Sumpah Iblis Kubur 1
Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Bagian 1
SUMPAH IBLIS KUBUR Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bab Rayapan angin berhembus perlahan, dengan din-gin yang menusuk, menghampar ke tempat yang sunyi itu.
Dan sungguh aneh, di tempat yang cukup luas itu hanya terdapat lima buah pohon berjarak satu tombak yang saling berdekatan.
Merentang dari barat ke timur.
Berjajar dan di sekelilingnya di tumbuhi semak belukar, yang karena tergesek oleh angin hingga menimbulkan suara mencekam dipadu dengan suara jengkerik dan kodok.
Sinar rembulan di atas sana hanya bisa menembus sedikit dari gumpalan awan hi-tam yang menggayuti di bawahnya.
Namun kejap kemudian, semuanya berubah.
An-gin yang merayap perlahan, berhembus dahsyat.
Menggugurkan dedaunan dan menerbangkan semak belukar.
Sinar rembulan yang masih mampu menem-bus gumpalan awan hitam tadi, kini benar-benar tak mampu lagi pancangkan sinar terangnya yang lembut.
Tempat itu mendadak saja menjadi gelap gulita.
Suara binatang malam bagai lenyap begitu saja.
Dalam kegelapan malam dan suasana mence-kam, mendadak saja satu bayangan hijau berkelebat ke tempat itu dan hinggap dengan ringannya di sana.
Kepala bayangan hijau mengedar ke seantero tempat.
"Hmmm... di mana makam manusia sialan itu?"
Suara si bayangan hijau dingin dan menunjukkan dia seorang perempuan. Kembali perempuan berbaju hijau itu mengedarkan pandangannya. Sepasang matanya yang indah namun dingin dipentangkan dan menatap satu persatu tempat itu.
"Tiga purnama telah berlalu sudah tanpa terasa. Ini saat yang tepat untuk melihat kebenaran sumpah dari manusia busuk itu. Kalau memang benar, kesempatan bagiku untuk membuat-nya menurut di kedua kakiku."
Orang baru datang itu mengenakan pakaian ber-warna hijau lumut yang tipis hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah dan sempurna.
Meskipun pakaiannya begitu tipis, namun perempuan itu sama sekali tak merasa kedinginan berada di tempat itu da-lam cuaca menusuk seperti ini.
Wajahnya berbentuk bulat telur dan akan me-nimbulkan getar pesona yang sukar tepiskan bagi yang melihatnya.
Sepasang matanya jernih dengan bulu ma-ta yang lentik melengkung, dihiasi sepasang alis tebal yang indah dan agak bertautan.
Hidungnya bangir dengan sepasang bibir yang tipis memerah basah.
Da-gunya runcing, disanggah oleh leher jenjang yang in-dah dan mulus.
Yang lebih menarik dari semua itu, rambutnya yang panjang bercahaya bagai dihiasi oleh pernik perak, hingga rambut itu semakin menyala saja.
Dengan tubuh yang indah dan dada padat serta ping-gul mencuat keluar, sungguh sempurna apa yang di-miliki oleh perempuan jelita itu.
Bila melihat cirinya, bisa dipastikan perempuan berwajah jelita itu tak lain adalah Dewi Karang Samu-dera, yang sebenarnya berusia jauh lebih tua dari wa-jahnya yang hanya menampakkan usia dua puluh ta-hun belaka.
"Setan keparat! Aku tak menemukan di mana makam itu?"
Dengusnya setelah berkelebat ke sana kemari. Sepasang matanya yang bagus namun memili-ki sinar licik makin dibuka lebih lebar.
"Tetapi, tak mungkin aku salah! Penjelasan Guru tentang mayat Iblis Kubur itu tak mungkin bohong. Lima buah pohon berjajar sementara di sekelilingnya hanya ditumbuhi semak belukar saja, jelas masih lekat dalam benakku seperti yang dituturkan Guru. Manusia keparat ini bersumpah untuk muncul lagi ke rimba persilatan se-telah seratus tahun dikubur. Bila manusia keparat itu bisa kuper alat, akan semakin memudahkan jalan un-tuk membalas dendam pada Raja Lihai Langit Bumi! Hal ini tak akan ku sia-siakan!"
Dewi Karang Samudera memutus kata-katanya sendiri.
Matanya kembali diedarkan ke seantero tem-pat dengan rasa penasaran dan geram yang makin menjadi-jadi.
Setelah beberapa saat berlalu dalam ke-sunyian, mendadak saja perempuan berbaju hijau tipis itu mengusap tangannya.
Cahaya putih yang bening nampak memancar, sehingga tempat yang gelap itu mendadak menjadi cu-kup terang, mampu membuat sepasang mata biasa menembus ke seluruh tempat Cahaya terang itu pun menerpa wajah si perempuan berbaju hijau dan luar biasa! Wajah yang sudah jelita semakin nampak penuh pesona meskipun sepasang matanya memancarkan si-nar dingin! "Apakah sumpah manusia celaka itu tak mung-kin terjadi?"
Desisnya sejenak, penuh ragu-ragu.
"Menurut cerita Guru, manusia keparat itu telah bersum-pah akan muncul kembali seratus tahun sejak sumpah diucapkan."
Tiba-tiba dia mendengus.
"Bodohnya aku ini! Apa mungkin orang yang sudah menjadi mayat bi-sa hidup kembali hanya karena sebuah sumpah? Ce-laka kalau begini. Seluruh rencana yang kususun se-lain mempergunakan tangan Ratu Tengkorak Hitam, tak akan mungkin bisa tercapai. Baiknya kucoba saja dulu kehebatan Kitab Pemanggil Mayat yang diberikan guruku tiga puluh tahun yang silam, di saat aku beru-sia empat puluh tahun. Terpaksa aku bangkitkan mayat manusia sialan itu yang setelah dikalahkan Ki Sampurno Pamungkas, dikubur di tempat ini dengan ciri lima pohon berjajar berdekatan tanpa ada pohon besar lainnya. Tetapi, di mana makam nya saja sulit kuketahui. Biar begitu, aku tak akan segera mening-galkan tempat ini. Lima pohon itu menjadi bukti kalau makam itu pasti berada di sekitar sini."
Usai kata-katanya, mendadak saja tubuh yang tadi tegak kini sudah duduk bersila.
Baju tipisnya ter-singkap, makin menampakkan bongkahan sepasang pahanya yang mulus.
Cahaya bening di tangannya makin kuat memancar.
Tak lama kemudian terlihat mulut indah Dewi Karang Samudera sudah berkomat-kamit.
Dari komat-kamit mulutnya, perlahan-lahan nampak tubuhnya bergetar.
Perlahan dan semakin la-ma makin kuat getarannya.
Bersamaan dengan itu ca-haya putih bening yang memancar dari kedua telapak tangannya, makin membesar pula.
Tempat itu bukan hanya terang biasa, namun terang benderang tak ubahnya siang hari.
Hanya bedanya, tak ada hawa pa-nas yang menguap.
Tetap dingin menusuk yang sama sekali tak dirasakan oleh perempuan baju hijau itu.
Kejap kemudian, terlihat Dewi Karang Samudera monyong kan mulutnya.
Dan perlahan keluar angin dari mulutnya itu.
Meskipun hanya angin kecil saja, namun mampu membongkar semak belukar yang ada di sebelah kanan dari hadapannya.
Tercabut hingga akhirnya dalam hanya dua tarikan napas saja, tempat di sebelah kanannya yang dipenuhi oleh semak belu-kar itu sudah rata dengan tanah.
Hanya lima buah po-hon yang masih terpancang dan berdiri angkuh.
Tak hanya sampai disana yang telah terjadi.
Ta-nah-tanah itu pun terbongkar setelah terdengar suara berderak cukup keras.
Muncrat ke atas dan luruh kembali dalam jarak lima belas tombak.
Dari apa yang dilakukan perempuan berbaju hijau muda tipis itu, ki-ni nampak lubang panjang yang menganga.
Kedua tangannya disorongkan ke depan, dan tak mengurangi cahaya terang yang memancar dari sana! "Hmmm...
tak ada tanda-tanda mayat manusia Sialan itu berada di bagian kanan.
Aku akan mencoba ke bagian kiri."
Sama dengan yang dilakukan sebelumnya, Dewi Karang Samudera pun menyorongkan tangannya pada lubang panjang di bagian kiri dari hadapannya, berada di sebelah kanan dari lima pohon yang berjajar berja-rak satu tombak dari satu pohon ke pohon lain.
Aki-batnya, kini di bagian kiri dan kanan lima buah pohon yang berdiri berjajar terbentuk lubang yang cukup da-lam dan membentang panjang.
Mendadak wajah Dewi Karang Samudera yang te-gang dan sudah berbalur kejengkelan karena harus membuang waktu percuma, membiaskan senyum aneh.
Sepasang matanya lebih melebar.
"Tak salah dugaanku. Ilmu 'Pati Rasa' yang ku-pergunakan, aku menangkap ada sebuah sosok tubuh di lubang yang baru saja terbentuk. Manusia sialan itu memang dikuburkan di sini,"
Katanya masih tersenyum.
Tangan yang disorongkan ke muka tadi, kini saling diusap.
Dan anehnya, sinar putih bening itu ba-gai menggumpal, namun suasana terang tak meredup sedikit juga.
Gumpalan sinar bening itu bergerak ke lubang panjang akibat sentakan kedua tangannya tadi dan masuk ke sana.
Cukup lama sinar putih bening itu berada di lu-bang sementara bibir Dewi Karang Samudera terus membiaskan senyum.
Dan senyumnya berubah men-jadi tawa berkepanjangan ketika sepasang matanya menangkap satu sosok tubuh yang terbujur kaku per-lahan-lahan terangkat dan digulung gumpalan sinar putih bening.
Sesuatu yang ternyata rantai besar pan-jang pengikat tangan dan kaki mayat itu menyala di-timpa gumpalan sinar putih bening yang menggulung jasadnya.
"Hi hi hi... Iblis Kubur... kau akan berterima kasih kepadaku dan akan menjadi pengikut ku. Sum-pahmu tak bisa kau laksanakan sendiri. Tanpa bantu-anku, kau tak akan bisa kabulkan sumpahmu sendi-ri."
Ditarik kedua tangannya ke belakang.
Gumpalan sinar putih bening yang melilit satu sosok tubuh yang terangkat dari lubang panjang tadi, kini telah terbujur di tanah, di hadapan Dewi Karang Samudera yang ti-ba-tiba mengerutkan keningnya.
Gumpalan sinar putih bening yang melilit mayat itu telah hilang.
Namun sua-sana terang masih nampak di sana, karena sinar putih bening yang memancar dari telapak tangan Dewi Ka-rang Samudera belum dihentikan.
"Luar biasa! Ilmu apa yang dimiliki manusia ke-parat ini sebenarnya? Tubuhnya tetap utuh, tidak hancur sama sekali Bahkan, tak keluarkan bau busuk sedikit juga."
Dengan decakan kagum Dewi Karang Samudera memperhatikan mayat seorang lelaki berahang persegi dengan kumis dan jenggot hitam yang panjang.
Ram-butnya pun panjang, kotor dan kusam.
Di samping keanehan yang dialami oleh Dewi Karang Samudera, perempuan berbaju hijau muda tipis itu juga merasa aneh mendapati pakaian dan ikat kepala mayat lelaki yang berwarna hitam itu masih utuh.
"Melihat panjangnya rantai besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya, mungkin sebelum manusia ini mampus tubuhnya telah didirikan dan diikat tan-gan dan kaki dalam posisi terentang. Tentunya rantai ini bukan rantai biasa. Aku telah mendengar kesaktian manusia keparat ini dari guru, tetapi nampaknya dia tak mampu melepaskan atau memutuskan rantai pen-gikat kedua tangan dan kakinya yang tentunya dilaku-kan oleh Ki Sampurno Pamungkas."
Kembali dipandanginya sosok yang terbujur ka-ku. Tangan kanan dan kiri sosok kaku itu lurus den-gan tubuh begitu pula dengan kakinya. Rantai panjang yang mengikat tangan dan kakinya, sebagian berada di atas perut dan betis.
"Persetan dengan semua itu! Kesempatanku se-karang untuk menjadi majikan manusia ini. Keingi-nanku untuk membunuh Raja Lihai Langit Bumi... akan segera dituntaskan melalui tangannya. Baiknya aku segera memulai saja semua ini...."
Habis membatin begitu, perempuan cantik be-rambut seperti dihiasi pernik perak, langsung duduk bersila.
Tangan kanannya diselipkan ke balik bajunya.
Saat ditarik keluar, di tangannya telah tergenggam se-buah kitab yang nampak usang dan berwarna merah.
Ketika dibuka kitab itu, mendadak seolah ada darah yang menetes keluar! Dia nampak khusuk sekali.
Tatapannya lekat pa-da Kitab Pemanggil Mayat yang dibukanya.
Tak lama kemudian terlihat mulutnya bergerak-gerak bersamaan dengan itu tubuhnya pun bergetar.
Dan dari kepalanya seolah membubung asap putih yang cukup tebal.
Hampir sepeminuman teh Dewi Karang Samudera du-duk membaca mantera.
Tak lama kemudian diusapkan kedua tangannya ke wajah, menyusul ditekannya tan-gan kanannya pada Kitab Pemanggil Mayat yang telah ditutup.
Mendadak tangan kanannya bagai mengalir-kan darah yang sangat kental.
Dalam keadaan tangan seperti Dewi Karang Samudera menghampiri mayat Ib-lis Kubur yang masih terbujur.
Lalu diusapkan tangan kanannya yang seperti mengeluarkan darah kental pada wajah mayat yang terbujur di hadapannya.
Setelah itu, ditungguinya be-berapa saat dengan tatapan tak berkedip.
"Gila! Mengapa tak ada reaksi nya?"
Dengus Dewi Karang Samudera setelah menunggu dengan tak sabar.
"Apakah manusia keparat ini sebenarnya belum mati hingga usapan tangan kananku yang telah diba-luri mantera tak berfungsi sama sekali? Celaka kalau begini! Rembulan sebentar lagi akan masuk ke pera-duannya. Aku tak boleh membuang waktu sampai sang fajar melepaskan panah merahnya. Sebaiknya ku ulangi sekali... Okhhh! Dewi Karang Samudera tersentak. Tanpa sadar surut satu langkah. Tetapi sejurus kemudian di bibir-nya tersungging sebuah senyuman. Sosok mayat yang terbujur di hadapannya perla-han-lahan membuka mata... *** "Aaalaam teaalah baanggkitkaan keembaali akku kee buummi keppaarrtthh inni! Summmpaah telaah teeerrluunnassi. Kiinnii ssiiapp baayaar seeeggallaa saakiiit hhaatti."
Suara bernada panjang, dingin dan tak berirama itu terdengar.
Dewi Karang Samudera kembali tercekat.
Meski-pun dia tak melihat gerakan mulut mayat yang; telah membuka mata itu, namun dia yakin, suara itu beras-al dari Iblis Kubur yang telah dibangunkan kembali.
Cepat dia beringsut tiga tindak ke belakang.
Tangan kanannya kini tak lagi seperti meneteskan darah.
Tatapannya yang bulat, dingin dan penuh kelici-kan lurus menatap Iblis Kubur yang tengah membuka mata.
"Iblis Kubur... kau harus berterima kasih kepadaku! Karena akulah kau bisa hidup kembali!!"
Sentaknya tiba-tiba.
"Aaannaak mannusiaa, kaauu haannya buaang waakhtu! Lebbiih baaikh kauu tiinggalkaan teempath iinni. Perggiii darriii sinnii. Uuruusaankku ddengan Saaammpuurno Pamunggkass...."
"Kau telah menjadi budakku, Iblis Kubur! Kau harus turuti setiap perintahku! Bila tidak kau akan kukembalikan lagi dalam kehidupanmu yang menya-kitkan dan kau tak akan pernah bisa membalaskan dendammu pada Ki Sampurno Pamungkas!"
Geram pe-rempuan berbaju hijau lumut itu jengkel.
"Haannyaaa seeekaali aakuu beeruucaap. Tiing-gallkaan temmpaat inni billa tiidaaak ingiinn teerkuu-bur maatti."
Mengkelap wajah Dewi Karang Samudera.
"Setan alas!!"
Habis makiannya, segera dilepaskan satu pukulan dahsyat.
Wussss! Entah apa yang dilakukan oleh Iblis Kubur, men-dadak saja pukulan yang dilepaskan oleh Dewi Karang Samudera tertahan dan menimbulkan suara seperti le-tupan berkali-kali.
Tubuh perempuan berambut seperti dihiasi pernik perak itu terpental ke belakang.
Da-danya terasa sesak.
Dari mulutnya mengalir darah se-gar.
"Untuk mengalahkan manusia ini, hanya Ki Sampurno Pamungkas yang bisa melakukan. Mungkin pula Eyang Sepuh Mahisa Agni. Tetapi, dengan ilmu dari Kitab Pemanggil Mayat, orang yang telah mati dan miliki kesaktian tinggi, tak akan banyak gunanya menghadapi ajaran dari Kitab Pemanggil Mayat. Akan kuhajar dia!"
Dewi Karang Samudera menekan kedua tangan-nya lagi pada Kitab Pemanggil Mayat yang dikelua-rkannya kembali.
Kalau tadi saat diangkat tangan ka-nannya seperti mengeluarkan darah, kali ini tangan ki-rinya yang seperti mengeluarkan darah.
Tanpa mem-buang waktu lagi, dikirimkan dulu pukulan melalui tangan kanannya, yang kembali mendadak tertahan.
Namun kali ini perempuan berbaju hijau lumut itu tak mau kecolongan seperti tadi.
Dengan gerakan yang sangat cepat tangan kirinya yang seperti mengeluarkan darah diusapkan ke wajah Iblis Kubur.
Mendadak manusia mayat yang masih terbujur itu melolong setinggi langit.
Suaranya serak Tenggoro-kannya bagai disekat oleh pasak-pasak kayu yang runcing dan kuat.
Tubuhnya bergerak liar, bergulingan ke sana kemari Semak belukar terpapas habis dan ta-nah muncrat berhamburan.
Rantai yang mengikat tan-gan kanan dan kirinya menimbulkan bunyi yang san-gat keras.
"Aaammpoounn! Ammpouunnii aakku!"
Seruan yang keluar dari mulut manusia aneh itu, bagai lolon-gan serigala. Tersekat, tenggelam dan menggema dah-syat Di bibir Dewi Karang Samudera tersungging se-buah senyuman aneh.
"Katakan kepadaku, kau akan mengabdi padaku selama-lamanya! Dan menuruti setiap perintahku!"
Gerakan liar tubuh Iblis Kubur makin mengeri-kan saja.
Kalau tadi semak hanya terpapas luruh, kini terbakar! Tubuh Iblis Kubur bagai mengeluarkan api yang luar biasa panas.
Di sela-sela gulingan tubuhnya dan lolongannya yang setinggi langit, terdengar sua-ranya keras.
"Akkku aakkaaan meenuuruutii peeerinn-taaahmmuuu.."
"Bagus! Kau mengerti gelagat juga, Iblis Kubur!"
"Beeebbaaaskkaaan aakkuu ceeeppaatth.'"
Pe-rempuan berambut seperti terdapat pernik perak, mengusapkan kedua tangannya.
Kalau sejak tadi yang nampak seperti darah keluar hanya dari salah satu tangannya, kini kedua tangannya seperti teteskan da-rah.
Dalam keadaan tangan seperti itu, Dewi Karang Samudera bergerak cepat.
Wuuus! Tangannya mengusap wajah Iblis Kubur yang se-dang kelojotan bergantian.
Tangan kanan, lalu tangan kiri.
Setelah itu, dengan gerakan yang sukar diikuti oleh mata, Dewi Karang Samudera telah berdiri tegak pada jarak tiga tombak pada tubuh Iblis Kubur yang kini terdiam.
Tarikan napasnya terdengar bagai ringki-kan kuda.
Setelah itu, perlahan-lahan dia bangkit.
Te-gak berdiri dengan kedua mata bagai memancarkan sinar merah.
Mulutnya berkomat-kamit.
"Akkkuuu aakaaan paattuuhi seegaaalaa periiin-taahmmu...."
"Bagus!"
Sahut Dewi Karang Samudera sambil menarik napas panjang.
"Budakku kini ada dua orang. Pertama, nenek berbaju hitam panjang yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam. Dan kedua, manusia mayat yang menyebut diri sebagai Iblis Kubur! Tak lama la-gi... tentunya seluruh keinginanku akan tercapai...."
Tawanya pun keluar, memecah dan menggebah tempat.
*** Bab Waktu terus merambat.
Meskipun nampak perla-han, namun demikian cepat.
Hingga seseorang bahkan tak pernah menyadari apakah waktu bergerak atau ti-dak.
Satu minggu telah berlalu sejak Dewi Karang Sa-mudera berhasil membangkitkan sekaligus menakluk-kan iblis Kubur menjadi budaknya.
Alam kembali terang benderang.
Sang raja siang telah menebarkan sinar merahnya ke seluruh persada.
Mayapada cerah dengan tautan awan putih bagai menghiasi dinding langit.
Burung-burung beterbangan menyambut pagi, menikmati cahaya raja siang yang sudah sepenggalah.
Disatu tempat yang penuh pepohonan, terdapat sebuah sungai yang mengalirkan air jernih dan tak be-gitu deras.
Di bagian yang agak terhalang oleh semak belukar, mendadak saja satu kepala muncul dari da-lam sungai.
Byuuurrr! "Hiii....
Segar! Segar badanku sekarang!"
Terdengar seruan itu dari seorang pemuda yang rupanya se-jak tadi menyelam di sungai itu.
Si pemuda itu mengu-sapkan kedua tangannya pada rambutnya yang gon-drong ke belakang.
Saat mengusapkan kedua tangan-nya, terlihat jelas rajahan burung rajawali berwarna keemasan pada lengan kanan dan kirinya yang kokoh.
Wajah pemuda tampan itu cerah sekali.
Lalu terden-gar lagi suaranya.
"mandi lagi, ah...."
Sambil bernyanyi-nyanyi tak karuan, si pemuda berenang-renang ke sana kemari. Lalu dia menyelam cukup lama. Dan ketika disembulkan lagi kepalanya dari air sungai itu, terdengar satu suara berteriak.
"Aaaauuuu!!"
Si pemuda terbelalak kaget.
Segera ditolehkan kepala ke kanan.
Dan dilihatnya seorang gadis berbaju putih bersih sedang menutup mukanya dengan kedua tangannya dalam posisi membelakangi.
Buru-buru si pemuda menyelam lagi, hingga yang nampak hanya kepalanya saja.
.
"Wah, kok tahu-tahu ada gadis itu di sini? Teta-pi... mengapa barusan dia menjerit? Ah, selagi dia ma-sih, membelakangiku, lebih baik aku naik dan buru-buru, memakai pakaianku lagi."
Memikir sampai di situ, si pemuda perlahan-lahan berenang ke tepian.
Lalu...
Wuuut! Byyurr! Tubuhnya mencelat bagai meteor dari dalam sungai dan kini berada di balik semak di mana pa-kaiannya diletakkan.
Sungguh aneh apa yang kemu-dian dilakukan si pemuda.
Karena, sekujur tubuhnya yang basah itu mendadak saja kering.
Hanya dalam waktu satu tarikan napas! Setelah tubuhnya kering dengan gerakan yang sangat cepat dikenakan pakaiannya yang berwarna keemasan dan celananya yang berwarna kebiruan.
Ikat kepala berwarna keemasan pula dikenakan pada ke-ningnya.
Setelah rapi berpakaian, disampirkannya pe-dangnya yang berwarangka penuh dengan benang emas di belakang punggungnya.
Hulu pedang yang agak aneh menyembul di belakang tubuhnya.
Hulu pedang yang pada bagian bawahnya terdapat sebuah bintang dan tepat di hulunya terdapat ukiran kepala burung rajawali berlawanan arah.
Selesai semuanya, si pemuda buru-buru keluar dari balik semak.
Saat itu juga kedua matanya melebar ketika tak dilihatnya gadis berbaju putih bersih tadi di sana.
"Lho, ke mana dia? Cepat sekali menghilangnya!'' gumam si pemuda sambil celingak-celinguk.
"Apakah aku perlu mencarinya, ataukah kuteruskan perjala-nanku ini?"
Belum lagi si pemuda memutuskan apa yang akan dilakukannya, mendadak terdengar suara lembut namun bernada gusar.
"Kau mencariku karena ber-maksud jelek atau bermaksud baik?!"
Si pemuda segera membalikkan tubuh dan dili-hatnya gadis berbaju putih bersih itu sedang duduk di atas sebatang pohon.
"Hebat! Mendapati gerakannya yang tahu-tahu lenyap begitu saja, aku yakin gadis ini bukan orang kebanyakan."
Habis membatin begitu, si pemuda tersenyum.
"Tak ada maksud apa-apa untuk mencarimu. Kalaupun aku mencarimu, karena aku merasa heran mengapa kau mengganggu mandiku?"
Gadis itu menatap si pemuda dengan seksama sebelum berkata dengan nada sewot.
"Enak saja bica-ra! Mana aku tahu kalau kau sedang mandi? Aku sen-diri tadi hampir membuka baju karena ingin mandi. Untungnya kau sudah keburu muncul dari dalam air sebelum aku membuka pakaian!"
Si pemuda tampan berbaju keemasan tersenyum dan masih tersenyum dia berkata.
"Kalau begitu, pan-taslah kau berteriak tadi."
Lalu katanya lagi.
"Maaf, aku sama sekali tak tahu kalau kau berada di dekat bagian sungai di mana aku mandi. Dan sekarang, apa-kah kita harus berbicara seperti ini sementara kau be-rada di atas dan aku di bawah?"
Mendapati ucapan orang, si gadis melompat tu-run. Lagi-lagi si pemuda membatin.
"Tak salah du-gaanku kalau gadis ini bukan seperti orang kebanya-kan. Gerakan turunnya tadi sangat ringan sekali. Hmm... siapa dia?* "Nah! Aku sudah turun? Apakah ada yang perlu dibicarakan? Kalau tidak... aku ingin mandi!"
Si pemuda tersenyum mendapati kata-kata orang Diam-diam dikagumi kecantikan yang dimiliki.
gadis yang berdiri di hadapannya.
Wajah gadis itu berbentuk bulat telur dengan dagu agak menjuntai.
Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang memerah indah.
Se-pasang alisnya hitam, dihiasi dengan bulu mata lentik dan mata yang cerah terbuka.
Rambutnya panjang hingga ke bahu, dibiarkan tergerai begitu saja.
Pakaian putih bersih yang dikenakannya, dihiasi sulaman bunga mawar dl bagian kanan.
Di pinggangnya yang ramp-ing, melilit sebuah cambuk.
"Hei! Apakah kau mendadak menjadi bisu?"
Seru si gadis setelah melihat pemuda yang berdiri di hadapannya sejak tadi hanya terdiam saja dan mendadak wajah si gadis bersemu merah ketika menyadari apa penyebab ketertegunan si pemuda.
Pemuda yang di lengannya terdapat rajahan bu-rung rajawali berwarna keemasan gelagapan dan kejap kemudian dia tersenyum.
"Bila kau ingin mandi silakan. Kebetulan aku sudah selesai"
Dari semu merah yang sempat menghiasi wajah-nya, si gadis melotot.
"Apakah aku harus membuka bajuku selagi kau berada di sini, hah?"
Si pemuda tertawa.
"Maafkan aku. O ya, namaku Tirta. Bolehkah ku tahu siapa namamu?"
"Hmmm....pertanyaan itu dilontarkan dengan so-pan. Tak ada salahnya bila kuberi tahu namaku,"
Batin si gadis sambil menatap pemuda yang menunggu ja-wabannya. Lalu katanya.
"Ayu Wulan!"
"Baiklah, Ayu Wulan... kita berpisah di sini'"
Tetapi sebelum si pemuda meninggalkan tempat, si gadis yang bernama Ayu Wulan menahan.
"Tunggu!"
Pemuda yang tak lain Tirta alias si Rajawali Emas menolehkan kepala.
"Ada apa?"
"Apakah kau pernah mendengar seorang tokoh yang berjuluk Manusia Pemarah?"
Tirta mengerutkan keningnya. Lalu katanya tan-pa dapat sembunyikan rasa herannya.
"Manusia Pemarah? 'Tidak.,.. Siapakah orang yang mempunyai julu-kan aneh itu?"
"Dia guruku!"
"O... jadi kau sedang mencari gurumu? Ada apa memangnya?"
"Semula... aku tidak bermaksud mencari Guru, karena dia memang sering tidak pulang. Tetapi, sudah enam bulan dia berlalu dan belum kembali. Ini aneh, karena Guru tak pernah pergi lebih dari empat bulan lamanya. Makanya, ku putuskan untuk mencarinya. Apalagi kali ini dia tak memberi tahu ke mana per-ginya. Dasar! Orang tua yang suka marah! Ke mana sih dia?"
Tirta tersenyum melihat sikap Ayu Wulan yang manja dengan bibir lembut seperti itu. Dalam perki-raan nya, si gadis berusia lebih muda darinya. Namun meskipun usianya lebih muda, Ayu Wulan nampak bi-sa bersikap tegas.
"Bila aku bertemu dengannya aku berjanji, akan kusampaikan kalau kau sedang kebingungan menca-rinya. Baiknya, kita berpisah di sini..."
"Hei!"
Gadis berbaju putih bersih itu melotot dan lebih melotot karena tidak melihat pemuda yang tadi berdiri dalam jarak dua tombak dengannya.
"Sinting. Apakah aku bertemu dengan setan barusan? Gera-kannya begitu cepat sekali!"
Ayu Wulan segera berkelebat ke sana kemari. Namun jangankan menemukan Tirta, melihat bayan-gannya saja tidak. Dia berdiri kembali dengan kening dikerutkan.
"Selama keluar dari Lembah Mawar, baru kali ini kujumpai pemuda yang demikian tampan. Tutur sapanya meskipun rada konyol, namun mengapa mengena di hatiku? Dan aku tidak marah dengan ka-ta-katanya tadi. Jelas kalau pemuda itu tidak bermaksud jahat. Dan dia... iiihh! Kenapa aku jadi memikirkan pemuda itu sih? Lebih baik aku mandi dan setelah itu teruskan mencari Guru! Ampun deh, Guru! Di mana sih kau berada?! Bikin aku pusing saja!"
Sambil bersungut-sungut, gadis itu berjalan ke tepi sungai.
Diperhatikan sekelilingnya.
Setelah dirasa cukup aman, di balik sebuah semak dibuka pakaiannya dan segera mandi *** Senja sudah turun ketika gadis berbaju putih bersih yang sedang mencari gurunya itu tiba di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar dan pepo-honan.
"Hmmm... ke mana lagi aku harus mencari Guru?"
Desisnya sambil menatap ke atas. 'Tak lama la-gi malam akan datang. Sebaiknya kutinggalkan saja tempat yang menyeramkan ini"
Memutuskan demikian, Ayu Wulan siap kele-batkan tubuh lagi.
Namun...
Mendadak saja tangan kanannya digerakkan ke samping kiri.
Wuusss! Serangkum angin menghampar deras dan meng-hantam sebuah semak yang langsung terpapas! "Setan alas.' Siapa kau yang suka mengintip, hah?."
Bentak Ayu Wulan dengan kedua kaki sedikit dipentangkan.
Tak seorang pun yang keluar dari sana.
Namun, dalam pandangan Ayu Wulan yang terlatih, dia yakin ada orang di balik semak.
Dan hanya orang berniat ti-dak baik yang tidak segera keluar dari persembu-nyiannya.
Apakah orang itu telah pingsan terhantam pukulan yang dilepaskannya barusan? "Hmmm...
kalau memang hanya cecurut iseng, lebih baik kuperiksa dulu sebelum kuyakini orang itu memang pingsan."
Namun belum lagi gadis berbaju putih bersih itu melangkah, terdengar suara bernada panjang, berat dan serak "Gaaddisss maanniss... kaaauuu beeruunntuung beerteemu deeengganku...."
Seketika Ayu Wulan menoleh ke belakang.
Sepa-sang mata bagusnya melebar melihat satu sosok tu-buh.
berdiri kaku di hadapannya.
Lebih heran lagi, ka-rena orang yang baru datang itu diyakininya orang yang diserang tadi.
Lalu, bagaimana tahu-tahu orang itu bisa berada di belakangnya? Sadar kalau orang yang muncul bukan orang sembarangan, Ayu Wulan bersiaga, menjaga kemung-kinan yang tak mengenakkan.
Pandangannya lekat pada lelaki berjenggot dan berkumis panjang.
Di tan-gan dan kakinya terdapat rantai panjang yang besar.
Dari sosoknya yang mengerikan, adalah matanya yang paling menakutkan.
Mata itu seolah tak berkedip sedi-kit juga.
Terpentang lebar dan Ayu Wulan terkejut ke-tika menyadari kalau tatapan itu mirip tatapan orang yang sudah mati! Siapa kau sebenarnya?"
Bentak si Gadis dengan sikap waspada.
"Akkuuu Ibblisss Kuubuurr. Gaadiss Maanniss... kaaataakkaan di maaannaa Saammpurrno Paamung-kaass beeraaada?"
"Aneh, siapakah orang yang menjuluki dirinya Ib-lis Kubur ini? Mengapa di kedua tangan dan kakinya terdapat rantai besar yang panjang? Lalu cara berbica-ranya itu sungguh aneh sekaligus mengherankan. Sia-pa pula orang yang dimaksudnya barusan?"
Batin si gadis dengan mata tak berkesip tatap orang di hadapannya. Lalu katanya.
"Aku tak mengenal siapa orang yang kau maksud. Tetapi, lebih baik tinggalkan tempat ini."
"Keepaaaraathh! Kaauuu beeraaanni beersikaap buurrukk paaddakku!!"
Usai kata-katanya, mendadak saja orang yang tak lain mayat yang dihidupkan kembali oleh Dewi Karang Samudera dan berjuluk Iblis Kubur, menggerakkan tangan kanannya.
Rantai besar yang mengikat tangannya pun ber-gerak pula dan menimbulkan suara yang keras menge-rikan.
Sraang! Kraaataak! Menyusul kilatan cahaya yang terpantul dari ran-tai itu ke arah Ayu Wulan.
Terkesiap Ayu Wulan melihat serangan yang da-tang.
Cepat dihemposkan tubuhnya ke belakang.
Sam-batan rantai besar dan panjang itu luput dari sasaran, namun gempuran angin yang menderu tadi masih sempat menghantam bahu kanannya yang terasa mau patah.
Meringis gadis berbaju putih bersih itu meme-gang bahu kanannya dengan tangan kiri.
Wajah jeli-tanya mendadak menjadi pucat.
"Gila! Siapa orang ini sebenarnya? Gebrakan per-tamanya sudah sedemikian dahsyat! Apa yang bisa ku-lakukan sekarang?"
Batin gadis itu galau.
Belum lagi diputuskan untuk berbuat apa, suara keras kembali menderu.
Kraaataak! Kali ini si gadis melipat gandakan ilmu peringan tubuhnya.
Wusss! ., Tubuhnya mencelat lincah ke samping.
Saat itu pula langsung digerakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuut! Pyaaar! Menghampar angin dingin dari telapak tangan-nya, menghantam sekaligus membuyarkan angin yang masih menderu yang ditimbulkan oleh rantai yang di-gerakkan Iblis Kubur.
Akan tetapi, kendati si gadis berhasil memunahkan angin itu, namun bagai tersisa angin itu menderu dan menghantamnya lagi! "Aaakhhh!"
Ayu Wulan berteriak keras dan terguling hingga dua tombak.
Kali ini bukan hanya bahu kanannya yang terasa sakit, namun bahu kirinya pun demikian.
Kendati dirasakan nyeri tak terkira pada kedua ba-hunya, namun si gadis tetap berusaha berdiri tegak Karena, dalam posisi berdiri dia masih bisa mencoba untuk menghindar bila serangan datang lagi.
Dan yang diperkirakannya memang benar.
Kali ini Iblis Kubur yang berdiri dalam jarak lima tombak mengangkat kaki kanannya dan digerakkan ke depan.
Srang! Kraatakk! Wusss! Bersamaan bunyi rantai yang masih mengikat kakinya, menghampar angin yang luar biasa besarnya.
Ayu Wulan menjadi pucat menyadari hal itu.
Sungguh, apa yang dialami oleh si gadis benar-benar di luar du-gaannya.
Sebagai murid salah seorang tokoh rimba persilatan yang berjuluk Manusia Pemarah, tak akan mudah dia dipecundangi seperti itu.
Namun pada ke-nyataannya, dua gebrakan saja dia sudah terluka pada bahu kanan dan kiri.
Belum lagi menyusul serangan yang ketiga! Dalam keadaan terjepit seperti itu, Ayu Wulan tentunya tak mau mati konyol.
Dia mencelat dan lang-sung memutar tubuh dua kali di udara, bersamaan dengan itu langsung diserangnya Iblis Kubur dengan pukulan 'Sejuta Pesona Bunga', salah satu jurus yang diajarkan oleh Manusia Pemarah.
Menderu angin panas ke arah Iblis Kubur.
Se-mentara tanah di mana si gadis berdiri tadi, langsung membentuk sebuah lubang sedalam satu tombak dan mengeluarkan asap.
Serangan si gadis yang siap dihantamkan pada kepala Iblis Kubur, benar-benar mengena.
Karena, ba-gai tak menyadari serangan yang datang, orang yang sejak tadi melakukan serangan tanpa menggeser tu-buhnya sedikit juga dari tempat berpijaknya, mem-biarkan saja pukulan itu menghantamnya.
Desss!! Bersamaan pukulannya menghantam kepala Iblis Kubur, Ayu Wulan meneruskan memutar tubuh dua kali dan hinggap dalam jarak tiga tombak di belakang Iblis Kubur yang kini dibalut oleh asap hitam yang tebal namun mengeluarkan aroma wangi bunga ma-war.
Terbelalak si gadis melihat apa yang terjadi.
Begitu asap hitam itu menghilang, sosok Iblis Kubur masih tegak berdiri tak kurang suatu apa.
Bahkan perlahan-lahan kepalanya menoleh ke belakang, menghadap ke arah Ayu Wulan! Pancaran sepasang matanya bertambah dingin.
Wajahnya kini memucat.
Jenggot dan kumis tebalnya bergerak-gerak mengerikan.
"Celaka!"
Desis Ayu Wulan dengan wajah pucat pasi.
Tubuhnya mendadak seolah kaku "Pukulan 'Sejuta Pesona Bunga' seolah tak ada arti apa-apa bagi manusia itu.
Keadaan bisa gawat! Aku bisa mati konyol sekarang! Lebih baik, segera kutinggalkan tempat ini dari pada mati sia-sia! Padahal, aku harus mencari di mana Guru saat ini berada!"
Memikir demikian, si gadis memperhatikan dulu suasana.
Setelah dilihatnya saat yang tepat, dengan mengerahkan seluruh ilmu peringan tubuhnya, Ayu Wulan mencelat ke samping.
Namun baru saja dilakukan gerakan itu, menda-dak suara 'kraaatak' yang keras terdengar.
Urung ga-dis berbaju putih-putih itu melakukan gerakan susu-lan.
Yang dilakukan justru membuang tubuh ke samp-ing! Tetapi satu dorongan angin keras tak bisa dihin-darinya.
Tubuhnya telak terhantam dan terlempar li-ma tombak kebelakang.
Masih untung Ayu Wulan memiliki ketahanan tubuh yang kuat.
Bila tidak, tu-lang penyangga tubuhnya akan patah berantakan.
Meskipun demikian, sepertinya dia tak mampu lagi un-tuk bangkit.
Darah segar mengalir dari hidungnya.
Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu sosok Iblis Kubur sudah berdiri tegak di hadapannya, berja-rak satu tombak dari tempat di mana si gadis sedang terduduk dengan rasa nyeri yang hampir-hampir tak bisa tertahankan.
Membuat gadis itu melengak dengan mulut terbuka lebar.
"Siiaapaa puun yaaang taakk berriii tahuuu dii maana maannussiiaa keepaaratth Saaampurrnooo Paammmungkaaass beerradaa, diiaaa aakann maattti."
Menggigil sekujur tubuh Ayu Wulan.
Seumur hi-dupnya, belum pernah dirasakan kengerian seperti ini.
Dicoba untuk menggerakkan tubuhnya, namun semua terasa ngilu sekali.
Meskipun demikian, si gadis yang punya ketabahan tinggi itu, justru membuka matanya lebih lebar, saat orang di hadapannya mengangkat tangan kanannya hingga rantai besi panjang dan berat itu bagai menyala tertimpa sinar matahari.
Namun belum lagi maut menjemput Ayu Wulan, terdengar deruan luar biasa keras.
Kejap itu juga melesat dua buah gelombang angin laksana deburan om-bak menghantam tangan kanan Iblis Kubur yang su-dah siap memukul pecah kepala Ayu Wulan! *** Bab Blaaamm! Terdengar ledakan hebat saat dua gelombang an-gin tadi menghantam tangan Iblis Kubur.
Hebatnya pula dua gelombang angin tadi membuat Iblis Kubur surut tiga tindak.
Padahal, tak satu pukulan pun yang dilepaskan oleh Ayu Wulan bisa membuat Iblis Kubur berubah posisi berdirinya! Kejap kemudian, berkelebat satu bayangan kee-masan ke tempat itu dan berdiri tepat di sisi kanan Ayu Wulan yang segera mengangkat kepala dan seketi-ka terdengar seruannya gembira, 'Tirta...."
Orang yang baru muncul dan melepaskan puku-lan hingga Ayu Wulan terbebas dari maut yang siap menjemputnya, pasang senyuman.
Dia tak lain adalah Tirta, atau yang sekarang dikenal dengan julukan Ra-jawali Emas.
Sebuah julukan yang pertama kali dilon-tarkan oleh Sumirat dan menyusul Dewi Kematian yang secara tak langsung telah mengumandangkan ju-lukan itu ke seluruh rimba persilatan.
(Untuk menge-tahui hal itu, silahkan baca serial Rajawali Emas da-lam episode.
"Wasiat Malaikat Dewa").
"Tak kusangka kita berjumpa lagi dalam waktu yang singkat. Kau tidak apa-apa?"
Kata Tirta sambil nyengir "Pertanyaan bodoh! Apakah dia tak melihat aku yang sudah tak berdaya begini? Masih saja bertanya tidak apa-apa,"
Batin Ayu Wulan gemas. Tetapi, tetap dianggukkan kepalanya.
"Bagus! Siapa orang itu sebenarnya, Ayu? Dan Mengapa dia ingin membunuhmu?"
Tanya Tirta sambil membungkuk. Diperiksanya sekilas tubuh Ayu Wulan. Lalu dia membatin.
"Gila... mengapa sekujur tubuhnya begini lemah sekali? Dan aku seperti merasakan hawa panas yang luar biasa. Tetapi, gadis ini nampaknya tak merasakan panas itu. Suatu ilmu yang sangat aneh dan tentunya panas itu akan menyerang Ayu secara perlahan-lahan akan merontokkan seluruh jalan da-rahnya dalam waktu yang cukup singkat. Hmmm... untuk sementara, ku coba untuk menghentikan hawa panas ini."
Ayu Wulan menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku tidak tahu. Mendadak saja manusia yang mengaku berjuluk Iblis Kubur itu muncul dan menye-rangku karena aku tak bisa jawab pertanyaannya."
Ayu Wulan melihat paras pemuda yang sedang mengalirkan tenaga dalam ke tubuhnya itu berubah.
"Mengapa, Tirta?"
Tanyanya pelan.
Tirta terdiam.
Ingatannya beralih pada tugas yang diberikan Raja Lihai Langit Bumi yang dipanggilnya Guru.
Tugas untuk menyelidiki tentang seorang tokoh sesat yang telah mati seratus tahun lalu dan bersumpah akan bangkit kembali melaksanakan sebuah dendam.
Apakah orang yang sedang berdiri tegak dengan tatapan dingin itu orang yang dimaksud? "Pertanyaan apa?"
Tanyanya kemudian.
"Dimana orang yang bernama Sampurno Pa-mungkas berada,"
Sahut Ayu Wulan masih menatap heran pada wajah pemuda di hadapannya yang ber-tambah mengerutkan kening.
Lagi Tirta terdiam.
Iblis Kubur mencari seseorang yang bernama Sampurno Pamungkas? Oh, apakah ini jawaban dari teka-teki yang diberikan Raja Lihai Langit Bumi? Saat memberikan tugas padanya, orang tua bi-jaksana yang di bahunya terdapat selendang berse-lempang itu memang tak mengatakan siapa Iblis Ku-bur sebenarnya.
Tirta pun teringat akan tokoh yang barusan disebutkan Ayu Wulan tadi.
Raja Lihai Langit Bumi pernah mengatakan, salah seorang yang mampu menandingi tenaga surya dari sari manis Rumput Se-laksa Surya yang dihisapnya adalah Ki Sampurno Pa-mungkas.
Orang itu kah yang diinginkan oleh Iblis Ku-bur? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan itu berhasil dicerna dan ditemukan jawab, mendadak dirasakan deru angin dahsyat dan suara ber'kraaatak' yang keras dibelakang.
Pendekar Rajawali Emas terkesiap, berbalik dan segera dihantamkan kedua tangannya.
Terdengar den-tuman menggelegar menyentak tempat itu.
Tubuh Tirta terlempar dua tombak ke belakang, sementara Iblis Kubur yang barusan melakukan se-rang masih berdiri tegak.
Sementara deru hantaman Iblis Kubur tadi rupanya mengenai Ayu Wulan yang dalam keadaan tak berdaya.
Tanpa ampun lagi, gadis berbaju putih bersih dengan sulaman bunga mawar pada bagian dada kanannya itu jatuh pingsan! .
"Gila! Luar biasa sekali tenaganya! Lenganku terasa ngilu!"
Desis Tirta sambil menatap kedua lengannya yang kini jadi kehitaman di mana terdapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan.
Cepat dialirkan tenaga dalamnya untuk menghilangkan rasa nyeri.
Lamat rasa nyeri itu hilang, begitu pula dengan warna kehitaman pada kedua lengannya.
Ketika selesai dialirkan tenaga dalamnya, men-dadak sepasang mata tajamnya melebar.
Karena tak dilihatnya sosok Ayu Wulan di tempatnya tadi.
"Celaka! Di mana gadis itu? Apakah dia terlempar dan pingsan karena terkena hantaman angin keras itu pula?"
Serunya tegang.
Apa yang dicemaskan Tirta memang terbukti.
Dia memang masih bisa mengendalikan diri agar tidak ter-lalu terlempar jauh begitu hamparan angin menderu ke arahnya.
Namun malang bagi Ayu Wulan.
Gadis berbaju putih bersih yang dalam keadaan tak berdaya itu, terlempar lima tombak begitu terhantam angin ke-ras tadi yang membuatnya pingsan seketika.
Tirta melihat di mana gadis itu berada sekarang.
Disebuah semak yang langsung rebah begitu tubuh si gadis terjatuh di sana.
Secepat kilat Tirta melesat.
Hatinya panik melihat Ayu Wulan yang diam tak berge-rak.
Ketika dipegangnya nadi gadis itu pada pergelan-gan tangan kanannya, dia masih bisa bernapas lega.
Karena detak jantung gadis itu masih terasa meskipun sangat lemah sekali.
Tetapi rasa panas yang dirasakan oleh Tirta sebelumnya pada tubuh gadis itu, makin menyengat saja.
Tangannya tak ubahnya memegang bara.
Dengan mengalirkan tenaga surya itulah tadi dia bisa memeriksa nadi si gadis.
"Oraaanngg muudaa... kaauu teelaaah caamm-puurii uuruusaan iiiblis Kuubbur. Beerarrtii kaauu aakan maattti."
Tirta berdiri tegak.
Sejenak rasa bingung meling-kupinya.
Di satu segi, dia harus menyelamatkan gadis ini.
Di segi lain, bisakah dia meloloskan diri dari Iblis Kubur yang sedang murka? "Manusia yang sudah mati, kau hanya jadi peta-ka bila hidup lagi!"
"Kaataakaan... dii maaanna Saammpurrnoo Paaamuuungkass beraadaa?"
"Dia tetap mencari Ki Sampurno Pamungkas. Be-rarti, hanya orang itulah yang dicarinya. Apakah ini sebuah kesempatan bagiku untuk menjawab asal saja dan memberi pertolongan pada Ayu Wulan?"
Gumam Tirta menimbang-nimbang. Lalu dengan suara keras dia berseru.
"Kau mencari Ki Sampurno Pamungkas? Orang itu berada di Gunung Tengger! Di sanalah dia menunggumu!"
"Baaggusss!! Dii Guunnuung Teenggeer. Tetaapi, kaaauu haaruss maatti!"
"Kurang ajar!"
Dengus Tirta melengak. Saat ini dia benar-benar dilanda bingung yang tinggi mengingat kondisi Ayu Wulan yang harus lebih dulu disela-matkannya. Baginya, keselamatan Ayu Wulan lebih di-utamakan daripada mengurus Iblis Kubur.
"Sudah menjadi mayat pun dia masih bisa berpikir seperti itu! Keparat! Aku tak yakin dia hidup kembali karena sumpahnya! Tak mungkin! Pasti ada seseorang yang telah membangkitkannya!"
Dan sekarang apakah aku harus menghadapi Ib-lis Kubur? Pedang Batu Bintang dan tenaga surya bisa kupergunakan.
Tetapi, bagaimana dengan nasib Ayu Wulan? Aku harus menyelamatkan nyawanya! Hawa panas yang terasa itu pasti akan merontokkan seluruh jalan darahnya! Hmmm...
ya, ya, hanya Bwana yang bisa membantuku saat ini, meskipun aku tidak tahu di mana dia berada."
Tiba-tiba saja pemuda berbaju keemasan itu me-nepukkan tangannya tiga kali.
Dan di antara setiap te-pukannya dihempaskannya tangan ke atas.
Cahaya merah muncrat, berpendar di angkasa.
Dan entah dari mana munculnya, mendadak ter-dengar suara yang sangat keras sekali di angkasa, membedah tempat yang kini telah berubah menjadi ta-nah lapang, karena banyak pepohonan dan semak yang tumbang dan terlempar jauh akibat pukulan yang dilakukan oleh Iblis Kubur.
"Koaaaakkkk!"
Tirta dongakkan kepala dan tersenyum.
"Bagus! Dia muncul juga! Biarlah Bwana yang menghadapi manusia keparat ini, sementara aku me-nyelamatkan Ayu Wulan terlebih dulu!"
Timbang Tirta sambil perhatikan Bwana, si burung rajawali keemasan yang terbang di ketinggian.
Bayangan raksasa di angkasa yang menimbulkan suara gemuruh angin dahsyat meluruk dan hinggap dalam jarak lima belas tombak dari tempat Tirta dan Iblis Kubur berdiri.
Iblis Kubur langsung menggerak-kan tubuh.
Matanya menatap tak berkesip pada bu-rung rajawali yang besarnya empat kali gajah dewasa.
Tirta langsung berseru.
"Bwana! Kau urus manu-sia jahanam itu dulu! Aku hendak menolong gadis yang pingsan ini!"
Bagai mengerti ucapan orang, kepala Bwana te-rangguk-angguk.
Dari tiba-tiba saja sayap kanannya dikepakkan ke arah Iblis Kubur.
Menghampar angin deras laksana topan badai.
Sekaligus, menyeret kerikil, tanah dan menerabas semak belukar.
Untuk pertama kalinya, Tirta melihat perubahan pada wajah Iblis Kubur.
Kali ini nampak keningnya di-kernyitkan dan kejap kemudian langsung melompat menghindari gempuran sayap Bwana yang sedahsyat topan badai! "Aneh! Kalau sejak tadi dia selalu menyerang tanpa berubah posisi, kini dia menghindar! Apakah dia takut dengan Bwana, ataukah ada yang dipikirkan-nya?"
Desis Tirta, masih kernyitkan kening.
Lompatan yang dilakukan Iblis Kubur sebenar-nya ringan saja tadi, namun tubuhnya mencelat jauh dua puluh tombak ke samping.
Kepakan sayap Bwana menghantam tiga batang pohon yang langsung tum-bang dan terlempar sepuluh tombak! Begitu orang yang diserangnya menghindar, Bwana segera mengepakkan kedua sayapnya.
Debu yang beterbangan semakin banyak.
Tanah yang mun-crat semakin tinggi.
Kepulan tanah dan debu itu menghalangi pandangan.
Namun sama sekali tak ada pengaruhnya bagi Iblis Kubur.
Dia tetap dapat meng-hindari serangan itu.
Sementara Tirta, buru-buru membopong tubuh Ayu Wulan yang masih pingsan.
Diputuskan untuk mencari tempat yang lebih aman guna mengobati gadis baju putih bersih itu.
Pertarungan antara Bwana menghadapi Iblis Ku-bur berlangsung dengan seru.
Kali ini burung rajawali raksasa itu bukan hanya mengepakkan kedua sayap-nya saja, melainkan sudah terbang dan meluruk den-gan cakar dan paruhnya yang tajam.
Iblis Kubur mengeluarkan geraman yang sangat mengerikan.
Dedaunan langsung berguguran saat di-putar tangan kanannya.
Desingan yang ditimbulkan oleh rantai besi panjang yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari seperti mengeluarkan angin topan yang berputar-putar.
Membuat Bwana sulit untuk mendeka-ti Iblis Kubur.
Namun burung yang cerdik itu pun tak mau dirinya terkena sambaran angin maupun rantai besi panjang.
Dia terkadang terbang, terkadang meluruk seper-ti sedang mempermainkan orang.
Dan ketika sayapnya dikepakkan, pusaran angin topan yang ditimbulkan pukulan tangan Iblis Kubur yang terdapat rantai besi panjang dan besar, langsung terpupus.
Bahkan angin yang ditimbulkan oleh kepakan sayap Bwana, mem-buat tubuh Iblis Kubur goyah.
Dengan cepat dan mengeluarkan suara melengk-ing yang tinggi, Bwana menerjang dengan kedua ca-karnya.
Wuusss! Brakk! Baju di bagian dada Iblis Kubur sobek Murkalah orang yang sebenarnya sudah menjadi mayat namun karena kekuatan Dewi Karang Samudera yang mem-pergunakan mantera dari Kitab Pemanggil Mayat kini bisa seperti hidup kembali.
Gerengan yang mengerikan terdengar bertalu-talu.
Saat Bwana menerjang, mendadak Iblis Kubur membuka mulutnya'.
Wusss! Wusss! Dua gumpalan asap hitam pekat diiringi angin sangat kencang, menggebubu ke arah Bwana yang langsung mencelat naik dan bersuara melengking.
Namun asap pekat tadi bagai mengikuti gerakan Bwa-na yang masih berputar-putar dalam jarak dua puluh depa di atas kepala Iblis Kubur yang berteriak keras.
Mendadak burung rajawali yang cerdik itu men-gepakkan kedua sayapnya.
Wussss! Menghampar angin laksana topan ke bawah.
Keanehan terjadi, karena dua gumpalan asap yang telah menjadi satu dan mengarah mengikuti ge-rakan Bwana, tak pupus sedikit juga oleh sambaran angin dahsyat yang ditimbulkan oleh dua kepakan sayap Bwana.
Malah makin nampak hitam pekat.
Ber-samaan dengan itu, Iblis Kubur menggerakkan kedua tangannya.
Wuuuuttt! Angin panas yang menebarkan bau busuk bagai puluhan anak panah melesat ke arah Bwana.
Bwana masih sempat bergerak sebenarnya, namun kaki ki-rinya terkena salah satu deru angin panas itu.
"Koaaaakkkk!"
Suaranya keras bernada kesaki-tan.
Kaki kirinya dengan kuku yang melengkung dan tajam melepuh.
Kulitnya mengelupas.
Merasa tak sanggup menghadapi lawan, Bwana langsung mengepakkan sayapnya terbang meninggal-kan Iblis Kubur yang berteriak-teriak keras.
Nalurinya seolah berkata, toh Tirta yang bermaksud menyelamatkan gadis baju putih bersih itu sudah tak nampak lagi di matanya.
"Bbuuurrung laaknaath! Kaaauu taakk aakaan bbiisaa laarri daarri taaangankuu! Hhhhhkh! Peemuu-daa taddii meenggaataakaan, kaalaauu Saampuurnoo Paamungkaass beraadaa dii Guunuungg Tenggeeer. Akkku harus segeeraa ke sana!"
Iblis Kubur membuka mulutnya lagi.
Gumpalan asap hitam pekat tadi yang menyerang dan menyen-takkan Bwana, bagai bergerak masuk ke dalam mulut dan lenyap.
Setelah itu, Iblis Kubur berlalu meninggalkan tempat yang telah porak-poranda.
Dan tanpa setahu siapapun juga, sepasang mata bening namun licik yang sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi dalam jarak lima puluh tombak di balik rimbunnya semak, memancarkan sinar gembira.
"Luar biasa! Dengan kesaktian yang dimiliki Iblis Kubur, keinginanku untuk membunuh Raja Lihai Langit Bumi akan dengan mudah terlaksana! Ini suatu hal yang baik!"
Batin orang yang mengintip itu.
Lalu perlahan lahan dia keluar dari persembunyiannya.
Pa-kaiannya yang berwarna hijau tipis terkabar diper-mainkan angin melekat sesaat di tubuhnya, hingga bentuk tubuhnya yang indah dan menggiurkan sema-kin nyata.
Terutama pinggul dan payudaranya yang ken-cang.
Rambutnya yang seolah dihiasi oleh pernik perak makin menyala tertimpa sinar matahari dan membuat pesona pada wajahnya semakin menjadi.
Perempuan yang tak lain Dewi Karang Samudera menyunggingkan senyum.
Hingga bibirnya yang me-merah bertambah menggiurkan.
Bila saja orang yang melihatnya tahu berapa usia perempuan berbaju hijau tipis itu, tentunya hanya sesaat mengagumi kecanti-kan wajah dan keindahan tubuhnya.
Setelah berhasil membangunkan dan menakluk-kan Iblis Kubur, Dewi Karang Samudera seperti mem-berikan kebebasan pada Iblis Kubur untuk mencari dan membalas dendam pada Ki Sampurno Pamungkas.
Hal itu dilakukan, karena dia ingin orang-orang rimba persilatan mendengar kabar tentang bangkitnya Iblis Kubur.
Dan dia yakin, Raja Lihai Langit Bumi pasti akan muncul pula.
Itulah saat yang tepat untuk membalaskan den-damnya pada Raja Lihai Langit Bumi dengan memper-gunakan tangan Iblis Kubur.
Dendam yang hanya dia dan Raja Lihai Langit Bumi saja yang mengetahuinya.
Di bibir tipis memerah Dewi Karang Samudera tersungging senyum aneh.
"Hmmm... biar kuikuti ke mana perginya manu-sia keparat yang telah mampus dan berhasil kuban-gunkan itu!"
Habis kata-katanya, tubuhnya berkelebat cepat.
Hingga yang nampak hanyalah bayangan hijau belaka.
*** Bab Hari telah berganti pagi kembali.
Di sebuah hu-tan kecil dibagian selatan dari dusun Watu Ampar, nampak sebuah bayangan keemasan berkelebat lincah.
Gerakannya tak ubahnya seperti angin, menandakan ilmu peringan tubuh yang dimilikinya sudah begitu tinggi.
Bayangan keemasan tadi yang tak lain adalah Tirta, menghentikan larinya dan bergerak ke kiri.
Di sebuah tempat yang agak terhalang oleh rimbunnya semak si Rajawali Emas masuk ke sana.
Ditariknya napas sesaat dan ditatapnya wajah Ayu Wulan yang masih terbujur di tanah yang telah dialasi daun pi-sang.
"Gila! Seharusnya gadis ini sudah siuman setelah kuhentikan hawa panas yang mengalir di tubuhnya. Masih untung dia bisa kuselamatkan dengan tenaga surya, bila tidak... ah, entah apa yang akan diala-minya."
Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya terda-pat rajahan burung rajawali itu pun duduk di sebatang akar pohon yang menonjol keluar. Nasi bungkus yang dibelinya di dusun Watu Ampar tadi, diletakkan disisi tubuhnya.
"Biar kutunggu sampai gadis ini siuman,"
Ka-tanya sambil menarik napas.
"Hmmm... apa yang dikatakan Guru dulu itu benar tentang Iblis Kubur. Ru-panya manusia itu memang benar-benar telah bangkit lagi Dan memiliki dendam setinggi langit pada Ki Sam-purno Pamungkas. Belum pernah kukenal orang yang bernama Ki Sampurno Pamungkas itu. Ucapanku yang mengatakan dia berada di Gunung Tengger, sebenar-nya asal saja. Biar ada kesempatan untuk mengobati Ayu Wulan. Tapi... keparat! Manusia iblis itu benar-benar menghendaki kematianku dan Ayu Wulan! Oh, bagaimana dengan Bwana? Apakah dia sanggup me-nandingi kesaktian Iblis Kubur? Mudah-mudahan bu-rung kesayanganku itu mempergunakan nalurinya yang cerdik dan menghindar bila tak sanggup meng-hadapi lawan. Bila saja gadis ini tidak pingsan dan segera membutuhkan pertolongan, aku akan bertarung mati-matian dengan manusia iblis itu! Aku ingin tahu, apakah dia mampu menandingi kesaktian Pedang Batu Bintang?"
Kesunyian menyergap kembali. Matahari maki tinggi merayap. Tirta menatap lagi wajah gadis yang masih pingsan.
"Cantik. Sayangnya, agak pemarah. Tetapi tidak heran, gurunya saja berjuluk Manusia Pemarah. Aku penasaran ingin tahu siapa pula orang itu sebenar-nya?"
Belum lagi Tirta menemukan jawab, mendadak pendengarannya yang tajam, menangkap suara orang berkata-kata.
"Aku tidak salah, Iblis Angin! Pemuda yang kau katakan pernah mengalahkan kalian dan membunuh Iblis Air, jelas kulihat tadi di kedai di dusun Watu Ampar!"
"Bagus kalau begitu! Dia harus membayar lunas nyawa Iblis Air!"
Sejenak Tirta terdiam sebelum berkelebat setelah mengenali siapa orang kedua yang berbicara barusan.
Dengan ilmu peringan tubuh yang diajarkan oleh Bwana lima tahun silam di Gunung Rajawali dan di-tambah dengan kehebatan peringan tubuh dari tenaga surya yang didapatnya dari sari manis Rumput Selak-sa Surya, dengan ringan laksana angin, Tirta melom-pat ke satu pohon dan ke pohon lain.
Di sebuah pohon yang agak rimbun, berjarak se-kitar lima puluh tombak di tempat Ayu Wulan pingsan, si Rajawali Emas bisa melihat sekarang siapa orang-orang yang tengah berbicara.
"Benar dugaanku. Hmmm... Lima Iblis Puncak Neraka yang mempunyai dendam pada Guru, Bidadari Hati Kejam. Kurang ajar! Ingin kujitak lagi rupanya kepala mereka. Kini mereka berlima juga, padahal Iblis Air sudah mampus! Hmm... aku ingat sekarang, siapa orang yang berbaju hitam legam terbuka pada bagian dada hingga memperlihatkan bulu dadanya yang lebat. Kalau tidak salah, saat aku membeli nasi tadi, aku sempat melihat orang itu. Rupanya dia kambrat dari Lima Iblis Puncak Neraka."
Orang-orang yang dimaksud oleh Tirta memang lima Iblis Puncak Neraka yang kini tinggal empat orang. Karena, Iblis Air telah tewas di tangan Tirta dalam pertarungan yang mendebarkan (Silahkan baca.
"Raja Lihai Langit Bumi"). Orang-orang kejam yang memiliki postur dan tu-buh yang sama. Dengan masing-masing mata celong ke dalam dan wajah tirus mengerikan. Lipat mata me-reka seakan membuat mata yang celong itu bagai ter-beliak. Hidung mereka pesek dengan bibir bagian ba-wah tebal. Rambut mereka putih diikat ke belakang. Pa-kaian mereka berwarna biru kusam dengan jubah hi-tam panjang yang berkebyar-kebyar dihembus angin. Di bahu masing-masing terdapat selendang yang ber-lainan warna dan selendang itulah yang menandakan siapa nama mereka. Dan orang berbaju hitam yang berdiri di antara orang-orang yang memakai selendang berlainan warna berselempang itu, memiliki wajah penuh codetan luka di sana-sini. Rambutnya panjang kusut dengan botak di bagian ubun-ubun. Seluruh yang ada di wajahnya nampak besar semua. Bahkan bibirnya lebih besar da-ri hidungnya! "Wah, kalau ada pertunjukan ketoprak, manusia itu tidak perlu lagi pakai topeng,"
Usil batin Tirta sambil menahan tawa.
"Dan dia pantasnya jadi kuda tung-gangan... ha ha ha."
Orang yang mengenakan selempang warna hitam yang berjuluk Iblis Angin mengeluarkan suara.
"Cari pemuda itu! Kita berpisah pada lima penjuru! Dan kau, Tangan Sakti, ingat.... Ilmu pemuda yang kita cari ini sangat tinggi! Karena, dia memiliki Pedang Batu Bintang dan sebuah tenaga panas yang luar biasa. Ka-lau dia tak memiliki dua kelebihan itu, bukanlah tan-dingan dari Lima Iblis Puncak Neraka! Tetapi biar ba-gaimanapun juga pemuda keparat yang berjuluk si Ra-jawali Emas itu tetap harus mampus di tangan kami! Peduli setan dia setangguh apa pun! Dengan ban-tuanmu, mungkin semuanya bisa dituntaskan!"
Orang berkepala botak di tengah menganggukkan kepala dengan wajah bangga. Dia tidak tahu kalau Ib-lis Angin meneruskan kata-katanya dalam hati.
"Keparat! Kehebatanmu berada satu tingkat di bawah kami! Kuminta bantuanmu, karena formasi Lima Iblis Pun-cak Neraka harus ada yang mengisi. Masih untung kau kami ajarkan untuk mengisi posisi Iblis Air yang telah tewas di tangan si Rajawali Emas."
Lalu katanya setelah tatap satu persatu orang-orang yang ada di hada-pannya.
"Kita berpencar!"
Orang-orang itu segera berkelebat kelima penju-ru, Sementara Tirta terkesiap mendengarnya.
"Kalau sampai salah seorang dari mereka menemukan Ayu Wulan, bisa celaka! Manusia Pemarah yang tak kuke-tahui seperti apa tampang gurunya itu lebih baik ku-pindahkan saja!"
Berpikir sampai di situ, pemuda yang telah me-miliki Pedang Batu Bintang yang banyak diperebutkan oleh orang-orang rimba persilatan berkelebat cepat ke arah mana Ayu Wulan pingsan.
Dia memang harus memburu waktu.
Dan kedua mata cerah si Rajawali Emas melebar ketika dilihatnya si Tangan Sakti sedang memasuki semak belukar di mana Ayu Wulan berada di sana.
Ke-tegangan merambat seketika, Tirta segera berkelebat kesana dengan cepat.
Dia bermaksud langsung menye-rang si Tangan Sakti.
Namun alangkah terkejutnya dia ketika si Tangan Sakti keluar lagi dari semak itu tanpa membawa sesuatu.
Sepasang matanya yang besar diedarkan ke seke-liling, sementara Tirta urung menyerang dan memutar tubuh hinggap di sebatang dahan pohon yang ditutupi oleh dedaunan.
"Edan! Mengapa manusia itu tak membawa Ayu Wulan? Apakah dia tak menemukannya ataukah.... sengaja membiarkan untuk memanggil yang lain?"
Setelah perhatikan orang berbaju hitam dengan kepala botak di bagian tengah berlalu, Tirta mengempos tu-buh ke balik semak. Kali ini sepasang matanya lebih melebar dengan mulut terbuka.
"Celaka! Ke mana gadis itu? Mengapa, dia tak berada di sini? Pantaslah kalau manusia berkepala botak di tengah itu tak mene-mukannya! Konyol! Bodoh! Tolol! Apakah salah seo-rang dari mereka sudah! menemukannya? Kalau be-lum, siapa yang telah membawanya?"
Diliputi rasa cemas akan nasib Ayu Wulan, Tirta mengempos tubuh hinggap di sebatang pohon.
Diper-hatikannya sekeliling tempat itu dengan mata terbuka lebih lebar.
Barangkali saja dia masih bisa menemu-kan jejak Ayu Wulan.
Yang nampak di matanya kemudian, kemunculan orang-orang yang mempunyai dendam padanya.
Di-perhatikan satu persatu orang-orang itu dan masing-masin tanpa membawa Ayu Wulan.
"Celaka! Jelas bukan di tangan mereka Ayu Wu-lan berada. Kalau begitu, siapa yang membawanya?"
Batin Tirta cemas.
Padahal kalau memang Ayu Wulan sudah ditemukan salah seorang dari mereka, Tirta ber-tekad untuk bertarung! "Hutan kecil ini tak seberapa luas.
Hanya seben-tar telah berhasil dijajaki.
Tak kulihat pemuda yang berjuluk Rajawali Emas itu berada.
Jangan-jangan, kau berhasil dipermainkan pemuda keparat itu yang sebenarnya tidak masuk ke hutan ini, Tangan Sakti!"
Kata Iblis Angin dengan sepasang mata yang bagai ter-tarik lebih ke dalam, menandakan dia berada dalam ti-tik kegusarannya. Si Tangan Sakti nampaknya tidak senang dengan kata-kata yang berbalur ejekan.
"Iblis Angin!, apa yang kukatakan benar adanya. Sebaiknya kita cari lagi manusia itu!"
Usul si Tangan Sakti diterima. Tetapi mereka ke-mudian bertemu lagi tanpa membawa hasil yang diha-rapkan.
"Mungkin pemuda itu telah meninggalkan tempat ini,"
Kata si Tangan Sakti kemudian. Perasaannya jadi tidak enak sekarang. Terutama karena tatapan empat pasang mata yang sangat tajam ke arahnya. Iblis Matahari yang mengenakan selendang war-na merah menganggukkan kepala.
"Tak salah usul si Tangan Sakti. Kita mene-ruskan mencari pemuda itu. Sekaligus membunuhnya dan mendapatkan Pedang Batu Bintang."
Meskipun Iblis Angin menampakkan wajah gu-sar, tapi akhirnya dianggukkan kepalanya juga. Tanpa ucapkan suara, dia mendahului berkelebat. Yang lain-nya pun menyusul meninggalkan tempat itu. Di tempat persembunyiannya, Tirta mendesah pendek.
"Bukan urusan dengan manusia itu yang harus kuhadapi sekarang, tetapi nasib Ayu Wulan. Siapa orang yang telah membawanya?"
Lalu seperti sehelai kapas, Tirta turun dan hing-gap di tanah. Matanya diedarkan kembali.
"Aku harus menemukan gadis itu lebih dulu. Brengsek! Urusanku menunaikan tugas dari Guru un-tuk menghentikan Iblis Kubur, rasanya bisa tertunda. Padahal manusia iblis itu secara tak sengaja sudah kuketahui. Baiknya kucari saja dulu gadis itu.". Sebelum Tirta bergerak sepasang matanya me-nangkap sebuah gerakan di atas pohon berjarak lima tombak di hadapannya.
"Ada manusia iseng rupanya. Aku ingin tahu sia-pa dia?"
Tanpa buang waktu lagi, Tirta langsung melom-pat ke atas pohon itu. Sebuah serangan hampir saja terlepas namun tertahan begitu dikenalinya sosok di atas pohon itu. Ayu! Ayu Wulan yang tergolek lemah di sebuah dahan bercabang menyunggingkan senyum.
"Kang Tirta...."
Tirta buru-buru menurunkan Ayu Wulan dari atas pohon. Ditatapnya wajah gadis yang masih pucat itu dengan hati yang sudah tidak setegang tadi.
"Rupanya dia sudah siuman dan mendengar apa yang akan terjadi. Dengan sisa-sisa tenaganya ten-tunya dia melompat ke pohon itu. Ah, aku jadi merasa bersalah sekarang,"
Batin si Rajawali Emas. Lalu katanya dengan penuh prihatin sambil mengusap wajah Ayu.
"Bagaimana keadaanmu, Ayu?"
Ayu tersenyum.
"Sudah lebih baik dari tadi. Teta-pi aku masih cukup lemah."
Tirta hanya menganggukkan kepala saja. Dan ba-ru dilihatnya di tangan gadis itu tergenggam nasi bungkus yang dibelinya untuk si gadis berbaju putih bersih yang kini sudah agak kotor itu.
"Cerdik. Dalam waktu yang tipis, Ayu masih bisa berlaku cerdik Untungnya dia membawa nasi, bungkus itu. Bila tidak... tak mustahil si Tangan Sakti bisa menemukannya."
Batin Tirta tersenyum. Kemudian den-gan suara lembut dia berkata.
"Ayu... lebih baik kau makan dulu nasi itu. Setelah tenagamu pulih, kita tinggalkan tempat ini. Karena Lima Iblis Puncak Nera-ka dan temannya yang berjuluk si Tangan Sakti telah muncul di sini, berarti, urusan memang belum sele-sai."
Sambil makan Ayu Wulan bertanya.
"Siapakah mereka, Kang Tirta?"
Segera Tirta menceritakan siapa orang-orang itu dan urusan apa yang telah terjadi antaranya dengan orang-orang berjuluk Lima Iblis Puncak Neraka.
"Jadi... Lima Iblis Puncak Neraka sebenarnya memiliki dendam pada salah seorang guru? Dan kau sesungguhnya mempunyai dua orang guru?"
"Benar! Aku mempunyai dua guru. Bahkan, aku punya Eyang Guru."
Meskipun penasaran untuk mengetahui siapa guru Tirta, Ayu Wulan hanya meneruskan makannya.
Dia yakin kalau Tirta punya alasan tersendiri mengapa tak memberitahukan siapa kedua gurunya.
Entah den-gan Maksud apa Tirta menyembunyikan soal itu.
Masih bertengger senyumnya di bibir yang indah, Ayu berkata.
"Tentunya... kau juga tak akan memberitahukan siapakah Eyang Guru yang kau maksud itu, bukan?"
"Suatu saat aku, akan memberitahukan nama kedua guruku. Mengenai Eyang Guru, terus terang, hingga hari ini aku belum pernah tahu bagaimana wa-jahnya. Kau tentunya tidak percaya, bukan? Tetapi, itulah kenyataannya."
Setelah gadis itu selesai menghabisi nasi bung-kus yang dibeli Tirta di dusun Watu Ampar, Tirta pun bertanya.
"Sudah pulihkah tenagamu sekarang?"
Ayu Wulan menganggukkan kepala. Tirta berkata lagi.
"Kalau begitu... sekarang juga kita tinggalkan tempat ini."
Perlahan Ayu Wulan berdiri. Tirta memegang tan-gannya.
"Biar lebih cepat, kau kubawa lari saja. Namun belum lagi Tirta berlari sambil menarik tangan Ayu Wulan, satu bentakan keras terdengar. Menggebah ke sekeliling tempat, menggugurkan de-daunan seketika, dan menerbangkan debu yang ada di sana "Sontoloyo! Kurang ajar! Lepaskan gadis itu kalau tidak ingin mampus!" *** Bab Bersamaan bentakan itu terdengar, menyusul ke-lebatan satu sosok tubuh laksana kilat. Gerakannya luar biasa cepat. Karena, bentakannya masih terden-gar namun orang yang membentak sudah berdiri da-lam jarak tiga tindak di hadapan Tirta dan Ayu Wulan dengan kaki dipentangkan dan mata menatap angker. Keterkejutan akan bentakan itu yang segera jadi kelegaan, dipecahkan oleh Ayu Wulan yang langsung melepaskan tangannya dari genggaman Tirta. Lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dari mu-lutnya terdengar ucapan lembut bernada kaget.
"Guru...."
Orang yang baru muncul ternyata seorang lelaki berusia kira-kira delapan puluh tahunan.
Raut wajah-nya tirus memanjang dengan dilapisi kerut merut dan kulit yang amat tipis.
Sepasang matanya lebar dan se-perti melotot terus menerus.
Rambutnya yang putih panjang dikuncir ekor kuda.
Tak memiliki jenggot na-mun kumisnya putih panjang menjuntai melewati da-gunya.
Mengenakan pakaian warna putih yang sudah sangat kusam sekali.
Celananya hitam setinggi lutut.
Orang inilah yang namanya dua puluh tahun le-wat cukup santer di rimba persilatan.
Tak sedikit orang yang lebih baik menghindar dari pada berurusan dengan manusia satu ini.
Dan tanpa diketahui siapa pun juga, tokoh yang dikabarkan telah undur diri dari dunia persilatan, kini mendadak mempunyai murid dara jelita bernama Ayu Wulan yang masih menang-kupkan kedua tangan di dada.
Orang ini pula yang membuat muridnya cemas karena belum kembali beberapa bulan lalu.
Orang tua berjuluk Manusia Pemarah menen-tangkan kedua mata ke arah Tirta.
"Bocah sontoloyo! Berani-beraninya kau berdua duaan dengan muridku? Cepat tinggalkan tempat ini sebelum kuhajar kau sampai tunggang-langgang!"
Bentak Manusia Pemarah dengan suara menggelegar.
De-daunan lebih lipat ganda berguguran.
Tirta mencoba menenangkan diri.
Dari seruan Ayu Wulan tadi, si pemuda segera tahu siapa orang yang datang.
Dan manusia yang memang pada dasar-nya selalu marah-marah ini sudah menimbulkan gela-gat yang kurang baik, menandakan sesuatu yang ku-rang enak akan terjadi.
Makanya si Rajawali Emas mencoba untuk tetap tenang.
Namun belum lagi uca-pan keluar dari mulutnya, tangan kanan orang tua yang kurus itu berkelebat ke arahnya! Wusss! Bersamaan gelombang angin dingin menghampiri dengan menimbulkan suara yang memekakkan telinga, terdengar jeritan tertahan dari Ayu Wulan.
"Guru!"
Meskipun gadis itu yakin pukulan yang dilaku-kan oleh gurunya mengarah pada Tirta, namun dia tak mau terkena pula sambaran angin dingin yang menge-rikan itu.
Karena dia tahu, bagaimana kehebatan gu-runya.
Buru-buru gadis itu cepat melompat ke samp-ing kanan.
Begitu pula yang dilakukan si pemuda dari Gu-nung Rajawali.
Tak mau tubuhnya jadi sasaran empuk pukulan angin dahsyat yang dilepaskan orang tua ku-rus berambut dikuncir ekor kuda, Tirta lentingkan tu-buh ke samping dengan pencalan satu kaki.
Braakkk! Braakk! Braaakkk! Terdengar suara keras tiga kali berturut-turut.
Tiga batang pohon besar di belakangnya patah dan ter-lempar lima tombak ke belakang.
Mengkelap Tirta menerima serangan seperti itu.
Tetapi dia tetap berusaha tenang kalau tak ingin uru-san bisa jadi panjang.
Meskipun tadi dia berhasil menghindari serangan tangan kanan si orang tua, na-mun tak urung bulu kuduknya meremang.
Karena sambaran angin dahsyat itu membuat tubuhnya men-jadi dingin membeku.
Cepat segera dialirkan tenaga dalamnya untuk menghilangkan hawa dingin yang ter-jadi.
Perlahan-lahan suhu tubuhnya normal kembali.
Lalu dengan suara tenang dia berkata.
"Orang tua... tak ada maksud apa-apa terhadap muridmu itu. Kulakukan, karena kami memang harus segera meninggalkan tempat ini sementara muridmu baru saja sembuh dari luka dalam."
Lalu menyusul dumalannya dalam hati.
"Enak saja main serang begi-tu! Dasar orang tua jelek yang peot yang bau yang ko-nyol dan yang sontoloyo! Ya... semuanya saja deh!"
"Orang muda sontoloyo! Berani lancang kau bica-ra begitu terhadap Manusia Pemarah!"
Orang tua yang memiliki sifat selalu marah-marah itu membentak ke-ras, dia sebenarnya cukup terkejut melihat bagaimana pemuda berbaju keemasan itu menghindarkan seran-gannya tadi.
"apakah kedua mataku buta tak bisa melihat pikiran kotor di benakmu itu?!"
"Brengsek juga orang tua ini! Bila melihat betapa dahsyatnya serangan angin pukulannya tadi, aku yakin orang tua berjuluk Manusia Pemarah ini bukan orang sembarangan! bikin kepalaku pusing!"
Lalu dengan menahan jengkelnya karena dibentak tadi, Tirta berkata.
"apakah kau tak bisa menurunkan nada suaramu itu dan menghentikan segala macam bentakan?"
"Keparat muda! kau cari mampus rupanya!". Ayu Wulan yang melihat gelagat tak menguntungkan itu segera berseru dengan mata melotot.
"Guru! apa-apaan sih kau ini?"
Serunya sambil menghentakkan kaki kanannya ke tanah.
"kalau mau marah-marah ya lihat-lihat dulu dong! main bentak sa-ja! dan konyolnya, main serang begitu saja! keterla-luan!"
"Eh! kau juga sudah jadi lancang mulut ya?! apakah kau sudah jatuh cinta pada pemuda sialan itu! brengsek! kutu busuk! kutinggal baru beberapa bulan saja kau sudah kelayapan ke mana-mana!"
Seru ma-nusia pemarah dengan suara yang lebih keras.
"Guru!"
Sentak ayu wulan dengan wajah meme-rah dia memang berani berkata seperti itu pada gu-runya karena ia tahu, orang tua yang gemar marah ini bukanlah orang berhati jahat.
orang tua itu memang sudah dari sananya memiliki sifat marah-marah seper-ti itu.
Kala tadi dia menyerang Tirta, mungkin karena jengkel melihatnya berpegangan tangan.
tapi biar ba-gaimanapun juga, gurunya memang tukang marah.
"kenapa sih jadi marah-marah terus? tanya dulu kan lebih baik, daripada harus main omel dan serang begi-tu saja?"
Seru si gadis lagi. Manusia pemarah melotot pada muridnya.
"Eh, berani-beraninya kau berkata begitu pada gurumu, hah? Sialan! kalau ku tahu kau suka marah-marah juga, tak akan ku didik kau menjadi muridku?"
Ayu wulan justru nampak makin berani.
baginya orang tua yang suka marah-marah itu adalah gurunya, yang meskipun mulutnya suka mengomel bikin hati sakit, tetapi ayu wulan tahu kalau orang tua itu sangat menyayanginya.
Justru Tirta yang kelihatan serba salah sekarang.
"Berabe nih. Murid dan guru sama-sama punya sifat pemarah yang suka meledak-ledak! kacau, kacau! apakah lebih baik kutinggalkan saja keduanya? hmm... lebih baik memang begitu. Tugas dari guru un-tuk menghentikan sepak terjang iblis kubur harus ku-lakukan sekarang juga. tetapi baiknya, kutunggu saat yang tepat sebelum meninggalkan tempat ini."
Didengarnya bentakan Ayu Wulan yang cukup keras dengan melototkan kedua mata bagusnya pada lelaki tua berambut di kuncir.
"Guru! pemuda itulah yang telah menyela-matkanku dari maut yang ditimbulkan oleh manusia aneh yang memiliki ilmu sangat tinggi! "seharusnya guru bertanya dulu! jadi tidak main serang begitu sa-ja!"
"Masa bodoh sekalipun dia menolongmu keluar dari liang neraka! Pokoknya, dia harus mendapatkan ganjaran! Kurang ajar main pegang-pegang muridku!"
Seru Manusia Pemarah dengan suara yang tak kalah kerasnya. Guru memang keras kepala!"
Manusia Pemarah melotot.
"Eh, kau sudah berani membentak ku, ya? Siapa yang mengajarimu jadi pemarah seperti itu? Pemuda itu ya? Kurang ajar! Ingin kupotek-potek tulangnya!"
"Guru sendiri yang mengajariku jadi pemarah se-perti itu! Masih untung aku tahu kalau sifat itu jelek, makanya sebisanya aku berusaha untuk tidak dituruni sifat pemarah Guru!"
Kali ini Manusia Pemarah menghentikan benta-kannya. Keningnya kelihatan berkerut aneh. Lalu den-gan suara yang berat bentakan dan mata yang melotot gusar lelaki tua itu membentak lagi.
"Kalau begitu, apakah aku harus memotek-motek tulangku sendiri? Tidak usah ya Keenakan pemuda sialan itu! Hei, orang muda! Siapa sih kau ini?"
Tirta yang masih memperhatikan antara murid di guru yang sedang umbar bentakan itu tarik napas per-lahan.
"Aneh, baru kali ini kulihat ada orang yang suka m rah-marah tak karuan. Meskipun kulihat sebenar-nya orang tua itu kalah omongan dengan Ayu Wulan, namun sikapnya masih tetap marah-marah walau se-saat dia kelihatan terdiam tadi. Brengsek! Kenapa ha-rus bertemu dengan orang tua ini?"
"Bocah gendeng! Apakah telingamu menjadi tuli, Mendapati bentakan itu, Tirta cuma tersenyum saja.
"Telingaku tidak tuli, Kek. Usiaku masih muda."
"Setan muda! Siapa yang jadi kakekmu, hah? Siapa pula yang bertanya tentang usiamu itu? Benar-benar ingin kupotek-potek tulangnya."
"Makin membingungkan saja sifat aneh orang tua sialan ini. Huh! Kalau saja aku tadi sempat tinggalkan tempat ini, tak ada urusan yang memusingkan kepala yang akan kuhadapi,"
Desis si Rajawali Emas perlahan, lalu berseru.
"Namaku Tirta. Aku datang dari Gunung Rajawali. Apa yang diceritakan muridmu itu, memang benar adanya."
"Urusan benar atau tidak urusan belakangan! Kau mau apa pegang-pegang tangan muridku? Dan kau juga, Ayu... mau saja dipegang oleh pemuda sialan itu! Dasar sudah kegatelan!"
"Guru!'! sentak Ayu dengan wajah memerah.
"Apa-apaan Guru omong begitu?"
Si orang tua tertawa, tetapi meskipun tertawa, bentakannya tetap terdengar.
"Mauku ngomong begitu, ya kulakukan! Kau mau apa, hah?!"
"Brengsek! Mulut Guru kotor!"
Mendapati seruan muridnya, Manusia Pemarah menjawab enteng, tetapi tetap dengan bentak yang ke-ras "Kalau kotor, nanti ku cuci dulu!"
"Guru memang keras kepala! Aku pergi karena mencari Guru! Tak biasanya Guru pergi lebih lama da-ri biasanya. Lalu sekarang setelah bertemu, Guru ma-sih juga marah-marah! Apa tidak keterlaluan, hah?"
"Masalah keterlaluan urusan belakangan! Pokok-nya, aku berhak membentak-bentak mu! Kan aku gu-rumu, Ayu?"
"Biar begitu, jangan main bentak saja! Apa Guru pikir enak dibentak-bentak begitu!"
Sungut Ayu Wulan, makin mendongkol.
"Kurang ajar! Jangan-jangan kau yang pantas menjadi guruku!"
Seru Manusia Pemarah dengan ber-sungut-sungut. Lalu katanya sambil mengangkat ke-pala ke arah! Tirta.
"Hei, Tirta! Kalau memang apa yang dikatakan muridku dan diperkuat oleh kau tadi benar, siapa orang yang telah berbuat lancang pada muridku?"
Meskipun dari pertanyaan itu Tirta yakin Manu-sia Pemarah sudah menurun amarahnya, tetap saja dia menangkap suara yang penuh tekanan dan benta-kan.
Diceritakannya tentang Iblis Kubur yang telah membuat Ayu Wulan jatuh pingsan dan dia menyela-matkan gadis itu dari kematian, karena kematian yang diturunkan Iblis Kubur juga diperuntukkan baginya.
Usai Tirta menutup kata-katanya, dilihatnya pe-rubahan berulangkali pada wajah Manusia Pemarah.
Dan sekarang orang tua itu berjalan hilir mudik seperti tak ada kerjaan.
Tirta yang menangkap perubahan itu mendesis "Hmmm...
wajahnya berubah tegang, lalu mengendor lagi dan tegang lagi.
Mengapa jadi seperti ini? Apakah ada sesuatu tentang Iblis Kubur yang diketahui oleh orang tua berjuluk Manusia Pemarah ini?"
Kata-kata hati Tirta terputus bagai direnggut se-tan ketika orang tua pemarah itu membentak.
"Iblis Kubur! Rupanya sumpah manusia laknat itu jadi kenyataan!"
Lalu matanya melotot pada Tirta dan Ayu Wulan, bergantian menatap dua muda-mudi itu.
"Kalau kalian bicara ngaco, kupotek leher kalian!"
"Senang banget ngomong potek kau ini, Kek! Memangnya ranting pohon main potek saja!"
Gerutu Tirta.
"Dengar kalian, Orang muda sialan!"
Bentak Manusia Pemarah "Terutama kau, Ayu! Kepergianku kali ini memang tak kurencanakan, hingga tak kukatakan ke mana aku pergi! lagi pula, apa urusannya dengan-mu kalau aku pergi bertahun-tahun, hah?"
Wajah Ayu berubah cemberut mendengar kata-kata gurunya.
Tetapi dia tak heran kalau gurunya su-ka membentak dan marah-marah seperti itu.
Bahkan, selama hidup bersama dengan Manusia Pemarah tak sekali pun gadis manis itu pernah melihat gurunya tersenyum! Kalau pun pernah, pasti tetap dalam kea-daan membentak.
"Kalau aku tahu jawabannya begini, lebih baik aku tak menyusulmu, Guru!"
"Itu bagus, Bocah gendeng! Daripada kau paca-ran terus-menerus dengan pemuda itu?!"
"Siapa sih yang pacaran? Kan tadi sudah kuka-takan, kalau dia menolongku? Guru ini bagaimana sih?"
Balas Ayu Wulan melotot..
"Urusan kau katakan itu benar atau tidak, itu urusan belakang! Yang penting sekarang. apakah kau sudah pelajari jurus terakhir yang kuberikan?"
"Sudah!"
Sahut Ayu Wulan dengan mulut berbentuk kerucut.
"Nah, kalau aku sudah selesai mempela-jarinya, Guru mau apa?"
"Eh, kau membalikkan ucapanku, hah?!"
"Biarin!"
Sementara Tirta mendengus dalam hati.
"Senang benar orang tua ini menganggap apa-apa urusan bela-kangan. Kalau kedua-duanya terus saling bentak se-perti itu, kapan bicaranya Manusia Pemarah ini? Aku yakin orang tua pemarah sepertinya tahu tentang Iblis Kubur. Baiknya, kupenggal saja bentakan murid dan guru ini. Lalu katanya sambil menatap Manusia Pema-rah.
"Orang tua... apa yang hendak kau katakan tadi?" *** Bab "Keparat! Lancang betul mulutmu memintaku untuk bicara!"
Bentak Manusia Pemarah dengan mulut yang makin meruncing. Getaran suaranya meng-goyangkan kumisnya.
"
Ya ampun... kalau kubiarkan kau terus mene-rus saling bentak dengan muridmu, urusan tak akan selesai. Kuminta lebih dipercepat, kau marah-marah! Aku curiga, sewaktu kecil kau pernah makan cabe sa-tu keranjang kali, ya?"
Seru Tirta menahan dongkol.
"Bocah gendeng! Kutampar mencong mulutmu!"
Balas Manusia Pemarah makin kalap.
"Iya, iya! Makanya ngomong biar kau tidak segera menamparku!"
Dengus Tirta sebal.
"Memangnya enak ditampar? Ngomong-ngomong, apa kau mau kutampar, Orang Tua? Rasanya enak, kok! Malah kau merasa akan dielus oleh tangan perempuan genit!"
Wajah Manusia Pemarah menekuk, hingga ku-misnya yang menjuntai panjang seperti makin pan-jang. Di dalam dia membatin dalam hati.
"Siapa sebenarnya pemuda ini? Cara dia menghindari seranganku, nampaknya dia berisi. Bukan isi sembarangan yang dimilikinya. Jarang orang yang bisa menghindari se-ranganku barusan. Kurang ajar! Sontoloyo! Kok aku malah bertanya-tanya ada orang yang bisa menghinda-ri pukulanku? Bukannya langsung kepruk biar dia ta-hu rasa!"
Sementara Tirta mendumal dalam hati mendapati Manusia Pemarah belum juga buka mulut. Malah ke-dua matanya menatap lebih tajam.
"Benar-benar aneh orang ini. Apakah semua to-koh rimba persilatan memang suka berlaku aneh? Te-tap aneh ya aneh! Manusia ini selain aneh juga pema-rah. Pantas dia dijuluki Manusia Pemarah! Kenapa ti-dak sekalian, Manusia Pemarah Yang Jelek Dan Bau saja julukannya, ya?"
Ketika Tirta kembali menatap pada orang tua itu, terdengar suara si orang tua, tetap dengan memben-tak.
"Berpuluh tahun yang lalu, hiduplah seorang lelaki yang gagah perkasa. Kesaktiannya saat itu tiada banding dan dia bernama Ki Sampurno Pamungkas yang dijuluki Manusia Agung Setengah Dewa. Kesak-tian yang dimiliki selalu dipergunakan di jalan kebajikan. Dan dia selalu menumpas kejahatan yang terjadi. Lalu muncul pula seorang lelaki muda yang tak kalah hebatnya dengan Ki Sampurno Pamungkas, dia bernama Mahisa Agni atau yang dikenal dengan juluk Malaikat Dewa. Keduanya pernah bertanding bukan semata untuk saling unjuk gigi, melainkan mencari ka-ta sepakat untuk memerangi kejahatan yang terus me-nerus terjadi. Hampir satu purnama pertarungan ke-duanya berlangsung tanpa ada yang kalah dan me-nang. Kesaktian keduanya setara satu sama lain dan masing-masing segera mengikat tali persaudaraan. Dan dua tokoh muda yang sakti itu pun berkela-na menumpas kejahatan. Hingga karena satu hal dan sampai sekarang aku tak pernah tahu masalah apa keduanya berpisah. Mahisa Agni pergi ke arah barat dan Sampurno Pamungkas ke arah timur. Nama besar Mahisa Agni makin menjulang tinggi, begitu pula den-gan Sampurno Pamungkas. Dalam pengembaraannya Ki Sampurno Pamung-kas, berhasil menaklukkan manusia laknat yang berju-luk iblis Kubur dan manusia itu pun dikuburnya sete-lah diberi peringatan agar dia sadar. Namun pada ke-nyataannya tak sadar-sadar juga. Sebelum ajalnya, manusia keparat itu bersumpah akan muncul lagi ke dunia ramai Untuk menuntut balas pada Sampurno Pamungkas seratus tahun mendatang. Sampurno Pa-mungkas tak hiraukan soal itu. Dia tetap berkelana untuk membasmi kejahatan. Lima puluh tahun berlalu, dia berjumpa kembali dengan Sepuh Mahisa Agni yang telah mengangkat dua orang murid yang berjuluk Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi. Sementara Sampurno Pa-mungkas memungut seorang murid. Tentang Iblis Ku-bur diceritakan pula pada Mahisa Agni. Setelah per-jumpaan itu, Ki Sampurno Pamungkas menceritakan pula soal itu pada muridnya dan mengatakan pula ka-lau Iblis Kubur akan bangkit bila ada orang yang telah mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat. Dan setelah menurunkan hampir seluruh ilmunya pada muridnya, Sampurno Pamungkas menghilang dengan pesan agar sang murid mengingat-ingat akan sumpah Iblis Kubur dan Kitab Pemanggil Mayat, Berulangkali sang murid mencoba menelusuri setiap jengkal tanah untuk men-dapatkan Kitab Pemanggil Mayat. Sampai kemudian sang murid mendengar tentang kitab itu yang kini di-pegang oleh seorang wanita berparas muda namun be-rusia tua. Orang itu berjuluk Dewi Karang Samudera. Sang murid berusaha mencari wanita itu, namun sam-pai hari ini belum bertemu juga. Dan mendengar cerita kalian kalau Iblis Kubur telah bangkit, karena sesuai dengan sumpahnya dan Dewi Karang Samudera lah yang telah membantu pembangkitan nya. Secara tidak langsung, Iblis Kubur berada di bawah kekuasaan De-wi Karang Samudera...."
"Guru...,"
Potong Ayu Wulan.
"Kau tadi mengatakan kalau Eyang Sepuh Mahisa Agni memiliki dua orang murid. Lantas, siapakah murid Ki Sampurno Pamungkas?"
Orang tua pemarah itu melotot mendapati perta-nyaan muridnya.
"Main potong begitu saja! Tidak tahu sopan santun! Apakah gurumu tidak pernah mengajarkan cara beradab!"
Bentaknya yang kemudian me-nyusul bentakan lain.
"Dasar si tua pikun yang bodoh. Aku kan gurunya? Sialan! Kok menyalahi diri sendiri?! Dasar Sontoloyo!"
Tirta yang menahan geli agar tidak tertawa men-dengar ucapan Manusia Pemarah, segera berkata.
"Pertanyaan Ayu Wulan itu bisa dijawab dengan mudah. Murid Ki Sampurno Pamungkas engkaulah adanya, Orang Tua."
Pelototan mata Manusia Pemarah makin nyalang dan dialihkan ke arah Tirta.
"Bocah gendeng! Kalau aku belum memerintah-kan untuk berucap, jangan lancang melakukannya! Apakah gurumu tidak pernah mengajarkan sopan san-tun? Eh apakah aku salah berucap? Sontoloyo! Kalau kali ini aku, benar! Pemuda kurang ajar ini bukan mu-ridku!"
Tirta cuma mengangkat alisnya saja mendengar bentakan itu. Lalu mencabut sebatang rumput dan menghisap-hisapnya. Ayu Wulan yang secara tak langsung mendapat jawaban atas pertanyaannya tadi segera menatap gu-runya dengan seksama.
"Guru... benarkah yang dikatakan, Kang Tirta?"
Tanyanya pelan.
"Ini lagi! Murid keparat yang banyak tanya!"
Bentak Manusia Pemarah dengan mata bertambah melo-tot. Mulutnya makin meruncing hingga pipi kanan dan kirinya bertambah cekung. Ayu Wulan mendengus.
"Serba salah! Makin marah melulu, sih?!"
"Diam! Jangan merajuk seperti itu! Kujitak kepa-lanya benjol sepuluh nanti! Ya, akulah murid dari Ki Sampurno Pamungkas. Mendengar ucapan ngaco kalian, aku yakin... manusia keparat yang berjuluk Iblis Kubur itu memang telah hidup kembali!"
Tirta berkata setelah menimbang-nimbang.
"Orang tua... Eyang Sepuh Mahisa Agni sahabat Ki Sampurno Pamungkas, adalah Eyang ku. Atau aku memanggilnya Eyang Guru."
"Bicara apa kau ini, hah?! Main mengaku-ngaku sembarangan!!"
Bentak Manusia Pemarah dengan mata melotot garang.
"Memang benar-benar minta dipotek kepalamu, ya?!"
Tirta tidak mempedulikan pelototan dan benta-kan itu.
Baginya, mengatakan kalau Raja Lihai Langit Bumi dan Bidadari Hati Kejam adalah gurunya pada Manusia pemarah tak jadi soal.
Lain halnya ketika Ayu Wulan bertanya sebelumnya.
Entah kenapa.
Lalu den-gan suara tenang Tirta berkata lagi.
"Pada kenyataannya, memang itulah yang terjadi. Guruku, berjuluk Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi. Dari Raja Lihai Langit Bumi lah aku mendapat tugas untuk hentikan sepak terjang Iblis Kubur."
Ayu Wulan mendesis dalam hati.
"Hmmm... Guru yang dimaksud Kang Tirta adalah Raja Lihai Langit Bumi dan Bidadari Hati Kejam. Guruku sendiri pernah menceritakan soal kedua tokoh itu, tetapi baru kali ini aku tahu kalau keduanya adalah sahabat Guru. Karena, saat menceritakan dua tokoh tingkat tinggi itu, Guru seolah sedang menceritakan orang lain. Tak ada tanda-tanda kalau kedua tokoh itu sahabatnya."
"Hhhh!"
Lelaki tua pemarah berambut putih panjang di kuncir, melipat kedua tangannya di dada. Lalu katanya sambil menatap sekujur tubuh Tirta.
"Urusan benar atau tidaknya adalah urusan belakangan. Tetapi, bila kulihat rajahan burung rajawali dan pedang di punggungmu, aku bisa percaya bila kau mengaku Eyang Sepuh Mahisa Agni adalah Eyang Gurumu. Ka-rena, hanya seorang yang bisa membuat rajahan bu-rung berwarna keemasan yang sangat sempurna dan mirip dengan peliharaan Eyang Sepuh Mahisa Agni. Bwana, burung rajawali raksasa berwarna keemasan. Aku jadi curiga, jangan-jangan julukan si Rajawali Emas yang akhir-akhir ini terdengar santer, tentunya kau adanya. Melihat ciri pedangmu itu, aku yakin kau telah mendapatkan Batu Bintang. Guruku pernah pula menceritakan soal Batu Bintang kepadaku yang dimi-liki Eyang Sepuh Mahisa Agni. Dan kudengar pula ka-lau Bwana membawa Batu Bintang. Tetapi, aku bukan orang serakah yang suka memperebutkan benda sakti. Apalagi ku tahu kalau Bat u Bintang dulu dimiliki oleh Eyang Sepuh Mahisa Agni. Makanya, aku tidak keluar dari tempatku kecuali mencari Dewi Karang Samudera untuk mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dan ma-nusia keparat yang berjuluk Iblis Kubur yang kini te-lah bangkit kembali! Bocah gendeng, kau beruntung sekali!"
Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian Pendekar Pedang Matahari Iblis Bukit Setan Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing