Ceritasilat Novel Online

Bidadari Penakluk 2


Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk Bagian 2



Somadipura terdiam sambil meringis. Matanya memandang gadis itu dengan takut-takut.

   "Mulai sekarang aku minta padamu. Jauhi gadis itu!"

   Ujar Sari Dewi, mantap.

   "Tentu saja! Itu soal mudah. Karena, antara kami tidak ada hubungan apa-apa!"

   Sahut Somadipura cepat dan bersemangat.

   "Bagus! Dan yang kedua perlu kau ketahui. Mulai saat ini, hubungan kita putus!"

   Lanjut gadis itu. Sambil mendesis sinis, Sari Dewi berbalik.

   "Eh, Sari! Tunggu dulu! Apa maksudmu tadi?!"

   Kejar Somadipura.

   "Apa telingamu tuli? Kita putus! Kau dan aku tidak ada hubungan apa-apa. Tapi kalau kau coba main gila dengannya, maka jangan salahkan kalau aku akan memberi ganjaran kepadamu!"

   Ancam Sari Dewi.

   Somadipura terkejut.

   Kalau Sari Dewi berkata begitu, mau tidak mau pasti akan dibuktikannya.

   Dan bukan tidak mungkin dia akan mencari-cari alasan lain untuk menghajarnya.

   Dan belum ada yang membuka suara lagi, mendadak terdengar derap langkah serombongan orang berkuda.

   Sepertinya rombongan yang berjumlah lima orang itu akan melewati tempat Somadipura dan Sari Dewi.

   Begitu mereka dekat, mendadak wajah Somadipura menjadi cerah menyambut kedatangan lima penunggang kuda yang rata-rata masih berusia muda.

   Dan melihat pakaiannya, jelas mereka adalah anak-anak para tuan tanah.

   "He he he...! Kami kira siapa yang tengah berkasih-kasihan di sini. Ternyata sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara!"

   Seru salah seorang pemuda yang berkuda paling depan, seraya menarik tali kekangnya. Empat orang lainnya yang berkuda di belakang segera ikut berhenti ketika telah berada di dekat Sari Dewi dan Somadipura.

   "Hei, Soma! Apa yang kau lakukan di sini?! Jauh sekali kau mengajak sang putri berkasih-kasihan!"

   Teriak pemuda yang berkuda paling kiri.

   "He he he...! Biasa saja. Dari mana saja kalian?"

   Sahut Somadipura, tidak mempedulikan godaan kawan-kawannya.

   "Biasa, berburu di kampung sana!"

   Sahut yang berkuda paling depan.

   Somadipura mengenal pemuda yang berkuda paling depan sebagai putra seorang tuan tanah di kota yang sama.

   Nama pemuda itu, Jambika.

   Demikian pula keempat pemuda yang bersamanya.

   Sementara, Sari Dewi juga mengenal mereka.

   Tentu saja, sebab, kakaknya yang bernama Jayaprana juga berkawan dengan mereka.

   Sama dengan Somadipura serta Jayaprana, mereka adalah pemuda yang memiliki watak serta kelakuan hampir mirip.

   "He he he...! Jauh sekali kalian berburu. Padahal yang dekat pun masih banyak,"

   Sahut Somadipura.

   Somadipura melangkah mendekati Jambika.

   Diberinya isyarat agar Jambika merendahkan tubuhnya.

   Dan Somadipura pun cepat menempelkan mulutnya di telinga pemuda itu.

   Jambika terkesiap.

   Lalu matanya melirik pada Sari Dewi yang telah berbalik melangkah hendak meninggalkan tempat ini.

   Agaknya gadis itu tak ingin mempedulikan lima orang yang baru datang.

   "Apa tidak salah?"

   Tanya Jambika sedikit heran.

   "Kalau kau mau kehilangan kesempatan, terserah,"

   Sahut Somadipura.

   "Tapi...."

   "Kau terlalu banyak pertimbangan. Itu yang membuatmu selalu gagal!"

   Sergah Somadipura. Jambika melirik ke arah Sari Dewi sekilas. Lalu....

   "Tangkap dia! Dan, jangan lepaskan!"

   Perintah Jambika pada keempat kawannya.

   Perintah Jambika yang memang paling berpengaruh membuat kawan-kawannya terkejut.

   Tapi lebih terkejut lagi Sari Dewi.

   Tubuhnya langsung berbalik, dan memandang galak pada Jambika serta Somadipura yang tersenyum-senyum.

   "Jambika, apa maksudmu?! Kau mau cari gara-gara denganku?!"

   Bentak Sari Dewi.

   "He he he...! Terserah apa katamu. Tapi hari ini, sakit hatiku akan terbalas. Kau pernah menolak cintaku. Dan itu tidak akan pernah hilang dari ingatanku,"

   Ujar Jambika sambil ketawa lebar.

   "Kurang ajar! Kau tahu apa akibatnya bagimu?! Tukang pukul ayahku akan membuat perhitungan denganmu. Dan kau tidak akan selamat!"

   Desis Sari Dewi mengancam.

   "Itu kalau kau bisa pulang dengan selamat,"

   Timpal Somadipura enteng.

   "Apa maksudmu, Brengsek?!"

   Bentak Sari Dewi.

   "Maksudku sederhana. Dan kau pun pasti mengerti. Kau terlalu menghina mereka. Maka, mereka akan membalasnya sekarang. Kau mesti meladeni mereka satu persatu. Dan setelah itu...."

   Somadipura menempelkan tepi telapak tangannya ke leher, lalu menggerakkannya ke samping.

   "Keparat kau! Sebelum kalian membunuhku, maka aku akan mencekikmu lebih dulu!"

   Hardik Sari Dewi garang.

   "Heaaatt...!" *** Sari Dewi sebenarnya tak sembarang gadis. Oleh ayahnya, dia sempat dimasukkan ke sebuah padepokan, walaupun tak lama. Jadi paling tidak dia mengenal ilmu olah kanuragan. Maka tanpa ragu lagi Sari Dewi langsung melompat menerkam Somadipura. Ingin rasanya pemuda itu dicekiknya sampai mati. Tapi Somadipura yang juga mengenyam ilmu silat bukanlah sasaran empuk. Dengan gerakan manis tubuhnya digeser sedikit ke samping, lalu sebelah tangannya menepis cengkeraman gadis itu. Plak! Tapi Sari Dewi tidak berhenti sampai di situ. Sambil memutar tubuhnya, kaki kirinya menyambar melepaskan tendangan berputar ke dada.

   "Hiih!"

   "Uhhh...!"

   Somadipura cepat membungkuk, sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Kemudian dia buru-buru melompat ke belakang, mengambil jarak.

   "Hei?! Apa kalian akan diam saja menontonku?!"

   Teriak Somadipura.

   "Eh, maaf!"

   Jambika terkesiap. Betapa tidak? Semula tidak menyangka kalau gadis itu sedikit mengerti ilmu silat. Gerakannya enteng, tapi bertenaga. Namun dengan keyakinan kuat hatinya merasa yakin akan mampu meringkusnya.

   "Kalau kalian tidak mau tak dapat bagian!"

   Tambah Somadipura kesal.

   "Wah! Jangan begitu, Kawan. Siapa yang tidak mau mencicipi kemolekan bidadari yang satu ini,"

   Kata Jambika.

   "Kalau begitu cepat ringkus dia!"

   Bentak Somadipura.

   "Beres! Beresss...!"

   Lima orang kawan Somadipura cepat berlompatan dari kuda masing-masing.

   Dan dengan langkah hebat, mereka bergerak hendak mengurung Sari Dewi.

   Bagi Sari Dewi, kalau menghadapi satu orang, atau satu persatu, merasa yakin mampu mengimbangi.

   Tapi jika keenamnya maju bersamaan? Alamat celaka bagi dirinya! "Celaka! Aku mesti lari dan sini!"

   Pikir gadis itu seraya mundur ke belakang, lalu cepat berbalik dan kabur.

   "Hei, mau ke mana kau?! Kau tidak akan lolos dari kami!"

   Bentak Jambika. Secepat kilat pemuda itu berlari dan menerkam Sari Dewi dari belakang.

   "Hup!"

   "Ouw...!"

   Sari Dewi menjerit. Tubuhnya jatuh bergulingan bersamaan dengan tubuh Jambika Namun dengan sigap tangannya masih mampu menyikut lawan. Duk! "Aaakh...!"

   Jambika mengeluh tertahan.

   Terpaksa pelukannya dilepaskan.

   Tapi ketika gadis itu hendak bangkit berdiri, salah seorang pemuda kembali menerkamnya.

   Kembali gadis itu jatuh bergulingan.

   Salah seorang mencoba maju, hendak membantu meringkus Sari Dewi.

   Namun....

   "Hiih!"

   Tak! "Aaakh...!"

   Sari Dewi masih berhasil menendang tulang kering salah seorang yang coba membantu kawannya yang telah berhasil memeluknya.

   "Brengsek!"

   Umpat Somadipura.

   Bagi pemuda ini bagaimana pun urusan ini tidak boleh berlarut-larut Sari Dewi jangan sampai bisa melepaskan diri.

   Apalagi sampai melarikan diri.

   Somadipura tahu bahaya apa yang akan menimpanya.

   Juga, menimpa kawan-kawannya.

   Juragan Jelorejo tentu tidak akan tinggal diam.

   Mereka bisa mati dihajar para tukang pukulnya.

   "Tangkap dia! Cepat ringkus! Jangan biarkan lolos. Kalau dia sampai lolos, maka kita celaka...!"

   Teriak Somadipura berulang-ulang.

   Mendengar teriakan itu, yang lain semakin bersemangat bercampur kecut.

   Mereka segera mengerahkan seluruh tenaga untuk meringkus gadis itu.

   Maka begitu salah seorang berhasil memeluk Sari Dewi dari belakang, dua orang lain segera melompat ke samping kanan dan kiri.

   Masing-masing segera menangkap sebelah tangan gadis itu.

   "Setan Keparat! Kalian akan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatan kalian padaku!"

   Teriak Sari Dewi mengancam.

   Justru ancaman Sari Dewi mengena di hati mereka.

   Dan akibatnya, para pengeroyoknya semakin beringas.

   Dua orang lagi segera menyergap kedua kakinya dari samping kiri dan kanan.

   Sekuat tenaga Sari Dewi berusaha meronta, tapi kekuatan gadis seperti dia memang terbatas.

   Kini, gadis itu tidak bisa berkutik lagi.

   "Ikat dia di sana. Dan kakinya di sini!"

   Ujar Somadipura seraya melemparkan seutas tambang cukup panjang yang diambil dari kuda milik Jambika.

   Dengan tangkas kelima orang itu langsung mengerjakan perintah Somadipura.

   Sebelah tangan gadis itu diikat, dan dihubungkan pada sebatang pohon.

   Demikian pula tangannya yang satu lagi yang diikatkan pada batang pohon lain.

   Sementara kedua kakinya pun mendapat perlakuan yang sama.

   Kini, Sari Dewi telentang tak berdaya.

   Kedua tangan dan kakinya terikat, dan dihubungkan dengan empat batang pohon yang cukup besar.

   Sementara keenam orang itu menghela napas lega.

   Mereka memandang Sari Dewi sambil tertawa kecil.

   "Terkutuk kau, Soma! Aku bersumpah akan memotong lehermu setelah kejadian ini!"

   Desis gadis itu dengan mata berapi-api.

   "He he he...! Bawa saja dendammu ke akhirat, Sari Dewi. Karena setelah kami semua mencicipi kemolekan tubuhmu sampai puas, kau tidak akan pernah melihat dunia ini lagi. Jadi, mana mungkin bisa memotong leherku,"

   Sahut Somadipura mengejek.

   "Sudah! Tidak perlu meladeninya. Sekarang kita tentukan, siapa yang dulu bermain dengannya!"

   Sergah Jambika.

   "Bagaimana kalau aku dulu? Kurasa itu amat pantas,"

   Sahut Somadipura.

   "Tidak. Kau sudah sering bersamanya. Aku tidak yakin kalau kau belum pernah merasakannya. Maka aku yang lebih dulu akan mencicipinya,"

   Tukas Jambika.

   Somadipura mengalah saja mendengar usul Jambika.

   Tidak ada gunanya berdebat.

   Toh, dia ingin agar urusan ini nantinya menjadi tanggung jawab mereka bersama.

   Kalau Jambika yang pertama mencicipi, maka tanggung jawabnya lebih besar.

   Begitu pikir Somadipura.

   "Baiklah,"

   Sahut Somadipura.

   "Kalian tunggu agak jauh sampai aku selesai!"

   Ujar Jambika, melanjutkan.

   "Jangan khawatir! Bereees...!"

   Sahut Somadipura mantap sambil mengacungkan jempol.

   Lalu bersama empat orang lainnya, Somadipura angkat kaki dari tempat itu.

   Bibirnya menyungging senyum, ketika telinganya masih mendengar sumpah serapah serta makian Sari Dewi.

   *** Meski kawan-kawannya telah pergi, tapi Jambika belum yakin kalau perbuatannya tidak diintip kawan-kawannya.

   Dia mengendap-endap memperhatikan.

   Setelah merasa yakin kalau kelima kawannya berada cukup jauh, segera dihampiri Sari Dewi dengan jantung berdetak kencang.

   "He he he...! Akhirnya kudapatkan juga kau, mesti caranya sedikit kasar,"

   Ujar Jambika sambil terkekeh.

   "Kau manusia terkutuk, Jambika!"

   Maki Sari Dewi geram.

   "Terserah apa katamu. Yang penting, aku harus membalaskan penghinaanmu padaku,"

   Sahut Jambika seraya berjongkok di samping gadis itu.

   "Terkutuk! Puiiih!"

   Maki Sari Dewi kembali sambil meludah.

   Air ludah Sari Dewi persis menyiprat ke wajah pemuda itu.

   Seketika terasa sesuatu mengalir kencang ke otaknya.

   Jambika memang jarang bisa menggaet gadis-gadis kalau tidak dengan uangnya, karena tampangnya pas-pasan.

   Tapi selamanya, dia tidak suka dihina perempuan.

   Apalagi sampai diludahi seperti ini! Maka....

   Plak! "Ouw...!"

   Sari Dewi menjerit kesakitan ketika sebelah telapak tangan pemuda itu menampar pipinya.

   "Kau perempuan rendah! Tak pantas berbuat seperti itu padaku. Akan kau rasakan balasan atas perbuatanmu!"

   Desis Jambika, sambil menggerakkan tangannya ke arah leher baju Sari Dewi. Bret! Bret! "Ouw! Terkutuk kau, Jambika! Bajingan keparat!"

   Maki Sari Dewi tak karuan, ketika tangan pemuda itu merobek bajunya.

   Seketika sesuatu yang indah kebanggaan para wanita di dada menyembul, tatkala pakaian Sari Dewi dicabik-cabik pemuda itu dengan kasar.

   Pandangan mata Jambika mulai garang.

   Darahnya kontan mengalir cepat ke ubun-ubun.

   Amarah serta nafsu kelelakian menjadi satu di dadanya, melihat pemandangan di depan mata.

   Makian serta teriakan gadis itu laksana rayuan iblis yang semakin mengobarkan semangat di dalam dadanya.

   "Huh! Berteriaklah sekuat hatimu, karena tidak seorang pun yang akan menolongmu!"

   Dengus pemuda itu dengan hela napas membuai. Jambika segera membuka baju dan celananya. Seluruh syaraf di tubuhnya telah menegang. Dan baru saja dia hendak menerkam, sebuah bayangan putih berkelebat cepat ke arahnya. Lalu.... Duk! "Aaakh...!"

   Jambika menjerit keras ketika tengkuknya terhantam sesuatu dengan amat keras.

   Tubuhnya yang telanjang tersungkur ke samping disertai jerit kesakitan.

   Namun secepat itu pula, dia bangkit dengan wajah gusar.

   Cepat pakaiannya yang tengah tergolek di rumput disambar.

   Untung saja, sosok bayangan putih yang baru datang tidak kembali menyerang.

   "Bajingan keparat! Siapa kau?! Berani cari mati mengganggu urusan orang!"

   Maki Jambika geram sambil terburu-buru memakai pakaiannya, tatkala melihat kehadiran seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.

   "Kau salah tuduh, Kisanak. Bukankah bajingan keparat itu kau sendiri?!"

   Sahut pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, dingin. Mendengar dirinya direndahkan begitu rupa, Jambika makin kalap. Darahnya mendidih penuh amarah.

   "Setan! Kau yang akan kulelapkan di dasar kali, supaya otakmu sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini!"

   Hardik Jambika geram. Bersamaan dengan itu, pemuda ini langsung menerkam Rangga.

   "Hm...."

   Rangga menggumam tak jelas. Namun ketika hantaman tangan Jambika meluncur, tubuhnya bergeser sedikit. Dan tiba-tiba lutut kanannya menyodok ke dada. Dugh...! "Aaakh...!"

   Jambika menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan muka berkerut menahan rasa sakit. Terasa kalau sodokan itu seperti hantaman sebongkah besi yang kuat bukan main! "Setan!"

   Maki Jambika seraya bangkit. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Jambika menyerang kembali tanpa mempedulikan rasa sakit yang diderita.

   "Yeaaa...!"

   Kali ini, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha mengelak. Malah tiba-tiba kaki kanannya naik ke atas, melepaskan kibasan berkali-kali. Plak! Plak! Des! "Aaakh...!"

   Mantap sekali telapak kaki Rangga yang bergerak cepat, menyapu kedua tangan Jambika kemudian menghantam muka.

   Jambika terpekik, dan kembali terjungkal ke belakang.

   Tulang hidungnya patah mengucurkan darah.

   Bibirnya jontor.

   Sebuah gigi depannya tanggal serta mengucurkan darah.

   "Soma...! Jumeneng...!"

   Teriak Jambika memanggil kawan-kawannya.

   "Apakah yang kau maksud kelima orang yang bersamamu tadi?"

   Tanya Rangga, kalem.

   "Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap mereka?!"

   Dengus Jambika.

   "Saat ini mereka tengah berenang di sungai dalam keadaan terikat,"

   Jelas Rangga enteng.

   "Gila! Kau bisa membunuh mereka!"

   Desis Jambika.

   "Kudengar kalian hendak membunuh gadis ini setelah menodainya. Kalau kalian mampus, rasanya tidak seorang pun menyalahiku,"

   Sahut Rangga tenang, sambil melepaskan ikatan yang membelenggu Sari Dewi.

   Begitu mendapatkan dirinya terbebas, gadis itu buru-buru membenahi pakaiannya.

   Dipandangnya pemuda yang baru muncul itu dengan perasaan takjub.

   Pemuda itu muncul tiba-tiba saja seperti malaikat yang khusus datang menolongnya.

   "Apa yang hendak kau lakukan?!"

   Bentak Jambika dengan nyali ciut ketika melihat pemuda itu menghampirinya dengan memegang tali.

   "Apakah kau tidak ingin bergabung dengan mereka?"

   Tanya Pendekar Rajawali Sakti dingin.

   "Keparat kau! Kau tidak bisa berbuat seperti itu padaku!"

   Dengus Jambika, seraya beringsut ke belakang.

   "Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka!"

   Desis Rangga.

   Rangga melangkah cepat.

   Dan Jambika yang tengah kepepet jadi nekat, bermaksud menubruk pemuda itu.

   Tapi begitu bergerak, Pendekar Rajawali Sakti bergeser ke samping seraya menangkap pergelangan tangannya.

   Tap! Rrrt! Bet! "Uhh...! Setan! Keparat! Lepaskan aku...! Lepaskaaan...!"

   Teriak Jambika ketika kedua pergelangan tangannya terkebat tali.

    *** Jambika berteriak-teriak memaki.

   Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya.

   Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya.

   Dan dengan tenang, ditentengnya tubuh korbannya ke pinggir sungai.

   "Mungkin mereka telah sampai di muara sungai. Dan kau akan bergabung secepatnya,"

   Ujar Rangga.

   Dan tanpa belas kasihan lagi, Rangga langsung melemparkan tubuh Jambika yang tengah terikat itu ke dalam sungai.

   Byurr! Tubuh Jambika masuk ke dalam sungai.

   Namun ternyata, sungai itu dangkal.

   Sehingga dia tak sampai tenggelam walau sempat megap-megap.

   Jambika sendiri tak memikirkan, apakah benar kelima kawannya terbawa ke muara sungai.

   Tapi rasanya tidak mungkin, sebab sungai ini amat dangkal.

   Mungkin mereka melarikan diri, setelah dipecundangi sosok pemuda yang baru datang itu.

   Sementara Rangga segera berbalik.

   "Suiiit...!"

   Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Tak lama, seekor kuda hitam berlari-lari menghampirinya sambil meringkik halus.

   "Kudamu cerdik sekali!"

   Puji Sari Dewi yang telah mengambil kudanya di dekat pohon tempat dia termenung tadi. Sambil menuntun kudanya, dia selalu memperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melirik gadis ini sekilas.

   "Kau bisa berkuda?"

   Tanya Rangga yang sama sekali tak peduli dengan pujian gadis itu.

   "Boleh diadu denganmu!"

   Sahut Sari Dewi cepat seraya tersenyum lebar. Tapi Sari Dewi mesti kecewa, ternyata pemuda itu sedikit pun tak tergoda dengan senyumnya. Padahal dia berharap banyak! "Kalau begitu, pulanglah cepat ke rumahmu!"

   Sahut Rangga masih tetap dingin.

   Setelah berkata demikian Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu.

   Segera ditinggalkannya gadis itu seorang diri.

   Sari Dewi terkesiap.

   Belum pernah dia diabaikan seorang pemuda seperti saat ini.

   Maka hatinya terasa panas betul.

   "Hei, tunggu! Tunggu...!"

   Teriak Sari Dewi. Namun Rangga tetap menjalankan kudanya pelan tanpa menoleh sedikit pun. Apalagi berhenti. Sari Dewi mendesis kesal. Langsung gadis ini melompat ke punggung kuda putihnya. Segera dikejarnya pemuda itu.

   "Heaaa...!"

   Sari Dewi menggebah kudanya sekencang-kencangnya, untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda biasa saja. Cepat gadis ini merendengi langkah Dewa Bayu.

   "Aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Namaku Sari Dewi!"

   Kata gadis itu berusaha bersikap ramah sambil memamerkan senyumnya. Rangga sama sekali tidak berusaha melirik.

   "Tidak perlu berterima kasih,"

   Sahut Rangga kalem.

   "Tapi kau telah menyelamatkan nyawaku. Dan rasanya pantas kalau aku memberimu sesuatu sebagai tanda terima kasihku,"

   Lanjut Sari Dewi.

   "Berikan saja pada orang yang membutuhkan,"

   Tukas Rangga.

   "Kurasa aku tak akan memberikan pada orang lain, kecuali pada pemuda gagah seperti...."

   "Pulanglah dan urus dirimu! Jangan sampai mereka menemuimu lagi,"

   Rangga membelokkan arah pembicaraan.

   "Mereka tidak akan berani menggangguku lagi,"

   Kata Sari Dewi.

   "Kalau selamat, mereka pasti akan melakukannya."

   "Kalau selamat, mereka pasti akan kabur sejauh-jauhnya!"

   Sahut gadis itu mantap. Rangga melirik Sari Dewi.

   "Para tukang pukul ayahku pasti tidak akan membiarkan perbuatan mereka. Orang-orang itu akan merasakan balasan yang lebih hebat!"

   Tandas gadis ini.

   "Bagus! Kalau begitu aku tidak perlu mengkhawatirkanmu,"

   Sahut Rangga dingin, seraya menggebah kudanya.

   "Heaaa...!"

   "Hei, tunggu!"

   Teriak Sari Dewi seraya ikut mengejar.

   Namun kecepatan Dewa Bayu memang tak ada yang mampu menandinginya.

   Meski gadis ini telah menggebah kudanya dengan sekuat tenaga, tetap saja belum mampu menyusul atau menyamai jarak.

   Malah semakin tertinggal jauh.

   "Brengsek...!"

   Umpat Sari Dewi geram.

   Gadis ini segera memperlambat laju kudanya, karena tidak ada gunanya mengejar.

   Pemuda tampan tadi telah menghilang dari pandangan bersama kudanya.

   Belum juga gadis ini sempat berpikir untuk berbuat sesuatu untuk mengusir kekesalannya, mendadak....

   "Berhenti!"

   "Heh?!" *** Sari Dewi tersentak kaget, langsung berbalik. Dan keningnya jadi berkerut ketika dua penunggang kuda bergerak ke arahnya mendekati. Yang seorang adalah laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Badannya kerdil. Jenggotnya panjang, sebagian telah memutih. Sementara di sampingnya adalah seorang gadis berbaju merah muda. Rambutnya panjang diikat rapi oleh sehelai pita kuning berbunga-bunga. Wajahnya cantik, namun berkesan galak. Di punggungnya terlihat sebilah pedang.

   "Nisanak, apa maksudmu? Aku tidak kenal dengan kalian!"

   Tanya Sari Dewi begitu kedua penunggang kuda itu tiba dua tombak di depannya. Dan, Sari Dewi memang belum pernah melihat mereka. Bertemu pun baru kali ini.

   "Di mana kau dapatkan kuda itu?"

   Tanya gadis berbaju merah muda seraya menunjuk kuda yang ditunggangi Sari Dewi.

    *** Sari Dewi telah telanjur tidak senang melihat sikap, gadis berbaju merah yang baru datang bersama laki-laki tua bertubuh kerdil.

   Dan, kini tiba-tiba saja gadis itu menanyakan kudanya.

   Kalau saja bertanya baik-baik, maka sudah tentu dia tidak keberatan menjelaskannya.

   "Ini kudaku! Dan itu sama sekali bukan urusanmu!"

   Dengus Sari Dewi sinis, seraya hendak berbalik pergi dari tempat ini.

   "Kurang ajar!"

   Gadis berbaju merah jambu itu jadi kesal melihat sikap Sari Dewi. Dan tiba-tiba saja dia melompat dari punggung kudanya sambil mencabut pedang. Sring! "Ohh...!"

   Sari Dewi terkesiap. Baru sekali ini dilihatnya ada orang bergerak seringan itu. Bahkan tahu-tahu gadis berbaju merah muda itu mendarat di sampingnya sambil menghunuskan pedang ke leher.

   "Huh! Kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap kuberitahu!"

   Dengus Sari Dewi.

   "Bagus! Kalau begitu kau tidak ada gunanya. Maka, kau boleh mampus!"

   Baru saja gadis berbaju merah muda itu hendak mengayunkan pedang....

   "Seruni, tahan!"

   Cegah kakek bertubuh kerdil itu.

   "Untuk apa, Kek? Dia berusaha menyembunyikan wanita keparat itu. Berarti, dia memang sekutunya. Perempuan ini mesti mati di tanganku!"

   Tukas gadis bernama Seruni itu.

   "Sabarlah sedikit, Seruni.... Kita tidak boleh memaksanya seperti itu,"

   Sahut kakek kerdil ini lembut, seraya turun dari kuda dan menghampiri mereka.

   "Tapi, Kek,"

   Seruni mencoba membantah.

   "Sudahlah, sarungkan dulu pedangmu. Karena kita akan bicara baik-baik padanya,"

   Ujar laki-laki kerdil itu, bijaksana. Meski dengan mendengus sinis bercampur kesal, tapi gadis berbaju merah muda itu menurut juga. Sementara kakek kerdil itu menghampiri San Dewi. Sikapnya kelihatan sangat berbeda dengan gadis berbaju merah muda.

   "Maafkan kelakuan cucuku tadi, Nisanak. Dia memang suka marah-marah tak menentu. Tapi, bukannya tanpa sebab,"

   Ucap kakek kerdil.

   "Mestinya kau bisa mendidiknya dengan baik!"

   Sahut Sari Dewi, acuh tak acuh dengan wajah masih menyimpan kekesalan.

   "Ya. Lain kali akan kuperhatikan,"

   Desah kakek itu. Mendengar jawaban laki-laki kerdil yang tak lain kakeknya, Seruni sudah mau mendamprat lagi. Jelas sikap kakeknya tampak mengalah sekali. Tapi lagi-lagi dia terhalang oleh isyarat kakeknya.

   "Kami tengah mencari seseorang. Dan setelah sekian lama jejaknya menghilang, tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini. Oleh karena itu sudilah kiranya kau membantu kami,"

   Papar kakek kerdil itu.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Sari Dewi dengan kening berkerut.

   "Kuda yang kau tunggangi ini, Nisanak. Kalau boleh kutahu, siapa pemiliknya. Dan, dari siapa kau peroleh?"

   "Ini punyaku!"

   Orang tua kerdil itu tersenyum mendengar jawaban ketus dan mantap. Sebab, dia memang tidak yakin.

   "Nisanak.... Aku tidak mau menuduhmu sembarangan. Tapi aku berani bertaruh, kalau kuda ini bukan milikmu,"

   Cecar kakek kerdil itu.

   "Dari mana kau bisa seyakin itu?"

   Tanya Sari Dewi.

   "Tidakkah kau lihat kuda ini kelihatan gembira bertemu denganku?"

   Tanya kakek itu dengan sikap tenang.

   Bibirnya tampak selalu menyungging senyum kecil.

   Apa yang dikatakan kakek ini memang tak salah.

   Bahkan sejak tadi ketika kudanya hendak digebah hewan itu seperti enggan pergi dari sini.

   Dan sekarang, kuda putih itu mengendus-endus ke arah kakek ini dengan sesekali meringkik halus.

   Bola matanya kelihatan berbinar-binar penuh kerinduan padanya.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Sari Dewi lagi.

   "Kuda ini milikku, Nisanak. Dia dilarikan seorang wanita muda beberapa minggu berselang. Wanita muda itulah yang kini tengah kami cari-cari,"

   Sahut kakek itu berterus-terang.

   Sari Dewi mengangguk dan mengerti kini.

   Kuda yang tengah ditungganginya itu milik ibu tirinya.

   Dan berarti, ibu tirinya itu mencuri kuda kakek di depannya.

   Pasti ada suatu urusan di antara mereka.

   Begitu pikir gadis ini.

   "Apa persoalan kalian dengan pencuri itu? Apakah dia anakmu atau saudaramu?"

   Tanya Sari Dewi, mengorek keterangan.

   "Dia iblis keparat!"

   Desis Seruni geram. Sari Dewi tersenyum sinis melihat sikap gadis berbaju merah muda itu.

   "Iblis keparat? Hi hi hi...! Kau gadis galak. Dan kau kakek genit. Buat apa kalian mencari wanita itu?"

   Tanya Sari Dewi dengan nada mengejek.

   "Setan! Sebaiknya jaga mulutmu. Kalau kakekku tidak menghalangi, sudah kutebas lehermu!"

   Bentak Seruni, geram.

   "Huh! Apa yang bisa kau perbuat padaku?"

   Dengus Sari Dewi, seperti menantang.

   Seruni tidak sempat melihat isyarat kakeknya.

   Tapi orang tua itu sepertinya tidak melarang lagi.

   Maka tanpa pikir panjang tubuhnya mencelat, melakukan tendangan keras kepada gadis ceriwis itu.

   Sari Dewi berusaha menangkis.

   Namun kaki Seruni yang satu lagi menghantam dadanya dengan telak.

   Duk! "Aaah...!"

   Tak ampun lagi, putri Juragan Jelorejo itu terjungkal dari punggung kudanya sambil menjerit kesakitan. Sring! Secepat itu pula Seruni mencabut pedang, siap disabetkan ke leher Sari Dewi.

   "Kau akan melihat bahwa aku bisa membuktikan kata-kataku!"

   Dengus gadis itu.

   Dan tanpa ragu-ragu, Seruni memang bermaksud mengayunkan pedangnya ke leher Sari Dewi.

   Namun sebelum pedangnya bergerak, tiba-tiba melesat sebutir batu sebesar kepalan bayi.

   Wuut! Tak! "Hei?!" *** Seruni terkejut.

   Pedangnya bergetar, hampir terlepas dari genggaman, tatkala membentur batu yang melesat ke arah senjatanya.

   Sementara kakek kerdil itu walau kaget, namun cepat bisa menguasai perasaannya.

   Serentak keduanya berpaling.

   Tampak sesosok pemuda berbaju rompi putih duduk dengan tenang di punggung kuda hitamnya.

   "Kurang ajar! Beraninya kau mencampuri urusan orang lain!"

   Dengus Seruni geram. Dia baru saja hendak melabrak, namun Sari Dewi telah menghambur ke arah pemuda itu.

   "Oh, Syukurlah kau datang! Kau pasti sengaja untuk melindungiku dari mereka, bukan?!"

   Seru Sari Dewi, dengan suara manja.

   Gadis itu kelihatan gembira.

   Bahkan kaki pemuda yang baru muncul diraih tangannya, dan dipeluknya.

   Sementara pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti tak bergeming sedikit pun.

   Wajahnya masih sama seperti yang tadi.

   Dingin, seperti menyimpan dendam hebat.

   "Hm.... Kalau tidak salah, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti!"

   Sapa kakek kerdil dengan suara lantang.

   Namun, tidak bermaksud menyinggung perasaan Rangga.

   Semula Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikan adanya laki-laki kerdil di situ.

   Namun ketika pandangannya beralih dan memperhatikan orang tua itu, Rangga langsung tersenyum.

   "Kau benar, Orang Tua. Dan kalau mataku tak salah, kau tentu si Tupai Katai?!"

   Sahut Pendekar Rajawali Sakti.

   "He he he...! Kau sungguh jeli sekali, Pendekar Rajawali Sakti. Aku jarang muncul ke dunia persilatan. Tapi dengan sekali lihat, kau sudah mengenal diriku. Salam hormatku untukmu,"

   Balas orang tua kerdil yang dijuluki si Tupai Katai seraya menjura memberi hormat.

   Rangga jadi rikuh juga.

   Apalagi gadis yang mengganduli kakinya terus merapatkan tubuhnya.

   Pendekar Rajawali Sakti sedikit menyentakkan kakinya, lalu melompat turun dari kudanya.

   Dibalasnya penghormatan si Tupai Katai.

   "Bukan mataku yang jeli, Kisanak. Tapi nama besarmu yang selalu menempel di benakku,"

   Kata Rangga merendah, setelah menegakkan tubuhnya lagi.

   "He he he...! Bisa saja kau. Tapi, ada urusan apa gerangan sehingga kau bergentayangan di wilayah ini?"

   Tanya si Tupai Katai yang sebenarnya mempunyai nama asli Ki Janggasana.

   "Aku tengah mencari seseorang,"

   Sahut Rangga.

   "Hm.... Agaknya telah kau temui di sekitar wilayah ini?"

   Tebak Ki Janggasana yakin.

   "Agaknya begitu. Baru saja kudengar beritanya. Tapi aku tidak pasti. Barangkali kau bisa membantu, Ki?"

   "Apa gerangan yang bisa kubantu?"

   "Seorang wanita muda. Mukanya sedikit lonjong dengan tahi lalat di dekat bibir...,"

   Jelas Rangga.

   "Kau mencari si Bidadari Penakluk rupanya?"

   Tukas Ki Janggasana.

   "Kau kenal dengannya, Ki?"

   "Kenapa tidak? Kami memang tengah mencari wanita jalang itu untuk meminta pertanggungjawabannya. Namun selama ini, belum juga bertemu,"

   Jelas si Tupai Katai.

   "Kalau begitu kita mencari orang yang sama!"

   Desis Rangga.

   "Aku bisa membantu kalian menemukan orang itu!"

   Timpal Sari Dewi sambil tersenyum kecil. Kini mereka semua memandang Sari Dewi dengan seksama.

   "Sudah kuduga...!"

   Sahut Ki Janggasana.

   "Apa maksudmu, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Wanita itu mencuri kuda kesayanganku. Dan kuda itulah yang kini dibawa gadis itu!"

   Tunjuk kakek kerdil itu pada Sari Dewi.

   "Coba katakan padaku jika kau mengetahui wanita itu berada!"

   Desak Rangga pada Sari Dewi.

   "Katakan dulu, apakah kau tergila-gila pada wanita yang kau cari-cari itu atau tidak?"

   Sahut Sari Dewi sambil melengos.

   "Itu bukan urusanmu!"

   Desis Rangga.

   "Selama menyangkut wanita itu, tentu masih urusanku. Tapi kalau sudah mengatakan itu bukan urusanku, maka buat apa lagi aku membantu kalian?"

   "Jangan main-main denganku, Nisanak! Katakan saja, di mana wanita keparat itu?!"

   Desak Rangga, agak kesal juga. Sari Dewi tersenyum kecil. Mestinya, mendengar makian dengan kata "keparat"

   Dia sudah menemukan jawaban kalau pemuda ini tidak tergila-gila.

   Tapi, tengah menanggung kebencian hebat.

   Tapi memang sudah wataknya yang suka mempermainkan orang, maka Sari Dewi belum merasa puas bila tidak mendengar langsung dari mulut pemuda yang kini diincarnya.

   "Apa sulitnya menjawab pertanyaanku? Kau tergila-gila padanya atau tidak?"

   Tanya Sari Dewi.

   "Ya! Aku tergila-gila hendak menangkapnya,"

   Desis Rangga geram. Sari Dewi tergelak kecil.

   "Apakah dia bekas kekasihmu yang menyeleweng?"

   Lanjut Sari Dewi, makin membuat Rangga mengkelap.

   "Nisanak! Jangan sampai kesabaranku habis. Katakan saja di mana wanita itu berada jika kau benar-benar mengetahuinya!"

   Kata Rangga setengah membentak.

   "Dia tidak akan lari ke mana-mana. Kenapa kau tidak mau menunggu barang sesaat saja?"

   "Hm.... Agaknya kau tidak tahu di mana wanita itu. Kau hanya mempermainkan kami!"

   Kata Rangga sedikit menggumam, seraya melompat ke punggung kudanya. Rangga kembali mengarahkan pandangannya pada Ki Janggasana.

   "Maaf, Ki. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, sebab mesti mencari wanita itu!"

   Ucap Rangga.

   "Hei? Kau tidak percaya padaku?!"

   Sela Sari Dewi berteriak seraya melompat ke punggung kudanya, menjajari pemuda itu.

   "Kenapa kau mengikutiku? Apa kau kira aku percaya kata-katamu?!"

   "Apa kau kira aku berdusta?"

   "Aku tidak kenal denganmu. Dan kenapa aku mesti percaya padamu?!"

   "Huh! Kau terlalu angkuh! Terserahmu mau percaya atau tidak. Tapi kalau memang hendak mencari wanita itu, maka aku berani bersumpah bahwa aku mengetahuinya!"

   Tegas Sari Dewi.

   "Kalau begitu katakan padaku, di mana wanita itu?"

   "Tapi ada syaratnya!"

   "Aku tidak berhutang apa-apa padamu. Dan tidak semestinya kau mengajukan syarat!"

   Dengan kata-katanya itu, secara tidak langsung Rangga ingin mengingatkan bahwa gadis itu telah berhutang padanya.

   Maka tidak layak rasanya dia mengajukan syarat segala.

    *** "Terserahmu.

   Kalau setuju terima syaratku.

   Dan kalau tidak, kau akan lama sekali baru menemuinya!"

   Sahut Sari Dewi tidak peduli dengan sindiran Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berpikir beberapa saat, sebelum menyatakan persetujuannya.

   "Baiklah. Apa syaratmu itu?"

   Tanya Rangga, kalem.

   "Kau mesti menjadi kekasihku!"

   Sahut gadis itu, tanpa malu-malu. Seruni yang mendengar itu mendengus sinis. Dia jadi jengah sendiri mendengar syarat yang diajukan gadis centil itu. Sementara kakeknya hanya tersenyum-senyum kecil.

   "Bagaimana?"

   Tagih Sari Dewi, ketika pemuda itu terdiam untuk beberapa saat.

   "Maaf, aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu!"

   Tolak Rangga, tegas.

   "Kenapa? Karena aku kelewat jelek? Tidak pantas denganmu?"

   Cecar Sari Dewi.

   "Tidak! Karena kau tidak mengerti, apa artinya seorang kekasih!"

   Sahut Rangga.

   "Apa maksudmu?"

   "Seorang kekasih harus mencintai dan dicintai. Bukan diminta. Kalau kau memintaku menjadi kekasihmu, itu tidak adil. Karena aku belum mengenalmu terlalu jauh,"

   Sahut Rangga tegas.

   "Aku tidak peduli! Kau mau terima syaratku atau tidak?!"

   Sahut Sari Dewi berkeras.

   "Meski aku harus mempermainkanmu? Atau membohongimu dengan berpura-pura?"

   "Aku tidak peduli!"

   Tegas gadis itu. Rangga menghela napas. Dia berpikir sebentar sebelum menjawab.

   "Bagaimana? Kau terima atau tidak?"

   "Siapa namamu?"

   "Kau belum menjawab pertanyaanku?"

   "Sebelumnya, aku mesti tahu dulu siapa kau ini. Dan, dari keluarga mana."

   "Baiklah. Tadi sudah kukatakan namaku Sari Dewi. Aku putri Juragan Jelorejo, orang terkaya dan terpandang di Kota Canting, Kadipaten Welirang!"

   Rangga mengangguk kecil mendengar penjelasan itu.

   "Jadi kau berasal dari keluarga terpandang, ya? Tentu tidak sulit mencari rumahmu?"

   "Tentu saja! Seluruh Kadipaten Welirang tahu, siapa aku dan keluargaku!"

   Sahut Sari Dewi bangga.

   "Kalau begitu, aku tidak perlu menerima syaratmu."

   "Apa maksudmu?"

   "Aku akan cari sendiri wanita itu di tempatmu,"

   Sahut Rangga.

   "Heaaa...!"

   Seketika Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.

   "Hei?! Kau tidak akan menemukan apa-apa di tempatku!"

   Teriak Sari Dewi kesal, seraya mengejar pemuda itu.

   Tapi kali ini Rangga tidak mempedulikannya lagi.

   Meskipun gadis itu berusaha mengaburkan keberadaan wanita yang dicarinya, namun justru hal itu semakin menambah kepercayaannya.

   Dia yakin wanita berjuluk Bidadari Penakluk yang dicarinya ada di Kota Canting.

   Atau bahkan di rumah Sari Dewi.

   "Kurang ajar! Sial! Brengsek...!"

   Maki Sari Dewi habis-habisan, sambil mengikuti derap langkah pemuda di depannya.

   Sementara itu mendengar wanita yang diburu ada di Kota Canting, Kadipaten Welirang, maka Ki Janggasana dan Seruni tidak mau ketinggalan.

   Mereka memacu kudanya untuk mengejar kedua orang yang telah mendahului.

   "Heaaa...!" *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info . 176. Bidadari Penakluk Bag. 7 -8 (Selesai) 6. MArz 2015 um 07.59 Apa yang dikatakan Sari Dewi memang tidak salah. Semua orang tahu siapa orang terkaya di Kadipaten Welirang. Sehingga dengan sekali bertanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah mendapat penjelasan yang diinginkan. Yang harus dituju adalah rumah Juragan Jelorejo.

   "Hm.... Itu dia...!"

   Gumam Rangga ketika dari kejauhan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan memiliki halaman luas.

   Tanpa buang waktu lagi Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya ke sana.

   Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar saja telah sampai di luar halaman.

   "Heaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti memandang terkejut ke arah dalam halaman.

   Dia tidak buru-buru masuk, sebab di halaman depan rumah besar itu terlihat ramai oleh pertarungan.

   Di antara mereka tampak wanita yang tengah dicari-carinya itu tengah bertarung melawan seorang laki-laki tua bertubuh pendek besar.

   Perutnya agak buncit.

   Gaya bertarungnya persis seperti katak, melompat ke sana kemari.

   "Hm... si Katak Penggempur Jagad agaknya telah mendahuluiku,"

   Gumam Pendekar Rajawali Sakti, seraya turun dari kudanya.

   Sementara di dekatnya terlihat dua orang yang juga dikenalnya.

   Mereka adalah Karmapala murid Ki Laron Nunggal alias Katak Penggempur Jagad, dan Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor.

   Keduanya tengah berhadapan dengan para tukang pukul Juragan Jelorejo yang berjumlah cukup banyak.

   "Dewa Bayu, menyingkirlah dulu ke tempat tersembunyi. Biar aku akan memasuki pekarangan ini,"

   Ujar Rangga, seraya menepuk pantat kudanya yang langsung melesat cepat.

   Tepat ketika Rangga bersembunyi dekat pintu gerbang, dia melihat Sari Dewi telah tiba di tempat ini.

   Tak lama kemudian Ki Janggasana dan cucunya.

   Berbeda dengan kakek dan cucu yang langsung membaurkan diri dalam pertarungan, Sari Dewi tampak tertegun beberapa saat.

   "Ada apa sebenarnya? Orang-orang berkumpul dan mengejar wanita jalang itu? Dia menyeret kami ke dalam kancah pertikaian ini,"

   Gumam gadis itu tidak mengerti. Sari Dewi tidak habis pikir. Ternyata ibu tirinya bukan orang sembarangan. Dia bisa melihat gerakan-gerakan Suti Raswati begitu ringan bagai seekor kupu-kupu.

   "Tupai Katai! Jangan campuri urusanku! Wanita jalang ini berhutang pada majikan muridku!"

   Bentak Ki Laron Nunggal, ketika melihat Ki Janggasana ikut-ikutan menyerang.

   "Apa kau kira dia tidak berurusan denganku?! Keparat ini telah membunuh putraku. Dia mesti menebus dengan nyawanya!"

   Sahut si Tupai Katai, tak mempedulikan kata-kata Ki Laron Nunggal.

   "Aku yang lebih dulu menemukannya. Kau boleh menunggu, setelah dia menjadi bangkai!"

   "Tidak bisa! Dia mesti mati di tanganku!"

   Tukas Ki Janggasana.

   "Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu diri! Kenapa kalian mempersoalkan pepesan kosong? Tidak seorang pun dari kalian yang bisa mendapatkan aku. Aku bisa pergi ke mana saja kusuka. Dan tidak seorang pun dari kalian bisa menghalangiku!"

   Sahut wanita yang tengah dikeroyok, yang tak lain Suti Raswati alias istri muda Juragan Jelorejo.

   "Ingin kulihat sampai di mana kehebatannya!"

   Desis Ki Laron Nunggal seraya menyiapkan pukulan "Baji Dengkung". Pada saat yang sama, Ki Janggasana pun telah siap mengeluarkan jurus "Tupai Merusak Buah Kelapa"

   Yang merupakan jurus terhebat dan dijadikan andalan.

   "Heaaa...!"

   "Yeaaa...!"

   Disertai bentakan nyaring Ki Laron Nunggal menghentakkan kedua tangannya.

   Maka saat itu juga dari kedua telapaknya mendesir angin kencang.

   Pada saat yang sama, tubuh Ki Janggasana mencelat ringan untuk mengincar titik kelemahan wanita berjuluk Bidadari Penakluk.

   "Hup!"

   Tubuh Suti Raswati melejit ke atas dengan indah. Dari atas, sebelah telapak tangannya menampar pukulan "Baji Dengkung". Sementara telapak tangan kiri menangkis pukulan si Tupai Katai. Plak! Plak! "Uhh...!"

   Katak Penggempur Jagad dan si Tupai Katai sama-sama terkejut. Pukulan "Baji Dengkung"

   Yang dikeluarkan Ki Laron Nunggal, sama sekali tidak berguna.

   Sepertinya amblas dihantam telapak tangan wanita itu.

   Begitu juga halnya serangan Ki Janggasana.

   Dan kini si Bidadari Penakluk balas menyerang.

   Yang diincarnya adalah Ki Laron Nunggal, yang dianggap kurang lincah dibanding Ki Janggasana.

   "Yeaaa...!"

   "Hei?!"

   Si Katak Penggempur Jagad terkejut.

   Saat itu, keadaannya masih lemah setelah pukulannya terpapaki.

   Untuk menghindar pun rasanya akan berakibat parah, mengingat gerakan si Bidadari Penakluk begitu cepat.

   Bahkan mampu mengeluarkan beberapa pukulan dalam setiap gerakan.

   "Sial! Terpaksa aku mesti menangkisnya!"

   Dengus Ki Laron Nunggal yang tidak punya pilihan. Seketika si Katak Penggempur Jagad mengerahkan pukulan "Baji Dengkung"

   Sekuat batas kemampuannya disertai tenaga dalam penuh.

   "Yeaaa...!"

   Plakk...! "Aaakh...!" *** Ketika dua pukulan yang sama-sama berisi tenaga dalam tinggi bertemu, Ki Laron Nunggal merasakan suatu tenaga dahsyat meliuk-liuk laksana seekor ular besar yang membelit pukulannya.

   Bahkan kontan menabraknya dengan sekuat tenaga.

   Orang tua itu memekik kesakitan.

   Tubuhnya terhempas ke belakang sejauh beberapa langkah.

   Dari mulutnya menyembur darah segar.

   "Yeaaa...!"

   Namun si Bidadari Penakluk tidak bisa tinggal diam.

   Sebab saat itu juga, Ki Janggasana telah melompat menyerang dengan gerakan gesit.

   Namun Suti Raswati sama sekali tidak terlihat kerepotan.

   Cepat ditangkisnya serangan itu.

   Plak! Begitu terjadi benturan kedua tangan Bidadari Penakluk bergerak mantap.

   Lalu, cepat sekali ia bergerak menghantam ke dada.

   Ki Janggasana sendiri tidak menyangka, melihat wanita itu mampu bergerak demikian cepat.

   Akibatnya....

   Desss...

   "Aaakh...!"

   Si Tupai Katai terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan tatkala satu sodokan keras menghantam dadanya.

   "Huh! Dengan kepandaian seperti itu, kalian coba-coba datang padaku!"

   Dengus Bidadari Penakluk sambil berkacak pinggang pongah. Bibirnya tersenyum sinis.

   "Keparat! Apa hubunganmu dengan Resi Jayadwipa?!"

   Desis Ki Janggasana sambil bangkit tertatih-tatih. Si Tupai Katai langsung teringat pada jurus-jurus aneh yang hanya dimiliki seorang tokoh yang selama puluhan tahun ini jarang muncul di dunia persilatan.

   "Aku tidak kenal nama yang kau sebutkan!"

   Dengus wanita itu.

   "Mustahil! Jurus yang kau gunakan adalah "Belut Ireng". Jurus itu hanya dimiliki Resi Jayadwipa!"

   Bentak Ki Janggasana berkeras sambil menyeka darah yang menetes di ujung bibirnya.

   "Kukatakan, aku tidak punya hubungan dengan orang tua itu! Kau membuatku marah. Dan untuk itu, kau patut mampus!"

   Bidadari Penakluk kelihatan kalap, ketika nama sang resi dibawa-bawa laki-laki kerdil itu.

   Wajahnya yang tadi kelihatan memandang enteng, mendadak berubah liar dan kejam.

   Penuh nafsu membunuh.

   Dengan mendengus kasar dia telah bersiap menghabisi Ki Janggasana.

   "Huh! Ternyata benar! Tidak kusangka orang tua budiman itu mempunyai murid berhati busuk sepertimu!"

   Desis Ki Janggasana, tak peduli sedikit pun dengan ancaman yang akan terjadi.

   Padahal dalam keadaan terluka dalam seperti sekarang, maka berbahaya sekali bagi Ki Janggasana menangkis serangan-serangan.

   Tapi kalau tak ditangkis, dia akan celaka.

   Untuk menghindar pun rasanya tidak berguna, sebab wanita itu mampu bergerak cepat melebihi kecepatannya.

   Dalam keadaan begitu mendadak....

   "Perempuan terkutuk! Lihatlah ke sini! Kematianmu telah tiba!"

   "Hei?!"

   Suti Raswati terkesiap dan segera menoleh. Wajahnya yang garang tiba-tiba berubah cepat, berganti senyum berbinar-binar laksana seorang wanita yang tengah memendam kerinduan pada kekasihnya. Dan kekasihnya itu kini datang mengunjunginya.

   "Kau...?! Hm, tak kusangka akhirnya kau datang mengunjungiku di sini! Apakah kau penasaran karena tak sempat menikmati tubuhku...?"

   Sambut Suti Raswati, enteng.

   "Kedatanganku ke sini bukan untuk mengunjungimu. Tapi, menangkapmu!"

   Desis sosok yang membentak. Dia tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

   "Menangkapku? Apa salahku? Bukankah kau seharusnya senang kutemani beberapa saat, walaupun hal itu tak terjadi karena kau keburu pingsan...?"

   "Hm.... Aku tidak peduli dengan segala ocehanmu!"

   Gumam Rangga dingin.

   "Dosamu terlalu banyak. Kudengar kau telah membunuh putra Ki Janggasana. Dan terakhir kau bunuh Kepala Desa Jelaga yang bernama Ki Jagad Lor. Dan padaku, kau berhutang banyak, Nisanak! Melihat kemampuan dan sepak terjangmu, aku yakin kalau kau adalah sosok yang harus dilenyapkan...!"

   "Hm, kelihatannya kau bersungguh-sungguh?"

   Tanya Suti Raswati. Suaranya halus merayu dengan bibir menyungging senyum.

   "Kau benar-benar membuatku muak. Menyerahlah. Dan kau akan kubawa ke Karang Setra untuk diadili!"

   "Kalau aku tak mau...?"

   Tantang Bidadari Penakluk.

   "Kau berhadapan dengan tanganku...!"

   "Lakukanlah...!"

   "Kalau begitu bersiaplah! Heaaa...!"

   Disertai bentakan nyaring tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arah si Bidadari Penakluk dengan cepat. Kedua tangannya yang membentuk cakar rajawali berkelebatan dengan ganas.

   "Heh...?!"

   Suti Raswati terkejut.

   Sungguh tak disangka kalau pemuda ini benar-benar membuktikan ancamannya dengan serangan luar biasa dan bertenaga dalam kuat.

   Cepat wanita ini melompat ke samping.

   Namun, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya seraya mengibaskan sebelah tangannya.

   Mau tak mau, terpaksa Suti Raswati menangkis.

   Plak! Begitu terjadi benturan, si Bidadari Penakluk melompat mundur untuk mengambil jarak.

   "Kisanak, aku tidak ingin bertempur denganmu,"

   Cegah Bidadari Penakluk, mencoba jeratnya kembali.

   "Maaf, Nisanak. Aku tak bisa menelan ludah yang telah keluar dari mulutmu. Sekali kau membuka tantangan, maka selamanya akan kubeli. Dan satu hal lagi, kau harus menebus perbuatanmu padaku...!"

   Sahut Rangga. *** "Perbuatanku? Jadi kau tidak menyukainya?"

   Sahut si Bidadari Penakluk.

   "Setan alas! Heaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti membentak keras.

   Tubuhnya kali ini bergerak amat cepat berkelebat mengelilingi si Bidadari Penakluk, sambil sesekali menyerang.

   Saat itu juga tubuhnya seolah-olah berubah banyak, karena Rangga mengerahkan jurus "Seribu Rajawali".

   "Uhh...!"

   Dengan jurus ini agaknya, si Bidadari Penakluk kerepotan.

   Segenap kemampuannya mesti dikerahkan untuk menghindari serangan.

   *** Dalam keadaan seperti itu, mau tidak mau Bidadari Penakluk terpaksa mengeluarkan rangkaian jurus andalannya, yaitu "Belut Ireng".

   Dengan jurus ini Rangga merasakan kalau serangan-serangannya selalu kandas, setiap kali pukulannya menyentuh kulit tubuh Bidadari Penakluk.

   Serangan-serangan Rangga yang menggunakan jurus "Seribu Rajawali"

   Tak berarti banyak menghadapi jurus "Belut Ireng".

   Setiap Rangga akan melepaskan pukulan, si Bidadari Penakluk cepat menjatuhkan diri ke tanah seraya bergulingan.

   Arah gulingannya pun mengincar kaki Pendekar Rajawali Sakti yang jadi pusat gerakannya.

   Memang jurus yang dikeluarkan suatu jurus langka yang sedikit membuat Pendekar Rajawali Sakti kebingungan.

   Sebuah jurus yang gampang menghindar gesit laksana seekor belut bila mendapat kurungan jeratnya.

   "Hm.... Tidak kusangka kalau kau ternyata memiliki ilmu silat hebat!"

   Puji si Bidadari Penakluk.

   "Aku tidak butuh pujianmu!"

   Dengus Rangga, semakin kesal saja.

   "Jangan terlalu marah. Kalau kau marah, nanti cepat tua...,"

   Ejek wanita itu.

   "Kampret!"

   Begitu habis memaki Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentikan jurusnya.

   Kini dirubahnya dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti".

   Setelah membuat gerakan beberapa kali Rangga cepat menghantamkan langsung ke depan dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali", ketika kedua tangannya telah merah membara.

   Wuuus...! Selarik cahaya merah berkelebat cepat, menyambar ke arah Bidadari Penakluk.

   Seketika wanita itu terkejut setengah mati.

   Cepat tubuhnya berkelit ke samping.

   Jdeer! "Uhh...!"

   Kali ini dia bertambah yakin kalau pemuda itu benar-benar akan membuktikan ucapannya.

   Buktinya tembok yang jadi sasaran kontan ambrol.

   Rangga sudah tidak ingin memberi kesempatan lagi.

   Dia betul-betul memusatkan perhatian pada penyerangan.

   Ketika Rangga menggunakan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa", serangannya semakin bertambah dahsyat.

   Sehingga bagi mereka yang memiliki ilmu silat tanggung tidak akan mampu mengikuti gerakannya.

   "Hem...."

   Wanita itu tertegun sebentar.

   Namun kemudian mulai membalas dengan mengeluarkan jurus "Sepasang Belut Berkasihan".

   Jurus ini tidak kalah anehnya meski sebenarnya harus dimainkan dua orang.

   Namun si Bidadari Penakluk mampu memainkannya dengan baik, meski seorang diri.

   Kalau saja Rangga tidak berhati-hati, niscaya sepasang kaki Bidadari Penakluk yang menguntit serangan akan menghajarnya dengan telak.

   Lagi pula gerakan wanita itu seperti mengurung ketat si Pendekar Rajawali Sakti.

   Meski pemuda itu telah mempercepat gerakannya, namun tetap saja sepertinya Bidadari Penakluk masih menempel sekujur tubuhnya.

   Bet! "Uts! Kurang ajar!"

   Umpat Pendekar Rajawali Sakti geram ketika kembali lolos dari serangan keji itu.

   Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas, Bidadari Penakluk mengikuti dari belakang membayangi punggungnya.

   Pemuda itu memutar tubuhnya laksana gasing.

   Namun sebelum hal itu dilakukan, sebelah kaki Suti Raswati telah mendepak dadanya laksana ekor kalajengking menyengat.

   Duk! "Aaakh...!"

   Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan.

   Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut menahan rasa nyeri.

   Namun begitu cepat dia sigap kembali, tanpa mempedulikan rasa sakit yang diderita.

    *** Pendekar Rajawali Sakti mawas diri, dan mulai menenangkan hatinya yang selama ini terbalut amarah.

   Baru kini disadari kalau gerakannya tak berkembang karena hawa amarah terlalu mengekangnya.

   Perlahan-lahan Rangga menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan.

   Setelah gemuruh di dadanya lenyap, Pendekar Rajawali Sakti mengembangkan tangannya dengan tangan membentuk paruh.

   Sementara kakinya membentuk kuda-kuda kokoh.

   Dari sini jelas Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega".

   Jurus ini tidak bisa dibuat main-main, apalagi dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Bet! Begitu Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat kedua tangannya bergerak seperti cepat bagaikan sayap rajawali.

   Dari sini, Bidadari Penakluk tidak berani main-main menghadapinya.

   Seluruh kemampuannya mesti dikerahkan untuk menghindari kibasan tangan Rangga yang tiba-tiba ke atas.

   Dengan satu tendangan, Rangga membuat terperanjat Bidadari Penakluk.

   Wanita ini cepat mengejar, berusaha menghantam di udara.

   Namun di luar dugaan, Rangga memutar tubuhnya seraya meluruk dengan kepala di bawah.

   Tangannya berkelebat cepat, dengan tenaga dalam tinggi.

   Wanita itu terkejut.

   Wajahnya mulai pucat ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu di depan wajahnya.

   Lalu....

   Plak...! "Aaakh...!"

   Bidadari Penakluk terpelanting ke bawah dengan deras. Dia bukan saja tak mampu balas menyerang, bahkan kedudukannya terancam.

   "Hiyaaa...!"

   Sementara Rangga terus mengejarnya dengan gesit. Tepat ketika kaki Bidadari Penakluk mendarat, Rangga yang sudah mengganti jurusnya menjadi "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa"

   Langsung melepaskan tendangan keras. Dan.... Des! "Aaakh...!"

   Tubuh Bidadari Penakluk kontan terpelanting di tanah disertai jeritan tertahan.

   Namun dengan kekuatan mengagumkan wanita itu berusaha bangkit berdiri walaupun susah payah.

   Sayang akhirnya dia jatuh terduduk kembali, dengan napas menderu kencang.

   Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan melangkah menghampiri Bidadari Penakluk yang jatuh lemah terduduk.

   Tatapan matanya tajam mengancam.

   Namun baru dua tombak di depan wanita itu, mendadak....

   Suitt....

   Tiba-tiba berkelebat suatu benda sebesar kepalan tangan, lalu jatuh di depan wanita itu.

   Blarr...

   Wuss...

   Begitu benda itu meledak keras, mengepul asap tebal yang menghalangi pemandangan.

   "Kurang ajar!"

   Pendekar Rajawali Sakti menggeram marah setelah sempat melompat ke belakang sejauh lima tombak.

   Dan pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti yang jeli menangkap sesosok tubuh bergerak amat cepat menyambar si Bidadari Penakluk.

   Rangga merasa yakin kalau orang itu pula yang tadi melempar benda yang meledak serta mengeluarkan asap hitam tebal itu.

   Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti bertindak apa-apa, bayangan itu telah berkelebat pergi cepat sekali.

   Dan ketika angin kencang mulai menyapu asap tebal itu, wanita yang menjadi lawan Pendekar Rajawali Sakti pun ikut menghilang.

   Rangga memandang ke sekeliling tempat.

   "Anak muda! Aku tidak bisa membiarkanmu membunuhnya. Maafkan aku...!"

   Tiba-tiba terdengar satu suara yang bergetar seperti berasal dari segala penjuru.

   Jelas ditujukan kepada Pendekar Rajawali Sakti.

   Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Rangga mengetahui bahwa suara itu dikeluarkan dari jarak cukup jauh, melalui pengerahan tenaga dalam amat sempurna.

   "Siapa orang itu sebenarnya?!"

   Gumam Rangga seperti pada diri sendiri.

   "Apakah kau tidak mengenalnya?"

   Tanya Ki Janggasana, seraya mendekat pada pemuda itu.

   "Apakah kau mengenalnya, Ki?"

   Rangga balik bertanya.

   "Orang itu adalah Resi Jayadwipa."

   Rangga tercenung sebentar mendengar nama itu disebutkan.

   "Resi Jayadwipa...? Apa hubungannya dengan wanita itu? Kenapa dia menyelamatkannya?" *** Rimba persilatan mengenal Resi Jayadwipa sebagai salah seorang tokoh persilatan. Ilmunya tinggi tak terukur. Bahkan jarang muncul di rimba persilatan. Tak seorang pun yang tahu termasuk golongan mana tokoh itu. Terkadang dia muncul membela orang-orang tertindas. Namun tak jarang pula dia berbuat aneh seperti saat ini. Menyelamatkan si Bidadari Penakluk yang sudah jelas-jelas diburu-buru tokoh persilatan, karena ulahnya.

   "Tidak usah bingung, Sobat Muda. Kalau saja kau tahu sedikit saja jurus Resi Jayadwipa, maka kau tentu tidak akan bingung,"

   Ujar si Tupai Katai.

   "Apa maksudmu, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Aku pernah menyaksikan ketika guruku bertarung dengan beliau. Pertarungan itu sendiri dimenangkan Resi Jayadwipa dengan ilmu silatnya yang termasyhur, yaitu "Belut Ireng". Sedikit banyak aku mengetahui jurus-jurus yang dimilikinya itu,"

   Sahut Ki Janggasana.

   "Lalu apa hubungannya dengan wanita itu?"

   "Bidadari Penakluk memiliki jurus-jurus "Belut Ireng"!"

   Jelas orang tua itu singkat.

   "Hm, aku mengerti. Jadi, dia murid sang resi itu?"

   "Aku tidak mengatakan begitu. Tapi bagaimana mungkin dia bisa memiliki jurus "Belut Ireng"? Dan kini terbukti kalau Resi Jayadwipa menyelamatkannya dari tanganmu. Berarti, di antara mereka ada hubungan dekat."

   "Bagaimana pun akan kucari perempuan itu! Dia tidak akan lepas dari tanganku!"

   Kata Rangga mantap.

   "Pendekar Rajawali Sakti.... Kuakui kebesaran namamu. Juga, telah kulihat kehebatan ilmu silatmu. Tapi kusarankan, sebaiknya lupakan saja urusan ini jika menyangkut kepada Resi Jayadwipa,"

   Tukas Ki Janggasana.

   "Kenapa? Apakah dia iblis yang tidak bisa terkalahkan? Tidak bisa terluka?!"

   "Dia mungkin bukan iblis. Tapi tiada satu iblis pun yang berani menantangnya. Orang itu memiliki kepandaian sulit diukur."

   "Terima kasih atas nasihatmu, Ki. Tapi aku tetap pada tekadku meski apa pun yang terjadi!"

   Sahut Rangga mantap.

   "Aku akan menemanimu kalau kau hendak mencarinya!"

   "Hei?!"

   Kedua orang itu menoleh, dan melihat Sari Dewi tegak berdiri di dekatnya dengan kelopak mata sembab seperti habis menangis.

   "Jangan bertindak macam-macam. Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!"

   Ingat Rangga, masih menyimpan kesal pada gadis itu.

   "Wanita keparat itu telah membunuh ayah dan abangku. Dia patut mendapat pembalasan dariku!"

   Sahut Sari Dewi. Matanya berbinar tajam.

   "Terserahmu. Tapi, aku tidak bisa membawamu ke mana-mana!"

   "Kau mesti mengajakku!"

   Sahut gadis itu, memaksa.

   "Tidak!"

   Pendekar Rajawali Sakti menjawab tegas.

   "Setidaknya kau bersedia membantuku menguburkan mayat-mayat mereka, bukan?"

   Lanjut gadis itu.

   Rangga memandang ke sekeliling tempat.

   Pertempuran yang tadi ramai baru disadari telah berakhir.

   Kelihatan beberapa orang tukang pukul Juragan Jelorejo tewas.

   Ki Laron Nunggal bersama muridnya serta Kembang Harum, telah pergi meninggalkan tempat itu.

   Yang tinggal selain mereka adalah Seruni yang berdiri di belakang kakeknya serta, beberapa tukang pukul Juragan Jelorejo yang tengah mengurus mayat kawan-kawannya.

   "Baiklah, aku akan membantu menguburkan ayah dan abangmu. Tapi, ingat. Kau tetap tak boleh ikut denganku mencari si Bidadari Penakluk. Kalau kau bersikeras, jangan harap aku mau membantumu."

   Sari Dewi tak berkata apa-apa, tapi cepat ditubruknya Pendekar Rajawali Sakti.

   Dipeluknya pemuda itu untuk menumpahkan kedukaannya.

   Rangga sendiri agak gelagapan, tapi tak ingin mencegah.

   Dia cukup menyadari kalau gadis ini baru saja ditimpa kemalangan.

   Yah, paling tidak untuk sedikit menghibur hatinya....

   Bagaimanakah nasib Suti Raswati alias Bidadari Penakluk setelah ditolong sosok yang dikenal sebagai Resi Jayadwipa.

   Mengapa gadis seperti itu harus ditolong oleh tokoh macam Resi Jayadwipa? Apa hubungan Bidadari Penakluk dengan Resi Jayadwipa? Mampukah Pendekar Rajawali Sakti menghentikan sepak terjang Bidadari Penakluk? SELESAI Ikutilah serial selanjutnya.

   SILUMAN PEMBURU PERAWAN
https.//www.facebook.com/DuniaAbuKeisel www.duniaabukeisel.blogspot.com www.jagatsatria.com Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info

   

   

   

Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Candi Tua Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai

Cari Blog Ini