Hilangnya Seorang Pendekar 1
Putri Bong Mini Hilangnya Seorang Pendekar Bagian 1
HILANGNYA SEORANG PENDEKAR oleh D.
Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Waktu terus merayapi malam.
Lampu-lampu obor yang dipasang di setiap sudut ruangan sebuah kedai tampak bergoyang-goyang, tertiup oleh semilir angin malam yang masuk ke ruangan rumah makan itu.
Di warung makan yang cukup luas itu, tampak em-pat lelaki duduk di ruang tengah sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh pemilik warung.
Cara makan mereka tampak begitu sopan.
Tidak buru-buru dan tanpa cakap.
Kalaupun terjadi percakapan hanya sesekali saja.
Itu pun bila benar-benar perlu.
Keempat lelaki itu tampaknya orang-orang Melayu asli.
Selain matanya yang tidak sipit, pakaian yang dikenakan juga menunjukkan kalau mereka orang-orang pribumi.
Di sudut ruangan yang agak remang, duduk seo-rang perempuan bermata sipit berambut panjang dike-pang dua ke belakang.
Sedangkan pada bagian mu-kanya dipotong poni sampai sebatas alis mata.
Perempuan bermata sipit dengan alis mata seperti bentuk pedang itu bertubuh kecil.
Namun demikian, dari gurat-gurat wajahnya tampak kalau perempuan itu sudah beranjak remaja.
Dialah Bong Mini, si gadis mungil dari Tiongkok yang berkelana di kawasan Pulau Bangka.
Mata Bong Mini terus memperhatikan empat lelaki yang ada di depannya.
Wajahnya sedikit agak kagum.
Karena selama ini ia baru melihat orang yang begitu sopan.
"Kita terpaksa harus mencari penginapan sampai kita dapatkan orang yang kita cari,"
Kata seorang dari keempat lelaki itu.
"Ya, apa boleh buat. Kita belum diperbolehkan pu-lang sebelum mendapatkan orang-orang yang diingin-kan juragan kita,"
Sahut seorang temannya yang du-duk menghadap ke arah Bong Mini.
Hm..., jadi mereka sedang mencari orang, gumam Bong Mini dalam hati, yang mendengar percakapan itu dengan jelas.
Lalu siapa orang-orang yang mereka ca-ri? Sebelum Bong Mini mendengar percakapan mereka lebih jauh lagi, tiba-tiba muncul orang-orang berwajah beringas dan kasar.
Mereka datang berempat dan duduk di salah satu meja.
Melihat kedatangan mereka, suami istri pemilik wa-rung yang telah dikenal oleh Bong Mini tampak keta-kutan.
"Sediakan kopi, cepat!"
Bentak salah satu dari keempat orang itu.
Empat orang itu pun telah dikenal oleh Bong Mini.
Mereka adalah anak buah Yang Seng yang pernah mengeroyoknya beberapa waktu lalu keti-ka ia dan papanya hendak pulang.
Mendapat bentakan tadi, istri pemilik warung sege-ra membuatkan empat gelas kopi dan menyuruh anak gadisnya untuk mengantarkan.
Tapi gadis itu menolak.
Baru ketika dipaksa oleh papanya, gadis itu mengan-tarkan kopi dan meletakkannya di atas meja keempat lelaki yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam.
Ketika gadis itu hendak kembali ke tempat semula, tiba-tiba seorang dari mereka segera menarik ta-ngannya dengan kasar.
"Jangan, Bang. Jangan ganggu saya,"
Pinta gadis itu meronta-ronta.
"Alaaa, temani kami ngobrol di sini sebentar,"
Kata lelaki yang menarik tangan gadis itu sambil berusaha memeluk bahu sang gadis yang tidak tertutup baju. Karena kain yang dikenakannya hanya menutupi tu-buh sampai sebatas dada.
"Jangan, Bang. Saya tidak mau!"
Kata gadis itu lagi sambil terus meronta-ronta minta dilepaskan.
"Sebentar, sebentar saja,"
Ujar lelaki itu lagi dengan tetap berusaha memeluk dan menciumnya.
Disaksikan oleh ketiga temannya yang hanya tertawa tergelak-gelak.
Melihat anak gadisnya dipeluk-peluk secara paksa, suami istri pemilik warung itu hanya melihat dengan wajah cemas.
Mereka tidak berani menentang.
Karena mereka tahu, siapa keempat lelaki yang tengah meng-ganggu anak gadisnya.
Di saat keempat lelaki itu tengah berusaha mengge-rayangi tubuh calon korbannya, tiba-tiba terdengar suara benda yang jatuh di meja mereka.
Prak! Keempat lelaki yang sedang dilanda gejolak nafsu, serentak menghentikan aksi mereka, lalu menoleh ke arah orang yang melakukan itu.
Ternyata Bong Mini sudah berdiri tegak di belakang mereka.
"Lagi-lagi kau!"
Dengus seorang di antara mereka yang sudah mengenal Bong Mini.
"Heh, ada perempuan cantik dari seberang yang minta disentuh,"
Seloroh lelaki yang belum mengenal siapa sebenarnya Bong Mini.
Sebab tiga dari keempat orang itu belum pernah ikut bertempur melawan Sepasang Pendekar dari Selatan yang terjadi beberapa wak-tu lalu.
Lelaki itu berdiri terkekeh-kekeh di belakang Bong Mini sambil berusaha memeluk pinggangnya.
Namun sebelum niatnya terlaksana, Bong Mini telah meng-hadiahkan pukulan siku tangan ke dadanya, sehingga ia terpental ke sudut ruangan.
Diiringi dengan semburan darah dari mulutnya.
Lelaki yang terkena siku tangan Bong Mini menjadi berang.
Ia tidak mengira kalau gadis mungil itu mam-pu menjatuhkannya dengan pukulan yang demikian keras.
"Perempuan sialan!"
Dengus lelaki yang mengelua-rkan darah dari mulutnya itu sambil berusaha bangkit untuk menyerang Bong Mini.
Namun sebelum sera-ngannya dilakukan, tubuh Bong Mini telah lebih dulu meloncat ke luar dan berdiri tegak di halaman warung itu.
Lelaki tadi menyusul Bong Mini ke luar dari kedai dengan rasa penasaran yang membludak di dadanya.
Sesampainya di halaman kedai, ia langsung melabrak Bong Mini.
"Hiaaat! Hih!"
Teriak lelaki itu diiringi saat tubuhnya meluruk untuk menyerang Bong Mini dengan jurus silatnya.
Teta-pi dengan tenang, Bong Mini mengelakkan badannya sedikit ke samping, disusul dengan pukulan siku tangannya yang tepat mengenai punggung lawan.
Sehing-ga lelaki itu terhuyung lalu jatuh mencium batu besar di hadapannya.
Seketika itu juga darah meleleh dari hidung dan mulutnya.
Melihat lelaki itu jatuh dan tak mampu bangun lagi, ketiga temannya segera menyerang Bong Mini dengan pekikan-pekikan yang amat keras.
"Hiaaat!"
Tubuh Bong Mini melenting ringan dengan mem-buat putaran dua kali di udara.
Lalu turun dengan gerakan menendang ke arah dua lawan.
Bug! Bug! Tendangan Bong Mini yang cukup keras mengenai rahang dan dada kedua lawan yang berada di sisi kiri dan kanannya.
Tubuh kedua lawan yang terkena tendangan dah-syat Bong Mini langsung terpental ke belakang.
Mulut mereka mengeluarkan darah segar.
"Hm...! Kau mau coba seperti mereka!"
Bentak Bong Mini pada seorang lawannya yang masih berdiri tegak, melihat nasib ketiga temannya yang terjatuh di tanah sambil mengerang-ngerang menahan sakit.
Lelaki yang sudah mengetahui kemampuan ilmu be-la diri Bong Mini menjadi geram.
Dikeluarkan goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang.
Srettt! Lelaki itu langsung menerjang Bong Mini dengan go-lok terhunus.
Tapi dengan ringan Bong Mini menun-dukkan badan seraya kakinya mengait kaki lawan.
Bug! Lawannya tersungkur ke tanah dengan wajah ter-bentur goloknya sendiri.
Membuat wajahnya berlumu-ran darah seketika itu juga.
Bong Mini tersenyum penuh kemenangan melihat keempat lawannya sibuk mengerang kesakitan.
Lalu ia menghampiri seorang dari mereka.
"Ampun, Nona..., kami janganlah dibunuh!"
Mohon lawan yang dihampirinya itu. Dikiranya Bong Mini hendak membunuhnya. Bong Mini tersenyum mencibir pada lelaki yang ke-takutan itu.
"Aku pantang membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti kau!"
Bentak Bong Mini.
"Aku hanya ingin menanyakan asal-usul perguruanmu dan siapa pemimpinmu!"
Lanjutnya sambil menekan telapak kaki kanannya di dada lawan yang telentang tak berdaya, akibat pukulan keras Bong Mini.
"Aku..., aku berasal dari Partai Persatuan Ular Hi-tam,"
Jawab lelaki itu tergagap-gagap.
"Ular Hitam,"
Gumam Bong Mini. Baru kali ini ia mendengar perguruan itu.
"Lalu siapa pemimpinmu?"
"Yang Seng. Dari negeri Tiongkok!"
"Hm..., terima kasih. Sampaikan salamku padanya!"
Ucap Bong Mini. Kemudian ia melangkah menuju wa-rung nasi kembali. Pasangan suami istri pemilik warung dan anak ga-disnya yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu segera menyambut Bong Mini dengan hormat.
"Terima kasih atas pertolongan Nona,"
Ucap suami istri itu bersamaan.
Bong Mini hanya tersenyum membalas ucapan me-reka.
Lalu ia duduk di kursi di dekat pintu luar.
Keempat lelaki sopan yang menyaksikan pertempu-ran Bong Mini duduk terkagum-kagum di tempatnya.
Namun mereka belum berani mendekat.
Mereka hanya memandang Bong Mini dalam jarak yang agak jauh.
"Ada sedikit yang ingin saya tanyakan kepada Ba-pak dan Ibu,"
Ucap Bong Mini kepada suami istri itu.
"Tentang apa, Non?"
Tanya sang suami.
"Tentang orang-orang itu,"
Sahut Bong Mini.
"Apa benar mereka dari Partai Persatuan Ular Hitam?"
"Benar, Non,"
Sahut lelaki pemilik warung itu.
"Pemimpinnya bernama Yang Seng?"
Tanya Bong Mini lagi.
"Benar,"
Sahutnya kembali pendek. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Memangnya kenapa, Non?"
Suami pemilik warung itu balik bertanya. Bong Mini menghela napas. Lalu memandang lelaki pemilik warung dengan tatapan mata sungguh-sungguh.
"Bapak bisa ceritakan sedikit mengenai sepak-terjang mereka di desa ini?"
Tanya Bong Mini. Lelaki pemilik warung terdiam beberapa saat. Lalu matanya memandang ke arah istrinya.
"Mereka orang-orang liar, Non,"
Sahut istri pemilik warung, membantu suaminya memberikan jawaban.
"Maksud Ibu?"
Tanya Bong Mini kurang mengerti.
"Mereka merupakan orang-orang yang suka meme-ras rakyat. Memaksa penduduk untuk meminjam uang kepada pemimpinnya dengan bunga yang berlipat. Dan bila tidak bisa membayar sesuai dengan waktu yang ditentukan, mereka akan menyita setiap barang yang ada,"
Jelas istri pemilik warung. Bong Mini mengangguk-angguk. Tentang cerita itu sudah ia dengar dari seorang perempuan tua yang cu-cunya menangis beberapa waktu lalu. (Bacalah serial Bong Mini dalam episode. 'Sepasang Pendekar dari Selatan' ).
"Tapi kalau ada anak gadisnya, mereka lebih suka membawa anak gadis itu sebagai alat bayar hutang untuk dipersembahkan kepada pemimpinnya, Yang Seng,"
Lanjut istri pemilik warung. Bong Mini kembali mengangguk-angguk. Hati kecil-nya mengutuk perbuatan mereka.
"Dan anak buahnya, Non,"
Lanjut perempuan itu dengan wajah serius.
"Mereka selalu mengganggu anak-anak gadis yang terlihat oleh mereka. Malah tidak segan-segan melakukan pemerkosaan di hadapan orangtua gadis itu!"
"Biadab!"
Geram Bong Mini mendengar cerita ter-akhir itu.
"Mereka benar-benar biadab, Non!"
Istri pemilik wa-rung menambahkan.
Entah kenapa, setelah mendengar cerita terakhir dari pemilik warung, tiba-tiba ia teringat mamanya yang mati karena mempertahankan mahkotanya yang akan direnggut oleh panglima perang ketika ia masih berada di Tiongkok.
"Sudah berapa lama mereka mengadakan aksi di kampung ini, Bu?"
Tanya Bong Mini, ingin mengetahui lebih jauh.
"Sudah dua tahun, Non. Sejak Kho Sue Cheng dija-tuhkan oleh Yang Seng."
"Kho Sue Cheng? Siapa dia?"
Tanya Bong Mini se-raya mengerutkan kening.
"Dia dulu pemimpin kampung ini,"
Kali ini suami-nya yang menjelaskan.
"Ooo...,"
Ucap Bong Mini mengangguk-angguk.
"Dulu ketika masih dipimpin oleh Kho Sue Cheng, kampung ini sangat tenteram. Dia juga sering membe-rikan pinjaman kepada rakyatnya, tapi tanpa bunga. Pembayarannya juga tidak ditentukan. Tergantung ka-pan si peminjam punya uang."
"Lalu, bagaimana Kho Sue Cheng bisa dibunuh oleh Yang Seng?"
Tanya Bong Mini.
"Biasa, Non. Perebutan kekuasaan!"
Jawab lelaki itu dengan suara datar. Bong Mini kembali mengangguk-anggukkan kepala-nya.
"Bapak tahu, di mana markas mereka?"
"Tahu, Non. Di sana, di sekitar Pantai Sungai Liat,"
Jawab pemilik warung itu memberitahukan.
Bong Mini kembali mengangguk lamat.
Hatinya me-rasa lega telah mengetahui markas Partai Persatuan Ular Hitam.
Besok atau lusa ia harus pergi ke sana untuk menyelamatkan kembali tiga dayangnya yang ber-hasil dibawa lari oleh mereka.
Setelah mendapat keterangan yang memuaskan, Bong Mini segera meninggalkan warung itu.
Sebelum ia sampai di luar, keempat lelaki sopan yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka segera memburunya.
Bong Mini membalikkan punggungnya dan menatap salah seorang dari keempat lelaki yang memburunya tadi.
"Ada apa?"
Tanya Bong Mini tegas. Sepasang ma-tanya menatap tajam ke arah lelaki itu.
"Maaf, Nona. Saya mengganggu!"
Ucap lelaki itu sambil tersenyum sopan.
"Katakan saja apa maksudmu!"
Kata Bong Mini te-gas, karena sejak kematian mamanya ia memang tidak simpati terhadap kaum lelaki.
"Sebenarnya kami datang dari jauh, dari Desa Pa-domorang,"
Ucap lelaki itu memperkenalkan asal-usul mereka. Bodo amat. Memangnya aku pikirkan?! Kata Bong Mini, namun itu ia cetuskan dalam hatinya saja.
"Saya datang ke sini diutus oleh pemimpin kami, yaitu akan mencari beberapa orang yang pandai silat untuk mengawal pengambilan barang berupa intan berlian dari Tiongkok,"
Lanjut lelaki itu menjelaskan.
"Terus?"
Tanya Bong Mini masih bernada ketus.
"Kami ingin minta bantuan, mungkin Nona tahu orang-orang yang saya butuhkan itu,"
Jawabnya. Bong Mini berpikir sejenak. Sedangkan ekor ma-tanya begitu tajam melirik keempat lelaki itu.
"Baiklah, kalian ikut saya!"
Ajak Bong Mini seraya melangkah ke luar, mendekati kuda putihnya.
Keempat lelaki itu mengikuti Bong Mini dengan wa-jah berseri-seri.
Mereka berpikir akan mendapatkan apa yang dicari selama seharian ini.
Tubuh Bong Mini meloncat ke punggung kudanya.
Tidak lama kemudian, kuda yang ditumpangi Bong Mini melesat dengan kecepatan tinggi, menembus ke-gelapan malam.
Diikuti oleh keempat lelaki tadi.
*** "Papa!"
Seru Bong Mini ketika sampai di muka pintu rumahnya. Bongkap yang sejak tadi uring-uringan kepada para pengawalnya, langsung lompat dari duduknya dan me-meluk Bong Mini dengan erat.
"Dari mana saja kamu, Sayang? Papa sudah kangen seharian tidak melihatmu,"
Sambut Bongkap dengan suara yang bernada khawatir.
"Saya habis bertempur, Papa,"
Kata Bong Mini da-lam pelukan papanya.
"Heh?"
Bongkap kaget. Tapi tak lama kemudian, dia tertawa sambil mengusap-usap kepala putrinya.
"Tapi kamu tidak apa-apa, kan?"
"Siapa dulu dong, papanya!"
Ucap Bong Mini sete-ngah bercanda.
"Ha ha ha...!"
Bongkap tertawa lepas.
"Ini namanya anak papa!"
Bongkap memuji sambil menepuk-nepuk kedua pipi putrinya.
"O, ya Pa..."
"Ada apa, Sayang?"
Tanya Bongkap segera.
"Saya membawa teman lelaki, Papa!"
"Heh?"
Lagi-lagi Bongkap terkejut. Namun kemudian dia tersenyum sambil mendekatkan wajah ke telinga putrinya dan berbisik.
"Kamu sudah pandai memilih lelaki, ya?"
"Idih, Papa!"
Muka Bong Mini merah mendengar ucapan papanya.
"Ha ha ha...!"
Bongkap tertawa melihat putrinya be-rubah cemberut.
"Mana laki-laki yang kamu bawa itu?"
"Ada di luar, Papa!"
"Suruh masuk!"
Perintah papanya. Bong Mini segera keluar. Dan tak lama kemudian ia telah kembali lagi bersama empat orang lelaki.
"O..., berempat,"
Ucap papanya dan Bong Mini cem-berut karena papanya masih meledek. Sesaat Bongkap menyambut keempat lelaki itu de-ngan ramah namun tetap berwibawa sebagaimana seo-rang raja.
"Di mana kalian bertemu dengan putri saya?"
Tanya Bongkap dengan mata menatap keempat tamunya pe-nuh selidik.
"Di warung, Tuan,"
Sahut seorang dari mereka.
Lalu ia menceritakan awal mulanya mereka bertemu dengan Bong Mini, sehingga bisa sampai ke rumah Bongkap bersama-sama.
Bongkap tersenyum kagum karena keempat lelaki itu datang setelah melihat kehebatan ilmu silat putrinya dalam pertempuran.
"Kalau boleh saya tahu, siapa nama kalian?"
Tanya Bongkap ingin tahu.
"Nama saya Pradata dan tiga kawan saya ini ber-nama Sengkawang, Sengkawung, dan Benggala,"
Sahut Pradata memperkenalkan namanya dan nama teman-nya masing-masing.
Bongkap mengangguk-angguk sambil memandang Sengkawang dan Sengkawung.
Pikirnya, pasti kedua orang itu kembar.
Bukan saja dari namanya, wajah kedua orang itu pun tampak begitu mirip.
"Asal kalian dari mana?"
Tanya Bongkap kemudian.
"Kami berasal dari Desa Padomorang,"
Jawab Prada-ta menyebutkan nama daerah asal mereka.
"Di sana kami mengabdi pada seorang saudagar kaya yang ber-nama Prabu Jalatunda!"
Bongkap mengangguk-angguk. Sedangkan kening-nya tampak berkerut, mencoba mengingat-ingat nama yang disebutkan Pradata tadi.
"Berapa lama perjalanan dari Desa Padomorang ke sini?"
Tanya Bongkap lagi.
"Satu hari, Tuanku!"
Jawab Pradata. Bongkap mengangguk-angguk lagi. Sementara pan-dangan terus tertuju kepada keempat tamunya itu dengan tatapan mata yang tajam.
"Kedatangan kalian ke sini tentu punya maksud dan tujuan?"
"Benar, Tuanku,"
Sahut Pradata cepat.
"Kami dipe-rintah oleh Tuanku Prabu Jalatunda untuk mencari beberapa orang ahli silat untuk mengawal kereta ba-rang!"
Bongkap tercekat. Matanya memandang empat pe-ngawalnya.
"Tadi saya pun sudah bicara dengan putri Tuan dan dia mengajak kami ke sini,"
Lanjut Pradata lagi. Kini mata Bongkap beralih pada Bong Mini yang duduk di sebelahnya.
"Saya bawa mereka ke sini dengan harapan Papa dapat membantu mereka,"
Cetus Bong Mini.
"Mengawal kereta barang, maksudmu?"
Bongkap tersinggung.
"Bukan itu, Papa,"
Kata Bong Mini cepat.
"Lalu?"
"Mungkin Papa dapat mencarikan orang-orang yang mereka perlukan,"
Kata Bong Mini.
Bongkap mengangguk perlahan.
Rasa tersinggung-nya mendadak hilang setelah mendengar penjelasan putrinya.
Beberapa saat suasana hening.
Bongkap terdiam karena sedang berpikir.
Sedang-kan keempat tamunya terdiam menunggu jawaban dengan harap-harap cemas.
"Apa di sana tidak ada jago-jago silat?"
Tanya Bongkap kemudian.
"Beberapa hari yang lalu Prabu Jalatunda memerin-tah para jago silat dari sana untuk pengambilan ba-rang. Tapi ketika melewati daerah Bukit Garang, ru-panya mereka dihadang perampok. Karena saat kami melacak, para pengawal kereta barang itu sudah ter-kapar semuanya dengan tubuh bersimbah darah. Se-dangkan barang-barang yang ada dalam kereta itu le-nyap,"
Tutur Pradata menjelaskan. Bongkap, Bong Mini, dan keempat pengawalnya ter-kejut mendengar penjelasan Pradata. Mereka merasa yakin bahwa kereta barang yang dimaksud Pradata adalah kereta yang mereka rampok beberapa hari lalu.
"Prabu Jalatunda sudah berusaha mencari peram-pok itu?"
Tanya Bongkap menutupi ketercengangan-nya.
"Tidak, Tuanku. Beliau seorang yang bijak. Dan ke-tika mendengar barang-barangnya dirampok, beliau hanya berkata; biarlah. Mudah-mudahan Yang Kuasa menggantinya dengan yang lebih baik lagi,"
Urai Pradata, menjelaskan sifat majikannya.
Mendengar penjelasan itu, bukan keterkejutan yang tampak dari wajah Bongkap.
Justru rasa malu dan pe-rasaan sangat berdosa.
Karena yang ia rampok ter-nyata seorang saudagar berhati bersih dan bijak.
Be-naknya langsung membayangkan sosok Prabu Jala-tunda yang menurut perkiraannya pasti berwajah lem-but dan agung.
Tercermin dari para utusannya yang begitu sopan duduk di hadapannya.
"Baiklah. Aku dan para pengawalku bersedia men-jadi pengawal kereta barang saudagarmu. Dan besok kita sama-sama berangkat menghadap Prabu Jalatun-da,"
Ucap Bongkap dengan sikap tenang.
Jawaban Bongkap rupanya sangat mengejutkan Bong Mini dan para pengawalnya.
Bagaimana mungkin seorang raja di kawasan mereka itu mau bekerja sebagai pengawal? Sedangkan Pradata dan ketiga teman-nya, wajah mereka tampak berseri-seri mendengar ja-waban Bongkap yang menyenangkan itu.
"Terima kasih atas kesediaan Tuanku!"
Ucap Prada-ta dengan hati gembira.
"Nah sekarang, kau persiapkan orang-orang kita untuk pengawalan besok!"
Perintah Bongkap kepada Ashiong yang masih terheran-heran.
"Baik, Tuan!"
Sahut Ashiong. Lalu ia pun segera ke-luar ruangan. Diikuti oleh ketiga temannya.
"Sekarang kalian istirahat dulu. Besok pagi-pagi ki-ta berangkat!"
Kata Bongkap lagi kepada keempat ta-munya.
"A Ing!"
Teriak Bongkap lagi, memanggil pengawal-nya.
"Siap, Tuan!"
A Ing segera masuk ruangan.
"Antar mereka ke kamar untuk beristirahat!"
"Baik, Tuan!"
Sahut pengawalnya.
Lalu ia segera mengajak keempat tamu itu menuju kamar tempat is-tirahat mereka.
*** Prabu Jalatunda adalah saudagar kaya yang sangat disegani oleh masyarakat sekitar Desa Padomorang.
Hal itu bukan karena ia pandai dalam ilmu silat dan bukan pula karena harta kekayaannya yang berlim-pah.
Melainkan karena ia selalu saling asah, asuh, asih terhadap penduduk.
Kekayaan yang dimiliki tidak membuatnya menjadi angkuh, tapi sebaliknya membuat ia rendah hati.
Hidupnya diisi kebaikan dengan sesama dan memberi pada orang-orang yang hidupnya serba kekurangan.
Karena sifat welas asih tersebut, masyarakat sekitar daerah itu segan terhadapnya.
Prabu Jalatunda mempunyai seorang istri yang can-tik bernama Ningrum.
Dan ia pun tidak berbeda sifat dengan suaminya.
Ia selalu banyak bergaul dengan masyarakat di sekitarnya sambil melihat-lihat keadaan mereka.
Bila ada penduduk yang hidup dalam kepa-paan, Ningrum tidak sungkan-sungkan memberikan pertolongan.
Dari pembawaannya tersebut, ia pun sa-ngat disenangi dan dikagumi penduduk Desa Padomo-rang.
Dari hasil perkawinan antara Prabu Jalatunda de-ngan Ningrum telah lahir seorang anak laki-laki tampan dan gagah bernama Baladewa, yang kini berusia sekitar enam belas tahun.
Namun sejak usia sebelas tahun, Baladewa sudah tidak bersama mereka.
Dia di-kirim ayahnya ke Bukit Gunung Muda untuk mempe-lajari ilmu-ilmu kesaktian.
Dan sejak berada di Gu-nung Muda, ia tak pernah datang ke rumahnya.
Begitu pula dengan Prabu Jalatunda dan istrinya, sangat jarang menengok anaknya.
Mereka hanya bertemu seta-hun sekali.
Itu pun kalau pengiriman makanan untuk anaknya diperkirakan sudah habis.
Jarangnya mereka bertemu dengan buah hati yang disayanginya itu, bukan karena tidak ada rasa kangen.
Melainkan karena saran dari guru silat Baladewa yang melarang agar jangan terlalu sering menengoki, sebab hal itu akan membuat si anak menjadi manja dan ti-dak konsentrasi terhadap pelajaran yang diberikan gurunya karena selalu ingin dekat dengan kedua orang-tuanya.
"Ajari dia hidup prihatin sejak dini, agar kelak menjadi manusia yang tangguh dan terbiasa dalam meng-hadapi liku-liku hidup!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci, guru Baladewa ketika menyampaikan larangannya ke-pada Prabu Jalatunda dan Ningrum saat menengok anaknya beberapa tahun yang lalu.
Prabu Jalatunda juga mempunyai sepuluh anak buah yang berkepandaian silat cukup dibanggakan.
Empat diantaranya sedang diutus untuk mencari be-berapa pendekar tangguh untuk mengawal barang-barang berharga yang datang dari Tiongkok.
Sebenarnya bisa saja Prabu Jalatunda menyuruh para pendekar yang ada di desanya.
Tapi hal itu tidak dilakukannya lagi setelah melihat kematian para pengawal kereta barangnya yang begitu menyedihkan di tangan para perampok.
Malam itu, Prabu Jalatunda tengah berada di ka-marnya.
Sesekali kedua matanya memandang istrinya yang juga terbaring di sampingnya dengan kedua mata yang menerawang kosong seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
"Malam ini kamu kelihatan murung, Rayi. Ada apa?"
Tanya Prabu Jalatunda sambil membelai-belai rambut istrinya yang tidur dengan memiringkan ba-dan. Ningrum membalikkan badannya dan menatap su-aminya dengan pandangan sendu.
"Sudah beberapa hari ini aku merasakan kerinduan yang sangat dalam, Kakang. Hatiku rindu pada Bala-dewa,"
Sahut Ningrum.
Bola matanya berkaca-kaca se-perti ada telaga bening yang membasahinya.
Prabu Jalatunda menghela napas.
Matanya me-mandang langit-langit kamar.
Sesungguhnya ia pun merasa rindu.
Namun karena ia lelaki, kerinduan itu tidak ditampakkannya.
"Ingin sekali rasanya aku bertemu dengan anakku,"
Keluh Ningrum lagi seraya menelentangkan tubuhnya. Pada saat itu terlihat garis bening yang bergetar di sepasang bola matanya. Kemudian bias bening itu bergulir perlahan-lahan di kedua pipinya. Lalu jatuh mene-tesi bantal di bawah kepalanya.
"Sebenarnya apa yang kau rasakan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang kurasakan,"
Ucap Prabu Ja-latunda mengemukakan perasaannya.
"Kakang juga merindukannya?"
Tanya Ningrum dengan pandangan yang diselimuti air mata. Prabu Jalatunda tersenyum.
"Orangtua mana yang tidak merindukan anak kan-dungnya sendiri, Rayi?"
Prabu Jalatunda balik ber-tanya.
"Tapi tidak serindu perasaanku, kan?"
Sergah Ning-rum sendu. Kembali Prabu Jalatunda tersenyum.
"Sebenarnya takaran kerinduan kita sama, Rayi. Namun cara membawa kerinduan itu yang berbeda. Kerinduan hatiku terhadap anak kita masih diimbangi dengan pikiranku. Sedang kau, sepenuhnya kerinduan itu tersimpan dalam perasaan hingga membuat kau begitu terpengaruh,"
Urai Prabu Jalatunda. Ningrum diam saja mendengar kata-kata suaminya. Pikirannya, bagaimana pun kasih sayang antara wani-ta dengan lelaki memang jauh berbeda.
"Anak kita itu pasti sudah tumbuh besar, tampan dan perkasa!"
Desah Ningrum membayangkan keadaan anaknya. Wajahnya yang tadi murung berubah berseri seperti benar-benar melihat kedatangan anaknya, Ba-ladewa.
"Kalau dia datang akan kusambut dengan pe-lukan dan ciuman yang bertubi-tubi. Oh..., Baladewa anakku!"
Tiba-tiba wajah Ningrum kembali muram. Prabu Jalatunda terharu melihat sikap istrinya yang begitu mendambakan kehadiran buah hatinya. Tubuh istrinya didekapnya dengan hangat. Sedangkan bibir-nya mencium pipi istrinya yang masih segar dan lem-but.
"Rayi jangan terlalu memikirkannya. Nanti akan mengganggu kesehatan Rayi,"
Bisik Prabu Jalatunda ke telinga istrinya.
"Bagaimana aku bisa menghilangkan pikiran dan perasaan rindu ini kalau orang yang kurindukan itu anakku sendiri,"
Desah Ningrum dengan bibir bergetar menahan tangis yang sudah tiba di tenggorokannya.
Sedangkan pipinya masih dibasahi air mata yang me-rambat dari celah-celah bulu matanya.
Prabu Jalatunda terus mendekap serta membelai-belai rambut istrinya.
Sesekali diusapnya air mata yang mengalir di pipi istri yang dicintainya itu.
Akhirnya sentuhan-sentuhan jari tangan Prabu Ja-latunda melenakan Ningrum.
Dia tertidur dengan air mata di pipi.
*** Paginya, ketika Prabu Jalatunda tengah duduk di ruang tamu, tiba-tiba datang seorang penjaga pintu gerbang.
Dia terduduk di hadapan Prabu Jalatunda sambil memberi hormat.
"Ada apa, penjaga?"
Tanya Prabu Jalatunda, semen-tara matanya menatap tajam pada orang yang bersim-puh di hadapannya.
"Hamba datang membawa kabar, Tuanku!"
Ucap penjaga pintu gerbang itu.
"Kabar apa?"
Tanya Prabu Jalatunda ingin tahu.
"Keempat utusan Tuanku telah tiba. Mereka mem-bawa orang-orang yang Tuanku butuhkan,"
Jawab pen-jaga pintu gerbang itu menjelaskan.
"Hm..., baik. Suruh mereka masuk dan bawa ke ruang pertemuan!"
Perintah Prabu Jalatunda.
"Perintah Tuanku akan hamba laksanakan!"
Ucap penjaga pintu gerbang itu sambil membungkuk. Ke-mudian pergi meninggalkan Prabu Jalatunda.
"Ada apa, Kakang?"
Tanya Ningrum yang baru saja keluar dari kamar dengan mata sembab karena habis menangis semalam.
"Para pengawal kereta barang yang kita butuhkan telah datang,"
Jawab Prabu Jalatunda.
"Berapa banyak?"
Tanya Ningrum ingin tahu.
"Entahlah. Aku baru ingin menemuinya. Kau mau ikut, Rayi?"
"Tidak, Kakang. Bukankah itu urusan laki-laki?"
Jawab Ningrum yang memang tak pernah mau men-campuri urusan laki-laki, kecuali bila suaminya me-minta.
"Baiklah kalau begitu. Tapi tolong Rayi sediakan hidangan yang nikmat untuk mereka!"
Pinta Prabu Jala-tunda.
"Baik, Kakang!"
"Saya pergi dulu, Rayi!"
Ningrum mengangguk sambil melepaskan kepergian suaminya dengan tersenyum.
Ketika sampai di ruang pertemuan, semua utusan-nya berdiri hormat seraya memberi jalan buat Prabu Jalatunda.
Kecuali Bongkap, Bong Mini, dan empat orang pengawalnya.
Mereka berdiri tegak sambil terus memandang Prabu Jalatunda yang melangkah ke arah mereka dengan gagah.
Satu persatu Prabu Jalatunda menyalami mereka dengan hormat.
"Silakan duduk!"
Prabu Jalatunda mempersilakan tamunya.
Sedangkan ia sendiri mengambil duduk di kursi khususnya yang mengarah pada keenam ta-munya.
Beberapa saat suasana hening.
Prabu Jalatunda memperhatikan tamunya satu per-satu.
Dia begitu kagum.
Karena selain tubuh mereka yang kekar-kekar, di punggung mereka terselip pedang masing-masing.
Pasti mereka orang-orang tangguh.
Apalagi mereka datang dari negeri Tiongkok, gumam Prabu Jalatunda langsung menebak.
"Siapa pemimpin di antara kalian?"
Tanya Prabu Ja-latunda penuh wibawa.
"Saya, Prabu,"
Bongkap menyahut dengan suara be-rat dan penuh wibawa. Prabu Jalatunda mengangguk-angguk kepala. Di-pandangnya Bongkap dengan penuh kagum. Ditilik dari penampilannya, jelas dia bukan orang sembarangan, cetus hati Prabu Jalatunda lagi.
"Siapa nama Kisanak?"
Tanya Prabu Jalatunda me-nyebutnya dengan panggilan kisanak, sebagai panggi-lan kehormatan buat orang yang belum dikenalnya.
"Namaku Bongkap!"
Jawab Bongkap tenang. Mendengar nama itu, Prabu Jalatunda meloncat kaget dari tempat duduknya. Dugaannya kalau Bong-kap bukan orang sembarangan, benar. Lalu ia me-manggil keempat pengawalnya yang membawa Bong-kap kepadanya.
"Ada apa, Tuanku?"
Tanya Pradata, hormat.
"Kalian telah lancang, membawa Bongkap dan orang-orangnya ke sini!"
Bongkap, Bong Mini, dan para pengawalnya terdo-ngak heran melihat kemarahan Prabu Jalatunda ke-pada pengawalnya. Mereka tidak tahu apa yang mem-buat Prabu Jalatunda marah.
"Kami hanya melaksanakan titah, Tuanku!"
Sahut Pradata.
"Aku memang telah memerintahkanmu mencari pa-ra pengawal barang, tapi bukan mereka yang mestinya kalian bawa ke sini!"
Prabu Jalatunda semakin marah.
Mendengar kata-kata Prabu Jalatunda, Bongkap, Bong Mini dan para pengawalnya terkejut bukan kepa-lang.
Kata-kata Prabu Jalatunda telah menyakitkan telinga mereka.
Namun dengan tenang Bongkap mereda-kan kemarahan Bong Mini dan para prajuritnya yang hendak memaki Prabu Jalatunda.
Setelah memarahi keempat pengawalnya, Prabu Ja-latunda kembali menghadap Bongkap sambil berdiri hormat.
"Maafkan atas kelancangan para pengawalku, Bong-kap!"
Ucap Prabu Jalatunda.
Lagi-lagi Bongkap, Bong Mini, dan para pengawal-nya dibuat terheran-heran dengan sikap Prabu Jala-tunda.
Kalau tadi mereka terkejut karena ucapan Pra-bu Jalatunda seperti mengandung penghinaan, kini mereka terkejut karena Prabu Jalatunda justru me-minta maaf pada Bongkap dengan sikap hormat.
"Saya jadi tidak mengerti dengan sikap Prabu,"
Kata Bongkap mengemukakan rasa bingungnya.
"Ah, Anda terlalu merendah, Bongkap,"
Kata Prabu Jalatunda lagi membuat Bongkap dan orang-orangnya semakin tidak mengerti.
"Saya sangat malu dengan kelancangan para pe-ngawalku. Tapi saya gembira karena seorang raja de-ngan segala kerendahan hatinya berkenan berkunjung ke tempat kami!"
Lanjut Prabu Jalatunda.
Plong! Rasa keterkejutan Bongkap dan Bong Mini serta para pengawalnya menjadi lemas seketika.
Mere-ka baru tahu bahwa persoalan itulah yang membuat Prabu Jalatunda marah besar pada para pengawalnya.
Memang bisa dimengerti kalau Prabu Jalatunda itu marah pada para pengawalnya.
Karena Bong Mini dan para pengawalnya sendiri masih bingung dengan sikap Bongkap yang mau menjadi pengawal kereta barang.
Hal itu sebenarnya yang ingin ditanyakan Bong Mini sejak semalam.
Tapi keinginan untuk bertanya sampai sekarang belum terlaksana karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Dengan segala kehormatan, akhirnya Bongkap dan Bong Mini diajak ke ruang pribadi Prabu Jalatunda.
Di sana kedua bapak beranak ini diperkenalkan kepada istri Prabu Jalatunda, Ningrum.
"Aku akan membatalkan kehendak Bongkap untuk menjadi pengawal kereta barang,"
Ucap Prabu Jala-tunda ketika mereka duduk berdua saja di ruang pe-ranginan.
"Tidak usah, Prabu. Lanjutkan saja!"
Ujar Bongkap tetap pada kehendaknya.
"Saya harus menjaga wibawa Anda sebagai raja,"
Sanggah Prabu Jalatunda mengemukakan alasannya. Bongkap tersenyum.
"Kewibawaan tergantung dari sepak-terjang kita, Prabu. Bukan dari tinggi rendahnya kedudukan. Wa-lau kita mempunyai kedudukan atau jabatan yang baik, tapi kalau sepak-terjang kita rendah di mata rakyat, apakah mereka akan menghormati kita?"
Tanya Bongkap.
"Sepak-terjang Kerajaan Manchuria, di mana dulu aku menjadi panglima di sana menjadi cermin buatku agar tidak mengikuti jejak langkahnya,"
Lanjut Bongkap.
"Apakah sepak-terjang Raja Manchuria begitu hina dipandang masyarakat?"
Tanya Prabu Jalatunda ingin tahu.
"Dia memanfaatkan kedudukannya sebagai raja. Memeras rakyat dengan mengambil upeti yang demi-kian tinggi. Karena itu aku mengundurkan diri sebagai panglima. Kemudian mengajak rakyat untuk pindah ke Selat Malaka,"
Tutur Bongkap menjelaskan.
Prabu Jalatunda termangu-mangu mendengar ceri-ta Bongkap.
Hatinya benar-benar memuji sikap yang dimiliki Bongkap.
Sebab jarang seorang panglima mau mengorbankan kedudukannya demi kesejahteraan rakyat "Prabu, kapan pengambilan barang dari dermaga akan dilaksanakan?"
Tanya Bongkap mengalihkan pembicaraannya.
"Besok pagi. Tapi saya minta Anda tetap berada di sini. Kalaupun Anda memaksa, biarlah para pengawal Anda yang mengawal kereta barang,"
Kata Prabu Jala-tunda tetap mencegah Bongkap untuk tidak ikut da-lam pengawalan kereta barang.
"Begitu juga bagus!"
Sahut Bongkap setuju.
Dengan penuh persahabatan, keduanya melangkah menuju ru-ang makan untuk makan bersama.
Sekaligus meraya-kan persahabatan mereka yang baru saja terjalin.
*** Pukul enam pagi pengiriman dan pengambilan ba-rang telah dilaksanakan.
Empat pengawal kepercayaan Bongkap ditambah lima pengawal Prabu Jalatunda segera berangkat mengawal kereta barang.
Dan dua jam dari keberangkatan mereka, Bongkap dan Bong Mini pun segera mohon diri.
Sebenarnya Prabu Jalatunda dan Ningrum meng-hendaki kedua bapak beranak itu untuk menginap semalam lagi.
Tapi karena Bongkap dan Bong Mini su-kar ditahan, akhirnya dengan segala keterpaksaan mereka pun melepaskan kepergian Sepasang Pendekar dari Selatan.
"Sering-seringlah Nak Mini ke sini!"
Begitu kata Ningrum, istri Prabu Jalatunda ketika mereka sudah duduk di atas punggung kuda. Bong Mini hanya membalas dengan anggukan diser-tai senyum. Lalu mereka pun segera memacu kuda meninggalkan rumah Saudagar Prabu Jalatunda.
"Papa,"
Ucap Bong Mini ketika keduanya sudah ber-ada di pertengahan jalan dengan memacu kuda lam-bat-lambat.
"Hm...? Ada apa?"
Tanya Bongkap.
"Kita harus segera mendapatkan ketiga dayang yang diculik itu,"
Ungkap Bong Mini.
"Ya. Tapi ke mana harus mencarinya?"
"Saya sudah tahu markas mereka, Papa,"
Sahut Bong Mini.
"Hm...!"
Bongkap menoleh pada putrinya.
"Orang-orang yang menculik ketiga dayang kita me-rupakan orang-orang yang tergabung dalam Partai Persatuan Ular Hitam,"
Ujar Bong Mini menjelaskan.
"Ular Hitam?"
Bongkap mengerutkan keningnya.
"Ya, Papa. Mereka dipimpin oleh seorang keturunan Tiongkok yang bernama Yang Seng,"
Jawab Bong Mini menjelaskan.
"Yang Seng?"
Mendadak kuda yang dinaiki Bongkap berhenti.
"Ada apa, Papa?"
Tanya Bong Mini ketika melihat papanya terkejut.
"Papa seperti mengenal nama orang itu,"
Gumam Bongkap.
"Siapa, Papa?"
Bong Mini pun turut menghentikan kudanya.
"Kalau tidak salah dia anak seorang Raja Manchu-ria yang diusir beberapa tahun silam,"
Kata Bongkap sambil mengingat-ingat.
"Benarkah itu, Papa?"
Bong Mini terkejut.
"Ya. Waktu itu kau belum lahir. Dan mama pun be-lum mengandungmu!"
"O, pantas jika aku tak tahu,"
Gumam Bong Mini.
"Kenapa dia sampai diusir, Papa?"
Tanya Bong Mini, ingin segera tahu.
"Masalah kotor,"
Ucap Bongkap kurang jelas.
"Maksud Papa?"
Tanya Bong Mini tidak mengerti. Ujung alisnya yang bagai pedang terangkat.
"Dia main asmara dengan seorang perempuan yang menjadi selir papanya,"
Jawab Bongkap menjelaskan.
"Hm...!"
Terdengar helaan napas Bong Mini.
"Kenapa kamu?"
Tanya papanya seraya melirik Bong Mini.
"Pantas saja dia dan pengikutnya sekarang ini sela-lu gentayangan mencari wanita!"
Dengus Bong Mini.
"Begitulah, Anakku. Tabiat orangtua, entah itu baik atau buruk pasti akan melekat pada salah seorang anaknya. Ibarat buah, tergantung akarnya. Kalau akarnya baik pasti menghasilkan buah yang baik pula. Tapi kalau akarnya kurang baik maka hasilnya pun kurang memuaskan!"
Jelas Bongkap, setengah membe-ri pengetahuan kepada anaknya.
"Wah, jawaban Papa sungguh mengagumkan!"
Ucap Bong Mini, ia tersenyum bangga. Bongkap membalas senyum putrinya dengan se-nyuman pula. Lalu ia turun dari punggung kudanya dan duduk di bawah sebuah pohon. Sedangkan ku-danya diikat di sebuah pohon yang tak jauh dari situ.
"Semua itu papa dapatkan dari kakekmu ketika masih hidup beberapa puluh tahun lalu,"
Ucap pa-panya sambil duduk bersandar di batang pohon.
"Apakah kakek seorang yang sakti, Pa?"
Tanya Bong Mini yang sejak lahir belum sempat bertemu kakeknya.
"Kakekmu seorang pendekar ulung di daratan tanah Tiongkok. Hampir semua perguruan silat waktu itu menyatakan tunduk kepada kakek,"
Bongkap menje-laskan.
"Dan dari kakek pula papa mendapatkan ilmu-ilmu kungfu itu."
"Apakah hanya ilmu kungfu yang kakek ajarkan kepada Papa?"
"Tidak. Banyak ilmu-ilmu yang beliau berikan de-ngan cara semadi. Kakek bilang, belajar ilmu lewat semadi akan sangat banyak manfaatnya. Di antaranya mendidik kita untuk bisa hidup prihatin dan tidak berlaku sombong serta welas asih kepada sesama. Sebab dalam semadi, kita menghindari diri kita dari hal-hal yang sifatnya menjurus pada keduniawian,"
Jawab Bongkap memberikan pengertian kepada putrinya. Bong Mini termangu mendengar cerita papanya.
"Papa juga mengharapkan kamu agar mengikuti je-jak papa yang baik dan tinggalkan bila ada yang buruk menurut pandanganmu,"
Kata Bongkap. Dipeluknya bahu Bong Mini.
"Papa?"
Keluh Bong Mini.
"Kita ini makhluk yang paling sempurna. Sehingga dalam diri kita ada sisi baik dan sisi buruk. Tapi kita berusaha untuk berbuat baik sesuai dengan kemampuan,"
Kata Bongkap menasihatkan.
"Papa,"
Keluh Bong Mini lagi seraya menyandarkan kepalanya di dada papanya yang bidang.
"Saya merasa bahagia mempunyai orangtua seperti Papa."
"Papa juga bahagia mempunyai putri sepertimu, Sayang. Cantik, lincah dan patuh!"
Puji Bongkap pula sambil mempererat pelukannya. Sedang asyiknya mereka dicekam kebahagiaan yang teramat sangat, puluhan orang berwajah garang sudah mengelilingi mereka. Mereka orang pribumi yang ber-naung di bawah Partai Persatuan Ular Hitam.
"He he he...! Mesranya bapak dan anak hingga lupa keadaan sekeliling,"
Ejek seorang dari mereka sambil tertawa terkekeh. Bongkap dan Bong Mini berdiri terkejut. Mata me-reka menyebar ke sekeliling.
"Lagi-lagi bajingan Ular Hitam,"
Gumam Bong Mini dengan mata menatap berkeliling.
"Jadi ini anak-anak buah Yang Seng?"
Tanya Bong-kap.
"Ya. Mereka orangnya!"
Jawab Bong Mini yang me-ngenal beberapa orang dari mereka.
"He he he.... Kau tak mungkin lepas sekarang, ke-linci manis,"
Kata seorang pemimpin pasukannya.
"Mau apa kalian!"
Bentak Bong Mini. Wajahnya mu-lai merah karena menahan marah.
"Mau apa? He he he..., tentu saja ingin menang-kapmu dan menikmati dagingmu yang masih muda itu!"
Sahut pemimpin pasukan dengan kata-kata cabul.
"Heh! Kutil Setan! Jaga mulutmu yang busuk itu bi-ar tidak kurobek!"
Geram Bong Mini dengan memelo-totkan mata. Pemimpin pasukan itu makin terkekeh-kekeh meli-hat Bong Mini marah.
"Dasar kelinci manis. Semakin marah semakin menggairahkan!"
"Tutup mulutmu, Kurap Monyet!"
Bentak Bongkap dengan suara yang meledak.
"Kambing! Rasakan sabetan tongkatku ini!"
Usai berkata begitu, Ketua Pasukan Ular Hitam segera me-nyerang Bongkap seraya memutar-mutarkan tongkat-nya. Wet wet wet...! Tubuh Bongkap segera melompat dan bersalto menghindari sabetan-sabetan tongkat yang begitu ce-pat.
"He he he...!"
Penyerangnya tertawa-tawa melihat Bongkap kewa-lahan.
Tapi tiba-tiba tawanya terhenti ketika mera-sakan punggungnya dipukul orang.
Bug! Rupanya Bong Mini sudah tidak bisa lagi menahan ledakan kegusarannya.
Dia memukul lelaki itu tanpa maksud membokongnya.
Biar bagaimanapun jiwa ke-pendekarannya tidak akan sudi melakukan hal itu.
Dia hanya mengalihkan perhatian lelaki tadi.
"Kelinci liar! Rasakan tongkatku ini!"
Sejurus kemudian tongkat yang tadi menyerang Bongkap beralih ke arah Bong Mini.
Tapi Bong Mini segera melompat lalu hinggap di atas sebuah batang pohon.
Lawannya melongo melihat Bong Mini dengan ri-ngan berdiri di atas ranting pohon.
Sementara itu, Bongkap tengah sibuk mengadakan perlawanan dengan para pengeroyoknya.
"Hiaaat!"
Bong Mini meloncat ke arah para pengeroyok pa-panya.
Srettt! Pedang Bong Mini menebas, membelah dada seo-rang lawan.
Membuat orang itu terhuyung-huyung se-bentar, lalu ambruk.
Orang-orang Ular Hitam segera berpencar dalam dua kelompok.
Sebagian menyerang Bong Mini dan se-bagian lagi menyerang Bongkap.
Terpecahnya serangan mereka membuat Bong Mini lega.
Ia menyerang lawan secara tiba-tiba justru hendak memberi peluang pada papanya untuk bergerak dan mengadakan serangan balik.
Melihat penyerangnya demikian banyak, Bong Mini segera mencabut pedangnya yang lain.
Sehingga dua pedang kini berada di kedua tangannya.
Dia siap un-tuk mengeluarkan jurus pedang 'Samber Nyawa'.
"Hiaaat!"
Trang! Trang! Trang! Bles! Pedang di tangan kiri Bong Mini menangkis sera-ngan-serangan senjata lawan. Sedangkan pedang di tangan kanan menembus ulu hati seorang lawan sam-pai ke punggungnya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan lawan yang terkena tusukan pe-dang Bong Mini.
Seketika itu juga dia jatuh tak berkutik lagi.
Setelah mencabut pedang dari tubuh lawan, Bong Mini kembali mengadakan serangan dengan kedua pe-dangnya yang kini berlumuran darah.
Sementara itu, Bongkap pun dengan ganas tengah menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang jumlahnya kurang lebih dua belas orang.
Jurus pe-dang 'Samber Nyawa' yang diolah menjadi satu dengan jurus kungfu 'Tanpa Bayangan' membuat ia semakin ganas di tengah pertempuran.
Putaran badan yang be-gitu cepat bagai baling-baling kapal membuat lawan-nya kewalahan.
Julukan Singa Perang yang dulu dida-pat ketika berada di Tiongkok, kini tampak kembali.
Herrr..., sret, sret! Hembusan angin dan putaran pedang yang demi-kian cepat membuat para lawan melongo tanpa mela-kukan serangan.
Sehingga pedang yang berputar-putar itu menebas tiga tubuh lawan sekaligus.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Jerit kesakitan dari tiga lawan hanya sesaat terde-ngar.
Setelah itu mereka roboh dengan tubuh masing-masing terbelah.
Melihat nasib ketiga temannya yang begitu menge-rikan, pemimpin pasukan itu tercengang, serta sedikit gentar.
Namun perasaan gentar itu lenyap, saat melihat kesempatan yang diperkirakannya tepat.
Dep! Sebuah totokan yang dilancarkan oleh pemimpin pasukan itu tepat mengenai punggung Bong Mini yang sedang lengah.
Dalam sekejap tubuh Bong Mini terku-lai lemas.
Dan sebelum sempat jatuh, tangan pemim-pin pasukan itu sudah merangkul dan menggendong-nya.
"He he he..., lihatlah ke sini Bongkap. Putrimu su-dah berada dalam pelukanku. Kau tak akan menang!"
Teriaknya disertai tawa yang terkekeh-kekeh.
"Iblis cabul. Lepaskan putriku!"
Teriak Bongkap ke-tika melihat Bong Mini berada dalam pelukan lelaki itu dengan tubuh yang sama sekali tidak berdaya akibat totokan yang menghentikan aliran darahnya.
Pemimpin pasukan itu malah tertawa terkekeh-kekeh melihat kemarahan Bongkap.
Setelah itu tubuh-nya melesat pergi meninggalkan arena pertempuran dengan cepat.
"Jahanam! Setan licik!"
Geram Bongkap, melihat anaknya dibawa pergi oleh pemimpin pasukan itu.
De-ngan gerakan yang kacau namun memikat, Bongkap menyabet-nyabetkan pedangnya ke arah lawan yang masih belumlah banyak.
Bles! Ujung pedang Bongkap menembus perut lawan.
Kemudian pedang itu diangkatnya bersama-sama tu-buh lawan dan dilemparkannya tinggi-tinggi.
Sehingga tubuh lawan itu terpental jauh entah jatuh di mana.
*** Pemimpin pasukan itu terus berlari membawa tu-buh Bong Mini, disertai tawanya yang terkekeh-kekeh.
Sedangkan Bong Mini dengan gerakan-gerakan yang lemah terus meronta-ronta minta dilepaskan.
Ketika dirasa telah jauh dari arena pertempuran, pemimpin pasukan itu segera menghentikan larinya.
Kemudian dibaringkannya tubuh Bong Mini di antara semak-semak.
"He he he..., akhirnya kudapatkan juga tubuhmu yang mungil dan segar ini, kelinci manis,"
Desisnya disertai tawa terkekeh.
Bong Mini berusaha menguras tenaganya untuk bi-sa lari dari tempat itu.
Namun apa yang dilakukannya itu sia-sia.
Jangankan untuk berlari.
Bangun saja dia tidak mampu.
Yang dapat dilakukannya hanya meng-geser-geserkan tubuh saja agar bisa menjauh dari lela-ki yang hendak berbuat jahat kepadanya.
Melihat tubuh Bong Mini yang merayap-rayap itu, pemimpin pasukan itu malah memandangi sambil ter-kekeh-kekeh.
Perlahan dihampirinya Bong Mini dan membalikkan tubuhnya agar telentang.
"Lepaskan aku lelaki cabul! Lepaskan!"
Teriak Bong Mini tanpa tenaga karena sudah terkuras habis.
Teriakan-teriakan Bong Mini sia-sia saja.
Lelaki yang telah dirasuki iblis itu malah membiarkannya dengan tawa menyeringai.
Lalu dengan terkekeh-kekeh, ia membungkukkan badan dan meraba-raba kedua pipi Bong Mini dengan lembut dan penuh pera-saan.
"He he he...! Baru kali ini aku bisa merasakan keha-lusan wajah seorang gadis,"
Ucap lelaki itu terkekeh.
"Lepaskan cabul! Lepaskan!"
Tubuh Bong Mini me-ronta-ronta.
Namun rontaan Bong Mini yang lemah ju-stru merangsang birahi Ketua Pasukan Partai Persa-tuan Ular Hitam.
Dengan penuh nafsu, ia membuka kancing baju Bong Mini.
Sehingga dua buah bukit yang masih mengkal itu jelas terlihat.
Kemudian dengan napas yang memburu, dia menundukkan kepala dan menci-umi pipi dan leher Bong Mini yang putih mulus itu.
Bong Mini terus berusaha meronta-ronta sambil memaki-maki lelaki yang sedang dirasuki nafsu jaha-nam itu.
Namun rontaan-rontaan tubuh Bong Mini ju-stru dianggap sebagai geliat yang merangsang kelela-kiannya.
Membuat pemimpin pasukan itu semakin bernafsu mendekap dan memeluki tubuh Bong Mini.
Di saat tubuh Bong Mini terkulai lemas dan pasrah terhadap apa yang akan menimpa dirinya, tiba-tiba tubuh pemimpin pasukan itu terpental beberapa meter dari tubuh Bong Mini.
la menggelepar-gelepar dengan tubuh menghitam hangus.
Bong Mini terkejut melihat kejadian itu.
Lalu de-ngan kesempatan yang ada, ia segera memperbaiki kancing bajunya yang terbuka.
Kemudian perlahan tu-buhnya merayap menghampiri mayat pemimpin pasu-kan yang hangus itu dengan pandangan tak percaya.
"Siapa yang menjadi dewa penolongku?"
Gumam Bong Mini sambil menyebar pandangannya ke sekeli-ling. Tapi matanya tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan sedikit pun.
"Kau tak apa-apa?"
Terdengar suara lelaki entah da-ri mana, tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
"Kaukah yang tadi menyelamatkan jiwaku dari ke-jahatan lelaki ini?"
Tanya Bong Mini ketika melihat sosok lelaki yang wajahnya tertutup kain hitam. Hanya mata dan mulutnya saja yang terlihat.
"Bukan aku. Tapi Yang Menguasai dirimu yang me-nyelamatkanmu,"
Jawab lelaki itu.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Kelak kau akan mengerti,"
Jawab lelaki itu cepat.
"Sekarang balikkan tubuhmu!"
Lanjut lelaki itu. Bong Mini tanpa menaruh rasa curiga segera meng-ikuti perintah lelaki itu. Sesaat ketika ia memunggungi lelaki itu, ia merasa dua jari tangan lelaki itu menyentuh punggungnya.
"Nah, sekarang kembalilah pada papamu!"
Ucap le-laki itu.
Lalu tubuhnya segera melesat dan lenyap entah ke mana.
Bong Mini terlolong-lolong di tempat.
Ia ingin berteriak memanggil, tapi nyaris tertelan di tenggorokan karena lelaki itu sudah keburu hilang.
Tinggal ia terpaku di tempat.
Setelah terpaku beberapa saat, Bong Mini segera berdiri.
Dan betapa kagetnya ia karena tubuhnya yang tadi dirasakan lemas kini segar kembali.
Seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
"Luar biasa lelaki itu. Ilmunya benar-benar tinggi,"
Puji Bong Mini.
Kemudian tanpa menunggu waktu lagi, ia segera berlari menuju tempat papanya bertempur dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh.
Sampai di tempat pertempuran, Bong Mini melihat papanya telah menewaskan banyak lawan.
Kini tinggal lima orang yang masih berhadapan dengannya.
"Ini bagianku, Papa!"
Teriak Bong Mini sambil mele-sat ke arah lawan yang tinggal lima orang itu.
Sret! Sret! Sret! Dua pedang yang tergenggam di kedua tangannya langsung menebas leher tiga lawan sekaligus hingga nyaris putus.
Melihat kehadiran Bong Mini yang tampak segar kembali, Bongkap menjadi heran.
Padahal ia sudah berpikir kalau anaknya tidak mungkin bisa disela-matkan.
Bukan jiwanya, tapi kegadisannya.
Ketika ketiga temannya jatuh dengan leher yang hampir putus, kedua temannya langsung mengambil langkah seribu, meninggalkan kancah pertempuran yang sudah dibanjiri oleh darah dan bau amis.
"Kau tidak apa-apa, Sayang?"
Tanya Bongkap, lalu cepat mendekap putrinya.
"Seperti yang Papa lihat,"
Sahut Bong Mini dengan tersenyum cerah.
"Papa mengira kalau kau sudah digagahi oleh lelaki cabul itu,"
Kata Bongkap mengemukakan perkiraan-nya.
"Tadinya memang begitu. Tapi tiba-tiba datang dewa penyelamat sehingga saya terbebas dari nafsu iblis lelaki tadi."
"Siapa dewa penyelamat itu?"
Tanya Bongkap ingin tahu.
"Saya sendiri tidak tahu, Papa. Wajahnya tertutup kain hitam. Tapi dari suaranya, saya dapat memperkirakan bahwa dia seorang lelaki,"
Jawab Bong Mini.
"Lelaki bertopeng?"
Bongkap mengernyitkan ke-ningnya.
"Ilmunya sangat tinggi, Papa. Dalam satu pukulan jarak jauh, lelaki yang ingin memperkosaku terpental jauh dengan tubuh hangus terbakar,"
Cerita Bong Mini, memuji kehebatan lelaki yang menolongnya.
"Hm..., siapa dia, ya?"
Gumam Bongkap lagi.
"Tapi dia menolak ketika saya mengatakan kalau dia yang menolongku. Dia menjawab, yang menolong-ku adalah Yang Menguasai diriku,"
Kata Bong Mini.
"Yang Menguasai dirimu?"
"Begitulah katanya, Papa. Papa mengerti maksud kata-katanya?"
"Nanti saja kita bicarakan lagi di rumah,"
Sahut Bongkap.
Dibimbingnya Bong Mini menuju kuda mere-ka masing-masing.
Tak lama setelah itu mereka telah memacu kudanya dengan kecepatan yang amat tinggi, melanjutkan perjalanan menuju markas Partai Persa-tuan Ular Hitam.
*** Hari itu, Yang Seng dan puluhan pengawal pribadi-nya sedang berpesta pora.
Bermacam makanan dan minuman yang memabukkan tersedia begitu banyak.
Ditambah lagi dengan tari-tarian yang dilakukan lima wanita anggota Partai Persatuan Ular Hitam, menam-bah suasana semakin hangat dan meriah.
Beberapa puluh pasang mata lelaki yang sudah se-tengah mabuk tampak tidak berkedip ketika kelima penari meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai.
Apa-lagi ketika pinggul lima wanita yang padat berisi itu berputar meliuk-liuk membuat penonton lelaki anggota Partai Persatuan Ular Hitam berdebar-debar hatinya.
Yang Seng menyaksikan kegembiraan anak buah-nya dengan wajah berseri-seri.
Sesekali matanya melihat pada lima wanita yang sedang meliuk-liukkan tu-buh dengan gemulai.
Apa lagi yang tidak kudapatkan sekarang ini? Har-ta, tahta, wanita, semuanya sudah kumiliki.
Walaupun dengan jalan kekerasan, merampok dan merebut perempuan-perempuan orang.
Aku tidak peduli dengan sumpah serapah orang terhadap kekejianku.
Aku juga tidak mau pusing dengan kesesatan pikiranku.
Yang penting, aku hidup penuh kesenangan! Gumam hati Yang Seng sambil memperhatikan kegembiraan anak buahnya.
Hidup ini penuh kesenangan.
Dan kesenangan ha-rus kita nikmati.
Itulah hukum dunia.
Sedangkan pa-hala dan dosa merupakan perhitungan yang terakhir.
Karena hukum akhirat hanya berlaku jika manusia sudah mampus! Ceracau hatinya lagi dengan wajah gembira.
Lalu ia menuangkan arak dalam kendi yang sejak tadi digenggamnya ke dalam gelas.
Kemudian di-reguknya dengan penuh nikmat.
"Wahai kalian semuanya!"
Teriak Yang Seng seraya melangkah ke tengah-tengah anak buahnya yang se-dang berpesta pora.
"Meriahkan dan nikmatilah pesta ini sepuas-puasnya. Dunia ini diciptakan untuk kesenangan dan kenikmatan. Hanya orang-orang bodoh yang menentang dan menjauhi kesenangan yang kita ciptakan ini,"
Lanjut Yang Seng dengan wajah yang berubah merah karena pengaruh arak yang mulai menja-lar ke seluruh syarafnya. Orang-orang yang hadir di pesta itu menyambut ucapan Yang Seng dengan tawa dan wajah berseri.
"Nah, aku akan segera meninggalkan ruangan ini untuk menikmati kesenanganku sendiri di kamar. Jadi jagalah pesta ini sebaik mungkin!"
Lanjut Yang Seng.
Lalu ia pun segera menuju kamarnya.
Sampai di muka pintu kamar, dua wanita cantik yang menjadi selirnya segera menyambut penuh ke-hangatan.
Mereka mengiringi langkah Yang Seng me-nuju ranjang.
Kemudian tangan-tangan halus mulus itu bergerak memijit-mijit bahu Yang Seng, sementara bibir mereka tersenyum genit.
Sedangkan Yang Seng sendiri hanya diam berbaring, merasakan kelembutan tangan-tangan lembut yang memijiti bahunya.
"Inilah malam yang penuh kegembiraan!"
Desah Yang Seng sambil menatap langit-langit kamar.
"Apa-kah kalian juga turut merasakan kegembiraan ini?"
Tanya Yang Seng yang menatap kedua wajah selirnya bergantian.
"Tentu saja kami menikmatinya, Tuan,"
Sahut seo-rang selir dengan senyum genitnya.
Sementara itu, di kamar paling belakang terdapat tiga perempuan yang terbaring di masing-masing dipan dengan keadaan kedua tangan dan kaki terikat.
Sedangkan pakaian bagian muka terlihat robek-robek.
Sehingga dua buah bukit dengan anak gunungnya ter-lihat jelas.
Mereka adalah dayang-dayang Bong Mini yang berhasil diculik oleh anak buah Yang Seng.
Ketiga dayang itu tampak terbaring lemas di atas dipan.
Sedangkan air mata meleleh di sekitar pipi mereka.
Mereka saling memandang dengan tatapan mata sendu.
Mahkota ketiganya telah direnggut oleh anak buah Yang Seng secara paksa dan bergantian, mening-galkan bercak-bercak darah di sekitar paha mereka.
Di ruang tamu, pesta tuak dan tarian erotik sema-kin panas.
Lima penari wanita yang bertubuh seksi-seksi itu mulai membuka pakaiannya satu persatu sambil terus meliuk-liukkan pinggulnya yang aduhai.
Kemudian dilemparkan pakaiannya itu kepada salah seorang lelaki yang masing-masing ditaksirnya terlebih dahulu.
Kini para penari itu hanya mengenakan rok bawah saja.
Sedangkan bagian atas hanya memakai selipan beha, membuat penonton lelaki tidak berkedip.
Pada saat tarian semakin erotik, lima lelaki mabuk yang mendapat lemparan pakaian penari itu segera menghampiri dan merangkul pinggul mereka.
Lalu se-muanya menari berpasang-pasangan.
Melihat kelima temannya menari dengan lima pena-ri wanita itu, lelaki lainnya merasa iri dan tergiur.
Dengan jalan sempoyongan, mereka menghampiri dan merebut wanita itu dari tangan temannya.
Tentu saja hal ini membuat marah temannya yang sedang menari.
Sehingga terjadi tarik-menarik, memperebutkan wanita itu diselingi ocehan-ocehan yang menyebarkan bau arak.
Akhirnya pertengkaran mulut dan tarik-menarik tangan wanita itu berubah menjadi ajang perkelahian.
Dalam waktu singkat, pesta yang hangat itu berubah menjadi pesta senjata.
Lima orang penari perempuan segera menarik diri dari tempat itu.
Mereka mundur perlahan ke sudut ruangan dengan kedua tangan menyilang di antara dadanya yang terbuka.
Wajah mereka tampak meringis ketakutan ketika mendengar senjata saling beradu.
Seorang yang sudah mabuk berat segera bangkit dari duduknya.
Dengan kedua mata kuyu dan langkah sempoyongan, lelaki yang sudah mabuk berat itu menghampiri sepuluh temannya yang sedang berkela-hi.
"Kenapa sih kalian ribut-ribut, heh?"
Tanya lelaki mabuk itu dengan suara lemah tak bertenaga, mencoba melerai teman-temannya.
Tapi karena pengaruh arak yang demikian tinggi dan menghilangkan akal pikiran mereka, teman yang melerainya itu malah ter-kena bacokan golok.
Bet! Darah langsung mengucur dari bahunya yang ham-pir putus.
Kemudian orang itu berdiri limbung bebe-rapa saat dan jatuh di lantai dengan tubuh bermandi darah.
Di luar, puluhan lelaki bertopeng sedang mengintip keadaan orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam dari balik semak-semak.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin penyerangan itu segera memberi aba-aba dengan ta-ngannya untuk maju.
Dengan gerakan cepat tanpa suara, orang-orang bertopeng hitam itu segera mendekati beberapa penja-ga yang setengah mabuk lalu menotoknya dengan mu-dah.
Dep! Totokan tangan dari orang-orang bertopeng menda-rat di tubuh penjaga pintu gerbang yang berjumlah li-ma orang.
Dan kelimanya langsung terkulai tak sadarkan diri.
Kemudian dengan gerakan ringan pula, satu persatu mereka masuk ke ruangan dalam dan menyerang orang-orang yang ada di sana dengan jurus kung-fu yang sudah terlatih sempurna.
Sesaat kemudian ruangan itu telah dipenuhi oleh dentingan-dentingan senjata dan teriakan-teriakan peperangan.
Berbaur pula dengan teriakan kelima penari perempuan yang ketakutan.
Mendengar kegaduhan di luar, Yang Seng yang se-dang bercengkerama dengan dua selirnya segera be-ranjak dari ranjang untuk mengenakan pakaiannya.
Setelah itu, kakinya melangkah keluar kamar untuk mengetahui apa yang terjadi.
Betapa kagetnya ia ketika sampai di luar, melihat anak buahnya bertempur mati-matian melawan pulu-han orang bertopeng hitam.
"Sial! Ada saja orang-orang yang usil dengan kese-nanganku!"
Geram Yang Seng sambil menyerbu ke are-na pertempuran.
"Hiat!"
Segarang singa lapar, tubuhnya bergerak cepat me-nyerang orang-orang bertopeng.
"Hiaaat!"
Dug! Dug! Dug! Pukulan beruntun yang dilakukan Yang Seng me-ngenai seorang lawan hingga tubuhnya menggeliat-geliat lalu mati.
Kemudian ia menyerang orang bertopeng lain dengan ganas.
Jurus 'Tinju Baja' yang sudah dikuasainya membu-ru ke arah lawan-lawannya dan mengenai beberapa sasaran dengan telak.
"Aaakh...!"
Teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak terus memadati ruangan disertai cucuran darah dari tubuh mereka yang memerahi lantai.
Pertempuran antara pasukan Partai Persatuan Ular Hitam dengan orang-orang bertopeng yang tadi hanya di dalam ruangan, kini meluas sampai ke halaman rumah.
Jurus-jurus kungfu yang dikerahkan oleh ke-dua belah pihak membuat suasana pertempuran se-makin seru dan sengit.
Di luar pertempuran, seorang lelaki dan perempuan terlihat tengah menyaksikan pertempuran itu.
Mereka tidak lain Bongkap dan Bong Mini yang kini tengah mengawasi kedua pasukan yang sedang bertukar se-rangan dari atas sebuah pohon.
"Ternyata ada perguruan lain yang mendahului se-rangan kita,"
Cetus Bong Mini.
"Ya. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang ki-ta cari,"
Balas Bongkap.
"Maksud Papa?"
"Orang-orang bertopeng itu pasti yang pernah mela-kukan serangan ke rumah kita dan membunuh enam orang pengawal,"
Jawab Bongkap. Bong Mini mengangguk-angguk sambil terus meng-awasi jalannya pertempuran yang berlangsung di ha-laman markas Partai Persatuan Ular Hitam.
"Lalu apa tindakan kita sekarang, Papa?"
Tanya Bong Mini, ingin mengetahui rencana Bongkap selan-jutnya "Kita harus tahan diri dulu dan melihat pertempu-ran mereka. Sebab selain jumlah mereka yang banyak, jurus-jurus silat mereka pun tidak bisa diremehkan."
Di saat keduanya asyik memperhatikan pertempu-ran itu, dua lelaki lari tergopoh-gopoh hendak memasuki halaman markas Ular Hitam. Bong Mini yang mengetahui siapa mereka, langsung bergerak hendak menyerang. Tapi cepat-cepat dicegah oleh papanya.
"Jangan gegabah!"
Bong Mini kembali diam di tempat, mengikuti peri-ngatan papanya.
Ketika kedua lelaki yang tergopoh-gopoh itu mema-suki halaman rumah, mereka langsung diserang oleh hujaman pedang dari dua orang bertopeng.
Bret! Kepala kedua orang yang pernah melawan Bong Mini dan Bongkap itu langsung terpental dari lehernya.
Dan semua peristiwa itu tidak terlepas dari pandangan Bong Mini yang berdecak-decak kagum.
Pertempuran antara pasukan Ular Hitam dengan orang-orang bertopeng itu terus berlangsung dengan sengit.
Dalam sekejap saja markas Partai Persatuan Ular Hitam menjadi berantakan.
Kursi, meja, dan se-mua benda yang ada di situ hancur.
Lantainya pun di-genangi darah, menebar bau anyir ke segenap rua-ngan.
Pasukan Ular Hitam tampak kewalahan menghada-pi lawannya ketika pertempuran itu berlangsung beberapa jam.
Selain jumlah penyerang yang sangat ba-nyak, orang-orang bertopeng itu pun mempunyai ju-rus-jurus andalan yang tidak bisa diremehkan.
Prak! Tiba-tiba atap rumah itu jebol.
Bersamaan dengan itu dua orang terlihat menerobos keluar dan mengadakan perkelahian di atas atap.
Jurus-jurus pedang mereka sama-sama hebat, berkelebatan cepat mencari sasaran.
"Yang Seng,"
Gumam Bongkap ketika pandangannya mengarah pada atap rumah itu. Walaupun keadaan temaram, ia masih mampu melihat wajah Ketua Partai Persatuan Ular Hitam.
"Itukah orang yang bernama Yang Seng, Papa?"
Tanya Bong Mini saat melihat kedua orang yang sedang bertempur di atas atap.
"Ya. Dialah orangnya."
"Ilmu permainan pedangnya sangat bagus,"
Gumam Bong Mini memuji sambil tak henti berdecak.
"Dia bukan tandinganmu, Anakku!"
"Tapi suatu saat saya akan mencoba berhadapan dengannya, Papa,"
Sahut Bong Mini tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Sia-sia, Anakku. Kepandaian jurus-jurus kungfu yang dimiliki Yang Seng masih jauh lebih tinggi dibandingkan milikmu,"
Kata Bongkap, memperingatkan pu-trinya.
Suasana pertempuran mulai sepi.
Orang-orang Par-tai Persatuan Ular Hitam yang bertempur di halaman rumah sudah banyak yang mati oleh babatan pedang lawan.
Sementara itu, di ruangan dalam pun hanya tiga sampai lima orang yang masih bertempur.
Sedangkan yang lain sudah tergeletak bermandi darah.
Dan mere-ka yang mati kebanyakan dari Partai Persatuan Ular Hitam.
Dalam suasana pertempuran yang sepi itu, bebera-pa orang bertopeng hitam masuk ke dalam dan mem-buru lima penari cantik tadi yang kini tengah menggigil ketakutan di sudut ruangan.
Sedangkan kedua tangan mereka menyilang menutupi dua buah bukit yang hanya tertutup beha.
Melihat orang-orang bertopeng mendekat, kelima perempuan yang tadi menari itu mundur beberapa langkah dengan mata menyipit ngeri.
Tapi dengan tangkas orang-orang bertopeng memburu.
Kelima pe-rempuan itu menjadi tidak berdaya ketika leher mere-ka terkena totokan.
Dalam keadaan lemah, orang-orang bertopeng itu segera menggendong mereka dan membawa lari meninggalkan ruangan.
Sedangkan orang-orang bertopeng lain menyebar ke kamar-kamar untuk melakukan tindakan yang sama.
"Papa, lihat!"
Pekik Bong Mini ketika melihat sege-rombolan orang-orang bertopeng berlari dalam kegelapan dengan membawa perempuan di pundaknya ma-sing-masing.
"Pasti di antara perempuan itu ada tiga orang da-yang kita,"
Lanjut Bong Mini.
"Ya. Ayo kita kejar mereka!"
Bongkap dan putrinya segera melompat dengan menggunakan ilmu peringan tubuh.
Sehingga gerakan mereka sedikit pun tidak menimbulkan suara.
Gera-kan keduanya begitu cepat, hanya menampakkan bayangan yang berkelebat.
Kemudian bayangan bapak dan anak atau Sepasang Pendekar dari Selatan terus menembus ke arah pepohonan hutan yang lebat, di mana orang-orang bertopeng tadi melarikan beberapa wanita.
Walaupun mereka sudah mencapai tempat yang agak jauh untuk mencari orang-orang bertopeng, tapi Sepasang Pendekar dari Selatan itu tak mendapatkan para buruan yang dicari.
Mereka kehilangan jejak karena tersapu kegelapan malam.
Juga karena orang-orang bertopeng itu menggunakan ilmu peringan tu-buh yang cukup sempurna dalam melarikan mang-sanya.
Dengan lesu dan menyesal, Bongkap dan Bong Mini melangkah meninggalkan hutan yang pekat itu untuk kembali ke markas Partai Persatuan Ular Hitam.
*** Di markas Partai Persatuan Ular Hitam, pertempu-ran sudah surut.
Pasukan, baik dari Partai Persatuan Ular Hitam maupun dari Perguruan Topeng Hitam telah banyak yang mati dengan tubuh berlumur darah.
Hanya kedua pemimpin mereka yang masih alot.
Ber-tempur dengan mengerahkan kepandaian tarung mas-ing-masing.
"Hiaaat, mampuslah kau!"
Bentak Yang Seng.
Tu-buhnya melayang dengan cepat ke arah lawan, disertai acungan pedangnya.
Melihat lawan bergerak demikian cepat, pemimpin pasukan bertopeng segera mengelak sambil membalas dengan totokan tangan kiri menuju ke pergelangan tangan Yang Seng yang memegang pedang.
Tapi de-ngan cepat pula Yang Seng menarik kembali pedang-nya dan melanjutkan serangan secara bertubi-tubi dengan jurus-jurus pilihannya.
Ilmu permainan pedang yang hampir dikuasai sepenuhnya berkelebat begitu cepat kian kemari, menyambar-nyambar tubuh lawan.
Karena cepatnya, pedang Yang Seng yang berkelebat itu hampir tak terjangkau oleh pandangan manusia biasa.
Seolah-olah hanya tangannya saja yang bergerak.
Melihat ketangkasan lawan, pemimpin pasukan ber-topeng itu tidak ingin memandang rendah lawannya.
Walaupun ia sendiri dengan mudah dapat menghindari setiap serangan lawan.
Wuttt! Plak! Plak! "Aduh!"
Yang Seng terlempar ke samping, lalu jatuh bergu-lingan di tanah.
Pundaknya terasa remuk terkena tamparan tangan lawannya.
Jadi, ketika dia menyerang dari kiri, mendadak lawannya sudah mencengkeram rambutnya yang agak panjang lantas menyentakkan sedemikian rupa sehingga tusukan pedangnya menye-leweng.
Tubuhnya menjadi miring.
Sebelum ia sempat memperbaiki posisi tubuh, pundaknya telah terkena tamparan yang membuat tubuhnya terguling.
Dengan cepat ia bangun kembali untuk melakukan serangan.
Tapi belum sempat kakinya berpijak dengan kokoh, pedang tipis yang memancarkan sinar merah kembali mengancam.
Singngng...! Singngng...! Siuttt...! Yang Seng terpaksa mengerahkan seluruh ilmu pe-ringan tubuhnya untuk mengelak dengan berloncatan ke sana-sini.
Kemudian gerakan itu dipercepat kembali ketika melihat musuhnya terus menerjang tanpa mem-berinya kesempatan sedikit pun untuk melakukan per-lawanan.
Pertandingan kali ini memang merupakan pertandi-ngan yang hebat luar biasa.
Keduanya kali ini merasakan perlawanan yang menguras seluruh tenaga dan ilmu masing-masing.
"Hiyyy, mampus kau!"
Tubuh pemimpin pasukan bertopeng itu cepat melayang ke arah Yang Seng seper-ti seekor elang menyambar mangsa.
Deg! Deg! Dua totokan tangan pemimpin pasukan bertopeng mendarat di leher dan punggung Yang Seng.
Seketika itu juga tubuhnya terkulai lemas.
Sedangkan pedang yang digenggamnya terlepas ke tanah.
Serangan yang dilancarkan oleh pemimpin pasukan bertopeng itu memang merupakan serangan menotok untuk meng-hentikan peredaran darahnya.
Tubuh Yang Seng jatuh telentang tanpa daya.
Ha-nya kedua matanya saja yang berkedip-kedip.
Malam ini kematian benar-benar telah siap menjemput, pikirnya.
Oleh karena itu ketika lawannya datang mendekat dengan pedang di tangannya, Yang Seng pasrah.
Ia sudah tidak dapat melakukan apa pun untuk meng-hindar dari mata pedang pemimpin pasukan bertopeng yang bisa saja mencincang tubuhnya.
Di lain pihak, pemimpin pasukan bertopeng tidak ingin mempercepat kematian lawannya.
Ia menyadari kehebatan dan ketangguhan lawan yang bisa diandal-kan untuk membantu rencana-rencana Perguruan To-peng Hitam.
Oleh karena itu ketika mendekat, ia sege-ra berkata kepada lawannya.
"Karena aku telah melihat kepandaian dan ketang-guhanmu, maka aku memberikan dua pilihan kepada-mu; hidup atau mati. Jika kamu masih menginginkan hidup, aku akan membebaskan totokan itu asal kau bersedia menjadi pengikut Perguruan Topeng Hitam yang dipimpin oleh Kidarga dan Nyi Genit. Tapi kalau tidak, malam ini juga pedangku ini akan mencincang-cincang tubuhmu!"
Tuturnya memberikan pilihan ke-pada Yang Seng.
Mendapat kesempatan itu, girang bukan main hati Yang Seng.
Pikirnya, walaupun ia belum mengetahui secara persis tentang kegiatan Perguruan Topeng Hi-tam, ia yakin kegiatan itu akan menguntungkan diri-nya.
Sekalipun kegiatan itu bersifat buruk.
Bukankah ia sendiri selama ini melakukan tindakan perampokan dan kejahatan lainnya? Maka ketika mendapat pilihan itu, ia segera menyahut untuk memilih yang pertama.
"Aku bersedia menjadi pengikut Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Yang Seng lemah karena masih dipenga-ruhi oleh totokan yang dilancarkan lawan. Mendengar jawaban itu, pemimpin pasukan berto-peng mengembangkan senyumnya. Lalu dia pun ber-jongkok di depan tubuh Yang Seng yang masih terba-ring di tanah.
"Telungkupkan badanmu!"
Perintahnya.
Yang Seng mencoba menggerakkan tubuhnya.
Na-mun sia-sia karena tubuhnya terlalu lemah, tanpa kekuatan untuk bergerak sama sekali.
Akhirnya pemim-pin pasukan bertopeng itu turut membantu menelung-kupkan badannya.
Kemudian ia pun membebaskan pengaruh totokan yang menghentikan jalan darah Yang Seng dengan cara merapatkan kedua telapak tangannya di punggung Yang Seng disertai penyaluran hawa murni.
Setelah beberapa saat kedua telapak tangan itu me-lekat di punggungnya, Yang Seng merasakan sekujur tubuhnya dingin.
Lalu perlahan tubuhnya menjadi se-gar.
Tanpa ia sadari, tubuhnya yang tadi lemah tiada daya, kembali dapat digerakkan seperti semula.
Yang Seng girang bukan main merasakan tubuhnya segar kembali.
Dengan wajah gembira, ia bersujud di hadapan pemimpin pasukan bertopeng "Terima kasih atas pertolonganmu!"
Lelaki bertopeng di hadapannya tersenyum angkuh seraya berdiri.
"Siapa namamu?"
Tanyanya pada Yang Seng.
"Namaku Yang Seng!"
Sahut Yang Seng sambil ber-diri.
"Nah, Yang Seng. Sekarang ikutlah kau ke Pergu-ruan Topeng Hitam. Akan kuperkenalkan kau pada pemimpin kami!"
Ajak pemimpin pasukan orang berto-peng.
Lalu tubuhnya segera melesat pergi meninggal-kan markas Partai Persatuan Ular Hitam yang porak-poranda.
Diikuti oleh Yang Seng.
Mereka melayang cepat di udara bagai dua burung malam yang menembus kegelapan.
Bersamaan dengan hilangnya kedua tubuh lelaki itu, muncul Sepasang Pendekar dari Selatan dari balik kegelapan.
Mereka berdiri di muka pintu gerbang.
Tentu saja mereka adalah Bongkap dan Bong Mini yang baru sampai di markas Yang Seng atau Partai Persa-tuan Ular Hitam.
"Kita terlambat, Papa!"
Ucap Bong Mini ketika ma-tanya tak melihat lagi orang-orang yang bertempur.
"Ya. Tapi dari mayat-mayat yang berserakan ini kita dapat melihat siapa yang kalah,"
Sahut Bongkap dengan mata yang terus meneliti ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Orang-orang Persatuan Ular Hitam telah dikalah-kan oleh orang-orang bertopeng itu,"
Ungkap Bongkap setelah lama meneliti mayat-mayat itu satu persatu.
"Bagaimana Papa bisa memastikan itu?"
Tanya Bong Mini, agak heran.
"Dari mayat-mayat yang kuperiksa, tak kulihat tu-buh Yang Seng atau pemimpin pasukan bertopeng itu!"
Sahut Bongkap.
"Mungkin salah satu di antara mereka melarikan di-ri, Papa."
Bong Mini memberikan pendapat lain.
"Mungkin juga. Tapi bisa pula Yang Seng yang ka-lah, lalu diajak berkomplot dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam."
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Kalau perkiraan Papa itu benar, berarti Perguruan Topeng Hitam akan semakin kuat dan merajalela,"
Ka-ta Bong Mini dengan suara yang mengandung ke-khawatiran.
"Pendapatmu benar. Dan kita harus cepat-cepat mencegahnya sebelum korban bertambah di pihak rak-yat jelata!"
Ucap Bongkap sama khawatirnya.
"Tapi dengan jumlah kita yang hanya beberapa orang tak mungkin dapat mengalahkan mereka!"
Kilah Bong Mini merasa yakin kalau untuk sekarang ini me-reka tidak akan mampu mengalahkan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Apalagi pemimpinnya.
Bongkap mengangguk perlahan, membenarkan pen-dapat putrinya.
Sedangkan sampai saat ini mereka belum mendapatkan para pendekar yang mau bergabung untuk menentang kebiadaban orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Malah sebaliknya, banyak pendekar aliran putih yang tidak mau menanggung resiko akhirnya berkomplot dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Kita harus terus berusaha menghubungi para pen-dekar yang mau bergabung dengan kita,"
Kata Bong-kap akhirnya.
"Apa bisa kita mendapatkan orang-orang yang kita harapkan itu? Sudah lama kita berusaha mencari, tapi sampai sekarang kita belum menemukan juga,"
Keluh Bong Mini pesimis.
"Selama ini kita tidak sungguh-sungguh mencari mereka, Putriku. Karena setiap perjalanan kita selalu terhalang oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam atau orang-orang Ular Hitam."
Bong Mini terdiam.
Hatinya mengakui bahwa sela-ma ini mereka memang belum sepenuhnya mencari para pendekar.
Sebab setiap kali hendak melaksana-kan tujuan itu selalu bentrok dengan orang-orang Ular Hitam atau Perguruan Topeng Hitam.
Setelah meneliti keadaan sekeliling markas Partai Persatuan Ular Hitam yang sudah berantakan, Bong-kap dan Bong Mini segera keluar melanjutkan perjalanan kembali.
Kali ini, perjalanan mereka untuk menca-ri ketiga dayangnya dibatalkan.
Karena mereka yakin tak akan mampu berhadapan dengan orang-orang bertopeng yang jumlahnya tak terbilang.
Karena itu mere-ka berbalik arah menuju Desa Padomorang, di mana sahabat baru Bongkap, Prabu Jalatunda tinggal.
*** Sementara itu, di lain tempat, empat orang keper-cayaan Bongkap dan lima anak buah Prabu Jalatunda yang dipercaya untuk mengawal kereta barang tengah sibuk pula dengan puluhan orang-orang bertopeng yang menghadang untuk mengadakan perampokan.
Ashiong, Achen, Sang Piao dan A Ing, berusaha mengerahkan semua jurus-jurusnya untuk menja-tuhkan para penyerang.
Trang! Trang! Trang! Benturan senjata kedua belah pihak menimbulkan suara yang sangat nyaring.
Sehingga pijar-pijar api jelas terlihat dalam kegelapan malam itu.
"Hiaaat..., mampus!"
"Eit, nggak kena!"
Elak Sang Piao dengan membung-kukkan badannya sambil melakukan serangan bala-san.
Bret! Pedang Sang Piao yang diarahkan ke kaki lawan te-pat mengenai sasaran.
Dalam sekejap mata kaki itu mengatung-ngatung hendak putus.
Lelaki bertopeng yang terkena babatan pedang Sang Piao itu hilang keseimbangannya dan roboh.
Pada ke-sempatan itu Sang Piao menjejakkan kakinya ke dada lawan hingga muntah darah.
Lawannya mengerang-ngerang sebentar, lalu mati dengan lidah menjulur keluar.
Sedangkan kedua matanya melotot mengerikan.
Semua itu terlihat jelas oleh Sang Piao karena ia sempat menyambar topeng hitam yang dikenakan lawan-nya.
Ia ingin mengetahui wajah orang bertopeng itu.
Tapi sebelum ia meneliti lebih jauh lagi, sebuah serangan mendadak melesat ke arahnya.
Sret! Bahu Sang Piao terkena goresan ujung pedang la-wan.
"Bangsat!"
Teriak Sang Piao melihat darah keluar dari bahunya.
Lalu ia membalas serangan lawan de-ngan menggunakan jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Pe-dangnya diputar-putar dengan kencang bagai baling-baling kapal.
Lalu diarahkan kepada lawannya.
Siuttt! Dengan kecepatan yang sulit dijangkau pandangan, pedang yang dilempar Sang Piao menembus dada la-wannya.
Blep! Lawannya jatuh menggeliat-geliat di tanah, lalu am-bruk tak berkutik lagi.
Dengan penuh rasa puas, Sang Piao mencabut kembali pedangnya yang menembus perut lawan.
Ke-mudian tubuhnya melenting ke dalam kancah pertem-puran teman-temannya yang mati-matian memperta-hankan nyawa.
Sementara itu Ashiong bersalto menghindari sera-ngan lawan yang begitu gencar.
Kemudian dia berdiri lagi dengan mengerahkan ilmu tenaga dalamnya.
"Hiaaat...!"
Bug! Bug! Bug! Dua tendangan kakinya yang dahsyat karena dialiri ilmu tenaga dalam itu membentur dada dua lawannya hingga terpental jatuh disertai cairan merah yang ter-sembur dari mulut mereka.
Sedangkan kedua ta-ngannya berhasil mencekal kedua kepala lawan lain lalu mengadukannya, hingga kedua batok kepalanya itu pecah dengan otak berhamburan.
Pertempuran antara pengawal kereta barang dengan perampok bertopeng tak berlangsung lama.
Empat di antara lima anak buah Prabu Jalatunda mati tertikam pedang.
Sedangkan di pihak lawan beberapa orang menerima ajal amat mengerikan.
Ada yang kepalanya pecah, ada yang perutnya robek dengan isi perut ter-burai keluar dan masih banyak lagi yang mengalami kematian yang mengerikan.
Empat orang perampok bertopeng yang masih hidup segera mengambil langkah seribu untuk menyela-matkan diri dari hujaman pedang lawan yang sangat dahsyat.
Mereka merasa tidak mampu lagi untuk ber-tempur, apalagi untuk melawan empat anak buah Bongkap.
"Ayo, lanjutkan perjalanan pulang kita!"
Ajak Ashi-ong.
Dengan gerakan sigap ia melompat ke punggung kuda dan menarik tali kekangnya.
Seperti halnya setiap peperangan, serakan mayat selalu menjadi saksi bisu atas ketamakan manusia dalam hidup.
Anyir darah, lalat-lalat, burung-burung pemakan bangkai tetap ingin mewarnai peristiwa yang terlewat dalam catatan kebuasan manusia terhadap yang lain.
*** Bukit Setan merupakan satu bukit yang amat ang-ker.
Pepohonan besar tumbuh lebat mengapit setiap jalan serta jurang-jurang yang ada di sekitarnya.
Membuat Bukit Setan menyerupai hutan belantara.
Apabila temaram merambah, suasana di sekitar bu-kit itu menjadi sepi dan gelap pekat.
Cahaya purnama pun tidak sanggup menembus karena terhalang oleh lebatnya pepohonan.
Karena kegelapan yang meng-hampar bagai bayangan segerombol makhluk raksasa, tidak ada orang yang berani melewati jalan di bukit itu.
Bahkan waktu siang pun hanya beberapa kendaraan berkuda saja yang melintas.
Selebihnya hanya kelen-gangan dan kesunyian yang mencekam jalan itu.
Di sebelah selatan bukit itu terdapat sebuah goa be-sar yang cukup luas sehingga bisa menampung ratu-san orang.
Di dalam goa itu banyak tulang-belulang manusia berserakan.
Biasanya serakan kerangka ma-nusia itu berawal dari orang-orang yang tersesat.
Mereka masuk untuk istirahat beberapa hari di dalam goa.
Namun pada malam harinya, orang-orang itu di-cabik-cabik oleh binatang buas yang ada di sekitar tempat itu.
Kebetulan goa itu adalah sarang berbagai macam binatang liar.
Goa Setan yang dulu terkenal angker, saat itu ber-ubah menjadi ramai.
Puluhan tokoh sakti banyak yang datang ke sana dan tinggal menetap di Goa Setan.
Kebanyakan orang-orang yang tinggal di situ merupakan tokoh golongan hitam yang datang dari berbagai daerah.
Mereka bersatu untuk membentuk sebuah pergu-ruan yang diberi nama Perguruan Topeng Hitam.
Untuk menyesuaikan dengan nama perguruannya, maka seluruh anggotanya tidak diperkenankan mema-kai pakaian yang berwarna lain.
Semuanya harus ber-pakaian hitam-hitam.
Begitu pula bila keluar rumah, mereka tidak diperbolehkan menampakkan wajah, kecuali pada waktu siang hari.
Bila hendak melakukan aksinya, walaupun siang harus mengenakan kedok yang terbuat dari lapisan kain hitam.
Hanya pada bagian mata saja yang diberi lubang agar dapat melihat.
Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh pasangan suami istri bernama Kidarga dan Nyi Genit.
Mereka sebenarnya berasal dari Desa Larangan.
Tapi karena suatu peristiwa yang menyakitkan, keduanya pergi me-ninggalkan Desa Larangan dan bersembunyi di Goa Setan.
Di sana keduanya melakukan tapa selama sera-tus hari tanpa makan dan minum, bahkan tidak berge-rak sama sekali.
Hingga badan mereka kurus kering, persis manusia tengkorak.
Selesai bertapa selama seratus hari, Kidarga dan Nyi Genit langsung membentuk satu perguruan besar yang diberi nama Perguruan Topeng Hitam, sesuai pe-san seseorang yang datang dari alam gaib.
Pagi itu, Kidarga dan Nyi Genit sedang berada di dalam kamar.
Keduanya sama-sama terdiam.
Seolah-olah ada sesuatu yang sedang mereka pikirkan.
Kidarga menghela napas.
Ia bangkit dari ranjang.
Rambutnya yang panjang, kotor dan memutih dibiar-kannya tergerai bebas, menutupi sebagian wajahnya yang hitam gersang.
Sedangkan tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit, dibiarkan terbuka tanpa pakaian.
Hanya bagian bawahnya saja yang mengenakan ce-lana pangsi warna hitam.
"Ke mana orang-orang itu pergi?!"
Tanya Kidarga dengan suara yang agak serak. Sedangkan wajahnya menampakkan kekesalan.
"Mungkin mereka mendapat rintangan!"
Sahut Nyi Genit yang tetap duduk di sisi ranjang sambil menyisir rambutnya yang setengah beruban dan kumal itu.
Keadaan tubuhnya pun tak beda dengan Kidarga, hi-tam dan kurus.
Ia hanya mengenakan celana pangsi serta stagen sebagai penutup dadanya sampai sebatas pusar.
"Tiga orang yang kusuruh untuk mencari perem-puan muda belum datang, sekarang enam orang yang kusuruh untuk menyusulnya pun lenyap tiada kabar berita!"
Lanjut lelaki yang berusia kurang lebih enam puluh tahun itu dengan nada kesal.
Tiga orang yang dimaksud Kidarga ini tidak lain orang yang berperut gendut bersama dua orang berwa-jah hitam yang bertarung melawan Bong Mini.
Kemu-dian ketiga orang yang mencegat Bong Mini di tengah perjalanan itu berhasil dikalahkan, hingga lari tung-gang-langgang.
Sedang keenam lelaki yang disuruh menyusul mereka tidak lain orang yang mengikuti Pu-tri Bong Mini ketika baru keluar dari warung makan di Kota Girik.
Keenam lelaki itu dipimpin oleh seorang berpakaian putih dan rapi, yang semuanya dapat dikalahkan oleh sabetan-sabetan pedang Bong Mini.
Hing-ga akhirnya keenam lelaki itu tak berkutik tanpa nya-wa.
"Mungkin mereka melarikan diri dari perguruan kita karena merasa tidak betah,"
Lagi-lagi Nyi Genit berkata seperti menyabarkan.
"Mana mungkin, Nyi. Mereka itu adalah orang-orang patuh yang selalu menurut terhadap perintah kita. La-gi pula mereka sudah merasakan kenikmatan dunia yang ada di dalam perguruan kita!"
Sahut Kidarga, membantah perkiraan istrinya.
Keduanya kembali terdiam.
Mereka bermain dengan pikiran masing-masing.
Setelah beberapa saat suasana hening, Kidarga me-langkah menuju sudut kamar yang terdapat sebuah batu besar.
Kemudian tubuhnya membungkuk seperti mencari-cari sesuatu di balik batu besar itu.
Tak berapa lama ia kembali berdiri tegak sambil memegang dua botol berukuran sedang.
Satu botol yang digenggamnya diberikan kepada Nyi Genit, istrinya.
"Ramuan obatku sudah habis, Nyi!"
Ucap Kidarga saat memperhatikan isi botol yang tinggal sepertiganya.
"Ramuanku juga, Ki!"
Ucap Nyi Genit pula sambil memperhatikan isi botolnya sendiri.
"Paling ramuan ini hanya bisa diminum dua sampai tiga kali!"
Lanjut Nyi Genit.
Lalu ramuan obat itu segera diteguknya dengan kedua mata yang terpejam.
Seolah-olah merasakan kenikmatan yang ditimbulkan oleh ramuannya itu.
Apa yang dilakukan Nyi Genit, dilakukan pula oleh Kidarga.
Ketika mulut botol itu menjauh dari bibirnya, terlihatlah warna merah seperti darah segar menempel di sana.
Di saat keduanya sedang diliputi oleh keresahan, ti-ba-tiba terdengar suara seorang murid memanggil dari luar kamar.
"Guru! Guru!"
Kidarga segera melangkah menuju pintu kamar lalu membukanya.
"Ada apa?"
Tanya Kidarga. Sepasang mata cekung-nya yang merah menatap muridnya dengan tajam.
"Maaf, Guru! Saya ingin memberitahukan bahwa ti-ga murid yang diutus keluar dua hari yang lalu telah kembali!"
Lapor muridnya itu memberitahukan. Sedangkan tubuhnya terbungkuk-bungkuk sebagai tan-da hormat.
"Suruh mereka tunggu!"
Ujar Kidarga.
"Baik, Guru!"
Sahut muridnya. Lalu ia pun segera meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Kidarga kemba-li masuk ke dalam untuk mengambil baju kokonya yang berwarna hitam dan memakainya.
"Kita temui mereka, Nyai!"
Ajak Kidarga pada istri-nya yang juga tengah mengenakan baju.
"Baik, Ki!"
Sahut Nyi Genit seraya meraih tongkat berkepala ular naga.
Begitu pula dengan Kidarga.
Lalu keduanya beriringan menuju ruang depan.
Di ruang depan, kedua suami istri itu langsung me-mandang tajam pada ketiga anak buahnya.
Tiba-tiba saja mata mereka terbelalak kaget ketika menyaksikan anak buahnya yang berperut gendut.
"Ada apa dengan dia?"
Tanya Kidarga sambil terus memandang si gendut yang masih terkulai lemas aki-bat totokan Bong Mini.
"Ampun, Guru. Kami mengalami kegagalan!"
Ucap seorang dari mereka sambil bersujud hormat.
"Maksudmu?"
Tanya Kidarga dengan matanya yang mencorong.
"Ketika kami hendak membawa seorang gadis mu-ngil untuk Tuanku, tiba-tiba gadis itu mengadakan perlawanan. Ternyata dia bukan gadis biasa, boleh dikata seorang pendekar wanita,"
Cerita anak buahnya tadi, melaporkan pengalaman mereka ketika berhada-pan dengan Bong Mini.
"Terus?"
Desak Kidarga.
"Terpaksa kami bertiga bertempur untuk menakluk-kan gadis itu. Tapi rupanya dia mempunyai kepan-daian yang sangat tinggi, hingga pada satu kesempa-tan ia berhasil menotok jalan darah si gendut!"
"Setelah si gendut terkulai, kalian melarikan diri, begitu?"
Tanya Nyi Genit.
"Benar, Guru. Dia terlalu pandai!"
Sahut anak buahnya itu.
Mendengar jawaban muridnya seperti itu, tongkat berkepala ular naga yang sejak tadi digenggamnya kini terangkat.
Lalu ujung tongkat itu dihentakkan ke dada muridnya yang melapor.
Dalam sekejap darah mengucur dari mulutnya, akibat hentakan tongkat Nyi Genit yang demikian keras.
"Aaakh...!"
Pekiknya tertahan. Beberapa saat kemu-dian tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa daya. Melihat kejadian itu, tubuh temannya yang masih segar segera mengkeret. Dia merasa yakin kalau na-sibnya akan sama dengan temannya tadi.
"Kalian ternyata hanya menang tampang! Sedang-kan jiwa kalian jiwa pecundang!"
Setelah berkata begitu, ujung tongkat Nyi Genit kembali bergerak ke dada muridnya yang mengerut ketakutan.
Kali ini sentu-hannya terlihat amat pelan.
Namun akibat begitu he-bat.
Murid yang tersentuh ujung tongkat itu langsung jatuh lemas seperti orang yang terkuras habis tenaganya.
Melihat muridnya jatuh lemas, Nyi Genit tertawa cekikikan.
Mirip suara kuntilanak yang tengah meng-goda orang.
"Hi hi hi..., kalian berdua harus menyusul kematian temanmu itu. Tapi sebelum kurenggut nyawamu, aku akan lebih dulu mengisap darahmu. Lumayan, untuk melanggengkan kesaktianku!"
Seringai Nyi Genit sam-bil mendekati kedua tubuh yang masih terdiam lemah.
"Jangan, Guru! Jangan lakukan itu! Kasihanilah saya!"
Rengek seorang muridnya.
Tapi Nyi Genit sendiri sudah kebal dengan rengekan-rengekan semacam itu.
Tanpa peduli, jari-jari Nyi Genit segera mencengkeram leher seorang anak buahnya hingga lidahnya menjulur.
Kemudian lidah anak buahnya yang keluar itu lang-sung dikulum dengan mulutnya yang sudah peot itu.
Lelaki yang bibirnya dicium dengan dahsyat itu hanya dapat merintih dengan dua matanya mendelik karena menahan sakit.
Kemudian dari mulutnya itu keluar darah segar.
Karena lewat ciuman itu, Nyi Genit telah menggigit bibir dan lidah anak buahnya itu hingga pecah-pecah.
Lewat bibir dan lidah yang pecah-pecah itu, Nyi Genit mengisap darahnya dengan penuh nafsu.
Belum puas mendapatkan darah dari lidah dan bibir anak buahnya itu, Nyi Genit mengalihkan ci-umannya pada leher.
Seorang pengikut Perguruan Topeng Hitam yang di-isap darahnya itu meronta-ronta seperti seekor ayam yang disembelih.
Matanya melotot memandang ke arah teman-temannya seperti meminta tolong.
Lalu tubuh-nya kelihatan berkelojotan ketika Nyi Genit yang be-rumur enam puluh tahun itu mengisap darahnya lewat lehernya.
Urat-urat besar di lehernya ditembus oleh gi-gi runcing Nyi Genit.
Melihat nasib temannya, lelaki berperut gendut yang tubuhnya masih bersandar lemas menjadi terbe-lalak penuh kengerian.
Dan ia langsung mengira bah-wa nanti ia pun akan mendapat siksaan yang sama dari pemimpinnya.
Oleh karena itu, ia memejamkan kedua matanya kuat-kuat, tak tahan menyaksikan pemandangan yang mengerikan di depan hidungnya.
Kini, murid Perguruan Topeng Hitam yang darahnya diisap itu terlihat tak berdaya lagi.
Matanya yang tadi melotot, berubah menjadi meredup tanpa sinar.
Wajahnya makin pucat.
Lalu tubuh yang lemas itu perlahan-lahan meregang dari pelukan Nyi Genit dan am-bruk ke tanah.
Sedangkan Nyi Genit sendiri tampak tersenyum-senyum puas karena telah dapat menikmati darah anak buahnya.
Walaupun darah yang diisapnya hanya dapat melanggengkan kesaktiannya.
"Hi hi hi..., sekarang giliranmu, Gendut!"
Kata Nyi Genit seraya menghampiri lelaki gendut yang masih memejamkan kedua matanya karena ngeri.
Tubuh si gendut tidak bergeming.
Kedua matanya pun tidak berani dibuka.
Dia sudah memasrahkan di-rinya terhadap segala sesuatu yang akan terjadi.
Demikianlah, untuk yang kedua kalinya, Nyi Genit melakukan perbuatan keji itu, mengisap darah mang-sanya yang sudah tidak berdaya.
Itu dilakukan pada anak buahnya yang tidak becus dan bernyali kecil.
Oleh karena itu, bagi anak buahnya yang berpikir panjang, lebih baik mati di tangan musuh ketimbang ha-rus kembali ke markas perguruan yang pada akhirnya akan mati juga dengan cara yang lebih mengerikan.
Setelah puas mengisap darah kedua anak buahnya, Nyi Genit segera melangkah ke dalam dengan wajah berseri serta bibir tersenyum.
Sementara itu, Kidarga yang menyaksikan perbua-tan istrinya, turut tersenyum-senyum, memandangi ketiga mayat anak buahnya.
Sedangkan hatinya sen-diri iri.
Ingin menikmati darah sebanyak yang diisap istrinya.
Tapi ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena darah perawan yang dibutuhkan tidak ada.
Oleh karena itu, dia hanya bisa diam mendongkol.
"Lemparkan mayat-mayat itu ke jurang!"
Perintah Kidarga kepada anak buahnya yang ada di situ.
Tiga orang anak buahnya segera bergerak dan me-narik mayat temannya keluar goa.
Ketika sampai di luar goa, mereka membopongnya menuju jurang yang tak jauh dari situ.
Beberapa menit setelah ketiga mayat itu dibawa ke jurang Bukit Setan, tiba-tiba muncul sebelas orang bertopeng dengan membawa sepuluh wanita dan seo-rang laki-laki bermata sipit.
Mereka tidak lain orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang semalam menye-rang markas Partai Persatuan Ular Hitam di bawah pimpinan Yang Seng.
Adapun sepuluh wanita yang mereka bawa itu merupakan hasil dari penyerangan semalam.
Sedangkan lelaki bermata sipit itu tidak lain pemimpin Partai Persatuan Ular Hitam yang berhasil dikalahkan pemimpin pasukan orang bertopeng.
Setelah mereka sampai di markasnya, barulah me-reka membuka topeng yang selama dalam aksinya me-nyembunyikan wajah mereka.
Kini terlihatlah wajah asli mereka.
Wajah-wajah hitam pekat, kumal dengan sorot mata yang memancar tajam menakutkan.
Se-hingga memberi gambaran bahwa mereka adalah orang-orang bengis.
Terutama pemimpin pasukan yang mempunyai wajah hitam pekat dengan rambut kumal panjang yang dibiarkan tergerai sebatas bahu.
Sepa-sang matanya yang menjorok ke dalam memberikan kesan yang amat menyeramkan bagi siapa saja yang melihatnya.
Kemudian, setelah membuka topeng penu-tup wajahnya, kakinya terus melangkah ke dalam un-tuk menemui pemimpinnya, Kidarga "Saya menghadap, Guru!"
Ucap pimpinan pasukan itu seraya membungkuk hormat.
Kidarga yang baru saja duduk di kursi kebesa-rannya segera bangkit seraya menatap anak buahnya yang menghadap dengan pandangan mata tajam.
Se-dangkan tangan kanannya tak lepas memegang tong-kat sakti berkepala ular naga.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
Tanya Kidarga dingin. Namun kedua matanya tetap mencorong ke arah anak buahnya yang tengah berdiri menghormat.
"Beres, Guru. Malah hasilnya melebihi apa yang Guru perintahkan kepada kami!"
"Maksudmu?"
Kidarga maju dua langkah mende-kati.
"Rumah yang kami rampok itu ternyata sebuah markas perguruan yang bernama Partai Persatuan Ular Hitam. Dan di markas itu kami melakukan per-tempuran-pertempuran sengit. Tapi akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Bahkan pemimpin yang bernama Yang Seng menyatakan tunduk dan bersedia menjadi pengikut Perguruan Topeng Hitam!"
Lapor pe-mimpin pasukan, menceritakan pengalamannya. Kidarga tertawa terbahak-bahak mendengar penu-turan pengikutnya yang ditugaskan merampok. Ta-ngannya menepuk-nepuk pundak anak buahnya seba-gai tanda kagum.
"Kau memang hebat. Tidak sia-sia aku mengangkat-mu sebagai pemimpin pasukan!"
Puji Kidarga sambil terus tertawa.
"Terima kasih, Guru!"
Ucapnya. Bibirnya memperli-hatkan senyum bangga karena dipuji.
"Sekarang, aku akan melihat tampang Ketua Partai Persatuan Ular Hitam yang berhasil kamu kalahkan itu!"
"Baik, Guru. Saya akan mengantarnya!"
Katanya la-gi, seraya membuntuti langkah Kidarga. Sampai di luar goa, Kidarga meneliti orang-orang yang ada di depannya. Lalu pandangannya tertuju pa-da sepuluh wanita yang duduk ketakutan. Apalagi ke-tika ia melangkah mendekat.
Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah