Sepasang Pendekar Selatan 2
Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Bagian 2
Ka-lau tadi ia cemas karena putrinya belum pulang, kini ia cemas dengan cerita Bong Mini yang telah berhasil merobohkan empat orang lawannya.
Sebab tidak mus-tahil tiga di antara empat orang yang dibiarkan hidup itu akan melapor kepada pemimpin mereka.
Dan bila dugaan ini benar, maka putrinya akan terancam ba-haya yang lebih besar.
Mereka akan berusaha mencari putrinya.
Berusaha menangkap dan menyerangnya.
Sehingga mau tidak mau akan melibatkan dirinya dan para pengawal kerajaan.
Bila benar, kelanjutan peristiwa putrinya akan menjadi masalah yang besar.
Sebenarnya bukan masalah penyerangan yang ia khawatirkan.
Baginya, masalah pertempuran atau pe-kik kematian di tengah bau amis darah merupakan hal yang sudah biasa.
Itu sudah menjadi bagian hidup Bongkap bersama para pengikutnya.
Tapi yang ia khawatirkan kalau pertempuran itu akan melibatkan para penduduk yang tidak berdosa.
Padahal penduduk negeri Selat Malaka yang berada di bawah pimpinan-nya itu tengah mengalami bencana kemiskinan dan ke-laparan.
Tapi kalau memang harus terjadi, apa boleh buat.
Sebagai raja baru di negeri Selat Malaka ini aku harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kea-manan rakyat.
Baik dalam masalah kebutuhan hidup mereka sehari-hari maupun terhadap rongrongan pi-hak luar! Pikir Bongkap akhirnya, mengambil keputu-san.
Lalu ia pun menjatuhkan diri di kursi kerajaan untuk melepaskan ketegangan pikirannya.
Tanpa tera-sa ia tertidur di singgasananya.
*** "Bibi.
Tinggalkanlah saya sendirian di sini,"
Ucap Bong Mini kepada ketiga dayangnya ketika sampai di kamar.
"Tapi papa Nona menyuruh kami untuk menemani di sini!"
Ucap seorang dayang yang sangat patuh ter-hadap perintah rajanya.
"Tidak apa-apa, Bibi. Papa tidak akan marah. Kalau papa bertanya, bilang saja bahwa itu kemauanku!"
Ki-lah Bong Mini.
Ketiga dayang itu saling berpandangan.
Mereka me-rasa serba salah.
Kalau kemauan putri Bong Mini di-ikuti, berarti mereka telah menentang perintah ra-janya.
Tapi kalau tetap berpegang pada perintah raja, Bong Mini sendiri meminta mereka untuk meninggal-kannya sendirian di kamar.
Namun akhirnya ketiga dayang itu mengikuti kehendak Bong Mini.
Pikir mere-ka, Bong Mini merupakan putri kesayangan raja satu-satunya.
Tentu raja akan mengabulkan kehendak Bong Mini.
Dan tentunya mereka tidak akan dimarahi.
Setelah membungkuk hormat kepada Bong Mini, ketiga dayang itu segera melangkah keluar.
Meninggalkan putri rajanya sendirian di dalam kamar.
Bong Mini menghela napas lega.
Lalu segera mere-bahkan badannya di atas kasur dengan mata meman-dang langit-langit kamar.
Sedangkan pikirannya terus tertuju pada peristiwa-peristiwa yang dilihat dan dialaminya ketika ia keluar rumah seharian suntuk.
Kasihan para penduduk di sini, harus mendapat te-kanan-tekanan dari pihak luar.
Padahal mereka orang-orang polos dan jujur.
Yang selalu bersikap ramah-tamah terhadap siapa pun tanpa rasa curiga berlebi-han.
Malah kehadiranku di negeri ini pun mereka sambut dengan baik dan penuh penghormatan.
Begitu pikiran yang ada di benak Bong Mini setelah mengada-kan perjalanan keliling kampung.
Karena perjala-nannya itu bukan sekadar melihat-lihat keadaan kam-pung, tetapi juga mencoba memahami segala adat dan kebiasaan para penduduknya.
Sebab bagaimanapun juga adat dan kebiasaan negeri Selat Malaka akan berbeda dengan adat kebiasaannya sebagai orang yang berasal dari negeri Tiongkok.
Oleh karena itu ia ingin mencoba mempelajari dan mengikuti adat di negeri yang belum lama diinjaknya ini.
Setelah pikirannya terpusat pada nasib dan keada-an penduduk, kini pikiran Bong Mini beralih pada em-pat orang lelaki yang telah dikalahkannya.
Dia berpikir bahwa kematian salah seorang dari mereka di tangannya itu pasti akan menimbulkan dendam yang berkepanjangan.
Mereka tentunya akan kembali men-carinya dengan jumlah yang lebih banyak.
"Apa pun yang terjadi nantinya, harus kuhadapi. Setiap perbuatan akan membawa akibat dan akibat itu sudah aku perhitungkan!"
Desah Bong Mini. Lalu ia pun memejamkan kedua matanya yang sudah perih. *** "Bagaimana dengan rencana kita, Tuanku?"
Tanya Ashiong, salah seorang pengawal setia Bongkap yang sejak tadi berada di dalam, menunggu rajanya yang tertidur di kursi kebesaran.
Bongkap yang baru saja terbangun dari tidurnya tersentak kaget.
Teguran Ashiong telah mengingatkan-nya pada rencana semula.
Lalu dengan sikap hati-hati, karena takut ketahuan putrinya, Bongkap mendekati Ashiong dan berkata setengah berbisik.
"Siapkan saja kuda-kuda kita di luar dan jaga. Aku akan ke kamar putriku dulu!"
"Baik, Tuan!"
Ucap Ashiong.
Lalu dia dan pengawal lainnya keluar untuk mempersiapkan kuda.
Bongkap belum beranjak dari kursinya.
Hatinya mulai bimbang pada rencana perampokan yang akan dilakukannya.
Apakah ia akan melaksanakan rencana itu atau dibatalkan.
Bila dilaksanakan, ia khawatir diketahui putrinya.
Sehingga nanti putrinya akan perlahan-lahan membencinya.
Tapi kalau dibatalkan, ia me-rasa sayang.
Sebab kereta kuda yang akan mereka rampok nanti malam memuat emas dan berlian yang tentu harganya sangat mahal.
"Hhh...!"
Bongkap mendesah sambil menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi belakang.
Sementara itu waktu terus berputar tanpa terasa.
Malam pun terus merangkak menghampiri sunyi.
Se-hingga suasana malam benar-benar senyap.
Hanya suara jangkrik yang terdengar mengerik di balik pepohonan dan rumputan.
Bongkap bangkit dari duduknya, lalu melangkah mendekati kamar putrinya.
Di sana ia melihat putrinya sudah tergolek pulas.
Mungkin karena rasa letih setelah sehari penuh berkeliling kampung dan bertempur hingga ia tertidur begitu lelap.
Bongkap menarik napas lega melihat putrinya su-dah tertidur.
Dengan langkah pelan ia meninggalkan kamar putrinya, langsung menuju halaman rumah di mana para pengawalnya menunggu.
"Kita segera berangkat!"
Ajak Bongkap kepada para pengawalnya yang sudah siap di punggung kuda mas-ing-masing.
"Hiaaat!"
Teriak Bongkap sambil menarik tali ku-danya. Kuda yang ditungganginya melesat cepat, me-nembus kegelapan. Diikuti oleh para pengawalnya. *** "Mama! Mama!"
Teriak Bong Mini dalam tidurnya. Tangannya menggapai-gapai seakan memanggil.
"Ma-ma jangan pergi, Ma!"
Teriak Bong Mini dalam igaunya.
Disusul dengan suara tangis tersedu-sedu.
Setelah beberapa saat menangis, Bong Mini tersadar dari tidurnya.
Ia membuka kedua matanya yang basah oleh air mata.
Lalu pandangannya menyebar ke selu-ruh ruangan kamar.
Bong Mini menghela napas panjang.
"Hm..., ternyata aku bermimpi,"
Desah Bong Mini dengan lesu. Lalu kembali dibaringkan tubuhnya un-tuk tidur. Namun sebelum ia memejamkan kedua ma-tanya, tiba-tiba ia teringat pada ucapan mamanya da-lam mimpi tadi.
"Pergilah ke utara malam ini juga!"
Itulah kalimat yang diucapkan mamanya dalam mimpi tadi.
Pergi ke utara? Malam ini juga? Pikir Bong Mini.
La-lu ia duduk kembali di atas ranjang.
Ada apa, ya? Dan kenapa mama menyuruhku berangkat malam ini juga? Kenapa tidak besok pagi saja? Pikir Bong Mini.
Sebenarnya Bong Mini malas pergi malam itu.
Se-lain badannya masih terasa letih, ia juga masih merasa ngantuk.
Tapi untuk membuktikan ucapan mamanya dalam mimpi itu, Bong Mini akhirnya beranjak juga dari tempat tidur.
Mengganti pakaian dengan pakaian silat dan menyelipkan pedangnya di punggung.
Bong Mini melangkah menghampiri jendela kamar.
Dibukanya jendela kamar itu perlahan.
Dengan mem-pergunakan ilmu peringan tubuh, ia meloncat keluar.
Setelah itu ia berjalan mengendap-endap, khawatir diketahui oleh para pengawal papanya.
Bong Mini menyelinap lewat belakang menuju kan-dang kuda.
Di sana matanya melihat penunggu kan-dang kuda sedang berjaga-jaga sambil sesekali meng-uap menahan kantuk.
Ketika melihat kedatangan Bong Mini ke tempat itu, ia menjadi terkejut.
"Ada apa Nona Mini malam-malam begini datang ke sini?"
Tanya penjaga kuda itu keheranan.
"Ssst!"
Bong Mini memberi isyarat dengan menem-pelkan jari telunjuknya ke bibir.
"Saya mau keluar. Tapi jangan bilang papa, ya?"
Bisik Bong Mini.
Lalu ia memberikan tiga keping uang dari balik bajunya kepada penjaga itu.
Ia mengira Bongkap dan para penga-walnya tidak keluar rumah.
Mendapat tiga keping uang dari Bong Mini, penjaga kuda tadi tersenyum-senyum senang.
Lalu tanpa me-nunggu perintah Bong Mini, ia masuk ke kandang ku-da dan mengambil kuda Bong Mini yang berwarna pu-tih.
"Ini, Non kudanya!"
Bong Mini tersenyum seraya mengambil tali kuda dari tangan penjaga itu. Kemudian ia melompat dan duduk di atas punggung kuda.
"Ingat pesan saya tadi, ya?"
Bong Mini memper-ingatkan penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya.
"Pokoknya beres, Non!"
Sahut penjaga kuda itu nyengir-nyengir karena masih gembira mendapatkan uang dari Bong Mini.
Bong Mini tersenyum.
Lalu ia menarik tali kudanya pelan-pelan agar langkah-langkahnya tidak menimbul-kan suara.
Ketika sampai di luar halaman, barulah ia memacu kudanya lebih cepat lagi.
Setelah agak lama ia memacu kuda, Bong Mini tiba-tiba menarik tali kudanya agar berjalan perlahan.
Di sana ia melihat persimpangan jalan.
Yang satu menuju Dusun Buncit dan satu lagi ke Bukit Garang.
Bong Mini berpikir, jalan mana yang harus ia lalui.
"Hm..., aku ambil jalan sini saja,"
Gumam Bong Mini mengambil jalan ke arah utara yaitu menuju Bukit Ga-rang. Setelah beberapa kilo jalan dilalui Bong Mini, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berkuda sedang berjalan di balik bukit. Mereka begitu banyak, sekitar lima belas orang.
"Hm..., siapa mereka. Dan apa yang akan mereka kerjakan malam-malam begini?"
Gumam Bong Mini.
Terus diikutinya rombongan orang berkuda itu.
Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat papanya ada di antara rombongan orang berkuda itu.
Papanya me-nunggang kuda dengan gagah.
Sedangkan rombongan itu pun sangat dikenalnya.
Itulah para pengawal pa-panya.
Walau di malam hari, wajah orang-orang ber-kuda itu terlihat jelas oleh Bong Mini karena sorotan sinar bulan yang tidak begitu terang.
"Orang yang duduk dengan gagah itu pasti papa!"
Desah Bong Mini, meyakinkan penglihatannya.
Lalu, ada apa malam-malam begini papa keluar rumah de-ngan membawa pasukan yang banyak dan bersenjata? Bong Mini bertanya-tanya dalam hati sambil terus mengikuti papanya dan para pengawalnya.
Bong Mini memperlambat jalan kudanya.
Mencoba mengatur jarak agar tidak terlalu dekat, sehingga tidak terlihat oleh rombongan papanya.
Ia tampak begitu heran.
Para pengawalnya yang biasanya terlihat sopan dan ramah kini berubah beringas.
Sikap mereka tam-pak begitu garang, seperti hendak bertempur.
"Mereka berhenti,"
Gumam Bong Mini yang juga menghentikan langkah kudanya.
"Segera buat penghalang!"
Perintah Bongkap de-ngan suara keras berwibawa memecah kesunyian ma-lam.
Heh? Aku baru mendengar suara papa yang demi-kian garang, pikir Bong Mini tersentak kaget.
Tapi tubuhnya tetap diam sambil terus memperhatikan ting-kah-laku para pengawal papanya yang tengah men-gangkat sebatang pohon tumbang dan meletakkannya di tengah jalan.
Para pengawal papa membuat penghadang jalan agar kuda atau kereta tidak bisa melalui jalan itu.
Ini jelas bahwa papa dan pasukannya hendak mengadakan penyerangan.
Tapi siapa musuh papa? Selama ini aku tidak mendengarnya.
Kecuali ketika masih tinggal di Tiongkok.
Itu pun telah berbaik kembali.
Karena pa-ra musuh papa dahulu adalah orang-orang kecil yang sekarang menjadi pengikut papa.
Tapi di sini, siapa yang menjadi musuh papa? Bong Mini bertanya jawab dalam batinnya.
Dan jawaban itu pun belum ia dapat secara pasti.
Setelah merasa yakin bahwa papanya dan para pengawal tidak akan ke mana-mana lagi, Bong Mini segera mengikat kudanya pada sebuah pohon yang ter-lindung dari penglihatan rombongan papanya.
Se-dangkan ia sendiri memanjat sebuah pohon rimbun dan duduk pada salah sebuah batang yang cukup be-sar dan cukup nyaman untuk diduduki.
Di situ, ia dengan leluasa dapat melihat tingkah-laku papanya bersama para pengawal.
Malam semakin larut.
Sinar rembulan yang tadi samar-samar memancar ke segenap penjuru bumi, perlahan-lahan sirna ditelan oleh awan yang berge-rombol, sehingga suasana menjadi pekat.
Setelah melaksanakan tugasnya dengan baik, para pengawal bersama Bongkap segera bersembunyi di ba-lik semak-semak.
Bong Mini semakin keheranan melihat tingkah papa bersama para pengawalnya.
Ada apa sebenarnya? Apakah papa dan para pengawalnya benar-benar akan melakukan penyerangan? Kalau memang benar pasti mengasyikkan! Sebab ia akan menyaksikan pertempu-ran yang amat seru.
Sekaligus melihat jurus-jurus il-mu silat papa yang memikat itu.
Dan ia merasa yakin pasti kemenangan berada pada pihak papanya.
Tapi yang membuat Bong Mini heran adalah musuhnya.
Sebab selama ini papanya tidak pernah bercerita me-ngenai musuh-musuhnya.
Lagi pula mereka belum la-ma tinggal di negeri itu.
Malam terus merangkak.
Kegelapan malam yang ta-di terlihat begitu pekat, perlahan-lahan lenyap.
Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu mulai kelihatan bentuknya.
Walaupun masih samar-samar.
Dari ufuk timur, cahaya merah mulai tampak.
Per-tanda bahwa waktu pagi telah menjelang.
Dan itu te-rus terjadi setiap pagi, sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam keremangan cahaya surya pagi yang me-nembus kabut tebal, Bong Mini dengan jelas dapat me-lihat orang-orang yang menjadi pengawal papanya itu.
Ada yang tertidur, ada pula dua orang yang tetap ber-jaga-jaga, khawatir orang yang ditunggu mereka telah melewati jalan itu.
Bong Mini menguap panjang.
Matanya tampak kuyu.
Begitu pula dengan wajahnya yang putih, kelihatan makin pucat karena semalaman suntuk ia terus terjaga karena ingin mengetahui apa yang akan terjadi.
Dari jarak beberapa meter, Bong Mini melihat pa-panya terbangun.
Dia berdiri sambil menggeliat pan-jang.
Disusul kemudian dengan menghentak-hen-takkan kaki yang menyentuh para pengawal yang se-dang tidur pulas.
Para pengawal yang tertidur itu bangun satu persa-tu ketika merasa tubuhnya ada yang menendang.
"Bersiap-siaplah kalian!"
Kata Bongkap, memper-ingatkan para pengawalnya.
Sedangkan ia sendiri mengambil pedang yang tergeletak di tanah dan me-nyelipkan di punggungnya.
Cahaya terang dari ufuk timur semakin jelas.
Warna merah jingga yang dipancarkan sinar matahari ber-ubah menjadi warna kuning keperakan.
Kemudian ca-haya kuning keperakan itu bergeser dari balik pepohonan dan berdiri sepenggalah.
Membuat alam menjadi terang-benderang.
Mengusir kabut yang sejak sore kemarin menyelimuti pepohonan.
Bong Mini hampir saja terjatuh kalau saja tidak ce-pat-cepat berpegangan pada sebuah ranting pohon, ke-tika ia hampir terlena oleh semilir angin yang mem-buatnya tertidur beberapa saat.
Ia benar-benar sudah mengantuk.
Namun tetap dipaksakan juga, karena ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh papanya bersama para pengawal.
*** Bong Mini hampir tertidur lagi, ketika sepasang ma-tanya yang merah dan perih itu terlena oleh semilir angin yang berhembus.
Tapi ia mendadak tercekat ka-rena telinganya mendengar derit kereta kuda disertai kepulan debu yang diterbangkan oleh telapak kaki ku-da.
Kereta kuda itu tampak dikawal delapan orang dan melaju ke arah rintangan batang pohon yang sengaja diletakkan di jalan itu oleh para pengawal Bongkap.
"Berhenti!"
Salah seorang pengawal kereta kuda yang berada di depan memberi aba-aba. Derit kereta kuda itu terhenti.
"Rupanya perjalanan kita ada yang menghalangi,"
Kata orang itu lagi yang rupanya pemimpin mereka.
Pandangannya menyebar ke sekitar tempat tersebut, meneliti dengan tatapan mata yang tajam.
Inikah yang sejak semalam ditunggu papa bersama para pengawalnya? Tanya Bong Mini dalam hati.
Sebe-lum ia menerka lebih jauh lagi, tiba-tiba ia melihat papanya memberi komando penyerangan kepada para pengawalnya.
Mendapat komando dari Bongkap, para pengawal itu dengan sigap menarik tali kuda masing-masing dan memacu ke arah rombongan kereta kuda itu.
Diimban-gi oleh suara ringkik kuda, para pengawal itu me-ngurung kereta barang bersama para pengawalnya.
Se-telah mereka mengurung, barulah Bongkap keluar menunggang kudanya dengan gagah.
Pemimpin pengawal kereta barang segera mengeta-hui situasi yang kurang baik.
Namun dengan sikap yang tetap tenang, ia memandang Bongkap.
Namun tangannya telah siap mencabut pedang.
"Mau apa kau!"
Bentak pemimpin pengawal kereta barang itu. Bongkap tertawa tergelak-gelak mendapat perta-nyaan itu.
"Bila ada sekelompok orang yang tak dikenal me-ngelilingimu, menurut perkiraanmu apa?"
Bongkap ba-lik bertanya.
"Kalau memang ingin berniat jahat, aku akan segera menentangnya!"
Bentak pemimpin rombongan kereta barang dengan lantang. Bongkap kembali tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau sudah merasa hebat menantangku?"
"Aku cuma ingin mempertahankan hakku!"
Jawab pemimpin pengawal kereta barang dengan sikap gagah.
"Hak apa? Hak dari hasil pemerasan terhadap rak-yat?"
Pemimpin pengawal kereta barang mendengus. Ma-tanya merah menyala bagai bara api.
"Hati-hati kalau kau berbicara!"
Bentaknya kemu-dian.
"Hati-hati pula kalau kau berhadapan denganku!"
Balas Bongkap tak kalah nyaring.
"Aku tak pernah takut pada siapa pun!"
Tantang pe-mimpin pengawal kereta kuda dengan gagah.
Wajah Bongkap mendadak merah.
Darahnya bergo-lak, menyembur ke seluruh tubuhnya.
Bong Mini yang sejak tadi memperhatikan dan men-dengar percakapan papanya jadi terkejut.
Apa benar papaku mau berniat jahat kepada para pengawal kere-ta barang itu? Tanya Bong Mini dalam hati.
Kedua ma-tanya tak berkedip memandang ke arah arena.
Belum sempat Bong Mini berpikir lebih lanjut, tiba-tiba ia memekik tertahan ketika melihat papanya men-cabut pedang dan mengarahkannya pada pemimpin pengawal kereta barang.
Tetapi untunglah lelaki yang diserangnya cekatan sehingga dengan cepat dapat mengelak dari serangan Bongkap dan meminggirkan kudanya.
Trangngng! Serentak para pengawal dari kedua belah pihak me-nyerbu, diiringi pekikan-pekikan keras.
Delapan orang pengawal kereta barang mati-matian melawan lima belas pengawal Bongkap.
Denting yang tercipta akibat benturan antar senjata terdengar sangat nyaring.
Di-timpali oleh jeritan orang-orang yang terluka karena sabetan pedang yang dilancarkan anak buah Bongkap mengenai sasaran.
"Aaakh...!"
Jeritan kematian itu terdengar begitu menyayat.
Para pengawal Bongkap memang merupakan orang-orang pilihan.
Jurus-jurus kungfu sampai permainan pedang telah mereka kuasai dengan baik.
Sedangkan permainan pedang pihak lawan sudah terbaca oleh Bongkap dan anak buahnya.
Sehingga mereka dengan mudah dapat dijatuhkan.
Trangngng! Trangngng! Brettt! Suara-suara itu bersatu kacau.
Para pengawal ke-reta kuda tampak tidak berdaya.
Mereka satu persatu jatuh dari kudanya dengan tubuh berlumur darah.
Bongkap sengaja tidak mengulur-ulur waktu dalam pertempuran kali ini.
Ia ingin secepatnya membabat habis para pengawal kereta kuda itu.
Hal ini disebabkan rasa kekhawatirannya terhadap Bong Mini yang mungkin akan mengetahui perbuatannya.
Karena pe-rampokan yang dilakukan kali ini terlalu banyak me-makan waktu untuk menunggu.
Sehingga baru bisa diselesaikan ketika sinar matahari telah menjangkau permukaan bumi.
Dengan terbunuhnya para pengawal kereta barang itu, dua orang pengawal Bongkap segera melompat ke dalam kereta kuda, lalu melemparkan barang-barang yang ada dalam kereta itu pada teman-temannya yang menunggu di luar.
Barang-barang itu kini berpindah ke tangan Bongkap dan anak buahnya.
"Ayo, cepat selesaikan! Hari sudah siang!"
Teriak Bongkap dengan mata tetap mengawasi kerja anak buahnya.
Di tempat persembunyian, Bong Mini jadi terce-ngang.
Dia merasa yakin sekarang, bahwa papanya dan para pengawal telah melakukan perampokan.
Jadi untuk pekerjaan inikah selama dua malam pa-pa dan para pengawalnya keluar? Untuk mengadakan perampokan? Pikir Bong Mini.
Bong Mini menghela napas panjang.
Pantas kalau selama ini papanya selalu memberikan intan berlian serta barang-barang berharga lain.
Dan semua barang yang diberikan papanya kepadanya merupakan hasil dari rampasan.
Sebenarnya, sejak pertama ia mendapatkan barang-barang berharga itu, ia ingin menanyakan kepada pa-panya.
Tapi niatnya itu ia urungkan.
Ia yakin bahwa barang-barang yang diberikan kepadanya itu merupa-kan hasil dari jerih payah papanya.
Ia juga tidak ingin kalau pertanyaannya itu akan membuat papanya ke-cewa.
Karena secara tidak langsung pertanyaan itu pasti akan menyinggung perasaan papanya.
Sekarang, Bong Mini telah mengetahui dan melihat dengan mata kepala sendiri kalau papanya seorang pe-rampok.
Merampas harta yang bukan miliknya dengan cara melakukan pembunuhan yang sangat keji.
Sembari menahan marah dan tangis, Bong Mini se-gera turun dari atas pohon, tempat persembunyian.
Setelah itu ia melarikan kuda sekencang-kencangnya.
Hatinya menjerit sakit melihat perbuatan papanya yang tidak ia duga sama sekali.
*** Sampai di rumah, Bong Mini segera menyerahkan kuda putihnya pada penjaganya.
Sedangkan wajahnya tampak sudah dibanjiri oleh air mata.
Setelah menyerahkan kuda putihnya, Bong Mini se-gera menghambur menuju kamarnya.
Menjatuhkan di-ri di ranjang sambil menangis sekeras-kerasnya de-ngan merapatkan wajah ke bantal.
Beberapa saat lamanya, Bong Mini dicekam oleh suasana duka dan sedih.
Hatinya masih tersayat-sayat pilu mengingat sepak-terjang papanya.
Punggungnya naik turun menahan isak tangis.
Tiba-tiba Bong Mini membalikkan tubuhnya dengan pandangan menatap langit-langit kamar.
Kata-kata mamanya teringat kembali di benaknya.
Inikah makna mimpi semalam? Inikah maksud mama kenapa aku disuruh pergi ke utara malam itu juga? Tanya batinnya sedih.
Sementara air matanya masih terus menetes membanjiri kedua pipinya.
Dengan hati luluh dan perasaan hancur, Bong Mini turun dari ranjang.
Diselipkan kembali pedangnya di punggung.
Kemudian dengan berlinang air mata, Bong Mini melangkah keluar, menuju kandang kudanya.
"Mau ke mana, Non?"
Tanya penjaga kuda itu heran melihat wajah Bong Mini dialiri air mata.
Bong Mini tidak segera menjawab.
Ia langsung ma-suk ke kandang kuda dan menarik kuda putihnya ke-luar dan segera naik ke punggung kuda.
Bong Mini menoleh pada penjaga kuda itu sebelum memacu kudanya.
"Kalau papa menanyakan tentang aku, katakan ka-lau aku pergi dan tak usah dicari,"
Kata Bong Mini berpesan.
"Non Mini mau pergi ke mana?"
Tanya penjaga kuda itu khawatir.
"Saya mau mengembara!"
Setelah menjawab begitu, Bong Mini langsung memacu kudanya cepat sekali. *** Setengah jam setelah kepergian Bong Mini, Bongkap dan para pengawalnya datang dengan membawa hasil rampokannya.
"Segera masukkan barang-barang itu lewat bela-kang!"
Perintah Bongkap sambil melemparkan kunci gudangnya kepada Ashiong.
Kemudian ia melangkah tenang ke dalam, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Sampai di dalam, Bongkap duduk di kursi dengan santai.
Sikapnya begitu tenang.
Tidak menunjukkan bahwa ia baru saja melakukan perampokan.
Hanya beberapa saat ia duduk, lalu melangkah lagi ke ruang dalam.
Kali ini ia hendak menengok putrinya.
Tapi betapa kagetnya ia ketika pintu itu dibuka.
Sebab ia tak melihat putrinya di sana.
"Hm...!"
Keluh Bongkap.
"Ke mana lagi perginya pu-triku ini?"
Bongkap menutup kembali pintu kamar putrinya. Dan terus melangkah ke ruang belakang menemui tiga dayangnya.
"Bibi!"
Panggil Bongkap dengan suara yang dalam. Ketiga dayang yang tengah mengerjakan sulaman serentak menghentikan gerakan tangannya. Lalu me-reka merubah sikap duduknya dan menghormat.
"Kalian melihat putriku?"
Tanya Bongkap dengan mata menatap tajam.
"Nona Mini sejak pagi tadi tidak keluar, Tuan,"
Sa-hut seorang dayangnya.
"Apa Bibi tidak salah bicara?"
Tanya Bongkap. Tatap matanya lebih tajam.
"Tidak, Tuan. Sejak tadi pagi saya tidak melihat-nya!"
Sahut dayang yang tadi. Bongkap menghela napas kesal.
"Coba kalian lihat di kamarnya!"
Perintah Bongkap. Ketiga dayang itu melangkah menuju kamar Bong Mini. Diikuti oleh Bongkap. Mereka langsung ter-nganga karena tidak melihat Bong Mini di kamarnya.
"Inilah salah satu kelalaian kalian. Kalian tidak becus menjaga putriku!"
Bentak Bongkap. Kemarahannya mulai meledak. Ketiga dayang diam tertunduk. Mereka mengakui kesalahannya.
"Sekarang, panggil penjaga kuda ke sini!"
Perintah Bongkap. Lalu ia melangkah ke ruang tamu dan duduk di kursinya. Dengan wajah dan sikap penuh ketakutan, ketiga dayang itu segera ke belakang. Tidak lama kemudian mereka kembali bersama seorang penjaga kuda.
"Tuan memanggil saya?"
Ucap penjaga kuda itu sambil memberi hormat "Hm...,"
Sahut Bongkap pendek. Wajahnya menun-jukkan kemarahan yang tersimpan.
"Kamu lihat putriku?"
"Maaf, Tuan. Tadi Non Mini keluar bersama ku-danya,"
Jawab penjaga kuda itu.
"Keluar? Keluar kemana?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Karena ketika saya tanya-kan dia bilang ingin mengembara dan berpesan agar Tuan tidak mencarinya,"
Jawab penjaga kuda itu men-jelaskan. Bongkap meloncat kaget dari duduknya. Ia tidak mengerti mengapa putrinya berubah sikap seperti itu. Kemudian dengan wajah cemas, ia keluar dan meng-ambil kudanya.
"Ashiong, Achen, ikut aku!"
Seru Bongkap kepada dua orang pengawal kepercayaannya.
Lalu ia segera memacu kudanya dengan cepat.
Diikuti oleh Ashiong dan Achen.
*** Bong Mini memperlambat jalan kudanya ketika sampai di Bukit Garang, di mana papanya bersama pa-ra pengawal melakukan perampokan.
Kemudian ia me-lompat dari punggung kuda dan mendekati mayat-mayat yang tergeletak bersimbah darah itu.
"Maafkan atas kekasaran papaku!"
Desah Bong Mini pada pengawal kereta barang yang dibunuh oleh Bongkap dan para pengawalnya.
Sementara kedua ma-tanya yang sebelumnya sudah kering, kini kembali di-genangi oleh telaga bening.
Kemudian perlahan-lahan telaga bening itu merembes lewat celah-celah bulu matanya.
Lalu bergulir, meliuk-liuk di pipinya bagai anak sungai yang mencari lautan bebas.
Setelah beberapa saat ia terpaku di hadapan mayat-mayat yang bergelimpangan itu, Bong Mini pun mena-rik tali kudanya dengan langkah gontai.
Sedangkan air matanya dibiarkan tetap mengalir sampai menyentuh bibirnya.
Perlahan-lahan Bong Mini menarik kudanya.
Tak dipedulikannya sinar matahari menyengat kulitnya.
Ia terus menjalankan kudanya tanpa tujuan yang pasti.
Ketika ia sudah berjalan jauh dari tempat mayat-mayat yang bergelimpangan tadi, Bong Mini mengikat tali kudanya pada sebatang pohon.
Sedangkan ia sen-diri duduk bersandar melepaskan rasa lelah.
Sambil melepaskan rasa lelah, Bong Mini terme-nung memikirkan sepak-terjang papanya yang demi-kian berubah.
Apakah semua itu karena kematian mama? Pikir Bong Mini.
"Oh, Mama. Seandainya Mama masih menyertai kami, tak mungkin keadaan seperti ini terjadi!"
Keluh Bong Mini.
Kembali ia teringat pada mamanya yang sudah tiada.
Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang kemerah-merahan karena tersengat sinar matahari.
Mama.
Apakah Mama juga melihat keadaan Papa dan saya seperti ini? Keluh batin Bong Mini.
Lalu ia menjatuhkan kepalanya pada kedua lututnya.
Punggungnya berguncang-guncang, menangis tersedu-sedu.
Pada saat ia menangis terisak-isak, tiba-tiba ia me-rasa ada sentuhan tangan lembut yang mengusap ke-palanya.
Bong Mini terdongak kaget dengan wajah ber-linangan air mata.
Ternyata orang yang mengusap-usap kepalanya itu papanya sendiri.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu pergi meninggal-kan papa?"
Tanya Bongkap lembut.
Bong Mini diam saja sambil memalingkan wajah.
Dagunya bersandar pada kedua lututnya sambil me-mandangi rumput dengan tatapan mata yang kosong.
Entah kenapa, sejak ia melihat peristiwa perampo-kan yang dilakukan papanya itu, Bong Mini begitu membencinya.
Cinta kasih yang diberikan papanya te-rasa begitu menyesakkan perasaan.
Sentuhan tangan papanya yang lembut terasa bagai sengatan matahari yang memanasi seluruh tubuh.
Kata-kata syahdu yang terungkap lewat mulut papanya kini berubah laksana lebah yang menyengat telinganya.
"Anakku sayang. Kenapa kamu diam saja, hm...? Jika memang papa mempunyai kesalahan kepadamu, katakan terus terang,"
Bujuk Bongkap sambil menyen-tuhkan tangannya ke bahu Bong Mini.
Tapi cepat-cepat Bong Mini menghentakkannya dan berdiri men-jauhi papanya.
Bongkap merasa, pasti ada persoalan besar yang dihadapi anaknya.
Lalu ia berdiri dan mendekati dua orang pengawalnya yang sejak tadi memperhatikan tingkah-laku bapak dan anak itu.
"Kalian pulang duluan. Aku akan membujuk putri-ku!"
Kata Bongkap kepada kedua pengawalnya. Ashiong dan Achen mengangguk hormat. Kemudian mereka segera berlalu meninggalkan Bongkap dan pu-trinya. Setelah kepergian kedua pengawalnya, Bongkap kembali menghampiri putrinya.
"Sebenarnya persoalan apa yang sedang kamu ha-dapi, Sayang?"
Tanya Bongkap, berdiri di belakang Bong Mini sambil menyentuh kedua bahunya.
Bong Mini masih diam tanpa bergeming sedikit pun.
Hal ini membuat Bongkap prihatin.
Putrinya yang se-lama ini lincah, manja dan penuh senyum, berubah seperti dihujam penderitaan yang amat dalam.
"Papa...,"
Desah Bong Mini akhirnya. Tapi badannya tetap tak bergerak.
"Hm...? Ada apa, Sayang?"
Tanya Bongkap dengan wajah agak gembira karena putrinya yang sejak tadi terdiam, kini sudah mulai berbicara.
"Ke mana Papa pergi semalam?"
Tanya Bong Mini lagi Wajah Bongkap tersentak kaget. Namun dengan ce-pat ia merubah sikapnya.
"Papa jalan-jalan, cari udara malam,"
Dusta Bong-kap. Bong Mini membalikkan badannya. Matanya yang tajam menatap kedua mata papanya. Tepat mengenai manik-maniknya. Membuat perasaan Bongkap berge-tar. Baru kali ini ia melihat tatapan putrinya demikian menusuk hatinya.
"Kenapa Papa selalu berdusta setiap saya menanya-kan kepergian Papa pada waktu malam?"
Suara Bong Mini begitu tegas dan menyengat telinga Bongkap.
"Papa.... Papa tidak bohong, Sayang,"
Jawab Bong-kap gugup. Wajahnya tampak gusar. Bong Mini menarik napas. Lalu maju dua langkah ke depan dengan pandangan mata yang jauh dan ko-song.
"Saya tidak menduga sama sekali kalau selama ini Papa memberi saya makan dengan cara yang tidak halal!"
Bongkap benar-benar kaget mendengar perkataan putrinya itu. Wajahnya yang sejak tadi kelihatan gu-sar, berubah menjadi pucat.
"Kamu jangan menuduh papa seperti itu, Sayang. Papa memberi kamu makan dari hasil jerih payah dan keringat papa sendiri,"
Kata Bongkap tetap bersuara lunak.
"Tapi perjuangan yang selama ini Papa lakukan te-lah menimbulkan banyak korban,"
Sergah Bong Mini. Lalu tubuhnya dibalikkan dan bersitatap dengan pa-panya.
"Saya sedih, Papa. Orang yang selama ini saya kagumi dan saya hormati ternyata hanya seorang perampok! Papa..., saya anak perampok! Saya anak pe-rampok!"
Bong Mini menjatuhkan tubuhnya lesu sam-bil menangis tersedu-sedu di hamparan rumput.
Ucapan Bong Mini terdengar bagai halilintar di siang bolong di telinga papanya.
Karena perbuatan jahat yang selama ini ditutup-tutupi oleh Bongkap ak-hirnya terbongkar juga.
"Bagaimana kamu tahu kalau papa telah melaku-kan perampokan?"
Tanya papanya penuh selidik. Sambil terisak menangis, Bong Mini menceritakan mimpinya yang bertemu dengan mamanya.
"Ternyata apa yang disuruh Mama itu tidak lain un-tuk memperlihatkan perbuatan Papa di hadapanku,"
Kata Bong Mini mengakhiri ceritanya.
Bongkap tertunduk lesu mendengar cerita putrinya.
Ia berkesimpulan bahwa walaupun istrinya telah mati, tapi tetap memperhatikan sepak-terjangnya sebagai tanda cinta dan kasih sayang.
Dan untuk menegurnya, ia menyuruh Bong Mini lewat mimpi.
"Maafkan saya, Papa. Saya tak bermaksud melukai hati Papa. Saya ingin menuruti apa yang Mama pesan-kan pada saya lewat mimpi,"
Lirih Bong Mini dengan tatapan mata sendu.
"Kamu tidak salah, Sayang,"
Kata Bongkap dengan suara yang bergetar menahan haru.
"Tapi papa juga harus bercerita agar kamu tahu kenapa papa sampai menjadi perampok,"
Bongkap menghela napas. Ma-tanya memandang pada kejauhan.
"Sebenarnya papa juga merasa berat untuk mela-kukan perampokan. Tapi melihat rakyat papa yang menderita kelaparan dan selalu terdengar berita ten-tang pencurian harta dan makanan di kalangan pen-duduk, akhirnya papa melakukan juga. Kemudian har-ta hasil dari rampokan itu papa bagikan kepada mere-ka. Sedangkan sebagiannya lagi papa simpan untuk kebutuhanmu,"
Bongkap menceritakan apa yang membuatnya terseret pada kejahatan merampok. Bong Mini mendengarkan cerita papanya itu dengan sungguh-sungguh.
"Papa menyimpan sebagian hasil rampokan itu ka-rena sadar bahwa kamu yang sudah beranjak menjadi gadis remaja tentu sangat membutuhkan harta itu,"
Sambung Bongkap menjelaskan. Bong Mini yang sejak tadi mendengarkan cerita pa-panya menjadi terharu. Ia tidak mengira sama sekali kalau perampokan yang selama ini dilakukan papanya merupakan tanda bukti kecintaannya pada rakyat dan diri Bong Mini.
"Kalau memang kamu tidak puas dengan keterus-terangan papa, kamu boleh menghukum papa. Tapi jangan melibatkan para pengawal papa yang ikut me-rampok!"
Kata Bongkap lagi penuh ksatria.
"Papa?"
Desah Bong Mini seraya menatap papanya dengan tatapan sendu.
"Kau punya hak untuk melakukan itu, Sayang."
"Tidak, Papa. Siapa pun Papa dan apa pun yang te-lah Papa lakukan selama ini, Papa tetap orangtua saya,"
Kata Bong Mini lirih. Butir-butir air matanya mulai menggenang kembali di pelupuk matanya karena menahan haru.
"Saya cuma menuruti perintah Mama dalam mimpi,"
Lanjut Bong Mini. Bongkap terharu mendengar ucapan putrinya. Di-rengkuhnya tubuh putrinya itu dan dipeluknya erat. Pada saat itu, ia kembali teringat pada istrinya, Sinyin.
