Ceritasilat Novel Online

Dendam Datuk Geni 2


Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni Bagian 2



"Lalu, apa yang Eyang khawatirkan?"

   "Purwasih... Aku tak tahu, seberapa hebat tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh yang kami bunuh itu. Aku juga tak tahu siapa. dan berasal dari golongan mana. Tapi aku yakin tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Dan kalau dia termasuk golongan hitam, maka tentu akan mendidik kedua bocah itu, untuk membalaskan dendam kematian orang tua mereka,"

   Jelas Eyang Kumala sambil menghela napas berat.

   "Eyang! Aku akan berusaha sebaik-baiknya mengamalkan ilmu yang kupelajari. Dan aku ber-janji tak akan mengecewakanmu!"

   Sahut gadis itu dengan wajah sungguh sungguh. Eyang Kumala tersenyum kecil, kemudian kembali mengelus kepala gadis itu.

   "Nah! Kalau demikian, pergilah segera. Orang-tuamu past sudah teramat rindu padamu. Juga kakakmu. Dia pasti merasa kehilanganmu. Bukankah sudah lama sekali kau tak menemui mereka?"

   Ujar Eyang Kumala, seraya melepaskan pelukannya.

   "Tapi Eyang...."

   "Jangan khawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri,"

   Sahut perempuan tua itu dengan wajah meyakinkan.

   Dengan hati berat terpaksa gadis itu menuruti kara-kata gurunya.

   Namun baru saja akan berbalik, mendadak mereka kedatangan dua orang tamu.

   Sepasang muda-mudi yang gagah tampan dan cantik.

    *** "Kisanak dan Nisanak siapakah kalian.

   Dan, apa yang bisa kubantu?"

   Sapa Eyang Kumala.

   "Kaukah yang bernama Eyang Kumala?"

   Tanya pemuda yang memakai baju compang-camping dengan wajah dingin.

   "Hm.... Kalau kau ingin bertemu, kau tengah berhadapan dengan orangnya,"

   Sahut Eyang Kumala bernada curiga.

   "Bagus! Kalau demikian, bersiaplah kau, karena kami akan mencabut nyawamu!"

   Geram pemuda itu dengan wajah kalem, terselimut dendam sangat dalam yang terbias dari wajahnya.

   "Hm... Jadi kalian putra-putri Ki Rogo Janggat dan Ki Sampang Jinggala?"

   Tanya Eyang Kumala, masih bersikap tenang.

   "Syukur kau menyadari hal itu. Berarti, kau juga mengakui dosa-dosamu!"

   Sahut gadis berbaju ungu dan berwajah cantik itu.

   "Kau salah, Cah Ayu. Aku sama sekali tak merasa bersalah atas kematian kedua orangtua kalian. Mereka orang jahat. Bahkan juga pengacau yang selalu dikutuk semua golongan. Dan nasib kalian akan sama dengan kedua orangtuamu jika sekarang menuruti hawa nafsu belaka,"

   Ujar Eyang Kumala.

   "Perempuan busuk! Jangan asal bicara kau! Terimalah kematianmu!"

   Bentak gadis berbaju ungu itu. Gadis itu langsung menyerang Eyang Kumala, tapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, memapak serangannya. Plak! "Gadis tak tahu aturan! Hadapilah aku lebih dulu sebelum berhadapan dengan guruku!"

   Sentak orang yang memapak dan tak lain adalah Purwasih.

   "Huh! Bocah tolol! Kau pikir mampu mena-hanku? Rasakanlah akibatnya!"

   Gadis itu langsung melayangkan satu tendangan ke arah Purwasih. Namun dengan berani gadis berpipi tembam itu memapak dengan tendangan pula. Plak! "Uhhh...!"

   Begitu kedua kaki mereka beradu, Purwasih seperti menghantam tembok baja yang tebal.

   Kakinya kontan terasa nyeri.

   Dalam keadaan begini, tiba-tiba kembali datang serangan.

   Untung Purwasih masih cukup gesit melompat ke belakang.

   Sehingga, serangan itu luput.

   Melihat keadaannya berbahaya, Purwasih segera mencabut pedangnya.

   Ketika gadis berbaju ungu itu siap menyerang kembali.

   "Hiyaaa!"

   Purwasih langsung mendahului, dengan meluruk sambil mengibas-ngibaskan pedangnya.

   Wut! Wut! Ujung pedang itu lurus menyambar ke arah le-her, dada, dan pinggang lawan.

   Namun, manis sekali tubuh gadis berbaju ungu itu meliuk-huk menghindari.

   Bahkan tiba-tiba dia melenting seraya berputaran sedemikian cepat.

   Akibatnya Purwasih jadi tersentak kaget dan bingung.

   Maka di tengah kebingungannya, tiba-tiba gadis lawannya meluruk cepat sambil melepaskan satu hantaman keras ke punggung kanan.

   Begkh! "Akh!"

   Purwasih terjajar ke depan, namun masih untung mampu bersalto ke depan.

   Lalu, kakinya hinggap di tanah manis sekali.

   Sementara pemuda itu sudah pula bertarung sengit melawan Eyang Kumala.

   Serangan yang dilancarkan bertubi-tubi dan dahsyat sekali.

   Masih untung, sampai saat ini Eyang Kumala masih bisa menghindari.

   "Kania! Kau tak boleh membuang-buang waktu! Habisi gadis tolol itu segera. Dan biar perempuan busuk ini akan merasakan tanganku!"

   Teriak pemuda yang bernama Mintarja sambil melompat menyerang Eyang Kumala.

   "Baiklah, Kakang Mintarja!"

   Sambut gadis berbaju ungu yang memang Kaniawati.

   "Yeaaa...!"

   Sambil membentak nyaring, satu tendangan Mintarja menderu mengincar batok kepala Eyang Kumala. Namun perempuan tua itu hanya terse-nyum sinis begitu tendangan hampir mendarat, cepat tangan kirinya menangkis. Plak! "Uhhh...!"

   Bukan main terkejutnya perempuan tua itu, ketika merasakan tangannya bergetar akibat ben-turan dengan kaki Mintarja.

   Belum lagi habis rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan kaki kanan pemuda itu kembali menyapu dadanya.

   Buru-buru Eyang Kumala melompat ke belakang, seraya mengibaskan tongkatnya menghalau serangan.

   Bet! 'Uts, ha...!"

   Mintarja cepat memutar tubuhnya dengan gerakan menyamping.

   Sehingga, ujung tongkat Eyang Kumala hanya lewat beberapa rambut dari tubuhnya.

   Kemudian cepat, dia melenting ke atas.

   Dan begitu meluncur turun, kepalan tangan kanannya disiapkan bagai kilat dengan tenaga kuat ke arah dada.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga kali ini Eyang Kumala tak punya pilihan untuk melepaskan satu pukulan selain menangkis.

   Plak! "Aaakh...!"

   Kembali perempuan tua itu merasa tangannya nyeri akibat benturan barusan.

   Namun tanpa mempedulikan rasa sakit, tongkat di tangan kanannya kembali berkelebat menyambar tubuh Mintarja.

   Untung Mintarja telah melompat ke atas sambil menekuk kedua kakinya.

   Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu laksana kilat menukik turun.

   Begitu cepat gerakannya.

   Sehingga ketika Mintarja langsung melepaskan tendangan, Eyang Kumala tidak bisa bertindak apa-apa.

   Dan....

   Des! "Aaah...!"

   Perempuan tua itu kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan keras berte-naga dalam tinggi.

   Tubuhnya langsung terlempar lima langkah sambil meneteskan darah di sudut bibirnya.

   Dan rupanya teriakan gurunya membuat Purwasih tersentak kaget.

   Akibatnya, dia jadi lengah.

   "Eyang...?!"

   Begitu Purwasih berpaling, sebuah serangan meluncur datang. Sehingga.... Desss! "Aaakh...!"

   Satu kepalan tangan Kaniawati langsung menghantam dada Purwasih, sehingga membuatnya terjajar beberapa langkah.

   Mulutnya jadi meringis merasakan sakit yang bukan main, akibat pukulan geledek yang amat keras tadi.

   Dan Kaniawati tak berhenti sampai di situ saja.

   Tanpa memberi kesempatan pada lawan, tubuhnya hendak melepaskan satu pukulan bertenaga dalam tinggi.

   "Hiyaaa...!"

   "Purwasih, cepat lari dari sini! Cepaaat..! Hiyaaa...!" *** Pada saat yang gawat bagi Purwasih, Eyang Kumala berteriak keras sambil melompat cepat bagai kilat meninggalkan lawannya. Langsung dihadangnya serangan Kaniawati. Plak! Dua benturan kontan terjadi, begitu tangan Eyang Kumala menghantam tangan Kaniawati. Tapi Eyang Kumala yang sudah terluka dalam akibat terkena tendangan tadi, tentu saja tenaganya jadi kalah jauh. Maka tubuhnya jadi terjajar beberapa langkah. Untung saja tangan yang satunya tadi sempat mendorong tubuh Purwasih tadi. Dan Eyang Kumala sendiri, kini hanya berdiri limbung dengan sorot mata tajam ke arah Mintarja. Sementara itu mana mau Mintarja membiarkan Eyang Kumala begitu saja. Tubuhnya langsung melesat, mengirim satu tendangan keras ke arah dada. Diagh! "Aaakh...!"

   Diiringi pekik kesakitan tubuh Eyang Kumala terjajar ke depan.

   Namun dia kembali harus menerima hajaran Kaniawati yang telah menunggu kesal, karena serangan tadi digagalkan.

   Maka tak heran kalau kembali terdengar jerit kesakitan.

   Dari mulut itu menyembur darah.

   Tubuhnya yang limbung me-nahan rasa sakit, dihadapkan ke arah Purwasih yang hanya terbengong-bengong.

   Kemudian tangannya mengibas-ngibas menyuruh muridnya pergi.

   "Purwasih, pergi! Pergi dari sini, cepaaat...!"

   Gadis itu jadi bingung.

   Dia bermaksud akan menghampiri, namun gurunya itu malah menyuruh pergi.

   Purwasih jadi bimbang.

   Tapi sebagai murid, dia harus membela nama baik gurunya.

   Dan dia bertekad tak akan meninggalkan tempat itu, dan harus menolong guninya.

   Tapi...

   "Purwasih, cepat pergi.... Aaakh....!"

   Kata-kata perempuan tua itu terputus, Mintarja telah lebih dulu kembali menghantam leher dengan kecepatan dahsyat.

   "Purwasih, cepat pergi.. Aaakh!"

   "Eyaaang...?!"

   Tubuh Eyang Kumala terjajar kembali, dengan keadaan sempoyongan Darah semakin banyak ke luar dari mulutnya.

   Sementara dari arah belakang, Kaniawati kembali meluruk melepaskan tendangan dahsyat ke arah punggung perempuan tua yang telah terhuyung-huyung itu.

   Akibatnya, Eyang Kumala terjungkal dan ambruk di tanah sambil menyemburkan darah kental.

   Dia berusaha bangkit namun Mintarja tanpa ada rasa kasihan langsung menghantamkan telapak kakinya ke leher Eyang Kumala.

   Krek! "Aaa...!"

   Perempuan tua itu menjerit tertahan. begitu kaki Mintarja mendarat di lehernya hingga patah. Maka nyawa Eyang Kumala lepas dari raga saat itu juga.

   "Jahanam! Terkutuk! Kalian harus bayar nyawa guruku! Hiyaaat..!"

   Purwasih yang telah kalap langsung menyerang kedua orang itu. Tidak lagi dipedulikan kemampuannya yang terbatas.

   "Yeaaa...!"

   Sementara Kaniawati tak kalah sigap. Langsung dilemparkannya sesuatu ke arah Purwasih.

   "Aaakh!"

   Beberapa buah senjata rahasia yang dilempar-kan Kaniawati, hanya satu yang berhasil menancap di punggung kanan Purwasih. Tapi itu cukup membuat Purwasih mengeluh kesakitan, dan langsung ambruk di tanah. Pingsan.

   "Dia bisa membahayakan kita kelak?"

   Tanya Mintarja, sambil memperhatikan keadaan gadis yang telah terbaring di tanah.

   "Kenapa? Apakah Kakang mulai takut? Siapa di jagad ini yamg mampu menghalangi kita berdua? Dia boleh menuntut balas pada kita dengan bantuan siapa pun. Tapi orang itu akan mampus di tangan kita!"

   Tegas Kaniawati.

   "Ya, Kau benar .,"

   Balas Mintarja sambil mengangguk kecil.

   "Nah, kalau demikian, mari kita lanjutkan perjalanan. Dan, lupakan tentang gadis itu,"

   "Baiklah. Mari..."

   Keduanya segera melesat cepat dari tempat itu, disertai ilmu meringankan tubuh yang tinggi, sehingga dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap dari situ, meninggalkan mayat Eyang Kumala yang terbujur kaku tak bergerak lagi, dan Purwasih yang tergolek pingsan.

    *** Dua sosok tubuh tampak tengah berjalan te-nang melintasi pinggiran hutan kecil.

   Yang seorang adalah laki-laki tua bertubuh kurus.

   Jenggot dan kumisnya telah memutih.

   Rambut yang kepalanya juga telah putih tampak tergerai dengan gelungan di atasnya yang diikat pita hitam.

   Di pinggangnya terselip pedang besar dengan warangka berukir indah.

   Sementara di sampingnya, adalah seorang gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat.

   Rambutnya yang panjang diikat pita hijau, sama seperti warna bajunya.

   Di pinggang kirinya, terlihat sebatang pedang kecil yang amat pas dengan pinggangnya yang ramping.

   Jalan dilalui memang agak lebar, dan biasa dilintasi orang.

   Sehingga, tak heran, kalau mereka sejak tadi sering berpapasan dengan orang lain.

   Namun ketika saat ini menjelang sore, suasana mulai sepi.

   Saat itulah mendadak dari arah kanan terlihat seorang sempoyongan berjalan mendekati jalan itu.

   Tangannya menggapai-gapai, kemudian langsung tersungkur di tanah.

   Kalau melihat ciri-cirinya orang itu jelas Purwasih.

   Memang, setelah siuman dari pingsannya, dengan berat hati Purwasih meninggalkan mayat gurunya.

   Dia terus berjalan tak tentu arah, mencari pertolongan.

   Yang jelas, dalam tubuhnya seperti mengalir sesuatu yang membuatnya terus menderita.

   "Heh?!"

   Orang tua itu terkejut dan melangkah lebar ke arah sosok yang baru saja tersungkur.

   "Eyang! Aku curiga! Jangan-jangan itu Purwasih!"

   Desis gadis berbaju hijau itu buru-buru mengikuti langkah orang tua itu.

   "Purwasih...! Oh! Bangun. Dik! Bangun! Apa yang telah terjadi padamu?!"

   Teriak gadis berbaju hijau itu, cemas.

   "Tenanglah, Ratih. Biar eyang akan memeriksanya...,"

   Ujar orang tua itu pelahan. Seketika diperiksanya sekujur tubuh Purwasih. Dan seketika wajah orangtua itu pucat.

   "Celaka! Dia terkena racun ulat salju!"

   Desis orangtua itu kaget.

   "Racun ulat salju? Apa itu, Eyang? Berbaha-yakah?! Eyang, bagaimana keadaan adikku?!"

   Tanya gadis berbaju hijau yang dipanggil Ratih. Dia tampak bingung.

   "Purwasih kelihatannya terluka dalam dan le-mah sekali. Sehingga racun ulat salju itu bekerja lebih cepat. Denyut nadinya lemah sekali. aku tak tahu, apakah dia bisa tertolong,"

   Desah laki-laki tua itu.

   "Eyang...?! Oh, tidak! Tidaaak! Adikku harus hidup! Adikku harus hidup...!"

   Teriak Ratih meme-las, sambil mengguncang-guncangkan tubuh gadis yang tengah tak sadarkan diri.

   "Ratih, jangan! Kau hanya menambah cepat kematiannya saja!"

   Cegah orangtua itu.

   "Eyang, berbuatlah sesuatu! Jangan biarkan adikku mati sia-sia...!"

   Jerit Ratih memilukan.

   "Kisanak, apa yang terjadi? Dan siapakah orang yang tengah kalian hadapi itu?"

   Tiba-tiba terdengar sapaan dari belakang, yang membuat kedua orangtua itu cepat berpaling.

   Tampaklah sepasang anak muda tengah duduk diatas punggung kuda masing-masing.

   Yang menunggang kuda hitam adalah seorang pemuda berwajah tampan.

   Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai kain putih seperti warna rompinya.

   Di punggungnya tersandang sebatang pedang berhulu kepala burung.

   Sedangkan yang menunggang kuda putih di sebelahnya, adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda.

   Sebuah kipas dari baja putih tampak terselip di pinggang, sedangkan sebilah pedang bergagang kepala naga tampak menyembul dari balik punggungnya.

   "Siapakah kalian?"

   Tanya orang tua itu dengan wajah curiga. Sepasang anak muda kemudian turun dari kuda masing-masing. Lalu mereka menyapa memberi hormat, yang dibalas oleh orangtua itu dengan menyapa pula.

   "Kisanak, aku Rangga. Dan temanku, Pandan Wangi. Kami hanya pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini. Adakah sesuatu yang bisa kami bantu?"

   Kata pemuda berbaju rompi putih yang memang Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu diam saja ketika Rangga mem-bungkuk, hendak memeriksa gadis yang tergeletak di pangkuan gadis berbaju hijau. Rangga tersentak dan buru-buru meraba nadinya.

   "Lemah sekali! Tapi masih ada harapan!"

   Desah Pendekar Rajawali Sakti.

   "Apa?! Kisanak! Bisakah kau menolongnya? Oh, tolonglah adikku! Aku mohon, tolong selamat-kan adikku!"

   Teriak Ratih dengan wajah memohon.

   "Nisanak, tenanglah dulu. Aku akan berusaha semampuku. Nah! Baringkanlah dia di situ. Biar aku coba mengeluarkan racun yang mengendap di tubuhnya,"

   Ujar Rangga tenang.

   Ratih segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga.

   Sementara Pandan Wangi ikut membantu memegangi gadis yang pingsan itu.

   Dan kini mereka menunggu dengan harapan yang cemas terlebih-lebih, gadis berbaju hijau.

   Tampak pemuda berbaju rompi putih ini membalikkan tubuh adiknya, sehingga berada dalam keadaan miring.

   Sementara Rangga duduk bersila dengan sikap tenang.

   Telapak tangan kanan pemuda yang bernama Rangga itu lalu ditempelkan ke punggung kanan gadis itu sesaat.

   "Tolong pegang dia, sehingga bisa duduk bersila membelakangiku,"

   Ujar Rangga pelan, kepada gadis berbaju hijau.

   Pandan Wangi cepat membantu kembali dengan memegangi sisi yang lain.

   Dengan demikian, agak lebih mudah bagi Rangga untuk menyalurkan hawa murninya.

   Dan yang lebih penting lagi, dia bisa menarik racun yang berada di tubuh gadis itu ke arah yang paling mudah, yaitu melalui lubang mulut.

   Sudah lumayan lama Rangga mengobati, namun belum terlihat tanda-tanda kalau gadis itu akan sadar.

   Bahkan wajah Rangga tampak berkerut beberapa kali.

   Keningnya mulai basah bersimbah keringat.

   "Hoeeekh...!"

   Tiba-tiba gadis bernama Purwasih itu menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya.

   Beberapa kali hal itu terjadi, sehingga lama kelamaan darah yang dimuntahkannya tampak mulai cair dan berwarna kemerahan.

   Dan kalau sudah begini, barulah Rangga menghentikan pengobatannya.

   Telapak tangannya segera ditarik dengan napas memburu dan wajah pucat akibat keletihan karena telah mengetuarkan tenaga cukup banyak.

   "Baringkanlah dia kembali. Dan..,"

   Rangga tak melanjutkan ucapannya, tapi malah melirik orang tua itu. Sementara Ratih langsung membaringkan tubuh Purwasih pelahan-lahan.

   "Biar kuteruskan, anak muda. Beristirahatlah dulu untuk memulihkan tenagamu,"

   Sahut Orangtua itu, seraya mendekati Purwasih yang terbaring belum sadarkan diri.

   Rupanya, orang tua itu menangkap maksud lirikan Pendekar Rajawali Sakti.

   Seperti yang dilakukan Rangga tadi, orangtua itu duduk bersila dan telapak tangannya menempel ke perut gadis itu untuk menyalurkan hawa murninya.

   Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit berdiri, dan melangkah pelahan menuju sebuah pohon rindang.

   Dan Pandan Wangi mendekatinya.

   Selama orangtua itu melanjutkan mengobati Purwasih, Rangga duduk bersila, untuk mengatur pernapasan dari jalan darahnya.

   Beberapa saat kemudian badannya lebih segar, namun wajahnya masih terlihat sedikit pucat.

   "Kakang, kau tak apa-apa...?"

   Tanya Pandan Wangi yang tadi begitu khawatir melihat perubahan yang terjadi pada pemuda itu. Pemuda itu menggeleng lemah sambil terse-nyum untuk menghilangkan kekhawatiran gadis itu.

   "Mari kita lihat mereka,"

   Ajak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti lalu bangkit, dan kembali melangkah menuju kedua orang tadi. *** "Bagaimana keadaannya?"

   Tanya Rangga ha-lus, ketika melihat orang tua itu telah duduk di dekat gadis berbaju hijau yang tengah mengelus-elus Purwasih yang masih tak sadarkan diri.

   "Dia sudah lebih baik. Nadinya berdenyut kencang, serta aliran darahnya telah lancar. Terima kasih, Kisanak. Kau telah menyelamatkannya Jarang ada orang yang mampu berbuat demikian. Bahkan aku sendiri sudah angkat tangan, sebelum kalian tiba 'Racun Ulat Salju' bukan senjata sembarangan. Hanya mereka yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna yang mampu menyedot racun itu. Kalau boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Tapi melihat ciri-cirimu..., rasanya aku pernah mendengar seorang tokoh yang digdaya..."

   Desah orangtua itu dengan sikap hormat.

   "Aku Rangga.. Dan temanku Pandan Wangi."

   "Hm... ya! Aku ingat. Kau pasti yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan temanmu itu pasti si Kipas Maut! Benarkah itu?!"

   Kata orang tua itu gembira.

   "Begitulah orang-orang menjuluki kami, Ki"

   Kata Rangga, tanpa maksud menyombongkan diri.

   "Perkenalkanlah si tua bangka ini. Aku Ki Leor! Dan ini murid tunggalku, Ratih Kumaladewi!"

   "Ah... Tak kusangka aku bertemu seorang Pendekar besar sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti,"

   Kata orangtua yang mengaku bernama Ki Leor, gembira.

   "Ki Leor..., Aku hanya orang biasa. Dan kalau gadis itu sembuh bukan karena aku. Melainkan, Hyang Jagat Dewa Bataralah yang menyembuh-kan. Aku hanya sebagai perantara saja. Oh, ya kalau boleh kutahu, siapakah gadis ini? Dan, apa hubungannya dengan kalian?"

   Kata Rangga.

   "Dia Purwasih. Adik bungsu Ratih Kumaladewi,"

   Jelas Ki Leor, seraya menatap Purwasih dan Ratih bergantian. Rangga mengangguk.

   "Lalu apa yang menyebabkan sampai mende-rita begini?"

   Tanya Rangga lagi.

   "Itulah yang tak kumengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Dia terkena 'Racun Ulat Salju'! Sedangkan satu-satunya orang yang mempunyai senjata rahasia itu adalah Nyi Lengser, yang berdiam di puncak Gunung Rinjani. Aku tak tahu bagaimana mungkin dia bentrok dengan Purwasih. Tapi jangan-jangan..."

   Ki Leor menghenbkan kata-katanya tiba-tiba.

   "Kenapa, Ki Leor?"

   Tanya Rangga.

   "Ah! Ini barangkali ada kaitannya dengan peristiwa dua puluh tahun yang lalu..

   "

   Sahut orangtua itu lesu.

   "Maksudmu?"

   Ki Leor pun kemudian menceritakan tentang kejadian dua puluh tahun yang silam, ketika dia dan beberapa tokoh persilatan berhasil menewas-kan dua tokoh sesat yang sering mengacau dengan sepak terjangnya yang menggiriskan.

   Kemudian setelah itu, ada tokoh yang menyelamatkan putra-putri kedua tokoh sesat yang mereka binasakan itu.

   Rangga mengangguk-angguk berusaha mema-hami seluruh penuturan Ki Leor.

   "Kalau saja Purwasih telah sadar, mungkin akan bisa menjelaskan...,"

   Lirih suara Ki Leor.

   "Eyang, dia mulai sadar...!"

   Teriak Ratih dengan wajah girang ketika melihat Purwasih mulai siuman.

   Pandan Wangi cepat beringsut, dan melangkah menuju ke kudanya.

   Lalu diambilnya kantung air yang ada di pelana.

   Dengan agak terburu-buru, kakinya melangkah menuju ke arah Purwasih.

   Dan segera di minumkannya air itu ke mulut Purwasih.

   "Ohhh..."

   "Purwasih...!"

   Ratih memanggil nama adiknya dengan wajah gembira.

   "Ohhh...! Di manakah aku ini...?"

   Desah Purwasih.

   "Purwasih, aku kakakmu... Ratih. Ratih Kumaladewi!"

   Seru gadis berbaju hijau itu sambil menyandarkan adiknya.

   "Kak Ratih..., Eyang Kumala telah tewas..."

   "Apa?!"

   Ratih dan Ki Leor tersentak kaget, mendengar ucapan gadis itu.

   Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Purwasih menceritakan apa yang telah terjadi terhadap gurunya dan dia sendiri.

   Ratih Kumaladewi tertegun.

   Sementara Ki Leor terdiam beberapa saat lamanya.

   Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi menduga kalau guru Purwasih, paling tidak punya hubungan dengan kedua orang itu.

   "Guru Purwasih adik seperguruanku. Seka-ligus, adik kandungku..."

   Lirih suara Ki Leor ketika menjelaskan hal itu pada Rangga dan Pandan Wangi.

   Rangga dan Pandan Wangi dapat merasakan kesedihan Ki Leor.

   Agaknya hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai kakek kedua gadis itu.

   Jadi dengan demikian, Eyang Kumala adalah terhitung nenek mereka sendiri.

   Tak heran bila kemudian Ratih Kumaladewi menggeram dan berniat akan menuntut balas atas neneknya.

   "Ratih! Kau harus bisa menahan amarahmu. Mereka bukan tandinganmu. Salah satu di antara kedua orang itu, pasti murid Nyi Lengser. Dan perempuan tua itu memiiiki kepandaian hebat. Aku sendiri tak ada apa-apa bila dibandingkan dengannya...,"

   Sahut Ki Leor.

   "Tapi kita tak bisa mendiamkan kematian Eyang Kumala begitu saja, Eyang!"

   Sentak gadis itu garang.

   "Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, tak banyak yang bisa kita kerjakan...,"

   Keluh Ki Leor. 'Tidak! Aku akan cari mereka, dan harus mati di tanganku!"

   Sentak Ratih sambil bangkit berdiri. Namun sebelum mereka melangkah, Ki Leor menangkap pergelangan tangan Ratih. Tapi, Ratih Kumaladewi agaknya keras kepala.

   "Sabarlah, Ratih,"

   Bujuk Ki Leor. Tanpa menjawab, dia melepaskan diri sekuat tenaga. Maka terpaksa Ki Leor bertindak cepat. Menggerakkan tangannya dan... Tuk! "Uh...!"

   Ratih kontan jatuh lemas, begitu punggungnya tertotok jari Ki Leor.

   "Maafkan aku, cucuku. Tak ada jalan lain yang bisa kulakukan. Kau tak tahu bahwa tindakanmu sama saja bunuh diri. Kita harus memikirkan cara yang terbaik,"

   Kata Ki Leor. Kemudian, Ki Leor segera memanggul tubuh kedua cucunya.

   "Aku mengucapkan terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Dan sekarang aku mohon diri,"

   Ucap Ki Leor. Setelah berpamitan dengan Rangga dan Pandan Wangi, orang tua itu berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Dia berjalan melalui arah yang ditempuhnya tadi.

   "Kasihan mereka...,"

   Gumam Pandan Wangi menghela napas, setelah Ki Leor dan kedua cucunya telah lenyap dari pandangan.

   Memang, Ki Leor berjalan disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh.

   Tak heran kalu sebentar saja, mereka telah jauh dari sepasang Pendekar dari Karang Setra itu.

    *** Selanjutnya ke Bagian 5-6 Kembali ke Bagian 1-2  112.

   Dendam Datuk Geni Bag.

   5-6 13.

   August 2014 um 07.36 Hari belum terlalu siang ketika Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Pasir Batang yang saat ini terlihat ramai.

   Tampak di dalam sebuah kedai makan yang cukup besar, juga telah dipenuhi pengunjung.

   Beberapa orang yang kebetulan melakukan perjalanan dan melewab desa ini, pasti akan mampir ke kedai makan itu.

   Demikian juga Rangga dan Pandan Wangi.

   Kedua pendekar dari Karang Setra segera melangkah ke arah kedai itu.

   Namun baru saja berada di ambang pintu, semua mata pengunjung kedai menatap ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi tanpa berkedip.

   Beberapa di antaranya terlihat ketakutan, dan buru-buru meninggalkan kedai itu.

   Sementara yang lainnya menunjukkan wajah sinis.

   "Kakang! Aku merasa tak enak dengan kea-daan ini. Ada sesuatu yang tak beres...,"

   Bisik Pandan Wangi dengan wajah kesal.

   "Ya. Aku pun merasakannya. Tampaknya mereka tak bersahabat dengan kita. Tapi kita kan tak punya persoalan dengan mereka. Ayolah, Pandan, tak usah dipikirkan,"

   Sahut Rangga sambil mengajak Pandan Wangi memasuki kedai itu. Baru saja mereka hendak melangkah masuk, sekonyong-konyong....

   "He, bocah-bocah busuk! Mau apa kalian ke sini. Cari mampus, ya'!"

   Terdengar bentakan kesal menggelegar.

   Rangga segera mengarahkan pandangan pada seorang laki laki bertubuh besar dan berbaju hitam, yang mengeluarkan bentakan tadi.

   Tampak bagian dada laki laki itu dibiarkan terbuka lebar, sehingga terlihat bulu-bulunya yang lebat.

   Bola matanya melotot lebar dengan cambang yang menghiasi wajahnya.

   Di pinggangnya terselip sebatang golok yang gagangnya sudah digenggam.

   "Kisanak! Kau bicara pada kami?"

   Tanya Rangga sopan.

   "Kau kira aku bicara pada bapak moyangmu, he?!"

   Bentak orang itu, seraya beranjak dari tempat duduknya. diikuti tiga orang anak buahnya dari belakang. 'Tidak bisakah kau bicara sopan, Kisanak?"

   Kata Rangga kalem.

   "Sopan katamu? Puih! Itu sudah sopan diban-dingkan kesombongan kalian!"

   Dengus laki-laki ber-tampang seram itu.

   "Kisanak... Maaf, kami semakin tak mengerti arah pembicaraanmu. Karena ada urusan yang lebih penting maka kami tak bisa meladenimu. Maaf...,"

   Sahut Rangga berusaha mengalah.

   "Ayo, Pandan. Rasanya di sini sudah dipenuhi tikus-tikus kotor."

   "Keparat! Kau pikir bisa berbuat seenak perut-mu di depan Warok Singodimejo! Yeaaa...!"

   Setelah membentak demikian, tubuh orang yang mengaku bernama Warok Singodimejo langsung melompat sambil mencabut goloknya untuk menyerang.

   Bet! Bet! Meskipun tanpa menoleh, namun Rangga da-pat merasakan angin serangan tajam yang terarah kepadanya.

   Maka kepalanya, cepat ditundukkan untuk menghindari sambaran golok lawan.

   Bersamaan dengan itu tubuhnya berputar ke samping dan terus mengayunkan satu tendangan ke arah perut lawan.

   Namun Warok Singodimejo telah melompat ke samping kiri.

   "Kurang ajar. .!"

   Maki Warok Singodimejo.

   Kembali laki-laki bertubuh besar itu menyabetkan goloknya.

   Namun Rangga mencelat ke atas, dan terus melewati kepala Warok Singodimejo dengan jungkir balik.

   Lalu seketika itu kedua kakinya menghantam ke arah punggung laki-laki bertubuh besar itu.

   Bug! Seketika tubuh Warok Singodimejo terjajar ke depan, begitu punggungnya dihantam kaki Pen-dekar Rajawali Sakti.

   "Keparaaat...!"

   Maki Warok Singodimejo ge-ram sambil cepat berbalik hendak menghabisi la-wan.

   "Kisanak, di antara kita tak ada saling permu-suhan. Kenapa kau begitu bernafsu membunuh-ku?"

   Tanya Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.

   "Dasar bocah-bocah busuk! He! Kalian pikir mataku buta? Kalian telah membunuh guru kami, Ki Slongsor Geni. Apa itu tidak cukup?! Dan kalian juga telah menghancurkan Perguruan Tombak Baja dan menghabisi murid-muridnya tanpa sisa. Apa itu tidak cukup sebagai bukti kebiadaban kalian? Coba lihat mereka! Orang orang itu memiliki dendam kesumat pada kalian berdua!"

   Teriak Warok Singodimejo lantang.

   "Astaga! Tuduhanmu salah alamat. Kisanak. Sabarlah. Mari kita bicara baik-baik!"

   Bantah Rangga.

   Sementara itu tokoh-tokoh persilatan yang tadi berada dalam kedai saat ini sudah mengerumuni mereka.

   Apa yang dikatakan Warok Singodimejo memang tak salah.

   Mereka umumnya menunjukkan wajah kebencian dan dendam menyala-nyala.

   Tentu saja hal itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin geram saja.

   Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu mereka menunjukkan sikap bermusuhan.

   Namun dengan tenang, Pendekar Rajawali Sakti berusaha menguasai diri.

   "Kisanak semua! Kalau memang kami bersalah dan melakukan apa yang dituduhkan orang ini, kami bersedia dihukum! Tapi kalau ternyata kalian melampiaskan dendam kesumat pada orang yang tak bersalah, kalian akan menyesal sendiri!"

   Kata Rangga lantang.

   "He! Jangan dikira kami takut pada kalian! Kami telah sepakat. Kalau bukan kalian maka biarlah kami yang akan mati!"

   Timpal yang lain berteriak.

   Dan teriakan itu diikuti teriakan-teriakan yang sama dan mengutuk sepasang anak muda itu.

   Rangga dan Pandan Wangi melihat orang yang berkerumun di tempat itu semakin banyak saja.

   Seolah-olah, seluruh penduduk desa ini tumpah ruah untuk menyaksikan sambil memaki-maki geram.

   Bahkan dari arah belakang, dengan perasaan jengkel beberapa orang melempari Rangga dan Pandan Wangi dengan batu-batu kecil.

   Tentu saja hal itu membuat jengkel kedua pendekar itu.

   "Baiklah, kalau memang kalian memaksa kami untuk bertindak keras...,"

   Desah Pendekar Rajawali Sakti, agak sedikit mengesal. Belum selesai kata-kata yang diucapkan Rangga, mendadak....

   "Hentikan perbuatan kalian...!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang berkumandang ke segala penjuru.

    *** Semua orang seketika menoleh ke arah datangnya bentakan tadi yang berasal dari seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan kurus.

   Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti rambutnya yang telah ubanan.

   Di pinggangnya yang kecil terlihat sebuah pedang yang amat tipis, sehingga bisa dililitkan seperti sebuah sabuk.

   Bagi Penglihatan orang awam, tentu saja akan menyangka kalau orang tua itu memakai sabuk dari baja tipis.

   Namun sekali pandang saja, Rangga bisa tahu kalau itu pedang.

   "Sungguh memalukan! Tidak tahukah kalian, dengan siapa kalian berhadapan?!"

   Lanjut orang tua bertubuh kecil itu lantang seperti seorang bapak menghardik anak-anaknya yang nakal.

   "Ki Wakalpa, kedua orang inilah yang...,"

   Warok Singodimejo membuka suara, namun....

   "Goblok! Tolol! Apakah kau mengetahui jelas siapa pembunuh gurumu. Sedangkan, saat itu kau tak melihatnya?! Dan kalian semua, kenapa ikut-ikutan tanpa periksa? Tidak tahukah kalian, kalau saat ini kita tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut?"

   Potong orang tua yang dipanggil Ki Wikalpa, sehingga membuat wajah Warok Singodimejo berubah.

   "Heh?!"

   "Benarkah?"

   "Astaga...?!"

   Orang-orang yang berada di tempat itu kontan tersentak kaget ketika Ki Wikalpa menyebutkan siapa kedua anak muda itu.

   "Aku menyadari dan bisa merasakan apa yang kalian rasakan saat ini. Kematian orang-orang yang kita cintai, memang amat menyakitkan. Tapi membalas dendam pada orang yang tak salah secara membabi buta dan tanpa periksa lebih dulu, adalah perbuatan tolol sekaligus tak terpuji. Aku tahu pasti, siapa mereka berdua. Sebab, beberapa kali aku melihat sepak terjang mereka. Tak mungkin keduanya berbuat demikian. Lagi pula dengan melihat dari korban-korban yang jatuh, dugaanku semakin kuat kalau itu bukan perbuatan Pendekar Rajawali Sakti maupun Kipas Maut!"

   Jelas orang tua itu panjang lebar, ketika melihat ada beberapa orang yang masih belum percaya.

   "Oh, jadi, benarkah kau Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu?!"

   Tanya Warok Singodimejo dengan wajah penuh penyesalan setelah mendengar keterangan Ki Wikalpa.

   "Demikianlah orang-orang memanggilku...,"

   Sahut Rangga datar.

   "Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, ma-afkan kesalahan dan kekasaranku. Kami sama sekali tak menduga kalau kalian adalah pendekar besar itu. Kematian guru kami membuat kami gelap mata dan tak bisa membedakan orang. Sekali lagi maafkan kesalahan kami,'' ucap Warok Singodimejo dengan tubuh menjuru hormat.

   "Sudahlah. Kisanak. Kita memang salah pa-ham. Dan semua itu sejak tadi telah kusadari. Hm..., Apakah persoalan yang sebenarnya terjadi di tampat ini?"

   Desak Pendekar Rajawali Sakti' disertai senyum manis tersungging dibibirnya.

   "Kemarin dalam satu hari saja, banyak kejadian yang menggemparkan. Guruku Ki Slongor Geni kedapatan tewas. Lalu, murid-murid Perguruan Tombak Baja dibantai habis. Padahal banyak orang desa ini pernah menjadi murid perguruan itu. Maka pasti mereka merasa geram dan dendam. Kabarnya yang melakukan perbuatan itu adalah sepasang anak muda seperti kalian. Itulah sebabnya ketika kalian tiba, kami menduga kalau pengacau itu adalah kalian,"

   Jelas Warok Singodimejo singkat.

   Rangga dan Pandan Wangi hanya mengang-gukkan kepala mendengar penjelasan itu.

   Sementara orang-orang yang tadi mengerubungi mereka, satu persatu bubar dengan wajah penuh penyesalan.

   Kini tinggal Warok Singodimejo dan tiga orang anak buahnya, Ki Wikalpa yang kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

   "Pendekar Rajawali Sakti. Atas nama mereka, aku mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besamya padamu!"

   Ucap Ki Wikalpa.

   "Ki Wikalpa, aku menyadari kesalahpahaman ini. Tak perlulah kau meminta maaf,"

   Sahut Rangga halus.

   "Ah! Kelapangan hatimu memang sering kude-ngar. Dan ternyata, hari ini aku diperkenalkan untuk melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, sudilah kalian memenuhi undanganku untuk mampir di gubukku. Sekedar istirahat, sambil melepaskan dahaga. Bukankah kalian telah melakukan perjalanan jauh?"

   Ajak Ki Wikalpa dengan nada hormat. Mendengar permintaan itu Rangga tak bisa menolak lagi. Kelihatannya orang tua itu memang baik dan sopan. Namun ketika mereka hendak melangkah meninggalkan tempat itu, mendadak....

   "Kisanak, tunggu!"

   Tiba-bba terdengar sebuah suara yang membuat Ki Wikalpa, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menoleh.

   Begitu juga Warok Singodimejo beserta tiga orang anak buahnya.

   Tampak seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus baju lusuh yang di beberapa bagian terlihat robek.

   Wajahnya keras, namun bersih dan tampan.

   Sorot matanya tajam menusuk.

   Di pinggangnya tampak terselip dua buah tongkat runcing yang terbuat dari batu gunung.

   Sementara di sampingnya, seorang gadis cantik berambut panjang, diikat agak ke atas dengan pita merah.

   Bibirnya tipis dan raut wajahnya menunjukkan kalau gadis itu amat galak.

   Bajunya berwarna ungu dan agak longgar, serta terlihat sebatang pedang di pungunggnya.

   "Kamikah yang kau panggil, Kisanak?"

   Tanya Ki Wikalpa dengan nada ramah sambil tersenyum. Kedua orang muda yang baru datang itu tak peduli dengan pertanyaan Ki Wikalpa.

   "Siapa di antara kalian yang bernama Wikalpa?"

   Tanya pemuda itu dengan sikap sombong.

   "Hm.. Sudah kuduga. Cepat atau lambat, kau pasti akan datang. Kisanak! Kau tengah berbicara dengan orangnya!"

   Sahut Ki Wikalpa seperti telah menduga, siapa kedua orang itu. *** "Bagus! Kau tentu memang sudah tahu mak-sud kedatanganku. Sebagian besar kawanmu telah mampus. Dan kau akan mendapat gilirannya saat ini!"

   Sahut pemuda itu dingin.

   "Ki Wikalpa! Inikah orang yang telah membunuh guruku?!"

   Tanya Warok Singodimejo berang.

   Ki Wikalpa mengangguk.

   Maka seketika itu juga bola mata Warok Singodimejo kelihatan membesar.

   Rahangnya menggelombung dan urat-urat di pelipisnya menegang.

   Dengan serentak dicabutnya golok, yang diikuti ketiga anak buahnya.

   "Keparat! Jadi kalian pembunuh biadab itu, he?! Kalian membunuh guruku! Kalian yang menghabisi nyawa murid-murid Perguruan Tombak Baja! Kalian harus mampus! Hiyaaa...!"

   "Warok Singodimejo, hentikan...!"

   Bentak Ki Wikalpa mencegah.

   Tapi mana mau Warok Singodimejo mende-ngar teriakan Ki Wikalpa dalam kemarahan yang meluap-luap seperti itu.

   Dendam di dadanya sudah menyala-nyala.

   Dan rasa malu akibat mendakwa orang yang salah tadi, kini membuatnya semakin geram saja ketika ketemu orang yang sebenarnya memang tengah dicarinya.

   Teriakan Warok Singodimejo yang mengguntur bagai geledek, rupanya menarik perhatian keru-munan orang yang tadi berkumpul.

   Mereka mulai berdatangan satu persatu.

   "Habisi iblis-iblis biadab itu!"

   "Cincang diaaa...!"

   Orang-orang yang sudah berkerumun itu langsung berteriak memaki serta mengutuk kedua anak muda yang baru datang ini.

   "Hentikan! Hentikan! Kalian hanya mengan-tarkan nyawa percuma saja!"

   Teriak Ki Wikalpa berkali-kali mengingatkan orang-orang yang mulai mengikuti tindakan Warok Singodimejo.

   Mereka memang hendak menggeroyok kedua orang itu beramai-ramai.

   Namun, tak seorang pun yang mau mendengar kata-kata Ki Wikalpa.

   Mereka kini telah menemu-kan pembunuh orang yang mereka cintai.

   Dan sakit hati, serta dendam kesumat yang masih menyala-nyala di setiap dada harus dilampiaskan, tanpa sama sekali memperhitungkan akibatnya.

   Dalam benak mereka hanya ada satu keinginan yang harus terjadi, yaitu kematian para pembunuh itu.

   Tapi nyatanya itu bukanlah semudah apa yang diduga.

   Karena tiba-tiba saja...

   Jdeeer! "Aaaa...!!"

   Crat! Crat! Werrr...! "Wuaaa...! Pengeroyok itu seketika buyar, begitu terdengar suara keras laksana geledek, diikuti teriakan kesakitan.

   Tampak lebih dan sepuluh orang langsung ambruk ke bumi dalam keadaan mati! Memang, begitu terlihat beberapa kali kilatan api yang berputar menyambar, para pengeroyok hangus.

   Sementara beberapa orang lagi tewas dalam keadaan tubuh kaku dan membeku.

   Bahkan tak ada darah yang menetes.

   Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan Ki Wakalpa.

   "Bocah-bocah terkutuk! Hentikan perbuatan biadab kalian. Hiyaaa...! Maka tubuhnya langsung melesat ke arah kedua anak muda itu sambil orang tua ini menghantamkan satu pukulan jarak jauh. Namun, pemuda yang menjadi sasarannya tak kalah sigap. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke arah orang tua itu. Dan Ki Wikalpa, sama sekali tak diberi kesempatan oleh kedua anak muda itu. Dengan gerakan kompak dan saling mengisi, mereka terus mendesak orang tua bertubuh kecil itu. Mereka terus mengumbar serangan maut, setelah kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya menepi. Nyali para pengeroyok memang telah ciut, ketika melihat datangnya lidah api yang berasal dari sepasang tongkat di tangan pemuda yang mereka keroyok tadi. Memang, begitu tongkat-tongkat diadu satu sama lain, maka seketika melesat lidah api ke arah sasaran. Sementara gadis berbaju ungu yang tadi bersamanya, telah mencabut pedangnya dan berputar beberapa kali, seperti hendak meng-gulung tubuh Ki Wikalpa. Orang tua bertubuh kecil itu menyadari pedang di tangan si gadis itu, bukanlah pedang sembarang. Maka dia harus hati-hati menghadapinya. Memang pedang itu seperti menabur hawa dingin yang amat menusuk pada setiap serangannya. Tak heran lawan yang terkena sabetan pedangnya, akan tewas dalam keadaan tubuh membeku.

   "Kakang! Aku khawatir orang tua itu tak mampu menghadapi lawannya Mereka hebat dan sangat kompak...,"

   Keluh Pandan Wangi sambil memperhatikan pertarungan itu.

   "Ya. Aku pun menyadari. Tapi kita belum tahu, sampai di mana kehebatan orang tua itu,"

   Sahut Pendekar Rajawali Sakti.

   "Apakah Kakang tak turun tangan membantu-nya?"

   Tanya Pandan Wangi.

   "Apakah orang tua itu betul-betul membutuh-kan bantuan kita?"

   Sahut Rangga balik bertanya.

   Mendengar itu Pandan Wangi tak bertanya lagi, Memang secara tak langsung, dibenarkannya ucapan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

   Buktinya, orang tua itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghadapi lawan.

   Tapi ternyata hal itu tak lama.

   Karena, kini terlihat Ki Wikalpa sudah meloloskan pedang tipisnya yang sejak tadi melilit di pinggang.

   "Hiyaaa!"

   Klap! Klap! Di tangan orang tua ini pedang yang tipis dan terlihat lemah itu berubah tegang dan kaku laksana tombak baja.

   Bahkan ketika menangkis senjata lawan, terdengar bunyi berdenting seperti halnya pedang yang kuat.

   Malah dalam sekejap mata, pedang di tangan Ki Wikalpa kembali mampu lentur laksana ular yang meliuk-liuk menyambar lawan.

   "Huh! Ilmu pedangmu memang hebat, orang tua! Tapi sayang, kematianmu telah digariskan hari ini!"

   Dengus gadis berbaju ungu itu geram.

   "Hm. Begitukah?"

   Sahut Ki Wikalpa.

   Tapi agaknya ucapan gadis itu bukan sekedar gertakan dan omong kosong belaka.

   Bahkan Ki Wikalpa sampai tersentak kaget, ketika menangkis dua senjata lawan sekaligus.

   Tubuhnya kontan bergetar hebat, akibat terkena dua tenaga dalam berlainan jenis yang sangat kuat.

   Ketika tubuh Ki Wikalpa terhuyung-huyung mundur, saat itu juga ujung pedang gadis ini menyambar ke arah dadanya.

   Untungnya orang tua bertubuh kecil itu masih mampu menghindari dengan menjatuhkan diri ke tanah.

   Namun, ternyata serangan kedua ujung tongkat pemuda lawannya telah menanti.

   Bahkan mengancam leher dan jantungnya! Dengan terpaksa pedang dikibaskan untuk menangkis.

   Tak! Pedang tipis di tangan Ki Wikalpa, kontan ter-pental begitu membentur tongkat di tangan pemuda itu, sehingga menimbulkan bunyi keras seperti geledek.

   Sedangkan orang tua itu langsung melenting ringan untuk menyelamatkan diri dari sambaran ujung tongkat yang satu lagi.

   Justru pada saat itu ujung kaki kanan pemuda itu sudah bergerak cepat ke arah perulnya.

   Dan...

   Desss! "Aaakh.,.!"

   Ki Wikalpa menjerit kesakitan, begitu kaki pemuda itu mendarat telak di perutnya.

   Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

   Dan di situ, juga telah menunggu gadis berbaju ungu yang siap menebas lehernya.

   Agaknya orang tua itu tak mampu menghindari lagi.

   Ki Wikalpa hanya terkesima melihat maut akan menghampirinya.

   Namun mendadak saat itu melesat satu sosok bayangan biru langsung menangkis pedang gadis berbaju ungu itu.

   Takkk! "Sial!" *** Begitu serangannya gagal, gadis berbaju ungu itu segera melampiaskannya ke arah bayangan itu yang memapak serangan tadi.

   "Yeaaa!"

   "Hup!"

   Bett! Ujung pedang di tangan gadis itu menyambar-nyambar dahsyat menimbulkan hawa dingin yang hebat.

   Namun lawan yang dihadapinya kali ini pun cukup gesit.

   Tubuhnya mampu meliuk-liuk seperti orang menari untuk menghindari sambaran pedang lawan.

   Kemudian mendadak sosok bayangan biru tadi balas menyerang dengan kecepatan tinggi.

   Dan tentu saja ini sangat mengagetkan gadis berbaju ungu tadi.

   Maka dia cepat melenting ke belakang sambil membuat gerakan berputar untuk menghindari sambaran ujung kipas sosok berpakaian biru yang seperti mengurungnya.

   "Siapa kau?!"

   Bentak gadis berbaju ungu itu ketus bercampur geram ketika kedua kakinya menjejak di tanah. Di depan gadis berbaju ungu, terlihat seorang gadis cantik memakai baju biru muda dengan kipas di tangan.

   "Siapa pula kau?!"

   Bentak gadis yang tak lain dari Pandan Wangi.

   "Keparat! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat, sehingga mau jadi pahlawan?! Kau akan mampus bersama tua bangka busuk itu!"

   Geram gadis berbaju ungu itu. Setelah berkata demikian, kembali gadis berbaju ungu itu melesat menyerang Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu, melompat pula pemuda yang tadi bersamanya.

   "Kania! Biar kita bereskan bersama perempuan pengacau ini agar urusan lebih cepat!"

   Teriak pemuda yang namanya Mintarja. Sedangkan gadis berbaju ungu itu adalah Kaniawati.

   "Biarkan mereka bermain-main, Kisanak. Dan aku ingin bermain-main pula denganmu,"

   Sahut Rangga tenang sambil melompat menghadang Mintarja.

   "Sial! Siapa kau?!"

   Bentak Mintarja, mengu-rungkan niatnya untuk ikut menyerang Pandan Wangi.

   "Apa perlunya kau ketahui?"

   Sahut Rangga.

   "Keparat! Kalau begitu kau akan mampus tanpa nisan!"

   Dengus Mintarja tajam.

   "Hm... Sayang sekali, Kisanak. Saat ini aku masih belum ingin mati,"

   Jawab Rangga enteng.

   "Huh! Yeaaa. .!"

   Ujung tongkat Mintarja langsung berputar-putar menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

   Sesekali terlihat lidah api yang menyambar, menimbulkan hawa panas luar biasa ketika kedua tongkat itu diadu satu sama lain.

   Namun, agaknya Rangga mampu menghindari setiap serangan lawan, dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Sebenarnya, kedua tongkat Mintarja amat ber-bahaya.

   Selain keras dan kuat, juga mampu me-nyemburkan lidah api yang akan menghanguskan apa saja yang terkena.

   Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tak bisa terus-menerus bertangan kosong.

   Rasanya kalau tongkat itu sudah disingkirkan, akan lebih mudah untuk menaklukan lawannya.

   "Hiyaaa!"

   Bet! Bet! "Hup...!"

   Nyaris dada Pendekar Rajawali Sakti robek ter-sambar ujung tongkat Mintarja, kalau tidak cepat melompat ke atas.


Pisau Kekasih Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Mencari Busur Kumala Karya Batara

Cari Blog Ini