Ceritasilat Novel Online

Tapak Dewa Naga 2


Raja Naga Tapak Dewa Naga Bagian 2



Karena tadi dilihatnya.

   bagaimana sebatang pohon langsung menjadi debu tatkala telapak tangan kanan Iblis Penghancur Raga menyentuhnya.

   Pertarungan sengit yang tak dapat dihindari, membuat tempat itu benar-benar dilanda kiamat.

   Dalam waktu singkat saja, tanah sudah banyak yang retak dan rengkah.

   Pepohonan sudah hangus menjadi debu hingga tempat itu kinl berubah menjadi tanah lapang yang porak poranda.

   Saat ini Gala Kuriang sudah kewalahan.

   Kaki kanannya terhantam telapak tangan kiri Iblis Telapak Darah.

   Sakitnya tak tertahankan.

   Rasanya tulangnya patah dan menembus ke belakang.

   Tetapi Gala Kuriang masih coba bertahan.

   Karena dia sadar, lengah sedikit saja berarti kematian.

   "Sungguh menyenangkan karena kau akan mampus hari ini!"

   Seru Iblis Telapak Darah sambil tertawa-tawa.

   "Kami hadir untuk membunuh Pendekar Lontar sebenarnya! Tetapi pendekar keparat itu sudah mampus! Dan kau telah membuat darah kami mendidih! Kau akan terbakar oleh didihan darah kami ini!"

   Gala Kuriang tak menyahuti ejekan Iblis Telapak Darah.

   Dengan susah payah dia terus berusaha menghindari ganasnya serangan lawan.

   Namun dengan kaki kanan yang semakin sakit, terutama bila dia gerakkan, keadaannya menjadi lintang pukang dan tak menentu.

   Sema Kuriang bukannya tidak mengetahui apa yang dialami oleh saudara kembarnya.

   Tetapi untuk menolong, rasanya agak sulit karena dia sendiri sudah masuk dalam lingkaran serangan Iblis Penghancur Raga.

   Dia hanya bisa melompat menghindari maut yang diturunkan Iblis Penghancur Raga.

   Bahkan, dia sudah terdesak tatkala lelaki tua berjenggot dikepang itu masuk dengan kibasan tangan kanan dan kiri.

   "Tak lagi kubayangkan betapa nikmatnya melihat kau mampus, karena ini adalah kenyataan sekarang!"

   Namun mendadak saja, sosok Iblis Penghancur Raga yang sudah siap menurunkan tangan mautnya, terlempar ke belakang laksana sehelai daun dihantam angin. Sosok lelaki itu kehilangan keseimbangan. Dia ambruk dengan keluhan tertahan.

   "Setan keparat! Siapa yang berani campur tangan dalam urusanku?!"

   Bentaknya keras.

   Tetapi tak seorang pun yang muncul di sana kecuali orang-orang yang telah berada sebelumnya.

   Sema Kuriang sendiri mundur dengan kepala memandang ke kanan kiri.

   Dia juga tak melihat siapa pun kecuali saudara kembarnya yang terdesak ganasnya serangan Iblis Telapak Darah.

   Dan kejadian aneh yang dialaminya tadi terulang pada saudara kembarnya.

   Karena iblis Telapak Darah tahu-tahu terbanting di atas tanah, hampir berjajar dengan Ibiis Penghancur Raga yang sudah bangkrt.

   "Keparat! Siapa pelaku jahanam yang mau mampus ini?!"

   Serunya sambil menahan sakit pada perutnya.

   "Hati-hati... orang ini tentunya bukan orang sembarangan. Dia dapat menjatuhkan kita dengan mudah, tetapi sosoknya belum nampak...,"

   Kata Iblis Penghancur Raga.

   "Peduli setan Hatiku belum puas bila belum melihat dua cecunguk Itu mampus!"

   Seru Iblis Telapak Darah keras. Lalu tanpa menghiraukan apa yang terjadi dengannya barusan, dia menerjang ke arah Gala Kuriang! Namun lagl-lagi sosoknya terpental ke belakang.

   "Aaaakhhh!!"

   Bersamaan teriakan kesakitan itu, darah menghambur dari mulutnya. Lalu... brrrugg Sosoknya terbanting keras di atas tanah.

   "Jangan gegabah!"

   Desis Iblis Penghancur Raga sambil memperhatikan sekelilingnya.

   "Kita belum tahu siapa orang lancang ini. Tapi gelagatnya, dia memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata."

   Kebuasan Iblis Telapak Darah berangsur turun. Dia juga merasa jeri sekarang.

   "Apa yang harus kita lakukan? Padahal kedua cecunguk itu sudah di ambang kematian?"

   "Untuk saat ini, kita terpaksa tunda keinginan. Sebelum kita mengetahui orang lancang itu masih akan mencampuri urusan kita atau tidak, kita tak bisa bertindak...."

   Iblis Telapak Darah menggeram. Pandangannya dingin terarah pada Dua Serangkai Jubah Hijau yang juga tak mengerti, siapakah orang yang telah menolong mereka. Tiba-tiba Iblis Telapak Darah mendesis.

   "Untuk saat ini, kalian masih dapat hidup lebih lama. Tetapi jangan berharap, kelak kalian masih dapat hidup!"

   Kejap kemudian, lelaki berjubah hitam itu sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, disusul oleh Iblis Penghancur Raga. Sepeninggal keduanya, Dua Serangkai Jubah Hijau saling mendekat.

   "Siapa kira-kira orang yang telah menyelamatkan kita?"

   "Gala Kuriang... bukan hanya kau yang tidak tahu, aku pun tidak tahu. Tetapi kalau orang itu dapat menghalangi serangan ganas kedua durjana tadi tanpa diketahui berada di mana, sudah jelas dia bukan orang sembarangan. Kau lihat sekeliling, sudah tak ada lagi tempat bersembunyi."

   Gala Kuriang mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya! Kita memang tak perlu menunggu sampai orang yang telah menolong kita muncul. Mudah-mudahan orang itu mengerti, kalau kita sebenarnya sangat berterima kasih. Di samping itu, kita memiliki waktu yang sangat terbatas. Kita harus segera menemui Dewa Segala Obat. Yah... sekaligus meminta bantuannya akan luka yang kita alami...."

   "Bagaimana dengan kaki kananmu?"

   "Walau sakitnya tak terkira, aku masih sanggup untuk berlari cepat...."

   Tiga tarikan napas berikutnya, Dua Serangkai Jubah Hijau sudah meninggalkan tempat itu.

   Mereka tak mau mengambil arah yang ditempuh oleh Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah.

   Jadi, walaupun agak memutar, mereka merasa lebih aman ketimbang berjumpa lagi dengan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah.

   Lima betas kejapan mata kemudian, entah darimana datangnya, satu sosok tubuh tahu-tahu telah berdiri di tempat itu.

   Kakek berjubah merah yang rambut putihnya diikat ekor kuda ini menggerutu panjang pendek.

   Lalu terdengar bunyi keras dari pantatnya.

   Bruuut! "Huh! Untung dugaanku tepat! Makanya kuputuskan untuk meninggalkan rumah duka itu! Karena aku merasakan, kalau Dua Serangkai Jubah Hijau akan mendapat halangan dari Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah!"

   Si kakek yang ternyata Dewa Naga dan membuat Iblis Penghancur Raga serta Iblis Telapak Darah keheranan akibat serangan yang dilakukannya, kembali menggerutu panjang pendek. Kumis putih panjangnya yang menjulai hingga ke bahu itu bergerak-gerak.

   "Sebenarnya tak ada gunanya memanggil Dewa Segala Obat untuk mengetahui penyebab kematian Pendekar Lontar. Aku tahu siapa yang melakukannya. Hantu Menara Berkabut. Huh! Seharusnya kukatakan saja pada Dewi Lontar siapa yang telah membunuh suaminya. Tetapi kalau ditanya, bagaimana caranya, pusing juga aku menjawabnya. Betul juga tindakan kakek buntal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang mengetahui bagaimana caranya Pendekar Lontar terbunuh. Sementara aku hanya tahu kalau dia mati dibunuh oleh Hantu Menara Berkabut! Brengsek betul!"

   Si kakek kembali uring-uringan sendiri, lalu berseru keras dengan wajah jengkel.

   "Keparat! Seharusnya kudatangi saja Menara Berkabut sekarang. Akan kugebuk penguasanya sampai dia minta ampun. Tapi...,"

   Si kakek terdiam sejenak, lalu melanjutkan.

   "Aku tak berhak sama sekali untuk itu. Yang berhak melakukannya adalah Dewi Lontar. Atau... ya, ya... si Boma Paksi. Kalau begitu... aku akan tetap mengambilnya untuk kujadikan murid. Dalam mimpiku, kelak bocah yang pada punggungnya terdapat seekor naga hijau dan kedua tangan sebatas siku terdapat sisik coklat, akan menjadi seorang pendekar besar. Bocah itu sungguh luar biasa. Dia terlahir dengan sisik coklat dan tato naga hijau. Yah! Aku harus mendapatkan anugerah itu dengan menurunkan semua ilmu yang kupunyai! Aku harus mendapatkannya!"

   Habis berkata demikian, Dewa Naga terdiam. Lamat-lamat terlihat bibir keriputnya mengembang.

   "Ya... aku harus mendapatkannya. Kalau Dewi Lontar tetap tak berkenan, aku akan menculiknya."

   Kejap kemudian, kakek muka lonjong yang penuh sisik hijau ini sudah meninggalkan tempat Itu.

   Suara 'merdu' dari pantatnya tersisa di sana.

   * * * MATAHARI kini sudah menampakkan bias-biasnya di ufuk timur.

   Menyinari lembah itu dan menerobosi dedaunan.

   Kakek pendek berambut jarang itu menggeleng-gelengkan kepalanya di samping jenazah Pendekar Lontar.

   Mulutnya terkatup.

   Dia merasakan sesuatu yang tak diharapkannya.

   Tangan kurusnya masih memegang kening Pendekar Lontar.

   "Dewa Tombak... kau benar. Pendekar Lontar meninggal tidak wajar...,"

   Katanya kemudian. Kakek buntal berpakaian biru itu segera ajukan tanya.

   "Dewa Segala Obat, kira-kira... apa yang menyebabkannya tewas?"

   Kakek pendek yang mengenakan pakaian compang-camping warna putih dan di pinggangnya tercantel sebuah pundi, mengangkat kepalanya.

   "Dari getaran kuat yang kurasakan, jantung bagian bawahnya telah hangus. Itulah yang menyebabkannya tewas."

   "Dewa Naga mengatakan hal yang sama,"

   Sahut Dewi Lontar sambil memperhatikan Dewa Segala Obat.

   Di sisinya, Boma Paksi pun memandang tak berkedip.

   Si kakek yang ternyata Dewa Segala Obat mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Setelah perginya Dewa Naga, tak berapa lama kemudian, Dewa Segala Obat muncul.

   Dia meminta maaf karena tak bisa segera datang, mengingat dia masih harus mengobati seorang pasien.

   Dewa Tombak dan Dewi Lontar sudah tentu menyambutnya gembira.

   Dari Dewa Tombak, Dewa Segala Obat tahu kalau Dewa Naga tadi berada di sini.

   Dia sangat menyayangkan karena tak bisa menjumpai orang yang sangat dihormatlnya itu.

   Dia Juga tahu, kalau saat ini Dua Serangkai Jubah Hijau sedang menyusulinya.

   Kakek berambut jarang ini memasukkan tangan kanannya ke dalam pundi yang tercantel di pinggangnya.

   Ketika diangkat, teriihat ujung-ujung jarinya menjumput butiran pasir berwarna keemasan.

   Lalu dltaburkannya butiran pasir yang luruh dengan memperlihatkan kilauan indah tepat pada jantung Pendekar Lontar.

   Yang berada di sana hanya memperhatikan.

   Mereka sama-sama melihat kalau butiran pasir keemasan yang kini menempel tepat pada bagian jantung Pendekar Lontar berubah warnanya, menjadi kehitaman.

   Dewa Segala Obat menganggukkan kepalanya sekali, lalu meniup butiran pasir itu.

   Pasir-pasir itu berhamburan.

   Kemudian dibalikkan tubuhnya, memandang Dewi Lontar yang nampak tidak sabar untuk mendengar apa yang dikatakannya.

   "Setahuku, suamimu memiliki ilmu 'Raga Pasa' yang membuatnya dapat mengetahui setiap serangan yang datang. Baik kasar maupun halus. Tetapi... dia tentunya tak menduga sama sekali, kalau seekor lebah yang kemudian menyengat bagian jantungnya, akan mengakhiri hidupnya...."

   "Seekor lebah?"

   Ulang Dewi Lontar tak percaya.

   "Ya! Seekor lebah! Lebah yang sengatannya telah dibaluri racun yang sangat mengerikan itulah yang telah merenggut nyawanya...,"

   Kata Dewa Segala Obat.

   "Apakah...."

   "Seperti kebiasaan seekor lebah, bila dia sudah menyengat, tentunya dia akan mati."

   Dewi Lontar yang tadi hendak melontarkan pertanyaannva tetapi sudah dipotong, tak menjawab.

   Dia buru-buru masuk ke kamarnya.

   Boma Paksi hanya memperhatikan.

   Matanya yang tajam memandang Dewa Segala Obat dan Dewa Tombak bergantian.

   Tak lama kemudian, Dewi Lontar muncul kembali dengan membawa seekor lebah hitam yang sudah mati.

   "Dewa Segala Obat... apa yang kau katakan itu benar,"

   Katanya pilu.

   "Tadi kau katakan, ada orang yang telah melumuri sengat lebah itu dengan racun. Tahukah kau siapa orang itu?"

   Dewa Segala Obat mengangguk.

   "Aku tahu...."

   "Katakan!"

   Suara perempuan jelita yang pada lehernya menggantung untaian daun lontar, tersirat kemarahan.

   Lebah yang sudah mati itu dilemparnya.

   Plasss! Menembus tembok dan jatuh entah di mana.

   Tembok itu kini bolong sebesar jari telunjuk.

   Boma Paksi menyaksikan dengan terkagum.

   Kakek berambut jarang Itu menggelengkan kepalanya.

   "Untuk saat ini. sebaiknya kau tidak perlu tahu dulu. Nanti siang, seperti yang kau katakan, kau hendak memakamkan jenazah suamimu...."

   "Aku ingin tahu siapa manusia keparat yang telah membunuh suamiku dengan mempergunakan lebah jahanam ini!"

   Seru Dewi Lontar bersikeras.

   "Kau sedang dibaluri kemarahan. Sebaiknya, kau tunda dulu keingintahuanmu itu sampai upacara penguburan jenazah suamimu selesai."

   "Tidak! Dewa Segala Obat, selama ini kita bersahabat dan tak pernah punya silang sengketa! Dan sekarang, kau justru menyakitkan hatiku dengan tak mau mengatakan siapakah orang yang telah membunuh suamiku dengan lebah terkutuk itu!"

   Dewa Segala Obat kelihatan serba salah. Dewa Tombak hanya terdiam. Kendati dia juga penasaran, tetapi dia masih bisa menerima alasan Dewa Segala Obat. Bocah tampan yang pada punggungnya terdapat tato naga hijau, memegang lengan ibunya.

   "Ibu... apa yang dikatakan Kakek itu benar. Sebaiknya, Ibu tak mengetahuinya sekarang. Karena Ibu akan menjadi marah dan dendam. Bukankah Ibu sendiri yang mengajarkan, kalau dendam itu tidak baik?"

   Kata-kata putranya yang tak disangka sama sekali, meluluhkan kekerasan hati Dewi Lontar. Lalu sambil menarik napas panjang, kendati masih penasaran, dia berkata pada Dewa Segala Obat.

   "Maafkan aku...."

   Waktu pun terus merambat.

   Beberapa orang rimba persilatan pun hadir di sana.

   Sampai kemudian, siang pun menjelang.

   Persiapan penguburan jenazah Pendekar Lontar pun dilakukan.

   Tak banyak orang yang datang menghadiri pemakaman itu.

   Dewi Lontar menahan sedihnya tatkala jasad suaminya mulai dimasukkan ke dalam tanah.

   Dewa Tombak melirik Boma Paksi.

   Bocah itu kelihatan tegar meskipun sepasang matanya berkaca-kaca.

   Sebutir air mata jatuh pada pipinya.

   Tak lama kemudian pemakaman pun selesai.

   Orang-orang yang hadir mohon diri.

   Termasuk Dewa Tombak, yang berjanji akan datang dua hari di muka.

   Dewi Lontar berkata pada Dewa Segala Obat yang sudah pamitan.

   "Apakah kau tetap tidak mau mengatakan siapakah orang keparat yang telah membunuh suamiku?"

   Dewa Segala Obat menggeleng.

   "Besok, aku akan kembali ke sini. Saat Ini, tenangkanlah pikiranmu. Karena kau akan diliputi kemarahan...."

   Dewi Lontar hanya memandang dingin. Boma Paksi memegang lengan ibunya.

   "Ibu... kata-kata kakek berambut jarang itu benar. Lagi pula, bukankah dia berjanji akan datang besok yang tentunya akan mengatakan siapa yang telah membunuh Ayah. Bukan begitu, Kek?"

   Dewa Segala Obat menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, begitu melihat sisik coklat sebatas siku yang terdapat pada kedua tangan si bocah, dia agak terkejut tadi. Tetapi dia tak menghiraukannya.

   "Ya... besok aku akan datang lagi...."

   Lalu kakek berpakaian putih compang-camping Ini segera melangkah meninggalkan tempat itu.

   Tinggal Dewi Lontar yang masih sedlh sekaligus diliputi penasaran tinggi.

   Boma Paksi membujuk ibunya agar tidak bersedih dan penasaran.

   Siang dan menjelang senja, dia terus menghibur ibunya sampai senyuman terpampang di bibir ibunya.

   Dengan penuh kasih sayang, Dewi Lontar merangkul putranya.

   Seketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang Iuar biasa keras.

   Atap rumah itu mendadak berderak dan terbongkar.

   Angin menjadi lintang pukang.

   "Ibu!"

   Seru Boma Paksi terkejut. Dewi Lontar tak menjawab. Kepalanya menoleh ke arah luar. Sepasang matanya membuka.

   "Celaka! Tentunya dia yang datang...,"

   Desisnya dalam hati. Lalu terburu-buru dia berkata.

   "Boma... kau masuk ke kamarmu! Kunci rapat-rapat!"

   "Ibu! Ada apa?"

   "Jangan banyak tanya! Lakukan perintah Ibu!"

   Kemudian dia sudah berkelebat ke kamarnya. Dan keluar lagi dengan membawa sebuah gumpalan daun lontar berwarna hijau menyala. Begitu segarnya laksana baru saja disiram. Sementara di punggungnya, sudah tersampir sebuah pedang.

   "Boma! Bila malam sudah datang Ibu belum menjumpaimu, cepat kau pergi sejauh-jauhnya! Bawa gumpalan daun lontar ini dan jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat". Sambil memegang gumpalan daun lontar segar Itu, Boma Paksi bertanya heran.

   "Ibu... ada apa? Mengapa Ibu begitu panlk? Apakah.... Ibu khawatir dengan orang yang tertawa itu?"

   "Jangan banyak tanya! Cepat kau masuk ke kamarmu! Ingat pesan Ibu baik-baik! Ayo, Boma! Cepat kau...."

   "Kabar telah sampai ke telingaku, kalau Pendekar Lontar sudah mampus! Kini tinggal kau sendiri Dewi Lontar! Apakah kau akan tetap keras kepala seperti suamimu yang tak mau menyerahkan Pusaka Pendekar Lontar?!"

   Suara mengguntur itu memutus kata-kata Dewi Lontar. Boma Paksi kini tahu apa yang menyebabkan ibunya menjadi panik. Dia berkata gagah.

   "Ibu! Aku tahu siapa orang itu! Bukankah dia kakek bongkok yang tiga bulan lalu datang untuk merebut gumpalan daun lontar hijau milik Ayah ini?"

   Dewi Lontar mengangguk cepat. Sebelum dia berkata, si bocah yang pada punggungnya terdapat tato naga hijau sudah bertanya kembali.

   "Memangnya... apakah kegunaan dari gumpalan daun lontar sebesar kepalan Ayah Ini, ibu? Kulihat... tak ada yang menarik?"

   Dewi Lontar menarik napas panjang.

   "Anakku... saat ini, Ibu tak memiliki waktu untuk menjelaskannya kepadamu. Tapi, percayalah, Ibu akan menjelaskannya."

   "Kalau memang kakek jahat itu menginginkan gumpalan daun lontar ini, Ibu katakan saja di mana memetiknya? Nanti suruh dia datang ke tempat itu. Kan dia bisa memetiknya sendiri?"

   Suara di Iuar terdengar lagi. Dewi Lontar berkata terburu-buru.

   "Ya! Cepat kau ke kamarmu! Ingat, bila Ibu belum menjumpaimu menjelang malam... kau tinggalkan tempat ini!"

   "Tidak!"

   Seru Boma Paksi tanpa disangka.

   "Ayah telah tiada! Aku adalah satu-satunya lelaki di sini! Aku akan melindungi Ibu! Ayo, Bu! Kita hadapi kakek bongkok itu!"

   Dewi Lontar terharu mendengar kata-kata putranya. Dirangkulnya Boma Paksi erat-erat.

   "Ya! Kau seorang lelaki yang kelak akan tumbuh menjadi gagah! Dan sebagai seorang gagah, harus menuruti perintah ibunya...."

   "Tapi... aku tak mau Ibu menghadapinya seorang diri! Aku akan membantumu, Bu!"

   Jlegaaar....!! Dinding rumah itu jebol dan pecah berpentalan. Dewi Lontar segera melompat sambil menggendong putrsnys itu hingga menabrak dinding lainnya.

   "Boma! Kau lelaki gagah! Lelaki gagah akan menuruti perintah ibunya!".

   "Tidak!!, Aku harus membela ibu!"

   "Ya...ya. Kau akan membela ibu! Tetapi... kau tunggu dulu di kamarmu! Bila Ibu butuh bantuanmu, ibu akan memanggilmu". Sepasang mata Boma Paksi berbinar-binar gembira.

   "Janji ya, Bu? Janji?"

   "Ya! Cepat kau masuk ke kamar!"

   Boma Paksi masuk ke kamarnya dengan membawa gumpalan daun lontar yang diserahkan ibunya tadi.

   Dewi Lontar menarik napas dulu.

   Lalu segera berkelebat ke depan.

   Satu sosok bongkok dengan rambut putih panjang turun ke bawah telah berdiri di sana.

   Kulit si kakek sangat tipis.

   Sepasang matanya dalam dan tajam.

   Kumis dan jenggotnya seperti terpintal bersatu.

   Mengenakan pakaian hitam penuh tambalan.

   Di tangannya, terdapat sebuah bambu berwarna hitam yang ujungnya runcing.

   Mendadak si kakek mendengus.

   "Aku tak punya banyak waktu! Kedatanganku ke sini, sama dengan kedatanganku tiga bulan yang lalu! Cepat kau serahkan gumpalan daun lontar milik suamimu itu! Tentunya dia tak memerlukannya lagi karena sudah mampus!"

   Dewi Lontar berdiri gagah. Matanya memandang tajam pada si pendatang yang telah menghancurkan dinding rumahnya.

   "Bukan hanya Ratu Sejuta Setan yang menghendaki gumpalan daun lontar sakti milik suamiku. Kakek bernama Dadung Bongkok ini pun menghendaki hal yang sama. Tidak! Sampai kapan pun tak akan pernah kuserahkan gumpalan daun lontar yang hingga saat ini aku tak pernah tahu bagaimana suamiku mendapatkannya. Benda itu benda sakti. Dan tentunya, baik Ratu Sejuta Setan maupun Dadung Bongkok, menginginkannya untuk kepentingan pribadi."

   Habis membatin demikian, dengan gagah Dewi Lontar berkata.

   "Dadung Bongkok! Kendati suamiku sudah meninggal, apakah kau berpikir aku tak mampu menghadapimu?"

   Dadung Bongkok menggeram.

   "Jangan banyak omong! Serahkan benda sakti itu kepadaku!"

   "Tiga bulan lalu, kau telah dibuat terbirit-birit oleh suamiku! Hari ini, akulah yang akan membuatmu ingat kembali kejadian tiga bulan lalu!"

   "Setan betina! Kau akan menyesali tindakanmu ini!"

   Habis ucapannya, Dadung Bongkok sudah melompat maju dengan gerakan bersaito satu kali.

   Bambunya yang berujung runcing dikibaskan dengan cepat ke arah leher Dewi Lontar.

   Yang diserang hanya mundur satu tindak ke belakang.

   Lalu dengan gerakan yang cepat, digerakkan pedangnya.

   Traaakk! Benturan yang mengandung tenaga dalam itu membuat masing-masing orang mundur.

   Dan tiba-tiba saja sosok Dewi Lontar terjajar ke belakang.

   Perutnya sudah terkena satu tendangan keras yang diiepaskan dengan cepat oleh Dadung Bongkok.

   Belum lagi dia dapat menguasai keseimbangannya, Dadung Bongkok sudah merangsek maju dengan gerakan tombaknya yang serabutan membingungkan.

   Tersentak Dewi Lontar tatkala merasakan gelombang angin kacau menderu ke arahnya.

   Cepat perempuan ini membuang tubuh ke samping.

   Blooorr! Dinding rumahnya jebol terkena hantaman bambu Dadung Bongkok.

   Rupanya, kakek bongkok ini memang tak mau bertindak ayal.

   Kalau tiga bulan lalu dia merasa jeri setelah menyadari kesaktian Pendekar Lontar, kali ini dia merasa di atas angin.

   Karena diyakininya dapat mengalahkan Dewi Lontar.

   Tetapi Dewi Lontar bukanlah perempuan sembarangan.

   Pedangnya pun mulai diayunkan dengan kecepatan luar biasa.

   Disinari matahari senja, ujung pedangnya berkilat kilat dengan mengeluarkan suara mendesing-desing.

   "Keparat! Rupanya, dia tak kalah hebatnya dengan suaminya!! Tetapi kelihatannya dia tak membawa gumpalan daun lontar itu! Ini kesempatan untuk membunuhnya!"

   Maki Dadung Bongkok, lalu menyerbu kembali.

   Kali ini tangan kirinya ikut digerakkan yang seketika menggebah awan-awan hitam! Dewi Lontar pun memperlihatkan kelasnya.

   Menunjukkan kalau dia adalah istri dari mendiang Pendekar Lontar.

   Dengan pekikan keras, perempuan jelita berpakaian hitam ini melompat ke atas seraya menggerakkan pedangnya ke bawah membabi-buta.

   Sinar-sinar terang bermuncratan dan menghantami awan-awan hitam yang dilepaskan Dadung Bongkok.

   Letupan terdengar berkali-kali.

   Dadung Bongkok terpekik keras, tubuhnya terbanting di atas tanah.

   Dewi Lontar menggeram dingin.

   "Tiga bulan lalu kau datang membuat onar! Tetapi suamiku masih mengampuni nyawamu! Dan sekarang kau datang lagi dengan keinginan yang sama! Tak akan pernah kuampuni nyawamu sekarang!!"

   Dadung Bongkok muntah darah.

   Darah hitam menyembur keluar.

   Perlahan-lahan dia berdiri sambil memegangi dadanya dengan tangan kirinya.

   Kepaianya agak didongakkan.

   Tatapannya yang selalu memancarkan kekejian, kini lenyap.

   Berganti dengan kepanikan.

   Lalu terbata-bata dia berkata,"Ampuni aku, Dewi...

   ampuni aku...."

   "Suamiku pernah mengampunimu tetapi kau masih berani datang lagi! Apakah sekarang aku perlu mengampunimu lagi?!"

   Hardik Dewi Lontar dengan tatapan tajam.

   Kesedihan yang melanda akibat kematian suaminya, kini berubah menjadi kegeraman dalam.

   Dan perempuan ini seolah mendapatkan tempat pelampiasan untuk menumpahkan seluruh kesedihan dan amarahnya.

   Dadung Bongkok bangkit dengan kedua kaki goyah.

   Dia terbatuk-batuk yang memuncratkan darah.

   "Ampuni aku, Dewi... ampuni aku...,"

   Serunya penuh iba.

   "Aku bersumpah... tak akan pernah lagi kuganggu ketenteramanmu. Tak lagi kuinginkan apa yang selama ini kuinginkan...."

   Kendati diiiputi amarah tinggi, tetapi Dewi Lontar adalah seorang perempuan yang lemah lembut. Sikap kakek bongkok itu membuatnya merasa kasihan. Lalu serunya.

   "Baik! Sekali ini kau kuampuni! Tetapi bila kau berani iagi muncul, kau akan mampus, Dadung Bongkok!"

   Dadung Bongkok mengangguk berkali-kali sambil berucap terima kasih. Dewi Lontar menyampirkan lagi pedangnya pada punggungnya. Dia berkata.

   "Sepuluh tarikan napas kau masih berada di sini, kau akan mampus!"

   Lalu dia berbalik melangkah ke rumahnya.

   Dewi Lontar tidak tahu, kalau sesungguhnya Dadung Bongkok sedang merencanakan satu kekejian.

   Dia memang merasa tak sanggup menghadapi kesaktian Dewi Lontar.

   Jalan satu-satunya, dia memang harus mengiba mohon ampun.

   Begitu Dewi Lontar berbalik, seringaian melebar di bibirnya.

   Kejap berikutnya, dia sudah menerjang dengan bambu yang digerakkan serabutan.

   Dewi Lontar tersentak tatkala merasakan gelombang angin menderu ke arahnya.

   "Terkutuk!"

   Makinya sambil berbaiik dan mencabut pedangnya.

   Plaas! Plukkk! Bambu keras milik Dadung Bongkok putus tertebas pedangnya.

   Dewi Lontar berhasil patahkan serangan si kakek.

   Tetapi, satu gelombang angin yang keluar dari dorongan tangan kiri Dadung Bongkok, tak bisa dihindarinya, Dessss!! "Aaakhhhh!!"

   Dewi Lontar berteriak sekeras-kerasnya.

   Tubuhnya terseret ke belakang.

   Belum lagi dia dapat menguasai keseimbangannya, Dadung Bongkok sudah datang melancarkan serangan.

   Perempuan perkasa itu masih bisa menghindari dengan jalan menjatuhkan diri.

   Bahkan pedangnya langsung diangkat.

   Dadung Bongkok menggeram.

   Lalu memutar tubuh dua kali seraya pukulkan bambunya.

   Praaakk! Bambunya itu tertahan pedang Dewi Lontar.

   Karena dalam keadaan terguling, bambu itu tidak putus tertebas.

   Dadung Bongkok menyusulkan serangannya lagi.

   Tetapi....

   Craassl! "Aaaakhhh!"

   Gerakan yang dilakukan Dewi Lontar sungguh di Iuar dugaannya. Tahu-tahu tangan kirinya telah kutung tertebas pedang. Dadung Bongkok terhuyung. Darah keluar dari lengan kirinya yang sudah buntung.

   "Perempuan celaka!!"

   Serunya keras seraya melemparkan bambu kerasnya.

   Dewi Lontar yang masih berada di atas tanah memekik.

   Dia berguling dan berhasil menghindari bambu itu.

   Tetapi diluar dugaannya, bambu itu justru berbalik.

   Dan....

   Bleesss!! Masuk tepat pada jantungnya! Saat itu, malam pun datang.

   * * * DiKAMARNYA, Boma Paksi sudah tak sabar untuk segera keluar.

   Bocah yang pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik coklat dan pada punggungnya terdapat gambar seekor naga hijau yang dibawanya dari lahir, memang mematuhi kata-kata ibunya, tidak akan keluar sebelum malam datang.

   Dan saat ini malam telah datang.

   Tetapi ibunya belum juga muncul menjumpainya.

   "Mengapa Ibu belum muncul juga?"

   Desisnya dalam hati dengan perasaan tak sabar.

   "Apakah saat ini Ibu berhasil dikalahkan kakek bongkok itu? Ah, tidak! ibu pasti bisa mengalahkannya! Seperti yang dilakukan Ayah!"

   Kembali si bocah mondar-mandir dengan perasaan tak tenang. Gumpalan daun lontar yang diberikan ibunya masih dipegangnya erat-erat. Kembali dihentikan langkahnya karena dia tak mendengar langkah-langkah mendekati kamarnya.

   "Aku harus melihat keluar! Aku harus membantu Ibu!"

   Serunya memutuskan.

   Lalu dengan langkah tegap dan wajah tegang, bocah yang pada punggungnya terdapat tato seekor naga hijau itu segera keluar.

   Langkahnya terburu-buru dengan rasa tidak sabar yang dalam.

   Di Iuar, dilihatnya keadaan di sana sudah porak poranda.

   Saat ini rembulan bersinar cuktip terang.

   Begitu melihat Dadung Bongkok, dia langsung berseru.

   "Kakek brengsek! Lagi-lagi kau yang datang! Dan... hei! Tangan kirimu telah buntung rupanya! Lebih baik kau cepat pergi dari sini sebelum Ibu membuat tangan kananmu yang satunya lagi buntung!"

   Dadung Bongkok yang masih terhuyung karena menahan sakit, mengangkat kepalanya. Tatapannya tajam menusuk. Dan mendadak saja kepalanya menegak. Matanya terbeliak, tak berkedip.

   "Gumpalan daun lontar itu... daun lontar itu ada padanya?"

   Desisnya sambil menyeringai.

   Lalu ditotoknya urat darah pada bahu kirinya.

   Dia menjerit pelan.

   Lamat-lamat terlihat darah yang tadi banyak keluar perlahan-lahan menipis dan akhirnya tak keluar sama sekali.

   Rasa sakit dan amarah yang mendekam di dadanya tak lagi dihiraukan begitu melihat benda yang dicarinya berada di tangan bocah tanpa pakaian itu.

   Malah mendadak dia terbahak-bahak keras.

   Boma Paksi yang berdiri dengan kedua kaki dibuka, berseru.

   "Kakek bongkok! Kau sudah gila ya? Cepat kau pergi dari sini sebelum Ibu.... Ibu? Hei... di mana Ibu?!"

   "Hahaha...,"

   Menggema keras tawa Dadung Bongkok.

   "Kau mencari ibumu? Lihat di sana! Siapa yang tergeletak Itu?!"

   Segera Boma Paksi mengarahkan pandangannya pada tempat yang ditunjuk Dadung Bongkok.

   Seketika bocah itu berteriak keras dan memburu ibunya.

   Karena terburu-buru dia terjatuh.

   Lalu dengan kekerasan hatinya, dia bangkit dan merangkul ibunya yang telah menjadi mayat.

   "Ibuuuuu"

   "Ibumu sudah mampus, Bocah! Sekarang, serahkan benda itu kepadaku?!"

   Boma Paksi masih menangis sambil merangkul ibunya.

   "Ibu... ibu...,"

   Desisnya mengibakan. Dadung Bongkok menggeram.

   "Kali ini, tak ada lagi yang akan menghalangi keinginanku! Mendapatkan gumpalan daun lontar sakti yang selama ini kuimpikan, tak akan mendapatkan ganjalan apa-apa! Huh! Bocah itu pun harus knmampuskan! Biar hilang sudah keturunan dari Pendekar lontar!"

   Serunya puas dalam hati. Lalu dengan langkah agak terhuyung, Dadung Bongkok menghampiri Boma Paksi yang masih menangis. Sejenak dikerutkan keningnya begitu melihat gambar seekor naga hijau pada punggung bocah itu.

   "Aneh! Mengapa ada gambar seekor naga hijau pada punggungnya? Siapa yang telah mentato punggungnya itu?"

   Desisnya sejenak. Lamat-lamat keheranannya itu lenyap, berganti dengan niatnya semula.

   "Kau akan menyusui ibumu, Bocah!"

   Tangannya siap dihantamkan pada punggung si bocah. Boma Paksi mendengar seruan itu. Dia hendak berbaiik. Tetapi sebelum dia berbalik, mendadak saja Dadung Bongkok terpentai ke belakang.

   "Astaga! Ada apa ini?!"

   Serunya gelagapan sambil berusaha mengendalikan keseimbangannya.

   Sementara itu, Boma Paksi sudah berbalik dan berdiri dengan tatapan tajam.

   Kemarahan sungguh kentara sekali pada wajahnya yang memerah.

   Di tempatnya, Dadung Bongkok yang telah berdiri terdiam.

   "Sempat tadi kulihat, kalau gambar seekor naga pada punggung bocah itu seperti keluarkan sinar. Lalu ada tenaga yang menahan seranganku. Astaga! Apakah gambar seekor naga hijau itu memang memiliki arti?!"

   Sementara itu kemarahan Boma Paksi semakin menjadi-jadi. Bocah itu perlahan-lahan berdiri. Dan astaga! Sorot matanya sangat angker, mengerikan! "Ibu... aku akan membalas perbuatan kakek jelek itu!"

   Saat dia berbalik, Dadung Bongkok melihat gambar naga hijau pada punggung si bocah semakin bersinar hijau. Keheranannya semakin menjadi-jadi.

   "Aku yakin, kalau gambar seekor naga hijau itu bukannya tanpa isi! Sekarang sinarnya semakin terang! Hemm... jangan-jangan, ini mengisyaratkan satu bahaya! Peduli setan! Bahaya apa pun akan kuterjang untuk mendapatkan gumpalan daun lontar itu!"

   Lalu diiringi teriakan keras, Dadung Bongkok menerjang Boma Paksi yang masih membelakanginya.

   Kalau tadi Dadung Bongkok merasakan ada tenaga yang menghantamnya, kali ini dia melihat sinar hijau melesat ke arahnya.

   Yang membuatnya melengak dan untuk beberapa saat terdiam tegang, karena sinar hijau itu mendadak berubah menjadi bayangan seekor naga! "Heiiii!!"

   Cepat dia menghindar. Bggaaaarr! Sinar hijau yang membentuk seekor naga itu menghantam dinding rumah yang seketika jebol dengan suara keras. Dadung Bongkok terbelalak. Dia tak percaya melihat apa yang terjadi.

   "Astaga! Ternyata tak semudah dugaanku! Tentunya Pendekar Lontar dan istrinya telah membekali putranya dengan ilmu aneh itu! Terkutuk!! Selama ini aku tak pernah mendengar kalau Pendekar Lontar maupun istrinya memiliki ilmu lain kecuali ilmu pedang yang sangat tinggi. Dan sekarang... aku melihat kalau keduanya mempunyai ilmu yang disembunyikan. yang diturunkan pada putra mereka! Jahaman terkutuk! Terkutuk!"

   Makinya dalam hati. Tetapi di kejap lain, terlihat bibirnya tersenyum.

   "Hemm, untunglah aku dilahirkan dengan otak cerdik! Aku yakin, bila yang kuserang bagian depan, gambar seekor naga hijau itu tak akan banyak artinya."

   Memutuskan demikian, Dadung Bongkok menunggu sampai si bocah berbalik sambil mengatur napasnya yang mulai putus-putus.

   Sementara itu, perlahan-lahan Boma Paksi pun akhirnya berbalik.

   Kemarahan begitu membias dalam.

   Tatapannya yang tadi menggoda rasa Iba, kini nyalang mengerikan, seperti mengandung satu kekuatan yang mampu melemahkan keberanian lawan.

   Tangan kirinya mengepal kuat sementara tangan kanannya memegang erat-erat gumpalan daun lontar yang diberikan ibunya.

   Dadung Bongkok pun merasakan keangkeran pada sorot mata si bocah.

   Dia juga melihat sisik coklat halus pada kedua tangan si bocah meremang, dan bersinar terang.

   Tetapi dia tak mempedulikannya.

   "Kakek kurang ajar! Kau telah membunuh ibuku! Kau telah membunuh ibuku!"

   Seru Boma Paksi dengan tatapan memerah tajam. Dadung Bongkok tak bersuara. Matanya memperhatikan dalam-dalam dengan mulut merapat.

   "Bocah ini akan menjadi duri! Sebelum ada yang datang ke sini, aku harus melaksanakan niat!!"

   Memutuskan demikian, si kakek dengan bengis berseru.

   "Serahkan benda yang kau pegang itu padaku, ketimbang kau akan kesakitan kugebuk!"

   "Tidak! Bukan aku yang akan kau gebuk! Tetapi kau yang akan kugebuk!"

   Seru Boma Paksi keras.

   Lalu dengan kegagahan yang sangat kentara dan keberanian luar biasa, si bocah menerjang ke depan.

   Tangan kanannya yang memegang gumpalan daun lontar, tak sengaja bergerak.

   Dadung Bongkok menunggu.

   Dia sengaja tak segera melaksanakan niatnya, karena khawatir sinar hijau yang membentuk seekor naga hijau keluar lagi.

   Tetapi bukan itu yang kemudian mengejutkannya.

   Karena mendadak saja dari gumpalan daun lontar yang tak sengaja digerakkan si bocah, mengeluarkan gelombang angin yang diliputi asap tipis berwarna hijau "Heeiiii!!"

   Jlgaaarrr!! Gelombang angin itu menghantam dinding rumah yang seketika ambrol berhamburan.

   Kendati demikian, biar bagaimanapun juga, Dadung Bongkok adalah seorang tokoh sesat yang telah banyak makan asam garam.

   Tindakan yang dilakukan si bocah jeias-jelas hanya nalurinya belaka.

   Makanya dia berhasil menghindarinya.

   Bahkan dapat mengetahui, bila dia menyerang bagian depan tubuh si bocah, sinar hijau yang kemudian membentuk bayangan seekor naga itu tidak keluar.

   Tetapi bila diserang punggungnya, maka dialah yang akan celaka.

   "Saatnya dia harus mampus!"

   Lalu dengan enteng saja, Dadung Bongkok menghindari gelombang angin yang dihiasi asap hijau tipis yang keluar dari gumpaian daun lontar.

   Menyusul dengan kejamnya, dihantamnya perut si bocah yang terbanting di atas tanah.

   Rasa sakit yang tak terkira dirasakan Boma Paksi.

   Kalau tadi air matanya keluar karena kematian ibunya, sekarang air matanya keluar karena menahan sakit.

   Tetapi kegagahan Pendekar Lontar mengalir dalam darahnya.

   Seolah tak merasakan sakitnya, bocah itu menyerang lagi.

   Bahkan diiringi teriakan keras.

   Dan untuk kedua kalinya dia terbanting di atas tanah, karena jotosan tangan kanan Dadung Bongkok telah mendarat di perutnya.

   Darah segar muncrat dari mulutnya.

   Wajahnya meringis kesakitan.

   Si bocah menggeliat sebentar.

   Dia sempat buka suara sebelum jatuh pingsan.

   "Ibu...."

   Dadung Bongkok terbahak-bahak keras.

   "Telah tiba saatnya kudapatkan pusaka itu! Rahasia pusaka itu akan kukupas! Itu artinya... tak lama lagi aku akan menjadi tokoh rimba persilatan tiada tanding!"

   Lalu menggema tawanya yang sangat keras.

   Setelah puas melampiaskan kegembiraannya, Dadung Bongkok berjalan menghampiri Boma Paksi.

   Diambilnya gumpalan daun lontar yang diingininya itu, yang tadi menggelinding terlepas dari genggaman tangan Boma Paksi.

   Diamat-amatinya gumpalan daun lontar sebesar kepalan tangannya itu dengan kegembiraan tiada banding.

   Senyuman tak putus di bibirnya.

   "Pusaka ini telah banyak membunuh orang-orang segolongan denganku! Sepak terjang Pendekar Lontar tak akan pernah dimaafkan oleh orang-orang segolongan denganku! Dan sekarang... pusaka ini akan menghisap darah dagingnya sendiri!"

   Kembali diamat-amatinya gumpalan daun lontar itu. Pancaran mata berbinar yang mengandung kebuasan itu jelas terlihat. Lamat-lamat tetapi pasti, dengan seringaian lebar, Dadung Bongkok mengangkat gumpalan daun lontar itu.

   "Tamat sudah riwayat Pendekar Lontar beserta keturunannya!"

   Tanpa memiliki rasa kasihan sedikit pun juga, digerakkan tangannya dan siap dihantamkan pada kepala si bocah.

   Namun....

   Dessss!! Dadung Bongkok mendadak saja terjengkang ke belakang dengan perut yang seperti melesak ke dalam.

   Gumpalan daun lontar yang dipegangnya terlepas Kakek yang dibutakan oleh keinginannya ini tak menghiraukan rasa sakit atau siapa orang yang telah menyerangnya, Dia justru melompat untuk mendapatkan kembali pusaka yang telah terlempar itu.

   Tetapi...

   Buukkk! Kembali dia terbanting di atas tanah.

   Untuk sejenak Dadung Bongkok tergeletak menahan sakit.

   Di saat lain, gelagapan dia berusaha untuk bangkit.

   Saat itulah dilihatnya satu sosok tubuh berjubah merah telah berdiri di sana dengan memegang pusaka diingininya! "Dewa Naga...,"

   Desis Dadung Bongkok dengan suara tertahan.

   Matanya melotot panik.

   Kakek berjubah merah yang telah memegang pusaka Pendekar Lontar itu menggeram.

   Tatapannya dingin.

   Tak ada tanda-tanda dia akan memperlihatkan sikap konyol dan angin-anginan seperti biasanya.

   Yang terlihat hanyalah kemarahan yang terpancar dari sepasang matanya yang memancarkan sinar merah, terang.

   Sisik-sisik hijau yang terdapat pada wajahnya memerah.

   "Tindakanmu sudah kelewat batas, Dadung Bongkok!"

   Paras kejam Dadung Bongkok menciut.

   Dia tahu kesaktian yang dimiliki Dewa Naga.

   Dan disesalinya mengapa kakek muka lonjong penuh sisik hijau itu keburu datang sebelum ditinggalkannya tempat ini.

   Tetapi, ambisinya yang sudah hampir terpenuhi digagalkan, membuat Dadung Bongkok melupakan keciutannya.

   Tak lagi dipedulikan siapa orang bersisik hijau yang berdiri di hadapannya.

   Dia bangkit dengan terhuyung.

   "Dewa Naga, Aku tak peduli seberapa tinggi kesaktianmu! Tetapi, siapa pun yang lancang mencampuri urusanku, dia akan menyesal seumur hidup! Serahkan benda sakti itu padaku, maka urusan selesai!"

   Dewa Naga melotot.

   "Sinting! Kau ini sudah sinting rupanya? Muiut baumu itu masih bisa juga melontarkan sesumbar! Hei, kakek bongkok jelek! Apakah kau pikir aku tega membunuhmu yang sudah tak berdaya itu?!"

   Seharusnya Dadung Bongkok menyadari keadaan dirinya. Menghadapi Dewa Naga dalam keadaan segar bugar saja, dia tidak akan menang. Apa lagi sekarang? Tetapi kemarahan dan keserakahah telah membutakah pikirannya.

   "Peduli setan! Serahkan pusaka itu! Atau... kau sebenarnya sudah memutuskan untuk mampus malam ini?!"

   Bukannya mulut Dewa Naga yang berbunyi, justru pantatnya. Bruuut! Kalau biasanya dia selalu memaki-maki karena pantatnya tak bisa diajak berunding, kali Ini dia tak peduli. Sinar matanya terus memancarkan maut.

   "Ucapanmu benar-benar bikin panas hatiku! Seharusnya aku menghukummu sekarang! Tetapi...."

   "Keparat!!"

   Dadung Bongkok mendorong tangan kanannya.

   Wrrrrll Menggebah gelombang angin yang menyeret tanah.

   Dewa Naga menggeram.

   Lalu mendehem.

   Suara dehemannya kecil saja, tetapi....

   Blaaaammm Gelombang angin itu putus di tengah jalan seperti menghantam sebuah tembok.

   Bahkan Dadung Bongkok sendiri terbanting lagi di atas tanah.

   "Kakek terkutuk!"

   Makinya dengan darah yang mengalir dari hidung.

   "Kau benar-benar tak tahu diuntung! Padahal aku sudah beri peruntunganmu untuk hidup lebih lama lagi! Tapi kalau kau keras kepala, aku tak akan pikir dua kali untuk membunuhmu! Hanya saja, lagi-lagi, aku tak berhak membunuhmu!"

   Seru Dewa Naga sambil melotot. Lalu diangkatnya tubuh Boma Paksi yang pingsan. Ditelitinya sejenak sebelum dia angkat pandangan dan berseru.

   "Ingat apa yang kukatakan tadi! Dua belas tahun mendatang, bocah ini akan datang untuk mencabut nyawamu. Jadi, persiapkan dirimu mulai sekarang sebelum dua belas tahun menjelang!"

   Habis ucapannya, Dewa Naga segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Dadung Bongkok merutuk panjang pendek dengan kegusaran luar biasa.

   Dihantaminya apa saja dengan kibasan tangan kanannya.

   Letupan berkali-kali terdengar sebelum akhirnya dia terengah-engah sendiri.

   "Keparat! Keparat kau, Dewa Naga... kau akan menyesaii tindakanmu ini...."

   Lalu dengan langkah sempoyongan Dadung Bongkok melangkah meninggalkan tempat itu.

   "Aku akan menunggu dua belas tahun mendatang...." * * * PERPUTARAN waktu sungguh sangat sukar diikuti. Kita tak tahu sang waktu akan melangkah ke mana. Tetapi yang pasti, sang waktu tak mau membuang diri untuk kembali ke masa lalu. Dia terus bergerak dan bergerak sampai tiba Sang Penguasa Jagat memerintahkannya untuk berhenti. Dan tak seorang pun yang mengetahui, kapan Sang Penguasa Jagat memerintahkan sang waktu untuk berhenti bekerja. Dua belas tahun sejak peristiwa kematian Pendekar Lontar pun sudah terlampaui. Rentang waktu yang lama itu, ternyata tak begitu terasa. Tahu-tahu sudah membentang jauh melewati batas-batas yang tak bisa ditentukan. Pagi masih buta. Butiran embun bergayutan manja di dedaunan. Udara sangat dingin menusuk tulang. Semakin dingin karena semalam hujan turun sangat lebat. Di mana-mana terdapat tanah becek dan genangan air. Tak seekor hewan pun yang keluar untuk mencari makan. Mungkin mereka sudah mempersiapkan makanan lebih atau juga merasa enggan bergabung dengan udara dingin. Mendadak.... Jlegaaaarrrl! Sebuah letupan keras menggema di pagi buta. Disusul gemuruh angin dahsyat yang berputar dan menerjang. Lima batang pohon berpentalan jauh dengan suara bergemuruh. Beberapa kejap kemudian hening menggenang. Pagi senyap kembali.

   "Guru! Bagaimana menurutmu?!"

   Terdengar suara itu memecah keheningan. Bruuuttt! Suara pantat berbunyi terdengar keras, disusul dengusan.

   "Brengsek! Apanya yang menurutku, hah?! Anak kecil pun bisa melakukan apa yang barusan kau lakukan". bentakan keras itu terdengar.

   "Astaga! Guru! Yang benar saja? Lima batang pohon itu sudah tumbang kuhantam dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' yang Guru ajarkan! Kalau ternyata Guru anggap belum sempurna, ya karena ilmu Guru itu tidak bagus!"

   "Brengsek! Brengsek! Kau mau menganggap gurumu ini tidak becus mengajarkanmu?! Sembarangan kalau ngomong! Kau ingin kugampar ya?!"

   Pemuda yang mengenakan rompi berwarna ungu yang sedikit terbuka hingga memperlihatkan dada bidangnya, yang tadi melepaskan pukulan menghantam lima batang pohon yang berpentalan pecah, tertawa.

   Tak ada tanda-tanda dia kecut diancam seperti itu.

   Sikapnya enak saja berucap demikian dengan kakek berjubah merah yang duduk di atas sebuah batu.

   Membuat si kakek bermuka lonjong yang penuh sisik hijau itu menggerutu panjang pendek.

   Dan berkali-kali dari pantatnya keluar suara, 'Bruttt!' "Sembarangan kau ya?! Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' sukar dicari tandingannya di jagat ini?! Itu termasuk ilmu dahsyat yang kuturunkan kepadamu! Yang dapat kau pergunakan sebagai satu senjata tangguh bila kau terdesak! Tapi bukan cuma bisa menumbangkan lima batang pohon itu!"

   "Tapikan bagian atasnya hangus?!"

   Seru si pemuda yang rambutnya dikuncir itu tak mau kalah.

   Dia berdiri berjarak delapan langkah dari si kakek muka lonjong.

   Berdiri tegak dengan kegagahan yang kentara.

   Matanya berkilat-kilat jenaka, kendati sorotnya angker.

   Parasnya tampan dan tubuhnya gagah.

   Yang agak mengherankan adalah kedua tangannya, yang mulai dari jari-jemarinya hingga batas siku, bersisik coklat! Padahal bagian tubuhnya yang lain tidak.

   "Bukan itu yang kuinginkan! Tapi semuanya langsung hangus begitu kau bantam!!"

   Maki si kakek bersisik hijau keras.

   "Percuma aku mengajarimu kalau cuma itu saja yang bisa kau lakukan! Kebanyakan makan kau ya?! Atau... kau kebanyakan ngintip perawan mandi di desa seberang ya?!"

   Si pemuda nyengir. Tindakannya itu membuat si kakek bersisik hijau yang bukan lain Dewa Naga mendengus.."Kenapa kau nyengir begitu, hah?! Kau pikir parasmu tampan apa?!"

   "Dibandingkan wajah Guru sih... rasanya masih ada deh perawan montok yang akan melirikku lebih dulu! Lalu menutup mata begitu memandang Guru,"

   Sahut si pemuda kalem.

   "Busyet, Kau ini...."

   Kata-kata Dewa Naga terputus tatkala didengarnya suara letupan lima kali berturut-turut. Sejenak si kakek rhengerutkan keningnya. Telinganya dibuka lebar-lebar. Kejap berikutnya, dia mendengus keras.

   "Brengsek! Kau mempermainkan orangtua ya? Kau mempermainkan gurumu ya? Murid kebluk! Bagaimana bisa kau buat lima batang pohon itu lebur belakangan?!"

   Si pemuda tertawa.

   "Nah! Guru akhirnya mengakui bukan, kalau Guru tidak sia-sia menurunkan ilmu kepadaku?"

   "Kurang asem! Selain memiliki ketegaran dan jiwa ksatria tinggi, pemuda ini juga memiliki sifat asal-asalan! Dia sengaja mempermainkanku rupanya! Lima batang pohon yang dihantamnya dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' tadi hanya untuk menggodaku saja! Tapi... bagaimana caranya dia bisa menyimpan tenaga dari ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautah' pada lima batang pohon yang kemudian lebur belakangan? Busyet! Dia memang hebat dan cerdik!"

   Lalu dipandanginya si pemuda yang sedang nyengir.

   "Sekujur tubuhku dipenuhi sisik-sisik hijau. Pemuda itu memiliki sisik yang sama tetapi berwarna coklat dan hanya terdapat mulai dari jari-jemarinya hingga batas siku kedua tangannya. Ah, kalau sisik-sisik hijau pada tubuhku karena pengaruh ilmu yang kumiliki, tetapi dia telah membawanya sejak lahir."

   Melihat tatapan gurunya, si pemuda berkata.

   "Kenapa Guru melihatku seperti itu? Apakah baru kali ini Guru melihat ketampananku?"

   Dewa Naga menggerutu.

   "Banyak omong!"

   "Apa iya?"

   Bruuttt! Pantat si kakek berbunyi.

   "Guru! Kau ini tidak punya malu ya? Buang angin sembarangan! Untung baunya tidak busuk! Coba kalau...."

   "Hei, hei! Cuma buang angin itu yang tak bisa kuajarkan padamu! Jangan kau pikir buang anginku itu seperti buang angin orang kebanyakan! Hemm... suatu saat akan kuperlihatkan kepadamu! Sekarang... aku ingin melihat kebisaanmu! Ayo, serang aku!"

   "Wah! Kok pakai main serang-serangan nih? Kalau aku sudah tamat mewarisi seluruh ilmu Guru, ya sudah!"

   "Banyak omong! Ayo, serang aku!!"

   Seru Dewa Naga dengan mata melotot.

   "Menyerangmu? Wah! Mana bisa kulakukan? Guru sudah tua, gerakan Guru tentunya sudah lamban!"

   Sahut si pemuda sambil tertawa.

   Dia memang hendak menggoda gurunya.

   Sebagai sahutan, Dewa Naga menjentikkan ibu jari dengan telunjuknya.

   Trikk! Bunyi pelan terdengar.

   Tetapi...

   secara tak disangka, menggebah gelombang angin yang diliputi asap hijau ke arah si pemuda yang bukan lain Boma Paksi adanya.

   Putra almarhum Pendekar Lontar dan almarhumah Dewi Lontar mendengus pendek.

   Tanpa bergeser dari tempatnya, dia mendorong tangan kanannya Wrrpr!! Serangkum angin merah menggebrak keras.

   Dan....

   Blaaaam!! Letupan keras terjadi.

   Tanah di mana benturan itu terjadi, muncrat ke udara.

   Dan bila saat ini matahari sudah menampakkan diri, maka akan terlihat muncratan angin merah ke mana-mana.

   Masih dengan pandangan terhalang oleh muncratan tanah, satu gelombang angin lainnya menderu cepat ke arah si pemuda.

   Merasakan adanya dorongan kuat, si pemuda menepukkan tangan kanannya pada lengan kirinya.

   Wuuutttl! Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar dan membubungkan tanah dalam pusarannya.

   Si kakek yang sudah meluncur menyerang, mengertakkan rahangnya.

   Diurungkan niatnya untuk menyerang.

   Kaki kanannya dijejakkan ke tanah.

   Bersamaan tubuhnya melenting ke atas, tanah menghambur ke arah si pemuda.

   Tetapi langsung tertelan dalam pusaran angin yang dilakukan si pemuda.

   "Wah! Guru kenapa?! Kenapa harus melompat ke atas seperti monyet?!"

   "Brengsek!"

   Bruuutt! Si kakek memutar tubuhnya kembali.

   Lalu digerakkan jotosan tangan kanannya tepat pada kepala Boma Paksi.

   Yang diserang langsung merunduk.

   Dan tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat dari belakang.

   Plaaak!! Si kakek terpental ke belakang dan hinggap diatas tanah dengan kedua kaki tegak.

   Sementara itu, Boma Paksi tetap berada di tempatnya.

   Tetapi kedua kakinya kini melesak hingga lutut di tanah yang becek.

   Belum lagt diangkat kedua kakinya, mendadak saja dilihatnya tanah bergerak cepat ke arahnya.

   "Waduh! Kenapa Guru mempergunakan ilmu "Barisan Naga Penghancur karang'?!"

   Seru Boma Paksi keras.

   Dalam gerakan yang sangat cepat, pemuda tampan ini menghantamkan telapak tangannya pada tanah yang bergelombang ke arahnya.

   Blaaaammm! Tanah yang bergerak cepat itu terhenti seperti ada tenaga yang menahannya.

   Dan muncrat ke udara.

   Tubuh Boma Paksi terpental.

   Kedua kakinya yang ambias sebatas lutut terlepas dan tanah terbongkar.

   Baru saja kedua kakinya hinggap lagi di atas tanah.

   tanah sudah bergerak kembali.

   Boma Paksi langsung melompat menghindari barisan tanah yang bergerak itu.

   Mendadak...

   Desss!!! Perutnya terhantam satu pukulan keras yang membuatnya terhuyung.

   Paras tampan si pemuda meringis.

   Perutnya dirasakan sakit.

   Rambutnya yang dikuncir kuda terlempar sejenak ke depan.

   "Bodoh! Anak kecil saja mampu menghindari seranganku"

   Seru Dewa Naga pada murid kesayangannya ini.

   "Astaga, Anak kecil mampu menghindari pukulan 'Hamparan Naga Tidur' tadi? Ada-adanya saja guruku ini! Dia selalu bicara semau jidatnya saja! Dan pantatnya itu selalu saja berbunyi! Hmm... akan kuhadapi dia dengan pukulan yang sama."

   Saat lain yang terjadi benar-benar tak bisa diikuti oleh mata lagi. Hanya yang terdengar beberapa kali letupan keras terjadi di sela makian Dewa Naga.

   "Murid brengsek! Kau mau menghajar 'kantong menyan'ku ya?!"

   Lalu suara Boma Paksi.

   "Pecah juga nggak apa-apa, Guru! Toh sudah nggak bisa digunakan lagi?! Guru ini kok aneh-aneh saja ya? Buat apa barang yang tidak bisa dipergunakan lagi masih Guru tangisi juga?!"

   "Bicara sembarangan"

   Blaaarr! Jlgaaarrl! Dewa Naga semakin gencar menyerang muridnya, yang dihadapi muridnya dengan gerakan-gerakan yang tak kalah gencarnya.

   Perlahan-lahan matahari pun mulai naik dan tanpa terasa, matahari sudah sepenggalah.

   Embun-embun sudah mengering.

   Angin tak lagi menusuk dingin.

   Dan...

   astaga! Sinar matahari yang telah menerangi tempat di mana guru dan murid itu sedang berlatih, namun serangan demi serangan sangat berbahaya, membuat jelas tempat itu sekarang.

   Benar-benar membuat kepala menggeleng-geleng.

   Tempat itu ternyata sebuah lembah yang ditumbuhi pepohonan.

   Anehnya, seluruh pohon yang tumbuh di sana seperti bersisik.

   Baik batang, dahan, ranting maupun daun! "Gila betul! Guru benar-benar menganggapku sebagai lawan!"

   Seru Boma Paksi dalam hati tatkala tanah yang menghambur ke udara sirap kembali.

   Rompi berwarna ungu yang dikenakannya sudah kotor.

   Tangan kanan kirinya terasa ngilu karena berulang kali berbenturan dengan gurunya.

   Tetapi gurunya terus mendesak.

   Bahkan langsung mengambil sebatang ranting dan memutar-mutar ranting itu hingga si pemuda gelagapan.

   Dia terus melompat karena tak diberi kesempatan membalas.

   Plaaakk! Dia langsung terjajar ke belakang dengan tangan kanan ngilu begitu kena gebuk ranting si kakek.

   "Guru! Jangan terus menyerangku! Aku kan tidak bersenjata!"

   Serunya sambil meluruk ke depan, Dewa Naga menarik badannya ke belakang seraya mendorong tangan kirinya. Plaak! Plaaakk! "Huhh! Kau ketakutan ya?!"

   "Eh, siapa bilang aku takut?!"

   Seru Boma Paksi melotot. Bruuuttt! "Ya ampun! Kau ini tidak tahu malu betul, ya? Buang angin sembarangan!"

   "Bodo, ah!"

   Sahut Dewa Naga cuek.

   Tanpa mengurangi kecepatannya, dia terus menyerang muridnya itu.

   Pembicaraan yang enak saja memang kerap kali terjadi.

   Masing-masing orang dapat berbicara seperti itu.

   Ini dikarenakan keakraban di antara mereka.

   Tetapi Boma Paksi sendiri masih dapat mengingat posisinya sebagai seorang murid.

   Kibasan demi kibasan ranting yang dilakukan Dewa Naga memang menyulitkan Boma Paksi.

   Tiba-tiba saja pemuda yang kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu menerjang ke depan.

   Suara gerengan terdengar keras.

   "Bagus! Dia telah mempergunakan jurus 'Naga Mengamuk'! Aku memang ingin melihat kemajuannya!"

   Desis Dewa Naga sambil tersenyum.

   Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan.

   Pepohonan di sana bertumbangan terhantam tangan kanan kiri Boma Paksi.

   Paras si pemuda yang sejak tadj terlihat konyol, kini meregang tegang.

   Tatapan matanya dingin dan bertambah dingin.

   Bahkan sisik-sisik coklat pada kedua tangannya semakin terang menyala, berkiiat-kilat.

   Dewa Naga terus melayani dengan kibasan rantingnya.

   Sampai kemudian ranting itu patah.

   "Hebat! Dia dapat mematahkan rantingku ini!"

   Serunya.

   Lalu dengan mempergunakan jurus 'Naga Mengamuk', Dewa Naga melayani serangan murid tunggalnya.

   Apa yang terlihat sungguh mengerikan.

   Lembah Naga seperti dilanda kiamat.

   Letupan demi letupan terdengar keras dan angker.

   Pepohonan tumbang disertai muncratan tanah di sana-sini.

   Tempat itu bergetar hebat.

   Dari tindakan yang keduanya lakukan, terlihat kalau masing-masing orang telah membahayakan dirinya sendiri.

   Masuk dalam pertarungan jarak dekat dengan kecepatan Iuar biasa, memang sama-sama sukar dihindari.

   Benturan pun terjadi.

   Masing-masing orang mundur lima tindak ke belakang.

   Boma Paksi cepat menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

   Karena dia merasa ada hawa panas yang melingkupinya.

   Di lain pihak, Dewa Naga hanya mendengus dan....

   Bruuttt! Hawa panas yang melingkupinya pun lenyap.

   "Luar biasa! Sungguh luar biasa!"

   Desisnya. Boma Paksi yang telah selesai mengalirkan tenaga dalamnya hingga hawa panas yang melingkupinya lenyap, juga memandang gurunya. Sisik-sisik coklat yang menyala tadi, kini lenyap dan memperlihatkan sisik halus seperti sebelumnya.

   "Guru! Kenapa sih Guru menyerangku betulan seperti itu?!"

   Kakek muka lonjong mengangkat kepalanya. Dipandanginya pemuda di hadapannya.

   "Sosoknya gagah dan tegap. Wajahnya tampan. Sifatnya kendati agak konyol tetapi masih bisa mempergunakan otaknya. Sorot matanya itu... terkadang menyiratkan kedinginan dan keangkeran yang membuat orang berpikir untuk tidak menatapnya lebih lama. Ah, aku melihat sosok Pendekar Lontar padanya. Rasanya. hari inilah saat yang tepat untuk mengatakan semuanya...."

   Berpikir demikian, Dewa Naga mengangguk-angguk.

   "Pertanyaanmu barusan, memang datang pada waktu yang tepat! Tapi sebelumnya, aku akan bertanya padamu. Boma... apakah kau lupa pada peristiwa dua belas tahun yang lalu?" * * * SEJENAK pemuda bersisik coklat itu terdiam. Dewa Naga melihat pancaran merah angker dari matanya.

   "Aku tahu, dia sedang menahan gejolak batin di hatinya. Tetapi aku harus membuka lagi mata dan ingatannya akan peristiwa dua belas tahun lalu...."

   Lalu dilihatnya muridnya mengangguk. Suaranya angker tetapi masih dapat dikendalikan.

   "Ya, Guru! Sudah tentu aku tidak melupakannya! Aku ingat sekali! Saat itu... Ayah yang berjuluk Pendekar Lontar telah tewas tanpa diketahui penyebabnya! Lalu... ada Dua Serangkai Jubah Hijau! Kakek Dewa Tombak dan Kakek Dewa Segala Obat! Aku juga ingat, kalau Ibu tewas dibunuh oleh Dadung Bongkok!"

   "Ingatanmu kuat sekali...."

   "Ayahku tewas tanpa diketahui penyebabnya. Ibuku tewas dibunuh Dadung Bongkok. Ah, lengkaplah apa yang pernah kupunyai kini menghilang...."

   Melihat pemuda di hadapannya terdiam, Dewa Naga mendengus.

   "Kau mau mendengarkan penjelasanku lagi atau kau cuma mau bengong seperti kambing ompong, hah?!"

   Boma Paksi mengangkat kepalanya. Dewa Naga berkata.

   "Dua belas tahun yang lalu, aku telah mengucapkan sebuah janji pada Dadung Bongkok! Saat itu, aku memang hadir di sana, tetapi aku terlambat karena ibumu sudah dibunuh olehnya! Aku hanya bisa menyelamatkanmu yang juga hendak dibunuh Dadung Bongkok!"

   "Mengapa Guru tak membunuhnya?"

   "Aku tak berhak melakukannya!"

   "Mengapa?!"

   Suara si anak muda terdengar menuntut.

   "Bila itu kulakukan, aku hanya akan menimbulkan keonaran! Jadi, apa bedanya aku dengan Dadung Bongkok sendiri? Silang urusan tak pernah terjadi antara aku dengan orang itu! Lagi pula, aku tak berhak melakukannya!"

   Boma Paksi terdiam. Kemarahannya mendadak muncul. Tetapi dua kejapan mata berikut, dia sudah menindih kemarahannya.

   "Dua belas tahun lalu, aku sudah berkata pada Dadung Bongkok, kalau dia akan mendapatkan balasannya! Tetapi kemudian aku menyadari, kalau aku telah salah berucap!"

   "Di mana Dadung Bongkok berada, Guru?"

   "Dia tinggal di Sungai Darah! Tetapi aku tidak tahu apakah dia masih tinggal di sana atau tidak! Muridku, sebaiknya kau melupakan apa yang telah terjadi. Tak ada gunanya kau menyimpan dendam atau membalasnya! Karena dengan begitu urusan akan semakin panjang. Sebelum kau berangkat...."

   "Tunggu, Guru! Berangkat? Apa maksud Guru dengan berangkat?"

   Potong Boma Paksi.

   "Berangkat ya berangkat!"

   Bentak Dewa Naga tiba-tiba.

   "Kok kau ini bodoh betul, ya? Berangkat itu sama dengan meninggalkan tempat ini!"

   "Jadi... maksud Guru... aku harus meninggalkan tempat ini sekarang?!"

   "Ya! Kapan lagi?!"

   Boma Paksi hendak membantah ucapan gurunya, tetapi gurunya telah melanjutkan.

   "Sebelum kau meninggalkan tempat ini, ada satu hal yang hendak kuceritakan padamu." . Boma Paksi tak menjawab.

   "Hei! Kau ini mendadak jadi tuli, ya?!"

   "Apa yang hendak Guru ceritakan?"

   "Tentang kematian ayahmu...."

   "Kematian Ayah?"

   Ulang Boma Paksi sambil memandang tajam pada gurunya.

   "Ya! Kematian ayahmu?!"

   "Guru! Aku hanya ingat, kalau tak seorang pun yang mengetahui penyebab kematian Ayah! Bahkan, Ibu pun tidak!"

   "Kau betul! Tetapi aku mengetahuinya!"

   "Oh!"

   Sejenak Boma Paksi terdiam. Perasaan pemuda ini kembali bergelora. Hatinya terbawa iagi pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Lamat-lamat dia berkata.

   "Ceritakanlah, Guru...."

   Bruuutt! "Busyet! Pantat ini kok tidak bisa diajak tenang ya?!"

   Maki Dewa Naga.

   "Masa bodoh, ah! Mau diajak tenang atau tidak bukan urusanku!"

   Lalu sambil memandangi muridnya yang masih memandangnya, kakek berjubah merah itu berkata.

   "Aku telah memeriksa tubuh ayahmu. Pada jantungnya, aku menemukan kejanggalan Dan satu-satunya racun yang dapat menyebabkan kematian seperti itu, adalah racun milik Hantu Menara Berkabut!"

   "Hantu Menara Berkabut? Siapakah dia, Guru?"

   "Sampai saat ini. Hantu Menara Berkabut tak pernah lagi kedengaran beritanya! Tetapi dulu, aku pernah sekali bertarung dengannya! Dan aku berada pada pihak yang menang! Bahkan sempat kudengar, kalau ayahmu pernah bertarung pula dengannya! Kendati sama-sama terluka, tetapi tidak ada yang tewas! Rupanya, Hantu Menara Berkabut masih mendendam pada ayahmu yang kemudian membunuhnya!"

   "Guru! Aku ingat, kalau Ayah mempunyai ilmu 'Raga Pasa"

   Yang membuatnya akan mengetahui setiap serangan yang datang! Lantas, bagaimanakah cara Hantu Menara Berkabut membunuhnya?"

   "Aku tidak bisa menjawab soal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang dapat menjawabnya. Jadi... kau harus mencarinya juga dan menanyakan soal itu."

   "Apakah Ibu mengetahui siapakah yang telah membunuh Ayah?"

   Tanya Boma Paksi penuh keingintahuan.

   "Aku tidak tahu pasti soal itu!"

   "Guru telah mengetahui kalau Hantu Menara Berkabut yang telah membunuh Ayah! Tetapi Guru mengatakan tidak tahu pasti Ibu tahu atau tidak soal itu! Berarti Guru tak mengatakannya! Mengapa Guru?! Mengapa tak mengatakannya pada Ibu?!"

   "Saat itu... ibumu dalam keadaan berduka. Berduka yang sangat dalam. Aku yakin, bila kukatakan soal itu, tentunya dia akan menjadi murka. Dalam keadaan berduka seseorang akan mudah menjadi berduka dan terluka. Itulah sebabnya, aku tak mengatakannya. Di samping itu, aku juga tidak tahu bagaimana caranya Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu. Mungkin, saat itu Dewa Segala Obat sudah datang. Bisa jadi dialah yang mengatakannya kepada ibumu. Hanya saja, aku merasa sangsi apakah dia akan mengatakannya? Karena aku merasa agak yakin, kalau Dewa Segala Obat pun mempunyai pertimbangan yang sama denganku.... Tapi sekali lagi, aku masih meragukan hal itu."

   Mendengar penjelasan gurunya, Boma Paksi mengangguk-anqguk mengerti. Dadanya digolak rasa amarah lagi. Sisik coklat pada kedua tangannya berubah terang. Dewa Naga melihat sinar mata muridnya berkilat-kilat.

   "Kurasakan ada getaran gaib dari kedua matanya. Ah, matanya itu seperti mengandung magnet yang menggetarkan! Dan gambar seekor naga hijau pada punggungnya, tentunya memiliki kekuatan yang sama! Aku tak tahu sama sekali soal kekuatan itu! Rasanya, biarlah dia yang menemukan jawabannya kelak!"

   Kemudian kakek ini berkata.

   "Satu hal lagi yang perlu kukatakan Boma... pada punggungmu terdapat sebuah tato naga hijau!"

   "Tato naga hijau?"

   "Ya! Sebuah gambar seekor naga hijau yang kau bawa sejak kau dilahirkan oleh ibumu! Terus terang, aku pernah bermimpi tentang seorang bocah yang memiliki gambar seekor naga hijau seperti yang ada pada punggungmu! Jangan kau tanyakan apakah naga hijau itu mengandung sesuatu yang berarti atau tidak! Karena aku tidak tahu! Jadi kuminta... kau sendiri yang akan menemukannya kelak! Dan kau harus berhasil menemukan jawabannya!"

   "Ah, selama dua belas tahun ini, aku tak pernah diliputi rasa marah dan heran seperti sekarang. Guru telah banyak buka semua rahasia yang dipendamnya selama dua belas tahun. Dan dari sikap Guru, aku merasa pasti, kalau Guru menghendakiku untuk tinggalkan tempat ini sekarang. Tentunya bukan dengan maksud mengusir, tetapi menyuruhku untuk menimba pengalaman di dunia Iuar...."

   Habis membatin demikian, pemuda gagah ini merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Dipandanginya sesaat kakek berjubah merah yang berdiri di hadapannya. Lamat-lamat ditundukkan kepalanya tanpa berucap apa pun. Dewa Naga membatin.

   "Dia sungguh mengerti apa yang kumaksudkan. Sikapnya itu... ah... benar-benar sungguh Iuar biasa. Santun dan sangat santun sekali. Aku yakin, kelak pemuda ini akan menggegerkan rimba persilatan. Tapi... tentang tato naga hijau pada pung-gungnya, aku masih belum dapat memecahkan, rahasia apa yang ada di sana...."

   Kakek muka lonjong penuh sisik itu perlahan-lahan mendengar kata-kata si anak muda yang masih menundukkan kepala.

   "Guru... aku mohon diri...."

   "Bagus kalau kau mengerti apa yang kumaksudkan! Satu pesanku... di dunia luar sana, tak sama dengan dunia yang kita hadapi sekarang ini! Kau akan banyak menemukan beragam sifat manusia! Kau akan berhadapan dengan manusia yang luarnya baik tetapi hatinya busuk! Dan kau juga akan berhadapan dengan manusia yang luarnya buruk tetapi hatinya emas! Juga kau akan berhadapan dengan manusia-manusia yang bukan hanya memiliki sifat aneh, tetapi juga mengerikan! Pesanku, dapatlah kau menjaga dirirnu sendiri...."

   Boma Paksi mengangguk.

   "Akan kuingat pesan, Guru! Guru... di manakah Hantu Menara Berkabut berada?"

   "Selama dua belas tahun aku terus berada di sini bersamamu. Ingatanku agak lupa. Kau harus menemukannya.... Dan... tunggu sebentar!"

   Boma Paksi melihat gurunya menjentikkan tangan kanannya ke atas.

   Dari atap bangunan kecil yang tak jauh dari sana, mendadak saja melayang sebuah benda.

   Masih melayang di udara, Dewa Naga menjentikkan lagi tangannya Benda yang melayang itu terpental lagi, kali ini mengarah pada Boma Paksi yang dengan sigap menangkapnya.

   "Oh! Gumpalan daun lontar!"

   Serunya. Lalu tanyanya kemudian.

   "Untuk apakah benda ini, Guru? Dan mengapa aku seperti begitu akrab dengan benda ini?"

   "Benda itulah yang diinginkan oleh Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok. Benda itulah yang menyebabkan ibumu dibunuh olehnya?!"

   "Aneh! Mengapa hanya gumpalan daun lontar ini saja orang-orang seperti Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok menginginkannya?!"

   "Kau akan tahu jawabannya kelak! Sekarang... berangkatlah!!"

   Boma Paksi memasukkan gumpalan daun lontar itu ke balik pakaiannya. Dan mendadak saja dia lerkejut.

   "Heiii!!"

   Kalau biasanya sebuah benda bulat bila dimasukkan ke balik pakaian akan menonjol, tetapi gumpalan daun lontar yang tetap segar dan bersinar terang itu, justru mendadak saja mengempis.

   Begitu mengempis, Boma Paksi merasakan ada hawa sejuk yang mengaliri sekujur tubuhnya.

   "Guru!"

   "Jangan banyak tanya lagi! Sana pergi! Danjangan terpancing oleh hal-hal yang dapat mencelakakanmu sendiri...."

   "Semua pesan Guru akan kuingat!"

   "Jangan meremehkan siapa pun juga! Dan katau bisa, hindarilah pertempuran dengan siapa pun juga. Di samping itu, jangan suka menyimpan dendam! 'Raja Naga' berangkatlah kau sekarang!"

   Boma Paksi terdiam dengan keningnya berkerut. Matanya menatap dalam gurunya.

   "Guru memanggilku Raja Naga?"

   Desisnya dalam hati.

   "Hei, Mengapa kau masih berada di sini, hah?! Ayo! Kau pergi sana! Otakku jadi mumet bila melihatmu masih berada di sini!"

   Setelah merangkapkan kedua tangannya dan mengucapkan terima kasih, Boma Paksi pun muiai berlari meninggalkan tempat itu.

   Ilmu peringan tubuh dipergunakannya hingga dalam beberapa kejap saja dia sudah berada jauh dari Lembah Naga.

   Dilihatnya lembah itu sekali lagi.

   Warna hijau menyelimutinya, seperti menyemarakkan tempat.

   Tetapi di balik semua itu, tersimpan keangkeran dalam yang tak bisa dipecahkan.

   Juga mengenai pepohonan yang semuanya bersisik halus.

   "Guru... aku mohon restumu...."

   Kejap kemudian, pemuda gagah berompi ungu dengan kedua tangan sebatas siku dipenuhi sisik coklat, sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan berjuta rintangan yang harus dihadapinya.

   Kelak, rimba persilatan akan dikejutkan dengan munculnya seorang tokoh muda berjuluk 'Raja Naga' SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini.

   'KUTUKAN MANUSIA SEKARAT' Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto

Cari Blog Ini