Sayembara Maut 2
Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Bagian 2
Kini, seorang prajurit mengumumkan sayembara kedua.
Yaitu, pertarungan melawan jawara istana.
Dalam waktu tak lama, seseorang bertubuh besar muncul dari belakang.
Bahkan lebih besar ketimbang ukuran orang-orang biasa yang bertubuh besar.
Sepasang matanya bulat dan bibimya lebar.
Rambutnya pendek dan kaku seperti ijuk.
"Pertarungan ini tidak terbatas. Kau boleh saja menghajarnya sampai mati. Begitu pula dia!"
Teriak seorang prajurit dengan suara lantang, memberitahukan peraturannya. Pendekar Rajawali Sakti mengangguk. Sementara laki-laki bertubuh besar bernama Gajah Petung mendekat sambil menyeringai lebar.
"He he he...! Kau akan menjadi kepingan-ke-pingan kecil setelah kubeset-beset tubuhmu, Bo-cah!"
Gertak Gajah Petung dengan seringai lebar. Rangga menanggapinya hanya dengan senyum, tak ada kegentaran sedikit pun di hatinya. Namun demikian sikapnya tetap penuh kewaspadaan.
"Grrr...! Akan kuremukkan tulang-tulangmu!"
Dengus Gajah Petung menyeringai buas.
"Silakan, Kisanak.... Mulailah lebih dulu,"
Ujar Pendekar Rajawali Sakti kalem. Begitu kata-kata Pendekar Rajawali Sakti habis, Gajah Petung langsung saja melompat menyergap.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Namun Rangga telah cepat melompat ke atas dengan ringan.
Gajah Petung coba menggapainya seraya berbalik cepat, tapi lagi-lagi pemuda itu mampu menghindarinya dengan melenting ke belakang.
Baru saja Rangga mendarat, Gajah Petung telah meluruk deras sambil membabatkan tangannya ke kepala.
Wuttt...! Cepat Rangga mengegos ke kanan, lalu memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan sete-ngah lingkaran.
Untungnya, dengan sigap Gajah Petung menarik tangan kanannya dan berusaha memapak.
Plak! Begitu terjadi benturan, justru Rangga memanfaatkannya untuk melepaskan tendangan kembali, setelah menjejak tanah.
Begitu cepat gerakannya, membuat Gajah Petung tak mampu menghindar.
Dan....
Duk! "Hugkh...!" *** Gajah Petung terjajar beberapa langkah ke belakang, begitu tendangan susulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perutnya.
Gajah Petung semakin geram saja.
Seketika tubuhnya kembali meluruk sambil melayangkan kepalan tangan menghantam dada.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya ikut menendang.
Rangga dengan gerakan ringan mencelat ke atas, sehingga dua serangan itu hanya menghantam tempat kosong.
Dan di luar dugaan, tubuhnya kembali meluncur deras ke bawah dengan serangan menggeledek lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', pada tingkat pertama.
Dan ketika tangannya mengibas....
Desss...! "Aaakh!"
Laki-laki bertubuh raksasa itu menjerit tertahan ketika tengkuknya terhajar kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terhuyung-huyung ke muka dan nyaris terjerembab.
"Keparat!"
Bentak Gajah Petung menggeram marah. Wajah laki-laki bertubuh raksasa ini berkerut dengan seringai lebar menghiasinya. Agaknya ke-marahan di dadanya begitu berkobar-kobar. Rasanya ingin direncahnya pemuda itu sampai tidak berbentuk lagi.
"Huh!"
Gajah Petung mendengus geram. Kesabaran-nya sudah habis. Dia harus cepat menyudahi pertarungan ini dengan membunuh pemuda itu. Maka diberinya isyarat pada seorang prajurit. Dan prajurit itu pun menghampiri sambil membawa sebilah pedang besar.
"Kau akan menyesal karena tidak melakukannya, Bocah! Sebab kaulah yang akan mampus di tanganku!"
Gertak Gajah Petung, seraya meraih pedang.
"Hati-hati dengan pedang itu, Kisanak. Salah-salah bisa memakan tuannya sendiri,"
Ujar Rangga kalem, penuh sindiran. Rangga sadar, lawannya seperti mengiyakan kematiannya.
"Banyak mulut! Yeaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Gajah Petung melompat sambil mengibaskan pedangnya. Bet! "Mampus kau, Bocah!"
Kelebatan pedang itu memang kuat dan bertenaga cukup lumayan.
Namun di mata Pendekar Rajawali Sakti, kecepatannya tak jauh beda dengan tokoh persilatan yang selalu mengandalkan tenaga kasar, alias berilmu cetek.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti sedikit menunduk lalu melompat ke samping.
Dan ini membuat Gajah Petung semakin penasaran.
Seketika tubuhnya berbalik dengan ayunan pedang.
Tapi segala usahanya percuma saja, sebab tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat cepat dengan ayunan kaki berturut-turut.
Begkh! Duk! "Aaakh...!"
Gajah Petung terpekik nyaring ketika tendangan bertubi-tubi Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perut dan tangannya yang menggenggam pedang.
Pedang itu terlepas dan tangan kanannya patah.
Sementara tubuhnya terpental, dan bergulingan di tanah.
Laki-laki bertubuh raksasa itu megap-megap tak berdaya.
Dari sudut bibirnya meleleh darah segar.
Dia berusaha bangkit, namun wajahnya seketika berkerut menahan rasa sakit.
"Aku bisa saja membunuhmu. Tapi kalau kau mau mengaku kalah, maka aku akan menyudahi pertarungan ini!"
Ujar Rangga ketika telah berdiri di depan Gajah Petung.
"Baiklah, aku mengaku kalah...,"
Sahut Gajah Petung, lirih.
Beberapa prajurit bertepuk tangan melihat ke-menangan pemuda itu.
Demikian juga rakyat di luaran sana yang diperbolehkan masuk ke dalam pelataran halaman istana, untuk menyaksikan sayembara.
Namun prajurit-prajurit yang lain banyak yang berdiam diri.
Dan mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat melihat kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita akan meneruskan pada sayembara ketiga...!"
Pengumuman prajurit itu terhenti ketika....
"Acara hari ini selesai. Biarkan pemuda itu beristirahat. Esok baru dilanjutkan kembali!"
Potong Prabu Kuntadewa.
"Ya! Pemuda itu tentu letih! Dan sayembara ketiga memerlukan tenaga serta semangat yapg kuat. Untuk itu, dia perlu istirahat!"
Sambut Prabu Puntalaksana.
Para prajurit segera mengumumkannya.
Tak lama kemudian para penonton bubar satu persatu.
*** Rangga baru saja selesai membersihkan tubuhnya dan menghabiskan santap siang yang disediakan ketika seorang prajurit mengetuk pintu.
"Ada apa?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kanjeng Gusti Prabu Kuntadewa memanggil-mu, Kisanak!"
Lapor prajurit ini.
"Adakah sesuatu yang penting?"
"Entahlah, aku tidak tahu!"
"Sekarang?"
"Sebaiknya begitu."
"Baiklah. Aku ikut bersamamu."
Rangga dibawa menuju balairung utama.
Jarak antara balairung dengan tempat penginapan Rangga sekitar tiga puluh tombak, dibatasi sebuah lorong memanjang.
Dengan langkah lebar-lebar sebentar saja mereka telah tiba di depan balairung.
Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu balairung begitu Rangga tiba.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti masuk, tampak Prabu Kuntadewa beserta beberapa pejabat istana lainnya.
Termasuk di dalamnya Prabu Puntalaksana dan Nyai Saptaningrum.
Dan Rangga segera menjura hormat kepada mereka semua.
"Silakan duduk!"
Ujar Prabu Kutadewa.
"Terima kasih, Gusti Prabu!"
Sahut Rangga, sopan.
"Kami tengah bersantap bersama. Dan tiba-tiba aku teringat bahwa kau adalah peserta istimewa. Oleh sebab itu, aku ingin agar kau pun ikut dalam jamuan ini,"
Jelas Prabu Kuntadewa.
"Terima kasih, Gusti Prabu. Hamba seperti mendapat kehormatan besar bisa bersantap bersama Gusti Prabu. Namun baru saja hamba selesai bersantap, sebelum prajurit Gusti Prabu memberitahukan hal ini,"
Jelas Rangga, menolak halus.
"Kalau demikian, kau boleh mencicipi buah-buahan segar itu!"
Kata Prabu Kuntadewa memberi pilihan.
"Sekali lagi, terima kasih! Gusti Prabu baik sekali kepada hamba yang hina ini,"
Ucap Rangga, merendah. Tak lama, seorang pelayan menyodorkan seke-ranjang buah-buahan ke hadapan Rangga, kemudian meletakkannya ke piring tembaga.
"Oh, maaf!"
Seru pelayan itu ketika sebiji buah jambu air besar menggelinding jatuh ke kaki Rangga.
Buru-buru pelayan itu hendak memungut.
Dan bersamaan dengan itu Rangga bergerak hendak memunggutnya pula.
Seketika wajah mereka tenggelam di bawah meja panjang besar yang beralaskan sutera ungu.
"Maaf, ini ada titipan dari Gusti Prabu. Simpan baik-baik. Dan, jangan terlihat siapa pun!"
Bisik pelayan itu sambil menyodorkan sepucuk surat, ketika wajah mereka masih berada di bawah.
Dahi Rangga berkerut, tapi diterimanya juga surat itu, dan disimpannya baik-baik.
Dengan cara seperti memang tidak ada seorang pun yang curiga.
Tapi Rangga semakin bertanya-tanya, siapa yang menyurati? Apakah sang putri lagi? Atau..., Gusti Prabu? Bahkan bisa juga dari Prabu Puntalaksana.
Apa mau mereka? Memikirkan itu, rasanya untuk saat ini belum ada penyelesaian.
Maka Rangga bersikap sewajar mungkin ketika telah duduk tegak lagi.
Sempat melirik kepada pelayan tadi yang telah terburu-buru pergi dari tempatnya.
*** Setiba di kamarnya, Pendekar Rajawali Sakti buru-buru membuka isi surat dan membacanya.
Kisanak, masih belum terlambat untuk mengundurkan diri sebelum kau celaka.
Aku tidak kuasa menentukan sayembara yang jujur dalam hal ini.
Oleh sebab itu jika hendak maju terus, maka berjuanglah sekuat tenaga.
Kalau kau menang, maka aku amat berhutang budi padamu.
Salam, Prabu Kuntadewa "Hm, Prabu Kuntadewa?"
Rangga mengangguk-angguk meski tidak begitu mengerti apa yang tengah terjadi di kerajaan ini. Namun dia tahu, ada sesuatu yang tidak beres tengah berlangsung.
"Hm..., aku akan mencoba memancing mereka. Aku ingin tahu, apa yang akan mereka lakukan bila aku di luar. Mudah-mudahan aku bisa mengorek keterangan,"
Gumam Rangga perlahan, seperti berkata sendiri.
"Tapi agar aku tetap menjalani sayembara sebaiknya melakukan penyamaran."
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, memandang ke arah lemari di pojok ruangan. Cepat dihampirinya lemari itu, dan dibukanya.
"Hm.... Rupanya banyak terdapat pakaian di sini, dan beberapa potong kain. Yah, terpaksa.... agar rencanaku ikut sayembara tidak gugur, sebaiknya memang harus melakukan penyamaran. Dengan pakaian dan kain-kain yang mungkin bekas pakaian para peserta sayembara terdahulu, rencanaku mungkin akan berhasil,"
Gumam Rangga lagi.
Cepat Rangga mengambil sepotong pakaian berwarna merah dan beberapa kain, kemudian segera menyembunyikannya di bagian belakang badannya dengan serapi mungkin.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke pintu.
Dan sebentar saja, dia telah berhadapan dengan dua orang prajurit yang menjaga kamar-nya.
"Aku hendak menghirup udara segar di luar sana. Sebelum malam, aku akan kembali lagi!"
Pamit Rangga.
"Panitia sayembara ini harus diberitahu. Kau harus menunggu sebentar, Kisanak!"
Sahut salah seorang prajurit tanpa curiga sedikit pun.
"Baiklah."
Sementara prajurit yang satu bergegas menuju petugas piket sayembara, Rangga menunggu di depan kamarnya ditemani prajurit yang diajak bicara. Sebentar saja Rangga menunggu, kini tampak prajurit yang melapor kepergiannya sudah kembali.
"Kau diizinkan pergi. Dan seperti katamu, harus sudah tiba kembali sebelum malam,"
Jelas prajurit itu, begitu tiba.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk dan segera melangkah ke depan istana.
Dua orang prajurit segera membuka pintu gerbang, ketika mendapat isyarat dari petugas piket sayembara di depan Istana Kerajaan Krojowetan ini.
Begitu tiba di luar, Rangga melangkah perlahan dengan sikap santai seperti tidak terjadi sesuatu yang berarti.
Kendati demikian, pendengarannya dipasang tajam-tajam.
Dugaan Rangga benar.
Pendengarannya yang terlatih tak bisa tertipu.
Demikian pula kecurigaannya.
Berarti, pancingannya mulai tersambut.
Sekitar tiga puluh tombak dia meninggalkan pintu gerbang istana, enam prajurit kerajaan diam-diam membuntuti pada jarak yang tidak begitu jauh.
"Hm mereka mulai membuntutiku! Mereka pasti mata-mata Prabu Puntalaksana!"
Gumam pemuda berbaju rompi putih ini tersenyum sinis.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti memperce-pat langkahnya, lalu berbelok.
Diambilnya jalan yang jarang dilalui orang-orang.
Dan ternyata, para prajurit itu tetap mengikutinya.
Setelah keluar dari ibukota kerajaan, Pendekar Rajawali Sakti terus menyusuri pinggiran hutan kecil yang tidak berapa luas.
Dan ternyata, para pengejarnya tinggal tiga orang.
Akalnya yang cerdik segera bisa cepat menyertai.
"Mereka jelas hendak mencegatku. Hm, terlalu gegabah! Aku jadi ingin tahu apa yang hendak mereka lakukan!"
Gumam Rangga lagi.
Saat itu juga, Rangga berkelebat cepat ke balik kerimbunan pohon.
Lalu menghilang entah ke mana.
Sementara para prajurit yang mengikuti kontan terperangah.
Mereka cepat berlari ke arah menghilangnya pemuda itu.
*** "Kurang ajar! Ke mana dia?!"
Hardik salah seorang prajurit, begitu tiba di tempat Rangga meng-hilang tadi. Kini tiga prajurit yang mencoba menghadang telah bergabung bersama kawan-kawannya.
"Mungkin dia tahu kalau diikuti!"
Tukas prajurit lain.
"Ya. Bisa jadi begitu...."
"Apa yang mesti kita lakukan sekarang?"
Tanya yang lain.
"Menyebar ke sekitar tempat ini. Aku yakin, dia tidak pergi jauh. Kita harus menemukannya!"
Sahut prajurit pertama yang ternyata merupakan pemimpin mereka. Baru saja mereka hendak bergerak, mendadak....
"Apa yang kalian lakukan di wilayahku ini?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan, yang disusul meluncurnya satu sosok bayangan merah dari atas pohon.
Dan tahu-tahu di depan prajurit berdiri seorang laki-laki berbaju merah dengan kepala tertutup balutan kain berwarna-warni.
Hanya bagian mata yang dibiarkan terbuka.
"Siapa kau?!"
Balas seorang prajurit dengan suara tidak kalah garang.
"He he he...! Sungguh galak! Padahal, kalian berada di sarang macan!"
Desis orang bertopeng warna-warni ini, dengan kekehan melecehkan.
"Tidak usah banyak bicara! Kau tengah berhadapan dengan prajurit kerajaan. Berlakulah sopan!"
Bentak prajurit tadi.
"He he he...! Baru prajurit sudah sombong sekali. Bagaimana rajanya? Tentu tidak akan bisa kenal dekat dengan rakyatnya. Huh! Aku muak sekali dengan orang-orang seperti kalian!"
"Kurang ajar! Kau berani menghina prajurit kerajaan! Kau akan dihukum berat sekali!"
"Hua ha ha...! Hukuman? Hukuman apa? Di hutan ini aku adalah satu-satunya hukum yang berlaku. Hitam kataku, maka akan jadi hitam. Tidak peduli seorang raja sekali pun! Apalagi, cecurut seperti kalian!"
"Keparat!"
Seorang prajurit yang agaknya tidak bisa lagi menahan diri, langsung saja mencabut pedang. Segera diserangnya orang bertopeng warna-warni ini.
"Mampus kau!"
"Uts! Tentu saja tidak, Cecurut! Kau tidak akan mampu menjatuhkanku!"
Ejek orang bertopeng itu sambil berkelit gesit. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menghantam ke dada. Duk! "Aaakh...!"
Prajurit itu sama sekali tidak menduga kalau orang bertopeng ini mampu bergerak cepat. Bah-kan dia menganggap enteng. Dan akibatnya sungguh tidak enak. Tubuhnya kontan terjungkal roboh disertai jerit kesakitan, terkena tendangan orang bertopeng ini.
"Itu pelajaran pertama bagi monyet-monyet kudisan seperti kalian!"
Lanjut orang bertopeng.
"Huh! Kau telah melukai seorang prajurit kerajaan. Maka kau tidak akan bisa lolos begitu saja!"
Dengus kepala prajurit.
"Tangkap dia! Dan kalau perlu, bunuh!"
Sring! Dan serentak empat prajurit lain ikut mencabut pedang begitu pemimpin mereka mencabut pedang. Kemudian mereka berlompatan ke arah orang bertopeng.
"Yeaaa...!"
"Hm.... Sudah kukatakan, di sini akulah hukum. Aku bisa berbuat apa saja yang kuinginkan. Termasuk, membunuh kalian!"
Desis orang bertopeng ini.
"Banyak omong! Terima seranganku!"
Desis kepala prajurit seraya mengayunkan pedang. Wut! "Uts!"
Namun orang bertopeng itu telah melompat ke kiri, sehingga tebasan pedang ini hanya menyambar angin kosong.
Kemudian menyusul dua prajurit yang coba memapas dari kiri dan kanan.
Namun orang bertopeng itu telah lebih dulu mencelat ke belakang.
Dan begitu mendarat tubuhnya kembali berkelebat dengan kakinya menyodok perut salah seorang yang terdekat.
Duk! "Aaakh...!"
Karuan saja prajurit yang jadi sasaran terpekik. Tubuhnya terjungkal dengan pedang terlempar. Secepat kilat orang bertopeng ini menyambar pedang. Lalu dengan gerakan dahsyat tubuhnya berkelebat sambil menyambar pedang rampasan.
"Hiyaaa...!"
Bret! "Aaakh...!"
Dua prajurit kontan terpekik, terbabat pedang di tangan orang bertopeng pada bagian dada. Seketika, tubuh mereka terhuyung-huyung ke bela-kang sambil membekap dada.
"Hiyaaa...!"
Orang berkerudung itu tidak berhenti sampai di situ.
Disertai bentakan keras tubuhnya kembali berkelebat menyerang lawan-lawannya.
Para prajurit hanya mampu bersiap dan tidak mampu bertahan lama.
Trang! Trang! Senjata-senjata mereka terpental.
Sementara pedang di tangan orang bertopeng telah melukai mereka satu persatu.
Meski tidak parah, namun cukup menjadi peringatan kalau orang bertopeng itu mampu membunuh dengan mudah.
"Hm.... Inikah prajurit-prajurit kerajaan yang terkenal tangguh? Kalian tidak lebih dari kantong-kantong nasi tak berguna!"
Ejek orang bertopeng sambil tertawa keras, ketika lawan-lawannya tak mampu lagi melawan.
Rata-rata para prajurit itu memang kelihatan telah ciut nyalinya.
Mereka bisa merasakan gerakan orang bertopeng itu cepat bukan main.
Bahkan tidak ada seorang pun yang mampu melihat, bagaimana mereka dilukai.
Tahu-tahu saja satu sambaran pedang menggores setiap dada, membuat para prajurit terjungkal roboh.
"Aku bisa saja membunuh kalian. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu apa yang kalian lakukan di tempat ini? Kalau tidak ada jawaban, maka satu persatu kepala kalian akan kupenggal!"
Ancam orang bertopeng itu. *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info 171. Sayembara Maut Bag. 5 -8 (Selesai) 14 fEvrier 2015, 21.51 "Kami tengah mengejar seseorang...,"
Sahut seorang prajurit, yang tengah duduk berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa?"
Kejar Rangga.
"Buronan kerajaan.... Seorang pemuda berbaju rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung di punggung."
"Siapa yang memberi perintah?"
"Panglima kerajaan."
"Siapa yang menjadi panglima kerajaan?"
"Kanjeng Prabu Puntalaksana...."
"O.... Jadi, kalian antek-anteknya Puntalaksana?!"
Dengus orang bertopeng itu. Semua prajurit tak ada yang menyahut.
"Kalian pendusta!"
Bentak orang bertopeng.
"Katakan sejujurnya, kenapa kalian mengejar orang itu?!"
"Sudah kami katakan, orang itu buronan,"
Sahut prajurit ini.
"Apa yang telah dilakukannya?"
"Dia mencuri benda-benda kerajaan, dan men-coba memasuki kaputren untuk melarikan sang putri!"
"Kalian sadar kalau tengah berdusta?"
Sindir orang bertopeng ini.
"Aku tidak memintamu percaya. Kami hanya sekadar menjalankan tugas!"
"Dengar! Aku sama sekali tak percaya ocehan kalian. Kalau dia mencuri benda-benda kerajaan, maka sudah kuketahui sejak tadi. Bahkan buru-buru kurampas. Tapi dia tidak membawa apa-apa!"
Dengus orang bertopeng itu, seraya menjulurkan ujung pedang dengan sikap mengancam.
"Eh! Apa maumu?!"
Seru prajurit itu dengan muka pucat.
"Jawab yang benar. Atau, kutebas lehermu sekarang juga!"
Desis orang bertopeng.
"Eh! Ba..., baiklah. Tapi, jauhkan dulu pe-dangmu...."
"Huh!"
Orang bertopeng itu menarik pedang seraya mendengus sinis.
"Cepaaat!"
"Ba..., baik! Orang itu... dia, eh...! Dia seorang peserta sayembara...."
"Peserta sayembara? Untuk apa kalian hendak menangkapnya?"
"Entahlah. Kami hanya mendapat perintah begitu. Meringkus dan membunuhnya di tempat."
"Siapa yang memberi perintah?"
"Gusti Prabu Puntalaksana."
"Hm.... Kau tahu, kenapa?"
"Tidak...."
"Jangan berdusta!"
Hardik orang bertopeng seraya menghunuskan pedangnya ke leher kepala prajurit yang jadi juru bicara.
"Eh, sungguh. Aku..., aku tak tahu untuk apa. Tapi dia memang memberi perintah begitu."
"Kau tentu bisa mengira-ngira, apa maunya?"
"Eh! Beliau memang biasa memberi perintah begitu...."
"Apa?"
"Membunuh peserta sayembara...."
"Kenapa?!"
"Aku..., aku sungguh-sungguh tidak tahu!"
Te-gas kepala prajurit itu pasrah.
"Jawab!"
Hardik orang bertopeng. Ujung pedang itu menghujam agak ke dalam ke leher kepala prajurit, dan membuatnya keta-kutan setengah mati.
"Aku..., aku benar-benar tak tahu...,"
Sahut kepala prajurit dengan bibir bergetar.
"Tapi kurasa itu mungkin ada hubungannya dengan sikap beliau yang tidak setuju adanya sayembara...."
"Hei?!"
Kepala prajurit itu belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika salah seorang prajurit menggunakan kesempatan untuk kabur.
Namun hal itu tidak luput dari perhatian orang bertopeng.
Secepat kilat, tubuhnya merunduk menyambar sebuah batu kerikil.
Dan seketika dicentilnya batu kerikil itu.
Set! Dengan kecepatan dahsyat batu sebesar kele-reng itu melesat, mengancam punggung prajurit yang hendak kabur.
Tuk! "Aaakh...!"
Mantap sekali batu kerikil itu menghantam punggung, membuat prajurit itu terpekik kesakitan.
Tubuhnya kontan tersungkur roboh dan terus mengerang-erang.
Rupanya lemparan batu kerikil tadi disertai tenaga dalam dan tepat menghantam urat gerak prajurit itu.
Sehingga begitu ambruk di tanah, tubuhnya tak bisa digerakkan lagi.
Kejadian ini tentu saja membuat nyali prajurit lain menjadi ciut.
Dan kini mereka yakin kalau orang yang dihadapi memiliki kepandaian amat tinggi.
"Nah! Kalau tidak ada yang macam-macam lagi, mari kita lanjutkan persoalan tadi. Kalau memang kau tidak tahu, maka ungkapkan saja kecurigaanmu. Jangan sekali-sekali membohongi, sebab aku tidak suka dibohongi!"
Lanjut orang bertopeng itu.
"Apa urusannya denganmu?"
Tanya kepala prajurit.
"Itu bukan urusanmu!"
Kepala prajurit itu menelan ludah dengan wajah pucat, semakin ketakutan mendengar hardikan barusan.
"Apakah Puntalaksana ingin jadi raja?"
"Mungkin...,"
Sahut kepala prajurit, tak pasti.
"Kenapa dia tidak melakukannya?"
"Pengaruh Prabu Kuntadewa masih kuat mele-kat di mata rakyat. Dan kalau sampai Prabu Puntalaksana merebut begitu saja, dikhawatirkan akan timbul perlawanan rakyat..." *** "Apa kau kira Prabu Puntalaksana berani merebut kedudukan Gusti Prabu?"
Kejar Rangga.
"Entahlah... Aku tidak tahu...,"
Sahut kepala prajurit.
"Kau memimpin beberapa kawan-kawanmu. Dan itu menandakan, bahwa kau bukan prajurit rendahan. Sedikit banyak kau pasti tahu perse-lisihan rumah tangga kerajaan!"
Kepala prajurit itu terdiam.
"Ayo jawab!"
"Aku benar-benar tak tahu menahu soal ini...,"
Sahut kepala prajurit dengan suara bergetar.
"Kalau begitu kau pilih mati?!"
Dengus orang bertopeng. Kepala prajurit ini terdiam seraya memandang orang bertopeng. Lalu kepalanya menunduk.
"Baiklah, kuganti pertanyaannya. Berapa prajurit yang setia kepada Prabu Kuntadewa?"
"Tidak ada seorang pun yang tahu. Semua sa-ling mencurigai. Dan, hanya Prabu Puntalaksana saja yang tahu berapa banyak prajurit yang setia padanya...." "Termasuk kalian, bukan?"
"Kami hanya menjalankan perintah atasan, Kisanak...,"
Sahut kepala prajurit lirih. Mendadak Rangga terdiam. Kepalanya dimi-ringkan ke kanan, seperti mendengar sesuatu dari belakangnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya merunduk, memungut dua bilah pedang yang tercecer di tanah.
"Hih...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berbalik seraya melem-parkan pedang di kedua tangan. Dan.... Set! Set! Crab! Crab! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar dua jerit kesakitan saling susul dari arah belakang pada jarak sepuluh tombak.
Tampak dua orang berseragam prajurit seketika roboh meregang nyawa dengan dada masing-masing tertancap pedang.
Namun bersamaan dengan itu, menyeruak be-lasan prajurit lain dan seorang berpakaian panglima perang dari balik semak-semak.
Dan mereka langsung mengurung orang bertopeng.
Panglima bertubuh kekar yang agaknya bertindak sebagai kepala pasukan Kerajaan Krojowetan ini memandang garang pada para prajurit yang tadi dipecundangi orang bertopeng itu.
"Apa yang kau lakukan di situ, Sanggawa?! Kau akan mendapat hukuman berat karena kelancangan mulutmu!"
Bentak panglima itu, geram.
"Aku..., aku tidak mengatakan apa-apa, Panglima Jumeneng!"
Sahut kepala prajurit yang ter-nyata bernama Sanggawa ketakutan.
"Phuih! Aku mendengar kicauanmu yang akan mengantarkan lehermu ke tiang gantungan. Sekarang, bangkitlah! Dan ajak anak buahmu untuk meringkus bangsat bertopeng ini!"
Lanjut laki-laki kekar yang tak lain Panglima Jumeneng. Sanggawa tidak mampu berbuat apa-apa, selain mematuhi perintah itu.
"Tangkap dia hidup-hidup. Dan kalau melawan, bunuh di tempat!"
Teriak Panglima Jumeneng. Saat itu juga para prajurit langsung menyerang. Mereka tampak bersemangat, seperti hendak merencah orang bertopeng itu. 'Yeaaa...!"
"Ha ha ha...! Kalian hendak menangkapku, ya? Ayo, buktikan kehebatan kalian sebagai prajurit-prajurit hebat!"
Ejek orang bertopeng seraya berkelebat cepat sambil menangkis beberapa kelebatan pedang yang berseliweran di sekitar tubuhnya.
Trang! Tang! Bet! Dua prajurit yang sangat bernafsu tampak ter-kejut.
Pedang mereka tahu-tahu terlepas dihantam senjata orang bertopeng.
Dan belum lagi keduanya sempat berbuat apa-apa, satu tendangan keras telah meluncur deras.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Dua prajurit kontan terjungkal roboh tak bisa bangun lagi. Darah tampak meleleh dari sudut bibir masing-masing. Namun, ini bukan membuat para prajurit lain gentar. Mereka malah marah, dan semakin bersemangat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Bangsat terkutuk! Kau akan rasakan balasan kami!"
Dengus Panglima Jumeneng. Kata-kata panglima ini agaknya tidak main-main. Karena seketika diserangnya orang bertopeng itu dengan gencar. Pedangnya berkelebat cepat menyambar. Dan sepertinya, dia tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun.
"Hm.... Ilmu pedangmu cukup hebat! Sayang sekali, orang sepertimu menjadi kaki tangan pengkhianat!"
Leceh orang bertopeng itu, sinis sambil terus berkelebatan menghindari sambaran pedang.
"Tutup mulutmu, Bedebah! Lebih baik, sela-matkan saja nyawamu yang kerdil. Karena sebentar lagi, aku akan mencabutnya!"
Bentak Panglima Jumeneng.
"Bagaimana mungkin kau bisa mencabut nya-waku, sedang mengejar lalat saja tak mampu?"
Ejek orang bertopeng itu.
"Setan!"
Panglima Jumeneng menggeram marah. Apalagi, orang bertopeng itu selalu mampu menghindari incaran pedangnya. Maka anak buahnya yang saat ini ikut membantu serangan, diperintahkan untuk lebih keras lagi menyerang.
"Gunakan segala kemampuan kalian untuk membunuhnya! Aku ingin dia mampus sekarang juga!"
Teriak Panglima Jumeneng. Dan orang bertopeng itu memang merasakan-nya. Keroyokan lawan-lawannya kini semakin gila. Bahkan cenderung membabi-buta! Agaknya mereka berusaha menggunakan segala cara untuk membunuhnya secepat mungkin.
"Hm.... Orang-orang yang nekat!"
Umpat orang bertopeng.
"Kalian yang memaksaku. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
Selesai berkata begitu, orang bertopeng ini memutar pedangnya. Ditangkisnya beberapa senjata. Kemudian pedang itu mulai menyambar sasaran dengan gerakan cepat yang tidak mampu terlihat mata. Trang! Tang! Cras! Bret! "Aaa...!"
Korban mulai berjatuhan. Dua prajurit kembali terjungkal roboh dengan leher nyaris putus. Dan tiga lainnya menyusul cepat dalam waktu singkat.
"Hiyaaa...!"
Orang bertopeng itu pun tidak mau buang-bu-ang waktu.
Tubuhnya mencelat gesit, mencari sasaran yang berharga.
Panglima Jumeneng! Wut! Panglima Jumeneng terkesiap mendapat serangan kilat yang tak terdengar dari orang ber-topeng.
Dia berusaha menangkis sebisanya.
Trang! "Uhhh...!"
Panglima Jumeneng mengeluh tertahan ketika tangannya bergetar hebat dan rasa nyeri menjalar sampai ke ulu hati ketika terjadi benturan senjata, Dan masih untung dia pun mampu mengelak ketika orang bertopeng ini membabatkan pedang ke perutnya.
Tapi siapa sangka kalau itu hanya gerak tipu.
Karena tiba-tiba saja, sebuah tendangan telah menunggu dari samping.
Begkh! Tendangan itu tepat menghantam dan diikuti kelebatan pedang orang bertopeng ke arah bahu.
Cras! "Aaakh...!"
Panglima Jumeneng terpekik ketika lengan kanannya robek lebar, tersayat pedang.
"Kalau kau ingin mati, cepat bergeraklah!"
De-sis orang bertopeng yang tiba-tiba saja berada di belakang Panglima Jumeneng sambil menempelkan mata pedang ke leher.
Entah kapan bergeraknya orang bertopeng ini, Panglima Jumeneng sendiri tak tahu.
Waktu terjajar limbung tadi, dia hanya merasakan desir angin halus yang berkelebat.
Dalam hati, panglima ini sebenarnya sudah ciut nyalinya melihat kedigdayaan orang bertopeng.
Tapi di depan anak buahnya, dia tak ingin menunjukkannya.
*** "Ayo bunuhlah! Aku tidak takut mati!"
Dengus Panglima Jumeneng. Sementara melihat panglimanya berada di bawah ancaman pedang, para prajurit langsung menghentikan serangan. Mereka tak ada yang berani bergerak, kalau tak ingin Panglima Jumeneng tewas.
"Pengkhianat sepertimu kukira akan sayang dengan nyawa. Tapi, ternyata tidak. Kalau begitu kuganti saja. Kau akan mati pelan-pelan,"
Kata orang bertopeng itu, tenang.
"Huh! Kau tidak akan berani melakukannya. Melawan panglima kerajaan hukumannya berat. Kau bisa dihukum gantung!"
Ancam Panglima Jumeneng.
"Ha ha ha...! Kau masih bisa mengancamku? Padahal, jiwamu tengah terancam. Bukan mati! Hebat sekali. Akan kubuktikan ucapanmu. Mendadak tangan orang bertopeng itu bergerak cepat ke bahu. Kemudian.... Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Panglima Jumeneng berteriak kesakitan ketika dua buah totokan mendarat di bahunya. Totokan yang disertai tenaga dalam tinggi itu membuat tubuhnya ambruk dengan rasa sakit yang amat sangat. Wajahnya kontan meringis.
"Itu baru permulaan. Dan berikutnya mungkin saja kau akan kubuat lumpuh seumur hidup, lalu mati perlahan-lahan dengan penderitaan yang amat menyiksa!"
Gertak orang bertopeng ini, tersenyum dingin.
"Keparat! Apa maumu?!"
Teriak Panglima Jumeneng, di tengah rasa sakitnya.
Orang bertopeng itu tidak langsung menjawab.
Matanya melirik sebentar pada prajurit lain yang memandangnya dengan geram.
Namun karena pemimpinnya dalam ancaman, maka tiada seorang pun yang berani maju.
"Sebenarnya kalau kau tidak terlalu angkuh, mungkin saja aku mau mengalah. Tapi aku pun orang yang tak sudi bila ada orang lain bersikap angkuh di depanku. Apalagi pengkhianat busuk sepertimu yang jiwanya tak berharga. Tapi, ada satu kesempatan bagimu kalau kau ingin tetap hidup. Yaitu, jawab pertanyaan-pertanyaanku!"
Tandas orang bertopeng itu, mengancam.
"Apa yang ingin kau ketahui?"
Tanya Panglima Jumeneng.
"Berapa kekuatan Puntalaksana?"
Orang bertopeng ini balik bertanya.
"Aku tak tahu pasti. Barangkali seribu atau seribu lima ratus!"
Sahut Panglima Jumeneng, akhirnya mengalah.
"Berapa jumlah seluruh prajurit kerajaan?"
"Dua ribu orang dan tersebar di beberapa ka-dipaten!"
"Berapa kekuatan di istana?"
"Sekitar dua ratus prajurit!"
"Dan berapa kekuatan Puntalaksana?"
"Hm.... Kalau kau bermaksud hendak membantu Prabu Kuntadewa, lupakan saja! Seluruh prajurit telah dikuasai Prabu Kuntalaksana. Lebih baik, bergabung saja dengan kami. Karena kedudukan baik akan menantimu!"
Sahut Panglima Jumeneng, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh, begitu? Kedudukan apa yang bisa kuperoleh bila bergabung dengan kalian?"
Pancing Rangga.
"Dengan kepandaianmu, kau bisa saja dijadi-kan panglima perang. Dan sekaligus, pengawal pribadi Prabu Puntalaksana!"
"Lalu, apa keuntungannya aku menjadi panglima perang serta menjadi pengawal pribadinya?"
"Kau bisa saja mendapatkan apa saja yang kau inginkan! Wanita, harta, dan kekuasaan."
"Lupakan saja tawaran itu, Panglima! Semua-nya bisa mudah kudapat, seperti mudahnya membalikkan telapak tangan. Sebaiknya, pergilah kalian kepada Puntalaksana. Dan katakan, bahwa dia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Dia akan mendapat balasan setimpal atas apa yang dilakukannya selama ini kepada korban-korbannya!"
Ujar orang bertopeng itu.
Setelah berkata begitu, orang bertopeng ini segera membalikkan tubuh.
Panglima Jumeneng yang tadi telentang, lalu dibebaskannya totokan di bahu panglima itu.
Tuk! Tuk! Dan belum sempat Panglima Jumeneng berbalik, tubuh orang bertopeng langsung berkelebat cepat bagai kilat, masuk dalam lebatnya hutan kecil.
"Kurang ajar! Siapa orang itu sebenarnya?!"
Dengus Panglima Jumeneng dengan wajah geram, begitu bangkit berdiri.
"Apa tidak mungkin kalau dia pemuda itu, Gusti Panglima?"
Duga seorang anak buahnya.
"Siapa yang kau maksud? Peserta sayembara itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Akan kita selidiki nanti. Kalau benar terbukti bahwa orang bertopeng itu dia, maka rasakan saja pembalasanku!"
Dengus Panglima Jumeneng.
*** Pendekar Rajawali Sakti memang menepati janjinya.
Sebelum hari gelap dia telah kembali ke Istana Krojowetan.
Setelah melapor pada petugas piket sayembara, pemuda itu langsung masuk dalam kamamya.
Segera Rangga mengeluarkan kembali pakaian merah dan kain-kain berwarna-warni yang disem-bunyikan di balik baju rompi putihnya di bagian belakang.
"Hm.... Kelihatannya, penyamaranku tadi cukup berhasil, walaupun tetap menimbulkan kecu-rigaan pada prajurit dan Panglima Jumeneng. Dan sekarang aku ingin tahu tanggapan Prabu Puntalaksana dan Nyai Saptaningmm. Memang, sebenarnya orang bertopeng yang telah memperdaya Panglima Jumeneng adalah Pendekar Rajawali Sakti. Seperti rencananya, dia memang bermaksud mengungkap tabir di Kerajaan Krojowetan yang mengadakan sayembara memperebutkan putri dari Prabu Kuntadewa. Namun ternyata, setiap peserta sayembara selalu mendapat ancaman kematian. Inilah yang menarik perhatian Rangga untuk ikut sayembara. Dan memang, sebagai pendekar berhati bersih, Rangga memang paling benci dengan kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan. Baginya seorang raja adalah lambang pengayoman untuk para rakyatnya. Bukan sebaliknya.
"Aku yakin, Panglima Jumeneng telah kembali ke istana untuk melapor kejadian tadi. Hhh.... Untung saja, Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tadi kutinggal di atas pohon tidak hilang. Kalau saja tadi ada tokoh sesat yang kebetulan lewat, entah apa jadinya aku tanpa pedang ini,"
Gumam Rangga, seperti berkata untuk diri sendiri."
Sebaiknya aku akan mencuri dengar pembicaraan lagi, di ruang khusus Prabu Puntalaksana...."
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandang ke atas. Lalu....
"Hup!"
Rangga melayang ringan ke wuwungan.
Langsung dibukanya beberapa genteng.
Dan seketika tubuhnya menyelinap dan keluar lewat lubang genteng.
Hati-hati sekali dia melangkah menuju ke bangunan yang agak memanjang.
Rangga yang juga Raja Karang Setra, paham betul bentuk bangunan seperti ini.
Dilihat dari bentuknya, bangunan itu adalah gudang berisi perlengkapan senjata.
"Betul!"
Gumam Rangga dengan wajah berseri ketika membuka beberapa genteng.
Tak ada seorang penjaga pun yang berada di dalam.
Maka dengan leluasa dia melompat turun.
Begitu berada di bawah, diambilnya sebuah busur dan beberapa anak panah serta beberapa kain perca yang kelihatan telah lusuh.
Setelah itu tubuhnya kembali mencelat ke atas.
Rangga langsung melangkah tanpa menutup genteng tempatnya masuk tadi.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengendap-endap di atas atap, menuju bangunan yang dihuni Prabu Puntalaksana.
Namun langkahnya terhenti ketika....
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengaman-kan bocah itu, Nyai?"
Terdengar sebuah suara di bawah, di luar bangunan.
Rangga cepat membuang pandangan ke halaman bangunan.
Tampak di halaman Prabu Puntalaksana tengah berjalan-jalan ditemani Nyai Saptaningrum yang bertindak sebagai penasihatnya menuju bangunan tempat tinggalnya.
"Sudah kukatakan padamu, dia tidak bisa dibuat main-main. Dan kau malah menganggap enteng!"
Desis perempuan tua itu, seraya berhenti melangkah. Ditatapnya tajam-tajam Prabu Puntalaksana yang juga berhenti melangkah.
"Siang tadi Jumeneng melaporkan tentang orang bertopeng yang mencegatnya. Dia punya dugaan kuat, bahwa orang itu adalah bocah yang dibuntuti Sanggawa...,"
Lapor Prabu Puntalaksana.
"Hm.... Jadi, karena itu kau menghukum Sanggawa?"
Tanya Nyai Saptaningrum.
"Dia terlalu banyak bicara!"
Desis laki-laki setengah baya itu.
"Kudengar Jumeneng pun sama-sama buka mulut..."
"Jumeneng berada di pihakku. Sedangkan Ka-kang Sanggawa belum berhasil kubujuk. Mungkin dia terlalu setia kepada Kakang Kuntadewa."
"Tidak juga. Kau hanya terlalu curiga. Sudah kukatakan berkali-kali, bahwa kau tidak perlu menunjukkan perasaan tidak suka pada raut wajahmu. Itu bukan sikap yang baik!"
Prabu Puntalaksana terdiam beberapa saat.
"Bagaimana mengatasi bocah itu, Nyai?"
Tanya Prabu Puntalaksana.
"Jangan khawatir. Besok adalah hari terakhir-nya. Dia tidak akan selamat!"
"Nyai yakin?"
"Aku telah mengatur sebaik-baiknya. Selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari tempat itu!"
"Kuharap rencana Nyai berhasil. Sebab kalautidak, aku tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya. Terpaksa kau yang melenyapkannya!"
Kata pemuda itu, dingin.
"Serahkan saja soal itu kepadaku!"
Tegas Nyai Saptaningrum, langsung kembali melangkah masuk ke dalam bangunan, diikuti Prabu Puntalaksana.
"Hm..., aku harus membebaskan prajurit yang bernama Sanggawa itu. Mudah-mudahan dari dia aku bisa mendapat keterangan lebih banyak lagi...,"
Gumam Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menggunakan kesempatan itu untuk menuju mang tahanan yang terletak paling bela-kang dari istana ini. *** "Haus...! Aku haus sekali...! Tolong ambilkan air...!"
Terdengar keluhan berulang-ulang dari seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus di ruang tahanan bagian belakang bangunan Istana Kerajaan Krojowetan ini.
Sesekali dia menyeringai kesakitan.
Dari bibirnya yang pecah-pecah masih menetes darah segar.
Mukanya babak belur bekas hajaran.
Tubuhnya kurus loyo seperti tidak bertulang.
Dan pakaiannya compang-camping tidak karuan.
Kedua tangannya diikat dan direntangkan ke dinding.
Demikian pula kedua kakinya.
Di depan ruang tahanan ini berdiri tiga prajurit kerajaan yang menjaga.
Suara keluhan tadi sama sekali tidak ditanggapi ketiga penjaga itu.
Bahkan menoleh pun tidak.
Mereka hanya diam seperti patung.
"Air...! Air.... Tolong ambilkan aku air...!"
Salah seorang prajurit yang mungkin sebal-mendengar rintihan itu, menoleh dengan muka masam.
"Diamlah kau, Sanggawa! Kalau masih mengoceh juga, akan kuhajar kau!"
Bentak prajurit yang berkumis lebat.
"Aku haus sekali. Tolonglah ambilkan aku air...,"
Keluh tawanan yang tak lain Sanggawa.
Sanggawa adalah kepala prajurit yang tadi pagi membuntuti Pendekar Rajawali Sakti.
Namun, dia dapat dicundangi Rangga, sampai akhirnya membuka mulutnya.
Akibatnya, Sanggawa harus rela dirinya dijebloskan ke dalam ruang tahanan.
"Kurang ajar! Rupanya kau memang benar-benar ingin kuhajar!"
Dengus prajurit itu. Prajurit ini sudah hendak melangkah ke dalam, untuk melayangkan bogem mentah.
"Kenapa kau repot-repot mengurusinya? Beri-kan saja dia apa yang diinginkannya!"
Kata prajurit lain, menahan langkah prajurit berkumis tebal.
"Gila! Kau ingin mendapat dampratan dari Gusti Puntalaksana?!"
Dengus prajurit berkumis lebat.
"Dia ingin air kan?"
Susul prajurit yang memiliki tahi lalat besar di pipi. Prajurit berkumis lebat mengangguk.
"Berikan saja...."
Prajurit bertahi lalat itu kemudian membisiki prajurit yang berkumis lebat. Mendengar bisikan, wajah prajurit berkumis lebat yang tadi kelihatan sewot tiba-tiba berubah cerah.
"Usulmu bagus! Tapi, aku sedang tak ingin...."
"Jangan khawatir,"
Potong prajurit bertahi lalat.
"Aku keluar sebentar mengambil cangkir dan sekaligus mengisinya."
"Jangan lama-lama, Sarkam!"
Ingat prajurit berkumis lebat.
"Beres, Ludira!"
Sahut prajurit bertahi lalat yang dipanggil Sarkam, seraya beranjak keluar. Prajurit berkumis lebat yang bernama Ludira tersenyum-senyum sendiri. Sementara, prajurit yang seorang lagi amat penasaran.
"Ada apa?"
Tanya prajurit itu seraya mendekat.
"Sarkam hendak mengambilkan air minum,"
Sahut Ludira. Kemudian Ludira menoleh pada Sanggawa di dalam ruang tahanan.
"Sabarlah, Sanggawa! Sebentar lagi Sarkam akan kembali membawakan air minum untukmu!"
"Oh, terima kasih...."
"Kau gila! Kalau Gusti Prabu mengetahuinya kita bisa digantung!"
Desis prajurit yang belum mengerti rencana Sarkam dan Ludira.
"Tenang saja, Suminta! Kita akan memberikannya air minum yang terbaik!"
Ujar Ludira sambil tersenyum simpul.
"Apa maksudmu?"
Tanya prajurit yang dipanggil Suminta.
"Air kencing Sarkam!"
Bisik Ludira. Demi mengetahui hal itu, Suminta tidak dapat menahan tawanya. Dan mereka pun cekikikan geli.
"Cepatlah, Sarkam!"
Ujar Ludira ketika melihat satu sosok berdiri di ujung lorong dengan sikap membelakangi.
"Apa-apaan kau ini? Ayo cepat ke sini! Jangan berdiri saja!"
Seru Suminta ketika melihat sosok yang disangka Sarkam tetap tak bergeming.
Sedikit pun, mereka tak curiga.
Sebab apa yang dilihat memang sosok berpakaian prajurit yang tubuhnya seukuran Sarkam.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ludira dan Suminta segera beranjak mendekati.
"Mana airnya?"
Tanya Ludira tak sabar. "Ini!"
Dan tiba-tiba saja sosok yang disangka Sarkam berbalik, langsung menyiramkan air di dalam cangkir. Karuan saja keduanya kelabakan, namun tak bisa menghindar. Dan.... Wesss...! Pyarrr...! "Hei?! Kau bukan Sarkam! Siapa kau...?!"
Bentak Ludira gelagapan ketika melihat wajah sosok berpakaian prajurit. Tapi belum lagi mereka bisa berbuat sesuatu, sosok itu telah berkelebat sambil mengibaskan tangan dua kali berturut-turut. Begkh! Begkh...! "Aaakh...!"
Kedua prajurit itu kontan ambruk tak berdaya, ketika dua kibasan tangan mendarat di tubuh masing-masing. Mereka kontan ambruk tak sadarkan diri.
"Oh! Si..., siapakah kau, Kisanak...?"
Dalam keadaan ruang yang remang-remang, apalagi matanya bengkak seperti itu, Sanggawa memang tak bisa cepat mengenali seseorang.
Namun Rangga tidak mempedulikannya.
Segera dibukanya pintu tahanan dan segera melepaskan ikatan Sanggawa.
Sementara Sanggawa terus memperhatikan dengan seksama.
Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Pendekar Rajawali Sakti Iblis Penggali Kubur