Pedang Teratai Merah 2
Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah Bagian 2
Bila kenyataannya janji tersebut tidak bisa ditepati, selain dikejar-kejar oleh perasaan berdo-sa juga tidak akan dipercaya lagi oleh orang yang di-janjikan.
Karena itu ia selalu mengucapkan kata mudah-mudahan bila mendapat tugas.
Walaupun tugas yang diberikan kepadanya itu ringan.
"Nah, sekarang pergilah beristirahat. Pulihkan kembali seluruh kekuatan tubuhmu!"
Kata Kanjeng Rah-mat Suci lagi.
"Baik, Kanjeng!"
Ucap Bong Mini cepat.
Sesungguh-nya ia pun sudah sejak tadi hendak beristirahat.
Tidur sepuas-puasnya agar kedua matanya tak terlihat ce-kung karena tidak pernah tidur selama empat puluh hari empat puluh malam sewaktu ia menjalani tapa.
Tanpa menoleh pada Baladewa yang sejak tadi du-duk mendengarkan percakapan mereka berdua, Bong Mini turun dari dipan dan langsung melangkah menu-ju gubuknya.
Diikuti oleh pandangan mata Kanjeng Rahmat Suci dan Baladewa.
Ketika sampai di gubuknya, Bong Mini menggan-tungkan Pedang Teratai Merah di sudut kamar.
Setelah itu ia merebahkan tubuhnya di atas dipan yang hanya beralaskan sehelai tikar usang.
Dia tidur dengan cara telentang menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman daun rumbia.
Sedangkan pikirannya terus menerawang, mengingat-ingat kembali apa yang dipesankan oleh gurunya tadi.
Setelah pikirannya terasa letih mengingatkan segala nasihat yang didapatnya, baik dari Kanjeng Rahmat Suci maupun dari Putri Teratai Merah, barulah Bong Mini dapat memejamkan mata.
Ia tidur dengan pulas.
*** Hari sudah merembang menuju malam.
Di cakra-wala yang tak terbatas, bulan tampak bersinar terang, dikelilingi berjuta bintang yang bertaburan.
Membuat langit malam itu benar-benar semarak.
Gunung Muda yang biasanya selalu tenggelam oleh kegelapan malam, kini tampak agak remang terkena sorotan sinar rembulan.
Ditingkahi suara jangkrik yang bernyanyi.
Seolah-olah tengah berpesta-pora da-lam menyambut bulan purnama yang muncul pada se-tiap tanggal lima belas.
Di sebuah gubuk tua, tempat tinggal Kanjeng Rah-mat Suci, tampak dua lelaki dan seorang wanita muda tengah duduk santai di atas dipan sambil menikmati singkong bakar dan segelas kopi masing-masing.
Mereka tidak lain adalah Kanjeng Rahmat Suci, Baladewa, dan Putri Bong Mini.
"Malam ini ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepada kalian!"
Ucap Kanjeng Rahmat Suci membuka percakapan.
"Apa itu, Kanjeng?"
Tanya Baladewa dan Bong Mini bersamaan.
Lalu keduanya saling berpandangan.
Tapi baru beberapa detik, Bong Mini segera mengalihkan pandangannya ke arah gurunya dengan wajah masam.
Sedangkan Baladewa tampak tersenyum tenang sambil mengarahkan pandangannya ke arah Kanjeng Rahmat Suci kembali.
"Baladewa!"
Ucap Kanjeng Rahmat Suci memandang pada murid lelakinya.
"Ya, Kanjeng!"
Sahut Baladewa.
"Sejak umur sebelas tahun kau berada di sini dan sekarang sudah berumur delapan belas tahun, berarti sudah tujuh tahun kau berada di gunung ini bersama-ku."
"Benar, Kanjeng!"
Jawab Baladewa membenarkan.
"Nah, dalam masa yang cukup lama itu, aku merasa kau sudah banyak menimba ilmu di sini. Karena itu sudah saatnya kau amalkan ilmu yang kau peroleh kepada orang banyak,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci. Baladewa termangu mendengarkan kata-kata gu-runya.
"Sebab itu kau boleh kembali pada kedua orang-tuamu,"
Lanjut Kanjeng Rahmat Suci.
"Tapi, Kanjeng. Hatiku masih betah tinggal di sini!"
Potong Baladewa, keberatan untuk meninggalkan tem-pat itu. Karena kalau dia meninggalkan Gunung Muda berarti ia harus berpisah dengan gurunya yang selama delapan tahun membimbingnya dalam ilmu bela diri.
"Ahhh! Jangan jadi orang cengeng! Buat apa me-nuntut ilmu jauh-jauh kalau hanya mendekam di ka-mar melulu!"
Celetuk Bong Mini dengan suara dan sikap yang ketus.
Telinga Baladewa mendadak panas mendengar uca-pan Bong Mini yang mengandung nada ejekan.
Namun karena yang melontarkan kata-kata saudara sepergu-ruannya dan menarik hatinya pula, maka api amarah yang semula bergolak cepat-cepat ia tahan.
Sehingga nada ejekan Bong Mini itu disambutnya dengan sung-gingan senyum.
"Apa yang dikatakan oleh saudara seperguruanmu itu benar,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci membenarkan pendapat Bong Mini.
"Sebab ilmu yang kita miliki bukan sekadar untuk membela dan melindungi diri kita. Tapi juga untuk menindak perbuatan manusia yang sewenang-wenang."
"Aku mengerti, Kanjeng,"
Sahut Baladewa sambil melirik gadis cantik di depannya. Tapi orang yang dili-rik justru membalas dengan cibiran.
"Begitu pula dengan Bong Mini. Walaupun kau ting-gal di sini tidak selama Baladewa, tapi kau sudah lebih dari cukup dalam menguasai ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu, selepas dari tempat ini, jadilah 'raja kecil' sesuai dengan namamu!"
Kata Kanjeng Rahmat Suci se-raya menoleh pada Bong Mini.
"Mudah-mudahan, Kanjeng!"
Sahut Bong Mini.
"Apa ada seorang raja wanita yang kecil?"
Baladewa menggoda.
"Heh! Jadi lelaki jangan ceriwis!"
Bentak Bong Mini. Matanya mendelik membuat sepasang matanya yang hitam gemerlap itu semakin indah dipandang mata. Kanjeng Rahmat Suci tersenyum melihat tingkah kedua muridnya yang berlainan jenis itu.
"Menjadi raja itu bukan dilihat dari besar kecilnya tubuh seseorang. Bila ia mampu membuat simpati rakyat, jujur, welas asih kepada sesama maka ia berhak menjadi raja atau ratu. Tapi sebaliknya, walaupun orang itu mempunyai tubuh tinggi besar, ditakuti semua rakyat, namun bila bermoral bejat, jelas harus disingkirkan. Sebab penyakit hatinya itu akan merusak manusia lain,"
Kata Kanjeng Rahmat Suci memba-las ucapan Baladewa dengan sungguh-sungguh.
Baladewa tersenyum malu.
Ia tidak menyangka ka-lau godaannya terhadap Bong Mini mendapat tangga-pan serius dari gurunya.
Kanjeng Rahmat Suci mengerti perasaan muridnya, maka ia segera mengembalikan pembicaraannya ke masalah semula.
"Nah, karena kalian sudah waktunya mengamalkan ilmu kepada kepentingan rakyat, aku berpesan agar kalian berjalan seiring dalam menumpas segala macam kejahatan."
Baladewa tersenyum senang ketika mendengar pe-san gurunya agar mereka berdua dapat seiring sejalan. Ini berarti akan membuka peluang baginya untuk me-lunakkan hati Bong Mini.
"Tapi sebelum kalian berdua melaksanakan niat bakti itu, sebaiknya temuilah dulu kedua orangtua kalian. Karena bagaimanapun juga, doa restu kedua orangtua sangat berpengaruh pada perjuangan yang kita lakukan. Khususnya doa seorang ibu."
"Tapi bagaimana dengan mamaku yang sudah me-ninggal?"
Tanya Bong Mini.
"Orangtua yang sudah meninggal akan mendukung perjuangan anaknya yang mulia tanpa sepengetahuan kita, termasuk para pejuang di jalan kebenaran. Karena pada hakikatnya mereka itu tidak mati. Mereka tetap hidup di sisi Tuhan!"
Tutur Kanjeng Rahmat Suci menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk mendengar penjela-san gurunya.
Hatinya bersyukur berhasil dibimbing oleh seorang guru yang benar-benar alim dan bijaksa-na.
Sehingga banyak ilmu yang ia dapatkan.
Bukan sa-ja ilmu tentang seni bela diri, tetapi juga yang menyangkut ilmu pengetahuan.
"Itu saja pesanku. Selamat berjuang!"
Sambung Kanjeng Rahmat Suci memberikan semangat kepada kedua muridnya.
Sebaliknya, Bong Mini merasa terha-ru mendengar ucapan itu.
Sebab ucapan itu secara tidak langsung merupakan kata perpisahan antara dirinya dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Padahal hatinya selalu ingin bersama-sama dengan orang tua yang bijak itu.
Di lain pihak, Kanjeng Rahmat Suci pun dapat membaca perasaan kedua muridnya.
Karena itu de-ngan penuh bijak ia berkata.
"Aku tahu! Perpisahan ini memang sangat memberatkan perasaan kita masing-masing. Tapi kita juga harus ingat, berpisah untuk berjuang merupakan hal yang lebih penting, sebab menyangkut kepentingan orang banyak!"
Bong Mini dan Baladewa tampak mengangguk-angguk.
Perasaan berat untuk berpisah dengan gu-runya yang sejak tadi menggayuti hati mereka perlahan-lahan pudar.
Berganti dengan semangat juang.
*** Esok paginya, di saat bulan masih menampakkan cahayanya yang pucat, Bong Mini dan Baladewa tam-pak berjalan menyusuri tanah Gunung Muda, menuju rumah mereka masing-masing.
"Kita harus jalan sama-sama, Bong Mini!"
Ucap Ba-ladewa ketika melihat langkah Bong Mini lebih cepat dari langkahnya.
"Peduli amat!"
Ketus Bong Mini sambil terus berja-lan, tanpa mempedulikan Baladewa yang berusaha mengejar langkahnya.
"Kau harus ingat pesan Kanjeng!"
"Justru karena aku ingat pesan Kanjeng, langkahku masih bisa kau lihat. Kalau tidak, tentu langkahku lebih cepat dari ini!"
Kilah Bong Mini masih bernada ketus.
Baladewa mengeluh.
Ia kesal terhadap dirinya sen-diri karena belum dapat meluluhkan hati gadis yang sejak pandangan pertama telah membuatnya kasmaran.
Baladewa yang langsung jatuh cinta pada Bong Mini memang bisa dipahami.
Sebab sejak berumur sebelas tahun ia tidak pernah berjumpa dengan seorang gadis sebayanya.
Sehingga ketika pertama kali bertemu dengan Bong Mini yang mempunyai wajah cantik dan bertubuh mungil menggemaskan, ia langsung kasma-ran dan bertekad hendak memilikinya.
Namun ketika melihat sikap Bong Mini yang acuh tak acuh terha-dapnya, Baladewa hilang harapan dan nyaris putus asa.
"Adikku!"
Panggil Baladewa ketika dapat menyeja-jarkan langkahnya dengan Bong Mini.
"Enak saja kau panggil adik! Memangnya usiamu lebih tua dariku!"
Sergah Bong Mini.
"Lalu aku harus memanggil apa?"
Bong Mini bungkam. Langkahnya semakin diperce-pat "Bong Mini, kenapa kau tak pernah bersikap ramah padaku?"
Tanya Baladewa sambil terus mengimbangi langkahnya.
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri!"
Singkat Bong Mini.
"Justru karena itu aku bertanya kepadamu. Aku ti-dak tahu, apa yang membuatmu bersikap seperti itu?!"
"Kalau tidak tahu, ya sudah!"
Baladewa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil mengeluh. Ia sudah kehabisan cara untuk dapat meluluhkan hati Bong Mini. Sebaliknya Bong Mini malah tertawa geli dalam hati melihat tingkah Baladewa yang serba salah.
"Kalau memang persoalan di sungai beberapa waktu yang silam masih mengganjal perasaanmu, maafkan-lah aku! Bukankah Yang Maha Kuasa selalu memberi maaf kepada umatnya walau sebesar apa pun do-sanya?"
Bong Mini mendadak menghentikan langkahnya ke-tika mendengar kata-kata Baladewa.
Dia berdiri tegak menghadap Baladewa.
Sedangkan matanya yang hitam gemerlap memandang tajam ke arah pemuda itu.
Hati Baladewa menjadi girang ketika melihat sikap Bong Mini.
Ucapanku tadi berhasil meluluhkan hati Bong Mini, pikirnya.
"Dengar Baladewa yang tampan!"
Kata Bong Mini tegas. Tapi mendadak hatinya tersentak sendiri. Karena tanpa disadari ia mengatakan tampan pada pemuda di hadapannya itu. Tapi keterkejutan itu segera ia tu-tup kembali dengan ucapan selanjutnya.
"Dosa kepada Tuhan memang sangat mudah mendapat ampunan ji-ka manusia itu benar-benar memohon dan tidak men-gulangi lagi perbuatannya. Tapi jika kesalahan itu dilakukan terhadap sesama manusia tidak mudah untuk mendapatkan maaf. Karena dalam diri manusia ada sifat yang baik dan buruk!"
Setelah berkata begitu, Bong Mini kembali melanjutkan langkahnya.
"Bong Mini, tunggu!"
Cegah Baladewa sambil beru-saha menyejajarkan langkahnya kembali. Bong Mini kembali menghentikan gerak kakinya dan memandang tajam pada Baladewa.
"Ada apa lagi?"
"Apakah kita tidak bisa berdamai lagi?"
"Sekali aku bilang tidak, ya tidak. Ngerti?"
Kedua bola mata Bong Mini mendelik semakin indah, membuat Baladewa menjadi gemas terhadapnya.
Tapi ia sendiri tidak bisa gegabah.
Sebab untuk mendekati wanita semacam Bong Mini memerlukan waktu yang berlarut-larut.
Ibarat percampuran air dengan garam.
Beberapa saat suasana hening.
Keduanya tidak berkata apa-apa lagi.
Kecuali terus berjalan dalam ke-bisuan yang mereka pertahankan.
Waktu terus berjalan menurut aturannya.
Tanpa te-rasa matahari telah tenggelam di sudut langit sebelah barat, pertanda bahwa waktu malam mulai tiba.
Suasana alam yang tadinya terang-benderang, kini tampak meremang karena disinari oleh cahaya matahari yang sudah begitu redup.
Seiring dengan cepatnya perjalanan waktu, secepat itu pula Bong Mini dan Baladewa telah jauh mening-galkan Gunung Muda.
Kini mereka tengah menjejak-kan kaki di tanah Desa Anjungan.
Sebuah desa kecil yang sarat dengan penduduk.
Sehingga rumah-rumah yang menjadi tempat tinggal mereka tampak berdere-tan, tanpa sejengkal lahan kosong pun yang membatasinya.
"Sungguh padat penduduk desa ini!"
Gumam Bala-dewa sambil memandang rumah-rumah yang berjejer di kanan kirinya.
Bong Mini, yang berjalan di sebelahnya sependapat pula dengan pendapat Baladewa.
Namun pendapatnya itu ia tahan saja dalam hati.
Sedangkan kedua ma-tanya terus memandang lurus ke depan, pada lampu-lampu alit yang dipasang di depan rumah-rumah pen-duduk.
"Ada baiknya kita mencari warung nasi dan pengi-napan untuk malam ini!"
Usul Bong Mini tanpa meno-leh.
"Itu lebih baik. Kebetulan perutku pun sudah terasa perih!"
Kata Baladewa dengan hati gembira.
Karena gadis yang sejak tadi berdiam diri itu mulai mau membuka suara dan mengajaknya berbicara.
Sedang asyiknya mereka berjalan, tiba-tiba terde-ngar suara riuh orang-orang kampung yang disertai dengan teriakan-teriakan lantang.
Bong Mini dan Baladewa menghentikan langkah se-jenak.
Keduanya memasang telinga baik-baik untuk menemukan arah suara itu.
Dan ketika yakin dari ma-na asal suara itu, keduanya segera melesat meng-hampiri.
Tidak lama mereka berlari, mata keduanya tiba-tiba melihat sekelompok orang tengah berkerumun, mengelilingi seorang lelaki tua.
"Hajar!"
"Habisi!"
"Bunuh!"
Beberapa orang di antara mereka berteriak-teriak sambil menuding ke arah lelaki tua yang dikerumuni.
Kemudian mereka serentak bergerak memukuli lelaki tua itu.
Melihat orang-orang kampung memukuli seorang le-laki tua dengan penuh nafsu, Bong Mini segera mem-buru ke arah kerumunan itu.
"Berhenti!"
Teriak Bong Mini. Mendengar bentakan itu, orang-orang yang memu-kuli lelaki tua segera menghentikan gerakan. Mereka bergerak mundur dua langkah sambil memandang Bong Mini yang berdiri dengan gagah.
"Siapa kau? Kenapa mencampuri urusan kami?"
Tanya seorang di antara mereka disertai tatapan mata yang tajam, penuh selidik.
"Maaf! Aku bukan hendak mencampuri urusan ka-lian. Aku hanya kasihan melihat seorang lelaki tua dikeroyok oleh puluhan lelaki yang muda perkasa!"
Sahut Bong Mini tenang.
"Tapi kau tidak tahu, kenapa kami sampai memu-kuli orang tua keparat ini!"
Kata lelaki tadi seraya me-nudingkan jari telunjuknya ke arah orang tua yang berjongkok menahan sakit di hadapannya.
"Justru karena itu aku ingin mengetahui persoa-lannya, kenapa orang tua itu sampai kalian pukuli?"
Timpal Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.
"Dia seorang pencuri!"
Sahut lelaki pertama itu menjelaskan.
"Betul. Dia seorang pencuri!"
Timpal beberapa orang lain, mendukung. Bong Mini mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Tapi izinkan aku untuk membelanya!"
Kata Bong Mini.
"Heh! Sudah tahu orang tua ini seorang pencuri mengapa masih ingin membelanya? Apakah kau masih ada hubungan keluarga dengannya?!"
Tukas lelaki pertama.
"Dia memang bukan kaum kerabatku. Tapi sebagai manusia aku berhak membela orang lain yang me-mang membutuhkan pembelaan!"
Lantang Bong Mini.
Pengeroyok yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang tampak terpana mendengar ucapan Bong Mini.
Mereka tidak mengira kalau gadis secantik itu mem-punyai jiwa pemberani.
Sehingga mereka menjadi ya-kin kalau dia bukan penduduk desa itu.
Sebab para gadis Desa Anjungan tidak mempunyai keberanian se-perti itu.
Apalagi melakukan pembelaan terhadap orang yang jelas bersalah di hadapan orang banyak.
"Orang tua ini memang telah bersalah. Tapi bukan berarti kesalahan yang diperbuatnya itu dijadikan alasan untuk tidak mengampuninya!"
Tegas Bong Mini dengan suara lantang.
Puluhan orang di hadapannya tampak terdiam mendengarkan.
Bahkan di antara mereka ada yang terpesona mendengar ucapan Bong Mini yang menyen-tuh hati itu.
Di sudut lain, di tempat yang terlindung oleh sebatang pohon besar, Baladewa memandang sikap dan ucapan Bong Mini dengan terkagum-kagum.
Ia bangga mempunyai saudara seperguruan yang berjiwa pembe-rani.
Apalagi sifat pemberani itu tumbuh dalam diri gadis yang selama ini membuatnya kasmaran.
"Aku ingin bertanya, siapa di antara kalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?"
Terdengar suara lantang Bong Mini lagi. Orang-orang di hadapannya masih berdiri tertegun tanpa ada yang berani menyahut. Bahkan di antara mereka ada yang terlihat menundukkan kepala, seo-lah-olah menyadari kesalahannya.
"Hampir semua orang tidak lepas dari dosa. Ini wa-jar! Karena dalam diri kita ada sifat tercela sekaligus sifat terpuji. Sehingga pada perbuatan kita pun ada yang baik dan ada pula yang buruk!"
Kata-kata yang diungkapkan Bong Mini terasa mengalir semanis ma-du.
Merasuk kuat pada benak pendengarnya.
Sehingga sebagian di antara mereka ada yang tertunduk, mere-nungi ucapan Bong Mini.
Baladewa yang sejak tadi memperhatikan dan men-dengarkan ucapan Bong Mini dari kejauhan makin terpesona mendengar untaian kalimat yang dilontar-kan mulut gadis yang disenanginya itu.
"Sebenarnya perbuatan yang dilakukan orang tua ini merupakan penyelewengan biasa yang kerap dila-kukan oleh manusia berbatin lemah. Sama seperti orang yang menderita semacam penyakit. Bedanya, yang sakit bukan tubuh melainkan hatinya. Yang se-harusnya kalian lakukan jelas mengobati penyakit itu, bukan malah membunuhnya tanpa pertimbangan akal sehat!"
Lanjut Bong Mini. Beberapa saat suasana hening. Mereka seolah-olah terkesima mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir mungil seorang gadis cantik yang berdiri di hadapan mereka.
"Tapi hukuman ini sudah lama diberlakukan dan disetujui oleh kepala desa!"
Sahut orang pertama yang sejak tadi selalu menjadi juru bicara bagi yang lain.
"Baik! Tapi hukuman itu sendiri tidak akan menjadi pelajaran dan membuat jera orang lain. Buktinya, orang tua ini masih melakukan pencurian!"
Sahut Bong Mini tegas dan tenang.
"Aku berpendapat, hukuman yang dijatuhkan pada orang tua ini lebih kotor dibandingkan dengan perbuatannya. Dan dari kekotoran hukum ini pasti akan melahirkan manusia-manusia yang bermoral rendah!"
Bong Mini menghentikan ucapannya sejenak untuk menelan ludah yang mulai kering karena terlalu ba-nyak berbicara.
"Menurutku, alangkah baiknya kita menuntun me-reka yang tersesat agar mau kembali ke jalan yang lurus!"
Lanjut Bong Mini.
Penduduk Desa Anjungan yang tadi turut memukuli lelaki tua itu tampak tercenung.
Seolah-olah tengah mencerna pendapat yang dilontarkan oleh gadis asing yang baru dikenal.
Sedangkan orang tua yang tadi dikeroyok oleh penduduk kampung merasa gembira ka-rena mendapat pertolongan dari seseorang yang tak dikenalnya.
Dan dia berharap dalam hati agar dirinya terbebas dari tuduhan orang-orang kampung itu.
Sementara itu, lelaki pertama yang menjadi juru bicara melangkah mendekati Putri Bong Mini.
Diikuti oleh lima lelaki lain.
Mereka berjalan tegang dengan sinar mata mencorong seperti menyimpan kebencian.
"Kau bocah perempuan yang hendak menghasut pi-kiran penduduk kampung ini rupanya!"
Kata lelaki pertama itu dengan nada geram menyimpan marah. Bong Mini membalas ucapan lelaki itu dengan bibir terkembang.
"Aku hanya mengemukakan pendapat tanpa mem-punyai maksud apa-apa!"
Sahut Bong Mini dengan si-kap yang masih tenang. Namun demikian, matanya te-tap waspada. Menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Apa urusanmu dengan hukum yang berlaku di kampung ini!"
Bentak lelaki pertama itu mulai naik pi-tam.
"Memang bukan urusanku. Tapi aku tidak tega ter-hadap masyarakat, terutama orang tua itu untuk me-nerima hukuman keji yang berlaku di kampung ini!"
Bong Mini tetap mempertahankan pembelaannya ter-hadap lelaki tua yang nyaris mati dikeroyok itu.
"Bangsat! Rupanya kau hendak berlagak menjadi pahlawan di kampung ini!"
Geram lelaki pertama sambil memasang kuda-kuda, siap menyerang Bong Mini. Namun yang akan diserang tampak tenang-tenang sa-ja. Sedikit pun tidak memberikan reaksi terhadap enam lelaki yang sudah mengepungnya.
"Heh, Bocah Tengik! Pergilah kau dari tempat ini sebelum habis kesabaranku!"
Geram lelaki kedua yang berdiri di dekat lelaki pertama.
"Aku tidak akan pergi sebelum orang tua itu kalian bebaskan!"
Balas Bong Mini.
"Bocah keparat! Apa kau mempunyai kepandaian sehingga berani mengganggu urusanku!"
Bentak lelaki pertama. Darahnya mulai mendidih karena merasa di-tantang oleh gadis kecil.
"Sebaiknya kau coba saja untuk mengetahuinya!"
Sahut Bong Mini sembari tersenyum ringan.
Telinga keenam lelaki itu panas mendengar ucapan Bong Mini.
Karena secara tidak langsung gadis kecil itu telah menantang mereka.
Sehingga mereka pun serentak mengepung Bong Mini.
Baladewa yang sejak tadi menunjukkan rasa kagum terhadap Bong Mini, kini berubah was-was melihat gadis idamannya dikeroyok oleh enam lelaki bertubuh kekar dan berwajah kasar.
Namun ia sendiri belum ingin melakukan pembelaan.
Dia ingin melihat dulu sampai di mana kemampuan saudara seperguruannya itu dalam bermain silat.
Seorang lelaki bertubuh tinggi kekar yang menge-pung Bong Mini segera maju ke depan dan langsung berhadapan dengan Bong Mini.
Menghadapi seorang lelaki yang siap menyerangnya itu, Bong Mini tampak masih tenang-tenang saja.
Bibirnya mengulum senyum dengan kedua tangan meli-pat di depan dadanya.
Mirip seorang guru yang tengah melihat muridnya berlatih silat.
"Hiyaaat!"
Lelaki yang berhadapan dengan Bong Mini langsung menyerang gadis itu dengan sebuah lompatan setinggi satu meter. Kaki kanannya lurus ke depan menyerang tubuh lawan.
"Uts!"
Bong Mini memiringkan badannya sedikit ke sam-ping, sambil melepas pukulan pada kaki lawan yang mengarah padanya.
Plakkk! Lelaki yang terkena pukulan tangan Bong Mini pada betisnya langsung terjungkal ke belakang.
Tapi kemudian ia segera bangkit kembali dan berdiri tegang menghadap Bong Mini.
Dengan kecepatan yang dah-syat dia kembali menyerang Bong Mini.
"Hiy! Hiy!"
Jurus 'Totok Ayam Makan Cacing' yang dikeluarkan oleh lelaki itu begitu gencar menyerang Bong Mini. Ta-pi dengan cepat gadis bertubuh mungil itu mengi-baskan kedua tangannya untuk menangkis sambil me-langkah mundur dua tindak.
"Wut wut wuttt!"
Lelaki tadi cepat menarik tangannya kembali.
Lalu melangkah maju kembali dan mendesak lebih gencar.
Wut wut wuttt! Jurus 'Monyet Mengamuk' datang bertubi-tubi ke arah Bong Mini.
Bukan saja tangannya yang memukul, tetapi kedua kaki lelaki itu pun turut pula menyerang dengan tendangan-tendangan istimewa.
Gadis itu terkejut.
Serangan yang dahsyat itu memancing Bong Mini untuk mengerahkan jurus 'Ombak Pemecah Ka-rang' yang didapatnya dari papanya ketika berumur lima belas tahun.
Singngng...! Wut wut wuttt! Jurus 'Ombak Pemecah Karang' yang dikerahkan lewat kedua tangan Bong Mini menimbulkan suara a-ngin yang mendesing dan menyambar-nyambar de-ngan dahsyat, susul-menyusul seperti ombak lautan.
"Aaakh...!"
Tubuh lelaki itu terlempar jauh ke belakang bagai daun kering yang tertiup angin.
Lalu jatuh dengan kepala membentur batang pohon.
Melihat betapa temannya dapat dijatuhkan oleh ga-dis kecil itu, kelima lelaki lain yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu segera mencabut golok yang terselip di pinggang masing-masing.
Mereka serentak mengepung Bong Mini dengan sinar mata ga-nas.
"Tangkap dia hidup atau mati!"
Terdengar perintah lelaki pertama dengan suara lantang.
Perintah itu memberikan pengertian bahwa teman-temannya boleh membunuh gadis kecil yang amat lihai dan gesit itu.
Mendapat perintah tersebut, empat orang temannya yang sudah bersiap-siap segera membuat lingkaran, membentuk barisan aneh dan berlari-lari mengelilingi tubuh Bong Mini.
Zigzag zigzag! Melihat serangan ketat seperti itu, sedikit pun Bong Mini tidak merasa gentar.
Malah dengan gusar ia segera mencabut pedang warisan Putri Teratai Merah yang tersangkut di punggungnya.
Sreset! Crat crat crat! Sinar merah berbentuk bunga teratai berkerjap-kerjap menyilaukan mata ketika pedang milik Bong Mini keluar dari sarungnya.
Kelima orang pengeroyoknya terpana dengan mulut menganga ketika melihat cahaya merah berbentuk te-ratai yang memancar dari pedang gadis.
Baladewa yang sejak tadi menyaksikan keindahan gerak tubuh Bong Mini, kini tercengang terkagum-kagum melihat sinar merah berbentuk bunga teratai yang terpancar dari pedang Bong Mini.
Dia merasa yakin kalau Pedang Teratai Merah yang baru dimiliki Bong Mini mempunyai kesaktian yang amat dahsyat! "Perketat barisan dan serang bocah itu!"
Tiba-tiba lelaki pertama yang menjadi pemimpin keempat teman-nya menyadarkan.
Sehingga mereka segera tersadar dari ketercengangan dan segera memperketat barisan anehnya.
Walaupun tingkat kepandaian mereka jauh di ba-wah Bong Mini bila melawan satu persatu, namun bila sudah membentak barisan semacam itu, kekuatan mereka akan bertambah dahsyat.
Karena tenaga mereka akan terpusat menjadi satu bentuk serangan.
Sambil berlari mengelilingi Bong Mini, kelima lelaki itu segera melakukan serangan bertubi-tubi serta saling melindungi dengan mengarahkan golok susul-menyusul ke arah Bong Mini.
Zigzag, zigzag! Wut wut wut! Suara langkah dan angin yang ditimbulkan oleh langkah kaki dan golok lawan terdengar dahsyat beri-rama.
Bong Mini yang sudah melaksanakan puasa mutih selama empat puluh hari di Gunung Muda dan men-dapat warisan pedang dari Putri Teratai Merah segera memutar pedangnya dengan ilmu Pedang Teratai Merah yang amat hebat.
Sing sing singngng! Pedang Bong Mini yang berkelebat cepat tampak membentuk gulungan sinar berwarna merah yang amat menyilaukan mata.
Lima orang yang membentuk barisan berlari itu se-gera menangkis dengan golok ketika gulungan sinar merah mencuat ke arahnya.
Trang trang trang! Bong Mini menangkis golok-golok yang mengarah padanya dengan Pedang Teratai Merah.
Sret sret sret! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua orang lawan terpekik ketika ujung pedang Bong Mini menebas leher dan perut mereka.
Melihat tiga orang telah mati di tangan gadis kecil itu, ketiga orang yang lain langsung mengambil langkah seribu.
Mereka tidak ingin mengalami nasib yang sama.
Bong Mini menghela napas lega sambil memandang kepergian ketiga lawannya.
Sedangkan pedang warisan Putri Teratai Merah dimasukkan kembali ke dalam sarungnya lalu disandang di punggungnya.
Setelah punggung ketiga lawan yang melarikan diri tidak terlihat lagi, Bong Mini segera menghampiri orang tua yang tadi dipukuli.
Empat belas orang yang turut mengeroyok lelaki tua itu segera mundur beberapa langkah dengan sikap takjub pada Bong Mini.
"Siapakah Bapak dan benarkah telah melakukan pencurian?"
Tanya Bong Mini dengan suara yang lem-but dan ramah.
"Namaku Karma!"
Kata lelaki tua itu menyebutkan namanya.
"Aku memang telah melakukan pencurian selembar kain milik seorang anak buah Pak Bagol!"
Lanjut orang tua yang bernama Karma itu, mengakui perbuatannya.
"Siapakah Pak Bagol itu?"
Tanya Bong Mini ingin ta-hu.
"Dia seorang kepala desa di kampung ini!"
Sahut Pak Karma.
"Lalu untuk apa Bapak mencuri selembar kain?"
Desak Bong Mini.
"Aku terpaksa, Non. Karena istriku akan melahir-kan!"
Sahut Pak Karma dengan suara sedih.
Pak Karma dan istrinya memang hidup serba keku-rangan.
Malah terkadang mereka hanya makan sekali dalam sehari karena tidak ada bahan makanan yang lebih.
Ladang singkong yang hanya sepetak masih la-ma memberikan hasil.
Sedangkan barang-barang su-dah habis ditukar dengan bahan makanan untuk me-nyambung hidup mereka, hingga habis tanpa sisa.
Karena itu Pak Karma terpaksa mencuri ketika melihat istrinya akan melahirkan.
Bong Mini menghela napas.
Hatinya terenyuh men-dengar pengakuan Pak Karma yang menyentuh pera-saannya.
"Nah, cobalah kalian pikir dan renungkan. Setim-palkah hukuman yang akan ia terima dengan barang yang dicurinya?"
Tanya Bong Mini pada kerumunan orang yang masih berdiri terpaku memandang Bong Mini.
"Membuat undang-undang hukum perlu pemikiran yang matang agar bisa berwibawa dan ditaati. Bukan untuk menakut-nakuti!"
Lanjut Bong Mini seraya menyebarkan pandangannya ke arah orang-orang yang berkerumun.
"Sebenarnya kami pun menyadari hal itu, Nona. Ta-pi kami hanya rakyat biasa yang harus menaati semua perintah pemimpin. Kalau tidak, kepala desa akan memerintahkan begundal-begundalnya untuk me-nangkap kami dan membunuhnya!"
Kata salah seorang di antara mereka, memberanikan diri.
Bong Mini tertegun beberapa saat mendengar uca-pan itu.
Ia mulai berpendapat bahwa kepala desa itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam menggunakan jabatannya.
Dan tujuan itu tentu saja bukan hal yang baik.
"Kalau memang demikian, biar aku yang akan me-nyelesaikan ini dengan kepala desa kalian yang ditakuti itu!"
Tegas Bong Mini, membuat para penduduk menghela napas lega dan gembira menyambut niat Bong Mini untuk menolong mereka.
Salah satunya memperbaiki hukum yang kurang berwibawa di desa itu.
Baru beberapa menit Bong Mini berkata, tiba-tiba muncul kepala desa dengan dua belas orang pengikutnya, termasuk tiga orang yang tadi melarikan diri.
Rupanya, mereka melarikan diri untuk melaporkan peristiwa itu kepada pemimpin desanya.
Melihat kedatangan kepala desa bersama pengikut-nya, para penduduk yang masih ada di tempat itu tampak menyingkir dengan wajah menunjukkan keta-kutan.
Hanya Bong Mini saja yang masih berdiri di tempat menyambut kedatangan rombongan kepala de-sa itu.
Sementara itu, Baladewa yang sejak tadi memper-hatikan Bong Mini di tengah kerumunan penduduk Desa Anjungan, tetap tak bergeming dari tempatnya.
Ia ingin melihat sejauh mana Bong Mini menyelesaikan masalah penduduk di kampung itu.
*** Bong Mini berdiri dengan sikap tenang.
Namun ma-tanya tajam meneliti ketiga belas orang yang sudah mengelilinginya itu.
Kemudian matanya tertuju pada lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajahnya banyak ditumbuhi oleh kumis dan jenggot.
Sedangkan matanya yang hitam dan besar begitu tajam menatap ke arah Bong Mini.
"Dialah orang yang membunuh tiga orang teman kami, Ketua!"
Lapor seorang dari mereka yang tadi melarikan diri.
"Hm, rupanya kalian melarikan diri untuk memang-gil anjing-anjing hitam ini!"
Ujar Bong Mini sambil memandang ketiga orang yang melarikan diri tadi secara bergantian. Tiga lelaki itu saling berpandangan, kemudian me-reka menoleh pada lelaki bertubuh tinggi besar yang dipanggil ketua.
"Nah, Ketua bisa dengar sendiri ucapan sombong bocah tengik itu!"
Ucap lelaki yang berkata tadi.
Lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam yang disebut ketua itu maju selangkah ke arah Bong Mini.
Sesaat dia terdiam.
Hanya matanya saja mencorong tajam mengamati wajah Bong Mini.
Kemudian dia bicara dengan suara tenang berwibawa.
"Nona, rupanya Anda tidak mengetahui kalau mere-ka orang-orang utusanku. Rupanya Nona baru mema-suki dunia persilatan hingga seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan tidak mengenal daerah. Karena itu, jika Nona mau bersikap ramah dan minta maaf, kami pun akan menyudahi urusan ini karena Nona masih kuanggap kanak-kanak!"
"Bagiku, siapa pun yang mengutus mereka aku tak peduli. Aku datang ke sini tanpa sengaja. Kemudian aku melihat seorang lelaki tua tengah dikeroyok dan mencoba menengahinya. Apakah itu salah?"
Tanya Bong Mini dengan sikap yang masih tenang.
"Bukankah orang-orangku telah menjelaskan bah-wa orang tua itu seorang pencuri?"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu balik bertanya.
"Apakah karena dia pencuri lalu kita memukulinya sampai mati? Di manakah kewibawaan hukum? Apa-lagi barang yang dicurinya bernilai tidak seberapa. Hanya sehelai kain untuk persiapan istrinya yang akan melahirkan. Nah, apakah sepadan siksaan yang ia terima dengan perbuatannya?"
Tanya Bong Mini dengan suara lantang.
"Tapi ini hukum yang telah kuberlakukan puluhan tahun. Jadi tak seorang pun yang dapat membantah-nya!"
Sahut lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam.
"Kalau yang menegakkan hukum itu dirimu, maka aku berkeyakinan kalau kau adalah seorang kepala desa ini. Tapi ingatlah Bapak Kepala Desa, bahwa hukum itu harus berwibawa dan dihormati. Bukan malah menakut-nakuti masyarakat!"
Kata Bong Mini dengan sikap yang penuh keberanian.
Sejak kecil ia memang telah dibekali oleh orangtuanya tentang tata cara pem-buatan hukum.
Apalagi dia seorang anak raja, hingga sedikit banyak tahu masalah hukum.
Kepala desa yang tidak lain bernama Pak Bagol itu tersentak kaget melihat sikap gadis mungil yang demikian lantang berbicara kepadanya.
Seolah-olah hendak mempermalukan dirinya di hadapan orang banyak.
Rasa terkejut itu bukan saja menghinggapi diri Pak Bagol, tetapi juga melanda orang-orang di sekitarnya, termasuk Baladewa.
Hingga diam-diam ia melangkah dan menyelinap di antara kerumunan orang banyak untuk menyaksikan lebih dekat lagi.
"Bocah sombong. Berani benar kau berbicara pada-ku!"
Dengus Pak Bagol dengan wajah merah padam ka-rena menahan marah.
"Maafkan aku Kepala Desa Yang Terhormat, jika aku lancang berbicara dan berkesan menggurui. Se-sungguhnya, aku hanya berbicara sesuai dengan apa yang kuketahui!"
Ucap Bong Mini, mencoba meredakan amarah Pak Bagol.
Ia sendiri memang tidak ingin membuat kericuhan di desa itu.
Apalagi dengan kepala desanya.
Dia hanya ingin mengusulkan agar hukum yang telah diberlakukan di desa itu hendaknya diperbaiki lagi.
Namun karena Pak Bagol sudah telanjur merasa dipermalukan sebagai seorang tokoh masyara-kat, maka sikap permohonan maaf Bong Mini pun ti-dak didengarnya sama sekali.
Malah ia semakin ma-rah.
Darahnya bergolak mengalir ke seluruh tubuhnya.
"Bocah sombong! Dengarkan baik-baik. Permoho-nan maafmu bisa aku terima jika kau bersujud di ha-dapanku dan mencium telapak kaki!"
Dengus Pak Ba-gol dengan sorot mata berkilat-kilat.
Bong Mini yang sudah mencoba menyabarkan Pak Bagol, kini berubah panas mendengar ucapan kepala desa itu.
Maka dengan wajah bersemu merah serta suara yang berapi-api ia pun menyambut ucapan kepala desa yang mengandung penghinaan itu.
"Aku bersedia berlutut mencium telapak kakimu ji-ka kau bersama cecunguk-cecungukmu mampu me-langkahi mayatku!"
Mendengar ucapan Bong Mini yang mengandung nada tantangan, telinga Pak Bagol menjadi panas.
Ke-marahan yang sejak tadi ditahannya langsung mem-bludak tanpa bisa dibendung lagi.
Dengan suara pecah menggelegar, Pak Bagol langsung memberikan perintah kepada para pengikutnya.
"Tangkap bocah tengik itu!"
Mendapat perintah itu kedua belas orang pengikut-nya langsung mengurung rapat Bong Mini.
Mereka be-rusaha menangkap gadis cantik itu hidup-hidup.
Bong Mini yang menyadari dirinya berada di tempat yang tidak menguntungkan segera melompat ke atas ketika kedua belas pengurungnya bergerak serentak hendak menangkapnya.
Melihat Bong Mini yang dikurung oleh dua belas le-laki bertubuh kasar dan beringas, hati Baladewa menjadi was-was.
Namun ia sendiri berusaha menahan diri untuk tidak segera memberikan pertolongan.
Ia masih yakin kalau saudara seperguruannya mampu menghadapi lawan sebanyak itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan bentakan me-lengking.
Tubuhnya berkelebat, meloncat tinggi me-lampaui kepala para pengepungnya.
Dan, ketika kedua belas pengepungnya hendak menghalangi, ia berbalik mendorongkan tangan kanannya yang mengandung tenaga 'Telapak Tangan Sakti'.
Wuttt! Angin keras yang ditimbulkan 'Telapak Tangan Sak-ti', warisan dari Putri Teratai Merah menyambar lawannya.
Sehingga mereka yang berusaha menghalan-ginya terdorong ke belakang disertai teriakan kaget karena terpaan hawa panas.
Barisan pengepung kacau-balau.
Namun kedua be-las orang itu kembali berdiri tegak sambil terus mendesak gadis mungil yang menjadi musuh mereka.
Di lain pihak, Bong Mini yang sudah mendapat ke-sempatan untuk bernapas segera mencabut Pedang Teratai Merahnya.
Seketika itu juga sinar merah berbentuk bunga teratai memancar terang saat pedang itu dikeluarkan dari sarungnya.
"Pedang Teratai Merah!"
Desis Pak Bagol dengan ke-dua mata terbelalak.
Ia hampir tidak percaya gadis se-kecil itu memiliki Pedang Teratai Merah.
Ia sendiri pernah berusaha beberapa kali untuk mendapatkan pe-dang itu tapi tidak pernah berhasil.
Karena setiap kali ia mencoba, selalu diganggu oleh pasukan iblis menyerupai ular yang menyerangnya.
Dan kini, ketika melihat gadis mungil yang diserang anak buahnya memiliki Pedang Teratai Merah, ia pun turut melakukan serangan.
"Kepung gadis itu! Jangan sampai lolos!"
Seru Pak Bagol mengingatkan para pengikutnya.
Dua belas orang anak buah kepala desa semakin bersemangat ketika melihat pemimpinnya sendiri bersama-sama mereka turut melakukan pengepungan terhadap gadis lincah itu.
Bong Mini yang sudah siap menghadapi serangan dari ketiga belas lawannya, segera melakukan perlawanan lewat jurus 'Telapak Tangan Sakti' dan Pedang Teratai Merah.
"Hiaaat!"
Pak Bagol mengeluarkan lengkingan tinggi saat tu-buhnya melompat ke tengah pertempuran.
Wuttt! Desss! Angin yang ditimbulkan jurus 'Telapak Tangan Sak-ti' mendorong enam lawannya hingga terhuyung.
Dan ketika para pengeroyok itu semakin kacau dalam men-gatur posisinya, Bong Mini segera memainkan pedangnya dengan kecepatan yang amat dahsyat.
Sing sing sing! Tubuh dan pedang Bong Mini bagaikan bola api yang menggelinding ke sana kemari, membuat perta-hanan lawannya semakin kacau-balau dan tak dapat lagi mempertahankan keutuhan gerak mereka.
"Aaakh!"
Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang amat me-nyayat hati.
Lalu disusul dengan robohnya enam lawan dengan tubuh yang amat mengerikan.
Ternyata mereka mati terkena sabetan Pedang Teratai Merah milik Bong Mini yang terkenal sakti.
Setelah merobohkan enam orang lawannya, Bong Mini kembali membalikkan tubuhnya untuk menye-rang tujuh penyerang lain.
Ia terus mengamuk mema-inkan pedang saktinya ke arah lawan.
Para pengepung yang memang sudah kacau-balau dalam melakukan serangan semakin bertambah kelim-pungan ketika melihat enam orang temannya mati.
Ditambah lagi dengan serangan dahsyat yang kini dilancarkan oleh gadis mungil yang menjadi lawan mereka.
Sehingga jalan satu-satunya bagi mereka adalah me-nyelamatkan diri agar terhindar dari serangan pedang Bong Mini yang amat dahsyat itu.
Bret bret bret! "Aaakh!"
Musuh yang berusaha menyelamatkan diri mati di ujung pedang Bong Mini yang sudah mengamuk seja-di-jadinya.
Kini mereka semua roboh dengan tubuh yang ma-lang melintang di antara darah yang membasahi ta-nah.
Tinggallah Pak Bagol yang masih bertahan hidup.
Sebenarnya Pak Bagol sudah gentar menghadapi gadis mungil yang menjadi lawannya itu.
Tapi karena keinginannya untuk memiliki Pedang Teratai Merah begitu menggebu-gebu, ia pun memaksakan diri untuk terus menghadapi lawannya sampai titik darah peng-habisan.
Percuma saja aku melarikan diri kalau tak berhasil merebut pedang di tangan lawan, pikirnya.
"Kau boleh bangga dapat merobohkan para pengi-kutku. Tapi kau tak akan mungkin berhasil meroboh-kanku bila bertanding dengan tangan kosong!"
Tantang Pak Bagol.
Namun sesungguhnya tantangan itu hanya sebuah jebakan belaka.
Sebab kalau Bong Mini me-layani tantangan itu, ia akan mudah merebut Pedang Teratai Merah.
Pancingan Pak Bagol berhasil.
Bong Mini menggele-takkan pedangnya di atas tanah dan menunggu sera-ngan lawannya dengan tangan kosong.
"Hiaaat!"
Pak Bagol meluruk ke arah Bong Mini dengan me-ngerahkan ilmu Gerak Pukul yang terkenal ganas.
Wuttt! Bong Mini menghindari serangan itu dengan cara melompat setinggi dua meter.
Sehingga pukulan yang mengeluarkan angin dahsyat itu luput dari sasaran.
Menyadari pukulannya luput, Pak Bagol segera membalikkan tubuhnya untuk kembali menyerang.
"Hiy hiy hiy!"
Lewat jurus 'Cakar Macan', Pak Bagol berusaha mencengkeram tubuh lawan.
Dari kedua tangannya yang berbentuk cakar, keluar hawa panas serta uap putih yang menyebarkan bau amis darah.
Bong Mini terkejut juga melihat serangan itu.
Ia ta-hu bahwa cengkeraman itu mengandung racun yang mematikan.
Itu merupakan serangan khas yang biasa dipergunakan oleh para tokoh golongan hitam.
Dari jurus yang dilancarkan Pak Bagol, ia sudah dapat menebak bahwa kepala desa itu seorang tokoh silat dari golongan hitam.
Oleh karena itu Bong Mini akan segera membasminya agar ajarannya yang menyesatkan tidak turun pada masyarakat yang dipimpinnya.
Untuk menghindari serangan lawan, Bong Mini mencoba mempergunakan ilmu Halimun Sakti.
Se-buah ilmu yang membuat dirinya terlihat samar-samar oleh pandangan orang lain, bahkan tidak kelihatan sama sekali.
Dan ilmu ini mempunyai gerakan yang lambat dan tenang seperti halnya halimun yang perlahan-lahan turun menyelimuti bumi.
Ini merupakan salah satu ilmu dari jurus 'Pancar Sinar Sakti' yang diwariskan oleh Putri Teratai Merah.
Sehingga saat musuhnya menyerang, tubuh Bong Mini melayang ringan seperti bulu yang tertiup angin.
Sehingga serangan lawannya luput dari sasaran walau bagaimanapun he-batnya pukulan yang dikerahkan Pak Bagol.
Suit suit suit! Sebuah angin keras bersuitan ketika Bong Mini membalas serangan dengan melakukan tamparan ke-dua tangannya.
Ini menunjukkan kedua telapak ta-ngannya mengandung tenaga sakti yang amat ampuh.
