Misteri Hantu Berkabung 1
Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Bagian 1
.
123.
Misteri Hantu Berkabung Bag.
1 14.
September 2014 um 09.12 Pendekar Rajawali Sakti episode.
MISTERI HANTU BERKABUNG Oleh Teguh S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta Di Desa Lembuyung sepertinya tengah ada keramaian di salah satu rumah yang paling besar dan megah.
Pemilik rumah yang dikenal dengan Juragan Sentot memang sedang melangsungkan perkawinan putrinya yang bernama Diah Kawaning, dengan seorang pemuda berwajah tampan dan dari desa seberang.
Namanya, Jaka Pratama.
Wajah laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu tampak gembira dan selalu penuh tawa, setiap kali menyambut tamu-tamunya.
Tak heran, sebab Diah Kawaning adalah putri satu-satunya yang amat disayangi.
Itu pula barangkali kenapa pesta ini diadakan sangat meriah dengan mengundang tamu dari segala penjuru.
Bahkan terlihat beberapa orang pembesar kerajaan.
Kemudian dia juga mendatangkan kelompok kesenian yang akan memberi pertunjukan tari-tarian serta hiburan lain bagi para tamu.
"Silakan, Kisanak semua! Nikmati jamuannya...!"
"Ki Sentot! Kau sungguh beruntung memiliki menantu yang gagah dan tampan. Putra siapakah dia?"
Tanya salah seorang tamu.
"Hm.... Dia putra seorang juragan Desa Margakaya!"
"Ini baru cocok! Putri seorang juragan ternyata mendapat jodoh putra juragan pula!"
Timpal tamunya yang lain.
"Ha ha ha...! Mudah-mudahan Ki Sentot lekas-lekas dikarunia banyak cucu!"
Tambah yang lain.
"Besanmu yang mana?"
Tanya seorang tamu lagi, setengah berbisik ketika tuan rumah duduk di sebelahnya.
Laki-laki setengah baya itu memang baru dating.
Dia adalah salah seorang pembesar kerajaan yang selama ini sering berhubungan akrab dengan Juragan Sentot.
Juragan Sentot menunjuk dua orang suami-istri berusia setengah baya yang duduk tak begitu jauh di dekat kedua mempelai.
Pejabat kerajaan itu mengangguk-angguk.
"Hm... Kau beruntung, Sentot. Selamat!"
Ucap pembesar kerajaan itu sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. 'Terima kasih...,"
Desah Juragan Sentot, seraya menyambut uluran tangan itu.
Sementara tamu-tamu terus berdatangan ke pesta perkawinan, sehingga membuat suasana semakin semarak saja.
Juragan Sentot memang seorang yang terkenal dan banyak mempunyai kawan di segala pelosok.
Selain kaya, dia pun dikenal sebagai dermawan.
Banyak sudah rakyat di desa ini yang pernah ditolongnya.
Baik berupa harta, maupun dalam bentuk yang lainnya Sehingga tak heran kalau pada saat sedang melaksanakan keramaian seperti sekarang ini, banyak tamu yang menghadirinya.
Setelah semua tamu dirasakan telah berkumpul, Juragan Sentot naik ke atas sebuah mimbar yang agaknya telah disediakan untuk kepentingan ini.
"Para hadirin, aku sangat berterima kasih atas kedatangan kalian dalam memenuhi undanganku. Seperti diketahui, hari ini aku akan mengadakan hajat perkawinan putriku, yaitu Diah Kawaning dengan Jaka Pratama. Untuk itu, aku mohon doa restu dari para hadirin semoga perkawinan mereka berlangsung langgeng sampai akhir nanti...,"
Kata Juragan Sentot memberikan sambutan untuk tamu-tamunya. Para tamu menyambut dengan tepuk tangan. Juragan Sentot pun tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di hatinya. Mereka bersama-sama menyaksikan saat yang berbahagia bagi kedua mempelai itu.
"Hentikan semua ini!"
Mendadak terdengar suara nyaring di tengah-tengah suasana bahagia ini.
Semua orang berpaling, mencari sumber suara.
Ternyata, datangnya dari seorang gadis berambut panjang yang berdiri tegak di halaman dekat pintu pagar.
Sorot matanya tajam dan liar, ketika melangkah perlahan-lahan.
Orang-orang mulai bertanya-tanya dalam hati.
"Siapa gadis itu?"
Tapi, Juragan Sentot agaknya tak ingin pesta perkawinan putrinya ini dikacaukan. Maka segera diperintahkannya beberapa orang tukang pukul untuk mengamankan gadis itu.
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Aku ingin meludahi keparat itu! Dia telah menghancurkan hidupku! Dia telah merusak masa depanku! Pratama keparat! Binatang laknat, mana janjimu?! Mana janji sumpah setiamu padaku?! Setelah menodaiku dan berjanji akan mengawiniku, kemudian kau kabur! Dan kini, diam-diam melangsungkan perkawinanmu! He, Pratama! Mana janjimu?! Mana segala macam bujuk rayumu dahulu?!"
Teriak gadis itu berkali-kali sambil berusaha melepaskan diri.
"Nilam...!"
Pemuda bernama Jaka Pratama yang tengah bersanding di pelaminan, tak sadar mendesis dengan wajah terkejut.
Mukanya pucat dan tangannya gemetar.
Sorot matanya tak lepas memperhatikan gadis yang tengah ditarik-tarik beberapa lelaki bertubuh besar untuk keluar dari halaman ini.
"Kenapa, Kakang? Kau kenal gadis itu?"
Tanya Diah Kawaning heran, sambil memandang pemuda di sebelahnya dengan sorot mata curiga.
"Eh, tidak! Tidak! Mana mungkin aku mengenalnya. Dia hanya orang gila yang kesasar!"
Kilah Jaka Pratama cepat. 'Tapi, dia mengenal namamu?"
"Hm, ya.... Gadis itu memang berasal dari kampungku. Dia memang tak waras. Dan semua orang di sana mengetahuinya. Yang membuatku heran, bagaimana dia bisa tiba di sini?"
Diah Kawaning memandang suaminya dengan sorot mata masih curiga. Sementara Jaka Pratama jadi salah tingkah sendiri. Namun sebisa mungkin ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan diri agar Diah Kawaning tak mencurigainya.
"Adakah sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Kakang?"
"Hhh.... Kenapa aku harus menyembunyikan sesuatu dari istriku sendiri? Tidak. Tak ada! Memang sejak dulu gadis itu amat tergila-gila padaku. Namun, aku tak pernah menggubrisnya. Mana mungkin aku menyukai orang tak waras begitu,"
Sahut Jaka Pratama menegaskan.
Diah Kawaning diam membisu.
Para centeng yang tadi membawa gadis itu keluar, belum juga kembali.
Bisa dibayangkannya ketika gadis itu berontak sekuat tenaga.
Sorot matanya tajam dan berapi-api penuh dendam terhadap suaminya.
Centeng-centeng itu pasti membawanya jauh dari tempat ini.
Juragan Sentot berusaha menenteramkan keadaan, sehingga tak berapa lama suasana kembali seperti semula.
Mereka semua beranggapan kalau gadis itu adalah orang tak waras yang akan mengganggu jalannya pesta perkawinan.
Namun tak dipungkiri sebagian ada yang merasa curiga.
Kenapa gadis berotak miring itu mengenal Jaka Pratama, suaminya Diah Kawaning? Lalu, apa tadi yang dikatakannya? Jaka Pratama telah menodainya? Hm, betulkah itu? Wajar rasanya kalau mereka bertanya-tanya demikian.
Apalagi, sebagian besar tamu yang datang di tempat itu adalah kenalan Juragan Sentot.
Dan sebelum pesta ini berlangsung, tak seorang pun yang mengenal, siapa Jaka Pratama itu.
Juga, siapa orangtuanya.
Kalaupun ada yang mengenali, itu hanya kaum kerabat serta kawan-kawan dekat dari pihak pengantin lelaki belaka.
Namun, Juragan Sentot cukup bijaksana.
Setelah mendapat keterangan sekilas dari besannya, semuanya dijelaskan kepada tamu-tamu.
Sehingga, mereka kini mengerti sambil mengangguk-angguk kepala.
*** "Lepaskan aku! Lepaskaaaa..!"
Seorang gadis terus berteriak-teriak kalap di atas sebuah kereta kuda yang melaju mendekati hutan.
"Dasar sunting! Kau akan kami lepaskan, setelah jauh dari tempat ini!"
Bentak salah seorang laki-laki yang memegangi kedua tangannya ke belakang.
"Diam! Atau, kau mau kulempar dari atas kereta ini?!"
Bentak salah seorang yang berusaha mengikat kedua kaki gadis itu agar tak terus berontak.
"Heaaa. .!"
Kusir kereta itu menghela kudanya dengan kencang.
Kini mereka telah cukup jauh dari tempat kediaman Juragan Sentot.
Sementara, tiga kawannya tengah mengikat kedua tangan dan kaki gadis itu erat-erat.
Dan gadis itulah yang telah membuat onar di tempat hajatan Juragan Sentot.
Namanya, Nilam.
Entah, apa yang merasuki pikiran mereka.
Tapi mulanya, niat itu timbul dari salah seorang saja, yang bertubuh pendek dan bernama Sumtana.
Ketika sedang memegang tubuh Nilam erat-erat, nafsu iblisnya seketika timbul.
Apalagi begitu melihat kedua belah pahanya tersingkap.
Darahnya menggelegak seketika.
Dan ketika, niat jahatnya dibisikkan kepada kawan-kawannya.
Dan mereka setuju sekali! Maka ketika telah tiba di pinggir hutan, mereka segera berlompatan.
Dengan keganasan bagai serigala melihat domba, mereka mulai menerkam gadis malang yang tak berdaya itu.
Nilam berusaha berontak sekuat tenaga.
Namun sebagian segera menyumpal mulutnya.
Sebagian lagi mengikat erat-erat kedua tangan dan kakinya.
Kini mulailah pakaian Nilam yang dilucuh satu persatu.
Sambil menahan liur mereka merayapi tubuh mulus milik gadis yang kini terbujur tak berdaya, pingsan.
Dia memang tak kuat menahan derita.
Maka dengan leluasa, satu persatu anak buah Juragan Sentot itu menggilirnya, tanpa mendapat perlawanan dari Nilam.
Setelah orang terakhir puas melampiaskan nafsu bejatnya, mereka meninggalkan gadis itu begitu saja dalam keadaan terikat dan tak berdaya.
Sambil membenahi pakaian, mereka tertawa-tawa senang dan melangkah ringan ke arah kereta kuda yang tak jauh ditinggalkan.
"Bagaimana kalau gadis itu melapor dan menceritakan segala yang kita lakukan? Huh! Seharusnya kita bunuh saja dia. Habis perkara!"
Kata salah seorang tiba-tiba merasa khawatir.
"Aaah! Kau ini penakut sekali, Pugeng! Semua orang menganggapnya tak waras. Siapa yang percaya ceritanya? Baru saja dia menuduh suami Den Ayu Diah telah menodainya. Hm.... Kalau dia kembali dan menceritakan perbuatan kita, tentu semua orang akan semakin jelas menuduhnya tak waras. Siapa yang percaya pada ocehan orang tak waras?"
Kata Sumtana, sinis. Mendengar penjelasan yang masuk akal itu, mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum lebar.
"He! Tak kusangka otakmu encer juga!"
Puji seorang kawannya.
"Makanya, jangan hanya memandang tubuhnya yang kontet! Biar kecil tapi akalnya besar!"
Celetuk yang lain.
Sumtana terkekeh.
Hidungnya kembang-kempis dipuji-puji begitu! Dan mereka pun berlompatan naik ke kereta kuda.
Sebentar saja.
kereta kuda itu telah kembali menuju rumah Juragan Sentot.
Sepeninggal mereka, gadis itu masih terus terisak.
Hidupnya terasa hina dan kotor.
Dalam keadaan terikat begitu, dia pasrah dan tak berusaha lagi untuk berontak.
Malah dalam hatinya berkeinginan agar dirinya segera ditemukan oleh binatang buas yang akan mencabik-cabik tubuhnya.
Sehingga, dia tak perlu lagi menghadapi kenyataan yang amat berat oleh aib yang memalukan ini! *** Senja mulai menyapu pinggiran hutan ini.
Sementara Nilam masih tak bergeming.
Bola matanya kaku menatap kosong ke depan seperti tiada berkedip.
Mendadak kepalanya menoleh sekilas, ketika melihat seseorang mendekati tempat itu sambil menangis sesegukan.
Dia adalah seorang gadis berambut panjang.
Tubuhnya terbungkus kebaya hijau, dengan kain bagian bawah lusuh.
Mukanya kusut ditutupi sebelah telapak tangannya.
Tubuhnya langsung tersungkur di depan Nilam yang sedang terikat.
Barulah disadari kalau di tempat sepi ini, ada orang lain.
Bola mata gadis berambut panjang itu menatap seperti tak percaya.
Untuk sesaat tangisnya reda.
Dipandanginya gadis yang sedang terikat itu dengan seksama.
"Si..., siapakah kau...? Apa..., apakah kau kuntilanak penghuni hutan ini? Oh! Tangkaplah aku. Bunuhlah aku secepatnya...!"
Ratap gadis itu lirih, memohon dengan pandangan mengiba. Nilam yang sedang terikat diam tak menyahut. Bola matanya menatap kosong kepada gadis yang baru tiba itu.
"Kenapa kau diam saja? Ayo, bunuhlah aku cepat! Aku sudah bosan hidup di dunia ini. Tak ada gunanya lagi menghadapi segala aib yang memalukan dan tak kuat kutanggung Ayo, bunuhlah aku!"
Teriak gadis berambut panjang itu, seraya menarik-narik kaki Nilam.
Belum puas berbuat begitu, dia bangkit sambil menggocang-goncangkan tubuh Nilam.
Namun Nilam yang sedang terikat, tetap diam saja.
Lama kelamaan, barulah gadis berambut panjang itu menyadari keadaan.
Isak tangisnya terhenti, segera dipandanginya gadis yang sedang terikat itu.
"Kau bukan kuntilanak atau penunggu hutan ini Kedua tangan dan kakimu terikat. Dan..., dan pakaianmu penuh robekan begitu. Siapa kau sebenarnya?"
Tanya gadis berambut panjang itu lirih.
"Aku orang yang senasib denganmu...,"
Sahut Nilam.
"Senasib? Bagaimana kau tahu penderitaanku?"
Tanya gadis berambut panjang itu.
"Karena aku mengalami aib yang barangkali sama denganmu...."
Gadis berkebaya hijau itu diam sesaat sambil memandang Nilam di depannya dengan sorot mata iba. Perlahan-lahan dia bangkit. Segera dilepaskannya ikatan yang membelenggu tangan Nilam.
"Namaku, Indrawati. Maukah kau menjadi sahabatku...?"
Kata gadis yang mengaku bernama Indrawati. Sementara Nilam kini duduk sambil memandang gadis bernama Indrawati itu. Kemudian terlihat bibirnya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Namaku Nilam...,"
Kata Nilam singkat, memperkenalkan namanya. Entah bagaimana, keduanya seperti merasa telah akrab saja. Bagai dua orang kawan yang lama sudah tak bertemu. Mungkin karena merasa senasib sependeritaan.
"Apa rencanamu selanjutrtya, Nilam...?"
Tanya Indrawati.
"Entahlah. Mulanya, aku berpikiran sama sepertimu. Tapi apakah kita akan membiarkan begitu saja mereka yang telah mempermainkan, bahkan memberi kita aib? Mereka harus mendapat pembalasan setimpal atas perlakuan mereka terhadap kita!"
Dengus Nilam geram.
"Tapi, bagaimana kita melakukannya? Aku gadis lemah dan tak berdaya apa-apa...,"
Tanya Indrawati. Nilam belum sempat menjelaskan rencananya, ketika tiba-tiba dikejutkan oleh isak tangis seseorang yang berlari kecil mendekati mereka. Kedua gadis itu saling berpandangan sesaat, dan serentak berdiri mencegat berbarengan.
"Nisanak, tunggu dulu! Kenapa kau menangis sambil berlari-lari begini?"
Tanya Indrawati sambil mencekal bahu gadis yang sedang mengenakan baju merah itu.
"Eh, siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dariku?!"
Tanya gadis itu. Matanya liar dan curiga, merayapi Nilam dan Indrawati bergantian. 'Tenanglah. Kami tak bermaksud menyakitimu...,"
Bujuk Nilam sambil tersenyum kecil.
"Siapa namanu? Dan, kenapa kau berada di tempat ini...?"
Tanya Indrawati. Gadis itu memandang mereka sesaat, seolah ingin meyakinkan kalau kedua wanita itu tak bermaksud jahat. Kemudian, terdengar helaan napasnya yang pendek.
"Namaku, Sukesih. Kalau memang kalian ingin membunuhku, cepatlah. Percuma saja aku hidup di dunia ini...,"
Desah gadis yang mengaku bernama Sukesih.
"Kami sudah katakan, kalau tak bermaksud menyakitimu. Namaku Nilam. Dan ini, Indrawati,"
Sahut Nilam cepat. Sukesih memandang mereka kembali dengan wajah sedikit heran.
"Hm.... Kalau memang tak bermaksud jahat, apa yang kalian lakukan di tempat ini berdua?"
Nilam dan Indrawati pun menceritakan sedikit peristiwa yang dialami hingga bertemu di sini. Mendengar itu, Sukesih tersenyum pahit.
"Kalau demikian, kita senasib. Pengalaman yang kualami tak jauh beda ,"
Tutur Sukesih lirih.
"Kami telah mempunyai rencana. Maukah kau ikut?"
Tanya Nilam.
"Rencana apa?"
"Kita harus balas perlakuan mereka, dengan cara yang lebih menyakitkan"
Tandas Nilam.
"Bagaimana caranya?"
"Dalam keadaan sekarang, tak mungkin kita mampu. Maka, kita harus membekali diri dengan kepandaian ilmu olah kanuragan. Tak peduli ilmu apa pun harus kita pelajari, untuk membalas sakit hati pada mereka. Daripada mati terhina, lebih baik hidup dan membuat mereka sengsara!"
Tandas Nilam lagi, bersemangat.
"Aku setuju! Tapi bagaimana kita mempelajarinya?"
"Kita akan mencari seorang guru yang hebat! Tak peduli, apa dan bagaimana caranya!"
Kata Nilam geram.
Kedua kawan baru Nilam itu tersenyum kecil! Entah, apa arti senyum itu.
*** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .
123.
Misteri Hantu Berkabung Bag.
2 14.
September 2014 um 09.14 Suasana tenang di pagi hari pada Desa Banyaran Sari tampak dipecahkan oleh nyanyian tak karuan seorang pemuda bertubuh kurus yang berjalan berlenggak-lenggok.
Namun dalam sekejap, wajahnya yang riang gembira berubah muram.
Kemudian dia tampak terdiam, dengan tatapan mata kosong ke depan.
Sebentar saja terdengar tangisnya yang terisak.
"Wuaaa...! Tolong, tolonglah aku...! Tolooong.., ada kuntilanak! Wuaaa...! Tolong...! Dia telah membunuh Kardi, Diding, dan Gino! Tolooong...!"
Teriak pemuda bertubuh kurus itu sambil menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Beberapa orang yang berada di depan rumah masing-masing melihat dengan heran.
Namun sekilas saja, mereka tak begitu peduli.
Mereka menganggap pemuda itu gila.
Namun ketika pemuda itu berpapasan dengan seseorang.
"Pulung, kenapa kau?! Apa yang terjadi padamu?!"
Teriak orang itu. Agaknya, dia mengenal pemuda tak waras itu.
"Siapa kau?! Jangan mendekat! Awas, kalau dekat-dekat akan kucekik kau!"
Sahut orang tak waras itu yang dipanggil Pulung sambil bangkit. Sorot matanya seketika jadi liar.
"Pulung! Apakah kau tak mengenalku lagi? Aku Sukedi, sahabatmu!"
Pemuda bernama Sukedi itu berusaha meyakinkan sambil tersenyum dan mendekat perlahan-lahan.
"Jangan mendekat kataku! Kucekik nanti kau!"
Teriak Pulung dengan wajah semakin beringas. Sukedi menghentikan langkah. Wajahnya tampak bingung dan tak percaya.
"Pulung, ingat! Ingat. Lung. Apa yang terjadi padamu?! Kenapa kau jadi mengigau begini? Ayo, jangan bikin malu emakmu. Malu dilihat banyak orang begitu...,"
Bujuk Sukedi kembali dengan suara halus. Pulung diam tak menjawab. Namun sorot matanya yang beringas seperti hewan buas tak juga pudar. Beberapa kali mulutnya menyeringai dengan kedua tangan seperti bersiap akan menerkam Sukedi, jika berani mendekat.
"Lung, apa yang terjadi padamu? Aku sahabatmu...,"
Tanya Sukedi lembut.
Pulung masih tetap diam dengan sorot mata beringas.
Sukedi berusaha meyakinkan, sambil tersenyum dan menganggukkan kepala.
Beberapa orang yang berada di dekat situ, mulai mengerubungi Pulung.
Namun, pemuda itu tak peduli.
Bahkan sama sekali tak menoleh.
"Aku sahabatmu. Aku pasti akan menolongmu, kalau kau susah. Katakanlah, apa yang telah terjadi padamu...?"
Tanya Sukedi kembali.
"Di mana kau saat kami perlukan...? Kuntilanak itu mencekik kawan-kawanku dan mengisap darahnya...,"
Kata Pulung seperti mengigau.
"Kuntilanak? Kuntilanak apa maksudmu...?"
Sukedi jadi keheranan sendiri.
"Perempuan berambut panjang berbaju putih. Bola matanya putih dan memiliki dua buah gigi taring...."
Sukedi menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Begitu pula orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan kini mereka semakin yakin, jelas pemuda bertubuh kurus itu memang gila. Omongannya meracau dan tak bisa dipercaya.
"Ayo, mari kuantar pulang!"
Ajak Sukedi. Dicobanya untuk menangkap lengan kawannya itu, dan bermaksud mengantarkannya pulang ke rumah.
"Pergi dariku! Pergiii...!"
Pulung berteriak kalap sambil menepiskan tangan kawannya dengan kasar.
Tentu saja hal itu membuat Sukedi terkejut.
Dia mulai percaya kalau Pulung betul-betul telah gila.
Tapi apa yang menyebabkannya demikian? Kuntilanak? Mana mungkin! Selama ini desa mereka aman dan tak pernah ada keributan apa pun? Tapi Sukedi tak sampai hati membiarkan kawannya berada di tempat ini, menjadi tontonan atau mengamuk, kembali kakinya melangkah.
Segera ditangkapnya pergelangan tangan kawannya.
"Ayo, pulang! Kau tak kasihan dengan emakmu ya? Apa tak malu jadi tontonan orang begitu?!"
Namun jawaban Palung adalah ayunan kaki yang demikian cepat, tanpa dapat dicegah lagi. Begkh! "Aaakh...!"
Sukedi mengeluh kesakitan ketika tubuhnya terjungkal ke belakang. Tiba-tiba saja kaki Pulung telah mendarat di dadanya. Malah kemudian Pulung bangkit dan bertari sekuat-kuatnya sambil berteriak-teriak. 'Tolooong, ada kuntilanak! Tolooong...!"
Sukedi berusaha bangkit. Dia bermaksud mengejar, namun niatnya diurungkan. Dadanya yang terasa masih sakit, membuat langkahnya tertahan.
"Sial! Diajak baik-baik tak mau dengar!"
Gerutu Sukedi kesal. Beberapa saat ketika Sukedi sudah bangkit dan berjalan tertarih-tatih sambil memegangi dadanya, seorang perempuan tua tergopoh-gopoh menghampiri, Wajahnya tampak pucat dan tegang.
"Sukedi! Syukur kau ada di sini! Mana Pulung? Kata orang dia gila? Apa betul?!"
Tanya perempuan tua itu.
"Tenang, Nyi. Tenang...,"
Ujar Sukedi berusaha menyabarkan perempuan itu.
"Bagaimana bisa tenang? Mana si Pulung? Mana dia?!"
Sukedi tak punya pilihan lagi, selain menceritakan apa yang dilihatnya tadi.
Mendengar itu, bukan main terkejutnya perempuan tua yang ternyata ibu pemuda kurus bernama Pulung itu.
Wajahnya semakin tegang.
Dan bias keterkejutan terlihat jelas di wajahnya yang keriput.
"Anakku gila...? Oh, tak mungkin! Tak mungkin...! Kemana dia sekarang? Ke mana?!"
"Ke arah sana...,"
Tunjuk Sukedi lesu ke satu arah. Tanpa banyak bicara lagi, perempuan tua itu terus berlari ke arah yang ditunjukkan Sukedi sambil berteriak-teriak.
"Pulung anakku...! Puluuung...!"
Sukedi menggeleng lesu.
Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
*** Jaka Pratama tersenyum lebar sambil membelai perut istrinya yang tengah berbaring di sebelahnya.
Gadis cantik yang dikawininya lebih kurang lima bulan lalu, kini telah mengandung anak pertama.
Sehingga tak heran bila hari-hari mereka belakangan ini diwarnai kegembiraan menyambut si jabang bayi.
Mertuanya sendiri tak lagi memikirkan pekerjaan menantunya yang tak jelas karena rasa kegembiraannya.
Selama ini, masalah pekerjaan Jaka Pratama memang sedikit mengganjal di hati laki-laki setengah baya itu.
Menantunya ini memang amat pemalas.
Jaka Pratama mana sudi untuk turun ke sawah.
Bahkan untuk sekadar mengawasi orang-orang yang bekerja pada Juragan Sentot saja, menantunya enggan.
Kerja Jaka Pratama setiap hari hanya mengelus-elus ayam jagonya yang berjumlah puluhan ekor.
Dan setelah itu dia pergi menyabung ayam dari satu desa, ke desa yang lain.
Tentu saja dengan taruhan sehingga menghabiskan uangnya secara percuma.
Pada mulanya Juragan Sentot menyesal sekali melihat kelakuan menantunya yang jarang di rumah.
Belum lagi gunjingan orang yang mengatakan kalau menantunya sering main gila dengan perempuan lain.
Namun semua itu perlahan-lahan hilang dari pikirannya, ketika putrinya tengah mengandung cucu pertamanya.
Bahkan diharapkan dengan kelahiran si jabang bayi sikap Jaka Pratama kelak akan berubah.
"Kang! Kau inginkan anak perempuan atau laki-laki...?"
Tanya Diah Kawaning pelan. Jaka Pratama tersenyum kecil sambil membelai rambut istrinya.
"Kalau kau?"
Jaka Pratama malah balik bertanya.
"Aku ingin anak perempuan?"
"Kenapa?"
"Agar kelak bisa membantuku di rumah, mengurusi pekerjaan sehari-hari. Lagi pula, anak perempuan lebih betah di rumah Aku sering kesepian dan tak ada yang mengawasi kalau kau pergi kata Diah Kawaning, memberi alasan. Jaka Pratama diam saja mendengar kata-kata istrinya. Bukannya tak mengerti sindiran itu. Namun, laki-laki ini amat cerdik untuk tidak meladeni kata-kata istrinya. Sebab sekali diladeni, maka persoalan akan berbuntut menjadi pertengkaran, seperti yang sudah sering terjadi.
"Sebenarnya ada urusan apa Kakang sering tak ada di rumah?"
Tanya Diah Kawaning akhirnya.
"Ada urusan penting,"
Sahut laki-laki itu singkat.
"Sebegitu pentingkah, sehingga Kakang sering meninggalkanku sendiri di rumah...?"
Tanya wanita itu masih dengan suara halus. Jaka Pratama hanya melirik. Wajahnya tampak berubah. tak seperti tadi. Ada nuansa tak senang yang tersirat di wajahnya, mendengar desakan istrinya.
"Apakah setiap yang kukerjakan di luar, kau harus mengetahuinya?"
Tanya laki-laki itu dingin.
"Aku istrimu, Kang! Apakah kau ingin menyembunyikan sesuatu dariku?!"
Suara perempuan itu tampak meninggi. Jaka Pratama tiba-tiba bangkit lalu duduk di tepi ranjang membelakangi istrinya.
"Diah! Aku tak suka kalau kau mencampuri urusanku. Tugasmu di rumah, dan mematuhi perintah suami!"
Sentak Jaka Pratama tegas. Diah Kawaning juga bangkit, lalu duduk di sudut ranjang. Bola matanya membulat dan hidungnya kembang-kempis menahan kesal.
"Hm.... Bagus betul kata-katamu itu. Dulu kau rayu, dan kau bujuk aku untuk menjadi istrimu. Dan kini setelah aku menyerahkan segalanya padamu, kau mulai bertingkah macam-macam!"
Dengus Diah Kawaning.
"Apa maksudmu bicara begitu?!"
Jaka Pratama langsung menatap tajam istrinya dengan sorot mata garang.
"Aku hanya ingin menagih janjimu! Kau pernah mengatakan, akan membahagiakanku. Tapi apa yang kau lakukan selama ini? Kau menyiksaku! Kau pergi selama berhari-hari, kemudian kembali hanya sekadar menjengukku. Kerjamu berjudi menghabiskan uang, dan main perempuan di mana-mana. Itukah yang kau maksud ingin membahagiakanku?! Kau menyiksa perasaanku, Kang. Kau menyiksa...."
Plak! "Aouw!"
Belum habis kata-kata Diah Kawaning, Jaka Pratama sudah mendaratkan telapak tangannya di pipi istrinya.
Diah Kawaning hanya menjerit kecil, sambil mengelus pipi kirinya.
Wanita itu seperti tak percaya kalau suaminya mampu bertindak kasar begitu pada dirinya.
Menampar pipinya? Oh, rasanya sulit dipercaya! Bahkan selama ini belum pernah dialami perlakuan seperti itu sejak masa kanak-kanak.
Tapi kini? "Kau..., kau...?!"
Tunjuk Diah Kawaning dengan wajah tak percaya bercampur marah.
"Kalau kau tak mau diam, aku akan berbuat lebih dari itu!"
Ancam suaminya dengan wajah semakin garang. Baru saja kata-kata Jaka Pratama habis... Brakkk! Slappp! Mendadak berkelebat sesosok bayangan di kamar mereka, begitu terdengar jendela yang dijebol. Dan bayangan itu memang masuk dari situ.
"Hi hi hi...! Dasar laki-laki gendeng, tetap saja gendeng! Kelakuanmu tak akan berubah sampai kapan pun juga. Tapi hari ini akan berakhir...!"
Kedua orang itu sama-sama terkejut dengan wajah berubah pucat dan bola mata terbelalak.
Diah Kawaning malah gemetar.
Kini di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh wanita berambut panjang terurai hingga ke pantat.
Sebagian malah menutupi wajahnya, sehingga sulit dikenali.
Kulitnya yang kuning langsat, tampak dekil dan kotor seperti tak pernah mandi.
Pakaiannya lusuh, namun terlihat jelas berwarna putih.
Dalam gelap malam yang hanya diterangi pelita kecil di kamar, penampilannya memang amat menyeramkan! Lebih lagi ketawanya yang nyaring! "Siapa kau?!"
Jaka Pratama berusaha memberanikan diri. Dia berdiri dan membentak dengan suara gemetar.
"Hi hi hi...! Kau tak mengenalku lagi, Pratama? Hm.... Seharusnya aku menyadari kalau kau saat ini tengah bersenang-senang dengan perempuan ini. Tapi, tentunya kau tak akan melupakan saat-saat kita bersenang-senang di bawah rerimbunan pohon petai, kira-kira enam bulan yang lalu, bukan? Saat itu, kau merayuku dengan kata-kata manis. Tapi akhirnya, apa yang kau lakukan padaku?"
Kata-kata terakhir yang dikeluarkan perempuan itu terdengar dingin menusuk.
Seperti ada hawa amarah yang terpendam selama beribu tahun.
Dan Jaka Pratama jadi berpikir sejenak.
Tapi dia tak perlu banyak waktu, karena peristiwa itu memang belum lama terjadi.
Dan itu masih melekat erat di benaknya.
"Ni. ., Nilam, kau..., kau..?!" *** "Nilam? Kakang, kau mengenalnya? Bukankah nama itu pun pernah kau sebut ketika ada seorang perempuan mengacau di pesta perkawinan kita dahulu?"
Tanya Diah Kawaning di antara sela-sela ketakutannya.
"Hi hi hi. ! Jaka Pratama! Aku pernah bersumpah. Setelah apa yang kau perbuat padaku dulu, aku akan membunuhmu dan tak akan membiarkan laki-laki sepertimu hidup di muka bumi ini!"
Dingin suara perempuan itu.
"Oooh..!"
Jaka Pratama mengeluh, seperti menyesali diri.
"Heh?!"
Kedua suami istri ini terkejut setengah mati ketika perempuan itu menampakkan wajahnya.
Diah Kawaning langsung jatuh lemas, pingsan.
Sedang Jaka Pratama sudah gemetar dengan keringat dingin mengucur deras.
Apa yang terlihat memang sungguh menyeramkan.
Kulit wajah perempuan itu pucat bagai mayat dengan kedua bola mata putih.
Dan dari kedua sudut bibir keluar sebuah taring.
Dan ketika menyeringai buas, semangat pemuda itu seperti terbang.
"Hari ini pembalasanku telah tiba, Pratama....'"
Dingin suara perempuan itu terdengar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berkuku runcing.
"Ja..., jangan. Jangaaan. !"
Kata Jaka Pratama bergidik ngeri. Kakinya telah mundur ke belakang, merapat dengan dinding kamar ini yang terbuat dari kayu jati. Bahkan dari sela-sela selangkangannya telah keluar cairan berbau pesing.
"Grrrrgrrr...!"
Bagai hewan buas, perempuan berambut panjang itu menerkam Jaka Pratama.
Sebelah tangannya yang berkuku runcing tangsung menyodok dada kiri Jaka Pratama.
Laki-laki itu melolong kesakitan ketika tangan perempuan yang dikenali sebagai Nilam itu menembus jantungnya.
Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah.
Dan sungguh gila apa yang dilakukan perempuan itu.
Jantung korbannya langsung dilahap dengan rakus! "Hi hi hi...! Tak kusangka jantungmu nikmat juga.
Apalagi jantung istri dan bayimu dalam kandungan itu.
Mungkin akan lebih nikmat lagi!"
Oceh Nilam sambil tertawa cekikikan.
Dan Nilam tanpa perikemanusiaan lagi merobek jantung Diah Kawaning yang tak sadarkan diri.
Kemudian dilahapnya jantung itu dengan rakus.
Mulutnya kini penuh dengan bercak-bercak darah.
Begitu pula kedua belah tangannya.
Namun tiba-tiba dari arah pintu kamar....
"Hei?!"
"He?"
Mendadak terdengar bentakan.
Perempuan itu cepat-cepatmemalingkan wajah sambil menyeringai buas ke arah beberapa centeng Juragan Sentot yang telah berdiri di pintu dengan golok terhunus.
Mata mereka terbelalak liar, ketika melihat dua sosok mayat tergeletak di lantai dalam keadaan mengerikan.
Apalagi ketika mengenali kalau kedua mayat itu tak lain dari junjungan mereka sendiri.
"Kurang ajar! He! Apa yang kau lakukan di sini?!"
Bentak salah seorang centeng sambil melangkah maju dengan wajah gusar.
"Hi hi hi...! Kalian datang pada saat yang tepat, ketika aku sedang lapar. Ayo, majulah semua!"
Sahut Nilam sambil ketawa kecil.
"Sial! Dasar orang gila. Dikira aku takut dengan segala ocehanmu!"
Centeng itu langsung melangkah lebar dengan ayunan golok ke arah perempuan itu. Namun dengan sedikit bergeser ke samping, perempuan itu dapat menghindarinya. Dan seketika tangan kirinya menangkap pergelangan tangan centeng itu.
"Hih!"
Tap! Kemudian dengan sekali sentak, tubuh centeng itu tertarik tanpa mampu bertahan. Dan pada saat itulah tangan kanan Nilam menyambar dada centeng itu. Crab! "Aaa...!"
Laki-laki berperawakan besar itu melolong setinggi langit. Tubuhnya kontan ambruk lunglai, ketika jantungnya dikorek dan langsung dilahap perempuan itu dengan rakus.
"He, bedebah! Ternyata dia tak bisa diberi hati. Orang ini pasti hantu yang tengah mencari korban dengan memakan jantung manusia. Hati-hati!"
Teriak salah seorang centeng yang lain. Mereka segera menyerbu secara serentak ke arah perempuan itu.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Nilam bergerak ringan seperti melayang, untuk menghindari sabetan-sabetan golok itu.
"Uts!"
Slap! Kemudian kedua tangan dan kakinya menghantam mereka satu persatu, dengan gerakan sulit diikuti mata biasa. Sehingga... Prak! Crab! "Hi hi hi...! Kalian akan mampus semua! Kalian akan mampus...!"
Teriak perempuan itu, ketawa cekikikan.
Beberapa saat saja terdengar para pengeroyok menjerit kesakitan dengan tubuh ambruk terjungkal di lantai bermandikan darah.
Rata-rata dada sebelah kiri mereka bolong, dengan jantung hilang, karena menjadi santapan perempuan itu.
Yang tersisa saat itu hanya dua orang saja.
Dan mereka tersudut di pojok ruangan dengan tubuh gemetar.
Terkencing-kencing.
Golok di tangan telah jatuh tak terasa.
Sementara mata mereka melotot ketakutan dengan muka pucat.
Perempuan itu tersenyum sinis sambil memperlihatkan kedua taringnya, sehingga membuat keduanya semakin ketakutan saja.
"Aku tak akan melupakan wajah-wajah kalian keparat! Kalianlah yang telah menodaiku beramai-ramai di pinggir hutan. Satu kawanmu sudah mampus, maka sekarang giliran kalian!"
Dengus Nilam garang.
"Eh! Kau.., kaukah perempuan gila itu...?"
Tanya salah seorang yang bertubuh pendek, tergagap.
"Hi hi hi..! Ternyata ingatanmu masih tajam juga. Bagus! Dengan begitu, kau tak akan mati penasaran."
"Eh! Ja..., jangan...!"
Laki-laki itu tampak ketakutan ketika tiba-tiba perempuan berambut panjang dengan gigi taring itu bergerak cepat ke arahnya.
Laki-laki pendek itu berusaha menangkis.
Namun tangan kanan perempuan itu lebih cepat menghantam dada kirinya.
Crab! "Aaa...!"
Nilam langsung mengorek jantung, ketika tangan kirinya menembus dada laki-laki pendek itu.
Dan pada saat yang bersamaan, kepalanya sedikit menunduk ketika seorang lawan lagi berusaha membokong.
Tangan kiri perempuan itu bergerak cepat menyambar dada kiri lawannya yang lain.
Crab! "Aaa..!"
Kembali terdengar jeritan menyayat begitu Nilam mengorek jantung lawan terakhirnya.
Sebentar saja keduanya ambruk ke lantai bersimbah darah dengan nyawa lepas.
Perempuan itu terkikik sejenak, kemudian melompat keluar lewat jendela.
Begitu cepat tubuhnya melesat dan hilang di telan gelapnya malam.
Sementara suara ketawa mengikiknya masih bergema di kejauhan! *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies.
By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies.
Learn more, including about available controls.
Policy.
123.
Misteri Hantu Berkabung Bag.
3 14 вересня 2014 р.
о 9.15 Sepasang anak muda yang tengah dimabuk cinta, tampak tengah berjalan mesra sambil bergandengan tangan.
Pemuda tampan berambut pendek dan berkulit sawo matang itu menggenggam erat gadis manis di sebelahnya.
Rambut gadis itu panjang disanggul ke belakang.
Bajunya dari sutera berwarna merah muda.
Langkah mereka perlahan, menuju sebuah telaga yang sudah tak jauh di depan.
Sebuah telaga yang memiliki suasana indah dan menyenangkan.
Hampir di sekeliling telaga ditumbuhi pepohonan besar berdaun lebat.
Air telaga pun terlihat bening, dan terasa sejuk.
Pada tepiannya juga ditumbuhi rerumputan pendek yang menghijau.
Kedua insan itu berhenti di tepi telaga.
Mereka lalu duduk di situ, dengan kedua kaki menjuntai menyibak air.
Sesaat mata mereka saling berpandangan, namun gadis itu cepat memalingkan wajahnya membawa rona merah.
"Kenapa kau sejak tadi diam saja, Tari...?"
Tanya pemuda itu sambil tersenyum kecil. Gadis yang dipanggil Tari tak berpaling. Malah kepalanya ditundukkan lebih dalam sambil tersipu malu.
"Kau masih malu...?"
"Aku baru kali ini keluar rumah bersama seorang laki-laki sepertimu Kang...,"
Kata Tari lirih.
"Hm, benarkah...?"
Tanya pemuda itu pelan, seraya mengelus paha Tari.
Gadis itu tersentak.
Darahnya seketika mendesir merasakan elusan pemuda itu.
Apalagi ketika tangan pemuda yang dipanggil Sembada menelusup ke pinggangnya, dan memeluknya dengan berani.
Tubuh Tari bergetar hebat, karena baru sekali ini ada seorang pemuda yang berani memeluk dirinya.
Padahal saat tadi tangannya digandeng saja, dia sudah bergetar.
Sehingga, tangannya terasa dingin membeku.
"Kakang Sembada...,"
Panggil Tari lirih.
"Hm...,"
Gumam Sembada pelan. Sementara itu kedua tangan Sembada. Semakin berani menggerayangi tubuh Tari. Sedangkan gadis itu jadi bergelinjang menahan geli dan perasaan malu yang dalam.
"Kang Sembada, jangan..,"
Suara Tari semakin nyata terdengar, ketika pemuda itu hendak mempereteli pakaiannya. 'Tak apa. Toh sebentar lagi orangtuaku akan datang melamarmu. Kau akan menjadi istriku, Tari...,"
Rayu Sembada.
"Jangan, Kang...." 'Tenang saja, Tari. Jangan khawatir...,"
Bujuk Sembada, semakin bernafsu saja menggerayangi tubuh gadis itu.
Meskipun gadis itu tak berusaha keras mempertahankan diri, namun masih tetap menolak niat buruk yang ada di hati Sembada.
Namun agaknya pemuda itu sudah tak sabar lagi.
Nafsunya telah menggelegak, membakar hatinya.
Maka dengan kasar dipeluknya tubuh gadis itu, dan direbahkannya di rerumputan.
Gadis itu berusaha berontak, mempertahankan kehormatannya.
Dan nalurinya pun mengatakan kalau pemuda itu tidak bermaksud baik.
Jelas, yang ada di hatinya hanya nafsu iblis belaka.
'Tidak, Kang! Aku tak mau! Aku tak mau...! Lepaskaaan...! Lepaskaaan...!"
Teriak gadis itu.
Tari mulai keras perlawanannya.
Bukan lagi sekadar menyadarkan nafsu setan pemuda itu, namun ingin melepaskan diri dari cengkeramannya.
Namun, Sembada seperti tak peduli.
Kekasarannya semakin menjadi.
Malah tenaganya seperti berlipat ganda, ketika menindih tubuh Tari dan mencabik-cabik kasar pakaiannya.
Namun mendadak saja....
Begkh! "Aaakh...!"
Sembada kontan menjerit kesakitan, ketika satu tendangan menghajar pinggangnya.
Tubuhnya bergulingan menahan sakit lalu bergegas bangkit.
Sementara gadis yang sejak tadi hendak menjadi korban nafsu setannya cepat bangkit.
Langsung bagian tubuhnya yang terlarang ditutupi.
Dan kedua orang itu sama-sama terpaku, ketika melihat siapa yang muncul di tempat itu.
Sesosok tubuh yang sebagian rambut panjangnya menutupi wajah itu berdiri tegak di depan Sembada sambil berkacak pinggang.
Kedua anak muda itu sama sekali tak tahu, dari mana orang itu berasal.
Melihat dari bentuk tubuh dan caranya berpakaian, jelas kalau dia adalah seorang wanita.
Namun wajahnya yang terhalang rambut itu belum telihat jelas.
"Siapa kau?!"
Bentak Sembada, garang. Pemuda itu berusaha menyembunyikan rasa takutnya terhadap perempuan berbaju hijau itu, dengan bersikap demikian.
"Hm..., kau tak mengenaliku, Sembada?"
Tanya perempuan itu dingin. Mendengar sahutan itu, tentu saja Sembada terkejut. Dari mana orang itu tahu namanya? Untuk sesaat, dia tertegun dengan sorot mata bingung.
"Hi hi hi..! Kau tentu tak akan menduga kalau pertemuan kita kembali ini akan secepat ini, bukan? Kedatanganku untuk menagih janji, sekaligus nyawamu!'' Kata-kata yang diucapkan perempuan berbaju hijau itu terasa mengancam. Sehingga membuat Sembada semakin bergetar saja sekujur tubuhnya.
"Siapa kau ini sebenarnya? Dan, apa yang kau inginkan?!"
Tanya pemuda itu berusaha menenangkan diri.
"Kau betul-betul tak mengenalku?"
Sembada diam tak menyahut. Hanya matanya terus memperhatikan perempuan itu dengan seksama. *** "Apakah kau kini tak mengenalku, Sembada?"
Tanya perempuan itu dingin seraya menyibakkan rambut.
"Heh?!"
Sembada terbelalak kaget. Dia kenal betul wajah perempuan yang berbaju merah ini.
"Indrawati, kau...?"
Sebut pemuda itu, tercekat di tenggorokan. 'Ya! Akulah Indrawati, kekasihmu dahulu yang pernah disia-siakan..."
Mengetahui siapa gadis itu, napas Sembada sedikit lega. Wajahnya mulai dihiasi sedikit senyum. Sambil cengar-cengir dihampirinya gadis itu.
"Eh, Indrawati kenapa kau berada di sini?"
"Karena kau ada di sini,"
Sahut gadis berbaju hijau yang dipanggil Indrawati itu pendek.
"Hm... Apakah kau..., kau masih merindukanku...?"
"Hi hi hi...! Rindu? Justru kedatanganku ke sini akan mencabut nyawamu!"
"Ha ha ha...! Indrawati! Kau masih suka bercanda juga rupanya...."
Perlahan-lahan pemuda itu mendekat sambil cengar-cengir.
Tak dipedulikannya kata-kata Indrawati.
Namun ketika jaraknya persis berada di hadapan gadis itu, Sembada tersentak kaget Tangan kanan Indrawati tiba-tiba bergerak cepat ke arah matanya.
Crab! "Aaa...!"
Sembada kontan terpekik ketika dua buah jari Indrawati yang berkuku runcing mengorek biji matanya. Pada saat yang bersamaan, lutut kiri gadis itu menghajar bagian selangkangan Sembada. Desss! "Aaa...!"
Sembada terpekik ketika barang keramatnya terhajar lutut gadis itu. Pemuda itu kontan ambruk dan berkelojotan di tanah sambil menjerit-jerit. Sementara, bagian wajahnya telah dibanjiri darah.
"Oh...!"
Gadis yang tadi menyertai Sembada terperangah kaget melihat kejadian di depan matanya.
Sekujur tubuhnya gemetar dan bola matanya terbelalak.
Belum lagi habis rasa kagetnya mendadak gadis berpakaian hijau itu mengangkat sebelah kaki Sembada, setelah memakan kedua biji matanya.
Dan....
Blesss! Tanpa rasa kasihan sedikit pun, telapak kaki Indrawati dihujamkan ke dada Sembada.
Akibatnya, sungguh mengerikan! Bahkan Tari nyaris pingsan, kalau saja tak berusaha menguatkan hati, dan berusaha lari dari tempat itu.
Memang, tulang rusuk Sembada remuk.
Sementara kaki gadis berbaju hijau ini melesak ke dalam tubuh pemuda itu.
Sembada sendiri hanya mampu menjerit sesaat, sebelum nyawanya lepas dari raga.
"Hi hi hi...! Mampuslah kau Sembada. Mampuslah kau...! Hi hi hi...!"
Setelah puas tertawa, Indrawati segera meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi. Agaknya, dia tak begitu peduli terhadap gadis berbaju merah muda yang tadi sempat kabur. *** "Tolooong...! Tolooong..!"
Tari terus berlari menuju desa tempat tinggalnya yang tak begitu jauh dari tempat itu sambil berteriak-teriak tak karuan.
Tiba di mulut desa, orang-orang mulai memperhatikannya.
Bahkan beberapa orang malah tersipu malu.
Ternyata pakaian yang dikenakannya sedikit tak karuan.
Sehingga di sana-sini terlihat bagian tubuhnya yang berkulit mulus.
Namun, agaknya Tari tak mempedulikannya.
Teriakannya begitu menggiriskan sepert dikejar setan.
"Astaga! ltukan Lestari, putri Pak Jangat?! Kenapa pakaiannya begitu?"
Tanya salah seorang gadis pada kawannya.
Agaknya kedua gadis belia yang baru saja pulang dari pasar ini mengenal, siapa gadis berbaju merah muda yang tengah berlari seperti orang gila itu.
Namun belum kedua gadis itu sempat melangkah untuk mencegat Tari yang bernama lengkap Lestari itu, seorang perempuan setengah baya telah lebih dulu menghampirinya.
"Lestari, astaga! Kenapa kau, Nak? Kenapa?!"
Tanya perempuan setengah baya itu terkejut. 'Tolooong! Tolooong..!" 'Tenanglah, Nak. Aku emakmu. Ayo, sadarlah. Sadar! Ada apa? Apa yang telah terjadi pada dirimu?"
Tanya perempuan setengah baya itu lagi sambil mengguncang-guncangkan kedua bahu Lestari. Gadis berbaju merah muda itu masih berusaha berontak dengan wajah pucat dan tubuh bergetar hebat. Padahal, yang menanyakannya adalah ibunya sendiri.
"Ayo, Lestari. Tenangkan hatimu. Aku ini emakmu. Tak perlu takut. Sadarlah, Nak. Sadar...!"
Perempuan setengah baya itu terus berusaha menyadarkan Lestari dengan kata-kata lembut.
Dan tampaknya gadis itu perlahan-lahan mulai sadar.
Lestari tak lagi berusaha berontak.
Namun bola matanya masih melotot kaku, seperti menatap kosong ke depan.
Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id