Ceritasilat Novel Online

Iblis Pulau Neraka 1


Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Bagian 1


IBLIS PULAU NERAKA oleh D.

   Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Wajah bumi dihujani sengatan panas.

   Siang me-mang sudah demikian matang, membawa bola raksasa alam yang bersinar gencar ke puncaknya.

   Satwa pagi tidak lagi memperdengarkan senandungnya.

   Barang-kali mereka enggan terpanggang di hari yang tak bersahabat itu.

   Hanya terdengar desah angin panas yang menelusupi dedaunan kering.

   Di bawah pancaran sinar matahari yang menyengat itu, dua puluh orang berkuda tampak duduk gagah di punggung kuda masing-masing.

   Mereka mengelilingi dua orang gagah.

   Seorang lelaki setengah baya berpakaian pangsi warna hitam bernama Jaim.

   Dan seorang lagi pemuda tampan berpakaian terpelajar dengan warna kuning muda, sedangkan baju di bagian da-danya tampak lukisan naga emas yang amat indah.

   Dia bernama Khian Liong.

   Mereka berdua baru saja menghentikan pertempuran setelah mendengar deru dan ringkik kuda yang dipacu oleh kedua puluh orang yang mengepung.

   Lelaki setengah baya yang sebelumnya bertanding dengan pemuda tampan itu melangkah ke depan dan memberi hormat pada seorang penunggang kuda.

   Penunggang kuda yang berumur sekitar lima puluh tahun dan berwajah hitam beringas itu hanya meman-dang sekilas pada Jaim.

   Lalu sepasang matanya yang hitam kemerah-merahan beralih pada tiga mayat yang tergeletak di tanah.

   Setelah beberapa saat terpaku pa-da tiga mayat yang bersimbah darah itu, matanya me-mandang ke arah Khian Liong yang sejak tadi berdiri gagah di hadapannya.

   Kemudian mata itu beralih mengawasi lukisan naga emas di baju pemuda terse-but.

   "Siapa dia?"

   Tanya lelaki berjubah hitam seraya me-mandang Jaim. Suaranya besar dan pecah, sehingga terdengar berwibawa.

   "Dia seorang pemuda asing yang melakukan pem-bunuhan terhadap tiga temanku, Ketua!"

   Sahut Jaim yang ternyata anak buah lelaki berjubah hitam itu.

   "Hm...!"

   Gumam lelaki berjubah hitam seraya me-mandang pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada baju bagian dadanya itu.

   "Tangkap pemuda itu! Hidup atau mati!"

   Perintah lelaki berjubah hitam yang menjadi pemimpin pasukan berkuda itu.

   Mendapat perintah itu, Jaim dan lima belas pe-nunggang kuda langsung bergerak mengepung pemu-da tampan tersebut.

   Sedangkan pemimpin mereka ber-sama empat orang lain pergi memacu kudanya menuju rumah orang-tua Bong Mini yang dijadikan istana.

   Melihat musuhnya demikian banyak dan gagah-ga-gah, Khian Liong tampak gentar.

   Ia merasa tidak mam-pu melawan mereka yang mempunyai senjata lengkap.

   Jalan satu-satunya, ia harus melarikan diri agar tidak mati konyol.

   Namun untuk melarikan diri pun dia belum mempunyai kesempatan.

   Karena pasukan berku-da itu demikian ketat mengepung dirinya.

   "Majuuu...!"

   Teriak beberapa orang dari mereka yang dilanjutkan dengan acungan pedang ke arah pemuda yang dike-pung.

   Khian Liong sejak tadi berdiri terpaku memikirkan cara melarikan diri, segera menggerakkan pedangnya untuk melakukan tangkisan sabetan pedang lawan.

   Trang trang trang! Benturan senjata milik pemuda tampan dengan enam belas pengeroyoknya terdengar nyaring.

   Disertai pijar-pijar api yang memercik terang.

   Berbaur dengan teriakan-teriakan membahana dari pasukan berkuda.

   Pemuda tadi benar-benar kewalahan menghadapi serangan gencar para pengeroyoknya.

   Sehingga dalam menghadapi serangan itu ia hanya dapat menangkis dan mengelak dengan cara melompat, bersalto dan bergulingan tanpa mampu membalas serangan lawan.

   Di saat keadaan Khian Liong tersudut, tubuhnya membuat gerakan reflek yang tidak disadarinya.

   Hiat hiat hiat! Pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu melompat berputar sambil menyabet-nyabetkan pe-dang ke arah pengepungnya dengan kecepatan yang amat dahsyat.

   "Akh!"

   Dua lengkingan tertahan terlontar dari mulut pe-ngepungnya, disusul dengan robohnya dua orang dari mereka disertai darah yang mengucur dari leher yang nyaris putus tersayat pedang Khian Liong.

   Pasukan berkuda lain terlihat terkejut melihat dua temannya tewas akibat sabetan pedang lawan.

   Mereka tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu mam-pu melakukan perlawanan walau telah dikepung ketat.

   Ini menunjukkan kalau pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu memang seorang tangguh yang tak dapat dianggap ringan.

   Melihat para pengepungnya terpaku memandangi dua temannya yang tewas, Khian Liong segera meng-gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.

   Tubuh-nya melompat melewati kepala para pengepungnya.

   "Kejar dia! Bunuh!"

   Teriak beberapa orang yang me-lihat lawannya akan melarikan diri.

   Dan rekan mereka yang lain segera tersadar, Khian Liong yang hendak melarikan diri dari kepungan segera dikejar.

   Namun dengan tangkas pula pemuda itu melepas pukulan ja-rak jauh ke arah mereka yang hendak mencoba mena-han kepergiannya.

   Beberapa pengepung yang mencoba memburunya terhuyung terkena sambaran angin kencang yang ke-luar dari telapak tangan Khian Liong.

   Kemudian tubuh yang terkena sambaran angin itu terjungkal dari atas kudanya.

   "Kejar!"

   "Tangkap!"

   "Serang!"

   "Bunuh!"

   Teriakan-teriakan lantang keluar dari mulut mereka ketika mengetahui mangsanya lolos dari kepungan.

   Suara ringkik kuda dan deru langkah kakinya kembali terdengar ketika mengejar pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas.

   Pemuda yang baru saja melarikan diri tadi bukan-lah seorang pemuda biasa.

   Ia memiliki kepandaian il-mu silat yang cukup diandalkan.

   Bila pasukan berku-da itu melakukan perlawanan satu persatu, belum ten-tu mereka dapat mengalahkannya.

   Namun karena me-reka melakukan penyerangan secara keroyokan, maka pemuda itu berpikir lebih baik mengambil langkah seribu daripada harus melakukan perlawanan dan mati konyol.

   Melihat pasukan berkuda terus mengejar, Khian Liong segera mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.

   Dalam waktu sekejap tubuhnya sudah melesat di anta-ra rimbunnya pepohonan, jauh meninggalkan para pengejarnya.

   Walau begitu, para pengejar terus mem-buru dengan memacu kuda mereka lebih cepat lagi.

   *** Bong Mini masih terbaring bersama puluhan mayat yang tergeletak di antara reruntuhan rumahnya.

   Tam-paknya mayat-mayat itu sudah beberapa hari di sana.

   Terbukti dari banyaknya lalat yang menghinggapi serta bau busuk yang memenuhi udara.

   "Ah...!"

   Bong Mini mengeluh lemah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya yang memakan waktu cukup lama. Kemudian dicobanya untuk mengangkat kepala. Tapi ia hanya dapat menggerakkannya beberapa senti dari tanah.

   "Sudah berapa lama aku di sini?"

   Tanyanya berbisik.

   Bong Mini menurunkan kepalanya kembali.

   Ia be-lum mampu bertahan lebih lama untuk menegakkan kepala.

   Setelah beberapa saat dibaringkan di tanah, ia mencoba mengangkat kepalanya kembali.

   Pandangannya kini tertuju pada pintu gerbang yang terbuka.

   "Oh...!"

   Ia kembali mengeluh dengan wajah terkejut ketika matanya melihat mayat-mayat bersimbah darah kering yang bergelimpangan di sekitarnya.

   "Nafsu manusia benar-benar sudah gila. Manusia mereka anggap seperti hewan yang mudah disembelih tanpa rasa peri-kemanusiaan!"

   Kutuk Bong Mini samar.

   Bong Mini mencoba mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi dengan cara menekan kedua tangannya di tanah.

   Tapi tubuhnya seperti kehilangan tenaga sama sekali.

   Jangankan untuk mencoba bangkit, untuk mengusir lalat-lalat yang mendengung di sekitarnya pun tak dapat dilakukan.

   Rupanya aku sudah pingsan cukup lama, pikir Bong Mini sambil mencoba menggerak-gerakkan kedua pergelangan tangannya.

   Ketika menggerakkan kedua pergelangan tangannya, tiba-tiba ia merasa ada benda kecil yang menusuk bagian pinggulnya.

   Lalu tangannya merayap lemah di tanah untuk menjangkau ba-gian pinggulnya yang terasa sakit dari celah baju.

   Dengan tubuh yang masih terbaring lunglai, Bong Mini mencoba menarik dua benda kecil yang menusuk ping-gulnya.

   Hm..., jarum hitam beracun! Gumam Bong Mini da-lam hati, ketika matanya melihat benda yang tadi menusuk pinggulnya.

   Untunglah aku telah memiliki ilmu kekebalan tubuh.

   Kalau tidak, tentu jarum beracun ini akan menghabisi nyawaku! Lanjutnya sambil terus mengawasi ujung jarum berwarna hitam.

   Apa yang dikatakan Bong Mini memang benar.

   Wa-laupun jarum beracun itu mampu menembus tubuh-nya, tapi tidak akan menyebabkan kematian baginya.

   Sebab ia telah memiliki ilmu kekebalan tubuh yang diberikan oleh Kanjeng Rahmat Suci gurunya.

   Kecuali hanya mempengaruhi kekuatan tenaganya hingga le-mah seperti apa yang dirasakannya saat itu.

   Rupanya telah terjadi pertempuran dahsyat di ru-mahku ini! Kata Bong Mini dalam hati.

   Kemudian ia merebahkan kembali tubuhnya.

   Ia mulai memusatkan hati dan pikirannya sambil mengerahkan ilmu 'Batin Pengusir Racun'.

   Sebuah ilmu yang dapat mengusir racun dari dalam tubuh hanya dengan memusatkan pikiran dan hati pada racun dalam tubuh.

   "Hep!"

   Bong Mini menahan napasnya beberapa saat.

   Se-bentar kemudian, ia pun merasakan cairan yang agak kental keluar di sekitar pinggul yang terasa nyeri.

   Bong Mini kembali menyusupkan tangan kirinya ke celah baju untuk mengetahui cairan apa yang keluar dari lubang bekas tusukan jarum hitam beracun itu.

   Ia menghela napas lega ketika melihat cairan kental kehijau-hijauan menempel pada tangan kiri yang dipakai untuk meraba tadi.

   "Syukurlah. Racun ini telah keluar dari dalam tu-buhku!"

   Desah Bong Mini sambil membersihkan cairan racun yang seperti getah pada rumput di dekatnya.

   Saat racun itu menempel pada rumput, rumput yang semula hijau segar berubah menguning dan mati.

   Bayangkan! Bagaimana kalau racun itu masuk ke da-lam tubuh yang tidak memiliki kekebalan? Tentu akan mengalami nasib seperti rumput-rumput itu.

   Di cakrawala, awan gelap tampak bergerombol me-ngerikan, menutupi seluruh permukaan langit.

   Mem-buat alam di sekitarnya menjadi gelap, walaupun hari belum petang benar.

   Petir mulai menyalak amat keras, menggetarkan bu-mi tempat gadis mungil itu berbaring.

   Disusul dengan butiran-butiran air hujan yang menimpa mayat-mayat serta tubuh sang gadis berumur delapan belas tahun itu.

   Mendapat siraman rintik hujan, hati Bong Mini menjadi gembira.

   Ia menengadahkan kepalanya seraya membuka mulut agar air hujan yang turun rintik-rin-tik itu membasahi tenggorokannya yang kering.

   Tubuh Bong Mini berangsur segar ketika tetesan air hujan dapat diteguk hingga sedikit mengusir haus yang menggelantung di kerongkongannya.

   Baru beberapa detik ia menengadahkan kepala, me-nikmati butiran-butiran air hujan yang sejuk, tiba-tiba ia merasakan bumi menderam seperti ledakan kawah gunung.

   Lewat matanya yang masih kuyu, ia melihat pusaran angin sedang melaju mendekatinya.

   Disusul dengan barisan penunggang kuda yang meluncur ke arahnya.

   "Pasukan berkuda!"

   Desis Bong Mini ketika melihat sekelompok orang berkuda keluar dari dalam rumah-nya.

   Dengan serta-merta ditelungkupkan kembali wa-jahnya ke tanah.

   Dalam sekejap mata pasukan ber-kuda itu telah melewati mayat-mayat yang berserakan dengan angkuh.

   Bong Mini berbaring menelungkup dengan kedua mata terpejam.

   Hatinya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dirinya tidak terinjak-injak oleh puluhan kaki kuda seperti yang dialami mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

   Harapan Bong Mini terka-bul.

   Langkah kuda itu hanya melewati tubuhnya bebe-rapa senti.

   Kemudian semuanya berlalu.

   Untuk beberapa saat tubuh Bong Mini masih ter-diam kaku dengan kedua mata terpejam.

   Ketika kedua telinganya tidak mendengar lagi derap kaki kuda, barulah ia membuka matanya perlahan-lahan.

   Digerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya, seakan ia tak percaya kalau tubuhnya tidak terluka.

   Padahal lang-kah-langkah kaki kuda itu terasa begitu dekat menjejak di antara tubuhnya.

   Gadis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat yang sudah lusuh terkena debu itu kembali mengang-kat kepalanya.

   Kemudian dengan susah-payah ia men-coba bangkit lalu melangkah terhuyung-huyung menu-ju rumahnya yang tinggal serakan puing.

   Sampai di ruang tengah reruntuhan rumah itu, ia berdiri termangu menyaksikan keadaan kamarnya yang tak berbentuk lagi.

   Bahkan tempat tidur dan seluruh isi kamar itu tertimbun oleh puing-puing.

   Perang, desah Bong Mini dalam hati.

   Rumah Ini te-lah menjadi ajang pertempuran! Pada saat itu, bayangan wajah papanya dan pendu-duk desa di sekitar tempat tersebut mengambang di pelupuk matanya.

   "Papa, di mana kau? Apakah kau sudah mati?"

   Ucap Bong Mini dengan rona wajah sedih.

   Telaga be-ning di matanya yang selama ini kering mendadak me-luap kembali.

   Kemudian air telaga itu pelan-pelan ber-gulir menuju dua pipinya yang kotor oleh debu dari celah-celah bulu matanya.

   Mama, apakah tempat tinggalmu juga telah runtuh seperti ini? Tiba-tiba ia teringat makam mamanya yang terletak di sebelah rumahnya.

   Kemudian kakinya melangkah terhuyung ke tempat pembaringan terakhir tubuh mamanya.

   Dan sampai di sana, matanya meli-hat tembok makam mamanya sudah tidak utuh lagi.

   Bagian nisan telah hancur.

   Hanya sepotong tembok sa-ja yang terlihat masih utuh.

   "Oh, Mama! Rumahmu telah dihancurkan orang. Sungguh biadab mereka!"

   Keluh Bong Mini terisak se-raya merangkul tembok makam yang tinggal sepotong.

   Kemudian, mendadak ia tercekat, melepaskan pelu-kannya pada makam.

   Benaknya teringat oleh pasukan berkuda yang tadi melintasinya.

   Wajah yang semula sedih berubah merah merona dan tegang.

   Pasti anjing-anjing berkuda itu yang telah menye-rang orang-orang papa! Geram Bong Mini dalam hati disertai sepasang matanya yang berkilat-kilat.

   "Bong Mini!"

   Tiba-tiba salah satu mayat yang tidak jauh darinya mengangkat kepala dan memanggilnya dengan suara parau.

   Bayang-bayang dalam kepala Bong Mini menghilang seketika.

   Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya mere-mang.

   Hatinya berdetak ciut mendengar teguran parau itu.

   Namun ia tetap memberanikan diri untuk menoleh ke arah suara yang memanggil.

   "Aowww!"

   Bong Mini menjerit.

   Mukanya ditutup ce-pat ketika melihat seraut wajah pucat yang banyak di-lumuri darah kering dengan tangan kiri buntung.

   Se-hingga ia tidak mengenali benar siapa orang itu.

   Apa-lagi ia hanya melihat sekilas karena dicekam rasa takut terlebih dahulu.

   "Bong Mini, jangan takut!"

   Kata lelaki setengah baya yang berusaha mengangkat kepalanya itu. Suaranya terdengar parau.

   "Pandanglah aku lekat-lekat. Apakah kau masih mengenaliku?"

   Bong Mini menurunkan kedua tangannya perlahan.

   Dengan kedua mata yang masih terpejam, ia mencoba menarik napas berkali-kali untuk menenangkan pera-saannya yang masih diliputi keresahan.

   Kemudian se-telah merasa keberaniannya tumbuh kembali, ia me-malingkan wajahnya lagi dan menatap laki-laki tadi.

   "Papa, kaukah itu?"

   Desah Bong Mini agak keras. Karena suaranya kalah oleh rintik-rintik hujan.

   "Ya. Aku Bongkap. Papamu!"

   Suara lelaki itu mem-benarkan.

   "Kau...? Kau masih hidup?"

   Tanya Bong Mini hampir tak percaya. Karena di sekelilingnya bergelimpangan mayat-mayat yang menyebarkan bau busuk.

   "Ya, Sayang. Aku masih hidup!"

   Sahut Bongkap dengan suara yang lemah.

   Kemudian ia merangkak, me-nyeret tubuhnya dengan susah-payah.

   Bong Mini pun mencoba bangkit mendekati papanya dengan langkah yang masih terhuyung.

   Kemudian ia terduduk sambil menggenggam tangan papanya yang tinggal sebelah itu.

   "Aku tidak percaya kalau kau masih hidup!"

   "Mana bisa aku mati!"

   Sahut Bongkap pongah. Ke-mudian tubuhnya rebah kembali di atas tanah dengan wajah meringis menahan sakit.

   "Aku tidak mau mati sebelum kejahatan sirna dari negeri Selat Malaka ini!"

   "Ya. Dan sekarang ini hanya Papa yang bisa sela-mat!"

   "Tapi aku belum bisa berdiri!"

   "Aku akan bantu, Papa. Mari kita pergi dari sini!"

   Ajak Bong Mini sambil berusaha membangkitkan tu-buh Bongkap agar dapat berdiri.

   Tapi baru saja ia menarik lengan kanan papanya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda.

   Semakin lama suara itu terdengar semakin jelas.

   Seolah-olah tengah menuju mereka ber-dua.

   Ketika derap langkah kuda itu semakin dekat, Bong Mini melihat pasukan berkuda tadi.

   Segera direbahkan tubuhnya di antara mayat-mayat yang berge-limpangan.

   Di antara serakan mayat, Bong Mini membuka ke-dua matanya sedikit untuk mengetahui orang-orang berkuda itu.

   Pasukan berkuda itu menghentikan kudanya di te-ngah-tengah mayat yang bergelimpangan.

   Mata mereka menyebar ke seluruh reruntuhan rumah.

   "Tidak ada yang mencurigakan!"

   Ucap seorang di antara mereka ketika melihat tidak ada orang selain mereka di sekitar reruntuhan rumah.

   "Ya. Kita segera kembali saja ke markas!"

   Sahut te-mannya yang lain sambil sesekali memandang mayat-mayat yang telah menyebarkan bau busuk.

   Tidak lama kemudian pasukan berkuda itu segera menarik tali kekang kudanya dan memacu dengan cepat.

   Pasukan berkuda tadi tidak lain orang-orang yang melakukan pengeroyokan terhadap Khian Liong.

   Me-reka datang ke reruntuhan rumah itu tidak lain hen-dak meneliti keadaan sekeliling.

   Khawatir ada orang lain di sekitar tempat itu seperti pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas tadi.

   Ketika yakin tidak ada orang yang mencurigakan, barulah mereka pergi menuju markasnya.

   "Kita selamat!"

   Bisik Bong Mini pada papanya ketika mengetahui pasukan berkuda tadi telah lenyap.

   De-ngan susah-payah, ia kembali membantu Bongkap un-tuk dapat berdiri.

   Setelah papanya dapat bangkit, keduanya pun melangkah perlahan melintasi mayat-mayat yang berserakan bersama puing-puing.

   *** Awan hitam yang semula bergayut tebal di cakra-wala, bergerak lambat menuju utara.

   Langit yang mendung, perlahan-lahan terang kembali, meski sore itu matahari telah berada di ujung sebelah barat.

   Sesaat lagi, tentunya matahari akan lenyap pula oleh kegelapan malam yang menjemputnya.

   Walaupun dengan tenaga setengah terkuras dan langkah terhuyung-huyung, akhirnya Bong Mini dan Bongkap berhasil melintasi mayat-mayat yang berge-limpangan.

   Kini mereka berada di sebuah semak-se-mak terlindung yang masih berada dalam lingkungan rumah tersebut.

   "Papa tinggal di sini dulu sebentar!"

   Kata Bong Mini sambil membantu menyandarkan tubuh Bongkap di sebuah pohon.

   "Mau ke mana?"

   Tanya Bongkap parau.

   "Aku akan menguburkan mayat-mayat itu!"

   Bong Mini menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelim-pangan.

   "Kenapa kau menyia-nyiakan waktu hanya mengu-rus mayat-mayat itu, Putriku?"

   Tanya Bongkap dengan wajah keheranan.

   "Justru aku tidak dapat pergi meninggalkan tempat ini sebelum dapat mengubur semua mayat-mayat itu,"

   Sahut Bong Mini.

   "Kalau aku melarang dan memaksamu untuk terus meninggalkan tempat ini?"

   Pancing Bongkap. Bong Mini mengembangkan senyumnya.

   "Aku tahu siapa Papa. Papa tidak mungkin akan berbuat seperti itu. Kalaupun Papa benar-benar mela-rangku untuk mengubur mayat-mayat itu, terpaksa aku membangkangnya!"

   Bongkap terbelalak mendengar ucapan putrinya yang baru ditemuinya itu. Dia tidak menyangka sete-lah kurang lebih dua tahun tidak bertemu, putrinya telah memiliki pendirian sekokoh batu karang.

   "Sudah dua tahun kita tidak saling bertemu. Sekali bertemu kau sudah pandai membangkang. Siapa yang mengajarimu, heh?"

   Tanya Bongkap pura-pura marah.

   "Aku memang anak Papa yang wajib mengikuti se-gala kehendak Papa. Tapi bukan berarti aku harus menjadi seekor bebek yang menurut ke sana-sini. An-dai aku mengikuti kehendak Papa yang tidak benar, sama artinya Papa menyeretku ke dalam kesesatan,"

   Dalih Bong Mini, mengemukakan pendapatnya dengan suara tegas tanpa ragu-ragu.

   Tapi sikapnya tetap hormat, sebagaimana anak terhadap orang-tua.

   Sepintas lalu, ucapan Bong Mini itu memang ku-rang ajar.

   Tetapi karena di balik ucapannya itu menyimpan satu kebenaran, maka Bongkap bukannya marah, malah jadi terkagum-kagum terhadap putrinya.

   "Kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, laksa-nakanlah!"

   "Terima kasih, Papa!"

   Ucap Bong Mini.

   Sesungguh-nya ia sendiri sudah tahu bahwa ucapan dan kemara-han papanya itu hanya sebagai pancingan belaka.

   Kaki Bong Mini melangkah menuju tempat mayat-mayat tergeletak.

   Satu persatu tubuh tanpa nyawa itu dikumpulkan.

   Setelah berkumpul semua, baru ia menggali tanah dengan menggunakan sebilah pedang milik salah satu mayat.

   Aneh! Kalau tadi ia merasakan tubuhnya lemah, bahkan ketika membantu papanya berjalan ia hampir saja jatuh, tapi ketika ia mengumpulkan mayat-mayat dan mulai menggali lubang untuk makam mereka, tubuhnya tidak merasa letih sedikit pun.

   Malah semakin ia bersemangat, semakin bertambah pula tenaganya.

   Bongkap yang duduk bersandar di bawah sebuah pohon menyaksikan putrinya sedang bekerja keras menggali tanah dengan tatapan mata yang takjub.

   Sungguh tak sia-sia aku merawat, menyayangi dan mendidiknya.

   Karena dia sekarang telah tumbuh men-jadi seorang gadis remaja yang mempunyai pendirian yang kuat.

   Sungguh aku bangga terhadap putriku sendiri! Gumam hati Bongkap sambil terus meman-dang putrinya yang masih bekerja keras menggali ta-nah.

   Tanpa merasakan letih sedikit pun, Bong Mini terus menggali tanah.

   Tapi karena usaha penggaliannya ma-sih terlalu lama untuk mencapai kedalaman yang di-harapkan, ia pun menjadi tidak sabar.

   Lalu ia meng-ambil pedangnya sendiri dan mulai menggali tanah lagi dengan dua pedang.

   Ketika ia hendak menggerakkan Pedang Teratai Merahnya, tiba-tiba pedang itu lepas dari genggaman Bong Mini.

   Kemudian ia bergerak sendiri untuk menggali tanah dengan kecepatan yang luar biasa.

   Saking cepatnya hingga menimbulkan angin kencang di sekitarnya, membuat tanah galian itu ber-hamburan lalu menumpuk di sekitar mulut lubang yang sudah tergali dalam.

   Melihat kejadian pedang itu, bukan saja Bong Mini yang merasa takjub, Bongkap pun terbelalak kaget! Tanpa berkedip, matanya terus mengawasi Pedang Te-ratai Merah yang memiliki kesaktian itu.

   Bong Mini tersadar dari ketercengangannya.

   Kemu-dian ia segera mengangkat mayat yang telah terkum-pul satu persatu dan memasukkannya ke dalam lu-bang.

   Sedangkan Pedang Teratai Merah terus mem-buat galian yang baru sebanyak tiga lubang.

   Bong Mini telah selesai menimbun mayat-mayat yang sudah berada di dalam lubang.

   Kini empat gun-dukan besar terlihat di halaman rumahnya yang po-rak-poranda.

   "Maafkan aku yang terlambat datang, sehingga ti-dak sempat membantu kalian dalam pertempuran!"

   Ucap Bong Mini setengah berbisik.

   Tubuhnya berdiri menghadap empat kuburan besar.

   Sedangkan dari ke-dua matanya tampak air mata berurai membasahi ke-dua pipinya yang terlihat letih dan lusuh.

   Bongkap, yang sejak tadi memperhatikan tingkah anaknya dari kejauhan, menjadi terharu mendengar ucapan Bong Mini tadi.

   Dengan susah-payah ia beru-saha bangkit dan melangkah menuju tempat putrinya berlutut di hadapan salah satu gundukan.

   Di sana dia berdiri di belakang putrinya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

   Suasana hening beberapa saat.

   Hanya desir angin senja mengusik lembut, membelai rambut bapak dan anak itu.

   Setelah lama terpaku di depan makam para pen-gawal yang telah gugur, Bongkap dan Bong Mini me-langkah gontai meninggalkan rumah mereka.

   Matahari telah tersungkur ke tempat persembunyiannya.

   Alam yang semula terang-benderang, kini ditelan kegelapan.

   Membuat rumah-rumah penduduk dan pepohonan be-rubah menjadi bayang-bayang hitam.

   "Papa bisa bertahan?"

   Tanya Bong Mini seraya me-lingkarkan tangan Bongkap ke bahunya untuk mem-bantu papanya berjalan. Sengaja ia tidak menolong mengobati luka Bongkap karena yakin akan kemam-puan papanya untuk mengobati sendiri.

   "Aku baik-baik saja!"

   Sahut Bongkap.

   Sesungguh-nya ia sendiri dapat berjalan tanpa bantuan Bong Mini.

   Tapi sengaja hal itu tidak dilakukan karena ia merasa rindu terhadap putri kesayangannya yang menghilang sekian lama.

   Hening kembali.

   Hanya jangkrik saja yang mulai ramai bernyanyi.

   Ditingkahi oleh senandung katak.

   Sehingga lengkaplah kesunyian yang melingkupi malam itu.

   Bong Mini dan Bongkap terus berjalan menembus kegelapan.

   Tanpa terasa keduanya telah jauh mening-galkan rumah mereka yang telah porak-poranda.

   "Kita istirahat di sini!"

   Usul Bongkap ketika keduanya telah sampai di tengah Hutan Lodan. Bong Mini menurut. Kemudian keduanya mengam-bil tempat yang agak nyaman untuk beristirahat "Aku ingin mencari kayu bakar dulu!"

   Cetus Bong Mini.

   "Jangan lama-lama!"

   Kata Bongkap.

   Bong Mini mengangguk sambil tersenyum.

   Kemu-dian ia segera melangkah untuk mencari kayu bakar.

   Diikuti pandangan mata papanya yang masih menyim-pan kerinduan.

   Tidak begitu lama Bongkap menunggu, Bong Mini muncul dengan membawa setumpuk kayu bakar.

   Ke-mudian kayu-kayu bakar itu disusun untuk api un-ggun.

   Setelah itu Bong Mini segera menyulutnya.

   Perlahan keadaan di sekeliling mereka yang sebelumnya gelap berubah terang.

   Api unggun yang bergerak di udara seperti lambaian tangan penari, menerangi wa-jah keduanya sekaligus menghangatkan mereka.

   Dalam jilatan cahaya api unggun, Bong Mini tam-pak membersihkan wajah papanya dari bercak darah yang mulai mengering.

   Dibersihkan darah kering itu dengan menggunakan daun-daun basah yang sempat ditimpa hujan sebelumnya.

   Ketika darah kering telah terkelupas, ia membasuh wajah Bongkap dengan menggunakan selendang kuning miliknya yang diambil dari pundaknya.

   "Putriku. Coba ceritakan bagaimana kau bisa terle-pas dari cengkeraman orang-orang Perguruan Topeng Hitam?"

   Tanya Bongkap ketika wajahnya telah diber-sihkan.

   Bong Mini mengambil tempat duduk yang lebih nya-man di samping papanya.

   Kemudian ia menceritakan pengalamannya selama berpisah dengan Bongkap.

   Da-ri pertama ia dibawa oleh Ketua Pasukan Perguruan Topeng Hitam sampai berada di kediaman Kanjeng Rahmat Suci.

   Bongkap termangu-mangu mendengar kisah putri-nya.

   Hatinya bersyukur bahwa Bong Mini selamat dari cengkeraman orang-orang Perguruan Topeng Hitam.

   "Sekarang, aku ingin mendengar cerita Papa, kena-pa keadaan Papa menjadi demikian?"

   Bong Mini balik bertanya. Karena sejak tadi, hal tersebut yang meng-ganjal hati, hingga membuatnya sedih. Bongkap menghela napas berat. Sorot matanya tampak kosong memandang ke arah api unggun yang bergoyang-goyang tertiup angin.

   "Mereka adalah sekelompok bajak laut dari negeri Lanoa yang berkeliaran di pesisir Selat Malaka. Di selat itu, mereka melakukan pembajakan terhadap nelayan-nelayan, sehingga para nelayan segan melintasi Selat Malaka lagi karena kawasan itu telah dikuasai me-reka!"

   Jabar Bongkap. Kemudian ia menceritakan se-pak-terjang para bajak laut yang selalu melakukan perampokan terhadap para nelayan yang berlayar di Se-lat Malaka. Termasuk menjarah harta dan wanita-wanita muda yang tinggal di sekitar kawasan itu.

   "Kemudian aku memerintahkan seluruh pengawal untuk memberantas gerakan mereka yang merugikan rakyat. Tapi tidak ada kabar berita dari mereka sampai sekelompok bajak laut itu menyerang dan membantai sebagian pengawal dan orang-orang yang sedang berlatih silat di rumah!"

   Tutur Bongkap, mengakhiri ceritanya.

   "Siapa sebenarnya para pembajak itu, Papa?"

   Tanya Bong Mini.

   "Mereka menamakan dirinya Iblis Pulau Neraka, ka-rena mereka tinggal di Pulau Neraka, sebelah barat Selat Malaka!"

   Sahut papanya.

   "Papa tahu pemimpin mereka?"

   Bongkap menggelengkan kepala.

   "Kita harus membuat perhitungan!"

   Geram Bong Mini. Rahang gadis cantik itu mengeras bersama gemeletuk giginya.

   "Tentu saja, Putriku. Tapi tidak sekarang. Aku me-merlukan waktu untuk memulihkan kesehatanku!"

   Sa-hut Bongkap.

   "Selama Papa beristirahat, biar aku yang akan me-numpas iblis-iblis keparat itu!"

   Ujar Bong Mini. Suaranya masih terdengar geram, dihela kegusaran untuk secepatnya membabat habis para perampok dan membantai orang-orangnya.

   "Kau tak akan mampu, Putriku. Mereka terlalu ku-at!"

   Sergah Bongkap, menyangsikan kemampuan Bong Mini.

   "Kalau dipikir, tidak ada manusia yang paling kuat atau paling hebat, Pa. Sebab di antara yang kuat masih ada yang lebih kuat. Sehebat-hebatnya manusia, masih ada yang lebih hebat lagi. Di atas langit masih ada langit! Kita tidak punya daya dan kekuatan apa-apa bila Yang Menguasai diri kita tidak menggerak-kannya!"

   Sahut Bong Mini dengan semangat berapi-api.

   "Siapa Yang Menguasai diri kita itu, Putriku?"

   "Tuhan Yang Maha Kuasa!"

   Tegas Bong Mini.

   Bongkap tercengang mendengar jawaban Bong Mini.

   Dia tidak mengira kalau putrinya telah mengalami kemajuan yang cukup pesat.

   Terutama cara berpikirnya.

   Di saat mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda dari depan.

   "Ada dua orang menuju kemari, Papa!"

   Bisik Bong Mini.

   "Ya. Kita harus siap-siap menghadapi jika mereka hendak berniat jahat!"

   Timpal Bongkap seraya berusa-ha bangkit. Namun tubuhnya kembali roboh lalu ter-sandar di sebatang pohon. Pahanya masih terasa sakit karena dua peluru yang menembusnya belum sempat dikeluarkan.

   "Papa tenang saja di sini. Aku yang akan mengha-dapi kedua orang itu!"

   Sergah Bong Mini, menenang-kan Bongkap. Kemudian ia bangkit untuk bersiap-siap menyambut kedatangan dua penunggang kuda itu.

   "Tuan Bongkap, benarkah Tuan di situ?!"

   Tiba-tiba salah satu penunggang kuda berteriak ke arah mereka. Bongkap dan Bong Mini tercekat kaget. Mereka kenal betul suara orang itu.

   "Apakah kau Ashiong?!"

   Balas Bong Mini untuk me-nguatkan dugaannya. Sedangkan matanya meman-dang lurus ke arah dua penunggang kuda yang mulai mendekat ke arah mereka.

   "Benar. Aku Ashiong dan Sang Piao!"

   Sahut suara itu lagi. Setelah berkata begitu, keduanya telah berada di hadapan Bong Mini dan Bongkap. Kemudian mereka meloncat dari punggung kuda dan memberi hormat kepada Bongkap.

   "Kami baru saja dari rumah Tuan, tapi betapa ter-kejutnya aku ketika melihat rumah Tuan hancur. Le-bih terkejut lagi ketika kulihat empat makam besar di halaman rumah. Sedangkan Tuan sendiri tidak ada di tempat itu. Apa sebenarnya yang terjadi, Tuan?"

   Tanya Ashiong dengan nada suara prihatin dan tatapan sedih melihat keadaan raja yang dicintainya. Bongkap tidak segera menjawab. Hanya kedua ma-tanya saja yang mencorong tajam memandang dua pe-ngawal setianya secara bergantian.

   "Cerita kalian sendiri bagaimana hingga selamat se-perti ini?"

   Bongkap balik bertanya. Ia sungguh tidak percaya melihat dua pengawal setia yang diandalkan itu masih hidup dan kini dapat menyertainya.

   "Kami berdua menyelamatkan diri setelah seluruh pasukan tewas!"

   Sahut Sang Piao menjelaskan.

   "Kenapa kalian begitu tega meninggalkan mayat-mayat teman sendiri?"

   Tanya Bong Mini.

   "Dua orang melawan pasukan tangguh yang demi-kian banyak, sama artinya melakukan bunuh diri!"

   Sahut Sang Piao. Bong Mini mengangguk-angguk.

   "Apa rencana kita selanjutnya?"

   Tanya Sang Piao la-gi.

   "Untuk sementara waktu, kalian harus menyela-matkan papaku ke tempat yang lebih aman agar dapat beristirahat dengan baik. Sedangkan masalah Iblis Pulau Neraka, biar aku yang akan membereskan!"

   Sahut Bong Mini mewakili papanya.

   "Bagaimana mungkin Putri menghadapi mereka sendirian?"

   Sergah Sang Piao ragu.

   Bong Mini tersenyum melihat sikap dua pengawal setia Bongkap yang meragukan kemampuannya.

   Ia sendiri sebenarnya bukan karena merasa memiliki ke-saktian sehingga berani menyatakan itu, tetapi karena dendamnya terhadap kejahatan orang-orang Iblis Pulau Neraka yang telah membantai para pengawal dan prajurit papanya.

   "Sudahlah! Lihat bagaimana nanti saja. Saat ini yang harus kita pikirkan adalah mencari tempat per-istirahatan papa!"

   Kata Bong Mini tanpa mau banyak cakap lagi.

   "Apakah kita harus mencarinya malam ini juga?"

   Ta-nya Sang Piao.

   "Sebaiknya memang begitu. Udara malam ini ku-rang baik untuk kesehatan papaku!"

   Sahut Bong Mini.

   "Aku pikir juga begitu!"

   Celetuk Ashiong.

   "Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!"

   Usul Sang Piao.

   Bong Mini dan Ashiong segera menghampiri papa-nya yang terlihat mulai letih.

   Kemudian mereka mem-bantu Bongkap berjalan menuju kuda.

   Di punggung kuda, Bongkap ditemani oleh Bong Mini.

   Sedangkan Sang Piao bersama Ashiong.

   Tidak lama kemudian mereka pun segera mening-galkan api unggun yang sudah menjadi arang, lalu menembus kegelapan malam.

   *** Siang itu langit tampak cerah.

   Matahari bersinar gencar, seakan hendak menyingkap gerombolan awan yang berusaha menutupi cahayanya.

   Angin panas ber-hembus semilir, merontokkan daun-daun pepohonan yang sudah kering.

   Di bawah terpaan sinar matahari yang menyengat, dua ekor kuda tampak berjalan lambat.

   Sedangkan di masing-masing punggung kuda itu duduk dua orang gagah.

   Tiga laki-laki dan seorang perempuan remaja.

   Usia remaja itu sekitar delapan belas tahun.

   Bermata sipit dan bertubuh mungil.

   Rambutnya yang panjang dikepang dua.

   Sedangkan rambut bagian atasnya di-kucir dengan bentuk seperti bunga mengembang dan bagian belakangnya dibiarkan tergerai bebas.

   Keempat orang tersebut tidak lain Bong Mini, Bong-kap, Ashiong dan Sang Piao.

   Mereka baru saja sampai di Kampung Dukuh, setelah semalaman mencari rumah untuk beristirahat.

   Wajah mereka tampak kuyu karena belum sempat tidur.

   Di saat mereka menghentikan langkah kuda di kampung yang jarang penduduknya itu, tiba-tiba me-reka mendengar jeritan perempuan meminta tolong.

   Dengan sigap mereka bergegas menuju asal suara yang ternyata berasal dari sebuah gubuk tua.

   Tanpa menunggu komando lagi, Ashiong dan Sang Piao segera melompat dari punggung kuda lalu mendo-brak pintu yang tertutup itu.

   Brakkk! Pintu terkuak keras.

   Empat lelaki bertubuh tinggi kekar yang berada di dalam tampak terkejut.

   Mereka serentak menoleh ke arah pintu.

   "Lelaki pengecut yang hanya berani mengganggu wanita!"

   Maki Ashiong dengan nada geram.

   Sorot ma-tanya menusuk tajam ke arah empat lelaki bertubuh kekar itu.

   Ashiong tahu betul, siapa mereka.

   Keempat lelaki itu tidak lain para pengikut Perkum-pulan Iblis Pulau Neraka.

   Mereka bernama Inggang, Danu, Sadewo, dan Rebek.

   Mereka datang ke tempat itu hendak melakukan penjarahan barang-barang mi-lik rakyat serta mengganggu kaum wanita yang masih muda seperti saat itu mereka lakukan terhadap wanita yang berada di dalam gubuk.

   "Monyet buduk! Berani benar kau mengganggu ke-senangan orang!"

   Geram lelaki yang bernama Inggang.

   Dia berperawakan tinggi besar dan kasar.

   Kulitnya hitam mengkilat dengan rambut ikal panjang tak ter-urus, berikat kepala merah.

   Matanya besar kemerah-merahan dengan kumis tebal melintang.

   Membuat o-rang gentar melihat penampilannya.

   Sedangkan cela-nanya model pangsi dan berbaju koko merah yang kancingnya dibiarkan terbuka, seakan memamerkan bulu dadanya yang hitam lebat.

   "Sebuah keasyikan yang menjijikkan dan harus di-musnahkan!"

   Sahut Ashiong tak kalah geram.

   "Setan kurap! Rasakan pukulanku ini!"

   Tuntas ber-kata begitu, Inggang langsung menyerang Ashiong de-ngan penuh nafsu.

   Begitu pula ketiga temannya yang lain.

   Mereka segera mengeroyok Sang Piao.

   Ashiong dan Sang Piao cepat melompat ke belakang agar perkelahian tidak merusakkan rumah tua itu.

   Sedangkan gadis remaja yang sudah robek-robek baju-nya, dengan wajah ketakutan bergeser ke sudut kamar sambil menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

   Sementara itu, Bong Mini yang masih menjaga tu-buh lemah papanya, tetap duduk di punggung kuda sambil menyaksikan pertempuran antara Ashiong dan Sang Piao melawan keempat lelaki itu.

   Sengaja dia tidak turun tangan karena yakin kalau dua pengawal kepercayaan papanya itu dapat menjatuhkan keempat lawan mereka.

   Menyadari pukulan tangan kosongnya luput dari sasaran, Inggang segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya.

   Dengan nafsu yang membukit, ia segera merangsek ke arah lawan sambil menyabet-nya-betkan pedangnya.

   Wut wut wuttt! Senjata lelaki bertubuh kasar dan berwajah bengis itu menyambar-nyambar tubuh Ashiong dengan cepat.

   Terkadang golok yang digunakan untuk menyerang itu memancarkan pantulan sinar matahari.

   Trang! Kali ini Ashiong menangkis serangan lawan dengan pedang.

   Bunga api memercik ketika dua senjata me-reka beradu dengan keras.

   Pertempuran berlangsung sengit.

   Ashiong dan Sang Piao masing-masing menghadapi dua lawan bersenjata golok.

   Dalam pertempuran itu mereka sama-sama hen-dak mengungguli kehebatan lawannya.

   Itu sebabnya mereka tak sungkan-sungkan lagi mengerahkan tena-ga dalam pada tangan yang menggenggam senjata.

   Aki-batnya mereka selalu merasa kesemutan bila terjadi benturan senjata.

   Sementara itu, di punggung kuda, Bong Mini dan Bongkap tetap menyaksikan pertempuran itu dengan tatapan takjub melihat serangan dan tangkisan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

   Mereka menilai kalau empat orang dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka itu jelas telah menguasai ilmu permainan golok.

   Terbukti dari serangan-serangan mereka yang begitu gen-car dan cepat.

   Terkadang golok mereka berputar-putar seperti baling-baling kapal.

   Ashiong dan Sang Piao pun tidak mau kalah.

   Me-reka yang menguasai ilmu pedang sejak di negeri Manchuria, melakukan gerakan yang sama hebatnya, me-ngimbangi kehebatan lawan.

   Bahkan lewat jurus 'Pe-dang Samber Nyawa', senjata di genggaman kedua le-laki itu berkelebat kian kemari dengan dahsyat.

   Dan saking cepatnya, pedang itu seolah-olah lenyap.

   Hanya suitan-suitan angin saja yang terdengar menyambar-nyambar ke arah lawan.

   Breb! Ujung pedang Ashiong yang mengarah ke tubuh pa-ra lawan dengan gerakan menusuk, menembus tubuh Rebek.

   Seketika itu juga darah terpercik bersamaan dengan limbungnya tubuh orang itu.

   Ketika ia menarik pedangnya dari tubuh Rebek, pengikut Perkumpulan Iblis Pulau Neraka itu langsung ambruk tanpa dapat bergerak lagi.

   Melihat temannya mati bersimbah darah, wajah In-ggang tampak merah menegang.

   Sorot matanya berbi-nar-binar merah.

   Seiring dengan darahnya yang bergolak panas menerobos sekujur tubuhnya.

   Sehingga pa-da saat itu juga tubuhnya telah melompat menerjang ke arah Ashiong dengan permainan golok yang se-makin gila.

   "Hiaaat!"

   Wut wut wuttt! Teriakan melengking yang disusul oleh deruan golok terdengar, mengagetkan Ashiong.

   Namun dengan ce-pat, Ashiong menghindari serangan lawan dengan ge-rakan melompat setinggi tiga meter.

   Tubuhnya berpu-tar di udara lalu hinggap di atas tanah yang jaraknya sepuluh meter dari tempat lawan berdiri.

   Di lain pihak, Sang Piao tampak tengah mengimba-ngi jurus-jurus dua lawannya dari Iblis Pulau Neraka.

   Bahkan gerakannya kini begitu cepat melebihi gerakan lawannya.

   Sampai suatu saat ujung pedangnya sempat menggores bahu Sadewo, salah seorang lawan.

   Bret! Sadewo terpekik kaget.

   Tangan kirinya langsung memegang bahu kanan yang terluka dan mengelua-rkan darah.

   "Bangsat!"

   Dengus orang itu.

   Kemudian tubuhnya bergerak menyerbu lawannya dengan mata berkilat-kilat serta napas yang memburu hingga ia hilang kon-trol.

   Akibatnya? Ujung pedang Sang Piao menancap ke perutnya.

   Ia terpekik kesakitan.

   Tubuh Sadewo ambruk ke tanah.

   Menggeliat-geliat sebentar lalu diam tanpa nyawa lagi.

   Melihat Sadewo ambruk bersimbah darah, Danu yang turut menyerang Sang Piao menjadi ciut hatinya.

   Kemudian tubuhnya segera melompat dan lari mening-galkan ajang pertempuran itu.

   Kini tinggal Inggang yang masih melayani ketangguhan Ashiong.

   Tapi ia pun mulai gentar menghadapi lawannya.

   Apalagi keti-ka melihat temannya tunggang-langgang melarikan di-ri.

   Konsentrasinya buyar dan serangannya pun menja-di kacau.

   Keadaan seperti itu, tentu saja sangat menyenang-kan Ashiong.

   Tanpa membuang waktu lagi ia segera menghujamkan pedangnya ke arah lawan.

   Wut wut wuttt! Gagal.

   Namun segera disusul dengan sebuah ten-dangan lurus ke dada lawan dengan cara memutar tu-buhnya terlebih dahulu.

   "Hegh!"

   Inggang terpekik pendek saat tubuhnya membentur batu yang cukup besar akibat dorongan kaki lawan yang tepat mengenai dadanya.

   Sebelum ia membalik-kan tubuh, Ashiong telah berdiri di dekat kepalanya.

   Dan tanpa banyak cakap lagi, kakinya menjejak keras di dada lawan yang masih telentang itu.

   "Aaakh...!"

   Pekik kematian meluncur dari mulut Inggang.

   Da-rah kehitam-hitaman keluar dari mulutnya ketika kaki Ashiong menghantam dadanya.

   Kemudian ia mati dengan sepasang mata yang melotot serta lidah yang menjulur mengerikan! Sepi.

   Tak ada lagi teriakan atau denting senjata.

   Ashiong dan Sang Piao menatap tiga tubuh lawan yang bermandi darah dengan tatapan mata puas ka-rena telah dapat mengakhiri sepak-terjang mereka yang selalu membuat teror bagi penduduk kampung.

   Walaupun masih banyak bajingan lain di samping me-reka.

   Termasuk Ketua Perkumpulan Iblis Pulau Nera-ka.

   Saat mereka terpaku memandangi tiga mayat yang bergeletakan, tiba-tiba muncul gadis yang hendak di-perkosa oleh empat lelaki dari Perkumpulan Iblis Pulau Neraka tadi.

   Dia seorang gadis pribumi berumur kira-kira delapan belas tahun, seumur dengan Bong Mini.

   Wajahnya cantik, berhidung mancung dengan dua biji matanya yang bundar gemerlap.

   Kulitnya langsat de-ngan rambut bergelombang yang panjang terurai.

   "Terima kasih atas pertolongan kalian!"

   Hatur gadis itu dengan suara yang berdesah basah.

   Ashiong dan Sang Piao hanya membalas ucapan itu dengan senyuman dan anggukan lembut.

   Sedangkan mata mereka tak henti-hentinya memandang kecanti-kan gadis itu.

   Kemudian mereka saling menoleh seraya mengerlingkan mata masing-masing dengan bibir ter-senyum.

   Lalu dengan serempak keduanya mendekati gadis cantik itu.

   "Kau tidak apa-apa?"

   Tanya Ashiong dan Sang Piao bersamaan dengan sikap yang saling mendahului se-perti orang yang berebut perhatian. Gadis cantik yang mempunyai sepasang mata ber-binar-binar itu tersenyum kemayu.

   "Aku baik-baik saja. Tapi....!"

   Sahut gadis itu tidak dilanjutkan.

   "Tapi apa?"

   Kembali pertanyaan mereka berbare-ngan. Sehingga sekali lagi mata keduanya saling menatap dengan hati kesal.

   "Orang-tuaku!"

   Sahut gadis itu pendek.

   "Ada apa dengan orang-tuamu?"

   Kali ini Sang Piao dapat mendahului.

   "Mereka dibunuh oleh iblis-iblis jahanam itu,"

   Lirih gadis itu dengan wajah murung.

   Air matanya mulai merembes membasahi kedua lekuk-lekuk pipinya yang lembut kekuning-kuningan.

   Ashiong dan Sang Piao tertegun beberapa saat.

   Ke-duanya saling berpandangan.

   Lalu seperti ada yang memberi komando, keduanya melangkah masuk me-nuju tempat di mana kedua orang-tua gadis itu ber-ada.

   Diikuti oleh sang gadis.

   Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan tingkah ke-dua pengawal setia papanya tampak tersenyum-se-nyum.

   "Kasihan mereka. Seharusnya dalam usia mencapai tiga puluh tahun mereka sudah kawin!"

   Ucap Bongkap yang juga menyaksikan tingkah laku kedua pengawal-nya.

   "Tapi mereka seperti tidak memikirkan itu!"

   Kata Bong Mini.

   "Mana mungkin bisa terpikir oleh mereka. Setiap hari mereka selalu dihadapkan pada pedang, golok, dan bau amis darah!"

   Sahut Bongkap.

   Bong Mini tertegun.

   Diam-diam hatinya merasa ka-sihan juga kepada dua pengawal papanya yang selalu bergelut dengan perang, sehingga mengabaikan kepen-tingannya sendiri.

   Meski itu merupakan perbuatan yang terpuji dengan mendahulukan kepentingan orang banyak dan mengesampingkan kepentingan pribadi.

   "Kita turun, Papa?"

   Usul Bong Mini.

   Bongkap menjawab dengan anggukan kepala.

   Tubuh Bong Mini segera meloncat dari punggung kuda terlebih dahulu.

   Setelah itu, baru papanya dibantu turun.

   Kemudian mereka melangkah beriringan ke dalam gubuk tua itu.

   Beberapa saat keduanya terdiam ketika mendengar isak tangis gadis tadi.

   Sedangkan di hadapannya ter-bujur dua mayat yang sudah kaku membiru.

   Tentu mereka orang-tua sang gadis.

   "Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Dan aku tidak mungkin tinggal di gubuk ini sendirian!"

   Ucap sang gadis di sela isak tangisnya. Keempat orang di sekitarnya menoleh ke arahnya dengan penuh rasa iba. Ashiong mengalihkan pandangannya ke arah Bong-kap.

   "Tuan! Bagaimana kalau kita beristirahat di sini saja sekalian menemani gadis ini agar tidak merasa kesepian?"

   Usulnya. Mata Bongkap dan Bong Mini saling berpandangan. Kemudian mereka tersenyum penuh arti.

   "Apa yang dikatakannya sungguh baik. Aku sangat menyetujui. Daripada aku sendirian lalu akan menjadi sasaran empuk manusia-manusia iblis tadi!"

   Gadis itu menyahut menyetujui.

   "Kalau memang demikian, baiklah. Aku menyetujui usulmu, Ashiong!"

   Sahut Bongkap sambil memandang pengawalnya itu.

   Ashiong yang memang sudah bersimpati terhadap gadis itu menjadi senang hatinya.

   Ia pun tersenyum ketika rajanya menyetujui usul yang diajukan tadi.

   *** Setelah menguburkan kedua orang-tua gadis itu, mereka mengambil tempat duduk di ruang depan de-kat pintu untuk melanjutkan percakapan.

   "Siapa namamu, Nak?"

   Tanya Bongkap dengan tata-pan iba.

   "Ratih Purbasari!"

   Sahut sang gadis. Bongkap mengangguk-angguk sambil menatap haru pada gadis yang duduk di depannya.

   "Paman siapa?"

   Ratih balik bertanya.

   "Namaku Bongkap!"

   Sahut Bongkap.

   "Dan ini Bong Mini, putriku!"

   Lanjut Bongkap, memperkenalkan pu-trinya. Ratih Purbasari tampak tersentak kaget mendengar nama itu. Ia merasa pernah mendengar tentang diri Bongkap. Bukan saja dari orang banyak, tetapi juga dari orang-tuanya di kala mereka masih hidup.

   "Kalau begitu, Paman seorang raja!"

   Cetus gadis itu seraya membenarkan letak duduknya untuk memberi hormat kepada Bongkap dan Bong Mini. Bongkap tersenyum melihat perubahan sikap Ratih yang begitu mendadak.

   "Kenapa tiba-tiba kau merubah sikap?"

   "Karena Paman seorang raja!"

   Sahut Ratih dengan sikap yang hormat.

   "Bersikaplah seperti biasa sebagaimana kala perta-ma tadi kau belum mengenalku!"

   "Aku tidak berani, Tuan!"

   Sahut Ratih, tetap bersi-kap hormat "Kenapa?"

   Tanya Bongkap. Keningnya berkerut "Seperti yang kukatakan tadi, Tuan adalah seorang raja yang harus dihormati!"

   "Aku menyukai kalau kau tetap memanggilku de-ngan sebutan paman, sekaligus bersikap kepadaku se-bagaimana seorang keponakan terhadap pamannya,"

   Kata Bongkap. Ratih Purbasari menatap wajah lelaki setengah baya itu dan berkata dengan sikap yang sungguh-sungguh, namun tetap ramah dan halus.

   "Tuan! Waktu kedua orang-tuaku masih hidup, mereka selalu memperingat-kan agar aku selalu menghormati orang-tua dan selalu ingat akan tatakrama serta berlaku sopan santun. Karena sekarang aku telah mengetahui bahwa Tuan seo-rang raja, maka sudah semestinya kalau aku bersikap hormat dan memanggil dengan sebutan Tuan!"

   Bongkap memandang gadis itu dengan terkagum-kagum. Namun demikian, dia mencoba memancing ucapan Ratih kembali.

   "Engkau terlalu memegang peraturan, Ratih!"

   Ratih Purbasari tersenyum. Sikapnya tetap tenang, halus, dan sopan.

   "Tuan, manusia di dunia ini tidak bisa lepas dari peraturan. Bila manusia hidup tanpa peraturan, tentu kehidupan ini akan menjadi liar, sehingga tidak berbeda dengan kehidupan binatang. Maaf, Tuan, jika aku terlalu lancang berbicara!"

   Beberapa saat ruangan itu diisi kesenyapan.

   Bongkap, Bong Mini, dan dua pengawal setianya sa-ling berpandangan dengan wajah tercengang.

   Kemu-dian mereka mengalihkan pandangan kepada Ratih Purbasari dengan sinar mata terkagum-kagum.

   Mereka tidak menyangka kalau gadis lembut yang agak pema-lu itu mempunyai pandangan yang demikian arif.

   "Ratih Purbasari!"

   Cetus Bong Mini tiba-tiba.

   "Apa yang kau katakan tadi memang benar. Hidup, memang akan menjadi kacau bila tanpa peraturan. Namun, bila kita terlalu memegang peraturan pun hidup ini akan menjadi kaku. Menurutku, di dalam segala macam hal harus diperlukan kebijaksanaan. Dengan kebijaksa-naanlah manusia akan selalu dapat melakukan per-timbangan-pertimbangan, mana yang baik, mana yang buruk. Mana yang benar, atau tidak,"

   Tutur Bong Mini mengemukakan pendapatnya mengambil jalan tengah.

   Kalau tadi Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao terke-jut mendengar ucapan Ratih Purbasari, kini mereka tercengang pula mendengar kata-kata Putri Bong Mini.

   Kata-katanya pun mengandung kebenaran pula.

   "Lalu selanjutnya bagaimana?"

   Tanya Ratih.

   "Ratih Purbasari. Karena aku telah menganggapmu sebagai putriku, itu pun jika kau setuju, maka lebih baik jika kau memanggilku dengan sebutan paman, bagaimana?"

   Kata Bongkap.

   "Aku sangat gembira sekali mendengar ketulusan Tuan untuk mengangkatku sebagai anak. Dan jika Tuan memang menghendaki agar aku tetap memanggil dengan sebutan paman, aku pun akan menuruti. Se-bab aku telah menjadi anak angkat Tuan!"

   Sahut Ratih Purbasari dengan sikap yang masih tetap halus dan lembut.

   "Nah, begitu... Aku menjadi senang mendengarnya!"

   Ucap Bongkap sambil tersenyum.

   "Sekarang, aku akan memperkenalkan kepadamu dua pengawalku ini. Yang sebelah kananmu itu bernama Ashiong sedangkan yang di sebelah kirimu bernama Sang Piao. Kedua-duanya masih lajang. Tinggal kamu pilih salah satu di antara mereka!"

   Ujar Bongkap, setengah bergurau.

   "Ah, Paman ada-ada saja!"

   Sergah Ratih dengan se-ulas senyum malu.

   Wajahnya mendadak merah me-rona.

   Sementara yang lainnya tersenyum cerah, seo-lah-olah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap diri mereka.

   Bahkan Bongkap yang tadi merasakan sakit di bagian pahanya, mendadak hilang karena terbawa oleh suasana gembira.

   *** Pulau Neraka berada di sebelah barat Selat Malaka.

   Tempatnya sunyi.

   Penuh dengan pepohonan besar yang menjulang tinggi.

   Binatang buas banyak berkeliaran di pulau itu.

   Apalagi bila malam telah merambah, lolongan srigala lapar, desisan ular serta raungan ha-rimau kerap terdengar di sana.

   Sehingga tak seorang pun berani datang ke pulau itu, apalagi untuk men-diaminya.

   Setelah sekian lama Pulau Neraka tak berpenghuni, datanglah sekelompok bajak laut yang berasal dari negeri Lanoa.

   Mulanya mereka berlayar untuk melaku-kan pembajakan terhadap perahu-perahu nelayan dan kapal para saudagar yang melintasi Selat Malaka.

   Suatu hari, ketika para pembajak itu beristirahat di Pulau Neraka, mereka terkesan terhadap keadaan pulau tersebut.

   Selain tak berpenghuni, juga karena banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang besar dan lebat.

   Benar-benar merupakan tempat yang sangat aman se-bagai persembunyian atau tempat tinggal tetap mere-ka.

   Akhirnya mereka menjadikan tempat itu sebagai markas para bajak laut.

   Di sana mereka membuat perkumpulan dengan na-ma Iblis Pulau Neraka.

   Sebuah perkumpulan yang ter-diri dari tokoh-tokoh sesat yang bukan saja datang da-ri negeri Lanoa, tetapi juga dari wilayah setempat.

   Mereka bergabung dengan satu tekad, menguasai dan memeras rakyat.

   Perkumpulan Iblis Pulau Neraka dipimpin oleh seo-rang penduduk asli negeri Lanoa yang hijrah ke pulau tersebut.

   Dia bernama Gonggo Gung.

   Tubuhnya besar berotot dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima senti meter.

   Tubuhnya hitam berkilat.

   Berbibir tebal dengan hidung besar dan agak pesek.

   Sedangkan sepasang matanya kelihatan merah menyala.

   Sehingga tak seorang pun mampu lama-lama bertatapan mata de-ngannya.

   Dia berjubah merah yang panjangnya seba-tas lutut.

   Umurnya sekitar empat puluh tahun.

   Sebagaimana biasanya siang itu, para pengikut Iblis Pulau Neraka baru terbangun dari tidurnya, termasuk Gonggo Gung.

   Dan seperti biasa pula, setiap bangun tidur mereka berhadapan dengan arak.

   Bahkan minu-man ini bisa dikatakan sebagai minuman pokok bagi Perkumpulan Iblis Pulau Neraka.

   Sehari saja mereka tak bertemu dengan arak, maka seharian itu pula me-reka tidak bergairah.

   Oleh karena itu setiap hari Gonggo Gung selalu memerintahkan beberapa ketua pasu-kannya untuk mencari dan mengumpulkan arak.

   "Untuk beberapa hari ini, kalian tidak perlu lagi melakukan pembajakan di laut. Selain pelayaran sepi, ju-ga harta yang kita peroleh dari rampasan tangan Bongkap cukup untuk kebutuhan kita dalam waktu beberapa lama!"

   Kata Gonggo Gung saat berkumpul dengan anak buahnya sambil menikmati arak dan buah-buahan. Wajah anak buahnya kelihatan berseri mendengar ucapan Gonggo Gung. Dengan begitu, mereka bisa ber-senang-senang lebih lama tanpa harus bekerja keras lagi.

   "Tapi walaupun begitu, kita akan mendapatkan pe-kerjaan baru yang lebih penting lagi!"

   Tambah Gonggo Gung membuat anak buahnya yang sebelumnya berseri-seri berubah tegang.

   "Pekerjaan apa itu, Ketua?"

   Celetuk seorang anak buahnya yang sudah setengah mabuk.

   "Melakukan penyerangan terhadap Perguruan To-peng Hitam!"

   "Perguruan Topeng Hitam?"

   Gumam beberapa orang anak buahnya.

   "Ya. Karena sekarang ini yang paling ditakuti dan tengah berkuasa di negeri ini adalah Perguruan Topeng Hitam. Sehingga kalau kita mampu membasmi mereka, maka dalam waktu sekejap, negeri ini akan jatuh ke tangan kita!"

   "Itu masalah mudah, Ketua. Bongkap dan pengikut-nya saja bisa kita habisi nyawanya, apalagi Perguruan Topeng Hitam!"

   Sahut salah seorang anak buahnya.

   "Tapi Perguruan Topeng Hitam mempunyai anak buah yang demikian banyak dan kepandaian yang tak bisa dianggap remeh!"

   Ucap Gonggo Gung, menje-laskan kepada anak buahnya yang belum tahu benar tentang Perguruan Topeng Hitam yang sekarang ber-kuasa di negeri Selat Malaka.

   "Jumlah kita pun sangat banyak. Ditambah lagi dengan persenjataan kita yang lengkap. Maka dalam waktu sekejap, perguruan itu akan hancur seperti nasib Bongkap dan pengikutnya!"

   Sela seorang anak buahnya yang lain.

   "Benar, Ketua. Serahkan saja semuanya pada kami, maka semuanya akan beres!"

   Celetuk seorang anak buahnya lagi. Belum sempat Gonggo Gung menyahuti ucapan a-nak buahnya, tiba-tiba muncul empat belas anak buah lain yang diperintahkan untuk menangkap seorang pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas di bagian kanan dadanya.

   "Mana anak muda itu?"

   Tanya Gonggo Gung datar.

   "Gagal!"

   Lapor Jarot yang menjadi pemimpin pasu-kan.

   "Maksudmu?"

   Tanya Gonggo Gung sambil berdiri angker.

   "Pemuda itu melarikan diri setelah membunuh dua teman yang lain!"

   Sahut Jarot menjelaskan.

   "Goblok! Kenapa kalian tidak mengejarnya?!"

   Geram Gonggo Gung dengan suara meninggi karena mulai di-bakar gejolak api amarahnya.

   "Kami sudah berusaha, Ketua. Tapi dia memiliki il-mu peringan tubuh yang amat sempurna sehingga kami tertinggal jauh. Andai di antara kami ada pasukan bersenjata api, tentu pemuda itu pun dapat kami ringkus!"

   Kata Jarot.

   Gonggo Gung terdiam.

   Seolah-olah menyadari keke-liruannya.

   Begitu pula dengan anak buahnya.

   Mereka membisu sambil memandang wajah pemimpinnya ta-kut-takut.

   Di saat mereka terdiam begitu, tiba-tiba mata me-reka dikejutkan oleh kedatangan Danu yang terengah-engah.

   "Ada apa lagi denganmu, Danu? Mana tiga teman-mu yang lain?"

   Tanya Gonggo Gung dingin. Namun ma-tanya begitu tegang memandang Danu. Ia sudah me-ngira pasti ada yang tidak beres dengan anak buahnya itu.

   "Mereka tewas!"

   Jawab Danu singkat.

   Brakkk! Tangan Gonggo Gung yang kasar itu menggebrak meja di hadapannya.

   Sehingga meja pada bagian yang dipukulnya itu rusak.

   Termasuk sebagian gelas di atas meja yang karena tergetar oleh pukulan tangan Gonggo Gung jatuh ke lantai.

   "Siapa yang melakukan itu?"

   Geram Gonggo Gung dengan mata berkobar-kobar.

   "Anak buah Bongkap!"

   Sahut Danu. Semua orang yang hadir di ruangan itu saling ber-pandangan dengan tatapan mata tegang mendengar pengakuan Danu. Karena mereka pikir, semua pengi-kut Bongkap telah musnah, termasuk Bongkap sen-diri.

   "Bicara yang benar!"

   Geram Gonggo Gung dengan suara tertahan di kerongkongan karena menahan ma-rah.

   "Aku bicara apa adanya, Ketua,"

   Ucap Danu sung-guh-sungguh.

   "Bukankah kau tahu sendiri bahwa Bongkap ber-sama orang-orangnya telah tewas semua?!"

   "Semula memang begitu, Ketua! Tapi kenyataannya, aku melihat sendiri kalau dua pengikut Bongkap ma-sih hidup. Bahkan Bongkap sendiri menyaksikan per-tempuran kami dengan dua pengikutnya!"

   "Dusta!"

   Sentak Gonggo Gung dengan kemarahan yang meledak-ledak. Sedangkan matanya yang merah berkilat-kilat memandang anak buahnya yang membe-rikan laporan itu.

   "Aku bersedia dibunuh atau dihukum apa saja jika ucapanku tadi tidak benar!"

   Cetus Danu tanpa rasa takut. Suasana sepi. Gonggo Gung dan pengikutnya yang berada di tem-pat itu berdiri tegang setelah mendengar ucapan Danu. Mereka mulai percaya dengan ucapan Danu.

   "Dia bersama berapa orang?"

   Tanya Gonggo Gung dengan suaranya yang berubah lunak.

   "Tiga orang, Ketua. Dua lelaki dan seorang lagi ga-dis cantik bertubuh mungil,"

   Ujar Danu menjelaskan. Jaim, seorang anak buah Gonggo Gung tersentak kaget mendengar keterangan tentang seorang gadis yang ikut serta dengan Bongkap.

   "Apakah gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah dan berselendang kuning?"

   Tanya Jaim ingin tahu.

   "Tepat!"

   Sahut Danu cepat.

   "Kau mengenal gadis itu, Jaim?"

   Tanya Gonggo Gung.

   "Maaf, Ketua! Gadis itulah sebenarnya yang mem-buat kami ribut dengan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas itu. Tapi menurutku, gadis itu pun sudah tewas oleh serangan jarum beracun yang kule-pas ke arahnya. Karena saat pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas menghadangku, gadis itu te-lah roboh di depan pintu gerbang,"

   Jawab Jaim menjelaskan. Gonggo Gung tercenung beberapa saat mendengar keterangan Jaim. Keningnya yang berkerut menunjuk-kan bahwa ia sedang berpikir keras. Menganalisa tentang hubungan antara Bong Mini dengan pemuda itu.

   "Kalau memang demikian cerita kalian, aku yakin gadis itu mempunyai hubungan erat dengannya!"

   Ucap Gonggo Gung menyatakan pendapatnya.

   "Tapi aku sendiri bingung, ada hubungan apa gadis itu dengan Bongkap?"

   Lanjut Gonggo Gung seperti bertanya pada diri sendiri.

   *** Matahari menghujamkan panasnya ke wajah bumi.

   Gerombolan awan putih tampak berjalan menyingkir, menjadikan hamparan langit terang dan bersih.

   Dalam pancaran sinar matahari yang demikian me-nyengat, Sang Piao tampak menunggang kuda di Bukit Girik.

   Begitu lambat ia menjalankan kudanya, seakan hendak menikmati pemandangan alam Bukit Girik yang memang demikian indah.

   Sedang asyiknya ia menunggang kuda, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergele-tak di bawah sebuah pohon tak jauh dari tempatnya.

   Siapa wanita yang tergeletak di tanah itu? Pikir Sang Piao sembari memutar kudanya menuju gadis itu.

   Kemudian ia segera melompat turun dan mendeka-tinya.

   Hm..., tampaknya ia pingsan! Gumamnya dalam ha-ti setelah melihat tubuh wanita itu dari dekat.

   Sang Piao berlutut di dekat gadis itu, dengan mak-sud hendak menyadarkannya.

   Akan tetapi, baru saja ia hendak menundukkan wajah, tiba-tiba wanita yang disangkanya pingsan itu meloncat dan langsung me-mukul Sang Piao.

   Wuttt..., plak! "Auhhh...!"

   Wanita muda belia berwajah kotor dan berambut kumal itu menjerit ketika tangannya tertangkis oleh tangan Sang Piao.

   Lalu dia terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk.

   Sejenak mata wanita muda belia itu mengamati wa-jah Sang Piao dengan tatapan mata tajam penuh seli-dik.

   Selanjutnya wanita itu malah menangis tersedu-sedu sambil mengguling-gulingkan tubuh di tanah.

   Ia meraung-raung seperti anak kecil yang tidak diberi uang jajan.

   Setelah menangis dan berguling-gulingan begitu, se-jenak tangisnya dihentikan lalu memandang tajam ke arah Sang Piao kembali.

   Dengan sikap takut-takut ia bangkit dan melangkah mundur perlahan-lahan.

   Sedangkan tatapannya terus tertuju pada Sang Piao yang masih berlutut memperhatikan tingkah gadis belia itu.

   "Jangan...! Jangan bunuh nenekku...! Jangan! Le-paskan...! Lepaskan diriku!"

   Sang Piao tertegun memandangi tingkah laku wa-nita itu.

   Hatinya begitu terenyuh.

   Kasihan, semuda itu sudah tidak waras, bisik hati Sang Piao.

   Kemudian ia bangkit perlahan-lahan dengan mata yang terus tertuju ke arah wanita yang telah kehilangan pikirannya.

   "Nona, tenang Nona...,"

   Ucap Sang Piao hati-hati. Sedangkan kakinya terus melangkah mendekati wanita muda belia itu.

   "Kau...! Kau mau memperkosa aku...? Hi hi hi...!"

   Wanita itu tertawa renyah.

   Seolah-olah matanya melihat sesuatu yang lucu.

   Saat dia tertawa lepas, Sang Piao diam-diam meng-amati wajahnya yang tampak begitu cantik.

   Dia seorang gadis cantik.

   Tapi sayang, pikirannya tidak waras! Gumam Sang Piao dalam hati, memuji ke-cantikan gadis yang hilang ingatannya itu.

   Gadis itu memang cantik sekali.

   Usianya masih muda, sekitar enam belas tahun.

   Matanya sipit seperti orang keturunan Tionghoa.

   Kulitnya putih mulus.

   Sedangkan tubuhnya tampak padat berisi.

   Dapat di-bayangkan bagaimana keelokannya jika melangkah.

   Namun sayang, semua keindahan yang dimiliki gadis itu tertutup oleh debu yang melumurinya.

   Setelah puas tertawa, tiba-tiba gadis itu kembali menangis tersendat-sendat.

   "Awas kau Iblis Pulau Neraka! Akan kubakar dan kubunuh kalian semua!"

   Teriaknya dengan sinar mata yang menaruh dendam. Mendengar sebutan Iblis Pulau Neraka, Sang Piao mendadak kaget bukan main. Dia langsung mengira bahwa gadis itu korban kebiadaban iblis-iblis itu.

   "Jahanam mereka! Teganya merusak kehormatan wanita sampai sedemikian rupa!"

   Geram Sang Piao tak tertahan.

   Kemudian kakinya melangkah mendekati gadis itu untuk menenangkannya.

   Tapi sebelum tangan Sang Piao sempat mendekat, gadis itu memberikan tamparan ke arah mukanya.

   Dengan cepat Sang Piao menangkap tangan gadis itu dan menotoknya.

   Tuk! Tuk! Tubuh gadis itu langsung terkulai lemas.

   Hanya ke-dua matanya saja yang sayu memandang Sang Piao.

   Tapi dari sepasang matanya yang sayu itu memancar-kan sinar liar.

   Melihat tubuh gadis itu terkulai, Sang Piao lang-sung membungkuk dan menggendong tubuhnya.

   Dia heran mengapa wajah yang kotor, lusuh dengan ram-but kumal tak terurus itu mendatangkan rasa iba di hatinya? Mengapa dia tertarik untuk memberikan per-tolongan kepada gadis itu? Ah..., dia menghela napas.

   Tak dapat dijawabnya pertanyaan-pertanyaan yang da-tang saat itu.

   Namun ada satu hal yang ia tahu, bahwa ia menolong gadis gila itu karena khawatir akan di-ganggu lagi oleh orang-orang Iblis Pulau Neraka atau orang jahat yang lain jika dibiarkan di situ.

   Daripada gadis itu mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, lebih baik ia membawa dan menyelamatkannya.

   Begitu pikirannya saat itu.

   Setelah tubuh sang gadis berada dalam gendongan-nya, Sang Piao segera melompat ke punggung kuda dan memacunya dengan cepat.

   *** Di cakrawala nan luas, matahari telah bergeser ke arah barat.

   Sinarnya yang semula kemilau, pudar perlahan-lahan.

   Berganti dengan cahaya jingga yang re-dup.

   Angin berhembus sepoi-sepoi basah.

   Sementara kabut mulai turun lembut dalam gerakan yang ang-gun.

   Sang Piao telah sampai di Kampung Dukuh, di ma-na Bongkap, Bong Mini, dan Ashiong menginap semen-tara di rumah Ratih Purbasari.

   Saat Sang Piao telah menjejakkan kaki di rumah tersebut, keempatnya berdiri terkejut melihat kedatangan Sang Piao yang menggendong seorang gadis.

   "Siapa yang kau bawa itu, Sang Piao?"

   Tanya Bong-kap dengan wajah yang masih menunjukkan kehera-nan.

   "Gadis malang,"

   Sahut Sang Piao singkat. Lalu ia membaringkan gadis itu di atas dipan yang terbuat da-ri bambu.

   "Maksudmu?"

   Tanya Bongkap lagi tak mengerti. Sang Piao bergerak dua langkah menghampiri Bongkap dan tiga orang lainnya yang masih terlungu-lungu keheranan. Kemudian ia menceritakan bagai-mana ia menemukan gadis itu dan membawanya pu-lang.

   "Dia salah seorang gadis yang menjadi korban ke-buasan orang-orang Iblis Pulau Neraka!"

   Kata Sang Piao mengakhiri ceritanya.

   Semua orang yang hadir di ruang itu tampak berdiri geram.

   Sorot matanya berkobar-kobar, menyimpan sa-tu kemarahan yang tak tertahankan.

   Bong Mini yang tadi begitu sungguh-sungguh men-dengar cerita Sang Piao merasakan darahnya bergolak hebat.

   Giginya bergemerutuk.

   Matanya berkilat tajam, menggetarkan siapa saja yang bertatapan dengannya.

   Itulah puncak kemarahan Bong Mini.

   Hatinya terasa disayat-sayat melihat nasib kaumnya yang selalu di-perlakukan seenaknya oleh lelaki.

   "Papa! Izinkanlah aku untuk pergi menumpas Iblis Pulau Neraka itu!"

   Ucap Bong Mini bergetar. Bongkap diam beberapa saat untuk mempertim-bangkan keinginan putrinya. Selain khawatir akan keselamatan putrinya, ia juga masih dalam suasana rin-du pada Bong Mini.

   "Jangan khawatir, Papa! Aku punya perhitungan sendiri dalam menghadapi Iblis Pulau Neraka!"

   Kata Bong Mini lagi saat melihat Bongkap terdiam ragu.

   Setelah itu, tubuhnya langsung melesat ke luar dengan kecepatan yang sulit dijangkau oleh pandangan manusia biasa.

   Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao tersentak kaget melihat kepergian Bong Mini yang tiba-tiba.

   Kemudian mereka ikut melesat ke luar berusaha untuk mengejarnya.

   Tapi tidak berhasil.

   Karena sudah sejak tadi tubuh Bong Mini menghilang dari pandangan mereka.

   Akhirnya, dengan langkah gontai Bongkap kembali masuk ke dalam gubuk.

   Sampai di dalam, Bongkap duduk termenung.

   Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan putrinya, tetapi justru memikirkan ilmu Bong Mini yang sudah meng-alami kemajuan.

   Hal itu terlihat dari kepergian Bong Mini yang begitu cepat menghilang seperti kilat "Bagaimana, Tuan? Apakah kami berdua harus me-nyusul dan menyertai tuan putri?"

   Tanya Sang Piao. Bongkap sadar dari ketercenungannya. Dia mene-gakkan kepala dan memandang dua pengawal setia-nya.

   "Tidak usah!"

   Sahut Bongkap datar.

   "Bukankah Tuan mengkhawatirkan keselamatan tuan putri?"

   Tanya Sang Piao.

   "Semula memang demikian. Tapi setelah melihat ke-pergiannya yang begitu cepat menghilang, aku mulai sadar dengan kemajuan yang diperoleh putriku selama ini!"

   Kata Bongkap.

   "Lalu, apa yang harus kita perbuat sekarang?"

   Ta-nya Sang Piao lagi.

   "Tunggulah beberapa hari sampai tenagaku pulih kembali!"

   Jawab Bongkap.

   Sebenarnya luka di tangan kiri Bongkap yang bun-tung serta paha kirinya sudah tidak begitu sakit.

   Hanya tinggal menunggu sampai tenaganya benar-benar kuat untuk terjun ke medan pertempuran.

   Bersabung nyawa kembali untuk membumihanguskan angkara murka yang mengotori dunia.

   *** Malam itu sangat cerah.

   Bulan bersinar penuh, membuat alam terselubung sinar temaram.

   Sangat in-dah untuk dinikmati.

   Ditambah lagi dengan suara jangkrik yang tidak pernah berhenti bernyanyi, mem-bangun suasana malam yang ramah berbagi suka.

   Bong Mini telah sampai di Desa Pamanukan.

   Se-buah desa penghubung untuk menuju Pulau Neraka.

   Dia tampak melangkah tenang dan tegap, memancar-kan jiwa satria dirinya.

   Kini gadis itu memasuki sebuah warung nasi di de-sa itu.

   Di sana, ia mengambil tempat yang agak me-nyudut sebagaimana biasa.

   Hal itu dilakukan agar ia leluasa memandang orang-orang yang keluar masuk kedai itu.

   Di seberang meja makannya, duduk empat lelaki yang sedang menikmati hidangan.

   Sesekali satu di antara empat orang lelaki itu melirik Bong Mini.

   Dan Bong Mini pun balas menatap sepasang mata liar lelaki itu dengan sorot matanya yang tajam penuh selidik.

   Di saat ia bertumbukan mata dengan lelaki itu, se-nampan hidangan yang dipesan Bong Mini datang.

   Bong Mini cepat menyambut hidangan yang diantar oleh seorang perempuan setengah baya yang masih tampak cantik.

   Segera ia menyantapnya.

   Dalam waktu sekejap, hidangan yang baru diantar itu habis tanpa sisa, tanpa mempedulikan lelaki yang masih memandangnya.

   "Bayarannya mana, Den?"

   Wanita setengah baya yang menjadi pemilik warung itu terlihat meminta bayaran kepada keempat lelaki yang duduk di depan me-ja Bong Mini. Mata keempat lelaki itu saling berpandangan. Di-susul kemudian dengan suara tawa yang terbahak-bahak.

   "Kau mau minta bayaran? Nih!"

   Kata seorang lelaki di antara mereka sambil menaruh uang di atas meja sebanyak tiga keping.

   Wanita cantik setengah baya yang memiliki tubuh bahenol segera mendekati meja tersebut.

   Tapi ketika tangannya hendak mengambil tiga keping uang itu, lelaki yang mengeluarkan kepingan uang tadi meraih pinggulnya dengan ketat.

   "Ini bayaran yang sebenarnya!"

   Ujar lelaki yang me-rangkul pinggul wanita setengah baya itu seraya men-daratkan ciuman ke pipinya.

   Mendapat perlakuan yang kurang ajar, pemilik wa-rung tadi meronta-ronta sambil memukul-mukulkan kedua tangannya ke tubuh lelaki itu.

   Namun yang di-pukul malah tertawa terbahak-bahak, bahkan mempe-rerat rangkulannya.

   "Heh!"

   Bentak Bong Mini yang tiba-tiba sudah berdi-ri di antara mereka dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata mendelik.

   Keempat lelaki itu serentak menoleh ke arah Bong Mini dengan wajah menunjukkan keterkejutan.

   Namun ketika melihat kecantikan gadis mungil itu, mereka langsung cengengesan.

   "Apa mata kalian sudah buta, memeluk seorang wanita yang sudah tidak segar lagi? Kenapa bukan aku saja yang kalian peluk? Kan lebih menggairahkan?"

   Lanjut Bong Mini dengan nada suara yang berubah lembut agar dapat memancing reaksi keempat lelaki itu.

   "Kau..., kau ingin dipeluk, Nona?"

   Tanya seorang lelaki di antara mereka dengan sepasang mata jelalatan memandang dua bukit yang tersembul di dada Bong Mini.

   Bong Mini mengangguk sambil tersenyum menggo-da.

   Melihat sikap Bong Mini yang begitu menggairah-kan, seorang lelaki segera memburunya.

   "Eit, nanti dulu!"

   Cegah Bong Mini ketika tubuhnya hendak disentuh oleh tangan kasar lelaki itu.

   "Aku kurang bergairah bila yang memeluk tubuhku hanya seo-rang!"

   "Maksudmu?"

   Tanya lelaki yang hendak memeluk-nya tadi.

   "Aku ingin kalian berempat memelukku semuanya tanpa harus bergantian!"

   Jawab Bong Mini masih de-ngan sikap yang menggoda.

   Mendengar kata-kata Bong Mini yang begitu meng-gairahkan, keempat lelaki tadi langsung menghampirinya dan mencoba untuk memeluk tubuh Bong Mini dengan napas yang mulai turun naik.

   Namun, sebelum tangan-tangan kasar itu menyentuh tubuhnya, Bong Mini segera menyambut dengan seruntun hantaman kaki dan tangannya.

   Dilanjutkan dengan gerakan tu-buhnya yang langsung melesat ke luar kedai.

   "Bangsat! Kita ditipu!"

   Seru salah seorang dari ke-empat lelaki itu.

   Tubuhnya segera melesat ke luar untuk memburu Bong Mini.

   Perempuan setengah baya yang sejak tadi berdiri ketakutan segera berlari kecil menuju pintu untuk menyaksikan pertempuran antara Bong Mini melawan keempat lelaki bertubuh kekar itu.

   "Hait..., yeahhh!"

   Tubuh Bong Mini melompat ketika keempat lelaki itu serentak menyerangnya.

   Kemudian ia memberikan serangan balasan lewat kedua tangan dan kakinya, sehingga keempat lawan yang memang berkepandaian jauh di bawah Bong Mini, terpental jatuh disertai sem-buran darah segar yang keluar dari mulut mereka.

   "Kalian harus banyak belajar lagi untuk menjadi seorang lelaki!"

   Ejek Bong Mini. Kaki kanannya menjejak dada salah seorang lawannya yang tak berdaya. Setelah berkata begitu, ia berjalan mendekati pemilik warung yang menyaksikan pertempuran itu dari balik pintu rumah makan.

   "Ini untuk membayar hidangan yang telah aku ma-kan dan hidangan yang dimakan keempat orang itu,"

   Kata Bong Mini seraya memberikan lima keping uang kepadanya. Dilanjutkan ucapannya.

   "Ibu kenal dengan orang-orang itu?"

   "Tentu saja, Non. Kampung ini malah sudah berada dalam kekuasaan mereka!"

   Sahut ibu pemilik warung.

   "Maksud Ibu?"

   Bong Mini mengerutkan keningnya.

   "Mereka orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"

   Ja-wab pemilik warung itu menjelaskan.

   Bong Mini terkejut mendengar nama perguruan itu.

   Perguruan itu yang membuat ia terpisah dari papanya selama dua tahun.

   Dan sekarang Perguruan Topeng Hitam ternyata telah menguasai seluruh perkampu-ngan di negeri Selat Malaka dan menyebarkan kesesa-tan serta menciptakan keonaran di kalangan pendu-duk seperti yang dilakukan oleh keempat lelaki yang dibuatnya tak berdaya tadi.

   Bong Mini tercenung.

   Ia menimbang-nimbang kepu-tusan yang harus diambilnya.

   Apakah terus melan-jutkan perjalanannya menuju Pulau Neraka atau me-nundanya untuk berhadapan dengan orang-orang Per-guruan Topeng Hitam? Tapi akhirnya, setelah menda-pat pertimbangan yang baik, Bong Mini mengambil ke-putusan untuk menghadapi Perguruan Topeng Hitam terlebih dahulu.

   Mengingat perguruan ini telah menan-capkan kuku-kukunya di seluruh kampung negeri Se-lat Malaka.

   Menurutnya hal itu lebih berbahaya! "Kalian orang-orang Perguruan Topeng Hitam?"

   Ta-nya Bong Mini sambil mendekati seorang lelaki yang masih tersengal-sengal lemah.

   "Beb..., beb..., benar, Nona!"

   Jawabnya dengan suara tersendat-sendat.

   "Kalau memang begitu, antarkan aku ke tempat pe-mimpinmu!"

   Keempat lelaki tadi saling berpandangan tak per-caya.

   "Kenapa kalian bengong begitu?"

   Tanya Bong Mini heran.

   "Tidak apa-apa, Nona. Aku hanya kaget mendengar permintaan Nona yang ingin berjumpa dengan ketua kami. Aku khawatir akan keselamatan Nona!"

   Tukas seorang dari mereka memberanikan diri.

   "Heh? Kenapa kau berbicara begitu? Bukankah ka-lian pengikutnya?"

   Bong Mini bertanya heran. Sedangkan sepasang matanya menatap lelaki itu begitu tajam, seolah-olah hendak menembus pikirannya.

   "Kami memang masuk Perguruan Topeng Hitam, tapi itu pun terpaksa!"

   Sahut lelaki tadi mewakili ketiga temannya.

   "Maksudmu?"

   Tanya Bong Mini, masih tak mengerti.

   "Aku dan tiga temanku ini dipaksa mereka untuk masuk menjadi anggota Perguruan Topeng Hitam. An-dai tidak mau, nyawaku pada saat itu juga akan me-layang!"

   Jawab lelaki itu menjelaskan mengapa ia dan ketiga temannya masuk ke Perguruan Topeng Hitam yang terkenal sesat.

   "Kalaupun kami tadi bersikap kurang ajar pada perempuan pemilik kedai tadi, itu pun sebenarnya hanya sikap pura-pura kami. Agar kami tidak dicurigai mata-mata Perguruan Topeng Hitam. Kami cuma ingin selamat dari ketelengasan mereka yang tidak ingin melihat kesalahan sekecil apa pun."

   Tubuh Bong Mini diam tak bergerak.

   Sepasang ma-tanya masih tertuju pada lelaki itu.

   Namun sinar matanya yang semula berkilat-kilat berubah redup.

   Seolah-olah telah dapat membaca isi pikiran lelaki itu.

   Sebelumnya dia memang telah menduga kalau keempat lelaki itu bukan tokoh utama Perguruan Topeng Hitam seperti orang-orang yang pernah dihadapi sebelumnya.

   Terbukti ketika ia baru saja membuka serangan, keempat lelaki itu tidak berkutik tanpa melakukan serangan kembali.

   Ditambah lagi dengan sikap mereka yang mengkhawatirkan keselamatannya ketika diminta mengantar ke Perguruan Topeng Hitam.

   Padahal, ka-lau benar-benar orang pilihan dari Perguruan Topeng Hitam, tentu mereka akan sangat gembira jika mendengar ia hendak mendatangi perguruan mereka, ka-rena sudah pasti gadis bertubuh mungil dan berwajah cantik itu akan menjadi santapan mereka.

   Tapi keempat orang ini lain.

   Mereka justru mengkhawatirkannya.

   Ini menunjukkan kalau keempat lelaki itu sesungguh-nya berasal dari orang baik-baik.

   "Kalian tak perlu mengkhawatirkan aku. Kalau me-mang kalian masuk Perguruan Topeng Hitam karena terpaksa dan sekarang ingin kembali menjadi orang baik-baik seperti sebelum masuk Perguruan Topeng Hitam, maka bantulah aku!"

   Kata Bong Mini dengan suara lembut dan penuh persahabatan.

   Begitulah Bong Mini.

   Ia akan menjadi gadis yang liar dan tega membunuh jika orang yang dihadapinya sudah tidak mengenal arti kebenaran.

   Tapi sifat itu akan berubah lunak dan penuh rasa iba jika musuh yang dihadapinya mengakui kesalahannya dan berjanji untuk mem-perbaiki diri seperti empat lelaki yang dihadapinya ki-ni.

   "Apakah Nona menerima jika kami hendak menjadi pengikutmu?"

   Tanya seorang di antara mereka.

   "Kenapa tidak? Karena untuk menumpas kejahatan seperti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng Hi-tam memang memerlukan pejuang-pejuang sejati yang tidak mementingkan kebutuhan dan keselamatan pri-badinya sendiri!"

   Sahut Bong Mini.

   Mendengar ucapan Bong Mini, keempat lelaki tadi menjadi malu hati.

   Mereka mulai berpikir, kalau gadis muda yang cantik itu pasti mempunyai keberanian dan pengabdian yang demikian tinggi.

   Kenapa sebagai lelaki mereka tidak demikian? Begitulah pikiran di benak mereka masing-masing.

   Akhirnya, berkobar juga se-mangat juang di dada mereka.

   "Baiklah, Nona. Kami bersedia mengantarkan Nona ke markas Perguruan Topeng Hitam!"

   Tegas lelaki itu dengan semangat yang mulai berbunga.

   "Terima kasih! Kita berangkat sekarang!"

   Ucap Bong Mini dengan wajah berseri karena dapat menyadarkan mereka.

   *** Malam terus merangkak hingga larut.

   Bulan pur-nama seperti bergayut di atas dahan dengan sinar yang lembut, menerangi alam raya.

   Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, Bong Mini dan keempat lelaki tadi sampai di halaman Perguruan Topeng Hitam yang letaknya masih berada dalam wilayah Kampung Pamanukan.

   Sebenarnya, pusat Perguruan Topeng Hitam berada di Bukit Setan.

   Di sana pula Kidarga dan Nyi Genit tinggal.

   Sedangkan Perguruan Topeng Hitam yang ber-ada di Kampung Pamanukan hanya merupakan pergu-ruan kecil yang dipimpin oleh ketua pasukan bernama Yang Seng.

   Adapun maksud dari penempatan para ketua pasukan di seluruh wilayah perkampungan, tidak lain agar mereka bisa cepat melakukan aksi di wilayah kampung yang diduduki masing-masing.

   Dan untuk melakukan pertemuan dengan ketua perkumpulan, Kidarga dan Nyi Genit, hanya sebulan sekali dengan membawa hasil rampokan yang diperoleh masing-masing ketua pasukan.

   Dengan dibuatnya perguruan-perguruan kecil di se-tiap perkampungan seperti Kampung Pamanukan dan Kampung Girik yang dipimpin oleh Giwang, maka me-reka akan lebih mudah menyebarkan kesesatan dan menangkap orang-orang yang dicurigai.

   Sehingga tidak ada kesempatan bagi penduduk kampung untuk mela-kukan pemberontakan.

   Mereka terjaga ketat oleh anak buah Perguruan Topeng Hitam.

   Demikianlah gambaran singkat mengenai perkem-bangan Perguruan Topeng Hitam sejak kepergian Bong Mini selama dua tahun.

   Sehingga pantas jika Bong Mini terheran-heran melihat ada markas Perguruan Topeng Hitam di tengah kampung.

   Karena yang ia tahu markas itu berada di Bukit Setan.

   "Wah, kalian membawa gadis cantik untuk kami ru-panya,"

   Sambut seorang murid Perguruan Topeng Hi-tam yang sedang berkumpul di atas dipan yang terle-tak di halaman perguruan.

   Ditemani oleh empat pe-rempuan muda yang masih cantik-cantik serta bebe-rapa botol minuman keras.

   Keempat orang yang menyertai Putri Bong Mini di-am saja mendengar teguran temannya itu.

   Begitu pula dengan Bong Mini.

   Hanya pandangan matanya saja yang tajam meneliti ke arah orang-orang itu.

   "Kemarilah, Nona! Jangan sungkan-sungkan!"

   Ujar lelaki tadi dengan keadaan yang sudah setengah ma-buk.

   "Aku ingin bertemu dengan pemimpin!"

   Tegas Bong Mini dengan sikap tenang.

   "Wah, belum apa-apa sudah ingin bertemu dengan ketua. Duduk-duduk saja di sini bersama kami. Nona kan masih lelah!"

   Sela lelaki lainnya sambil menghampiri Bong Mini lalu menarik tangannya. Tapi gadis yang ditarik tangannya malah balik mencekal pergelangan tangan lelaki itu dan menghentakkannya. Disusul de-ngan hajaran lututnya yang bersarang di dada lelaki itu.

   "Oekkk!"

   Mulut lelaki yang terkena hantaman di dadanya langsung memuntahkan cairan merah.

   Sebelas murid Perguruan Topeng Hitam yang sejak tadi duduk di atas dipan langsung terperanjat melihat temannya tersungkur di tanah.

   Dalam sekian detik mereka bergerak mengurung Bong Mini.

   "Aku tidak punya urusan dengan kalian. Aku da-tang ke sini hanya ingin berjumpa dengan pemimpin kalian!"

   Bentak Bong Mini dengan mendelikkan ma-tanya.

   "Sombong benar kau, kelinci! Hadapilah aku sebe-lum kau bertemu dengan ketua kami!"

   Kata seorang lelaki berwajah beringas yang dihiasi berewok lebat.

   "Jangankan kau! Seluruh murid Perguruan Topeng Hitam yang menyerangku pun akan kuhadiahkan ke-matian!"

   Geram Bong Mini.

   "Sombong sekali ucapanmu itu, Nona!"

   Geram lelaki berewok itu dengan tubuh yang sudah siap melakukan serangan.

   "Percuma kau menyerangku sendirian. Hanya akan mengantarkan nyawa saja!"

   Ejek Bong Mini.

   "Kelinci liar! Akan kurobek mulutmu yang lancang itu!"

   Setelah berkata begitu, lelaki berwajah berewok tadi segera mengadakan serangan.

   Namun dengan sikap tenang, gadis bertubuh mungil yang mengenakan baju merah ketat itu menyambutnya dengan baik.

   Dug! Rahang lelaki berewok itu terkena pukulan tangan Bong Mini dengan telak.

   Akibatnya dia terhuyung se-saat lalu jatuh ke belakang.

   "Sudah kubilang jangan sendiri, goblok!"

   Ejek Bong Mini. Bibirnya tersenyum sinis.

   "Kuntilanak! Serang dia!"

   Teriak lelaki berewok itu seraya bangkit kembali dan siap melakukan serangan.

   Sepuluh temannya yang sudah mengepung Bong Mini langsung menyerbu ke depan dan melakukan se-rangan dengan senjata golok yang tergenggam di ta-ngan masing-masing.

   Menghadapi sebelas golok yang disabetkan tangan pengeroyoknya, Bong Mini pun segera mencabut Pe-dang Teratai Merah.

   Pyar pyar pyar! Cahaya merah berbentuk bunga teratai menyala te-rang.

   Sehingga suasana di sekitar itu tampak terang-benderang.

   Orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang tadi hendak melakukan serangan, serentak menghentikan gerakan.

   Mata mereka terbelalak dan mulut mereka menganga.

   Takjub terhadap sinar yang dipancarkan pedang di genggaman Bong Mini.

   Baru kali ini mereka melihat keajaiban sebuah pedang.

   Dalam keadaan melongo takjub seperti itu, sebe-narnya Bong Mini dapat dengan mudah membabat me-reka.

   Tapi tentu saja ia tak ingin melakukan perbuatan itu, sebab akan memberikan kesan curang bagi dirinya.

   Untuk itu ia cukup menyadarkan mereka de-ngan sebuah bentakan melengking.

   "Heh! Ngapain kalian melongo seperti sapi ompong!"

   Mendengar teguran Bong Mini, dua belas orang Per-guruan Topeng Hitam segera sadar dari ketercenga-ngannya.

   Lalu mereka serentak bergerak menyerang Bong Mini.

   Wut wut wut! Trang trang trangngng! Angin kebutan dan denting senjata mereka terde-ngar merambah udara.

   Bong Mini yang sudah mendapat gemblengan dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci, dengan gesit dapat menangkis dan menghindari serangan golok-golok la-wan yang mengancam tubuhnya.

   Malah tanpa diduga oleh lawannya, Pedang Teratai Merah yang di tangan Bong Mini mendarat di beberapa tubuh lawan.

   Bret bret! Creb! Sabetan pedang itu mendarat pada leher dan perut lawan.

   Sehingga tiga orang di antara mereka berdiri limbung sesaat dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah dengan mata membelalak kejang.

   "Sudah kubilang, kalian tak akan mampu melaku-kan serangan dengan baik!"

   Lantang Bong Mini sambil terus melakukan tangkisan dan serangan.

   Sementara itu di sudut lain, empat orang pengikut Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan jadi pengikut Bong Mini, asyik menyaksikan pertempuran yang tak seimbang itu.

   Mereka tidak turut terjun ke kancah pertempuran karena memang dilarang oleh Bong Mini karena khawatir mereka akan celaka.

   "Kuperingatkan sekali lagi, hentikan serangan kali-an sebelum kesabaranku habis!"

   Seru Bong Mini di tengah kesibukannya menghadapi serbuan lawan.

   Na-mun orang-orang itu tidak mengindahkan peringatan Bong Mini.

   Mereka masih yakin akan mampu mengha-dapi seorang gadis muda belia itu.

   Bahkan dengan gencar mereka terus mencecar tubuh Bong Mini.

   "Baiklah jika kalian masih membandel!"

   Usai berka-ta begitu, Bong Mini langsung mengarahkan pedang-nya pada tubuh para pengeroyoknya.

   "Hiaaat!"

   Bret bret bret! Crokkk! Pedang Bong Mini langsung membabat habis para pengepungnya. Dalam waktu sekejap mereka terjung-kal dengan mulut mengerang-erang.

   "Aaakh...!"

   Blekkk! Tubuh para pengepungnya yang terkena sabetan pedang Bong Mini jatuh satu persatu bagai daun ke-ring.

   Keempat lelaki yang sejak tadi menyaksikan perke-lahian itu dengan penuh takjub, segera menghampiri Bong Mini yang kini berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.

   "Apa yang harus kuperbuat lagi sekarang?"

   Tanya seorang dari keempat lelaki itu.

   "Panggillah pemimpin mereka ke sini!"

   Perintah Bong Mini dengan napas yang masih memburu.

   "Baiklah! Kami akan segera memanggil!"

   Kata keem-pat orang itu serempak.

   Tanpa banyak cakap lagi me-reka segera melangkah ke dalam.

   Tak lama kemudian mereka keluar kembali bersama seorang lelaki muda.

   Lelaki itu berumur sekitar tiga puluh lima tahun.

   Tubuhnya sedang dan kekar.

   Kulitnya putih dan ber-mata sipit.

   Rambutnya panjang terikat dengan pakaian warna kuning membungkus kulitnya yang putih.

   Dialah Yang Seng, Ketua Perguruan Topeng Hitam.

   "Hm..., rupanya dia yang memimpin pasukan ini!"

   Gumam Bong Mini ketika melihat sosok tubuh Yang Seng.

   Dia memang telah melihatnya saat Giwang dan pasukannya menyerang pasukan Partai Persatuan Ular Hitam (jelasnya, silakan baca serial Putri Bong Mini sebelumnya dalam episode.

   'Hilangnya Seorang Pendekar').

   Yang Seng melangkah dengan tenang.

   Namun keti-ka matanya melihat mayat-mayat yang berserakan, dia menjadi terkejut.

   Apalagi mayat-mayat itu adalah tubuh para pengikutnya.

   Dari serakan mayat, panda-ngannya beralih pada Bong Mini yang tengah berdiri tegak sambil menggenggam sebilah pedang berlumur darah.

   "Rupanya kau datang hendak membuat kerusuhan, Nona!"

   Geram Yang Seng dengan sorot mata berkobar-kobar gusar.

   "Ini semua kesalahan mereka. Mereka menyerangku tanpa memiliki ilmu silat yang baik!"

   Kilah Bong Mini tenang. Walaupun ucapan Bong Mini itu datar, tetapi justru membuat telinga Yang Seng sangat panas. Ucapan itu mengandung ejekan yang amat pedas.

   "Apa keinginanmu yang sebenarnya, Bocah Som-bong?"

   Tanya Yang Seng, masih mencoba menahan amarahnya.

   "Hm...!"

   Ketus Bong Mini.

   "Ketahuilah bahwa keda-tanganku ke sini tidak lain hendak menebas kepa-lamu!"

   Geram Bong Mini seraya menudingkan pedang-nya yang berlumuran darah ke arah Yang Seng. Mendengar ucapan Bong Mini yang demikian lan-tang, tentu saja sangat mengejutkan Yang Seng. Wa-jahnya yang memerah menahan marah bertambah ter-bakar.

   "Dasar perempuan! Dikasih hati malah kurang a-jar!"

   Geram Yang Seng sambil maju beberapa langkah ke arah Bong Mini.

   "Kalau itu penilaianmu terhadap wanita, tunjuk-kanlah keberanianmu! Jangan hanya bisa memperkosa dan menculik saja!"

   Kembali Bong Mini mengejek.

   Yang Seng yang memang sejak tadi sudah naik pi-tam, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya.

   Tan-pa banyak cakap lagi, ia langsung mengirim serangan pada Bong Mini.

   Tapi gadis yang berdiri di depannya itu bukan gadis sembarangan.

   Ia telah memiliki kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang cukup dibangga-kan.

   Dengan gesit gadis itu menghindari serangan lawannya dengan cara meloncat berputar dan berdiri kembali di atas tanah, tepat di belakang musuhnya.

   Yang Seng yang sudah kalap karena merasa diper-mainkan oleh gadis kecil itu segera membalikkan tu-buh dan menyerang kembali lawannya.

   Tapi Bong Mini yang sudah siap menghadapi sera-ngan musuh, segera berkelit dengan cara memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.

   Sedangkan kakinya te-rangkat lurus, menendang ke perut lawan.

   Bug! Tendangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu te-rasa menyesakkan, hingga lawannya terjungkal dua langkah ke belakang.

   Tapi segera ia berdiri kembali dengan sorot mata yang merah memandang Bong Mini.

   "Jahanam! Akan kuremukkan tubuhmu!"

   Geram Yang Seng sambil mengerahkan tenaga dalamnya.

   "Hiaaat..., hah...!"

   Yang Seng menghentakkan kedua tangannya ke de-pan.

   Namun, lagi-lagi gadis yang dihadapinya dengan cepat dapat mengelak.

   Sehingga tenaga dalam yang dihentakkan Yang Seng bukan mengenai tubuh Bong Mini, melainkan tembok perguruannya sendiri.

   Brukkk! Tembok dinding rumah yang terkena hantaman te-naga dalam Yang Seng langsung ambruk berkeping-ke-ping.

   Dan itu sangat membuat Yang Seng makin gusar.

   "Heh! Perempuan tengik! Sebutkan siapa namamu sebelum nyawamu kuantar ke neraka!"

   Geram Yang Seng dengan napas memburu menahan gejolak darah-nya yang mulai memanasi sekujur tubuhnya.

   "Akulah Bong Mini. Putri Bongkap!"

   Sahut Bong Mi-ni, lantang.

   Yang Seng terperangah kaget ketika nama Bongkap disebutkan.

   Dia tahu betul siapa Bongkap.

   Karena Bongkap satu-satunya orang yang menjadi penghalang bagi Perguruan Topeng Hitam.

   Kini dia berhadapan dengan seorang gadis mungil yang mengaku putrinya Bongkap, maka bertambah besarlah kemarahannya.

   "Kebetulan kalau kau putrinya Bongkap. Karena su-dah lama Perguruan Topeng Hitam akan membunuh dan menghancurkan seluruh keluarga Bongkap!"

   Ujar-nya, setelah itu Yang Seng langsung mengirim pukulan 'Angin Setan Mencekik Leher' yang didapatnya dari Nyi Genit, istri Kidarga.

   Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan lawan menjadi heran.

   Karena hentakan dari kedua te-lapak tangan lawan tidak memberikan reaksi apa-apa.

   Namun beberapa detik kemudian ia merasakan angin dingin yang mendekati lehernya.

   Kemudian angin yang menimbulkan dingin seperti es itu seperti membelit lehernya.

   Belitan angin dingin itu semakin lama bertambah keras menekan lehernya bagai mencekik.

   Gadis bertubuh mungil itu berusaha meronta, me-lepaskan angin dingin yang mencekik lehernya.

   Namun semakin ia bergerak, semakin kuat pula cekikan angin itu.

   Melihat Bong Mini kewalahan menghadapi serangan 'Angin Setan Mencekik Leher', Yang Seng tertawa terbahak-bahak.

   "Rasakanlah, tikus kecil. Sudah waktunya kau ku-kirim ke neraka!"

   Ejek Yang Seng di sela tawanya.

   Keempat lelaki dari Perguruan Topeng Hitam yang sudah menjadi pengikut Bong Mini merasa khawatir akan keselamatan gadis itu.

   Mereka ingin menolong, tapi tidak tahu bagaimana caranya.


Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto

Cari Blog Ini