Asmara Penggoda 2
Pengemis Binal Asmara Penggoda Bagian 2
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Mayang,"
Kata si Pendekar Asmara kemudian.
"Kau menanyakan apa?"
"Kenapa kita tidak langsung saja menggempur istana?"
"Tidak semudah yang kau kira, Anggara. Pengawal istana Baginda Prabu adalah kaum rimba persilatan golongan atas. Ketua Pertama sedang mencoba mempengaruhi dengan ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Lalu, apa hubungannya dengan tindakan yang sedang kita lakukan ini? Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tak mempunyai hubungan apa-apa dengan pihak kerajaan. Apa untungnya memusnahkan mereka?"
"Gob..., eh...."
"Hayo, kau mau mengatakan aku 'goblok' lagi, ya?"
Rungut Kapi Anggara.
"Ya, eh, tidak,"
Sekar Mayang menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Ah, sudahlah,"
Kata Kapi Anggara kemudian.
"Jawab saja pertanyaanku itu...."
"Sedikitnya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan bila dapat memusnahkan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Pertama, apabila sewaktu-waktu pihak kerajaan membutuhkan bala bantuan, perkumpulan pengemis itu tidak akan dapat berbuat apa-apa...."
"Sebentar,"
Potong Kapi Anggara.
"Kenapa pihak kerajaan mesti meminta bantuan kepada perkumpulan pengemis itu?"
"Suropati yang menjadi pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti pernah berjasa kepada kerajaan. Sekitar dua tahun yang lalu di Bukit Parahyangan dia telah telah melenyapkan seorang pengkhianat kerajaan yang bernama Brajadenta atau Dewa Maut. Bukan itu saja, Suropati adalah murid mendiang Periang Bertangan Lembut yang merupakan mantan penasihat kerajaan. Dengan alasan-alasan itu bukan mustahil nanti Baginda Prabu akan meminta bantuan remaja konyol itu."
Kapi Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu, keuntungan kedua apa?"
"Sampai saat ini Suropati masih terbebas dari pengaruh kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda', jadi dia belum dapat ditundukkan. Bila perkumpulan pengemisnya dapat dimusnahkan, termasuk melenyapkan Gede Panjalu, Ketua Pertama berharap akan timbul dendam kesumat dalam diri Suropati. Dengan begitu, dia akan menjadi makanan empuk ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Kenapa bisa begitu?"
"Kalbu remaja konyol itu telah disucikan. Itu membuat ilmu 'Asmara Penggoda' tak mempan untuk mempengaruhinya. Tapi bila kalbu Suropati telah terkotori oleh nafsu amarah dan dendam membara, ilmu 'Asmara Penggoda' akan dapat men-cengkeram erat jiwanya. Dari situ kekuatan kita akan bertambah."
"Keuntungan lainnya lagi apa?"
"Eh, pertanyaanmu kok tak berhenti sih?"
Sungut Sekar Mayang dengan agak mendongkol.
"Memangnya kenapa? Kau mencuri-gaiku?"
Tanya Kapi Anggara.
"Kalau dengan pertanyaanku itu timbul kecu-rigaanmu kalau aku ini mata-mata, sekarang juga minta saja kepada Ketua Pertama untuk mengetrapkan ilmu 'Asmara Penggoda'-nya kepadaku,"
Tantang pemuda itu kemudian.
"Ah, tidak, Anggara. Kau marah, ya?"
"Tidak."
"Syukurlah kalau begitu. Aku sangat suka kepadamu, Anggara. Aku selalu menghalangi keinginan Ketua Pertama yang ingin mengetrapkan ilmu 'Asmara Penggoda'nya kepadamu. Sebab aku tak ingin kau menjadi bangkai bernyawa...."
Kapi Anggara tersenyum senang. Dicubitnya paha Sekar Mayang. Wanita cantik itu menggeliat manja.
"Kau tadi mengatakan bahwa sedikitnya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan dari musnahnya Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Kau baru menyebutkan dua. Lainnya lagi apa?"
Desak si Pendekar Asmar.
"Sebenarnya banyak. Salah satunya adalah keuntungan tidak langsung yang akan diterima oleh Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Karena tanpa saingan, perkumpulan itu akan berkem-bang semakin pesat. Itu berarti juga keuntungan bagi kita. Banyak Jalamprang telah tunduk kepada Ketua Pertama."
Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang. Kilat menyambar. Sebatang pohon besar yang berada tak jauh dari tenda-tenda anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah langsung tumbang tersambar! "Firasatku benar...,"
Gumam Sekar Mayang.
"Aku akan menghubungi Ketua Pertama."
Kapi Anggara hanya diam memperhatikan Bidadari Lentera Merah duduk bersemadi.
Tak lama kemudian, wanita cantik itu telah mencapai kekosongan kalbu.
Alam pikirannya melesat terbang menuju lorong bawah tanah di mana Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar berada.
Tapi, Sekar Mayang mengerutkan kening dan membuka kelopak matanya.
Raut wajahnya tampak menyimpan kekecewaan.
"Ada apa, Mayang?"
Tanya Kapi Anggara, heran.
"Jiwa Ketua Pertama dibentengi oleh kekuatan kokoh yang diciptakannya sendiri. Ketua Pertama sedang menghimpun kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'."
"Untuk apa?"
"Dia hendak mempengaruhi seluruh pengawal istana Baginda Prabu."
"Ah, begitukah?!"
Kapi Anggara berusaha menyimpan keterkejutannya.
"Kau kenapa, Anggara?"
Tanya Sekar Mayang yang melihat perubahan sinar wajah si Pendekar Asmara.
"Tidak apa-apa. Mudah-mudahan keinginan Ketua Pertama itu tercapai. Kira-kira, kapan Ketua Pertama akan mengetrapkan ilmu ajaibnya itu?"
"Entahlah. Tapi, tampaknya dalam waktu dekat ini...."
Kapi Anggara menundukkan kepala.
Pemuda itu kelihatan berpikir keras.
Sekar Mayang menatapnya dengan sinar mata penuh kasih.
Di luar hujan tetap turun dengan derasnya.
Angin berhembus kencang.
Ranting pohon meliuk-liuk bagai ditarik tangan-tangan kasat mata.
Permukaan tanah bukit yang menjorok ke bawah sebagian tampak longsor.
"Aku akan mengatur anak buahku...,"
Kata Sekar Mayang tiba-tiba.
"Jangan!"
Cegah Kapi Anggara.
"Aku tak mau kau basah kuyup. Aku saja yang akan mengatur mereka."
Tanpa meminta persetujuan lagi pemuda tampan itu keluar dari tenda.
Dia mengerutkan kening ketika matanya menatap sebatang pohon besar yang tumbang menimpa sebuah tenda.
Pemuda itu segera berlari mendekati tanpa mempedulikan siraman air hujan yang membasahi tubuhnya.
Bersamaan dengan itu beberapa anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah berloncatan keluar dari tendanya.
Mereka menghampiri tiga orang wanita cantik yang berlindung di bawah pohon.
"Kalian jangan di situ. Berlindunglah di tendaku,"
Kata anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang baru keluar dari tenda.
"Benar. Segera kau turuti perkataannya,"
Timpal Kapi Anggara. Semua wanita cantik yang berpakaian serba merah menatap Kapi Anggara. Tapi, mereka segera berlalu dan masuk ke dalam tenda.
"Rupanya mereka menaruh hormat kepadaku,"
Gumam Kapi Anggara dalam hati.
Pemuda itu menoleh ketika merasakan bahunya tersentil benda kecil.
Matanya segera melihat seorang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang sedang membuat jalan air di sisi tenda.
Kapi Anggara memberi isyarat dengan gelengan kepala.
Lalu, tubuh pemuda tampan itu berkelebat cepat.
Wanita cantik yang menangkap isyarat itu segera menyusul.
Ketika sampai di sebuah tebing yang bagian atasnya menjorok keluar, Kapi Anggara menghentikan langkah kakinya.
Tempat di mana dia berdiri cukup terlindung dari terpaan angin dan siraman air hujan.
Sesosok bayangan berkelebat dan berhenti di samping pemuda tampan itu.
"Kau yakin tidak ada orang yang mengikutimu, Puspita?"
Tanya Kapi Anggara seraya mengedarkan pandangan ke sekitar bukit.
"Ah, cepat saja kau katakan apa yang telah kau dapat,"
Kata Puspita terburu-buru.
"Sekar Mayang curiga terhadap hujan yang sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh istana. Tapi untunglah Ratnasari sedang melakukan sesuatu, sehingga wanita itu tak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan hujan buatan ini."
"Jadi semua berjalan menurut rencana, begitu?"
Tegas Puspita.
"Ya, hujan akan menghambat perjalanan mereka, sampai prajurit-prajurit kerajaan datang untuk menghancurkan kekuatan Sekar Mayang."
"Lalu, kabar penting apa yang hendak kau sampaikan?"
Puspita menyeka air hujan yang bergulir di wajahnya.
"Ratnasari sedang mengumpulkan kekuatan ilmu 'Asmara Penggoda'-nya untuk mempengaruhi para pengawal istana."
"Celaka!"
Kata Puspita gusar.
"Kapan dia hendak mengetrapkan ilmu iblisnya itu?"
"Kata Sekar Mayang dalam waktu dekat ini."
"Aku harus segera menyampaikan kabar ini kepada Baginda Prabu."
"Kau hendak ke istana?"
"Tentu saja tidak. Aku mempunyai kurir yang menunggu di lereng bukit."
"Cepatlah kau hubungi orang itu!"
Desak Kapi Anggara.
Puspita bergegas melesat untuk menuruni bukit.
Bagi seseorang yang berilmu tinggi cuaca buruk dan keadaan tanah yang licin bukanlah penghalang.
Puspita dapat berlari dengan cepat menuju suatu tempat.
Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berpakaian layaknya seorang gembel sedang menunggu di sebuah gubuk.
Setelah menerima pesan dari Puspita, laki-laki itu segera pergi berlalu.
"Hati-hati, Sabrang. Hujan hanya turun di sekitar Bukit Pangalasan. Kau bisa melanjutkan perjalanan dengan berkuda!"
Pesan Puspita.
Ketika kurirnya telah pergi, wanita cantik itu pun berlari untuk kembali ke perkemahannya.
Tapi, sebuah bayangan menghadang langkahnya! "Benar dugaan Sang Ketua.
Perkumpulan Bidadari Lentera Merah telah kemasukan seorang telik sandi.
Ternyata orangnya adalah kau, Puspita!"
Bentak Ayumi yang memang ditugasi Sekar Mayang untuk memperhatikan gerak-gerik Puspita.
"Terus, kau mau apa?!"
Sambut Puspita tak kalah ketus.
"Menyerahlah! Aku akan membawamu menghadap Sang Ketua!"
"Aku tak sudi!"
Ayumi menatap Puspita dengan pandangan sinis. Lalu.... Ujung selendang panjangnya yang berwarna merah kaku mengejang dan meluncur ke arah Puspita.
"Senjata penggendong bayi itu saja yang selalu kau andalkan, Ayumi!"
Ejek Puspita seraya menghindar dari serangan.
Sambil menggeram gusar, Ayumi mengeluakan jurus-jurus ampuhnya.
Selendang di tangan wanita cantik itu berkelebat cepat, mencecar bagian-bagian tubuh Puspita yang berbahaya.
Tapi, Puspita yang sudah hafal semua jurus andalan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dengan mudah dapat menepis serangan.
Ayumi yang menyadari hal itu segera mengubah gerakannya.
Dikeluar-kannya jurus 'Bidadari Mengusir Awan' yang merupakan salah satu jurus rahasia Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Tidak semua anggota perkumpulan itu dapat memainkannya.
Sekar Mayang hanya mengajarkan jurus itu kepada orang-orang kepercayaan.
Melihat lawan mengganti jurus yang masih asing baginya, Puspita jadi sedikit kerepotan.
"Uh! Selama aku berdiam di Perkumpulan Bidadari Lentera Merah jurus itu tak pernah kulihat?"
Keluh Puspita dalam hati.
Wanita cantik telik sandi kerajaan itu segera mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Ditepisnya kelebatan ujung selendang lawan yang bergerak bagai patukan seribu ular berbisa.
Sraaattt...! Puspita meloloskan selendang yang melingkar di pinggangnya.
Kemudian, langsung dibalasnya serangan Ayumi dengan tak kalah hebat.
Pertempuran sengit antara duawanita cantik yang sama-sama mengenakan pakaian serba merah itu berlangsung seru di bawah siraman air hujan.
Di tempat lain, Kapi Anggara berlari-lari kecil masuk ke dalam tendanya kembali.
Dia terkejut karena tak melihat Sekar Mayang di sana.
Sebelum dia dapat menduga apa yang terjadi, tiba-tiba saja tenda roboh dan tubuh si Pendekar Asmara terjerat di dalamnya.
Tapi, pemuda tampan itu bukanlah orang sembarangan.
Tubuh Kapi Anggara melenting ke udara.
Lalu, mendarat di tanah dengan indahnya.
Srat...! Srat...! Srat...! Puluhan ujung selendang meluncur laksana tombak langsung menghujani tubuh Kapi Anggara.
Pemuda itu dengan terpaksa kembali melenting ke udara.
Ketika mendarat, dia pun mendengus gusar melihat dirinya telah terkepung belasan wanita cantik anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
"Hei! Kalian jangan gegabah! Aku Kapi Anggara!"
Kata si Pendekar Asmara dengan tatapan tak mengerti. Seorang wanita cantik yang rambutnya disanggul tinggi menyibak kepungan.
"Belangmu sudah ketahuan, Anggara!"
Kata wanita cantik itu, yang tak lain Sekar Mayang. Kening Kapi Anggara berkerut dalam.
"Apa maksudmu, Mayang?"
"Huh! Jangan pura-pura bodoh! Aku tak menyangka sama sekali orang yang selama ini kukasihi ternyata hanyalah monyet busuk, kaki tangan Prabu Arya Dewantara yang bangkotan!"
Si Pendekar Asmara terkejut mendengar perkataan Sekar Mayang.
"Rupanya aku telah bertindak ceroboh...,"
Keluhnya dalam hati.
"Bagaimana dengan Puspita?"
"Kau tak perlu diam terbengong-bengong macam kerbau dungu, Anggara!"
Bentak Sekar Mayang.
"Kalau kau sedang mengharapkan bantuan Puspita untuk meloloskan diri dari lubang maut, jangan mimpi, Kerbau Dungu! Temanmu itu sebentar lagi akan menghadap Dewa Kematian!"
Usai mengucapkan kalimatnya, wanita cantik itu memberi isyarat.
Belasan anak buahnya segera menggempur Kapi Anggara.
Selendang-selendang merah yang basah terkena siraman hujan meluncur cepat mencari jalan kematian di tubuh si Pendekar Asmara! Berkali-kali pemuda tampan itu melennngkan tubuhnya ke atas menghindari serangan.
Dari sana Kapi Anggara melemparkan senjata mautnya yang berupa bunga kenanga.
Set...! Set...! Set...! Jerit kesakitan langsung membahana.
Tujuh Perkumpulan Bidadari Lentera Merah meloncat ke belakang seraya mendekap dahinya yang tertancapi setangkai bunga kenanga.
Tak lama kemudian, tubuh wanita-wanita cantik itu berkelojotan di tanah meregang nyawa.
Sekar Mayang menggeram.
Dengan lambaian tangan diberi isyarat pada anak buahnya untuk kembali menyerang.
Sernentara Kapi Anggara masih berputar-putar di angkasa sambil melempar bunga kenanga mautnya.
Selendang para anggota Perkum-pulan Bidadari Lentera Merah berkelebatan mencecar tubuh si Pendekar Asmara.
Tapi, tubuh pemuda tampan itu sangat sukar untuk dicapai.
Putaran tubuhnya laksana putaran angin puting beliung.
Ujung-ujung selendang anak buah Sekar Mayang yang hampir menyentuh terpental balik.
Bahkan, Kapi Anggara berhasil menyebar kematian lewat bunga kenanga mautnya.
"Arghhh...!"
Tiga jerit kematian terdengar secara bersamaan. Tubuh-tubuh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah berkelojotan di tanah sambil mendekap dahinya. Sekar Mayang menggeram laksana harimau marah.
"Minggir kalian semua!"
Teriak wanita cantik itu. Kapi Anggara berdiri di bawah siraman hujan ketika para pengeroyoknya menepi.
"Sebelum aku melumat tubuhmu katakan siapa kau sebenarnya, Kapi Anggara!"
"Dari dulu kau sudah tahu. Aku si Pendekar Asmara. He he he...!"
Sahut Kapi Anggara ringan sekali. Sekar Mayang menatap sinis.
"Kentut Busuk! Apakah kau orang upahan Prabu Arya Dewantara?!"
Mendengar pertanyaan itu, si Pendekar Asmara hanya tersenyum simpul.
"Bila kau memang orang upahan, aku bersedia membayar lebih banyak dari yang telah kau terima."
"Berapa kau akan membayarku?"
Tantang Kapi Anggara dengan tatapan melecehkan.
"Berapa pun yang kau minta!"
"Baik! Tapi, aku tidak minta bayaran uang."
"Apa?"
"Dirimu! Kau akan kubawa menghadap Baginda Prabu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang hendak melakukan pemberontakan!"
"Bangsat!"
Umpat Bidadari Lentera Merah. Diloloskannya selendang merah dari pinggangnya.
"Aku pun akan meminta bayaran darimu berupa nyawa, Kerbau Dungu!"
Kapi Anggara tersenyum.
Pemuda itu ringan sekali meloncat ke samping ketika selendang Sekar Mayang menghunjam.
Wanita cantik itu tak mau membuang-buang waktu lagi.
Dia segera mengeluarkan jurus 'Bidadari Mengusir Awan'.
Kibasan dan hunjaman ujung selendang Sekar Mayang menimbulkan suara menderu-deru.
Si Pendekar Asmara berkali-kali melenting ke udara.
Tapi, selendang di tangan Sekar Mayang terus mengejar.
Wooosss...! Kapi Anggara mengeluarkan jurus 'Putaran Beliung'-nya.
Tubuh pemuda tampan itu pun berputar cepat sambil melontarkan bunga-bunga kenanga.
Tes...! Tes...! Tes...! Tebaran bunga itu rontok terkena kibasan selendang Sekar Mayang! "Habiskan senjata busukmu itu, Kerbau Dungu!"
Kata wanita cantik itu seraya melecutkan selendangnya berusaha untuk membelit tubuh Kapi Anggara.
"Selendangmu itu hanya pantas untuk mengikat kayu bakar, Wanita Murahan!"
Balas si Pendekar Asmara.
Dua orang berlainan jenis itu pun segera terlibat pertempuran seru.
Disaksikan seluruh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Mereka membuat lingkaran besar tanpa mempedulikan air hujan yang terus mengguyur.
* * * Setelah keluar dari lereng Bukit Pangalasan, kurir Puspita yang bernama Goran Sabrang berhasil mendapatkan kuda dan langsung memacunya menuju istana.
Jarak antara Bukit Pangalasan dengan Kota Praja memakan waktu setengah hari.
Jadi, Goran Sabrang yang sebenarnya seorang pengawal kerajaan tak mau membuang waktu lagi.
Tapi, pemuda berumur tiga puluh tahun dan bertubuh kekar itu menjadi terkejut.
Telinganya mendengar derap langkah kaki kuda berlari cepat di belakangnya.
Goran Sabrang menolehkan kepala.
Terlihatlah olehnya lima orang penunggang kuda berpakaian serba merah.
"Celaka!"
Kata Goran Sabrang dalam hati.
"Anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah mengejarku."
Pemuda bertubuh kekar itu menggeprak kuda-nya untuk berlari lebih cepat. Namun, berulang kali terdengar keluhan Goran Sabrang. Lari kudanya bukan bertambah cepat, justru meringkik-ringkik panjang dari berlari semakin lambat.
"Uh! Kuda sialan!"
Umpat Goran Sabrang.
"Kalau tahu diikuti orang, tak bakalan aku memilihmu. Sernentara itu, lima ekor kuda yang sedang mengejarnya sudah semakin dekat. Peluh segera membasahi wajah pemuda itu. Bercampur dengan air hujan yang membuat kuyup pakaiannya. Goran Sabrang bukannya takut untuk menghadapi kelima anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Pemuda itu hanya sedang mengejar waktu. Pesan yang akan disampaikannya kepada Baginda Prabu Arya Dewantara tidak boleh terlambat.
"Kuda tua sialan! Kenapa kau tidak mati kemarin-kemarin saja!"
Umpat pemuda bertubuh kekar itu sambil melihat ke belakang.
Jarak kelima orang pengejarnya tinggal beberapa tombak saja.
Sraaattt...! Salah seorang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah melontarkan selendangnya.
Kaki kuda yang ditunggangi Goran Sabrang terbelit.
Akibatnya...
kuda tua itu terpeleset dan terjungkal jatuh.
Derigan sigap Goran Sabrang meloncat.
Set...! Set...! Set...! Puluhan jarum beracun menghunjam kearahnya! Goran Sabrang bergegas melempar tubuhnya ke atas.
Serangan senjata rahasia itu pun hanya mengenai angin kosong.
Goran Sabrang meloncat jauh hendak melarikan diri begitu menjejak tanah.
Tapi, kuda-kuda anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah telah mengepungnya.
"Kenapa kalian menyerangku?"
Tanya Goran Sabrang.
Kelima wanita cantik penunggang kuda itu tak memberi jawaban.
Mereka hanya mendengus.
Diserangnya Goran Sabrang dengan selendang ampuhnya.
Pemuda bertubuh kekar itu menjatuhkan diri ke tanah.
Saat itulah dari kejauhan tampak seratus orang, penunggang kuda menuju tempat itu.
Goran Sabrang tersenyum girang.
"Senopati Risang Alit!"
Kelima orang anggota Perkumpulan^ Bidadari Lentera Merah terkejut melihat umbul-umbul yang dibawa penunggang kuda terdepan.
"Prajurit kerajaan...!"
Kata salah seorang dari mereka. Lalu, wanita cantik itu menggeprak kudanya dan melarikan diri. Teman-temannya segera menyusul. Goran Sabrang hanya menatap kepergian mereka tanpa berbuat apa-apa.."Kenapa kau di sini, Sabrang?"
Tanya Senopati Risang Alit ketika sudah sampai di dekat pemuda bertubuh kekar itu.
"Aku tak punya waktu banyak, Alit. Sebaiknya kupinjam kuda salah seorang prajuritmu,"
Sahut Goran Sabrang.
Senopati Risang Alit yang sudah mengenai siapa Goran Sabrang mengabulkan permintaan itu.
Tak lama kemudian, Goran Sabrang telah melesat dengan kuda tunggangannya.
Ketika pemuda bertubuh kekar itu berpapasan dengan lima ratus orang prajurit kerajaan pejalan kaki, dia tak mempedulikan.
Kudanya dipacu bagai orang kesurupan.
Sesampainya di istana Goran Sabrang disambut dengan tatapan penuh tanda tanya oleh Baginda Prabu Arya Dewantara.
Pemuda bertubuh kekar itu segera menyampaikan pesan Puspita.
Baginda Prabu pun menyiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar.
* * * Puspita yang sebenarnya adalah seorang pendekar berjuluk Pedang Perak membuang selendang merahnya.
Gadis itu menggantinya dengan senjata andalannya berupa pedang pendek terbuat dari perak.
Karena tertimpa air hujan, pedang itu mengeluarkan asap tipis.
Senjata andalan Puspita memang mengandung tenaga mukjizat yang berhawa panas.
Ayumi menggeram penuh kemarahan ketika berkali-kali lehernya sampai terbabat.
Tapi, orang kepercayaan Sekar Mayang itu tak mau larut dalam keterkejutan.
Dia berusaha mencecar Puspita dengan selendang merahnya seraya melempar jarum-jaram beracun.
Jarum-jarum itu tak begitu berarti bagi Puspita.
Dengan putaran pedangnya, senjata rahasia itu rontok ke tanah.
Dan suatu saat pedang Puspita meluncur cepat ke arah dada! Ayumi berkelit ke samping.
Tapi, pedang Puspita yang berlambarkan jurus 'Pedang Membela Rembulan' berhasil membabat.
Bret...! "Augh...!"
Jerit kecil keluar dari mulut Ayumi. Bahu kanannya terserempet. Kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang, pedang Puspita akan memenggal kepalanya.
"Bangsat!"
Umpat Ayumi.
Puspita mendengus dan terus mengejar.
Tampaknya dia tak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk menarik napas.
Wuuuttt...! Wuuuttt...! Ujung pedang Puspita sepera' mempunyai mata.
Berkelebat cepat mencari jalan kematian di tubuh Ayumi.
Hingga kemudian....
"Arghhh...!"
Ayumi berdiri kaku dengan mata mendelik.
Dadanya tertembus pedang Puspita.
Perlahan-lahan tubuh tanpa nyawa itu terjerembab ke tanah.
Puspita bernapas lega.
Kakinya dilangkahkan hendak meninggalkan tempat itu.
Sraaattt...! Empat selendang merah meluncur cepat.
Puspita yang tak menduga datangnya serangan merasakan tubuh dan kedua belah tangannya tak dapat digerakkan.
Rupanya, dia telah terbelit! Wanita cantik itu menggeram marah.
Matanya menatap empat orang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang berputar mengitarinya.
Puspita tahu belitan selendang-selendang lawan tak akan dapat dilawannya.
Bila dia mengerahkan tenaga dalam selendang-selendang itu akan semakin erat membelitnya.
Dengan gerakan lemah Pedang Perak menjatuhkan senjatanya.
Kaki kanan wanita cantik itu menendang gagang pedang.
Pedang itu pun terlontar ke atas.
Senjata andalan Puspita itu kemudian bergerak cepat seperti mengikuti pusaran air.
Slash...! Empat selendang merah yang membelit tubuhnya terbabat putus.
Puspita langsung menerjang.
Kecepatan geraknya bagai setan sedang mengejar mangsa.
Keempat lawannya yang masih terperangah karena selendang mereka terbabat putus tak mampu menghindari datangnya serangan.
Maka, tak ayal lagi pedang Puspita menyambar leher empat anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Jerit panjang mengiringi kematian mereka! Tiba-tiba, serangkaian angin pukulan berhawa panas menerjang tubuh Puspita dari belakang.
Wanita cantik yang masih dalam kesiagaan penuh itu meloncat.
Blaaarrr...! Tanah tempat pukulan jarak jauh itu mendarat berkubang dalam.
Mayat-mayat yang tergeletak tak jauh dari tempat itu terlontar jauh.
"Ingkanputri...!"
Desis Puspita.
Gadis yang disebut namanya cuma mendengus.
Murid Dewi Tangan Api yang dalam pengaruh kekuatan sihir itu menatap wajah Puspita penuh kebencian.
Pedang Perak yang sudah mengetahui keadaan gadis di hadapannya itu balas menatap.
Tapi, Puspita segera melangkah mundur dua tindak.
"Celaka!"
Kata Puspita dalam hati.
"Aku sudah berjanji kepada Suropati untuk melindungi gadis ini. Kalau dia menyerangku, apa yang harus kuperbuat?"
Puspita tak mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih panjang.
Ingkanputri telah menerjangnya.
Mau tak mau Pedang Perak memutar senjatanya untuk membentuk suatu perlindungan....
Suropati dan Raka Maruta berlari menuju Bukit Pangalasan.
Di belakangnya tampak Carang Gati dan puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Mereka berada di mana, Gati?"
Tanya Suropati. Pemuda itu menanyakan tempat berkumpulnya para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
"Di lereng sebelah timur...,"
Carang Gati mendongakkan kepalanya menatap langit yang berangsur-angsur terang.
"Bila hujan telah berhenti mereka akan segera naik,"
Kata Carang Gati kemudian.
"Tidak,"
Sela Suropati.
"Mereka akan menunggu sampai tanah menjadi kering."
"Orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam terkenal nekat."
"Itu berarti keuntungan bagi kita. Mereka akan bersusah payah untuk naik. Setelah sampai di tujuan, keadaan mereka tidak bugar lagi...."
"Tapi, anggota perkumpulan kita yang berada di atas bukit tak cukup banyak untuk menghadapi mereka,"
Ucap Carang Gati, khawatir.
Pada saat itu dari arah belakang terdengar derap langkah kaki kuda berlari cepat.
Seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti membalikkan badan.
Ketika melihat umbul-umbul kerajaan, ketegangan di wajah mereka sedikit memudar.
Senopati Risang Alit dan kese-ratus prajuritnya mengekang kendali kuda.
Mereka berhenti di hadapan Suropati.
"Suropati...,"
Kata Senopati Risang Alit.
"Kebetulan aku berjumpa denganmu di tempat ini. Aku membawa titah Baginda Prabu untuk disampaikan kepadamu."
Pengemis Binal hanya mena-tap.wajah pejabat tinggi kerajaan itu dengan tatapan tak mengerti.
"Baginda Prabu meminta bantuanmu untuk turut memadamkan pemberontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam."
Kening Suropati berkerut. Tanpa sadar dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Tapi, kenapa mereka hendak menyerbu pemukiman orang-orang kami?"
Tanya remaja konyol itu.
"Itu salah satu siasat dari mereka....", Bersamaan dengan usainya kalimat Senopati Risang Alit, cahaya mentari menyorot ke bumi dengan terangnya. Awan hitam yang semula menyelimuti, telah pergi. Hujan pun berhenti.
"Sebentar lagi akan datang lima ratus orang prajurit pejalan kaki. Kau dan anak buahmu harap membantu mereka, Suro...,"
Pinta Senopati Risang Alit.
Pengemis Binal menarik napas lega mengetahui jumlah prajurit kerajaan yang begitu besar.
Jadi, untuk menghadapi orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Hitam tak akan banyak menemui kesulitan.
Suropati menganggukkan kepalanya.
Melihat persetujuan itu, Senopati Risang Alit memberi tanda kepada prajuritnya untuk segera melanjutkan perjalanan.
Mereka menyendal kendali kuda dan berlari ke arah selatan.
"Mereka mau ke mana?"
Tanya Suropati.
"Ke tempat berkumpulnya orang-orang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah,"
Jawab Carang Gati.
"Jadi, dua perkumpulan itu telah mengepung pemukiman kita...."
Suropati menggaruk kepalanya. Raka Maruta yang berdiri di. sampingnya menyenggol lengan remaja konyol itu.
"Kau jangan bersikap seperti kerbau dungu begitu!"
Kata Pendekar Kipas Terbang.
"Anak buahmu sedang menanti perintah darimu."
"Eh, iya...,"
Suropati tetap tak menghentikan garukan di kepalanya.
"Kau naiklah, Gati. Katakan kepada Kakek Gede bahwa lima ratus prajurit kerajaan akan datang. Seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti agar membantu menggempur para pemberontak itu."
"Lalu, teman-teman yang ikut bersama kita ini?"
"Suruh menunggu kedatangan prajurit kerajaan, dan agar ikut menyerbu bersama-sama."
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Aku bersama Raka Maruta akan membantu Senopati Risang Alit!"
"Huh! Enak saja!"
Gerutu Carang Gati.
"Kalau mendengar ada wanita cantik, penyakitmu selalu kambuh!"
"Ah, sudahlah. Tak perlu kau ributkan itu. Segera kau turuti perintahku!"
Suropati meloncat lalu berlari ke selatan. Raka Maruta bergegas menyusul. Carang Gati menatap kepergian mereka sambil menyunggingkan senyum pahit.
"Huh! Maunya yang enak saja. Bertempur dengan wanita-wanita cantik sambil mencari kesempatan untuk colak-colek...,"
Gerutu pemuda bertubuh kurus itu.
* * * Setelah hujan berhenti, pertem-puran antara Puspita dan Ingkanputri bertangsung tak seimbang.
Puspita yang tak mau menjatuhkan tangan maut hanya bergerak menghindar.
Sesekali gadis cantik itu melakukan serangan tak membahayakan.
Sebaliknya, Ingkanputri tampak begitu bernafsu untuk segera menyudahi pertempuran itu.
Berkali-kali pukulan jarak jauh Ingkanputri hampir mencapai sasaran.
Pakaian yang dikenakan Puspita telah koyak-koyak terkena angin sambaran pukulan murid Dewi Tangan Api.
Pada suatu kesempatan, tubuh Puspita melenting bagai seekor udang meloncat dari atas batu.
Kald kiri wanita cantik itu menyambar.
Tangan kanannya digerakkan untuk menotok jalan darah di punggung Ingkanputri.
Melihat serangan itu, Ingkanputri tersenyum sinis.
Pancingannya ternyata berhasil.
Serta-merta dia menjatuhkan tubuh ke tanah lalu memutar kaki kanannya ke samping! Des...! Tubuh Puspita terlontar dua tombak.
Wanita cantik itu segera bangkit berdiri sambil mendekap bahu kirinya.
Perlahan-lahan dia meloloskan pedang yang telah disarungkannya kembali.
Tapi ketika Puspita menatap ketajaman pedangnya, dia terpuruk dalam keraguan.
"Apakah aku harus membunuh gadis itu? Dia hanyalah raga yang jiwanya telah dikuasai oleh Sekar Mayang. Ah, bagaimana dengan Suropati bila dia meminta pertanggungjawabanku...?"
Ingkanputri menatap dingin. Sambil mendengus, dia menerjang Puspita dengan hentakan tenaga dalam penuh.
"Jangaaan...!"
Sebuah teriakan keras membahana di angkasa.
Tapi, pukulan jarak jauh Ingkanputri sudah tak dapat dibendung lagi.
Puspita hanya dapat membentengi tubuhnya dengan putaran pedang.
Untunglah seberkas sinar putih memapaki pukulan jarak jauh Ingkanputri.
Blaaarrr...! Tak urung, tubuh Puspita mencelat akibat serempetan pukulan jarak jauh Ingkanputri.
"Puspita...!"
Pekik Suropati yang baru saja hadir di tempat itu.
Remaja konyol itu mengejar tubuh Pedang Perak yang bergulingan di atas tanah berlumpur.
Kemudian, dia mendekap erat dalam rasa haru.
Menyaksikan hal itu, sikap Ingkanputri jadi semakin beringas.
Dengan kekuatan penuh dia hendak melancarkan 'Pukulan Api Neraka'-nya! Untunglah Raka Maruta telah datang.
Lebih dulu diterjangnya murid Dewi Tangan Api.
"Puspita...,"
Bisik Suropati sambil menatap wajah wanita cantik yang berada dalam dekapannya. Pedang Perak balas menatap, lalu mengulum senyum. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya.
"Aku terlambat datang, Puspita...."
"Tidak, Suro. Kau datang tepat pada waktunya. Arghhh...!". Pedang Perak mengeluh sambil mendekap dadanya.
"Aku akan menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, Puspita,"
Kata Suropati.
Didudukkannya tubuh Pedang Perak.
Sebentar kemudian, wanita cantik itu merasakan hawa segar muncul dari telapak tangan Suropati yang menempel di punggungnya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring.
Ingkanputri yang sedang bertempur melawan Raka Maruta menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan sebuah geraman keras dia meloncat dan berlari cepat menuju asal suara suitan.
Raka Maruta berlari mengejar.
Suropati yang telah selesai menyalurkan hawa murni ke tubuh Puspita menatap sejenak kepergian mereka.
"Kau sudah bisa mengatasi luka dalammu sendiri, Puspita?"
Tanya remaja konyol itu. Pedang Perak mengangguk pelan. Suropati segera bangkit berdiri dan mengejar kepergian Ingkanputri.
"Bantu Kapi Anggara, Suro...!"
Teriak Puspita.
* * * Cahaya perak mentari kembali menyapa Bukit Pangalasan.
Dedaunan yang basah perlahan-lahan mengering.
Hembusan sang bayu membantu sisa butiran air hujan turun ke tanah.
Burung-burung terbang dalam kicaunya yang riang.
Di balik keindahan yang diciptakan Sang Penguasa Tunggal itu, mayat-mayat bergelimpangan di lereng bukit.
Darah tercecer dan merembes ke dalam tanah berlumpur.
Siasat Baginda Prabu Arya Dewantara untuk menghancur leburkan kekuatan pemberontak yang dipimpin Sekar Mayang sangat jitu.
Raja yang telah mencium adanya pemberontakan itu mengirim sepasang telik sandi, yaitu Kapi Anggara dan Puspita.
Dari merekalah Baginda Prabu Arya Dewantara tahu kalau untuk menggempur kekuatan Sekar Mayang merupakan hal yang mustahil.
Sarang mereka berada di dalam lorong bawah tanah yang berliku-liku dan penuh jebakan.
Jalan satu-satunya untuk memus-nahkan kekuatan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah, yang dibantu Perkumpulan Pengemis Baju Hitam, hanyalah dengan menunggu mereka keluar dari sarangnya.
Kapi Anggara berhasil menanamkan rasa benci dalam dada Sekar Mayang kepada Suropati.
Akhirnya, wanita cantik itu bermaksud memusnahkan perkumpulan pengemis yang dipimpin murid Periang Bertangan Lembut itu.
Dari situ pula Sekar Mayang berharap akan timbul dendam dalam diri Suropati, agar ilmu 'Asmara Penggoda' yang dimiliki Puspita dapat mempengaruhinya.
Tapi, kenyataannya langkah itulah yang justru menghancurkan kekuatan Sekar Mayang sendiri.
Pasukan berkuda yang dipimpin Senopati Risang Alit menggempur orang-orang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah tanpa mau memberi ampun.
Tapi, semangat dalam diri anak buah Sekar Mayang tak pernah pupus.
Mereka memberi perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Sekar Mayang yang dibantu belasan anak buahnya terus menggempur Kapi Anggara.
Pemuda berwajah tampan itu jadi kerepotan.
Berkali-kali tubuhnya terlempar dihajar ujung selendang lawan.
Aku akan segera mengirimmu ke nereka, Keparat!"
Umpat Sekar Mayang sambil terus mencecar tubuh si Pendekar Asmara dengan kibasan selendangnya.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Mayang,"
Jawab Kapi Anggara.
"Tidakkah kau lihat prajurit kerajaan telah mendesak anak buahmu?!"
"Bangsat! Bicaralah sepuasnya, karena hal itu akan mempercepat kematianmu!"
Sekar Mayang menghunjamkan ujung selendangnya ke dada Kapi Anggara.
Dibarengi oleh kibasan selendang belasan anak buahnya.
Wooosss...! Dengan jurus 'Putaran Beliung'-nya, si Pendekar Asmara berusaha menepis serangan itu.
Tapi ketika kaki pemuda tampan itu kembali menjejak tanah, Sekar Mayang telah mempersiapkan sebuah serangan mematikan.
Tadi sewaktu tubuh Kapi Anggara berputaran di udara, Sekar Mayang meluncur ke atas.
Dan ketika kaki si Pendekar Asmara telah mendarat, Bidadari Lentera Merah meluruk dari atas dengan sebuah tendangan ke arah kepala.
Kapi Anggara yang tak menduga datangnya serangan itu hanya sempat memiringkan kepalanya.
Des...! Bahu kanan pemuda tampan itu tertendang dengan telak.
Tubuh si Pendekar Asmara terlempar sambil berputaran.
Kalau saja Kapi Anggara tak melambari tubuhnya dengan tenaga dalam, tulang-belulangnya tentu akan remuk.
Sekar Mayang menatap tajam si Pendekar Asmara yang berdiri terhuyung-huyung.
Pemuda tampan itu mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah, karena pandangannya menjadi kabur.
Saat itulah Sekar Mayang mengge-rakkan tangan kanannya.
Puluhan jarum beracun meluncur deras.
Srat...! Trak....! Putaran pedang bersinar hitam menyampok jarum-jarum itu.
Sekar Mayang terperangah menatap kehadiran Senopati Risang Alit.
"Kentut Busuk! Rupanya kau juga mencari mati!"
Mendengar perkataan gadis itu, Senopati Risang Alit tersenyum sinis. Senapati kerajaan yang berwajah halus dengan rambut digelung ke atas itu menatap Sekar Mayang tanpa sinar kebencian.
"Menyerahlah kau!"
Ucap Senopati Risang Alit penuh wibawa.
"Mungkin Baginda Prabu akan meringankan hukumanmu."
"Cih! Siapa sudi menyerah! Justru kaulah yang harus menyerahkan kepalamu!"
Sebuah bayangan berkelebat, dan berhenti tepat di samping Bidadari Lentera Merah.
"Bagus, Putri...,"
Sekar Mayang tersenyum senang.
"Tugasmu masih banyak. Bunuh laki-laki berpedang itu!"
Mendengar perintah itu, Ingkan-putri langsung menggeprak.
Senopati Risang Alit memutar pedang.
Disambutnya serangan Ingkanputri dengan ujung pedang mengarah ke dada.
Tubuh Ingkanputri terus meluncur.
Ketika ujung pedang tinggal sejengkal mencapai sasaran, tiba-tiba tubuh murid Dewi Tangan Api itu melenting ke atas seraya melancarkan tendangan! Wuuuttt...! Senopati Risang Alit terperangah.
Beruntung dia segera meloncat ke belakang.
Kalau tidak, tubuhnya tentu akan terlempar pada gebrakan pertama itu.
"Bagus, Putri. Segera kau bunuh dia!"
Teriak Sekar Mayang. Wanita itu kemudian melesat untuk menyerang Kapi Anggara. Dua sosok bayangan berkelebat datang dan berhenti di pinggir arena pertempuran.
"Kau bantulah Kapi Anggara...,"
Pinta Suropati kepada Raka Maruta.
"Aku akan mencoba menyadarkan Ingkanputri. Aku takut senopati kerajaan itu akan menjatuhkan tangan mautnya."
Suropati melenting dan langsung berusaha melumpuhkan Ingkanputri.
Tapi, gadis itu bukanlah lawan yang mudah untuk ditundukkan.
Kelebatan kedua belah tangannya sangat berbahaya karena selalu memendarkan hawa panas.
Suropati terperangah menyaksikan serangan-serangan Ingkanputri yang membabi buta.
Tapi, Pengemis Binal tak mau menggunakan tongkatnya.
Dia hanya mengandalkan jurus 'Pengemis Meminta Sedekah' untuk melancarkan totokan di tubuh Ingkanputri.
Sernentara itu, Kapi Anggara dan Raka Maruta telah berhasil menjatuhkan beberapa anak buah Sekar Mayang.
Dua pendekar muda itu tak mau membuang waktu lagi untuk segera menyudahi perlawanan Sekar Mayang.
Mata wanita cantik itu mendelik penuh amarah.
Jurus 'Bidadari Mengusir Awan'-nya sama sekali tak mampu untuk menghadapi kedua lawannya.
Bahkan, pada suatu kesempatan selendang di tangan Sekar Mayang terbabat putus oleh kibasan kipas Raka Maruta.
Lalu, dengan satu gerakan indah tubuh Pendekar Kipas Terbang bersalto di udara seraya melontarkan kipas mautnya.
Breeettt...! Tangan kanan Sekar Mayang yang masih me-egang potongan selendang terbabat putus sebatas siku! Wanita cantik itu menjerit keras.
Mulutnya lalu mengeluarkan suitan nyaring.
Tubuh Sekar Mayang berkelebat pergi.
Ingkanputri yang sedang bertempur melawan Senopati Risang Alit dan Suropati mendengar suitan Sekar Mayang.
Gadis itu menghentikan serangannya, dan berlari mengikuti Ketua Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Suropati ingin bergerak mengejar, tapi ditahan oleh Kapi Anggara.
"Aku harus membebaskan Ingkanputri dari pengaruh sihir yang menggelapkan matanya,"
Kata Suropati memberi alasan.
"Masih banyak waktu untuk melakukan hal itu. Kau harus mengkesam-pingkan urusan pribadimu dulu, Suro...,"
Sahut si Pendekar Asmara.
"Kemungkinan besar saat ini Ratnasari sedang menuju istana untuk mengetrapkan ilmu 'Asmara Penggoda'-nya. Kita harus menghadang kehadiran wanita iblis itu."
Suropati menatap wajah Kapi Anggara sejenak, lalu kepalanya di-anggukkan.
Mereka berdua bersama Raka Maruta segera naik ke punggung kuda.
Binatang tunggangan itu meluncur cepat menuju istana kerajaan.
Senopati Risang Alit tinggal di tempat untuk membantu prajuritnya menumpas sisa-sisa anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Sementara itu, di bagian timur lereng Bukit Pangalasan pertempuran masih berlangsung seru.
Jerit kesakitan dan teriak kematian terus membahana.
Permukaan tanah memerah bersimbah darah.
Prajurit-prajurit kerajaan menggempur para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam laksana benteng ketaton.
Anak buah Banyak Jalamprang memberikan perlawanan gigih.
Mereka yang rata-rata berasal dari golongan hitam menerjang ganas seperti iblis haus darah! Dari arah Kadipaten Tanah Loh tampak puluhan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bersama Katabang, Wirogundi, dan Anjarweni.
Setelah mengetahui teman-teman mereka bertempur bahu-membahu dengan prajurit kerajaan, mereka segera menyerang para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam.
Wirogundi dan Anjarweni bertempur saling membelakangi.
Setiap musuh yang mencoba mendekat akan terpental oleh hantaman tongkat Wirogundi, atau tendangan dan pukulan Anjarweni.
Sepasang kekasih ini dapat muncul di tempat itu karena berjumpa dengan Katabang yang sedang berusaha mengumpulkan para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Katabang menceritakan apa yang telah terjadi di Bukit Pangalasan.
Di sebuah tanah datar Gede Panjalu berhadapan dengan Banyak Jalamprang.
Dua orang tokoh yang sama-sama ahli memainkan tongkat itu saling terjang dengan hebatnya.
Berkali-kali senjata mereka berbenturan di udara, hingga kedua pemiliknya terpental.
Gede Panjalu dan Banyak Jalamprang sadar kalau tenaga dalam mereka seimbang.
Keduanya segera mengandalkan kecepatan gerak ilmu meringankan tubuh untuk menghadapi serangan lawan..
Deru angin deras mengiringi kelebatan tongkat di tangan kedua tokoh tua itu.
Pada suatu kesem-patan, tubuh mereka saling geprak dari kejauhan.
Gede Panjalu berusaha menyodok dada iawan dengan ujung tongkatnya.
Sedangkan Banyak Jalamprang mengemplang kepala! Tak...! Tongkat mereka saling berbenturan.
Banyak Jalamprang segera menendang dada Gede Panjalu.
Kakek bongkok itu hanya memiringkan tubuhnya, kemudian balas menendang.
Desss...! Secara bersamaan tendangan mereka mengenai tubuh lawan.
Gede Panjalu terkena bahu kanannya, hingga tongkatnya terpental dari pegangan.
Banyak Jalamprang terkena siku kanannya.
Tongkat di tangan kakek berjanggut lebat itu pun jatuh ke tanah.
Gede Panjalu dan Banyak Jalamprang saling berpandangan dengan geraman gusar.
Kemudian, saling menerjang kembali mengandalkan jurus tangan kosong.
Gede Panjalu melambari serangan-nya dengan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'.
Tubuh bongkok itu meluncur ke atas, lalu melenting cepat seraya melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Pukulan itu hanya membuat kubangan dalam di tanah.
Banyak Jalamprang berhasil mengelak dengan melompat jauh ke belakang.
Gede Panjalu terus merangsek maju.
Desss...! Tubuh Banyak Jalamprang terpental tiga tombak ketika tendangan Gede Panjalu bersarang tepat di dadanya.
Kakek berjanggut lebat itu bangkit dengan tubuh limbung.
Darah segar menyembur dari mulutnya.
"Bangsat kau, Bongkok Bangkotan!"
Umpat Banyak Jalamprang.
Gede Panjalu tak mau mendengarkan kata-kata itu.
Tubuhnya melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur.
Desss...! Untuk kedua kalinya tubuh Banyak Jalamprang terlempar jauh.
Kali ini dia hanya sempat mengangkat kepalanya.
Lalu, diam untuk selama-lamanya.
Menyaksikan tubuh ketuanya tergeletak di tanah tanpa nyawa, nyali para anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam langsung menciut.
Keadaan mereka kocar-kacir.
Bahkan, di antaranya ada yang menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
* * * Bukit Hantu terselubungi hawa magis yang pekat.
Burung gagak berkoakan dalam rasa ngeri.
Burung-burung lain tak sanggup mengeluarkan suara.
Mereka hanya berloncatan di atas dahan.
Satwa-satwa tanah terpuruk dalam kebisuan.
Angin yang berhembus menimbulkan desau yang sanggup mendirikan bulu roma.
Di depan meja pemujaan yang menempel pada dinding Ratnasari duduk bersimpuh.
Tangannya terpentang memegang lidi sembahyang yang ujungnya mengepulkan asap keputihan.
Kemudian, kedua tangan wanita yang telah menjalani upacara pemulihan itu menangkup.
Diletakkannya lidi yang dipegangnya ke sebuah tabung kecil berwarna hitam.
Tubuh Ratnasari tampak bergetar keras dalam kedudukan bersemadi.
Bibirnya bergerak-gerak mengucapkan mantera.
Lalu, tangan kanannya menjuntai ke depan meraih gelas yang berisi cairan darah bayi.
Ratnasari meminum cairah darah itu dengan penuh nafsu.
Sesaat kemudian, tubuhnya meloncat ke atas dan bersalto beberapa kali.
Wanita itu mendarat di lantai dalam kedudukan tubuh agak dibungkukkan untuk memberi hormat.
"Demi setan, jin, ulu-ulu, banaspati, peri perayangan yang menguasai jagat hitam, telah hamba persembahkan upacara kegelapan yang akan menyatukan segala kekuatan angkara murka. Himpunlah daya pancar kekuatan gaib sesat dalam diri hamba. Umu 'Asmara Penggoda', menyatulah dalam tatap wajah hamba yang cantik mempesona. Menyatulah dalam hembusan napas dan aliran darah hamba. Dengan kekuasaan alam hitam, mayapada goncang, manusia terpuruk dalam nafsu buta..."
Bukit Hantu sunyi berbaur sepi.
Burung gagak diam.
Suaranya tersekat di tenggorokan.
Satwa lainnya bergerak lemah seperti kehilangan kekuatan.
Desau angin membuat suasana makin mencekam.
Perlahan-lahan sebuah kerudung kuncup bu-nga mawar sebesar gentong melayang di angkasa.
Lalu, melesat cepat bagai gerak batu meteor.
* * * Setelah menerima pesan Puspita yang disampaikan Goran Sabrang, Baginda Prabu Arya Dewantara segera memerintahkan seluruh pendekar kerajaan untuk membuat pagar betis.
Istana Kerajaan Anggarapura dikelilingi oleh para ahli silat tingkat atas.
Para ahli sihir pun setelah menyelesaikan tugasnya, untuk membuat hujan tiruan, berkumpul kembali di ruang nujum.
Mereka menciptakan benteng gaib di sekitar istana.
Baginda Prabu Arya Dewantara sendiri berdiri di ruang utama sambil bersedekap.
Matanya menatap tajam jauh ke depan.
Bibirnya bergetar mengucapkan doa.
"Dewata Yang Agung, cobaan yang Kau timpakan kepada Kerajaan Anggarapura begitu besar. Berilah kekuatan kepada hamba dan seluruh punggawa istana. Dengan kekuasaan-Mu pula Kerajaan Anggarapura akan kembali tenteram dan damai...."
Di luar para tokoh silat kerajaan dalam ketegangan memuncak. Dari kejauhan tampak titik merah mengangkasa bergerak cepat menuju istana. Diiringi suara seperti desisan ular, kerudung kuncup bunga mawar berhenti di depan pintu gerbang istana.
"Seperti ada kekuatan kasat mata yang menghalangi gerakku,"
Bisik Ratnasari yang berada di dalam kerudung kuncup bunga mawar.
"Apakah tokoh-tokoh istana telah mengetahui kedatanganku?"
Belum sempat wanita cantik pemuja setan itu berpikir lebih jauh, mendadak....
Wuuuttt...! Wuuuttt...! Srat! Srat! Srat! Puluhan batang tombak dan ratusan anak panah meluncur datang! Ratnasari menghentakkan kakinya.
Kerudung kuncup bunga mawar yang sedang ditungganginya pun melenting ke atas.
Serangan mendadak itu tak mengenai sasaran.
Bidadari Bunga Mawar menggeram gusar melihat dirinya telah terkepung puluhan tokoh silat kerajaan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Puspita kemudian membahana.
"Kalian hanya kroco-kroco yang akan menjemput Dewa Kematian!"
Kerudung kuncup bunga mawar meluncur cepat.
Desss...! Seorang tokoh silat kerajaan terjungkal.
Tawa Ratnasari kembali membahana.
Tiba-tiba, kerudung kuncup bunga mawar bergerak menuju tanah bebas.
Tirai penutup kerudung kuncup bunga tersibak.
Ratnasari menatap tajam puluhan tokoh silat kerajaan yang berdiri tak jauh darinya.
"Awas! Jangan tatap matanya!"
Seorang tokoh silat kerajaan yang mengenakan ikat kepala berteriak lantang.
"Bangsat!"
Umpat Ratnasari.
"Siapa yang telah membocorkan rencanaku ini?!"
Sraaattt...! Sehelai tali baja menjerat kerudung kuncup bunga mawar Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menggeram marah.
Telunjuk jari kanannya digerakkan.
Meluncurlah sinar kemerah-merahan yang hanya sanggup menggetar-kan tali baja.
Wanita pemuja setan itu pun mengaum laksana harimau murka.
Kerudung kuncup bunga mawar yang ditungganginya berputar cepat.
Tali baja yang menjerat pun lepas.
Tapi....
Srat...! Srat...! Srat...! Puluhan tali baja lainnya meluncur deras disertai sebuah jaring lebar.
Kerudung kuncup bunga mawar terjerat erat.
Wooosss...! Tubuh Ratnasari meluncur ke atas meninggalkan kerudung kuncup bunga mawarnya.
Wanita pemuja setan itu mendarat di tanah dengan mulus.
Pakaian kebesarannya yang berwarna merah berkibar tertiup angin.
Ditatapnya tajam-tajam puluhan tokoh silat kerajaan yang berdiri empat tombak di hadapannya.
"Jangan tatap matanya!"
Teriak tokoh silat kerajaan yang mengenakan ikat kepala untuk kedua kalinya.
"Wanita Iblis, kau menyerahlah!"
Teriak tokoh silat lainnya.
Ratnasari mendengus.
Kedua tangannya diputar hingga menimbulkan pusaran angin besar.
Para ahli tokoh silat kerajaan berloncatan menghindar.
Pusaran angin besar itu tetap mengejar mereka! Seorang tokoh silat kerajaan yang berpakaian seperti pendeta menarik kedua tangannya ke belakang.
Kemudian, dihentakkan ke depan dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaa...!"
Blaaarrr...! Diiringi ledakan dahsyat, pusaran angin yang diciptakan Ratnasari lenyap seketika. Wanita pemuja setan itu lalu menerjang. Kedua tangan dan kakinya bergerak cepat menimbulkan suara bersuitan. Para tokoh silat kerajaan bergerak mengepung.
"Jangan biarkan dia lolos!"
Teriak tokoh silat kerajaan yang mengenakan ikat kepala.
Pertempuran seru segera berlangsung.
Tokoh-tokoh kerajaan mencecar tubuh Ratnasari dengan serangan hebat.
Sambaran pedang, tombak, keris, trisula, dan senjata tajam lainnya berbaur jadi satu mencari jalan kematian! Tapi, tubuh Ratnasari bergerak cepat bagai bayangan iblis.
Dengan mengandalkan jurus-jurus maut yang dilambari ilmu setan, wanita cantik itu membobol kepungan.
Des...! Des...! Des...! Tiga tokoh silat kerajaan roboh dengan dada hancur terkena pukulan dan tendangan Ratnasari.
Namun, tokoh-tokoh kerajaan yang rata-rata telah berusia lanjut itu tak gentar.
Mereka terus merangsek maju dengan jurus dan ilmu pamungkas mereka yang paling dahsyat.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, seorang tokoh silat kerajaan yang mengenakan pakaian pendeta menerjang.
Kedua tangannya bergerak lurus ke depan.
Ratnasari balas menerjang.
Kedua tangannya menempel di dada, lalu menghentak! Blaaarrr...! Dua kekuatan tenaga dalam bertemu di udara.
Tubuh tokoh silat kerajaan terlontar dan membentur dinding gerbang istana hingga jebol.
Tokoh tua itu pun terhempas ke tanah lalu menghembuskan napas terakhir.
Ratnasari sendiri hanya terdorong mundur satu tindak.
Kesempatan itu tak disia-siakan lawan-lawannya yang lain.
Mereka menerjang secara bersamaan.
Tubuh Ratnasari meluncur ke atas.
Pada saat itu seorang kakek bertubuh gemuk melontarkan jaring.
Tapi, pukulan jarak jauh Ratnasari telah mendahului.
Blaaarrr...! Tubuh kakek gemuk itu terlempar dalam keadaan hancur! Ratnasari benar-benar berpesta kematian.
Satu persatu tokoh-tokoh kerajaan terjungkal.
Permukaan tanah di sekitar arena pertempuran basah bersimbah darah.
Jerit-jerit kesakitan membahana mengantarkan kematian.
Di ruang utama istana Baginda Prabu Arya Dewantara diliputi rasa amarah dan khawatir.
Matanya memandang nanar ke setiap sisi ruangan.
Raja yang berusia lima puluh tahun itu kemudian meloloskan keris lambang kekuasaannya.
Keris berlekuk sembilan sembilan itu memancarkan sinar kebiruan.
Untuk beberapa lama Baginda Prabu Arya Dewantara menatap keris yang diacungkan ke depan wajahnya.
Kemudian, kakinya melangkah....
"Sinuwun hendak ke mana?"
Seorang wanita cantik berpakaian gemerlap muncul dari serambi. Baginda Prabu Arya Dewantara menatap kehadiran wanita cantik itu.
"Kabut yang menyelubungi istana begitu tebal, Nimas,"
Ucap Baginda Prabu Arya dewantara.
"Aku akan mencoba untuk mengusir kabut itu."
"Jangan, Sinuwun...,"
Cegah wanita cantik berpakaian gemerlap yang tak lain permaisuri Baginda Prabu Arya Dewantara, Rara Nawangwulan.
"Kewajiban seorang raja selain memimpin, mengatur, dan memakmurkan kehidupan rakyat j-ga harus dapat memberikan rasa aman dan tenteram...,"
Titah Baginda Prabu Arya Dewantara dengan suara lembut.
"Ratnasari adalah salah satu sumber kekacauan yang akan memporak porandakan kehidupan rakyat. Sebagai seorang pemimpin, sudah menjadi kewajibanku untuk menghalau wanita iblis itu."
"Tapi tokoh-tokoh kerajaan masih banyak, Sinuwun"
"Kau lihat sendiri, Nimas. Mereka tak mampu menghadapi keganasan wanita iblis itu."
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Kau jangan menghalangiku...."
Baginda Prabu Arya Dewantara melangkahkan kakinya.
Rara Nawangwulan hanya dapat menatap kepergian laki-laki kecintaan yang sekaligus junjungannya itu.
Pada saat itulah muncul Kapi Anggara.
Pemuda tampan ini langsung berlutut di hadapan Baginda Prabu Arya Dewantara.
"Mohon ampun, Baginda. Hamba datang terlambat. Tapi, Baginda tak perlu turun tangan. Hamba datang bersama Pengemis Binal dan Pendekar Kipas Terbang,"
Lapor Kapi Anggara.
"Mereka di mana?"
"Langsung menggempur Ratnasari. Untuk itu, perkenankanlah hamba mohon diri guna membantu mereka."
Kapi Anggara beringsut mundur.
Lalu, berkelebat menuju ke arena pertempuran.
Tokoh silat kerajaan yang masih tersisa tiga orang bisa bernapas lega melihat kehadiran Suropati dan Raka Maruta.
Apalagi ketika datang Kapi Anggara yang sudah mereka kenal.
Semangat tempur mereka tiba-tiba menggelora kembali.
"Hyaaattt...!"
Dengan berteriak bersamaan, Suropati dan Raka Maruta menerjang! Tongkat di tangan Pengemis Binal terayun dalam jurus 'Tongkat Menghajar Maling'.
Sedangkan Pendekar Kipas Terbang melontarkan kipas andalannya dengan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin'.
Tak...! Wuuusss...! Tangan kiri Ratnasari menangkis ayunan tongkat Suropati.
Tangan kanannya menghentak ke depan seraya melancarkan pukulan jarak jauh.
Akibatnya, kipas Raka Maruta terpental.
Wanita pemuja setan itu langsung menendang kepala Suropati.
Tapi, dengan mudah Pengemis Binal menghindari serangan itu.
Ratnasari tak putus asa karenanya.
Kaki kanannya yang masih melayang di udara terus meluncur! Desss...! Seorang tokoh silat kerajaan tertendang dadanya dengan telak.
Dia pun roboh memeluk bumi tanpa mampu bangkit lagi.
"Ha ha ha...!"
Tawa Ratnasari membahana.
"Satu persatu aku akan mengirim kalian ke neraka!"
Tubuh wanita pemuja setan itu berputar cepat hingga menimbulkan deru angin dahsyat.
Putaran itu tanpa diduga-duga berhenti mendadak lalu meluncurlah serangan beruntun.
Des...! Des...! Dua tokoh kerajaan yang masih tersisa tak sempat menghindar.
Tubuh mereka terlontar dalam keadaan hancur.
Pukulan Ratnasari memang dilambari seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
* * * Sehebat-hebatnya seorang manusia, apabila terus-menerus mengerahkan tenaga tentu tubuhnya berangsur-angsur akan menjadi lemah.
Hal itu juga dialami Ratnasari.
Pertempuran yang berlangsung dari menjelang siang sampai malam banyak menguras tenaganya.
Apalagi yang dihadapi bukanlah tokoh-tokoh samba-rangan.
Ratnasari harus mengerahkan segala kemampuannya untuk menghadapi mereka.
Pakaian wanita cantik itu telah basah oleh keringat bercampur darah.
Peluh sebesar biji-biji ja-gung bergulir dari keningnya.
Dengusan napasnya pun terdengar memburu.
Tapi, wanita pemuja setan itu terus mencecar lawan.
Dia berusaha menjatuhkan tangan mautnya.
Teriakan-nya masih terdengar nyaring.
Dan, di suatu kesempatan yang kurang menguntungkan Ratnasari....
Des...! Tongkat Suropati berhasil mengenai bahu kiri.
Tapi, tenaga dalam wanita pemuja setan itu sudah sedemikian kuatnya.
Dia tak mengalami luka yang berarti.
Namun keberuntungan itu tak berlangsung lama.
Senjata andalan Raka Maruta meluncur cepat menjalankan tugasnya! Bret...! Punggung Ratnasari terkoyak lebar.
Darah segar merembes mengotori kulit tubuhnya yang putih.
Sebentar kemudian....
bunga kenaga Kapi Anggara menancap di dada kanan wanita itu.
Diiringi jeritan panjang tubuh Ratnasari mencelat jauh.
Wanita itu kemudian berdiri tegak dengan kedua telapak tangannya menyatu di depan dada.
Mulutnya komat-kamit merapal mantera.
Wooosss...! Tubuh Ratnasari lenyap bagai ditelan bumi, meninggalkan asap keputih-putihan di tempat hilangnya.
"Di mana dia?"
Tanya Raka Maruta dan Kapi Anggara bersamaan. Suropati menggaruk kepalanya.
"Kalian bertanya kepadaku?"
Katanya ganti bertanya.
"Kerbau dungu!"
Umpat Raka Maruta.
"Eh, siapa yang kau katakan 'kerbau dungu' itu?"
Tanya Pengemis Binal.
"Kau! Monyet Goblok!"
Sungut Kapi Anggara. Mendengar itu Suropati hanya menggaruk-garuk kepalanya.
"Uh! Sebel!"
Katanya pelan.
"Kalian tidak lebih pintar bila dibanding denganku. Kenapa mesti mengataiku seperti itu?"
"Tolol!"
Umpat Kapi Anggara lagi.
"Kalau kau tidak mau dikatakan goblok dan dungu, coba kau cari di mana Ratnasari sekarang?!"
Pengemis Binal menggaruk kepala-nya lagi.
"Wanita iblis itu sedang mengetrapkan aji 'Halimun Sakti', Tuan Pendekar Budiman yang pintar kaya kentut!"
Brot...! Suropati menggoyang-goyangkan pantatnya yang habis mengeluarkan udara 'beracun'. Dengan serta merta, Raka Maruta dan Kapi Anggara memencet hidung mereka. Mencegah udara 'beracun' itu terhirup masuk ke dalam paru-paru.
"Eh, jangan memencet hidung, Pendekar Pintar! Nanti udara 'beracun'-nya tidak terhirup!"
Teriak Suropati dengan cengengesan. Mendengar kalimat itu, Raka Maruta dan Kapi Anggara berjalan mendekati Suropati. Lalu.... Tak! Tak! Remaja konyol itu meraba kepalanya yang terkena jitakan.
"Setan Alas! Kambing Congek! Kadal Buduk! Sapi Ompong!"
Umpat Suropati sejadi-jadinya. Setelah puas memaki-maki, dia membentangkan tangannya. Gerakannya seperti sedang mengu-ir sesuatu.
"Minggir kau, Pendekar-Pendekar Pintar! Aku akan mengeluarkan ilmu 'Mata Awas'-ku untuk mencari Ratnasari...."
Tubuh remaja konyol itu kemudian melesat.
Dikejarnya asap keputihan yang melayang tertiup angin.
Raka Maruta dan Kapi Anggara saling berpandangan.
Dengan menggerutu mereka mengikuti langkah kaki Suropati.
Asap keputihan itu terus melayang hingga sampai ke sebuah sungai kecil berair dangkal.
Tiba-tiba saja Pengemis Binal melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...! Suara menggelegar langsung membahana.
Asap keputihan itu pun lenyap.
Tampaklah tubuh Ratnasari yang berdiri terhuyung-huyung.
"Rupanya kau sedang mabuk karena terlalu banyak makan kentutku, ya?"
Ejek Suropati.
"Bocah Gendeng! Aku akan mengupas bibirmu yang memble itu!"
Teriak Ratnasari.
"Eit! Tak baik marah-marah begitu! Dulu kau pernah mengajakku bermesraan. Bagaimana kalau kita mulai sekarang?"
Goda Suropati dengan konyolnya.
"Kurang ajar!"
Umpat Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu menyerang dengan membabi buta.
Tapi karena tubuhnya yang sudah sedemikian lemah, gerakan Ratnasari jadi lambat, Sambil tersenyum-senyum Suropati menghindar dengan mudah.
Bahkan tongkat remaja konyol itu berhasil mengemplang kepala Ratnasari.
Kalau saja wanita cantik itu bukan tokoh pilih tanding, tentulah kepalanya akan pecah.
"Lihat kepalamu yang benjol itu, Sayang!"
Ucap Pengemis Binal.
"Nah, tidak bisa, kan? Nggak usah dilihat! diraba saja!"
Ratnasari mendengus dengan kema-rahan yang meluap-luap.
Darahnya mendidih naik sampai ke ubun-ubun.
Kembali diterjangnya Suropati dengan lebih bernafsu.
Tapi, Suropati telah mempersiapkan serangan mendadak.
Tubuh remaja konyol itu membalik berdiri membelakangi.
Ratnasari tersenyum senang melihat tindakan remaja konyol itu.
Dia pun semakin mempercepat terjangannya.
Namun....
Bluuusss...! Mata wanita pemuja setan itu mendelik lebar.
Mulutnya menganga.
Kedua tangannya menggelantung lemah.
Dada Ratnasari tertembus ujung tongkat Pengemis Binal! Dengan sigap Suropati mencabut tongkatnya.
Lalu, mata remaja konyol itu menata tubuh Ratnasari yang tergeletak di atas tanah.
"Mati kau, Wanita Iblis!"
Tiba-tiba, suatu keanehan ter-jadi.
Luka yang menganga di dada Ratnasari mengepulkan asap hitam.
Sekejap kemudian luka itu perlahan-lahan menangkup kembali seperti sediakala.
Wooossss...! Tubuh wanita pemuja setan itu mencelat ke atas, dan mendarat di tanah dengan mulusnya.
"Ha ha ha...! Kau jangan gembira dulu, Bocah Gendeng! Demi setan gentayangan penguasa jagat hitam, aku akan mempersembahkan nyawamu untuk dijadikan budak!"
Mau tak mau Suropati merasa ngeri. Pemuda itu melangkah rrmndur beberapa tindak. Mata Ratnasari tampak memancarkan sinar aneh.
"Ilmu 'Asmara Penggoda',"
Bisik Suropati seraya memalingkan mukanya.
"Ayo, pandanglah aku, Bocah Gendeng! Katanya kau ingin bermesraan denganku!"
"Baik. Aku akan segera memeluk tubuhmu,"
Suropati membalikkan badannya.
Dengan kepala tertunduk remaja konyol itu mendekatkan ujung jari telunjuknya ke depan dada.
Sebentar kemudian, dari kepalanya mengepul asap tipis.
Tubuh Pengemis Binal lalu meluncur deras melancarkan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'! Blab! Blab! Blab! Ilmu totokan yang dilambari kekuatan sihir itu tepat mengenai sasaran.
Tubuh Ratnasari berdiri limbung.
Dari bagian tubuh yang tertotok memancar darah segar.
Untuk beberapa lama, Ratnasari memandangi tubuhnya yang basah bersimbah darah.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, tawa wanita itu tercetus.
"Ini hanya. ilmu tembre, Bocah Gendeng! Aku akan...."
Wanita pemuja setan itu melanjutkan kalimatnya.
Dia merasakan suatu perubahan terjadi pada tubuhnya.
Perlahan-lahan kulit tubuh Ratnasari menjadi keriput, lalu mengelupas.
Wajahnya yang semula cantik berubah mengerikan bagai wajah iblis baru bangun dari kuburan.
Suropati terkejut bukan main.
Kepalanya tertunduk tak sanggup menyaksikan pemandangan yang menggi-riskan itu.
Saat itulah tubuh Ratnasari yang mengeluarkan bau anyir melayang ke arah Pengemis Binal.
Malaikat kematian pun mengintai nyawa Suropati.
Mendadak, sebuah bayangan berkelebat memapaki luncuran tubuh Ratnasari.
Blaaarrr...! Tubuh dewa penolong yang tak lain Kapi Anggara itu terlontar dalam keadaan terluka dalam.
Ratnasari berjumpalitan di udara lalu mendarat di atas tanah.
Suropati bergegas menghampiri Kapi Anggara.
"Kau tidak apa-apa, Anggara?"
Tanyanya.
"Tidak apa-apa bagaimana? Jelas aku.... Uoookkk..!"
Si Pendekar Asmara menyemburkan darah segar. Dia pun segera duduk bersila untuk menyalurkan hawa murninya ke dada.
"Lukanya tidak sebegitu parah, Suro,"
Kata Raka Maruta yang datang bersamaan dengan Kapi Anggara.
"Kita hadapi bersama wanita iblis itu."
Pengemis Binal tidak menyahuti.
Pemuda itu melompat ke hadapan Ratnasari.
Wanita pemuja setan itu hendak menerjang.
Tapi, Suropati hanya diam di tempatnya.
Kedua tangannya bersedekap.
Lalu, dari sekujur tubuh Pengemis Binal memancar cahaya kebiru-biruan.
Blaaarrr.,.! Tubuh Ratnasari terpental jauh.
Wanita itu terkena hempasan kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang melindungi tubuh Suropati.
Tubuh wanita pemuja setan itu bergulingan di atas tanah.
Tapi, dia segera bangkit dengan sosok yang lebih mengerikan.
Pakaiannya yang koyak-koyak memperlihatkan bagian tubuh membusuk dengan daging berbau anyir dan mengelupas di sana-sini.
Sosok mengerikan itu kembali menerjang Pengemis Binal.
Bersamaan dengan itu Raka Maruta melayang cepat.
Dilemparkannya kedua telapak tangannya ke punggung Suropati.
Blaaarrr...! Kembali ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' yang disertai kekuatan ilmu 'Hati Suci' milik Raka Maruta membuat tubuh Ratnasari lebur jadi serpihan daging berbau sangat anyir.
Dengan matinya Ratnasari atau Bidadari Bunga Mawar, para tokoh rimba persilatan yang dipengaruhi ilmu 'Asmara Penggoda' langsung tersadar.
Mereka terkejut, bagai baru muncul dari tempat gelap yang membutakan pikiran dan akal sehat.
Di antara tokoh itu adalah Sawung Jenar atau Iblis Selaksa Ular yang masih berada di lorong rahasia di Bukit Hantu.
Pemuda bersisik ular itu berlari-lari bagai orang kesurupan.
Dia mencoba keluar dari tempat yang sangat membingungkannya itu.
Dengan ilmu yang dimilikinya dia berhasil mencapai Sungai Bayangan, tempat kediamannya.
* * * Mentari terusir.
Malam rebah menangkupi bumi.
Gelap menerpa.
Perlahan-lahan Sang Candra menampakkan wujudnya.
Cahayanya berbaur dengan gemerlap bintang.
Sekar Mayang dan Ingkanputri berlari cepat menuju Lembah Tengkorak.
"Aduh!"
Jerit Sekar Mayang tiba-tiba.
"Kau kenapa, Ketua?"
Tanya Ingkanputri.
"Tidakkah kau lihat tanganku tinggal sebelah, Putri?"
"Oh...."
Ingkanputri mendekap mulutnya.
Dalam temaram malam, murid Dewi Tangan Api itu menatap pergelangan tangan Sekar Mayang yang buntung sebatas siku.
Balutannya masih basah oleh darah.
Tuk...! Tuk...! Tuk...! Sekar Mayang menotok beberapa jalan darah di lengan kanannya.
Jerit tertahan keluar dari mulut wanita cantik itu.
"Segera kau cari tempat untuk bermalam, Putri...,"
Pinta Sekar Mayang kemudian. Ingkanputri menganggukkan kepala. Dia segera berlalu dari tempat itu. Tak lama kemudian Ingkanputri telah kembali.
"Di sana ada sebuah gua, Ketua,"
Lapor Ingkanputri sambil menudingkan jari telunjuknya.
"Sekarang juga kita ke sana, Putri."
Dua wanita cantik itu pun melesat berlari menyibak gelap.
Sesampainya di gua yang mereka dituju Sekar Mayang memerintahkan Ingkanputri untuk membuat perapian.
Murid Dewi Tangan Api itu segera menuruti.
Keadaan dalam gua jadi terang-benderang.
Sekar Mayang menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Ingkanputri duduk di hadapan perapian.
Sesekali gadis itu memandang wajah Sekar Mayang dengan tatapan kosong.
Sekar Mayang menghembuskan napas berat.
Matanya menerawang jauh.
Pikirannya kembali ke peristiwa yang baru saja dialaminya.
Tiba-tiba, terdengar alunan suara seruling yang mendayu-dayu.
Sekar Mayang memejamkan pendengarannya.
"Siapa itu?!"
Teriak Sekar Mayang. Suaranya menggema dan memantul di dinding-dinding gua. Lama wanita cantik itu menunggu jawaban. Tapi, yang diinginkannya tak juga dia dapatkan.
"Tunjukkan dirimu, Manusia!"
Teriak Sekar Mayang lebih keras. Jawabannya adalah suara seruling yang semakin keras. Sekar Mayang menggeram gusar.
"Segera kau cari peniup seruling itu, Putri!"
Ingkanputri bangkit dari duduknya. Gadis cantik itu melangkah ke luar gua. Suara tawa berkepanjangan yang tak tentu dari mana asalnya menghentikan langkah Ingkanputri.
"Tunjukkan dirimu, Keparat!"
Teriak Sekar Mayang, geram bukan main.
Perlahan-lahan suara tawa itu berhenti, lalu berganti dengan alunan bunyi seruling kembali.
Sayup-sayup terdengar lantunan tembang....
Ketika setan telah terusir dari sorga Dia punya kekuatan untuk melurukkan Manusia ke lembah dosa Tapi, manusia pun punya kekuatan Untuk menghalaunya Kekuatan setan terhempas Namun, bisa dihimpun Kekuatan setan yang telah terhimpun Sanggup melontarkan manusia ke neraka Jiwa pun luruh dalam gelap nafsu angkara Satu jalan menghimpun kekuatan setan Adalah Kitab Sukma Gelap.
Mata Sekar Mayang bersinar nanar ketika lantunan tembang itu berhenti.
"Apa maksud yang terkandung di dalam syair itu?"
Gumam wanita bertangan buntung ini.
"Seperti sebuah petunjuk untuk menghimpun kekuatan setan. Tapi, bagaimana caranya? Ah, tadi kudengar kata 'Kitab Sukma Gelap'. Apakah itu jawabannya?"
Ketika Sekar Mayang larut dalam pikirannya, seberkas cahaya meluncur ke arahnya.
Sekar Mayang meloncat tinggi-tinggi.
Cahaya itu akhirnya membentur dinding gua hingga jebol.
Debu mengepul tebal.
Serpihan batu berhamburan.
Dari dinding gua yang menganga lebar terpancar cahaya menerangi seluruh ruangan.
Seorang kakek bertelanjang dada tampak du-uk di atas batu besar.
Bulu lebat tumbuh subur di sekujur tubuhnya.
Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi.
Tertutup bulu lebat yang juga tumbuh di seputar wajahnya.
Yang menandakan kalau dia seorang lelaki tua adalah dadanya yang datar dan telapak kakinya yang keriput.
"Siapa kau?"
Tanya Sekar Mayang dengan tatapan ngeri.
"Dewa Sesat...,"
Jawab kakek berbulu lebat itu. Suara yang keluar dari mulutnya seperti rintihan orang sakit.
"Apakah kau yang barusan menyerangku?"
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggema berkepanjangan. Sekar Mayang mendengus gusar.
"Jawab pertanyaanku, Dewa Sesat!"
"Hawa amarah bercampur dendam membutakan mata. Seseorang yang ingin menunjukkan kebaikan pun terkena akibatnya."
"Apa maksudmu?"
Tanya Sekar Mayang penuh selidik.
"Mendekatlah kemari, Wanita Buntung.."
Sekar Mayang terpaku di tempatnya. Hatinya diliputi keraguan.
"Bila kau punya dendam membara, mendekatiah kemari, Wanita Buntung!"
"Untuk apa?"
"Aku akan menunjukkan jalan untuk melampiaskan dendammu itu."
Perlahan lahan Sekar Mayang melangkahkan kakinya.
"Bagus, Wanita Buntung. Kau punya keberuntungan hingga menjadi pewaris ilmu 'Leluhur Sesat'. Untuk itu, segeralah kau berlutut di hadapanku!"
"Huh! Aku tak tahu siapa kau. Kenapa kau memerintah seenak perutmu sendiri?!"
"Ha ha ha...!"
Kembali suara tawa menggema berkepanjangan.
"Binatang! Kenapa kau selalu mengeluarkan tawa jelekmu itu? Apakah kau sengaja menghinaku?!"
Sekar Mayang membentak keras-keras. Kakek berbulu lebat yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewa Sesat terlihat menggelengkan kepala.
"Sudah kukatakan, kau punya keberuntungan hingga menjadi pewaris ilmu 'Leluhur Sesat'! Lalu, untuk apa aku menghinamu? Kau adalah manusia yang dianugerahi amarah dan dendam membara yang begitu berapi-api. Kau pantas untuk memiliki Kitab Sukma Gelap."
"Jangan bicara yang tak ketahuan ujung pangkalnya!"
Sentak Sekar Mayang.
"Sedikit pun aku tak tahu maksud ucapanmu."
"Di dunia ini ada dua kekuatan yang saling bertentangan. Hitam dan putih. Kekuatan hitam terhimpun dari dunia gelap yang dikuasai nafsu angkara. Kekuatan setan itu selalu berusaha menghancurkan kekuatan putih. Demikian pula sebaliknya. Tapi, dengan Kitab Sukma Gelap kekuatan hitam akan dapat mengalahkan kekuatan putih. Dan kau adalah pewaris kitab itu, Wanita Buntung...."
Dewa Sesat menengadahkan telapak tangan kanannya.
Sebuah kitab bersampul hitam berada di atas telapak tangan itu.
Sekar Mayang menatap tajam kitab yang disodorkan ke arahnya.
Rupanya, wanita buntung itu benar-benar akan menjadi pewaris Kitab Sukma Gelap.
Sampai di manakah kehebatan ilmu hitam yang terkandung di dalam kitab tersebut? Dan, bagaimanakah sepak terjang Sekar Mayang setelah mempelajari isinya? SELESAI Ikuti serial Pengemis Binal dalam episode "KITAB SUKMA GELAP"
Scam/E-Book. Abu keisel Juru Edit. mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila