Ceritasilat Novel Online

Malaikat Bangau Sakti 2


Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti Bagian 2



Tangan kanannya membawa nampan berisi segelas arak.

   Malaikat Bangau Sakti segera menyambut.

   Lalu ditenggak-nya arak sampai tandas.

   Setelah itu dia menatap berlama-lama wajah wanita cantik yang berdiri di hadapannya.

   "Hari ini kau kelihatan sangat cantik, In-darwa...,"

   Puji lelaki berwajah pucat itu sambil mengulum senyum. Wanita yang dipanggil Indarwa membalas senyum itu. Pergelangan tangannya dilingkarkan ke pinggang Malaikat Bangau Sakti.

   "Kau juga sangat tampan, Margana Kalpa...,"

   Bisiknya pelan. Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak. Di dekapnya tubuh Indarwa dengan erat. Dia pun menghadiahkan kecupan mesra di bibir wanita cantik itu.

   "Aku senang kau menyebut nama kecilku,"

   Ucap Margana Kalpa seraya mentowel dagu In-darwa.

   "Mengapa kau perintahkan Empat Penguasa Penjuru Angin dalam waktu yang hampir ber-samaan, Kekasihku?"

   Tanya Indarwa sambil men-gerjapkan matanya menggoda.

   "Supaya cita-citaku untuk menguasai rim-ba persilatan segera terwujud,"

   Malaikat Bangau Sakti memberi alasan.

   "Tapi, apakah kau telah mendapatkan Wa-siat Datuk Risanwari yang katamu akan menjadi penghalang?"

   Mendadak Malaikat Bangau Sakti menden-gus keras.

   Matanya nyalang menatap dinding ruangan.

   Melihat perubahan sikap yang demikian mendadak, Indarwa yang sebenarnya seorang to-koh sesat jajaran atas yang berjuluk Setan Betina itu segera memeluk tubuh Margana Kalpa.

   Di-elusnya dada lelaki berwajah pucat itu dengan lembut "Kenapa mesti gusar? Bukankah anak buahmu sangat banyak? Aku percaya mereka akan dapat mewujudkan segala keinginanmu,"

   Bisik Indarwa lembut sekali dengan bibir menyen-tuh telinga.

   "Kau memang pandai menghibur hatiku, Indarwa...,"

   Kata Malaikat Bangau Sakti. Kemudian dia mengecup dahi kekasihnya.

   "Aku bukan pandai menghibur. Hanya, aku tidak suka melihatmu terbawa luapan amarah,"

   Ucap Indarwa.

   Hembusan napasnya yang harum menerpa wajah Margana Kalpa.

   Lelaki berwajah pucat itu lalu mencium bi-bir Indarwa.

   Setan Betina pun mempererat pelu-kannya.

   Margana Kalpa sejenak menatap wajah cantik yang terpampang dekat di hadapannya, sebelum mendaratkan ciuman ganas.

   Indarwa menggelinjang membalas ciuman itu hingga untuk beberapa lama bibir mereka berpagutan.

   "Kau sangat cantik, Indarwa...,"

   Bisik Margana Kalpa kemudian.

   "Dan kau sangat perkasa, Kekasihku...."

   Setelah berkata-kata sebentar, dua anak manusia itu berjalan sambil terus berpelukan.

   Mereka menuju ke sebuah kamar yang beraroma harum semerbak.

   Margana Kalpa menjatuhkan tubuh Indar-wa ke pembaringan.

   Sedangkan dia sendiri duduk di sisi wanita cantik itu.

   "Kenapa kau tidak melanjutkan?"

   Tanya Setan Betina. Malaikat Bangau Sakti tak memberi jawa-ban. Tangan kanannya menopang dagu. Sinar matanya pun terlihat suram. Indarwa bangkit lalu mengelus dada lelaki berwajah pucat itu seraya mencium lehernya.

   "Untuk menyenangkan hatimu, besok aku akan pergi mencari Wasiat Datuk Risanwari,"

   Bisik Indarwa.

   "Ah, kau tak perlu melakukannya. Tugas-mu adalah menemaniku bila aku berkeinginan untuk berjalan-jalan ke nirwana,"

   Ucap Margana Kalpa seraya meraih bahu Indarwa, lalu memba-ringkannya kembali.

   Di lumatnya bibir wanita cantik itu.

   Tan-gannya bergerak bebas menelusuri setiap jengkal tubuh Indarwa.

   Setan Betina menggelinjang.

   Sua-ra desahan berulang kali keluar dari mulutnya.

   Satu persatu pakaian yang menutupi tubuh In-darwa jatuh ke lantai.

   "Tunjukkanlah keperkasaanmu, Kekasih-ku...,"

   Bisik wanita cantik itu. Tak ada kata yang diucapkan Margana Kalpa. Mata lelaki berwajah pucat itu tiada bosan memandang lukisan keindahan tubuh Indarwa.

   "Kau memang sangat cantik, Indarwa...,"

   Ucapnya kemudian seraya menundukkan kepala Wajah Margana Kalpa terbenam di dada Setan Betina.

   Dengan gerak perlahan, bibir lelaki berwajah pucat itu lalu menelusuri ke bawah.

   Indarwa merintih.

   Kedua tangannya mere-mas rambut Margana Kalpa.

   Sementara di luar sinar mentari masih se-tia menerangi mayapada.

   Langit bersih tiada se-gumpal awan.

   Hembusan angin mengelus puncak Bukit Bangau.

   Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-wah berjalan melewati pintu gerbang.

   Puluhan lelaki yang menenteng golok di pinggang tampak menundukkan kepala memberi hormat Ketika telah sampai di ruang utama ban-gunan megah, Bayangan Hitam dan Penyedot Ar-wah saling berpandangan.

   "Panggil lah Sang Ketua, Sapi Dungu...!"

   Perintah Penyedot Arwah pada teman di samping-nya.

   "Huh! Terhadapku kau berkuasa apa?!"

   Bayangan Hitam berkata sinis.

   "Kerbau Bau! Kaulah yang harus mengerjakannya!"

   "Kau takut?"

   "Aku masih sayang nyawaku!"

   Penyedot Arwah tertawa mengejek.

   "Tak di-nyana penguasa wilayah barat ternyata mempu-nyai nyali tikus!"

   "Bangsat!"

   Umpat Bayangan Hitam.

   Telapak tangannya disabetkan ke wajah Penyedot Arwah.

   Beberapa lukisan yang menempel di dind-ing ruangan bergerak ke kiri-kanan terkena angin pukulan.

   Tapi hanya dengan melangkah mundur satu tindak serangan Bayangan Hitam tak men-genai sasaran.

   "Huh! Ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung'-mu memang hebat. Namun tak akan sanggup menandingi ilmu 'Penghisap Darah'ku!"

   Dengus Penyedot Arwah dengan mata berkilat "Baik. Kita buktikan!"

   Tantang Bayangan Hitam. Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Bayangan Hitam melayang di udara. Setelah ber-salto beberapa kali, dia mendarat dua tombak da-ri tempatnya semula.

   "Jangan menyesal bila riwayatmu putus sampai di sini!"

   Kata lelaki berjanggut panjang itu memperingatkan calon lawannya.

   "Justru akulah yang akan mencabut nya-wamu!"

   Timpal Penyedot Arwah seraya membuka kakinya. Dengan badan sedikit merunduk, telapak tangan lelaki bertubuh kekar itu menyorong ke depan. Bayangan Hitam pun siap sedia untuk me-nyambut ilmu pamungkas Penyedot Arwah "Heaaa...!"

   Dua teriakan menggema bersamaan.

   Sinar kuning yang meluncur dari telapak tangan Bayangan Hitam tertahan oleh kekuatan kasat mata.

   Hingga, menimbulkan percikan bunga api yang menyebar memenuhi ruangan.

   Selama lima tarikan napas tubuh kedua tokoh sesat itu berdiri kokoh di tempatnya.

   Tapi, Bayangan Hitam segera dapat merasakan kehebatan ilmu pamungkas Penyedot Arwah.

   Detak jan-tung lelaki berjanggut panjang itu menjadi tak teratur.

   Aliran darahnya kacau.

   Di dalam dada se-perti ada kekuatan yang menghentak-hentak.

   Tak lama kemudian, dari hidung dan sudut bibir Bayangan Hitam meleleh darah segar! Apa yang dirasakan Penyedot Arwah pun tak beda jauh.

   Tubuhnya yang kekar bergetar he-bat.

   Pandangan matanya mengabur.

   Dadanya ba-gai dipukul-pukuli palu godam, hingga terasa mau jebol! Sadarlah mereka berdua kalau ilmu pa-mungkas masing-masing mencapai taraf seim-bang.

   Mereka tak dapat menarik kembali kekua-tan tenaga dalam yang telah terlontar.

   Apabila salah seorang melakukannya, kekuatan lawan akan langsung menghantam dirinya tanpa dapat dihin-dari lagi.

   Jalan satu-satunya untuk melenyapkan dua kekuatan dahsyat itu adalah dengan menarik kembali tenaga dalam masing-masing secara ber-samaan.

   Tapi, siapa yang mau percaya lawan ti-dak akan berbuat curang? Menyadari hal itu, wajah Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam memucat.

   Malaikat Kema-tian tampaknya akan menjemput ajal mereka se-cara bersamaan! Pada saat yang genting tersebut, tiba-tiba seberkas cahaya kehitaman meluruk datang! Blaaammm...! Sebuah ledakan dahsyat menggema hingga menggetarkan lantai ruangan.

   Tubuh Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam terlempar memben-tur dinding.

   "Manusia-manusia yang telah hilang akal-nyalah yang patut melakukan tindakan seperti itu!"

   Malaikat Bangau Sakti tahu-tahu telah berdiri tegak di sisi pintu ruangan.

   Kedua tangan lelaki berwajah pucat itu masih mengepulkan asap hitam.

   Dengan memusnahkan kekuatan te-naga dalam Penyedot Arwah dan Bayangan Hi-tam, dia telah menunjukkan kehebatannya.

   Apa yang dilakukan Malaikat Bangau Sakti sama saja dengan melawan dua kekuatan tenaga dalam ke-dua anak buahnya.

   Jadi, dapat dibayangkan ting-ginya ilmu yang dimiliki pemimpin Perkumpulan Bangau Sakti itu.

   "Manusia-manusia busuk! Apakah kalian sengaja ingin memperlihatkan kepandaian di ha-dapanku? Ampunan yang telah kuberikan apakah tidak memuaskan kalian?!"

   Kata Malaikat Bangau Sakti dengan penuh kemarahan. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam sege-ra berlutut di hadapan lelaki berwajah pucat itu.

   "Hamba bersalah...,"

   Kata Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam bersamaan.

   Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti mendengus.

   Kaki kanannya digedrukkan ke lan-tai.

   Tubuh dua tokoh sesat itu pun terlontar dan membentur langit-langit ruangan, kemudian jatuh berdebam.

   Tapi mereka sedikit pun tak me-nunjukkan rasa sakit.

   Hanya desahan panjang yang terdengar.

   "Galungking Saba...,"

   Panggil Malaikat Bangau Sakti dengan suara berat.

   "Sudahkah kau bertemu dengan Resi Agaswara?"

   Penyedot Arwah menganggukkan kepa-lanya.

   "Jawab pertanyaanku, Galungking Saba!"

   Teriak Margana Kalpa. Lelaki bertubuh kekar yang disebut nama kecilnya itu segera berjalan mendekat.

   "Hamba telah melaksanakan tugas Sang Ketua dengan sebaik-baiknya,"

   Lapor Penyedot Arwah. Suaranya terdengar bergetar.

   "Ha-ha-ha...,"

   Tawa Margana Kalpa menggema berkepanjangan.

   "Berarti sebentar lagi anj-ing tua itu akan datang ke sini."

   "Tapi...,"

   Sela Galungking Saba dengan badan menggigil ketakutan.

   "Tapi apa, heh?!"

   Bentak Margana Kalpa tak senang.

   "Hamba... hamba...."

   "Keparat! Apa yang hendak kau katakan?!"

   "Hamba sudah menyampaikan undangan Sang Ketua, tapi kehadiran Resi Agaswara belum bisa ditentukan,"

   Akhirnya keluar juga kata-kata itu.

   "Goblok! Mestinya kau seret dia!"

   Mendengar kata-kata keras Malaikat Ban-gau Sakti, Galungking Saba semakin terjerat rasa takut.

   "Menurut ilmu 'Jangka Depan'ku, hanya Resi itulah yang sanggup membangkitkan arwah guruku Dewa Tapak Hitam,"

   Lanjut Margana kal-pa.

   "Tapi Sang Ketua tidak perlu kecewa. Ham-ba membawa wasiat Datuk Risanwari...."

   "Hah?!"

   Mata Margana Kalpa terbelalak ketika Pe-nyedot Arwah mengeluarkan gulungan kulit ha-rimau dari balik bajunya.

   Tawa Malaikat Bangau Sakti menggema berkepanjangan.

   Benda-benda yang berada di da-lam ruangan sampai berjatuhan.

   Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam merasakan jantung mereka berdegup cepat bersama aliran darah yang tiba-tiba menjadi kacau.

   Gendang telinga pun bergetar keras bagai ditampar berulang kali.

   Sungguh hebat kekuatan tenaga dalam Margana Kalpa.

   "Bagus! Bagus, Galungking Saba. Kau telah menebus kesalahanmu...,"

   Kata Margana Kalpa kemudian. Disambarnya gulungan kulit harimau dari tangan Penyedot Arwah. Tapi, lelaki berwajah pucat itu jadi terkejut. Telapak tangannya terasa panas bagai teraliri api neraka.

   "Benda wasiat yang hebat,"

   Desis laki-laki itu seraya mengerahkan tenaga dalam. Perlahan-lahan gulungan kulit harimau di buka. Malaikat Bangau Sakti pun membaca bari-san huruf-huruf yang tertulis di atas kulit "Ha-ha-ha...!"

   Tawa lelaki berwajah pucat itu menggema lagi. Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri.

   "Anak ajaib...,"

   Gumam Margana Kalpa.

   "Sebelum orang yang disebut si Pelindung Tua berbuat sesuatu, aku akan melenyapkan nyawa anak ajaib itu. Tapi, siapakah dia?"

   Dahi lelaki berwajah pucat itu berkerut. Otaknya dipaksa untuk bekerja keras. Beberapa lama dia berdiri terpaku di tempatnya. Tiba-tiba dia mengulas senyum kemenangan.

   "Kenapa aku mesti susah-susah memikir-kannya?"

   Kata hati lelaki berwajah pucat itu.

   "Kalau aku memusnahkan gulungan kulit harimau ini, tak akan ada masalah!"

   Malaikat Bangau Sakti menatap sejenak Wasiat Datuk Risanwari dalam genggamannya.

   Lalu, sinar matanya berkilat.

   Margana Kalpa mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.

   Ssss...! Muncul suara desisan mirip bara api yang tersiram air.

   Gulungan kulit harimau mengelua-rkan asap.

   Margana Kalpa terkejut bukan main melihat benda itu tak terbakar.

   Dia segera me-nambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke puncak.

   Suara desisan semakin terdengar jelas.

   Margana Kalpa bertambah terkejut.

   Gulungan ku-lit harimau yang sedang diremasnya tak juga terbakar.

   Padahal, kekuatan tenaga dalam yang dis-alurkan ke tangannya sudah sanggup untuk me-lelehkan sebatang baja.

   Tiba-tiba, Malaikat Bangau Sakti merasa seperti terhantam kekuatan kasat mata.

   Dia pun meregangkan cengkeramannya pada gulungan kulit harimau.

   Splass...! Gulungan kulit harimau melayang, dan melesat cepat keluar dari ruangan.

   Margana Kalpa terkejut bukan main bagai disambar petir.

   Demikian pula halnya dengan Pe-nyedot Arwah dan Bayangan Hitam yang duduk bersimpuh tak jauh darinya.

   Malaikat Bangau Sakti menghemposkan tubuhnya untuk mengejar.

   Namun, gulungan ku-lit harimau telah lenyap dari pandangan.

   Lelaki berwajah pucat itu kembali sambil menggerutu panjang-pendek.

   "Kekuatan kaum hitam terancam...,"

   Gumam Margana Kalpa penuh kecemasan.

   "Aku harus mencari tahu siapa sebenarnya anak ajaib yang dimaksud Datuk Risanwari."

   Tanpa mempedulikan Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam, lelaki berwajah pucat itu segera berjalan menuju ke sebuah ruangan berdinding hitam.

   Dengan duduk bersila sambil memejam-kan mata, Margana Kalpa mengerahkan kekuatan indera keenamnya.

   Alam pikiran lelaki berwajah pucat itu segera melayang-layang mengitari mayapada.

   Tiga hari lamanya Malaikat Bangau Sakti melakukan semadi.

   Selama itu tubuhnya tak ber-gerak sedikit pun dari kedudukannya.

   Alam piki-ran lelaki berwajah pucat itu terus melayang-layang mencari jawaban mengenai anak ajaib.

   Memasuki hari keempat, mendadak bibir Margana Kalpa mengembangkan senyum.

   "Suropati...!"

   Desis Malaikat Bangau Sakti seraya membuka mata. Lelaki berwajah pucat itu lalu bangkit, dan tertawa terbahak-bahak.

   "Kau tampaknya sangat gembira hari ini,"

   Kata Indarwa atau Setan Betina yang tiba-tiba muncul di tempat itu.

   "Aku memang sangat gembira, Kekasihku. Sebentar lagi satu penghalang bagi terwujudnya cita-citaku akan dapat kulenyapkan!"

   Kata Malaikat Bangau Sakti seraya berjalan keluar ruangan.

   Indarwa mengikutinya dari belakang.

   Margana Kalpa mengumpulkan seluruh anak buahnya yang berjumlah empat ratus orang.

   Dibaginya mereka menjadi delapan kelompok yang masing-masing dipimpin oleh seseorang pe-mimpin.

   "Hari ini juga kita akan menggempur Per-kumpulan Pengemis Tongkat Sakti di Bukit Pan-galasan!"

   Kata Malaikat Bangau Sakti sambil berdiri di sebuah undak-undakan.

   "Tapi ingat, tiap kelompok yang telah kususun harus bergerak sendiri-sendiri. Jangan sampai ketahuan lawan atau pun tercium oleh pihak kerajaan."

   Setelah lelaki berwajah pucat itu memberi-kan petunjuk-petunjuk, seluruh anak buahnya segera menuruni bukit.

   Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam diperintah untuk bergerak paling depan sambil mencari Dewa Laknat dan Pencabik Sukma untuk bergabung.

   Sepeninggal para anggota Perkumpulan Bangau Sakti, Setan Betina menghadap Margana Kalpa.

   "Kau yakin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti akan dapat dibumihanguskan dalam per-siapan yang demikian singkat?"

   Tanya wanita cantik itu.

   "Kenapa tidak?!"

   Jawab Margana Kalpa.

   "Tokoh sakti yang bercokol di dalam perkumpulan itu hanya beberapa gelintir. Aku kira, hanya Gede Panjalu dan Suropati sendirilah yang patut diper-hitungkan."

   Lelaki berwajah pucat itu mendapat semua petunjuk mengenai Perkumpulan Pengemis yang dipimpin Suropati melalui semadinya selama tiga hari. Termasuk tentang pentolan-pentotan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

   "Tapi, bagaimana kalau pihak kerajaan mengetahui gerakan kita? Bukankah Suropati atau Pengemis Binal itu mempunyai hubungan dekat dengan Baginda Prabu Arya Dewantara?"

   "Maka dari itu aku akan berangkat menda-hului."

   Malaikat Bangau Sakti lalu bersuit nyaring. Sebentar kemudian, di angkasa tampak seekor bangau hitam raksasa terbang cepat dan menukik turun di hadapan Margana Kalpa.

   "Kaaakkk..! Kaaakkk...!"

   Bangau raksasa itu merundukkan tubuh-nya. Malaikat Bangau Sakti meloncat ke pung-gung hewan tersebut "Bawa aku ke Bukit Pangalasan, Hitam...!"

   Perintah lelaki berwajah pucat seraya menepuk leher bangau raksasa.

   "Tunggu!"

   Teriak Setan Betina.

   "Apakah aku tidak boleh ikut serta?"

   "Tidak! jawab Margana Kalpa.

   "Kau berjaga-jagalah di sini bersama lima puluh orang anggota perkumpulan kita yang kutinggalkan."

   Lelaki berwajah pucat kemudian menghen-takkan kedua kakinya.

   "Kaaakkk..!"

   Bangau raksasa mengepakkan sayap.

   Tubuhnya lalu melesat di angkasa dengan membawa tubuh Malaikat Bangau Sakti.

   Setan Betina menatap kepergiannya tanpa berkedip.

   Dia lalu memberi perintah kepada lima puluh orang yang berdiri di halaman istana untuk berjaga-jaga di pintu gerbang.

   Di ruang utama bangunan megah wanita cantik itu tertawa terbahak-bahak waktu melihat dua orang lelaki berdiri dengan gagahnya.

   Mereka adalah Dewa Laknat dan Pencabik Sukma.

   "Kalamambang dan kau, Narakasura...,"

   Kata Setan Betina menyebut nama kecil kedua to-koh sesat itu.

   "Bukankah kesempatan seperti ini yang telah lama kita tunggu? Ha-ha-ha...!"

   Setan Betina kembali tertawa terbahak-bahak. Kalamambang dan Narakasura mengikuti. Ruangan yang mereka tempati bergetar oleh gelak tawa ketiga orang itu.

   "Keinginan kita akan segera terwujud, In-darwa...,"

   Kata Kalamambang atau si Dewa Laknat "Jalan untuk memusnahkan kekuatan Mar-gana Kalpa sudah terpampang di depan mata."

   "Benar!"

   Ucap Setan Betina.

   "Orang-orang kita yang menyusup ke dalam tubuh Perkumpulan Bangau Sakti akan menggempur anak buah Margana Kalpa di tengah jalan. Dan untuk meng-hadapi Penyedot Arwah serta Bayangan Hitam, aku kira kalian berdua cukup mempunyai ke-mampuan." 'Tapi, yang paling berat adalah menghadapi Mangana Kalpa,"

   Kata Narakasura atau si Pencabik Sukma.

   "Kau meremehkan kemampuanku, Naraka-sura!"

   Rungut Indarwa tak senang.

   "Kau sanggup menghadapinya?"

   Tanya Narakasura meragukan kemampuan temannya. Setan Betina tertawa lunak.

   "Apa gunanya aku setiap saat selalu bersama lelaki busuk itu, bila tidak untuk mencari rahasia kelemahan ilmunya?"

   "Kau sudah menemukannya?"

   "Tentu saja sudah. Aku hanya menunggu kesempatan...,"

   Kata Indarwa sambil mengulas senyum.

   "Kini kesempatan itu telah tiba. Sekarang juga kita akan memanfaatkannya!"

   Kalamambang dan Narakasura tertawa ke-senangan.

   "Dendam kesumatku akan terlampiaskan. Dan, kita bertiga akan menjadi raja di raja rimba persilatan!"

   Kata Kalamambang dengan mata berkilat. Indarwa lalu pergi ke sebuah lorong yang terletak di bagian belakang bangunan Perkumpulan Bangau Sakti. Kalamambang dan Narakasura mengikuti wanita itu, yang kini dianggapnya se-bagai pemimpin.

   "Kesaktian Margana Kalpa yang sedemikian hebat adalah berkat bantuan arwah gurunya yang bergelar Dewa Tapak Hitam...,"

   Beritahu Setan Betina. Langkah kakinya berhenti di depan sebuah dinding yang terbuat dari batu kasar.

   "Namun, kita akan segera menciptakan malapetaka bagi arwah orang tua bangkotan itu!"

   Indarwa menekan tonjolan batu kecil ber-warna hitam yang menempel di pojok ruangan. Tapi, Indarwa terperangah karena maksud ha-tinya tak terpenuhi.

   "Kenapa batu besar yang menutup ruang penyimpan jasad Dewa Tapak Hitam tak berges-er?"

   Tanya wanita cantik itu kebingungan.

   Dicobanya menekan kembali batu kecil berwarna hitam dengan kakinya yang berlambar-kan kekuatan tenaga dalam.

   Kresh...! Batu kecil hancur menjadi serbuk halus.

   Tapi, batu besar yang berada di samping Setan Betina sama sekali tak bergerak.

   "Kau sedang melakukan apa?"

   Tanya Narakasura tak mengerti melihat tindakan Indarwa.

   "Jasad Dewa Tapak Hitam berada di balik batu besar itu. Aku sedang mencoba untuk mem-bukanya."

   "Apakah Margana Kalpa juga melakukan hal serupa bila hendak menemui jasad gurunya?"

   "Ya. Tapi, kenapa aku tak dapat melaku-kannya?"

   Indarwa semakin kebingungan.

   "Margana Kalpa tentu telah melakukan se-suatu untuk melindungi jasad Dewa Tapak Hi-tam,"

   Duga Kalamambang.

   "Kalau begitu, kita harus menghancurkan batu penghalang itu!"

   Setan Betina melangkah mundur tiga tin-dak.

   Diambilnya ancang-ancang.

   Kemudian ke-dua telapak tangannya menghentak ke depan! Blaaarrr...! Ledakan dahsyat menggema.

   Ruangan ba-gai diguncangkan tangan raksasa.

   Tapi, batu be-sar yang terhantam kekuatan tenaga dalam In-darwa tetap berdiri kokoh di tempatnya.

   "Kalian berdua harus membantuku!"

   Teriak Setan Betina menyimpan kegusaran.

   Dewa Laknat dan Pencabik Sukma segera melompat di sisi wanita cantik itu.

   Mereka bertiga menyalurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

   Dan, dalam waktu yang bersamaan ketiganya mendorong telapak tangan.

   Wooosss...! Blaaammm...! Bunga api berpijaran.

   Guncangan hebat terjadi.

   Langit-langit ruangan runtuh.

   Debu dan bebatuan beterbangan mengaburkan pandangan.

   Batu besar yang merupakan pintu ruang penyim-pan jasad Dewa Tapak Hitam tak bergeming sedi-kit pun.

   Padahal dinding marmer di sisi kiri-kanan batu telah hancur berkeping-keping.

   Tentu saja kenyataan itu membuat Setan Betina dan kedua temannya terkejut setengah mati.

   Belum sempat mereka menyadari keadaan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan.

   "Malaikat Bangau Sakti!"

   Desis ketiga tokoh sesat itu bersamaan.

   "Kita sudah kepalang tanggung. Kita hada-pi manusia busuk itu!"

   Perintah Indarwa.

   "Aku tak sanggup,"

   Jawab Kalamambang dan Narakasura.

   "Pengecut! Bukankah kalian penguasa wi-layah selatan dan utara? Untuk apa kesaktian yang kalian miliki bila seseorang telah merendahkan derajat kalian sebagai raja golongan sesat?"

   "Tapi, aku telah merasakan kehebatan Margana Kalpa,"

   Ucap Kalamambang menyimpan rasa takut "Bodoh!"

   Umpat Indarwa.

   "Sekarang kau tidak sendirian!"

   Mendengar ucapan itu, nyali Kalamambang muncul kembali. Dia berdiri tegak menunjukkan kegagahannya.

   "Keluar kau, Margana Kalpa.'"

   Teriak Setan Betina yang disertai pengerahan tenaga dalam. Suaranya terdengar mendengung-dengung di gendang telinga. Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat. Lima tombak dari hadapan Indarwa dan kedua temannya, sosok itu mendarat.

   "Aku memang telah mencium siasat licik kalian...,"

   Kata Margana Kalpa mendengus.

   "Rupanya kau musuh dalam selimut, Indarwa!"

   "Cih! Siapa yang sudi jadi budak lelaki busuk sepertimu!"

   Sahut Indarwa kertus. Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana.

   "Di balik kecantikanmu ternyata tersimpan iri dengki yang demikian besar!"

   Ucapnya sinis.

   "Kau lupa aku adalah tokoh hitam yang se-lalu memuja nafsu sesat!"

   Sahut Indarwa.

   "Bagus! Kalau begitu, kejarlah nafsu se-satmu sampai ke neraka!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, Margana Kalpa menghemposkan tubuh untuk melancarkan sebuah pukulan maut.

   Tapi, Setan Betina yang sudah siap siaga berusaha mendahului serangan itu dengan tendangan tertuju ke kepala.

   Gebrakan pertama mereka sama-sama tak mengenai sasaran.

   Margana Kalpa mendengus keras.

   Lelaki itu bergerak ke samping seraya mengirimkan to-tokan maut ke punggung Indarwa.

   Namun Dewa Laknat dan Pencabik Sukma telah mengawali se-rangannya.

   "Monyet-monyet busuk! Kalian akan segera menyusul nyawa para cecunguk anak buahmu!"

   Kata Malaikat Bangau Sakti sambil menepis pu-kulan dan tendangan yang datang beruntun.

   "Orang-orangku tidak akan semudah itu dapat dikalahkan,"

   Ucap Narakasura. Margana Kalpa tertawa sinis.

   "Para pengi-kutmu sudah masuk ke lubang jebakan. Kini aku akan melemparkanmu ke lubang neraka!"

   Lelaki berwajah pucat itu menghemposkan tubuhnya ke atas. Kemudian, meluncur deras un-tuk melancarkan tendangan ke rusuk kiri Penca-bik Sukma. Tapi, lelaki sipit berkuku panjang itu segera bergerak mencakar wajah Malaikat Bangau Sakti.

   "Uts...!"

   Margana Kalpa berkelit.

   Sementara ten-dangan kakinya terhenti akibat tangkisan tangan kiri Narakasura.

   Setan Betina dan Kalamambang berteriak bersamaan.

   Mereka melancarkan pukulan dengan berlambarkan kekuatan tenaga dalam penuh.

   Deeesss...! Dada dan punggung Malaikat Bangau Sakti terkena pukulan dengan telak.

   Dia hanya men-dengus seperti tak merasakan apa-apa.

   Setan Be-tina dan Kalamambang tampak terkejut sekali.

   "Kalian hanyalah tikus-tikus yang tak tahu diuntung!"

   Maki Margana Kalpa. Cepat tubuhnya diputar hingga menyerupai gangsingan. Slash...! Cahaya hitam mendadak berpendar dari putaran tubuh Margana Kalpa. Sinar itu menye-bar memenuhi ruangan.

   "Awas...!"

   Teriak Setan Betina sambil menghemposkan tubuhnya.

   Tindakan itu segera diikuti oleh Dewa Lak-nat dan Pencabik Sukma.

   Tubuh ke tiga tokoh se-sat itu meluncur ke atas, dan menjebol langit-langit ruangan.

   Bersamaan dengan hancurnya dinding ruangan yang terhempas cahaya hitam dari putaran tubuh Malaikat Bangau Sakti.

   Pertempuran seru beralih ke halaman ban-gunan megah.

   Bahu-membahu.

   Setan Betina ber-sama kedua temannya berusaha mendesak Mar-gana Kalpa.

   Sementara itu lima-puluh orang lelaki yang sedang berjaga di pintu gerbang, ketika melihat pertempuran itu, seketika mereka saling gempur.

   Lima puluh lelaki itu memang anggota Perkumpu-lan Bangau Sakti, separuhnya adalah para pengi-kut Narakasura yang bermaksud meruntuhkan kekuasaan Margana Kalpa dari tampuk pimpinan.

   "Aku akan segera melumat tubuh kalian!"

   Teriak Malaikat Bangau Sakti seraya menghem-boskan tubuhnya menjauhi arena pertempuran.

   Rupanya dia hendak mencari keleluasaan dalam mengetrapkan ajian saktinya.

   Namun, ketiga lawannya sedikit pun tak memberi kesempatan.

   Mereka terus menerjang ganas berusaha menjatuhkan tangan maut.

   "Keparat!"

   Umpat Margana Kalpa.

   "Kalian benar-benar ingin mampus!"

   Lelaki berwajah pucat itu memutar tubuh-nya dengan cepat.

   Cahaya hitam kembali berpen-dar dari putaran tubuhnya.

   Tapi, ketiga lawannya telah meloncat tinggi seraya melontarkan pukulan jarak jauh secara bersamaan! Blaaarrr...! Gabungan ketiga pukulan jarak jauh itu membentur cahaya hitam.

   Tubuh Malaikat Ban-gau Sakti langsung berhenti berputar.

   Namun, dia tertawa terbahak-bahak mengiringi tubuhnya yang mendadak melesat di udara.

   Dees...

   dees...

   dees...! Tubuh Setan Betina, Dewa Laknat, dan Pencabik Sukma terbanting ke tanah terkena ten-dangan Margana Kalpa.

   Tawa Lelaki berwajah pu-cat itu terdengar makin keras, membuat jantung orang-orang yang berada di tempat itu berdegup kencang.

   Ketiga tokoh sesat yang tergeletak di tanah bergegas bangkit berdiri.

   Mereka membentuk ba-risan berjajar dan saling merangkul.

   Kemudian, berloncatan hingga membentuk barisan di mana Setan Betina berada di depan.

   Di belakangnya Dewa Laknat menempelkan telapak tangan di punggung wanita cantik itu.

   Di belakang sekali Pencabik Sukma berbuat serupa.

   Kekuatan tena-ga dalam tiga tokoh sesat itu kini telah disatukan! Malaikat Bangau Sakti hanya menatap dengan sinis.

   Kedua telapak tangannya lalu di gerakkan seperti sedang mengusap suatu benda.

   Slaps...! Muncul cahaya kelabu di depan tubuh le-laki berwajah pucat itu.

   "Tunggu apa lagi? Segera kirim Malaikat Kematian kepadaku!"

   Teriak Margana Kalpa.

   Setan Betina menggeram.

   Kedua telapak tangannya dihentakkan ke depan untuk mengi-rimkan pukulan jarak jauh.

   Blaaammm...! Ledakan yang sangat dahsyat terdengar.

   Pukulan jarak jauh Setan Betina yang disaluri kekuatan tenaga dalam kedua temannya mem-bentur cahaya kelabu di depan tubuh Malaikat Bangau Sakti.

   Suatu pemandangan yang menggiriskan terjadi.

   Dinding bangunan megah berguncang ke-ras bagai terlanda gempa.

   Genteng-genteng ter-lontar dari tempatnya.

   Yang lebih mengerikan adalah teriakan kematian dari lima puluhan ang-gota Perkumpulan Bangau Sakti.

   Tubuh mereka yang sedang saling serang mendadak jatuh berge-letakan dengan lubang hidung dan telinga menga-lirkan darah segar.

   Sedangkan Setan Betina, Dewa Laknat, dan Pencabik Sukma terlontar jauh hingga men-jebolkan benteng setebal satu depa.

   Ketiga tokoh sesat itu masih sempat menggeliat.

   Lalu, mengejang dan diam tak berkutik untuk selama-lamanya.

   Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak.

   "Tak ada seorang manusia pun yang boleh menghalangi cita-citaku untuk merajai rimba persilatan!"

   Margana Kalpa mengakhiri ucapannya dengan suitan nyaring.

   "Kaaakkk...! Muncul bangau hitam raksasa yang ter-bang rendah. Margana Kalpa meloncat, dan hing-gap tepat di punggung bangau raksasa itu.

   "Kaaakkk..!"

   Sayap bangau sakti mengepak.

   Burung itu melesat cepat menuju lereng bukit di mana per-tempuran antara anak buah Margana Kalpa me-lawan para pengikut Narakasura sedang berlang-sung.

   Orang-orang yang membelot dari Perkum-pulan Bangau Sakti terdesak oleh tangan maut yang dilancarkan Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam.

   Dengan kedatangan Malaikat Bangau Sak-ti, mereka jadi semakin terdesak.

   Sebentar saja nyawa mereka melayang tiada tersisa.

   Bangau hitam berdiri tegak di atas tanah.

   Di punggungnya Margana Kalpa menatap gusar pada jumlah anak buahnya yang tinggal dua ra-tus orang.

   "Apakah kita akan meneruskan perjalanan ke Bukit Pangalasan?"

   Tanya Galang Gepak atau Bayangan Hitam.

   "Untuk kembali ke markas kita sudah ke-palang-tanggung,"

   Jawab Malaikat Bangau Sakti.

   "Jadi, niat untuk menggempur Perkumpu-lan Pengemis Tongkat Sakti tetap diteruskan?"

   "Benar!"

   Margana Kalpa mengangguk mantap.

   "Kau bersama Galungking Saba harus dapat memimpin para anggota perkumpulan kita. Sece-patnya menuju Bukit Pangalasan!"

   "Hamba akan menjalankan perintah se-baik-baiknya,"

   Sahut Galang Gepak.

   Lelaki berjanggut panjang itu segera men-gatur para anggota Perkumpulan Bangau Sakti untuk melanjutkan perjalanan.

   Sedangkan Malai-kat Bangau Sakti langsung terbang bersama ban-gau raksasanya.

   Di sebuah gua yang terletak di Bukit Ra-wangun sesosok tubuh terbujur kaku.

   Napas dan detak jantungnya sudah berhenti.

   Tapi, suhu ba-dannya masih normal.

   Hal itulah yang membuat daging sosok tubuh itu tidak membusuk, walau telah enam candra lebih terbaring di sana.

   Dia adalah Suropati atau Pengemis Binal.

   Pemuda itu mati suri akibat terkena kehebatan ilmu 'Cahaya Sesat' saat bertempur melawan Se-kar Mayang di Lembah Tengkorak.

   Seorang pemuda berwajah lembut berjalan perlahan membawa tongkat yang diketuk-ketukkan di atas tanah.

   Dihampirinya tubuh Su-ropati.

   "Suro...,"

   Panggil pemuda itu yang tak lain Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang.

   Kedua matanya buta oleh serangan racun abdi Se-kar Mayang yang berjuluk Setan Racun.

   Pemuda berwajah lembut itu meraba-raba Suropati.

   Tak lama kemudian keluar rintihan dari mulutnya.

   Raka Maruta menangis dalam haru.

   Seorang pemuda tampan berambut pirang mun-cul dan menepuk bahunya.

   "Pendekar Cengeng..."

   Kata pemuda tampan itu yang tak lain Kapi Anggara atau si Pendekar Asmara. Raka Maruta hanya meraba tangan sahabatnya. Lalu, menundukkan kepala dalam-dalam.

   "Bagi seorang pendekar, nilai pengorbanan untuk menegakkan kebenaran tak perlu disesali,"

   Ucap Kapi Anggara menasihati.

   "Siapa yang menyesali?"

   Kata Raka Maruta bernada protes.

   "Lalu, kenapa kau menangis?"

   "Aku hanya merasa kasihan kepada diriku sendiri. Mataku buta, Anggara. Aku juga tidak bi-sa berbuat apa-apa untuk menolong Suropati yang telah kuanggap sebagai adik kandungku!"

   "Kalaupun matamu bisa melihat, apakah kau akan dapat menolong Suropati? Tidak, Maru-ta! Banyak tokoh sakti yang dapat melihat tapi tak mampu mengembalikan jiwa Suropati."

   Mendengar ucapan Kapi Anggara, Raka Maruta diam termenung. Memang benar apa yang dikatakan Kapi Anggara.

   "Ke mana Wajah Merah?"

   Tanya pemuda berwajah lembut itu kemudian.

   "Sebentar lagi dia akan datang."

   Bersamaan dengan usainya kalimat Kapi Anggara, seo-rang lelaki tua berjalan terbungkuk menghampiri mereka.

   Rambut Lelaki tua itu sudah berwarna pu-tih semua.

   Dibiarkannya tergerai sampai di punggung.

   Kulit tubuhnya putih bersih.

   Terbungkus pakaian berwarna kuning.

   Tapi, yang membuat penampilan lelaki tua itu tampak aneh adalah kulit wajahnya yang bersemu merah seperti tomat matang.

   Karena itulah dia dijuluki si Wajah Me-rah.

   Lelaki tua itu dikenal di rimba persilatan sebagai seorang tabib terkenal.

   "Kalian minggirlah,"

   Perintah Wajah Merah seraya memberi isyarat dengan tangan. Raka Maruta beringsut menjauhi tubuh Suropati. Kapi Anggara berjalan mendekati Wajah Merah yang duduk bersila.

   "Kau juga minggir!"

   Bentak tabib pandai itu.

   Kapi Anggara bergegas menjauh.

   Diperha-tikannya wajah lelaki tua yang telah menyembuh-kan luka dalamnya akibat gempuran Iblis Darah di Lembah Tengkorak.

   Wajah Merah menyedekapkan kedua tan-gan.

   Matanya terpejam rapat.

   Alam pikiran tabib pandai itu segera mencapai keheningan.

   Sebentar kemudian, mata batinnya melihat cahaya terang.

   Jiwa Wajah Merah melesat lepas dari raganya.

   Dalam wujud tubuh gaib tabib pandai itu berjalan mendekati pusat cahaya.

   Tampaklah olehnya jiwa Suropati sedang meronta-ronta dari kepungan cahaya kuning kemerahan yang me-menjarakannya.

   "Kau diamlah di tempatmu, Suro...,"

   Kata Wajah Merah dalam kekuatan batin.

   "Aku akan mencoba membebaskanmu."

   "Cepatlah, Kek! Sebentar lagi makhluk me-nyeramkan itu akan membakarku!"

   Teriak Suropati.

   "Tenanglah! Cahaya yang memenjarakan-mu akan kuhancurkan!"

   Wajah Merah menarik napas panjang. Lalu, tangan kanannya menyampok. Tapi, sinar putih yang meluncur dari telapak tangan tabib pandai itu terpental balik! Wajah Merah menjerit kecil. Tubuh gaibnya bergetar keras bagai digedor tangan raksasa.

   "Cahaya itu sangat kuat menjerat jiwa Su-ropati. Akan kucoba menghancurkannya sekali lagi...."

   Tangannya direntangkan ke atas untuk menyedot tenaga gaib sebanyak-banyaknya.

   Ke-mudian, Wajah Merah mendengus seraya meng-hentakkan kedua telapak tangan ke depan.

   Slaps...! Hempasan tenaga gaib tabib pandai itu berbalik.

   Tubuh gaib Wajah Merah terlontar jauh.

   Tapi, dia segera bangkit berdiri dan kembali berjalan mendekati pusat cahaya yang memenjarakan tubuh Pengemis Binal.

   "Kau gagal, Kek?"

   Tanya remaja konyol itu.

   "Waduh! Makhluk mengerikan itu akan segera datang untuk membakarku. Tamatlah riwayatku..."

   "Tenanglah, Suro!"

   Bentak Wajah Merah.

   "Aku akan mencari kelemahan dari cahaya yang memenjarakanmu."

   Mata tabib pandai itu terlihat menyorotkan sinar aneh.

   "Aku butuh bantuan, Suro...,"

   Katanya kemudian. Weeesss....! Tubuh gaib Wajah Merah menghilang. Ji-wanya kembali ke alam nyata. Badan kasar tabib pandai itu yang tengah duduk bersila di sisi tubuh Suropati bergoyang sebentar. Kemudian, ke-dua matanya terbuka.

   "Jiwa Suropati terpenjara...,"

   Beritahu Wajah Merah pada Raka Maruta dan Kapi Anggara.

   "Aku butuh bantuan untuk membebaskannya."

   "Aku bersedia, Kek!"

   Sambut Raka Maruta penuh semangat. Dia berjalan dengan bantuan tongkatnya mendekati Wajah Merah.

   "Tapi, nyawa taruhannya...,"

   Kata Wajah Merah memperingatkan.

   "Aku tidak takut. Dalam keadaan buta se-perti ini, apa gunanya hidup lama. Lebih baik mengorbankan nyawaku untuk keselamatan sa-habat yang kucintai."

   "Baiklah. Kalau begitu mendekatlah ke ma-ri...."

   Wajah Merah dan Raka Maruta duduk bersila berhadapan.

   Kedua tangan Wajah Merah me-nempel di bahu Raka Maruta.

   Demikian pula se-baliknya.

   Dengan mata terpejam, badan halus Raka Maruta dibimbing oleh Wajah Merah untuk me-nembus alam gaib di mana jiwa Suropati terpen-jara.

   "Kau lihat pusat cahaya itu, Maruta...,"

   Tanya Wajah Merah kemudian setelah mencapai tempat yang dituju.

   "Ya. Aku melihat tubuh Suropati dilapisi cahaya kuning-kemerahan."

   "Apa yang kau lihat itu bukan tubuh Suro-pati, melainkan rohnya...,"

   Beritahu Wajah Merah.

   "Sekarang kau bersiap-siaplah, Maruta. Badan halusmu akan kukirim masuk ke dalam pendaran cahaya itu."

   "Lalu, apa yang harus kulakukan?"

   Raka Maruta kebingungan.

   "Kumpulkan seluruh kekuatan batinmu dengan berlambarkan ilmu 'Hati Suci' yang kau miliki. Setelah aku memberi aba-aba, gempurlah cahaya kuning-kemerahan itu,"

   Wajah Merah memberi petunjuk.

   Usai mengucapkan kalimatnya, Wajah Me-rah lalu berdiri di belakang Raka Maruta.

   Kedua telapak tangannya mengusap punggung pemuda berwajah lembut itu.

   Sesaat kemudian...

   badan halus Raka Maruta terlontar, dan membentur roh Suropati.

   "Eh! Kau, Maruta...?"

   Kata Pengemis Binal kaget.

   "Apakah kau mau bunuh diri? Aku di sini sedang berkutat melawan maut. Kenapa kau malah menyusul?"

   "Hush! Aku hendak menolongmu!"

   Tukas Raka Maruta.

   "Bagaimana caranya?"

   "Aku datang bersama Wajah Merah."

   Pada saat itu Wajah Merah menggeram. Jengkel dia melihat dua orang sahabatnya itu malah bercakap-cakap.

   "Jangan bertindak bodoh, Maruta!"

   Teriak tabib pandai itu.

   "Kekuatan kita untuk menembus alam nirwana ada batasnya. Kita tidak bisa berlama-lama tinggal di tempat ini!"

   "Maafkan aku, Kek...,"

   Kata Raka Maruta.

   "Segera kita gempur cahaya yang memenjarakan ini."

   Pemuda berwajah lembut itu kemudian mengumpulkan kekuatan batinnya yang dilamba-ri ilmu 'Hati Suci'.

   Lalu, kedua tangannya menghentak ke depan.

   Bersamaan dengan itu Wajah Merah menghantamkan tenaga gaibnya.

   Srash...! Cahaya kuning-kemerahan mengitari tu-buh gaib Raka Maruta dan Suropati tiba-tiba le-nyap, meninggalkan suara seperti desisan ular.

   "Kau telah bebas, Suro...!"

   Teriak Raka Maruta girang.

   Pengemis Binal menatap wajah sahabatnya sejenak, lalu menghambur untuk memeluknya.

   Tanpa mereka sadari di tempat itu telah muncul sesosok makhluk berwujud mengerikan.

   Telapak tangannya yang sebesar tubuh gajah langsung menyambar tubuh gaib Raka Maruta dan Suropa-ti! "Awas...!"

   Teriak Wajah Merah.

   Sayang peringatan itu terlambat datang-nya.

   Tubuh halus dua pendekar muda itu berha-sil disambar.

   Dan, tangan raksasa si makhluk mengerikan langsung meremas.

   Wajah Merah bu-ru-buru menghantamkan tenaga gaibnya Splash...! Tubuh makhluk mengerikan itu mengge-liat.

   Remasan tangannya mengendor.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Raka Maruta dan Suropati.

   Mereka segera meloncat.

   Tapi, tiba-tiba makhluk mengerikan itu menyemburkan api! "Awas, Suro...!"

   Teriak Raka Maruta seraya mendorong tubuh halus Pengemis Binal.

   Malang bagi dirinya.

   Semburan api berhasil mengepung tubuh halus Raka Maruta.

   Diiringi jeritan pan-jang, tubuh halus pemuda berwajah lembut itu terbakar, lalu lenyap.

   Suropati dan Wajah Merah memandang dengan perasaan ngeri.

   Tapi sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, Wajah Merah telah menyambar tubuh halus Suropati untuk memba-wanya kembali ke alam nyata.

   Badan kasar Pengemis Binal yang tergele-tak di atas batu besar menggeliat.

   Bersamaan dengan itu Wajah Merah membuka kedua ma-tanya.

   Kedua tangannya yang menempel di bahu Raka Maruta dilepaskan.

   Dan badan kasar pemu-da berwajah lembut itu jatuh terjengkang.

   "Pendekar budiman...,"

   Gumam Wajah Merah.

   "Semoga Tuhan mengampuni segala do-sanya."

   Wajah Merah terpekur sejenak mengenang kebaikan Raka Maruta yang rela mengorbankan dirinya untuk menolong sahabatnya.

   "Uh...! A...!"

   Tiba-tiba terdengar suara keluhan. Wajah Merah menoleh. Dilihatnya tubuh Suropati berge-rak-gerak mengejang bagai ayam habis disembe-lih.

   "Kenapa dia, Kek...?"

   Tanya Kapi Anggara yang berada di sisi batu besar. Matanya memandang dengan penuh kekhawatiran. Wajah Merah tak memberi jawaban. Mata batinnya sedang bekerja.

   "Roh Suropati masih ditahan oleh kekua-tan gaib...,"

   Gumam tabib pandai itu kemudian.

   Wajah Merah segera duduk bersemadi.

   Tu-buh halusnya kembali melayang menembus alam nirwana.

   Tabib pandai itu terkejut bukan main keti-ka mata batinnya melihat tubuh halus Suropati meronta-ronta di tengah garis cahaya kuning-kemerahan.

   Dan, makhluk mengerikan yang baru saja memangsa tubuh halus Raka Maruta tampak mengeluarkan sinar putih dari kedua tangan rak-sasanya.

   Dia berusaha menyeret tubuh halus Su-ropati yang sudah berada di tengah-tengah alam gaib dan alam nyata.

   "Hei! Makhluk Gaib...!"

   Teriak Wajah Merah.

   "Manusia tidak pernah mengusik kaummu. Tapi kenapa kau ingin menyiksa seorang anak manusia?"

   "Ha-ha-ha...!"

   Makhluk mengerikan itu tertawa.

   "Siapa bilang manusia tidak pernah mengusik kaumku? Manusia-manusia picik yang haus nafsu keduniawian biasa memuja kaumku. Tapi, mereka kemudian memperbudak untuk mewu-judkan segala keinginannya!"

   "Setelah mereka menemui ajal, bukankah roh mereka ganti diperbudak oleh kaummu?"

   Balas Wajah Merah.

   "Huh! Itu masih belum cukup!"

   "Terserah apa katamu! Tapi, lepaskan roh anak manusia yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu itu!"

   "Siapa sudi! Justru aku pun akan memen-jara roh-mu, Manusia Usil! Kau terlalu lancang!"

   Teriak makhluk mengerikan.

   Mulutnya kemudian menyemburkan api yang segera menghujani tu-buh halus Wajah Merah.

   Karena di tempat itu telah dipenuhi lautan api yang menerpa dari atas, tak ada cara lain bagi Wajah Merah untuk meloloskan diri, kecuali menghantamkan tenaga gaibnya Srash...! Lautan api itu buyar.

   Tapi, kaki makhluk mengerikan berusaha menginjak tubuh halus Wa-jah Merah.

   Kembali tabib pandai itu menghan-tamkan tenaga gaibnya.

   Si makhluk mengerikan menggeliat kesakitan.

   Telapak kakinya terasa panas.

   Kesempatan yang hanya sekejap itu tak disia-siakan Wajah Merah.

   Dia segera menyo-rongkan kedua telapak tangannya.

   Sinar putih yang membelenggu tubuh halus Suropati lang-sung lenyap.

   Wajah Merah segera menyambarnya.

   Tapi, kibasan sinar putih menghantam! "Argh...!"

   Tubuh halus Wajah Merah terlontar.

   Suro-pati yang sudah lepas dari biasan cahaya yang membelenggunya menatap dengan perasaan nge-ri.

   Beruntung pemuda itu segera menyadari kea-daan yang ada.

   Tubuh halusnya melayang sece-pat kilat mendahului luncuran sinar putih yang akan menghempaskan tubuh halus Wajah Merah.

   Si makhluk mengerikan menggeram.

   Men-dadak, sinar putih yang meluncur dari telapak tangannya melesat semakin cepat membentur punggung Pengemis Binal! Blab...! Sinar Putih itu buyar dan terlontar balik.

   Jerit ngeri yang menyayat hati keluar dari mak-hluk gaib berwujud menyeramkan.

   Rupanya, dalam keadaan genting Suropati masih sempat mengeluarkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'-nya.

   Sehingga, tubuh gaib remaja konyol itu terlindungi cahaya kebiru-biruan.

   "Selekasnya kita kembali ke alam nyata, Kek...!"

   Kata Pengemis Binal sambil memeluk tubuh halus Wajah Merah.

   "Awas, Suro...!"

   Teriak tabib pandai itu ketika melihat sinar putih kembali meluncur deras.

   "Heaaa...!"

   Pengemis Binal meloncat sambil membo-pong tubuh halus Wajah Merah.

   "Makhluk mengerikan itu bergerak sema-kin ganas. Kita harus segera berlalu dari tempat ini,"

   Kata remaja konyol itu.

   "Kau siapkan kekuatan batinmu,"

   Ucap Wajah Merah seraya menatap makhluk mengeri-kan.

   Slaps...! Sinar putih yang keluar dari telapak tan-gan makhluk mengerikan itu hanya mengenai an-gin kosong, karena tubuh halus Suropati dan Wa-jah Merah telah lenyap.

   Badan kasar Wajah Merah tergeletak di samping jasad Raka Maruta.

   Kapi Anggara meno-pang kepala tabib pandai itu dengan tangan ka-nannya.

   Sedangkan Suropati menatap dengan pe-rasaan penuh haru.

   "Aku berhutang budi kepadamu, Kek...,"

   Ucap Suropati.

   "Kau... kau tak perlu memikirkan itu, Su-ro...,"

   Desak Wajah Merah yang terluka dalam sangat parah.

   "Kau seorang pendekar yang sanggup me-nyinari gelap rimba persilatan.... Aku senang berhasil menyelamatkanmu, meski nyawaku taru-hannya..."

   "Kek, aku akan menyalurkan hawa murni ke tubuhmu"

   Mata Wajah Merah mengerjap lemah.

   "Te-rima kasih, Suro,"

   Ujarnya dengan suara seakan melemah.

   "Kau... kau ambillah kitab yang berada di balik bajuku. Aku mewariskannya kepada... mu...."

   Usai mengucapkan kalimatnya, kepala tabib pandai itu terkulai. Suropati mengeluarkan jerit tertahan. Kapi Anggara menatap haru seraya menarik napas panjang. Diletakkannya kepala Wajah Merah di lantai gua.

   "Usahanya selama enam candra lebih un-tuk menyelamatkan nyawamu tidak sia-sia, Su-ro...,"

   Kata Kapi Anggara kemudian.

   "Enam candra?!"

   Pengemis Binal keheranan "Ya."

   "Jadi... jadi tubuhku terbaring di atas batu besar itu selama waktu yang sedemikian panjang? Tapi, kenapa badan kasarku bisa bertahan untuk tidak membusuk?"

   "Setiap hari Wajah Merah menyalurkan hawa murni ke tubuhmu. Dan selama itu dia juga memperdalam ilmu kesaktian, untuk membe-baskan rohmu yang katanya ditahan makhluk ha-lus."

   "Lalu, kenapa Raka Maruta juga rela mengorbankan nyawanya?"

   "Ketika bertempur melawan Setan Racun di Lembah Tengkorak, Raka Maruta terluka parah. Wajah Merah berhasil menyelamatkan jiwanya. Tapi, kedua mata pemuda berwajah lembut itu te-lah terkena racun ganas yang tak dapat disem-buhkan. Hingga membuat matanya buta."

   Kepala Suropati tertunduk mendengar pe-nuturan Kapi Anggara.

   "Raka Maruta memang seorang sahabat se-jati, Suro...,"

   Kata pemuda itu kemudian.

   "Hampir setiap hari dia menangisi keadaannya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu. Ketika Wajah Merah memerlukan seseorang yang sang-gup menolong dirimu, dia bersedia...."

   "Oh...."

   Pengemis Binal mendekap wajahnya. Hati remaja tampan itu diliputi perasaan haru yang sangat.

   "Dua orang yang baik budi telah pergi karena usahanya untuk menyelamatkan diriku..., gumam Suropati.

   "Semoga arwah mereka ditem-patkan di sisi Tuhan sebaik-baiknya."

   "Kau ingat pesan terakhir Wajah Merah, Suro?"

   Tanya Kapi Anggara.

   "Apa?"

   "Bodoh! Kerbau pelupa!"

   Ujar Kapi Anggara jengkel.

   "Eh...."

   Pengemis Binal mengerenyitkan dahi se-raya menggaruk-garuk kepalanya.

   "Sebal melihat kebiasaanmu itu!"

   Umpat Kapi Anggara lagi.

   "Kalau sebal jangan kau lihat!"

   "Uh! Dasar kerbau!"

   "Aku bukan kerbau!"

   Bantah Suropati.

   "Kalau bukan kerbau, coba kau ingat pe-san terakhir Wajah Merah."

   Suropati menggaruk-garuk kepala lagi.

   "Ha-ha-ha...!"

   Tawa Kapi Anggara meledak.

   "Seekor kerbau memang berotak bebal!"

   Pemuda tampan yang bergelar Pendekar Asmara itu kemudian berjalan menghampiri jasad Wajah Merah. Dikeluarkannya sebuah kitab dari balik bajunya.

   "Hei! Aku ingat sekarang!"

   Teriak Suropati.

   "Wajah Merah mewariskan kitab itu kepadaku."

   "Kau keliru. Kitab yang kupegang ini diwa-riskan kepadaku."

   "Tidak! Kau jangan ngawur, Anggara!"

   Bantah Suropati.

   "Siapa yang ngawur? Kaulah yang menga-da-ada,"

   Sergah Kapi Anggara.

   "Tidak! Kau harus menyerahkan kitab itu kepadaku!"

   Bentak Pengemis Binal bernada marah.

   "Ha-ha-ha...!"

   Kapi Anggara tertawa terbahak-bahak.

   "Bangsat!"

   Umpat Suropati.

   "Kau rupanya seorang sahabat yang tidak bisa dipercaya."

   Pengemis Binal lalu menghemposkan tu-buhnya berusaha menyambar kitab yang dipe-gang Kapi Anggara. Sayang sambaran itu hanya mengenai angin kosong.

   "Bila kau menginginkan kitab ini, langkahi dulu mayatku!"

   Tantang si Pendekar Asmara.

   "Baik! Aku akan segera menginjak-injak mayatmu."

   Suropati kembali menyerang dengan ganas. Tapi, Kapi Anggara cuma tertawa-tawa sambil te-rus menghindar. Lewat dua jurus kemudian, Pen-gemis Binal meloncat dua tombak dari hadapan si Pendekar Asmara.

   "Aku tidak peduli siapa kau. Wasiat orang yang telah mati harus dipegang teguh...,"

   Ucap remaja konyol itu.

   "Dengan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa,' aku akan mengantarkan nyawamu ke neraka, Manusia Culas!"

   Suropati segera mengerahkan seluruh ke-kuatan tenaga dalam ke ujung jari telunjuknya yang menyatu di depan dada. Sesaat kemudian, asap tipis mengepul dari kepalanya yang bergetar.

   "Tahan...!"

   Teriak Kapi Anggara.

   "Huh! Kau mau berkata apa lagi? Segera kau serahkan kitab itu."

   "Justru aku akan menghancurkannya,"

   Ujar Kapi Anggara dengan kalem.

   Mata Pengemis Binal mendelik! Ditatapnya kitab warisan Wajah Merah yang diremas oleh Kapi Anggara.

   Suropati menjadi gusar terbawa oleh rasa penasaran.

   Dia pun tercenung di tem-patnya.

   Tak mampu berbuat apa-apa.

   Tiba-tiba, si Pendekar Asmara tertawa ter-bahak-bahak.

   "Kau memang kerbau dungu yang mudah diperdayai orang, Suro!"

   Katanya seraya melemparkan kitab yang dipegangnya. Pengemis Binal buru-buru menyambut Di-lihatnya kitab warisan Wajah Merah itu masih utuh. Tak kurang suatu apa.

   "Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Suro...?"

   Ujar Kapi Anggara seraya tersenyum penuh ke-menangan. Suropati menggaruk-garuk kepalanya. La-lu, mengumpat sejadi-jadinya.

   "Siapa yang mau merebut hak seorang sa-habat, Suro...?"

   Ucap si Pendekar Asmara sambil menepuk bahu Pengemis Binal.

   Tapi, tiba-tiba remaja konyol itu men-gayunkan kepalan tangannya.

   Buuukkk...! Kapi Anggara meringis kesakitan.

   Perutnya terasa mulas bagai kebanyakan makan sambal.

   Dia pun segera memasang kuda-kuda untuk mengawali serangan.

   "Aku hanya bercanda. Kenapa kau me-nanggapinya dengan sungguh-sungguh, Angga-ra... ?"

   Elak Suropati sambil tersenyum.

   "Bangsat!"

   Umpat si Pendekar Asmara jengkel. Kena juga dia diperdayai sahabatnya itu. Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk kepalanya. Melihat itu, Kapi Anggara ikut tertawa.

   "Kita harus segera menguburkan jenazah Raka Maruta dan Wajah Merah...,"

   Kata Suropati kemudian dengan ucapan berubah sendu.

   Bagai-manapun dia telah kehilangan sahabat-sahabat yang selama ini telah membantunya.

   Ketika remaja konyol itu hendak mengang-kat jasad Wajah Merah, Suropati terkejut.

   Jasad tabib pandai itu masih hangat.

   Dia pun segera memeriksa jasad Raka Maruta.

   "Jasat pendekar budiman ini juga masih hangat. Padahal waktu telah berlalu sekian lama. Mungkinkah dia masih hidup?"

   Tanya Suropati dalam hati. Melihat Pengemis Binal tertegun, Kapi Ang-gara segera menghampiri. Pemuda itu turut me-meriksa jasad Wajah Merah dan Raka Maruta.

   "Mereka dalam keadaan mati suri seperti dirimu, Suro...,"

   Beritahu Kapi Anggara. Kening Suropati berkerut.

   "Lalu, siapa lagi yang bisa menolong mereka?"

   "Dengan Air Sakti roh Wajah Merah dan Raka Maruta akan dapat kembali ke badan ka-sarnya,"

   Beritahu Kapi Anggara.

   "Di mana kita bisa memperoleh Air Sakti itu?"

   "Air Sakti adalah air ajaib. Untuk menda-patkannya juga memerlukan keajaiban."

   Suropati menggaruk-garuk kepalanya.

   "Aku harus mendapatkan Air Sakti. Bagai-manapun caranya. Aku akan mencarinya...,"

   Janji remaja konyol itu.

   Setelah membaringkan jasat Wajah Merah dan Raka Maruta di atas batu besar secara ber-dampingan, Pengemis Binal melangkahkan ka-kinya ke istana Kerajaan Anggarapura.

   Mereka bersepakat untuk sementara akan berpisah.

   Bukit Pangalasan terselimuti kabut.

   Sem-burat cahaya mentari menyinari dalam kereman-gan.

   Terang belum sempurna benar karena pagi baru saja datang.

   Hawa dingin masih setia me-nemani.

   Satwa-satwa pun malas beranjak.

   Tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk tulang, ratusan manusia merayap naik menuju puncak bukit dari arah utara dan sela-tan.

   Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam me-mimpin di depan.

   Sementara di angkasa berputa-ran seekor bangau raksasa berbulu hitam.

   Di punggungnya bertengger Malaikat Bangau Sakti.

   "Kaaakkk...! Kaaakkk...!"

   Bangau raksasa itu melesat cepat menuju sisi bukit sebelah utara. Kemudian mendarat di atas tanah. Satwa yang tampak perkasa itu mengepak-ngepakkan sayapnya, membuat angin berhembus kencang dan hawa dingin terasa semakin menu-suk tulang.

   "Galungking Saba...!"

   Teriak Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti. Sesosok bayangan hitam berkelebat. Lalu berdiri tegak tiga tombak dari hadapan bangau raksasa.

   "Hamba, Sang Ketua...,"

   Lapor bayangan hitam itu yang tak lain Penyedot Arwah.

   "Kau bersama anak buahmu bergeraklah menyerong ke arah barat. Dari arahmu berjalan sekarang, banyak tebing terjal yang akan mem-perlambat langkah kelompokmu."

   "Hamba, Sang Ketua...,"

   Galungking Saba membungkukkan badan.

   "Kaaakkk...! Kaaakkk...!"

   Setelah lehernya ditepuk Margana Kalpa, bangau raksasa terlihat mengepakkan sayapnya.

   Burung itu kembali melesat ke angkasa membawa tubuh Malaikat Bangau Sakti.

   Sementara itu di puncak bukit yang berta-nah datar suasana sepi masih setia menamani.

   Perkampungan di mana para anggota Perkumpu-lan Pengemis Tongkat Sakti bermukim belum me-nunjukkan tanda-tanda gerak kehidupan.

   Seba-gian besar masih terlelap dibuai mimpi.

   Di dalam sebuah rumah berdinding papan, Gede Panjalu sedang bersemadi.

   Wajah kakek bongkok yang penuh keriput itu membiaskan ca-haya teduh.

   Rambut dan alisnya telah memutih semua.

   Bersama hembusan napasnya yang teratur, sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu mencapai puncak keheningan alam semesta.

   Tapi, tiba-tiba dia membuka kelopak matanya seraya menajamkan pendengaran.

   "Aku mendengar suara yang tidak biasanya di angkasa...,"

   Kata hati Gede Panjalu.

   "Seperti suara bangau raksasa yang terbang cepat..."

   Perlahan-lahan kakek bongkok itu bangkit dari duduknya.

   Disambarnya sebatang tongkat yang tersandar di dinding papan.

   Diambang pintu rumah Gede Panjalu menatap suasana pagi yang masih remang-remang.

   Dia segera mempertajam pendengarannya kembali.

   Tapi, hanya kokok ayam alaslah yang terdengar bersahutan.

   "Aneh...,"

   Desis Gede Panjalu.

   "Apakah bangau raksasa itu hanya sekadar lewat. Tapi, fi-rasatku mengatakan lain. Mungkinkah darah manusia akan menyiram puncak Bukit Pangala-san?"

   Mendadak, sesosok bayangan berkelebat. Sosok itu berhenti di sisi Gede Panjalu yang sedang tercenung.

   "Kau mendengar sesuatu yang mencuriga-kan, Kek?"

   Tanya sosok bayangan yang tak lain Wirogundi. Dia salah seorang tokoh penting da-lam Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

   "Kau juga mendengarnya, Wiro?"

   Gede Panjalu ganti bertanya.

   "Ya. Dan, perasaanku tiba-tiba jadi merasa tidak enak."

   "Aku pun demikian."

   Gede Panjalu kemudian kembali terme-nung. Bayangan Suropati berkelebat di depan ma-tanya.

   "Selama enam candra lebih remaja konyol itu tidak menampakkan batang hidungnya. Ke mana dia?"

   Gumam Gede Panjalu dengan tarikan napas panjang-panjang.

   "Kau berkata apa, Kek?"

   Tanya Wirogundi tak jelas.

   "Aku ingat Suropati,"

   "Mungkinkah dia sedang mengalami sesua-tu yang tak diinginkan?"

   "Kau jangan berpikir yang macam-macam, Wiro. Sebaiknya kita...."

   Gede Panjalu tak sempat melanjutkan uca-pannya. Tiba-tiba terdengar suara keras disertai lesatan burung bangau raksasa berbulu hitam di angkasa.

   "Bangau perkasa!"

   Teriak Anjarweni yang tahu-tahu saja sudah muncul di samping Wirogundi.

   Pemuda bertubuh kurus itu menolehkan kepalanya sebentar menatap Anjarweni lalu, kembali memperhatikan bangau raksasa yang terbang rendah.

   Kibasan sayap bangau perkasa itu membuat angin berhembus kencang yang membawa hawa dingin.

   "Suruh keluar Suropati!"

   Teriak Malaikat Bangau Sakti yang bertengger di punggung bangau raksasa.

   "Siapa kau? Dan apa maksud kedatan-ganmu?!"

   Teriak Gede Panjalu yang disertai pengerahan tenaga dalam. Hingga suaranya terdengar sekeras halilintar.

   "Ha-ha-ha...!"

   Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti tertawa.

   Dia meloncat dari bangau raksasa tung-gangannya.

   Walaupun ketinggian yang dilaluinya melebihi tinggi sebatang pohon kelapa, tapi telapak kaki lelaki berwajah pucat itu sama sekali tak mengeluarkan suara ketika mendarat di atas tanah.

   Kenyataan itu menandakan ilmu meringan-kan tubuh Malaikat Bangau Sakti telah mencapai taraf sempurna.

   "Bila kalian belum tahu siapa raja di raja kaum sesat, akulah orangnya! Kalian bisa memanggilku dengan sebutan Malaikat Bangau Sak-ti, ketua Perkumpulan Bangau Sakti!"

   Kata Margana Kalpa dengan suara lantang.

   "Apa maksudmu datang kemari?"

   Tanya Gede Panjalu lagi penuh selidik.

   "Aku ingin Suropati menampakkan batang hidungnya!"

   "Dia tidak ada!"

   Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak.

   "Kalian sengaja menyembunyikannya. Atau, dia sendiri yang bersembunyi karena ta-kut?!"

   "Kau jangan menghina, Kisanak! Suropati memang tidak ada di sini. Kalau Kisanak mempunyai kepentingan, datanglah lain waktu...,"

   Ucap Gede Panjalu tak senang mendengar Suro-pati diremehkan.

   "Rupanya kau berusaha menyembunyikan Suropati di balik kata manismu, Orang Tua Bongkok!"

   Margana Kalpa terus menyudutkan.

   "Keparat!"

   Umpat Wirogundi.

   "Kau kira siapa dirimu berani berkata seperti itu?!"

   "Ha-ha-ha...!"

   Margana Kalpa kembali tertawa terbahak-bahak.

   "Seorang gembel busuk yang sedang marah ternyata wajahnya berubah mirip monyet kebaka-ran ekor!"

   "Bangsat!"

   Kemarahan Wirogundi tak dapat ditahan lagi. Pemuda itu langsung menerjang. Tapi, Ma-laikat Bangau Sakti telah meloncat kembali ke punggung bangau raksasa.

   "Bila Suropati tidak segera menampakkan diri, aku akan mengobrak-abrik tempat ini!"

   Ancam lelaki berwajah pucat itu dengan tidak main-main.

   Tiba-tiba, bangau raksasa melesat cepat seraya menyorongkan kedua cakarnya.

   Braaakkk...! Rumah papan yang ditempati Gede Panjalu hancur berantakan.

   Tiang penyangga roboh dan genteng-genteng melayang dalam keadaan hancur berkeping-keping, terhantam cakar bangau rak-sasa.

   "Kaaakkk...! Kaaakkk...!". Satwa perkasa itu terbang tinggi. Lalu kembali menukik cepat bagai lesatan batu meteor, dan mendarat di atas tanah dengan gagahnya.

   "Segera panggil Suropati!"

   Teriak Margana Kalpa marah.

   "Suropati terlalu terhormat untuk men-jumpai manusia busuk sepertimu!"

   Sahut Wirogundi seraya menerjang dengan tongkat di tan-gan.

   Mendadak, bangau raksasa mengibaskan sayapnya hingga menimbulkan tiupan angin to-pan.

   Wirogundi yang tak menyangka hal itu akan terjadi tiada sempat mengendalikan gerak tubuh-nya.

   Tubuh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu terhempas ke tanah.

   Bermunculanlah puluhan anggota Per-kumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya.

   Mere-ka langsung mengepung Malaikat Bangau Sakti dengan senjata tongkat.

   "Kroco-kroco dungu! Kalian hanya mencari mati!"

   Teriak Margana Kalpa seraya menepuk bangau tunggangannya. Si bangau raksasa kembali mengepakkan sayap.

   "Weeesss...!"

   Hembusan angin topan menerpa.

   Puluhan tubuh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti terpental dengan diiringi jerit yang me-nyayat hati.

   Tapi, puluhan lelaki bersenjata tongkat lainnya muncul datang.

   Margana Kalpa menatap sinis.

   Kemudian laki-laki itu bersuit nyaring.

   Bermunculanlah para anggota Perkumpulan Ban-gau Sakti dari arah utara dan barat bukit.

   Pertempuran seru segera terjadi.

   Anak buah Malaikat Bangau Sakti yang bersenjata go-lok menerjang ganas bagai iblis haus darah.

   Di-bantu oleh Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam, mereka menyebar kematian! "Kaaakkk...!"

   Bangau raksasa melesat menerjang Gede Panjalu.

   Tapi, kakek bongkok itu telah memper-siapkan serangan mendadak.

   Dada bangau raksasa terhantam pukulan jarak jauh Gede Panjalu.

   Satwa perkasa itu menggeliat ganas.

   Tubuh Malaikat Bangau Sakti yang bertengger di punggungnya terlontar! "Kaaakkk...!"

   Bangau raksasa melesat cepat dan berlalu dari tempat itu. Tinggallah Margana Kalpa men-dengus penuh kemarahan.

   "Aku akan mengirim nyawamu ke neraka, Orang Tua Bongkok!"

   Teriak lelaki berwajah pucat itu seraya menerjang.

   "Kau lawan aku dulu, Manusia Busuk!"

   Sahut Anjarweni balas menerjang.

   "Weni! Jangan...!"

   Wirogundi memperingatkan.

   "Ingat bayi yang kau kandung!"

   Tapi, Anjarweni tak mempedulikannya.

   Dia menyerang Malaikat Bangau Sakti dengan jurus-jurus maut.

   Margana Kalpa segera balas menye-rang tak kalah hebatnya.

   Anjarweni yang sebenarnya sedang men-gandung tiga bulan tampak kerepotan menghada-pi jurus-jurus aneh Malaikat Bangau Sakti.

   Melihat itu, Wirogundi langsung memutar tongkat di tangannya dengan kecepatan luar biasa.

   Bebera-pa anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang se-dang mengeroyoknya roboh tanpa mampu bangkit lagi.

   "Kau menyingkirlah, Weni...!"

   Teriak pemuda bertubuh kurus itu seraya menerjang Malaikat Bangau Sakti.

   "Kita hadapi manusia busuk itu bersama-sama, Wiro!"

   "Tidak! Ingat calon anak kita, Weni!"

   Peringatan Wirogundi tak dipedulikan An-jarweni.

   Dia segera mengerahkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'-nya.

   Angin pukulan berhawa panas mencecar tubuh Margana Kalpa.

   Wirogundi beru-saha menghunjamkan tongkatnya dengan ber-lambarkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dis-usul dengan jurus 'Tongkat Menghajar Maling' dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.

   Tapi, Malaikat Bangau Sakti bukanlah lawan yang enteng.

   Tu-buh lelaki berwajah pucat itu berubah jadi bayangan.

   Di lancarkannya serangan yang lebih hebat.

   Sementara itu Penyedot Arwah tampak mengganas, menyebar kematian bagi para anggo-ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti Gede Panjalu segera meninggalkan para pengeroyoknya setelah menjatuhkan tangan maut.

   Diterjangnya Penyedot Arwah.

   Tapi Bayan-gan Hitam telah memapaki.

   "Hadapilah aku, Orang Tua Bongkok!"

   Bentak lelaki berjanggut panjang itu seraya menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan dalam jurus ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung.' Wuuusss...! Sinar kuning meluncur deras ke arah Gede Panjalu.

   Kakek bongkok itu segera menghem-poskan tubuhnya ke atas.

   Dia terperangah.

   Tu-buhnya yang limbung di udara terkena sambaran angin pukulan jarak jauh Bayangan Hitam.

   Gede Panjalu segera menyadari kehebatan lawan.

   "Heaaa...!"

   Sesepuh Perkumpulan Tongkat Sakti itu kemudian memutar tongkatnya. Dihantamkannya ke arah kepala Bayangan Hitam! Serangan itu hanya mengenai angin kosong. Tubuh Bayangan Hitam telah berkelebat sangat cepat.

   "Keluarkan seluruh kemampuanmu, Sapi Tua!"

   Ejek lelaki berjanggut panjang itu. Gede Panjalu mendengus gusar. Dia segera mengeluarkan rangkaian Jurus Tongkat Saktinya yang digabungkan dengan jurus 'Pengemis Me-minta Sedekah'! "Heaaa...!"

   Kakek bongkok itu menerjang ganas.

   Na-mun, tubuh Bayangan Hitam berkelebatan seraya melancarkan serangan balik, berusaha menghan-tam lawan dengan ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung.' *** Sang baskara telah bergerak memayungi kepala.

   Sinarnya menerpa tubuh ratusan manu-sia yang tergeletak di atas tanah tiada bernyawa.

   Darah yang berceceran telah mengering.

   Tapi, cai-ran darah baru muncrat dari tubuh-tubuh yang terluka.

   Bukit Pangalasan benar-benar jadi ajang pertempuran yang menggiriskan.

   Para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti terdesak hebat Manusia-manusia haus darah yang bernaung dalam Perkumpulan Bangau Sakti terus mencecar lawan dengan teba-san goloknya.

   Apalagi dibantu oleh Penyedot Ar-wah.

   Anak buah Malaikat Bangau Sakti itu dapat dengan mudah menjatuhkan tangan mautnya.

   Sementara itu pertempuran antara Marga-na Kalpa melawan Wirogundi dan Anjarweni ber-jalan tak seimbang.

   Gerak tubuh Malaikat Ban-gau Sakti yang berlambarkan jurus 'Bangau Men-gejar Mangsa' sangat sulit diikuti pandangan ma-ta.

   Wirogundi dan Anjarweni jadi kewalahan menghadapinya.

   Namun, semangat tempur sepasang keka-sih itu tak pernah kendor.

   Mereka terus mencecar lawan dengan jurus-jurus andalan.

   "Jaga kepalamu, Manusia Busuk!"

   Kata Anjarweni seraya melancarkan tendangan melingkar.

   "Jaga kepalamu sendiri, Babi Bunting!"

   Ucap Margana Kalpa menepis serangan.

   Kemu-dian, dia menghantamkan kepalan tangannya ke kepala Anjarweni.

   Wuuuttt..! Gebukan tongkat Wirogundi telah menda-hului.

   Malaikat Bangau Sakti meloncat ke samp-ing.

   Tapi, tongkat di tangan Wirogundi terus mengejar! Trak...! Pemuda bertubuh kurus itu terkejut seten-gah mati.

   Tangkisan lawan dapat mematahkan senjata andalannya.

   Belum sempat dia menyadari keadaan, Margana Kalpa telah melancarkan se-buah tendangan! Tubuh Wirogundi terlontar.

   Bahu kanan-nya terkena sasaran serangan lawan.

   Dia berusa-ha bangkit.

   Tapi pemuda itu hanya sanggup ber-diri terhuyung-huyung untuk beberapa lama.

   Da-ri sudut bibirnya meleleh darah segar.

   Melihat orang yang dicintainya terluka, An-jarweni menggeram marah.

   Tubuhnya digenjot ke belakang.

   "Segera kau sambut kedatangan Malaikat Kematian, Manusia Busuk...!"

   Teriak murid Dewi Tangan Api itu.

   Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang melambari ilmu 'Pukulan Api Neraka', kedua pergelangan tangan Anjarweni semakin marah membara.

   Dia meloncat ke depan dengan telapak tangan disorongkan! Melihat sinar merah yang meluncur deras ke arahnya, Margana Kalpa segera mengibaskan telapak tangannya.

   Muncullah cahaya kebiru-biruan yang membentengi tubuh lelaki berwajah pucat itu.

   Blaaarrr...! Sebuah ledakan dahsyat membahana di angkasa ketika dua kekuatan tenaga dalam ber-temu.

   Tubuh Malaikat Bangau Sakti tetap berdiri tegak di tempatnya.

   Sedangkan tubuh Anjarweni mencelat jauh bagai dilemparkan tangan raksasa.

   "Ha-ha-ha...!"

   Margana Kalpa tertawa puas.

   "Makan kesombohganmu, Babi Bunting!"

   Wirogundi yang melihat adegan menggi-riskan itu segera berlari. Dihampirinya tubuh kekasihnya yang tergeletak di atas tanah.

   "Anjarweni...,"

   Panggil pemuda bertubuh kurus itu sambil mendekap kepala orang yang dicintainya.

   "Ma... maafkan aku, Wiro...,"

   Ujar Anjarweni lirih. Baju yang dikenakannya telah basah oleh darah yang menyembur dari mulut.

   "Kuatkan dirimu, Weni...."

   "Ak... aku mengecewakanmu, Wiro.... aku tidak bisa men... menjaga bayi dalam kandun-ganku.... Ma... maafkan aku...."

   "Ya. Aku memaafkanmu, Weni."

   "Ak... aku ingin mendengar ucapan cinta-mu untuk yang terakhir kalinya...."

   Mendengar ucapan kekasihnya, mata Wiro-gundi menjadi sembab oleh genangan air mata.

   "Aku mencintaimu dengan tulus suci, We-ni...,"

   Kata pemuda bertubuh kurus itu kemudian. Diciumnya kening Anjarweni dengan mesra. Bibir murid Dewi Tangan Api itu mencoba mengulum senyum. Tapi, rasa sakit menghentak dalam dadanya. Dia pun meringis kesakitan.

   "Weni!"

   Teriak Wirogundi seraya mempererat dekapannya.

   "Kau... kau jangan menangis, Wiro...,"

   Anjarweni berusaha menguatkan diri.

   "Aku sekarang merasa sangat bahagia. Cintamu kubawa ke alam nirwana, Wiro. Aku menunggumu di... sa... na...."

   "Weni,..!"

   Wirogundi mengguncang-guncangkan tu-buh Anjarweni.

   Hatinya diliputi kekalutan yang sangat.

   Dia pun menangis menggerung-gerung menyesali kepergian kekasihnya menghadap Sang Penguasa Tunggal.

   Saat itulah Margana Kalpa berhasil menja-tuhkan tangan maut terhadap belasan orang ang-gota perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang sedang mengeroyoknya.

   Kemudian, lelaki berwa-jah pucat itu menghemposkan tubuhnya ke atas.

   Melenting dengan cepat dan menerjang Wirogundi yang masih terbelenggu rasa sedih.

   Gede Panjalu yang melihat bahaya men-gancam jiwa salah seorang muridnya segera me-loncat seraya mengayunkan tongkat.

   Dia memba-talkan serangannya terhadap Bayangan Hitam demi menyelamatkan nyawa Wirogundi! Thak....! "Argh...!"

   Kakek bongkok itu berhasil menyerampang tulang kering kaki Margana Kalpa.

   Tubuh lelaki berwajah pucat itu jatuh terjerembab ke tanah.

   Serangannya terhadap Wirogundi pun menemui kegagalan.

   Bayangan Hitam buru-buru melancarkan pukulan jarak jauh ke arah Gede Panjalu yang belum sempurna benar mendaratkan kakinya di atas tanah.

   Tapi, kakek bongkok itu telah mendu-ga akan datangnya serangan tersebut.

   Dia meng-gedrukkan ujung tongkatnya ke tanah.

   Tubuh se-sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu pun melayang ke samping, membuat pukulan ja-rak jauh Bayangan Hitam menerpa tubuh para anggota Perkumpulan Bangau Sakti yang sedang bertempur tak seberapa jauh dari tempatnya.

   Galang Gepak atau Bayangan Hitam meng-geram penuh amarah.

   Tubuh beberapa temannya sendiri yang terlontar tiada bernyawa akibat serangannya.

   Lelaki berjanggut panjang itu segera me-nerjang Gede Panjalu dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat.

   Kedua tangan dan kakinya berkelebatan, mencari jalan kema-tian di tubuh sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

   Bersamaan dengan itu Malaikat Bangau Sakti melancarkan pukulan maut ke arah dada Gede Panjalu.

   Wuuuttt...! Wuuuttt..! Cepat kakek bongkok itu memutar tong-katnya.

   Serangan beruntun dari dua lawannya menemui jalan buntu.

   Tapi, Galang Gepak dan Margana Kalpa adalah dua orang tokoh sesat yang sulit dicari tandingannya.

   Mereka mencecar tubuh Gede Panjalu dengan kecepatan gerak yang sulit diikuti pandangan mata.

   Sesepuh Perkum-pulan Tongkat Sakti itu tampak kewalahan.

   "Keparat...! Kuhancurkan tubuhmu, Manu-sia Busuk...!"

   Teriak Wirogundi tiba-tiba. Diterjangnya Malaikat Bangau Sakti dengan tongkat di tangan.

   "Justru aku yang akan meremukkan tu-lang-tulangmu, Gembel Kudisan...!"

   Maki Margana Kalpa sambil menepis serangan. Lelaki berwajah pucat itu segera memain-kan jurus-jurus bangau andalannya. Tapi, Wiro-gundi berusaha mendahului serangan. Dia me-mutar tongkat tanpa pernah mempedulikan luka di bahu kanannya.

   "Kau harus membayar hutang nyawa keka-sihku, Keparat!"

   Teriakan penuh amarah Wirogundi mem-bahana di angkasa.

   Tapi, segera tersapu oleh ta-wa Margana Kalpa yang berkepanjangan.

   Walaupun Wirogundi telah mengerahkan segala kemampuannya, tapi Margana Kalpa sang-gup menepis semua serangan pemuda bertubuh kurus itu.

   Bahkan, Malaikat Bangau Sakti berha-sil mematahkan tongkat Wirogundi untuk kedua kalinya.

   Lelaki berwajah pucat itu kemudian meng-hemposkan tubuhnya.

   Dia melancarkan tendan-gan melingkar ke arah kepala Wirogundi! "Argh...!"

   Wirogundi berhasil meloncat.

   Tapi pung-gungnya sebagai ganti sasaran.

   Tubuh kurus pe-muda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu mencelat, lalu bergulingan di atas tanah.

   Tanpa mau memberi kesempatan untuk bangkit, Margana Kalpa melancarkan pukulan ja-rak jauhnya! Gede Panjalu segera menyambar tu-buh Wirogundi yang bergulingan ke arahnya.

   Blaaammm...

   Pukulan jarak jauh Malaikat Bangau Sakti menerpa tanah, membuat kubangan dalam yang cukup untuk mengubur seekor gajah.

   Bumi pun berguncang bagai dilanda gempa.

   Bongkahan ta-nah bercampur debu beterbangan, mengaburkan pandangan.

   Akibat buruk diterima oleh Gede Panjalu.

   Dia yang baru saja menyelamatkan jiwa Wirogun-di, merasakan gedoran dahsyat di bahu kiri.

   Jerit tertahan keluar dari mulut kakek bongkok itu.

   Darah segar menyembur akibat pukulan Bayan-gan Hitam.

   Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi terus bergulingan di atas tanah, hingga jatuh ke jurang yang berada di sisi belakang pemukiman para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

   Margana Kalpa dan Galang Gepak segera meloncat ke bibir jurang.

   Ketika mereka mengetahui kedalaman jurang yang tak terlihat dasarnya, dua tokoh sesat itu tertawa terbahak-bahak.

   "Tunjukkan batang hidungmu, Suropati!"

   Teriak Malaikat Bangau Sakti kemudian. Sua-ranya menggema ke seantero Bukit Pangalasan. Saat itulah seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur deras ke arah Margana Kalpa! Lelaki berwajah pucat itu langsung meloncat.

   "Dedemit Busuk! Kenapa kau membokong-ku?!"

   Teriak Margana Kalpa.

   "Itu adalah salam perkenalan dari Penge-mis Binal!"

   Ucap Suropati yang rupanya telah hadir di tempat itu.

   "Ha-ha-ha...."

   Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak untuk kesekian kalinya.

   "Rupanya kedatanganku tidak sia-sia. Aku akan melumatkan tubuhmu, Bocah Gemblung...!"

   Selesai berkata demikian, lelaki berwajah pucat itu menerjang Suropati. Galang Gepak pun ikut mengeroyok. Tapi sebuah kibasan angin pu-kulan melontarkan tubuhnya.

   "Aku tak butuh bantuanmu, Kroco...!"

   Hardik Margana Kalpa.

   Galang Gepak terkejut.

   Dia menumpahkan kekesalannya kepada para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang masih bertempur dengan gigih.

   Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Pengemis Binal waktu dia membalas terjangan Malaikat Bangau Sakti.

   Rupanya, hawa amarah telah melumuri jiwa remaja konyol itu.

   Tempat perkumpulannya telah menjadi lautan darah.

   Tanpa mau membuang waktu, Suropati se-gera mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya.

   Dia mencecar tubuh Margana Kalpa bagai hujan de-ras yang tiada henti.

   Tentu saja Margana Kalpa tak mau kalah.

   Dengan jurus-jurus bangau anda-lannya, dia membuat serangan balik yang tak ka-lah hebat.

   Hingga lewat sepuluh jurus kemudian, ti-ba-tiba Malaikat Bangau Sakti meloncat ke bela-kang menjauhi arena pertempuran.

   "Apa yang kau takutkan, Bangsat?!"

   Umpat Pengemis Binal.

   "Cih! Siapa yang takut?!"

   Balas Margana Kalpa.

   "Aku tak mau bermain-main dengan mengandalkan ilmu silat penjual obat! Aku ingin segera menyudahi pertempuran ini dengan ilmu pa-mungkas!"

   "Baik! Kuturuti kemauanmu!"

   Mendengar ucapan itu, Malaikat Bangau Sakti melangkah mundur satu tindak. Ditariknya udara sebanyak-banyaknya. Mendadak tubuh la-ki-laki itu memancar cahaya kelabu. Lalu dia melangkah perlahan mendekati Suropati.

   "Dengan ilmu 'Kabut Kelabu' aku ingin me-lihatmu mati perlahan-lahan, Bocah Gemblung!"

   "Segera kau buktikan ucapanmu itu!"

   Tantang Suropati dengan berani.

   Dengan menempelkan kedua telapak tan-gan di depan dada, Pengemis Binal menghimpun kekuatan semesta.

   Lalu, dari sekujur tubuhnya memancar cahaya kebiru-biruan.

   Sambil tertawa lebar, Margana Kalpa beru-saha menempelkan kedua telapak tangannya yang menyorong ke kepala Suropati.

   Tapi....

   Blaaarrr...! Sebuah ledakan membahana di angkasa.

   Tubuh Malaikat Bangau Sakti terlontar ke udara, kemudian meluncur masuk ke dalam jurang! Rupanya ilmu 'Kabut Kelabu' tak mampu menandingi ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' milik Pengemis Binal.

   Melihat Margana Kalpa berhasil dikalahkan Suropati, semua anggota Perkumpulan Bangau Sakti lari terbirit-birit.

   Mereka tidak punya nyali lagi untuk melanjutkan pertempuran.

   Penyedot Arwah dan Bayangan Hitam menggeram keras ke arah Suropati.

   Tapi mereka segera menyusul ke-pergian teman-temannya.

   Puncak Bukit Pangalasan benar-benar jadi tempat tebaran mayat manusia.

   Tubuh-tubuh tanpa nyawa mengonggok bagai sampah.

   Para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang tinggal di situ kini tinggal belasan orang.

   Melihat demikian, Suropati memerintahkan para anggotanya untuk menguburkan mayat-mayat yang berserakan.

   Dia sendiri berjalan perlahan menuju padepokan.

   SELESAI Lalu, bagaimana nasib Gede Panjalu dan Wiro-gundi yang jatuh ke dalam jurang? Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode.

   DENDAM PARA PENGEMIS Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Fujidenkikagawa

   

   

   

Pendekar Romantis Geger Di Kayangan Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung

Cari Blog Ini