Sepasang Pendekar Selatan 1
Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Bagian 1
SEPASANG PENDEKAR DARI SELATAN oleh D.
Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Di pesisir utara Pulau Bangka, berdiri sebuah ru-mah kuno yang sudah tidak utuh lagi.
Di beberapa ba-gian temboknya sudah banyak yang runtuh.
Namun tembok yang mengelilinginya masih kelihatan kokoh, mirip sebuah benteng pertahanan.
Bangunan kuno itu dihuni oleh seorang pemimpin yang bernama Bong Kian Fu, seorang keturunan Tionghoa berkebangsaan Manchuria.
Ia berbadan pen-dek, tetapi besar dan berotot.
Rambutnya yang pan-jang selalu diikat ekor kuda.
Begitu pula janggutnya yang tipis dibiarkan panjang sampai sebatas dada.
Sedangkan mata hitamnya yang sipit serta tajam itu memberikan suatu kesan keangkeran, sehingga ba-nyak orang tak mampu beradu pandang lebih lama.
Sebenarnya bukan hanya Bong Kian Fu sendiri yang menghuni rumah itu, tetapi juga ditemani oleh puluhan anak buah yang masih kelihatan muda dan gagah.
Juga oleh putri satu-satunya yang bernama Bong Mini, berumur kurang lebih enam belas tahun.
Ia diberi nama Bong Mini karena perawakannya yang mungil.
Bong Mini mempunyai wajah yang sangat cantik.
Berkulit putih mulus seperti kebanyakan wanita Tionghoa.
Di atas matanya yang hitam dan sipit, terukir alis mata yang lebat dan panjang.
Mirip dengan bentuk ujung pedang.
Rambutnya yang hitam dan panjang, selalu dibiarkan lepas tergerai dengan bagian depan-nya disisir poni sebatas alis.
Sedangkan bibirnya yang merah dan segar tampak selalu basah, sehingga siapa pun yang melihatnya pasti tertarik.
Sebagai gadis yang beranjak remaja sudah tentu Bong Mini ingin tampil menarik.
Khususnya dalam hal memilih pakaian.
Menurutnya, walaupun cantiknya seseorang bila tak ditunjang dengan pakaian yang rapi dan cocok, maka kecantikan itu akan kehilangan daya tariknya.
Sehingga dalam berpakaian Bong Mini selalu memilih warna-warna yang sesuai kulitnya.
Biru serta merah merupakan warna yang sangat ia sukai.
Kehadiran Bong Kian Fu bersama pengikutnya di si-tu, sebenarnya hanya merupakan pelarian.
Waktu itu, di negerinya ia mengadakan pembangkangan terhadap kaisar dengan menolak pemungutan pajak pada ra-kyat.
Dia menilai bahwa jumlah pajak yang diminta kaisar terlalu besar dan ia tidak sampai hati untuk memeras harta rakyat yang sudah demikian miskin.
"Ampun, Baginda! Hamba tak dapat melaksanakan perintah yang mulia!"
Ucap Bong Kian Fu ketika itu, saat ia menghadap kaisar tanpa upeti.
"Kenapa?"
Tanya kaisar penuh amarah.
"Upeti yang Tuanku minta terlalu besar jumlahnya. Sedangkan mereka sendiri hidup serba kekurangan. Hamba tidak sampai hati melaksanakannya!"
Jawab Bong Kian Fu dengan sikap hormat. Mendengar jawaban itu, kaisar bukan berpikir, tapi malah murka kepada Bong Kian Fu. Dengan mata me-rah menahan marah, sang Kaisar berkata dengan ke-ras.
"Bong Kian, kamu tahu tugasmu di sini?!"
"Hamba mengerti, Yang Mulia!"
Sambut Bong Kian Fu seraya membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.
"Kalau kamu mengerti, laksanakan perintahku!"
Hardik kaisar sambil mengacungkan tangannya.
"Tapi..."
"Bong Kian Fu, masalah rakyat adalah urusanku. Aku adalah raja di negeri ini. Sedangkan urusanmu mengikuti segala perintahku!"
Potong kaisar dengan suara berapi-api.
"Baik, Tuanku! Hamba akan laksanakan!"
Setelah berkata begitu, Bong Kian Fu segera meninggalkan is-tana raja.
Sepulangnya Bong Kian Fu dari istana, ia segera mengumpulkan beberapa wakil rakyat di rumahnya.
Para wakil rakyat yang datang ke sana saling ber-pandangan dan saling bertanya mengenai undangan Bong Kian Fu itu.
Sebab tidak biasanya orang keper-cayaan kaisar seperti Bong Kian Fu mengumpulkan banyak orang di rumahnya.
Biasanya ia bertemu rak-yat kalau memungut upeti saja.
"Aku mengucapkan terima kasih kepada para wakil rakyat Manchuria yang telah memenuhi undangan ini,"
Ucap Bong Kian Fu, membuka pertemuan. Para wakil rakyat yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu duduk bersila dengan tegak sambil memandang sungguh-sungguh wajah Bong Kian Fu.
"Aku mengundang Saudara semua ke sini karena ada sesuatu yang ingin dimusyawarahkan,"
Lanjut Bong Kian Fu lagi seraya menatap wajah orang-orang yang hadir satu persatu, ingin mengetahui reaksi me-reka.
"Sebagai rakyat Manchuria, kalian tak akan bisa ke-luar dari upeti yang telah ditentukan oleh kaisar kita. Sedangkan ketentuan upeti itu terasa benar mencekik leher kita. Susah-payah kita menanam padi dan me-nuainya, tapi hasilnya diserahkan kepada raja. Begitu seterusnya tanpa ada perubahan. Sedangkan aku sendiri yang langsung memungut upeti kepada kalian me-rasa tidak tega melihat penderitaan rakyat. Oleh kare-na itu, hari ini kita harus mencari jalan keluarnya,"
Kata Bong Kian Fu mengajak. Orang-orang yang hadir di situ saling berpandangan satu dengan yang lain. Lalu kembali memandang Bong Kian Fu dengan wajah berseri.
"Untuk menghindari upeti yang demikian banyak, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali pergi dari negeri ini. Bagaimana, apa kalian setuju?"
Orang-orang yang hadir kembali berpandangan, seolah-olah minta pendapat satu sama lain.
"Apakah mungkin kita bisa keluar dari negeri ini, Kapten Kang?"
Tanya salah seorang yang hadir di situ.
"Kenapa tidak? Apabila rakyat setuju dan bersatu, kita pasti bisa lolos dengan selamat. Walaupun harus berhadapan dulu dengan para prajurit raja,"
Jawab Bong Kian Fu memberi semangat. Orang-orang yang hadir di situ masih diam. Mereka saling menunggu komentar dari yang lain.
"Bagaimana, setuju?"
Tanya Bong Kian Fu menatap mereka satu persatu. Mata mereka kembali saling berpandangan. Tidak ada yang berani menyahut Masing-masing menanti ja-waban dari temannya.
"Saya setuju, Kapten Kang,"
Cetus salah seorang yang hadir sambil mengacungkan telunjuknya ke atas.
"Namun kami juga harus menghubungi yang lain."
Bong Kian Fu mengangguk-angguk.
"Yang lain?"
"Kami setuju!"
Sahut mereka serempak, akhirnya. Bong Kian Fu tersenyum senang dengan jawaban itu. Berarti gagasannya diterima. Tinggal menunggu kesepakatan penduduk lain yang tidak hadir di situ.
"Baiklah. Sekarang kalian tinggal menghubungi penduduk lain. Kalau mereka setuju, kita segera pin-dah. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk berta-han lebih lama di sini,"
Kata Bong Kian Fu, menutup pembicaraannya.
Setelah acara ditutup, orang-orang yang hadir da-lam musyawarah tadi segera keluar untuk mendatangi rumah penduduk satu persatu.
Membujuk agar mere-ka mau meninggalkan Kerajaan Manchuria dan men-cari penghidupan yang baru.
Usul Bong Kian Fu untuk mengadakan pemberon-takan dan lari dari negeri itu ternyata mendapat du-kungan dari rakyat Mereka yang dulu membenci Bong Kian Fu karena menjadi utusan raja dalam pemungu-tan pajak, kini bergabung dengan Bong Kian Fu.
Untuk melaksanakan rencananya itu memang tidak begitu mudah.
Bong Kian Fu bersama pengikutnya ha-rus menghadapi puluhan prajurit raja yang mengha-dang di sekitar pesisir laut, tempat Bong Kian Fu dan pengikutnya akan melarikan diri.
Melihat puluhan prajurit raja yang berjajar mem-buat pagar betis di sekitar tepi laut, Bong Kian Fu bu-kannya takut, malah menjadi berang.
Kegagahannya sebagai panglima perang ketika masih mengabdi pada raja kembali mencuat.
Matanya yang hitam dan tajam yang selama ini membuat lawan gemetar, kini terlihat berkobar.
"Mau apa kalian!"
Bentak Bong Kian Fu dengan su-ara menggelegar. Wajahnya terlihat tegang menahan marah. Seorang utusan raja yang menggantikan Bong Kian Fu sebagai panglima perang tertawa terbahak-bahak.
"Kami hendak mengikuti perintah kaisar!"
Jawab panglima perang itu setelah menghentikan tawanya.
"Kalau kalian hendak menghalangi kepergian rakyat Manchuria, aku akan menentangnya!"
Ujar Bong Kian Fu tanpa rasa gentar sedikit pun. Panglima perang itu kembali tertawa terbahak-bahak.
"Kau jangan mimpi, Bong Kian Fu. Dulu kau dis-ebut Kapten Kang karena kehebatanmu menumpas musuh sebagai panglima perang. Dan kemenangan itu pun karena bantuan para prajurit raja. Jadi, sekarang ini kau tidak lagi mendapat sebutan Kapten Kang karena sebentar lagi sebutan itu akan kurebut!"
Teriak panglima perang yang baru itu.
"Boleh saja kau menyandang gelar Kapten Kang ka-lau kau mampu melangkahi mayatku!"
Tantang Bong Kian Fu dengan sikap tenang. Namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu panas di telinga panglima perang.
"Bangsat! Serbu...!"
Panglima perang itu memberi-kan aba-aba kepada prajuritnya dengan suara yang menggelegar.
Puluhan prajurit kerajaan yang sejak tadi duduk di punggung kuda dengan tombak panjang di tangan, se-rentak menyerang Bong Kian Fu dan pengikutnya.
Te-riakan riuh rendah mengiringi suara derap langkah kuda.
Bong Kian Fu bersama pengikutnya tidak tinggal di-am.
Bersama pengawal kepercayaannya Ashiong, Achen, dan Sang Piao segera disambutnya serangan itu dengan gesit.
Trangngng! Puluhan senjata dari arah yang berlawanan saling beradu dengan keras.
Mereka menangkis serangan masing-masing dengan lihainya.
Pedang dengan tom-bak atau pedang dengan pedang saling memapaki, menjaga hantaman senjata yang siap menerkam jiwa lawan.
Bong Kian Fu yang ketika jadi panglima perang du-lu, memang tidak sia-sia mendapat sebutan Kapten Kang.
Kelincahan dan keberaniannya di medan perang sudah tak diragukan lagi.
Setiap ayunan pedang yang diarahkan ke tubuh lawan selalu berhasil mengenai sasaran.
Itulah Bong Kian Fu.
Di rumah ia menjadi seorang suami dan bapak yang baik dan lembut.
Se-dangkan di tengah peperangan, ia akan berubah men-jadi singa lapar yang siap menerkam mangsanya.
Brettt! Blesss! Pedang Bong Kian Fu yang telah banyak menelan korban kembali bersarang pada leher dan dada dua orang prajurit kerajaan.
Sehingga dalam waktu sing-kat, tubuh kedua orang prajurit itu rebah di perut bu-mi dengan tubuh bersimbah darah.
"Hei, Panglima pengecut, majulah! Jangan diam se-perti kambing congek begitu!"
Teriak Bong Kian Fu, sengaja memanasi panglima kerajaan yang sejak tadi hanya duduk di punggung kuda sambil menyaksikan prajuritnya yang mati-matian membela diri.
Mendengar teriakan Bong Kian Fu yang mengan-dung ejekan itu, panglima perang segera menerjang ke arah Bong Kian Fu dengan wajah beringas penuh marah.
"Hiaaat!"
Panglima perang mengarahkan pedangnya ke tubuh Bong Kian Fu.
Tapi karena Bong Kian Fu telah berpe-ngalaman dalam peperangan, serangan panglima itu dapat digagalkan dengan meloncat dari punggung ku-da.
Lalu segera berdiri tegak di atas tanah dengan gagah, siap menghadapi serangan lawan.
Menyadari dirinya dalam posisi yang menguntung-kan, panglima segera menerjang Bong Kian Fu bersa-ma kudanya.
"Hiaaat!"
Bong Kian Fu mengelak dengan bertiarap sambil mengarahkan pedangnya mendatar, hingga menggores kaki kuda.
Membuat kuda tunggangan panglima me-lompat-lompat sambil meringkik menahan sakit.
*** Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu-ran itu menjadi terkagum-kagum melihat kepandaian papanya dalam memainkan pedang.
Ingin ia turut ser-ta ke medan pertempuran itu, tapi ia ingat mamanya harus ditemani.
Sehingga ia tetap duduk di kereta ku-da, di samping mamanya.
Brettt! Tiba-tiba tirai penutup kereta kuda dirobek orang.
Ternyata orang yang merobek tirai kereta kuda itu seorang prajurit raja.
Dia tampak duduk di atas kuda sambil menyeringai ke arah Bong Mini.
"Benar-benar cantik putrinya Kapten Kang,"
Ucap prajurit itu sembari menjilat bibirnya. Bong Mini yang melihat kehadiran prajurit raja itu menjadi pucat Duduknya menggeser ke belakang. Bu-kan karena takut, melainkan untuk menjaga kesela-matan mamanya..
"Mari, kita bersembunyi di rumahku!"
Kata prajurit itu sambil terus menyeringai.
"Tidak baik wanita cantik seperti kalian berada di medan pertempuran."
Bong Mini melotot geram. Wajahnya yang cantik dan putih itu berubah merah menahan marah.
"Wah, gadis cantik sepertimu kalau marah pasti bertambah cantik,"
Rayu prajurit itu seraya mendekat.
"Menjauhlah kamu. Aku akan bersikap keras kalau kau mengganggu kami!"
Bentak Bong Mini dengan me-lototkan matanya.
Prajurit itu tertawa berderai.
Dan pada kesempatan itu, Bong Mini melancarkan serangan dengan menen-dang dada sang Prajurit.
Bug! Prajurit yang tertawa tadi terpental dari punggung kuda sambil menahan sakit di dadanya.
Sedangkan dari mulutnya menetes darah segar, akibat tendangan Bong Mini yang begitu keras.
"Bocah perempuan sialan! Dibujuk halus malah ku-rang ajar!"
Kata prajurit itu sambil mengusap darah yang ada di mulutnya. Kemudian dengan wajah tegang menahan marah, kakinya melangkah mendekati Bong Mini.
"Mama, diamlah di sini. Saya akan membereskan prajurit yang genit ini,"
Kata Bong Mini kepada ma-manya. Tubuhnya langsung meloncat keluar dari kere-ta kuda, siap untuk bertempur.
"Sebaiknya Nona menyerah saja. Sia-sia perlawanan Nona,"
Tiba-tiba terdengar suara lelaki dari arah bela-kangnya.
Dan ketika menoleh, wajahnya berubah me-merah.
Sebab lelaki itu seorang prajurit kerajaan.
Berarti ia menghadapi dua orang lawan sekaligus.
Tanpa diduga oleh prajurit tadi, Bong Mini melan-carkan serangan berupa tendangan, dan tepat bersa-rang pada daerah larangan.
Sehingga prajurit itu men-gaduh sambil memegangi 'burung' kesayangannya.
Melihat temannya meringis-ringis di tanah, prajurit yang mengeluarkan darah dari mulutnya menjadi naik pitam.
Ia menyerang Bong Mini dengan beringas.
Bong Mini yang memang sudah menguasai jurus-jurus ilmu papanya, dengan mudah dapat menghindari serangan lawan itu.
Lalu tubuhnya bersalto sambil melancarkan serangan balik.
Tapi kali ini serangannya sia-sia karena musuhnya dengan mudah dapat meng-hindar dengan berkelit ke samping.
Dan ketika ia berdiri tegak, di hadapannya telah berdiri tiga orang pra-jurit lain.
Jadi, kini ia berhadapan dengan empat orang lawan.
Hm, aku harus sungguh-sungguh melawan mereka, gumam Bong Mini dalam hati.
Lalu dengan gerak yang tangkas ia mencabut pedang yang tersandang di pung-gungnya.
"Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Nona!"
Saran seorang prajurit yang baru datang itu.
"Cih!"
Bong Mini meludah geram.
"Majulah kalau kalian memang laki-laki!"
"Saya tidak ingin melukai tubuh Nona yang mulus itu. Saya hanya ingin membawa Nona dan melindungi,"
Kata prajurit tadi.."Puih! Dasar banci. Maunya hanya berhadapan dengan perempuan,"
Kata Bong Mini sambil pura-pura meninggalkan arena pertempuran.
Tapi ketika para prajurit itu hendak memburu dan merejangnya, satu tendangan yang begitu cepat mendarat pada tubuh seorang prajurit, disusul dengan sabetan pedangnya.
Brettt! Ujung pedang Bong Mini menebas perut seorang la-wan.
Sehingga pada detik itu juga, prajurit yang terkena sabetan pedangnya jatuh tersungkur dengan isi perut yang hampir keluar.
Melihat temannya mati mengenaskan, ketiga praju-rit lain menjadi naik pitam.
"Aku tidak menyangka, perempuan secantikmu ber-hati iblis!"
Geram salah seorang lawannya sambil terus menerjang ke arah Bong Mini.
Kali ini serangan ketiga lawannya tidak main-main.
Tapi sebagai orang yang sudah terlatih dengan jurus-jurus silat, Bong Mini dapat mengelakkan serangan-serangan itu dengan baik.
Walaupun ia merasa cukup kewalahan.
*** Bong Kian Fu terus menahan serangan-serangan lawan sambil sesekali melakukan serangan.
Hal itu bukan karena ketangguhan panglima, melainkan karena ia diserang oleh lima orang lawan yang mengelili-nginya.
"Umurmu hanya sampai di sini, Bong Kian!"
Kata panglima itu, siap mengayunkan pedangnya ke arah Bong Kian Fu yang semakin terdesak. Tapi ketika ma-tanya melihat ada perempuan di dalam kereta kuda, niatnya segera diurungkan.
"Istrimu cantik juga, Bong Kian,"
Ucap panglima itu sambil terus melesat ke arah kereta kuda.
Wajah Bong Kian Fu menjadi merah mendengar ucapan panglima itu.
Lalu ia berusaha keluar dari ke-pungan para lawan untuk menyelamatkan istrinya.
Tapi karena serangan empat lawannya begitu ketat membuat ia terhalang untuk mendekati kereta kuda yang dipakai istrinya.
"Tolong! Bong Mini! Papa, tolooong!"
Bong Mini yang tengah sibuk melawan tiga prajurit raja menoleh ke arah kereta kuda. Di sana ia melihat mamanya tengah dirangkul paksa oleh panglima.
"Bangsat. Panglima bejat!"
Geram Bong Mini sambil meluruk ke arah mamanya yang sudah berada di atas pundak panglima.
Siap untuk dibawa lari.
Langkah Bong Mini terhalang oleh serangan ketiga lawannya.
Sehingga ia terpaksa harus meladeni ketiga lawannya itu dengan ganas.
Kilatan-kilatan pedangnya menari-nari di udara saat tertimpa cahaya matahari.
*** Sinyin meronta-ronta dalam dekapan panglima.
Te-tapi semakin ia meronta, semakin kuat panglima me-meluknya sambil terus berusaha untuk menciumi wa-jah Sinyin yang memang cantik dan menggiurkan.
Ketika panglima kerajaan begitu bernafsu hendak mencumbui Sinyin, tiba-tiba mulutnya berteriak kesa-kitan sambil melepaskan pelukannya.
Ternyata Sinyin berhasil menggigit bibir panglima dengan keras.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Sinyin se-gera melepaskan diri dari pelukan panglima.
Ia berlari sekencang-kencangnya.
Namun karena ia seorang perempuan yang tidak mempunyai kepandaian silat, ak-hirnya ia tersusul oleh panglima.
"Kau tidak akan dapat meloloskan diri dari deka-panku, Perempuan Cantik,"
Kata panglima sambil ter-kekeh-kekeh.
"Jangan! Jangan sentuh aku!"
Sinyin mundur keta-kutan ketika panglima itu melangkah mendekatinya. Panglima kerajaan itu kembali terkekeh-kekeh.
"Hanya lelaki bodoh yang melepaskan perempuan cantik begitu saja!"
Desis panglima itu sambil mendekap tubuh Sinyin dan merobek baju yang dikenakan-nya.
Brettt! Baju bagian depan Sinyin terbuka.
Sehingga da-danya yang membusung ke depan jelas terlihat oleh panglima.
Panglima itu semakin tergetar hatinya melihat ke-montokan dada Sinyin.
Dengan jiwa yang sudah diku-asai nafsu iblis ia segera menjarah tubuh Sinyin.
Ia berusaha untuk dapat menyentuh dua buah bukit yang putih dan montok itu.
Sinyin terus meronta-ronta sambil berusaha melin-dungi dua buah bukitnya.
Tapi apa yang dilakukannya sia-sia.
Karena setiap kali Sinyin berontak, saat itu pu-la birahi panglima terangsang.
Sinyin benar-benar tak berdaya.
Tenaganya sudah habis terkuras.
Panglima mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk melucuti pakaian Sinyin dengan tenang.
Namun ketika ia hendak menggagahi, tiba-tiba pedang yang ditaruhnya di sisi Sinyin bergerak menembus perutnya.
"Akh!"
Teriak panglima menahan rasa sakit.
"Perem-puan jahanam!"
Maki panglima itu sambil mengayun-kan pukulan ke arah Sinyin dan tepat mengenai ulu hatinya.
Sehingga darah tersembur dari mulut Sinyin disertai teriakan yang mengenaskan.
Dan pada saat itu pula tubuh Sinyin ambruk tak berdaya.
Bertepatan dengan ambruknya Sinyin, tiba-tiba se-buah pukulan yang cukup keras mendarat di pung-gung panglima.
Tubuhnya langsung terhuyung lalu ja-tuh.
Tapi kemudian ia cepat bangkit dan memandang orang yang memukulnya.
Ternyata seorang gadis can-tik sedang berdiri menantang dengan gagahnya.
"Lelaki biadab! Rasakanlah seranganku ini!"
Teriak Bong Mini sambil melancarkan serangan. Tapi tidak berhasil. Membuat ia semakin bernafsu, ia terus me-lancarkan serangan dengan membabi buta.
"Mundurlah anakku. Biar papa yang menghadapi tikus busuk ini!"
Tiba-tiba Bong Kian Fu berdiri di samping Bong Mini dan langsung menerjang panglima.
Panglima prajurit yang sudah terkena tusukan pe-dang oleh Sinyin menjadi gusar.
Tapi karena tubuhnya sudah agak sempoyongan akibat banyak mengeluarkan darah, ia tidak dapat berbuat banyak.
Brettt! Pedang Bong Kian Fu menebas leher panglima de-ngan cepat dan keras.
Seketika itu juga kepala pang-lima terpisah dan badannya.
Bong Kian Fu berdiri tegak menyaksikan kepala musuhnya dengan hati puas.
Setelah itu melangkah menghampiri Bong Mini yang tengah menutup mu-kanya.
Gadis itu tidak kuasa melihat kematian pang-lima yang mengerikan.
"Di mana mamamu, Sayang?"
Bong Kian Fu me-nyentuh kedua bahu putrinya.
Bong Mini tidak menjawab.
Ia menyandarkan tu-buhnya ke dalam pelukan papanya sambil melangkah lesu ke tempat tubuh ibunya terkapar bersama ayah-nya tercinta.
Bong Kian Fu menitikkan air matanya ketika meli-hat istri yang dicintainya itu sudah tak bernyawa lagi.
Begitu pula dengan Bong Mini.
Dia menangis terisak-isak sambil memeluki tubuh Sinyin.
"Mama. Maafkan saya, Mama,"
Isak Bong Mini. Ia merasa menyesal karena terlambat menyelamatkan ji-wa mamanya yang dicintainya itu. Beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak tangis Bong Mini saja yang terdengar.
"Sudahlah, Sayang. Kematian mamamu merupakan kematian yang terhormat Mama mati karena memper-tahankan kehormatannya,"
Ucap papanya. Sesungguh-nya ia sendiri tak tahan melihat kematian istrinya itu.
"Mama tidak akan bersama-sama kita lagi, Papa,"
Ucap Bong Mini sendu. Air matanya begitu deras me-ngalir. Meliuk-liuk di pipinya bagai sungai yang mencari lautan bebas.
"Tapi cinta dan kasih sayangnya akan tetap melekat di hati kita, Sayang,"
Sahut papanya dengan suara tersendat menahan tangis.
Bong Mini tak tahan mendengar kata-kata papanya.
Ia mengangkat wajahnya dan menjatuhkan kepalanya dalam pelukan papanya sambil menangis tersedu-sedu.
Setelah beberapa lama kedua bapak dan anak ini dicekam oleh keharuan, akhirnya mereka membawa mayat Sinyin menuju kapal kerajaan yang berhasil me-reka rampas untuk dibawa ke pesisir Pulau Bangka.
Sedangkan di pinggir pantai, mayat-mayat tampak ber-gelimpangan bagai ikan laut yang terdampar.
*** "Di sini kita akan memulai hidup baru.
Dan hari ini pula, gelar Kapten Kang akan kucabut dan kuganti dengan Bongkap.
Karena di tempat ini, aku yang akan memimpin kalian!"
Seru Bong Kian Fu ketika mereka telah berada di pesisir Pulau Bangka. Ia menobatkan dirinya sebagai Bongkap yang berarti raja.
"Hidup Bongkap! Hidup Bongkap!"
Teriak para peng-ikutnya sambil mengacung-acungkan tangan.
Sedang-kan wajah mereka tampak begitu gembira karena telah terbebas dari upeti raja yang begitu mencekik leher mereka.
Dengan resminya Bong Kian Fu menjadi raja, maka seluruh pengikutnya pun mulai membenahi diri.
Se-mak belukar yang rimbun di sekitar bangunan kuno itu dibersihkan dengan cara bergotong-royong.
Rimbu-nan ilalang yang tumbuh tinggi tak beraturan dipo-tong.
Sebagian pepohonan besar pun telah mereka pangkas, agar cahaya matahari bebas bersinar ke tem-pat yang sekian lama tenggelam dalam bayangan ke-lam dan lembab karena tak dihuni oleh seorang manu-sia pun.
Terkecuali satu kilo meter dari tempat me-reka, banyak rumah penduduk berdiri dengan tanah halaman yang luas.
Setelah tanah yang sebelumnya tak terurus itu di-bersihkan, kemudian mereka sama-sama mengumpul-kan batu bata, semen, pasir, balok-balok kayu, gen-teng atau atap rumbia.
Lalu mereka bahu-membahu mendirikan rumah-rumah sebagai tempat tinggal me-reka nanti.
Tua-muda, laki-perempuan, semua bekerja.
Sehingga tak heran dalam waktu yang tak begitu lama, rumah-rumah itu telah berdiri rapi.
Termasuk rumah kuno sebagai tempat tinggal Bongkap, Bong Mini, para dayang, dan beberapa orang pengawalnya.
Malah re-runtuhan benteng rumah itu dipugar, sehingga tembok benteng itu kembali berdiri dengan kokoh.
Walaupun ia menjadi raja bagi para pengikutnya, Bong Kian Fu atau Bongkap hampir setiap hari mem-pelajari kehidupan penduduk pribumi secara sem-bunyi-sembunyi.
Ia mencoba mempelajari dan me-ngenal kebiasaan atau adat-istiadat mereka, serta berusaha mengerti pikiran mereka.
Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa penduduk negeri itu merupakan orang-orang yang se-derhana.
Tidak seperti mereka yang tinggal di negeri asalnya, Tiongkok.
Di sana rakyatnya cerdik dan penuh dengan sikap curiga.
Hal ini disebabkan karena kelaparan yang terus melanda dan perjuangan yang tanpa ampun untuk hidup mereka.
Berbeda dengan di sini, di sekitar pesisir Pulau Bangka ini rakyatnya terlihat kuat dan perkasa, walaupun agak polos.
Hal yang mereka tahu hanyalah ten-tang perkebunan lada.
Mereka hanya paham pada ke-perluan perutnya saja.
Di luar itu mereka sama sekali tidak tahu.
Apalagi tentang ilmu bela diri, mereka benar-benar buta.
Ini disebabkan karena mereka hidup serba kecukupan.
Ketika pagi hari Bongkap berkeliling kampung dan melihat perkebunan lada mereka, ia nampak terlihat mengangguk-angguk dan tersenyum melihat kesung-guhan penduduk kampung dalam bekerja.
Dengan te-rengah-engah dan tubuh bercururan keringat, mereka terus bekerja sampai waktu matahari tenggelam di ufuk timur.
Pada suatu hari, ketika musim kemarau panjang te-lah tiba, para penduduk tampak begitu ketakutan.
Ka-rena bibit lada yang mereka tanam tidak menghasilkan apa-apa.
Bibit-bibit lada yang tumbuh mulai berubah warnanya.
Lalu perlahan-lahan kering dan mati.
Dalam keadaan seperti itu, penduduk mulai dilanda kegelisahan.
Hampir tiap hari di antara mereka terjadi perkelahian memperebutkan air untuk mengairi sa-wahnya dari sebuah sungai yang juga tengah dilanda kekeringan.
Bahkan tidak sedikit para penduduk yang kehilangan ternak atau hasil ladangnya.
Kemiskinan dan kelaparan itu bukan saja melanda penduduk asli Pulau Bangka, tetapi juga melanda ra-kyat yang berasal dari negeri Manchuria.
Hampir se-tiap hari mereka mengeluh dan menangis karena tidak mendapatkan makanan.
Sedangkan harta kerajaan yang berhasil dirampas Bongkap telah habis untuk ke-butuhan mereka sehari-hari.
Mendapat kenyataan itu, Bongkap tidak sampai ha-ti.
Ia tidak ingin rakyatnya menderita.
Ia juga tidak ingin mereka saling baku hantam karena rasa lapar yang mencekam.
Ia harus bertanggung jawab untuk menye-jahterakan rakyat yang dipimpinnya.
Karena dialah yang telah mengajak mereka untuk berpindah tempat.
Maka pada suatu malam, ketika Bong Mini telah tertidur lelap, diam-diam ia bersama pengawal keper-cayaannya pergi mengarungi Selat Malaka.
Di sana mereka melakukan aksi perampokan terhadap kapal-kapal saudagar yang membawa barang-barang berhar-ga.
"Serbuuu!"
Bongkap memberikan aba-aba kepada para prajuritnya untuk menyerbu setelah berhasil me-rapatkan kapalnya ke kapal saudagar itu.
Dengan serta-merta, para prajurit kepercayaan Bongkap keluar dari kapalnya dan berloncatan ke kap-al saudagar bersama Bongkap sendiri.
Mendapat serbuan yang tidak diduga ini para pe-ngawal kapal barang milik saudagar menjadi terkejut.
Mereka berdiri serentak sambil mencabut pedang dan golok masing-masing, siap mengadakan perlawanan.
"Siapa kalian?"
Tanya salah seorang pengawal kapal yang ternyata pemimpinnya. Bongkap tersenyum sinis mendengar pertanyaan itu.
"Namaku Bongkap. Penguasa Pantai Selat Malaka ini!"
Jawab Bongkap dengan suara berwibawa.
"Lalu apa maumu menyerbu kapal kami?!"
Bentak pemimpin pengawal kapal itu. Bongkap tertawa terbahak. Lalu kembali terdiam mengamati wajah lawannya.
"Tidak ada penyerbuan bila tidak ada maksud!"
Ja-wab Bongkap dengan sikap tenang.
"Kalian ingin menghalangi perjalanan kami?"
"Tidak!"
Jawab Bongkap cepat.
"Lalu?"
"Kami hanya menginginkan barang-barang yang ada dalam kapal ini. Setelah itu kalian boleh melanjutkan perjalanan kembali!"
Kata Bongkap dengan sikap yang tetap tenang dan penuh wibawa.
"Sudah aku duga bahwa kalian adalah para peram-pok!"
"Mungkin. Tapi saudagar kalian juga seorang pe-rampok!"
Jawab Bongkap, masih dalam keadaan te-nang.
"Kamu lancang!"
Geram pemimpin pengawal kapal itu. Bongkap tersenyum mengejek.
"Membeli hasil perkebunan rakyat dengan harga murah dan secara paksa, bukankah itu perampokan?"
Sindirnya. Telinga lelaki di hadapannya terasa panas seperti dibakar ketika mendengar kata-kata Bongkap. Ma-tanya mendadak merah menahan marah.
"Bangsat! Kalian telah menghina saudagar kami. Serang mereka!"
Perintah pemimpin pengawal kapal itu.
"Berhenti!"
Sergah Bongkap pada para pengawal barang yang hendak menyerangnya.
"Kalau kalian me-nyerang kami, itu berarti telah lebih dahulu melaku-kan perampokan terhadap diri kami!"
"Jangan dengarkan omongannya yang busuk itu. Cepat serang!"
Perintah pemimpin pengawal itu.
Para pengawal kapal barang saudagar yang berjum-lah dua puluh orang itu segera menyerbu para prajurit Bongkap yang berjumlah sepuluh orang.
Mereka berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan golok dan pe-dang ke arah lawan.
Prajurit Bongkap tidak tinggal diam.
Mereka me-nyambut serangan-serangan itu dengan pedang yang tergenggam di tangan mereka masing-masing .
"Lawan mereka! Tapi jangan sampai mematikan!"
Teriak Bongkap kepada anak buahnya yang sedang si-buk memberikan perlawanan.
Tapi karena para pe-ngawal kapal begitu bernafsu hendak menjatuhkan la-wannya, terpaksa anak buah Bongkap pun melakukan kekerasan untuk melindungi diri dari serangan lawan yang mematikan itu.
Brettt! Pedang milik seorang anak buah Bongkap merobek pakaian lawan sampai tembus ke tubuhnya.
Seketika itu juga, pengawal kapal yang terkena sabetan ujung pedang anak buah Bongkap terhuyung jatuh sambil memegangi perutnya yang tersayat mengeluarkan da-rah.
Lalu diam tak berkutik lagi.
Melihat kematian seorang lawannya, Bongkap men-jadi gusar.
Sebab ia tidak menginginkan pertumpahan darah.
Ia hanya menginginkan barang-barang yang ada dalam kapal itu, bukan jiwa.
Maka untuk mengu-rangi jatuhnya korban, Bongkap segera menerjang pe-mimpin pengawal itu dan mengajaknya bertanding.
Pemimpin pengawal kapal barang itu segera menca-but pedang ketika Bongkap berdiri di hadapannya.
La-lu segera menerjang Bongkap dengan bengis.
Trangngng! Pedang Bongkap dengan pedang lawannya saling beradu.
Mereka saling menangkis dan melakukan se-rangan, sama-sama ingin menjatuhkan lawan.
"Kau punya keahlian bermain pedang rupanya,"
Ka-ta Bongkap sambil terus berkelit menghindari se-rangan-serangan yang dilancarkan lawan.
"Kamu kira hanya kau saja yang pandai!"
Sahut la-wannya sambil terus melakukan serangan dengan gen-car. Darahnya semakin menggelegak mendengar uca-pan Bongkap yang setengah mengejek itu.
"Tapi kau harus banyak latihan lagi agar tidak me-ngurus tenaga seperti itu!"
Kata Bongkap lagi, me-mancing emosi lawannya.
Mendengar ejekan Bongkap, wajah pemimpin pe-ngawal kapal barang itu menjadi merah.
Baru kali ini ada orang yang berani mengejekku, pikirnya.
Wettt! Pedang pemimpin pengawal kapal barang itu me-nyerang ke arah kaki Bongkap.
Tapi Bongkap dapat melihat serangan lawannya dengan cermat.
Tubuhnya bersalto dan kembali berdiri tegak menghadap lawan.
"Kita cepat selesaikan saja pertandingan ini. Aku tidak sampai hati melihat anak buahmu terkapar ber-simbah darah,"
Ucap Bongkap.
"Bangsat!"
Hardik lawannya geram.
Ia menyerang dengan gigihnya.
Ia begitu bernafsu hendak memati-kan Bongkap.
Tapi Bongkap sebagai orang yang ber-pengalaman di medan perang dan berjaya sebagai panglima kerajaan ketika di Manchuria, tentu saja tidak mudah untuk ditaklukkan.
Apalagi oleh seorang lawan yang kepandaiannya sudah terbaca.
Maka un-tuk mempersingkat waktu dan tidak membuang-buang tenaga, Bongkap segera menyerang lawannya dengan sungguh-sungguh.
Brettt! Dengan cepat pedang Bongkap menyambar bahu lawannya hingga putus.
Pemimpin pengawal kapal barang itu meringis ke-sakitan, seraya memegangi bahu kanannya yang ba-nyak mengeluarkan darah.
Sedangkan pedangnya ter-lepas bersama tangannya.
"Sudah kukatakan, kau harus banyak berlatih agar permainan pedangmu lebih mahir lagi,"
Kata Bongkap sambil mendekati lawannya yang sedang terduduk di sudut kapal sambil menahan rasa nyeri.
"Cukup!"
Bongkap segera rnemberi aba-aba kepada anak buahnya yang masih gigih bertarung.
Seketika itu juga, dentingan senjata tidak terdengar lagi.
Baik anak buah Bongkap maupun lawannya berhenti melakukan serangan.
Mereka serentak meman-dang ke arah Bongkap.
"Aku tidak ingin menambah banyak korban. Kalian tinggal pilih; menyerahkan barang-barang yang ada dalam kapal ini atau nasib kalian seperti pemimpinmu ini!"
Kata Bongkap sambil mengangkat tangan kiri pemimpin pengawal kapal barang dan memperlihatkan luka lelaki itu kepada para anak buahnya.
Melihat pimpinan mereka sudah tidak berdaya de-ngan tangan yang terputus, para pengawal itu menja-tuhkan diri dan bersujud mengakui kekalahannya di hadapan Bongkap.
Bongkap tersenyum penuh kemenangan.
Lalu ia se-gera mendudukkan kembali pemimpin pengawal kapal dan menyuruh para pengawal kapal saudagar untuk memindahkan barang-barang yang ada dalam kapal itu ke kapalnya.
Dengan penuh rasa takut, para pengawal barang segera mengikuti perintah Bongkap untuk mengangkut barang-barang milik saudagarnya ke kapal Bongkap.
Sedangkan Bongkap dan anak buah hanya memperha-tikan kerja mereka saja sambil sesekali meneliti ruangan kapal, khawatir masih ada barang-barang yang tersembunyi.
Setelah seluruh barang yang ada dalam kapal sau-dagar itu dipindahkan ke kapal Bongkap, hingga tidak tersisa lagi, anak buah Bongkap pun segera berloncatan ke kapalnya dengan gerakan yang gesit dan ringan.
"Terima kasih atas bantuan kalian. Dan sampaikan salamku kepada saudagarmu!"
Seru Bongkap kepada para pengawal kapal barang itu.
Setelah berkata begi-tu, lalu tubuhnya segera melesat menuju kapalnya.
Disaksikan oleh para pengawal kapal barang dengan pandangan mata yang takjub.
*** Sementara itu, Bong Mini masih tergolek di atas ranjang.
Ia baru saja terbangun dari tidurnya.
Ia terbangun karena mendapat mimpi bertemu dengan Si-nyin, mamanya.
Dalam mimpi itu Bong Mini melihat mamanya tersenyum manis padanya.
Lalu perlahan mamanya melangkah menghampirinya dan berkata.
"Jaga dirimu dan papamu baik-baik, anakku! Tegurlah papa jika melakukan kesalahan. Engkaulah satu-satunya pengganti mama yang menyayangi papa!"
Usai berkata begitu, mamanya kembali melangkah menjau-hi Bong Mini kemudian lenyap. Bersamaan dengan le-nyapnya mamanya, Bong Mini terjaga dari tidur.
"Mama?"
Keluh Bong Mini sambil menyebarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar. Tetapi ia tidak mendapatkan wanita yang dicarinya. Kemudian ia mengeluh sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap sayu langit-langit kamar.
"Mama. Kenapa mama pergi lagi?"
Desah Bong Mini.
Matanya mulai mengeluarkan telaga bening.
Lalu me-ngalir membasahi kedua pipinya, meliuk-liuk bagai anak sungai yang mengalir menuju muara.
Perlahan-lahan Bong Mini bangkit dari ranjangnya dan melangkah menuju jendela kamar.
Dikuakkannya jendela kamar itu.
Di sana hanya terlihat kegelapan malam yang menyelimuti bumi.
Pepohonan yang tum-buh di sekitar tempat itu pun menjadi suram.
Tak jelas bentuknya karena diselimuti kepekatan.
Bong Mini berdiri tercenung di muka jendela itu.
Membiarkan anak rambutnya menghalangi pandangan karena terhela hembusan angin malam yang terasa dingin sampai ke tulang sum-sum.
Tatapan mata Bong Mini terus tertuju pada kegela-pan malam.
Begitu sendu dan kosong.
Karena piki-rannya masih mengawang pada pertemuan dengan mamanya di alam mimpi.
Ingin rasanya ia bertemu lagi dengan mamanya lebih lama.
Tapi tidak mungkin.
Dan kehadiran mamanya di alam mimpi itu pun hanya se-cara kebetulan saja, tanpa ia sengaja.
Dalam lamunannya malam itu, tiba-tiba ia teringat pesan mamanya dalam mimpi tadi bahwa ia disuruh menjaga papanya dengan kasih sayang dan menegur-nya bila berbuat kesalahan.
Pantaskah itu? Beranikah ia menegur papanya jika berbuat salah? Sedangkan ia sendiri masih berada da-lam asuhan dan didikan papanya.
Bong Mini menghela napas dalam.
Ditutupnya kem-bali daun jendela itu.
Kemudian kakinya melangkah keluar kamar.
Berjalan perlahan ke ruangan depan, khawatir membangunkan papanya.
Sampai di ruang depan, Bong Mini kembali terce-nung.
Ia merasa ada satu kejanggalan dalam rumah itu.
Matanya tidak melihat orang-orang kepercayaan papanya.
Mungkin di luar, pikir Bong Mini sambil membuka pintu.
Namun ketika ia melongok keluar, di sana pun ia tidak mendapatkan pengawal papanya seorang pun juga.
Ke mana perginya mereka? Tiba-tiba Bong Mini mempunyai firasat yang tidak enak dengan tidak adanya pengawal rumah itu.
Lalu ia menutup kembali pintu rumah dan melangkah menuju kamar papanya.
Pelan-pelan Bong Mini membuka pintu kamar pa-panya.
Lalu ia tercenung di muka pintu kamar itu sambil menatap ke arah ranjang papanya.
Dan di da-lam keremangan kamar itu, Bong Mini tidak menda-patkan papanya di sana.
Ranjang itu kosong.
Hanya ada guling dan beberapa buah bantal yang berserakan.
Ke mana perginya papa? Tanya batin Bong Mini.
Wajahnya mulai menampakkan gelisah.
Lalu ia buru-buru ke kamar belakang untuk menemui para dayang.
Sesampainya di kamar belakang, dilihatnya ketiga dayang sedang tertidur pulas.
"Bi.... Bibi!"
Panggil Bong Mini, membangunkan seo-rang dayangnya. Dayang yang dibangunkan tadi segera terbangun dan langsung duduk ketika melihat kehadiran Bong Mini.
"Ada apa, Nona?"
Tanya dayang itu tersentak. Tidak biasanya Bong Mini masuk ke kamarnya.
"Bibi tahu ke mana papa pergi?"
Tanya Bong Mini.
"Tidak tahu, Nona. Bibi sudah tertidur,"
Jawab dayang itu.
Bong Mini menghela napas.
Pikirannya masih dili-puti oleh tanda tanya.
Ke mana papa pergi malam-malam begini? Bersama para pengawal lagi.
Apa memang setiap malam papa keluar? Kalau memang benar, apa yang dilakukan pa-pa bersama pengikutnya? Batin Bong Mini.
Melihat anak majikannya termangu dengan wajah sedih, dayang yang terbangun itu segera mendekati.
"Apakah Tuan sebelumnya memberitahukan kepada Nona ke mana dia pergi?"
Bong Mini menggeleng pelan.
"Kalau papa memberitahukan sebelumnya, mana mungkin saya mencari dan bertanya pada Bibi?"
Dayang itu menundukkan kepala. Ia malu sendiri terhadap pertanyaannya yang bodoh.
"Kalau saja mama masih ada, tentu keadaannya ti-dak begini,"
Gumam Bong Mini lirih. Sedangkan kedua matanya yang sendu sudah nampak berkaca-kaca se-perti ada telaga bening yang menggenanginya. Dayang tadi mengangkat wajahnya dan memandang Bong Mini dengan tatapan mata kasihan.
"Sudahlah, Non. Jangan terlalu diingat. Biarkan nyonya besar tenang di tempatnya yang kekal!"
Hibur dayang itu lembut Dia tidak ingin melihat anak maji-kannya yang cantik, periang serta manja itu berubah sedih hanya karena mengingat kematian mamanya.
Bong Mini hanya diam mendengar ucapan wanita setengah baya yang mencoba menghiburnya.
Ia masih sulit untuk dapat melupakan kematian mamanya.
Apalagi kehadiran mamanya dalam mimpi tadi, mem-buat ia teringat pada semua kenangannya waktu kecil.
Sikap Bong Mini yang tidak bisa melupakan keper-gian mamanya memang bisa dimengerti.
Sebab sebagai anak tunggal, ia selalu disayang oleh kedua orangtuanya.
Terlebih lagi oleh mamanya.
Bila ia hendak tidur, beliau selalu menemani di sampingnya sambil memeluk dan mengusap-usap punggungnya.
Kalau sudah tertidur, barulah beliau pergi menuju kamarnya.
Begi-tu pula jika bermain, beliau selalu menjaga dan me-nemani Bong Mini.
Pernah Bong Mini menjerit dan menangis ketika ia sedang bermain di halaman rumahnya saat masih tinggal di Tiongkok.
Sebabnya, ketika ia sedang asyik bermain-main dengan boneka, tiba-tiba seekor cacing merayap di ujung kakinya.
Melihat binatang yang men-jijikkan itu berjalan di kakinya, Bong Mini langsung menjerit dan menangis.
Melihat Bong Mini seperti itu, mamanya yang meng-awasinya agak jauh dari tempatnya bermain segera menghampiri dan menggendongnya.
Kemudian ketika mengetahui penyebabnya, beliau langsung membuang cacing itu.
"Kenapa tidak dimatikan saja, Ma?"
Tanya Bong Mini ketika itu, saat ia berumur delapan tahun. Mamanya menggeleng sambil tersenyum.
"Kita tidak boleh membunuhnya. Dia juga ciptaan Tuhan. Lagi pula dia tidak jahat, kan?"
"Tapi dia merayap di kaki Mini, Ma,"
Rajuknya.
"Tak menggigit, kan? Hanya kamu saja yang takut!"
Kata mamanya mencubit hidung Bong Mini. Mengingat masa kanak-kanaknya itu, Bong Mini ja-di tersenyum sendiri.
"Ada apa, Non? Kok senyum sendirian?"
Usik da-yangnya. Sebab wajah Bong Mini yang sejak tadi me-nunjukkan kesedihan berubah berseri tanpa dia sada-ri.
"Tidak apa-apa, Bi,"
Desah Bong Mini dengan bibir tersenyum malu. Ia sadar kalau sikapnya mendapat perhatian dayangnya sejak tadi. Kemudian ia bangkit dari tepi ranjang dayangnya dan berkata.
"Lanjutkan-lah tidur Bibi. Saya mau kembali ke kamar."
"Perlu ditemani, Non?"
Bong Mini menggeleng.
Kakinya melangkah mening-galkan dayangnya menuju kamarnya kembali.
Di sana, ia langsung merebahkan tubuh di atas ranjang.
Malam semakin larut.
Keheningan mencekam dalam rayapan waktu.
Hanya suara-suara jangkrik yang terdengar mengerik, mengantarkan Bong Mini kembali dalam kelenaan ti-durnya.
*** Yang Seng adalah seorang keturunan Cina Tiongkok yang beberapa tahun lalu datang ke Pulau Bangka dan tinggal di kawasan Sungai Liat.
Di sana ia mendirikan sebuah perguruan yang bernama Partai Persatuan Ular Hitam dengan anggota mencapai puluhan orang.
Sebagai orang keturunan Tiongkok, tentu saja Yang Seng mempunyai ilmu bela diri atau ilmu kesaktian yang amat tangguh.
Semacam jurus-jurus kungfu.
Dan ilmu itu sebagian ia turunkan kepada para anak buah-nya, termasuk ilmu kepandaian bermain pedang.
Kehadiran Yang Seng di sekitar Sungai Liat itu tidak lain ingin menguasai daerah tersebut.
Dan untuk menguasai kawasan itu, tentu saja tidak begitu semudah yang dibayangkan.
Di sana ia harus berhadapan dengan tokoh-tokoh silat yang sangat tangguh.
Terutama sekali ia harus mengalahkan penguasa bernama Kho Sue Cheng.
Dengan modal ilmu kesaktian yang diperolehnya dari negeri Tiongkok, akhirnya Yang Seng berhasil juga menjatuhkan Kho Sue Cheng dengan jurus-jurus maut yang mematikan.
Sehingga Kho Sue Cheng terbunuh dengan tubuh terkoyak bersimbah darah.
Keberhasilan Yang Seng dalam pertempuran mela-wan Kho Sue Cheng tentu saja sangat mengejutkan anak buah Kho Sue Cheng.
Mereka tidak menyangka kalau pemimpin mereka yang selama ini dianggap jago, dapat dijatuhkan oleh seorang anak muda kemarin.
Setelah Kho Sue Cheng terbunuh, maka yang meng-ambil alih kekuatan adalah Yang Seng.
Segala harta kekayaan Kho Sue Cheng yang menjadi saudagar itu direbut oleh Yang Seng.
Begitu pula dengan para anak buah yang harus tunduk dan patuh terhadap perin-tahnya.
Bila ada seorang dari mereka yang membantah peraturan yang dibuatnya, maka Yang Seng tidak se-gan-segan memberikan hukuman mati.
Membuat anak buah lainnya ketakutan.
Anggota Partai Persatuan Ular Hitam selain berang-gotakan kaum lelaki, juga ada sekitar sepuluh orang kaum perempuan.
Dan para perempuan itu ia peroleh dari para penduduk yang tidak bisa membayar hutang kepadanya.
Karena selain pembelian hasil kebun pen-duduk dengan harga murah, ia memang suka membe-rikan pinjaman uang dengan bunga dua kali lipat Kalau orang yang memimjam itu tidak bisa men-gembalikan hutangnya, maka Yang Seng akan menyita tanah atau sawah yang dimiliki.
Tapi kalau kebetulan mempunyai seorang istri atau perempuan yang cantik, maka Yang Seng akan mengambil mereka dengan membebaskan-pembayaran hutang.
Perempuan yang dijadikan sebagai alat bayar hu-tang itu dibawa ke markas dan dijadikan sebagai te-man bercengkerama.
Apabila perempuan itu sudah ti-dak lagi menarik perhatian Yang Seng, maka ia pun menyerahkannya kepada anak buahnya.
Tak peduli mau dijadikan apa perempuan itu, yang penting ia ha-rus mendapatkan perempuan baru sebagai penggan-tinya.
Semua perilaku dan kebejatan moral orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi.
Semua orang telah mengetahuinya.
Namun mereka sendiri tidak punya daya dan kebera-nian untuk menentang atau menghentikannya.
Takut nyawa mereka sendiri yang akhirnya melayang.
Pernah ada beberapa orang penduduk yang mem-punyai kepandaian silat mencoba untuk mengakhiri sepak-terjang mereka.
Tapi belum sempat bertemu dengan Yang Seng, mereka sudah kewalahan mengha-dapi anak buahnya.
Sehingga dalam beberapa gebra-kan saja nyawa mereka langsung lenyap dengan tubuh yang koyak-moyak.
Sejak itu, tiada lagi para penduduk yang mencoba menentang kehendak orang-orang Ular Hitam.
Mereka pasrah terhadap kenyataan yang ada.
Mereka hanya dapat menangis dan mengurut dada jika istri atau anak perawan mereka dibawa oleh orang-orang Ular Hitam, tanpa melakukan perlawanan sedikit juga.
"Mudah-mudahan Yang Kuasa menurunkan seo-rang juru selamat untuk menentang kelaliman mere-ka!"
Demikian doa para penduduk jika orang-orang Ular Hitam mulai turun ke perkampungan untuk men-cari mangsa.
Melihat penduduk kampung Sungai Liat yang tidak berdaya dan takut terhadap orang-orang Ular Hitam, maka mereka pun semakin senang.
Malah tingkah-polah mereka semakin menjadi.
Kalau dulu mereka mengambil keuntungan dengan cara meminjamkan uang, maka sekarang pinjaman itu dihilangkan.
Hanya pada orang-orang tertentu saja mereka meminjamkan uang.
Seperti warung-warung nasi atau beberapa pen-duduk lain yang mempunyai anak gadis.
Selain itu me-reka langsung mengambil harta para penduduk.
Baik berupa hasil tani maupun perkebunan.
Bila mereka mempertahankan barang-barang yang dimintanya, maka secepat kilat orang-orang Ular Hitam menghabisi nyawa mereka dengan keji.
Siang itu, Yang Seng kelihatan sedang duduk di se-buah dipan di depan rumahnya.
Sambil mengisap ro-kok cerutu, ia terus bermain-main dengan pikirannya.
Sesekali menyungging senyuman puas dari wajahnya yang cerah.
Apa lagi yang harus aku lakukan? Kewibawaanku di sini telah terlihat dengan jelas.
Semua penduduk akan pucat dan bergetar bila melihatku, bagai orang kehilangan darah.
Kalau aku keluar, semua orang akan berhenti berjalan.
Lalu berdiri dan membungkuk hor-mat padaku.
Apa saja yang aku minta mereka selalu memberi dengan cepat.
Ikhlas atau tidak pemberian itu, aku tidak peduli.
Yang penting bagiku, mereka tunduk dan taat kepadaku.
Serta memberikan apa saja yang aku minta! Yang Seng berkata sendiri pada ha-tinya.
Lalu ia pun tersenyum puas karena keinginan-nya selama ini untuk menguasai penduduk kampung Sungai Liat telah terlaksana.
Sedang asyiknya ia bercakap-cakap dengan batin dan pikirannya, tiba-tiba muncul lima belas anak buahnya.
Dengan gerakan reflek, ia meloncat dari du-duknya.
Lalu berdiri tegang memandang anak buah-nya yang melangkah takut-takut.
Terutama pada dua orang yang sedang membimbing tubuh Aloy, pemimpin pasukan kapal barang miliknya.
"Kenapa dia?"
Tanya Yang Seng sambil melihat ta-ngan kanan Aloy yang putus terkena sabetan pedang Bongkap.
Beberapa anak buahnya menggigil ketakutan.
Apa-lagi ketika melihat mata Yang Seng yang tajam dan beringas memandang mereka satu persatu.
Melihat anak buahnya diam saja, Yang Seng sema-kin marah.
Lalu ia mendekati anak buahnya dengan wajah tegang.
"Kenapa kalian diam?!"
Bentak Yang Seng dengan mata melotot dan suara yang menggelegar.
"Ada bajak laut yang menghadang kami, Tuanku,"
Lapor seorang anak buahnya yang sedang memegangi tubuh Aloy yang tak berdaya.
"Hm...,"
Yang Seng geram.
"Setelah kapal kami dirapatkan oleh kapal pemba-jak itu, mereka segera berloncatan ke dalam kapal dan meminta barang-barang Tuanku,"
Lanjut anak buah-nya itu.
"Terus?"
"Kami mempertahankannya, Tuanku. Lalu kami melakukan serangan terhadap mereka. Tapi serangan kami tiba-tiba terhenti melihat tangan Aloy yang putus dari badannya. Ia dibacok oleh pemimpin bajak laut itu. Sedangkan sepuluh orang dari kami mati bersim-bah darah tertebas oleh pedang para pembajak,"
Kata anak buahnya menjelaskan.
"Bodoh! Kalian bodoh semuanya!"
Bentak Yang Seng dengan mata merah menahan marah. Sedangkan urat-urat di keningnya tampak menonjol keluar karena be-rang. Ia benar-benar marah karena orang yang menja-di andalannya dibuat tak berdaya.
"Siapa nama pemimpin perampok itu?"
Tanya Yang Seng dengan suara menghardik.
"Kalau tidak salah namanya Bongkap,"
Jawab seo-rang anak buahnya.
"Bongkap?"
Tanya Yang Seng sambil mengingat-ingat. Sedangkan anak buahnya terdiam dengan hati cemas.
"Berapa orang jumlah mereka?"
Tanya Yang Seng. Suaranya agak rendah, namun tekanannya masih me-ngandung kemarahan.
"Sepuluh orang, Tuanku,"
Sahut seorang anak buahnya yang lain.
"Sepuluh orang?"
Tanya Yang Seng membelalakkan matanya lantaran kaget.
"Kalian yang berjumlah dua puluh orang kalah dengan lawan yang hanya sepuluh orang?"
"Mereka tangguh-tangguh, Tuanku."
"Itu bukan alasan!"
Bentak Yang Seng marah. Ma-tanya menatap pada anak buahnya dengan tajam se-perti meneliti.
"Kalian tahu bahwa dengan kalahnya Aloy, berarti telah mencoreng arang di mukaku!"
Ben-tak Yang Seng lagi. Kesembilan anak buahnya yang masih selamat tampak menunduk, tak berani menatap mata Yang Seng.
"Baru kali ini ada orang yang berani melawan Partai Persatuan Ular Hitam. Bahkan sempat menjatuhkan orang kepercayaanku,"
Gerutu Yang Seng dengan wa-jah menegak angkuh.
"Besok kalian harus berangkat mencari para peram-pok itu. Tebus kekalahan kalian!"
Tegas Yang Seng. Kembali ditatapnya anak buahnya satu persatu. Kesembilan anak buahnya terdongak kaget. Lalu saling menatap satu sama lain.
"Kenapa? Takut?"
Tanya Yang Seng dengan wajah serius.
"Bagaimana mungkin kami mampu, Tuanku. Ke-cuali jumlah pasukan ditambah lagi,"
Jawab seorang anak buahnya. Mendengar ucapan anak buahnya, Yang Seng ter-tawa terbahak-bahak.
"Apa kalian pikir aku tega membiarkan kalian me-nyerang sendiri tanpa pengawalanku?"
"Jadi, Tuanku ikut serta?"
"Ya. Akan kuhadapi pemimpin perampok yang ber-nama Bongkap itu. Aku ingin melihat batang hidung-nya,"
Kata Yang Seng, membuat anak buahnya agak lega.
*** Bongkap bersama para pengawalnya baru pulang berlayar.
Mereka satu persatu sibuk menurunkan ba-rang-barang hasil rampokannya.
Kemudian barang-barang rampokan yang masih terbungkus peti itu se-gera diangkut ke markas Bongkap.
"Letakkan barang-barang itu di sini!"
Perintah Bongkap setelah membuka gudang yang selama ini tak pernah disentuhnya.
Karena selain banyak debu juga disebabkan letaknya agak menyudut di belakang.
Se-hingga tidak begitu terlihat.
Anak buahnya memasukkan peti-peti barang itu dengan segera.
"Ayo, cepat. Jangan sampai nanti putriku tahu!"
Se-ru Bongkap lagi. Sementara matanya mengawasi cara kerja anak buahnya. Setelah peti-peti barang itu tersu-sun rapi di dalam gudang, Bongkap segera me-nguncinya kembali dan mengajak anak buahnya ke-luar.
"Aku akan ingatkan sekali lagi pada kalian agar ja-ngan membocorkan perbuatan kita semalam. Apalagi sampai terdengar ke telinga putriku. Kalau ini terjadi, pedangku yang akan berbicara!"
Ancam Bongkap, memperingatkan anak buahnya.
"Segala kehendak Bongkap akan kami laksanakan!"
Sahut anak buahnya sambil menunduk hormat "Sekarang, laksanakan tugas kalian seperti biasa!"
Perintah Bongkap lagi.
"Siap. Kami laksanakan!"
Sahut anak buahnya yang berdiri hormat.
Lalu mereka berpencar menuju tempat kerja mereka masing-masing.
Setelah anak buahnya tidak terlihat dari panda-ngannya, Bongkap masuk ke dalam untuk menemui putrinya.
Dibuka pintu kamar putrinya perlahan-lahan.
Di pembaringan, Bongkap melihat putrinya se-dang menelungkupkan tubuh di kasur.
Bahunya ber-guncang naik-turun menahan tangis.
Bongkap segera menghampiri.
Ia terkejut ketika mendengar isak tangis putrinya.
Kemudian, perlahan-lahan Bongkap menyentuhkan telapak tangannya pada kepala Bong Mini dengan lembut lalu mengusap-usapnya.
Bong Mini merasakan usapan tangan Bongkap yang lembut itu.
Lalu kepalanya mendongak untuk meman-dang siapa yang mengusap-usap kepalanya dengan lembut itu.
"Papa?"
Keluh Bong Mini dengan air mata berderai. Ia menjatuhkan kepalanya dalam pangkuan papanya. Ia menangis tersedu-sedu.
"Ada apa, Sayang?"
Tanya Bongkap sambil memeluk kepala putrinya dan terus membelai-belainya dengan penuh kasih sayang. Bong Mini tidak segera menjawab. Ia masih asyik dengan tangisnya.
"Apa yang terjadi, Sayang?"
Ulang Bongkap lagi dengan suara berbisik di telinga Bong Mini.
"Saya teringat mama,"
Sahut Bong Mini di sela isak tangisnya.
"Sudahlah. Jangan terus mengingatnya. Mamamu sudah tenang hidup di alam lain,"
Bujuk Bongkap de-ngan suara yang lembut.
"Saya belum bisa melupakannya, Papa,"
Desah Bong Mini mengangkat wajahnya serta memandang Bong-kap.
"Memang tidak mudah untuk melupakan orang yang kita cintai. Apalagi dia mamamu, istri papa juga. Tapi jangan sampai hal itu menghanyutkan perasaan kita. Sehingga kita terus terselubung dalam suasana duka dan tangis,"
Tutur Bongkap, menasihati putrinya.
Bong Mini diam.
Sedangkan punggung jari telun-juknya mengusap sisa-sisa air mata yang masih sem-pat mengalir di pipinya yang nampak merah merona.
Sesungguhnya Bongkap sendiri mengakui bahwa dirinya pun masih mengingat-ingat Sinyin, istri yang dicintainya itu.
Tetapi setiap kali bayangan istrinya muncul, Bongkap selalu berusaha menghilangkannya dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan.
Ia tidak ingin menitikkan air mata terlalu lama.
Sebab menurutnya, air mata itu akan meluluhkan ketega-rannya sebagai seorang lelaki.
Namun kala ia rindu sendiri terhadap istrinya, Bongkap selalu mengunjungi Bong Mini dan memandang wajah putrinya itu lama sekali.
Wajah Bong Mini memang sangat mirip dengan wajah istrinya, Sinyin.
"Kematian mamamu memang sangat meluluhkan hati kita. Tapi kita harus berusaha tegar menghada-pinya. Apalagi kamu sebagai calon pendekar wanita yang akan menggegerkan seluruh penghuni jagat ini,"
Lanjut Bongkap mengangkat dagu putrinya.
Bong Mini memandang papanya dengan tatapan mata sendu.
Tapi kemudian ia tersenyum manis.
Bongkap gembira melihat gadis cantik yang dis-ayanginya itu dapat tersenyum.
Kemudian ia meme-luknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Papa,"
Desah Bong Mini dalam pelukan papanya.
"Hm...? Ada apa?"
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan,"
Kata Bong Mini melepaskan pelukannya.
Bongkap mengerutkan kening.
Baru kali ini ia men-dengar putrinya hendak bertanya.
Padahal selama ini putrinya tak pernah menanyakan sesuatu.
Bila sedang berlatih silat pun, Bong Mini tak pernah banyak ber-tanya.
Ia hanya diam dan mendengarkan nama-nama jurus silat yang diajarkan papanya.
"Semalam saya terbangun,"
Lanjut Bong Mini.
"Ke-mudian saya keluar untuk menemui Papa. Tapi ketika sampai di kamar, saya tidak mendapatkan Papa,"
Bong Mini menghentikan ucapannya sejenak.
Mengulum bi-birnya yang selalu basah itu dengan lembut "Setelah mengetahui Papa tidak ada di kamar, saya mencarimu lagi di luar.
Namun di luar pun saya tidak melihat Papa berikut para pengawal.
Lalu saya tanyakan kepada para dayang, tetapi mereka juga mengata-kan tidak tahu ke mana Papa pergi,"
Bong Mini meng-hentikan ceritanya. Bongkap yang mendengar ucapan Bong Mini agak tersentak juga. Ia khawatir apa yang dilakukan bersa-ma anak buahnya diketahui putrinya.
"Ke mana sih, Papa semalam?"
Tanya Bong Mini dengan tatapan mata meneliti. Bongkap menghela napas sambil mencoba ter-senyum pada putrinya.
"Papa tidak ke mana-mana. Papa mengajak para pengawal untuk keliling kampung. Khawatir kalau ada penduduk kampung yang kurang aman,"
Jawab Bong-kap berdusta.
"Sampai pagi-pagi begini?"
Tanya Bong Mini sete-ngah tidak percaya.
"Ya. Karena sepulang dari keliling kampung, papa dan para pengawal pergi ke pantai. Di sana, selain pa-pa menikmati udara pantai, juga melihat-lihat kapal. Khawatir ada kerusakan-kerusakan yang harus digan-ti,"
Jawab Bongkap berusaha meyakinkan putrinya agar percaya. Walaupun hati kecilnya merasa bersalah karena telah membohongi putrinya sendiri. Bong Mini mengangguk-angguk. Penjelasan papa-nya bisa dimengerti.
"Kamu sudah percaya dengan penjelasan papa?"
Tanya Bongkap sambil menatap wajah putrinya lekat-lekat. Khawatir kalau ceritanya itu tidak dipercayai Bong Mini.
"Saya percaya, Papa,"
Sahut Bong Mini cepat.
"Ta-pi...."
"Tapi apa, Sayang?"
Potong Bongkap cepat. Bong Mini tersenyum manis sambil merebahkan kepalanya di pundak papanya dengan sikap manja.
"Tapi apa, hm...?"
Tanya Bongkap seraya mengusap-usap kepala putrinya.
"Ng..., Papa percaya tidak sama mimpi?"
Bong Mini balik bertanya, sementara tangannya memainkan tali baju pangsi papanya.
"Kadang-kadang percaya, kadang tidak,"
Jawab Bongkap.
"Lho, kok begitu?"
Bongkap tersenyum.
"Karena mimpi pun ada yang benar, ada juga yang tidak,"
Jawab papanya menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.
"Kenapa tiba-tiba membicarakan soal mimpi?"
Tanya Bongkap.
"Apa semalam kamu mimpi?"
"Benar, Papa!"
Jawab Bong Mini cepat.
"Hm..., mimpi apa?"
"Mimpi bertemu dengan mama,"
Kata Bong Mini sembari mengangkat kepalanya dari sandaran pundak Bongkap. Lalu kakinya melangkah perlahan menuju jendela kamar. Dikuakkannya pintu jendela kamar itu lebar-lebar, sehingga semilir angin pun berhembus ke dalam ruangan kamar.
"Hm..., terus?"
Tanya Bongkap ingin tahu.
"Dalam mimpi itu, mama tersenyum kepada saya dan menghampiri. Kemudian mama berpesan kepada saya agar bisa menjaga diri dan menjaga Papa."
"Menjaga papa?"
Tanya Bongkap agak terkejut. Ia merasa aneh kenapa justru anaknya yang dipesan un-tuk menjaga dirinya, bukan sebaliknya.
"Ya, Papa,"
Sahut Bong Mini sambil membalikkan badan lalu memandang wajah papanya yang nampak masih keheranan.
"Saya disuruh menegur Papa jika berbuat salah."
Bongkap benar-benar terkejut mendengar cerita Bong Mini. Mimpi putrinya semalam itu seperti petun-juk buat Bong Mini. Sebab bertepatan dengan mim-pinya itu, dia sedang melakukan perampokan terhadap sebuah kapal barang saudagar.
"Kenapa, Papa?"
Tanya Bong Mini ketika melihat wa-jah papanya berubah seperti keheranan.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa,"
Sahut Bongkap cepat. Namun sikapnya agak gugup. Dan itu jelas terlihat oleh Bong Mini. Bong Mini menghampiri papanya. Lalu berjongkok dengan kedua tangan menyentuh lutut papanya.
"Papa kelihatan gugup?"
Hati-hati Bong Mini berka-ta. Khawatir kalau pertanyaannya itu mengundang kemarahan lelaki yang amat dicintainya. Tapi yang dikhawatirkan itu tidak terjadi. Malah dengan lunak papanya mengusap-usap kepala Bong Mini.
"Papa gugup karena merasa heran,"
Jawab Bongkap.
"Kenapa justru kamu yang disuruh menjaga papa?"
Bong Mini tersenyum. Dan senyumnya kali ini begi-tu lembut dan manis. Mirip senyum mamanya ketika masih hidup.
"Ketika masih hidup mama pernah bilang pada saya bahwa lelaki itu setiap melakukan sesuatu selalu de-ngan pikirannya. Sedangkan perempuan bertindak dengan perasaannya,"
Kata Bong Mini, menceritakan kembali apa yang pernah dikatakan mamanya ketika ia mulai beranjak remaja.
Dan kata-kata mamanya itu selalu ia ingat sampai sekarang.
Bongkap mengangguk-angguk.
Ia mulai mengerti makna mimpi Bong Mini itu.
Mungkin putrinya dis-uruh menjaga dirinya untuk mengimbangi tindakan-nya yang selama ini selalu mengandalkan pikirannya, tanpa disaring dengan perasaan yang ada.
"Tapi itu hanya mimpi kan, Pa?"
Desah Bong Mini.
Bibirnya tersenyum, menghibur papanya.
Ia tidak ingin kalau mimpi itu menjadi beban pikiran papanya berha-ri-hari.
Bongkap tersenyum cerah.
Lalu kedua tangannya yang kekar itu kembali memeluk putrinya dengan pe-nuh kasih sayang.
*** Pagi yang cerah.
Matahari telah menampakkan dirinya di ufuk timur.
Cahayanya yang kuning pucat memancar terang ke wajah bumi.
Seakan memberi peringatan kepada selu-ruh penghuni dunia untuk kembali melakukan tugas-nya sehari-hari.
Di pagi yang cerah itu, Bong Mini telah rapi berpa-kaian.
Baju dan stelan celana panjang yang berwarna biru cerah tampak melilit tubuhnya dengan ketat.
Per-paduan antara kulitnya yang langsat dengan warna pakaiannya yang merah cerah menjadikannya bertam-bah cantik.
Apalagi rambutnya yang sebatas bahu di-biarkan bebas lepas, membuatnya semakin menarik dan terlihat dewasa.
Bong Mini tersenyum-senyum melihat penampilan-nya di muka cermin.
Terkadang tubuhnya berputar ke kiri dan kanan untuk meneliti bagian-bagian pakai-annya yang kurang rapi.
Setelah merasa yakin tidak ada kekurangan, ia pun segera mengambil pedang yang terpampang di sudut kamar dan menyelipkannya di punggung.
Lalu ia pun segera keluar kamar untuk menemui papanya.
Dengan wajah cerah berseri, putri Tiongkok yang berumur enam belas tahun itu melangkah menuju ka-mar papanya.
Namun ketika pintu kamar itu dikua-kkan, tidak dilihatnya siapa pun di kamar itu.
Dengan hati-hati ia kembali menutup kamar papanya dan melangkah ke ruang depan.
Siapa tahu papanya ada di sana, begitu pikirnya.
Tetapi sampai di ruang depan ia pun tidak melihat papanya.
Ke mana, ya? Pikirnya berdiri tercenung.
Mungkin di belakang! Lanjut Bong Mini sambil terus melangkah menuju belakang rumahnya.
Sesampainya di pekarangan belakang, Bong Mini melihat papa dan beberapa orang pengawalnya sedang meneliti beberapa ekor kuda.
"Papa!"
Seru Bong Mini sambil berlari kecil.
Sedang-kan bibirnya tampak tersenyum manis.
Bongkap dan para pengawalnya segera menoleh ke arah Bong Mini.
Mereka tercengang sambil berpanda-ngan.
Terlebih lagi dengan Bongkap.
Ia seolah-olah tidak percaya kalau gadis mungil yang berpakaian war-na merah cerah dengan pedang di punggungnya itu adalah putrinya.
Ini dikarenakan penampilannya yang berbeda dengan hari biasanya.
Segar, cantik, dan lincah.
"Lho, kok pada termangu?"
Tanya Bong Mini setelah berada di dekat papanya.
Sepasang matanya yang hi-tam gemerlap, memandang papa dan para pengawal-nya secara bergantian.
Mendapat teguran putrinya itu, Bongkap tersentak sadar.
Lalu ia merubah sikapnya dengan tersenyum lunak pada Bong Mini.
"Sungguh luar biasa anak papa ini!"
Bongkap ber-decak kagum. Matanya terus memandang putrinya tanpa berkedip.
"Memangnya kenapa, Pa?"
Tanya Bong Mini dengan suara yang manja.
"Hari ini putri papa cantiknya bukan main. Mau ke mana, hm...?"
Puji Bongkap sambil bertanya. Bong Mini senyum tersipu-sipu mendapat pujian papanya yang langsung itu. Dengan wajah menunduk ia menjawab.
"Saya mau jalan-jalan, Papa!"
"Jalan-jalan ke mana?"
Tanya Bongkap.
"Hanya sekitar sini, Papa. Bukankah selama tinggal di sini saya belum melihat keadaan di luar?"
Kata Bong Mini dengan sikap manja.
"Hm...,"
Gumam Bongkap setengah berpikir.
"Boleh ya, Papa?"
Bong Mini mendesak.
"Tapi jangan jauh-jauh, ya?"
Bongkap akhirnya mengizinkan.
"Ya, Papa,"
Sahut Bong Mini dengan wajah gembira. Lalu mendekati papanya dan mencium kedua pipinya.
"Terima kasih, Papa!"
Kata Bong Mini seraya melang-kah. Tapi ketika baru dua langkah, papanya menahan dengan pertanyaan.
"Tidak bawa pengawal?"
"Idih, Papa. Memangnya saya anak kecil lagi,"
Sahut Bong Mini sembari mendelikkan mata sehingga terlihat lebih indah dan cantik. Bongkap tersenyum mendengar jawaban putrinya.
"Bukan apa-apa. Gadis cantik sepertimu biasanya suka banyak yang ganggu."
"Jangan khawatir. Saya bisa melayaninya dengan jurus-jurus yang Papa ajarkan,"
Jawab Bong Mini se-raya tersenyum. Bongkap tertawa. Dia senang melihat sikap putrinya yang demikian berani.
"Sudah ya, Pa. Saya pergi dulu,"
Ucap Bong Mini.
Tubuh mungilnya melompat ke punggung kuda dan menghelanya sehingga keluar meninggalkan halaman rumah.
Diiringi oleh tatapan Bongkap yang masih ter-senyum-senyum kagum.
Beberapa menit setelah Bong Mini hilang dari pan-dangannya, Bongkap segera memanggil para penga-walnya yang ikut merampok kemarin malam.
Para pengawal yang dipanggilnya itu segera datang seraya memberi hormat.
"Ada apa, Tuanku?"
Tanya salah seorang pengawal, mewakili teman-temannya.
"Coba dua atau tiga orang di antara kalian pergi gu-dang yang semalam dan bawa dua peti ke sini!"
Perin-tah Bongkap.
"Baik, Tuanku!"
Sahut pengawal tadi, lalu memberi-kan isyarat kepada dua orang temannya untuk pergi ke gudang penyimpanan barang-barang.
Mendapat isyarat itu, dua orang temannya segera melangkah ke dalam.
Tidak lama kemudian mereka kembali lagi dengan membawa dua buah peti hasil rampokan semalam.
"Coba langsung dibuka!"
Perintah Bongkap ketika kedua peti itu diletakkan di hadapannya. Kedua pengawal yang membawa peti tadi segera membukanya. Dan mereka sangat terkejut ketika peti itu telah terbuka.
"Apa isinya?"
Tanya Bongkap ketika melihat keterke-jutan anak buahnya.
"Isinya emas, Tuanku!"
Sahut seorang pengawal yang membuka peti itu, memberitahukan. Para pengawal lainnya tersentak gembira ketika mendengar pemberitahuan temannya itu. Sedangkan Bongkap dengan langkah tenang menghampiri peti yang terletak beberapa meter di hadapannya.
"Hm...,"
Gumam Bongkap kagum. Lalu ia membung-kukkan badan dan mengambil seraup emas. Diperha-tikannya emas yang tergenggam pada tangannya itu lebih dekat lagi.
"Ambilkan kantong kain!"
Perintah Bongkap lagi.
Dua orang pengawal tadi segera bergegas ke dalam untuk mengambil kantong kain yang dibutuhkan Bongkap.
Kemudian mereka kembali lagi dan me-nyerahkan setumpuk kantong kain kepada Bongkap.
Bongkap mengambil kantong kain itu dan meng-isinya satu persatu dengan emas yang ada dalam peti tadi.
Setelah semua kantong kain itu terisi oleh emas, Bongkap melemparkannya satu persatu ke arah para pengawalnya.
"Ini jatah kalian pada setiap satu peti emas,"
Ujar Bongkap memberitahukan. Para pengawal itu menerimanya dengan wajah gem-bira.
"Sedangkan sisa kantong-kantong ini akan kita ba-gikan kepada para rakyat yang menderita kemiskinan,"
Lanjut Bongkap memberitahukan.
"Dan tentunya isi kantong-kantong ini setengah dari isi kantong yang ada di tangan kalian!"
Para pengawal itu memperhatikan isi kantongnya masing-masing.
Kemudian membandingkan dengan kantong yang ada di tangan rajanya.
Dan ternyata isi kantong yang ada di tangan para pengawal itu memang lebih banyak daripada isi kantong emas yang akan di-bagikan kepada rakyat.
Hal ini dilakukan Bongkap dengan pertimbangan bahwa para pengawalnya telah berjasa membantunya dalam melakukan perampokan.
"Nah, selagi putriku sedang keluar, secepatnya kita bagikan hasil rampokan ini kepada rakyat,"
Kata Bongkap lagi. Lalu kakinya segera melangkah menuju kudanya, diikuti oleh para pengawalnya yang setia.
"Ashiong dan Achen saja yang ikut bersamaku. Yang lainnya tetap berjaga-jaga di sini,"
Sergah Bongkap dari atas punggung kudanya.
Para pengawal lain yang sudah hendak menung-gang kuda, mengurungkan niat dan kembali ke tempat tugas mereka.
Hanya Ashiong dan Achen saja yang menyertai Bongkap.
*** Di bawah terik matahari yang menyengat, seorang gadis berumur enam belas tahun berpakaian merah yang membungkus tubuhnya serta bertudung topi di kepalanya, tampak tengah menunggang kuda dengan tenang.
Pandangan matanya menyebar pada rumah-rumah penduduk yang sebagian berbentuk rumah panggung.
Gadis cantik itu tidak lain putri Bong Mini.
Dia baru saja mengadakan perjalanan untuk melihat keadaan kampung-kampung yang berada di bawah kekuasaan papanya.
Sesekali ia pun mengadakan percakapan dengan para penduduknya.
Dalam percakapan itu Bong Mini mendapat kesan bahwa penduduk yang be-rada di bawah kekuasaan papanya tengah dilanda ke-miskinan.
Malah sebagian penduduk yang ditemuinya banyak menderita kelaparan, karena sawah dan la-dangnya mengalami kekeringan akibat musim kema-rau.
Melihat kenyataan itu, sebagai gadis yang mempu-nyai perasaan halus, Bong Mini merasa iba hatinya.
Sehingga perbekalan uang yang ia bawa, sebagian te-lah diberikan kepada para penduduk yang benar-benar sedang kelaparan.
Di lain pihak, hatinya pun turut terhibur manakala melihat para penduduk bersikap sopan kepadanya.
Malah tidak sedikit di antara mereka yang bersikap berlebihan.
Misalnya, kalau ia berjalan banyak para penduduk di sekitarnya menyingkir memberi jalan sambil membungkukkan badan padanya sebagai tanda hormat.
Karena sebagian dari mereka tahu bahwa ga-dis asing bermata sipit dan berwajah cantik itu adalah seorang anak raja yang baru.
Raja yang mempunyai banyak perhatian kepada rakyatnya.
Sebagai gadis yang rendah hati, Bong Mini merasa keberatan dengan sikap hormat penduduk yang berle-bihan itu.
Ia tidak ingin penghormatan yang berlebihan itu hanya karena ia seorang putri raja.
Justru hal itu yang ingin ia jauhi.
Ia hanya ingin dihormati kalau penduduk itu kagum karena perilaku yang ditampil-kannya sendiri.
Bukan karena pengaruh papanya se-bagai raja di negeri Selat Malaka ini.
Oleh karena itu ia terkadang memberikan pengertian kepada penduduk untuk tidak menghormatinya secara berlebihan karena didatangi seorang putri raja.
"Hormatilah aku sebagai manusia biasa tanpa di-hubungkan dengan kebesaran nama papaku!"
Kata Bong Mini, memberikan pengertian pada para pendu-duk pada suatu kali.
Sedang santainya Bong Mini menunggang kuda, ti-ba-tiba telinganya mendengar tangisan seorang anak kecil.
Tangisan anak itu begitu menyayat hatinya.
Dengan rasa ingin tahu, Bong Mini turun dari pung-gung kuda dan menghampiri rumah, di mana terde-ngar tangisan anak itu.
Di dalam rumah itu, Bong Mini melihat seorang perempuan tua sedang memeluk dan membujuk anak perempuannya yang menangis.
Bong Mini terharu menyaksikan adegan kedua ibu beranak itu.
Lalu dengan langkah perlahan ia men-dekat lalu duduk di sebelah perempuan tua itu.
"Kenapa dia, Bu?"
Tanya Bong Mini pelan. Perempuan tua yang tengah memeluk anak perem-puan itu menoleh pada Bong Mini sekilas. Ternyata perempuan tua itu pun turut menangis. Terlihat dari kedua pipinya yang keriput dibanjiri air mata.
"Cucuku minta makan,"
Sahut perempuan tua itu dengan suara gemetar menahan tangis.
"Memangnya tidak ada makanan?"
Tanya Bong Mini. Perempuan tua itu menggeleng lemah.
"Sudah dua hari ini kami tidak makan nasi. Se-dangkan jagung pun telah habis kami makan kema-rin,"
Perempuan tua itu menjelaskan.
Bong Mini benar-benar terharu mendengar penutu-rannya.
Tanpa disadarinya, dua bulir air mata bergulir membasahi kedua belah pipinya.
Cepat-cepat Bong Mini mengambil perbekalan makanan yang sengaja ia bawa ketika berangkat dari rumahnya tadi.
Kemudian diberikannya perbekalan itu kepada perempuan tua itu.
Betapa gembiranya wajah perempuan tua itu mene-rima pemberian Bong Mini.
Walaupun makanan itu hanya cukup untuk dimakan cucunya.
"Tenang. Berhentilah menangis, Cucuku. Ini ada makanan untuk mengganjal perutmu yang sakit,"
Bu-juk perempuan tua itu sambil cepat-cepat membuka kain pembungkus makanan.
Setelah itu diberikannya makanan pemberian Bong Mini itu kepada cucunya.
Anak perempuan yang menangis itu, yang berumur sekitar empat belas tahun, segera mengambil makanan yang diberikan neneknya dengan tangan gemetar kare-na sejak kemarin sore menahan lapar.
Dinikmatinya makanan itu dengan lahap.
Sehingga dalam waktu singkat, makanan yang ada dalam rantang itu habis tanpa sisa.
Bong Mini tersenyum haru karena makanan yang dibawanya itu tidak sia-sia.
"Terima kasih, Non...."
"Mini. Nama saya Bong Mini,"
Potong Bong Mini memperkenalkan namanya.
"Ya, terima kasih, Non Mini,"
Ucap perempuan tua itu sambil meneliti keadaan pakaian Bong Mini yang terlihat begitu bagus. Matanya berbinar kagum. Apa-lagi ketika melihat sebilah pedang yang terselip di punggung Bong Mini.
"Nona Mini seorang pendekar?"
Tanyanya, langsung menebak. Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Saya perempuan biasa, Nek,"
Sahut Bong Mini.
"Tapi biasanya kalau perempuan menyandang sebi-lah pedang di punggungnya, itu berarti ia seorang pendekar,"
Kata perempuan tua itu lagi.
"Mungkin. Tapi saya bukan pendekar,"
Elak Bong Mini merendah.
"Tapi pedang itu?"
Tanya perempuan tua itu sambil menunjuk ke arah pedang yang disandang Bong Mini. Bong Mini lagi-lagi tersenyum padanya.
"Pedang ini hanya untuk membela diri. Khawatir ada orang jahat yang mengganggu,"
Jawab Bong Mini. Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Namun hatinya tetap mengatakan kalau wanita muda dan cantik di sisinya adalah seorang pendekar.
"Benar, Non Mini. Sekarang ini kalau kita keluar mesti hati-hati!"
Ujar perempuan tua itu setengah memperingatkan.
"Memangnya kenapa, Nek?"
Bong Mini ingin tahu.
"Kampung ini telah dimasuki oleh perampok-peram-pok yang bertopeng dermawan,"
Jawab perempuan tua itu menjelaskan.
"Maksud Nenek?"
Tanya Bong Mini tidak mengerti.
"Mereka berpura-pura menjadi dermawan yang memberikan pinjaman uang. Tapi kalau kita tidak me-lunasi pinjaman bersama bunga yang telah ditentukan tepat pada waktunya, mereka akan menjarah harta benda yang kita miliki. Tapi kalau kita mempunyai anak gadis yang cantik, maka anak gadis kita akan dibawa pulang oleh mereka sebagai pembayar hutang,"
Tutur perempuan itu menjelaskan.
Mendengar cerita perempuan tua itu, emosi Bong Mini menjadi bergejolak.
Darahnya mendidih, mema-naskan sifat kependekarannya.
Sedangkan matanya yang tadi lembut, berubah berkilat-kilat sebagai tanda kemarahannya.
Sejak kematian mamanya di tangan seorang pang-lima, Bong Mini menjadi sangat benci terhadap kaum lelaki.
Jangankan bercakap-cakap, melihatnya pun ia sudah tidak sudi.
Kematian mamanya yang begitu tragis telah membunuh nurani kasihnya terhadap kaum lelaki.
Hanya papanya satu-satunya lelaki yang ia kasihi.
Karena selain papa yang mendidik dan membe-sarkannya, ia juga sangat mengerti sifat papanya yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap mamanya ketika masih hidup.
Termasuk pada dirinya sendiri.
Padahal di luar keluarganya, papanya akan berubah sikap menjadi garang dan sadis.
Bahkan dijuluki sebagai singa perang ketika masih mengabdi di Kerajaan Manchuria.
"Jahanam!"
Umpat Bong Mini tanpa sadar, menang-gapi cerita perempuan tua itu.
"Ada apa, Non?"
Tanya perempuan tua itu kaget.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa,"
Jawab Bong Mini cepat sambil memperlihatkan sikap lembutnya. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan berdiri tegak sebagaimana seorang pendekar.
"Ini untuk Nenek,"
Kata Bong Mini lagi seraya mem-berikan beberapa keping uang yang diambilnya dari balik baju.
Perempuan tua itu menerima pemberian uang dari Bong Mini dengan perasaan gembira.
Sehingga sampai beberapa kali ia mengucapkan terima kasih kepada Bong Mini.
"Saya permisi dulu, Nek. Lain kali saya mampir la-gi,"
Ucap Bong Mini.
"O, ya. Nama adik siapa?"
Tanya Bong Mini pada gadis kecil yang tadi menangis.
"Namaku Thong Mey,"
Ucap gadis kecil itu. Dia seo-rang anak yang dilahirkan dan dibesarkan di tempat itu.
"Baiklah Thong Mey, saya pergi dulu. Lain kali kita bertemu lagi!"
Kata Bong Mini.
Setelah itu ia pun melangkah keluar, kemudian melesat cepat bersama ku-danya.
Tanpa terasa ia sudah jauh berlalu dari tempat tadi.
Kini ia sampai di Kampung Dukuh yang cukup ramai penduduknya.
Di sana dilihatnya dua kedai yang ja-raknya agak berjauhan.
Kemudian Bong Mini masuk ke salah satu kedai yang letaknya begitu menyudut tersendiri.
Kedai itu sepi.
Tak seorang pun terlihat di situ.
Kecuali sepasang suami istri pemilik kedai yang sedang duduk lesu di belakang meja makan.
Ketika melihat Bong Mini masuk ke dalam kedainya, pasangan suami istri itu segera berdiri menyambutnya dengan wajah gembira.
Seolah sejak pagi mereka belum menda-patkan langganan.
Dengan sikap ramah Bong Mini mendekati mereka untuk memesan makanan.
Setelah itu ia pun duduk pada sebuah bangku yang terletak agak menyudut.
Tidak lama kemudian, makanan yang dipesannya telah diantar oleh seorang pemilik kedai itu dan mena-ruhnya, di atas meja.
"Terima kasih,"
Ucap Bong Mini.
Lalu ditariknya pi-ring nasi pesanannya dan menyantapnya dengan pe-nuh kenikmatan.
Sedang asyiknya ia menyantap makanan, tiba-tiba masuk empat lelaki dengan golok terselip di pinggangnya masing-masing.
Mereka datang ke situ dengan si-kap kurang sopan.
Tiga orang yang berwajah hitam dan berkumis langsung mendekati pemilik kedai.
Se-dangkan seorang lagi hanya duduk mengangkat kaki di kursi.
Sedangkan pedang yang dibawanya diletakkan di atas meja.
Yang satu itu nampaknya bukan asli orang sini, gumam Bong Mini dalam hati, mengamati lelaki yang membawa pedang.
Ia begitu leluasa memperhatikan tingkah laku keempat orang yang tidak dikenalnya.
Hal itu disebabkan karena tubuhnya yang mungil tertutup oleh meja makan sampai sebatas dada.
Sehingga hanya bagian kepalanya saja yang nampak.
Itu pun terhalang oleh tudung yang dikenakannya.
Di balik meja makanan, pasangan suami istri tadi kelihatan merengket ketakutan.
Wajah mereka yang tadi berseri-seri ketika menyambut kedatangan Bong Mini, berubah menjadi pucat.
"Kalian tentu sudah tahu maksud kedatangan kami ke sini,"
Kata seorang dari ketiga lelaki yang meng-hampiri pemilik warung.
"Ya. Ya. Kami..., kami mengerti maksud kedatangan Tuan semua,"
Sahut pemilik warung yang lelaki. Ketiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban pemilik warung.
"Berarti kalian sudah mempersiapkannya,"
Ucap seorang dari ketiga lelaki itu setelah menghentikan tawanya.
Sedangkan dua teman lainnya masih tetap ter-tawa sambil mengambil tempat duduk di dekat pe-mimpin kelompok mereka yang keturunan Tionghoa.
Sepasang suami istri pemilik warung itu saling ber-pandangan takut.
"Heh, kenapa diam?"
Tanya lelaki yang masih berdiri itu.
"Maaf, Tuan. Saya..., saya belum bisa melunasinya,"
Mohon lelaki pemilik warung dengan badan gemetar.
"Apa? Belum bisa melunasi?"
Ulang lelaki itu sambil menggebrak meja di depannya.
Karuan saja, nasi, lauk-pauk, dan semua makanan yang ada di situ me-lompat karena getaran.
Bahkan sebagian ada yang ter-jatuh ke tanah.
Mendengar gebrakan meja yang demikian kencang, pasangan suami istri itu mundur ketakutan.
"Kalau kalian tidak bisa melunasinya hari ini, ka-lian harus menyerahkan rumah ini kepada kami,"
An-cam lelaki berwajah bengis itu. Lalu ia melangkah dan duduk bersama-sama temannya yang lain.
"Jangan, Tuan. Kalau rumah ini diambil, di mana kami harus tinggal?"
Iba lelaki tua pemilik warung itu dengan wajah memelas.
"Itu urusan kalian. Yang penting hari ini kalian ha-rus bayar hutang kepada saudagarku. Mengerti?!"
Ben-tak lelaki beringas itu lagi.
"Tapi...,"
Kata lelaki tua pemilik warung seraya men-dekat untuk meminta belas kasihan.
"Ah..., sudah!"
Hardik lelaki tadi sambil mendorong tubuh lelaki tua pemilik warung hingga jatuh.
Melihat suaminya terjatuh, perempuan tua pemilik warung menjerit ketakutan.
Sehingga anak gadisnya yang sejak tadi berada di dalam, keluar untuk menge-tahui apa yang terjadi.
Melihat kecantikan gadis yang keluar tergopoh-go-poh itu, mata lelaki berwajah bengis tadi memperhatikan dengan penuh birahi.
"Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang anak gadis juga, Pak Tua,"
Kata lelaki tadi, masih meman-dangi sang gadis. Mendengar kata-kata itu, istri pemilik warung sege-ra mendekap anaknya erat-erat. Ia sudah tahu mak-sud ucapan lelaki itu.
"Pak Tua, hutangmu kubebaskan. Dengan syarat anak gadis itu harus ikut bersama kami,"
Ucap lelaki bengis itu kembali, disambut gelak tawa teman-temannya.
"Jangan, Tuan. Berilah tempo kepada kami tiga hari lagi. Kami akan melunasi!"
Pinta lelaki tua pemilik warung sambil menyembah-nyembah.
"Puih! Aku muak dengan tempo yang kamu janjikan itu!"
Bentak lelaki tadi. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri anak gadis pemilik warung itu. Diikuti oleh kedua temannya.
"Cantik juga anakmu ini!"
Seloroh lelaki bengis itu, sementara tangannya menyentuh pipi anak gadis pemilik warung. Gadis itu mundur ketakutan sambil memegang erat pinggang ibunya.
"Jangan takut, manis. Kami akan membahagia-kanmu di sana,"
Kata lelaki tadi sambil memeluk bahu sang gadis, dibantu oleh kedua temannya sehingga anak gadis itu terlepas dari pelukan ibunya.
"Lepaskan. Jangan ganggu aku!"
Gadis itu meronta-ronta. Namun usahanya untuk memberontak malah membuat ketiga lelaki itu semakin senang. Lelaki bermata sipit yang sejak tadi hanya duduk sambil tersenyum melihat tingkah teman-temannya segera bangkit dan menghampiri.
"Bodong, bawa anak gadis itu ke dalam! Ini ba-gianku yang pertama,"
Ujar lelaki bermata sipit itu. Lelaki berwajah bengis yang bernama Bodong me-noleh ke arah temannya yang bermata sipit.
"Bukankah ini untuk persembahan saudagar kita?"
Tanya si Bodong.
"Sekali-sekali saudagar kita mendapatkan ampas-nya tidak apa-apa, bukan?"
Jawab lelaki bermata sipit, diiringi gelak tawa teman-temannya. Lalu mereka menarik paksa gadis itu untuk masuk ke dalam kamar.
"Lelaki pengecut! Beraninya hanya pada lelaki tua dan perempuan yang tak berdaya!"
Tiba-tiba terdengar bentakan seorang perempuan yang tak lain suara Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan sepak-terjang keempat lelaki itu.
Laki-laki bermata sipit, Bodong dan kedua teman-nya serentak menoleh ke sudut ruangan, di mana Bong Mini duduk dengan tenang memperhatikan me-reka.
"He..., rupanya sejak tadi ada perempuan cantik di kedai ini,"
Kata lelaki sipit dengan mata memperhatikan Bong Mini. Wajahnya terkagum-kagum karena ke-cantikan Bong Mini.
"Puih!"
Bong Mini membuang ludah sebagai tanda kebenciannya. Lalu kakinya melangkah sampai ke de-kat pintu.
"Lepaskan perempuan itu!"
Bentak Bong Mini tegas. Sorot matanya tajam menandakan kemara-hannya. Mendapat bentakan dari seorang perempuan cantik yang mungil itu, keempat lelaki tadi tertawa terbahak-bahak.
"Tentu..., tentu. Asal Nona bersedia menggantikan-nya,"
Ledek lelaki bermata sipit, diiringi oleh gelak ta-wa.
"Boleh. Asal bisa melangkahi mayatku!"
Jawab Bong Mini menantang.
Tanpa menunggu lama lagi, tubuhnya segera melesat ke luar kedai.
Beberapa saat keempat lelaki itu tercengang melihat lompatan Bong Mini yang demikian ringan dan cepat.
Tapi tak lama kemudian mereka pun tertawa sambil menghampiri Bong Mini yang sudah berdiri tegak menghadap mereka.
"Rupanya nona cantik ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan,"
Tukas lelaki bermata sipit itu di sela-sela tawanya.
"Kalian jangan hanya bermulut besar. Majulah ka-lau memang kalian mengaku sebagai lelaki!"
Tantang Bong Mini, memancing emosi lawan. Mendapat tantangan itu, lelaki bermata sipit kem-bali tertawa keras. Begitu pula dengan ketiga teman-nya.
"Aku tidak sampai hati melukai tubuh Nona yang mulus itu. Apalagi tubuh Nona begitu kecil yang ting-ginya hanya setengah dari badan kami,"
Ucap lelaki bermata sipit itu setengah mengejek. Betapa marahnya Bong Mini mendapat ejekan se-perti itu. Namun ia mencoba bersikap tenang.
"Jangan banyak bicara, Kecoa Kakus! Ayo, maju-lah!"
Tantang Bong Mini.
"Japra, majulah kamu sendiri. Kau pasti bisa meng-gendong gadis mungil itu,"
Perintah lelaki bermata sipit diiringi gelak tawa kedua temannya.
Bong Mini benar-benar marah.
Ia merasa dileceh-kan oleh lawannya.
Maka ketika Japra dengan santai hendak memeluknya, Bong Mini segera menyambut dengan sebuah tendangan.
Tepat mengenai lehernya.
Sehingga Japra terjatuh ke samping.
Ketiga temannya tertawa tergelak-gelak ketika meli-hat Japra terjatuh.
"Ayo bangun, Japra! Masa' kalah dengan anak ke-cil?!"
Teriak lelaki bermata sipit.
Japra bangun dengan muka merah.
Ia merasa telah dibuat malu oleh gadis yang dianggapnya kecil itu.
La-lu ia pun menghampiri dengan sikap hati-hati.
Bong Mini yang sudah dikuasai marahnya kembali menyambut lawannya dengan tendangan tipuan.
Lalu disusul dengan tendangan melintir sehingga Japra terjatuh agak keras.
Bug! "Bangsat! Kau tidak boleh dikasih hati rupanya!"
Ge-ram Japra.
Langsung bangun dan menerjang Bong Mini.
Tapi Bong Mini memanfaatkan tubuhnya yang mungil.
Ia menjatuhkan diri ke depan, lalu berbalik menyerang Japra dengan tendangan yang begitu keras.
Tepat mengenai 'burung'nya.
Tubuh Japra terhuyung ke depan sambil memegan-gi burungnya yang nyaris pecah.
Bug! Tubuh Japra tersungkur ke tanah.
Wajahnya mem-bentur batu dengan keras, sehingga mengeluarkan da-rah dari hidung dan mulutnya.
Melihat Japra tak bisa bangun lagi karena menahan sakit pada wajah dan burungnya, lelaki bermata sipit menjadi geram.
Ia segera memerintah kedua temannya, Kedot dan Bodong untuk menangkap Bong Mini.
Tapi sebelum mereka menyentuh tubuh Bong Mini, Bong Mini segera membuang satu lompatan ke atas lantas sepasang kakinya menendang kedua lawan sekaligus.
Bodong dan Kedot terjerembab ke belakang.
Sebab walaupun tubuh Bong Mini lebih kecil dari lawannya, tapi setiap pukulan selalu diiringi dengan ilmu tenaga dalam.
Dan ilmu tersebut yang pertama kali dite-rapkan Bongkap kepada putrinya.
Mengingat tubuh Bong Mini yang kecil itu takkan mampu menjatuhkan lawan dengan pukulan sekeras apa pun, bila tidak di-imbangi dengan ilmu tenaga dalam.
Kedua lawannya bangkit kembali.
Wajah mereka be-rubah bengis.
Tidak menyangka kalau gadis bertubuh mungil itu mempunyai pukulan yang demikian keras.
"Gadis ini tidak boleh diajak main-main kalau kita tidak mau dibuat malu!"
Geram Bodong kepada Kedot. Lalu ia meluruk dengan cepat ke arah Bong Mini. Di-susul dengan serangan yang dilakukan oleh Kedot. Ta-pi dengan gesit, Bong Mini segera melompat dan hing-gap dengan ringan di sebuah batang pohon.
"Hi hi hi...!"
Bong Mini tertawa melihat lawannya hanya menatap melongo ke arahnya.
"Inilah kelebihan orang bertubuh kecil!"
Teriak Bong Mini.
"Hm..., dia benar-benar memiliki kepandaian ilmu bela diri yang tidak boleh dianggap remeh!"
Gumam lelaki bermata sipit sambil memandang Bong Mini yang dengan santai duduk di atas sebatang pohon.
"Hei, bocah perempuan tengik, turunlah! Aku ke-pingin menguji kehebatan ilmu yang kau miliki!"
Teriak lelaki bermata sipit.
"Nah, begitu dong. Saya baru serius melawan ka-lian!"
Teriak Bong Mini sambil meloncat dengan ringan ke bawah.
"Ayo, majulah kalian biar urusan cepat selesai,"
Tantang Bong Mini dengan kuda-kuda siap mengada-kan perlawanan.
"Bangsat! Kau benar-benar bocah perempuan tengik yang tidak boleh dikasih hati!"
Maki lelaki bermata sipit seraya menyerang Bong Mini, diikuti oleh kedua temannya.
Mendapat serangan serentak dari tiga lawannya, tubuh Bong Mini meloncat dan bersalto.
Lalu kembali berdiri tegak.
Bahaya.
Kalau aku tidak mempergunakan pedang ini, perkelahian akan berlarut-larut, bisik hati Bong Mini.
Lalu tangannya segera mencabut pedang.
Sreset! Pedang Bong Mini berkilat-kilat karena ditimpa si-nar matahari yang memancar panas.
Melihat Bong Mini mengeluarkan pedang, ketiga la-wannya mulai berhati-hati.
Mereka merasa bahwa Bong Mini benar-benar akan membunuh mereka.
Ma-ka dengan serentak ketiga lawannya itu menyerang Bong Mini dari berbagai penjuru.
Tapi dengan kelebi-han yang dimiliki tubuhnya, Bong Mini kembali melen-ting sambil mengayunkan pedangnya ke salah seorang lawan.
Srettt! Pedang Bong Mini membabat pundak Kedot dengan keras.
Membuat lawannya itu meringis kesakitan sam-bil memegangi bahunya yang banyak mengeluarkan darah.
Lelaki bermata sipit bersama Bodong tidak tinggal diam.
Mereka menyerang Bong Mini dengan gencar.
Namun Bong Mini tak kalah gesit.
Tubuhnya melompat kian kemari dan sesekali bersalto dengan lincah.
Se-hingga lawannya bingung melihat tubuh Bong Mini berputar-putar bagai baling-baling kapal.
Bong Mini mempergunakan kesempatan itu dengan melancarkan serangan kilat.
Bug! Bug! Srettt! Dua pukulan beruntun mengenai rahang lelaki bermata sipit dan punggung Kedot.
Sedangkan pedang yang digenggamnya menyabet Bodong.
Tepat pada pu-sarnya yang menyembul sehingga dalam sekejap tu-buhnya terjatuh tanpa berkutik lagi.
"Maaf, lain kali kita lanjutkan lagi!"
Seru Bong Mini.
Lalu tubuhnya melesat duduk di atas punggung kuda lantas memacunya dengan cepat.
Japra, Kedot, dan lelaki bermata sipit itu meman-dang kepergian Bong Mini sambil meringis menahan sakit.
Pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Bong Mini tadi telah membuat keduanya muntah darah.
*** Malam itu, Bongkap dan para pengawalnya tampak begitu gelisah.
Bong Mini, putri kesayangan satu-satunya belum juga pulang.
Padahal sebelum putrinya keluar, ia sudah memperingatkan untuk tidak berja-lan-jalan jauh.
Tapi nyatanya sampai malam begini, ia belum pulang juga.
Dua orang pengawal yang disuruh mencari Bong Mini sejak sore tadi sudah kembali.
Tapi mereka tidak berhasil mendapatkan Bong Mini.
Padahal, nanti malam Bongkap bersama para pengawalnya akan mela-kukan aksi perampokan lagi yang kali ini akan dilaku-kan di daratan.
Karena menurut informasi, nanti ma-lam akan lewat kereta barang yang dibawa dari kapal di Selat Malaka menuju Padangmoro, sebuah kota kecil di mana saudagar pemilik kereta barang itu berada.
Kalau sampai tengah malam nanti Bong Mini belum juga pulang, tentu rencana itu dibatalkan.
Jika renca-na itu diteruskan, ia khawatir Bong Mini akan mencu-rigainya, lalu pada akhirnya memergoki sepak-terjangnya selama ini.
Bongkap mendesah kesal.
Kalau saja bukan Bong Mini yang membuatnya gelisah, tentu ia akan marah.
Tapi karena yang membuat ulah itu putrinya, maka kemarahannya ia simpan sebisanya.
Bagaimanapun juga ia tidak ingin memarahi putri yang dikasihinya itu.
Pada saat seisi rumah itu gelisah, tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Pa...!"
Bongkap yang sejak tadi gelisah di kursinya menda-dak berubah gembira. Ia berdiri menyambut kedatan-gan putrinya.
"Kau, Sayang. Dari mana saja, hm...?"
Tanya Bong-kap seraya merangkul putrinya dan membelai-belai rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Maafkan saya, Papa. Saya telah membuat Papa dan seisi rumah ini gelisah,"
Ucap Bong Mini sambil menatap Bongkap dengan wajah berseri.
"Ya. Ya. Papa maafkan. Tapi tolong jelaskan dulu dari mana kamu?"
Sahut Bongkap sambil bertanya.
"Saya telah melanggar janji, Papa."
"Hm...?"
Bongkap tidak mengerti.
"Saya telah pergi jauh, Papa,"
Jawab Bong Mini, mengakui terus terang akan pelanggaran janjinya.
"Pergi jauh ke mana, hm...?"
Tanya papanya ingin tahu.
Bong Mini melepaskan pelukannya, melangkah me-nuju kursi.
Sedangkan pedangnya diletakkan di atas meja.
Kemudian ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang dilihat dan dialaminya.
Bong Mini juga menceri-takan mengenai perjumpaannya dengan seorang pe-rempuan tua dan seorang anak perempuan yang te-ngah kelaparan.
"Rupanya masih ada penduduk sekitar sini yang menderita kelaparan,"
Tutur Bong Mini seraya meman-dang papanya sungguh-sungguh.
"Itu salah satu cermin kehidupan manusia. Ada yang kaya, ada yang miskin,"
Sahut Bongkap.
"Terus-kan!"
Bong Mini menghela napas.
"Dari perempuan tua itu saya banyak mendengar cerita yang sangat menarik. Dia mengatakan bahwa penduduk sekitar Desa Grojogan tengah diguncang prahara. Ada seorang perampok yang menyamar seba-gai dermawan!"
Bongkap kaget mendengar keterangan putrinya itu.
Begitu pula dengan para pengawalnya.
Mereka khawa-tir kalau perkataan Bong Mini tadi merupakan tudu-han buat dirinya.
Bukankah hasil rampokannya ia ba-gikan kepada para penduduk? Kalau memang benar yang dimaksud, berarti ada orang yang mengetahui perbuatannya, tapi siapa? Bongkap mencoba bersikap tenang.
Ia tidak ingin putri yang disayanginya itu menaruh curiga padanya.
"Siapakah gerombolan perampok itu?"
Pancing Bongkap ingin tahu. Bong Mini kemudian menceritakan sepak-terjang para perampok itu. Sesuai dengan keterangan dari pe-rempuan tua yang ia kunjungi. Ia juga menceritakan tentang kerakusan para perampok tersebut dalam menghadapi perempuan.
"Bila melihat perempuan, mereka langsung memak-sanya. Diri para perampok itu telah dikuasai oleh iblis-iblis liar,"
Cetus Bong Mini dengan nada suara yang agak marah. Bongkap menghela napas lega. Perampok yang di-katakan Bong Mini ternyata bukan dia.
"Setelah saya keluar dari rumah nenek itu, saya ba-ru sadar kalau perjalanan sudah demikian jauh. Ke-mudian saya berniat untuk kembali pulang. Sebelum itu saya mampir ke sebuah warung di Kampung Du-kuh untuk makan. Tapi ketika saya sedang asyik me-nikmati makanan, tiba-tiba datang empat lelaki berwajah garang. Ternyata mereka perampok yang berpura-pura dermawan itu,"
Ungkap Bong Mini.
"Jadi kamu langsung bertemu dengan para peram-pok itu?"
Tanya Bongkap. Ia mengira pasti terjadi perkelahian antara putrinya dengan keempat perampok itu.
"Ya, Papa. Malah saya sempat bertempur dengan keempat perampok itu ketika mereka hendak menodai seorang anak gadis pemilik warung itu,"
Sahut Bong Mini.
"Papa sudah menduga. Tapi bagaimana kelanjutan-nya?"
"Satu dari keempat orang itu tewas. Sedangkan ke-tiga lelaki lain saya buat cidera untuk bukti kekalahan di hadapan pemimpin mereka nanti,"
Jawab Bong Mini. Kemudian bibirnya tersenyum bangga. Bongkap mengusap-usap kepala putrinya dengan bangga pula. Ia senang kalau putrinya telah mampu menghadapi empat orang lawan, sekaligus menga-lahkannya.
"Papa kagum atas kemampuanmu. Tapi ingat, ke-berhasilanmu itu jangan dijadikan sebagai satu ke-sombongan. Sebab walaupun ada manusia yang hebat, tak pernah tertandingi oleh siapa pun juga, tapi masih ada yang bisa mengalahkannya dengan seketika,"
Ucap Bongkap mengingatkan putrinya. Bong Mini tercekat kaget. Ia heran, orang yang tak pernah terkalahkan seperti kata papanya tadi, kok masih bisa dikalahkan? "Siapa yang dapat mengalahkan orang jago itu, Pa-pa?"
Tanya Bong Mini ingin tahu.
"Yang Maha Kuasa,"
Jawab Bongkap tenang. Namun cukup membuat putrinya, para pengawal serta da-yang-dayangnya tercengang. Mereka tercengang karena baru kali ini mendengar Bongkap menyebut nama Yang Kuasa.
"Kau harus ingat kata-kata papa yang satu ini!"
"Apa, Papa?"
"Jangan sombong!"
Kata papanya memperingatkan.
Sebab walaupun ia sekarang menjadi seorang pemim-pin perampok, ia tidak ingin sifat-sifat jeleknya itu menurun pada anaknya.
Dia berharap, biarlah sifat-sifat Bong Mini menyerupai ibunya, Sinyin.
Sedangkan keberanian di medan perang, Bong Mini harus mengikuti jejaknya.
Karena memang itu persyaratan orang yang terjun ke medan perang.
Berani dan harus sadis.
Ka-lau mau jadi singa, jadilah singa jantan, jangan betina.
Itu prinsip Bongkap kala ia berada di medan laga.
"Kesombongan tidak akan abadi. Kita akan hancur ditelan kesombongan itu sendiri!"
Lanjut Bongkap me-nasihati putrinya. Bong Mini menatap papanya dengan penuh keka-guman. Bibirnya tersenyum dan papanya dipeluk erat.
"Sekarang pergilah makan dan istirahat. Tentu kau lapar dan lelah,"
Bisik Bongkap ketika membalas deka-pan putrinya.
"Ya, Papa!"
Bong Mini melepaskan rangkulannya. Lalu dengan lincah ia masuk ke dalam.
"Bibi, temanilah putriku!"
Perintah Bongkap kepada tiga orang dayangnya.
Ketiga dayang itu membungkuk memberi hormat.
Lalu mereka menggeser badan ke belakang.
Setelah mundur dua langkah dari Bongkap, mereka berdiri dan langsung melangkah ke dalam.
Itu adalah salah satu adat kerajaan, di mana bawahan harus tetap tun-duk dan hormat.
Berdiri tidak sama tinggi.
Duduk pun tidak sama rendah.
Itulah pepatah yang lebih tepat untuk perbedaan raja dan bawahan.
Sepeninggalan putrinya, Bongkap jadi berpikir.
Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin