Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Iblis Sesat 1


Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat Bagian 1


 113.

   Pembalasan Iblis Sesat Bag.

   1-2 17 августа 2014 г.

   18.46 Tak biasanya, Bukit Tunjang di pagi ini terselimut kabut tebal.

   Sehingga tempat itu bagaikan tertindih gumpalan awan besar yang turun ke bumi.

   Memang bukit yang mirip seperti sebuah gunung kecil itu setiap hari senantiasa terselimut kabut.

   Namun kabut yang menyelimutinya saat ini lebih tebal dan pekat.

   Bahkan hampir menutupi sebagian desa yang berada di kakinya.

   Sehingga dalam keadaan begini, tak seorang penduduk pun yang berani keluar jauh-jauh dari rumah.

   Mereka lebih suka berkerudung sarung di dalam rumah, berkumpul dengan anak-istri.

   Sebenarnya bukan hanya kabut saja yang membuat Bukit Tunjang kelihatan angker.

   Tetapi, ada hal lain yang lebih mengerikan! Di lereng-lereng bukit yang luas dan lebar, banyak dihuni binatang-binatang berbisa beraneka ragam.

   Apalagi di sekitar kaki bukit juga masih dipenuhi semak belukar, serta pepohonan tinggi yang menyimpan perangkap maut berupa rawa terapung, sumur-sumur yang dalamnya tak terukur, serta kubangan pasir yang bisa menyedot apa saja bila masuk ke dalamnya.

   Di tengah keangkeran itu, tampak lima orang bertubuh besar dan bertampang seram seperti tak mempedulikan keadaan sekitarnya.

   Mereka terus berlari ke arah Bukit Tunjang sambil sesekali menoleh ke belakang.

   "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita telah berada cukup jauh dari mereka!"

   Kata salah seorang yang memiliki cambang bauk cukup tebal. Dia sering dipanggil dengan nama Gumanda. Sebuah senjata golok, tampak terselip di pinggang kirinya.

   "Ya! Kurasa demikian,"

   Sahut kawannya yang berikat kepala merah. Laki-laki yang mata kirinya picak ini bernama Rumaksa.

   "Huh! Suatu saat, kita harus balas perlakuan mereka! Akan kupecahkan batok kepala Kalingka itu!"

   Geram yang bertubuh agak pendek dan berperut sedikit gendut. Namanya, Kalingka.

   "Benar! Aku pun ingin sekali menghancurkan perguruan yang sok pahlawan kesiangan itu. Tunggu saja pembalasan kita Lima Rampok Hutan Gundul akan kembali untuk menghancurkan dan membumihanguskan Perguruan Watu Digul keparat itu!"

   Timpal laki-laki yang bersenjatakan pedang di punggung.

   Dia bertubuh lebih besar dari keempat kawannya, dan sering dipanggil dengan nama Danang.

   Sedangkan seorang lagi yang oleh kawan-kawannya dipanggil Sukmajaya, hanya diam membisu.

   Sepertinya, ada sesuatu yang tengah dipikirkan.

   Mendadak Sukmajaya berhenti, ketika mereka telah berada di kaki bukit itu.

   "Kawan-kawan! Sebaiknya kita berhenti dulu!"

   Ujar Sukmajaya, sambil memandang ke sekeliling dengan tatapan curiga.

   "Kenapa, Sukmajaya? Apakah kau mencurigai sesuatu?"

   Tanya Danang, dengan wajah dalam.

   "Entahlah! Suasana di sini sangat sepi. Aku tak yakin kalau tempat ini aman bagi kita. Sepertinya, ada bahaya yang mengintai dari tempat tersembunyi!"

   Desis Sukmajaya, masih tetap memandang ke sekeliling tempat itu dengan wajah curiga.

   "Alaaah! Kau penakut sekali!"

   Sentak Kalingka. Laki-laki bertubuh paling pendek itu lalu melompat ke depan, dan mengajak kawan-kawannya untuk terus maju.

   "Betul! Apa yang mesti dikhawatirkan? Di atas sana banyak berkumpul kawan kita yang lain. Mana mungkin mereka mau mencelakakan kita!"

   Teriak Gumanda, menyokong usul kawannya.

   "Jangan...!"

   Teriak Sukmajaya memperingatkan, namun terlambat. Ternyata dua dari Lima Rampok Hutan Gundul itu sudah menerobos semak belukar tinggi di depan. Maka mendadak... Brosss...! "Hei, apa ini?! Tolooong...! Tolooong, aku tak bisa keluar!"

   Teriak Kalingka, kalap ketika kedua kakinya menginjak rawa terapung.

   Dan kakinya terus melesak hingga ke betis.

   Hal yang sama juga menimpa Gumanda.

   Mereka berteriak-teriak ketakutan, seraya menggerak-gerakkan tubuh untuk bisa keluar dari rawa terapung yang dipijak.

   Namun semakin cepat bergerak, tubuh mereka semakin melesak ke dalam.

   "Kalingka...! Gumanda...! Jangan bergerak! Aku akan menolong kalian! ' teriak Danang mulai ikut-ikutan kalap. Laki-laki bertubuh paling besar itu menoleh ke kanan dan kiri. Dan ketika melihat seutas tali kayu yang tergantung di bawah cabang sebuah pohon, tanpa pikir panjang lagi ditariknya. Namun... Sing! Sing! "Awaaas...!"

   Teriak Sukmajaya memperingatkan.

   Memang, tiba-tiba saja beberapa buah bambu runcing sebesar jari tangan melesat kencang ke arah mereka bagai lesatan anak panah begitu Danang menarik tali yang menjuntai di pohon.

   Sukmajaya terus melompat menghindar dari serangan gelap dan terus bergulingan ke kiri.

   Namun, malang bagi Danang yang terlambat menyelamatkan diri.

   Ternyata salah satu bambu runcing itu lebih cepat menembus dada kirinya hingga ke punggung.

   Crappp! "Aaa...!"

   Danang kontan menjerit setinggi langit dan tubuhnya langsung ambruk ke tanah dengan kulit mulai membiru. Agaknya, bambu runcing itu telah dibubuhi racun ganas di seluruh batangnya. Danaaang...!"

   Sukmajaya terkejut bukan main dan bermaksud menghampiri kawannya. Namun....

   "Sukma! Aku... aku...,"

   Rintih Rumaksa rintih, sambil menutupi lengan kiri yang ternyata juga terserempet salah satu bambu beracun itu. *** "Rumaksa...!"

   Kembali Sukmajaya tersentak, dan buru-buru mengalihkan perhatian ke arah Rumaksa. Sring...! Sukmajaya langsung mencabut goloknya. Seketika, ditebasnya lengan kawannya pada pangkalnya. Crasss! "Aaakh...!"

   Rumaksa menjerit kesakitan sambil menggigit bibirnya.

   "Maaf, Kawan. Aku tak punya pilihan lagi untuk menyelamatkanmu. Bambu itu mengandung racun ganas...,"

   Keluh Sukmajaya sambil merobek bajunya untuk mengikat luka di lengan Rumaksa. Dan baru saja Sukmajaya selesai mengikat lengan Rumaksa, mendadak...

   "Tolong...! Tolooong...!"

   "Hih?!"

   Sukmajaya mulai gelagapan ketika Kalingka dan Gumanda telah terbenam sampai sebatas leher. Mereka semakin kalut dan terus bergerak-gerak melepaskan diri dari sedotan rawa terapung itu.

   "Tunggu sebentar!"

   Teriak Sukmajaya, seraya meninggalkan Rumaksa.

   Dan matanya langsung mencari-cari sesuatu untuk menolong kedua kawannya.

   Ketika melihat sebuah cabang pohon yang panjang tak jauh dari tempatnya berdiri, Sukmajaya mendekatinya.

   Dan dengan hati-hati sekali diperhatikan cabang pohon itu.

   Dia khawatir disitu terdapat jebakan.

   Tak lama kemudian...

   Tras! Dengan cepat Sukmajaya menebas cabang itu dengan goloknya.

   Tapi bersamaan dengan itu...

   Werrr! Tiba-tiba melesat dua ekor ular pohon berwarna hijau sebesar jempol kaki ke arahnya.

   Sukmajaya yang sejak tadi telah bersiaga langsung mengayunkan goloknya.

   Crasss, crasss! Sekali tebas saja putuslah tubuh ular-ular itu.

   Namun baru saja bermaksud akanmenolong kawannya...

   "Wuaaa...!"

   Tiba-tiba Rumaksa menjerit keras.

   "Celaka! Kalajengking beracun!"

   Desis Sukmajaya, geram.

   Memang di tubuh Rumaksa telah dipenuhi kalajengking berwarna hitam berkilat, yang memiliki racun amat dahsyat.

   Tubuh Rumaksa berguling-gulingan ke sana kemari, sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke seluruh tubuh untuk mengusir kalajengking-kalajengking beracun itu.

   Sukmajaya bermaksud menolong.

   Namun belum lagi berlari lima langkah, tubuh Rumaksa terjerumus ke dalam semak belukar dan terus terperosok ke sebuah sumur yang dalam.

   Sumur itu sendiri semula tak terlihat, karena permukaannya dipenuhi gerumbulan semak.

   "Rumaksaaa...!"

   Pekik Sukmajaya. Laki-laki itu berusaha menangkap lengan Rumaksa yang terjulur ke atas, namun terlambat. Nyatanya, tubuh Rumaksa telah meluncur deras ke bawah.

   "To.... Blep! Hop..., hop!"

   Kembali Sukmajaya dibuat terkejut mendengar jeritan tertahan kedua kawannya yang masih terperosok ke dalam rawa terapung.

   Bahkan tubuh Kalingka telah lenyap tanpa bekas.

   Memang sejak tadi dialah yang paling kalap dan terus bergerak-gerak.

   Sehingga, lumpur di bawahnya terus menyedot kencang tubuhnya.

   Sedangkan tubuh Gumanda sudah terbenam sebatas hidung.

   Dicobanya mendongakkan wajah ke atas, sambil bergerak-gerak pelan memberi tanda pada Sukmajaya.

   "Gumanda! Jangan banyak bergerak! Tangkap ujung kayu ini!"

   Teriak Sukmajaya sambil menjulurkan kayu yang sudah ada di tangannya.

   "Hop...! Hop...!"

   Gumdanda berusaha meraih sekuat tenaga ujung kayu itu yang dijulurkan Sukmajaya.

   Memang, ujung kayu itu kurang setengah jengkal lagi dari jangkauan tangannya.

   Namun, mendadak pada saat itu melesat tiga sosok tubuh ke tempat itu.

   Bahkan salah seorang langsung melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Sukmajaya.

   Swing...! "Heh?!"

   Bukan main terkejutnya Sukmajaya melihatnya. Buru-buru dia melompat, sambil mengibaskan kayu yang dipegangnya ke arah pisau pisau itu.

   "Hup...!"

   "Uts!"

   Beberapa buah berhasil dihantam dan rontok seketika, sementara sisanya dapat dihindari dengan lompatannya. Namun dalam keadaan begitu, salah seorang langsung melompat menyerang.

   "Yeaaa..!"

   "Tunggu! Tunggu dulu! Kami ingin bertemu Tiga Setan Bukit Tunjang untuk bergabung dengannya!"

   Teriak Sukmajaya, mencoba menjelaskan.

   Dan dia terus berkelit, menghindari serangan berikut.

   Tiga orang itu langsung menghentikan serangan, dan memandang ke arah Sukmajaya dengan seksama.

   Dan kesempatan itu digunakan Sukmajaya untuk kembali menjelaskan maksud kedatangannya ke sini.

   "Kami berlima dijuluki sebagai Lima Rampok Hutan Gundul. Kedatangan kami ke sini, untuk bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang. Namun kami telah mendapat kesulitan, seperti yang kau saksikan tiga orang temanku telah tewas. Hanya dia dan aku yang masih hidup,"

   Sukmajaya lalu menunjuk ke arah Gumanda."

   Tolonglah kawanku. Dia hampir tenggelam dan kehabisan napas....'"

   Wajah Sukmajaya semakin memelas ketika melihat tubuh Gumanda hampir terbenam sebatas dahi.

   Namun, kedua tangannya masih bergerak-gerak.

   Ketiga orang itu tak menjawab, dan hanya menganggukkan kepala.

   Hal itu sudah cukup bagi Sukmajaya untuk bertindak menyelamatkan Gumanda.

   Namun seperti tadi, ujung kayu itu hanya tinggal sedikit lagi menyentuh tangan Gumanda.

   Kalau tadi kawannya bisa melihat dan berusaha menggapai, tapi kini tak tahu dan tak bisa mendengar teriakan Sukmajaya yang memerintahkan agar meraih ujung kayu yang dijulurkannya.

   Melihat hal itu, salah seorang dari tiga orang yang baru datang itu membantu dengan memegang kedua kaki Sukmajaya.

   Kini, Sukmajaya berhasil menjulurkan ujung kayu di tangan kanannya.

   Dan Gumanda langsung menangkapnya erat-erat.

   Kemudian perlahan-lahan dua orang yang memegangi kaki Sukmajaya menariknya, hingga Gumanda terbebas dari perangkap alam.

   Laki-laki bercambang bauk itu segera naik, dan langsung terduduk lesu, dibersihkan seluruh rubuhnya yang kotor.

   Sedangkan napasnya terengah-engah menghirup udara sebanyak-banyaknya.

   "Kalian ikut kami!"

   Ujar salah seorang dari tiga orang yang baru datang, ketika Gumanda telah membersihkan seluruh tubuhnya.

   "Ke mana?"

   Tanya Sukmajaya.

   "Bukankah kalian ingin bergabung dengan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

   "Ah, iya! lya...!"

   Sahut Sukmajaya dan Gumanda bersemangat.

   "Mari ikut kami!"

   Ajak orang itu lagi sambil berjalan hati-hati.

   Sukmajaya dan Gumanda langsung bangkit.

   Sukmajaya memapah tubuh kawannya yang masih lemah.

   Dan bersama ketiga orang itu mereka kini aman dari perangkap alam maupun yang sengaja dibuat para penghuni Bukit Tunjang! *** Siang hari kabut di Bukit Tunjang mulai berkurang.

   Tapi, tetap saja penduduk di sekitar bukit itu enggan keluar rumah.

   Kalaupun ada, barangkali hanya untuk memeriksa sawah ladang ini.

   Dan siang makin tergelincir, matahari perlahan-lahan bergerak ke barat, mengiringi langkah seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun ke arah Bukit Tunjang.

   Orang tua itu berpakaian bersih dan rapi, terbuat dari sutera halus.

   Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih, digelung.

   Di pinggangnya terselip sebuah suling berwarna keemasan.

   Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah kipas yang terkembang.

   Dan sesekali kipas itu menyapu wajahnya seperti ingin menyejukkan diri dari sengatan matahari.

   Dengan mamakai alas kaki dari kulit, orang tua itu tiba di Desa Kedung Legok.

   Tangan kirinya yang tadi membawa buntalan di pundak, kini diturunkan ke bawah.

   Beberapa orang desa yang melihat orang tua itu, merasa heran.

   Masalahnya daerah mereka memang jarang dilalui orang tua seperti laki-laki itu.

   "Kisanak! Akan ke manakah tujuanmu?"

   Sapa seorang penduduk Desa Kedung Legok ramah. Orang tua itu seketika menghentikan langkahnya, lalu tersenyum.

   "Aku hendak ke Bukit Tunjang...' jawab orang tua itu, tenang. Bukan main kagetnya penduduk Desa Kedung Legok ini ketika mendengar jawaban orang tua itu.

   "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu ke sana!"

   Lanjut orang itu kemudian.

   "Hm .... Memangnya kenapa?"

   "Tempat itu sangat berbahaya. Kau akan celaka nantinya!' jelas penduduk desa itu cemas. Tapi orang tua itu hanya tersenyum kecil, lalu melanjutkan perjalanannya.

   "Hm.... Orang tua itu barangkali sudah sinting! Berani-beraninya dia mendaki Bukit Tunjang. Hm... Pasti dia akan menemui ajal di sana...,"

   Lanjut penduduk desa itu sambil menggeleng-geleng. Penduduk desa itu membalikkan tubuhnya sesaat, untuk kembali ke dalam rumahnya. Namun, hatinya masih ada rasa kasihan terhadap orang tua tadi, sehingga membuatnya kembali berpaling. Tapi...

   "Hei?! Ke mana orang tua tadi? Kok tiba-tiba menghilang? Mustahil dia mampu berlari secepat itu! Wah, jangan-jangan dia hantu Bukit Tunjang yang sedang berkeliaran!"

   Seru orang itu dengan tubuh menggigil.

   Maka, buru-buru dia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya erat-erat.

   Orang tua itu sendiri kelihatannya berjalan santai saja.

   Tapi siapa sangka kalau ternyata dia mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah begitu tinggi.

   Tubuhnya telah melesat jauh meninggalkan Desa Kedung Legok tanpa seorang pun yang tahu.

   Tak heran kalau orang itu kini telah tiba di Desa Kedung Sari.

   Di situ pun, dia bertemu beberapa orang penduduk desa yang tengah berdagang.

   Mereka merasa heran, melihat orang tua yang renta dan kelihatan sangat lemah, malah ingin menuju Bukit Tunjang.

   Padahal bukit itu selama ini amat ditakuti penduduk desa di sekitarnya.

   "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu untuk mendaki bukit itu. Kau hanya akan mengantarkan nyawa percuma saja?!"

   Cegah salah seorang penduduk desa Kedung Sari, karena merasa kasihan.

   "Hm.... Begitukah?"

   Tanya orang tua itu tenang, disertai senyum kecil. Sedangkan kipasnya terus bergerak-gerak menyapu wajahnya.

   "Di sana banyak berkumpul perampok ganas dan orang buronan kerajaan. Dan bukan hanya itu saja. Di sana juga banyak perangkap maut yang mengincar jiwa kita setiap saat!"

   Jelas orang itu.

   Orang tua itu tak menyahut, tapi malah mengangguk-angguk kecil.

   Setelah mengucapkan terima kasih, dia langsung melenggang kembali tanpa mempedulikan kekhawatiran orang itu.

   Mulanya, orang desa itu hanya menggelengkan kepala.

   Dia menduga, orang tua itu pasti sudah bosan hidup.

   Barangkali hatinya tertekan, lalu ingin bunuh diri di Bukit Tunjang.

   "Heh?! Sungguh gila! Tidak salahkan penglihatanku?!"

   Desis orang itu terkejut.

   Betapa tidak? Ternyata orang tua itu telah melesat jauh bagai anak panah dalam sekejap.

   Penduduk desa itu mengucek-ngucek matanya, seperti ingin meyakinkan penglihatannya.

   *** Orang tua berpakaian putih bersih itu kini telah tiba di kaki Bukit Tunjang.

   Dia berhenti sesaat, sambil memandang bukit yang menjulang bagai gunung itu.

   Mendadak kepalanya menoleh ketika melihat dua orang pemburu hendak pulang ke desa yang tak jauh dari kaki bukit itu.

   Yang seorang menenteng dua ekor ayam hutan.

   Sedangkan kawannya membawa seekor pelanduk yang cukup besar dan gemuk.

   Mereka saling berpapasan.

   dan kedua pemburu itu tersenyum.

   "Orang tua, hendak ke manakah tujuanmu?"

   Tanya salah seorang pemburu, ramah.

   "Ke Bukit Tunjang...,' sahut orang tua itu enteng.

   "Apa?' Ke Bukit Tunjang? Maksudmu, mendaki bukitnya hingga ke atas sana?"

   Tanya pemburu itu, seperti tak percaya. Orang tua itu mengangguk mantap sambil tersenyum kecil. Sedangkan wajah kedua pemburu itu tampak kaget bercampur heran.

   "Orang tua! Sebaiknya urungkan saja niatmu! Kau hanya mencari mati saja Di sana banyak perangkap alam yang dibuat para perampok dan buronan yang kejam itu. Kau bisa celaka!"

   Lanjut pemburu itu, melarang.

   "Sungguhkah apa yang kau katakan itu?"

   "Untuk apa berdusta?! Di atas sana memang tempat berkumpul para bajingan kejam dan ganas. Mereka tak pernah kenal ampun. Sebaiknya, urungkan saja niatmu itu. Dan, kembali saja,"

   Sahut pemburu itu. Hm. Kalau begitu, perjalananmu ini tak sia-sia...."

   Gumam orang tua itu enteng.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya kedua pemburu itu, nyaris bersamaan dengan wajah kaget.

   "Aku memang hendak bertemu para perampok itu,"

   Sahut orang tua itu, tanpa terlihat takut sedikit pun. Lalu dia segera berlalu, meninggalkan dua pemburu itu.

   "Hm... Orang tua itu mungkin sudah sinting!"

   Sesal pemburu yang membawa ayam hutan sambil menggelengkan kepala. Dihelanya napas panjang, ketika orang tua itu telah mulai mendaki bukit.

   "Barangkali dia memang ingin cepat-cepat mati...,"

   Sahut kawannya yang membawa pelanduk besar.

   "Ah! Sudahlah yang penting kita telah menjelaskan bahayanya. Kalau dia nekat juga, barangkali memang sudah nasibnya harus mati di sana. Mari kita cepat pulang."

   "Iya... , eh?!"

   Tiba-tiba laki-laki yang membawa pelanduk besar itu terkejut, ketika berpaling mencari orang tua itu dengan ekor matanya.

   "Kenapa?"

   "Orang tua itu? Dia..., dia menghilang!"

   Desis kawannya dengan wajah heran.

   "Ah! Jangan bergurau. Mana mungkin dia bisa menghilang begitu saja. Pasti hanya terhalang semak-semak atau kabut."

   "Tidak! Aku melihat sendiri. Tadi dia berjalan tenang, tapi tahu-tahu melesat kencang bagai anak panah, dan hilang dari pandanganku."

   "Paling-paling matamu saja yang sudah rusak, Karta."

   "Tidak Jagur. Aku sungguh-sungguh! Mataku ini belum lamur. Hiiih...! Barangkali dia hantu penunggu bukit ini. Sebaiknya, kita cepat-cepat pulang saja, Gur!"

   Ajak laki-laki bernama Karta sambil berlari-lari kecil mendahului kawannya.

   Agaknya laki-laki yang dipanggil Jagur terpengaruh cerita kawannya.

   Matanya langsung berpaling ke atas bukit.

   Dan dengan memberanikan diri, dia mencbba berjalan tenang.

   Tapi melihat Karta telah jauh di depannya, maka ketakutannya mulai menggumpal di dadanya.

   Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia mengambil langkah seribu.

   Jagur lari terbirit-birit dari tempat itu, sambil berteriak-teriak.

   "Karta, tungguuu...!"

   Kedua orang itu akhirnya saling kejar-mengejar, untuk secepatnya tiba di rumah masing-masing! *** Sementara, orang tua berbaju putih bersih itu berhenti sejenak, ketika kedua pemburu itu telah jauh.

   Tapi, sebenarnya bukan karena itu langkahnya terhenti.

   Masalahnya di depan dia melihat semak belukar membentang.

   Memang terlihat ada jalan setapak yang ditutupi daun-daunan kering bagai permadani coklat menghampar.

   Tapi orang tua itu tak percaya.

   Maka diambilnya sebuah batu yang cukup besar dan dilemparkannya ke depan.

   Brosss! Batu itu langsung terperosok ke dalam rawa terapung dan terus tenggelam.

   "He he he...! Kalian pikir aku bisa diperdayai oleh mainan anak kecil seperti ini?!"

   Gumam orang tua itu.

   Kemudian, orang tua itu berjalan tenang sambil memungut kerikil-kerikil kecil yang berserakan di tanah.

   Beberapa kali kerikil itu digunakan untuk mengungkap perangkap-perangkap alam yang tersembunyi di balik semak-semak maupun kumpulan dedaunan kering.

   Dalam keadaan demikian, mendadak bahu kanan orang tua itu menyenggol seutas oyot pohon yang menggantung rendah.

   Maka saat itu juga melesat beberapa bambu runcing beracun ke arahnya.

   Ser, ser! "Hup!"

   Orang tua berbaju putih itu cepat menundukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gelap itu.

   Kemudian ringan sekali tubuhnya melesat ke atas salah satu cabang pohon.

   Begitu mendarat, dia cepat melompat ke cabang pohon lain hingga beberapa kali.

   Tiba di suatu lereng datar dan ditumbuhi rerumputan hijau serta pepohonan yang tak terlalu besar, orang tua itu melompat turun.

   Lalu kakinya melangkah tenang mendaki bukit.

   Sesekali, kipasnya dikebut-kebutkan.

   Namun baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja orang tua itu telah dihadang beberapa orang berwajah seram dengan golok terselip di pinggang.

   Rata-rata mereka mengenakan baju merah.

   Sepintas saja, bisa dinilai kalau orang-orang itu pasti bermaksud tak baik pada orang tua itu.

   "Orang tua! Berhenti kau!"

   Bentak salah seorang yang bertubuh besar, sambil memilin-milin kumis tebalnya.

   "Hm... Siapakah kalian ini?"

   Tanya orang tua itu, pura-pura terkejut. Seketika langkahnya berhenti dan memandang mereka satu persatu. Setelah dihitung, ternyata jumlah mereka tak kurang dari sepuluh orang.

   "Tak usah banyak tanya kalau kau ingin selamat! Heh? Apa yang kau bawa itu?!"

   Sentak laki-laki berkumis tebal itu, galak.

   "Buntalan ini?"

   Tanya orang tua itu sambil menjulurkan buntalan yang dipegang tangan kirinya.

   "Tentu saja, Goblok! Apa kau pikir aku menanyakan buntalan kepalamu?!"

   "Oh... Ini isinya uang emas dan perak, serta beberapa potong pakaian sutera halus yang nilainya amat tinggi,"

   Sahut orang tua itu, jujur. Orang-orang yang tampaknya kawanan begal itu saling berpandangan satu sama lain, Kemudian terlihat tersenyum-senyum.

   "Hm... Sulingmu bagus juga, Orang Tua. Apakah itu dari emas juga?"

   Tanya orang yang kepalanya gundul. Matanya mendelik dengan wajah penuh nafsu untuk memiliki benda-benda orang tua itu.

   "Ya! Suling ini pun dari emas...

   "Orang tua, ketahuilah! Tak seorang pun yang kami biarkan hidup bila lewat di tempat ini! Tapi karena kau jujur, maka jiwamu kuampuni. Hanya saja, kau harus meninggalkan buntalan serta suling milikmu itu. Ayo, cepat!"

   Ujar laki-laki gundul itu bernada mengancam.

   "Kenapa tidak? Tentu saja aku rela menyerahkan ini semua jika kalian mau menjawab pertanyaan dariku,"

   Sahut orang tua itu.

   "Apa pertanyaanmu, Orang Tua?!"

   Timpal laki-laki yang pada telinga kirinya memakai anting-anting.

   "Apakah kalian anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang?"

   "Untuk apa kau bertanya seperti itu?!"

   Dengus, yang bercambang bauk.

   "Jawab saja pertanyaanku. Kalau tidak, bukan saja tak akan mendapatkan barang-barang berharga ini. Tapi, kepala kalian pun akan kupecahkan semuanya!"

   "Heh?!"

   "Setan! Phuih! Tua bangka keparat! Tahukah kau apa artinya kata-katamu itu tadi?!"

   Bentak laki-laki yang memakai anting-anting.

   Dia langsung melompat ke hadapan orang tua itu, kepalan tangannya cepat diayunkan keras ke wajah.

   Memang jawaban orang tua itu amat mengejutkan mereka, sekaligus menimbulkan kemarahan.

   Betapa tidak? Mereka kira, orang tua itu sudah gila.

   Buktinya, dia ingin mampus berani bicara seperti itu.

   "Yeaaa!"

   Begitu laki-laki yang memakai anting-anting mengayunkan kepalan tangannya, tenang sekali orang tua itu memindahkan kipas ke tangan kiri.

   Lalu telapak tangan kanannya cepat menangkap kepalan tangan laki-laki beranting-anting itu.

   Tap! Krek! Terjadi peristiwa yang membuat kaget semua orang yang berada di situ.

   Ternyata kepalan tangan teman mereka kontan remuk dicengkeram orang tua itu.

   Dan belum lagi habis rasa kaget mereka, tangan orang tua itu cepat menghantam ke dada kiri.

   Begkh! "Aaakh!"

   Karuan saja, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang memakai anting-anting menjerit setinggi langit.

   Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah sejauh dua tombak dalam keadaan tak bernyawa lagi, begitu tulang rusuknya di dada dirinya remuk, hingga menusuk jantungnya.

   "Heh?!" *** "Orang tua keparat! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami ini, heh?!"

   Geram yang berkepala gundul dengan amarah meluap-luap.

   "Dasar tolol! Kalian pikir apa yang kulakukan tadi, heh?!"

   Sahut orang tua itu, tak kalah geramnya.

   "Bangsat! Kau pikir bisa berbuat seenaknya saja di tempat ini. Mampuslah! Ini bagianmu! Yeaaa...!"

   Dengan kalap, laki-laki gundul itu mengayunkan goloknya. menebas leher orang tua berbaju putih itu.

   "Hup!"

   Sekali memiringkan tubuh golok laki-laki gundul itu lewat beberapa rambut di depan leher orang tua ini.

   Seketika.

   tangan kirinya langsung menangkap pergelangan tangan yang memegang golok.

   Lalu, ditariknya tangan itu dengan kekuatan tenaga dalamnya.

   Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, tangan kanan orang tua itu cepat menghantam ke arah batok kepala laki-laki gundul itu.

   Prak! "Aaa...!"

   Kepala laki-laki gundul itu langsung remuk disertai jeritan menyayat.

   Tubuhnya ambruk ke tanah bersimbah darah.

   Seketaka dia meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi.

   Hal itu tentu saja membuat yang lain menjadi geram bukan main.

   Dua orang telah tewas dalam sekejap.

   Orang tua yang semula dianggap lemah itu, ternyata tidak bisa dianggap sembarangan.

   Dan hal itu semakin membuat kemarahan mereka makin menyala-nyala saja.

   "Kawan-kawan! Mari kita rencah orang tua keparat itu bersama-sama!"

   Teriak laki-laki bercambang bauk memberi semangat.

   "Huh! Akan kutebas batang lehernya!"

   Timpal temannya, geram. Yang lainnya tak menimpali, tapi langsung menerjang orang tua itu dengan senjata terhunus.

   "Hiyaaa...!"

   Wuk! Wukkk! Golok-golok di tangan kawanan itu mendesing berkali-kali menyambar. Namun gesit dan lincah sekali orang tua itu seenaknya saja menghindari tanpa kesulitan sedikit pun Bahkan masih bisa tertawa-tawa mengejek.

   "He he he...! Hanya seginikah kemampuan anak buah Tiga Setan Bukit Tunjang itu? Hm... Benar-benar memalukan!"

   "Orang tua busuk! Tutup mulutmu, sebelum kurobek mulut besar itu!"

   Bentak salah seorang sambil mengayunkan golok di tangan ke wajah tua di depannya.

   Namun sambil tersenyum kecil, orang tua itu cepat mengebutkan kipasnya yang terbentang.

   Trak! Lalu dengan tiba-tiba sekali tubuh tua itu berbalik.

   Langsung diayunkannya satu tendangan menggeledek, ke arah dada kiri penyerangnya.

   Desss! "Aaa...!"

   Kembali salah seorang menjerit kesakitan dengan tubuh terlontar beberapa langkah.

   Dari mulutnya tampak menyemburkan darah segar.

   Begitu tiba di tanah, orang itu menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak! "Ha ha ha..

   ! Dasar besar mulut! Kau pikir bisa berbuat apa terhadapku!"

   Dengus orang tua itu, sinis.

   Tanpa menggubris perkataan orang tua itu, para penyerang lain kembali menyerang tanpa mengenal takut.

   Tapi orang tua itu agaknya mulai gemas.

   Dia mulai tak sabar.

   Kalau tadi menunggu serangan kini dia langsung melompat memapak serangan.

   Ketika seseorang membabatkan golok ke kepala tubuhnya cepat melenting tinggi.

   Gerakannya cepat bukan main.

   Dan begitu berada di udara, orang tua itu cepat menukik turun, dengan kaki tetap mengarah ke bumi.

   Seketika, langsung dilepaskannya satu tendangan keras tak terduga.

   Begitu cepatnya sehingga...

   Prakkk! "Aaakh...!"

   Nyawa orang yang membabatkan golok langsung melayang, begitu tubuhnya ambruk di tanah.

   "Bangsaaat...!"

   Maki salah seorang lagi, geram.

   "Heh? Tak usah memaki! Ayo, serang terus!"

   Ejek orang tua itu Laki-laki tua yang terus memainkan kipasnya itu tetap terkekeh mengejek.

   Dan seketika, kepalanya ditundukkan, begitu datang serangan dari belakang.

   Bersamaan dengan itu ujung kipasnya juga dikebutkan ke depan untuk menghalau lawannya yang ada di depan.

   Buru-buru laki laki bertampang seram yang ada di depan melenting ke belakang, begitu merasakan angin kibasan kipas yang kuat bukan main.

   Sementara orang tua berpakaian putih ini tak melanjutkan serangan, karena harus menghindari sambaran golok dan kanan dan kiri dengan membungkuk.

   Kemudian tubuhnya cepat berbalik, seraya mengayunkan satu tendangan ke belakang.

   Orang yang ada di belakang terkejut bukan main dan untungnya tubuhnya cepat dimiringkan, sehingga tendangan itu luput.

   Namun, agaknya serangan laki-laki tua itu hanya tipuan belaka.

   Karena tanpa diduga sama sekali justru yang menjadi sasaran adalah dua orang yang berada di samping kanan dan kiri.

   Dengan gerakan sangat menakjubkan, laki-laki tua itu berputar dengan kedua kaki terbentang.

   Langsung dihantamnya kedua rahang lawan sekaligus.

   Tak! Tak! "Aaakh...!"

   Dua orang kembali memekik kesakitan, begitu merasakan kalau tulang rahang mereka patah akibat tendangan tadi.

   Sementara begitu habis menendang, orang tua itu sendiri segera melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan golok sekaligus.

   Bagai seekor burung walet, tubuhnya mengapung di udara untuk beberapa saat.

   Bersamaan dengan itu salah seorang lawan melompat ke atas disertai ayunan golok ke arah kaki.

   "Hiyaaa...!"

   Sebuah benturan dari dua jenis senjata tak terelakkan lagi, begitu dengan gesit sekali orang tua itu menukik turun dan langsung mengebutkan kipasnya.

   Trak! Dan belum juga orang yang mengayunkan golok itu menyadari apa yang terjadi, senjata kipas orang tua ini sudah bergerak cepat.

   Langsung disambamya tenggorokan itu.

   Brettt! "Aaakh!"

   Kembali satu jeritan tertahan terdengar ketika ujung kipas orang tua itu merobek leher lawan. Bagai seekor ayam yang disembelih, tubuh orang itu ambruk ke tanah. Dan dia tewas beberapa saat, setelah meregang nyawa.

   "Orang tua keparat! Hari ini kami akan mengadu jiwa denganmu!"

   Dengus salah seorang dari tiga yang tersisa. Sedangkan orang tua berbaju putih bersih itu tenang-tenang saja. Dia berdiri sambil mengebut-ngebutkan kipasnya ke wajah disertai senyum kecil.

   "Hm... Siapa yang sudi mengadu dengan jiwa busuk kalian? Sebaiknya, kalian saja yang mampus. Sebab, itulah yang pantas,"

   Sahut orang tua itu tenang.

   "Keparat sombong! Mampuslah kau! Hiyaaa...!"

   Bentak orang itu sambil kembali melompat menyerang, diikuti dua orang kawannya.

   Orang tua itu hanya menundukkan kepala, menghindari sabetan golok ke lehernya.

   Sementara kipas di tangan kanannya memapak sebuah golok lagi yang mengarah ke pinggang.

   Trak! Orang yang goloknya terpapak kontan terjajar beberapa tindak ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit.

   Dari benturan senjata itu, tangannya terasa ngilu dan kesemutan.

   Dan belum juga bisa menarik napas lega, orang tua itu harus melompat ke atas untuk menghindar dari tebasan golok lain yang mengarah ke punggungnya.

   Bersamaan dengan itu, kedua kakinya langsung melepaskan tendangan secara bersamaan, ke arah dada kiri kedua lawan yang berada di depan.

   Degkh! Desss! Tanpa mempedulikan dua orang lawannya yang terjengkang akibat tendangan yang dilepaskan demikian cepat, orang tua itu cepat berbalik seraya mengayunkan ujung kipas menyambar tenggorokan lawan di belakangnya.

   Crasss! Seketika tiga jeritan kesakitan terdengar saling susul.

   Kini ketiga orang itu sudah ambruk di tanah.

   Sebentar mereka kelojotan lalu mati.

   Memang dahsyat serangan balik orang tua itu.

   Dua tendangan yang dilepaskan tadi, memang dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi.

   Akibatnya dada kedua orang itu kontan remuk.

   Sementara kibasan kipasnya juga demikian cepat.

   Bahkan lawan di belakangnya tak mampu berbuat apa-apa Setelah merayapi sekitarnya yang telah banjir darah, orang tua itu melangkah tenang untuk melanjutkan perjalanannya.

   Seolah-olah, dia tidak pernah berhadapan dengan kejadian yang berarti.

   Lantas, siapakah orang yang kepandaiannya demikian tinggi ini? *** Belum lagi berjalan jauh, kembali orang tua berbaju itu dihadang sekelompok orang-orang bertampang seram.

   Wajah mereka tampak beringas, bahkan lebih buas dari orang-orang sebelumnya.

   Dan melihat dari gerak-geriknya, bisa diduga kalau kepandaian mereka lebih tinggi setingkat, dari kesepuluh lawan-lawan yang telah dikirimnya ke akherat.

   Orang tua itu memandang ke sekeliling dan mulai menghitung jumlah mereka dalam hati.

   Dan agaknya, para penghadangnya juga berjumlah sepuluh! "Orang tua! Sungguh hebat kepandaianmu itu.

   Siapakah kau ini?! Dan, apa yang kau inginkan, hingga berani mendaki Bukit Tunjang?!' bentak salah seorang yang memakai ikat kepala merah.

   Tampak sekilas pedang bertengger di punggungnya.

   Orang yang membentak itu kelihatannya baru berusia sekitar dua puluh lima tahun.

   Rambutnya panjang hingga ke punggung.

   Kulitnya kasar berwarna hitam kecoklatan.

   Tubuhnya tegap dan berisi, dengan otot-ototnya yang bersembulan.

   Bisa diperkirakan kalau tenaga dalam pemuda itu cukup kuat.

   Sorot matanya tajam, dengan sepasang alis tebal.

   Sikapnya kelihatan tenang ketika melipatkan tangannya di depan dada.

   "Apa hakmu bicara seperti itu?"

   Sahut orang tua itu, balik bertanya.

   "Aku pimpinan mereka Sebaiknya, jawab saja pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang!"

   Sahut pemuda itu, mengancam.

   "He he he...! Pemuda gagah yang bersemangat. Aku suka melihat sikapmu. Tapi ingin kutahu, sampai di mana kemampuanmu hingga berani-beraninya memimpin mereka. Jangan-jangan, isi perutmu hanya kotoran belaka!"

   Lanjut orang tua itu sambil tertawa mengejek.

   "Orang tua! Jaga mulutmu! Aku sudah terlalu baik dengan menyapamu!"

   Dengus pemuda itu geram.

   "Hm.... Ternyata kau penaik darah juga. Nah! Kalau urusanmu ingin cepat selesai, jawablah pertanyaanku ini. Apakah kalian kaki tangan Tiga Setan Bukit Tunjang?"

   "Keparat! Kau pikir berada di mana saat ini?! Berani benar kau bicara seperti itu! Akulah yang seharusnya bertanya!"

   Bentak pemuda itu semakin geram.

   "Kala Gundil! Buat apa berlama-lama dengan orang tua sinting ini? Sebaiknya, perintahkan saja kami untuk memenggal kepalanya saat ini juga!"

   Timpal salah seorang anak buah pemuda yang ternyata bernama Kala Gundil. Amarahnya tampak sudah menggelegak dalam dada.

   "He he he...! Sungguh hebat bicaramu. Tapi aku ragu, apakah kau mampu melakukannya,"

   Sahut orang tua itu, enteng.

   "Huh! Apa sulitnya memotes kepalamu!"

   Dengus orang itu sambil melompat dan mencabut pedangnya. Sring! "Yeaaa...!"

   Pemuda yang dipanggil Kala Gundil itu mendiamkan saja anak buahnya berbuat demikian.

   Dan hal itu ternyata dianggap sebagai persetujuan bagi mereka untuk merencah orang tua yang dianggap tak tahu diri itu.

   Maka dalam waktu singkat saja dua orang lagi segera menyusul menyerang.

   Agaknya, tangan mereka memang sudah sejak tadi terasa gatal ingin memberi hajaran pada orang tua sombong itu.

   Wut! Wut! "Uts...!"

   Orang tua berbaju putih itu memiringkan sedikit tubuhnya, untuk menghindari sabetan pedang dari depan.

   Dan belum juga sempat berbuat apa-apa, datang lagi serangan pedang dari samping kiri.

   Terpaksa orang tua itu menundukkan badannya kedepan.

   Namun pada saat yang sama datang serangan pedang yang mengarah ke jantung.

   Maka seketika kipasnya yang masih menguncup cepat dikebutkan dari atas ke bawah.

   Trak! Dua benturan senjata mulai terjadi.

   Orang yang senjatanya tertangkis tadi kontan terjajar tiga langkah ke belakang.

   Sungguh tak diduga kalau orang tua itu demikian gesit, sehingga serangan dahsyat tadi mampu dipapaknya.

   Begitu habis memapak serangan pedang lawan, kipas orang tua itu cepat terkembang kembali.

   Bahkan langsung bergerak menyambar tenggorokan lawan yang berada paling dekat.

   Orang itu terkejut setengah mati, namun buru-buru melompat ke belakang.

   Maka, selamatlah selembar nyawanya dari kibasan orang tua itu.

   "Hiyaaa...!"

   Begitu mendapat kesempatan, orang tua itu cepat melesat ke udara disertai bentakan nyaring.

   Tubuhnya langsung berputaran menyamping ke arah seorang lawan yang terdekat.

   Dan kipasnya yang sudah kembali menguncup, langsung digunakan untuk menyerang jantung! Sementara melihat serangan cepat ini, orang yang jadi sasaran merasa gugup bukan main.

   Buru-buru dia menjatuhkan diri ke bawah.

   Dan untung saja orang tua itu tak melanjutkan serangannya, merasakan ada angin serangan dari belakang.

   Maka buru-buru orang tua itu menunduk.

   Dan begitu tubuhnya berbalik cepat, langsung dihantamnya tenggorokan pembokongnya dari arah bawah.

   Jrosss! "Aaa...!"

   Pembokong itu kontan memekik kesakitan, begitu tenggorokannya tertembus kipas yang telah menguncup.

   Darah langsung mengucur dari tenggorokannya yang berlubang.

   Sesaat tubuhnya limbung, sebelum ambruk ke bumi dalam keadaan meregang nyawa.

   Tentu saja hal itu membuat kaget kedua kawannya.

   Tapi orang tua itu agaknya tak mau memberi kesempatan lagi.

   Maka dengan gerakan cepat bagai kilat dimanfaatkannya kelengahan mereka.

   Seketika kipasnya yang telah mengembang kembali menyambar dua korban lagi! Brettt...! "Wuaaa...! Aaa!"

   Terdengar dua jeritan memilukan yang saling susul.

   Seketika dua orang yang terkena sambaran kipas orang tua itu jadi limbung.

   Yang seorang tersambar pada dada kirinya, hingga tulang rusuknya patah.

   Sedangkan yang seorang lagi tersambar pada perutnya, hingga isinya terburai.

   Jelas ini suatu bukti kalau orang tua itu tidak bisa diajak bermain-main.

   Serangannya sungguh cepat dan dahsyat, membuktikan kalau kepandaiannya sangat tinggi.

   Tentu saja hal itu membuat para penghadang yang lain jadi terkejut setengah mati.

   Mereka tahu betul kalau ketiga orang itu memiliki kepandaian tak rendah.

   Namun dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah terkapar hanya sekali gebrak saja.

   Tapi Kala Gundil cepat bertindak, segera diperintahkannya anak buahnya untuk langsung meringkus orang tua itu.

   Namun sebelum mereka bergerak menyerang, tiba-tiba.."Hentikan...!" *** Selanjutnya ke Bagian 3-4 Pendekar Rajawali Sakti Заметки Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia Aller vers Section de cette page accessibilitE Supprimer 113.

   Pembalasan Iblis Sesat Bag.

   3-4 17 aoUt 2014, 18.49 Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menyebar ke segala arah.

   Jelas suara itu dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi.

   Maka serentak mereka yang berada di situ mencari-cari sumber suara, kecuali orang tua itu.

   Begitu sudah bisa memastikan arahnya, mereka kini melihat tiga sosok tubuh tinggi besar telah hadir tak jauh dari situ.

   Yang seorang berbaju ketat warna hijau.

   Wajahnya dihiasi cambang bauk.

   Tampak pada tangan kanannya tergenggam sebuah gada berduri sebesar paha orang dewasa.

   Dan dia kenal dengan nama Sugriwa.

   Sementara orang yang berdiri di tengah memakai baju merah sering dipanggil dengan nama Durganda.

   Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai ke bawah.

   Tampak di dadanya menggantung kalung dari tulang-tulang manusia.

   Dipinggangnya tampak terselip sebuah golok panjang yang ujung-nya bercagak dua.

   Sedangkan orang yang berdiri di kiri memakai baju kuning.

   Wajahnya yang sudah seram, makin seram lagi oleh codet yang menyilang pada mata kirinya.

   Sebuah pedang besar tampak tersandang di punggungnya.

   Dia bernama Pegi Salira.

   Memang, ketiga orang itulah yang disebut-sebut sebagai Tiga Setan Bukit Tunjang.

   Dan mereka yang ada di situ langsung menjura hormat kecuali orang tua itu.

   Sementara Kala Gundil kemudian menghampiri.

   "Lapor, Ketua! Orang tua ini telah mengacau di tempat kita dengan membunuh kawan-kawan yang lain. Untuk itulah kami harus membunuhnya!"

   Lapor Kala Gundil.

   "Setan! Pergi kalian dari hadapanku!"

   Hardik Sugriwa garang. Mendapat bentakan itu, Kala Gundil dan anak buahnya jadi tersentak kaget bercampur heran.

   "Ta.., tapi...

   "

   "Heh?! Tahukah kau, siapa orang ini?!"

   Potong Durganda dengan mata mendelik garang.

   "Mana kutahu? Yang jelas, dia telah membunuh banyak anak buah kita...

   "

   "Keparat! Dia itu paman guruku, tahu?!"

   Bentak Durganda, garang. Mendengar penjelasan Durganda tentu saja Kala Gundil dan yang lain tersentak kaget. Sungguh tidak mereka sangka kalau orang tua itu ternyata paman guru si Tiga Setan Bukit Tunjang yang nyata-nyata penguasa bukit ini.

   "Paman Guru Sanjaya, maafkanlah anak buahku yang buta dan tak mengenali orang sendiri ini. Terimalah salam hormatku!"

   Ujar Durganda diikuti kedua kawannya sambil menjura hormat.

   "He he he...! Durganda, lama kita tak bertemu. Kudengar kau kini bercokol di Bukit Tunjang, dan memiliki anak buah yang hebat-hebat. Tapi nyatanya, mereka hanya kecoa-kecoa tak berguna!"

   Sahut orang tua yang dipanggil Sanjaya itu sambil terkekeh-kekeh.

   "Paman Guru! Kami memang orang-orang bodoh. Dan dengan kehadiran Paman Guru di tempat ini, tentu Bukit Tunjang akan semakin bersinar. Mohon petunjuk darimu, Paman Guru,"

   Ujar Durganda dengan sikap merendah.

   "He he he...! Sudahlah, aku hanya bergurau,"

   Kata Ki Sanjaya sambil menepuk-nepuk pundak murid keponakannya. Durganda tersenyum kecil. Dan matanya melirik sekilas pada Kala Gundil dan anak buahnya yang masih berada di tempat itu dengan sikap mematung dan salah tingkah.

   "Heh?! Kenapa kalian diam saja?! Ayo, cepat minta maaf!"

   Bentak Durganda garang. Dengan segera mereka menghampiri Ki Sanjaya sambil menjura hormat.

   "Ki Sanjaya, maafkanlah kesalahan kami yang bodoh dan tak bisa mengenali orang,"

   Ucap Kala Gundil mewakili anak buahnya.

   "Hm.... Sudahlah,"

   Gumam Ki Sanjaya.

   "Nah! Kalian boleh pergi sekarang juga!"

   Bentak Durganda memberi perintah. Setelah menjura, Kala Gundil segera berbalik dan berlalu dari tempat itu, diikuti kerjga kawannya.

   "Paman Guru, silakan ke tempat kami,"

   Ajak Durganda, mempersilakan orang tua itu menuju kediaman mereka, setelah Kala Gundil dan anak buahnya tidak kelihatan lagi.

   "Sebentar, Durganda!"

   Kata Ki Sanjaya, tiba-tiba.

   "Ada apa, Paman Guru...?"

   Tanya Durganda, dengan kening berkerut.

   "Berapa jumlah anak buahmu di tempat ini?"

   Tanya orang tua itu dengan wajah sungguh-sungguh.

   "Entahlah. Tapi seratus orang itu tak kurang. Bahkan bisa lebih banyak lagi. Memangnya ada apa, Paman Guru?"

   "He he he...! Bagus! Bagus...!"

   Sahut Ki Sanjaya, diiringi kekehan kecil dan anggukan kepala beberapa kali. Melihat kelakuan paman gurunya, tentu saja Durganda dan kedua kawannya semakin heran.

   "Kau bersedia membantuku, Durganda?"

   "Tentu saja. Tapi apa yang dapat kami bantu?"

   Durganda balik bertanya.

   "Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!"

   Sahut Ki Sanjaya cepat. Durganda, Peging Salira, dan Sugriwa seketika saling berpandangan sesaat.

   "Kenapa? Apa kalian tak mau membantuku?!"

   Sentak Ki Sanjaya dengan wajah garang, melihat murid-murid keponakannya bersikap demikian.

   "Bukan begitu, Paman. Kalau memang Paman berniat demikian, tentu saja kami setuju sekali. Dan kesempatan itu memang telah lama kami nanti-nantikan. Aku banyak mendengar cerita tentang sepak-terjang Pendekar Rajawali Sakti yang membuat muak perasaanku. Anak buahku tentu saja akan suka sekali mendengarnya. Karena banyak dari mereka yang pernah berurusan dengan pendekar tengik itu. Mereka tentu sakit hati dan dendam sekali,"

   Jelas Durganda, singkat.

   "Ha ha ha...! Kali ini akan kita singkirkan pendekar busuk itu. Setelah apa yang dilakukannya pada dua kawanku hingga mereka tewas sia-sia, kini tiba giliran dia untuk mampus!"

   Desis Ki Sanjaya sambil tertawa terbahak-bahak.

   Suara tawa laki-laki tua itu terdengar keras dan menggema sampai ke lereng-lereng bukit.

   *** Siang hari ini, tidak jauh dari Bukit Tunjang, matahari bersinar tak terlalu garang.

   Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi.

   Pepohonan juga berdaun rimbun, sehingga membuat dua sosok yang menunggang kuda di bawahnya merasa nyaman dan terlindung.

   Kedua sosok itu memacu kudanya perlahan-lahan seperti ingin menikmati keindahan alam disekitarnya.

   Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan.

   Rambutnya panjang terurai, diikat sehelai ikat kepala putih seperti warna rompinya.

   Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang bergagang kepala burung.

   Kudanya yang hitam berkilat, terlihat gagah dan kuat.

   Sementara yang berada di sebelahnya, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun.

   Tubuhnya sedang, terbungkus baju hitam sebagaimana layaknya tokoh-tokoh persilatan.

   Dia pun membawa pedang yang tersampir di punggungnya.

   Rambutnya yang tak terlalu panjang, diikat sehelai kain hijau.

   Sementara itu, kuda yang ditungganginya berbulu coklat, dan terlihat seperti kuda biasa saja.

   "Gusti Prabu Rangga...,"

   Sapa laki-laki berbaju hitam pada pemuda berbaju rompi putih di sebelahnya. Seketika pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh.

   "Ada apa, Paman Lanang?"

   Sahut Rangga.

   "Gusti masih bersedih...?"

   Laki-laki berbaju hitam itu malah balik bertanya. Rangga hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan tadi.

   "Sejak Gusti Ayu Pandan Wangi sakit, Gusti Prabu sepertinya tak pernah bergembira...,"

   Desah orang yang dipanggil Paman Lanang.

   "Apalah artinya kegembiraan bila aku melalaikan kewajibanku sebagai raja dari rakyatku, Paman Lanang,"

   Sahut pemuda itu tenang.

   "Ya, hamba pun tahu. Gusti Prabu sangat memperhatikan rakyat. Gusti juga rela terjun sendiri ke desa-desa dan kadipaten, untuk melihat dari dekat kehidupan rakyat di Karang Setra. Mereka menyayangi Gusti Prabu. Sehingga, ketika mereka tahu Gusti Prabu sedang berduka, maka seluruh rakyat ikut berduka pula,"

   Kata Paman Lanang.

   "Paman Lanang, apakah aku kelihatan bersedih?"

   Tanya Rangga sambil tersenyum kecil.

   "Gusti Prabu! Kata orang, sinar mata tak bisa bohong dan mampu menggambarkan sifat dan isi hatinya. Meskipun, wajahnya dibuat semanis mungkin,"

   Sahut Paman Lanang berfilsafat.

   "Hm, ya. Memang benar apa yang Paman katakan itu. Lalu, bagaimanakah kita menafsirkan isi hati manusia yang tak mempunyai biji mata itu?"

   Rangga balik bertanya sambil tersenyum kecil. Paman Lanang terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu.

   "Sudahlah, Paman. Tak perlu berkecil hati. Aku hanya ingin mengatakan, banyak cara menilai manusia itu. Kalau kita berdasar pada satu sikap dan penglihatan, maka itu bisa salah. Tapi kalau kita melihatnya dari berbagai sudut, boleh jadi akan mendekati kebenaran,"

   Sahut pemuda itu, menjawab sendiri pertanyaannya.

   "Gusti Prabu pasti lebih mengetahuinya daripada hamba...,"

   Desah Paman Lanang.

   "Tapi ada juga yang perlu kau ketahui, Paman!"

   "Apa itu, Gusti Prabu?"

   Rangga tersenyum sebelum menjawab.

   Kau kuminta berpakaian seperti tokoh persilatan agar orang-orang menyangka kau adalah rakyat biasa dan bukan seorang prajurit Karang Setra.

   Untuk itu, kau pun harus tutup mulut tentang diriku jika berhadapan dengan orang lain.

   Katakan saja kalau aku adalah saudara seperguruan.

   Kau ingat itu, Paman?"

   "Tentu akan hamba ingat selalu. Gusti Prabu!"

   Sahut Paman Lanang cepat.

   "Syukurlah. Nah! Coba kau perkirakan, kira-kira berapa lama lagi perjalanan kita ke tempat tabib itu?"

   Kata Rangga seraya menatap ke depan.

   "Tak sampai dua hari perjalanan lagi, Gusti Prabu,"

   Sahut Paman Lanang.

   "Apa tak ada jalan pintas agar bisa tiba secepatnya ke sana? Aku khawatir, penyakit Pandan Wangi semakin memburuk,"

   Tanya Rangga agak mendesah.

   "Jalan yang kita lalui inilah jalan pintasnya, Gusti Prabu. Setahu hamba, tak ada jalan lain yang lebih singkat lagi,"

   Sahut Paman Lanang. Rangga hanya mengeluh pendek mendengar jawaban itu. Rasa kekhawatiran kembali menyergap benaknya. Pikirannya terus bertuju pada Pandan Wangi di Karang Setra yang tengah menderita penyakit.

   "Gusti Prabu, tenangkanlah. Ketika kita tinggalkan, Gusti Ayu Pandan Wangi mulai membaik. Dia pasti akan sembuh. Lagi pula, penyakitnya tak begitu parah, bukan?"

   Kata Paman Lanang berusaha menghibur.

   "Kau tak tahu, Paman Lanang. Penyakitnya itu bila dibiarkan begitu saja akan semakin sulit diobatinya!"

   Ujar Rangga.

   ''Kenapa Gusti Prabu tak memerintahkan kami saja untuk menemui tabib itu?" 'Tidak.

   Aku lebih suka melakukan hal ini sendiri.

   Ini adalah persoalan pribadi.

   Maka, aku harus menyelesaikannya seorang diri.

   Kecuali bila menyangkut negara.

   Maka, sudah barang tentu kalian akan kuikutsertakan,"

   Tegas Rangga. Paman Lanang tak berkata apa-apa lagi. Memang jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan sulit untuk dibantah. Namun mendadak pemuda berbaju rompi putih itu memandang ke satu arah dengan penuh perhatian.

   "Gusti Prabu, ada apa?"

   Tanya Paman Lanang, cemas.

   "Tidakkah kau mendengar suara?"

   Tanya Rangga ingin memastikan.

   "Suara apa? Hamba tak mendengar suara apa-apa!"

   Sahut Paman Lanang semakin bingung. Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersadar. Rupanya memang Paman Lanang tak mendengarnya, karena telinganya tak terlatih.

   "Mari kita cepat ke sana!"

   Ajak pemuda berbaju rompi putih itu. 'Tapi ada suara apa, Gusti Prabu?"

   Tanya Paman Lanang penasaran.

   "Suara perkelahian dan seorang wanita berteriak meminta tolong. Kita harus menolong orang itu. Dia tentu sedang dalam kesulitan!"

   Sahut Rangga, seraya memacu lebih cepat kudanya.

   "Gusti Prabu, apakah ini tak akan menghambat perjalanan kita?!"

   Teriak Paman Lanang, karena kudanya mulai tertinggal jauh oleh Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Menolong orang lain sama pentingnya dengan menolong Pandan Wangi, Paman Lanang!"

   Sahut pemuda itu enteng.

   Paman Lanang terdiam mendengar jawaban itu.

   Kemudian kudanya dihela supaya berlari lebih kencang berusaha menyusul pemuda itu.

   Namun tetap saja kudanya tertinggal jauh dari Dewa Bayu yang sudah melesat bagai angin.

   Apa yang didengar Rangga memang tak salah.

   Tak berapa lama, Pendekar Rajawali Sakti tiba di suatu tempat di tepi hutan.

   Dan dia langsung melihat beberapa orang perampok tengah menghajar seorang laki-laki muda yang agaknya hanya mengerti sedikit ilmu olah kanuragan.

   Beberapa kali dia menjerit kesakitan, ketika tubuhnya mendapat hajaran secara bergilir.

   Sementara tak jauh dari situ, dua orang perampok lain sedang mempermainkan seorang wanita cantik.

   Salah seorang tampak menarik lengannya, hingga tubuh wanita itu terjerembab di tanah berumput.

   Begitu jatuh, perampok yang lain cepat menyergap dan langsung menindih tubuhnya.

   "Lepaskan aku! Lepaaaskan...! Tolooong...! Kakang Bhatara, tolooong. .! Aouw, lepaskan! Lepaskaaan...!"

   Teriak wanita itu sekuat tenaga, ketika kedua perampok itu mencoba menggerayangi tubuhnya yang kenyal.

   Dengan mata berbinar dan jakun turun naik, kemudian salah seorang melucuti pakaian wanita itu, sementara yang seorang lagi memegang kedua tangan dan kakinya.

   Wanita itu terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun apalah daya.

   Sedangkan rontaan-rontaan itu bagai hentakan-hentakan penuh nafsu bagai kedua perampok itu.

   Air mata wanita itu sudah bergulir satu demi satu di pipinya.

   Namun begitu harga dirinya sebagai seorang wanita akan terjamah, mendadak...

   "Hanya binatang berjiwa iblis yang bisa melakukan perbuatan terkutuk itu!"

   Bentak Rangga garang. Tiba-tiba sebuah suara, menghentikan perbuatan kotor kedua perampok itu. Sebuah suara dari Pendekar Rajawali Sakti yang telah melompat dari kudanya dan langsung berdiri di dekat pergumulan seru itu.

   "Heh?!"

   Kedua perampok bertampang seram itu kontan membenahi pakaiannya.

   Sementara itu, Paman Lanang yang baru saja tiba, segera menolong wanita yang hampir naas itu.

   Segera dibawanya wanita itu ke tempat aman, dengan terlebih dahulu memberikan kain wanita itu untuk menutupi tubuhnya.

   Begitu selesai berpakaian.

   kedua perampok itu segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

   "Bocah keparat! Kau pikir siapa dirimu, hingga berani mengganggu kesenangan orang lain?! Enyahlah kau dari hadapanku!"

   Bentak salah seorang seraya mengayunkan tangannya, hendak menampar Pendekar Rajawali Sakti. Begitu tamparan perampok itu hampir mendarat di wajah, dengan gerakan cepat bagai kilat Rangga menangkapnya. Tap! "Hih!"

   Dan dengan sekuat tenaga, langsung ditariknya, hingga tubuh orang itu kontan melesat tinggi melewati kepalanya.. Tubuh itu terus melayang dan langsung membentur keras batang pohon di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Brakkk! "Aaakh!"

   Melihat temannya dicundangi, perampok satu lagi menjadi geram.

   Seketika dilepaskannya satu tendangan keras ke bagian pinggang Rangga.

   Namun dengan gesit sekali Rangga cepat melompat ke atas.

   Dan tanpa diduga sama sekali, langsung dilepaskannya satu tendangan dahsyat ke dada orang itu.

   Diegkh! 'Aaakh...!"

   Kembali satu jeritan kesakitan terdengar menyayat.

   Tendangan Pendekar Rajawali Sakti memang cepat bagai kilat, sehingga orang itu tak mampu menghindar.

   Akibatnya, tubuhnya kontan terjengkang ke tanah, dan tak bergerak-gerak lagi.

   Demikian pula temannya yang menabrak pohon tadi.

   Sementara itu Paman Lanang kini segera menyelamatkan kawan wanita tadi yang dikeroyok.

   Namun akibatnya, laki-laki setengah baya itu harus menghadapi keroyokan enam orang perampok yang tadi mengeroyok pemuda teman wanita itu.

   "Paman Lanang! Biarkan aku membantumu, agar lebih cepat membereskan perampok-perampok busuk ini!"

   Teriak Rangga, melesat ke arah pertarungan.

   Kini pertarungan berjalan agak lebih seimbang, meskipun Rangga dan Paman Lanang masing-masing harus menghadapi tiga orang lawan.

   Dan di sini terbukti kelihaian Paman Lanang dalam pertarungan.

   Tubuhnya mampu bergerak lincah dan gesit.

   Tangannya pun cukup gesit ketika mencabut pedang dan memapaki golok-golok lawan yang berseliweran mengancam keselamatan.

   "Keparat busuk! Kalian harus mampus, karena berani ikut campur urusan Bajingan Dari Sungai Gerong!"

   Dengus salah seorang perampok disertai ayunan goloknya yang menebas kepala Paman Lanang.

   Namun, prajurit kerajaan yang gagah perkasa itu cepat menangkis dengan pedangnya yang sudah tercabut dari warangkanya di pinggang.

   Trang! Perampok yang menyerang Paman Lanang kontan meringis kesakitan ketika senjatanya tertangkis.

   Melihat lawannya terjajar begitu, Paman Lanang tak melanjutkan serangan.

   Masalahnya, dua orang lawan telah menerjang ke arahnya dari kanan dan kiri.

   Cepat tubuhnya ditundukkan, disertai sambaran ujung pedangnya ke arah kedua kaki lawan sekaligus.

   Kedua perampok itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke atas.

   "Hup!"

   Melihat kedua orang itu melompat ke atas, Paman Lanang segera mengejar salah seorang sambil mengayunkan kaki kanannya. Langsung dihantamnya perut lawan. Desss! "Aaakh!"

   Perampok yang terhantam perutnya langsung menjerit kesakitan.

   Tubuhnya terjerembab ke tanah beberapa langkah, dan terus bergulingan.

   Begitu bangkit berdiri perutnya yang terasa akan meledak terkena hantaman keras tadi langsung didekap dengan tangannya.

   "Keparat! Kubunuh kau...!"

   Geram salah seorang perampok lain dengan amarah meluap.

   Langsung goloknya ditebaskan ke arah laki-laki setengah baya itu.

   Namun dengan tenang Paman Lanang menangkis serangan itu dengan pedangnya.

   Trang! Dan begitu habis menangkis, Paman Lanang cepat bergerak ke kanan untuk menghindari tebasan golok lawan yang seorang lagi.

   Seketika tubuhnya berputar cepat, melepaskan tendangan setengah melingkar ke arah punggung lawan yang berada di belakangnya.

   Dug! "Ukh...!"

   Kembali terdengar jeritan kesakitan, diiringi tubuhnya yang tersungkur ke depan.

   Wajah orang itu langsung membentur sebongkah batu begitu jatuh di tanah.

   Tampak darah mengucur deras dan hidungnya yang patah.

   Bibirnya pun jontor dan dua buah giginya tanggal! "Hm...

   Sekarang tinggal kau sendiri, Bajingan Busuk! Tahanlah pedangku ini!"

   Kata Paman Lanang, seraya mengayunkan pedangnya.

   Cepat sekali gerakan Paman Lanang, namun perampok itu juga cepat menangkis dengan goloknya.

   Hanya saja wajah perampok itu kontan meringis menahan rasa nyeri, begitu senjatanya beradu dengan pedang Paman Lanang.

   Dari sini saja bisa terbukti kalau tenaga dalam Paman Lanang lebih kuat daripada lawannya.

   Dan sebelum perampok itu berbuat banyak, Paman Lanang cepat memutar ujung pedangnya, mengejar seluruh bagian yang mematikan.

   Sehingga perampok itu pontang-panting menyelamatkan diri.

   Kini sasaran pedang Paman Lanang ke arah leher.

   Dan dengan cepat perampok itu menjatuhkan diri ke tanah.

   Tapi Paman Lanang yang memang telah menunggunya, cepat memberi satu tendangan keras.

   Dengan sebisa-bisanya, orang itu mencoba menangkis dengan tangannya sambil terus bergulingan.

   Plakkk! "Ukh!"

   Perampok itu mengeluh menahan sakit, karena tangannya terasa linu begitu menangkis tendangan. Tapi belum lagi hilang rasa sakitnya, ujung pedang Paman Lanang telah berkelebat cepat. Dan... Crasss! "Aaakh...!"

   Perampok itu kontan menjerit-jerit kesakitan sambil berguling-gulingan begitu ujung pedang Paman Lanang menyambar pahanya, sehingga membuat luka yang panjang dan dalam.

   Darah seketika mengucur deras dari luka itu.

   Sementara itu pada pertarungan lain Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mengalami kesulitan.

   Padahal ketiga lawannya menyerang sekaligus! Namun pemuda yang selalu mengenakan rompi putih itu tenang-tenang saja berdiri.

   Ketiga perampok itu begitu bernafsu menyabetkan goloknya yang terhunus.

   Namun beberapa jengkal lagi ujung-ujung golok itu akan menyambar, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali melompat ke atas.

   Sebentar dia berputaran di udara, dan tiba-tiba tubuhnya menukik.

   Seketika dikerahkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', yang langsung menyambar rahang ke tiga orang itu dengan kakinya.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga tak seorang pun yang dapat menghindar.

   Dan...

   Tak! Pak! Prakkk! "Aaakh...!"

   Ketiga orang itu kontan menjerit kesakitan merasakan sakit pada rahang.

   Mereka langsung ambruk dan berguling-gulingan di tanah.

   Dua orang rahangnya patah dan beberapa buah giginya tanggal dengan mengucurkan darah segar.

   Sementara yang seorang lagi langsung pingsan, setelah berguling-gulingan.

   "Kalau kalian masih ingin hidup, cepat pergi dari sini!"

   Bentak Pendekar Rajawali Sakti sambil merayapi satu persatu lawannya.

   Rupanya, kini nyali para perampok itu sudah ciut.

   Maka dengan bergegas mereka membantu teman-temannya yang masih pingsan.

   Dan sebentar kemudian dengan tertatih-tatih mereka pergi dan tempat itu diiringi mata Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang.

   Dengan satu isyarat mereka kabur terbirit-birit dari tempat itu.

   "Huh! Hanya perampok-perampok picisan saja, lagaknya selangit!"

   Dengus Paman Lanang sinis. Sementara itu dua orang yang diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Paman Lanang, setelah para perampok itu tidak kelihatan lagi.

   "Kisanak berdua! Aku Bhatara dan ini istriku Suminten menghaturkan terima kasih atas pertolongannya pada kami...!"

   Ucap laki-laki muda itu. *** "Rangga, Paman Lanang, sekali lagi kami menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian. Kalau tidak ada kalian, entah apa jadinya kami ini,"

   Sahut Bhatara, setelah mereka saling memperkenalkan diri.

   Mereka kini saling berbincang-bincang tentang kejadian tadi, di bawah sebuah pohon rindang.

   Bhatara duduk bersila, berdampingan dengan istrinya.

   Sedangkan Rangga dan Paman Lanang di sebuah akar pohon besar yang menyembul keluar di permukaan tanah, menghadap suami-istri itu.

   "Apa yang menyebabkan kalian bentrok dengan mereka?"

   Tanya Rangga.

   "Mereka hendak merampok barang-barang kami. Padahal kami hanya petani miskin. Dan yang kami bawa pun hanya sekadar keperluan sehari-hari yang diperoleh dari menukar hasil ladang kami di kotaraja,"

   Jelas Bhatara.

   "Hm... Dasar perampok serakah!"

   Umpat Paman Lanang geram.

   "Orang-orang seperti itu memang sudah sepatutnya mendapat hukuman berat. Kalau saja Gusti Prabu Rangga tahu mereka tentu tak akan lolos begitu saja!"

   Desis Bharata ikut-ikutan geram.

   Rangga hanya tersenyum mendengar kata-kata Bharata.

   Namun dalam hatinya terselip rasa sedih, karena di wilayah yang termasuk wilayah Karang Setra ini ternyata masih dihuni perampok.

   Dan sebagai pendekar digdaya, tentu saja hal ini menjadi beban pikirannya.

   "Rangga... Namamu begitu mirip dengan Gusti Prabu Rangga?"

   Tanya Bharata curiga. Dan dia mencoba mengingat-ingat sesuatu.

   "Apakah kau pernah bertemu dengannya?"

   Sahut Rangga balik bertanya.

   "Belum. Tapi banyak kudengar, beliau sering turun ke desa-desa seorang diri untuk memperhatikan rakyatnya. Orangnya masih muda dan konon berwajah tampan,"

   Sahut Bharata masih tetap memandang pemuda di hadapannya dengan sorot mata curiga.

   "Bagaimana pandangan tentang dia?"

   Tanya Rangga, mencoba memancing.

   "Semua rakyat mencintainya. Demikian pula aku. Tapi..., ah! Rangga, jangan-jangan adalah...

   "

   "Bharata, jangan mengada-ada! Mana berani aku mengaku sebagai Raja Karang Setra. Kalaupun namaku sama, itu karena dulu ibuku sedang bingung mencarikan nama untukku. Lalu, dia teringat Gusti Prabu Rangga yang kala itu berusia hampir sebaya denganku,"

   Jelas Rangga berdusta. Bharata dan istrinya mengangguk pelan. Namun wajah mereka masih menunjukkan rasa ketidakpercayaannya.

   "Rangga! Aku pun berharap, mudah-mudahan kau memiliki sifat yang mulia seperti Gusti Prabu Rangga..."

   Desah Bharata pelan.

   "Terima kasih, Bharata. Kalau demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kembali,"

   Lanjut Rangga.

   "Rangga, ke manakah tujuan kalian?"

   "Ke arah timur. Ada apa Bharata?"

   Tanya Rangga, ketika melihat laki-laki itu akan mengatakan sesuatu.

   "Ah, kebetulan sekali!"

   Desis Bharata, berseri.

   "Kebetulan kenapa, Bharata?"

   Tanya Rangga bingung.

   "Rangga, kebetulan tempat tinggal kami juga di timur. Kalau tak keberatan kami berharap sekali kalau kalian berdua sudi mampir. Yah... Sekadar untuk menjamu kalian ala kadarnya. Kulihat kalian telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Lagi pula, langit kelihatan mendung dan hari mulai sore. Berjalan di malam hari dalam keadaan hujan, tentu akan sangat mengganggu,"

   Bujuk Bharata.

   "Tapi, Bharata..."

   "Rangga, mohon jangan menolak permintaan kami!"

   Pinta Bharata setengah memaksa.

   Rangga berpikir sesaat, lalu tersenyum.

   Apa yang dikatakan laki-laki itu memang tak salah.

   Hari memang mulai sore dan gelap.

   Apalagi, mendung juga tampak kelam menyelimuti langit.

   Sebentar lagi, tentu hujan akan turun.

   Dan melihat langit yang gelap begitu, sudah barang tentu hujan akan lama sekali.

   Bisa sampai tengah malam! Maka ketika Paman Lanang memberi isyarat kalau juga menyetujui ajakan suami-istri itu, Rangga tak punya pilihan lagi.

   "Baiklah...,"

   Desah Rangga pelan, seraya bangkit diikuti Paman Lanang.

   "Ahhh! Terima kasih, kau akhirnya sudi mampir ke gubuk kami, Rangga!"

   Kata Bharata, juga bangkit dan langsung menuju gerobak bersama istrinya.

   Mau tak mau Rangga merasa terharu juga melihat kegembiraan di wajah suami-istri itu.

   Mereka benar-benar tulus ingin mengundangnya.

   Dan rasanya, tak enak bila ditolak.

   Rangga dan Paman Lanang kemudian juga menghampiri kuda masing-masing.

   Dan sambil menuntun kuda, mereka kembali menghampiri suami-istri itu.

   "Desa kami tak begitu jauh dari sini!"

   Kata Bharata sambil menaikkan istrinya ke dalam gerobak yang ditarik seekor kuda. Dia sendiri pun kemudian melompat naik, dan mulai menghela kudanya perlahan-lahan.

   "Kalian sudah mempunyai putra atau putri?"

   Tanya Rangga, seraya naik ke atas kudanya di samping gerobak itu. Sebentar kemudian, kuda hitamnya digebah perlahan-lahan.

   "Belum. Kami baru menikah tiga bulan yang lalu,"

   Sahut Bharata dari belakang. "Kalian sudah mempunyai putra atau putri?"

   Tanya Rangga seraya naik ke atas kudanya.

   "Belum. Kami baru menikah tiga bulan lalu,"

   Sahut Bharata dari belakang.

   Pendekar Rajawali Sakti mengangguk-anggukkan kepala sambil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang.

   Rangga menggangguk-anggukkan kepala, sambil terus menggebah kudanya di samping Paman Lanang.

   Mereka pun kemudian tak banyak bercakap-cakap lagi ketika kilat mulai terlihat membelah angkasa.

   *** "Oaaa....

   Oaaa...!"

   Terdengar tangisan bayi, dari sebuah jalan utama di sebuah desa yang terlihat sepi.

   Tampak seorang perempuan berusia sekitar lima puluh tahun tengah menimang-nimang bayi yang terus menangis itu.

   Wanita itu memakai anting-anting bulat dan besar.

   Walaupun sudah berumur, tapi rambutnya masih terlihat hitam dan lebat.

   Gelungnya juga dihiasi beberapa buah tusuk konde dari emas.

   Wajahnya kelihatan masih cantik kendati sudah sedikit keriput.

   Pakaiannya mewah, terbuat dari sutera halus berwarna biru langit.

   Di pinggang kirinya terlihat sepasang pedang yang menandakan kalau perempuan tua itu bukanlah orang sembarangan.

   Dengan memakai kerudung merah jambu yang juga dari sutera, serta dandanannya yang kelihatan semarak, sepintas terlihat kalau perempuan tua itu agaknya suka bersolek.

   Perempuan tua yang sebenarnya bernama Nini Anting itu berusaha mendiamkan bayi yang terus menangis.

   Namun, bocah itu terus menangis seperti tak mau menghentikan tangisnya.

   "Cup..., cup! Diam, Bocah. Diamlah...!"

   Bujuk Nini Anting.

   "Oaaa...! Oaaa...!"

   Nini Anting mengayun-ayunkan bayi dalam gendongannya perlahan-lahan, sambil terus melangkah tenang.

   Namun bukannya berhenti, bayi itu malah menambah keras tangisnya.

   Berkali-kali wanita itu seperti orang kebingungan sambil menoleh ke sana kemari.

   Dan tak berapa lama dia berhenti di depan sebuah rumah untuk berteduh, dan terus menenangkan bayi yang tak kunjung berhenti tangisnya.

   "Diamlah, Anak Manis! Diamlah...! Cep..., cep...!"

   Mendengar ada suara bayi menangis di luar rumahnya, orang yang memiliki rumah itu keluar. Kebetulan sekali, dia seorang ibu muda yang juga mempunyai bayi dan tengah menyusui. Dipandangnya wanita tua itu dengan wajah kasihan.

   "Nisanak, bayi siapakah itu? Dan, kenapa terus menangis?"

   Tanya wanita muda itu. Nini Anting tak menyahut malah wajahnya dipalingkan, seraya mencium bayi yang digendongnya. Dan tiba-tiba bayi itu berhenti menangis. Maka Nini Anting terus menciumnya erat-erat tanpa mempedulikan wanita muda itu.

   "Nisanak, mungkin bayi itu belum menyusu. Kenapa tak diberikan saja pada ibunya agar bisa menyusu?"

   Tanya wanita muda itu kembali. Nini Anting masih diam membisu Tak lama kemudian ciumannya pada bayi yang kini tak menangis lagi dilepaskan.

   "Kasihan bayi ini. Masih kecil begini sudah ditinggal mati kedua orangtuanya...,"

   Gumam Nini Anting dengan suara serak, memalingkan wajahnya yang tertutup kerudung.

   "Ditinggal mati orangtuanya?!"

   Wanita itu agak terkejut.

   "Benar. Mungkin beberapa orang perampok telah membunuh orangtuanya. Dia kutemukan di tengah jalan, sedang tergeletak dan menangis. Dan mana mungkin aku menyusuinya, karena aku sudah tua. Ah! Malang betul nasib anak ini...,"

   Sahut Nini Anting, pilu.

   "Nisanak, biarlah mari kususui sejenak. Kasihan dia, sejak tadi pasti terus menangis."

   Kata wanita muda itu, iba.

   "Oh! Benarkah itu?"

   Tanya Nini Anting, gembira. Dan wajahnya yang tertutup selendang hanya sedikit dipalingkan.

   "Ya! Kemarikanlah bayi itu!"

   "Baiklah. Kalau begitu, mari kugendong dulu bayimu,"

   Ujar wanita tua itu.

   Wanita muda itu pun menyerahkan bayinya untuk digendong Nini Anting, kemudian menerima bayi yang tadi digendong Nini Anting.

   Dia sedikit heran ketika bayi yang kini berada dalam gendongannya tiba-tiba menangis kencang.

   Padahal, semula bayi itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak rewel.

   Lebih-lebih ketika melihat wajah bayi itu pucat pasi bagai mayat.

   Bahkan denyut jantungnya tak terasa! Tampak pada lehernya terlihat dua buah lubang sebesar pangkal lidi.

   Dan yang makin membuatnya kaget, perempuan tua yang menggendong bayinya kini telah melangkah tenang meninggalkan rumahnya.

   "Nisanak! Bayi ini telah mati. Hei. Kembalikan anakku. Kembalikan anakku. Hei! Kau bawa ke mana dia?!"

   Teriak wanita muda itu sambil mengejar Nini Anting.

   "Hi hi hi...! Kenapa malah berteriak-teriak begitu? Bukankah kau tadi telah menukar bayimu dengan bayiku?!"

   Kata Nini Anting sambil berbalik dan menyeringai buas.

   Wanita muda itu tersentak kaget.

   Bayi dalam gendongannya yang telah tak bernyawa itu terlepas dari tangannya.

   Langsung dia berlari ke arah Nini Anting dan memegangi tangannya.

   Sementara, Nini Anting kini wajahnya telah berubah menakutkan dengan sepasang taring runcing di mulut.

   Tetesan-tetesan darah tampak masih terlihat jelas dari sudut bibirnya.

   "Kau..., kau pembunuh! Pembunuh...! Kembalikan anakku! Kembalikan anakkuuu...!"

   Teriak wanita muda itu. Dia berusaha merebut bayinya yang berada dalam gendongan wanita tua itu.

   "Wanita tolol! Enyahlah kau dari hadapanku! Hih!"

   Sentak Nini Anting.

   Dengan geram, Nini Anting menyentakkan tangannya yang dicengkeram wanita muda itu.

   Maka seketika wanita muda itu terjungkal ke tanah sambil mengeluh kesakitan.

   Namun begitu dia terus berteriak-teriak sekuat tenaga.

   Maka, sebentar saja beberapa penduduk desa yang mendengar teriakan segera keluar.

   Demikian pula suami wanita muda itu yang berada di belakang rumah.

   Dan mereka semua langsung mencegat Nini Anting.

   Dengan kemarahan meluap, suami wanita muda itu menghadang Nini Anting dengan kapak di tangan bekas membelah kayu tadi.

   "Perempuan tua, serahkanlah anakku. Atau, kubunuh kau!"

   Bentak laki-laki itu berang.

   "Hi hi hi...! Kau hendak mengambil anak dalam gendonganku ini? Cobalah kalau memang ingin mampus!"

   Sahut Nini Anting sambil balas mengancam.

   "Keparat!"

   Geram laki-laki itu sambil melompat mengayunkan kapaknya.

   "Uts...!"

   Sedikit saja Nini Anting memiringkan tubuhnya, maka kapak itu luput menghajar sasaran. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya langsung menghajar keras dada laki-laki itu. Duk! "Aaa...!"

   Laki-laki itu kontan menjerit menyayat begitu tubuhnya terjungkal ke tanah disertai muntahan darah segar.

   Tubuhnya langsung menggelepar-gelepar sesaat, sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.

   Melihat hal ini, orang-orang yang berada di tempat itu jadi tersentak kaget.

   Begitu juga wanita muda tadi.

   "Kakang...!"

   Sambil berteriak memilukan waruta muda itu memburu tubuh suaminya yang telah tak bernyawa lagi.

   Para penduduk desa itu yang sudah geram, bermaksud menghajar perempuan tua tadi.

   Tapi, Nini Anting telah lenyap dari tempat itu tanpa seorang pun mengetahui ke mana arahnya pergi.

   *** Sementara, Nini Anting sudah begitu jauh meninggalkan desa itu.

   Dia terus terkekeh sambil berlari kencang yang disertai ilmu meringankan tubuhnya.

   "Hi hi hi...! Dasar orang-orang totol! Mau saja kena tipu! Sudah begitu, malah berlagak jago ingin menantangku. Hi hi hi...! Mampuslah bagiannya!"

   Melihat caranya berlari, bisa diduga kalau kepandaian Nini Anting sangat tinggi.


Dewa Arak Pedang Bintang Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Pendekar Romantis Geger Di Kayangan

Cari Blog Ini