Wesss! Pak Bagol terhenyak kaget ketika menyadari tampa-ran tangan lawannya mengandung angin pukulan yang demikian cepat dan dahsyat.
Sehingga dia mengelak cepat dan berusaha mencengkeram lengan Bong Mini.
"Heppp!"
Bukkk! Tubuh kepala desa itu langsung terjungkal dan menggelinding di tanah ketika tangannya menyentuh tangan Bong Mini.
Tapi dengan gerakan reflek, kepala desa segera bangkit berdiri menghadap Bong Mini dengan muka merah.
Sedangkan di tangan kanannya ter-genggam sebilah golok yang sudah berwarna hitam.
Pertanda kalau golok itu sudah sering dilumuri racun.
Gadis berbaju merah dan bertubuh mungil tampak tersenyum-senyum melihat kecurangan lawannya.
"Hanya begitu saja kemampuanmu bertempur de-ngan tangan kosong!"
Ejek Bong Mini.
Lelaki bertubuh tinggi besar yang sudah terpancing amarahnya itu semakin kalap mendengar ejekan Bong Mini.
Dan tanpa berkata lagi, tubuhnya langsung meloncat dan melabrak lawan dengan goloknya.
Wut wut wut! Bong Mini melompat menghindari serangan golok yang cepat dan menimbulkan angin kencang itu.
Dan ketika kakinya menjejak tanah kembali, ia langsung balik menyerang Pak Bagol lewat totokan jari telunjuknya.
Cep cep cep! Totokan jari telunjuknya bukan main cepat menga-rah pada leher lawan, hingga kepala desa yang belum sempat membalikkan tubuhnya tidak dapat menghindari serangan.
Ketika leher Pak Bagol terkena totokan kedua jari telunjuk lawan, tubuhnya terasa lemas dan tenaganya pun terasa hilang seketika.
Membuat golok yang tergenggam di tangannya terlepas jatuh.
Namun ketika tubuhnya jatuh di tanah, ia langsung bergulingan menuju Pedang Teratai Merah milik Bong Mini yang tergeletak.
Kemudian ia bangkit dengan Pedang Teratai Merah yang sudah tergenggam di tangannya.
Apa yang terjadi pada lawannya tentu sangat me-ngejutkan hati Bong Mini.
Karena ilmu menotok jalan darah yang dimilikinya tak mampu mempecundangi lawannya.
Padahal ilmu menotok yang dimilikinya sangat dahsyat.
Tak seorang pun yang selamat bila tubuhnya sudah terkena totokan kedua jari telunjuknya.
Pak Bagol merupakan orang yang pernah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Selama terjun dalam dunia sesat, telah banyak ilmu-ilmu hitam yang dimilikinya.
Salah satunya ilmu Sentuh Tanah Bangkit Berdiri.
Sebuah ilmu ciptaan seorang pemimpin golongan hitam yang tujuannya untuk menaklukkan totokan lawan dengan cara bergulingan di atas tanah.
Bila tubuh terkena totokan dan langsung bergulingan di tanah maka ilmu menotok jalan darah tidak akan mempan.
Hingga tidak heran jika totokan Bong Mini tadi tidak mempen-garuhi keadaan lawannya.
Kebangkitan Pak Bagol itu memang sangat menge-jutkan hati Bong Mini.
Apalagi ketika melihat musuhnya itu telah menggenggam sebilah pedang kepunya-annya.
Kegugupan tiba-tiba menyergapnya.
Ia merasa kalau dirinya sekarang ini tidak lagi mampu menandi-ngi kepala desa itu setelah berhasil merampas Pedang Teratai Merah.
"He he he..., akhirnya aku berhasil mendapatkan pedang pusaka ini!"
Ucap kepala desa itu tertawa senang.
"Sudah lama aku berusaha memilikinya, tapi ba-ru kali ini kesampaian!"
Lanjut Pak Bagol sambil memandangi pedang yang selalu memancarkan sinar me-rah berbentuk bunga teratai. Kemudian pandangannya yang mengandung kegembiraan itu diarahkan pada gadis bertubuh mungil yang jadi lawan tangguhnya.
"Bocah tengik, kali ini tamatlah riwayatmu! Aku akan membunuhmu dengan pedang milikmu sendiri!"
Ancamnya dengan bibir menyeringai.
Kemudian ia bergerak untuk melakukan serangan.
Namun sebelum ia melaksanakan niatnya untuk menyerang Bong Mini, tiba-tiba sesosok tubuh melintas di udara dan berdiri di hadapannya.
Pak Bagol terkejut melihat kehadiran seorang pe-muda berbaju rompi hitam yang tak lain Baladewa itu.
"Siapa dan apa urusanmu ikut campur dengan per-soalan ini?!"
Geram kepala desa itu dengan sepasang mata tajam mencorong ke pemuda di depannya.
"Sebaiknya kau tidak usah banyak tanya. Keha-diranku di tempat ini jelas akan menghancurkanmu!"
Tandas Baladewa tak kalah geram. Mendengar ucapan itu, Pak Bagol tertawa terbahak-bahak. Apa yang dikatakan Baladewa itu dianggapnya hanya sebuah lelucon belaka.
"Kalau kau hendak mengantarkan nyawa bersama gadis yang kau lindungi itu, bersiaplah untuk mati!"
Geram Pak Bagol.
Ia bersiap-siap mengacungkan pe-dangnya untuk menyerang Baladewa dan Bong Mini.
Namun di saat pedang itu mengacung dan hendak di-hujamkan ke arah Bong Mini dan Baladewa, tiba-tiba Pedang Teratai Merah yang digenggamnya bergerak melepaskan diri dan melayang ke udara disertai sinar merah berbentuk bunga teratai.
Sing...! Cuat cuat! Bong Mini dan Baladewa berseru kagum melihat ke-ajaiban itu.
Begitu pula dengan sebagian penduduk yang sejak tadi menyaksikan pertempuran.
Mata me-reka tidak berkedip menatap Pedang Teratai Merah yang menari-nari di udara sambil memancarkan ca-haya merah.
Hingga suasana malam di sekitar arena pertempuran itu menjadi terang-benderang.
Beberapa saat setelah pedang itu menari-nari di udara, tiba-tiba ia menukik cepat ke tubuh Pak Bagol.
Creb! Ujung Pedang Teratai Merah langsung menancap di tenggorokan kepala desa itu hingga tewas.
Setelah tubuh Pak Bagol tidak berkutik lagi, pedang itu bergerak seperti ada seseorang yang menarik ujung pedang itu dari leher korban.
Kemudian Pedang Teratai Merah bergerak perlahan menuju Bong Mini dan ber-sandar di dada gadis mungil itu.
Bong Mini yang sejak tadi terkagum-kagum pada pedang pusakanya, menjadi bertambah gembira meli-hat pedang itu kembali dalam pelukannya.
Dan de-ngan penuh kasih sayang ia mengambil pedang itu dengan kedua tangan serta menciumnya bertubi-tubi.
"Terima kasih sahabatku! Terima kasih!"
Ucap Bong Mini dengan wajah berseri-seri saking gembira me-nyambut Pedang Teratai Merahnya.
Beberapa saat suasana menjadi hening.
Mereka sama-sama terpaku memandang Pedang Teratai Merah yang menyimpan keajaiban itu.
Setelah puas, panda-ngan mereka beralih pada tubuh kepala desanya yang sudah tak bernyawa lagi.
"Kebiadaban kepala desa dan pengikutnya telah be-rakhir. Sekarang mulailah kalian hidup tenteram. Cari-lah orang yang benar-benar jujur dan bijak untuk menjabat kepala desa yang baru!"
Pesan Bong Mini kepada penduduk Desa Anjungan.
Setelah itu tubuhnya melesat pergi dengan cepat.
Diikuti oleh saudara seperguruannya, Baladewa.
Para penduduk yang berkerumun di tempat itu me-natap kepergian Bong Mini dan Baladewa dengan pan-dangan kehilangan.
Sedangkan hati mereka merasa menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih kepada pendekar sakti itu.
Terutama orang tua yang merasa ditolong dari amukan massa.
*** Malam terus merayap perlahan, hingga tidak terasa kegelapan pun semakin menguasai hari.
Sedangkan rembulan redup sudah sejak tadi bersembunyi di balik hamparan awan hitam.
Ditambah dengan angin yang berhembus sepoi-sepoi basah, membuat malam itu be-nar-benar mencekam.
Sesosok tubuh tampak melesat menuju hutan.
Langkahnya begitu cepat, seolah-olah ada yang diburunya.
Hingga tidak mempedulikan hawa dingin me-nusuk tulang sum-sumnya.
Sosok bayangan yang tengah menembus kegelapan itu tidak lain Putri Bong Mini yang baru beberapa jam yang lalu meninggalkan Desa Anjungan.
Dan kini ia tengah berlari di sebuah hutan yang penuh ditumbuhi pepohonan besar.
Di tengah perjalanan, Bong Mini menghentikan langkahnya.
Ia mulai merasakan kesenduan yang aneh.
Ah..., mengapa malam ini aku merasa kehilangan sesuatu? Desah hati Bong Mini seraya menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon.
Masalah kesepian karena hidup sendiri memang merupakan hal yang biasa baginya.
Selama ini ia hidup dalam suasana yang serba lembut dan indah.
Tapi biarpun demikian, kesepian yang melandanya malam ini merupakan kesepian yang aneh serta baru dialami.
Pada saat dirinya mencoba menebak perasaan apa yang merasuk hatinya itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan mendekatinya.
Bong Mini tersentak kaget.
Ia siap menyambut se-suatu yang tidak diinginkan.
Namun ketika mengeta-hui siapa yang berdiri di hadapannya, Bong Mini segera mengubah sikapnya kembali.
Hanya raut wajahnya saja yang menunjukkan kebencian.
"Ngapain kamu ke sini sembunyi-sembunyi?"
Tanya Bong Mini dengan suara ketus.
"Kau sendiri ngapain di sini?"
Pemuda yang tidak lain Baladewa itu balik bertanya.
"Aku..., aku...."
Bong Mini menjawab gugup. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun sebelum kegu-gupannya itu diketahui oleh Baladewa, Bong Mini segera menambahkan.
"Aku sedang beristirahat!"
Baladewa tersenyum. Diawasinya wajah Bong Mini dalam kegelapan.
"Sebaiknya kita mencari penginapan!"
Baladewa mengusulkan. Bong Mini terdiam. Hatinya menyetujui usul Bala dewa.
"Udara malam ini terlalu dingin. Tidak baik buat kesehatan!"
Lanjut Baladewa lagi. Bong Mini masih diam. Ia terenyuh mendengar uca-pan Baladewa yang penuh perhatian itu.
"Bagaimana? Kau setuju dengan usulku!"
Tanya Ba-ladewa lagi sambil memandangi wajah Bong Mini lekat-lekat Tanpa menjawab, Bong Mini langsung melangkah menuju perkampungan.
Diikuti oleh Baladewa.
Di dalam kegelapan malam itu, tanpa diketahui oleh Bong Mini maupun Baladewa, tujuh bayangan manusia tengah membuntuti perjalanan mereka dengan amat hati-hati.
Sehingga jejak langkah mereka tak sedikit pun menimbulkan suara.
"Bagaimana kalau kita sergap sekarang juga?"
Usul orang pertama dengan suara berbisik. Khawatir ter-dengar oleh dua pemuda yang tengah dikuntit.
"Jangan gegabah!"
Sergah orang kedua yang berada di sampingnya dengan tetap mengawasi langkah Bong Mini dan Baladewa dari jarak yang agak jauh.
"Bukannya aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang ini aku yakin dapat menga-lahkan mereka. Tetapi kita harus ingat kalau pertempuran bukan tujuan kita. Kita hanya bermaksud me-rebut pedang pusaka di tangan gadis itu. Jadi, tunggu-lah kesempatan yang baik untuk dapat mengambil pu-saka itu tanpa harus melukai mereka berdua, teruta-ma gadis itu!"
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Ke-tua?"
Tanya orang pertama kepada orang kedua yang ternyata ketua dari ketujuh penguntit itu.
"Mengikuti tempat tujuan mereka!"
Sahut lelaki ke-dua yang menjadi ketua dari ketujuh orang itu.
Suasana hening.
Hanya suara jangkrik saja yang terdengar mengerik di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Setelah agak lama menempuh perjalanan, Bong Mini dan Baladewa tiba di sebuah kampung yang ber-nama Desa Babakan.
Kemudian mereka memasuki Penginapan Kejora yang masih buka satu-satunya.
Di sana, mereka langsung memesan kamar.
Satu untuk Bong Mini dan satu lagi untuk Baladewa.
Lalu, keduanya melangkah masuk ke kamar masing-masing.
Di dalam kamar, Bong Mini tidak segera merebah-kan badan, melainkan duduk di tepi ranjang.
Namun baru beberapa menit ia duduk, tubuhnya merasa pa-nas disertai keringat yang mulai mengucur membasahi wajahnya.
Akhirnya ia tidak tahan dan langsung keluar kamar untuk mengangin-anginkan tubuhnya.
*** Angin malam semilir lembut mengusapnya ketika Bong Mini telah berada di luar penginapan, mengusir kegelisahan serta keringat yang tadi membasahi wajahnya.
Di saat ia asyik menikmati angin malam yang mele-na rambutnya, tiba-tiba sepasang telinganya menangkap suara tidak wajar yang datang dari arah depan.
Kemudian kakinya melangkah hati-hati menuju suara itu.
Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba empat lelaki setengah baya melompat dari balik semak-semak dan langsung mengepung Bong Mini.
Disusul kemudian oleh tiga lelaki lain yang muncul dari arah yang dicurigai Bong Mini.
Bong Mini berdiri tegang sambil memandang penge-pungnya satu persatu.
Kemudian mata yang jeli dan tajam itu beralih memandang seorang lelaki setengah baya yang umurnya kurang lebih empat puluh tahun.
Pasti dia yang menjadi pemimpin orang-orang ini! Duga hati Bong Mini merasa yakin.
Karena umur lelaki itu jauh lebih tua dibandingkan dengan keenam orang lainnya yang rata-rata berumur sekitar tiga puluh ta-hunan.
"Apa maksud kalian menghadangku?"
Tegur Bong Mini hati-hati.
Disertai sikap dan pandangan matanya yang tetap waspada.
Lelaki setengah baya berpakaian pangsi hitam dan berwajah hitam kelam yang telah diduga pemimpin pengeroyok oleh Bong Mini segera melangkah dua ta-pak ke arah Bong Mini.
"Maafkan kami kalau kehadiran malam ini menge-jutkan, Nona!"
Ujarnya dengan suara berat dan pecah. Sehingga walaupun suaranya pelan, namun dapat ter-dengar dengan jelas oleh orang-orang sekelilingnya.
"Tapi ketahuilah Nona kalau kami tidak bermaksud buruk kepadamu!"
Hm..., bagaimana mungkin kalian tidak mempunyai niat buruk terhadapku. Sedangkan kedatangan kalian saja mencurigakan! Gerutu Bong Mini dalam hati.
"Lalu apa maksud kalian yang sebenarnya?"
Tanya Bong Mini ingin tahu. Lelaki setengah baya itu diam beberapa saat dengan sepasang mata tajam memandangi Pedang Teratai Merah yang tersandang di punggung gadis bertubuh mungil itu.
"Ketahuilah, Nona. Aku sudah lama mendambakan Pedang Teratai Merah yang Nona bawa itu. Tapi sam-pai sekarang aku tidak berhasil mendapatkannya. Dan beberapa jam yang lalu, aku melihat pedang yang ku-dambakan itu berada di tangan Nona saat bertempur dengan orang-orang Desa Anjungan. Oleh karena itu, sudilah kiranya Nona memberikan pedang pusaka itu kepadaku. Percayalah! Kami akan pergi segera setelah memiliki pedang itu tanpa melukai Nona sedikit pun!"
Kata lelaki setengah baya yang berpakaian pangsi itu. Mendengar ucapan itu, Bong Mini bukannya marah malah tersenyum manis. Kemudian tangannya menca-but Pedang Teratai Merah dan diarahkannya ke depan.
"Ambillah pedang ini jika kau ingin memilikinya!"
Ucap Bong Mini dengan sikap tenang.
Lelaki setengah baya yang menjadi Ketua Perkum-pulan Harimau Siluman bukan orang yang bodoh.
Ia merupakan tokoh aliran sesat yang telah banyak ma-kan asam garam di dunia persilatan.
Sehingga ketika Bong Mini menyuruhnya mengambil pedang yang masih tergenggam di tangannya, ia segera memerintah seorang anak buahnya untuk mengambil.
Anak buah yang diperintah segera melangkah untuk mengambil pedang di tangan Bong Mini.
Namun belum sempat tangannya menyentuh Pedang Teratai Merah, sebuah tendangan Bong Mini mendarat telak di perutnya.
Sehingga tubuh orang itu terjungkal ke belakang.
Melihat sikap Bong Mini yang berbuat kasar terha-dap anak buahnya, Ketua Perkumpulan Harimau Si-luman itu marah bukan main.
"Telah kukatakan kepadamu tadi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu. Tapi kenapa sekarang kau yang melakukan kekerasan kepada anak buahku?"
Ucapnya masih menahan marah.
"Hm...!"
Sinis Bong Mini.
"Bagaimana mungkin ka-lian tidak akan menggangguku. Kedatangan kalian sa-ja sangat tidak sopan. Apalagi dengan seenaknya hendak mengambil pedang pusaka yang telah kumiliki ini!"
Ketus Bong Mini.
Diletakkannya Pedang Teratai Merah di punggungnya kembali.
Ketua Perkumpulan Harimau Siluman yang semula menganggap Bong Mini sebagai gadis kecil yang tidak mengetahui apa-apa mengenai pedang pusaka itu menjadi geram ketika menyadari kalau gadis kecil itu memiliki kepandaian dan kecerdikan yang luar biasa.
Jadi, tanpa membuang waktu lagi, ia memerintah keenam anak buahnya untuk menyerang Bong Mini.
Mendapat perintah itu, keenam anak buahnya sege-ra bergerak mengepung Bong Mini dengan golok ter-hunus di tangan masing-masing.
Golok keenam orang dari Perkumpulan Harimau Si-luman yang diarahkan kepadanya segera disambut oleh Bong Mini dengan tangkas.
"Hiat hiat hiaaat!"
Wes wes wesss! Lengkingan dari setiap mulut lawan serta hembu-san angin yang ditimbulkan dari kebatan-kebatan golok memecahkan keheningan malam.
Sementara itu, di sebuah kamar penginapan, Bala-dewa yang sejak tadi tergolek di atas ranjang dan belum memejamkan mata, tersentak kaget mendengar teriakan-teriakan keras yang mengerikan.
Dengan cepat tubuhnya melompat dari atas ranjang dan melesat ke luar untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sesampai di luar halaman penginapan itu, betapa kagetnya ia ketika mengetahui kalau orang yang bertempur ternyata Putri Bong Mini melawan enam pengeroyoknya.
Walaupun begitu ia tidak segera mengambil tindakan untuk melakukan pembelaan terhadap saudara seperguruannya itu.
Ia menyelinap diam-diam di antara rimbunnya pepohonan bunga untuk menyaksikan pertempuran itu lebih dekat.
Ketua Perkumpulan Harimau Siluman tertawa ter-bahak-bahak melihat ketangkasan anak buahnya yang mendesak lawan.
Sehingga gadis bertubuh mungil itu semakin tersudut dan hanya mampu melakukan gerakan-gerakan mengelak, berguling atau bersalto.
Menyadari serangan keenam lawan yang demikian gencar, Bong Mini segera mengambil tindakan dengan meloncat agar mendapat kesempatan mencabut Pedang Teratai Merah.
"Hiaaa!"
Tubuh Bong Mini secepat itu pula melenting di uda-ra, melewati kepala-kepala musuhnya.
Dalam gerakan melompat itu, tangannya secepat kilat menyambar pedang yang tersandang di punggungnya.
Crat crat crat! Suasana di tempat pertempuran yang semula agak remang, kini menjadi terang-benderang ketika Pedang Teratai Merah tergenggam di tangan Bong Mini.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Putri Bong Mini segera memainkan pedangnya ke arah para pengeroyoknya.
Bret bret bret! Ujung pedang Bong Mini langsung menebas tiga leher lawan hingga tewas.
Melihat tiga anak buah yang diandalkannya itu tumbang dengan cepat di ujung pedang gadis bertubuh mungil, pemimpin pengeroyok menjadi murka.
Tubuhnya melesat ke tengah pertempuran untuk turut me-nyerang gadis cantik itu.
Bong Mini segera menyambut sabetan golok pemim-pin pengeroyok dengan pedangnya.
Trang trang trangngng! Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar api yang amat terang.
Maklumlah, golok pemimpin pengeroyok itu pun bukan senjata sembarangan.
Golok itu mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Dapat berubah-ubah bentuk sesuai dengan kebutuhan si pemi-liknya.
Dan senjata itu ia dapatkan dari Iblis Marakayangan ketika bertapa di Gunung Sangiang untuk bertemu dengan Putri Teratai Merah.
Namun karena ia mempunyai niat yang jelek maka keinginan untuk bertemu dengan Putri Teratai Merah tidak kesampaian.
Namun sebagai gantinya ia bertemu dengan Iblis Marakayangan yang menjelma sebagai gadis cantik yang menggiurkan.
Kemudian gadis cantik jelmaan Iblis Marakayangan itu memberikan sebilah golok padanya dengan satu syarat ia harus bercumbu dengannya.
Lelaki setengah baya itu tidak keberatan mendapat persyaratan yang dianggapnya ringan itu.
Ia sendiri tertarik dengan gadis cantik alam gaib jelmaan Iblis Marakayangan itu.
Akhirnya ia mendapatkan sebilah golok sakti yang sekarang dipergunakannya untuk melawan Bong Mini.
Trang trang trangngng! Benturan dua senjata yang berkelebat dalam arah yang berlawanan telah membuat keduanya terpental hebat.
Karena mereka menggunakan tenaga sakti ma-sing-masing.
Ilmu Pembangkit Tenaga milik Bong Mini dan ilmu Badai Menghantam Karang milik lawannya.
Kemudian keduanya segera bangkit dan saling berha-dapan kembali.
Di saat Bong Mini memasang kuda-kuda untuk me-lancarkan serangan kembali kepada Ketua Pasukan Harimau Siluman itu, tiba-tiba tiga orang anak buahnya datang menyerang dengan gencar.
Untung saat itu Bong Mini dalam keadaan waspada, sehingga serangan ketiga pengeroyoknya disambut dengan tangkasnya.
Bret bret clebbb! Pedang Teratai Merah milik Bong Mini langsung menebas perut dan leher lawan dengan dahsyat.
Da-lam sekejap mata ketiga tubuh lawannya berputar lim-bung.
Lalu jatuh tanpa dapat berkutik lagi.
Melihat para pengikutnya tumbang di tangan Bong Mini, Ketua Pasukan Harimau Siluman itu bertambah murka.
Golok di tangannya diputar-putar hingga mencapai kecepatan yang sulit dijangkau mata manusia biasa.
Ketika putarannya terhenti, golok itu berubah menjadi sebilah golok yang panjangnya melebihi Pedang Teratai Merah.
"Kelinci busuk! Kau harus mati di tanganku!"
Geram Ketua Pasukan Harimau Siluman sembari menge-batkan goloknya dengan gerakan membacok.
Takkk! Golok panjang yang digenggam lelaki bertubuh ke-kar tepat mengenai pundak lawannya dengan kecepa-tan yang cukup keras.
Namun anehnya, pundak gadis yang terkena bacokan golok panjangnya tidak menga-lami cidera sedikit pun.
Apalagi mengeluarkan darah.
Sebaliknya, pertempuran antara golok dan pundak ga-dis itu membuat senjata lawannya terpental bahkan terlepas dari genggaman tangan Ketua Pasukan Hari-mau Siluman.
Kekuatan tubuh Bong Mini yang tidak mempan oleh bacokan senjata lawannya bukan sesuatu yang aneh.
Sebab ketika berada di Gunung Muda, ia telah mendapatkan ilmu kekebalan senjata itu dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci.
Melihat kekebalan tubuh lawannya, Ketua Pasukan Harimau Siluman menjadi terkejut bukan main.
Na-mun sebelum ia sempat menyadari keterpanaannya, sebuah tendangan Bong Mini mengenai pahanya.
Tu-buhnya terpelanting lima meter ke belakang.
Kerasnya tendangan kaki Bong Mini ternyata tidak membuat lawannya gentar.
Karena dia sendiri bukan orang yang bisa dianggap ringan.
Banyak ilmu-ilmu sesat pemberian Iblis Marakayangan yang dimilikinya.
Sehingga ketika tubuhnya terpelanting, Ketua Pasukan Harimau Siluman langsung bangkit dan berdiri kembali dengan keadaan tubuh yang masih segar.
Perkelahian antara kedua orang ini memang meru-pakan perkelahian yang amat hebat dan menarik.
Orang-orang yang menginap di Penginapan Kejora yang sejak tadi terbangun dan menyaksikan pertempuran itu menjadi terkagum-kagum melihat kehebatan gadis bertubuh mungil itu.
Saking menariknya pertempuran kedua orang itu, mereka malah maju beberapa langkah untuk menyaksikan lebih dekat.
"Hiaaat..!"
Ketua Pasukan Harimau Siluman mengirim hanta-man Sinar Mata Iblis lewat kedua telapak tangannya yang direntangkan lurus ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat.
Sehingga Sinar Mata Iblis yang berwarna merah kekuning-kuningan itu me-nyambar-nyambar ke arah kepala Bong Mini.
Melihat lawannya menyerang dengan tangan ko-song, Bong Mini pun melayani dengan tangan kosong pula.
Namun bukan berarti dia harus mengadu tenaga untuk melawan serangan Sinar Mata Iblis yang dilancarkan lawannya itu.
Walau ia sendiri percaya kalau mengadu tenaga secara langsung belum tentu ia kalah kuat.
Namun karena ia tahu bahwa lawannya itu mempunyai tenaga yang amat kuat, maka kalah atau menang tetap akan merugikan dirinya.
Karena itu ia tidak menangkis serangan Sinar Mata Iblis dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak saling mengadu tenaga secara langsung.
Menyadari lawannya menangkis serangan Sinar Ma-ta Iblis yang dikerahkannya dari samping, cepat-cepat lelaki itu memukul ke arah Bong Mini dengan telapak tangan kirinya yang terbuka.
Melihat serangan kedua itu, mau tidak mau Bong Mini meloncat ke depan lawan dan menyambutnya dengan telapak tangan kanannya.
Dua telapak tangan berkekuatan dahsyat bertemu.
Dukkk! Ptakkk! Pertemuan kedua telapak tangan itu membuat tu-buh keduanya terpental ke belakang.
Kemudian mere-ka kembali berdiri berhadapan dalam jarak yang cu-kup jauh.
"Haiiit...! Yaaah!"
Tiba-tiba lelaki itu mengeluarkan pekikan keras yang memekakkan telinga.
Disusul kemudian dengan tubuhnya yang meloncat tinggi ke depan.
Saat tubuhnya masih berada di udara, ia menyerang gadis cantik bertubuh mungil itu dengan tangan kirinya.
Inilah jurus pamungkas milik lelaki setengah baya itu, setelah berkali-kali gagal dalam serangan sebelumnya.
Melihat lawannya menyerang seperti itu, Bong Mini menyambutnya dengan loncatan yang sama.
Pendekar mungil itu tanpa ragu-ragu lagi mengeluarkan tiga il-mu gabungan yang terdiri dari ilmu peringan tubuh, ilmu tenaga dalam pemberian Bongkap dan ilmu keba-tinan warisan dari gurunya, Kanjeng Rahmat Suci.
Il-mu gabungan ini dia namakan dengan jurus 'Tiga Rak-sa', sebuah ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan.
Sehingga begitu dia meloncat sambil menggerakkan kedua tangannya dengan jari-jari lurus terpentang ke depan, terdengar suara yang bersiutan.
Siut siut siut..! Baladewa dan beberapa penginap yang menyaksi-kan pertandingan itu hanya sempat melihat tubuh kedua orang perkasa itu meloncat dan turun ke atas tanah dalam posisi saling membelakangi.
Bong Mini dengan cepat membalikkan tubuh ketika kedua kakinya menjejak tanah.
Sementara lawannya diam tak bergerak membelakanginya.
Rupanya dia terkejut melihat baju bagian depannya robek dan ada tanda menghitam pada dadanya.
Itu tentu akibat pukulan 'Tiga Raksa' yang dilancarkan Bong Mini.
Pukulan itu mengenai tubuh lawan tanpa terasa sakit, tapi tahu-tahu tubuh yang terkena pukulan itu terluka seperti apa yang dialami lelaki setengah baya yang menjadi Ketua Pasukan Harimau Siluman.
Tubuh lelaki yang masih berdiri tegak itu, perlahan-lahan membalik kaku dan memandang Bong Mini.
Sekilas lelaki itu memang tidak mengalami luka se-dikit pun.
Tapi dari hidung, telinga, mulut, dan kedua matanya sedikit demi sedikit menetes darah yang berwarna kehitam-hitaman.
Dan darah itu terus mengalir membasahi pakaian yang dikenakannya.
Setelah beberapa saat memandang Bong Mini, lelaki setengah baya itu melangkah ke arahnya dengan ter-huyung-huyung.
Bong Mini yang sejak tadi terpana menyaksikan lu-ka yang diderita lawannya segera sadar dan memasang kuda-kuda kembali ketika lelaki yang menjadi lawannya itu melangkah mendekati.
Tapi saat itu pula lawan-lawannya memberi aba-aba kepada Bong Mini agar tidak menyerangnya.
Hingga akhirnya Bong Mini membatalkan niat untuk menyerang.
Namun sikapnya tetap waspada.
Khawatir jika lawannya itu bersikap curang seperti yang pernah dialaminya ketika bertempur melawan Kepala Desa Lumajang.
"Nona..., hegh!"
Ucap lelaki setengah baya itu de-ngan wajah seperti menahan sakit di dalam tubuhnya.
"Kau telah beruntung mendapatkan Pedang Pusaka Teratai Merah. Padahal hampir semua tokoh persilatan mendambakan pedang tersebut walaupun harus melakukan puasa mutih dan tapa selama empat puluh hari empat puluh malam. Namun karena niat mereka buruk, tidak seorang pun dari mereka yang berhasil bertemu dengan pemiliknya, Putri Teratai Merah. Kini pedang yang menjadi rebutan itu sudah berada di ta-nganmu. Karena itu berhati-hatilah kau membawanya. Sebab selain aku, tentu masih ada lagi orang yang ingin merebut pedang pusaka itu!"
Selesai berkata begitu, tubuh lelaki itu ambruk seperti sebatang balok.
Bong Mini yang sejak tadi tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan lelaki itu, kini setengah berlari mendekati tubuhnya.
Ketika ia memeriksa, ternyata lelaki setengah baya itu sudah tewas akibat serangan ilmu batin 'Tiga Raksa' yang mengguncangkan seluruh isi tubuhnya.
*** Selama dalam perjalanan menuju ke rumahnya, Bong Mini kerap berhadapan dengan orang-orang sesat atau tokoh-tokoh hitam yang hendak merebut Pedang Pusaka Teratai Merah miliknya.
Namun dengan ilmu kesaktian yang sekarang dimilikinya, ia mampu meng-gagalkan niat buruk para tokoh hitam.
Tidak heran ji-ka sekarang ini sepak-terjangnya mulai dikenal oleh masyarakat banyak, terutama oleh orang-orang dunia persilatan.
Bukan saja karena ilmu kesaktian yang dimilikinya, tetapi juga karena Pedang Teratai Merah yang selalu tersandang di punggungnya.
Karena memang pedang itu yang menjadi pusat perhatian dan dambaan orang-orang dunia persilatan.
"Kita berpisah di sini!"
Ucap Bong Mini ketika kakinya menginjak tanah pesisir Selat Malaka.
"Bagaimana kalau aku langsung ikut serta ke ru-mahmu?"
Ucap Baladewa mengusulkan. Sesungguh-nya hatinya berat untuk berpisah dengan gadis yang selama ini membuat hatinya terkekang asmara.
"Jangan!"
Sahut Bong Mini cepat.
"Kenapa?"
"Papaku galak!"
"Kebetulan. Aku pernah menjadi pawang, jadi tahu bagaimana cara menjinakkannya!"
Canda Baladewa sambil mengembangkan senyumnya. Hati Bong Mini mendadak berdetak tak menentu ke-tika melihat senyum pemuda itu. Senyum lembut yang selama ini selalu membuat hatinya bergetar tak menentu.
"Jangan bercanda, ah!"
Entah perasaan apa yang berkecamuk dalam diri Bong Mini saat itu.
Karena se-cara tiba-tiba, wajah dan ucapannya yang selalu ketus mendadak berubah lembut.
Selembut kulitnya yang putih mulus.
Mengetahui perubahan sikap Bong Mini yang dras-tis itu, Baladewa senang bukan main.
Namun bukan berarti ia harus seenaknya berbicara dengan gadis itu.
Karena pikirnya, gadis cantik bertubuh mungil itu mempunyai sifat musiman seperti alam yang kadang-kadang hujan, terkadang panas.
Begitu pula dengan sifat Bong Mini yang suka berubah-ubah.
Hari ini ramah, besoknya masam atau sebaliknya.
Oleh karena itu Baladewa selalu menahan diri pada keinginan-keinginan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan gadis yang membuatnya kasmaran itu.
"Aku serius!"
Kata Baladewa.
"Sudah, ah! Kita berpisah dulu sekarang. Nanti kita pun akan berjumpa lagi!"
Ucap Bong Mini.
"Baiklah kalau itu sudah kehendakmu. Aku pun sudah rindu pada kedua orangtuaku!"
Balas Baladewa.
Padahal sesungguhnya hatinya ingin selalu berdekatan Bong Mini.
Setelah mencapai kata sepakat, akhirnya kedua pemuda yang sama-sama menyimpan bara asrama itu berpisah, mengambil jalan masing-masing.
Bong Mini mengambil arah sebelah kiri sedangkan Baladewa berjalan ke arah kanan.
*** Matahari di cakrawala telah terdiri tegak lurus.
Si-narnya memancar garang, menyengat sampai ke kulit kepala.
Di bawah pancaran sinar matahari yang demikian terik itu, Bong Mini terus melangkah menuju rumah-nya.
Sepanjang perjalanan, hatinya selalu merasa di-kungkung kesepian yang teramat sangat.
Ada apa gerangan dengan hatiku? Tanya hati Bong Mini.
Karena baru kali ini ia merasakan kesepian yang begitu mengusik hati dan pikirannya.
Dari jarak yang agak jauh di belakangnya, tanpa disadari deh Bong Mini seorang pemuda tampak meng-awasinya.
Pemuda itu cukup tampan.
Berbadan se-dang dengan umur sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya seperti seorang terpelajar namun di bagian dada bajunya yang berwarna kuning muda itu ada sebuah lukisan seekor naga emas.
Rambutnya panjang dan di-ikat di tengah kepala.
Sedangkan kumisnya yang tipis itu tampak terpelihara dengan baik.
Pakaiannya pun bagus dan bersih, terbuat dari bahan sutera halus.
Sepatu yang dikenakan kakinya tampak terpelihara.
Ditambah lagi dengan sepasang matanya yang sipit dan berbinar-binar, membuat penampilan pemuda itu semakin menarik.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, sampai-lah Bong Mini di halaman rumahnya.
Tapi ia sangat terkejut melihat rumahnya yang porak-poranda.
Dan sebelum ia berpikir lebih lanjut mengenai apa yang terjadi terhadap rumahnya itu, tiba-tiba tubuhnya terjatuh lemas dan tak sadarkan diri.
Seolah-olah ada sesuatu benda beracun yang menusuk tubuhnya.
Pemuda yang sejak tadi membuntuti Bong Mini tampak terkejut ketika melihat gadis yang dibayanginya itu roboh.
Matanya liar memandangi sekeliling.
Ia merasa ada orang lain di sekitar tempat itu.
Apa yang diduga pemuda itu ternyata benar.
Karena setelah Bong Mini tergeletak di tanah, empat lelaki berpakaian rompi hitam keluar dari balik semak-semak dan berlari meninggalkan tempat itu.
Melihat empat lelaki berbaju rompi meninggalkan tempat itu, pemuda tampan tadi segera mengejarnya.
Dia yakin, pasti mereka yang telah membuat gadis yang dibuntutinya roboh.
Karena lari keempat orang itu tidak begitu cepat, akhirnya pemuda yang memiliki lukisan Naga Emas di bagian dada bajunya dapat menyusul mereka.
"Berhenti!"
Tahan pemuda itu saat mendahului langkah mereka lalu berdiri menghadang keempat orang berbaju rompi yang dicurigainya.
Keempat lelaki yang dihadang serentak menghenti-kan langkah.
Mereka berdiri tegang, memandang peng-hadangnya dengan tatapan mata yang tajam dan liar.
"Siapa kau dan mengapa menghalangi perjalanan kami?!"
Tanya salah seorang di antara mereka dengan suara parau.
"Phuih! Seharusnya aku yang bertanya; mengapa kalian berbuat kejam terhadap gadis yang hendak memasuki pintu gerbang itu!"
Sentak pemuda itu, langsung menuduh.
"Itu urusanku!"
Sahut lelaki tadi.
"Kalau memang urusanmu, baik. Tapi kau tidak bi-sa melepaskan tanggung jawab perbuatanmu begitu saja!"
Balas pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada bagian dada bajunya.
"Hm..., lalu apa maumu, tikus busuk?!"
Maki lelaki itu mulai geram.
"Aku hanya ingin membalas perbuatanmu terhadap gadis itu!"
Sahut pemuda itu dengan sikap gagah.
"Apa kau punya kepandaian sehingga berani me-nantangku?"
Bentak lelaki itu dengan sorot mata yang mencorong.
Pemuda tampan yang memiliki lukisan naga emas di bajunya melangkah maju menghampiri mereka de-ngan langkah yang tegap, tanpa rasa takut sedikit pun.
Malah wajahnya yang tampan itu kelihatan berseri-seri memandang orang yang berada di hadapannya seorang demi seorang.
Kemudian, setelah dirinya terkurung keempat lelaki yang dihadangnya, pemuda itu berkata.
"Bila kalian hendak mencoba, silakan berhadapan denganku!"
"Pemuda sombong!"
Bentak lelaki lain.
Bersamaan dengan itu tubuhnya sudah menerjang ke depan de-ngan totokan jari-jari tangan yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan pemuda yang diserangnya.
Wes wes wes! Serangan lelaki itu dapat dielakkan dengan baik.
Malah ketika tubuhnya mengelak dari lawan, pemuda tadi berseru keras disertai pukulan balasan yang menyambar-nyambar.
Mendapat satu serangan maut lelaki yang mengi-rimkan serangan menotok tadi segera mengelak lincah.
Kemudian ia balas menendang dari kiri yang dapat dielakkan juga oleh lawannya.
Dibalas dengan tendan-gan oleh pemuda itu.
Des! Dukkk! Tendangan si pemuda tepat mengenai selangkangan lawan, sehingga ia kelojotan dan jatuh bergulingan di tanah menahan sakit.
"Jahanam! Rupanya kau benar-benar hendak ber-tempur dengan kami!"
Geram seorang yang lain ketika melihat lelaki tadi masih berguling-gulingan tak beda dengan seekor ayam yang disembelih. Lalu ia meloncat ke depan dan berhadapan dengan pemuda itu.
"Segeralah menyerang jika kau memiliki ilmu yang lebih tinggi dari temanmu itu!"
Kata pemuda itu memancing amarah lawannya.
"Setan buduk! Akan kurobek mulutmu yang som-bong itu!"
Geram lelaki itu seraya mencabut pedang.
Kemudian tubuhnya segera melabrak ke depan dengan pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh pemu-da itu.
Mendapat serangan pedang yang demikian gencar dari lawannya, pemuda tadi segera mencabut pedang-nya pula untuk menahan serangan senjata lawan.
Trang trang trang! Tubuh lelaki itu terguling dengan kecepatan deras.
Sebab pedang lawan yang dipergunakan untuk me-nangkis ternyata disertai pengerahan tenaga dalam.
Sehingga pada saat senjatanya beradu, tubuh lelaki itu langsung terpental disertai tangannya yang perih.
Dua orang temannya yang sejak tadi menyaksikan pertempuran itu segera melompat ke depan menge-pung pemuda itu ketika menyadari bahwa pemuda itu terlalu tangguh jika dihadapi satu lawan satu.
Sementara itu, lelaki pertama yang tadi bergelinjang menahan sakit pada selangkangannya segera bangkit kembali dan turut mengepung pemuda itu.
Sehingga terjadilah pertempuran yang tak seimbang.
Satu lawan empat.
"Aku ingin mengetahui sampai di mana keheba-tanmu itu!"
Selesai berkata begitu seorang lelaki yang menjadi ketua segera menerjang lawannya dengan ayunan tongkat yang tergenggam di tangan kanan.
Begi-tu pula dengan ketiga temannya yang lain.
Mereka serentak bergerak untuk melakukan tindakan yang se-rupa.
Pemuda yang memiliki lukisan naga emas pada ba-junya segera mengelakkan ayunan tongkat itu dengan menerobos masuk ke depan sambil mengayunkan pedangnya dengan gerakan membacok ke arah salah seo-rang lawan yang bersenjatakan tongkat hitam itu.
Mengetahui pemuda itu akan membacok dirinya, le-laki yang bersenjata tongkat segera memiringkan tubuhnya.
Sedangkan tongkat yang digenggamnya berge-rak menghajar kepala lawan.
Namun pemuda itu cepat menghindar dengan cara bergulingan.
Beberapa saat kemudian, suasana di sekitar tempat itu telah ramai oleh benturan senjata mereka.
Menciptakan suara yang nyaring dan keras.
Dalam suasana pertempuran yang dahsyat itu, tiba-tiba lelaki bersenjata tongkat memutar tongkatnya demikian cepat, sehingga senjata itu berubah menjadi seperti baling-baling.
Dari putaran tongkat itu timbul desingan angin yang amat keras dan dingin.
Dengan tangan yang masih memutar tongkatnya, lelaki itu bergerak maju menyerang lawannya.
Untuk beberapa saat lawan yang diserang kebi-ngungan.
Ia tidak tahu bagaimana cara membalasnya.
Namun karena putaran tongkat itu telah menyerang-nya, pemuda itu akhirnya menghindar ke belakang.
Tapi tongkat hitam yang tadi berputar-putar, mendadak bergerak menyodok ke arah tubuhnya, sehingga ia harus menangkis dengan pedang yang digenggamnya.
Trakkk! Aneh! Tongkat yang berukuran kecil itu tidak patah ketika berbenturan dengan pedang miliknya.
Malah dengan hebat tongkat itu menegak dan melakukan ge-rakan menotok ke arah tubuhnya yang masih bersalto menghindari serangan.
Tapi dengan cepat pula pemuda itu memperlihatkan kemahiran permainan pedang-nya lalu menangkis serangan tongkat itu.
Trakkk! Karena posisi pemuda itu tidak menguntungkan, akhirnya ia terhuyung terkena sambaran angin tong-kat yang mendesing-desing di sekitar tubuhnya.
Na-mun demikian, ia sempat mengirimkan beberapa kali serangan pedang ke arah lawan yang mengeroyoknya.
[] "Aaakh...!"
Seorang penyerang terkena sabetan pedangnya, la-wannya terdengar mengaduh.
Disusul kemudian de-ngan tubuhnya yang ambruk tanpa dapat berkutik la-gi.
Melihat seorang temannya tewas oleh pedang lawan, tiga orang lain menjadi geram.
Mereka segera melakukan serangan dengan membabi-buta.
Seluruh kemam-puan tempur mereka kerahkan.
Tujuan mereka cuma satu, tubuh lawan.
"Aaakh...!"
Seorang dari mereka kembali mengaduh kesakitan karena pergelangan tangannya terhantam sinar merah.
Rupanya pemuda itu telah melancarkan pukulan sinar merahnya yang sangat hebat.
Tapi walau demikian, ia pun tidak luput terkena hantaman tongkat lawannya.
Deg! Ujung tongkat lawan menghantam dadanya hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Dalam keadaan itu, lawan yang memiliki senjata tongkat hitam kembali mencecar.
Namun dengan cepat pemuda itu mengibaskan tangannya.
Membuat serangan tong-kat lawan terhenti karena terkurung sinar merah yang keluar dari telapak tangannya.
Lelaki pemegang tongkat berkelit dan mengguling-kan tubuhnya.
Sedangkan tangannya segera diki-baskan ke arah pemuda itu.
Bersama dengan itu terlihat jarum-jarum beracun meluncur cepat ke arah la-wan.
Namun pemuda itu tidak kalah tangkas.
Ia kembali mengibaskan tangannya untuk menahan serangan ja-rum beracun milik lawannya.
Sehingga senjata rahasia itu hangus terbakar oleh gulungan sinar merah yang dikeluarkan tangan pemuda itu.
Melihat serangannya gagal, lelaki itu melemparkan tongkat ke arah lawannya dengan keras.
Kali ini pemuda itu pun bergulingan menghindarinya.
Creb! Tongkat hitam itu menancap dalam di tanah hingga sampai setengahnya.
Disusul kemudian dengan sabe-tan sebuah pedang yang dilancarkan oleh seorang temannya yang lain.
Membuat pemuda itu terus bergu-lingan menghindari serangan kedua orang lawannya yang terasa begitu tangguh.
Namun pada saat bergu-lingan itu, dia mendapatkan peluang untuk melancarkan serangan pedang kepada salah seorang penye-rangnya.
Bet! "Aaa...!"
Saking bernafsunya hendak membunuh pemuda yang masih bergulingan, lelaki yang menggunakan sebilah pedang tidak menyadari kalau pada saat tubuh lawan bergulingan, pemuda itu melancarkan serangan pedangnya ke arah lawan dan tepat mengenai paha kanannya.
Sehingga lelaki itu terjatuh dan tak bisa bangkit kembali karena paha kanannya hampir putus.
Dengan terjatuhnya lelaki itu, tentu saja telah memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk memperbaiki posisi tubuhnya.
Cepat-cepat ia berdiri, sekian detik kemudian ia mulai membuka jurus yang disebut dengan 'Seribu Tangan Bayangan'.
Kalau di-amati benar-benar, jurus itu tampak berasal dari Tiongkok yang merupakan kombinasi dari jurus 'Tanpa Bayangan' dengan jurus 'Angin Ribut' hasil ciptaannya sendiri.
Sehingga tercipta sebuah jurus yang amat ce-pat, memikat dan berbahaya bagi siapa saja yang menjadi lawannya.
Kini kedua lelaki yang berbeda usia itu berdiri saling berhadapan dengan mata yang sama-sama mena-tap tajam dan penuh waspada.
Seakan mencari kele-mahan lawan.
Lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot yang me-mang telah bernafsu hendak menghabisi nyawa pemu-da itu segera melancarkan serangan yang begitu cepat dan penuh tenaga.
Namun serangan itu segera disambut oleh lawannya dengan sebuah tangkisan yang pe-nuh dengan tenaga pula.
Desss...! Dua pukulan itu berbenturan, disusul sebuah sodo-kan ke ulu hati lelaki itu.
Tapi dengan cepat ia pun menarik tangannya dan memapak sodokan tangan pemuda tadi dengan gaya membacok.
Dilanjutkan dengan memutarkan tubuhnya sambil menendang lu-rus ke wajah pemuda itu dengan kecepatan melebihi serangan pemuda yang menjadi lawannya.
Pemuda itu mengelak dengan cara menundukkan badannya agak ke samping.
Kemudian dilanjutkan dengan tubuhnya yang bergulingan karena kaki la-wannya telah bergerak kembali ke arahnya.
Benar-benar sebuah jurus kungfu yang sangat bagus dan menarik.
Di saat keduanya saling baku hantam, tiba-tiba terdengar suara menderu.
Disusul kemudian dengan sua-ra ringkik kuda yang mendekati mereka, membuat dua orang tangguh yang tengah bertanding itu menghentikan serangan lalu menoleh pada rombongan orang berkuda yang sudah mengelilingi mereka.
Siapakah pasukan berkuda yang baru tiba terse-but? Siapa pula pemuda yang memiliki lukisan naga emas di baju bagian dadanya? Bagaimanakah nasib Bong Mini yang roboh begitu saja? Apa yang terjadi sebenarnya? Ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode.
'Iblis Pulau Neraka'! SELESAI Scan/Edit.
Clicker PDF.
Abu Keisel Document Outline *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** *** *** *** *** 6 *** *** *** 8 *** *** 9 *** SELESAI
Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP