Asmara Penggoda 1
Pengemis Binal Asmara Penggoda Bagian 1
ASMARA PENGGODA Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Penyunting .
Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal Dalam episode .
Asmara Penggoda 128 hal.
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Siang hari di Gurun Angkara hamparan pasir luas tersiram cahaya mentari.
Biasan udara panas di permukaan pasir membentuk kilatan-kilatan terpendar.
Asap tipis kehitam-hitaman membumbung, menimbulkan bayang-bayang hingga mengaburkan pandangan.
Langit perak seperti memantulkan hawa panas yang menerpa.
Pendekar Kipas Terbang berjalan dengan tubuh bermandikan keringat.
Caping lebar dan pakaian longgarnya tak sanggup memberi perlindungan dari sengatan hawa panas.
"Ah, kenapa otakku jadi bebal? Mau saja aku menempuh perjalanan yang sangat menyiksa ini...,"
Gerutu pendekar muda berwajah lembut itu.
"Apa susahnya menolak tantangan Balong Rapaksa? Toh, aku tak berurusan dengannya. Tapi...."
Pendekar Kipas Terbang menarik napas panjang, lalu dihembuskannya keras-keras.
"Kaum persilatan tabu menolak tantangan,"
Lanjut pemuda itu.
"Hanya manusia pengecut dan berjiwa lemahlah yang mau melakukan hal itu."
Sambil berkata-kata sendiri, pendekar muda itu terus melangkahkan kakinya menyusuri hamparan pasir luas seperti tak bertepi.
Kulit wajahnya yang putih berubah merah kehitam-hitaman, akibat terpaan hawa panas yang tiada terkira.
Ketika sampai di depan gundukan pasir setinggi pohon kelapa, Pendekar Kipas Terbang menghentikan langkahnya.
Dari jarak lima tombak matanya menatap tajam gundukan pasir itu.
Tiba-tiba....
Wooosss...! Puncak gundukan pasir menyembur ke atas bagai gunung meletus.
Lalu, sebuah bayangan hitam menyembul ke atas dengan kecepatan laksana anak panah lepas dari busur.
Bayangan hitam itu berputar di angkasa.
Sesaat kemudian, dengan menimbulkan bunyi keras sekali kain lebar di punggungnya tiba-tiba mengembang seperti sebuah payung.
Bayangan hitam itu pun melayang turun dengan perlahan.
"Manusia Gurun...!"
Desis Pendekar Kipas Terbang.
"Ha ha ha...!"
Manusia Gurun yang bernama Balong Rapaksa itu tertawa.
"Ternyata kau memang seorang ksatria tulen, Raka Maruta."
Pendekar Kipas Terbang memandang kehadiran Balong Rapaksa dengan pandangan penuh selidik. Lelaki yang berusia sebaya dengannya itu berpakaian ketat serba hitam. Gambaran tubuh Manusia Gurun yang tegap berisi jadi terlihat jelas.
"Kenapa kau bengong, Maruta? Apakah kau merasa heran melihat kulit tubuhku yang hitam?"
Ujar Balong Rapaksa seraya menyibak anak rambut yang menutupi wajahnya. Rupa Manusia Gurun itu sebenarnya tampan, hanya kulit tubuhnya hitam terbakar cahaya mentari sehingga ketampanannya sedikit memudar.
"Aku tak pernah berurusan denganmu, Rapaksa. Kenapa kau mengirim surat tantangan kepadaku?"
Tanya Raka Maruta.
"Sebuah tantangan tak selamanya berawal dari suatu urusan. Tantangan adalah wujud nyata dari sebuah keberanian. Aku kira kau pun tahu hal itu, Maruta...,"
Sahut Balong Rapaksa.
"Masalahnya sekarang bukan berani atau tidak berani. Sebuah tantangan tentu mempertaruhkan nyawa. Apakah saat ini nyawa sudah tidak berharga lagi, sehingga untuk mengikuti gejolak nafsu mesti mempertaruhkan nyawa? Bukankah hal ini sebenarnya tidak perlu, Rapaksa? Raga yang bernyawa dan kepandaian yang ada alangkah baiknya bila digunakan untuk membela kebenaran...."
"Cukup!"
Balong Rapaksa menyela ucapan Raka Maruta.
"Kalimatku belum selesai, Rapaksa."
"Cukup! Tak perlu kau mengobral kata-kata. Selesaikan kalimatmu itu dengan darah, Maruta. Darahmu atau darahku yang akan merembes ke dalam pasir?!"
Ucap Balong Rapaksa seraya memasang kuda-kuda.
"Tunggu, Rapaksa!"
Raka Maruta setengah berteriak.
"Bukannya aku takut. Tapi, sebelum darah di antara kita mengucur, aku ingin kau menyebutkan alasanmu yang sebenarnya kenapa kau menantangku?"
"Ha ha ha...!"
Tawa Balong Rapaksa terdengar berkepanjangan, tapi segera lenyap tersapu angin.
"Kau tahu Ratnasari?"
Tanya pemuda berkulit hitam itu.
"Bidadari Bunga Mawar...,"
Gumam Raka Maruta dalam hati.
"Bukankah dia sangat cantik, Maruta?"
Pendekar Kipas Terbang terpaku di tempatnya.
Matanya menatap wajah Manusia Gurun dalam-dalam.
Raka Maruta tahu walaupun sifat dan sikap Balong Rapaksa berangasan, tapi pemuda berkulit hitam itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.
Dia tak pernah bertindak atas desakan nafsu pribadinya.
Kaum rimba persilatan memasukkannya dalam tokoh beraliran putih.
Karena itu ketika Balong Rapaksa menyebut nama Bidadari Bunga Mawar, Raka Maruta menjadi heran.
"Balong Rapaksa...,"
Kata Pendekar Kipas Terbang, kalem. Manusia Gurun terlihat menyunggingkan senyum mengejek.
"Apakah kecantikan Ratnasari begitu mempesona sehingga kau pun terpikat, dan hal itu berakibat hiiangnya akal sehatmu?"
"Ha ha ha...!"
Balong Rapaksa tertawa terbahak-bahak.
"Bukankah kau pun ingin memilikinya, Maruta?"
Pendekar Kipas Terbang mengge-lengkan kepalanya. Balong Rapaksa kembali tertawa.
"Pengecut!"
Umpat pemuda itu.
"Kau tidak berani mengatakan isi hatimu sendiri!"
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak mau tedeng aling-aling! Aku ingin memiliki Ratnasari. Dan untuk mewujudkan impianku itu, aku harus melenyapkanmu!"
Manusia Gurun mengakhiri kalimat-nya dengan sebuah terjangan. Pendekar Kipas Terbang berusaha berkelit.
"Tunggu dulu, Rapaksa!"
Cegahnya buru-buru.
"Aku sudah tidak punya waktu untuk berkata-kata!"
Sahut Balong Rapaksa, sewot.
"Aku tak berkeinginan untuk memiliki Ratnasari..."
"Sudah! Jangan banyak bacot! Lihat seranganku!"
Manusia Gurun memutar tubuhnya seraya melakukan tendangan beruntun.
Pendekar Kipas Terbang melompat jauh-jauh, sehingga serangan itu luput dan menimbulkan deru angin bersiutan.
Melihat lawan mencecarnya dengan penuh kesungguhan, Pendekar Kipas Terbang pun segera mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Hawa gurun yang panas menyengat terasa semakin panas oleh tempuran sengit yang terjadi.
Serangan Manusia Gurun bertubi-tubi menghujani tubuh Pendekar Kipas Terbang.
Namun, Raka Maruta bukanlah lawan yang enteng.
Serangan balasan yang dilancarkan pemuda berwajah lembut itu tak kalah, berbahayanya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Balong Rapaksa atau si Manusia Gurun bukan atas kehendaknya sendiri.
Semenjak kedatangan Ratnasari ke kediamannya, yakni di Gurun Angkara, Balong Rapaksa telah terkena pengaruh ilmu 'Asmara Penggoda' yang dimiliki wanita pemuja setan itu.
Balong Rapaksa jadi tergila-gila kepada Ratnasari.
Dan Ratnasari pun mau meladeni keinginan pemuda berkulit hitam tersebut, dengan syarat dia bersedia melenyapkan para tokoh muda yang dianggap sebagai penghalang Ratnasari untuk mewujudkan cita-citanya menguasai rimba persilatan.
Balong Rapaksa tentu saja menyanggupi.
Dirinya telah terkena ilmu sesat yang dapat mempengaruhi jalan pikirannya.
Balong Rapaksa lalu membuat surat tantangan.
Sudah puluhan tokoh muda mati di tangan Manusia Gurun, baik yang berasal dari golongan hitam maupun golongan putih.
Dan kini Pendekar Kipas Terbang pun datang ke Gurun Angkara untuk memenuhi tantangan pemuda berkulit hitam itu.
Tapi, ilmu kepandaian yang di-miliki Raka Maruta sudah bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh tua tingkat tinggi.
Kenyataan ini cukup menyulitkan Balong Rapaksa yang juga berkepandaian tinggi.
Pertempuran antara dua tokoh muda itu pun berlangsung sangat seru.
Sampai kemudian....
Wooosss...! Balong Rapaksa menjatuhkan tubuhnya ke hamparan pasir, lalu meluncur dengan cepat.
Kedua kaki pemuda berkulit hitam itu berputar laksana sebuah baling-baling.
Dihuja-ninya tubuh bagian bawah Raka Maruta dengan serangan mematikan.
Pendekar Kipas Terbang meloncat ke belakang seraya mengeluarkan senjata andalan dari balik bajunya.
Dengan sebuah gerakan indah benda pipih pendek itu mengembang.
Dan, terbentuklah kipas yang berwama keemasan.
Balong Rapaksa tertawa dengan tubuh masih terbaring di hamparan pasir.
"Terima kasih kau telah mengeluarkan senjatamu itu, Maruta. Kini aku tidak sungkan-sungkan lagi mengundang Dewa Kematian untuk mencabut nyawamu!"
Pendekar Kipas Terbang tak memberikan tanggapan.
Dia melepas caping lebar yang menempel di kepalanya.
Lalu, dilemparkannya caping itu ke arah Balong Rapaksa.
Caping meluncur cepat dalam keadaan berputar.
Manusia Gurun menyeringai dingin.
Tangan kanannya segera dipentangkan untuk menyambut luncuran caping.
Usahanya ternyata berhasil.
Caping Raka Maruta dapat ditangkapnya.
"Kau makan sendiri benda tak berguna ini, Maruta!"
Kata Manusia Gurun seraya melemparkan caping yang berada di tangannya.
Pendekar Kipas Terbang bergegas menghindar.
Caping lebar itu pun meluncur jauh dan hilang dari pandangan.
Tiba-tiba, tubuh Balong Rapaksa bergulingan dengan cepat.
Raka Maruta meloncat untuk menghindari serangan.
Kemudian, kipas di tangannya berkelebat cepat hendak memotong kaki Manusia Gurun! Wooosss...! Butiran pasir bermuncratan ketika tubuh Manusia Gurun berputar laksana gangsing.
Sekejap saja tubuh pemuda itu telah amblas ke dalam hamparan pasir! Pendekar Kipas Terbang terperangah melihat kubangan pasir yang telah tertutup.
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, hamparan pasir di bawah kaki Raka Maruta bergetar.
Lalu, sebuah bayangan hitam meluncur keluar dengan kecepatan kilat seraya melancarkan serangan! Des...! Kaki kanan Pendekar Kipas Terbang terhantam.
Pemuda itu pun jatuh terjengkang.
Bayangan hitam yang tak lain Balong Rapaksa itu kembali amblas ke dalam pasir.
Tapi Raka Maruta terkejut setengah mati.
Tubuhnya terasa bagai tersedot.
Pemuda berwajah lembut itu menjejakkan kakinya dalam-dalam ke pasir, berusaha melawan tenaga sedotan.
Tapi hal itu justru memper-parah keadaan.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang amblas ke dalam kubangan pasir.
Sekejap kemudian, hilang dari pandangan.
Pertempuran segera terhenti.
Suasana gurun berubah menjadi hening kembali seperti sebelum terjadi pertempuran.
Hanya desau angin yang menemani mentari.
Hembusannya menghilangkan jejak-jejak pertempuran yang baru saja terjadi.
Tapi, tak lama kemudian....
"Heaaa...!"
Dua tubuh anak manusia meluncur dari dalam pasir.
Ketika telah berada di udara, mereka saling menyerang.
Dan tampaknya serangan kali ini berhasil melukai masing-masing lawannya.
Mereka meluncur turun hampir bersamaan sambil mendekap luka di tubuhnya.
Raka Maruta berdiri mendekap dadanya yang terkena pukulan.
Sebaliknya, Balong Rapaksa meraba bahunya yang mengucurkan darah karena terkena sambaran kipas lawan.
"Kau hebat, Rapaksa,"
Puji Pendekar Kipas Terbang dengan kesungguhan hati.
"Kau pun lihai, Maruta,"
Sambut Manusia Gurun balas memuji.
"Sayang, kita harus menyabung nyawa hanya karena sebuah alasan tak berarti."
"Apa pun yang kau katakan, pertempuran ini harus dilanjutkan. Sampai ada di antara kita yang tergeletak tiada bernyawa!"
Manusia Gurun tetap pada niatnya semula.
Balong Rapaksa berdiri tegak di tempatnya.
Kedua tangannya terpentang ke atas.
Kemudian, turun perlahan-lahan dan bertemu di depan dada.
Bersamaan dengan itu hembusan angin kencang keluar dari telapak tangannya yang menyatu.
Butiran pasir langsung beterbangan menghunjam ke arah Raka Maruta! Wesss...! Wesss...! Pemuda berwajah lembut itu mengibas-ngibaskan kipasnya yang terbuat dari baja bersepuh emas.
Dari kibasan itu timbul hembusan angin yang tak kalah kencang.
Butiran pasir yang menghunjam ke arahnya sampai terhenti di udara.
Lalu, meluncur ke atas dan jatuh bertaburan bagai hujan deras.
Manusia Gurun mendengus kasar melihat tindakan lawan.
Dengan kecepatan yang melebihi kecepatan suara, dia kembali menerjang.
Raka Maruta bergegas mengacungkan kipasnya.
Dan, kilatan benda putih kecil memapaki tubuh Balong Rapaksa! Blak...! Dengan tubuh masih melayang di udara, Manusia Gurun mengembangkan kain lebar di punggungnya.
Pisau kecil yang meluncur ke arahnya pun terpental ketika membentur kain.
Lalu, kain lebar hitam itu mengejang dan menghunjam ke dada Raka Maruta.
Pendekar Kipas Terbang mengga-galkan serangan itu dengan kibasan kipasnya.
Belum sempat Manusia Gurun menyambung serangannya kembali, kipas di tangan Raka Maruta lepas lalu meluncur deras! Balong Rapaksa terpaksa meloncat ke sana kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi.
Kipas Raka Maruta berkelebatan mencari jalan kematian di tubuh Manusia Gurun.
Seuntai tali halus yang hampir kasat mata mengendalikan gerak serangan kipas Raka Maruta.
Ketika mengetahui keberadaan tali halus itu, kain lebar hitam milik Balong Rapaksa digunakan untuk menyampok kipas hingga terpental.
Lalu, dengan kecepatan kilat telapak tangan Manusia Gurun membacok tali kipas.
Tali itu hanya bergetar! Balong Rapaksa terperangah melihat tali yang dibacoknya tak putus.
Padahal, sebatang pohon kelapa pun akan tumbang terkena bacokan telapak tangannya itu.
Dalam keheranannya pemuda berkulit hitam ini menjadi lengah.
Akibatnya....
Srat...! Dada Balong Rapaksa robek lebar.
Darah segar kembali mengucur deras.
Raka Maruta bergegas menarik senjatanya melihat lawan yang telah terluka.
"Maaf, Rapaksa...,"
Kata Pendekar Kipas Terbang.
"Kau tak perlu mengucapkan kata itu, Maruta. Kau memang lihai. Lebih lihai dari yang kukira. Tapi, aku belum kalah...."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Manusia Gurun amblas ke dalam pasir.
Raka Maruta menajamkan pendengarannya.
Daun telinganya bagian bawah tampak bergetar.
Mendadak pemuda itu meloncat jauh-jauh dari tempat berdirinya.
Bias! Bias! Bias! Puluhan batu runcing menghujani tubuhnya dari dalam pasir.
Cecaran bebatuan itu laksana kerutukan berondong jagung.
Dan sebuah ledakan dahsyat yang menimbulkan gempa berkepanjangan mengakhiri serangan itu.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang terlontar ke udara.
Saat mendarat di pasir Pendekar Kipas Terbang menyeringai sambil mendekap dadanya yang terasa sesak.
Tapi, tangannya segera bergerak cepat meluncurkan senjata mautnya.
Kipas itu amblas ke dalam pasir.
Tak lama kemudian, darah segar tengah merembes keluar.
Mata Raka Maruta bersinar tajam.
Ditariknya tali pengendali kipas.
Tubuh Manusia Gurun tertarik keluar kemudian jatuh berdebam di atas hamparan pasir.
Tapi, dia segera bangkit berdiri.
Tangan kanannya memegang tali pengendali kipas dengan kuat.
Sementara tangan kirinya mencabut kipas Raka Maruta yang tertancap di dada kiri.
Ketika Balong Rapaksa ber-hasil mencabut kipas baja bersepuh emas itu, darah menyembur laksana sebuah mata air yang baru dibuka.
"Kau jangan gembira dulu, Maruta...,"
Desah Manusia,Gurun dengan geram.
"Aku belum kalah."
Tangan kanan pemuda berkulit hitam itu lalu menghentakkan tali pengendali kipas Raka Maruta.
Mereka pun berkutat saling mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
Tapi hal itu hanya sekejap.
Dengan tiba-tiba tubuh Manusia Gurun melayang seraya melancarkan sebuah tendangan maut! Pendekar Kipas Terbang berkelit ke samping.
Tangan kirinya lalu dilontarkan kuat-kuat.
Pukulan Raka Maruta telak menghantam dada Balong Rapaksa.
Dan, tubuh pemuda berkulit hitam itu jatuh bergulingan di atas hamparan pasir.
Manusia Gurun berhasil bangkit berdiri.
Tapi, segera jatuh terjengkang.
Dari mulutnya menyembur darah segar.
Balong Rapaksa menatap wajah lawannya dengan tiada berkedip.
"Kau... kau hebat, Mar... Maruta...,"
Ujar Balong Rapaksa terbata-bata.
"Aku puas... mati di tangan... mu...."
Tubuh Manusia Gurun itu lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Desau angin mengantar kepergian Balong Rapaksa untuk menghadap pada Sang Pencipta.
Suasana gurun kembali sepi.
Butiran pasir terhampar rata.
Hening....
* * * Ketika itu di tepi Sungai Bayangan sebuah perahu kecil bergerak perlahan.
Pirangga Muksa atau Dewa Obat duduk tenang di atasnya.
Pakaiannya yang berwarna putih-kuning berkibaran ditiup angin.
Wajah lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu merona merah diterpa cahaya mentari siang.
Matanya berkilat tajam memperha-tikan kecipak air yang ditimbulkan oleh gerakan dayungnya.
Dia menghentikan dayungannya ketika merasakan arus sungai tiba-tiba membesar.
Terlihat puluhan benda pipih panjang berkelok-kelok meluncur dengan cepat.
Lalu, melayang ke atas perahu Pirangga Muksa! Tas! Tas! Tas! Dewa Obat memutar-mutar dayung-nya.
Dipapakinya benda-benda pipih panjang itu.
Cairan kental berwarna merah bermuncratan ke atas permukaan sungai.
"Ular-ular bodoh!"
Umpat pemuda bertubuh kekar itu.
"Bila mengikuti perintah tuanmu, hanya kematian yang akan kalian dapatkan!"
Lalu dengan sebuah dayungan yang menggunakan tenaga dalam perahu Pirangga Muksa meluncur ke tengah sungai.
Dan, berhenti tepat di sisi gundukan batu besar yang menjulang tinggi.
Dewa Obat bergegas meloncat ke atasnya.
Gerakannya sangat tangkas.
Pemuda itu mendarat dengan mulusnya.
Padahal, permukaan batu itu licin oleh lumut.
"Tampakkan batang hidungmu, Sawung Jenar!"
Teriak Pirangga Muksa.
Teriakan yang dibarengi penge-rahan tenaga dalam itu terdengar membahana ke seluruh permukaan Bukit Bayangan.
Tiba-tiba, seekor ular sebesar paha manusia dewasa muncul dari dalam air.
Mulutnya menganga lebar berusaha mencaplok kepala Dewa Obat.
Pemuda bertubuh kekar itu terlihat sama sekali tak bergeming dari tempatnya.
Hanya, dengan dengusan pendek dia melayahgkan telapak tangannya! Prakkk...! Darah segar berhamburan.
Kepala ular besar itu hancur menjadi serpihan daging berbau anyir.
"Ini hanya permainan anak kecil, Sawung Jenar!"
Teriak Pirangga Muksa lebih keras.
Tak lama kemudian, dari hulu sungai muncul sebuah titik hitam yang bergerak perlahan mendekati Dewa Obat.
Ketika sudah dekat, tampaklah seorang lelaki bermata sipit dan berkulit kasar seperti sisik ular duduk bersila di atas air.
"Jangan memamerkan tipuan di hadapanku, Jenar! Tubuhmu tak seringan kipas! Kau hanya duduk di atas ular buduk!"
Mendengar perkataan Pirangga Muksa, Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular menggeram.
Ujung jari telunjuknya dicelupkan ke dalam air.
Dan....
tubuh Sawung Jenar terangkat.
Tampaklah seekor naga yang menyeramkan.
Lidahnya bercabang tiga, menjilat-jilat sepanjang satu tombak.
"Kenapa kau membawa cacing ke hadapanku, Jenar?!"
Kata Dewa Obat mengejek. Iblis Selaksa Ular tak memberi jawaban. Dia mengelus kepala ular naganya. Ular itu menggeliat. Dilontarkannya tubuh Sawung Jenar ke tepi sungai.
"Pengecut!"
Umpat Pirangga Muksa.
Tapi, dia tak sempat berkata-kata lebih banyak.
Ular besar yang berada di hadapannya telah menyerang.
Dewa Obat meloncat, menghindari terkaman.
Ular naga itu menyembur.
Uap kehitaman bercampur dengan percikan api keluar dari mulutnya.
"Bangsat!"
Umpat Pirangga Muksa sambil meloncat tinggi-tinggi. Sebuah pukulan jarak jauh segera dilontar-kannya. Ular naga itu hanya menggeliat terkena pukulan Dewa Obat. Mulutnya kembali mengeluarkan semburan.
"Cacing Tanah! Jangan kau kira dirimu kebal terhadap ilmu pukulanku!"
Kata Pirangga Muksa.
Kembali dilancarkan pukulan jarak jauh untuk kedua kalinya.
Ledakan dahsyat menggema.
Air sungai yang semula mengalir tenang menjadi bergolak akibat geliat kesakitan ular naga.
Dan ketika ledakan ketiga menggema, kepala ular naga itu hancur berkeping-keping.
"Ha ha ha...!"
Pirangga Muksa tertawa terbahak-bahak. Lalu, tubuhnya melayang ke tepi sungai.
"Giliran kepalamu yang akan kupecahkan, Sawung Jenar!"
Kata Dewa Obat dengan sinar mata berkilat. Ditatapnya Iblis Selaksa Ular yang berdiri tiga tombak dari hadapannya.
"Ucapanmu terbalik, Muksa!"
Kata Sawung Jenar tak kalah lantang.
"Justru aku yang akan melumatkan kepalamu!"
"Huh! Kata-kata tak ada bukti, apa gunanya?!"
"Baik. Akan aku buktikan. Untuk mendapatkan cinta Bidadari Bunga Mawar memang perlu mempertaruhkan nyawa...."
"Ha ha ha...!"
Dewa Obat tertawa terpingkal-pingkal.
"Kau sungguh lucu, Jenar. Tidakkah kau tahu diri? Tampangmu itu sudah mirip ular tercebur lumpur, mana mau Ratnasari yang cantik jelita memberikan cinta kepadamu?!"
"Kesaktian adalah jawabannya!"
Pirangga Muksa kembali tertawa.
"Kau merasa dirimu sakti? Kepandaianmu hanyalah menjinakkan ular. Kau tak patut mendampingi Bidadari Bunga Mawar!"
"Bangsat!"
Iblis Selaksa Ular menggeram marah.
Gigi lelaki berumur tiga puluh tahun itu bertaut erat.
Rahangnya menegang hingga membentuk balok segi empat.
Lalu, dengan gerakan cepat dia mencabut seruling dari balik bajunya.
Sawung Jenar menerjang Dewa Obat.
Sending di tangannya menusuk leher.
Melihat serangan itu, Pirangga Muksa hanya menyeringai dingin.
Dan setelah berkelit ke samping, telapak tangannya berkelebat! Des...! Dada Iblis Selaksa Ular dengan telak terkena pukulan.
Tubuhnya terlempar dan bergulingan di atas tanah.
Tapi, dia segera bangkit berdiri seperti tak terjadi apa-apa.
Dewa Obat menatap heran.
Pukulannya itu apabila menghantam batang pohon sebesar rangkulan manusia dewasa akan tumbang.
Tapi, kenapa tubuh Sawung Jenar tetap tegar? "Kenapa bengong, Muksa? Kau heran melihat pukulanmu tak mempan?"
Kata Sawung Jenar penuh ejekan.
"Inilah sebagian dari kesaktian yang kumiliki."
"Huh! Jangan pamer kesombongan di hadapanku!"
Usai mengucapkan kalimatnya, kedua tangan Pirangga Muksa terpentang, lalu menghentak ke depan! Blaaarrr...! Iblis Selaksa Ular menadahi pukulan jarak jauh Dewa Obat dengan dadanya.
Akibatnya, manusia bersisik ular itu terlontar.
Tubuhnya membentur sebatang pohon besar hingga tumbang.
Sawung Jenar tetap bangkit berdiri dan berjalan perlahan mendekati Pirangga Muksa.
Tentu saja Dewa Obat terkejut setengah mati.
Pukulan jarak jauhnya yang berlambarkan seluruh tenaga dalam hanya sanggup mengoyakkan baju Iblis Selaksa Ular.
Keanehan itu membuat Pirangga Muksa bergidik ngeri.
"Manusia atau silumankah dia?"
Tanya Dewa Obat dalam hati.
"Rupanya otakmu tak lebih pintar dari otak monyet kudisan, Muksa,"
Ejek Sawung Jenar.
"Kau senang berpikir untuk mencari jawaban, tapi tak pernah kau temukan apa yang kau cari itu."
"Kau hebat, Jenar,"
Gumam Dewa Obat.
"Ha ha ha...!"
Iblis Selaksa Ular tertawa bangga.
"Dengan ilmu 'Lembu Sekilan' yang kumiliki, tentu saja aku jadi hebat. Kau tak perlu heran, Muksa. Inilah modalku untuk mendapatkan cinta Bidadari Bunga Mawar."
Dewa Obat menggeram.
"Tidak!"
Katanya membentak.
"Kau tak pantas duduk berdampingan dengan wanita cantik itu!"
"Selain dungu, rupanya kau juga suka ngeyel, Muksa. Tapi, saat ini juga aku akan menghentikan eyelanmu itu."
Sawung Jenar mendekatkan seruling ke bibirnya yang tipis dan monyong ke depan. Keluarlah sebuah irama merdu yang mendayu-dayu. Pirangga Muksa menyeringai dingin mendengarkan suara syahdu yang mengelus sukmanya itu.
"Kau jangan mengajak bercanda, Jenar...."
Pirangga Muksa menatap tajam wajah Iblis Selaksa Ular yang tiba-tiba berubah lembut seperti seorang bocah yang tiada berdosa.
Mendadak, alunan irama yang keluar dari seruling Sawung Jenar melengking tinggi dan menyayat hati.
Dewa Obat terperangah.
Degup jantungnya dirasakan mengencang.
Gendang telinganya pun bergetar keras seperti mau pecah! Pirangga Muksa terpaksa mengerahkan seluruh hawa murninya untuk memberi perlindungan.
Sementara alunan irama seruling semakin meninggi.
Tubuh Pirangga Muksa menggigil seperti terserang hawa dingin yang hebat.
Perlahan-lahan tubuh Dewa Obat melorot ketanah, lalu duduk bersila.
Asap tipis mengepul dari kepala pemuda bertubuh tegap itu.
Goyangan tubuhnya menimbulkan gesekan di permukaan tanah hingga debu mengepul.
Tiba-tiba alunan irama seruling Sawung Jenar berubah cepat bagai desau tiupan angin topan.
Akibatnya, dari seluruh pori-pori tubuh Pirangga Muksa mengalir darah segar.
Bersamaan dengan itu bermunculan puluhan ular dari semak-semak.
Ular-ular itu terus merayap mendekati tubuh Dewa Obat.
Ketika ular-ular menyentuh tubuh Pirangga Muksa, binatang melata tersebut terlempar jauh lalu berkelojotan dan mati! "Tubuh Pirangga Muksa mengandung racun ganas,"
Kata Sawung Jenar dalam hati.
"Tapi, bukanlah Iblis Selaksa Ular bila tidak mempunyai ular yang sanggup menandingi keganasan racun itu."
Sawung Jenar menghentikan tiupan serulingnya, Lalu, benda bulat panjang itu dihentakkan.
Seekor ular putih sebesar lidi meluncur dengan cepat ke arah Pirangga Muksa.
Plap...! Ular itu masuk ke dalam lubang hidung Dewa Obat.
Lewat kerongkongan ular itu menyerang! jantung! Tubuh Pirangga Muksa terjengkang.
Sebentar kemudian berkelojotan seperti ayam disembelih.
Tubuh pemuda naas itu pun diam dalam keadaan telentang.
Splash...! Dari dada kiri tubuh tanpa nyawa itu menyembul ular putih kecil yang baru saja merenggut nyawa Pirangga Muksa.
Ular itu meluncur cepat dan masuk kembali ke dalam seruling di tangan Sawung Jenar.
Pemuda bersisik ular itu pun tertawa terbahak-bahak menikmati kemenangannya.
Rupanya, ilmu 'Asmara Penggoda' Ratnasari benar-benar telah mempengaruhi jalan pikirannya.
Sawung Jenar kemudian berlari cepat menuju Bukit Hantu, di mana Ratnasari tinggal.
Rimba persilatan memang telah diselimuti kabut hitam.
Tokoh-tokoh muda saling bunuh.
Tak peduli dari aliran putih atau pun hitam.
Darah manusia yang masih penuh harapan itu membanjir hanya untuk mewujudkan sebuah harapan.
Mereka menginginkan Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar.
Setelah menjalani upacara pemulihan, wanita cantik itu menyebarkan ilmu 'Asmara Penggoda'.
Tak satu puh tokoh muda rimba persilatan yang sanggup melawan ilmu setan itu.
Mereka jadi linglung, tak mampu berpikir benar sehingga dengan mudah Ratnasari mengadu domba.
Untuk sementara, yang luput dari serangan ilmu 'Asmara Penggoda' hanyalah Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang.
Pendekar berwajah lembut itu memiliki ilmu 'Hati Suci' yang merupakan warisan dari leluhurnya.
* * * Sebentuk kepala manusia tampak menyembul ke atas permukaan air danau kecil itu.
Wajah manusia yang melakukan tapa brata itu menggambarkan suatu keteduhan.
Kedua matanya terpejam dengan bantuk alis tebal menukik tajam di kedua ujungnya.
Hidungnya mancung.
Garis-garis wajahnya menunjukkan ketampanan.
Usia orang itu masih sangat muda, sekitar tujuh belas tahun.
Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Tubuh telanjang remaja tampan itu melayang di kedalaman air, ditopang oleh semburan mata air yang memancar di bawah kakinya yang bersila.
Gelombang kecil tampak berputar di sekitar kepala.
Rambutnya yang hitam panjang bergerak-gerak mengikuti arus.
Hari itu adalah hari ketujuh bagi Suropati dalam menjalani tapa brata sesuai petunjuk yang diberikan Datuk Risanwari.
Dalam keheningan kalbu di kekelaman pejaman matanya Suropati tiba-tiba melihat segumpal cahaya menuju ke arahnya.
Cahaya itu berpendar ketika jarak mereka telah dekat.
Asap tipis terlihat menyebar.
Sesaat kemudian, terbentuklah sesosok makhluk menyeramkan.
Tinggi makhluk itu menyamai tinggi pohon kelapa.
Tubuhnya sebesar tiga kali tubuh gajah.
Tangan dan kakinya mulur panjang, berbulu lebat dengan kuku-kuku hitam berkilat.
Kedua matanya yang sebesar tampah tampak memerah.
Berhidung besar.
Dari sela-sela bibirnya yang tebal menyembul taring runcing.
"Bangunlah kau, Bocah!"
Suara makhluk menyeramkan itu menggelegar laksana halilintar. Suropati sama sekali tak bergeming. Kedua matanya tetap terpejam rapat. Tapi, dia melihat dengan mata hatinya.
"Bocah Geblek! Kalau kau tak segera bangun, aku akan melumatkan tubuhmu!"
Tak ada tanggapan sedikit pun dari Pengemis Binal.
Makhluk menyeramkan itu menggeram marah.
Dari mulutnya menyembur uap panas.
Suropati merasakan tubuhnya bagai terpanggang di lautan api.
Pemuda itu segera mengerahkan kekuatan batinnya untuk melindungi tubuh.
Cahaya kebiru-biruan memancar dari tubuh remaja tampan itu.
Lalu, hawa dingin menyelimuti tubuhnya.
Rasa panas yang dirasakan Suropati seketika lenyap.
Tapi, mendadak saja kaki makhluk menyeramkan itu menendang.
Suropati merasakan tubuhnya terlontar jauh masuk dalam kegelapan yang begitu pekat.
Sernentara itu, seberkas sinar kemerahan meluncur ke arahnya! Sinar itu menelan tubuh Pengemis Binal.
Suropati merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa.
Tubuhnya terasa segar.
Hawa sejuk mengelus sukma.
Lalu, terdengar alunan musik berirama syahdu.
Seorang wanita cantik berpakaian indah gemerlap tampak menari dengan lemah gemulai.
Tubuhnya meliuk-liuk menciptakan gerakan yang meng-undang hasrat kelelakian.
"Bangunlah kau, Bocah Bagus...,"
Kata wanita cantik itu.
"Mari menari bersamaku!"
Tangan wanita cantik itu menggapai dengan mata terpejam penuh kepasrahan.
Suropati hanya diam.
Pemuda itu tak melakukan tindakan apa pun.
Perlahan-lahan wanita cantik itu bergerak menjauh.
Sanggul rambutnya dilepas sehingga mahkota yang indah itu jatuh tergerai ke punggung.
Lalu, satu persatu dia melepas kancing bajunya.
Ketika kancing-kancing itu telah usai dilepas, badannya dibalikkan seraya menjatuhkan bajunya.
Nampaklah kulit tubuhnya yang putih mulus tanpa noda.
Suropati merasakan darahnya berdesir.
Jantungnya berdegup lebih cepat.
Hasrat kelelakiannya terasa melonjak-lonjak! "Oh...,"
Wanita cantik itu mendesah panjang.
"Peluklah aku."
Dengan dada sesak dan napas terengah-engah menahan gejolak nafsunya, Suropati mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan godaan hebat itu.
Sementara wanita cantik di hadapan Suropati terus mendesah-desah.
Diikutinya irama musik yang mengalun syahdu dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.
Sisa pakaian yang menempel di tubuhnya pun melorot jatuh.
Tampaklah suatu pemandangan yang menggiurkan.
"Peluklah aku...,"
Kata wanita cantik bertubuh telanjang itu. Suropati merasakan bumi ber-goncang dahsyat. Tubuh Suropati yang tengah melakukan tapa brata bergetar keras. Perang besar sedang berkecamuk dalam hati remaja tampan itu.
"Oh... oh...."
Suara desahan tiada henti terdengar menggoda.
Sampailah Suropati pada puncak keinginan gejolak nafsunya.
Perlahan-lahan dia melepas kedua tangannya yang bersedekap.
Hendak dipeluknya wanita cantik di hadapannya.
Pada saat itulah muncul bisikan lembut di telinga Pengemis Binal.
"Manusia berhati lemah akan selamanya diperbudak oleh nafsu. Mereka akan dilemparkan ke jurang gelap penuh penderitaan. Nafsu selalu menggoda. Hanya dengan keteguhan imanlah godaan nafsu dapat diatasi...."
Ketika bisikan itu berhenti, Suropati mulai tersadar dari keadaannya.
Diiringi dengan menyebut asma Tuhan kedua tangan remaja tampan itu kembali bersedekap.
Tubuhnya lalu diam tak bergeming bagai patung batu.
Sinar kebiruan memendar dari tubuh Suropati.
Wanita cantik yang hendak didekapnya terpental disertai suara jerit kesakitan.
Kemudian, bisikan lembut di telinga remaja tampan itu terdengar kembali.
"Kau bisa membuka kelopak matamu, Suro. Tapa bratamu telah usai."
Pengemis Binal mengikuti bisikan lembut di telinganya. Dan ketika gelap telah pergi dari pandangan, tampaklah seorang kakek tua renta tengah duduk bersila dalam keadaan melayang di udara.
"Datuk Risanwari...,"
Gumam Suropati.
"Sebuah ujian berat telah kau jalani, Suro. Kini dalam dirimu telah tercipta sebuah benteng kokoh untuk menepis segala godaan nafsu keduniawian. Dengan penuh keikhlasan dalam mengabdi kepada jalan kebenaran, mudah-mudahan kabut gelap yang menyelimuti rimba persilatan dapat kau lenyapkan. Tuhan bersamamu, Suro...."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Datuk Risanwari meluncur cepat dan menghilang dari pandangan.
Suropati hanya memandangi keper-giannya.
Pemuda konyol itu kemudian berusaha menggerakkan kaki dan tangannya yang kaku.
Dia berenang mencapai tepi danau.
Diambilnya pakaiannya yang tergantung di dahan pohon.
Tak lama kemudian, dia telah bertengger di dahan pohon kedondong besar.
Dengan rakusnya dilahapnya buah berasa manis-asam itu.
Tapi mendadak saja Suropati cengar-cengir.
Hidungnya mencium aroma wangi bunga mawar.
"Rupanya di pagi ini ada Wewe yang nyasar ke sini...."
Suropati celingukan. Ketika mata-nya menangkap sosok wanita berpakaian serba merah yang tengah duduk di seberang danau, dia meloncat turun dari atas pohon. Dihampirinya wanita itu dengan berjalan mengitari tepian danau.
"Hai, Gadis Manis!"
Sapa Suropati yang mulai timbul kekonyolannya. Yang disapa diam saja seperti tak mendengar apa-apa.
"Uh! Sombong amat!"
Umpat Suropati.
"Sayang, cantik wajahnya tapi telinganya tuli...."
"Apa?!"
Wanita berpakaian serba merah itu menolehkan kepala.
"Kau mengatakan aku tuli?"
Katanya berang. Tapi, tiba-tiba saja wanita berpakaian serba merah itu tertawa memperlihatkan barisan giginya yang berjajar rapi.
"Alangkah cantiknya...,"
Gumam Suropati sambil menggaruk kepala. Matanya menatap keindahan yang terpampang di wajah wanita berpakaian merah.
"Siapa namamu?"
Tanyanya kemudian.
"Ratnasari."
Suropati terperanjat.
"Inikah wanita berumur seratus lima puluh tahun yang telah menjalani upacara pemulihan itu?!"
Tanya Suropati dalam hati. Diperhatikannya Ratnasari lebih teliti.
"Dia memang sangat cantik. Menurut Datuk Risanwari, wanita ini memiliki ilmu 'Asmara Penggoda'. Aku harus berhati-hati..."
"Eh, kenapa kau bengong, Tampan?"
Ratnasari bertanya. Suaranya terdengar begitu lembut.
"Apakah namaku terdengar aneh?"
"Ah, tidak. Namamu justru sangat enak di telinga. Ratna itu permata Sari itu inti. Jadi, kau inti dari keindahan permata. Pantas kau sangat cantik,"
Puji Suropati sejujurnya. Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar tertawa senang.
"Eh, siapa namamu, Tampan?"
Tanya wanita itu.
"Suropati."
"Pengemis Binal?"
"Ya."
"Oh, Dewata Yang Agung.Ratnasari menengadahkan kedua telapak tangannya seperti sedang berdoa.
"Betapa bahagianya hatiku bertemu dengan pemuda yang selama ini kuimpi-impikan. Terima kasih, Dewata Yang Agung."
Mata Bidadari Bunga Mawar kemu-dian mengerling penuh arti. Suropati merasakan ada sesuatu kekuatan tiba-tiba menguasai pikirannya.
"Uh! Aku harus lebih waspada. Jangan-jangan ini salah satu dari jurus ilmu 'Asmara Penggoda'...,"
Gumam Suropati dalam hati. Ratnasari mengambil bunga mawar yang terselip di antara sanggulan rambutnya.
"Terimalah bunga persembahanku ini, Suro...."
Seperti kerbau dicocok hidungnya, Suropati mengulurkan tangan kanan. Ratnasari segera menangkap lalu menarik ke arah dirinya. Suropati yang belum menyadari apa yang terjadi jatuh terjerembab ke dalam pelukan Bidadari Bunga Mawar.
"Uh...! Uh...!"
Pengemis Binal gelagapan ketika jalan napasnya tersedak oleh ciuman ganas Bidadari Bunga Mawar. Suropati mendorong tubuh wanita cantik yang mendekapnya.
"Aku tak bisa melakukan itu. Soalnya aku masih anak-anak. He he he...,"
Ujar Suropati kemudian.
"Eh, siapa yang masih anak-anak? Kau? Ah, tidak! Kau sudah besar!"
Bantah Ratnasari.
"Kau belum pernah merasakan ciuman, ya?"
"Uh! Salah!"
"Lalu kenapa?"
"Aku ingin yang lebih dari itu."
Ucapan konyol Suropati membuat Ratnasari tertawa terbahak-bahak. Tapi, sekejap kemudian dia meloncat ke belakang. Matanya menatap wajah Suropati dalam-dalam.
"Eh, kau kenapa? Baru tahu kalau aku lebih tampan dari yang kau kira?"
Tanya Suropati menggoda.
Bidadari Bunga Mawar tak memberi jawaban.
Matanya terus menatap wajah Pengemis Binal.
Bola mata Ratnasari yang hitam bening memantulkan seberkas cahaya aneh.
Mata Suropati menjadi pedih.
Tanpa sadar dia mengucak-ucaknya.
Tawa kemenangan Bidadari Bunga Mawar terdengar membahana.
"Kini kau tak lebih dari kunyuk bodoh yang akan selalu menuruti perintahku, Suro...."
Selesai mengucapkan kalimatnya, tubuh Ratnasari berkelebat lenyap meninggalkan Suropati yang berdiri terhuyung-huyung sambil mendekap wajah.
Rasa pedih yang menyerang mata Suropati sedemikian hebatnya, hingga pemuda itu merintih-rintih kesakitan.
Kemudian tubuh Suropati terjerembab ke tanah.
Mendadak saja rasa pedih yang menyerang matanya lenyap, berganti dengan kesejukan yang melenakan.
Dalam keadaan duduk terbayang di pelupuk mata Suropati wajah wanita-wanita cantik yang pernah dijumpainya.
Pertama-tama muncul wajah Anjarweni, Ingkanputri, Dewi Ikata, dan bayangan wajah Puspita serta Ayumi.
Terakhir wajah Sekar mayang.
Tapi, wajah-wajah cantik itu segera lenyap, tersapu oleh cahaya kehitam-hitaman, Muncullah seraut wajah yang sangat cantik mempesona.
Wajah Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar.
Wanita cantik itu tampil di hadapan Pengemis Binal dalam keadaan tanpa selembar benang pun menempel di tubuhnya.
Untuk kedua kalinya jiwa Suropati terserang hawa nafsu yang menghentak.
Meronta-ronta bagai hendak menghilangkan akal sehat.
Tapi, kalbu Suropati yang baru saja tercuci dalam tapa brata membuat perisai hitam yang menutupi bayangan Ratnasari.
Pemuda itu terlempar kembali ke alam nyata.
"Uh...! Hampir saja aku termakan ilmu "Asmara Penggoda' yang dilancarkan Ratnasari...,"
Gumam Suropati sambil menggaruk kepalanya. Kemudian, dipungutnya bunga mawar yang tergeletak di tanah tak jauh darinya, Tapi... bunga mawar yang dipegang Suropati berubah menjadi sehelai daun lontar.
"Sihir...!"
Desis remaja konyol itu. Mata Pengemis Binal menatap tajam ke bans tulisan yang tertera di atas daun lontar. Bunuh Raka Maruta Atau Pendekar Kipas Terbang. Kau Akan Mendapatkan Cinta Membara Dariku.
"Huh! Siapa yang butuh cinta palsumu, Nenek Sihir!"
Umpat Suropati seraya meremas daun lontar hingga menjadi abu.
Remaja konyol itu lalu masuk ke dalam danau.
Tak lama kemudian telah mencapai tepian di seberang.
Dengan pakaian basah kuyup, Pengemis Binal bersiul-siul melangkahkan kaki dengan ringannya.
* * * Sementara itu di tempat lain Anjarweni dan Wirogundi yang mencari Ingkanputri terjebak ke dalam lorong bawah tanah.
Sudah sepekan mereka berputar-putar di tempat itu tanpa bisa keluar.
Tubuh mereka lemas karena selama itu tak makan suatu apa pun.
Hanya minum tetes-tetes air yang kebetulan merembes dari atas dinding.
"Kita telah memasuki tempat yang lebih mengerikan dari lubang tikus, Weni,"
Kata Wirogundi sambil mengusap dahinya. Jelaga yang menempel di wajahnya semakin menyebar rata.
"Menyesal aku mengajamu, Wiro,"
Ucap Anjarweni pelan.
"Kau jangan berkata seperti itu. Aku pernah mengatakan kepadamu kalau penderitaanmu adalah penderitaanku. Aku rela melakukan apa saja untukmu, Weni."
Anjarweni terdiam mendengar per-kataan Wirogundi. Dia merasakan suatu kesejukan mengelus hatinya. Menimbulkan rasa bahagia yang tiada terkira. Tanpa sadar murid Dewi Tangan Api itu meraih tangan Wirogundi dan menggenggamnya erat-erat.
"Terima kasih, Wiro...,"
Gumam Anjarweni. Wirogundi membalas meremas. Melalui cahaya obor gas alam yang temaram, dia menatap wajah Anjarweni dalam-dalam. Mendadak, pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu tertawa.
"Ha ha ha...! Kau lucu, Weni!"
"Eh, apanya yang lucu?"
Tanya Anjarweni tak mengerti.
"Wajahmu itu...."
"Kenapa?"
"Hitam! Seperti monyet kecebur lumpur. Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...,"
Anjarweni ikut tertawa.
"Kau kira kau tidak lucu? Wajahmu juga hitam seperti...."
"Seperti apa?"
"Nggak tahu!"
Tiba-tiba Anjarweni memegang perutnya. Gadis itu meringis kesakitan.
"Eh, kau kenapa, Weni?"
Tanya Wirogundi khawatir.
"Kau juga merasakannya, bukan?"
"Lapar?"
Anjarweni menganggukkan kepala.
"Sayang, aku tidak bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Seandainya bisa aku membawakanmu makanan yang enak-enak."
"Bodoh! Kalau kau bisa keluar, tentu saja aku ikut. Siapa sudi tinggal di tempat seperti ini?"
"Kalau tinggal bersamaku, kau tidak sudi?"
Anjarweni tak memberikan jawaban. Matanya menerawang jauh.
"Kasihan Ingkanputri...,"
Katanya lirih.
"Mungkinkah dia juga terjebak di tempat ini, Weni?"
"Kemungkinan itu ada saja,"
Sahut Anjarweni. Sebuah bayangan yang entah dari mana datangnya berkelebat dan berhenti tepat dua tombak di hadapan kedua remaja itu. Wirogundi dan Anjarweni terkejut melihat kehadiran gadis cantik berpakaian serba merah.
"Ingkanputri...!"
Ucap mereka hampir bersamaan. Yang disebut namanya hanya membisu. Kedua matanya yang bersorot aneh menatap Wirogundi dan Anjarweni bergantian.
"Ingkanputri, ini aku... kakak-mu...,"
Anjarweni menghambur ke arah adik seperguruannya.
Tapi....
Serangkum angin pukulan menerpa.
Anjarweni terkesiap dan mencoba menghindar.
Des...! Terlambat! Anjarweni mendekap bahu kanannya.
Hawa panas terasa menjalar.
Baju yang dikenakannya pun hangus.
"Kau... kau...,"
Kata murid Dewi Tangan Api itu gelagapan.
"Kau lupa padaku, Putri?"
Ingkanputri tak memberikan tanggapan apa-apa. Kedua matanya yang bersorot aneh menatap nyalang.
"Putri, itu kakak seperguruanmu, Anjarweni,"
Wirogundi ikut meyakinkan. Tapi Ingkanputri hanya mendengus. Kedua telapak tangannya berubah merah membara. Hawa panas segera menyelimuti tempat itu.
"Pukulan Api Neraka!"
Desis Anjarweni dalam keterkejutannya.
"Hati-hati, Weni...,"
Pesan Wirogundi seraya mendorong tubuh Anjarweni ke samping.
"Adik seperguruanmu itu sepertinya sedang berada di bawah pengaruh ilmu sihir."
"Tidak!"
Anjarweni menepis pergelangan tangannya dari pegangan Wirogundi.
"Tidak ada orang yang mampu menyihir Ingkanputri!"
"Tapi buktinya...."
"Tidak!"
Potong Anjarweni keras.
Ingkanputri tak mempedulikan perdebatan itu.
Kedua tangannya diangkat lalu mendorong ke depan.
Blaaarrr...! Dinding lorong setebal satu depa ambrol terkena hantaman pukulan.
Hujan bebatuan tak bisa dihindari lagi.
Debu mengepul tebal membuat keadaan tempat itu semakin gelap pekat.
Wirogundi menggamit lengan Anjarweni.
Diajaknya gadis itu pergi.
Tapi, Anjarweni berontak.
"Kau kenapa, Weni?"
Tanya Wirogundi heran.
"Ingkanputri sedang kalap. Dia bisa membunuh kita!"
"Biar!"
Jerit Anjarweni seperti orang kesurupan.
"Ingkanputri masih sadar. Dia tidak apa-apa."
"Tadi dia bermaksud menyerangmu, Weni."
"Tidak."
Wirogundi terperangah.
Dia jadi bingung.
Melihat sikap Anjarweni yang seperti orang kehilangan ingatan, pemuda bertubuh kurus itu dihantui perasaan galau.
Pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu segera menotok jalan darah di punggung Anjarweni.
Tubuh gadis itu pun melorot jatuh bagai selembar karung basah.
Dengan susah payah Wirogundi yang sangat menderita karena perutnya kosong berusaha membopong tubuh Anjarweni.
Tapi pemuda itu hanya berputar-putar di lorong yang tak berujung pangkal.
Wirogundi terkejut dan menghentikan langkah ketika tiba-tiba saja sosok Ingkanputri telah berdiri di hadapannya.
Merasa tidak mampu menghadapi murid Dewi Tangan Api itu, Wirogundi segera mengambil langkah seribu.
Tapi....
Serangkum angin pukulan berhawa panas menerpa! Wirogundi yang sedang membawa beban tak mampu berkelit.
Dia hanya memutar tongkat di tangan kanannya.
Tongkat itu tak mampu menahan pukulan lawan.
Tubuh Wirogundi terhempas.
Sernentara pemuda itu masih tetap mendekap tubuh Anjarweni dengan erat.
Mereka berdua bergulingan di lantai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Ingkanputri membahana seperti tawa iblis yang haus darah.
Dengan kedua belah tangan merah membara, murid Dewi Tangan Api itu melangkah mendekati Wirogundi dan Anjarweni yang sudah tiada ber-daya.
Ingkanputri menghentakkan telapak tangannya ke depan.
Blaaammm...! Pukulan jarak jauh gadis berpakaian merah itu membentur kekuatan kasat mata.
Wirogundi dan Anjarweni yang sudah pasrah menghadapi Dewa Kematian kelihatan terkejut.
Ingkanputri men-dengus marah.
Matanya menatap tajam sosok wanita cantik yang telah berdiri di hadapannya.
Wanita yang tak lain Puspita itu mengerling ke arah Wirogundi.
"Bebaskan totokan gadismu itu,"
Bisik Puspita.
Wirogundi segera menuruti perintah dewi penolongnya.
Puspita melangkah mundur dua tindak.
Lalu, secepat kilat dia melancarkan pukulan jarak jauh ke atap lorong.
Bebatuan runtuh diiringi suara menggelegar.
Debu tebal menyelimuti.
Bersamaan dengan itu Puspita menggamit lengan Wirogundi dan Anjarweni.
Dibawanya kedua remaja itu berlari ke sebuah lorong sempit.
Setelah berputar-putar, sampailah mereka ke sebuah kolam kecil berair bening dengan batu-batu cadas di sekelilingnya.
"Kalian ikuti lorong yang berada di bawah kolam itu,"
Kata Puspita.
"Untuk apa?"
Tanya Wirogundi.
"Bodoh! Apakah kau tidak ingin keluar dari tempat ini?!"
"Oh, ya...,"
Wirogundi seperti baru saja disadarkan dari keterpa-kuannya.
"Apakah aku harus berenang?"
"Tentu saja."
"Uh! Aku sudah hampir kehabisan tenaga. Bayangkan, selama sepekan aku tak makan apa pun,"
Keluh Wirogundi.
"Sudahlah, Wiro. Kita ikuti saja petunjuk gadis penolong kita ini,"
Anjarweni segera melerai.
"Bagaimana dengan Ingkanputri?"
"Ah, kasihan dia. Tapi bagaimana lagi? Kita tak bisa hidup di tempat seperti ini. Tampaknya ucapanmu benar, adik seperguruanku itu berada di bawah pengaruh kekuatan sihir,"
Desah Anjarweni dengan wajah muram.
"Hei, kenapa kalian hanya berkata-kata saja?!"
Sela Puspita. Anjarweni menatap Puspita dalam-dalam.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Tanya Puspita.
"Melihat warna pakaianmu yang serba merah dan selendang yang melingkar di pinggangmu, apakah kau anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Tak perlu kau ributkan itu. Yang penting segera kau turuti petunjukku. Aku tidak punya banyak waktu."
Puspita membalikkan badan hendak mening-galkan tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!"
Cegah Anjarweni.
"Siapa namamu?"
"Ah, itu juga tak perlu...,"
Jawab Puspita. Kemudian, gadis itu melesat pergi menghilang dari tempat itu. Anjarweni dan Wirogundi saling berpandangan.
"Eh, Wiro...,"
Kata Anjarweni kemudian.
"Kau bisa berenang?"
"Kau?"
Balas Wirogundi.
"Bisa. Kau tidak bisa, ya?"
Wirogundi tersenyum simpul.
"Kau lupa kalau aku seorang pengemis, Weni,"
Kata Wirogundi.
"Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup di alam bebas. Jadi, soal berenang bukan masalah bagiku."
"Tapi untuk menemukan lorong yang dimaksud gadis aneh itu kita mesti menyelam. Kau juga bisa?"
"Yang menanyakan hal itu seharusnya aku,"
Wirogundi jadi kesal juga karena kemampuannya diragukan.
Mendengar perkataan Wirogundi, Anjarweni mengambil ancang-ancang.
Lalu....
Byuuurrr...! Air kolam yang semula tenang tiba-tiba bergelombang besar ketika menerima beban tubuh Anjarweni.
Wirogundi segera menyusul.
Mereka menyelam mengitari dasar kolam yang tak seberapa luas.
Setelah menemukan lorong yang dimaksud Puspita, mereka segera menyusul.
Tak lama kemudian Wirogundi dan Anjarweni menyembul di permukaan sebatang sungai yang berarus tenang.
Mereka pun berenang ke tepian.
* * * Di pinggir sebuah hutan jati burung-burung terdengar mencicit ngeri.
Mereka terbang berserabutan seperti menyimpan rasa takut yang sangat.
Lalu, suara menggelegar laksana guntur menusuk gendang telinga.
"Apa yang sedang terjadi di sana?"
Tanya Suropati dalam hati.
"Mungkinkah ada raksasa sedang mengamuk?"
Sambil menggaruk-garuk kepalanya, remaja konyol itu terus melangkahkan kaki.
Tongkat yang dipegang di tangan kanan terseret hingga membentuk guratan di permukaan tanah.
Ketika terdengar suara mengge-legar yang lebih keras, seekor anak harimau tampak berlari melintas di hadapan Pengemis Binal.
Remaja konyol itu bergegas menjejakkan kaki ke tanah.
Tubuhnya melayang lalu mendarat tepat di hadapan anak harimau yang sedang berlari.
"Jangan terkejut, Manis. Aku hanya hendak bertanya kepadamu...,"
Kata Suropati sambil membentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalan. Anak harimau itu menggeram. Cepat badannya dibalikkan seraya hendak berlari.
"Eit! Tuhggu dulu! Kenapa takut? Aku bukan setan, Goblok!"
Tubuh Suropati melenting dan menghalangi langkah kaki harimau kecil itu. Dengan tatapan mata nyalang, anak harimau menggeram marah.
"Lho, kenapa kau cepat naik darah. Aku hanya hendak bertanya. Di pinggir hutan sebelah sana sedang terjadi apa?"
Tentu saja anak harimau itu tak bisa menjawab. Dia hanya mengeluarkan geraman marah.
"Eh, rupanya kau sakit gigi, ya? Mari kuperiksa...."
Suropati berjalan mendekati. Tapi, anak raja rimba itu menggeram lebih keras, lalu menerkam! Pengemis Binal berkelit. Dan ketika harimau kecil yang masih diliputi rasa takut itu menjejakkan kakinya di tanah, dia segera mengambil langkah seribu.
"Uts...! Kau terlalu jual mahal, Kucing Besar!"
Kembali Suropati menghalangi jalan.
"Di pinggir hutan sebelah sana sedang terjadi apa?"
Tanya remaja konyol itu lagi. Karena tak mendapat jawaban, Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Lalu, tubuh remaja konyol itu melayang dan hinggap di punggung anak harimau.
"Kalau kau tidak mau memberi jawaban, tidak apa-apa. Tapi bawa aku ke sana...."
Harimau kecil itu bukannya menu-ruti perintah Suropati, malah menggeram penuh kemarahan dan berusaha melontarkan tubuh pemuda yang duduk di atas punggungnya. Dengan berpegangan di kedua telinga anak harimau, Suropati tertawa kesenangan.
"Ayo, terus... terus.... Nikmat! He he he...."
Anak harimau menggeram keras.
Tubuhnya melesat, berlari kencang seperti sedang dikejar setan.
Mata Suropati mendelik.
Pemuda itu hendak melompat turun tapi takut jatuh terjerembab.
Karena tak tahu apa yang harus diperbuat, dia berteriak-teriak seperti orang kehilangan ingatan.
"Hei! Sudah... sudah...! Hentikan...!"
Teriakan Suropati membahana di sekitar hutan.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh.
Kedua matanya segera dipejamkan sambil memanjatkan doa.
Tiba-tiba anak harimau menghen-tikan larinya.
Suropati menarik napas lega.
Perlahan-lahan dia membuka kelopak matanya.
Dan....
Suropati langsung menjerit ngeri! Di hadapan Pengemis Binal berdiri seekor harimau besar yang sedang mendelik marah.
Remaja konyol itu segera meloncat ke tanah sambil menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir.
"Maaf... maaf, Yang Mulia Raja Peng... eh, Raja Rimba. Aku tadi cuma main-main dengan anakmu. Habis, anakmu itu lucu, sih."
Suropati kemudian berjalan mundur, setindak dua tindak sambil menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Setelah dirasa cukup jauh, pemuda itu bergegas lari terbirit-birit....
Sementara itu, di bagian lain di hutan jati itu sebuah pertempuran sedang berlangsung seru.
Suara menggelegar akibat pukulan jarak jauh berkali-kali terdengar membahana.
"Aku akan segera mengirimmu ke neraka, Maruta!"
Kata Prahasta atau Tangan Halilintar.
"Sebenarnya di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk membunuhku?"
Mendengar perkataan Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang, Prahasta tertawa mengejek.
"Alasan bagiku tak begitu penting...,"
Sahut pemuda brewokan itu.
"Demi dewi pujaan hatiku, aku rela melakukan apa saja."
"Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu!"
"Ratnasarikah?"
Mata Prahasta mendelik, mendengar tebakan Raka Maruta yang tepat.
"Sadarlah, Prahasta...,"
Kata Pendekar Kipas Terbang, kalem.
"Kau sedang berada di bawah pengaruh ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Ha ha ha...!"
Tangan Halilintar tertawa terbahak-bahak.
"Aku memang sedang tergoda asmara, Maruta. Dan untuk mewujudkan segala impianku, sebaiknya kau serahkan kepalamu!"
Raka Maruta menatap wajah Prahasta dengan tatapan penuh belas kasihan.
"Sadarlah, Prahasta,"
Ucapnya lembut.
Tangan Halilintar tak mempedulikan peringatan itu.
Dia menggeram keras lalu menyorongkan telapak tangannya ke depan.
Wuuusss...! Serangkum angin pukulan menerpa.
Pendekar Kipas Terbang meloncat ke samping.
Akibatnya, permukaan tanah tempat pukulan itu mendarat berlubang besar.
Batu dan kerikil berhamburan.
Debu mengepul hitam.
Lubang yang menganga lebar pada sisi-sisinya berwarna hitam seperti habis tersambar lidah petir.
Prahasta terus mencecar Raka Maruta dengan 'Pukulan Halilintar'-nya.
Melihat kehebatan lawan yang begitu bernafsu untuk membunuhnya, Pendekar Kipas Terbang tanpa sungkan-sungkan lagi segera mengeluarkan jurus andalannya.
Jurus yang membuatnya begitu terkenal, yakni jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin'.
Pertempuran berlangsung semakin seru.
Diiringi suara menggelegar yang memekakkan telinga, kipas di tangan Raka Maruta mendesing-desing tak kalah hebatnya.
Tak jauh dari arena pertempuran sepasang mata tampak mengawasi.
Sosok itu berlindung di balik semak belukar yang tumbuh di sela-sela pohon jati.
"Wuih, hebat...!"
Puji si pengintip yang tak lain Suropati.
"Kipas pemuda berbaju kuning itu seperti bernyawa saja. Walaupun lawan mempunyai ilmu pukulan yang dahsyat, dia dapat mengimbanginya."
Bersamaan dengan usainya kalimat Suropati, kipas Raka Maruta berkelebat cepat. Breeettt...! Prahasta melompat jauh sambil mendekap kulit dadanya yang robek lebar. Darah segar merembes dari sela jari pemuda brewokan itu.
"Keparat!"
Umpat Prahasta, geram.
"Bukan maksudku untuk melukaimu, Prahasta. Tapi, aku mesti membela diri dari gempuranmu yang membabi buta,"
Kata Pendekar Kipas Terbang untuk membela diri.
"Tak perlu banyak bacot! Aku akan membalas hinaanmu!"
Dengan secepat kilat tubuh Tangan Halilintar meluncur.
Kedua tangannya terulur lurus ke depan mengarah dada Pendekar Kipas Terbang.
Raka Maruta bergegas meloncat ke samping seraya melancarkan sebuah tendangan melingkar.
Des...! Tendangan itu tertangkis tangan kanan Prahasta.
Raka Maruta merasakan kakinya kesemutan.
Tubuh pendekar berwajah lembut itu jadi limbung.
Kesempatan ini tak disia-siakan Tangan Halilintar.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam-nya, dia melontarkan pukulan jarak jauh.
Raka Maruta yang tak mempunyai kesempatan untuk menghindar segera mengibaskan kipas di tangannya.
Blaaarrr...! Suara menggelegar membahana di angkasa.
Tubuh Prahasta terlempar dua tombak.
Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan, tubuh Raka Maruta terhempas lebih jauh dan jatuh bergulingan di tanah.
"Ha ha ha...."
Diiringi suara tawa yang mendirikan bulu roma, tubuh Tangan Halilintar kembali meluncur ke arah Raka Maruta yang tampak belum siap untuk menerima serangan. Suropati yang melihat adegan itu jadi bergidik ngeri. Sraaartt...! "Arghhh...!"
Tubuh Prahasta sesaat tertahan di udara.
Lalu, jatuh berdebam di tanah.
Bersamaan dengan itu kepalanya lepas dari tubuh dan menggelinding jauh.
Rupanya, dalam keadaan terdesak Raka Maruta masih sempat melontarkan kipas terbangnya.
Tangan Halilintar yang tak menduga datangnya serangan hanya dapat mendelik tanpa mampu untuk menghindar.
Akibatnya, leher pemuda brewokan itu terbabat! Ketika mendengar suara jeritan, Suropati menyebut asma Tuhan.
Perlahan-lahan kemudian dia membuka kelopak matanya yang tadi dipejamkan.
Remaja konyol itu terkejut bukan main menyaksikan tubuh Tangan Halilintar tergeletak tanpa kepala lagi.
Keterkejutan Suropati semakin menjadi tatkala di hadapannya terpentang sepasang kaki yang tampak begitu kokoh.
"Kenapa kau mengintipku?"
Terdengar sebuah suara. Suropati menggaruk-garuk kepala mendengar pertanyaan itu.
"Eh, bukankah kau Pengemis Binal?"
"Kau mengenalku? Aku memang sudah terkenal. He he he...,"
Ujar Suropati seraya bangkit dari berjongkoknya.
"Aku pun mengenalmu. Bukankah kau Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang?"
Tiba-tiba Raka Maruta meloncat mundur.
"Apakah kau juga ingin membunuhku?"
Tanyanya dengan pandangan nanar.
"Eh, kau kenapa? Siapa yang mau membunuhmu?"
"Kau tidak terpengaruh oleh kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'?"
Suropati menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Memangnya kenapa?"
"Semua tokoh muda yang kujumpai selalu berusaha untuk membunuhku."
"Oh, begitu. Mereka semua berada dalam pengaruh ilmu iblis yang dilancarkan Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar,"
Jelas Suropati.
"Aku sudah tahu."
"Kenapa kau tidak ikut terpengaruh?"
Raka Maruta menatap tajam wajah Suropati.
"Apakah kau benar-benar bukan utusan wanita cantik itu?"
Tanya pendekar berwajah lembut ini dengan ragu.
"Demi Tuhan, bukan!"
"Kau mempunyai ilmu penangkal?"
"Kau sendiri?"
"Aku mewarisi ilmu leluhurku yang bernama ilmu 'Hati Suci'. Ilmu itu membuatku kebal dari segala pengaruh kekuatan jahat."
"Hebat!"
Puji Suropati.
"Tapi ilmu penangkalku agak aneh. Namanya ilmu 'Hati Ayam'! He he he...."
"Hus! Ini bukan saatnya untuk bercanda!"
Bentak Raka Maruta dengan mata melotot.
"Kenapa Ratnasari tidak mempengaruhi tokoh-tokoh tua dengan ilmu iblisnya itu?"
Suropati termenung. Dia baru menyadari keanehan tindakan Ratnasari.
"Entahlah...."
"Bodoh! Karena mereka sudah loyo. Tak mampu bergelut sampai tiga ronde. He he he...!"
Ucap Suropati dengan konyolnya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa bertanya?"
Suropati hanya menggaruk-garuk kepalanya.
"Mulai saat ini sebaiknya kita saling bahu-membahu untuk menghentikan tindakan wanita itu,"
Usul Pendekar Kipas Terbang kemudian.
"Huh! Keenakan kau!"
Tolak Suropati buru-buru.
"Kenapa?"
"Gadis-gadis cantik yang menggemariku banyak. Kalau kau selalu bersamaku, aku takut mereka akan berpaling kepadamu."
Mendengar perkataan Suropati, Pendekar Kipas Terbang tersenyum simpul.
"Aku bukan lelaki hidung belang,"
Katanya.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kita tidak bisa terus berdiam diri. Tindakan Ratnasari harus segera dihentikan."
"Benar. Kita serbu sarangnya!"
Sambut Raka Maruta penuh semangat.
"Kau tahu tempatnya?"
Tanya Suropati dengan tak kalah tertariknya.
"Tidak."
"Bodoh! Kalau kau tidak tahu kenapa kau berkata mau menyerbu sarangnya?"
Suropati jadi kecewa mendengar jawaban Raka Maruta.
"Kita bisa mencarinya."
"Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar tentu ada hubungannya dengan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Kalau sarang perkumpulan itu, atau tahu..,."
"Kita masuk ke sana!"
Suropati menggelengkan kepalanya.
"Jangan! Itu sama saja dengan mencari mati."
"Kenapa?"
"Sarang perkumpulan itu di lorong bawah tanah yang berliku-liku dan penuh jebakan. Sebaiknya kita pancing saja Bidadari Bunga Mawar itu untuk keluar."
"Bagaimana caranya?"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
Wajah pemuda itu kelihatan tegang.
Rupanya dia sedang mencari cara untuk melaksanakan rencananya.
* * * Lewat bola kristal ajaibnya Ratnasari tahu kalau Raka Maruta belum mati.
Semua tokoh muda tingkat atas yang berada di bawah pengaruh ilmu setannya gagal melaksanakan perin-tahnya.
Kemarahan Ratnasari benar-benar tak dapat dibendung lagi.
Darahnya mendidih bagai digodok di atas tungku api neraka.
Apalagi ketika dia tahu Suropati pun kebal terhadap pengaruh sihir ilmu 'Asmara Penggoda'.
Bahkan, dua tokoh muda berilmu tinggi itu telah bersepakat untuk menghentikan tindakannya.
Dengusan yang keluar dari hidung Ratnasari begitu keras.
Geraham Bidadari Bunga Mawar itu bergemeletukan.
Sinar matanya menyala-nyala, membuat kecantikan wajahnya memudar.
Braaakkk...! Ratnasari menendang meja di hadapannya hingga hancur berkeping-keping.
Bola kristal yang berada di atasnya terlempar deras.
Tapi, luncuran benda ajaib itu tiba-tiba berhenti di udara, lalu melayang ke arah Ratnasari.
Bola kristal itu hinggap di atas telapak tangannya yang tengadah.
Bidadari Bunga Mawar memandang bola kristal ajaibnya dengan tatapan aneh.
Tiba-tiba...
dengan meninggalkan bunyi letupan cukup keras dan asap tipis kehitaman, benda bulat kuning seperti kaca itu lenyap.
"Kalian jangan gembira dulu...,"
Rungut Ratnasari.
"Aku akan merejam tubuh kalian menjadi serpihan daging cincang. Sukma kalian akan kuper-sembahkan kepada setan untuk dijadikan budak!"
Seorang pemuda berpakaian serba hijau datang menghadap Ratnasari.
"Kenapa kau kemari, Jenar?"
Tanya Ratnasari dengan tatapan mata penuh selidik.
"Aku mendengar suaramu yang merdu, Sari. Tiba-tiba timbul hasratku untuk menemuimu,"
Jawab Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular.
"Apa perlumu?"
"Aku merindukan kehangatan cintamu...."
Mendengar ucapan Sawung Jenar, Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
"Walau wajahmu tidak tampan, tapi kau sungguh hebat, Jenar. Hal itu yang membuatku suka."
Sawung Jenar tersenyum. Matanya mengerling penuh arti. Pemuda itu segera menghambur ke arah Ratnasari.
"Eit! Tunggu dulu!"
Wanita cantik itu menghindar. Sawung Jenar terdengar mendengus gusar.
"Kau tahu Raka Maruta dan Suropati, Jenar?"
Tanya Ratnasari.
"Kenapa?"
"Kau harus mampu mempersembahkan darah mereka untukku."
Iblis Selaksa Ular tertawa.
"Apa susahnya membunuh mereka, Sari,"
Kata pemuda berkulit kasar seperti sisik ular itu.
"Kau yakin bisa melakukannya?"
"Kenapa tidak?"
Ratnasari membentangkan kedua tangannya.
Kemudian, dengan kekuatan penuh dia mendorongnya ke depan.
Sawung Jenar yang tak menduga akan datangnya serangan, tak bisa menghindar.
Dadanya terhantam dengan telak.
Brooolll...! Tubuh pemuda berkulit kasar itu terhempas dan membentur dinding setebal satu depa hingga jebol! Bumi berguncang.
Atap ruangan seperti hendak runtuh.
Ratnasari menatap tubuh Iblis Selaksa Ular yang terbujur kaku tertindih puing-puing reruntuhan.
"Aku tak butuh orang bermulut bes..., eh...?!"
Ucapan wanita cantik itu terhenti. Tubuh Sawung Jenar tampak bergerak-gerak, lalu bangkit berdiri.
"Kenapa kau memukulku, Sari?"
Tanya Iblis Selaksa Ular sambil rpemegang bajunya yang hangus terbakar pada bagian dada.
"Kau... kau tidak mati?!"
Bidadari Bunga Mawar kelihatan terkejut bukan main.
"Ha ha ha...!"
Suara Sawung Jenar menggema.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Sari. Kenapa kau memukulku?"
"Aku hendak menguji sampai di mana tingkat kepandaian yang kau miliki,"
Dusta Ratnasari.
"Untuk apa?"
"Raka Maruta dan Suropati bukan tokoh sembarangan. Untuk menaklukkan mereka dibutuhkan manusia yang benar-benar pilih tanding."
"Jadi kau meragukan kemampuanku?"
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu mempersoalkan itu,"
Ratnasari berusaha mengelakkan percakapan. Wanita itu lalu memejamkan matanya. Wajahnya ditengadahkan.
"Peluk aku, Jenar...,"
Bisik Ratnasari, manja.
Iblis Selaksa Ular yang berada dalam pengaruh ilmu 'Asmara Penggoda' melihat sosok Ratnasari bagai seorang bidadari turun dari kahyangan.
Dengan penuh nafsu dia pun menerkam.
Digumulinya wanita cantik itu.
Ratnasari mengerang.
Sawung Jenar semakin ganas.
Tubuh wanita cantik yang berada dalam pelukannya itu dihempas-hempaskan ke lantai.
Mendadak, Ratnasari melepaskan pelu-kannya.
Tubuh dua anak manusia itu pun bergulat, dan lebur dalam desakan nafsu yang menggelora.
Hingga sampai beberapa lama.
"Eh, kau kenapa. Sari?"
Tanya Iblis Selaksa Ular sambil berusaha memeluk tubuh Ratnasari kembali.
"Cukup, Jenar. Aku harus melakukan sesuatu."
"Apa?"
"Kau tak perlu tahu."
Sawung Jenar melompat. Diraihnya tubuh Bidadari Bunga Mawar. Tapi, wanita cantik itu menghindar.
"Sari, mari kita lanjutkan permainan tadi, Aku belum selesai...."
"Tidak! Besok masih ada waktu,"
Kata Ratnasari seperti menyimpan kekhawatiran.
Iblis Selaksa Ular tidak peduli.
Ditariknya tubuh wanita cantik itu ke lantai.
Lalu, diciuminya dengan ganas.
Bidadari Bunga Mawar berusaha melepas pelukan pemuda yang sudah kerasukan setan itu.
Tenaga Sawung Jenar begitu kuat.
Mau tak mau Ratnasari mesti mengerahkan tenaga dalam.
Akibatnya....
Blaaarrr...! Tubuh Iblis Selaksa Ular terlontar.
Namun, dengan geraman pendek dia bangkit dan kembali menerkam.
Plak...! Pipi pemuda berkulit kasar itu terkena tamparan Ratnasari.
Kalau saja bukan Sawung Jenar, kepalanya tentu akan remuk terkena tamparan yang berlambarkan kekuatan tenaga dalam itu.
Iblis Selaksa Ular tetap nekat.
Dia kembali menerkam bagai seekor harimau kelaparan.
Dan, Ratnasari yang tak sempat berkelit segera menerima dekapan Sawung Jenar.
Dengan napas memburu, Iblis Selaksa Ular meng-hempas-hempaskan tubuh wanita cantik itu.
Bidadari Bunga Mawar meronta-ronta sekuat tenaga.
Sawung Jenar jadi terkejut setengah mati ketika merasakan kulit halus Ratnasari berubah kasar dan keriput.
Tanpa sadar dia meloncat ke belakang.
Matanya bersinar nyalang menatap sosok Bidadari Bunga Mawar.
Ratnasari tiba-tiba berubah wujud menjadi nenek berwajah menyeramkan.
"Kau... kau...,"
Iblis Selaksa Ular gelagapan.
"Bangsat kau, Jenar!"
Umpat Ratnasari. Suara yang keluar dari mulutnya bagai suara iblis penunggu kuburan.
"Kau... kau Ratnasari?"
Pertanyaan Sawung Jenar tak mendapat jawaban.
Tubuh Bidadari Bunga Mawar telah lenyap dari pandangannya.
Di depan sebuah kolam berair jernih yang pada sisi-sisinya berhias patung wanita cantik berwarna merah, Sekar Mayang terkejut melihat kedatangan Ratnasari yang telah berubah wujud.
"Aku lupa bila malam ini adalah malam bulan purnama,"
Kata Bidadari Bunga Mawar.
"Cepat kau siapkan upacara pemulihanku kembali, Mayang."
"Sejak tadi telah hamba persiapkan, Ketua Pertama,"
Beritahu Sekar Mayang.
"Kalau begitu, cepat laksanakan upacara pemulihanku itu!"
Sekar Mayang yang telah duduk bersimpuh mengangkat kedua pergelangan tangannya.
Perlahan-lahan tujuh tubuh gadis yang terbujur kaku di hadapannya melayang ke atas kolom.
Dilubanginya dahi ketujuh gadis korban itu.
Dari sana menguncur darah segar yang memerahkan warna air kolam.
Wuuusss...! Bruuukkk...! Tubuh gadis-gadis malang yang telah terkuras darahnya itu kembali melayang, dan membentur dinding dengan derasnya.
Tak terdengar suara jeritan.
Ratnasari segera meloncat masuk ke dalam kolam.
Cahaya rembulan yang menyorot dari jendela batu memperlihatkan permukaan air kolam yang bergolak.
Lalu, berputar-putar dan membentuk pusaran.
Tak lama kemudian, tubuh Ratnasari menyembul keluar dari kolam dengan wujud yang telah kembali sempurna.
"Ha ha ha...!"
Tawa wanita cantik pemuja setan itu menggema tiada henti.
Cerminan rasa puas yang menghentak....
* * * Bukit Pangalasan tersiram cahaya mentari pagi.
Kabut telah hilang dari pandangan.
Angin yang bertiup meng-goyangkan ranting-ranting pohon.
Rerumputan tersenyum menyambut hari yang telah berganti.
Carang Gati berlari cepat menaiki bukit.
Keringat membanjiri tubuhnya.
Wajah pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu mencer-minkan kekalutan yang sangat.
"Kakek Gede...! Kakek Gede...!"
Teriak Carang Gati ketika langkah kakinya telah sampai dekat tempat tinggal mereka.
"Ada apa, Gati?"
Tanya Gede Panjalu. Disambutnya kedatangan pemuda bertubuh kurus itu.
"Bahaya... bahaya.,.. Sebaiknya kita mengungsi!"
"Hah?! Apa katamu?"
"Di lereng bukit sana...,"
Carang Gati menudingkan jari telunjuknya.
"Ada apa?"
Tanya Gede Panjalu, heran.
"Sebaiknya kau tenangkan dulu pikiranmu, Gati."
Carang Gati menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat. Pemuda itu berusaha menenangkan dirinya.
"Bahaya, Kakek Gede...,"
Katanya kemudian dengan sinar mata masih me-nyimpan kekalutan.
"Kau jangan membingungkan orang, Gati. Katakan yang jelas. Apa yang hendak kau sampaikan?"
"Perkumpulan Pengemis Baju Hitam hendak menyerbu kemari...."
"Hah?!"
Gede Panjalu tercengang.
"Jumlah mereka sekitar lima ratus orang,"
Lapor Carang Gati.
"Benar katamu itu, Gati?"
Carang Gati menganggukkan kepalanya dengan past! Gede Panjalu segera mengeluarkan desahan panjang.
"Kita tak pernah berurusan dengan mereka...,"
Kata kakek bongkok itu.
"Apakah pertempuran kecil antara kau dengan Juwing Balangan di pasar itu telah menyulut api permusuhan yang sedemikian hebat?"
Seorang pemuda bertubuh agak pendek berlari mendekati. Gede Panjalu menatap kehadiran Katabang dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Ada apa, Katabang?"
Tanya kakek bongkok itu.
"Perkumpulan Bidadari Lentera Merah menyerbu kemari,"
Beritahu Katabang dengan napas agak memburu. Untuk kedua kalinya Gede Panjalu dihantam keterkejutan yang luar biasa. Mata kakek bongkok itu sampai mendelik.
"Berapa jumlah mereka?"
"Sekitar seratus orang,"
Jawab Katabang. Gede Panjalu mendengus gusar.
"Apa maksud dua perkumpulan itu menyerbu kemari?"
Gumamnya.
"Mereka sepertinya telah bersekongkol untuk memusnahkan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
"Sebaiknya kita segera mengungsi, Kek...,"
Usul Carang Gati.
"Jumlah anggota perkumpulan kita yang sekarang berada di sini tak cukup untuk menghadapi mereka."
Gede Panjalu menatap tajam Carang Gati yang diliputi rasa takut.
"Kau mengungsilah bersama para wanita dan anak-anak. Lewat jalur utara agar lebih cepat mencapai Kota Kadipaten Bumiraksa. Di sana terserah apa yang akan kalian lakukan."
"Lalu, Kakek sendiri?"
"Aku akan menanti kehadiran mereka."
"Kalau begitu, aku tidak jadi mengungsi. Kita lawan mereka!"
Carang Gati menolak usul Gede Panjalu.
"Jangan bodoh! Jumlah anggota perkumpulan kita sekarang hanya sekitar tiga ratus orang. Itu sudah termasuk anak-anak, wanita, dan orang tua. Seperti yang kau katakan, kita tak mungkin melawan mereka. Sebaiknya kalian memang harus mengungsi."
"Tidak! Aku akan bersamamu, Kek!"
Carang Gati tetap bersikeras dengan keinginannya.
"Benar, Kek. Kita harus membela kehormatan,"
Timpal Katabang.
Gede Panjalu menatap wajah mereka berdua bergantian.
Perhatiannya segera dialihkan ketika melihat kilatan cahaya berpendar di angkasa.
Lalu, disusul dengan suara halilintar membahana.
Awan tebal berarak cepat menutupi mentari.
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi.
"Terima kasih, Tuhan...,"
Gumam Gede Panjalu sambil menatap cuaca di sekitar bukit yang berubah gelap. Carang Gati dan Katibang saling berpandangan. Kemudian, ditatapnya wajah Gede Panjalu bersamaan.
"Tuhan Yang Maha Agung sedang menunjukkan kekuasaan-Nya...,"
Kata kakek bongkok itu lirih.
"Untuk sementar waktu, orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam dan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah tak akan dapat melanjutkan perjalanan mereka."
"Mudah-mudahan hujan turun cukup lama agar kita bisa mengumpulkan bala bantuan...,"
Harap Carang Gati.
"Izinkan aku untuk turun, Kek."
"Untuk apa?"
"Mengumpulkan teman-teman yang berada di Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Aku akan ke Kadipaten Tanah Loh,"
Sahut Katabang. Terdengar suara halilintar menggelegar lebih keras. Hujan pun turun semakin deras.
"Izinkan aku, Kek...,"
Kata Carang Gati dan Katabang hampir bersamaan. Mau tak mau Gede Panjalu akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati...,"
Pesan kakek bongkok itu sambil mengusap air hujan yang membasahi wajah.
Mendengar ucapan sesepuh Perkum-pulan Pengemis Tongkat Sakti itu, Carang Gati dan Katabang segera berlari menuruni bukit.
Mereka berdua sudah sangat paham pada medan di sekitar bukit itu.
Permukaan tanah yang berubah licin tak begitu menyulitkan langkah mereka.
Sernentara itu, Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang dipimpin seorang tokoh beraliran hitam, yang bernama Banyak Jalamprang atau Pengemis Baju Hitam, sedang menaiki Bukit Pangalasan dari jalur timur.
Mereka berserabutan mencari tempat bernaung di bawah pohon-pohon besar agak terhindar dari siraman air hujan yang turun begitu deras.
"Juwing Balangan!"
Panggil Banyak Jalamprang pada anak buahnya yang berlindung tak jauh dari tempatnya.
"Ya, Ketua!"
Jawab pemuda bertubuh tinggi besar yang berjuluk Pengemis Gajah itu. Tangan kanannya memegang umbul-umbul hitam yang bergambar tengkorak tertusuk dua tongkat menyilang.
"Kau larilah ke selatan. Katakan kepada Sekara Mayang bahwa teman-teman di sini tak dapat melanjutkan perjalanan. Sampaikan pula bila hujan tak segera berhenti, kita akan nekat!"
Setelah menyerahkan umbul-umbul pada temannya, Juwing Balangan membungkukkan badan dan segera berlalu menyibak air hujan.
Berkali-kali pemuda bertubuh tinggi besar itu jatuh terpeleset.
Suara halilintar yang menyambar-nyambar sedikit membuatnya giris.
Tapi karena tekadnya yang bulat untuk menyampaikan amanat ketuanya, akhirnya Juwing Balangan dapat menemui Sekar Mayang.
Wanita cantik yang bergelar Bidadari Lentera Merah itu mengerutkan kening setelah menerima pesan yang disampaikan Pengemis Gajah.
"Kau segeralah kembali menghadap ketuamu. Bila hujan tak segera berhenti, jangan nekat. Itu sangat berbahaya...,"
Kata Sekar Mayang.
"Hujan yang turun ini tidak wajar. Aku akan menghubungi Ketua Pertama. Katakan kepada ketuamu, jangan bertindak gegabah. Tunggulah sampai ada perintah dariku."
"Baik, Ketua Mayang."
Juwing Balangan Membungkukkan badan. Pemuda itu kemudian berlalu dengan cepat. Sekar Mayang menatap wajah Kapi Anggara yang berdiri di sampingnya.
"Sebaiknya kau mengatur orang-orang kita, Anggara,"
Pinta wanita cantik itu.
"Ah, kukira mereka bisa mengatur diri sendiri...,"
Tolak si Pendekar Asmara seraya menatap Sekar Mayang penuh arti.
"Untuk menunggu hujan berhenti aku ingin bercumbu denganmu, Mayang."
"Gila! Tenda ini bisa roboh!"
"Tidak! Aku akan bersikap lembut."
"Ah, sudahlah. Kalau kau tidak mau mengatur orang-orang kita, tak apa. Tapi jangan berbuat yang macam-macam. Dengan musnahnya Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, jalan mulus akan aku dapatkan untuk mewujudkan cita-citaku. Untuk itu, kau jangan berbuat sesuatu yang akan menggagalkan rencana Ketua Pertama, Anggara."
"Aku heran, Mayang. Kenapa kita tidak langsung saja menggempur istana? Toh, seluruh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang kau pimpin rata-rata berilmu tinggi. Apalagi dibantu oleh Banyak Jalamprang."
"Goblok!"
Mata Kapi Anggara mendelik mendengar makian Sekar Mayang.
"Kenapa kau berkata kasar seperti itu, Mayang?"
Kata pemuda tampan berambut pirang itu.
"Oh, maaf, Anggara. Rupanya aku sudah terbiasa memaki anak buahku dengan kata itu. Aku tak sadar bila yang berada di dekatku adalah kau, Kekasihku..."
Sekar Mayang memeluk tubuh Kapi Anggara. Pemuda tampan itu pun tersenyum senang. Dia segera balas memeluk.
"Eh, jangan, Anggara...."
Bidadari Lentera Merah menepis. Kapi Anggara membisu dan menatap wajah wanita cantik itu dalam-dalam.
Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung Pendekar Slebor Lembah Kutukan Pendekar Rajawali Sakti Bangkitnya Pandan Wangi