"Mamamu memang orang yang sangat baik, Sa-yang,"
Ucap Bongkap dengan suara tersendat dan ber-getar karena menahan haru.
"Dia seorang perempuan yang patut menjadi panutanmu. Sewaktu hidupnya, mamamu sering memperhatikan papa dan menegur papa jika berbuat kesalahan, tanpa ada rasa takut. Seluruh hari-hari yang dilaluinya dia curahkan untuk mengurusmu dan papa,"
Lanjut Bongkap, mengenang kembali kasih sayang dan kesetiaan istrinya.
Bongkap, walaupun berjiwa beringas dan kasar, ia selalu lembut bila sudah berada di tengah keluar-ganya.
Kepandaiannya dalam bermain ilmu silat, kega-gahan dan keganasannya di tengah pertempuran tak akan tampak lagi bila sudah berada di rumah.
Tak sa-tu pun orang yang dapat menaklukkan dia atau mere-dakan kekasarannya, hanya Sinyin, istrinya.
Lewat ke-lembutan hatinya, Sinyin dapat meluluhkan keberin-gasan Bongkap.
Lewat nalurinya sebagai perempuan, ia berhasil menggiring Bongkap untuk menjadi orang bijak.
Membuat Bongkap semakin cinta dan sayang sa-ja kepada istrinya.
Sehingga kematian istrinya yang tragis ketika melawan pasukan kerajaan yang mengha-langi kepergian mereka sangat meluluhkan hatinya.
"Papa,"
Desah Bong Mini dalam dekapan papanya.
"Hm...? Ada apa, Sayang?"
Bongkap mengusap-usap kepala putrinya.
"Maukah Papa mengabulkan satu permintaan saya?"
"Katakan. Katakan, Sayang. Papa akan mengabul-kannya,"
Kata Bongkap cepat. Bong Mini melepaskan pelukannya. Dipandangnya wajah papanya dengan senyum lembut dan wajah ber-seri.
"Papa sungguh-sungguh?"
"He-em!"
"Begini, Pa,"
Kata Bong Mini mulai mengemukakan keinginannya.
"Kebutuhan saya sekarang sudah terpe-nuhi. Rakyat pun sudah kelihatan hidup membaik. Jadi saya mengajukan suatu permintaan kepada Papa untuk tidak lagi melakukan perampokan,"
Lanjut Bong Mini, mengajukan permohonannya. Bongkap tercenung beberapa saat mendengar per-mintaan putrinya. Dia tidak mengira kalau hanya itu yang menjadi permintaan putrinya.
"Papa mau mengabulkannya, kan?"
"Sebuah permintaan yang mulia, tentu saja akan papa kabulkan!"
Sahut Bongkap tersenyum.
"Benarkah itu, Papa?"
Tanya Bong Mini meyakinkan. Bongkap mengangguk.
"Oh, Papa!"
Keluh Bong Mini.
Dipeluknya papanya sekali lagi.
Baginya tidak ada hari yang lebih berharga dan penuh suka cita selain hari itu.
*** Yang Seng, pemimpin Partai Persatuan Ular Hitam bersama anak buahnya sedang mencari Bongkap.
Me-reka menyusuri dari warung ke warung, lembah ke lembah sampai akhirnya mencari ke seluruh hutan be-lantara di kawasan itu.
Tapi orang yang mereka cari tidak diketemukan, sampai akhirnya mereka beristira-hat karena lelah.
Di saat rombongan Partai Persatuan Ular Hitam tengah duduk beristirahat di Bukit Londa, tiba-tiba mereka tersentak mendengar derap langkah kuda yang datang dari kejauhan.
"Tuanku!"
Seru Aloy, salah seorang anak buah Yang Seng yang tangan kanannya sudah terputus karena sabetan pedang Bongkap.
"Bukankah orang yang ber-kuda itu si Achiang?"
Lanjut Aloy dengan pandangan mata yang tak henti-hentinya memperhatikan dua pe-nunggang kuda yang berjalan ke arah mereka. Yang Seng menyipitkan mata, mengawasi dua pe-nunggang kuda itu.
"Hm..., ada apa lagi dengan anak buahku itu,"
Gu-mam Yang Seng ketika melihat seorang anak buahnya tampak tertelungkup tak berdaya di punggung kuda, di belakang Achiang.
"Halau mereka dan suruh ke sini!"
Perintah Yang Seng kepada anak buahnya.
"Siap, Tuan!"
Ucap Aloy.
Dengan ilmu peringan tu-buhnya ia melesat cepat untuk menghadang temannya yang sedang memacu kuda.
Tidak lama kemudian, Aloy telah kembali lagi ber-sama-sama temannya yang berkuda tadi.
Yang Seng langsung mendekati anak buahnya yang tergeletak mati di atas punggung kuda.
Kemudian wa-jahnya mendadak berubah tegang saat menatap tiga anak buahnya yang lain yang membawa mayat itu.
"Apa yang terjadi dengan kalian?"
Tanya Yang Seng geram.
"Kami..., kami mendapat rintangan dari seorang pe-rempuan asing ketika hendak membawa anak gadis pemilik warung itu, Tuanku!"
Jawab Achiang. Ternyata keempat orang itu adalah orang-orang yang telah dikalahkan oleh Bong Mini ketika terjadi perkelahian di halaman warung nasi. Dan orang yang mati itu bernama Bodong.
"Goblok!"
Plak! Plak! Yang Seng menampar wajah Achiang dengan keras, sehingga lelaki itu meringis kesakitan.
"Kenapa? Kenapa kalian semua jadi goblok begini? Si Aloy yang kusuruh memimpin pengawalan barang untuk mengantar ke seberang Pantai Cina tidak becus. Barang habis dan tangannya buntung karena terbabat pedang perampok yang bernama Bongkap. Sekarang kau yang kusuruh menagih hutang dan bunganya ke-pada pemilik warung tua-renta itu pun tidak becus. Dan kali ini lebih memalukan. Karena si Bodong mati di tangan seorang perempuan. Puih!"
Geram Yang Seng. Diludahinya wajah Achiang. Matanya berkilat-kilat merah bagai kobaran api yang siap menjilat dan membakar.
"Tapi, Tuanku...!"
"Sudah, jangan kasih alasan! Kekuasaanku di nege-ri ini telah kalian coreng dengan kebodohan kalian. Sekarang juga kalian harus menghapus coreng itu!"
Potong Yang Seng kepada seluruh anak buahnya.
"Bagaimana caranya, Tuanku?"
Tanya Achiang ta-kut-takut "Puih!"
Yang Seng kembali meludahi wajah Achiang yang semakin ketakutan.
"Inilah akibatnya kalau di otak kalian hanya bersarang perempuan, perempuan, perempuan!"
Semua anak buahnya terdiam dengan wajah me-nunduk. Tak seorang pun berani melihat kemarahan Yang Seng, pemimpin mereka.
"Kalian semuanya harus mencari kedua orang itu sampai dapat. Kalau perlu, penggal leher mereka dan kepalanya bawa kepadaku!"
Perintah Yang Seng. Ke-mudian ia melompat ke punggung kuda dan mema-cunya cepat menuju markas.
"Ini semua gara-gara kamu!"
Kini Aloy yang ganti memarahi Achiang.
"Kau juga sama!"
Berang Achiang.
"Aku wajar. Karena yang mengalahkanku seorang pemimpin perampok. Tapi kau...! Oleh seorang perem-puan? Bagaimana pemimpin kita tidak mau marah?"
Sengit Aloy, membela diri.
"Sudahlah, jangan bertengkar! Yang penting seka-rang juga kita harus mencari mereka!"
Tukas salah seorang lain berusaha menengahi.
Akhirnya gerombo-lan yang berada di bawah panji Partai Persatuan Ular Hitam berangkat untuk melanjutkan pencarian menangkap Bongkap dan Bong Mini.
*** Bongkap dan Bong Mini atau lebih tepat disebut Sepasang Pendekar dari Selatan, tengah menunggang kuda perlahan-lahan.
Keduanya menikmati peman-dangan yang cukup indah.
Apalagi saat itu waktu menjelang senja.
Sehingga pemandangan di ufuk barat terlihat begitu mempesona, dihiasi dengan pancaran warna lembayung.
Waktu terus merayap perlahan-lahan.
Matahari yang kini tergelincir di ufuk barat mulai menyembunyi-kan dirinya di balik perbukitan.
Sedangkan pesta war-na di cakrawala pun mulai pudar perlahan-lahan.
Ber-ganti dengan kabut yang mulai turun menyelimuti bumi.
Malah pohon-pohon pegunungan yang mengelili-ngi mereka telah lenyap ditelan kabut yang amat tebal.
"Sudah hampir malam. Kita percepat kudanya, Sayang,"
Kata Bongkap, ketika melihat sekelilingnya mulai temaram.
Tanpa memberi sahutan, Bong Mini langsung me-macu kudanya dengan cepat, mengimbangi lari kuda Bongkap.
Baru saja beberapa ratus meter mereka memacu kuda, tiba-tiba Bongkap memberi isyarat kepada putrinya untuk waspada.
Sedangkan langkah kudanya mu-lai diperlambat "Ada apa, Papa?"
Tanya Bong Mini yang tidak men-gerti maksud papanya.
"Papa merasakan ada banyak orang di sekitar kita,"
Jawab Bongkap sambil memasang pendengarannya yang cukup peka. Mendengar penjelasan papanya, Bong Mini segera menyebar pandangan ke sekelilingnya. Tapi matanya tidak melihat siapa pun. Kecuali pepohonan yang mu-lai tertutup kabut.
"Saya tidak melihatnya, Papa,"
Desah Bong Mini.
"Mereka bersembunyi di balik pepohonan,"
Sahut Bongkap sambil terus memasang kepekaan telinganya, mengikuti langkah-langkah orang yang belum diketa-hui batang hidungnya.
"Apakah mereka berniat tidak baik kepada kita?"
Tanya Bong Mini sambil bersiap siaga.
"Begitulah tampaknya."
Bong Mini mendesah. Matanya kembali liar menga-wasi sekitarnya.
"Kamu tetap di sini bersama papa. Kalau memang harus bertempur layani mereka semampumu. Tapi ka-lau sudah terdesak kau harus langsung keluar per-tempuran dan hubungi para pengawal,"
Kata Bongkap setengah berbisik.
"Bagaimana kalau sekarang saja sebelum mereka menyergap kita?"
"Itu akan membahayakanmu. Sebagian dari mereka tentu akan mengejar dan menangkapmu. Itu berarti akan mengganggu perhatian papa saat melayani se-rangan mereka,"
Sergah papanya dengan pandangan yang terus waspada.
Bong Mini mengangguk mengerti.
Lalu menyebar-kan pandangannya kembali ke arah semak-semak yang berada di sekitar mereka.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya Sepasang Pendekar dari Selatan itu mulai melihat beberapa ke-pala manusia muncul dari kegelapan kabut.
Langkah-langkah mereka terdengar halus ketika menghampiri Sepasang Pendekar dari Selatan yang terdiri dari ba-pak dan anak tersebut.
"Jumlah mereka cukup banyak, Papa,"
Ujar Bong Mini agak khawatir juga. Sebab selama ini ia belum pernah bertempur dengan lawan yang lebih dari lima orang. Tapi kini, para pengepung yang menghampiri mereka berjumlah sekitar dua puluh orang. Sungguh bukan suatu tandingan yang seimbang.
"Kau jangan gentar sebelum bertanding, Putriku!"
Bongkap memperingatkan dengan pandangan yang te-rus waspada ke arah rombongan yang mulai mendeka-ti mereka.
"Papa!"
Pekik Bong Mini tiba-tiba.
"Tiga orang dari mereka pernah saya kenal. Mereka orang-orang yang pernah saya kalahkan di warung tempo hari,"
Lanjut Bong Mini sambil terus memperhatikan ketiga orang yang pernah dikalahkannya itu. Mereka tidak lain Achiang, Japra, dan Kedot.
"Bagus. Kalau begitu mereka satu kelompok."
"Maksud Papa?"
"Tangan lelaki yang buntung itu merupakan ke-nang-kenangan dari papa ketika merampok mereka,"
Jawab Bongkap menjelaskan.
"Hm...,"
Gumam Bong Mini.
"Jadi Papa merampok harta perampok?"
"Yah, ini suatu kebetulan,"
Sahut Bongkap. Kalau bukan dalam suasana seperti itu mungkin mereka su-dah tertawa. Karena merasa lucu ada perampok yang dirampok. Tidak lama kemudian, gerombolan itu sudah me-ngelilingi Sepasang Pendekar dari Selatan.
"Hi hi hi..., rupanya kita bertemu lagi!"
Cetus Bong Mini. Ia tertawa melihat ketiga orang yang pernah dikalahkannya itu.
"O, jadi perempuan ini yang mengalahkanmu dan membunuh si Bodong?"
Tanya Aloy kepada Achiang, setengah mengejek. Achiang mendengus. Ia merasa malu.
"Ya. Mereka telah dikalahkan oleh putriku. Dan kau sendiri telah kehilangan satu tanganmu oleh sabetan pedangku,"
Bongkap menjawab dengan nada setengah mengejek. Kini Aloy yang ganti mendengus. Wajahnya berubah geram saat memandang Bongkap.
"Kemarin lalu kau boleh menang. Tapi sekarang, kau tidak akan kubiarkan hidup!"
Bentak Aloy geram. Bongkap tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ucapan Aloy.
"Jangan bermulut besar! Nanti malah kepala bo-takmu yang terbelah dua!"
Ejek Bongkap, membuat Aloy yang berkepala botak itu semakin geram.
"Bangsat! Jangan kau pikir karena tanganku bun-tung lalu tak bisa menghadapimu, heh!"
Dengus Aloy dengan muka merah menyala. Bersamaan itu pula tangan kirinya menarik pedang yang terselip di pung-gungnya. Sreset! Bongkap tertawa tergelak-gelak melihat musuhnya yang berkepala botak mencabut pedang.
"Sebaiknya kau urungkan niatmu itu untuk mem-balas dendam. Aku tidak sampai hati membelah kepa-lamu yang licin itu!"
Lagi-lagi Bongkap mengejek, membuat Aloy naik pi-tam.
"Seraaang!"
Aloy memberi komando kepada teman-temannya. Maka secepat itu pula orang-orang dari Partai Persa-tuan Ular Hitam segera menyerang Sepasang Pendekar dari Selatan dengan cepatnya.
"Hiaaat!"
Orang-orang itu menyerang Bongkap dan Bong Mini dengan jurus-jurus kungfunya.
Mereka melompat se-rempak sambil mengarahkan tendangannya ke arah pasangan bapak dan anak itu.
Sepasang Pendekar dari Selatan yang sejak tadi su-dah siap menunggu serangan mereka, dengan mudah mengelakkan serangan itu.
Tubuh keduanya melompat dan berputar-putar di atas.
Kemudian turun kembali dan berdiri tegak di atas tanah dengan ringannya.
"Hiaaat!"
Bong Mini menyerang lawan dengan jurus-jurus kungfunya yang hampir sempurna. Dia melompat sam-bil menendangkan kakinya ke arah lawan. Tapi dengan gesit pula lawannya mengelak sambil mengadakan se-rangan yang disertai pukulan-pukulan tenaga dalam.
"Hiaaat! Huh!"
Tubuh Bong Mini berguling-guling di atas tanah un-tuk menghindari pukulan-pukulan yang beruntun.
Celaka! Aku harus benar-benar waspada mengha-dapi mereka, bisik hatinya seraya memasang jurus-jurus kungfunya.
Namun, belum sempat ia menarik napas, tiba-tiba serangan dari berbagai penjuru telah datang menghujaninya.
Bong Mini kembali melompat ringan.
Lalu turun dengan membuat gerakan salto.
Begitu berdiri, tangan kanannya telah menggenggam sebilah pedang.
Ia merasa kewalahan menghadapi musuh yang begitu ba-nyak.
Sementara itu, Bongkap masih tegar menghadapi lawannya yang berjumlah sepuluh orang.
Lewat jurus-jurus kungfu 'Tanpa Bayangan', ia berhasil menghada-pi lawannya dengan baik.
"Hiaaat!"
Trak! Bongkap melompat dengan gerakan berputar seperti gangsing.
Lalu kedua kakinya diadukan dengan dua kepala lawannya dengan keras.
Sehingga kedua kepala lawannya itu retak, diiringi darah segar yang mengalir serta jeritan kematian yang menggetarkan hati.
Sehingga kedua orang itu ambruk dengan kepala yang mengerikan.
Itulah salah satu jurus kungfu 'Tanpa Bayangan'.
Gerakannya yang begitu cepat tanpa terlihat lawan.
Setiap gerakan pasti merenggut nyawa lawan.
Melihat kedua temannya mati mengenaskan, bebe-rapa orang di antara mereka menjadi gentar.
Pikir mereka, lebih baik mati di ujung pedang daripada mati menderita dengan kepala terbelah dua seperti itu.
Sedangkan di pihak lain, Bong Mini pun mati-matian membela diri dengan mengeluarkan jurus-jurus kungfu dan pedangnya.
Jurus 'Pedang Samber Nyawa' yang ia keluarkan pada pertempuran dahsyat itu sedikit membantunya untuk dapat bernapas dan bergerak bebas.
"Hiaaat!"
Bret! Bong Mini mengeluarkan jurus 'Gangsing'.
Badan-nya diputar di udara.
Kemudian dengan gerakan me-nendang, kedua kakinya turun di atas kepala lawan seraya mengayunkan pedangnya dengan cepat.
Aki-batnya, salah seorang lawannya terkena sasaran pe-dang pada bagian samping lehernya.
Sret! "Aaakh!"
Seketika itu juga lawan yang terkena sabetan pe-dang Bong Mini tergolek tanpa nyawa.
Pertempuran berlangsung semakin gesit.
Tiga orang dari Partai Persatuan Ular Hitam telah terguling bersimbah darah.
Sehingga para pengeroyok berkurang menjadi enam belas orang.
Namun demikian tetap membuat Bong Mini kewalahan.
Karena serangan-serangan dari lawannya semakin gencar dan beringas.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba tubuh Bong Mini melenting tinggi dan tu-run tepat di dekat Aloy.
Bret! Bret! Sabetan pedang Bong Mini merobek perut Aloy dua kali.
Membuat Aloy yang sejak tadi hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan Bongkap tersudut oleh te-man-temannya berdiri limbung.
Hanya sebentar ia ber-tahan berdiri, lalu ambruk dengan perut menganga le-bar sehingga isi perutnya terlihat jelas.
Melihat terkaparnya Aloy di tangan Bong Mini, se-mua penyerangnya ternganga.
Mereka tidak menyang-ka kalau lompatan Bong Mini yang tinggi itu justru untuk menyambar Aloy yang sedang lengah.
"Bangsat!"
Geram mereka dengan mata merah menyala mena-tap Bong Mini.
Sret! Sret! Mereka mencabut pedang dan golok dari sarungnya.
Lalu serentak menyerang Sepasang Pendekar dari Se-latan itu dengan sabetan-sabetan pedang dan golok-nya.
Waktu terus merayap.
Matahari di ufuk barat telah terlena di peradu-annya.
Berganti dengan kabut pekat yang perlahan-lahan turun menyelimuti bumi.
Sementara itu, pertempuran terus berlangsung.
Se-bagian pasukan Partai Persatuan Ular Hitam telah ba-nyak yang tergeletak bermandi darah.
Ketinggian ilmu silat orang-orang Partai Persatuan Ular Hitam memang sudah terbaca oleh Bongkap.
Mereka masih berada jauh di bawah kemampuannya.
Malah satu tingkat di bawah kemampuan putrinya, Bong Mini.
Namun de-mikian bukan berarti Sepasang Pendekar dari Selatan ini dapat dengan mudah menjatuhkan para lawan.
Se-bab yang mereka hadapi bukan dua atau tiga orang.
Melihat keadaan suasana semakin gelap, hanya di-sinari oleh rembulan yang remang-remang, Bong Mini ingin mengakhiri pertempuran secepatnya.
Namun la-wannya masih begitu banyak, menyerang dengan ga-nasnya.
Sehingga tidak mungkin baginya untuk meng-akhiri pertempuran secepatnya yang diharapkan.
Bong Mini segera membuka jurus barunya yang bernama jurus 'Loncat Kodok'.
Jurus ini digunakan untuk membingungkan lawan dengan gerakan melom-pat-lompat sambil mencari kelengahan lawan.
Trangngng! Benturan senjata mereka menimbulkan pijar-pijar api.
Dan pijaran api itu terlihat terang karena berada dalam kegelapan.
Wettt! Bong Mini menyabetkan pedangnya ke arah lawan.
Tapi kali ini gagal, karena dengan cermat lawan yang berada di depannya melompat sambil melancarkan serangan balasan ke arah Bong Mini.
Disusul dengan se-rangan lawan yang ada di sekitarnya.
Wet! Wet! Dua bilah pedang lawan menyambar kakinya yang sedang melompat-lompat bagai kodok.
Tapi untung Bong Mini melihat serangan itu dengan cermat.
Lalu tubuhnya bersalto dan berdiri tepat di dekat papanya yang sibuk melancarkan serangan.
Kedua punggung kedua bapak dan anak itu saling bersentuhan.
Mereka sama-sama menangkis dan me-lancarkan serangan.
Trangngng! Bong Mini berhasil menangkis serangan.
Untuk se-rangan yang kedua, mau tidak mau ia bersalto, begitu pula dengan Bongkap.
Karena serangan itu sangat cepat dan penuh tenaga.
Trangngng! Trangngng! Trangngng! Tubuh Bong Mini terguling ke tanah dengan keras sekali.
Benturan golok lawan dengan pedangnya me-nyebabkan ia semakin terdesak ke belakang.
Sedang-kan tenaganya sudah hampir terkuras habis.
Lima orang lawannya semakin gencar menyerang-nya.
Mereka mengurung Bong Mini dari setiap sudut.
Membuat gerakan Bong Mini semakin menyempit.
Se-dang dari depan, sebilah pedang lawan siap menghu-jam ke arahnya.
Dalam keadaan tidak berdaya, tiba-tiba sebuah sa-betan pedang serta pukulan mendarat di tubuh para pengeroyok Bong Mini, sehingga dua di antara penge-royok itu terkapar dengan kepala terpisah dari badannya.
Dan pada kesempatan yang baik itu, tubuh Bong Mini segera melesat ke atas lalu hinggap di atas se-buah batang pohon.
Di sana ia istirahat sejenak untuk mengembalikan tenaganya sambil menyaksikan papanya yang melawan delapan orang dari Partai Persa-tuan Ular Hitam.
Bongkap sudah kehilangan kesabaran.
Ia ingin se-gera mengakhiri pertempuran itu dengan mengerahkan kepandaian ilmu kungfunya yang paling tinggi.
Se-hingga dalam waktu singkat kedelapan lawannya jatuh tersungkur bermandi darah, lalu tergeletak tak sadarkan diri.
Bongkap berdiri tegak melihat tubuh para lawan yang sudah tergeletak dalam kegelapan.
Ia menarik napas lega sambil memandang ke atas pohon.
Bertepa-tan dengan itu, tubuh Bong Mini sudah melesat turun dengan ringan.
Kemudian disambut oleh kedua tangan Bongkap yang kekar.
"Hep!"
Dengan tepat Bongkap menangkap tubuh putrinya yang mungil itu dan menggendongnya. Dan dalam ge-lap itu keduanya tersenyum dan berpelukan dengan gembira.
"Ayo, kita pulang!"
Ajak Bongkap seraya menurun-kan tubuh putrinya.
Lalu keduanya naik ke punggung kuda.
Dua bayangan mereka melesat cepat menembus kegelapan.
*** Malam bertambah larut.
Kegelapan semakin pekat, tanpa cahaya bulan dan bintang sedikit pun.
Sedang-kan kabut sudah sepenuhnya menutupi pepohonan hingga tak jelas bentuknya.
Di pertengahan jalan, ketika hampir sampai di ru-mah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan empat orang pengawalnya.
Ashiong, Achen, dan Sang Piao dan A Ing.
Bongkap heran melihat keempat pengawal keper-cayaannya seperti dikejar-kejar hantu.
"Ada apa dengan kalian?"
Tanya Bongkap dengan wajah cemas.
"Ada penyerangan mendadak!"
Jawab Ashiong de-ngan napas yang tak beraturan.
"Maksudmu?"
"Segerombolan orang bertopeng telah menyerang tempat tinggal Tuan!"
"Siapa lagi orang yang mencari masalah ini!"
Suara Bongkap terdengar begitu geram. Baru saja ia menye-lesaikan satu persoalan, kini datang lagi persoalan lain, pikirnya.
"Hanya tujuh pengawal yang bisa menyelamatkan diri. Kami berempat dan tiga orang lagi pergi entah ke mana dengan menyelamatkan tiga dayang,"
Lanjut Ashiong memaparkan.
"Bangsat! Kenapa tidak kalian lawan saja?!"
"Kami sudah berusaha mengadakan perlawanan, Tuanku. Tapi jumlah mereka sangat banyak. Daripada kami dan para dayang mati konyol, lebih baik meng-hindar agar dapat mengabarkan hal ini kepada Tua-nku,"
Jawab Ashiong memberi alasan.
"Kita harus buat perhitungan!"
Kini Bong Mini yang terlihat geram.
Karena saat itu malam, wajahnya yang berubah merah tidak terlihat.
Setelah Bongkap dan Bong Mini mendapat ketera-ngan itu, mereka pun segera memacu kuda menuju rumah mereka.
*** Bongkap dan Bong Mini atau Sepasang Pendekar dari Selatan berdiri menatap para pengawalnya yang terkapar mati bersimbah darah.
Wajah keduanya tam-pak gusar menahan marah.
"Mereka terbunuh saat menghalangi orang-orang bertopeng yang akan mencari harta Tuanku!"
Ashiong menjelaskan.
"Ada yang berhasil mereka bawa?"
Tanya Bongkap dengan pandangan mata yang masih tertuju ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Tidak ada, Tuanku."
Hening.
Bongkap dan Bong Mini melihat-lihat bekas sera-ngan yang dilancarkan oleh kawanan orang bertopeng.
Seluruh isi rumah habis diobrak-abrik oleh kawanan orang bertopeng itu.
Membuat hati mereka semakin terbakar untuk melakukan balas dendam.
Setelah semua ruangan diteliti, Bongkap kembali keluar dan duduk di bangku kebesarannya.
"Kita benar-benar harus buat perhitungan,"
Geram Bongkap.
"Benar, Tuanku. Tapi dengan pasukan kita yang se-perti ini, apa kita mampu mengalahkan mereka?"
Tanya Ashiong.
"Kamu gentar?"
Tanya Bongkap dengan mata mena-tap tajam.
"Sama sekali tidak. Selama darahku masih berwar-na merah, selama itu pula kesetiaanku terhadap Bongkap!"
Sahut Ashiong. Bongkap mengangguk-angguk kagum.
"Lalu kenapa kamu ragu?"
"Saya hanya tidak ingin kita mengorbankan orang-orang lemah yang tidak berdosa!"
"Jadi?"
"Tuanku harus benar-benar memilih orang-orang tangguh berkepandaian kungfu yang bisa diandalkan!"
Bongkap kembali mengangguk-angguk.
Dia mem-benarkan cara berpikir Ashiong.
Namun sebelum ia menimpali ucapan Ashiong, tiba-tiba salah seorang pengawal dari tiga orang yang menyelamatkan diri bersama tiga orang dayangnya datang, ia bersimpuh di hadapan Bongkap dengan napas terengah-engah.
Bongkap dan Bong Mini meloncat kaget dari kursi-nya seraya memandang kedatangan pengawal itu.
"Apa yang terjadi? Dan mana kedua temanmu yang membawa ketiga dayang itu?"
Tanya Bongkap dengan napas yang memburu saking marahnya.
"Maafkan saya, Tuanku. Sekelompok orang yang tak dikenal telah menyerang kami. Dua pengawal mati se-dangkan para dayang Tuanku telah dibawa kabur oleh mereka,"
Lapor pengawal itu.
Bongkap mendengus keras.
Malam itu ia benar-benar menghadapi persoalan-persoalan berat.
Belum selesai persoalannya dengan kawanan orang bertopeng itu, sudah datang lagi persoalan baru.
Dia benar-benar pusing dan geram.
Urat-urat di sekitar keningnya kelihatan menonjol pertanda bahwa pikirannya tengah di-landa ketegangan yang memuncak.
"Ini pasti pekerjaan mereka!"
Dengus Bong Mini dengan berdiri garang sebagaimana seorang pendekar.
"Siapa mereka?"
Bongkap terperanjat mendengar ucapan putrinya.
"Orang-orang yang baru saja kita kalahkan tadi,"
Jawab Bong Mini. Bongkap lagi-lagi mendengus. Dia benar-benar ma-rah terhadap orang-orang liar yang selalu memburu perempuan itu.
"Kita harus cepat-cepat bertindak, Papa!"
Usul Bong Mini, gusar.
"Itu sudah menjadi pikiranku, Putriku!"
Sahut Bongkap, sementara matanya menatap kosong ke de-pan.
"Tapi kita harus punya perhitungan yang ma-tang!"
"Maksud Papa?"
"Kita bukan hanya akan berhadapan dengan para penculik itu, tetapi juga akan berhadapan dengan ke-tua mereka yang tentunya tidak bisa diremehkan!"
Sa-hut papanya. Bong Mini terdiam mengerti "Ashiong!"
"Saya, Tuanku!"
"Persiapkan dirimu. Latih kembali jurus-jurusmu, aku akan melihatnya!"
Kata Bongkap kepada Ashiong dan keempat pengawal lainnya.
"Baik, Tuanku!"
"Kau juga, Putriku!"
Bongkap menoleh pada pu-trinya.
"Apa yang Papa katakan akan saya turuti,"
Sahut Bong Mini, sigap. Setelah mendapat perintah itu, Bong Mini dan para pengawal lainnya yang hanya tinggal lima orang segera menuju tempat mereka berlatih.
"Aku harus segera menyingkirkan segala macam ko-toran yang ada di tanah tempatku berpijak ini!"
Bongkap bergumam seperti berjanji pada dirinya sendiri.
Lalu ia pun segera menuju tempat di mana putrinya dan para pengawal berlatih jurus-jurus kungfu.
*** Dengan langkah-langkah gagah, Bong Mini bersama para pengawal kepercayaan papanya memasuki rua-ngan latihan silat.
Disusul kemudian dengan kehadi-ran Bongkap.
"Ashiong!"
Ujar Bongkap seraya mendekati mereka yang sudah berkumpul, siap melaksanakan latihan.
"Cobalah kamu uji kemampuan putriku!"
Perintah Bongkap. Hal itu karena Ashiong mempunyai ilmu ju-rus kungfu yang setingkat lebih tinggi dari pengawal lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan putrinya.
"Siap, Tuanku!"
Ucap Ashiong membungkuk hor-mat.
"Dan kau putriku. Berlatihlah sungguh-sungguh. Anggaplah latihan ini sebagai pertempuran dua orang lawan yang hendak saling menjatuhkan!"
Kata Bong-kap kepada putrinya.
"Ya, Papa!"
Sahut Bong Mini patuh.
"Nah, mulailah!"
Ucap papanya memberi aba-aba.
Lalu ia bersama para pengawal lainnya mengambil tempat duduk di sudut ruang latihan untuk menonton.
Sedangkan Ashiong dan Bong Mini meletakkan pe-dangnya masing-masing.
Kemudian kembali ke tengah ruang latihan silat dengan kuda-kuda yang saling berhadapan seperti dua naga yang benar-benar hendak bertarung.
Segala macam perasaan tidak enak karena saling kenal segera mereka hilangkan.
Begitu pula dengan Ashiong yang tidak lagi memandang Bong Mini sebagai putri raja, melainkan dianggapnya sebagai musuh besar agar latihan keduanya benar-benar se-perti dalam pertempuran sungguhan.
Karena keduanya sudah saling menganggap musuh, maka keduanya pun lebih dulu mengamati lawannya dengan sinar mata yang tajam dan penuh penilaian.
Ashiong melihat betapa Bong Mini tersenyum kecil ke arahnya.
Sedangkan sikap Bong Mini sendiri seperti memandang rendah ke arahnya.
Ditambah dengan wa-jahnya yang berseri, seakan-akan hatinya tengah ber-gembira.
Di hati Ashiong timbul rasa suka.
Ia membe-rikan penilaian bahwa gadis yang berusia enam belas tahun di hadapannya itu mempunyai watak periang.
Sehingga pandangannya yang semula menganggap Bong Mini sebagai lawan berubah menjadi kasihan.
Akhirnya dia berpikir untuk menjaga tubuh putri ra-janya agar tidak sampai cidera.
"Bong Mini segeralah menyerangku!"
Tantang A-shiong. Dia ingin segera memulai latihan yang serius itu. Karena selama ini ia tidak punya kesempatan un-tuk berlatih. Terkecuali bertempur dan bertempur lagi.
"Baiklah. Tapi alangkah baiknya engkau dulu yang melakukan serangan. Bukankah engkau sebagai peng-ujiku?"
Kata Bong Mini dengan bibir tersenyum lebar.
"Baiklah kalau itu kehendakmu. Bersiaplah!"
Kata Ashiong sambil menerjang dengan memainkan jurus 'Bangau Mematuk Mangsa'.
Jari-jari kedua tangannya dipertemukan lurus seperti paruh burung bangau me-matuk pelan, namun mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat Wuttt! Bong Mini agak kaget juga ketika merasakan sam-baran angin pukulan yang amat kuat itu.
Tetapi dia sendiri maklum karena pemuda yang ada di hadapan-nya itu bukan orang yang sembarangan.
Hampir se-mua jurus kungfu telah dimilikinya.
Dan jurus 'Ba-ngau Mematuk Mangsa' baru kali ini ia lihat.
Terma-suk Bongkap dan para pengawal lainnya.
Memang benar kalau selama ini Ashiong belum per-nah mengeluarkan jurus 'Bangau Mematuk Mangsa'.
Selama ini jurus yang sering ia keluarkan hanya jurus-jurus yang diberikan Bongkap kepadanya.
Termasuk saat menghadapi lawan.
Bong Mini cepat mengelak melihat Ashiong melan-carkan serangan dengan kedua tangannya yang me-lengkung seperti leher bangau.
Tetapi dengan cepat pula tangan Ashiong meluncur ke pundak dan leher-nya.
Kali ini serangannya menjadi lebih cepat dan berbahaya dari sebelumnya.
Namun Bong Mini sendiri yang mempunyai tubuh mungil dengan tangkas meng-imbangi kecepatan gerak jurus-jurus Ashiong.
Dengan kecepatannya itu, kaki Bong Mini berhasil mengirim-kan tendangan ke perut Ashiong.
Des! Ashiong terpaksa menarik kembali tangannya keti-ka perutnya terhajar tendangan Bong Mini.
Lalu ia mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menya-bet ke kaki Bong Mini yang bergerak menendang kem-bali.
Tetapi dengan cepat Bong Mini menyelamatkan kakinya dengan cara memutar tubuh sehingga luput dari sabetan tangan Ashiong.
Namun belum sempat ia menarik napas, Ashiong sudah menerjang kembali.
Se-rangannya kali ini merupakan satu jurus cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun Bong Mini.
Lalu disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Bong Mini.
"Ihhh...!"
Bong Mini berseru keras dan segera me-narik tubuh ke belakang dengan posisi miring.
Se-dangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan tangan lawan yang mengarah ke dadanya.
Dibarengi dengan tusukan dua jari tangan kirinya yang balas menyerang ke arah mata lawan.
Diam-diam Ashiong mengagumi gerakan balasan Bong Mini yang indah dan berbahaya itu.
Maka dia pun segera menangkis dengan memutar lengannya.
Duk! Desss! Dua kali sepasang tangan itu bertemu, mengaki-batkan tubuh keduanya terdorong ke belakang.
Plok! Plok! Plok! Bongkap yang menyaksikan latihan seru itu segera memberi isyarat untuk berhenti dengan menepuk ta-ngan liga kali.
Bong Mini dan Ashiong segera bangun dengan nafas yang terengah-engah.
"Cukup. Sudah lebih dari cukup. Kalian telah mem-perlihatkan kepandaian yang mengagumkan!"
Puji Bongkap seraya menghampiri Ashiong dan putrinya.
"Sudah lama aku tidak melihat kalian berlatih. Dan sekali melihat, kalian telah membuatku terkagum-kagum. Gerakan jurus-jurus kalian nampak begitu ce-pat dan hampir mencapai kesempurnaan."
Bong Mini dan Ashiong saling berpandangan dan tersenyum senang karena mendapat pujian dari orang yang selama ini disegani.
"Mari kita kembali ke tempat!"
Lanjut Bongkap, mengajak para pengawal setianya.
Mereka semua me-langkah meninggalkan ruang latihan.
Tidak lama kemudian mereka telah berada di ruang tengah yaitu sebuah tempat pertemuan khusus bila mereka mengadakan pembicaraan penting.
Di sana mereka duduk melingkar dengan menghadapi meja hi-dangan yang cukup luas.
"Ashiong, Sang Piao dan kalian semua. Malam ini kita akan membicarakan masalah khusus tentang la-wan-lawan yang akan kita hadapi!"
Kata Bongkap membuka percakapan. Empat orang pengawal setianya tampak mengang-guk-angguk. Sedangkan mata mereka terus tertuju ke-pada Bongkap dengan penuh perhatian.
"Mulai besok kita harus sudah mencari orang-orang tangguh yang mau berkorban untuk kesejahteraan ra-kyat. Karena biar bagaimanapun keselamatan dan ke-tenteraman rakyat ada di tangan kita. Apalagi kehadiran kita ke sini sebagai orang asing yang telah dipercaya oleh mereka. Dan kepercayaan itu tentu saja ha-rus dipertanggungjawabkan sebagai balas budi!"
Lanjut Bongkap.
Keempat pengawal dan putrinya kembali mengang-guk-angguk.
Segala hal yang menjadi pertimbangan dan pemikiran Bongkap sangat dihargai oleh empat orang pengawal dan putrinya.
Oleh karena itu tidak terlalu banyak komentar.
Melainkan tetap duduk sam-bil mendengarkan setiap ucapan Bongkap dengan baik.
Setelah beberapa lama Bongkap memberikan gaga-san dan pengarahan kepada empat orang pengawal-nya, mereka pun segera meninggalkan ruang perte-muan dengan membawa satu kesepakatan; berjuang demi rakyat! Walaupun darah dan nyawa yang menjadi taruhannya.
*** Dari hari ke hari, negeri Selat Malaka semakin dice-kam oleh kecemasan.
Para penduduk yang tadinya hi-dup tenteram kini diburu oleh rasa takut terus-menerus.
Apalagi jika waktu malam tiba, tak satu pun di antara mereka yang berani keluar rumah.
Senja itu ketika matahari rebah sepenggalah di ufuk barat, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian silat ketat warna merah tampak berjalan dengan te-nang.
Rambutnya yang dibiarkan bebas lepas tampak berayun-ayun, ditiup oleh semilir angin senja.
Gadis mungil dan cantik itu tidak lain adalah Putri Bong Mini.
Sengaja hari itu ia tidak menggunakan ku-danya.
Dia ingin lebih menyatu lagi dengan kehidupan alam negeri Selat Malaka, sebagaimana para penduduk aslinya.
Sesekali ia pun singgah pada tempat-tempat yang dicurigai.
Siapa tahu dia bisa berpapasan dengan orang-orang Topeng Hitam.
Atau ia mampir ke warung-warung dengan harapan bisa berjumpa dengan orang yang dicarinya, para pendekar yang mau diajak berga-bung untuk melawan para pengacau negeri.
Sedang asyiknya ia berjalan, tiba-tiba terdengar su-ara orang yang tertawa terkekeh.
"He he he..., sungguh luar biasa bila ada seorang gadis cantik berjalan sendirian di tempat sepi ini!"
Bong Mini tersentak kaget sambil memutar badan-nya untuk memandang.
Di sana, dari jarak sepuluh meter, Bong Mini melihat tiga lelaki berdiri menyeringai ke arahnya.
Umur ketiga lelaki itu sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun.
Ketiganya mengena-kan pakaian pangsi.
Yang seorang bertubuh tinggi be-sar dengan otot-otot terlihat kokoh kuat dengan sepasang mata liar.
Seorang lagi berperawakan sedang dengan jenggot panjang dan kusam di dagunya.
Se-dangkan yang ketiganya bertubuh gendut pendek se-perti bola.
Dan semua wajah mereka kelihatan hitam pekat seperti suku-suku primitif yang hidup terbela-kang.
"Siapa kalian? Dan mengapa membuntuti perja-lananku?"
Tanya Bong Mini tenang namun penuh te-naga. Sehingga kalimat yang dilontarkannya itu ter-dengar tegas berwibawa. Ketiga lelaki tadi tertawa terkekeh mendengar per-tanyaan Bong Mini.
"Apakah Nona ingin berkenalan dengan kami? De-ngan senang hati kami menerimanya!"
Seloroh si muka hitam yang berjenggot kambing tak terurus.
"Puih! Siapa yang sudi berkenalan dengan kalian. Jangankan perempuan, lelaki pun akan berpikir dua kali untuk berkenalan denganmu!"
Ketus Bong Mini dengan sepasang matanya mendelik indah. Ketiga lelaki di depannya saling berpandangan. Wa-jah mereka terlihat geram.
"Kurang ajar sekali perempuan ini!"
Gumam seorang lelaki yang bertubuh tinggi dan berotot.
"Tenang. Gadis muda seperti dia memang lebih ba-nyak emosinya!"
Temannya yang berjenggot kambing menenangkan.
Setelah ketiganya kembali bersikap tenang, orang pendek yang berperut buncit melangkah maju men-dekati Bong Mini.
Sesaat ia tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun.
Hanya sinar matanya saja yang mencorong mengamati wajah gadis itu.
"Nona, apakah tidak tahu dengan siapa Nona ber-hadapan?"
Kata lelaki berperut gendut itu. Suaranya begitu kecil seperti suara tikus yang tergencet beban. Sehingga kedengarannya begitu lucu di telinga Bong Mini.
"Siapa pun kalian aku tidak mau peduli. Kalian te-lah berlaku lancang karena membuntuti dan mengha-langi perjalananku!"
Ketus Bong Mini. Lelaki berperut buncit itu tersenyum kecil. Ia masih mencoba bersikap sabar.
"Nona berbicara sangat lancang!"
Ucap lelaki berpe-rut gendut itu.
"Hm.... Orang yang kuhadapi pun bukan orang-orang sopan. Jadi untuk apa berbaik-baik dengan ka-lian!"
Balas Bong Mini dengan bibir mencibir. Si pendek gemuk itu menahan napas geram. Tata-pan matanya semakin tajam mencorong ke arah gadis yang juga tengah menatapnya tanpa berkedip.
"Kuperingatkan sekali lagi, Nona. Mintalah maaf ke-pada kami agar nyawa Nona bisa selamat!"
Geram lela-ki gendut itu. Tapi kegeraman itu membuat Bong Mini tertawa dalam hati. Sebab suaranya yang kecil itu dipaksakan untuk berteriak keras sehingga nafasnya tersengal-sengal.
"Heh, Babi Gendut. Jangan bicara seenaknya. Aku juga bisa membeset perutmu itu agar beranak!"
Ejek Bong Mini dengan sikap tubuh siap melakukan perla-wanan.
Wajah hitam pekat lawannya itu bertambah kelam saja ketika mendengar ucapan Bong Mini yang berna-da mengejek.
Sepasang matanya yang merah itu sema-kin menyala seperti hendak mengeluarkan jilatan api.
"Bocah perempuan. Berani engkau menghinaku!"
Hardik lelaki berperut gendut itu dengan wajah panas seperti terbakar akibat kebencian yang berbau darah dan maut.
Setelah ia berkata, tubuh lelaki gendut itu menerjang ke arah lawan dengan dahsyat.
Kedua tangannya membentuk cakar untuk menyerang, seperti hendak mencengkeram seekor kelinci.
Sedangkan dari kerongkongannya terdengar suara menggeram seperti binatang buas yang bertemu mangsanya.
Lalu dari ja-ri-jari tangan yang membentuk cakar itu, menyembur hawa yang amat kuat dibarengi oleh uap putih dan bau amis darah.
Melihat serangan aneh yang baru dilihatnya itu, Bong Mini segera menggerakkan kakinya dengan mu-dah.
Lelaki berperut gendut itu terbelalak kaget.
Baru kali ini ia bertemu dengan seorang gadis yang mempu-nyai kepandaian ilmu silat.
Sehingga ia berpikir bahwa untuk menghadapi gadis yang satu ini tidak bisa dengan main-main.
Salah-salah nanti dia sendiri yang dipermainkan lawannya.
Setelah serangan pertamanya gagal, lelaki berperut gendut itu kembali menyerang lawannya dengan ceng-keraman.
Akan tetapi cengkeraman itu bertemu de-ngan lengan Bong Mini.
Dan ketika kedua lengan yang mengandung tenaga itu bertumbukan, tubuh si gendut langsung terjengkang ke belakang.
Lalu menggelinding di tanah seperti bola yang ditendang.
Tetapi sebentar kemudian tubuh bulat itu sudah kembali bergerak bangun dengan muka merah.
Disusul kemudian de-ngan gerak tangannya yang mencabut sebilah pedang pendek berwarna kecoklat-coklatan.
Sebagai tanda bahwa pedang itu sudah sering dilumuri racun.
Dua orang bermuka hitam lainnya segera mencabut goloknya masing-masing ketika melihat sahabatnya sudah terjengkal dalam beberapa gebrakan.
Kemudian mereka melompat ke tengah pertempuran.
Walaupun ia sudah dikepung oleh tiga orang la-wannya, tetapi gadis berpakaian merah ini tetap berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Dia nampak tenang-tenang saja.
Tak ada sedikit pun rasa gentar yang menyelimuti hati dan pikirannya.
Malah bibirnya terse-nyum-senyum seperti seorang guru yang melihat mu-rid kecilnya yang nakal.
Sikap Bong Mini yang melecehkan itu memang sa-ngat beralasan.
Sebab ia telah membaca kemampuan lawannya masing-masing.
Ketiga lawannya itu mem-punyai kepandaian yang masih jauh di bawahnya.
Maklumlah, ia sendiri telah mendapat gemblengan dari papanya sejak berumur empat tahun.
Dan kehadiran-nya di tengah dunia persilatan pun sudah cukup punya pengalaman.
Ketika melihat Bong Mini masih berdiri bertolak pinggang, lelaki berperut gendut itu segera menyerang dengan pedang pendeknya.
Begitu pula dengan dua orang teman lainnya yang menerjang dengan golok me-reka masing-masing.
Tapi belum sempat senjata me-nyentuh sasaran, tubuh Bong Mini segera mencelat ke atas dengan cepat.
Dan dengan gerakan yang sukar di-ikuti pandangan ketiga lawannya, Bong Mini telah berdiri kembali di belakang mereka sambil tertawa kecil.
Geli melihat ketiga lawannya yang celingukan seperti kambing congek.
Ketika melihat lawan telah berdiri di belakang me-reka sambil tersenyum, lelaki gendut itu kembali me-nyerang dengan bacokan pedang.
Diikuti oleh dua orang temannya yang juga turut menyerang dengan go-lok masing-masing.
Menghadapi keroyokan tiga lawannya yang bersen-jata itu, Bong Mini kembali menyelamatkan diri de-ngan membuat gerakan-gerakan cepat yang dinama-kan jurus 'Tanpa Bayangan'.
Dia melompat sambil berputar bagai gangsing.
Lalu dengan cepat pula jari telunjuknya menotok pundak si gendut yang pendek itu.
Begitu cepat gerakannya sehingga sangat sulit untuk dihindari lawannya.
Maka dalam sekejap lelaki pendek dan gendut itu terjatuh lemas tanpa tenaga.
Sedangkan pedangnya terlepas dari tangan.
Tanpa memberikan kesempatan kepada kedua la-wan yang masih berdiri dengan golok di tangan, Bong Mini kembali menyerang bertubi-tubi.
Sehingga ter-dengarlah teriakan kesakitan ketika kedua tubuh la-wannya roboh.
Sedangkan golok mereka terlepas dari genggaman tangan masing-masing.
Mereka terjatuh tepat di dekat temannya yang bertubuh gendut.
"Belajarlah lebih baik lagi kalau kalian ingin menja-di lelaki sejati!"
Ucap Bong Mini seraya tersenyum melecehkan.
Kedua lelaki yang tadi terjatuh itu tidak segera me-nyahut.
Mereka bergegas bangkit sambil menggotong tubuh lelaki gendut yang masih lemas.
Lalu segera membawanya keluar dari tempat pertempuran.
Diikuti oleh pandangan Bong Mini yang tersenyum lega.
Setelah punggung lawannya tak terjangkau oleh pandangan matanya lagi, Bong Mini kembali melan-jutkan perjalanan.
Di langit matahari sudah semakin condong ke ba-rat.
Sinarnya yang tadi terang-benderang, kini berubah redup.
Cahayanya pun sudah tidak begitu menyengat.
Membuat daun-daun yang semula menadahi hujaman sinar matahari, kini perlahan-lahan merunduk.
Dengan wajah tetap berseri, Bong Mini terus berja-lan sampai akhirnya ia tiba di sebuah kota kecil yang bernama Kota Girik.
Kemudian ia masuk ke sebuah rumah makan untuk mengisi perutnya yang sudah melilit.
Ketika sampai di dalam, ternyata ruangan rumah makan itu sudah penuh sekali.
Tapi untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang.
"Silakan, Nona!"
Seorang pelayan keturunan Cina segera menghampiri Bong Mini dan mempersila-kannya.
Bong Mini mengangguk sambil tersenyum ramah.
Lalu kakinya melangkah menuju sudut belakang.
Dan sebelum ia sempat menarik kursi makan, pelayan tadi telah mendahuluinya.
Kemudian dengan sikap sopan pula pelayan keturunan Cina itu mempersilakan Bong Mini duduk.
Setelah Bong Mini duduk, ia segera memesan beberapa macam lauk dan nasi putih.
Ter-masuk air teh tentunya.
Sambil menunggu pesanan datang, Bong Mini me-nyebar pandangannya pada sekeliling ruangan, terma-suk pada pengunjung yang memadati rumah makan itu.
Hm..., tampaknya kebanyakan dari mereka adalah orang berkebangsaan Cina sepertiku, gumam Bong Mini ketika melihat pengunjung yang rata-rata berma-ta sipit.
Bahkan di antara mereka hampir semuanya menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa asal negerinya.
Ternyata banyak juga orang-orang sebangsa de-nganku yang merantau ke negeri timur ini, gumam Bong Mini lagi.
Dan bersamaan dengan itu seorang pe-layan yang tadi menyapa Bong Mini telah datang de-ngan membawa pesanannya.
Kemudian makanan itu pun diletakkan di atas meja.
Setelah pesanan tersedia semua, Bong Mini segera menyantap hidangannya dengan penuh kenikmatan.
Hm..., pantas saja banyak orang yang makan di si-ni, masakannya lezat, nilai hati Bong Mini sambil terus melahap makanannya.
Tanpa disadari oleh Bong Mini, semua tingkah-lakunya diperhatikan oleh sepasang mata dari sudut lain di ruangan rumah makan itu.
Sepasang mata itu milik seorang lelaki muda yang umurnya kurang lebih sekitar tiga puluh tahun.
Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa.
Tubuhnya sedang namun padat dan tegak.
Sehingga kelihatan kuat.
Pakaiannya rapi dan sederhana.
Sedangkan wajahnya tampak begitu gagah.
Berkulit segar dan kemerahan.
Sepasang matanya ber-sinar tajam melukiskan kecerdikannya.
Bong Mini telah selesai makan.
Ia langsung berdiri dan melangkah menuju pemilik warung untuk mem-bayar.
Setelah itu kakinya melangkah keluar dengan sikap tenang dan lega karena perutnya yang tadi ko-song telah terisi.
Lelaki muda yang tadi memperhatikan Bong Mini di rumah makan itu segera meneguk habis araknya.
Lalu ia segera meninggalkan rumah makan itu.
Dan ketika jaraknya sudah hampir dekat dengan Bong Mini, lelaki itu mempercepat langkah seperti tergesa-gesa.
Bong Mini yang melangkah di depannya sempat menoleh ke arah lelaki itu.
Namun lelaki tadi seperti tak menghiraukan pandangan Bong Mini.
Ia terus melangkah cepat mendahului Bong Mini.
Bong Mini menghela napas lega sambil melanjutkan langkahnya.
Tanpa sedikit pun menaruh curiga terha-dap lelaki yang berjalan mendahuluinya itu.
Ia berpikir bahwa lelaki tadi seorang penduduk biasa yang hanya mempunyai kesibukan bekerja dan mengisi perut.
Setelah agak jauh berjalan, tiba-tiba Bong Mini me-rasakan langkahnya tengah diikuti oleh beberapa orang.
Tapi ia tetap terus melangkah tanpa menengok ke belakang agar tidak mencurigakan para penguntit-nya.
Namun demikian, sebagai wanita jantungnya ber-debar juga.
Dia baru menyadari bahwa sekarang ini seorang gadis tidak bisa berjalan sendirian keluar rumah.
Karena negerinya telah dimasuki oleh orang-orang jahat Bong Mini sebenarnya ingin sekali mengetahui orang-orang yang membayanginya itu.
Untuk mene-ngok, tentu saja tidak mungkin, sebab akan menim-bulkan kecurigaan dan perkelahian.
Namun tiba-tiba Bong Mini mendapat akal.
Ia dengan sengaja menja-tuhkan saputangan yang sejak tadi digenggamnya.
Kemudian dengan gerakan seperti yang tidak disengaja ia membungkuk dan berjongkok mengambil saputangan yang dijatuhkannya tadi.
Pada kesempatan itulah ia pergunakan untuk melirik ke belakang.
Walaupun hanya sekilas ia melirik, tapi matanya dapat menang-kap wajah-wajah yang membayanginya.
Mereka ber-jumlah enam orang dengan pakaian pangsi hitam-hitam.
Sedangkan satu di antara keenam orang itu memakai pakaian putih dengan baju berlengan pan-jang dan rapi.
Dialah lelaki yang memperhatikannya sejak di dalam ruangan rumah makan.
Setelah dapat membaca dan menghitung orang-orang yang membayanginya itu, Bong Mini segera me-lanjutkan langkahnya kembali.
Langkahnya begitu lembut seakan-akan tidak mengetahui keenam orang yang mengikutinya.
Bagaimanapun tenangnya ia berjalan, dadanya te-tap juga berdebar-debar.
Apalagi ketika ia merasakan bahwa keenam lelaki itu kini sedang mengatur posisi dengan menyebar ke seluruh penjuru.
Dan apa yang menjadi firasatnya itu benar.
Karena dengan tiba-tiba dua lelaki berpakaian pangsi hitam-hitam meloncat dari arah kiri dan kanannya.
Bong Mini tersentak kaget sambil mundur dua lang-kah dengan tubuh membalik.
Sehingga empat orang yang ada di belakang terlihat jelas.
Mereka melangkah mendekatinya dengan tenang.
Wajah mereka tampak angker dengan pedang di punggung masing-masing.
Keempat lelaki itu menghentikan langkahnya dalam jarak tiga meter dari tempat gadis yang dihadangnya.
Mata mereka mencorong ke arah Bong Mini dengan ta-jam.
Sedangkan wajah mereka tak sedikit pun menam-pakkan kesan ramah.
Bengis dan kusut.
Hanya lelaki yang berpakaian putih saja yang kelihatan sedap di-pandang.
Walaupun wajahnya kelihatan asam tanpa senyum sedikit pun.
"Siapa kalian?! Dan kenapa menghalangi perja-lananku?!"
Tanya Bong Mini dengan suara lantang.
Se-dangkan sepasang matanya yang tajam menusuk mata lelaki yang berpakaian putih.
Lelaki yang mendapat tatapan tajam dari seorang gadis yang berpakaian merah itu tidak menjawab.
Hanya tatapannya saja yang tajam, membalas tatapan mata Bong Mini.
Kemudian dia memberi isyarat kepa-da teman-temannya dengan gerakan kepala.
Lima orang temannya yang berpakaian hitam-hitam segera bergerak mendekati gadis berpakaian merah.
Cara ja-lan mereka tegang.
Wajah kelimanya bengis seperti hendak menerkam mangsa.
Melihat gelagat yang tidak baik, Bong Mini mundur perlahan.
Sedangkan matanya dengan gesit mengawasi gerak-gerik kelima lelaki yang mengepungnya.
"Tangkap saja. Jangan pakai senjata!"
Cetus lelaki yang berpakaian putih dan rapi itu ketika lima orang temannya menarik golok masing-masing dari sarungnya.
Mendapat peringatan itu, kelima temannya segera memasukkan kembali golok mereka.
Kemudian dua orang dari mereka segera menerjang ke arah Bong Mini.
Tetapi gadis mungil berwajah cantik itu bukan gadis sembarangan.
Dia seorang gadis yang sejak kecil telah mendapat gemblengan ilmu bela diri dari papanya.
Ketika kedua orang itu menyerang Bong Mini dari dua arah, dipergunakan tubuhnya yang mungil untuk menunduk sedikit.
Membuat serangan kedua orang itu luput.
Malah tubuh mereka bertabrakan cukup keras.
Sedangkan Bong Mini dengan cepat melompat ke bela-kang dan berdiri menatap kedua lawannya dengan ter-senyum tipis.
"Makanya hati-hati kalau hendak melompat!"
Ledek Bong Mini.
Namun sikapnya tetap waspada, takut ka-lau yang lainnya menyerang tiba-tiba.
Mendapat ejekan Bong Mini, kedua lelaki itu men-jadi marah.
Dengan geram mereka kembali menyerang.
Namun dengan gesit pula Bong Mini dapat melompat menghindar.
Sedangkan kedua kakinya digunakan un-tuk mendorong kedua pantat lawannya.
Akibatnya me-reka jatuh tersungkur.
"Hi hi hi..., lagi nangkap kodok, Bang?"
Bong Mini tertawa terkikik.
Sedangkan panggilan bang kepada mereka karena ia merasa yakin kalau para penge-royoknya itu penduduk pribumi, penduduk Pulau Bangka.
Melihat kedua lelaki itu dipermainkan begitu rupa oleh gadis ingusan, ketiga temannya yang sejak tadi hanya menonton, kini bergerak mengepung Bong Mini dengan golok terhunus.
"Hiaaat!"
Sing! Sing! "Hi hi hi.... Bagus sekali tindakan kalian. Sehingga aku dapat berlatih silat lebih baik lagi!"
Ejek Bong Mini lagi sambil mengeluarkan pedang yang tersangkut di punggungnya.
Kemudian dengan permainan pedang-nya yang cukup baik, Bong Mini segera menangkis go-lok-golok lawan yang mengarah kepadanya.
Trang trang trang...! Bunga-bunga api berpijar ketika golok-golok mereka tertangkis oleh pedang gadis berbaju merah itu.
Ke-mudian diputar-putarnya pedang itu dengan kecepa-tan sampai tak terlihat oleh mata.
Membuat kelima penyerangnya merasa kesulitan.
Lalu tubuh mereka berloncatan beberapa langkah ke belakang dan me-ngurung gadis mungil itu.
"Hi hi hi..., majulah kalian! Aku ingin lihat sampai di mana kemampuan kalian dalam berhadapan dengan seorang gadis kecil sepertiku!"
Tantang Bong Mini.
"Kelinci sombong. Rasakan seranganku!"
Salah seo-rang dari pengeroyok itu mendengus marah.
Kemudian dengan cepat goloknya menyambar dahsyat.
Tetapi alangkah kagetnya lelaki itu, karena dengan cepat gadis berusia enam belas tahun yang ditabraknya me-nyambut dengan pedang.
Kedua senjata itu langsung berbenturan keras dan golok lawan terbelah dua! Belum sempat lelaki itu mengatur posisinya, pedang Bong Mini yang berujung runcing telah lebih dulu me-nembus lambungnya.
Seketika lelaki itu rubuh tak be-da dengan seonggok kayu kering.
Empat orang lainnya menjadi terkejut dan marah.
Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan ta-ngan kirinya pun turut menyerang dengan mengelua-rkan jurus menotok jalan darah dengan tiga jari tan-gan mereka masing-masing.
Namun, sebagai gadis kecil yang sudah punya pe-ngalaman dalam dunia persilatan, dengan tenang dan tersenyum Bong Mini menghadapi keroyokan mereka.
Ia telah dapat membaca batas kemampuan semua la-wannya.
Sehingga setiap babatan golok dapat dihalau dengan mudah oleh pedangnya yang selalu berkelebat cepat.
"Mampuslah kau!"
Teriak seorang lelaki pada saat goloknya tertangkis oleh pedang Bong Mini.
Dengan cepat ia menggerakkan tiga jarinya untuk menotok da-da Bong Mini.
Tetapi dengan gesit pula Bong Mini menghindari totokan itu dengan melengkungkan ba-dannya ke belakang.
Lalu secepat kilat pedang yang tadi digunakan untuk menangkis, diarahkan ke tubuh lelaki yang hendak menotoknya.
Brettt! Pedang Bong Mini merobek tubuh lelaki itu dari ulu hati sampai ke pantatnya.
Kemudian disusul dengan serangan-serangan ke arah tiga lawannya yang masih berdiri kaku melihat kematian temannya.
Dalam waktu singkat, lima orang pengeroyoknya tersungkur jatuh tanpa dapat bergerak lagi.
Lelaki muda berpakaian putih dan rapi terbelalak kaget ketika melihat kelima temannya mati dalam se-kejap.
Dia tidak mengira sama sekali kalau teman-temannya yang mahir memainkan golok dan gerakan menotok dapat dikalahkan seorang gadis mungil.
Na-mun ia sendiri tidak gentar melihat kenyataan itu.
Malah dengan kemarahan yang memuncak dan kebencian yang meluap, ia mendekati putri Bong Mini yang sudah sejak tadi menunggu reaksinya.
"Kau boleh bangga dapat mengalahkan kelima orang temanku. Tapi jangan mengira kau dapat me-ngalahkanku!"
Usai berkata, lelaki itu langsung me-nyerangnya dengan sebilah pedang di tangan.
"Bagus. Keberanianmu ini yang sebenarnya ku-tunggu-tunggu sejak tadi!"
Ujar Bong Mini seraya me-nangkis serangan pedang lawan dengan pedangnya, sehingga menimbulkan benturan yang amat keras.
Disusul dengan patahnya pedang lelaki muda itu.
Lelaki muda berpakaian putih itu melemparkan pe-dangnya yang patah.
Setelah itu menyerang kembali dengan tangan kosong.
Melihat lawannya tanpa senjata, Bong Mini pun me-lemparkan pedangnya ke tanah dan menyambut se-rangan lawannya dengan tangan kosong pula.
Dengan tenang ia menghindari serangan lawan.
Tubuh diputar sambil mengibaskan kedua tangannya untuk menang-kis serangan lawan yang menyerangnya dengan jurus menotok.
Menyadari betapa gadis itu mempunyai ilmu kungfu yang tidak bisa dianggap remeh, pemuda berbaju putih kembali melancarkan serangan bertubi-tubi dengan sepasang tangan dan kakinya yang dapat mengirim ha-jaran berbahaya.
Serangannya susul-menyusul bagai gelombang samudera yang tiada henti.
Bong Mini sangat terkejut mendapat serangan yang tiada putus-putus itu.
Dalam hati ia mengakui bahwa lawannya kali ini amat tangguh.
Kalau ia hanya men-gelak dan menangkis, itu akan membuat dirinya teran-cam.
Oleh karena itu, setelah lawannya mendesak sampai belasan jurus, Bong Mini membalas dengan ju-rus kungfu 'Tanpa Bayangan' disertai pengerahan te-naga dalam.
Membuat lawan yang mencoba menangkis serangannya, merasa seperti dilanda badai.
Tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering yang tertiup angin.
Lalu tubuhnya membentur sebuah batu besar dengan amat keras.
Dug! Pemuda itu terkulai lemah ketika punggungnya ter-hantam batu besar.
Sedangkan dari mulutnya me-nyembur, darah segar.
Lalu tubuhnya menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong.
Sampai akhirnya diam tak berkutik lagi.
Bong Mini menghela napas dalam.
Lalu kakinya me-langkah menghampiri lawannya yang sudah tidak ber-kutik itu.
Di sana ia tercenung menyesali kematiannya.
Sebab dengan matinya pemuda itu ia tidak akan bisa mengetahui asal-usulnya.
"Apa yang kau sesali, pendekar wanita?"
Tiba-tiba suara lembut terdengar berbisik di telinganya. Sedangkan bahunya terasa seperti ada yang menyentuh. De-ngan cepat Bong Mini menoleh ke samping.
"Papa!"
Keluh Bong Mini ketika mengetahui kalau orang yang menyentuh pundaknya adalah papanya. Bongkap tersenyum kagum menatap putrinya.
"Papa, saya menyesal telah membunuh mereka,"
Li-rih Bong Mini lagi. Bongkap menggeleng sambil tersenyum bijak.
"Kematiannya akibat perbuatannya sendiri,"
Ucap Bongkap.
"Saya menyesal karena belum sempat mengetahui asal-usul mereka,"
Bong Mini mengungkapkan penye-salan yang sesungguhnya.
"Papa yakin mereka adalah orang-orang yang kita cari selama ini!"
"Orang-orang bertopeng yang menyerang tempat ki-ta, maksud Papa?"
"Ya. Atau bisa juga orang-orang yang menculik keti-ga dayangmu!"
Sahut papanya. Bong Mini tercenung sambil mengangguk lamat.
"Sudahlah. Mari kita pulang untuk istirahat. Sete-lah itu kita lanjutkan pencarian kita untuk mengetahui dan mencari orang-orang bertopeng yang menyerang rumah kita!"
Ajak Bongkap serta menggandeng pu-trinya.
Bong Mini tidak menolak.
Dan dengan sikap manja, tubuhnya dirapatkan dalam pelukan papanya.
Mereka berjalan beriringan menuju utara untuk melanjutkan pencarian orang-orang bertopeng yang telah menye-rang rumah mereka.
Siapa sebenarnya orang-orang bertopeng hitam yang melakukan serangan ke tempat Sepasang Pen-dekar dari Selatan? Dan siapa pula keenam orang yang menyerang Bong Mini? Untuk mengetahuinya ikutilah serial Putri Bong Mini selanjutnya dalam episode.
'Hi-langnya Seorang Pendekar'.
SELESAI Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline *** *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** 8 *** SELESAI
Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu