Pedang Teratai Merah 1
Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah Bagian 1
PEDANG TERATAI MERAH oleh D.
Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit D.
Mahardhika Serial Silat Putri Bong Mini dalam episode.
Pedang Teratai Merah 160 hal.
Pagi itu, matahari muda memancar dalam sapuan warna yang megah.
Menyegarkan rumput-rumput sete-lah semalaman suntuk didera kabut dingin yang me-nyelimutinya.
Kabut tebal yang sejak kemarin sore turun, perlahan-lahan pergi, meninggalkan butiran-butiran embun yang bergelayut di ujung dedaunan dan rerumputan.
Di ujung selatan negeri Selat Malaka, tampak se-buah gunung berdiri dengan angkuh.
Orang menyebut bukit tersebut Gunung Muda.
Gunung itu dikelilingi jurang-jurang yang amat curam serta pepohonan yang tinggi besar dan rimbun, sehingga memberikan kesan angker.
Gunung Muda tak pernah dijamah oleh penduduk setempat.
Karena selain dikepung oleh pepohonan besar, juga disebabkan banyaknya jurang-jurang curam yang siap menelan siapa pun.
Sehingga mereka tidak menyadari kalau di bukit yang berkesan angker itu berdiri sebuah gubuk yang dihuni lelaki tua.
Kanjeng Rahmat Suci, nama lelaki tua itu.
Ia telah berumur sekitar enam puluh tahun.
Namun begitu, ia masih memiliki tenaga yang cukup kuat.
Hal ini bukan saja karena pengaruh dari ilmu kesaktian yang dimilikinya, tetapi juga karena sikapnya yang selalu tenang dan tak pernah bermuram durja, walau bagaimanapun sulitnya kehidupan yang dia hadapi.
Sebenarnya, Kanjeng Rahmat Suci bukanlah pen-duduk asli Gunung Muda, melainkan berasal dari De-sa Larangan.
Karena ada satu peristiwa yang me-nyakitkan hatinya, maka ia meninggalkan desa asal-nya menuju Gunung Muda.
Saat tinggal di Desa Larangan, beliau bernama Sunggih.
Ia hidup bahagia bersama istri tercintanya yang bernama Kemuning.
Perkawinan mereka dikaru-niai seorang anak laki-laki bernama Gumilang.
Nama itu diberikan karena pada saat anaknya lahir, kehidupan mereka sangat tenteram bahagia dan segala kebutuhan terpenuhi.
Di saat mereka mereguk kebahagiaan, tiba-tiba da-tang prahara yang menimpa Sunggih atau Kanjeng Rahmat Suci.
Prahara ini terjadi karena laporan dari para tetangga yang mengatakan bahwa Kemuning sering berduaan di dalam kamar dengan seorang lelaki bernama Brata.
Brata adalah seorang tetangga yang rumahnya seki-tar lima ratus meter dari tempat tinggal Sunggih.
Sifatnya pun diam dan tak banyak bergaul.
Namun di balik sifatnya itu, terselip sifat liar terhadap wanita.
Sebagai seorang suami yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya, tentu saja Sunggih tidak mem-percayai laporan para tetangganya itu.
Malah ia berbalik prasangka kalau ucapan tetangganya itu terlalu mengada-ada karena ingin merusak kebahagiaannya.
Namun ketika mendapat laporan dari anaknya yang mengatakan bahwa ibunya sering berangkulan dengan lelaki bernama Brata itu, hati Sunggih mulai panas.
Seolah-olah ada bara api yang membakar hatinya.
Apalagi saat membayangkan bagaimana lelahnya ia bekerja di ladang untuk menghidupi istri dan anaknya tercinta.
Sedangkan istrinya yang selama ini dia baha-giakan justru bersenang-senang dengan lelaki lain saat ia menggarap sawah.
Berarti selama aku menggarap sawah di ladang, 'la-dang'ku di rumah pun digarap pula oleh lelaki berna-ma Brata! Geram Sunggih, dilanda badai kegusaran dalam dirinya.
Walaupun hatinya sudah panas terbakar oleh cerita para tetangga dan anaknya Gumilang, Sunggih tetap mencoba bersikap sabar.
Ia tidak langsung menegur istrinya.
Percuma saja menegur, pikirnya.
Sebab kalaupun benar laporan tetangga dan anaknya, pasti akan disangkal oleh Kemuning.
Mana ada maling yang mengaku perbuatannya? Atas pemikiran itu ia ingin membuktikan ucapan para tetangga dan anaknya lewat penglihatannya sendiri.
Suatu pagi, sebagaimana biasanya, Sunggih berang-kat ke sawah dengan membawa cangkul dan perleng-kapan lain.
Namun dua jam kemudian, ia kembali lagi ke rumahnya karena hendak membuktikan perbuatan istrinya.
Ketika sampai di depan rumah, ia melihat putranya, Gumilang tengah duduk di muka pintu.
"Kok, main sendirian? Ibumu mana?"
Tanya Sung-gih.
"Saya disuruh Ibu menunggu di sini. Bila ada orang yang mencarinya, Ibu menyuruh saya untuk mengatakan tidak ada,"
Kata Gumilang polos.
"Lalu, di mana ibumu berada?"
Tanya Sunggih mulai curiga.
"Ibu ada di kamar."
"Sendirian?"
Desak Sunggih.
"Berdua dengan lelaki yang sering ke sini!"
Sahut Gumilang menjelaskan.
Mendengar keterangan putranya itu, hati Sunggih mendadak panas, disertai jantung yang berdetak tak menentu.
Sedangkan amarahnya naik ke ubun-ubun, siap untuk diledakkan.
Dengan langkah yang penuh nafsu, Sunggih menu-ju kamar di mana istrinya berada.
Betapa terkesiap ia ketika membuka daun pintu kamar.
Karena di sana, di atas pembaringan yang biasa ia tiduri bersama is-trinya, terlihat pemandangan yang amat menjijikkan dan menggetarkan seluruh tubuhnya.
Apa yang dikatakan para tetangga dan putranya telah terbukti di depan matanya sendiri.
Istrinya tengah asyik bercengkerama dengan seorang lelaki bernama Brata, hingga mereka tidak menyadari kehadiran Sunggih yang me-nyaksikan adegan itu.
"Dasar binatang!"
Maki Sunggih dengan kedua mata merah menyala. Membuat dua insan yang berlainan jenis itu tersentak. Lalu keduanya bergegas bangkit untuk mengenakan pakaian kembali.
"Sungguh tidak kuduga bila kalian melakukan pengkhianatan seperti ini!"
Pekik Sunggih lagi dengan nada yang makin geram.
Sedangkan tangan kanannya memegang golok dan siap mengarahkannya kepada Brata.
Ketika Sunggih menyerang, dengan cepat lelaki di hadapannya itu mengelakkan serangannya.
Sedangkan tangan Brata dengan cepat menyambar golok yang ia letakkan di atas ranjang dan langsung diarahkan pada Sunggih.
Bet! "Aaakh!"
Gumilang yang membuntuti langkah bapaknya dan berdiri di ambang pintu berteriak tertahan.
Karena golok yang ada di tangan Brata bukan mengenai Sunggih tetapi melayang ke leher anaknya.
Pada detik itu pula, Gumilang roboh dengan tubuh berlumur darah.
Melihat anaknya yang tewas dengan cara menge-naskan, Sunggih bertambah kalap.
Untung pada saat itu para tetangga sudah berdatangan ke tempat kejadian.
Mereka datang setelah mendengar teriakan Gu-milang yang menyayat hati.
Dan ketika melihat mayat Gumilang dengan leher hampir putus serta tahu siapa pembunuhnya, orang-orang yang datang cepat meng-amankan Sunggih agar tidak terjadi pembunuhan be-rikutnya.
Sedangkan Brata dan Kemuning diarak keliling kampung tanpa sehelai benang pun di tubuh me-reka.
Sejak peristiwa itu, Brata dan Kemuning tidak lagi tinggal di Desa Larangan.
Keduanya pergi menuju Goa Bukit Setan dan melakukan tapa selama bertahun-tahun.
Sedangkan Sunggih segera pergi ke Gunung Muda karena merasa malu dengan perbuatan istrinya serta untuk melupakan putranya yang mati oleh golok Brata.
Di sana, ia mengasingkan diri agar tidak tergiur lagi oleh kenikmatan dunia yang semu.
Selama di Gunung Muda, namanya diganti dengan sebutan Kanjeng Rahmat Suci.
*** Setelah mengalami pingsan satu hari satu malam (akibat pengaruh totokan Ketua Pasukan Perguruan Topeng Hitam), Bong Mini kembali tersadar.
Dengan tubuh yang masih lemah, ia menyebarkan pandangan-nya ke sekeliling ruangan yang sempit di mana ia berada.
"Lepaskan aku!"
Teriak Bong Mini tiba-tiba, ketika menyadari kamar yang ia tempati sangat asing bagi dirinya.
"Ada apa?"
Tiba-tiba terdengar suara lunak dari arah pintu.
Ketika Bong Mini menoleh, dilihatnya seorang lelaki tua yang berjubah putih.
Wajahnya tampak lembut dan bersih dengan kening seolah memancarkan sinar.
Sedangkan jemari tangannya yang agak panjang tampak bergerak memilah-milah biji tasbih yang bu-latnya sebesar kelereng berwarna hitam.
"Kau...? Kaukah Ketua Perguruan Topeng Hitam itu?"
Tanya Bong Mini dengan tercengang.
Seolah-olah dia tidak percaya kalau lelaki berwajah lembut yang keningnya memancarkan sinar itu menjadi Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Lelaki tua yang tadi berdiri di ambang pintu tersenyum lembut.
Kakinya melangkah pelan ke arah Bong Mini dan duduk di tepi dipan.
"Apakah aku yang tua renta ini cocok untuk menja-di Ketua Perguruan Topeng Hitam yang gagah dan be-ringas itu?"
Kata lelaki tua itu balik bertanya. Sedangkan jemari tangannya terus memilah-milah biji tasbih hitam.
"Siapa namamu?"
Tanya lelaki tua itu lembut serta sinar mata yang memancarkan kasih sayang.
"Namaku Bong Mini!"
Sahut Bong Mini.
"Bapak sen-diri siapa?"
"Namaku Kanjeng Rahmat Suci. Tapi kau boleh me-manggilku dengan sebutan kanjeng saja!"
Sahut Kan-jeng Rahmat Suci.
Bong Mini mengangguk-angguk.
Kemudian ia meng-geser tubuhnya agar dapat duduk berhadapan dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Perasaan takut yang tadi me-nyelimuti hatinya langsung sirna setelah merasa dirinya berada di tempat yang aman.
"Bagaimana Bapak bisa menyelamatkan diriku yang sudah berada dalam kekuasaan Ketua Perguruan To-peng Hitam?"
Tanya Bong Mini lagi dengan wajah me-nunjukkan rasa heran. Lagi-lagi lelaki tua itu mengembangkan senyum lembutnya. Dia maklum akan keheranan gadis kecil yang tengah berbaring di atas dipan itu.
"Aku melihat ketua pasukan itu sedang repot men-jinakkan kudanya yang mendadak liar di Hutan Sa-ngiang. Nah, pada kesempatan itulah aku membawa dirimu yang terbaring di rerumputan dan membawa ke sini!"
Sahut lelaki tua itu menjelaskan.
Bong Mini tergugah mendengar penjelasan lelaki tua itu.
Ia merasa yakin bahwa kuda Ketua Perguruan Topeng Hitam yang mendadak mengamuk itu bukan hal yang wajar.
Pasti lelaki tua di hadapannya yang membuat ulah, hingga bisa menyelamatkan dirinya da-ri cengkeraman Ketua Perguruan Topeng Hitam.
Dan keyakinannya ini diperkuat deh penampilan lelaki tua itu yang mengenakan jubah putih.
Sebab, setiap ia dalam keadaan bahaya, selalu ditolong oleh lelaki berjubah putih.
Sekarang ini, lelaki berjubah putih itu tidak mengenakan topeng penutup wajahnya.
"Aku merasa yakin sekarang kalau Bapak adalah le-laki bertopeng putih yang selama ini selalu menyelamatkan diriku dari cengkeraman orang-orang berto-peng!"
Cetus Bong Mini menyatakan dugaannya.
"Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Memba-wamu ke sini saja karena kebetulan belaka!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci seolah-olah menyembunyikan budi baiknya. Oh..., betapa mulianya orang ini. Dia selalu merendah dan menutupi kebaikannya, ucap hati Bong Mini terkagum-kagum.
"Apakah Kanjeng sudah lama tinggal di sini?"
Tanya Bong Mini lagi.
"Aku tinggal di sini kurang lebih sekitar dua puluh lima tahun. Sejak aku berumur tiga puluh lima tahun,"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci.
"Berarti sekarang Kanjeng berumur enam puluh ta-hun?"
Tanya Bong Mini mengira-ngira.
"Begitulah kurang lebih."
Bong Mini mengangguk-angguk. Hatinya heran. Da-lam umur yang demikian tua, wajah Kanjeng Rahmat Suci masih terlihat segar, bersih, dan bercahaya.
"Bila menilik kulit serta matamu yang sipit, aku merasa yakin bahwa kau bukan penduduk asli sini,"
Tebak Kanjeng Rahmat Suci saat memperhatikan Bong Mini.
"Benar, Kanjeng,"
Sahut Bong Mini cepat. Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk seraya memandangi terus wajah Bong Mini yang semungil tu-buhnya.
"Memangnya kenapa, Kanjeng?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin membuktikan kebena-ran dugaanku saja!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci datar. Kemudian tangannya yang sejak tadi memilah-milah biji tasbih beralih menyentuh pundak gadis kecil itu.
"Sekarang, Nak Mini mandi dulu agar segar. Setelah itu kita makan dan kembali melanjutkan percakapan."
"Baik, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini seraya mengang-guk sopan.
Setelah itu ia pun bangkit dari atas dipan dan melangkah keluar.
Kanjeng Rahmat Suci mengiringi kepergian Putri Bong Mini dengan pandangan mata yang terkagum-kagum.
Calon pendekar! Gumam Kanjeng Rahmat Suci sambil terus melangkah menuju kamarnya yang terle-tak di seberang kamar Bong Mini.
*** Matahari yang tadi mengintip di ufuk timur, kini te-lah berdiri tegak lurus di cakrawala.
Sinarnya yang semula hangat menyentuh kulit, kini berubah menjadi panas menyengat Bumi kini dikepung oleh gencarnya sorotan mentari, membuat hembusan angin pun men-jadi terasa panas.
Dalam suasana terik seperti itu, Kanjeng Rahmat Suci dan Bong Mini tampak tengah duduk di atas di-pan yang letaknya di halaman gubuk Kanjeng Rahmat Suci.
Mereka baru saja selesai makan dan duduk-duduk sejenak untuk menurunkan nasi agar sampai ke pencernaan.
Setelah merasa cukup duduk beristirahat, Kanjeng Rahmat Suci segera mengajak Bong Mini untuk berjalan-jalan di sekitar Gunung Muda.
Di saat melakukan perjalanan di sekitar gunung itu, tiba-tiba Bong Mini tersadar kalau sesungguhnya sekarang ini ia berada di tempat yang sangat jauh dan asing bagi dirinya.
Kesadaran itu berubah menjadi heran ketika mengetahui tempat tinggal Kanjeng Rahmat Su-ci dikelilingi sungai yang berarus deras.
Sedangkan di antara sungai itu matanya tidak melihat sebuah jembatan pun yang dapat dijadikan alat menyeberang.
"Kanjeng,"
Desah Bong Mini.
"Hm...?"
"Apa di sekitar sungai ini tidak ada jembatan penye-berangan?"
Kanjeng Rahmat Suci menggelengkan kepalanya.
"Mana ada orang yang mau membuat jembatan di sekitar sungai ini? Sedangkan datang ke sini pun mereka tidak pernah,"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.
"Lalu bagaimana cara melintasi sungai ini agar da-pat sampai ke perkampungan?"
Tanya Bong Mini lagi, agak heran.
"Melompat!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci singkat.
"Melompati sungai ini?"
Tanya Bong Mini terce-ngang.
"Ya, kenapa?"
"Bagaimana mungkin, Kanjeng?"
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Ketahuilah Nak Mini, bahwa di dunia ini tidak ada yang tak mungkin terjadi jika Tuhan berkehendak!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci.
"Tuhan?"
Ulang Bong Mini seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ya, kenapa?"
Bong Mini mendesah berat.
"Ucapan Kanjeng tadi mengingatkanku pada papa. Papa selalu menyebut kata Tuhan setiap memberikan nasihat!"
Jawab Bong Mini yang tiba-tiba teringat pada papanya.
Dia tidak tahu, bagaimana nasib papanya sekarang ini.
Sebab, saat ia diculik ketua pasukan bertopeng, papa dan para pengikutnya sedang berjuang menghadapi serangan orang-orang bertopeng.
Mengingat diri papanya itu, tiba-tiba air mata Bong Mini meleleh turun lewat celah-celah bulu matanya, lalu meliuk-liuk di pipi seperti anak sungai yang mencari lautan bebas.
Kanjeng Rahmat Suci melirik Bong Mini yang se-dang terdiam sedih.
Kemudian ia memeluk bahu gadis kecil yang ada di sampingnya itu.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaan papa-mu. Dia seorang lelaki sejati yang perkasa dan pantang menyerah,"
Hibur Kanjeng Rahmat Suci. Bong Mini mengangkat mukanya dan menatap wa-jah lelaki tua itu dengan tatapan mata sendu.
"Tapi, Kanjeng,"
Lirih Bong Mini mengusap air ma-tanya.
"Papa akan merasa kehilangan aku. Karena selama ini aku dengan papa begitu dekat dan tak pernah berpisah walau sekejap!"
"Kau benar, Anakku. Tapi untuk sementara waktu hilangkanlah kesedihanmu demi kesejahteraan orang banyak!"
Nasihat Kanjeng Rahmat Suci. Bong Mini terdiam. Ia mengerti arah ucapan Kan-jeng Rahmat Suci. Oleh karena itu segera dihapus si-sa-sisa air matanya, mencoba memaksa diri untuk bersikap tegar kembali.
"Sejak tadi sebenarnya aku ingin mengetahui asal-usulmu datang ke negeri ini!"
Cetus Kanjeng Rahmat Suci setelah suasana hening beberapa saat.
"Aku dan papa datang ke sini karena melakukan pemberontakan terhadap Raja Manchuria!"
Sahut Bong Mini.
Kemudian ia pun menceritakan bagaimana tindakan papanya sebagai panglima kerajaan yang me-nentang sikap raja yang sewenang-wenang dalam me-mungut upeti rakyat.
Tidak lupa pula ia ceritakan nasib mamanya yang mati ketika terjadi pertempuran melawan pasukan Kerajaan Manchuria.
"Mama mati karena mempertahankan kehormatan-nya, Kanjeng,"
Desah Bong Mini menghentikan ceritanya.
Sementara telaga bening yang sempat mengering telah banjir kembali membasahi pipinya karena teringat nasib tragis yang menimpa mamanya.
Kanjeng Rahmat Suci terenyuh bercampur kagum mendengar cerita tentang Bongkap yang dipaparkan oleh Bong Mini.
Jarang sekali ada orang yang me-ngorbankan jabatannya demi kepentingan rakyat kecil.
Malah tidak sedikit orang yang melakukan peninda-san, penipuan, agar tercapai ambisinya.
Tapi Bongkap lain.
Dia berani melepaskan jabatan demi kepentingan rakyat.
Watak itu pun mengalir pula pada darah pu-trinya, Bong Mini.
Sehingga dalam usianya yang masih belia, ia terjun ke dunia yang keras demi kedamaian dan kesejahteraan rakyat.
Walaupun untuk itu ia harus berkorban, berpisah dengan papanya.
"Kanjeng,"
Desah Bong Mini setelah beberapa saat keduanya terdiam. Kanjeng Rahmat Suci menoleh sekilas pada gadis kecil di sampingnya.
"Apakah Kanjeng juga punya pengalaman menarik yang boleh aku dengar?"
Tanya Bong Mini, ingin me-ngetahui. Kanjeng Rahmat Suci terdiam beberapa saat. Ma-tanya yang teduh diarahkan pada air sungai yang mengalir meliuk-liuk dengan kecepatan yang sangat deras.
"Pengalamanku sangat pahit. Bahkan jika aku men-gingatnya, perasaan ini seperti kembali tercabik-cabik,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci tanpa perubahan di wajahnya.
"Maafkan atas pertanyaanku tadi, Kanjeng!"
Ucap Bong Mini merasa bersalah karena telah lancang hendak mengetahui perjalanan hidup orang yang berumur lebih tua darinya.
"Tidak apa-apa,"
Jawab Kanjeng Rahmat Suci seraya memandang Bong Mini.
"Karena apa yang akan kuceri-takan ini masih ada hubungannya dengan Ketua Per-guruan Topeng Hitam!"
Bong Mini tersentak kaget, matanya menatap wajah Kanjeng Rahmat Suci penuh tanda tanya.
"Kalau begitu, Kanjeng telah mengenal dua tokoh Perguruan Topeng Hitam itu?"
"Begitulah. Malah aku mengenalnya sejak puluhan tahun yang silam, sebelum mereka melakukan huru-hara,"
Jelas Kanjeng Rahmat Suci. Bong Mini mengangguk dalam ketertegunan. Se-dangkan matanya tak berkedip memandang wajah le-laki tua di hadapannya. Ia ingin sekali mendengar ki-sah yang akan diceritakan oleh Kanjeng Rahmat Suci.
"Dulu ketika berumur sekitar dua puluh lima ta-hun, aku menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang di Desa Larangan. Dari hasil perkawinan itu, istriku mengandung dan melahirkan seorang bayi lela-ki tampan yang aku beri nama Gumilang,"
Jabar Kan-jeng Rahmat Suci memulai ceritanya.
"Siapa nama istri Kanjeng itu?"
Potong Bong Mini.
"Kemuning."
"Wah, indah sekali namanya!"
Puji Bong Mini.
"Ya. Sesuai dengan parasnya yang cantik dan kulit kuning langsat,"
Sambung Kanjeng Rahmat Suci, mem-benarkan pujian Bong Mini.
"Selanjutnya bagaimana, Kanjeng?"
Ceriwis Bong Mini tidak sabar.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum sejenak pada Bong Mini.
Namun di balik senyumnya itu ia telah membaca watak dan sikap yang dimiliki Bong Mini.
Sebuah watak keras, berani, pandai dan lincah, demikian hati Kanjeng Rahmat Suci menebak pribadi gadis kecil di depannya.
"Setelah putra ku Gumilang berumur tujuh tahun, tiba-tiba cobaan datang menimpa rumah tangga ku. Istriku yang selama ini kuanggap setia dan jujur, ternyata melakukan penyelewengan dengan sahabatku sendiri saat aku pergi berladang. Sampai akhirnya aku memergoki langsung hubungan mereka. Melihat kenyataan itu, aku langsung menghujamkan golok ke arah temanku yang menggauli istriku itu. Namun dia mengelak dan membalas seranganku dengan goloknya sendiri. Tapi golok yang diarahkan itu meleset dan mengenai leher putra ku hingga tewas."
"Astaga! Benar-benar setan!"
Geram Bong Mini sete-lah mendengar cerita Kanjeng Rahmat Suci yang me-ngerikan itu. Sedangkan Kanjeng Rahmat Suci tidak mempedulikan kegeraman Bong Mini. Dilanjutkan ceritanya.
"Melihat kenyataan tersebut darahku terasa panas dan hendak menuntut balas terhadap lelaki itu. Tapi para tetangga berdatangan dan mengamankan diriku yang tengah di rasuki nafsu amarah. Sedangkan istri-ku dan lelaki itu digiring keluar dan diarak keliling kampung tanpa busana,"
Kanjeng Rahmat Suci menghentikan ceritanya.
"Siapa lelaki yang mengkhianati Kanjeng itu?"
Tanya Bong Mini.
"Dia bernama Brata. Tinggal tidak jauh dari rumah-ku."
"Lalu apa hubungannya antara peristiwa itu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam?"
Tanya Bong Mini, makin penasaran.
"Tentu saja hubungannya erat, Anakku. Sebab dua tokoh Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh suami istri yang tidak lain Brata dan Kemuning. Mereka berdua meninggalkan Desa Larangan karena merasa di-permalukan oleh penduduk kampung,"
Tutur Kanjeng Rahmat Suci, menceritakan siapa sebenarnya kedua tokoh Perguruan Topeng Hitam. Bong Mini mengangguk-angguk setengah kagum. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum bijak.
"Di dunia ini pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang hebat, Anakku. Sebab bagaimanapun hebat-nya ilmu seseorang, dia akan hancur oleh Yang Me-nguasai dirinya sendiri!"
Bong Mini termangu mendengar ucapan Kanjeng Rahmat Suci.
Karena kata-kata terakhir yang melun-cur dari mulut lelaki tua itu sering didengarnya mana-kala mendapat pertolongan dari lelaki berjubah putih yang mengenakan topeng putih di wajahnya.
Dari ucapan itu, Bong Mini bertambah yakin kalau lelaki di hadapannya itu tidak lain lelaki bertopeng putih yang rupanya bernama Kanjeng Rahmat Suci.
"Siapa sebenarnya Yang Menguasai diri kita, Kan-jeng? Sebab kata-kata itu sering aku dengar dari lelaki bertopeng yang kerap menyelamatkan diriku!"
Kata Bong Mini. Kanjeng Rahmat Suci kembali tersenyum agung. Dia maklum dengan pertanyaan Bong Mini.
"Kelak kau akan mengetahuinya sendiri,"
Kata Kan-jeng Rahmat Suci sambil menepuk bahu gadis kecil itu.
"Nah, sekarang, mari kita bersiap-siap untuk berlatih silat. Sekaligus akan kuberikan ilmu-ilmu kesaktian kepadamu!"
"Benarkah itu, Kanjeng?"
Bong Mini melonjak gi-rang.
Karena selama ini ia memang sangat mendamba-kan ilmu-ilmu baru sebagai tambahan untuk menum-pas kejahatan yang terjadi di depan matanya.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk seraya terse-nyum.
Kemudian ia segera mengajak Putri Bong Mini untuk berlatih di suatu tempat *** Kanjeng Rahmat Suci mengajak Bong Mini ke se-buah tempat yang cukup luas.
Sebuah tempat yang banyak tonggak-tonggak kayu.
Itulah tempat di mana Kanjeng Rahmat Suci melatih seorang muridnya yang sekarang tengah turun ke kampung untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari mereka.
"Mulailah, Nak. Perlihatkan semua jurus yang su-dah kau miliki,"
Ujar Kanjeng Rahmat Suci.
Lalu ia melangkah dan berdiri beberapa meter menghadap Putri Bong Mini.
Bong Mini yang sudah berdiri gagah menghadap Kanjeng Rahmat Suci segera bersiap-siap membuka serangan dengan jurus-jurus yang sudah ia kuasai.
Ketika melihat lelaki tua itu sudah berdiri tegak, siap menghadapi serangan, maka Bong Mini segera menju-ra ke depan.
Setelah itu digempurnya pertahanan Kanjeng Rahmat Suci.
"Hiaaat!"
Bong Mini menyerang Kanjeng Rahmat Suci dengan penuh semangat.
Tangan dan kakinya bergerak-gerak menyerang tubuh Kanjeng Rahmat Suci.
Namun de-ngan mudah lelaki tua itu mengelakkan serangannya dengan sedikit menundukkan badan.
Serangan Bong Mini yang demikian gencar hanya menerobos angin.
Akibatnya, ia harus bersalto di belakang lelaki tua itu, karena tubuhnya terbawa oleh tenaga pukulan sendiri yang demikian kuat.
Kemudian ia kembali berdiri tegak untuk membuka serangan berikutnya.
"Hiaaat!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Bong Mini segera menyerang dengan dahsyat.
Ia menggunakan kedua kakinya dengan gerakan menendang yang susul-me-nyusul.
Begitu gencar dan cepat tendangannya datang.
Bahkan tendangan itu mengandung tenaga yang amat kuat dan bertubi-tubi.
Sepasang kakinya seperti kincir angin yang berputar menyambar bergantian.
"Ilmu tendangan yang sangat hebat!"
Seru Kanjeng Rahmat Suci terkagum-kagum.
"Hiaaat!"
Wut wut wuttt! Bong Mini kembali melompat seraya melakukan tendangan kaki kanan ke dada lawan dengan gerakan menjejak.
Belum lagi kaki kanannya menjejak, dalam waktu sekejap Bong Mini melancarkan serangan lagi dengan kaki kiri.
Namun sejauh itu belum juga berha-sil mengenai tubuh lawannya.
Menyadari jurus tendangannya tidak memberikan hasil apa-apa terhadap lawan berlatihnya, Bong Mini segera mengganti dengan jurus 'Tendangan Berantai'.
Wut! Wut! Bong Mini mencecar tubuh lawannya dengan kece-patan lebih tinggi dan dahsyat Disusul dengan kaki melipat yang membentuk gerakan mencekik.
"Hiyaaat!"
"Huppp...! Hiyaaah!"
Kanjeng Rahmat Suci segera menyambar kedua ka-ki Bong Mini dengan kedua tangannya.
Dilanjutkan dengan gerakan mendorong ke atas, sehingga tubuh gadis yang mungil itu melayang cukup tinggi di udara.
Bong Mini segera menggunakan ilmu peringan tu-buh agar dapat menjejakkan kaki di tanah tanpa kehilangan keseimbangan.
Ketika turun, Bong Mini segera melakukan serbuan kakinya lagi.
Singngng...! Sepasang kaki Bong Mini yang lurus bagai tombak menghujam ke arah kepala orang tua itu.
Tapi dengan tenang, Kanjeng Rahmat Suci menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua tangannya ke depan.
Jleggg! Kedua kaki Bong Mini yang lurus ke arah kepala orang tua itu mendarat di ujung jemari tangan Kanjeng Rahmat Suci.
Bong Mini menyadari dirinya berdiri di atas jemari tangan orang tua itu.
Kemudian dibungkukkan badannya untuk memukul wajah Kanjeng Rahmat Suci.
"Hi hi hi...!"
Bong Mini mendadak tertawa geli dan membatalkan niat untuk memukul. Karena pada saat itu, kedua kakinya yang tanpa sepatu terasa digelitiki. Ternyata jari telunjuk orang tua itu menggelitik telapak kakinya hingga gadis mungil itu kegelian.
"Hup...! Ah...!"
Kanjeng Rahmat Suci menurunkan tubuh Bong Mini dengan melepaskan sanggahan jemari tangannya.
"Masih ada jurus lain?"
Tanya Kanjeng Rahmat Suci di sela senyumnya.
"Aku akan menyerang Kanjeng sekali lagi dengan jurus 'Pedang Samber Nyawa'!"
Sahut Bong Mini penasaran.
"Silakan!"
Tantang Kanjeng Rahmat Suci. Kemudian Bong Mini pun mundur beberapa langkah untuk membagi jarak. Dalam serangan ini ia menggunakan dua jurus sekaligus yaitu jurus 'Tanpa Bayangan' dan Jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
"Hiaaat!"
Bong Mini berseru sambil melancarkan serangan dengan gencar.
Tendangan kaki dan sabetan pedang di kedua tangannya begitu cepat menyambar ke arah Kanjeng Rahmat Suci.
Namun bagaimanapun hebat dan gencarnya serangan yang dilakukan Bong Mini, tetap tidak menggoyahkan kuda-kuda orang tua yang menjadi lawan tandingnya itu.
Dia dengan tenang menangkis dan mengelak serangan Bong Mini dengan tangkas.
Malah pada kesempatan lain, Kanjeng Rah-mat Suci berhasil menyambar kedua ujung pedang yang mengarah padanya tanpa mengalami luka sedikit pun.
Melalui tenaga dalamnya, orang tua itu memukul tubuh Bong Mini hanya dengan menghentakkan perutnya tanpa bernapas.
"Hekkk!"
Tubuh Bong Mini terpental jauh.
Tapi untunglah ia memiliki ilmu peringan tubuh yang hampir sempurna, hingga pada saat tubuhnya jatuh di tanah ia dapat berguling-guling dan berdiri kembali dengan napas te-rengah-engah.
Semua jurus telah diperagakan dan dilancarkan ke arah Kanjeng Rahmat Suci, namun sampai jurus te-rakhir yang dimilikinya, Bong Mini tidak juga dapat menggoyahkan kuda-kuda Kanjeng Rahmat Suci.
Orang tua itu tetap berdiri kokoh di tempatnya seakan terpaku ke bumi.
"Aku menyerah, Kanjeng!"
Ucap Bong Mini dengan napas yang masih terengah-engah.
"Tidak ada lagi jurusmu yang lain?"
Bong Mini menggeleng dengan tubuh yang lemas kehabisan tenaga.
"Permainan pedang tadi merupakan jurus terakhir yang aku miliki!"
Kata Bong Mini. Bibir Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Dihampiri-nya Bong Mini yang kini tengah duduk lemas di tanah.
"Ilmu silat yang kau miliki masih jauh di bawah kepandaian orang-orang Perguruan Topeng Hitam,"
Ujar Kanjeng Rahmat Suci setelah dekat.
"Lalu bagaimana cara menumpas orang-orang Per-guruan Topeng Hitam itu, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini.
"Kau harus berlatih mempertajam panca inderamu. Mata kita dapat melihat. Tapi harus dipertajam lagi agar dapat melihat sesuatu di balik dinding dan di balik hati manusia itu sendiri. Telinga kita yang dapat mendengar pun harus dipertajam lagi agar mampu mendengar suara yang jaraknya jauh sekalipun. Nah, lewat ketajaman-ketajaman itu dan lewat bantuan Yang Menguasai diri, kita baru dapat menangkal segala macam kesesatan yang ditebarkan oleh manusia-manusia penyembah iblis seperti dua tokoh Perguruan Topeng Hitam."
Bong Mini mengangguk-angguk. Wajahnya tampak sungguh-sungguh mendengarkan apa yang dikatakan orang tua yang memancarkan cahaya pada wajahnya itu.
"Tapi untuk mendapatkan ilmu itu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Ada syarat-syarat tertentu untuk mencapai maksud itu. Di antaranya harus suci lahir batin. Termasuk tidak suka mencela, sombong, dan mengumbar nafsu amarah yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain. Juga memelihara mata dan telinga dari hal yang kurang bermanfaat serta menjaga batin dari prasangka buruk terhadap orang lain!"
Urai Kanjeng Rahmat Suci, menjelaskan persyaratan-persyaratan untuk memiliki ilmu kesaktian itu.
"Apakah aku bisa mempelajarinya, Kanjeng?"
Kanjeng Rahmat Suci terdiam sambil menatap wa-jah Bong Mini sungguh-sungguh. Membuat jantung Bong Mini berdetak. Khawatir pertanyaan tadi dianggap lancang oleh orang tua itu.
"Kau sungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu ke-saktian?"
Kanjeng Rahmat Suci balik bertanya.
"Benar, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini dengan wajah sungguh-sungguh. Hatinya lega karena Kanjeng Rah-mat Suci tidak marah.
"Untuk apa ilmu kesaktian yang akan kau peroleh nanti?"
Pancing Kanjeng Rahmat Suci.
"Maaf, Kanjeng. Tak sedikit pun terbersit dalam pi-kiranku untuk mempergunakan ilmu kesaktian itu da-lam tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan, kecuali bila berhadapan dengan orang-orang sesat seperti Perguruan Topeng Hitam. Lagi pula, lewat ilmu yang ada pada diriku, aku bisa membantu rakyat yang tertindas seperti yang terjadi di Kerajaan Selat Malaka ini. Tidak seperti sekarang ini, aku hanya dapat geram dan mengeluh melihat perbuatan orang-orang bertopeng yang biadab. Karena kepandaian yang kumiliki sekarang ini jauh di bawah orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Bong Mini menuturkan alasan ke-napa ia ingin mempelajari ilmu kesaktian.
"Kau siap menghadapi kesulitan?"
Pancing Kanjeng Rahmat Suci lagi.
"Siap, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini cepat.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
Sejak semula ia memang sudah tertarik pada gadis mungil ini.
Ia sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri.
Belajar silat dan ilmu kesaktian tidak sekadar untuk menjaga diri sendiri, tetapi juga untuk menjaga keselamatan orang lain yang lemah dan perlu bantuan.
Seperti ma-lapetaka yang kini menimpa rakyat negeri Selat Mala-ka.
Selain itu, yang membuat Kanjeng Rahmat Suci tertarik dan kagum karena gadis mungil di hadapan-nya itu memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa.
Bakat yang dimilikinya mungkin malah lebih tinggi dari dirinya sendiri.
*** Waktu terus berputar.
Matahari telah berdiri tegak lurus di cakrawala.
Sinarnya yang terik terasa menyengat sampai ke kulit kepala.
Seorang gadis mungil berwajah cantik tampak te-ngah melangkah menyusuri Gunung Muda, sambil menikmati pemandangan alam yang pertama kali dike-nalnya.
Suatu pemandangan sejuk yang mengandung udara segar.
Karena di sekitar bukit itu masih banyak dirimbuni oleh pepohonan besar dengan jarak yang berdekatan.
Sehingga cahaya matahari yang menye-ngat dapat terendam oleh rimbunnya dedaunan.
Apa nama gunung ini, ya? Gumam gadis bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini.
Sedangkan pandangannya mengedar ke sekeliling.
Tidak tampak satu rumah pun di sekitar tempat ini, kecuali gubuk Kanjeng, gumam Bong Mini lagi.
Lalu ia melanjutkan perjalanannya kembali menuju utara.
Di sana, ia menemukan sebuah sungai berikut air terjunnya.
"Hm..., dalam udara seperti ini akan terasa segar ji-ka merendam badan di sungai jernih!"
Usai berkata begitu, Bong Mini langsung melepaskan pakaiannya yang berwarna merah tanpa melihat lagi kanan kiri.
Ia merasa yakin bahwa di sekitar sungai itu tidak ada orang lain kecuali dirinya.
Sehingga dengan tenang ia merendam tubuhnya sampai sebatas bahu dengan tangan menggosok-gosok badannya.
Di saat asyik menggosok kulit tubuhnya yang halus dan putih itu, tanpa ia sadari, seorang pemuda me-langkah di sepanjang sungai dengan membawa bunta-lan kain di bahunya.
Kemudian langkahnya terhenti saat pandangannya tertuju pada seorang gadis cantik yang sedang mandi di sungai.
Wah..., jangan-jangan siluman sungai yang mandi itu, gumam hati pemuda itu ketika sepasang matanya memandang lama pada gadis mungil yang sedang be-rendam di air sungai.
Dia heran, karena menurut se-pengetahuannya tidak ada orang lain di daerah itu kecuali dirinya.
Apalagi wanita cantik.
"Heh, lelaki mata keranjang! Lancang benar kau mengintip orang yang sedang mandi!"
Bentak Bong Mini dengan wajah memerah, setelah menyadari ada sepasang mata yang mengawasinya.
Kemudian ia ce-pat-cepat menarik bajunya yang ditaruh di atas se-buah batu lalu bergegas mengenakannya.
Sedangkan pemuda yang mendapat bentakan tadi langsung geme-tar dan gugup.
Cepat-cepat kakinya melangkah me-ninggalkan tempat itu.
"Heh, tunggu! Kau harus bertanggung jawab atas kelancanganmu!"
Panggil Bong Mini dengan suara nyaring, disertai tubuhnya yang melompat cepat mem-buru pemuda itu. Dalam waktu sekejap ia dapat menghadang langkah pengintipnya.
"Dasar mata bandit! Tidak boleh melihat wanita mandi!"
Geram Bong Mini dengan wajah merah mena-han marah dan malu, karena tubuhnya yang polos ke-tika mandi tadi sempat dilihat oleh pemuda yang kini di depannya.
"Ma..., maaf Nona. Aku tidak sengaja!"
Sahut pemu-da itu gugup. Sesungguhnya ia sendiri malu telah dituduh mengintip. Padahal ia tak sengaja ada di sana.
"Tidak sengaja?!"
Bentak Bong Mini. Matanya men-delik sebesar-besarnya.
"Dengan cara kau berdiri la-ma-lama sambil memelototkan mata menatap tubuh-ku, kau bilang tidak sengaja?"
Lanjut Bong Mini dengan berkacak pinggang.
"Sungguh, Nona! Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya meyakinkan penglihatanku, apakah yang kulihat itu benar-benar manusia atau siluman sungai!"
Sangkal pemuda itu dengan sikap yang masih canggung.
"Setan! Jadi kau pikir aku ini dedemit?"
Bong Mini marah ketika dicurigai sebagai wanita siluman.
"Jadi..., Nona benar-benar bukan wanita siluman? Ah..., maafkan aku yang telah salah duga ini, Nona!"
Hatur pemuda itu meminta maaf. Setelah itu ia hendak melanjutkan langkahnya kembali.
"Heh! Kau pikir semudah itu meminta maaf?"
Ben-tak Bong Mini.
"Habis bagaimana lagi, Nona?"
Tanya pemuda itu dengan kening berkerut, heran.
"Kau harus bertanggung jawab terhadap kelanca-ngan matamu itu!"
Ketus Bong Mini dengan sikap yang masih menahan langkah pemuda itu.
"Apakah perbuatan yang tak kusengaja tadi merugi-kan Nona?"
Tanya pemuda itu seperti tak mengerti.
"Bedebah! Kau masih juga berpura-pura!"
Dengus Bong Mini. Kedua matanya semakin indah ketika men-delik ke arah pemuda itu.
"Aku tidak berpura-pura, Nona. Aku hanya ber-tanya, apakah tindakanku yang tidak disengaja itu merugikan?"
Ulangnya. Sedangkan hatinya mulai berdesir hebat ketika matanya menangkap kecantikan Bong Mini. Dan perasaan itu semakin membengkak ketika kedua biji matanya saling bertabrakan dengan mata gadis mungil yang berdiri di depannya.
"Hih! Beraninya kau bersilat lidah!"
Ketus Bong Mini sambil memperlihatkan pedang yang sejak tadi diba-wanya.
"Wah, Nona membawa pedang? Untuk apa?"
Tanya pemuda itu dengan sikap terkejut.
"Untuk membunuhmu, tahu!"
Hardik Bong Mini. Ia heran ada lelaki bermulut rewel seperti pemuda yang baru dihadapinya itu.
"Andai aku bersalah, silakan Nona bunuh! Tapi aku tidak bersalah. Kejadian tadi hanya kebetulan belaka!"
"Menurut hukum kau bersalah!"
"Hukum yang mana, Nona?"
"Hukum yang kuberlakukan sendiri. Sebab kau mengintip tanpa seizinku!"
Pemuda itu tersenyum.
"Kalau minta izin terlebih dahulu namanya bukan ngintip, Nona!"
Kalem pemuda itu.
"Nah, betul kan, tadi kau memang sengaja mengin-tip?"
Kata Bong Mini merasa pancingannya mengena. Merasa terjebak dengan ucapan Bong Mini tadi, pemuda itu segera menyahut "Benar, Nona. Aku tidak sengaja. Tadi aku hanya terpaku melihat kecantikan Nona."
"Ah, aku tidak butuh sanjunganmu!"
Ujar Bong Mini tanpa peduli dengan sanjungan pemuda itu. Malah dengan sikap gagah ia mencabut pedang dari sarung-nya. Sreset! Pedang tanggung itu berkilauan saat terlepas dari sarungnya karena tertimpa sinar matahari.
"Sekarang, bersiaplah kau untuk mati!"
Kata Bong Mini lagi dengan sikap tubuh hendak menyerang pe-muda di hadapannya.
Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Wah, gadis ini benar-benar ceriwis! Bisik hati pe-muda itu.
Namun dengan sikap tenang dan sabar, ia berkata lembut pada gadis mungil yang tengah berdiri gagah itu.
"Sudahlah, Nona. Tidak ada gunanya kita berkelahi. Lagi pula, aku kan tadi sudah minta maaf!"
"Baik kalau memang kau tidak ingin berkelahi. Tapi ada sesuatu yang harus kau lakukan!"
"Apa yang harus aku lakukan?"
Tanya pemuda itu. Dia merasa girang karena gadis itu membatalkan niatnya untuk berkelahi.
"Bersujudlah di dekat telapak kakiku!"
Tegas gadis mungil berumur enam belas tahun itu sambil menu-dingkan ujung pedang ke arah kakinya.
Telinga pemuda itu langsung panas ketika mende-ngar ucapan Bong Mini.
Secara tidak langsung, dirinya telah diremehkan sebagai seorang lelaki.
Wanita ini benar-benar minta pelajaran, ucap hati pemuda itu sambil menatap tajam wajah Bong Mini.
"Bila memang harus bersujud di telapak kakimu, lebih baik aku menerima tawaranmu yang pertama,"
Kata pemuda itu, terpaksa menantang.
"Heh, punya nyali juga rupanya!"
Bong Mini menci-bir. Pemuda itu hanya tersenyum sambil terus memandang wajah Bong Mini.
"Nah sekarang, bersiaplah menerima seranganku!"
Selesai berkata begitu, Bong Mini langsung melakukan gebrakan pembuka.
"Hiaaat...! Huhhh!"
Bong Mini melompat ke arah pemuda itu dengan ge-rakan menendang.
Tapi dengan cepat pula lawannya menggeser sedikit tubuhnya ke samping, hingga luput-lah serangan Bong Mini.
Melihat cara mengelak pemuda itu, Bong Mini mulai sadar kalau pemuda yang dihadapinya memiliki ke-pandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Gadis bertubuh mungil itu segera menghunus pe-dangnya.
Kemudian dia langsung menyerang dengan gerakan menusuk.
Wuttt! Ujung pedang yang ditusukkan ke tubuh pemuda itu gagal mengenai sasaran.
Dengan mudahnya pemu-da itu memiringkan badan ke samping tanpa mengge-rakkan kakinya.
Bong Mini semakin penasaran dan marah melihat pemuda itu meremehkannya.
Dengan gerakan-gerakan cepat ia mengayunkan pedangnya kian kemari.
Wut wut wuttt! Pemuda yang tadi hanya mengelak saja, kini menja-di kewalahan menghadapi serangan pedang Bong Mini yang demikian cepat dan gencar.
Sehingga ia terpaksa bergulingan tanpa mendapat kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Tapi tidak adanya serangan balasan lawan, justru dianggap Bong Mini telah mere-mehkan kepandaiannya.
"Heh! Kenapa kau hanya menghindar? Apakah cu-ma itu kepandaian yang kau miliki!"
Bentak Bong Mini di tengah serangannya yang deras.
"Di antara kita tidak ada permusuhan, Nona!"
Sahut pemuda itu tenang.
"Tapi kau telah berlaku kurang ajar padaku!"
Geram Bong Mini sambil menerjang pemuda itu. Sret! Ujung pedang Bong Mini menggores bahu pemuda itu, hingga bagian baju yang tergores itu robek dan mengalir darah dari lukanya.
"Gadis ini benar-benar hendak melukaiku!"
Gumam pemuda yang umurnya tidak berbeda dengan gadis yang dihadapinya. Sehingga pada saat Bong Mini me-lakukan serangan kembali, pemuda tadi segera mengelak dan memukul tangan Bong Mini. Plakkk! Pedang yang digenggam Bong Mini terjatuh.
"Maaf, Nona! Aku benar-benar tak ingin berkelahi denganmu!"
Ucap pemuda itu sambil melesat, mening-galkan Bong Mini yang berdiri termangu-mangu.
Melihat pemuda yang pergi meninggalkannya itu, hati Bong Mini semakin panas dan geram.
Pemuda itu benar-benar telah meremehkan kepandaian ilmu silat-nya.
Maka ketika pedang yang terjatuh tadi diambilnya, gadis itu langsung melesat menuju arah pemuda tadi.
Tapi pemuda itu telah menghilang entah ke mana.
Bong Mini benar-benar malu, kesal dan jengkel.
Ba-ru kali ini ia dipermainkan oleh seorang lawan.
"Awas kau! Suatu saat nanti akan kulacak jejak-mu!"
Geram gadis mungil itu dengan wajah memerah.
Kemudian ia memasukkan kembali pedangnya dan melangkah pulang dengan membawa sejuta kekecewa-an terhadap pemuda yang baru dihadapinya tadi.
*** Senja mulai temaram.
Kabut yang sejak siang tadi menyingkir, kini telah turun perlahan-lahan, menutupi sebagian pemandangan alam.
Sehingga banyak pepohonan yang tumbuh di sekitar pegunungan tak terlihat lagi bentuknya karena tertelan gumpalan kabut.
Sedangkan matahari yang sejak tadi memancarkan sinar dengan terang telah beringsut ke arah barat.
Membuat alam bertambah suram.
Dalam suasana yang mulai gelap itu, Bong Mini ba-ru sampai di pekarangan gubuk Kanjeng Rahmat Suci.
Di sana, ia melihat orang tua itu sedang duduk di atas dipan sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong rebus.
"Dari mana saja senja begini baru pulang?"
Sapa Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kehadiran gadis mungil itu.
"Maafkan, Kanjeng. Aku terlalu asyik menikmati pemandangan, hingga tak sadar bila sudah berjalan jauh,"
Ucap Bong Mini.
"Hm, duduklah. Kopi yang sudah kusediakan sejak tadi sudah dingin."
"Wah, Kanjeng terlalu merepotkan. Aku jadi tidak enak!"
Kata Bong Mini, malu hati terhadap kebaikan yang diberikan orang tua itu.
"Tidak apa-apa. Lagi pula kurang enak kalau aku ngopi sendirian sedangkan kau hanya minum air pu-tih,"
Kilahnya tenang sebagaimana kebanyakan orang yang sudah berumur lanjut. Bong Mini tersenyum manis. Lalu ia duduk meng-hadap orang tua itu. Sedangkan dua buah pedang yang sejak tadi tersandang di punggungnya ia letakkan di atas dipan.
"Senang dengan suasana di sini?"
Tanya Kanjeng Rahmat Suci lagi setelah beberapa saat suasana he-ning.
"Wah, senang sekali, Kanjeng. Tempat ini sejuk dan bersih. Air sungainya pun jernih dan menyegarkan!"
Sahut Bong Mini cepat, memuji keindahan alam Gu-nung Muda.
"Apa yang kau katakan tadi memang benar. Karena itu aku betah tinggal di sini berlama-lama!"
Timpal Kanjeng Rahmat Suci atas pendapat Bong Mini.
Bong Mini mengangguk-angguk, sambil menggigit kecil sepotong singkong rebus yang tergenggam di tangannya.
Pada saat itu, sebenarnya ia hendak menanyakan mengenai pemuda yang ditemuinya tadi di sungai.
Namun sisi lain hati kecilnya yang merasa keberatan karena malu, hingga ia membatalkan niatnya itu.
Biar-lah nanti ia sendiri yang mencari jejak pemuda itu, pikirnya.
"Sebenarnya sejak tadi aku ingin menanyakan se-suatu kepadamu,"
Ungkap Kanjeng Rahmat Suci.
"Tentang apa, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini dengan memasang wajahnya sungguh-sungguh.
"Begini...,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci sambil mem-benarkan letak duduknya dengan bersila.
"Bila kulihat dari penampilan pakaian yang kau kenakan itu, aku merasa yakin bahwa kau hidup senang di negeri ini. Paling tidak, orangtuamu seorang saudagar."
"Bukankah sudah dijelaskan, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini. Ia merasa bahwa pertanyaan orang tua itu telah dijawab ketika menceritakan tentang liku-liku perjalanan keluarganya hingga sampai ke negeri ini.
"Tadi pagi kau baru menceritakan tentang papamu yang menentang kehendak Raja Manchuria dan mela-rikan diri ke negeri ini bersama beberapa orang rakyat yang mengikutinya. Sedangkan tentang keberadaan papamu di sini belum kau jelaskan,"
Sahut orang tua itu.
Bong Mini mengangguk lamat.
Hatinya kagum terhadap daya ingat orang tua itu.
Sedang ia sendiri yang masih muda belia sudah tidak ingat lagi tentang ceritanya kepada Kanjeng Rahmat Suci tadi pagi.
Ketika mendengar keterangan orang tua itu, baru ia ingat.
"Maafkan aku, Kanjeng. Ternyata aku yang lupa menceritakan!"
Ucap Bong Mini tersenyum malu. Kanjeng Rahmat Suci mengangguk kagum. Karena gadis kecil yang berada di hadapannya itu mau mengakui kealpaannya.
"Tidak apa-apa. Nah, sekarang coba jelaskan ten-tang keadaan papamu di negeri ini!"
Pinta Kanjeng Rahmat Suci.
"Apa yang Kanjeng duga memang benar. Karena se-tibanya di sini, papa langsung mengangkat dirinya sebagai raja bagi para pengikutnya. Dan hanya sebagian saja penduduk asli di sini yang mengetahuinya."
"Kenapa begitu?"
Tanya orang tua itu ingin tahu.
"Papa merasa belum mampu untuk menjadi raja yang resmi di negeri ini. Oleh karena itu papa kurang dikenal sebagai raja, kecuali beberapa penduduk yang berdekatan dengan tempat tinggal papa!"
Urai Bong Mini, lalu menghentikan ceritanya sejenak. Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.
"Setelah beberapa bulan papa menobatkan dirinya sebagai raja, tiba-tiba datang prahara menimpa penduduk berupa kelaparan karena musim kemarau yang berkepanjangan. Sehingga sawah dan ladang mereka mati kekeringan dan tidak menghasilkan apa-apa. Melihat kenyataan penduduk seperti itu, papa jadi tidak sampai hati. Ingin membantu, ia tidak punya uang untuk diberikan kepada mereka. Akhirnya papa melaku-kan perampokan tanpa sepengetahuanku. Hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mereka yang men-derita kelaparan!"
Kata Bong Mini.
"Apakah papamu masih melakukan perampokan?"
Potong Kanjeng Rahmat Suci.
"Tidak, Kanjeng. Saat papa melakukan perampokan untuk kedua kalinya, aku sempat memergoki dan pergi meninggalkan papa. Aku merasa tertipu dengan sikap papa. Papa yang begitu baik dan sayang kepadaku ternyata hanya seorang perampok. Namun belum jauh aku meninggalkan rumah, papa datang menyusul dan menjelaskan kepadaku kenapa ia sampai melakukan perampokan. Tidak lain karena kasihan melihat rakyat yang menderita. Dan secara kebetulan pemilik harta itu pun seorang perampok pula. Dari situ aku meminta papa untuk menghentikan kegiatannya. Ternyata papa menuruti permintaanku untuk tidak merampok lagi sampai sekarang,"
Tutur Bong Mini menghentikan ceritanya. Kanjeng Rahmat Suci tampak-tersenyum kagum mendengar cerita tentang perjuangan Bongkap.
"Sungguh aku kagum terhadap perjuangan papamu yang mengandung risiko itu!"
Puji Kanjeng Rahmat Suci.
"Kenapa harus kagum, Kanjeng? Bukankah meram-pok merupakan perbuatan yang tercela?"
Tanya Bong Mini heran.
"Itu betul. Tapi yang mendorong papamu untuk me-lakukan perampokan, itu yang aku kagumi. Dia rela namanya rusak demi kebahagiaan rakyat!"
Kata Kan-jeng Rahmat Suci memberikan alasan tentang kekagu-mannya.
Bong Mini mengangguk mengerti.
Di balik dinding bilik, seorang pemuda tampak ber-jalan mengendap-ngendap ke arah mereka dengan maksud hendak mencuri percakapan antara Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci.
Tapi untunglah saat pemu-da itu mendekati tempat mereka, Bong Mini telah menyelesaikan ceritanya.
Sehingga pemuda itu tidak sempat mendengar.
Pemuda itu melongokkan kepalanya sedikit untuk dapat melihat siapa wanita yang bercakap-cakap de-ngan Kanjeng Rahmat Suci.
Dan, tersentaklah wajah-nya ketika melihat wanita yang bercakap-cakap de-ngan Kanjeng Rahmat Suci.
Wanita itu pernah dite-muinya ketika berada di sungai siang tadi.
Malah mengajaknya bertanding karena dituduh mengintip.
Memang benar kalau pemuda yang menguping pem-bicaraan antara Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci adalah orang yang telah berhadapan dengan Bong Mini siang tadi.
Dan dia merupakan murid tunggal Kanjeng Rahmat Suci yang bernama Baladewa, putra Prabu Jalatunda dan Rayi Ningrum.
Saat itu ia baru saja pulang dari kampung membawa kebutuhan makanan, sesuai dengan pesanan Kanjeng Rahmat Suci.
Dalam perjalanan ia melihat Bong Mini yang tengah mandi di sungai.
Setelah berdiri beberapa saat di balik bilik gubuk Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa membatalkan niat untuk mengantarkan bahan makanan yang dipesan gu-runya.
Ia berbalik arah lalu melangkah menuju gubuk-nya yang hanya beberapa meter dari gubuk Kanjeng Rahmat Suci.
Di sana, ia langsung merebahkan badannya di atas dipan.
Sedangkan matanya menatap langit-langit kamar yang terbuat dari rumbia.
Tatapan ma-tanya kosong.
Karena pikirannya mengawang pada ga-dis yang dilihatnya tadi.
Siapa gadis itu dan mengapa berada di gubuk Kan-jeng Rahmat Suci? Tanya batin pemuda itu sambil membayangkan keceriwisan dan kecantikan gadis yang baru pertama kali dilihatnya itu.
Apa mungkin dia cu-cu atau murid kanjeng? Lanjut hati pemuda itu lagi.
Ah..., tidak mungkin! Kanjeng tidak mempunyai seo-rang cucu atau keluarga.
Untuk dikatakan muridnya pun jelas mustahil.
Karena menurut pengakuan Kan-jeng sendiri, dia tidak mempunyai murid lain kecuali diriku.
Lalu siapa sebenarnya gadis itu? Batin pemuda itu terus bertanya jawab.
Wah...! Kok jadi memikirkan gadis itu? Gumam pe-muda itu lagi sambil tersenyum malu.
Malu terhadap dirinya sendiri yang selalu membayangkan gadis yang dijumpainya tadi.
Kemudian ia membalikkan tubuhnya.
Berusaha menghilangkan bayangan wajah gadis itu.
Namun usahanya sia-sia belaka.
Semakin ia berusaha menghilangkan, semakin kuat wajah gadis itu membayanginya.
Apa saja yang dilihatnya selalu ter-bayang wajah gadis bertubuh mungil yang dilihatnya di sungai tadi.
Wah, kacau nih! Bisa tidak tidur kalau begini! Bisik hati pemuda itu seraya bangkit hendak menemui gurunya.
*** Bong Mini dan Kanjeng Rahmat Suci masih asyik bercakap-cakap.
Namun demikian, pikiran Bong Mini terkadang terusik oleh pemuda yang siang tadi mem-buat dirinya malu.
"Kanjeng!"
Ujar Bong Mini. Kanjeng Rahmat Suci menoleh sejenak dan ber-tanya.
"Ada apa?"
"Apakah selama ini Kanjeng tinggal sendirian?"
Tanya Bong Mini. Dan pertanyaan itu sebenarnya su-dah lama menggayuti hatinya. Sebab ia heran, dalam suasana bukit yang sunyi dan jauh dari perkampungan serta dikelilingi jurang dan sungai, Kanjeng Rahmat Suci tampak begitu betah.
"Hm..., ya. Aku lupa menceritakan tentang murid-ku!"
Ungkap Kanjeng Rahmat Suci, seolah baru sadar dari keasyikannya.
"Jadi, Kanjeng punya seorang murid?"
Tanya Bong Mini.
"Benar, Anakku!"
"Tapi aku sejak tadi tidak melihatnya, Kanjeng!"
"Sejak kemarin sore muridku itu pergi ke kampung untuk membeli persediaan makanan,"
Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk paham.
"Sejak berumur sebelas tahun hingga sekarang ini dia belajar di sini,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci lagi.
"Apakah dia tidak punya orangtua, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Kedua orangtuanya masih ada. Malah ia hidup da-lam lingkungan keluarga yang berkecukupan. Tapi hanya beberapa kali mereka datang ke sini."
"Kenapa begitu, Kanjeng? Apakah mereka tidak kangen? Atau memang karena anaknya nakal?"
Tanya Bong Mini beruntun. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum mendapat perta-nyaan gencar Putri Bong Mini.
"Sebagai orangtua tentu saja mereka kangen, begitu pula dengan anaknya. Sebagaimana kau kangen pada papamu sekarang ini. Ia juga seorang anak yang baik dan penurut,"
Ucap Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan. Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Mereka jarang datang ke sini karena aku mela-rangnya.
"
"Kenapa begitu, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini cepat "Aku ingin mendidik anak itu agar menjadi orang yang tangguh.
Agar ia dapat tabah dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan berbagai pernik ini.
Apalagi jika hendak mengejar cita-cita.
Sebab untuk mengejar cita-cita, kita seperti berjalan di semak belukar yang penuh dengan tanaman berduri.
Telapak kaki kita sewaktu-waktu berdarah terkena tanaman berduri!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci dengan suara lunak.
Namun apa yang dikatakannya itu sangat berarti bagi Bong Mini.
Tampak tidak menasihati tapi mengandung makna yang amat dalam.
Penuturan baha-sanya pun penuh dengan bahasa hati.
Sehingga lang-sung menyentuh dinding hati lawan bicaranya.
"Tapi aku heran, sampai gelap seperti ini, dia belum juga pulang!"
Lanjut Kanjeng Rahmat Suci dengan wajah yang menunjukkan kecemasan.
"Mungkin main-main dulu, Kanjeng,"
Kata Bong Mini.
"Dia anak penurut. Tak pernah mengabaikan tu-gasnya sebelum selesai dilaksanakan,"
Ucap Kanjeng Rahmat Suci sambil menyebarkan pandangannya ke keremangan malam.
"Siapa nama murid Kanjeng itu?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Baladewa."
Mendengar nama itu, wajah Bong Mini langsung terkejut.
Dia pernah mendengar nama itu ketika bercakap-cakap dengan istrinya Prabu Jalatunda, Bibi Ningrum.
Pada saat itu malah ia hendak diperkenalkan dengan putranya.
Namun karena terhalang oleh pasukan Perguruan Topeng Hitam, perjalanan itu segera di-batalkan.
"Kanjeng, apakah tempat ini bernama Gunung Mu-da?"
Tanya Bong Mini lagi.
"Benar. Memangnya ada apa?"
Orang tua itu balik bertanya.
"Tidak apa-apa, Kanjeng. Aku pernah mendengar nama itu!"
"Dan, sekarang kau sudah berada di sini menikma-tinya!"
Bong Mini membalas ucapan orang tua itu dengan tersenyum manis.
Begitu pula dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Di saat keduanya tersenyum gembira, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang tidak lain Baladewa.
Dia berdiri tegak dengan buntalan kain di pundaknya.
Mata Kanjeng Rahmat Suci dan Bong Mini serentak menatap Baladewa yang berdiri di hadapan mereka.
Sedangkan bibir Baladewa nampak tersenyum ke arah mereka berdua.
Bong Mini terkejut melihat kehadiran pemuda itu.
Ia tidak mengira kalau pemuda yang diajaknya ber-tempur tadi siang justru murid Kanjeng Rahmat Suci dan putranya Prabu Jalatunda.
"Inilah muridku yang bernama Baladewa!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci memperkenalkan.
Bong Mini mengangguk pelan sambil memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
Namun ketika Kanjeng Rahmat Suci sudah tidak melihatnya, ia segera meng-ubah wajahnya dengan ketus.
Disertai sorotan ma-tanya yang mengandung kebencian.
"Kanjeng, aku hendak menyalakan lampu kamar dulu!"
Ucap Bong Mini buru-buru turun.
"O, ya. Terlalu asyik kita bicara, hingga lupa jika suasana telah gelap,"
Kanjeng Rahmat Suci tersadar dari keasyikannya. Lalu ia pun masuk ke dalam gubuknya untuk menyalakan lampu tempel. Diikuti oleh Baladewa.
"Siapa gadis itu, Kanjeng?"
Tanya Baladewa pura-pura.
"Dia murid baruku. Jadi saudara seperguruanmu!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci sambil menggantungkan lampu tempel yang sudah menyala di tiang rumah.
"Nampaknya dia gadis asing,"
Kata Baladewa, me-nebak.
"Ya. Dia berasal dari negeri Tiongkok. Tapi sudah menetap di sini,"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci seraya memandang wajah muridnya.
"Hari ini begitu lama kau berbelanja. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Kanjeng. Kebetulan sambil ber-belanja tadi, aku keliling kampung untuk melihat-lihat suasana,"
Jawab Baladewa menyembunyikan kejadian yang sesungguhnya. Orang tua itu mengangguk-angguk.
"Ya, sudah. Kembalilah ke gubukmu. Nanti kita bin-cang-bincang lagi,"
Kata orang tua itu.
"Baik, Kanjeng!"
Sahut Baladewa.
Dan setelah me-naruh buntalan di atas meja, ia segera kembali ke gubuknya untuk menyalakan lampu tempel di kamarnya.
*** Selama di Gunung Muda, Bong Mini telah mendapat kemajuan yang amat menakjubkan! Bahkan Kanjeng Rahmat Suci sendiri merasa heran dan kagum terha-dap kemajuan Putri Bong Mini.
Semua ilmu yang di-ajarkan oleh orang tua itu selalu dapat dilakukan dengan hampir sempurna.
Sehingga tidak heran, setelah dua tahun berada di Gunung Muda yaitu dalam usia kedelapan belas tahun, kepandaian ilmu silat Bong Mini telah jauh meninggalkan saudara seperguruan-nya, Baladewa.
Kemajuan yang diperoleh Bong Mini bukan saja da-lam hal ilmu silat, tetapi dalam ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam ia pun mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Karena secara diam-diam, tanpa diperintah Kanjeng Rahmat Suci, Bong Mini melakukan lati-han sendiri di tempat yang agak jauh dari tempat mereka.
Malah setiap pagi, sebelum matahari muncul memancarkan sinarnya, Bong Mini selalu pergi ke sungai tempat ia pertama kali mandi untuk merendam dirinya pada air sungai yang dingin itu sampai beberapa jam.
Dari rasa dingin yang ditimbulkan air sungai itu ia dapat menampung pusat tenaga dalam yang sangat hebat.
Setelah mendapatkan semua pelajaran ilmu silat, Bong Mini mulai mempelajari ilmu kesaktian dari gurunya.
Pertama-tama yang harus dilakukan Bong Mini da-lam mempelajari ilmu kesaktian adalah dengan cara menyekap diri dalam sebuah goa kecil selama tiga hari tiga malam dengan berpuasa.
Sedangkan waktu makannya pada saat matahari terbenam, ia hanya diper-bolehkan makan segenggam nasi tanpa lauk-pauk dan segelas air putih.
Setelah itu, ia kembali lagi ke dalam goa untuk merenungkan seluruh ciptaan Tuhan.
Mulai dari langit dan bumi, termasuk manusia, hewan, tum-buhan, bintang, bulan dan ciptaan Tuhan yang lain.
Termasuk merenungkan apa yang ada dalam diri sen-diri.
Inilah yang disebut dengan ilmu Pengenalan Diri.
Pada saat merenungkan diri sendiri, Bong Mini me-nangis tersedu-sedu sampai air matanya kering terkuras dalam ruang goa yang gelap.
Karena pada saat itu ia merasa, betapa kerdil dirinya di hadapan Tuhan.
Ia merasa tak mampu melakukan apa-apa bila tanpa kehendak Yang Maha Kuasa.
Dari pelajaran pengenalan diri ini, ia dapat menjawab tentang ucapan gurunya yang mengatakan bahwa pertolongan itu datang dari Yang Menguasai dirimu.
Di sini ia berpendapat bahwa Yang Menguasai diri manusia adalah Tuhan.
Bukankah Yang Maha Kuasa mam-pu berkehendak apa saja terhadap makhluk ciptaan-Nya? Bukankah jika Tuhan berkehendak, dia mampu menenggelamkan ke dalam bumi dan mengubur hi-dup-hidup manusia yang penuh dengan lumpur dosa dan maksiat? Tapi Yang Maha Kuasa begitu pemurah.
Dibiarkan manusia bersenang sesuai dengan kehendak nafsunya.
Dibiarkan manusia berbuat sekehendak ha-ti.
Namun di akhir hidupnya nanti Yang Maha Kuasa akan menanyakan segala perbuatan manusia itu sen-diri dan memberikan imbalannya.
Sesuai dengan per-buatan baik dan perbuatan jahat yang dilakukan se-lama berada di dunia.
Setelah Bong Mini dapat mengenal diri sendiri lewat pencucian diri, barulah ia memasuki tahap kedua dengan cara memusatkan hati, pikiran, mata, telinga dan seluruh anggota tubuhnya pada kekuatan dan keper-kasaan Tuhan selama empat puluh hari empat puluh malam dengan tetap berada dalam goa.
Ketika baru seminggu ia melakukan pemusatan pi-kiran dan seluruh anggota tubuh pada kebesaran, kekuasaan, dan keperkasaan Tuhan, tiba-tiba Bong Mini melihat secercah cahaya terang berwarna putih.
Kemudian cahaya putih yang berbentuk bulatan itu ma-kin lama makin besar.
Menghampiri dan melingkari tubuhnya.
Sehingga tubuhnya berlumur cahaya putih keperakan.
Pada hari-hari berikutnya, ia kembali melihat ber-bagai macam cahaya sebesar buah kelereng di depan-nya.
Warnanya ada yang kuning, biru, hijau dan me-rah.
Kemudian keempat cahaya itu bergerak ke arah-nya secara perlahan dan masuk ke dalam dua bola matanya.
Sebenarnya Bong Mini sudah khawatir dengan na-sib dirinya di dalam goa yang gelap gulita itu.
Namun karena ia telah bertekad bulat, kekhawatiran itu pun berubah menjadi kepasrahan.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya lagi.
Dalam kepasrahan itu, ia semakin dapat melihat dan merasakan peristiwa-peristiwa gaib yang selama dalam hidupnya tak pernah dialami.
Pada malam keempat puluh, peristiwa-peristiwa gaib kembali ia alami.
Peristiwa gaib pada malam terakhir itu benar-benar peristiwa yang sangat menak-jubkan dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.
Karena pada malam terakhir itu, ia merasakan dirinya melayang di udara, mengitari alam jagat raya.
Dan di saat tubuhnya melayang itu ia banyak melihat pemandangan alam gaib yang amat indah dan menakjubkan! Setelah ia mengalami perjalanan yang cukup lama, tiba-tiba ia sampai pada sebuah istana yang tak kalah indah dari pemandangan yang ia saksikan sebelum-nya.
Seluruh tembok dan isi ruangan istana itu dihiasi oleh emas dan intan berlian, sehingga tampak gemer-lapan.
Lantainya dilapisi oleh permadani hijau.
Membuat Bong Mini benar-benar senang dan lupa di mana ia berada.
Hanya satu yang ia tahu bahwa dirinya berada di alam yang serba menyenangkan.
Istana megah yang banyak ditaburi oleh emas dan intan berlian itu nampak sepi.
Tak seorang pun yang berada di ruangan itu kecuali dirinya.
Namun begitu, ia tak merasa takut sedikit pun.
Malah dengan wajah gembira kakinya melangkah memasuki ruangan demi ruangan.
Setelah semua ruangan dilihat dan dinikmati, sam-pailah ia di ruangan perpustakaan istana.
Di ruangan itu ia duduk berlama-lama sambil membaca-baca bu-ku.
Bong Mini terkesima beberapa saat, sebab buku yang kebetulan ia baca merupakan sebuah kitab yang memuat tentang pelajaran-pelajaran silat.
Dan isinya pun begitu komplit.
Mulai pelajaran silat yang berasal dari negeri Cina sampai pada pelajaran silat yang berasal dari negeri timur.
Namun sayangnya, bahasa yang digunakan dalam buku itu bukan bahasa lugas yang biasa digunakan sehari-hari, melainkan bahasa hati yang mengandung sastra.
Di mana dalam mema-haminya memerlukan perenungan-perenungan yang amat dalam serta memakan waktu yang cukup lama.
Sebab setiap isi yang terkandung dalam setiap kalimat mempunyai makna yang sangat dalam.
Walaupun begitu, Bong Mini tetap membacanya.
Karena dari setiap halaman kitab itu ada beberapa kalimat yang bisa ia pahami dengan baik.
Di saat ia asyik membawa kitab yang bertuliskan kata-kata sastra, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul seorang perempuan muda yang amat cantik.
Kecantikannya sangat sulit disamakan dengan wanita lain yang ada di dunia.
Apalagi dilukiskan dengan ka-ta-kata.
"Selamat datang ke istanaku, Gadis Manis!"
Sambut wanita berparas cantik itu seraya menyunggingkan senyum ke arah gadis mungil yang tengah asyik memba-ca kitab sastra itu.
Bong Mini tersentak mendengar sapaan lembut dan ramah itu.
Lebih terkejut lagi ketika melihat wanita je-lita itu melangkah menghampiri dengan senyuman yang tak lekang dari bibirnya yang merah basah.
Sedangkan gaun putih yang dikenakan wanita itu tam-pak bergeser menyapu lantai.
Oh...! Betapa cantiknya wanita itu.
Pasti dia seorang putri yang menghuni istana ini, tebak hati Bong Mini dalam keterpanaannya.
Dan dugaan itu semakin kuat lagi ketika Bong Mini menoleh pada mahkota yang dikenakan wanita itu.
"Si..., siapakah kau?"
Tanya Bong Mini gugup. Bu-kan karena takut. Melainkan karena ia masih terpeso-na terhadap kecantikan yang dimiliki wanita itu. Wanita cantik itu tersenyum ramah.
"Aku adalah penghuni istana ini,"
Kata wanita can-tik itu dengan suara lembut berdesah. Bong Mini tak memberikan reaksi apa-apa terhadap jawaban gadis cantik itu. Ia masih terbius oleh wajah cantik wanita yang berdiri di depannya.
"Sedang baca buku apa?"
Tanya wanita cantik itu lagi ketika melihat Bong Mini masih diam terpaku.
"Aku..., aku membaca kitab sastra!"
Sahut Bong Mini masih gugup. Lagi-lagi wanita itu tersenyum. Sedangkan kedua matanya yang indah menatap tajam pada Bong Mini.
"Kau mengerti maksudnya?"
Tanya wanita cantik itu dengan sinar mata yang gemerlap.
"Hanya beberapa kalimat saja yang bisa aku paha-mi,"
Sahut Bong Mini dengan wajah menengadah me-natap wanita cantik di hadapannya. Tubuh wanita itu memang lebih tinggi dibanding dengan ukuran tubuhnya sendiri.
"Bagus?"
Tanya wanita cantik itu seperti meman-cing.
"Sungguh bagus! Hampir semua pelajaran silat di jagat ini terangkum dalam kitab silat sastra ini. Dan aku sangat tertarik untuk mempelajarinya!"
Sahut Bong Mini.
"Buku yang kau pegang itu memang buku pelajaran silat yang paling bagus dan lengkap. Tidak seorang pun yang memilikinya kecuali aku!"
Bong Mini mengangguk-angguk kecil. Sedangkan matanya tetap memandang lurus pada wanita cantik yang menghuni istana indah itu.
"Tapi kenapa kau sampai tertarik hendak mempela-jarinya?"
Pancing wanita cantik itu lagi.
"Aku ingin sekali memiliki ilmu-ilmu silat yang ada dalam kitab sastra ini. Kalau bisa menguasai seluruhnya!"
Sahut Bong Mini.
"Kalau kau sudah memiliki semuanya?"
"Aku akan abdikan kepada kepentingan rakyat!"
"Dengan berlagak seperti jagoan?"
Wanita cantik itu terus memancing jawaban Bong Mini.
"Sekali-kali tidak. Aku hanya ingin membaktikan ilmu yang ada itu kepada orang lemah yang benar-benar membutuhkan pertolonganku!"
Sahut Bong Mini.
Wanita cantik itu mengangguk-angguk.
Wajahnya menunjukkan kepuasan terhadap jawaban Bong Mini.
Kemudian buku sastra yang sejak tadi dipegang oleh Bong Mini diambilnya dengan hormat, sebagaimana ta-ta krama yang berlaku dalam istana kerajaan.
"Sebenarnya tanpa dipelajari pun kau sudah memi-liki ilmu-ilmu yang ada dalam kitab sastra ini,"
Tutur wanita cantik itu.
"Maksudmu?"
Tanya Bong Mini tidak mengerti.
"Kau sudah menguasai seluruh ilmu silat yang ada dalam kitab ini!"
Jelas wanita cantik itu.
"Bagaimana mungkin? Melihat buku itu pun baru kali ini!"
Kilah Bong Mini keheranan.
"Kau benar. Tapi tanpa disadari kau telah mempela-jari dan menguasai ilmu itu sebelum membaca buku ini!"
Bong Mini tergugu tak mengerti.
"Tahukah kau, berapa lama perjalananmu ke negeri ini?"
Tanya wanita penghuni istana indah itu.
Bong Mini diam mengerutkan kening.
Sejauh itu, ia tidak tahu berapa lama ia menempuh perjalanan me-nuju istana yang terbuat dari emas dan intan berlian itu.
Karena seingatnya, ia datang ke istana indah itu tanpa direncanakan.
Apalagi sampai dapat menghitung hari perjalanannya.
"Aku tidak tahu, berapa lama aku menempuh perja-lanan ke sini. Karena tak terbersit sedikit pun aku punya rencana ke sini. Ini hanya kebetulan,"
Sahut Bong Mini jujur. Wanita cantik penghuni istana indah itu tampak mengangguk-angguk. Disertai senyuman yang tak per-nah lekang dari bibirnya.
"Kau benar. Tapi kau tidak tahu bahwa puasa dan tapa yang kau jalani selama empat puluh hari empat puluh malam itu merupakan jalan untuk bisa sampai ke istanaku ini!"
Ucapnya. Bong Mini mengangguk-angguk mengerti. Wajahnya sungguh-sungguh memperhatikan wanita di hadapan-nya.
"Sebenarnya banyak orang yang hendak berkunjung ke istana ini dan bertemu denganku. Tapi Yang Kuasa tidak mengizinkannya!"
Lanjut wanita cantik itu lagi.
"Kenapa begitu?"
Tanya Bong Mini ingin tahu. Lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum lembut. Sea-kan-akan hendak memamerkan giginya yang putih dan berbaris rapi.
"Ada beberapa hal yang menghalangi perjalanan mereka untuk bisa sampai ke tempat ini,"
Jelas wanita cantik itu.
"Salah satunya memaksakan kehendak dan sombong!"
Bong Mini mengangguk mengerti.
"Mengapa bisa begitu?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Kalau itu yang kau tanyakan, maka aku pun akan bertanya kepadamu; Apakah kau suka terhadap orang yang sombong?"
Wanita cantik itu balik bertanya.
"Tidak!"
Sahut Bong Mini cepat "Bila kau tidak menyukai orang yang sombong ba-gaimana pula dengan Tuhan yang telah menciptakan semua makhluk dan dunia.
Oleh karena itu mereka tidak diizinkan Yang Maha Kuasa untuk bertemu de-nganku dan diganti dengan orang lain, sesuai dengan kadar kebersihan hati masing-masing!"
Kata wanita cantik itu menjelaskan. Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana denganku?"
"Kau lain. Kau hanya punya satu niat hendak memberantas kejahatan dan melindungi manusia yang lemah. Tanpa punya rencana jahat, apalagi hendak bertemu dengan menguasai ilmuku. Dan pertemuan kita pun seperti yang kau katakan tadi; tanpa sengaja!"
Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Apakah kitab Panca Sinar Sakti itu merupakan il-mu-ilmu yang kau miliki?"
Tanya Bong Mini.
"Ya. Semua ilmu silat dan kesaktian yang kumiliki berada dalam kitab sastra ini. Karena memang aku yang menulisnya!"
Sahut wanita cantik itu menje-laskan.
"Kalau begitu, ilmu yang kudapatkan sekarang ini merupakan warisan darimu,"
Kata Bong Mini berpen-dapat. Sebab tadi wanita itu mengatakan bahwa pelajaran silat yang ada dalam kitab sastra yang dibacanya telah dikuasai seluruhnya tanpa disadari.
"Benar. Kaulah yang hendak mewarisi ilmu-ilmu yang kumiliki!"
Jawab wanita cantik itu. Bong Mini diam, memahami kata-kata wanita cantik yang baru dilihatnya.
"Tapi ingat! Pergunakanlah ilmu itu sebaik mung-kin. Janganlah kau berlaku angkuh apalagi bertindak semena-mena dengan ilmu kesaktian yang kau miliki itu. Sebab kesombongan dan kesewenang-wenangan akan menghancurkan dirimu sendiri!"
Pesan wanita cantik itu. Bong Mini terdiam. Memahami kata-kata wanita cantik di hadapannya.
"Apa nama ilmu-ilmu yang telah kumiliki itu?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Sungguh banyak. Tapi semua nama ilmu kesaktian yang kuwariskan kepadamu itu terangkum dalam satu nama yaitu Panca Sinar Sakti. Artinya lima anggota tubuh yang memancarkan sinar kesaktian!"
Jelas wanita cantik itu.
"Kalau boleh aku tahu, apa saja kesaktian lima anggota tubuh itu?"
Tanya Bong Mini sungguh-sungguh.
"Lima anggota tubuh yang mengandung kesaktian itu antara lain; mata, telinga, mulut, tangan dan kedua kakimu!"
Sahut wanita cantik itu tanpa segan-segan menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk. Kemudian sambil membenarkan letak duduknya ia berkata.
"Sudah se-jak tadi kita bercakap-cakap. Tapi aku belum mengenal namamu!"
Wanita itu tersenyum lembut penuh keramahan.
"Namaku Putri Teratai Merah,"
Wanita cantik itu menyebutkan namanya.
"Lalu, apa nama istana ini?"
Tanya Bong Mini lagi. Karena sejak tadi ia memang hendak menanyakan hal itu.
"Tempat ini disebut Istana Putri. Karena semua yang menghuni istana ini terdiri dari kaum putri!"
"Tapi aku tidak melihat penghuni lain selain diri-mu?"
Tanya Bong Mini agak heran.
"Mereka sedang bermain-main di taman bunga. Kau ingin melihatnya?"
Tanya wanita cantik itu.
Bong Mini menganggukkan kepala, diiringi senyum-nya yang lembut dan manis.
Kemudian keduanya sege-ra berjalan beriringan menuju taman bunga yang le-taknya di belakang istana.
Tidak lama kemudian, keduanya sampai di taman belakang Istana Putri.
Di sana para putri lain tengah bersenda-gurau di antara barisan bunga teratai merah.
Bong Mini yang sejak tadi kagum melihat keadaan istana dan kecantikan wajah Putri Teratai Merah, kini semakin kagum ketika memandang para penghuni Istana Putri lain.
Karena hampir semua putri yang ada dalam taman bunga itu mempunyai wajah cantik dengan umur rata-rata masih muda belia, sehingga sulit baginya untuk menilai siapa yang tercantik di antara mereka.
Ditambah lagi dengan gaun yang sama-sama berwarna putih dan terjuntai panjang.
Ia semakin bi-ngung.
Dan gaun putih yang dikenakan para penghuni Istana Putri itu sangat pas bila dipadu dengan bunga teratai merah yang tumbuh di sekitar taman bunga itu.
"Putri Teratai Merah, apakah semua putri yang se-dang bermain di taman bunga itu berada dalam keku-asaanmu?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Aku tidak mampu menguasai mereka. Sebab selain aku ada lagi yang lebih berkuasa!"
Sahut Putri Teratai Merah.
"Siapa?"
"Yang Maha Kuasa!"
Sahut Putri Teratai Merah.
"Aku hanya memimpin mereka. Karena kebetulan tingkat kepandaianku lebih tinggi!"
Bong Mini mengangguk-angguk.
Hatinya begitu ka-gum pada Putri Teratai Merah.
Dia menjadi pemimpin tanpa menguasai bawahannya.
Berbeda dengan manusia lain.
Begitu diangkat jadi pemimpin langsung merasa berkuasa dan memerintah serta bertindak pada bawahannya seenaknya.
Tanpa mau berpikir lagi bah-wa sesungguhnya yang berkuasa atas mereka itu ada-lah Yang Maha Kuasa.
Di saat Bong Mini tengah terkagum-kagum pada pa-ra putri penghuni istana, tiba-tiba seorang putri di antara mereka yang tengah bermain di taman bunga itu melihat ke arahnya dan memberikan senyum.
Kemudian putri yang memberikan senyum itu melangkah menghampirinya dengan menggenggam tiga tangkai bunga teratai merah.
Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, putri itu memberikan setangkai bunga teratai merah kepada Bong Mini.
Bong Mini menatap putri yang membawa bunga te-ratai merah dengan wajah ragu-ragu.
Kemudian pan-dangannya dialihkan kepada Putri Teratai Merah yang disambut dengan anggukan dan senyuman lembut.
Se-telah mendapat anggukan itu, barulah Putri Bong Mini berani menerimanya.
Tapi betapa tersentaknya hati Bong Mini.
Karena ketika berada di kedua telapak tangannya, bunga teratai itu mendadak berubah menjadi sebilah pedang yang amat indah.
Di tengah-tengah pedang itu keluar cahaya merah yang sangat terang dengan bentuk menyerupai bunga teratai merah.
"Ambillah pusaka itu. Pedang Teratai Merah yang kau genggam telah kuwariskan padamu!"
Kata Putri Teratai Merah.
Bong Mini masih terpaku dalam keheranan yang bercampur bahagia.
Dalam keadaan yang masih terpana itu, putri pem-bawa bunga kembali memberikan setangkai bunga lagi kepada Bong Mini.
Ketika bunga itu berada di tangan Bong Mini, keanehan pun kembali terjadi.
Setangkai bunga yang baru diterimanya itu berubah menjadi sabuk pedang yang dihiasi oleh lukisan bunga teratai merah.
"Masukkanlah pedang itu ke dalam sarungnya!"
Ka-ta Putri Teratai Merah.
Bong Mini mengikuti apa yang dikatakan oleh Putri Teratai Merah.
Ia memasukkan pedang ke dalam sa-buk teratai merah dengan amat hati-hati.
Seolah-olah ia tengah menggenggam sebuah permata yang mudah pecah.
Cuat cuat cuat! Sinar merah berbentuk bunga teratai kembali ter-pencar ketika ujung pedang dimasukkan ke dalam sa-rungnya.
"Nah, lengkaplah sudah apa yang kau miliki seka-rang ini. Dan sudah waktunya pula kau kembali ke duniamu!"
Ujar Putri Teratai Merah.
Bong Mini tertegun.
Dia heran dengan sebutan kata 'duniamu' yang dikatakan Putri Teratai Merah.
Lalu alam apa yang sekarang tengah diinjaknya bersama Putri Teratai Merah? "Semua ilmu dan pedang yang kumiliki telah kuwa-riskan kepadamu.
Pergunakanlah semua warisan itu dengan baik.
Jangan sombong dan takabur dengan semua ilmu yang kau miliki itu.
Karena seperti apa yang telah kujelaskan sejak pertama tadi bahwa kesombongan dan ketakaburan itu akan hancur oleh perbuatannya sendiri!"
Lanjut Putri Teratai Merah memberikan petuah.
Bong Mini mengangguk-angguk, memahami kata-kata Putri Teratai Merah.
Putri Teratai Merah mengambil setangkai bunga te-ratai merah yang masih tertinggal di tangan si pembawa kembang tadi.
Kemudian kembang teratai merah itu disematkan pada bagian baju sebelah kanan yang dipakai Bong Mini.
Setelah itu ia memegang kedua pundak Bong Mini seraya tersenyum menatapnya.
"Segeralah kembali ke tempatmu. Dan ingat apa yang kupesan tadi!"
Kata Putri Teratai Merah setengah mengingatkan.
"Aku akan selalu mengingatnya!"
Janji Putri Bong Mini.
"Bagus! Sekarang mari kuantar kau pulang!"
Kata Putri Teratai Merah sambil membimbing tangan Bong Mini.
Keduanya melangkah beriringan menuju luar istana.
Ketika sampai di luar Istana Putri, tanpa diberikan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada Putri Teratai Merah, tubuh Bong Mini mendadak te-rangkat dengan ringan.
Lalu perlahan-lahan melayang di udara seperti yang dialaminya pertama tadi.
Se-dangkan di bawahnya, Putri Teratai Merah melambai-lambaikan tangan sambil tersenyum lembut, sebagai isyarat ucapan selamat jalan kepada Bong Mini.
Bong Mini membalas pula dengan lambaian tangan dari udara sampai mereka tak terlihat lagi.
*** Hari sudah pagi.
Bias sinar matahari pagi yang berwarna kuning pucat memancar dari ufuk timur.
Se-hingga alam yang tadi gelap gulita oleh kabut, kini terang-benderang.
Seolah-olah memberikan peringatan kepada semua makhluk di bumi untuk menjalankan tugas rutinnya sehari-hari.
Di Gunung Muda, suasana pagi tampak lebih terasa lagi.
Udara dingin yang sejak petang kemarin menyelimuti, perlahan-lahan pudar.
Berganti dengan keha-ngatan sinar matahari yang menyegarkan.
Daun dan rerumputan yang menderita kedinginan semalaman suntuk mulai segar sempurna.
Di dalam sebuah goa yang amat gelap, Putri Bong Mini tampak terbaring lesu.
Apa yang telah terjadi pada diriku? Bisik hatinya.
Matanya bergerak lemah, mengedar ke sekeliling goa yang gelap.
Kemudian ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya mampu terangkat beberapa inci dari tanah.
"Ahhh!"
Desah Putri Bong Mini sambil menjatuhkan kepalanya kembali.
"Sudah berapa lama aku tak sa-darkan diri di ruang yang gelap ini?"
Lanjutnya bertanya-tanya.
Ketika tubuhnya melayang-layang di udara saat berpisah dengan Putri Teratai Merah yang berada di alam gaib, Bong Mini merasakan badannya terjerem-bab dan membentur dinding begitu keras.
Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi.
Baru pagi tadi ia membuka matanya kembali dan menyadari keadaannya.
Bong Mini membalikkan badannya ke posisi mene-lungkup.
Kemudian dengan sisa tenaganya ia merang-kak perlahan menyusuri lorong goa menuju luar.
Walaupun dengan gerak merayap, akhirnya Bong Mini sampai di mulut goa.
Di sana, ia merebahkan kembali tubuhnya untuk beristirahat.
Sedangkan na-pasnya tampak terengah-engah karena letih.
Sementara itu, matahari pagi telah berdiri sepeng-galan di cakrawala.
Sinarnya yang semula hangat-hangat kuku, berangsur-angsur panas.
Seolah-olah hendak membakar alam bersama isinya.
Setelah agak lama beristirahat, tubuh Bong Mini yang semula lemah tanpa daya, berangsur-angsur se-gar kembali.
Malah kedua kakinya yang semula tidak bisa digerakkan, kini telah dapat diajak berdiri, walau agak tertatih-tatih.
Kemudian dengan langkah terseret, Bong Mini berjalan menuju gubuk gurunya yang berja-rak sekitar lima ratus meter dari goa tempat ia bertapa.
*** Dalam perjalanannya menuju gubuk Kanjeng Rah-mat Suci, kondisi tubuh Bong Mini banyak mengalami peningkatan.
Bukan saja langkah kakinya yang mulai tegar, tetapi juga wajahnya yang tadinya lesu, kini tampak segar walaupun masih terlihat pucat.
Semua itu disebabkan oleh kehangatan sinar matahari yang menerpa tubuhnya.
Sehingga peredaran darah yang tadinya mengalir lambat telah kembali stabil.
Ditam-bah lagi dengan keadaan lingkungan yang banyak di-tumbuhi oleh pepohonan, membuat udara murni yang terisap membuat tubuhnya segar.
Tidak lama menempuh perjalanan, ia sampai di de-kat gubuk gurunya.
Di sana, matanya melihat Kanjeng Rahmat Suci tengah duduk di atas dipan yang terbuat dari belahan bambu sambil memilah-milah tasbih hi-tamnya.
Ketika matanya melihat kedatangan Putri Bong Mini yang tak diduganya itu, Kanjeng Rahmat Suci langsung tercekat kaget.
Jemari tangan kanannya yang sedang memilah-milah tasbih mendadak berhenti.
Sedangkan dua bola matanya yang cekung tak berkedip melihat Bong Mini yang semakin dekat melang-kah ke arahnya.
Seolah-olah ia tidak percaya akan penglihatannya.
"Kanjeng!"
Sapa Bong Mini lembut seraya menyung-gingkan senyum di bibirnya yang kering dan kebiru-biruan. Karena selama empat puluh hari tubuhnya hanya terisi oleh beberapa kepal nasi dan air putih.
"Kau?"
Tanya Kanjeng Rahmat Suci dalam kera-guan.
"Kenapa, Kanjeng? Apakah Kanjeng sudah lupa ter-hadap muridnya sendiri?"
Tanya Bong Mini merasa heran melihat sikap gurunya yang ragu-ragu dalam me-nyambut kedatangannya.
"Tidak!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat.
"Tapi kenapa Kanjeng seperti ragu menyambut ke-datanganku?"
Tanya Bong Mini setengah mendesak.
"Aku cuma heran. Gadis seusiamu masih kelihatan tegar. Padahal puasa mutih dan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam hanya mampu dilakukan oleh orang-orang seusiaku. Itu pun masih banyak di antara mereka yang tidak kuat. Tapi kau nampak begitu segar dan mampu menempuh perjalanan sepan-jang lima ratus meter!"
Ujar Kanjeng Rahmat Suci mengemukakan rasa herannya.
Bong Mini tercenung.
Ia turut heran terhadap diri-nya sendiri.
Kenapa sejak tadi perutnya tidak merasa lapar.
Padahal selama empat puluh hari empat puluh malam di pertapaan, ia tidak menemukan makanan yang mengenyangkan ataupun minuman yang dapat menghilangkan rasa hausnya.
Tapi kenapa ia tidak merasa lapar? Memang, pertama kali keluar dari dalam goa, ia me-rasakan tubuhnya sangat letih.
Berjalan pun ia me-rangkak-rangkak.
Tapi bukan karena kelaparan yang mendera tubuhnya.
Melainkan karena peredaran da-rahnya yang tidak stabil.
Sebab selama empat puluh hari itu tubuh tidak bergeming dari tempat duduknya.
Ia tetap bersila dengan pikiran, hati, mata, dan seluruh tubuhnya terpusat pada Yang Maha Kuasa.
Sehingga pada saat bergerak, anggota tubuhnya terasa kaku dan lemah.
"Aku sendiri tidak mengerti, Kanjeng. Kenapa tu-buhku mendadak segar,"
Desah Bong Mini setelah be-berapa saat terdiam. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Kau tahu siapa yang memberi kekuatan pada diri-mu itu?"
"Apakah Yang Menguasai diri kita?"
Bong Mini balik bertanya.
"Ya!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci cepat.
"Rupanya kau telah mengetahui pula siapa Yang Menguasai diri manusia!"
"Semua itu aku dapatkan dari bertapa, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini. Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.
"Itulah kasih sayang Tuhan kepada manusia yang benar-benar hendak berjumpa dengan-Nya. Tapi ke-hendak itu pun harus disertai oleh tekad yang mantap dan penuh kesabaran. Sebab Tuhan lebih sayang terhadap orang yang mempunyai tekad baja dan kesaba-ran tinggi. Sehingga Dia memberikan kelebihan di atas kekurangan manusia atau memberi kekuatan di balik kelemahannya!"
Tutur Kanjeng Rahmat Suci men-jelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mendengar ucapan gurunya.
"Sekarang, pergilah makan dulu. Setelah itu kita kembali melanjutkan percakapan!"
Ujar Kanjeng Rah-mat Suci lagi.
Bong Mini menurut.
Ia hendak segera masuk untuk mengambil makanan.
Tapi baru saja membalikkan tu-buh, ia berpapasan dengan Baladewa yang baru saja keluar dari gubuknya.
Sesaat kedua insan berlainan jenis itu saling ber-pandangan.
Namun Bong Mini cepat-cepat mengelak-kan pandangan mata Baladewa yang terasa menghu-jam hatinya itu.
"Kalau begitu biar saja Baladewa yang mengambil-kan makanan untukmu!"
Ujar Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kehadiran Baladewa.
"Tidak usah, Kanjeng. Aku bisa mengambilnya sen-diri, kok!"
Sergah Bong Mini cepat.
Lalu buru-buru kakinya melangkah ke dalam gubuk gurunya tanpa mempedulikan Baladewa yang masih terpaku meman-danginya.
*** Suatu hari, Kanjeng Rahmat Suci menyuruh Bong Mini untuk memanggil Baladewa yang sedang mengga-rap ladang di kebun yang tak jauh dari gubuknya.
Waktu makan siang memang telah tiba.
Mereka akan makan bersama.
"Bong Mini, tolong panggilkan Baladewa ke sini!"
Perintah Kanjeng Rahmat Suci.
"Baik, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini ramah. Lalu ia segera menuju ladang di mana Baladewa tengah bekerja.
"Heh! Kau dipanggil Kanjeng!"
Sentak Bong Mini, se-tibanya di ladang. Wajahnya yang lembut dan manis ketika berhadapan dengan gurunya, kini berubah ke-tus dan asam.
"Kau panggil siapa?"
Tanya Baladewa dengan nada suara sabar.
"Siapa lagi kalau bukan situ!"
Hardik Bong Mini.
"Kenapa tidak panggil namaku saja?"
Nada suara Baladewa tetap terdengar sabar.
"Bodo! Suka-sukaku!"
Ketus Bong Mini sambil terus berlalu.
Kanjeng Rahmat Suci yang diam-diam memperhati-kan tingkah kedua muridnya hanya tersenyum-se-nyum sambil menggelengkan kepalanya.
Selesai mengisi perutnya dengan beberapa suap na-si, Bong Mini kembali menemui Kanjeng Rahmat Suci yang lebih dahulu selesai makan.
Kini beliau duduk di atas dipan bersama Baladewa.
"Sebentar sekali makannya?"
Tanya Kanjeng Rahmat Suci menyambut kehadiran Bong Mini yang sudah du-duk di hadapannya.
"Cukup mengganjal perut agar tidak terlalu kosong saja, Kanjeng!"
Kata Bong Mini. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Itu cara makan yang baik. Makan ketika perut la-par dan berhenti sebelum merasa kenyang!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci, bijak. Baladewa yang duduk di sebelahnya tampak me-nundukkan muka ketika mendengar ucapan gurunya tadi. Sebab selama ini ia sering makan banyak serta tidak berhenti sebelum perutnya kenyang.
"Sekarang, coba kau ceritakan tentang pengalaman batinmu selama berpuasa mutih dan bertapa!"
Pinta Kanjeng Rahmat Suci kepada Bong Mini.
Bong Mini diam sejenak.
Ia mencoba mengumpul-kan seluruh daya ingatnya.
Setelah ingatannya ter-kumpul semua, barulah ia menceritakan semua pe-ngalamannya selama bertapa.
Mulai dari saat ia melihat berbagai macam cahaya yang masuk ke dalam ke-dua matanya sampai pada perjalanannya menuju Ista-na Putri dan bertemu dengan Putri Teratai Merah.
"Begitulah pengalamanku selama menjalani tapa, Kanjeng!"
Kata Bong Mini, mengakhiri ceritanya. Kanjeng Rahmat Suci tampak takjub mendengar ce-rita Bong Mini. Baru kali ini ia dapat mendengar cerita gaib yang mengesankan. Dan cerita itu dialami langsung oleh murid angkatnya sendiri.
"Apakah Kanjeng dapat menjelaskan makna dari pengalaman-pengalaman gaibku itu?"
Bong Mini balik bertanya.
Kanjeng Rahmat Suci mengangguk-angguk.
Kemu-dian dia diam sejenak dengan kening berkerut, seolah-olah sedang berpikir.
Sedangkan Bong Mini yang du-duk di hadapannya menunggu penjelasan Kanjeng Rahmat Suci dengan wajah sungguh-sungguh.
Ia ingin benar mendengar.
Kanjeng Rahmat Suci tersenyum.
"Kau jangan khawatir! Putri Teratai Merah yang kau temui itu benar-benar asli!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci ketika melihat kekhawatiran wajah muridnya.
"Bagaimana Kanjeng bisa yakin bahwa dia Putri Te-ratai Merah yang asli?"
Tanya Bong Mini ingin tahu. Lagi-lagi Kanjeng Rahmat Suci tersenyum. Kemu-dian ia menghirup kopinya yang tinggal setengah gelas.
"Memang tidak mudah untuk mengenali Putri Te-ratai Merah yang asli,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci sembari meletakkan gelas kopinya.
"Tapi ada tiga hal yang dapat meyakinkan kita bahwa dia benar-benar Putri Teratai Merah!"
Lanjut Kanjeng Rahmat Suci.
"Apa ketiga ciri-ciri itu, Kanjeng?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
Kanjeng Rahmat Suci menelan ludah.
Kedua mata-nya yang cekung mencorong tajam ke arah Putri Bong Mini.
Sedangkan hatinya kagum melihat sikap murid gadisnya yang begitu pandai bertanya dan selalu penasaran.
Hal itu menunjukkan akan kepintaran dan ke-cerdikan muridnya.
"Ciri-ciri dari Putri Teratai Merah yang asli; bila berbicara selalu mengandung nasihat-nasihat yang baik. Bersikap ramah dan selalu tersenyum,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk. Ia membenarkan apa yang dikatakan oleh gurunya itu.
"Yang kedua,"
Lanjut Kanjeng Rahmat Suci.
"Wari-san pedang yang dia berikan berbeda dengan pedang lainnya. Seluruh pedang dan sabuknya selalu meman-carkan cahaya merah berbentuk bunga teratai. Se-dangkan yang ketiga; bila hendak berpisah dia selalu menyematkan bunga teratai merah. Entah itu pada rambut atau pada bagian baju yang kita pakai!"
Ujar Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan ketiga ciri-ciri dari para Putri Teratai Merah yang asli.
Bong Mini termangu mendengar keterangan guru-nya.
Karena apa yang dikatakan oleh Kanjeng Rahmat Suci sama persis dengan apa yang dialaminya ketika dirinya berada di Istana Putri.
"Sinar yang pertama kali kau lihat itu disebut ilmu!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci setelah beberapa saat terdiam.
"Maksud Kanjeng, ilmu itu berbentuk sinar?"
Po-tong Bong Mini.
"Ya. Dan itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang berhati bersih!"
Sahut Kanjeng Rahmat Suci. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Sekarang, ada sesuatu yang ingin aku pesankan kepadamu!"
"Apa itu, Kanjeng?"
"Begini!"
Kanjeng Rahmat Suci membenarkan letak duduknya.
"Semua ilmu dan pedang milik Putri Teratai Merah telah diwariskan kepadamu. Oleh karena itu aku berpesan agar kau dapat memelihara benda wari-san itu sebaik mungkin. Pergunakanlah ilmu yang telah kau kuasai itu untuk kebajikan dan hindari segala macam keangkuhan!"
Lanjut Kanjeng Rahmat Suci berpesan.
"Terima kasih atas nasihat Kanjeng. Mudah-mu-dahan aku dapat mengamalkan ilmu itu sesuai dengan harapan Putri Teratai Merah dan Kanjeng!"
Ucap Bong Mini tanpa berani berjanji.
Karena menurutnya janji itu sangat berat.
Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Mencari Busur Kumala Karya Batara Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto