Rahasia Cincin Mustika 1
Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Cincin Mustika Bagian 1
'Tunggu...! Ada apa ini? Kenapa kalian menyerangku?"
Tanya Rangga meminta penjelasan.
"Jangan banyak omong! Kau telah membunuh putra Ki Junggut. Sekarang kau harus mati...!"
Bentak Ki Sampak berang.
"Eh...?!"
Rangga ingin membantah.
Tapi dirinya tidak sempat lagi menjelaskan.
Dia tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di Desa Payakan ini.
Padahal, yang selalu membunuh keluarga Ki Junggut adalah seorang bocah kecil! Siapakah bocah itu? Mengapa dia sangat biadab dan membunuhi keluarga Ki Junggut? Apakah semua ini akibat cincin mustika yang dicurinya? Rahasia apa yang terkandung di dalamnya? Dan, bagaimana cara Pendekar Rajawali Sakti merebut cincin tersebut? --myrna--"Dasar anak tidak tahu di untung! Pergi kau..! Aku muak melihatmu lagi!"
Terdengar bentakan kasar dari seorang laki-laki bertubuh kekar, yang diiringi tendangan kakinya yang mantap. Duk! "Aduh...!"
Anak kecil bertubuh kurus dan berkulit hitam yang dibentak dan ditendangnya langsung mengaduh kesakitan, saat kaki yang besar dan berbulu itu menghajar tubuhnya.
Tubuh kurus itu langsung jatuh bergulingan di tanah becek, bekas tersiram hujan semalam.
Seluruh wajah dan tubuhnya sudah biru lebam.
Dan pakaiannya sobek-sobek tidak ber-bentuk lagi Tapi, tidak terdengar rintihan maupun keluhan keluar dari bibirnya yang pucat dan gemetar.
Sementara laki-laki bertubuh kekar yang terbungkus baju indah dari kain sutera itu makin kelihatan bengis wajahnya.
Bola matanya yang tajam menatap bocah berusia sekitar sebelas tahun itu.
"Cepat pergi! Jangan berani lagi menginjak pekarangan rumahku!"
Bentak laki-laki bertubuh kekar itu kasar sambil menuding dengan jari telunjuknya yang besar.
Anak kecil itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit di seluruh tubuhnya.
Sebentar dipandanginya laki-laki bertubuh kekar di depannya.
Kemudian tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi dengan ayunan kaki tertatih-tatih.
Kejadian di pagi hari ini sempat membuat beberapa orang yang melintas di depan rumah besar dan berhalaman luas itu berpaling.
Namun mereka bergegas pergi, seperti takut melihat laki-laki bertubuh tinggi besar yang masih berkacak pinggang di depan rumahnya yang megah ini.
Sementara anak kecil yang baru saja kena hajaran itu, terus melangkah tertatih-tatih tanpa berpaling lagi sedikit pun.
Dia terus berjalan dengan kaki telanjang, menelusuri jalanan becek dan berair.
Anak itu terus berjalan tanpa berhenti.
Sampai matahari naik tinggi berada di atas kepala, langkah kakinya berhenti berada di tengah hutan yang cukup lebat.
Dia tidak tahu lagi, berada di mana sekarang ini.
Sekelilingnya hanya pepohonan besar dan rapat, bagai bertaut menjadi satu.
Rasa takut seketika menghinggapinya.
"Oh! Di mana aku...?"
Rasa takut bocah itu semakin menjadi, setelah benar-benar menyadari keberadaannya sekarang ini.
Tubuh anak berusia sekitar sebelas tahun ini langsung menggigil.
Bukan karena udara di dalam hutan ini yang dingin, tapi karena rasa takutnya.
Bola matanya yang kecil, merayapi sekitarnya.
Nyatanya hanya pepohonan saja yang ada di sekelilingnya.
Seakan dia terkurung, tanpa tahu lagi mana arah jalan keluar.
Dan di saat rasa takut semakin menguasai dirinya, mendadak saja....
"Hik hik hik..!"
"Oh...?!"
Pucat seluruh wajah bocah itu ketika tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang begitu nyaring dan mengerikan.
Begitu takutnya, dia langsung jatuh terduduk di tanah yang masih basah tersiram hujan semalam.
Suara tawa yang terdengar jelas sekali, menggema di sekelilingnya.
Seakan, begitu dekat berada di tempat ini.
Getaran di tubuhnya malah semakin keras.
Dan belum lagi bisa disadari apa yang terjadi, mendadak saja....
Wusss...! "Aaa...!"
Bocah kecil itu menjerit nyaring, begitu tiba-tiba berhembus angin kencang yang diikuti berkelebat-nya sebuah bayangan merah begitu cepat bagai kilat menyambarnya.
Dan tahu-tahu, bocah itu sudah lenyap tidak berbekas lagi Suara jeritannya yang panjang pun menghilang tepat ketika bayangan merah itu lenyap.
Kini hutan ini pun kembali sunyi, seperti tidak terjadi sesuatu.
Hanya pepohonan saja yang menjadi saksi bisu dari peristiwa yang begitu cepat berlangsung.
Entah apa yang terjadi pada anak kecil malang itu.
--myrna--Hutan turun yang begitu lebat disertai angin yang kencang berhembus mengguyur Desa Payakan.
Sudah beberapa hari ini, hujan turun bagai tertumpah dari langit di desa itu.
Sehingga, membuat semua penduduknya tidak ada yang bisa mengerjakan tugasnya sehari-hari.
Dan mereka terpaksa harus berdiam diri dalam rumahnya.
Sementara di dalam rumah yang paling besar di Desa Payakan, terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah duduk santai bagai seorang raja.
Laki-laki berkulit agak hitam dan ditumbuhi bulu cukup lebat pada bagian dada, tangan serta kakinya ini, dikelilingi tiga orang gadis yang berparas cantik yang tampak manja.
Mereka selalu melayani segala keinginan lelaki bertubuh besar dan kekar ini.
Dan orang-orang desa mengenali sebagai Ki Junggut.
Dan tidak jauh di depannya, duduk dua orang anak muda berwajah kembar dengan pakaian sama persis.
Di belakangnya, duduk bersila tiga orang laki-laki tua berjubah dan seorang perempuan tua yang rambutnya sudah memutih semua.
Mereka tampak gembira, tidak menghiraukan hujan yang turun begitu lebat mengguyur desa ini bagai ditumpahkan dari langit.
"Aku dengar kalian mendapat kesulitan hari ini. Apa yang terjadi pada kalian, sampai babak belur begini...?"
Tanya laki-laki bertubuh besar dan berbulu hampir di seluruh tubuhnya, dengan suara terdengar berat sekali.
"Benar, Ayah. Rupanya, sekarang telah ada orang yang berani menghalangi kami dalam memungut pajak dari penduduk,"
Sahut salah seorang pemuda kembar.
"Hm.... Siapa dia, Rantaka?!"
Tanya Ki Junggut dengan suara tetap besar dan berat.
"Kami tidak tahu, siapa dia dan dari mana asalnya. Tiba-tiba saja dia muncul menghalangi kami dalam memungut pajak,"
Sahut pemuda kembar yang dipanggil Rantaka itu lagi "Dan kau tidak bisa mengatasinya...?"
Rantaka tidak bisa menjawab, sedang pemuda kembarnya juga hanya diam saja.
Kepala mereka tertunduk, seakan tidak sanggup menentang tatapan mata Ki Junggut yang tajam dan memerah.
Dan suasana di dalam ruangan besar yang megah itu jadi hening, tanpa sedikit pun terdengar suara.
Hingga hantaman air hujan di atas genting rumah ini terdengar keras, bagai hendak meruntuhkan seluruh bangunan yang megah bagai istana kecil di tengah-tengah desa ini.
"Dengar...! Aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan. Besok, kalian harus memungut pajak lebih besar daripada biasanya. Siapa pun yang berani menghalangi, bunuh saja!"
Perintah Ki Junggut tegas, sambil mengedarkan pandangan pada mereka semua yang ada di dalam ruangan ini.
Mereka yang berada di depan laki-laki kekar berkulit hitam itu hanya diam saja, dengan kepala bergerak terangguk pelan.
Sedikit pun tidak ada yang berani membantah perintah Penguasa Desa Payakan ini.
Sementara, Ki Junggut sendiri sudah bangkit berdiri.
Tanpa bicara lagi kakinya melangkah meninggalkan ruangan depan rumahnya, diikuti gadis-gadis yang menemani.
Sedangkan dua pemuda kembar dan tiga laki-laki tua serta seorang perempuan tua yang ada di dalam ruangan ini masih tetap duduk bersila di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal dan halus.
Mereka belum juga beranjak, walaupun Ki Junggut sudah tidak terlihat lagi bayangannya di dalam ruangan depan rumah yang megah ini.
Baru setelah Ki Junggut benar-benar lenyap, keempat orang tua itu segera beranjak.
Namun mereka tidak meninggalkan tempat ini, melainkan berpindah duduk menghadap pemuda kembar itu.
"Rantaka! Kau kenali siapa anak itu...?"
Tanya perempuan tua yang duduk dekat pemuda kembar ini. 'Tidak, Nyai Waringki,"
Sahut Rantaka.
"Kau, Rantaki...?"
Tanya perempuan tua yang tadi disebut sebagai Nyai Waringki Pemuda kembaran Rantaka yang bernama Rantaki hanya menggelengkan kepala saja.
"Seperti apa rupanya?"
Selak seorang laki-laki tua berbaju jubah warna hitam. Dia memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna hitam pekat Semua orang di Desa Payakan ini mengenalnya sebagai Ki Sampuk "Dia...,"
Rantaka tidak langsung menjawab.
Matanya melirik pada saudara kembarnya.
Empat orang tua yang kini menghadapi pemuda kembar itu saling berpandangan.
Mereka melihat pemuda kembar merasa kesulitan mengatakan, siapa orangnya yang telah berani menghalangi mereka menarik pajak para penduduk di Desa Payakan ini.
Cukup lama juga mereka menunggu, tapi kedua pemuda kembar itu tidak juga membuka suaranya.
Malah kepala mereka tertunduk menekun' lantai berpermadani lembut ini.
"Bagainama rupanya, Rantaka...?"
Desak Ki Sampuk, meminta jawaban atas pertanyaannya yang belum juga terjawab tadi.
"Dia.... Dia...,"
Terasa sulit sekali bagi Rantaka untuk menjawab.
"Katakari saja, Rantaka. Jangan takut-takut. Kamu semua pasti akan membantumu mengatasinya,"
Desak laki-laki tua lainnya yang berbaju merah ketat.
Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya.
Dan dia sering dipanggil Ki Sampulut Sedangkan laki-laki tua satunya lagi sejak tadi diam saja.
Laki-laki tua yang kerap kali dipanggil Ki Jampur ini mengenakan baju biru agak ketat.
Sebilah golok berukuran besar tampak selalu tergenggam di tangan kanan.
Tubuhnya paling kekar dan berotot.
Wajahnya juga memancarkan kebengisan, dengan sepasang bola mata yang selalu merah bagai sepasang mata elang.
"Dia hanya anak kecil yang usianya paling-paling baru tiga belas tahun...,"
Jelas Rantaki dengan terdengar begitu pelan. Sehingga, hampir tertelan oleh curahan air hujan di luar rumah ini.
"Anak kecil...?!"
Empat orang tua itu jadi terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Hanya seorang anak kecil, membuat kedua pemuda kembar yang kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata, bisa kalah begitu saja! Rasanya memang sulit dipercaya.
Dua pemuda berusia dua puluh enam tahun berkepandaian tinggi, kalah oleh seorang anak kecil berusia tiga belas tahun! "Kau jangan main-main, Rantaki.
Mana mungkin kalian berdua bisa tidak berdaya hanya oleh anak kecil..?"
Sentak Ki Sampuk tidak percaya.
"Aku berkata yang sebenarnya, Paman. Dia memang masih kecil, tapi kepandaiannya luar biasa. Kami berdua sampai jatuh bangun dibuatnya,"
Kata Rantaki meyakinkan.
"Besok kalian tunjukkan orangnya,"
Ujar Nyai Waringki jadi penasaran.
"Besok dia menunggu di rumah Ki Anom,"
Kata Rantaka memberi tahu.
"Mungkin juga sekarang tinggal di sana."
"Apa tidak mungkin dia anaknya Ki Anom...?"
Selak Ki Sampulut, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Entalah. Aku tidak kenal dengannya,"
Sahut Rantaka.
"Baik! Kalau begitu, kita datangi saja besok pagi,"
Tegas Ki Sampuk.
Ki Anom tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ketika pagi-pagi sekati empat orang tukang pukul Ki Junggut mendatangi rumahnya bersama Rantaka dan Rantaki, anak kembar orang terkaya di Desa Payakan ini.
Lebih terkejut lagi, ternyata mereka mencari anak yang kemarin membuat pemuda kembar itu jungkir batik.
"Katakan saja di mana anak itu, Ki,"
Desak Ki Sampuk "Aku tidak tahu. Aku tidak kenaL..,"
Sahut Ki Anom terbata-bata.
"Dengar, Ki. Hukumannya akan berat kalau anak setan itu kau sembunyikan,"
Ancam Nyai Waringki.
Seluruh tubuh Ki Anom jadi bergetar, mendengar ancaman perempuan tua yang sudah terkenal akan kekejamannya.
Tapi dia memang tidak tahu, di mana bocah yang kemarin menganiaya putra kembar Ki Junggut ini.
Bahkan dia sendiri tidak mengenalnya sama sekali.
Anak itu tiba-tiba saja muncul, ketika Rantaka dan Rantaki datang menagih pajak padanya.
Lalu pemuda kembar itu dibuat jungkir balik seperti mainan saja.
"Baik...! Kalau tidak mau mengaku juga, aku terpaksa mengambil jalan kekerasan,"
Ancam Nyai Waringki lagi.
"Oh...?!"
Ki Anom semakin tidak dapat bersuara.
Kedua bola matanya jadi terbeliak, dan seluruh tubuhnya menggeletar hebat bagai terserang demam.
Sementara, Nyai Waringki sudah melangkah mendekatinya.
Seutas cambuk kulit yang berduri sudah tergenggam di tangan kanannya.
"Katakan, di mana bocah itu...?"
Desak Nyai Waringki lagi.
"Atau kau ingin merasakan cambukku...?"
"Aku..., aku tidak tahu...,"
Sahut Ki Anom semakin menggeletar tubuhnya.
"Keras kepala! Rasakan ini! Hih...!"
Ctar! "Akh...!"
Ki Anom langsung terpekik, begitu cambuk hitam berduri halus milik Nyai Waringki menyengat tubuhnya.
Seketika darah mengucur keluar dari tubuh tua yang kurus itu.
Ki Anom langsung jatuh tersungkur mencium tanah.
Dia merintih merasakan nyeri pada luka cambukan di tubuhnya.
Sementara Nyai Waringki sudah mengangkat lagi cambuknya.
Dan....
"Hih!"
Ctar! "Akh...!"
Kembali Ki Anom menjerit begitu cambuk kulit itu merobek kulit tubuhnya lagi Tapi memang laki-laki tua ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia tidak tahu, di mana anak yang tangguh itu berada.
Namun, cambuk Nyai Waringki kembali merobek kulit tubuhnya, membuat darah semakin banyak keluar.
Beberapa kali cambuk hitam berduri itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Anom.
Semetara orarig-orang yang melihat kejadian itu hanya bisa menahan napas saja, tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menolong.
Sedangkan Ki Anom sendiri sudah tidak dapat lagi mengeluarkan suara.
Tubuhnya tergeletak di tanah dalam keadaan tersayat-sayat Namun Nyai Waringki terus saja mengayunkan cambuknya, membuat lelaki tua itu tak dapat bertahan.
Dan dia jatuh pingsan seketika, ketika cambukan terakhir mendarat di tubuhnya.
"Huh...!"
Nyai Waringki mendengus sambil menyemburkan ludahnya, melihat Ki Anom tergeletak diam seperti mati di depannya.
Tanpa banyak bicara lagi, kakinya melangkah masuk ke dalam gubuk orang tua ini.
Tak lama, terdengar barang-barang terbanting dari dalam gubuk.
Sebentar suara itu lenyap.
Dan tidak lama kemudian, Nyai Waringki keluar lagi dengan wajah berang dan napas memburu.
"Ada...?"
Tanya Ki Sampuk langsung. 'Tidak,"
Sahut Nyai Waringki mendengus.."Bakar saja rumahnya, Paman,"
Selak Rantaka.
"Sekalian saja sama orangnya,"
Sambut Rantaki.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rantaki langsung menghampiri Ki Anom yang sudah tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.
Kemudian diseretnya orang tua itu, dan dibawanya masuk ke dalam rumahnya sendiri.
Dan ketika pemuda itu keluar, dari dalam rumah itu terlihat asap mengepul.
Tak lama terlihat api membakar rumah reyot yang sudah hampir roboh itu.
Cepat sekali api melahap gubuk, padahal Ki Anom sendiri berada di dalamnya.
Kini gubuk itu mulai habis terbakar.
Sementara orang-orang yang melihat tetap tidak ada yang berani mendekat Mereka hanya bisa memandangi dengan sinar mata penuh kebencian pada orang-orang tua ini.
Namun di saat api hampir melahap habis gubuk reyot itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan biru berkelebat begitu cepat masuk ke dalam kobaran api.
Dan saat itu juga, dari dalam kobaran api kembali melesat keluar bayangan biru tadi.
Begitu cepat kelebatannya, sehingga sulit diketahui orangnya.
Tapi, Ki Sampuk sempat melihat kalau bayangan biru itu membawa tubuh Ki Anom dari dalam kobaran api yang membakar rumahnya ini.
"Apa itu, Paman...?"
Tanya Rantaka yang juga melihat bayangan biru itu.
"Ada yang menolong Ki Anom,"
Sahut Ki Sampuk pelan.
"Keparat..! Akan kukejar dia!"
Geram Rantaka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rantaka langsung saja melesat cepat sekali mengejar bayangan biru tadi.
Tindakan pemuda itu diikuti saudara kembarnya.
Sementara, Ki Sampuk dan yang lainnya masih terdiam sesaat.
Namun, mereka cepat bergerak melesat mengikuti kedua pemuda kembar putra junjungannya.
Begitu tinggi kepandaian yang mereka miliki, hingga bergerak seperti bayangan saja.
Dan dalam waktu sekejap saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sementara, Rantaka dan saudara kembarnya terus berlari cepat mengejar bayangan biru yang menyelamatkan Ki Anom tadi.
Namun sampai tiba di perbatasan desa, mereka kehilangan jejak.
Bayangan biru itu seakan-akan lenyap ditelan bumi.
Rantaka dan Rantaki langsung berhenti berlari, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Mereka mencari-cari orang yang membawa Ki Anom dari rumahnya yang terbakar.
Tapi, nyatanya orang itu memang sudah tidak terlihat lagi.
"Keparat...!"
Geram Rantaka kesal.
Saat itu, Ki Sampuk dan yang lain sudah tiba di perbatasan desa sebelah barat ini.
Mereka juga tidak lagi melihat orang yang dikejarnya.
Dan mereka segera menghampiri kedua pemuda kembar yang masih penasaran, karena kehilangan jejak buruannya.
"Ayo, Rantaka. Kita kembali saja dulu,"
Ajak Ki Sampuk.
Rantaka menatap orang tua itu sejenak, kemudian berbalik.
Kakinya lantas melangkah kembali ke Desa Payakan tanpa bicara lagi.
Rantaki juga mengikuti saudara kembarnya.
Sedangkan laki-laki tua dan seorang perempuan tua yang menjadi tukang pukul orang tua pemuda kembar itu, mengikuti dari belakang.
--myrna--Tidak jauh dari perbatasan Desa Payakan sebelah barat, terlihat secarang gadis muda yang cantik memandangi Rantaka dan Rantaki yang pergi diikuti orang-orang tua yang menjadi pengawalnya.
Tampak bibir gadis itu mengembangkan senyum yang sangat tipis, hingga hampir tidak terlihat.
Gadis itu baru keluar dari semak tempatnya bersembunyi setelah orang-orang tadi tidak terlihat lagi.
Di pundaknya terlihat seorang laki-laki tua dengan tubuh terkulai seperti sudah mati.
Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju ketat warna biru itu segera pergi, masuk ke dalam hutan.
Gerakan gadis itu begitu ringan dan cepat.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah jauh masuk ke dalam hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan sebelah barat ini.
Setelah cukup jauh berjalan, akhirnya gadis itu sampai di tepi sebuah telaga yang berair jernih.
Diturunkannya laki-laki tua yang ternyata Ki Anom dari punggungnya dengan hati-hati sekali.
Dan dibaringkannya tubuh tua itu di atas rerumputan, tidak jauh dari tepi telaga kecil ini.
"Kasihan kau, Ki...,"
Desahnya lirih, memandangi orang tua yang terbaring dengan napas pelan ini.
Gadis ini segera membersihkan luka-luka di tubuh Ki Anom.
Kemudian diberikannya beberapa totokan ringan untuk menutup jalan darah pada luka di tubuh orang tua ini.
Setelah darah-darah yang melekat di tubuh orang tua itu bersih, kemudian disalurkannya sedikit hawa murni.
Dan saat itu juga, Ki Anom terbatuk.
Gadis itu segera menghentikan penyaluran hawa murninya.
Dipandanginya Ki Anom yang sudah mulai siuman dari pingsannya.
"Oh..,"
Ki Anom merintih lirih.
Perlahan orang tua kurus itu membuka matanya.
Seketika dia terkejut melihat ada seorang gadis cantik di dekatnya.
Lebih terkejut lagi, begitu menyadari dirinya berada dalam hutan.
Ki Anom mencoba bangkit, tapi gadis cantik ini lebih cepat mencegahnya dengan menekan sedikit tangannya ke dada orang tua ini.
"Jangan bergerak dulu, Ki,"
Ujar gadis itu lembut.
"Sss.... Siapa kau, Nisanak...?"
Tanya Ki Anom.
"Namaku Pandan Wangi, Ki,"
Sahut gadis itu lembut, sambil mengembangkan senyum yang manis sekali.
"Kenapa kau menolongku...?"
Tanya Ki Anom lagi, dengan suara lirih dan tersendat.
"Kau perlu pertolongan, Ki. Aku tidak bisa diam saja melihat kau tersiksa dan hampir mati terbakar bersama rumahmu,"
Sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata adalah Pandan Wangi.
Gadis cantik ini yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai si Kipas Maut ini memang kebetulan lewat, ketika Ki Anom mendapat siksaan dari Nyai Waringki tadi.
Semula, Pandan Wangi memang tidak mau ikut campur, karena memang hanya sekadar lewat saja di desa itu.
Tapi begitu melihat kekejaman mereka yang semakin menjadi, Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan diri.
Maka langsung dikeluarkannya orang tua itu dari kobaran api yang membakar rumahnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ki? Kenapa mereka menyiksamu begitu...?"
Tanya Pandan Wangi, ingin tahu.
"Mereka memang sudah biasa melakukan penyiksaan seperti itu. Bahkan tidak segan-segan membunuh...,"
Sahut Ki Anom lirih.
"Siapa mereka?"
Tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu saja.
"Yang kembar adalah putra Ki Junggut, Tuan Tanah di Desa Payakan. Sedangkan yang lain hanya tukang pukulnya saja. Tapi, mereka memang kejam. Bahkan seluruh rakyat di Desa Payakan diharuskan membayar pajak yang tinggi pada Ki Junggut. Dan bagi yang tidak bisa membayar, selalu mendapat siksaan berat. Bahkan tidak sedikit yang mati akibat disiksa. Juga, tidak sedikit yang langsung dibunuh kalau mencoba melawan. Tidak ada seorang-pun yang berani menantangnya. Desa Payakan benar-benar sudah menjadi neraka...,"
Dengan suara tersendat, Ki Anom menceritakan keadaan di Desa Payakan.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja dengan bibir terkatup rapat.
Entah, apa yang ada dalam kepala si Kipas Maut ini.
Tapi semua cerita yang dituturkan Ki Anom merasuk ke dalam hatinya.
Seketika darahnya terasa bergolak mendidih.
Pandan Wangi memang tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi pada penduduk desa yang lemah.
"Sejak kapan itu berlangsung, Ki?"
Tanya Pandan Wangi dengan suara agak ditekan.
"Entahlah, Nini.... Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Ya..., sejak Ki Junggut datang ke desa ini,"
Sahut Ki Anom.
Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan.
Sementara, Ki Anom sudah kelihatan lebih membaik keadaannya.
Sepertinya luka-luka di tubuhnya tidak lagi terasa sakit.
Tapi ada yang lebih sakit lagi dirasakan.
Harinya teramat sakit, bila mengingat semua yang telah terjadi padanya.
"Kau punya tempat tinggal lagi selain di Desa Payakan, Ki?"
Tanya Pandan Wangi setelah cukup lama terdiam membisu.
"Aku punya anak perempuan yang sudah menikah. Tapi, sekarang tinggal jauh dari, sini...,"
Sahut Ki Anom.
"Di mana?"
Tanya Pandan Wangi.
"Di Kota Karang Setra,"
Sahut Ki Anom.
Entah, kenapa Pandan Wangi jadi tersenyum mendengar ada anak perempuan Ki Anom yang sekarang tinggal di Karang Setra.
Dan sebenarnya, Desa Payakan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra.
Tapi, memang cukup jauh juga jarak dari Desa Payakan ke kota.
Paling tidak perlu waktu dua hari perjalanan berkuda.
"Aku antarkan kau ke sana, Ki,"
Kata Pandan Wangi menawarkan jasanya.
"Ah.... Kau sudah terlalu banyak menolongku, Nini. Entah apa yang harus kuberikan padamu..,"
Ujar Ki Anom jadi merasa tidak enak mendapat pertolongan terus-menerus dari gadis yang baru dikenalnya.
"Kebetulan aku juga akan ke sana, Ki. Jadi kita bisa bersama-sama,"
Kata Pandan Wangi beralasan.
Ki Anom mencoba bangkit berdiri.
Dan Pandan Wangi pun bergegas membantu orang tua ini berdiri.
Sebentar mereka terdiam.
Dan tiba-tiba saja, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bersiul nyaring.
Ki Anom jadi terkejut.
Namun sebelum keterkejutannya hilang, sudah terdengar ringkikan seekor kuda.
Dan tidak lama kemudian, muncul seekor kuda putih yang tinggi dan gagah dari balik pepohonan yang merapat di dalam hutan ini.
Kuda putih langsung menghampiri Pandan Wangi.
Binatang tunggangan si Kipas Maut ini mendengus-dengus dengan kepala terangguk beberapa kali.
Kaki kanan depannya menghentak-hentak mengais tanah.
Pandan Wangi memeluk kepala kuda putih tunggangannya, kemudian menatap Ki Anom sebentar.
"Naiklah, Ki,"
Pinta Pandan Wangi.
"Ah.... Aku belum pernah naik kuda sebagus ini, Nini,"
Ujar Ki Anom kagum pada kuda putih tunggangan gadis itui.
"Tidak apa, Ki. Si Putih bisa mempercepat perjalanan kita nanti. Kita naik sama-sama,"
Kata Pandan Wangi lagi.
Ki Anom jadi ragu-ragu.
Hatinya semakin merasa tidak enak pada gadis ini.
Kebaikannya terasa begitu menyentuh.
Belum pernah didapatkannya kebaikan yang begitu besar pada seorang gadis cantik yang baru saja dikenalnya.
Pandan Wangi sudah menyelamatkan nyawanya, dan sekarang akan mengantarkannya ke Kota Karang Setra dengan kuda tunggangannya yang gagah ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi membantu Ki Antom naik ke punggung kuda putih itu.
Kemudian gadis itu sendiri melompat naik ke belakang laki-laki tua ini.
Pandan Wangi memegang tali kekang kuda tunggangannya, kemudian menggebahnya dengan kencang.
Ki Anom jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba kuda putih yang ditungganginya melesat begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Rasanya, seakan-akan dia terbawa terbang bersama kuda putih yang gagah ini.
"Tenang saja, Ki. Si Putih tidak akan melemparkanmu,"
Kata Pandan Wangi sambil tersenyum.
Ki Anom hanya diam saja.
Jantungnya masih berdetak cepat, merasakan kengerian yang amat sangat berada di punggung kuda putih yang berlari cepat bagai angin ini.
Sebentar saja, kuda putih tunggangan si Kipas Maut itu sudah jauh membawa mereka keluar dari dalam hutan ini.
Dan merka terus berpacu cepat melintasi jalan tanah yang berdebu menuju Kota Kerajaan Karang Setra.
--myrna--Pandan Wangi melangkah ringan, sambil terse-nyum-senyum menghampiri Rangga yang sedang duduk-duduk di dalam taman belakang Istana Karang Setra, ditemani Cempaka dan Danupaksi.
Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar taman ini.
Dan beberapa gadis cantik bermain-main di dalam taman dengan gembira.
Pandan Wangi langsung berlutut, memberi sembah pada Raja Karang Setra dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Duduklah di sini, Pandan Wangi,"
Pinta Rangga sambil menepuk kursi di sampingnya.
Pandan Wangi tersenyum, dan duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra.
Diberikannya senyum manis pada dua orang adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sejak tadi menemaninya di taman belakang ini.
"Lima hari ini kau pergi. Ke mana saja...?"
Rangga langsung menegur si Kipas Maut itu.
"Jalan-jalan ke desa,"
Sahut Pandan Wangi kalem.
"Sampai lima hari.... Tentu jauh perjalananmu, Kak Pandan,"
Selak Cempaka.
"Ya, sampai ke Desa Payakan,"
Sahut Pandan Wangi lagi.
"Desa Payakan jauhnya dua hari perjalanan berkuda dari sini. Untuk apa ke sana, Kak Pandan..?"
Sambung Danupaksi heran.
"Melihat-lihat keadaan saja,"
Sahut Pandan Wangi kalem.
"Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?"
Tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab; sehingga membuat Rangga dan kedua adik tirinya jadi memandanginya dengan kelopak mata menyipit dan kening agak berkerut.
Mereka langsung menduga kalau ada sesuatu yang terjadi di Desa Payakan, hingga Pandan Wangi seakan sulit mengatakannya.
"Ada persoalan di sana, Pandan..?"
Desak Rangga lembut.
"Desa itu sekarang seperti neraka, Kakang,"
Sahut Pandan Wangi pelan.
"Apa maksudmu, Kak Pandan..?"
Desak Danupaksi, agak terkejut mendengar jawaban Pandan Wangi barusan "Ki Junggut orang terkaya di desa itu menguasainya bagai seorang tuan tanah.
Dia menekan semua penduduk dengan pajak-pajak tinggi Bahkan tidak segan-segan menyiksa atau membunuh siapa saja yang berani menentangnya,"
Jelas Pandan Wangi.
"Aku membawa seorang tua yang hampir saja mati dibakar bersama rumahnya dari sana. Sekarang, dia sudah ada di rumah anaknya di sini."
"Hm.... Kenapa tidak langsung saja dibawa ke sini, Kak Pandan?"
Ujar Cempaka agak menggumam suaranya.
"Dia tidak tahu siapa aku, Cempaka."
Cempaka dan Danupaksi langsung memandangi Rangga yang jadi terdiam mendengar laporan Pandan Wangi mengenai keadaan Desa Payakan barusan.
Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mendengar ada penderitaan yang terjadi dalam wilayah kerajaannya.
Walaupun Desa Payakan cukup jauh dari kota, tapi masih tetap termasuk ke wilayah Kerajaan Karang Setra.
Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, Rangga bangkit berdiri dari kursinya.
Kakinya langsung terayun melangkah perlahan-lahan.
Sementara, Pandan Wangi dan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya saja dengan kening sedikit berkerut.
Sedangkan Rangga terus melangkah, meninggalkan taman belakang istana ini.
"Aku salah bicara tadi, Cempaka...?"
Desis Pandan Wangi jadi merasa tidak enak melihat sikap Rangga langsung saja berubah. 'Tidak,"
Sahut Cempaka.
"Aku yakin, Kakang Rangga pasti pergi ke sana. Dia tidak bisa mendengar ada penderitaan terjadi di wilayah kerajaan ini,"
Kata Danupaksi pelan.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
Tanya Cempaka. 'Tunggu saja, apa perintahnya,"
Sahut Danupaksi.
Cempaka hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Memang tidak ada yang bisa dilakukan.
Dan seperti biasanya, mereka hanya bisa menunggu saja, apa yang akan diperintahkan Raja Karang Setra itu.
Tapi, Cempaka sudah langsung bisa menduga kalau Rangga pasti memerintahkan mereka untuk tidak meninggalkan istana.
Dan seperti yang biasanya terjadi, Pendekar Rajawali Sakti tentu hanya mengajak Pandan Wangi menyelesaikah kemelut yang terjadi di Desa Payakan.
"Sebaiknya bersiap-siap saja, Kak Pandan. Tidak lama lagi Kakang Rangga pasti akan mengajakmu pergi ke Desa Payakan,"
Ujar Cempaka.
"Sebenarnya, aku ingin berada di istana ini. Aku sudah lelah mengembara. Kakang Rangga pasti tidak akan langsung kembali lagi ke sini kalau sudah keluar,"
Kata Pandan Wangi agak mendesah nada suaranya.
"Tapi hanya kau yang bisa mendampinginya, Kak Pandan. Tidak mungkin Kakang Rangga pergi sendiri,"
Sergah Danupaksi.
"Bagaimana kalau kau saja yang pergi bersamanya, Cempaka?"
Pandan Wangi menawarkan.
"Aku...?!"
Cempaka jadi tertawa mendengar penawaran si Kipas Maut.
Dia tahu, tidak akan mungkin Rangga akan menerima tawaran Pandan Wangi barusan.
Lagi pula, Cempaka sadar kalau kepandaian yang dimilikinya masih beberapa tingkat di bawah Pandan Wangi.
Dan gadis itu juga merasa tidak sebanding jika harus menemani Pendekar Rajawali Sakti mengembara menjelajah rimba yang ganas di luar sana.
Cempaka sendiri sudah terbiasa hidup di dalam lingkungan istana, mendampingi Danupaksi yang mewakili Pendekar Rajawali Sakti itu memimpin pemerintahan di Karang Setra.
Walaupun, di dalam hati kecilnya dia selalu berharap ada sedikit kesempatan untuk menjelajah dunia luas bersama pendekar muda yang sangat dikaguminya.
Dan saat itu, terlihat seorang punggawa berjalan cepat menghampiri mereka.
Punggawa berusia muda itu langsung berlutut di depan Danupaksi, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Punggawa?"
Tanya Danupaksi langsung.
"Hamba diperintahkan untuk menjemput Gusti Pandan Wangi. Gusti Prabu sudah menunggu di depan istana,"
Sahut punggawa itu. Saat itu Cempaka langsung tersenyum.
"Benar kan kataku, Kak Pandan. Cepat sana! Jangan sampai Kakang Rangga lama menunggu,"
Ujar Cempaka. Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Punggawa! Apa ada pesan lain dari Kakang Prabu?"
Tanya Danupaksi.
"Tidak, Gusti. Hanya itu pesan Gusti Prabu,"
Sahut punggawa itu hormat.
Danupaksi mengangkat bahunya sedikit.
Walaupun Rangga tidak memberi pesan apa-apa, tapi sudah diketahuinya apa yang harus dilakukannya, bila Raja Karang Setra itu sudah pergi meninggalkan istana untuk mengembara.
Memang sulit menjadi raja kalau dalam dirinya terus tertanam jiwa pendekar.
Jelas, Rangga lebih mementingkan kependekarannya daripada harus berdiam diri di dalam istana.
"Ayo, Punggawa. Antarkan aku menemui Gusti Prabu,"
Pinta Pandan Wangi.
Pandan Wangi menatap sebentar pada Danupaksi dan Cempaka, kemudian melangkah meninggalkan kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Punggawa yang tadi membawa laporan segera mengikuti langkah si Kipas Maut dari belakang.
Sedangkan Danupaksi dan Cempaka hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat berbicara lagi.
Dan mereka juga meninggalkan taman belakang istana ini, setelah Pandan Wangi dan punggawa tidak terlihat lagi.
--myrna--"Di mana orang tua yang kau antarkan dari Desa Payakan?"
Tanya Rangga setelah mereka keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di bagian belakang istana.
"Sebelah selatan pinggiran kota,"
Sahut Pandan Wangi memberi tahu.
"Kita temui dulu dia,"
Kata Rangga memutuskan.
Dan tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menggebah cepat kudanya menuju selatan kota.
Pandan Wangi terpaksa mengikuti tanpa banyak tanya lagi.
Untung saja, Rangga menggebah kudanya tidak terlalu cepat.
Sehingga, gadis itu bisa mudah mensejajarkan lari kudanya di samping kuda hitam bernama Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Mereka terus menggebah cepat kudanya, melintasi jalan kota yang selalu ramai ini.
Orang-orang yang berada di jalan itu segera menyingkir, begitu melihat dua orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi jalan ini.
Mereka yang memang sudah mengenal kedua penunggangnya, segera membungkuk memberi hormat.
Dan memang, hampir seluruh rakyat di Kota Kerajaan Karang Setra ini sudah mengenal raja mereka, walau saat ini mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung.
Mereka sudah tahu, raja mereka adalah seorang pendekar digdaya yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Mengetahui kalau yang memacu cepat kuda itu adalah rajanya, semua orang langsung mengosongkan jalan ini.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sendiri terus memacu kudanya dengan cepat menuju arah selatan tanpa mempedulikan orang-orang yang berjajar di tepi jalan dengan tubuh membungkuk memberi hormat.
Dalam waktu tidak lama saja, sepasang pendekar muda dari Karang Setra itu sudah dekat dengan perbatasan luar kota sebelah selatan.
Masih terlihat beberapa rumah di dekat perbatasan, walaupun tidak sepadat di tengah kota.
Rangga langsung memperlambat lari kudanya.
Dan matanya melirik Pandan Wangi sedikit, yang berkuda di sebelah kiri.
Pandan Wangi langsung bisa mengerti.
Dan segera kudanya digebah mendahului Pendekar Rajawali Sakti.
"Hooop...!"
Pandan Wangi langsung menghentikan lari kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah kecil yang berhalaman cukup luas, tidak jauh dari gerbang perbatasan kota.
Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya.
Sementara Rangga bergegas mengikuti setelah sampai di samping kuda putih si Kipas Maut ini.
Dan Pandan Wangi pun sudah melangkah memasuki halaman rumah yang cukup luas ini.
Dari dalam rumah kecil itu, keluar seorang laki-laki tua yang langsung menyambut dengan sikap begitu hormat.
Di belakangnya menyusul seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun, diikuti seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh tahun.
Tubuh laki-laki itu kekar berotot dan agak hitam terbakar matahari.
Mereka langsung menyambut Pandan Wangi dengan sikap hormat sekali.
"Aku tidak lama, Ki Anom. Hanya mampir-mampir saja mengantarkan kakakku ini. Dia ingin kenal denganmu,"
Kata Pandan Wangi cepat-cepat, ketika Ki Anom memintanya masuk ke dalam rumah anaknya. Rangga menganggukkan kepala sedikit pada orang tua itu dengan bibir menyunggingkan senyum penuh rasa persahabatan. Ki Anom membalasnya dengan anggukan kepala juga.
"Kakang Rangga ingin tahu persoalanmu di Desa Payakan,"
Kata Pandan Wangi lagi.
"Oh! Untuk apa Kisanak ingin tahu...?"
Tanya Ki Anom agak terkejut. Belum juga Rangga bisa menjawab, Pandan Wangi sudah menyelak lebih dulu.
"Terus terang saja, Ki. Kakang Rangga mendapat perintah dari istana untuk mengamankan desa itu..."
Kedua bola mata Ki Anom jadi terbeliak, memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
Orang tua kurus itu langsung menyangka kalau pemuda yang bersama Pandan Wangi ini adalah pembesar istana.
Cepat-cepat dia menjatuhkan diri, berlutut memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Anak dan menantu orang tua ini juga langsung bersikap sama.
Dan ini membuat Rangga jadi menyipit kelopak matanya.
Langsung matanya menatap tajam Pandan Wangi yang dianggapnya sudah salah bicara.
"Jangan bersikap begitu, Ki. Kakang Rangga orang biasa seperti kita. Hanya, dia sering mendapat tugas dari istana untuk persoalan seperti di Desa Payakan,"
Kata Pandan Wangi cepat-cepat menjelaskan.
"Maaf.... Aku tidak menyangka kalau Nisanak adalah adik dari orang kepercayaan istana. Maafkan atas semua sikap dan kelancanganku,"
Ucap Ki Anom sambil memberi hormat pada Pandan Wangi.
"Ah, sudahlah.... Aku dan Kakang Rangga datang hanya ingin meminta keterangan langsung darimu, Ki,"
Ujar Pandan Wangi, juga jadi jengah mendapat sikap hormat seperti ini Gadis itu langsung saja membangunkan Ki Anom dan anak menantunya.
Dan kini mereka kembali berdiri saling berhadapan.
Sementara, Rangga sendiri masih tetap diam.
Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Kini Pandan Wangi sudah langsung mengajukan beberapa pertanyaan yang menyangkut keadaan di Desa Payakan.
Dan dengan gamblang, Ki Anom menceritakan semua yang diketahuinya.
Rangga sendiri hanya mendengarkan saja, tanpa memberi tanggapan sedikit pun.
--myrna--Sekarang ini, keadaan di Desa Payakan semakin parah saja.
Orang-orang Ki Junggut semakin disibuki oleh munculnya seorang bocah berkepandaian tinggi yang menghalangi mereka menarik pajak dari penduduk desa ini.
Bahkan dalam beberapa hari ini saja, Ki Junggut sudah kehilangan tidak kurang dari lima belas orang tukang pukulnya yang berkepandaian sedang-sedang.
Keadaan yang semakin memburuk ini membuat Ki Junggut jadi berang setengah mati.
Maka empat orang tua kepercayaannya diperintahkan untuk mencari bocah ajaib itu.
Bahkan dia langsung memberi perintah untuk membunuh bocah itu tanpa ampun lagi.
Sementara itu kedua putra kembarnya juga tidak mau ketinggalan.
Mereka masih penasaran, karena pemah dibuat babak belur oleh anak kecil berusia sekitar tiga belas tahun.
Kekejaman yang mereka lakukan juga semakin menjadi-jadi.
Bahkan sepak terjang kedua putra kembar Ki Junggut semakin merajalela saja.
Mereka mengambil gadis gadis desa itu, dan menjadikannya pemuas nafsu.
Semua penduduk Desa Payakan benar-benar merasakan berada dalam neraka sekarang ini.
Namun tidak ada seorang pun yang berani menentang.
Sedikit saja menunjukkan perlawanan, nyawa menjadi taruhannya.
"Kakang! Lihat, siapa itu...,"
Bisik Rantaki, ketika siang itu mereka berjalan-jalan ke tepi sungai pinggiran Desa Payakan ini.
Kedua bola mata Rantaka langsung berbinar begitu melihat seorang gadis cantik sedang membasuh tubuhnya yang ramping dan indah itu di tepi sungai.
Kulitnya yang putih terlihat halus, hanya tertutup selembar kain basah.
Kedua pemuda kembar itu bergegas menghampiri.
Dan mereka langsung tertawa-tawa, membuat gadis cantik berkulit putih halus itu terkejut.
"Oh...?!"
Gadis itu cepat-cepat menutupi dadanya yang agak terbuka dengan kedua tangan.
Segera dia keluar dari dalam sungai ini.
Dan mencoba menghindari kedua pemuda kembar yang dengan sinar mata liar penuh nafsu itu.
Tapi baru saja dia bergerak beberapa langkah dari sungai, Rantaka sudah melompat cepat dan langsung menerkamnya seperti seekor singa kelaparan.
"Ouwh...! Jangan..!"
Pekik gadis itu.
Tanpa ampun lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah berpasir tepi sungai ini.
Sementara Rantaki hanya tertawa-tawa senang, melihat kakak kembarnya berusaha memeluk dan menciumi gadis ini.
Pergumulan yang tidak seimbang itu, membuat tawa Rantaki semakin keras.
Dan kedua bola matanya jadi kian jalang, begitu melihat kain yang dikenakan gadis itu tersingkap, hingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan.
"Tidak! Jangan..! Lepaskan aku...!"
Jerit gadis itu sambil terus meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan Rantaka.
"He he he...! Berteriaklah sepuasmu, Cah Ayu. tidak ada yang akan menolongmu...,"
Desis Rantaka disertai tawanya yang berderai "Jangan..."
Gadis itu hanya bisa merintih lirih memohon belas kasihan.
Air matanya mulai menitik, keluar dari sudut matanya yang bening.
Tapi Rantaka seperti tidak peduli.
Bahkan semakin liar saja menciumi dan meremas seluruh tubuh gadis dalam him-pitannya.
Sementara Rantaki terus memandangi dengan desah napas kian memburu.
Apalagi...
Rantaka yang terdengar mendengus memburu cepat seperti kuda yang dipacu di padang gersang.
Sementara gadis ini hanya bisa merintih dan menangis, tanpa dapat lagi berbuat sesuatu untuk melepaskan diri.
Sia-sia saja tubuhnya berusaha ditutupi.
Sementara tangan pemuda kembar itu terus memaksa merenggut kain yang basah dan sudah kotor ini.
"Jangan...,"
Rintih gadis itu lirih. Bret! "Auwh...!"
Sekali sentak saja, kain yang melilit tubuh gempal itu terenggut, membuat gadis ini jadi sibuk menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan.
Tapi Rantaka sudah cepat mencekal perge-langan tangannya, dan membukanya ke samping lebar-lebar.
Dengan napas memburu cepat, Rantaka menciumi dada yang membusung dan terbuka tanpa penghalang lagi itu.
Sedangkan gadis itui hanya bisa merintih dan menangis meratapi nasibnya.
"Akh! Tidaaak...!" --myrna--"Rasanya tidak ada lagi gadis secantik dia di desa ini, Kakang. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja di sini?"
Tanya Rantaki tanpa beralih dari tubuh indah yang tergolek tanpa pakaian tidak jauh di depannya dalam keadaan pingsan, karena tak kuat menanggung aib.
"Memang sayang kalau hanya sekali dinikmati,"
Kata Rantaka.
"Kita bawa saja ke pondok di dalam hutan, Kakang. Kalau sudah layu, baru dibuang"
Usul Rantaki.
"He he he...!"
Rantaka hanya terkekah saja mendengar usul adik kembarnya.
Dan tanpa banyak bicara lagi, langsung dihampiri gadis malang itu.
Sekali renggut saja, gadis itu sudah berada dalam pelukannya.
Lalu dengan suara tawa terkekeh, Rantaka memanggul tubuh yang masih polos dan lemah tanpa daya ini ke pundaknya.
Sebentar ditatapnya adik kembarnya.
"Kau pulang saja dulu, Rantaki. Malam nanti dia kuberikan padamu,"
Kata Rantaka. Rantaki hanya mengangkat bahu saja sedikit "Ingat! Jangan terlalu sore datangnya,"
Pesan Rantaka.
Setelah berpesan begitu, Rantaka langsung berlari cepat meninggalkan tepian sungai ini.
Sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap tertelan pepohonan yang rapat.
Sementara, Rantaki masih tetap duduk di tepi sungai itu dengan bibir menyunggingkan senyum.
Dan tidak lama kemudian dia bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalan tepi sungai yang berbatasan dengan hutan ini.
Bibirnya masih terus mengembangkan senyum, membayangkan perbuatan Rantaka pada gadis itu.
Juga, apa yang akan dilakukannya malam nanti bersama gadis itu di pondok dalam hutan.
--myrna--Jeritan melengking tinggi yang membelah kesunyian, terdengar keluar dari dalam sebuah pondok panggung kecil di tengah-tengah hutan lebat ini.
Belum lagi jeritan itu lenyap dari pendengaran disusul suara tawa yang keras menggelegar.
Di pondok, Rantaka memang tengah mempermainkan gadis cantik yang dibawanya dari tepi sungai tadi, dan kini sudah siuman.
Tidak ada selembar kain pun yang menutupi tubuh gadis ini.
Dan gadis itu memang bagai tikus yang dipermainkan kucing.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau...?!"
"Jangan.... Tolong lepaskan aku...,"
Rintih gadis itu memelas.
"Ha ha ha...!"
Rantaka hanya tertawa saja mendengar rintihan gadis ini.
Kakinya terus terayun mendekati.
Sementara, gadis itu sudah tidak dapat lagi bergerak.
Punggungnya sudah menempel ke dinding kayu pondok ini.
Kedua tangannya mencoba menutupi dadanya yang terbuka membusung indah.
Diliriknya selembar kulit harimau yang menempel di dinding tidak jauh darinya.
Tanpa berpikir panjang lagi, tangan yang mungil itu menyambar kulit ini, dan langsung menutupi tubuhnya.
"He he he...! Kau semakin cantik mengenakan itu, Cah Ayu...."
"Aku mohon padamu. Lepaskan aku...,"
Rintih gadis itu memohon.
"He he he,,.!"
Rantaka masih tertawa saja mendengar rintihan gadis ini. Dia terus mendekati dengan pandangan mata liar merayapi .tubuh yang masih agak terbuka. Sepasang paha yang halus dan gempal menjadi incaran tatapan mata pemuda ini.
"Jangan...,"
Rintih gadis itu semakin lirih.
Sementara, Rantaka sudah semakin dekat saja padanya.
Bahkan tangannya sudah terulur ke depan.
Sedangkan gadis itu sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa.
Seluruh tubuhnya sudah menggeletar, melihat tangan yang semakin dekat menjulur padanya.
Dan ketika tangan Rantaka hampir menyentuh tubuh yang hanya tertutup selembar kulit harimau ini, mendadak saja....
Brak! "Heh...?!"
"Auwh...?!"
Rantaka jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja pintu pondoknya didobrak dari luar. Cepat tubuhnya berbalik. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rantaka membanting tubuhnya ke lantai kayu pondok ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum melompat bangkit berdiri.
Kedua bola matanya langsung terbeliak, begitu melihat seorang anak kecil yang tidak berbaju tahu-tahu sudah berada di depan gadis tawanannya.
Bocah itu hanya mengenakan celana yang sudah kotor dan robek sebatas lutut.
Sorot matanya terlihat begitu tajam, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda ini.
Tubuhnya yang kurus menampakkan tonjolan tulang-tulang, yang terbungkus kulit hitam kotor penuh lumpur.
Kuku-kukunya panjang berwarna hitam bagai cakar harimau.
Dia mendesis bagai ular, memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan runcing bagai binatang buas.
Sret! Menyadari siapa yang tiba-tiba muncul, Rantaka langsung mencabut goloknya yang sejak tadi terselip di pinggang.
Golok itu cepat disilangkan ke depan dada.
Dan kakinya bergerak menggeser mendekati pintu.
Sedikit matanya melirik pintu pondok yang sudah hancur berkeping-keping itu.
Sementara bocah kecil bertubuh kotor ini hanya memandangi saja, dengan sinar mata tajam.
Dan ketika Rantaka sudah hampir mencapai pintu, tiba-tiba saja bocah itu menggeram kecil.
Lalu....
Slap! "Oh...?!"
Rantaka jadi terlongong, begitu tiba-tiba bocah itu melesat cepat sekali menerjangnya. Jari-jarinya yang berkuku hitam dan runcing itu terkembang hendak mencengkeramnya.
"Hih...!"
Bet! Cepat-cepat Rantaka mengibaskan goloknya ke depan.
Sehingga bocah itu terpaksa harus memutar tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan golok ini.
Dan pada saat itu juga, Rantaka langsung melompat keluar dari dalam pondok kecilnya di tengah hutan ini.
"Hup!"
Manis sekali Rantaka menjejakkan kakinya di tanah, begitu berada di luar pondok.
Namun belum juga bisa berlari, dari dalam pondok bayangan bocah itu sudah melesat cepat bagai kilat.
Dan tahu-tahu, di depan Rantaka sudah berdiri bocah kecil bertubuh kurus dan kotor penuh lumpur.
"Oh...?!"
Kembali Rantaka terlongong kaget setengah mati.
Cepat goloknya disilangkan kembali ke depan dada.
Sementara, bocah kecil itu sudah bergerak menggeser kakinya perlahan ke kanan.
Jari-jari tangannya terkembang, bagai sepasang cakar elang yang seakan hendak mengoyak seluruh tubuh pemuda ini.
"Bocah setan! Maju kau...!"
Bentak Rantaka sengit, mencoba menghilangkan rasa takut yang menghinggapi dadanya.
Anak kecil bertubuh kurus yang berusia sekitar tiga belas tahun itu hanya menggereng saja, mendapat tantangan Rantaka.
Sementara di ambang pintu pondok yang hancur, gadis cantik tawanan Rantaka sudah berdiri di sana memperhatikan.
Wajahnya kelihatan pucat ketakutan.
Dan dia rupanya tidak berani beranjak keluar dari dalam pondok kecil yang terbuat dari kayu pohon ini.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Sambil membentak keras menggelegar, Rantaka langsung saja melompat menyerang dengan sambaran golok yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sabetan goloknya diarahkan cepat ke kepala bocah kecil ini.
Tapi hanya sedikit saja bocah itu mengegoskan kepala, maka golok itu hanya lewat sedikit saja di samping kepalanya.
Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa tangan kiri bocah itu mengibas ke samping.
Begitu cepatnya kibasan tangan yang kecil dan hitam berlumpur ini, sehingga Rantaka tidak sempat menyadarinya.
Dan....
Plak! "Akh...!"
Rantaka jadi terpekik kaget setengah mati, begitu merasakan kibasan tangan bocah itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanannya.
Begitu kerasnya, hingga golok yang tergenggam di tangan kanannya jadi terlepas.
Dan sebelum Rantaka bisa menyadari apa yang bani saja terjadi, bocah itu sudah meliukkan tubuhnya.
Langsung dilepaskannya satu tendangan yang sangat cepat, sambil melompat sedikit ke atas.
Bugkh! "Akh...!"
Untuk kedua kalinya Rantaka memekik, begitu tendangan kaki kecil itir menghantam telak dadanya.
Seketika pemuda itu terpental cukup jauh ke belakang.
Dan belum juga Rantaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, bocah itu sudah kembali melompat cepat sambil menggeram bagai seekor binatang buas.
Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari yang berkuku tajam terkembang lebar.
Sementara Rantaka yang masih terhuyung, tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya.
Hingga....
Bres! "Aaa...!"
Rantaka kembali menjerit melengking tinggi, begitu kedua tangan bocah kecil itu menghujam dalam dadanya. Bret! "Ugkh!"
Darah seketika itu juga menghambur deras sekali, begitu tangan bocah kecil itu keluar dari dalam dada Rantaka.
Dan manis sekali gerakannya, saat melenting berputar ke belakang menjauhi pemuda itu.
Sementara, Rantaka hanya bisa terbeliak melihat dadanya berlubang mengeluarkan darah segar.
Namun sesaat kemudian, pemuda itu jatuh terguling ke tanah.
Dan hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar dengan erangan kecil dari bibirnya.
Kemudian seluruh tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi.
Sementara bocah kecil bertubuh kurus dan kotor itu memandangi dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
Mulutnya menyeringai penuh kepuasaan, melihat lawan sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan dada berlubang berhamburan darah.
Perlahan tubuhnya berputar dan langsung pandangannya tertumbuk pada gadis cantik yang masih tetap berada di ambang pintu pondok Hanya selembar kulit harimau saja yang menutupi tubuhnya.
"Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu...,"
Ujar bocah kecil itu sambil memberi senyum kecil.
"Sss..., siapa kau...?"
Tanya gadis cantik itu dengan suara bergetar ketakutan.
"Namaku Kunjang. Aku tidak ada maksud apa-apa, selain menolongmu,"
Kata bocah kecil itu memperkenalkan namanya.
"Aku.... Aku Wulandari...,"
Gadis itu juga memperkenalkan diri, walau dengan suara bergetar ketakutan.
Tapi melihat keganasan bocah itu sudah menghilang dari wajah dan sorot matanya, ketakutan gadis itu mulai lenyap dari dirinya.
Kakinya lantas melangkah keluar dari pondok kecil di dalam hutan ini.
Dihampirinya Kunjang yang masih tetap berdiri tidak jauh dari mayat Rantaka.
Gadis yang mengaku bernama Wulandari itu berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima depa lagi di depan Kunjang.
Wulandari melirik sedikit pada Rantaka yang sudah tergeletak tidak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar mengeluarkan darah.
Begitu besarnya lubang di dada pemuda itu, hingga bagian dalamnya terlihat jelas.
"Dia sudah pantas menerimanya,"
Kata Kunjang terdengar lirih suaranya, seperti mengerti lirikan Wulandari.
"Mereka akan marah dan pasti menuduhku yang membunuhnya...,"
Kata Wulandari, kembali bergetar ketakutan suaranya.
"Kau takut...?"
Wulandari tidak langsung menjawab, dan hanya memandangi anak kecil bertubuh kurus dan kotor ini saja.
Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini.
Wulandari seakan sedang berhadapan dengan sosok malaikat berupa anak kecil yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
"Ayo, kau kuantarkan pulang,"
Ajak Kunjang.
"Aku..., aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Rumahku sudah mereka bakar. Anak dan suamiku dibunuh. Aku tidak punya apa-apa lagi di sana...."
Wulandarai langsung menangis terisak, meratapi kemalangan nasibnya.
Baru beberapa hari dia kehilangan suami dan anaknya.
Dan sekarang ini, entah berapa kali Rantaka sudah menodainya.
Dia tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya, Wu-landari merasa kalau tidak mungkin kembali ke Desa Payakan.
Bahkan semula ingin meninggalkan desa itu.
Meninggalkan semua kepahitan yang dialaminya.
Tapi, rupanya nasib buruk belum juga mau pergi jauh dari dirinya.
Kunjang menghampiri, langsung menggenggam tangan gadis ini yang putih dan halus.
Seakan, dia ingin memberi ketabahan pada diri wanita malang ini.
Sementara, Wulandari masih terisak, menutupi wajah dengan tangan kiri.
Namun tak lama kemudian, tangisnya berhenti.
Disekanya air mata yang membasahi seluruh wajahnya.
Pandangan matanya langsung tertuju pada anak laki-laki berusia tiga belas tahun di depannya yang masih memegangi tangan kanannya.
"Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Mereka membunuh kedua orangtuaku, juga semua saudaraku. Bahkan mengusirku seperti anjing kotor yang hina. Kita senasib, Kak...,"
Ujar Kunjang lirih.
"Oh.... Kau juga berasal dari Desa Payakan...?"
"Benar, Kak. Aku dilahirkan di sana,"
Sahut Kunjang.
Wulandari jadi terdiam.
Kunjang juga tidak membuka suara lagi.
Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu.
Namun tidak berapa lama, bocah kecil itu mengajak Wulandari pergi meninggalkan tempat ini.
Wulandari tidak bisa menolak lagi.
Dia memang tidak ingin lama-lama berada di dalam hutan ini.
Dan kakinya pun melangkah mengikuti ayunan kaki Kunjang di sebelah kanannya.
Mereka berjalan menembus lebatnya hutan, tanpa ada yang bicara lagi.
--myrna--Kematian Rantaka di dalam hutan, membuat seluruh Desa Payakan bagai diguncang gempa teramat dahsyat.
Kematian Rantaka membuat Ki Junggut semakin bertambah berang.
Dan kekejaman yang terjadi di desa itu juga semakin membara.
Dan Ki Junggut langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari pembunuh putranya itu.
Sementara, Rantaki yang merupakan saudara kembar Rantaka tidak dapat berbuat apa-apa.
Dia sendiri tidak tahu, siapa yang membunuh saudara kembarnya di depan pondok di dalam hutan.
Pondok itu memang mereka dirikan untuk beristirahat, setiap kali berburu ke dalam hutan.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang baru tiba di luar perbatasan Desa Payakan ini, sudah mendengar kematian Rantaka dari beberapa orang yang berpapasan.
Dan Pendekar Rajawali Sakti pun memutuskan untuk menunda dulu memasuki desa itu.
"Tampaknya ada orang lain yang sudah bertindak lebih dulu, Pandan,"
Ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu bisa saja terjadi, Kakang. Mereka sudah terlalu lama tertindas. Salah satu dari penduduk desa ini pasti ada yang tergugah untuk melawan,"
Sahut Pandan Wangi.
"Tapi kulihat, penduduk desa itu semakin dicekam ketakutan saja, Pandan. Aku merasa kalau perbuatan Ki Junggut dan tukang-tukang pukulnya akan semakin merajalela. Semua ini harus secepatnya diakhiri,"
Tegas Rangga.
"Kalau begitu, kita langsung saja datangi Ki Junggut. Aku yakin, dia akan bertekuk lutut bila tahu kalau kau adalah Raja Karang Setra,"
Kata Pandan Wangi langsung mengusulkaa "Justru itu yang tidak kuinginkan, Pandan. Dalam persoalan ini, aku tidak ingin membawa-bawa Karang Setra. Aku akan melakukannya atas namaku sendiri sebagai pendekar. Bukan sebagai raja,"
Rangga tegas-tegas langsung menolak usul Pandan Wangi.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Hm.... Aku akan mencari orang yang sudah menentang Ki Junggut,"
Sahut Rangga. Nada suaranya terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Untuk apa...?"
Tanya Pandan Wangi lagi semakin ingin tahu.
"Aku merasa, dia belum berani bertindak secara terang-terangan. Dan tindakannya bukan menolong, tapi malah semakin membuat penduduk desa ini semakin tertindas saja. Aku akan mengajaknya menumpas kelaliman Ki Junggut, tanpa harus mengorbankan penduduk yang sudah tidak berdaya lagi,"
Jelas Rangga.
Pandan Wangi jadi terdiam membisu.
Sudah bisa dimengerti apa yang dikehendaki Pendekar Rajawali Sakti.
Memang sudah menjadi watak Rangga yang selalu tidak ingin menimbulkan banyak korban dalam menyelesaikan suatu masalah.
Terutama sekali, selalu menghindari keterlibatan penduduk yang tidak berdaya, agar tidak menjadi korban sia-sia.
"Ayo, Pandan...,"
Ajak Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ke mana?"
Tanya Pandan Wangi.
"Ke tempat Rantaka terbunuh,"
Sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu.
Pandan Wangi bergegas mengikuti, melompat naik ke punggung kuda putih tunggangannya.
Dan sebentar kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu cepat kudanya memasuki hutan yang berbatasan dengan Desa Payakan.
Sebentar saja, mereka sudah lenyap tertelan lebatnya hutan itu.
Hanya kepulan debu saja yang masih terlihat bergulung-gulung ke angkasa.
Kedua pendekar dari Karang Setra itu tidak tahu kalau gerak-gerik mereka sejak tadi diikuti oleh seorang laki-laki tua bertubuh kekar, dengan sebilah golok tersandang di pundak.
Laki-laki kekar yang merupakan salah satu tukang pukul Ki Junggut, bergegas masuk ke dalam desa.
Jelas, dia ingin melaporkan kehadiran dua orang pendekar muda itu pada Ki Junggut Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, menghilang ditelan hutan yang sangat lebat ini.
Sedangkan keadaan di Desa Payakan, masih tetap sunyi tanpa ada seorang pun yang melakukan kegiatan sehari-hari.
Sejak diketahui Rantaka mari terbunuh di dalam hutan, tidak ada seorang penduduk pun yang berani meninggalkan rumahnya.
Mereka takut menjadi sasaran kemarahan Ki Junggut atas kematian salah satu putra kembarnya.
--myrna--Tidak ada yang dapat ditemukan Rangga di sekitar pondok kecil di dalam hutan ini.
Yang didapati hanya pondok kosong, dengan pintunya hancur berkeping-keping Dan tidak jauh dari pondok itu, masih terdapat darah yang sudah mengering.
Tidak ada satu pun dapat dijadikan petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti, untuk mengetahui siapa yang membunuh Rantaka dalam hutan ini.
Pendekar Rajawali Sakti juga tidak tahu, untuk apa Rantaka berada dalam hutan yang sunyi dan lebat ini.
Demikian pula tentang penghuni pondok kecil di dalam hutan ini.
Semakin banyak pertanyaan yang timbul dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, tidak satu pun yang bisa terjawab.
Sementara Pandan Wangi hanya diam saja menyaksikan Rangga yang terus mencari sesuatu di sekitar pondok kecil ini.
Namun tiba-tiba saja, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik keras, dan kelihatan gelisah.
Rangga langsung berpaling memandang kuda-kuda itu.
"Ada apa, Pandan...?"
Tanya Rangga.
Belum juga Pandan Wangi bisa menjawab, tiba-tiba dari balik pepohonan berlompatan sosok-sosok tubuh menghunus senjata golok.
Pandan Wangi cepat melompat mendekat Pendekar Rajawali Sakti.
Dan dalam waktu yang sangat singkat, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah terkepung tidak kurang dari dua puluh orang bersenjatakan golok.
Tampak di antara mereka terdapat tiga orang laki-laki tua bersama seorang wanita yang sudah lanjut usianya.
Mereka memang orang-orang kepercayaan Ki Junggut.
"Phuih! Rupanya kalian berdua biang keladinya!"
Dengus Ki Sampulut.
"Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Serang saja mereka,"
Selak Nyai Waringki, tidak sabar.
"Mereka memang harus mampus!"
Dengus Ki Sampulut lagi.
"Seraaang...! Bunuh mereka!"
"Tunggu...!"
Sentak Rangga mencegah, sebelum ada yang bergerak.
"Phuih! Mau apa kau...?!"
Bentak Ki Sampulut.
"Siapa kalian?! Kenapa riba-riba ingin menyerang kami?"
Tanya Rangga.
"Kau sudah membunuh putra junjungan kami. Dan sekarang, kau harus mampus!"
Sahut Ki Sampulut mendengus geram.
"Kalian salah. Kami tidak membunuh siapa pun di sini,"
Sentak Pandan Wangi.
"Jangan banyak omong!"
Bentak Nyai Waringki.
"Serang mereka...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dua puluh orang bersenjata golok yang sudah mengepung kedua pendekar dari Karang Setra ini langsung berlompatan menyerang disertai teriakan-teriakan keras mengetarkan jantung.
Rangga dan Pandan Wangi tidak dapat lagi mencegah.
Mereka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang datang secara bersamaan dari segala arah.
Dan mereka juga terpaksa terpisah dalam menghadapi lawan-lawannya.
"Hiyaaat...!"
Bet! Cepat sekali Pandan Wangi mencabut senjata Kipas Maut dan langsung mengebutkannya pada salah seorang lawannya di depan.
Tapi, lawannya ini bisa menangkis kebutan kipas putih keperakan itu dengan goloknya.
Trang! Orang itu jadi terpekik, merasakan seluruh lengannya bergetar hebat.
Bahkan goloknya terlepas dari genggaman.
Dan saat itu juga Pandan Wangi memberikan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Dugkh! Begitu cepatnya tendangan Pandan Wangi, sehingga lawannya tidak dapat lagi menghindari.
Dan dia menjerit keras, begitu tendangan si Kipas Maut menghantam tepat dadanya.
Sementara Pandan Wangi sudah kembali melesat sambil mengibaskan senjata kipasnya pada lawan lain.
Tidak dihiraukannya lawan yang terkena tendangan tadi tersungkur mencium tanah dengan .
tulang-tulang dada rembuk.
Orang itu seketika tergeletak diam tidak bergerak-gerak lagi.
Bet! Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, begitu ujung kipas Pandan Wangi yang runcing merobek dada salah seorang lawan.
Dan gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus bergerak cepat menghajar lawan-lawannya dengan senjata mautnya yang berkelebat begitu cepat tanpa dapat dibendung lagi.
Sementara di tempat lain, Rangga hanya memberi pukulan-pukulan ringan pada setiap lawannya.
Walaupun sebagian sudah bergelimpangan, tapi tidak ada yang sampai menemui ajal.
Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sudah menewaskan tiga orang lawan dalam waktu yang tidak begitu lama.
Sementara, empat orang tua kepercayaan Ki Junggut jadi geram melihat prajurit mereka tampaknya tidak berdaya menghadapi dua orang pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Munduuur...!"
Teriak Ki Sampulut riba-riba.
Seketika itu juga, orang-orang yang mengeroyok Pandan Wangi berlompatan mundur, begitu terdengar teriakan perintah dari Ki Sampulut.
Dan pada saat itu juga, laki-laki tua bertubuh tegap terbungkus baju merah ketat dan bersenjata golok itu melompat menghampiri Rangga.
"Hiyaaa...!"
Bet! Cepat sekali Ki Sampulut mengebutkan goloknya yang berukuran sangat besar, mengarah tepat ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, maka tebasan golok berukuran sangat besar itu lewat tanpa membawa hasil. Dan pada saat tubuhnya agak miring ke lori, Rangga melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu cepat dengan kaki kanan.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Ki Sampulut cepat-cepat melenting dan berputaran ke belakang, hingga tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai menghantam tubuhnya.
Beberapa kali orang tua itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kedua kakinya di tanah, sekitar setengah batang tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Ki Sampulut menyemburkan ludahnya dengan senrit Perlahan kakinya bergeser ke kanan dengan tatapan mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Dan agak jauh ke belakang Rangga, Pandan Wangi terpaksa harus menjadi penonton.
Karena, tidak ada seorang pun yang menyerangnya.
Sementara perhatian Ki Sampuk, Ki Jampur, dan Nyai Waringki juga terpusat pada pertarungan antara Ki Sampulut dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka jadi ikut merasa tegang, melihat Ki Sampulut masih belum juga melancarkan serangan.
Wut! Ki Sampulut cepat memutar goloknya yang berukuran sangat besar itu, hingga beruknya lenyap dari pandangan.
Dan yang terlihat hanya lingkaran putih keperakan di depan tubuh orang tua berbaju merah agak ketat ini.
"Hup! Hiyaaa...!" --myrna--Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Sampulut melompat cepat sekali menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan bagaikan kilat, goloknya dihantamkan tepat mengarah ke bagian perut pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya.
"Upths!"
Cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, hingga sambaran golok itu hanya lewat sedikit saja di depan perutnya.
Namun tanpa diduga sama sekali, Ki Sampulut cepat memutar arah goloknya.
Dan langsung goloknya dikibaskan ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindari sambaran golok lawannya.
Dan dengan cepat kedua telapak tangannya dikatupkan tepat di depan tenggorokannya.
"Hap.."
Tap! Seketika itu juga, golok yang hampir menebas leher terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat.
"Hih...!"
Ki Sampulut jadi tersentak kaget, tidak menyangka kalau pemuda lawannya akan berbuat demikian.
Cepat seluruh tenaga dalamnya dikempos.
Dicobanya untuk menarik goloknya dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, golok itu sedikit pun tidak bergeming berada dalam jepitan tangan Rangga.
"Hih!"
Kembali Ki Sampulut melepaskan goloknya.
Namun tetap saja usahanya tidak membawa hasil.
Sementara, Rangga sendiri terlihat tegak seperti tidak berusaha menahan sentakan tenaga dalam lawannya.
Namun tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting sedikit ke atas.
Dan....
"Yeaaah...!"
Bet! "Heh...?!"
Ki Sampulut jadi terbeliak kaget setengah mati, sungguh tidak disangka lawannya bisa bergerak dengan tangan masih merapat menjepit goloknya. Dan belum lenyap rasa keterkejutannya, tahu-tahu.... Diegkh! "Akh...!"
Ki Sampulut jadi memekik agak tertahan, begitu tendangan Rangga tepat menghantam dadanya.
Seketika tubuh orang tua yang masih kelihatan tegap dan berotot ini jadi terpental cukup jauh ke belakang, dengan golok terlepas dari genggaman tangan.
Golok itu masih berada dalam jepitan kedua telapak tangan Rangga di depan tenggorokannya.
"Hih!"
Trak! Entah bagai mana caranya, Rangga mematahkan golok itu hingga menjadi dua bagian, dan langsung membuangnya begitu saja ke depan.
Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu membuat semua orang yang menyaksikan jadi terlongong bengong.
Sungguh mereka tidak percaya kalau pendekar muda itu mampu mematahkan golok Ki Sampulut yang sudah terkenal keampuhannya dengan mudah sekali, seperti mematahkan sepotong ranting kecil yang sudah kering.
Ki Sampulut sendiri yang masih belum juga bisa berdiri jadi terbeliak melihat goloknya kini sudah terpotong menjadi dua bagian, tergeletak di tanah tidak jauh darinya.
Sementara Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Matanya memandangi orang-orang tua yang masih terlongong bengong, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.
"Dengar...! Aku tidak ada urusan dengan kalian. Sebaiknya pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk mematahkan batang leher kalian satu persatu...!"
Keras sekali suara Rangga, hingga menggema sampai menelusup ke dalam hutan yang lebat ini.
Ancaman Rangga yang tampaknya tidak main-main ini membuat hati sisa-sisa anak buah orang-orang tua itu jadi bergetar.
Dan kata-kata Rangga yang bernada ancaman, membuat orang-orang tua tukang pukul Ki Junggut ini jadi terdiam.
Sementara, itu Ki Sampulut sudah bisa berdiri lagi.
Dia kini berada di antara orang-orang tua yang lain "Kali ini kau boleh merasa senang, Bocah.
Tapi lain waktu, kau akan berlutut di depanku...!"
Dengus Ki Sampulut mendesis.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Ki Sampulut yang tidak sudi mengakui kekalahannya.
Dan tanpa banyak bicara lagi Ki Sampulut segera berbalik, kemudian melangkah meninggalkan tempat ini.
Sementara Ki Jampur, Ki Sampuk, dan Nyai Waringki menatap tajam beberapa saat pada Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian mereka juga berputar dan melangkah pergi mengikuti Ki Sampulut yang sudah pergi lebih dulu diikuti sisa-sisa anak buahnya.
Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak memandangi mereka sampai lenyap tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini.
Pandan Wangi bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebenarnya kita bisa menumpas mereka sampai habis, Kakang...,"
Ujar Pandan Wangi dengan nada suara agak menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Belum saatnya, Pandan,"
Sahut Rangga datar.
"Sudah jelas mereka orang-orangnya Ki Junggut. Aku rasa, tidak ada manfaatnya membiarkan mereka tetap hidup, Kakang,"
Selak Pandan Wangi, tidak sependapat dengan jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Kita pergi dari sini,"
Ajak Rangga setelah beberapa saat terdiam.
Pandan Wangi tidak bisa lagi membantah.
Diikutinya Pendekar Rajawali Sakti yang melangkah menghampiri kudanya.
Kedua kuda itu tadi langsung menyingkir menjauh, begitu muncul pengikut-pengikut Ki Junggut.
Dan tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu.
Kecepatan lari kuda itu bagaikan angin saja.
Sehingga, tidak ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menandinginya.
Namun hutan yang lebat dengan pepohonan yang seakan saling menyatu dan berkaitan ini, membuat gerak kuda mereka jadi terhambat.
Hingga akhirnya, Rangga terpaksa harus turun dari punggung kudanya.
Pandan Wangi segera mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti.
Kini mereka melajutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, sambil menuntun kuda masing-masing.
--myrna--Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu baru berhenti, setelah sampai di tempat yang agak lapang di dalam hutan ini.
Sebuah tempat yang cukup tersiram cahaya matahari.
Sesaat mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya.
Terasa sunyi sekali, sedikit pun tidak terdengar suara binatang.
Hanya tiupan angin yang menggeser dedaunan saja yang terdengar mengusik telinga.
"Sunyi sekali di sini, Kakang. Seperti tidak ada yang hidup saja...,"
Ujar Pandan Wangi pelan, sepera bicara pada diri sendiri.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam saja perlahan.
Memang tidak ada yang dapat dilihat di tempat ini, selain pepohonan Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang.
Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti merasa kesunyian ini memancarkan hawa.
yang lain.
Suatu perasaan yang membuatnya kelihatan menegang, dengan pandangan mata terus beredar ke sekeliling tanpa suara sedikit pun juga.
Bahkan sepertinya dia sejak tadi menahan napas.
"Ada apa, Kakang?"
Tegur Pandan Wangi yang melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti yang terasa lain. Namun belum juga Rangga bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu, mendadak saja.... Brolll! "Pandan, awas...!"
"Heh...?! Hup!"
Untung saja Pandan Wangi cepat melompat ke atas.
Sehingga, sepasang tangan yang tiba-tiba saja menyembul dari dalam tanah tidak sampai merenggut kakinya.
Beberapa kali gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya kembali di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara sepasang tangan yang menyembul dari dalam tanah itu terus bergerak keluar.
Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name Pertentangan Kaum Persilatan Yoe hiap eng hiong 1 Karya OKT Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL