Ceritasilat Novel Online

Manusia Lumpur 1


Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Bagian 1


 .

   175.

   Manusia Lumpur Bag.

   1 -4 1.

   MArz 2015 um 07.29 Pendekar Rajawali Sakti episode.

   Manusia Lumpur Oleh Teguh S.

   Penerbit Cintamedia, Jakarta Blep! Blep! Glarrr...! Gunung Perahu yang sepanjang tahun bisu, mendadak bergolak lagi.

   Padahal, sejak puluhan tahun lalu gunung itu sudah mati.

   Dan sejak itu tak seorang pun yang mau tinggal di sana.

   Bahkan seekor serangga sekalipun.

   Uap putih yang dari jauh terlihat bagai gumpalan salju, selalu menghiasi lereng gunung itu.

   Inilah penyebabnya.

   Sebab, uap putih itu tidak lain dari uap beracun yang keluar dari perut bumi di sekitarnya.

   Namun anehnya, uap beracun itu jarang sekali berhembus ke lain tempat.

   Mungkin selalu terhalang oleh pepohonan lebat yang mengelilingi gunung itu.

   Sehingga asap putih itu hanya berputar-putar tidak jauh dari tempatnya semula.

   Kemudian perlahan-lahan kembali dan bergantung seperti orang yang tengah bertapa.

   Diam tidak terusik! Konon, di lereng gunung ini terdapat banyak gua yang saling berhubungan.

   Sehingga di dalamnya seperti sebuah jalan yang banyak cabang-cabangnya.

   Tak seorang pun yang bisa mengetahui, apa yang terdapat di dalamnya karena sampai saat ini tak seorang manusia pun yang bisa masuk sampai ke sana dengan selamat! Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ke dalam, pusat dari lorong-lorong gua itu berada tepat di bawah kaki gunung itu.

   Di sana terdapat sebuah ruangan yang cukup lebar.

   Di tengah ruangan yang dipenuhi batu karang yang mencuat ke atas maupun ke bawah, terdapat sebuah kolam lahar yang terus mendidih.

   Agaknya sebagian dari uap beracun itu berasal dari tempat ini.

   Kolam ini seperti bubur berwarna coklat kemerah-merahan dan amat kental.

   Pada jarak sekitar lima tombak dari kolam, panasnya terasa menyengat.

   Dan rasanya tak satu pun makhluk yang bisa hidup di tempat itu.

   Blep! Blep! Bubur lahar itu kembali bergolak.

   Dan dari bawah terlihat gelembung-gelembung udara bergerak ke atas dan meletus di permukaan.

   Dan dari dalam kolam gejolak itu semakin hebat.

   Bahkan lambat laun, kolam itu berputar dan membentuk pusaran di tengah-tengahnya.

   Rupanya, inilah yang menyebabkan Gunung Perahu itu kembali menampakkan kegarangannya.

   "Graaagkh...!"

   Diiringi raungan keras, tiba-tiba muncul sesuatu ke permukaan kolam berwujud seperti kepala manusia.

   Gaung dan getaran yang ditimbulkannya cukup mengguncangkan batu-batuan yang berada di ruangan ini.

   Beberapa buah malah menimpa kepala yang dipenuhi lumpur panas itu.

   Kepala itu sama sekali tidak pecah! Padahal di antara batu-batu yang menimpa ada yang sebesar kepala kerbau! "Grrhh...!"

   Dengan geraman buas, perlahan-lahan kepala itu terangkat ke atas, seiring bentuk jasadnya yang bangkit berdiri.

   Lalu dengan gerakan ringan, kepala yang telah lengkap dengan jasadnya itu keluar dari kolam lahar.

   Kini terlihat bentuk nyata satu sosok mengerikan.

   Secara keseluruhan, bentuknya memang persis manusia.

   Namun wajahnya sukar dikenali, karena sekujur tubuhnya diselimuti lahar panas berwarna merah kecoklatan.

   "Graaagkh...!"

   Sosok makhluk itu kembali menggeram.

   Dan kembali dinding-dinding gua di sekitar ruangan ini bergetar, membuat batu-batu berjatuhan.

   Namun makhluk itu agaknya tidak mempedulikannya.

   Dia lantas berjalan melewati lorong gua menuju keluar dengan gerakan cepat, seperti tengah berlari.

   Tubuhnya yang kecil dan agak tinggi, ringan sekali bergerak.

   Seolah kakinya sama sekali tidak menapak tanah.

   Tiba di mulut gua, makhluk itu berhenti.

   Sepasang matanya yang hitam berkilat menatap tajam ke segala arah.

   Mungkin ada sesuatu yang aneh dalam pandangannya.

   Entah alam yang telah berubah, atau barangkali tempat yang selalu diselimuti kabut.

   Entahlah.

   Tak lama, makhluk ini kembali berkelebat.

   Disusurinya lereng gunung ini.

   Diterobosnya kabut beracun yang tidak pernah berhasil dilalui manusia biasa! Begitu cepat kelebatan makhluk itu, sehingga dalam waktu singkat telah berada persis di kaki gunung.

   Di sini masih terlihat pohon-pohon besar yang menghalangi pancaran sinar matahari pagi.

   Namun begitu tatkala angin bertiup agak kencang, sebagian cahaya matahari yang masih halus menerobos dan menerpanya.

   "Ohhh...!"

   Makhluk itu mendesah lirih, ketika cahaya matahari menerpa bola matanya.

   Baginya sinar itu terasa menyilaukan.

   Mungkin karena terlalu lama berada di perut bumi yang gelap dan pengap.

   Seketika sebelah tangannya menutupi mata.

   Tapi perlahan-lahan dia memberanikan diri dan coba mengintip.

   "Graaakh...!"

   Ketika cahaya matahari itu kembali menyilaukan mata, makhluk itu menggeram marah.

   Suara makhluk ini serak dan parau, seperti seekor beruang hutan.

   Lama dia berdiri tegak di tempatnya tanpa beranjak.

   Sikapnya kelihatan penasaran sekali, dan berusaha menantang cahaya matahari yang perlahan-lahan beranjak naik.

   Dan ketika mulai terbiasa, segera ditinggalkannya tempat itu.

   *** "Graaakhh...!"

   "Heh?!"

   Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tersentak kaget.

   Begitu kagetnya, sehingga busur panah yang dipegangnya terlepas, saat mendengarkan suara raungan yang menggetarkan.

   Selama belasan tahun menjadi pemburu di Hutan Gunung Perahu belum pernah didengarnya suara seperti itu.

   Perlahan-lahan, laki-laki tegap berpakaian hijau-hijau ini mengedarkan pandangan ke sekeliling.

   Bulu kuduknya tiba-tiba meremang.

   Dan busur panahnya yang terjatuh diambilnya dengan pandangan tetap mencari-cari.

   "Graaagkh...!"

   "Ohhh...!"

   Baru saja laki-laki itu tegak kembali, terdengar lagi suara raungan, yang disusul dengan berkelebatnya satu sosok tubuh.

   Dan jantungnya hampir saja copot, ketika sosok itu telah berdiri di hadapannya pada jarak lima langkah.

   Hati laki-laki ini makin kebat-kebit melihat sosok tubuh kurus penuh lumpur ini memandang tajam ke arahnya.

   Suaranya menggeram dahsyat.

   Perlahan-lahan makhluk itu melangkah mendekati.

   "Jangan coba-coba mendekat! Atau, panahku akan menembus jantungmu sekarang juga!"

   Bentak laki-laki itu mengancam, seraya mundur ke belakang.

   Tangannya gemetar ketika menarik busur.

   Nada suaranya pun bergetar.

   Jantungnya berdetak lebih kencang.

   Dan darahnya seperti mengalir lebih kencang.

   Makhluk lumpur itu menghentikan langkah.

   Matanya memandang aneh kepada laki-laki di depannya.

   Sepertinya dia tidak mengerti apa yang akan diperbuat laki-laki itu terhadapnya.

   "Pergi kau...!"

   Bentak laki-laki pemburu itu, setelah keberaniannya mulai muncul kembali. Makhluk itu diam tidak beranjak.

   "Kurang ajar!"

   Keberanian pemburu ini yang telah terkumpul, diungkapkannya dengan bentakan.

   Bahkan tiba-tiba dia meraih anak panah dan cepat memasangnya pada busur.

   Lalu seketika dilepaskannya.

   Twang! Tiba-tiba satu buah anak panah melesat menyambar makhluk di depannya.

   Tak! "Heh?!"

   Pemburu itu makin tercekat ketika anak panahnya tidak mampu melukai makhluk itu.

   "Patah? Mustahil! Terbuat dari apa kulitnya?!"

   Desis laki-laki itu tidak percaya.

   Jantung laki-laki ini semakin berdegup kencang.

   Dan perlahan-lahan kakinya mundur ke belakang sambil tetap mengawasi makhluk itu.

   Sementara makhluk menggiriskan ini sendiri agaknya tidak merasa kesakitan sedikit pun.

   Dia memandang sekilas pada patahan anak panah tadi, lalu berpaling pada laki-laki di depannya.

   Mulutnya menyeringai lebar dengan sorot mata kelihatan liar.

   Agaknya, dia menangkap sikap permusuhan dari laki-laki di depannya.

   "Graaagkh...!"

   "Oh, tidak! Pergi kau! Pergiii...!"

   Makhluk itu menggeram buas laksana raungan seekor beruang.

   Sedang laki-laki di depannya tersentak kaget.

   Mukanya makin terlihat pucat.

   Sepasang matanya membelalak melihat makhluk itu berjalan mendekatinya dengan cepat.

   Dengan sekuat tenaga dia berusaha lari sekencang-kencangnya.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk itu melayang gesit. Dan tahu-tahu laki-laki itu telah dicengkeramnya. Tap! "Aaa...!"

   Cuma sesaat, lalu terdengar jeritan panjang. Tubuh laki-laki itu terkulai dengan tulang leher dan pinggang patah dicekal makhluk ini.

   "Kraaagkh...!"

   Makhluk itu mendengus geram. Dicampakkannya mayat pemburu begitu saja seenaknya. Dipandanginya sejenak mayat itu, lalu perlahan melangkah meninggalkannya. Tapi baru berjalan kira-kira lima belas langkah, mendadak....

   "Jahanam! Hei, berhenti kau...!"

   Terdengar bentakan nyaring, membuat makhluk ini menghentikan langkahnya.

   Perlahan-lahan dia menoleh sambil berbalik.

   Di depan makhluk itu telah berdiri dua orang laki-laki yang masing-masing berusia sekitar dua puluh delapan tahun.

   Mereka semua menyandang busur dan anak panah.

   Dengan langkah gusar makhluk itu menghampiri kedua orang yang baru datang.

   "Graaakh...!"

   Makhluk ini menggeram, mengisyaratkan kemarahan. Sementara kedua laki-laki itu terkesiap.

   "Hei, kaukah yang membunuh kawan kami ini?!"

   Bentak salah seorang laki-laki itu, setelah berhasil menguasai hatinya.

   "Graaagkh...!"

   Bentakan itu disahuti dengan seringai marah. Sementara makhluk itu sendiri semakin melangkah dekat.

   "Percuma saja bicara, Jayeng! Lebih baik serang saja dia!"

   Seru laki-laki satunya yang berbaju hitam seraya menyiapkan anak panah.

   "Kau benar, Suket! Makhluk itu kelihatan aneh. Dia seperti binatang buas!"

   Sahut laki-laki yang dipanggil Jayeng. Kedua laki-laki bernama Jayeng dan Suket itu melompat ke kanan dan kiri, siap dengan panah terpasang di busur.

   "Graaagkh...!"

   Begitu makhluk ini menggeram sekali lagi, kedua laki-laki itu melepaskan anak-anak panahnya.

   Twang! Twang! Dua batang anak panah yang melesat cepat membuat makhluk itu menggeram semakin marah.

   Namun dia tak berusaha menghindari.

   Dan....

   Tak! Tak! Jayeng dan Suket terkesiap, karena kedua anak panah yang dilepaskan tidak mampu melukai tubuh makhluk ini.

   Malah patah seperti menghantam tembok besi.

   "Kraaagkh...!"

   "Oh, tidaaak. Aaargkh!"

   Jayeng memekik keras ketika makhluk itu melompat. Tanpa dapat menghindar lagi, lehernya telah tercengkeram tangan penuh lumpur makhluk ini. Krakkk! "Aaa...!"

   Dengan sekali cekik tulang leher Jayeng patah diiringi jerit kematian.

   Tanpa merasa kasihan sama sekali, makhluk ini melempar mayat Jayeng begitu saja.

   Suket terkesiap.

   Kawannya tewas seketika dalam waktu singkat.

   Namun belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak makhluk itu telah melesat ke arahnya.

   "Kraaagkh...!"

   Krek! Suket hanya dapat melotot, ketika tangan penuh lumpur makhluk itu mendadak mencengkeram lehernya. Lalu....

   "Ugkh!"

   Suket hanya mampu mengeluh tertahan. Tulang lehernya langsung patah dipotes makhluk ini. Dan ketika tubuhnya dilepaskan, dia jatuh terkulai.

   "Kragkh...!"

   Makhluk itu kembali menggeram.

   Tanpa mempedulikan mayat-mayat itu, dia berjalan meninggalkan tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa.

   Melihat arahnya, jelas kalau makhluk ini menuju desa yang terletak di kaki Gunung Perahu.

   Desa Pandah! *** "Aouw...!"

   Siang itu di Desa Pandah yang semula tenang dan damai, mendadak dipecahkan oleh sebuah suara teriakan seorang wanita yang menjerit-jerit.

   "Hantu...! Ada hantuuu...!"

   Teriak wanita berusia dua puluh delapan tahun itu lagi. Seketika, penduduk desa yang mendengar tersentak kaget. Bergegas mereka serentak keluar rumah masing-masing, menuju sumber suara.

   "Di mana? Di mana hantunya, Lastri?"

   Tanya salah seorang penduduk yang berpapasan dengan wanita itu.

   "Itu di sana, Kang Parwa,"

   Sahut wanita yang dipanggil Lastri, sambil menunjuk ke arah sebuah pohon beringin yang terletak di mulut desa ini.

   Namun laki-laki yang dipanggil Parwa bingung sendiri.

   Demikian pula Lastri ketika menunjuk ke tempat yang dimaksud, hantu yang tadi ditemuinya sudah tak ada lagi di tempatnya.

   "Jangan bergurau, Lastri! Mana ada hantu di siang bolong begini!"

   Cibir Parwa. Sementara itu, para penduduk lainnya telah merubungi Lastri.

   "Mungkin gara-gara suaminya mati, Lastri jadi sedikit miring!"

   Timpal seorang pemuda sambil tersenyum.

   "Aku bersungguh-sungguh, Jaka! Untuk apa berbohong? Jelas kulihat dia di sana. Bentuknya seperti kita. Tapi, tubuhnya penuh lumpur yang telah mengering. Pandangan matanya tajam saat menatapku,"

   Jelas Lastri, coba meyakinkan. Tapi tak seorang penduduk pun yang percaya. Semua mencibir. Dan satu persatu meninggalkannya sambil tersenyum-senyum mengejek. Tapi baru saja melangkah beberapa tindak....

   "Tolooong...!"

   Terdengar teriakan, yang membuat para penduduk ini berpaling ke sebuah rumah tak jauh dari tempat ini.

   Tampak beberapa orang keluar dari rumah itu dengan wajah pucat ketakutan.

   Karuan saja kerumunan penduduk tadi berpindah tempat.

   Mereka tergopoh-gopoh menghampiri dua orang yang keluar dari rumah tempat asal teriakan.

   "Ada apa? Kadi...? Lingga?"

   Tanya Parwa.

   "Hantu? Dia, dia telah membunuh Karja!"

   Laki-laki yang bernama Lingga menjelaskan dengan tubuh gemetar.

   Dan baru saja dia selesai berkata begitu, mendadak dari arah belakang mereka muncul sesosok tubuh coklat kemerahan sambil mengangkat kedua tangan.

   Mulutnya menyeringai dan menggeram buas.

   "Kraaagkh...!"

   "Ohhh...!"

   Para penduduk tersentak kaget. Sementara Kadi dan Lingga serentak menunjuk.

   "Itu dia! Itu hantunya...!"

   Makhluk kurus yang sekujur tubuhnya berselimut lumpur coklat kemerahan yang telah mengering itu kembali menggeram.

   Orang-orang yang tadi terkesiap dan tertegun untuk beberapa saat, mulai sadar kalau apa yang dilihat bukanlah mimpi semata.

   Serentak mereka kabur ke segala arah.

   Ada yang langsung memukul kentongan, dan ada pula yang mencari senjata-senjata tajam.

   Beberapa orang malah betul-betul kabur, dan tidak kembali lagi ke rumahnya.

   Tong! Tong! "Ada hantu! Ada hantu...!"

   "Kraaagkh...!"

   Makhluk itu terlihat kebingungan untuk sementara.

   Tapi ketika melihat orang-orang yang lari hilir-mudik, ternyata membuatnya geram.

   Maka tanpa pikir panjang dia melompat.

   Langsung diterkamnya seorang laki-laki berumur empat puluh tahun.

   Tap! Krek! "Aaagkh...!"

   Laki-laki itu menjerit tertahan. Tulang lehernya langsung patah seketika dicengkeram makhluk ini.

   "Astaga! Dia membunuh Ki Jabal!"

   Teriak Parwa. Penduduk yang lainnya terpaku. Namun perlahan-lahan mereka memberanikan diri untuk berkumpul. Mereka segera mendekati makhluk itu dengan senjata terhunus.

   "Makhluk iblis! Kita harus menyingkirkannya! Kalau tidak, dia akan membuat kekacauan di sini!"

   Desis Jaka, berusaha membangkitkan semangat.

   "Betul! Makhluk ini sangat keji. Dia membunuh dengan mudah. Kita harus membunuhnya!"

   Sambut yang lainnya.

   "Bunuh dia! Bunuh dia...!"

   Teriak Parwa sambil mengacung-acungkan senjata tajam. Tiga orang tidak dapat menahan diri lagi. Dan seketika mereka menerjang makhluk itu bersamaan.

   "Makhluk terkutuk, mampuslah kau!"

   "Heaaa...!"

   Diserang demikian, makhluk ini seperti tak hendak menghindar.

   Dibiarkannya saja senjata-senjata tajam itu menerjang tubuhnya.

   Tak! Tak! Wuuut! Namun senjata tajam di tangan mereka seperti hanya menghantam besi baja yang amat keras.

   Entah punya kekebalan apa makhluk itu.

   Yang jelas begitu tangannya bergerak dengan tubuh berkelebat....

   Desss! Krakh! "Aaa...!"

   Salah seorang memekik nyaring begitu terhantam tangan makhluk itu pada dadanya. Tubuhnya terpental, menghantam kerumunan orang. Tak lama disusul dua orang lainnya. Nyawa mereka langsung melayang begitu menyentuh tanah.

   "Kurang ajar! Dia telah membunuh tiga orang dalam sekejap!"

   Para penduduk yang belum sempat menyerang itu tersentak kaget. Di antara rasa gentar dan ketakutan, di dada mereka terasa api amarah yang membara. Namun tanpa diperintah lagi mereka serentak menyerang makhluk itu bersama-sama.

   "Bunuh dia! Bunuuuh...!"

   "Heaaa...!"

   Melihat banyak orang maju mengeroyok, makhluk itu kelihatan semakin marah.

   Kedua tangannya bergerak cepat.

   Dan tahu-tahu, dia telah mencengkeram rambut di kepala dua orang penduduk.

   Dengan gemas dibantingnya kedua orang itu, dan langsung diinjak-injak sampai terdengar derak tulang-belulang patah.

   Begitu selesai, makhluk ini kembali menyambar dua orang lagi yang langsung dibantingnya.

   Bukan hanya itu saja.

   Kedua tangan dan kakinya pun terkadang menghantam.

   Dan kalau sudah begitu, maka jerit kematian terdengar saling sambung.

   Padahal para penduduk telah berusaha menghantamkan senjata masing-masing ke tubuh makhluk ini.

   Namun tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai.

   "Lari! Selamatkan diri kalian masing-masing! Percuma saja kita membunuhnya. Dia tidak mempan senjata tajam!"

   Teriak Parwa yang masih selamat, seraya lari serabutan.

   Mendengar itu yang lainnya segera mengikuti.

   Mereka kini lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.

   Agaknya bukan hanya mereka saja yang menyelamatkan diri.

   Tapi para wanita yang menggendong serta menuntun anaknya pun berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama suami masing-masing.

   Demikian pula para orang tua yang terpaksa harus dipondong.

   Untung saja makhluk itu tak hendak mengejar.

   Dalam waktu singkat kampung itu sepi dari penghuninya! Memang aneh bila makhluk itu tak berusaha mengejar.

   Melihat orang-orang yang mengeroyoknya kabur, dia hanya terpaku di tempatnya.

   Lalu setelah merasa tidak ada lagi yang mengganggunya, dia berlalu dari desa ini.

   *** Seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh enam tahun memandang dengan kening berkerut ke arah seorang pemuda yang tergopoh-gopoh masuk ke halaman rumahnya.

   "Ki Braja! Ki Braja! Gawat! Gawat, Ki!"

   Teriak pemuda berbadan tegap terbungkus pakaian coklat tua, sambil terus menghampiri laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Braja.

   "Ada apa, Angkeran? Mengapa wajahmu pucat begitu? Coba tenangkan dirimu dulu. Baru ceritakan yang jelas,"

   Ujar Ki Braja, lembut penuh kesabaran. Pemuda bernama Angkeran ini menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan.

   "Beberapa orang kedapatan tewas di ujung desa, Ki,"

   Lapor Angkeran.

   "Tewas? Apa maksudmu? Dan, siapa yang mati?"

   Tanya Ki Braja dengan kening berkerut.

   "Ki Tunggal dan Ki Rewong! Mereka adalah penebang kayu yang sering keluar masuk hutan,"

   Jelas Angkeran.

   "Maksudmu mereka mati tertimpa kayu?"

   "Bukan, Ki. Tubuh mereka remuk seperti dipatahkan sesuatu...."

   "Bicara yang benar, Angkeran. Hanya untuk itukah kau datang ke sini dengan tergopoh-gopoh?"

   "Sebagian penduduk yang melihat kejadian itu mengatakan, mereka mati dicekik makhluk mengerikan."

   "Makhluk? Makhluk apa?"

   Ki Braja kelihatan bingung mendengar penjelasan Angkeran.

   "Entahlah.... Tapi penduduk kita mulai resah, Ki. Agaknya kita harus secepatnya menenangkan mereka."

   "Baiklah, baiklah.... Kita berangkat sekarang!"

   Baru saja mereka akan melangkah, di depan halaman terlihat lima orang laki-laki penduduk desa ini melangkah tergopoh-gopoh pula. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.

   "Ki Braja! Gawat! Beberapa penduduk desa terbunuh...!"

   Lapor salah seorang yang bertubuh kurus begitu tiba di depan Ki Braja dan Angkeran.

   "Terbunuh? Siapa yang membunuh?!"

   Sentak Ki Braja kaget.

   "Hantu itu!"

   Sahut orang itu.

   "Hantu apa? Bicara yang benar, Paksa!"

   Sentak Ki Braja.

   "Makhluk iblis itu! Dia mengamuk dan banyak membunuh penduduk desa. Kita harus mencegahnya, Ki. Kalau tidak, semua penduduk akan binasa di tangannya!"

   Jelas laki-laki kurus yang dipanggil Paksa.

   "Di mana dia sekarang?!"

   Tanya Ki Braja mulai geram.

   "Di depan rumah Sentana. Sentana sendiri mati ketika berusaha membela ayahnya yang tengah dicekik iblis berlumpur,"

   Jelas Paksa lagi, yang mewakili kawan-kawannya.

   Ki Braja segera berbalik kembali ke dalam rumah.

   Dan beberapa saat kemudian dia telah keluar lagi dengan membawa sebilah pedang dalam genggaman.

   Mereka bergegas meninggalkan halaman rumah Ki Braja yang memang menjabat sebagai Kepala Desa Kandis yang terletak di sekitar kaki Gunung Perahu pula.

   *** Para penduduk Desa Kandis saat ini tengah kalang kabut menyelamatkan diri.

   Namun ada pula yang tengah berkumpul seperti merubungi sesuatu.

   Tampak di antara kerumunan berkelebat segala senjata tajam yang diiringi teriakan-teriakan geram mewarnai.

   Kadang ditingkahi geraman laksana seekor beruang yang disusul pekik kematian serta melayangnya beberapa sosok tubuh dengan tulang leher remuk.

   "Lariii...! Orang ini bukan manusia. Dia iblis! Kita tidak akan mampu melawannya!"

   Teriak seseorang. Beberapa orang ini kabur dari tempat itu. Namun tidak bagi yang lainnya. Kematian beberapa orang kawan mereka, tidak membuat nyali ciut. Mereka malah semakin mengamuk dengan hebat.

   "Jangan mundur! Serang terus! Dia telah membunuh banyak kawan-kawan kita! Bunuh makhluk berlumpur ini!"

   Teriak beberapa orang memberi semangat.

   Tapi percuma saja mereka berteriak-teriak.

   Sebab, mereka yang telah melarikan diri itu tidak kembali lagi.

   Orang-orang itu mungkin menyadari tak ada gunanya melawan.

   Makhluk yang dihadapi ganas dan tidak kenal ampun.

   "Graaakh...!"

   Krek! Tak! "Aaa...!"

   Korban kembali jatuh.

   Dua orang memekik panjang, lalu jatuh terkulai dengan leher remuk dan tulang dada patah.

   Kejadian ini membuat yang lainnya kecut.

   Pelan-pelan nyali mereka mulai ciut.

   Atau juga, mungkin mereka menyadari tak ada gunanya melawan.

   Sebab makhluk berwujud manusia yang sekujur tubuhnya berlapis lumpur itu tidak bergeming.

   Beberapa kali senjata tajam menghunjam, namun kulitnya tidak terluka sedikit pun.

   Dan sebelum ada korban lagi....

   "Mundur semua!"

   Mendadak terdengar bentakan nyaring.

   "Heh...?!"

   Orang-orang itu terkesiap. Dan seketika mereka menghentikan serangan. Sebagian segera memandang ke arah asal suara.

   "Ki Braja! Ah, syukurlah beliau cepat datang...,"

   Seru salah seorang penduduk Desa Kandis ini, seperti mengisyaratkan sebuah harapan begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian putih yang memang Ki Braja.

   Bukan tanpa alasan, mereka sedikit terhibur oleh kedatangan kepala desa itu.

   Semua penduduk di desa ini tahu kalau Ki Braja bukan sekadar kepala desa.

   Tapi juga tokoh persilatan tingkat atas.

   Orang-orang yang seusia dengannya sering bercerita, sebelum Ki Braja terpilih menjadi kepala desa, beliau adalah seorang pendekar digdaya.

   Sementara itu Ki Braja berjalan tenang, melewati orang-orang yang memberi jalan padanya.

   Matanya memandang tajam pada pengacau yang telah banyak membantai warga desanya.

   Sedangkan makhluk berwujud manusia yang tubuhnya dipenuhi lumpur kering coklat kemerahan itu memandang tak kalah tajam.

   Bahkan sinar matanya seperti memiliki perbawa menggetarkan.

   Sampai-sampai Ki Braja bergidik ngeri saat pandangannya beradu.

   "Siapa kau? Dan kenapa kau berbuat keributan di tempatku ini?"

   Tegur Ki Braja, mencoba dengan cara halus.

   "Graaagkh...!"

   Tidak ada jawaban. Makhluk itu malah menggeram, lalu seketika dia melompat menerkam.

   "Uts. Kau memang sengaja cari penyakit!"

   Rutuk orang tua itu, langsung saja mencabut pedang. Begitu makhluk ini berada dalam jangkauan, Ki Braja cepat mengayunkan pedangnya ke pinggang. Tak! "Heh?"

   Ki Braja tersentak, ketika senjatanya seperti menebas besi baja.

   Bahkan sampai terlepas dari tangan.

   Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, makhluk itu telah kembali bergerak dengan kecepatan luar biasa dengan tangan mengibas.

   Tak ada waktu lagi bagi Ki Braja untuk menghindari.

   Mau tak mau, dipapaknya kibasan tangan itu.

   Klak! "Aaakh!"

   Ki Braja memekik kesakitan, begitu terjadi benturan. Tubuhnya cepat melompat sambil memegangi tangan kiri yang patah tulangnya akibat beradu dengan tangan makhluk itu.

   "Keparat!"

   Desis orang tua itu dengan mulut meringis menahan sakit. Tapi makhluk itu tidak mempedulikannya. Dia kembali melompat menerkam.

   "Uhhh...!"

   Ki Braja berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke samping. Memang terkaman makhluk itu luput. Tapi tidak disangka-sangka, sebelah kakinya sempat mengait kaki Ki Braja. Krak! "Aaakh...!"

   Kedua tulang kering pada kaki laki-laki tua ini remuk dihajar makhluk itu. Tubuhnya kontan terjerembab di sertai pekik kesakitan. Namun Ki Braja cepat bergulingan untuk menghindari serangan makhluk itu yang berikut.

   "Graaagkh...!"

   "Celaka! Ki Braja dalam bahaya. Kita harus membantunya!"

   Seru Angkeran, pemuda yang tadi menyertai kepala desa itu datang ke sini.

   "Siapa yang bisa mencegah makhluk itu? Ki Braja saja tidak mampu. Apalagi kita!"

   Sahut Paksa, yang juga menyertai Ki Braja.

   "Ya! Lebih baik kita kabur selagi bisa!"

   Timpal yang lain.

   Dan apa yang para penduduk ini katakan memang bukan main-main.

   Satu persatu mereka buru-buru meninggalkan tempat ini.

   Mereka pulang ke rumah masing-masing dan segera berkemas dan mengajak keluarganya mengungsi.

   Sementara itu Angkeran beserta beberapa penduduk yang masih setia kepada Ki Braja mencoba menghalangi makhluk itu.

   "Graaagkh!"

   Tak! Praaak! "Aaa...!"

   Percuma saja. Sekali saja makhluk itu mengibaskan tangan, maka mereka terpental dengan kepala remuk dan leher patah. Termasuk Angkeran. Dan memang makhluk itu menerkam Ki Braja hingga masuk dalam pelukannya. Kraaah! "Aaa...!"

   Sesaat terdengar jeritan panjang, lalu sepi. Tubuh orang tua ini telah terkulai lesu seperti tidak bertulang dalam rangkulan makhluk itu.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk itu meraung dahsyat ketika melihat orang-orang yang tadi mengerumuninya telah kabur satu persatu dari tempat ini. Seketika yang menjadi sasaran adalah rumah-rumah yang berada di dekatnya.

   "Graaagkh...!"

   Bruaaak! *** "Keparat terkutuk! Apa dosa mereka hingga kau membantai begitu rupa?!"

   Terdengar bentakan nyaring ketika makhluk berlumpur itu hendak meninggalkan Desa Kandis yang telah dihancurkannya rata dengan tanah.

   Makhluk berlumpur ini menghentikan langkahnya.

   Perlahan-lahan dia berbalik, dan langsung menatap tajam pada dua orang yang tahu-tahu telah berada di depannya.

   "Iblis keparat! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Kenapa kau mengganggu mereka? Kembalilah ke tempat asalmu sana!"

   Kembali salah seorang membentak.

   Kedua laki-laki yang baru datang ini memiliki usia sekitar dua puluh delapan dan tiga puluh tahun.

   Melihat gerak-gerik serta senjata yang dibawa, jelas kalau keduanya bukan orang sembarangan.

   Bahkan mereka pun agaknya bukan penduduk desa ini.

   Karena tak seorang pun dari penduduk desa ini menyelamatkan diri, tak peduli dengan keselamatan kedua orang ini.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk yang lebih tepat sebagai Manusia Lumpur itu menjawab dengan raung kemarahan. Seketika dia melompat menerjang salah seorang di depannya.

   "Kakang Bayu, awaaas...!"

   Teriak laki-laki yang lebih muda memperingatkan.

   "Ups!"

   Laki-laki yang dipanggil Bayu mencoba melompat ke atas.

   Sementara yang lebih muda coba mencelat untuk membantu Bayu dengan mengirim tendangan ke punggung.

   Buk! Telapak kaki pemuda itu seperti menghantam batu karang yang keras bukan main.

   Dan baru saja bersentuhan, secepat itu pula pergelangan kakinya tertangkap makhluk itu.

   Tap! Belum sempat pemuda itu berbuat apa-apa, kakinya telah ditarik.

   Dia berusaha berontak, tapi terlambat.

   Mendadak saja Manusia Lumpur itu membanting tubuhnya, hingga membentur batu.

   Praaak! "Aaa...!"

   Pemuda itu memekik keras. Kepalanya remuk berlumuran darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga.

   "Katili...!"

   Bayu tersentak kaget. Langsung diburunya mayat kawannya yang ternyata bernama Katili.

   "Graaagkh...!"

   Tapi Manusia Lumpur seperti tidak memberi kesempatan. Sambil menggeram buas, dia melompat menerjang Bayu.

   "Heh?! Uts!"

   Bayu terkesiap. Tanpa menoleh dia melompat ke samping, lalu terus bergulingan menghindari terjangan. Bruak! "Groaaagkh...!"

   Tendangan yang dilancarkan Manusia Lumpur keras bukan main.

   Terbukti permukaan tanah tempat tadi Bayu berada kontan amblas menimbulkan lubang sedalam lebih kurang tiga jengkal.

   Tapi begitu melihat sasarannya menghindar, kemarahan makhluk itu semakin menjadi-jadi.

   Dan secepat kilat dia berbalik, lalu kembali menyerang.

   "Gila!"

   Desis Bayu geram seraya mencabut pedang. Sring! "Heup!"

   Laki-laki ini bersiaga menyambut serangan dengan jantung berdegup semakin kencang.

   Sepasang matanya tajam mengawasi.

   Lawan yang dihadapinya kali ini luar biasa hebat.

   Sebab selama ini dia belum pernah berhadapan dengan lawan sedahsyat dan seliar yang satu ini.

   Tenaga dan kecepatannya sama sekali tidak mampu diimbangi.

   "Hiyaaat!"

   Bayu segera mengayunkan pedangnya secepat kilat, dan langsung menyambar dada Manusia Lumpur. Namun dengan gerakan yang lebih cepat, tangan makhluk itu bergerak menangkis. Tak! "Heh?!"

   Kembali Bayu dibuat kaget, karena pedangnya bagai menghantam benda keras bukan main! Dan lebih kaget lagi ketika pedangnya telah patah menjadi dua bagian! Belum lagi habis rasa kagetnya, satu tendangan keras menghantam dada Bayu.

   Begkh! Kraaak! "Aaa...!"

   Pemuda itu memekik keras begitu tendangan barusan telah mendarat di dadanya. Tulang dadanya kontan patah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya terbanting keras. Untuk sesaat dia meregang nyawa, lalu... tewas! "Graaagkh...!"

   Manusia Lumpur menggeram sambil memandang ke sekeliling, menyapu mayat-mayat yang tergeletak kaku.

   Seperti dia hendak meyakinkan kalau mereka tidak akan mengancamnya lagi.

   Desa ini sudah sepi, seperti mati.

   Dengan langkah gusar, Manusia Lumpur mulai bergerak menyusuri jalan utama desa ini.

   Sebentar-sebentar dia menggeram.

   Lalu dirobohkannya beberapa buah rumah yang berada di dekatnya untuk melampiaskan kemarahan.

   *** Sebenarnya, kabar tentang mengganasnya Manusia Lumpur telah tersebar ke mana-mana.

   Namun entah kenapa, kabar itu tak mengusik dua insan yang tengah memadu cinta kasih di pinggiran Telaga Bidadari.

   Tepatnya, di gerumbulan semak-semak.

   Keadaan di sekitar tempat ini memang indah.

   Pepohonan lebat tumbuh di sekitarnya, memayungi dari sengatan matahari.

   Di beberapa bagian terlihat semak-semak yang di sekitarnya menghampar rumput tebal.

   Sehingga bila terlihat dari jauh, seperti hamparan permadani hijau saja.

   Sementara Telaga Bidadari itu sendiri berair cukup bening.

   Permukaannya membiaskan sinar matahari, hingga bagaikan butiran-butiran permata berkilau.

   "Aouw! Kakang Pratama! Apa-apaan kau ini?!"

   Terdengar suara nyaring dari mulut seorang gadis di balik semak-semak.

   Tak lama, berdiri seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tersenyum-senyum kecil seperti tidak merasa bersalah.

   Di depan pemuda itu, duduk seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah bersungut-sungut kesal.

   Dibetulkannya letak pakaiannya yang mulai acak-acakan.

   "Kenapa, Lestari? Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Apa bedanya sekarang atau nanti?"

   Bujuk pemuda bernama Pratama. Gadis bernama Lestari memandang tajam pada pemuda yang memang kekasihnya.

   "Begitukah menurutmu, Kakang Pratama? Kau sia-siakan kepercayaan ayahku dengan membawaku ke sini? Kurasa Ayah pun tidak menginginkan hal ini. Bahkan beliau bisa marah bila melihat kelakuanmu tadi!"

   Cibir Lestari, kesal.

   "Jadi alasanmu hanya karena takut ayahmu marah?"

   Tanya Pratama.

   "Tidak! Karena aku memang tidak menginginkannya!"

   Sahut Lestari tegas, seraya bangkit berdiri.

   "Kau calon istriku, Lestari! Dan perkawinan kita sudah ditentukan. Hal apa lagi yang membuatmu khawatir?"

   "Memang benar apa yang Kakang katakan. Tapi nasib manusia di tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Kakang pendek umur, lalu akan kuletakkan di mana wajahku yang menanggung aib. Bukan hanya aku yang menanggung derita. Tapi seluruh keluargaku akan tercemar. Itu perbuatan yang amat memalukan!"

   Sergah gadis itu, tegas.

   "Hm.... Memang begitu yang kau pikirkan. Kau memang mendoakan aku cepat mati, bukan?"

   Tukas Pratama, agak tersinggung.

   "Kakang! Kenapa kau pikir begitu?!"

   Sentak Lestari, dengan suara tinggi. Bola matanya memandang tajam kepada pemuda di depannya.

   "Kau memang tidak mencintaiku...,"

   Desah Pratama dengan suara yang lebih tajam. Pandangannya langsung dibuang ke arah lain.

   "Itu tidak benar! Kau salah mengerti, Kakang...!"

   "Kenapa tidak? Bukankah kita saling mencintai? Kau tahu, siapa aku. Dan tahu pula kalau aku adalah calon suamimu. Tapi kau masih juga menaruh curiga!"

   Kata Pratama tanpa menoleh. Lestari melangkah ke depan Pratama. Ditatapnya pemuda itu tajam-tajam.

   "Kakang, cobalah mengerti. Itu masih belum pantas kita lakukan. Kenapa Kakang tidak mau bersabar. Toh, hal itu tidak akan lama lagi? Ayolah, Kakang Pratama! Aku berharap Kakang bisa mengerti,"

   Pinta gadis ini. Pemuda itu diam membisu. Kembali dia berbalik, mengarahkan pandangan ke tempat lain.

   "Kakang...."

   Lestari menghampiri. Dibelainya punggung pemuda itu lalu pipinya disandarkan ke bahu Pratama sambil memeluk dari belakang. Pemuda itu berontak perlahan-lahan.

   "Sebaiknya kita pulang...,"

   Ajak Pratama singkat.

   "Kakang! Kau marah padaku...?"

   Tanya Lestari dengan wajah termangu. Pratama tidak menjawab. Kakinya malah melangkah, meninggalkan gadis itu.

   "Kakang...!"

   Teriak Lestari, halus. Lestari segera mengejar, langsung menjajari langkah Pratama.

   "Bicaralah, Kakang! Apakah hanya karena aku tidak memberi yang satu itu, lalu kau marah dan menganggapku tidak mencintaimu?! Apakah calon suamiku akan sepicik itu? Ayo, Kakang! Bicaralah! Agar aku tahu apa yang kau pikirkan saat ini?!"

   Kejar Lestari. Pratama menghentikan langkah lalu menarik napas panjang. Kepalanya menoleh, memandang gadis itu sekilas.

   "Sudahlah.... Tidak usah membicarakan hal itu lagi...,"

   Desah Pratama lemah.

   "Kakang marah padaku?"

   Pemuda itu menggeleng.

   "Lalu kenapa sikapmu tiba-tiba berubah?"

   Pratama kembali menarik napas beberapa kali untuk menenangkan hatinya.

   "Baiklah.... Aku mungkin salah. Nah, lupakanlah kejadian tadi. Mari kita pulang,"

   Ujar pemuda tampan ini.

   "Sungguh, Kakang bisa mengerti?!"

   Desak Lestari, masih belum puas.

   "Tari, sudahlah."

   "Tidak! Aku ingin dengar jawaban langsung dari mulutmu, Kakang. Katakanlah! Apakah kau memang bisa mengerti atau karena terpaksa?"

   Desak Lestari.

   "Baiklah.... Aku mengerti dan sadar bahwa hal itu tak pantas,"

   Kata Pratama.

   "Sungguh?!"

   Cecar Lestari.

   "Lestari, sudahlah. Ayo, kita pulang,"

   Ujar Pratama sambil tersenyum manis.

   "Baiklah, Kakang. Aku senang sekali mendengarnya,"

   Kata gadis ini dengan wajah cerah.

   "Kau tahu? Nanti setelah kita menikah, aku akan menjadi istri yang baik dan aku akan mengabdi sepenuhnya padamu!"

   Pratama kembali tersenyum. Dipandanginya gadis itu sesaat. Kemudian sebelah tangannya dilingkarkan di leher Lestari. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Perlahan wajah keduanya seperti hendak bersatu. Namun sebelum terjadi, mendadak....

   "Kraaagkh...!"

   "Heh?!" *** "Astaga! Apa ini?!"

   Sentak Lestari dengan wajah ngeri, langsung bersembunyi di belakang Pratama.

   Di depan mereka, pada jarak sepuluh langkah berdiri sesosok tubuh kurus dengan seluruh tubuh dipenuhi lumpur coklat kemerahan! Keadaannya seperti manusia layaknya.

   Namun tatapan matanya tajam seperti hendak mengiris-iris jantung.

   Dan seringainya buas, laksana serigala kelaparan.

   Yang lebih membuat mereka tidak habis pikir, makhluk ini menggeram seperti layaknya hewan liar! "Apa maumu pada kami?!"

   Bentak Pratama, mendengus geram.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk itu menggeram. Dan tahu-tahu dia melompat gesit menerkam.

   "Awas, Tari...!"

   Teriak Pratama memperingatkan seraya mendorong tubuh kekasihnya. Sementara dia sendiri melompat ke arah lain.

   "Ups!"

   "Groaaagkh...!"

   Melihat kedua calon korbannya bisa meloloskan diri, makhluk itu yang tak lain Manusia Lumpur kelihatan marah dan semakin kalap. Kembali dia menerkam. Dan kali ini sasarannya adalah Pratama.

   "Bedebah! Tidak tahukah kau, siapa aku?! Aku Pratama, putra Ki Bagus Wesi, Ketua Perguruan Tangan Besi. Semua orang tahu, siapa ayahku! Meski setan sekalipun, jangan coba main-main kepadanya!"

   Gertak Pratama. Manusia Lumpur terdiam. Suara erangannya pun kini terdengar halus. Sepertinya dia berusaha untuk mengerti, apa yang dikatakan pemuda itu.

   "Bagus! Ternyata kau tahu diri juga. Nah! Pergilah dari sini, sebelum aku marah dan membunuhmu!"

   Lanjut Pratama seraya berkacak pinggang dengan tangan kiri.

   Sementara tangan kanannya menuding makhluk itu.

   Sikap pemuda ini tampak sombong sekali, seperti seorang majikan memberi perintah pada budaknya.

   Entah apa yang dipikirkan makhluk itu.

   Tapi yang jelas Manusia Lumpur bukannya menurut.

   Bahkan....

   "Graaagkh...!"

   Disertai geraman marah, Manusia Lumpur langsung menerkam Pratama.

   "Uts! Sial!"

   Pemuda itu melompat gesit ke samping. Namun karena terlalu meremehkan, meski mampu menghindar dari serangan, tak urung kakinya kena kait kaki Manusia Lumpur. Tak! "Uhhh...!"

   Pratama melenguh tertahan ketika tubuhnya terjerembab keras. Kedua tangannya langsung memegangi pergelangan kakinya yang terasa sakit bukan main.

   "Kakang, kau tidak apa-apa?!"

   Teriak Lestari dengan wajah cemas.

   "Lestari, cepat pergi dari sini! Makhluk ini bukan tandingan kita. Ayo, pergi! Selamatkan dirimu!"

   Teriak Pratama.

   Sementara makhluk itu siap kembali menyerang Pratama.

   Padahal pada saat yang bersamaan, Lestari pun bersiap akan menghantam makhluk itu.

   Lestari sebenarnya adalah putri seorang tokoh silat yang cukup berpengaruh di kalangan persilatan.

   Tapi Pratama tahu kalau kepandaian gadis itu masih setingkat di bawahnya.

   Dan kalau dia saja dibuat jatuh bangun oleh makhluk ini, apalagi Lestari? Maka sebelum gadis itu berbuat sesuatu, Pratama cepat bangkit.

   Dihampirinya gadis itu.

   Segera didorongnya Lestari agar menjauh dari makhluk itu.

   "Pergi! Tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat pergi kataku!"

   Bentak pemuda itu. Baru saja Pratama selesai berteriak....

   "Kakang, awaaas...!"

   Teriakan Lestari terlambat, karena satu tendangan Manusia Lumpur telah meluncur begitu dekat. Dan.... Duk! Krek! "Aaakh...!"

   Pratama memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan bagian muka mencium tanah. Tulang punggungnya terdengar berderak patah.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk itu menggeram buas, mengalahkan teriakan Lestari yang bergegas memburu kekasihnya.

   "Lestari, awaaas...!"

   Pratama masih sempat memperingatkan kekasihnya sambil menggapai-gapaikan tangan. Namun peringatan itu sia-sia. Tepat ketika Manusia Lumpur mengibaskan tangan, Lestari tiba dekat Dan.... Begkh! "Aaakh...!"

   Lestari menjerit, ketika tiba-tiba sesuatu menghantam perutnya. Tubuh gadis itu terpental ke belakang. Tepat ketika Lestari mencium tanah, kaki Manusia Lumpur telah menginjak dada Pratama. Jreekk! "Aaa...!"

   Disertai jeritan, dari mulut pemuda itu muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot lebar. Napasnya putus saat itu juga, karena dadanya langsung hancur sampai tulang-tulangnya.

   "Kakaaang...!"

   Seru Lestari kaget. Meski menahan rasa sakit hebat, Lestari berusaha bangkit untuk melihat keadaan Pratama. Namun, makhluk itu agaknya tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya sudah langsung meluruk melepaskan tendangan kilat.

   "Graaagkh...!"

   Untung saja Lestari cepat bertindak.

   "Uts! Keparat! Akan kubunuh kau dengan pedangku!"

   Desis gadis itu sambil membuang diri ke samping. Dan begitu bangkit berdiri pedangnya langsung dicabut. Sriiing! "Yeaaa...!"

   Tanpa menunggu lama lagi, Lestari langsung melompat menyerang.

   "Mampus kau, Keparat!"

   Begitu cepat pedang itu berkelebat, mengarah leher Manusia Lumpur. Tak! "Heh?!"

   Lestari tersentak kaget. Pedangnya patah begitu menghantam leher yang kerasnya bukan main. Dan belum habis keterkejutannya makhluk lumpur telah mengibaskan sebelah tangan. Desss! "Aaakh...!"

   Gadis itu kontan menjerit kesakitan.

   Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh keras di tanah.

   Darah langsung termuntah dari mulutnya.

   Kepalanya berkunang-kunang.

   Pandangannya kabur lalu semakin gelap.

   Rasa sakit yang hebat, membuatnya tidak sadarkan diri.

   Lestari tergolek tak berdaya, sementara makhluk itu bersiap akan menghabisinya.

   *** "Kraaagkh...!"

   "Hei, makhluk apa itu?!"

   Manusia Lumpur menghentikan gerakannya, ketika mendadak terdengar suara keras dari belakangnya. Begitu menoleh, tampak beberapa orang laki-laki telah berada tak jauh dari tempat ini.

   "Astaga! Bukankah itu Lestari, Putri Ki Palaran,"

   Seru laki-laki yang berikat kepala merah.

   "Lihat! Ini tubuh Pratama. Napasnya sudah tak ada. Dia... dia sudah mati!"

   Desis seorang lagi, yang kebetulan berada dekat dengan mayat Pratama.

   Jumlah mereka tujuh orang.

   Dan masing-masing bersenjata sebilah pedang.

   Dan belum lagi mereka mulai menduga siapa yang menyebabkan kedua anak muda itu terkapar, mendadak makhluk itu telah berbalik dan langsung meluruk ke arah mereka.

   "Awaaas...!"

   Teriak laki-laki yang berikat kepala hijau.

   "Hup...!"

   Serentak mereka berlompatan menyelamatkan diri, seraya bergulingan. Dan secepat itu pula mereka bangkit berdiri mengurung makhluk itu dengan pedang terhunus.

   "Aku yakin, keparat ini yang menyebabkan kematian Pratama!"

   Kata laki-laki yang berambut panjang.

   "Ya! Aku bisa merasakan sambaran angin serangannya tadi. Dia memiliki tenaga hebat luar biasa,"

   Sahut yang lain.

   "Graaagkh...!"

   Makhluk itu menggeram dan kembali menyerang.

   "Uts!"

   Ketujuh orang itu kembali melompat menghindar dengan sigap.

   "Rawit! Dan kamu, Cakra! Pergilah kalian dari sini. Bawa tubuh Pratama dan Lestari. Katakan hal ini pada kedua orangtua mereka!"

   Teriak laki-laki yang berikat kepala merah.

   "Baik, Kakang Sanjaya,"

   Sahut laki-laki bernama Rawit dan Cakra hampir berbarengan.

   Namun untuk melaksanakan tugas itu ternyata tidak begitu mudah.

   Bagi Rawit untuk membawa tubuh Pratama yang telah menjadi mayat mungkin tidak ada masalah.

   Namun tugas Cakra agaknya tidak berjalan mulus.

   Entah kenapa, tiba-tiba saja Manusia Lumpur berbalik dan melompat.

   Lalu, kakinya mendarat di dekat tubuh Lestari sambil menggeram buas.

   "Graaagkh...!"

   "Rawit! Bawa tubuh Pratama lebih dulu! Biar nanti Cakra menyusulmu!"

   Teriak Sanjaya, laki-laki berikat kepala merah yang tadi memberi perintah.

   "Baiklah, Kang! Hati-hati...!"

   Setelah itu Rawit segera berkelebat dari tempat itu, sambil memondong mayat Pratama.

   Bersamaan dengan itu, yang lain segera menggunakan siasat untuk menjauhkan makhluk itu dari tubuh Lestari.

   Salah seorang melompat menyerang sambil membabatkan pedang.

   "Keparat busuk, mampus kau!"

   Tak! "Heh?!"

   Orang itu terkesiap. Pedangnya patah tatkala berbenturan dengan tulang leher makhluk itu. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak Manusia Lumpur mengibaskan sebelah tangan ke arah dada. Desss! "Aaa...!"

   Disertai pekik kesakitan, orang yang tadi menyerang kontan terpental ke belakang.

   Begitu jatuh dari mulutnya menyemburkan darah segar.

   Tubuhnya menggeliat sesaat, lalu diam tak berkutik.

   Napasnya putus dan nyawanya pun melayang! "Kurang ajar! Dia telah membunuh kawan kita!"

   Desis Sanjaya.

   Laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bernama Sanjaya, selain tertua di antara kawan-kawannya, juga bertindak sebagai pemimpin.

   Itu sebabnya, saat memberi perintah tadi, tak seorang pun yang berani membantah.

   Lima orang yang tersisa kini langsung menyerang bersamaan dengan tusukan maupun sabetan pedang.

   Terlihat kalau mereka menjadi murka penuh amarah.

   "Graaagkh...!"

   Tapi makhluk itu tidak peduli. Begitu mendapat serangan, saat itu juga kedua tangannya bergerak menyibak. Des! Begkh! "Aaakh...!"

   Dua orang kontan memekik nyaring dan terjungkal ke belakang, ketika pukulan Manusia Lumpur menghantam dada dan perut.

   Sia-sia saja mereka berusaha menebas, sebab hal itu tidak ada artinya.

   Pedang mereka tidak mampu melukainya! "Keparat! Aku bersumpah akan membunuhnya!"

   Desis Sanjaya geram. Mereka kini hanya bertiga menghadapi makhluk menggiriskan itu. Meski begitu, tidak sedikit pun terlihat kalau merasa gentar. Dengan bersemangat mereka kembali menyerang.

   "Heaaa...!"

   "Graaagkh...!"

   Tak! Tak! Pedang mereka menyambar tubuh Manusia Lumpur dari tiga arah. Namun tidak satu pun yang membawa hasil. Malah senjata itu patah jadi dua. Dan saat makhluk itu mengibaskan tangan.... Dess! Dess! "Aaakh...!"

   "Aaakh...!"

   Dua orang kembali memekik kesakitan. Tubuh mereka terjungkal ke belakang dengan tulang dada remuk. Begitu mencium tanah, nyawa keduanya melayang.

   "Setan!"

   Desis Sanjaya geram. Laki-laki berikat kepala merah ini masih untung bisa selamat dengan melompat ke samping. Lalu tubuhnya terus bergulingan, untuk menghindari serangan selanjutnya.

   "Graaagk...!"

   Manusia Lumpur menggeram dan kembali melompat menyerang.

   Kali ini Sanjaya tidak mau bertindak gegabah.

   Agaknya mulai disadari bahwa tidak ada gunanya balas menyerang.

   Sebab dari apa yang telah dilihatnya, senjatanya tidak berarti sama sekali.

   Bahkan pada jarak dekat, gerakan makhluk itu sulit diimbangi.

   Itulah sebabnya, kawan-kawannya tadi tewas.

   Mereka terlalu ceroboh berada dekat-dekat Manusia Lumpur ini.

   "Graaagkh...!"

   Kembali makhluk ini menyerang sambil mengibaskan tangannya.

   "Uts, gila!"

   Dengan gerakan gesit, Sanjaya melompat ke samping, sehingga serangan itu luput.

   Dan baru saja Sanjaya lepas dari maut, Manusia Lumpur kembali menyerang ganas.

   Kembali laki-laki ini melompat ke samping, seraya bergulingan.

   Jdeeer...! Akibatnya batu besar yang tadi berada di belakang Sanjaya, hancur lebur terkena hantaman makhluk itu.

   Tidak bisa dibayangkannya, bagaimana jadinya jika pukulan tadi mengenai tubuhnya.

   *** Manusia Lumpur benar-benar tidak mau memberi kesempatan sedikit pun kepada Sanjaya.

   Begitu serangan pertama gagal, kembali tubuhnya mencelat mengejar.

   Sanjaya gelagapan.

   Dicobanya menghindar seraya mengayunkan pedang.

   Tak! Walaupun Sanjaya sudah bergerak menghindar, tak urung Manusia Lumpur sempat menghajar dadanya.

   Des! "Aaakh...!"

   Laki-laki itu kontan memekik.

   Tubuhnya terjungkal beberapa tombak dari tempat semula.

   Pedangnya pun patah tatkala menyambar pinggang Manusia Lumpur yang sama sekali tidak berusaha menghindar karena tetap memusatkan perhatian untuk melayangkan kepalan tangannya.

   Sanjaya kelihatan kepayahan.

   Wajahnya meringis menahan sakit.

   Dan tubuhnya sulit untuk bangkit.

   Padahal saat yang sama, Manusia Lumpur bersiap menghabisinya.

   Laki-laki ini hanya mengeluh di hati.

   Dan dia hanya bisa pasrah dengan mata terpejam.

   Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghindari serangan Manusia Lumpur.

   "Graaagkh...!"

   Wuuut! Sedikit lagi kaki Manusia Lumpur menginjak, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih yang langsung menyambar tubuh Sanjaya. Der! "Groaaagkh...!"

   Permukaan tanah tempat Sanjaya tadi berbaring kontan hancur lebur diinjak makhluk itu.

   Manusia Lumpur cepat berbalik.

   Dan dia menggeram buas ketika menyadari seseorang telah mengacau urusannya.

   Di depan Manusia Lumpur kini berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih pada jarak sepuluh langkah di depannya.

   Pemuda yang menyandang pedang bergagang kepala burung di punggung itu baru saja menurunkan Sanjaya dari bopongan.

   "Graaagkh...!"

   Sementara itu Manusia Lumpur telah kembali melompat, menyerang pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

   "Uts! Sial!"

   Rutuk Rangga langsung melompat ke samping. Pendekar Rajawali Sakti sungguh tak menduga kalau makhluk yang tubuhnya penuh lumpur begitu mampu bergerak amat gesit. Sampai-sampai dia tadi terlambat menghindar.

   "Hati-hati, Kisanak! Dia bisa membunuhmu!"

   Teriak Sanjaya mengingatkan Rangga.

   "Terima kasih, Sobat!"

   Sahut Pendekar Rajawali Sakti. Baru saja kata-kata Rangga habis, Manusia Lumpur telah menerjang kembali.

   "Graaagkh...!"

   "Uts, gila!"

   Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting tinggi, kemudian berputaran di udara.

   Namun baru saja kaki menjejak tanah, serangan Manusia Lumpur telah datang lagi.

   Begitu cepat dan amat berbahaya.

   Dan sebelum Manusia Lumpur menerkam, Pendekar Rajawali Sakti telah mengegos ke samping.

   Lalu seketika dilepaskannya satu tendangan bertenaga dalam kuat ke perut.

   Duk! "Uhhh...! Makhluk apa ini sebenarnya?!"

   Sentak Rangga kaget.

   Tendangan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menggoyahkan Manusia Lumpur.

   Bahkan kakinya terasa linu.

   Sedangkan makhluk itu kelihatan makin marah saja, melihat Rangga mampu melepaskan serangan.

   Suara geramannya semakin keras.

   Dan wajahnya semakin menyeringai buas tatkala kembali menyerang.

   "Graaagkh...!"

   Wuuut! Seketika tubuh Manusia Lumpur berkelebat laksana tiupan angin kencang sambil mengayunkan kepalan tangan tepat ke jantung. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang menyadari kalau lawannya kali ini tidak bisa dianggap enteng, telah siap sedia.

   "Uts!"

   Begitu kepalan tangan Manusia Lumpur meluncur, Rangga berkelit sedikit ke samping sambil membungkuk. Sementara tangan kirinya yang berisi tenaga dalam coba menangkis. Sedangkan kepalan tangan kanannya langsung menghantam dada. Plak! Des! "Uhh...!"

   Tapi yang terjadi justru Rangga sendiri yang mengeluh tertahan.

   Kedua tangannya terasa linu.

   Padahal tenaga dalam yang dikerahkan sudah cukup tinggi.

   Namun tetap saja tangannya seperti terbentur batangan baja.

   Belum lagi habis rasa kaget Rangga, mendadak satu hantaman keras melanda tanpa mampu dihindari.

   Dan....

   Dess...! "Aaakh...!"

   Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh beberapa langkah.

   "Graaagkh...!"

   Belum juga Rangga bangkit, Manusia Lumpur telah kembali melompat dan bermaksud menghabisinya.

   Rangga mendengus geram.

   Sebelum makhluk itu menginjaknya dia cepat bergulingan.

   Dar! Agak tercekat juga Rangga melihat bekas tempatnya terbaring tadi telah berlubang cukup dalam.

   Begitu belah ada jarak, tepat di bawah sebuah pohon Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas.

   Dua kali dia berputaran, lalu kakinya menjejak dahan pohon dengan manis sekali.

   Sebentar Rangga menarik napas panjang.

   Mukanya berkerut dengan sebelah tangan mendekap perut.

   Namun belum lagi lega, mendadak....

   Jder! Kraaak! Satu hantaman keras membuat batang pohon tempat Rangga bertengger, hancur berantakan.

   Rangga cepat mencelat ke bawah, menjauh dari reruntuhan batang pohon itu.

   "Edan! Makhluk ini tidak bisa dianggap main-main."

   Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, saat itu juga Manusia Lumpur mencelat menerjangnya. Namun Rangga pun telah siap. Seketika kedua tangannya dihentakkan.

   "Aji "Bayu Bajra"! Heaaa...!"

   Wesss.... *** Dari telapak tangan Rangga langsung tercipta tiupan angin kencang dahsyat, menghantam Manusia Lumpur. Tubuh makhluk itu sempat terdorong ke belakang sejauh beberapa langkah akibat aji "Bayu Bajra"

   Yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Namun setelah itu sama sekali tidak berarti.

   "Gila!"

   Sentak Rangga, seraya menutup ajiannya.

   Rangga nyaris tidak percaya kalau saja tidak melihatnya langsung.

   Bagaimana mungkin ajiannya yang mampu menerbangkan dua ekor gajah sekalipun, tidak mampu menerbangkan makhluk itu? Terbuat dari apa tubuhnya itu? "Graaagkh...!"

   Tidak ada waktu bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk berpikir lama. Makhluk itu kelihatan semakin geram. Raungan suaranya yang keras dan nyaring menandakan amarahnya telah meluap-luap.

   "Kisanak! Lebih baik tinggalkan makhluk itu! Dia akan membunuhmu!"

   Teriak Sanjaya.

   "Hei?! Kau belum pergi juga? Pergilah. Ayo, cepat pergi! Jangan sampai dia menyerangmu pula!"

   Sentak Rangga, melihat Sanjaya belum pergi juga dari tempat ini.

   Sanjaya jadi serba salah.

   Walaupun keadaannya terluka dalam, dia bisa pergi dari tempat ini.

   Namun hatinya tidak tega meninggalkan penolongnya seorang diri yang terancam bahaya.

   Apalagi makhluk itu bukan lawan sembarangan.

   Sanjaya merasa harus membalas budi pemuda itu.

   "Graaagkh...!"

   Sementara itu, Manusia Lumpur telah kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Raungan yang terdengar lebih garang, penuh amarah. Dan Rangga telah siap menyambutnya dengan mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian "Jurus Rajawali Sakti"

   Pada tingkat yang terakhir. Dan berarti tenaga dalamnya juga telah dikerahkan penuh.

   "Heaaah...!"

   Rangga langsung meluruk dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega".

   Dan begitu sampai pada jarak yang diinginkan, tiba-tiba tangannya menghentak dengan pengerahan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali".

   Slaps...! Seketika selarik cahaya merah melesat kencang dari telapak tangan Rangga laksana sambaran kilat menerpa tubuh makhluk yang tengah menerjang.

   Jderrr...! "Aaagkh...!"

   Manusia Lumpur menjerit kesakitan.

   Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang kira-kira beberapa langkah.

   Namun sungguh ajaib! Dengan cepat makhluk itu bangkit berdiri.

   Ternyata pukulan yang mampu menghancurkan batu sebesar kerbau itu tidak melukainya sedikit pun.

   Hanya tersisa sedikit asap putih yang mengepul, lalu hilang beberapa saat kemudian.

   "Gila!"

   Desis Rangga tidak habis pikir. Namun Rangga tidak punya waktu lama. Dengan amarah yang semakin hebat, Manusia Lumpur kembali melompat menerjang.

   "Graaagkh...!"

   Merasa tak ada pilihan lain lagi, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan tangannya ke punggungnya.

   Lalu....

   Sring...! Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan.

   Langsung disongsongnya tubuh Manusia Lumpur yang telah mencelat menerjangnya.

   "Aaargkh...!"

   Untuk sekilas makhluk itu seperti terkejut. Tapi selanjutnya dia menggeram buas. Cras! Cras! "Aaargkh...!"

   Pedang Pendekar Rajawali Sakti berhasil menebas leher dan pinggang Manusia Lumpur secepat kilat.

   Kembali makhluk ini menggerung keras, seperti merasakan sakit yang hebat.

   Kulit tubuhnya sedikit terluka, namun tidak mengeluarkan darah setetes pun.

   Wuuuss! Manusia Lumpur melompat ke belakang sejauh lima langkah.

   Kedua tangannya mengusap leher dan pinggang.

   Dan bersamaan dengan itu, terlihat cahaya merah kekuningan menyelubungi tubuhnya.

   Hanya beberapa saat, cahaya itu hilang.

   Dan kini, lukanya pun sirna.

   "Hm.... Makhluk apa ini sebenarnya? Dari mana asalnya dia?"

   Desis Rangga dengan wajah bingung.

   Tidak seperti tadi, kini Manusia Lumpur tidak lagi menyerang.

   Dia berdiri tegak memandang Rangga, kemudian perlahan-lahan berbalik.

   Dan segera ditinggalkannya tempat ini seperti tidak ada kejadian apa-apa.

   Sementara Rangga sendiri tidak berusaha mengejar.

   Kakinya melangkah menghampiri Sanjaya yang masih terduduk lemah.

   "Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja?!"

   Seru Sanjaya tidak habis pikir. Matanya terus menatapi arah kepergian Manusia Lumpur yang terus menghilang.

   "Entahlah. Aku juga tidak mengerti,"

   Desah Rangga sambil menyarungkan pedangnya. Seketika sinar biru berkilauan dari pedangnya lenyap, tertutup warangka.

   "Siapa sebenarnya dia? Manusia atau makhluk jadi-jadian?"

   Rangga tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju ke arah sama dengan Sanjaya.

   "Kenapa dia pergi tiba-tiba? Padahal dia bisa membunuh kita berdua...?"

   Tanya Sanjaya lagi, langsung menatap Rangga.

   "Entahlah, aku tidak tahu...,"

   Sahut Rangga, kalem balas menatap Sanjaya.

   "Maaf, Kisanak. Kalau boleh, aku ingin memeriksa lukamu."

   "Silakan...,"

   Sahut Sanjaya. Rangga segera berjongkok seraya mengulurkan tangannya memeriksa tubuh Sanjaya. Lalu dia mendecah kecil sambil menggeleng lemah.

   "Lukamu cukup parah, Sobat..,"

   Desah Rangga.

   "Jangan khawatirkan aku. Tapi coba tolong periksa gadis itu. Apakah dia masih selamat?"

   Ujar Sanjaya seraya menunjuk tubuh Lestari yang masih tergolek tidak jauh dari mereka. Rangga menoleh ke arah Lestari. Segera dia bangkit, dan menghampiri tubuh gadis itu.

   "Apakah dia masih hidup, Kisanak?"

   Tanya Sanjaya. Rangga mengangguk tanpa menoleh.

   "Nadinya cukup lemah. Dia menderita luka dalam yang cukup parah. Beberapa tulang rusuknya patah. Gadis ini harus segera mendapat pertolongan. Kalau tidak...."

   "Dia akan mati?"

   Potong Sanjaya.

   "Bisa jadi,"

   Sahut Rangga lemah. Sanjaya mendesah kecil.

   "Apa yang bisa kulakukan dalam keadaan begini...?"

   Keluh Sanjaya lemah.

   "Aku juga dalam keadaan luka dalam...."

   "Ya, aku mengerti,"

   Rangga mengangguk lemah.

   "Tapi akan kubuatkan tandu untuk kalian."

   Rangga kembali berdiri. Namun sebelum beranjak, muncul beberapa orang mendekati mereka, lalu disusul lebih dari lima belas orang lagi di belakangnya.

   "Kurasa tidak perlu, Kisanak,"

   Kata Sanjaya tersenyum kecil.

   "Kau kenal mereka?"

   "Ya! Mereka kawan-kawanku."

   "Hm.... Kalau begitu telah ada yang mengurus kalian. Aku pergi dulu!"

   Tanpa menunggu jawaban Sanjaya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat pergi dari tempat ini.

   "Hei, tunggu dulu!"

   Cegah Sanjaya. Teriakan Sanjaya percuma saja. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Dan tahu-tahu tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangan.

   "Siapa makhluk itu, Sanjaya? Berani benar dia berurusan dengan Bagus Wesi?!"

   Suara penuh getaran itu keluar dari mulut seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya tampak memendam duka yang teramat dalam. Bahkan lebih seram dari biasanya.

   "Aku sungguh tidak tahu, Guru,"

   Sahut laki-laki yang tak lain memang Sanjaya.

   "Hm...."

   Laki-laki tua yang dalam rimba persilatan dikenal sebagai Bagus Wesi ini bergumam. Pandangannya lurus ke depan, namun bagai tanpa makna. Sementara sepuluh orang muridnya yang berada di ruangan ini diam membisu.

   "Aku belum pernah mempunyai musuh dengan ciri-ciri seperti yang kau jelaskan tadi,"

   Lanjut Ki Bagus Wesi.

   "Guru.... Apakah barangkali ada orang-orang yang tidak menyukai hubungan mereka?"

   Duga seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dengan suara pelan.

   "Apa maksudmu, Somba?"

   Ki Bagus Wesi malah bertanya.

   "Pratama dan Lestari. Banyak yang tidak menyukai perkawinan mereka. Bahkan berusaha menggagalkannya. Bukankah sebelum kita, telah banyak yang ingin melamar putri Ki Layang Seta itu? Namun lamaran itu ditolaknya, dan malah menerima lamaran kita,"

   Papar pemuda bernama Somba.

   "Siapa menurutmu yang paling tidak senang jika Pratama dan Lestari jadi kawin?"

   Tanya laki-laki tua yang memang ayahnya Pratama, pemuda yang tewas di tangan Manusia Lumpur.

   Dan Ki Bagus Wesi sebenarnya adalah Ketua Perguruan Tangan Besi.

   Sebuah perguruan yang telah banyak menelorkan pendekar digdaya.

   Memang sejak kematian Pratama, Ki Bagus Wesi yang dikenal tegas dan garang, jadi semakin seram saja kelihatannya.

   "Aku tidak bisa menduga dengan pasti. Tapi bisa kita lihat bahwa Ki Tawur kelihatan marah betul, tatkala mendengar bahwa Ki Layang Seta menerima lamaran kita. Orang itu seperti dikecilkan oleh kita, Guru,"

   Jelas Somba.

   "Ki Tawur tidak pernah menunjukkan sikap bermusuhan terhadapku. Dan selama ini, dia tidak pernah melakukannya dalam bentuk apa pun,"

   Sergah Ki Bagus Wesi tegas. Somba terdiam, tidak berani menimpali kata-kata gurunya.

   "Guru.... Aku pernah mendengar berita aneh belakangan ini,"

   Ujar salah seorang murid lain.

   "Berita apa itu, Karna?"

   Tanya Ketua Perguruan Tangan Besi ini.

   "Dalam tiga hari belakangan ini, ada pembantaian besar di wilayah barat. Lebih dari seratus orang tewas dengan ciri-ciri sama, yaitu tulang-tulang mereka remuk seperti dibelit ular raksasa. Dan apa yang menimpa murid-murid yang lain, menunjukkan ciri-ciri sama,"

   Jelas murid yang dipanggil Kama.

   "Menurutmu, orang itu yang melakukannya?"

   Tanya Ki Bagus Wesi lagi.

   "Mungkin saja, Guru."

   "Apa alasannya membunuh kawan-kawanmu?"

   "Makhluk itu membunuh tanpa alasan, Guru. Dia hanya membunuh mereka yang berpapasan dengannya."

   Ki Bagus Wesi tercenung beberapa saat, mendengar penuturan muridnya itu.

   "Ciri-ciri yang tadi dijelaskan Kakang Sanjaya, agaknya persis seperti yang pernah kudengar,"

   Lanjut Kama lagi.

   "Orang ini sungguh gila. Dia memiliki ilmu kebal yang dahsyat bukan main. Tubuhnya keras bagai seonggok karang yang tidak tergoyahkan oleh apa pun,"

   Timpal Sanjaya.

   "Tapi, kenapa dia tidak menghabisi nyawa pemuda itu seperti yang dilakukannya pada orang lain?"

   Tanya salah satu murid lain. Semua orang memandang Sanjaya dengan seksama. Demikian pula Ki Bagus Wesi. Mereka agaknya penasaran dengan ceritanya pada bagian ini.

   "Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Dan kulihat pemuda itu pun seperti kebingungan,"

   Jawab Sanjaya.

   "Guru! Ada kemungkinan kalau pemuda itu tersangkut-paut dengannya?"

   Tanya Kama.

   "Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Mereka bertarung mati-matian. Dan tiba-tiba, makhluk itu menyudahinya begitu saja. Bukankah pada saat itu dia memainkan ilmu pedangnya, Sanjaya?"

   Tanya Ki Bagus Wesi.

   "Benar, Guru."


Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pao Kong Karya Yang Lu Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini