mata jernihnya bagai menusuk siapa saja yang melihatnya.

   "Tak jadi soal mengenai hal itu sekarang. Aku tahu keinginanmu untuk mendapatkan Batu Bintang. Dan kupikir itu memang suatu hal yang wajar. Dengan Pedang Batu Bintang yang kudengar sekarang dimiliki oleh seorang pemuda berjuluk si Rajawali Emas, kau tentunya dapat melaksanakan tugas yang kuberikan. Tetapi, kau telah mempergunakan jurus 'Undang Maut Sedot Darah' seperti yang kuperintahkan pada Bidadari Hati Kejam, saudara seperguruan Raja Lihai Langit Bumi. Aku punya urusan yang harus diselesaikan dengan Raja Lihai Langit Bumi. Tentunya, apa yang kau lakukan sebuah gebrakan yang bagus."

   Ratu Tengkorak Hitam menundukkan kepalanya.

   "Terima kasih, Dewi,"

   Lalu menyambung dalam hati.

   "Bisa celaka aku bila dia marah. Dua kali aku melihat perempuan keparat ini marah dan itu sangat mengerikan. Yang membingungkanku bagai-mana dia bisa mengetahui apa yang terjadi sekarang ini bahkan bisa menemukanku? Apakah dia selalu membuntutiku? Sedangkan dimana dia tinggal saja aku tidak tahu. Tetapi aku makin yakin kalau ilmunya begitu tinggi"

   "Aku tak bisa berlama-lama di sini Urusanku hanyalah dengan Raja Lihai Langit Bumi Ratu... aku dengar kabar pada tiga purnama mendatang akan terjadi kegegeran dahsyat di rimba persilatan. Seorang tokoh kejam yang berjuluk Iblis Kubur akan muncul dari makam busuknya. Dan akan kucoba untuk membantunya melepaskan diri dan menjadi pengikutku."

   Pusing kepala Ratu Tengkorak Hitam mendengar ucapan orang. Namun yang bisa dilakukannya sekarang hanya menganggukkan kepala saja.

   "Penting kemunculan Raja Lihai Langit Bumi, Ratu! Dan segala sesuatunya akan kubereskan. Kita berjumpa lagi tiga purnama mendatang."

   Ratu Tengkorak Hitam lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

   Dan dia kembali terkejut karena suara Dewi Karang Samudera masih terdengar namun orangnya sudah lenyap dari hadapannya! "Gila! Kepandaiannya memang sangat tinggi sekali.

   Beruntung sekali dia mengajarkan jurus-jurus yang berbahaya, terutama 'Undang Maut Sedot Darah' milik Raja Lihai Langit Bumi.

   Entah bagaimana caranya dia bisa, mencuri ilmu itu.

   Namun dengan berpihaknya dia padaku, kedudukanku akan semakin kuat, Peduli setan dengan ancaman Dewi Kematian yang kini telah bergabung dengan orang tua kurus bertonjolan tulang di dadanya itu yang berjuluk Manusia Mayat Muka Kuning.

   Akan kuteruskan perjalanan mencari Pedang Batu Bintang sambil menjalankan tugas yang diberikan Dewi Karang Samudera bila ingin selamat."

   Namun belum lagi, Ratu Tengkorak Hitam menggerakkan kedua kakinya, sepasang mata kelabunya mendadak saja dialihkan ke kanan. Sempat dilihatnya satu bayangan merah melesat menghindar dari tempatnya.

   "Setan keparat! Apakah kau pikir kau bisa melarikan diri dari tanganku, hah?!"

   Sentaknya geram dan mengibaskan tangan-nya.

   Lima larik sinar hitam panas menderu menyusul ke mana bayangan tadi berlari.

   Lima larik sinar hitam yang dilepaskan oleh nenek baju hitam itu melesat cepat, membuat orang yang tadi mengintip dan kini melarikan diri terkesiap ketika dirasakan hawa panas menderu.

   Tak mau dirinya dibuat mampus, orang berpakaian merah itu menghentikan larinya, dan bersamaan dengan itu jungkir balik.

   Kedua kakinya yang dipenuhi bulu menendang dengan gerakan yang sangat aneh.

   Mengangsurkan kedua kaki lebih dulu dengan posisi telentang, sementara kedua tangan Bagai jadi tumpuan penyanggah tubuh! Gelombang angin menghampar deras dan menghantam lima larik sinar hitam tadi.

   Blaaaarr! Tempat yang agak temaram meskipun saat ini siang makin mejanggas, menjadi terang.

   Letupan terdengar beberapa kali dan tempat yang tadi temaram lalu jadi terang berubah temaram kembali dedaunan beterbangan entah ke mana.

   Begitu seluruhnya sirna, orang yang menghantam serangan Ratu Tengkorak Hitam dengan kedua kakinya melihat sosok baju hitam berambut panjang dengan muka hitam itu.

   telah berdiri berjarak tiga tombak dari hadapannya.

   "Celaka! Kali ini nenek busuk itu pasti tak akan melepaskanku,"

   Orang itu membatin dengan wajah pias. Namun dia berusaha menindih perasaannya.

   "Biar bagaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga."

   "Tak salah dugaanku, serangan kaki aneh barusan hanya bisa dilakukan oleh orang busuk yang menyebarkan fitnah celaka yang berjuluk Kaki Gledek!"

   Bentak Ratu Tengkorak Hitam sambil menatap tak berkedip pada orang di depannya, dingin.

   Orang berpakaian merah dengan tubuh tinggi besar dan rambut panjang tak karuan, mencoba menenangkan diri.

   Hidung dan bibirnya yang besar bergerak-gerak tanda dia cukup tegang mendapati apa yang akan dihadapi.

   Codet besar pada pipi kanannya berayun ketika pipi itu bergerak-gerak.

   "Jelas aku tak bisa menghindar. Dia tentunya marah dengan fitnah yang kulakukan pada Manusia Mayat Muka Kuning untuk menyelamatkan diri dari ancamannya,"

   Batin orang tinggi besar berpakaian merah yang tak lain si Kaki Gledek. Seperti dituturkan pada episode "Geger Batu Bintang"

   Dan "Wasiat Malaikat Dewa"

   Secara keji Kaki Gledek yang berjumpa dengan Manusia Mayat Muka Kuning mengatakan kalau Batu Bintang telah didapati oleh Ratu Tengkorak Hitam.

   Itu adalah cara terbaik yang dilakukannya guna menyelamatkan diri dari tokoh muka kuning yang berkepandaian tinggi.

   Akibat dari omongannya, Manusia Mayat Muka Kuning mencari Ratu Tengkorak Hitam dan hampir menurunkan tangan telengas.

   Bahkan ketika berjumpa kembali lima tahun kemudian dengan Manusia Mayat Muka Kuning yang kini telah bergabung dengan Dewi Kematian, orang tua tanpa baju itu pun masih menanyakan soal kebenaran ucapan Kaki Gledek.

   Sudah tentu Ratu Tengkorak Hitam makin gusar! Yang tak disangkanya sekarang kalau dia akan berjumpa kembali dengan orang yang membuat dirinya hampir mampus di tangan Manusia Mayat Muka Kuning! Sudah tentu hal ini tidak akan dilewatkan.

   "Tahan, Ratu!"

   Kaki Gledek mengangkat sebelah tangannya ketika dilihatnya nenek baju hitam yang berdiri berjarak tiga tombak di hadapannya siap menggerakkan tangan.

   "Tak ada maksudku untuk mencelakakanmu dengan ucapanku pada Manusia Mayat Muka Kuning. Ini kulakukan karena..."

   "Setan keparat!"

   Hardik Ratu Tengkorak Hitam memutus ucapan Kaki Gledek yang tengah mencari kesempatan untuk meloloskan diri.

   "Kau telah menyebarkan fitnah yang tak kumaafkan. Masih untung hanya Manusia Mayat Muka Kuning yang meskipun kejam namun mempunyai otak dungu yang mendengar kabar busuk itu! Hingga aku masih bisa menghirup udara sampai hari ini! Itu juga dikarenakan bantuan dari Dewi Kematian yang menahan orang tua keparat itu menurunkan tangan telengas padaku! Apakah kini aku akan berpangku tangan membiarkan manusia busuk macam kau ini untuk lebih lama hidup?"

   Kaki Gledek mendesah pendek. Wajahnya yang menyeramkan itu berubah pias.

   "Jelas tak ada jalan keluar sekarang. Keparat! Mengapa aku harus bertemu dengannya lagi? Seharusnya aku..."

   Kata-kata dalam hati si Kaki Gledek pupus begitu dirasakan deru panas dari sinar warna hitam melesat ke arahnya.

   Tak ada jalan lain menghindari serangan itu kecuali melakukan satu gempuran balik dengan mempergunakan jurus 'Kaki Gledek Kirim Nyawa'.

   Dan tak tanggung lagi yang dilakukan orang tinggi besar berpakaian merah menyala itu.

   Begitu hantaman baliknya memapaki serangan 'Jalur Hitam Kematian' yang dilepaskan oleh Ratu Tengkorak Hitam, kembali dikirimkan serangan 'Kaki Gledek Lingkar Bumi'.

   Kedua tangannya menjadi tumpuan tubuh, tak ubahnya seperti kaki.

   Semen-tara kedua kakinya mengibas berbentuk melingkar, berkali-kali mengarah pada Ratu Tengkorak Hitam yang mengeluarkan dengusan geram.

   Serentak kedua, tangannya bergerak bagai mendorong.

   Gelombang angin menghampar dahsyat, membuat tempat itu sepergi dilanda gempa, menerjang ke muka, memapaki gempuran kaki lawan yang menyerang.

   Letupan keras terdengar bersamaan tubuh si Kaki Gledek mencelat ke bela-kang.

   Agak terhuyung dan masih untung bisa menguasai keseimbangannya.

   Sementara Ratu Tengkorak Hitam hanya surut dua langkah ke belakang sambil memegangi dadanya yang tak urung terasa nyeri.

   Namun dia lebih dulu menguasai keadaan dirinya.

   Dengan masih melancarkan jurus 'Angin Dendam Punah Nyawa', digempurnya Kaki Gledek yang menjadi kalang kabut.

   Sebisanya lelaki baju merah itu berusaha menghindar sekaligus mencoba memapaki dengan jurus 'Kaki Gledek Lingkar Bumi'.


Pendekar Naga Putih Algojo Gunung Sutra Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Pendekar Rajawali Sakti Huru Hara Di Watu Kambang

Cari Blog Ini